You are on page 1of 28

Sistem Perbenihan Kentang di Indonesia

Oleh: Willy Bayuardi Suwarno, SP, MSi willy@ipb.ac.id

Artikel ditulis tahun 2000 Dipublikasi kembali di http://www.situshijau.co.id tanggal 15 Maret 2008
Artikel ini dapat digunakan dan disebarkan secara bebas, baik sebagian maupun seluruhnya, untuk tujuan non-komersial dengan syarat mencantumkan nama penulis dan sumbernya. Di luar tujuan itu, pengguna harus memperoleh izin tertulis dari penulis.

Pendahuluan
Kentang merupakan salah satu pangan utama dunia setelah padi, gandum, dan jagung (Wattimena, 2000). Disamping itu, kentang termasuk salah satu komoditas hortikultura yang mempunyai nilai perdagangan domestik dan potensi ekspor yang cukup baik. Produksi kentang di Indonesia pada tahun 1998 mencapai 998 032 ton, meningkat sebanyak 22.7% dari tahun 1997 (813 368 ton) (Anonim, 1999). Namun demikian, kemampuan produksi kentang Indonesia hanya dapat memenuhi 10% konsumsi kentang nasional, yaitu 8.9 juta ton per tahun (Wattimena, 2000). Disamping produksi yang belum cukup, volume dan nilai ekspor kentang tahun 1998 (31 204 ton, 5 887 000 US$) mengalami penurunan dari tahun 1997 (36 758 ton, 8 431 065 US$) (Anonim, 1999). Kendala peningkatan produksi kentang di Indonesia diantaranya yaitu : (1) rendahnya kualitas dan kuantitas bibit kentang, yang merupakan perhatian utama dalam usaha peningkatan produksi kentang di Indonesia, (2) teknik budidaya yang masih konvensional, (3) faktor topografi, dimana daerah dengan ketinggian tempat dan temperatur yang sesuai untuk pertanaman kentang di Indonesia sangat terbatas, (4) daerah tropis Indonesia merupakan tempat yang optimum untuk perkembangbiakan hama dan penyakit tanaman kentang (Kuntjoro, 2000). Penanaman bibit kentang bermutu, tepat waktu dan tepat umur fisiologis adalah faktor utama penentu keberhasilan produksi kentang (Wattimena, 2000). Upaya penyediaan benih kentang bermutu perlu dilandasi dengan sistem perbenihan yang mapan. Sentra produksi utama kentang di Indonesia terletak di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sumatera Utara (Wattimena, 2000). Perbanyakan benih kentang bebas penyakit di Jawa Barat telah dimulai sejak tahun anggaran 1991/1992 dalam program kerjasama antara Pemerintah Republik Indonesia dan Jepang melalui Japan International Corporation Agency (JICA). Tujuan utamanya adalah untuk memperoleh benih kentang bermutu tinggi, bebas dari penyakit dengan harga yang

terjangkau oleh petani (Anonim, 2000b).

Pola Perbanyakan Benih Kentang di Indonesia


Sistem perbanyakan benih kentang bermutu dimulai dari penyediaan benih sumber G0 (Breeder Seed) bebas pathogen oleh Balai Penelitian Sayuran Lembang melalui teknik kultur jaringan. Selanjutnya G0 berupa stek dikirimkan ke BBI Pangalengan untuk diperbanyak di Screen House A dan menghasilkan mini tuber, yang selanjutnya secara berurut ditanam menjadi G1 (pada screen house) dan G2 (di lapangan). Perbanyakan dari G2 ke G3 dilaksanakan di BBU (PD Mamin/PD Agribisnis) Pangalengan yang selanjutnya diperbanyak menjadi G4 oleh para penangkar yang telah terlatih (Anonim, 2000a). G0 BALITSA

G1 BBI G2

BPSBTPH

G3

BBU

G4

Penangkar

Konsumen

Gambar 1. Sistem Perbanyakan Benih Kentang di Indonesia (Anonim, 2000a) Pengawasan dan pemeriksaan oleh BPSBTPH dilaksanakan mulai G2 sebagai benih dasar, sedangkan G1 diberikan akreditasi kepada BBI untuk diperiksa sendiri

mengingat teknis perbanyakan masih dalam screen house dan BBI memiliki teknik dan fasilitas yang memadai (Anonim, 2000a). Pada perbenihan kentang, prinsip menghasilkan jumlah umbi yang banyak lebih diperhatikan daripada menghasilkan bobot. Benih kentang yang telah memenuhi syarat dan standar mutu akan dinyatakan lulus dan diberi sertifikat. Pada setiap kemasan benih yang telah lulus diberi label dan didistribusikan sebagai benih kentang bermutu tinggi (Anonim, 2000b).

Pola Perbanyakan Benih Kentang di Belanda (Wattimena, 2000)


Sumber benih kentang di Belanda berasal dari benih penjenis hasil seleksi klonal oleh pemulia tanaman. Benih penjenis selanjutnya diperbanyak secara klonal untuk menghasilkan pra benih dasar (G1, G2), benih dasar (G3, G4, G5, G6) dan benih sertifikat (Gambar 2).
BREEDER SEED IN VITRO PRE BASIC SEED G1 G2 BASIC SEED G3 G4 S G5 SE G6 E CERTIFIED SEED G7 A/B G8 B/C G9 C GROWERS WARE POTATOES STARCH POTATOES

Gambar 2. Sistem Perbanyakan Benih Kentang di Belanda (Wattimena, 2000)

Berdasarkan Gambar 2, terdapat dua kategori benih sertifikat, yaitu : (1) benih dasar (basic seed) dengan kelas S (G4), SE (G5), E (G6), (2) benih sertifikat (certified seed) dengan kelas A (G7), B (G8), dan C (G9). Kontrol kualitas dilakukan melalui pengamatan di lapang (3 kali) untuk mengecek penyakit pada tanaman (tular umbi dan virus), keadaan umum pertanaman, serta kebenaran dan kemurnian kultivar. Batas toleran uji virus pasca panen pada umbi kentang yang terinfeksi untuk masingmasing kelas adalah sebagai berikut : S, SE (0 dari 200 umbi), E (1 dari 200 umbi), A (5 dari 1000 umbi), B (8 dari 100 umbi) dan C (10 dari 100 umbi).

Evaluasi Perbenihan Kentang di Jawa Barat (Anonim, 2000a)


Evaluasi perbanyakan benih G0 di Screen House A, dari Phase I (1992) sampai Phase II (s/d Agustus 2000) terdapat pada Tabel 1. Tabel 1. Evaluasi Perbanyakan Benih G0
Alur Tanggal Phase I 01-12-1992 27-05-1993 13-10-1993 09-03-1994 04-1994 (G0-G0) 11-10-1994 18-04-1995 04-1995 (G0-G0) 19-09-1995 (G0-G0) 27-03-1996 (G0-G0) 02-10-1996 (G0-G0) Phase Transisi 22-04-1997 29-09-1997 (G0-G0) 01-07-1998 Phase II 07-10-1998 24-02-1998 (G0-G0) 03-08-1999 Tanam Jumlah Stek 19 405 20 250 21 000 19 680 3 000 19 200 20 160 1 000 8 000 12 127 2 080 13 760 2 000 7 000 20 000 5 000 6 400 7 040 12 000 8 000 6 400 32 000 Tanggal Panen Jumlah Knol Berat (kg)

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16

01-13-1993 16-08-1993 28-12-1993 04-08-1994 03-01-1995 10-07-1995 04-12-1995 13-06-1996 07-01-1997 21-07-1997 11-03-1998 24-09-1998 17-12-1998 14-06-1999 24-02-2000 28-08-2000

24 905 37 427 19 546 12 769 4 770 20 331 13 150 1 911 6 995 2 743 21 746 1 856 21 523 21 742 16 200 23 120 28 850 68 856 47 564 masih proses

214.0 339.7 201.3 77.1 34.2 235.3 40.8 23.1 48.9 12.2 119.9 12.5 93.2 161.2 92.2 130.4 115.7 323.7 127.1

Berdasarkan data pada Tabel 1 dapat diambil kesimpulan bahwa produksi G0 di Screen House A masih fluktuatif, berkisar antara 1 3 knol per stek tanaman, sedangkan target yang ingin dicapai adalah 4 6 knol per stek tanaman. Permasalahan yang dihadapi pada perbanyakan G0 ini adalah : 1. Ketersediaan tanah untuk memenuhi Screen House, karena harus lapisan top soil dan harus bebas dari penyakit yang dapat ditularkan melalui tanah. 2. Ketersediaan stek, karena sejak tahun 1995 BBI sudah tidak menerima stek dari BALITSA sehingga untuk memenuhi kebutuhan stek dilakukan dengan sistem perbanyakan dari G0 ke G0. 3. Laboratorium kultur jaringan yang ada belum dapat menghasilkan planlet secara optimal karena baru dioperasionalkan pada akhir tahun 1998. Evaluasi perbanyakan benih G1 di Screeh House B, dari tahun 1993 s/d Agustus 2000 terdapat pada Tabel 2. Tabel 2. Evaluasi Perbanyakan Benih G1 Alur Tanam Tanggal Jumlah Knol Phase I 02-06-1993 01-12-1994 19-04-1994 16-11-1994 26-06-1995 08-01-1996 04-06-1996 04-11-1996 Phase Transisi 02-06-1997 10-11-1997 04-06-1998 Phase II 22-02-1999 19-08-1999 26-12-1999 06-2000 16 033 14 800 15 000 17 500 16 500 15 000 16 500 16 400 15 000 15 000 15 000 15 120 16 500 21 454 Tanggal Panen Jumlah Knol 67 015 75 440 70 500 58 323 71 400 78 415 62 192 61 565 42 727 44 875 59 500 79 798 79 772 73 123 Berat (kg)

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15

26-08-1993 03-03-1994 21-07-1994 16-02-1995 18-09-1995 08-04-1996 10-09-1996 04-02-1997 04-09-1997 04-02-1998 07-09-1998 03-06-1999 06-12-1999 22-03-2000

2 166 2 888 2 820 2 854.3 2 930.7 3 702 2 962.5 3 311 3 397 1 967 2 492 3 728.7 3 780.6 3 465

Dari data pada Tabel 2 dapat disimpulkan bahwa produktivitas di Screen House B sejak phase pertama sampai dengan phase kedua masih berkisar antara 3 5 knol per umbi, sedangkan target yang diinginkan adalah 8 10 knol per rumpun. Permasalahan yang dihadapi adalah : 1. Terbatasnya Screen House B, karena jika Screen House A dioptimalkan maka Screen House B yang ada tidak bisa menampung produksi dari Screen House A. 2. Terbatasnya tanah untuk Screen House B, walaupun di steam dahulu tetapi tetap memerlukan lapisan atas/ top soil. 3. Masih rendahnya produktivitas di Screen House B. 4. Biaya operasional terbatas, terutama untuk kegiatan-kegiatan persiapan lahan. 5. Ketersediaan sudah terganggu. Evaluasi perbanyakan benih G2 di lapangan dari tahun 1993 s/d Agustus 2000 terdapat pada Tabel 3. Tabel 3. Evaluasi Perbanyakan Benih G2 Alur Tana m Tanggal Phase I 18-12-1993 24-06-1994 20-12-1994 13-07-1995 09-02-1996 26-09-1996 07-01-1997 Phase Transisi 10-07-1997 09-02-1998 29-06-1998 Phase II 15-02-1999 20-12-1999 Panen Tanggal air semakin berkurang karena lingkungan sekitarnya

Jumlah Knol 58 440 54 241 59 599 58 000 60 000 59 729 60 000 58 250 42 727 44 879 51 952 79 798

Jumlah Knol 250 000 219 288 270 436 300 338 273 843 306 000 295 222 174 775 191 860 203 424 384 500 415 725

Berat (kg)

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

27-03-1994 08-11-1994 19-03-1995 14-10-1995 11-05-1996 28-12-1996 08-03-1997 17-10-1997 20-05-1998 29-09-1998 17-05-1999 23-03-2000

13 403 12 879 14 423 17 393 14 564 13 240 13 960 6 171 8 301 10 909 20 977 18 072

13

08-05-2000

79 722

11-08-2000

sedang seleksi

Berdasarkan data pada Tabel 3, produktivitas G2 di lahan BBI masih berfluktuasi. Namun jika dilihat dari perolehan berat, ada peningkatan rata-rata produksi dari 14 ton/ha pada Phase I menjadi 19.5 ton/ha pada Phase II. Hal ini dapat disebabkan oleh: 1. Semakin bertambahnya penggunaan knol per hektar dari rata-rata 58 000 knol/ha pada Phase I menjadi rata-rata 65 000 knol/ha pada Phase II. 2. Semakin rendahnya tingkat kerusakan benih yang disebabkan oleh hama dan penyakit utama seperti scab dan nematoda. Permasalahan yang dihadapi : 1. Terbatasnya lahan G2 di BBI, sehingga tidak bisa menampung kelebihan produksi dari Screen House B. 2. Ketersediaan air yang semakin terbatas karena lingkungan sekitarnya sudah terganggu. Hal ini menjadi masalah jika penanaman jatuh pada musim kemarau. 3. Adanya kemungkinan serangan hama dan penyakit terutama Aphid dan Lalat Penggorok Daun. Evaluasi perbanyakan benih G3 di lapangan dari tahun 1994 s/d tahun 1999 terdapat pada Tabel 4. Tabel 4. Evaluasi Produksi G3
Alur Musim Penang-kar Tanam (kg) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 1994 1994/1995 1995 1995/1996 1996 1996/1997 1997 1997/1998 1998 1998/1999 1999 BBU BBU BBU BBU BBU BBU BBU Ir. Wildan BBU BBU Ir. Wildan BBU Ir. Wildan BBU 13 403 12 879 14 423 17 393 14 564 13 240 12 000 1 960 6 171 4 000 4 301 5 000 5 909 12 000 6.00 3.80 5.00 4.00 5.55 5.55 5.07 1.00 3.00 1.70 2.50 2.55 3.64 4.82 120 337 64 380 95 070 30 127 151 000 87 220 69 675 22 935 37 462 42 000 62 851 53 129 52 183 113 968 75 520 13 520 38 500 17 720 77 580 28 200 42 344 18 576 15 440 29 000 53 578 48 000 39 796 82 791 Benih yang Areal digunakan Produksi (kg) (ha) Total Benih

Ir. Wildan

8 977 146 220

3.00 57.18

86 453 1 088 754

57 075 637 640

Produktivitas G3 sejak Phase I sampai Phase II masih fluktuatif. Rata-rata produktivitas per/ha adalah 11.15 ton. Rendahnya pencapaian produksi ini disebabkan oleh : 1. Manajemen BBU yang selalu berubah, sehingga mempengaruhi pelaksanaan di lapangan terutama dalam biaya produksi benih. 2. Gangguan hama dan penyakit serta gangguan alam lainnya seperti kekeringan. Evaluasi perbanyakan benih G4 di lapangan dari tahun 1996 s/d tahun 2000 terdapat pada Tabel 5. Tabel 5. Evaluasi Produksi G4 Alur 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
* : yang tercatat.

Musim

Jumlah Jumlah Areal Produksi Tanam Penangkar (ha) Benih (kg) 1996 1995/1996 1996 1996/1997 1997 1997/1998 1998 1998/1999 1999 1999/2000 21 7 7 4 18 8 16 5 9 15 29.47 6.15 12.90 10.60 18.90 10.70 36.79 7.62 41.68 43.73 159 42 32 109 33 141 385 23 195 169 560 470 510 199 062 707 234 225* 110* 447

Produktivitas benih kelas G4 di penangkar masih rendah, berkisar antara 3-13 ton per hektar, hal ini sangat jauh dari harapan, padahal biaya produksi untuk menghasilkan benih sangat tinggi, berkisar antara 50 60 juta rupiah/ha. Dengan biaya produksi tinggi dan produktivitas yang rendah, maka harga benih G4 untuk petani menjadi tinggi. Permasalahan : 1. Rendahnya produktivitas penangkaran di petani, karena teknologi perbenihan belum dikuasai. 2. Terbatasnya biaya permodalan untuk penangkaran benih sehingga pengelolaan penangkaran menjadi kurang optimal.

3. Terbatasnya lahan untuk penangkaran benih yang memenuhi persyarantan sertifikasi. 4. Meningkatnya harga sarana produksi, terutama sarana pengendalian seperti obat-obatan (pestisida) serta banyaknya peredaran pestisida palsu.

Penagkaran Benih Kentang


Penangkaran benih kentang dapat dilakukan oleh perorangan, kelompok, badan hukum, lembaga swasta maupun pemerintah yang telah memenuhi persyaratan, antara lain mempunyai pengetahuan dan kemampuan dalam perbenihan, mempunyai benih sumber yang jelas kualitasnya serta memiliki atau menguasai lahan dan gudang yang memenuhi persyaratan untuk sertifikasi. Luas penangkaran benih kentang di Jawa Barat dalam dua tahun terakhir ratarata 76 ha/tahun, dengan rata-rata produksi 704 ton/tahun. Jumlah ini masih jauh dari kebutuhan kentang di Jawa Barat yang mencapai 32 000 ton/tahun. Oleh karena itu perlu diperluas areal-areal penangkaran di daerah sentra produksi kentang di Jawa Barat. Adapun benih kentang G4 (label biru) pada bulan Juli 2000 telah tersedia dan siap salur sebanyak 309.277 ton, terdiri dari 136.047 ton di penangkar Pangalengan dan 109.546 ton di penangkar Cisurupan, Garut. Teknologi perbanyakan benih kentang bermutu di Jawa Barat dikembangkan dalam proyek JICA. Salah satu kegiatan dari proyek ini adalah pengembangan penangkaran benih kentang dengan membentuk kelompok-kelompok penangkar, diantaranya kelompok penangkar di Kabupaten Kuningan seluas 4.0 ha yang diharapkan produksinya dapat digunakan pada bulan Februari-Maret 2001.

Distribusi Benih Kentang


Sistem distribusi benih kentang yang berlaku saat ini, merupakan sistem yang diberlakukan sejak adanya proyek JICA (Gambar 4). Sampai saat ini sistem distribusi tersebut masih berjalan namun ada beberapa pendapat yang menyatakan bahwa sistem tersebut terlalu panjang dan hasil akhirnya sangat lambat. Pada saat ini

1 0

perkembangan benih kentang di luar sistem tersebut sudah sangat pesat dan perlu pemecahannya. Sebagai contoh : G0G1 merupakan benih sumber, yang sumbernya berasal dari breeder dan institusi yang berwenang adalah BBI atau badan/institusi yang dibebani akreditas. Namun kenyataan di lapangan sudah banyak badan/institusi/swasta yang menyalurkan G0/G1 ke tingkat petani. Sehingga perlu rambu-rambu khusus agar tidak merugikan bagi yang taat dan untuk melindungi konsumen (petani) dari kerugian yang disebabkan oleh benih. yaitu : BS FS FS SS SS ES ES BBI BBU/Penangkar Andalan Penangkar Petani

Gambar 3. Sistem Distribusi Benih Kentang di Indonesia. Saat ini di Jawa Barat terjadi permasalahan pada sistem distribusi yang bermula dari rendahnya harga kentang, sehingga tidak terserapnya benih G4 oleh petani yang selanjutnya menimbulkan masalah pada penyaluran benih G3 dari BBU dan G2 dari BBI. Benih G4 yang tidak bisa didistribusikan di Jawa Barat sampai saat ini berjumlah 373 676 ton, sedangkan benih G3 yang tersisa di BBU 22 ton. Permasalahan yang menyebabkan terjadinya situasi tersebut adalah : 1. Turunnya harga kentang konsumsi di pasaran sampai Rp 700/kg, sehingga banyak petani mengalami kerugian. 2. Banyak beredarnya benih impor di tingkat petani sehingga benih-benih produksi penangkar banyak yang tidak terserap.

1 1

3. Kurangnya informasi benih berlabel sehingga petani kesulitan mencai benih G4. Karena kurangnya informasi, petani merasakan harga benih G4 terlalu mahal karena persepsi label G4 sama dengan benih lokal. 4. Biaya operasional pembinaan ke tingkat petani sampai saat ini rendah, sehingga informasi benih kentang yang bersertifikat dapat langsung diterima oleh konsumen.

Harga Benih Kentang


Dalam rangka melindungi produsen dan konsumen perbenihan kentang di Jawa Barat, maka selain distribusi harus lancar diperlukan juga ketentuan harga. Oleh karena itu, sejak tahun 1996, harga benih kentang ditetapkan oleh Menteri Pertanian. Untuk memudahkan perubahan, selanjutnya harga benih kentang ditetapkan melalui SK Gubernur. Penetapan harga berpatokan pada perhitungan harga benih sebesar tiga kali harga konsumsi. Selanjutnya Dinas Pertanian membantu menetapkan harga berdasarkan ukuran benih dan kesepakatan.

Sertifikasi Benih Kentang (Abdurachman, 2000)


Dalam Undang-undang No. 12 tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman disebutkan bahwa benih bina yang akan diedarkan harus melalui sertifikasi dan memenuhi standar mutu yang telah ditetapkan. Benih bina yang telah lulus sertifikasinya wajib diberi label apabila akan diedarkan. Sertifikasi adalah suatu sistem dalam perbanyakan benih yang dilaksanakan dengan proses pemeriksaan di lapangan maupun pengujian laboratorium untuk mencapai tingkat kualitas benih sesuai dengan standar mutu yang telah ditetapkan. Penyelenggara/pelaksana sertifikasi adalah Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih Tanaman Pangan dan Hortikultura (BPSBTPH). Target mutu pada benih kentang adalah kesehatan benih (seed health) dan kebenaran varietasnya. Oleh karena itu persoalan pokok pada benih kentang adalah bagaimana agar benih kentang yang diproduksi itu sehat, bebas dari infeksi dan infestasi penyakit.

1 2

Benih kentang yang dipakai sekarang berupa organ vegetatif (umbi), sehingga sekalipun diperbanyak berkali-kali tidak akan terjadi perubahan secara genetis. Adapun kemerosotan (degenerasi) produksi yang terjadi pada setiap generasi benih kentang yang diperbanyak/ditanam secara terus menerus disebabkan oleh infestasi penyakit yang terakumulasi pada setiap generasi dan terus terbawa pada regenerasi benih. Penyakit yang kompeten dalam degenerasi produksi ini adalah virus. Semakin panjang generasi benih maka semakin besar tingkat infestasi virus pada generasi benih tersebut, sehingga produksinya semakin rendah. Oleh karena itu hanya benih yang sehat yang memiliki potensi produksi yang baik. Benih kentang bersertifikat merupakan benih terseleksi yang dihasilkan melalui serangkaian proses pemeriksaan menyeluruh terhadap faktor-faktor yang akan mempengaruhi mutu benih yang dihasilkan, yaitu tingkat infeksi dan infestasi penyakit, hama dan kerusakan fisik atau fisiologis lainnya serta campuran varietas lain yang mungkin ada. Pemeriksaan dilaksanakan mulai dari benih sumber yang ditanam, lokasi/lahan yang akan digunakan, pertanaman di lapangan dan umbi pasca panen di gudang. Setiap faktor yang diperiksa mempunyai angka toleransi yang disebut standar pemeriksaan. Apabila pada hasil pemeriksaan BPSBTPH terdapat salah satu faktor yang melebihi standar pemeriksaan, benih tersebut dinyatakan tidak lulus pemeriksaan dan tidak boleh diedarkan di pasaran karena tidak memenuhi standar mutu. Sebaliknya, benih yang lulus pemeriksaan akan diberi sertifikat dan setiap kemasannya diberi label. Dengan demikian, benih kentang yang telah berlabel ini terjamin kualitas dan kebenaran varietasnya. Pedoman Khusus Sertifikasi Benih Kentang Sertifikasi benih kentang di Indonesia saat ini berpedoman pada Keputusan Direktur Jenderal Tanaman Pangan dan Hortikultura No. I.H.K.050.2000.01 tanggal 19 Januari 2000 tentang Pedoman Khusus Sertifikasi Benih untuk Tiap-tiap Jenis Tanaman dan Petunjuk Pemeriksaan Lapangan untuk Sertifikasi Benih, yang isinya sebagai berikut :

1 3

9. Benih yang Ditanam Benih yang akan disertifikasi harus berasal dari Benih Penjenis, Benih Dasar, dan atau Benih Pokok. Untuk menghasilkan Benih Penjenis harus dapat melalui kultur in-vitro, planlet dan umbi mini yang diproduksi dalam laboratorium. Atau bahan tanaman seperti seperti stek tanaman dan umbi yang diproduksi melalui perlakuan khusus (seperti sterilisasi media/tanah, terisolasi/dalam screen house dan bebas dari pathogen. 35. Areal Sertifikasi 1. Areal sertifikasi adalah lahan/tanah yang harus dinyatakan dengan jelas batas-batasnya. 2. Satu areal sertifikasi dapat terdiri dari beberapa unit yang terpisah-pisah, tetapi jarak antara unit minimal 10 meter. 3. Dalam satu areal sertifikasi hanya dapat ditanam satu varietas dan satu kelas benih. 61. Persyaratan dan Prosedur Sertifikasi 1. Pemeriksaan Pendahuluan 1. Lahan untuk Sertifikasi Lahan/tanah yang akan digunakan untuk penangkaran adalah bebas tanaman lain, tanah berat dan tidak ditanam oleh tanaman satu famili minimal 1 tahun atau 3 musim tanam sebelumnya. 2. Benih Sumber Pemeriksaan benih sumber dilaksanakan dengan mengkonfirmasikan ke tempat asal benih didapat atau berdasar keterangan/label, rekomendasi dari Pemulia/ Breeder. 2. Isolasi Pertanaman kentang yang disertifikasi harus jelas terpisah dari pertanaman kentang lain atau familinya dengan jarak 10 meter. 3. Pemeriksaan Lapangan 1. Pemberitahuan pemeriksaan lapangan harus sudah

sampai

di

BPSBTPH

satu

minggu

sebelum

pemeriksaan.

1 4

2. Sebelum pemeriksaan lapang pemohon/ penangkar wajib memelihara tanaman dengan jalan melakukan kegiatan seperti seleksi (roguing), pembuangan tipe simpang, varietas lain, dll. 3. Metoda pemeriksaan lapangan dilakukan dengan mengambil contoh/ sample secara acak sebanyak 1000 tanaman dalam satu unit penangkaran. 4. Pemeriksaan lapangan pertama dilaksanakan 30 40 hari setelah tanam. 5. Pemeriksaan lapangan kedua dilakukan setelah tanaman berumur 40 50 hari. 6. Pemeriksaan ulang dapat diajukan bila areal penangkaran tidak memenuhi standar pemeriksaan dapat dengan syarat kondisi penangkar/ 4. Pemeriksaan Umbi 1. Waktu pemeriksaan dilakukan setelah panen, sortasi dan pembagian lot, sebelum pengepakan dan distribusi. 2. Metoda pemeriksaan umbi dilakukan dengan mengambil secara acak 1000 butir setiap lot. 3. Pemeriksaan akan dapat diajukan bila pemeriksaan umbi sebelumnya tidak memenuhi standar pemeriksaan dan berlaku hanya satu kali ulangan dengan syarat harus ada perbaikan kondisi umbi. 5. Sertifikasi dan Label 1. Sertifikasi diberikan kepada penangkar/produsen untuk setiap lot benih kentang yang lulus semua pemeriksaan. 2. Label diberikan untuk setiap kemasan berdasarkan jumlah benih kentang bersertifikat. 3. Warna label sesuai produsen memperbaiki

pertanaman/lapangan.

dengan kelas : - Putih untuk Benih Dasar - Ungu untuk Benih Pokok Biru untuk Benih Sebar

1 5

6. Standar Pemeriksaan a. Standar Pemeriksaan Lapangan No 1 2 3 4 5 Faktor Isolasi (min) Virus (max) Layu bakteri (max) Busuk daun dan penyakit lain (serangan berat) (max) Campuran varietas lain (max) Benih Benih Benih Dasar/ Pokok/ Sebar/ G2 G3 G4 10 m 10 m 10 m 0.1% 0.5% 2.0% 0.5% 1.0% 1.0% 10.0% 0.0% 10.0% 0.1% 10.0% 0.5%

1. Apabila pengelolaan lapangan tidak baik, seperti banyak volunteer, gulma yang menjadi sumber penyakit, dan aphid sebagai vektor virus yang tidak dikendalikan, maka lapangan akan ditolak untuk dilanjutkan pemeriksaannya. 2. Jila pemeriksaan tidak memungkinkan untuk dilaksanakan karena kerusakan mekanis pada daun, kerusakan berat oleh serangga, dan atau pertumbuhan tanaman yang merana, maka lapangan ditolak untuk dilanjutkan pemeriksaannya. 2. Standar Pemeriksaan Umbi Kentang No 1 2 3 4 5 6 Faktor Benih Benih Benih Dasar/ Pokok/ Sebar/ G2 G3 G4 7

0.3% Busuk coklat dan busuk lunak (max)

0.5%

0.5%

umbi (max) Nematoda bintil akar (infeksi ringan) (max) 5.0% Campuran varietas lain (max) Kerusakan mekanis dan 3.0% serangga atau hewan/ binatang 5.0% kecil (max) 3.0% 0.0% 3.0% 5.0% 0.1% 5.0%

Common Scab, Black Scurf, Powdery Scab, Late Blight (infeksi ringan) (max) Busuk kering (max) Kerusakan oleh penggerek

3.0% 1.0% 3.0%

1 6

Sertifikasi Benih Kentang di Belanda (Wattimena, 2000) Di Belanda, sertifikasi dilakukan oleh suatu badan swasta yaitu NAK (Dutch General Inspection Service for Agriculture Seed and Seed Potatoes). Di dalam NAK duduk wakil-wakil dari pemulia tanaman, petani kentang, dan pedagang benih. Setiap tahun dilakukan inspeksi seluas 37 500 ha kentang bibit yang menghasilkan 1 juta ton benih, melibatkan 3 000 petani dengan luas lahan antara 1.0 sampai 200 hektar (Van de Haar dalam Wattimena, 2000). Sistem sertifikasi benih kentang di negeri Belanda diawali dengan inspeksi lahan (bebas nematoda, Globodera rostochinensis), sistem perbanyakan benih, pertanaman dan hasil umbi.

Sistem Penyediaan Benih Bermutu (Wattimena, 2000)


Benih kentang bermutu tidak akan didapat dengan sistem sertifikasi yang dilakukan oleh BPSBTPH. Beberapa kelemahan dari sistem ini adalah sebagai berikut : 1. Sistem sertifikasi benih tersebut sulit untuk dilakukan secara baik di lapang. Penyakit-penyakit sistemik seperti virus dan bakteri tidak mudah terdeteksi pada tanaman di lapang maupun pada umbi tanpa pengujian laboratorium. 2. Benih kentang yang dipergunakan untuk bibit kentang produksi adalah benih G4. Benih G4 hampir seluruhnya sudah terkontaminasi virus kentang dan bakteri layu, bahkan pada benih G1 dan G2 pun tidak bebas kontaminasi (Suliansyah dalam Wattimena, 2000; Hakim dalam Wattimena, 2000). 3. Pusat produksi benih bersertifikat terletak di pusat produksi kentang dimana lingkungannya sudah tercemar dengan berbagai penyakit kentang. Pusat penghasil benih kentang di Indonesia adalah di Jawa Barat (Lembang, Pangalengan, dan Garut). Penyakit-penyakit kentang yang berbahaya dari Jawa Barat akan ditularkan ke daerah lain di Indonesia melalui benih kentang tersebut. 4. Vektor virus (Myzus persicae) berada di segala tempat dan sepanjang musim di Indonesia, hal ini tidak terjadi pada daerah beriklim sedang dan dingin. Wattimena (2000) mengemukakan pula bahwa kelemahan dari sistem

sertifikasi benih kentang BPSPBTPH dapat diatasi dengan produksi benih sertifikat

1 7

langsung dari umbi G1 yang berasal dari stek mini yang diproduksi dalam rumah plastik ketat serangga (screen house) (Gambar 3) Benih Asal dari Pemulia Tanaman Perbanyakan secara in Vitro

Laboratorium Kultur Jaringan Litbang, Universitas Swasta

Identifikasi Marka Molekuler (RFLPS, RAPDS, AFLPS, SSR, STMS, SCAR), Eliminasi Penyakit Koleksi Kultivar Teridentifikasi (KTPMolekuler) dan Bebas Penyakit Perbanyakan Masal secara in Vitro Badan Pengendalian Mutu

Perbanyakan Stek Mini dan Produksi Umbi G0 30-50 g Benih Bersertifikat Petani

Pengusaha Bibit G0, Litbang, Universitas Swasta, Kelompok Tani

Gambar 3. Sistem Produksi Benih Kentang Bermutu yang Dianjurkan untuk Indonesia (Wattimena, 2000)

1 8

Proses pada Gambar 4 adalah sebagai berikut : 1. Benih asal, berasal dari umbi yang diberikan oleh pemulia tanaman. 2. Umbi itu diperbanyak secara in vitro dan diadakan identifikasi secara molekuler. Marka molekuler yang dapat digunakan antara lain adalah : RFLPS (Restriction Fragment Length Polymorphism), RAPDS (Random Amplified Polymorphic DNA), AFLPS (Amplified Fragment Length Polymorphism), SSR (Simple Sequence Repeat), STMS (Sequence Target Microsatellite Site) atau SCAR (Sequence Characterized Amplified Region). Pilihlah marka molekuler yang dapat membedakan perbedaan yang kecil. Disamping itu diadakan pembebasan penyakit sistemik seperti virus kentang (PVA, PVM, PVS, PVX, PVY, PLRV) dan bakteri laten. 3. Koleksi dari kultivar-kultivar yang telah diidentifikasi secara molekuler dan diperbanyak secara masal serta ditransportasi dengan botol kultur atau dengan sistem TIAS (Tisu + Arang Sekam). Sistem TIAS adalah cara membungkus planlet dengan tisu yang diberi larutan pengawet, setiba di tempat pembibitan dipindahkan ke arang sekam sebagai induk untuk menghasilkan stek mini. Sistem ini dapat menjangkau seluruh pelosok di Indonesia dengan mudah dan murah. Perlu diperhatikan pada sistem TIAS agar suhu tidak melebihi 25 C selama transportasi (Wattimena dalam Wattimena, 1999) 4. Dari stek mikro dan stek mini diproduksi umbi mini G0 yang memenuhi standar bobot benih yang baik, yaitu 30 50 gram. Pada saat ini terdapat sekitar 20 pengusaha umbi mini G0 di Lembang, Pengalengan, dan Garut. Mereka memproduksi umbi mini G0 dengan ukuran 1-10 gram untuk selanjutnya diperbanyak untuk menghasilkan G2 sampai G4. Bobot umbi G0 30 50 gram dapat diperoleh dengan memperbesar jarak tanam, perbaikan media tumbuh dengan meningkatkan dosis pupuk organik, dan pemberian zat pengatur tumbuh Retardan (Wattimena dalam Wattimena, 2000).

1 9

Kesimpulan dan Saran


Kesimpulan 1. Penyediaan benih kentang bermutu sangat penting untuk meningkatkan produksi kentang di Indonesia. 2. Masih terdapat kelemahan dalam sistem perbenihan kentang di Indonesia, terutama dalam prosedur sertifikasi. Saran 1. Masalah-masalah yang dihadapi dalam produksi benih kentang di Indonesia, khususnya di Jawa Barat, perlu mendapat perhatian khusus dari berbagai pihak, termasuk kalangan perguruan tinggi, pemerintah, lembaga penelitian dan perusahaan swasta. 2. Prosedur sertifikasi benih kentang perlu diperbaiki agar mutu benih, khususnya kesehatan benih (seed health) menjadi lebih baik. Peningkatan mutu benih kentang lokal sangat diperlukan untuk menghindari ketergantungan akan impor benih.

2 0

Daftar Pustaka
Abdurachman, M. 2000. Sertifikasi benih kentang menjamin kebenaran kualitas benih. BPSBTPH I Propinsi Jawa Barat dan DKI Jakarta. Bandung. 4p. Anonim. 1999. Basisdata Statistik Pertanian. Departemen Pertanian Republik Indonesia. http://202.159.94.6/bdspweb/ f3.QueryProp.asp ______. 2000a. Pengalaman dalam bidang perbanyakan benih kentang bebas penyakit serta permasalahannya. Dinas Pertanian Tanaman Pangan Pemerintah Propinsi Jawa Barat. Bandung. 13p. ______. 2000b. Petunjuk Cara-Cara Perbanyakan Benih Kentang Bermutu Tinggi. Direktorat Jendral Hortikultura dan Aneka Tanaman Republik Indonesia. Development of High Quality Seed Potato. Multiplication System Project. Japan International Corporation Agency. 12p. Kuntjoro, A. S. 2000. Produksi Umbi Mini Kentang G0 Bebas Virus melalui Perbanyakan Planlet secara Kultur Jaringan di PT. Intidaya Agrolestari (Inagro) Bogor Jawa Barat. Skripsi. Jurusan Budi Daya Pertanian Fakultas Pertanian IPB. 62p. Wattimena, G. A. 2000. Pengembangan Propagul Kentang Bermutu dan Kultivar Kentang Unggul dalam Mendukung Peningkatan Produksi Kentang di Indonesia. Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Ilmu Hortikultura. Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. 86p. PDF to Word

You might also like