Eistemik Politik

You might also like

Download as doc, pdf, or txt
Download as doc, pdf, or txt
You are on page 1of 12

SITUS TENTANG PEMBAHASAN PERATURAN DAERAH

20-Feb-2002 >> Daftar Perda >> Kajian >> DAU >> Buku Tamu >> Perda Desa >> Draft Kembali
Utama Berikutnya >>
0:50 Revisi UU no 22/1999 >>

Epistemik Politik dan MAKALAH


Home Pelembagaan Local Good DAN
Menu Utama
Governance KAJIAN
Perda
Proses Perda Purwo Santoso
1. Posis Sektor
Daftar Perda Perkebunan dlm
Pencarian Perda
Reformasi politik di tingkat lokal adalah rangka Otda
2. Revisi UU
Perda Desa
Kajian & Analisis
imbas dari reformasi politik di tingkat Pemda
3. Otda dam
DAU
nasional. Sistem politik yang sentralistik Kondisi Fiskal
Berita Perda dikambinghitamkan sebagai biang keladi Indonesia
4. Kesepakatan
Buku Tamu terjadinya krisis politik dan ekonomi WTO VS
Pencarian yang terjadi, yang ditandai dengan Peningkatan PAD:
5. Sumbangan
Mailing List
olengnya kekuasaan presiden Suharto di Pihak Ketiga
pilih Perda Kepada
pertengahan tahun 1990-an. Turunnya Pemerintah
Presiden Suharto dari tampuk Daerah"
6. Epistemik Politik
Pilih Menu kepresidenan di republik ini menandai Dan Pelembagaan
bermulanya proses reformasi politik. Local Good
Governance
Agenda utama dalam reformasi tersebut 7. Format
Bernegara Menuju
adalah desentralisasi dan demokratisasi Masyarakat
penyelenggaraan pemerintahan. Kondisi Madani
8. Hubungan
ideal yang ingin dicapai oleh kedua alur Pemerintah Pusat
reformasi tersebut adalah terlembaganya Dan Daerah
9. Kemandirian
suatu good governance di semua Lokal: Upaya
Pemberdayaan
Pencarian Situs/ web powered by FreeFind tingkatan pemerintahan, yang berpilarkan Hak-Hak Sipil
prinsip demokrasi dan otonomi. 10. Optimalisasi
Fungsi DPRD:
Makalah ini berusaha untuk mencermati Penetapan Agenda
Site search proses reformasi ke arah tersebut dari Dan
Pengembangan
segi realisasi ide. Asumsinya adalah Kemitraan
Web search 11. Otonomi
bahwa reformasi ke arah itu justru harus Daerah Dan Free
dilakukan dengan mengacu-pada nilai- Internal Trade
12. Otonomi
nilai otonomi dan demokrasi itu sendiri. Daerah: Suatu
Jelasnya, demokratisasi mesti Tawaran Kerangka
Konseptual
berlangsung secara demokratis, dan 13. Catatan Kritis
Pelaksanaan
pengembangan otonomi daerah harus Otonomidi Tingkat
berpijak pada pemaknaan otonomi itu Desa Di Bali
14. Reformasi
sediri secara tepat. Konsep 'politik' dalam Hubungan
makalah ini digunakan dalam konteks Keuangan Pusat -
Daerah Menuju
perjuangan antar berbagai ide dan Otonomi Penuh
15. Tantangan
realisasinya dalam berbagai konteks, Domestik Dan
tanpa harus terjebak pada keterlibatan Internasional
DPRD
aktor-aktor yang selama ini memakai 16. Reorganisasi
atribut politik seperti partai politik atau Dan
Restrukturisasi
lembaga perwakilan rakyat. Pemerintah Daerah
Dlm Menyongsong
Ketika kita memaknai politik tidak hanya Pelaksanaan Otda
2001

terbatas pada peran aktor-aktor tersebut,


maka segera terlihat bahwa ada
kumunitas kecil yang sebetulnya
memegang peran kunci dalam
menentukan nasib publik, namun mereka
selama ini diasumsikan bersifat atau
berperan secara a-politis. Komunitas
kecil ini, dalam studi kebijakan, disebut
sebagai epistemic community (komunitas
epistemik).1 Istilah politik epistemik
dalam makalah ini merujuk pada kiprah
politik komunitas ini dalam menyediakan
ide-ide perubahan, khususnya seputar
pemaknaan dan penjabaran reformasi ke
arah terlembaganya good governance.

Berhubung issue yang dibahas dalam


makalah ini senantiasa melibatkan
konsep-konsep, maka makalah ini tidak
sepenuhnya bersifat empirik.
Sungguhpun demikian, penyajiannya
diupayakan se-empirik mungkin.
Ilustrasi-ilustrai yang yang dirujuk di
sana sini sepanjang pembahasan makalah
ini kebanyakan diambil dari hasil
sementara dari penelitian yang dilakukan
di Wonogiri, Jawa Tengah. Ketika
presentasi makalah ini dilakukan,
penelitian ini belum selesai.

Good Governance Sebagai Agenda


Reformasi.

Semangat reformasi politik yang mulai


bergulir di Indonesia sejak tahun 1997
adalah pembalikan karakteristik tatanan
politik yang telah terpola selama
beberapa dekade. Sentralisme
penyelenggaraan pemerintahan ingin
dibalik menjadi tatanan yang
desentralistik, dan otoritarianisme ingin
dibalik menjadi tatanan pemerintahan
yang demokratis. Regime kesemena-
menaan penguasa ingin diganti dengan
regime pemihakan terhadap rakyat.
Meskipun kenginan untuk melakukan
perubahan ke arah tersebut telah meluas,
perubahan itu sendiri tidak bisa berjalan
dengan sendirinya. Perubahan tersebut
hanya bisa difahami sebagai hasil tarik
ulur antara para pelaku politik utama. Hal
ini sangat jelas terlihat kalau kita fahami
proses reformasi dari kerangka berfikir
transisi menuju demokrasi.2

Reformasi ini tidak bisa diprogram secara


teknokratik oleh pemerintah.
Persoalannya, dalam banyak hal, justru
ada pada pemerintah itu sendiri. Terlepas
dari persoalan seberapa mendalam
perubahan telah terjadi, yang jelas, begitu
kata Satjipto Rahardjo, panoramanya
sudah berubah.3 Pada tataran formal
berubahan sudah mulai merebak, namun
pada tataran substantif perubahan masih
belum signifikan. Adanya persoalan tarik
ulur ini menjelaskan mengapa yang
terjadi adalah reformasi setengah hati.4

Masyarakat menaruh harapan besar


terhadap reformasi politik di tingkat
lokal. Tantangan untuk mewujudkan
sangatlah berat karena dua aras
perubahan ingin direngkuh dalam "sekali
dayung". Desentralisasi sedikit banyak
menghasilkan keterkejutan pemerintah
daerah mengingat selama ini tidak pernah
merasakan bagaimana memiliki otonomi.
Keterkejutan ini akan diperparah oleh
tuntutan agar kekuasaan luas yang baru
diterimanya tidak menghidupkan
otoritarianisme di tingkat lokal.

Dambaan bagi terlembaganya suatu


penyelenggaraan pemerintahan yang baik
(local good governanve) mengedepan
bersamaan dengan melimpahnya caci-
maki penyelenggaraan pemerintahan
yang sentralistik dan otoriter yang
dipraktekkan semasa kepemimpinan
Presiden Suharto. Ukuran yang populer
saat ini untuk melihat baik tidaknya
penyelenggaraan pemerintahan
dirumuskan berdasarkan idealitas
'otonomi' dan 'demokrasi'. Makalah ini
akan juga menggunakan kerangka
pemikiran yang populer ini, namun perlu
untuk mendudukkan bahwa pada masa
kejayaan pemerintahan Suharto, pola
penyelenggaraan pemerintahan yang
dilembagakan saat itu, adalah pola yang
dianggap terbaik.

Jargon good governance memang baru


belakangan ini memperoleh popularitas,
namun bukan berarti bahwa Presiden
Suharto tidak memiliki konsep
penyelenggaraan pemerintahan yang
baik. Persoalannya, adalah apa yang
waktu itu difahami sebagai good
governanve kini sudang dianggap sebagai
pola yang usang. Singkat kata, reformasi
politik di tingkat lokal melibatkan proses
penting yang tidak mudah dilihat, yakni
melakukan pemaknaan ulang terhadap
konsep tentang penyelenggaraan
pemerintahan. Sehubungan dengan hal
ini, ada beberapa hal penting yang perlu
di catat.

Pertama, konsep penyelenggaraan


pemerintahan sudah bersifat build in pada
benak dan ketentuan-ketentuan
penyelenggaraan pemerintahan.
Sungguhpun demikian, bukan berarti
bahwa konsep-konsep yang ada bisa
dijalankan dengan baik. Problema
penyelenggaraan pemerintahan di masa
Orde Baru, pada dasarnya bukan semata
berakar pada kualitas konsepnya semata,
melainkan juga pada ketidakmampuan
merealisasikan konsep-konsep tersebut.

Kedua, sementara makna good


governanve versi lama sudah jauh
kehilangan popularitas, pemaknaan
konsep good governance dalam versi
baru masih simpang siur. Bias
pemaknaan konsep good governance ini
menjadi sulit dielakkan manakala konsep
'good governance' itu sendiri sebetulnya,
secara praktis, diperankan sebagai stigma
untuk mende-legitimasikan sentralisme
dan otoritarianisme yang terlembaga
pada era Orde Baru. Peran stigmatik
konsep good governance sebetulnya tidak
bisa dipisahkan dari sangat derasnya arus
perwacanaan dalam kerangka berfikir
yang neo-liberal, yang pada dasarnya
tigak terlampau setuju dengan adanya
peran sentral negara.

Ketiga, pemaknaan konsep good


governance saat ini terjadi dalam suasana
dimana hegemoni wacana yang berakar
pada liberalisme terlihat sangat kental.
Liberalisme difahami sebagai pintu
pendobrak otoritarianisme, namun masih
menjadi pertanyaan besar apakah hal itu
akan terlembaga. Dalam suasana dimana
hegemoni faham liberal di era reformasi
ini sangat kuat, ukuran bagi baik
buruknya penyelenggaraan pemerintahan
bisa bergeser dari otonomi dan
demokrasi, menjadi liberal atau tidak.
Pola good governanve a la liberal
mungkin bisa terlembaga kalau
masyarakat dan pejabat sama-sama
sepenuh hati meliberalkan diri.
Kecenderungan yang terjadi adalah
sabotasi terhadap liberalisme dalam arti
bahwa masyarakat mau enaknya
memiliki kebebasan, namun tidak mau
menanggung persyarakat-persyaratan
untuk tegaknya sistem yang liberal itu.
Sebagai contoh, maraknya demostrasi
adalah pertanda dari pemanfaatan secara
baik iklim politik liberal, namun
penghargaan terhadap hak orang lain
tidak dilindungi tatkala melakukan hal
itu.

Reformasi, dalam dirinya mensiratkan


arti penting ide-ide baru. Kalau point-
point tersebut di atas dicermati,
penentuan arah reformasi
penyelenggaraan pemerintahan
melibatkan suatu proses pertarungan ide.
Pertarungan itu terjadi melalui berbagai
bentuk pembingkaian alur wacana.
Dalam konteks inilah makalah ini
berbicara tentang politik epistemik.
Persoalannya, bukan hanya apa dan siapa
yang mengutarakan ide-ide, tetapi juga
bagaimana ide-ide tersebut diperankan
dalam proses reformasi. Aktor yang
terlibat dalam politik ide ini memang
tidak terbatas pada organ-organ yang
secara sempit didefinisikan lembaga-
lembaga politik (seperti partai-partai
politik, DPR dan kepala daerah) namun
juga organ-organ yang semala ini
"berkelit" untuk diidentifikasi sebagai
aktor politik, seperti yakni universitas,
pusat-pusat pengkajian, assosiasi
keilmuan dan sebagainya.

Dari regime ke regime, universitas dan


berbagai organ epistemik lainnya
memiliki peranan besar dalam
pembingkaian makna konsep-konsep
yang terkait dengan penyelenggaraan
pemerintahan. Dalam kerangka ini,
universitas berikut para ahli yang ada di
dalamnya, di satu sisi memperlihatkan
kepedulian terhadap lingkungannya, di
sisi lain, berpeluang untuk menggiring
terjadinya bias bagi penyelenggaraan
pemerintahan. Contoh yang menarik
adalah pemaknaan konsep otonomi.
Dalam tradisi keilmuan administrasi
negara, otonomi daerah dimaknai sebagai
pemberian kewenangan oleh pemerintah
pusat kepada pemerintah daerah. Dari
cara pandang administratif ini, "pemilik"
otonomi adalah pemerintah daerah.
Otonomi daerah, dengan demikian, tidak
ada sangkut pautnya dengan kemandirian
masyarakat. Sekiranya konsep yang bias
admimistratif yang dikembangkan oleh
universitas ini ternyata justru
menghambat pelembagaan otonomi
daerah, tentunya universitas harus
dimintai pertanggung jawaban. Disini
kita temukan suatu ironi. Dari kerangkan
berfikir institusionalistik universitas dan
lembaga sejenis memiliki peran besar
dalam mendisain atau membubarkan
suatu konsep, namun lembaga-lembaga
ini terbebas dari akuntabilitas. Dengan
berlindung di balik label 'ilmiah' atau
'temuan obyektif' mereka bisa melakukan
dua hal. Pertama, secara leluasa untuk
mengusulkan dan merancang disain-
disain perubahan. Kedua, terbebas dari
pertanggung jawaban politis terhadap
implikasi dari perubahan yang
dirancangnya.

Kasus: pemaknaan 'kemandirian'. Dalam


rangka mengkaji peranan teknokrasi
dalam formula pengembangan otonomi
daerah, penulis melakukan serangkaian
wawancara dengan para aktor politik
lokal di Wonogiri. Hasil wawancara
dengan Bupati bisa dijadikan sebagai
ilustrasi bagaimana bias keilmuan para
pejabat, memiliki implikasi praktis dalam
pelembagaan pola penyelenggaraan
pemerintahan.
Keterlibatan Bupati sebagai peserta
program Magister Administrasi Publik di
UGM, memberikan jaminan bahwa
beliau kenal betul dengan berbagai
konsep yang terkait dengan pola
penyelenggaraan pemerintahan. Dalam
kaitan ini, internalisasi teori-teori
administrasi negara dengan mudah
ditunjukkan. Point yang ingin
ditunjukkan dalam ilustrasi ini adalah
adanya reproduksi bias pemaknaan
otonomi daerah sebagai akibat dari
internalisasi teori administrasi negara
tentang otonomi. Posisi Bupati sengaja
dipilih untuk menggarisbawahi bahwa
ketika reproduksi bias ini terjadi dalam
proses birokrasi yang bersifat hierarkhis
dan struktural, maka bias yang dihasilkan
juga bersifat struktural.

Bias tersebut terlihat dari "kepatuhan"


terhadap kerangka berfikir administratif
bahwa otonomi daerah adalah persoalan
otonomi pemerintah daerah, dan tidak
ada sangkut pautnya dengan otonomi
masyarakat. Hal ini terlihat dari cara
Bupati memaknai konsep pemberdayaan.
Mnurut Bupati pemberdayaan ini
maknanya tidak lain adalah peningkatan
pendapatan masyarakat. Konsep yang
sangat sarat dengan nuansa politis ini
ternyata direduksi sedemikian jauh.
Konsep 'pemberdayaan masyarakat' pada
gilirannya berperan sebagai cara baru
untuk memaknai arti penting peningkatan
pendapatan dalam penyelenggaraan
pemerintahan. Sebaliknya, keberanian
masyarakat untuk berdemonstrasi
difahami oleh sang Bupati sebagai
tambahan kerumitan masalah,
sebagaimana difahami oleh para
penguasa Orde Baru. Perbedaannya,
kalau di masa lalu toleransi terhadap hal
itu sangat sempit, kini toleransinya
sangat lebar. Sekali lagi, jargon-jargon
baru ternyata berperan sebagai cara baru
untuk menggambarkan idealitas lama.
Keberanian masyarakat untuk menuntut
hak-haknya, atau mengekspresikan
kekecewaannya, tidak difahami sebagai
ungkapan otonomi masyarakat yang pada
gilirannya merupakan elemen penting
untuk mengembangkan pola
penyelenggaraan pemerintahan yang
baik.
Politik Epistemik

Sehubungan dengan sentralitas


pemaknaan kata-kata kunci yang terkait
dengan pelembagaan good governance,
makalah ini berusaha untuk
menyorotinya dari segi keterlibatan para
ahli. Mereka, selama era Orde Baru, telah
memerankan diri sebagai tulang
punggung bagi sentralisasikekuasaan dan
pelembagaan otoritarianisme. Di era
desentralisasi dan pengembangan
demokrasi di tingkat lokal sekarang ini,
terlihat betul kehausan pemerintah lokal
akan peran tanaga ahli tersebut.
Menyusul digulirkannya kebijakan
otonomi daerah, segeralah mengedepan
berbagai bentuk permintaan agar
kalangan universitas, dan berbagai
simpul pengembangan ilmu pengetahuan
lainnya, memfasilitasi aktualisasikan
otonomi daerah.

Keterlibatan universitas dan berbagai


lembaga pengembangan keilmuan
lainnya dalam memfasilitasi proses
aktualisasi otonomi dan demokratisasi,
meskipun dilakukan sekedar untuk
merespon tuntutan-tuntutan yang
berkembang, pada dasarnya adalah
keterlibatan politis. Universitas, dalam
kaitan ini, diharapkan berperan sebagai
sendi reformasi. Karena basis kiprah
politiknya adalah penguasaan ilmu
pengetahuan dan teknologi, maka
nuansanya adalah politik epistemik.

--------------------------------------------------
--------------------------------------------------
-------------------------
* Disampaikan dalam Seminar
Internasional Dinamika Politik Lokal di
Indonesia: Perubahan, tantangan dan
Harapan, diselenggarakan oleh Yayasan
Percik di Yogyakarta, 3-7 Juli 2000.
Dalam penyiapan makalah ini, Mada
Sukmajati sangat membantu. Untuk itu
disampaikan terima kasih. Tanggung
jawab tentang isi makalah ini, tentu saja
ada pada penulis.
+ Staf pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Polik Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta.
1 Konsep epistemis community mula-
mula dipakai dalam kajian hubungan
internasional, merujuk pada sebuah
komunitas yang berisikan figur-figur
yang memiliki basis keilmuan tinggi dan
terlibat dalam policy-making dengan
basis tersebut. Mereka tidak secara
eksplisit duduk dalam struktur formal
lembaga pengambil kebijakan, namun
peran mereka dalam menentukan
substansi kebijakan, sangat tinggi. Lihal
..... .... ...... ........ ........ ....... ......
2 Potter, David; 1997, "Explaining
Democratization", dalam Potter, David,
David Goldblatt, Margaret Kiloh dan
Paul Lewis (eds.), Democratization,
Polity Press in association with The Open
University, Cambridge. Lihat juga,
Huntington, Samuel P.; 1991-1992, "How
Countries Democratize", Political
Science Quarterly, Vol. 106, No. 4.
3 Rahardjo, Satjipto; 1999, "Panorama
Sudah Berubah", dalam Parera, Frans dan
T. Jakob Koekerits, Demokrasi dan
Otonomi: Mencegah Disintegrasi
Bangsa, Penerbit Kompas, Jakarta.
4 Haris, Syamsuddin; 1999, Reformasi
Setengah Hati, Penerbit Erlangga, Jakarta
--------------------------------------------------
--------------------------------------------------
---------------------------
DAFTAR PUSTAKA
BAPPENAS; 2000, Bahan diskusi
Seminar Program Pembangunan Nasional
(POPENAS), Yogyakarta, 25 April 2000.
Chandhoke, Neera; 1995, State and Civil
Society: Exploration in Political Theory,
Sage, London.
Chekoway, Barry; "Paul Davidoff and
Advovacy Planning in Retrospect",
Journal of American Planning
Association, vol. 60, no 2.
Dunsire, Andrew; 1993, "Modes of
Governance", dalam Kooiman, Jan (ed.),
Modern Governance: New Government-
Society Interactions, Sage, London.
Fischer, Frank; 1990, Technocracy and
the Politics of Expoertise, Sage
Publication, Newbury Park.
Hadad, Ismid; 1984, "Yang Ahli dan
Yang Berkuasa", dalam Prisma 3, Maret
1984.
Hall, John A (ed.); 1995. Civil Society:
Theory, History, Comparison, Polity
Press, Cambrdige.
Haris, Syamsuddin; 1999, Reformasi
Setengah Hati, Penerbit Erlangga,
Jakarta.
Huntington, Samuel P.; 1991-1992, "How
Countries Democratize", Political
Science Quarterly, Vol. 106, No. 4.
Kleden, Ignas; 1984, "Model Rasionalitas
Teknokrasi", dalam Prisma 3, Maret
1984.
Milne, R.S.; 1984, "Teknokrat dan Politik
di Negara-negara Asia Tenggara", dalam
Prisma 3, Maret 1984.
Mulgan, Geoff; 1994, Politics in an
Antipolitical Age, Polity Press,
Cambridge.
Potter, David; 1997, "Explaining
Democratization", dalam Potter, David,
David Goldblatt, Margaret Kiloh dan
Paul Lewis (eds.), Democratization,
Polity Press in association with The Open
University, Cambridge.
Rahardjo, Dawam; 1984, "Teknokrasi:
Dari Gerakan Sosial ke Dominasi Tekno-
Ekonomi", Prisma 3, Maret 1984.
Rahardjo, Satjipto; 1999, "Panorama
Sudah Berubah", dalam Parera, Frans dan
T. Jakob Koekerits, Demokrasi dan
Otonomi: Mencegah Disintegrasi
Bangsa, Penerbit Kompas, Jakarta.
Rhodes, R.A.W; 1996, "The New
Governance: Governing without
Government", Political Studies, vol. 44,
No. 4, September 1996.
Santoso, Purwo; 1999, The Politics of
Environmental Policy-making in
Indonesia: Study of State Capacity, 1967-
1994, Ph.D thesis, London School of
Economics and Political Science.
Saward, Michael; 1998, The Terms of
Democracy, Polity Press, Cambridge.
Self, Peter, 1993, Government by the
Market: The Politics of Public Choice,
MacMillan, London.
Simanjuntak, Marsillam; 1994,
Pandangan Negara Integralistik, Grafiti,
Jakarta.
Surbakti, Ramlan A; 1984, "Teknokrasi
dan Proses Politik", dalam Prisma 3,
Maret 1984.
The World Bank; 1994, Governance: The
World Bank's Experience, The World
Bank, Washington.

Epistemik Politik dan Pelembagaan


Local Good Governance

Untuk kepentingan pembelaan hak-hak rakyat dan kebijakan lingkungan hidup yang berkeadilan dan berkelanjutan, maka
memperbanyak,
meng-copy dan segala cara penggandaannya dipersilakan saja tanpa perlu meminta izin terlebih dahulu, asal menyebutkan
sumbernya secara lengkap.
Didesain dan dikerjakan sendiri oleh Ari Syarifudin (www.akuari.com)
Belum ada hak cipta. MILIK PUBLIK. tahun 2002

You might also like