Yahukimo Laporan Investigasi Jurnalistik - Foker LSM Papua

You might also like

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 29

BENCANA KELAPARAN & KEHIDUPAN DI YAHUKIMO :

"KWANING KUME!"
(Tidak Ada Ubi Jalar)
LAPORAN INVESTIGASI JURNALISTIK, 2009

Tim Peneliti:
VIKTOR MAMBOR
FOKER LSM PAPUA

NGO in Special Consultative Status with the Economic and Social Council of the United Nations
LAPORAN INVESTIGASI JURNALISTIK
BENCANA KELAPARAN & KEHIDUPAN DI YAHUKIMO :
"KWANING KUME!"
(Tidak Ada Ubi Jalar)

Oleh

VIKTOR MAMBOR
FOKER LSM PAPUA
DAFTAR ISI

NO JUDUL HAL

1. “Musim Gugur” Di Langda 1

2. “Tali Poro Tra Ada Isi” 5

3. Kantor Pemerintah, Hanya Tinggal “Kepala” Saja 9

4. Kepala Suku Kitikni : “Pejabat Yahukimo Takut Tertular Penyakit” 13

5. Kwaning Kume 17

6. Anak-Anak Bomela, Makan Tiga Hari Sekali 22


1. “Musim Gugur” Di Langda
JUBI - Nuansa krisis pangan yang belakangan disebut sebagai kelaparan di
Yahukimo terlihat sangat kental. Sekalipun fisik orang-orang kampung
tersebut terlihat prima, namun raut wajah masyarakat kampung tersebut
tidak bisa menyembunyikan kesulitan yang sedang mereka hadapi.

“Selama bulan April sampai November, kami seperti ini sudah. Kwaning
Kume! Hujan turun terus sampai kami pu kebun basah sekali. Setiap tahun
memang seperti ini, tapi “Musim Gugur” sekarang lebih parah daripada
“Musim Gugur” tahun-tahun sebelumnya. Banyak yang mati tahun ini karena
kekurangan makanan.” kata Ayub Balyo, pendeta yang sudah melayani di
Distrik Langda dari tahun 1991.

Pernyataan Ayub Balyo ini dibenarkan oleh masyarakat Langda lainnya.


Menurut sebagian besar masyarakat yang ditemui Jubi, selama bulan April
hingga Oktober setiap tahun, Langda akan selalu diguyuri hujan setiap hari.
Selama bulan ini pula tanah di Langda akan sangat basah sehingga sulit
untuk tanaman di kebun bisa berproses dengan baik untuk menghasilkan
umbi seperti pada bulan Desember hingga Mei . Selain itu, curah hujan yang
tinggi ini juga mengancam kebun-kebun yang terletak di lereng gunung atau
tebing. Jika sangat basah, maka kebun-kebun tersebut akan hilang ditelan
longsor. Periode April hingga Oktober – November inilah yang disebut oleh
masyarakat Langda sebagai “Musim Gugur”.

“Kalau bapak lihat dari atas, banyak tanah yang longsor. Itu baru-baru saja
waktu “Musim Gugur” tahun ini . Banyak kebun yang hilang. Jadi masyarakat
cari tempat lain untuk bikin kebun lagi.” lanjut Ayub Balyo.

Berbeda dengan pemahaman masyarakat kota pada Musim Gugur di negara-


negara empat musim, “musim gugur” di Langda ini justru memberikan
kesempatan pada dedaunan tumbuhan disana mengalami masa terbaiknya
setiap tahun. Tanaman di setiap kebun akan rimbun tertutupi daun.
Demikian juga dengan hutan-hutan disekitar Langda. Lereng-lereng bukit
akan dipenuhi rumput. Namun hanya daunnya saja yang terlihat subur. Pada
tanaman umbi-umbian seperti Keladi, Singkong maupun Ubi Jalar tidak akan
menghasilkan umbi yang sempurna sebagaimana di periode Desember
hingga Mei – Juni. Tanaman seperti Kelapa Hutan juga tidak akan berbuah.
Berharap Buah Merah? Letak Langda yang cukup tinggi membuat Buah
Merah cukup sulit tumbuh di Langda. Praktis hanya sayur-sayuran yang bisa
tumbuh dengan baik pada periode “Musim Gugur” ini. Tanaman lainnya yang
biasa dikonsumsi masyarakat yang bisa bertahan hanyalah tebu dan pisang.

Curah hujan yang sangat tinggi selama periode ini memang tidak sampai
menggenangi kebun masyarakat setempat. Hal ini bisa jadi karena struktur
tanah di Langda yang lebih mendekati struktur tanah lempung dan juga
kemiringan kebun masyarakat yang curam. Tapi curah hujan yang tinggi

-1-
selama periode ini bisa jadi telah membuat tanaman di kebun maupun hutan
kekurangan unsur hara. Struktur tanah di Langda menyebabkan kandungan
air di tanah lambat untuk berkurang. Dalam berbagai kajian tentang
hubungan tanah dan air, tanah-tanah yang biasa mendapatkan curah hujan
tinggi, biasanya rawan terhadap kerusakan struktur tanah. Juga
mengakibatkan daya rekat agregat lemah, penurunan potensial redoks,
peningkatan pH tanah masam, penurunan pH tanah basa, hingga perubahan
keseimbangan hara. Kondisi ini akan menyebabkan kematian akar di
kedalaman tertentu dan hal ini akan memacu pembentukan akar adventif
pada bagian di dekat permukaan tanah. Kajian-kajian ini setidaknya bisa
menjelaskan mengapa tanaman umbi-umbian di Langda tidak bisa
menghasilkan umbi yang baik selama periode “Musim Gugur” ini, bahkan
membusuk.

“Ya kalau “Musim Gugur” seperti ini, kami hanya makan sayur-sayur hutan,
Daun Paku, Tunas Kelapa Hutan, Sayur Lilin, Labu Siam, Daun Gedi atau
Daun Ubi saja. Tidak ada ubi atau keladi yang bisa kami makan. Banyak
yang busuk atau tidak ada isinya. Paling kami bisa makan pisang muda yang
kami bakar.” terang Bani Nabyal, warga setempat yang selama ini
membantu mengajar anak-anak SD Langda.

Pengamatan Jubi pada kebun-kebun masyarakat setempat membenarkan


apa yang disampaikan oleh Bani Nabyal. Meskipun ubi jalar terlihat subur
tumbuhnya dan sudah saatnya di ambil umbinya, tapi saat digali, tidak ada
isinya sama sekali. Yang ada hanya akar sebesar jari kelingking atau sapu
lidi. Jika ada yang sedikit besar, paling hanya satu dua umbi dari satu
rumpun ubi jalar. Demikian juga halnya dengan Keladi, tidak ada umbinya
sama sekali.

Selama “Musim Gugur” ini, pola makan masyarakat Langda berubah. Jika
biasanya mereka makan sebelum berangkat ke kebun, kemudian siang hari
makan di kebun dan selanjutnya makan ketika kembali dari kebun maka saat
“Musim Gugur” ini masyarakat hanya makan satu hari sekali atau bahkan 3
hari sekali. Makanan yang adapun diprioritaskan bagi anak-anak.

Simon Maling, seorang anak SMP Langda mengakui bahwa dia hanya makan
sekali sehari, yakni di sore hari setelah ia pulang dari kebun. Itupun jika dia
bisa membawa pulang sayur atau daun-daun di kebunnya untuk dimakan.
Kalau tidak ada yang bisa ia bawa pulang, Simon harus menunggu sampai
keesokan harinya ketika ia bisa mendapatkan sesuatu di hutan yang menjadi
milik keluarganya. Dan Simonpun harus belajar di sekolah dengan perut
kosong. Simon hanyalah satu dari 43 siswa SMP Langda dan 143 siswa SD
Langda yang mengalami hal yang sama.

Pengakuan Ibu Yohana Kipka, yang membantu memasak untuk Jubi lebih
mencengangkan lagi. Ibu yang sedang hamil anak ke empatnya ini saat ini
tinggal sendiri mengurus anak-anaknya. Suaminya sedang sakit dan sudah
lebih dari enam bulan berada di Wamena. Karena ia bukan orang asli

-2-
kampung Langda melainkan dari kampung Alirji (sekitar 7 jam perjalanan
dari Langda) maka ia tidak punya kebun di Langda. Hidupnya dengan ketiga
anaknya tergantung dari orang-orang yang datang ke Langda dan tinggal di
rumah Klasis GJPI Langda karena ia bertugas memasak untuk tamu-tamu
rumah tamu klasis. Namun tidak setiap bulan ada yang datang ke Langda.
Paling hanya pilot yang terjebak kabut sehingga tidak bisa kembali ke
Wamena atau Dekai dan Sentani, Pelayan Jemaat atau turis. Paling banyak
dalam setahun hanya ada 3 sampai 5 kali orang yang berkunjung ke Langda.

“Bapak datang ini baru saya dengan anak-anak bisa makan. Kalau tidak ada
yang datang, saya tunggu sampe ada yang datang panggil saya bantu
mereka di kebun. Nanti mereka kasih ijin saya ambil daun-daun dan kayu
bakar di mereka punya kebun. Kalau tidak ada yang datang panggil saya,
baru saya lihat apa yang ada di sekitar rumah yang bisa dimakan.” Kata
Yohana. Yohana sendiri berencana jika kehamilannya sudah mencapai bulan
kedelapan, ia akan berjalan kaki bersama anak-anaknya yang berusia 10
tahun, 5 tahun dan 3 tahun ke kampungnya di Alirji untuk melahirkan di
sana. Perjalanan ke Alirji ini meurut Yohana bisa mencapai 9-12 jam.

“Di sini kami perempuan melahirkan sendiri. Biasa dibantu oleh keluarga
saja. Jadi saya harus pulang ke kampung sendiri untuk melahirkan di sana.
Saya tidak punya keluarga di Langda.” Terang Yohana mengenai alasannya
pulang ke kampungnya untuk melahirkan.

Masyarakat Langda juga menyesalkan polemik yang muncul setelah krisis


pangan di Yahukimo mencuat bulan Agustus lalu. Terutama mengenai
pernyataan para pejabat Papua yang seolah-olah menyangsikan adanya
krisis pangan di kampung mereka.

“Ya, Sekretaris Daerah pernah datang ke Langda setelah kasus ini dilaporkan
oleh Yakpesmi. Tapi mereka cuma sampai lapangan terbang saja. Tidak lihat
sampai di kampung-kampung. Bagaimana mereka bisa tahu situasi
sebenarnya kalau hanya satu jam saja putar-putar di lapangan terbang terus
pergi lagi?” jelas Petrus Balyo.

Ayub Balyo menambahkan, “Setiap tahun kami mengalami hal seperti ini.
Tapi kami diam saja. Baru kali ini kami menyampaikan masalah yang kami
hadapi karena kondisi yang memang lebih parah dari tahun-tahun
sebelumnya. Untuk apa kami tipu?”

Langda, kampung di atas awan ini memang sedang dalam musibah tahun ini.
Bukan seperti tahun-tahun sebelumnya, dimana masyarakat setempat bisa
bertahan terhadap krisis pangan yang terjadi, tahun ini Langda
membutuhkan perhatian lebih. Bagaimana dengan tahun-tahun selanjutnya?
Apakah masyarakat Langda akan mengalami hal yang sama? Bantuan beras
1,4 ton dari 3 ton yang dijanjikan sebagai bantuan sudah di drop oleh
pemerintah kabupaten Yahukimo. Namun tentunya ini tidak akan menjawab
persoalan krisis pangan ini. Ada lebih dari 6000 penduduk Langda dari 12
Kampung di distrik tersebut. Jika beras 3 ton ini dibagikan kepada setiap

-3-
kampung, maka masing-masing kampung akan mendapat 250 Kg. Ini sama
saja dengan 0,5 Kg beras untuk setiap orang. Satu haripun habis.
Selanjutnya bagaimana? Apakah Simon Maling harus kembali ke sekolah
dengan perut kosong? Atau Yohana Kipka harus menunggu hingga ada pilot
yang terjebak kabut di Langda lagi?

Masyarakat Langda telah membuktikan diri mereka bisa bertahan terhadap


krisis pangan dari tahun ke tahun. Tapi tetap saja “Musim Gugur” adalah
sumber malapetaka bagi masyarakat yang hidup di atas awan ini. Bantuan
tanggap darurat seperti Bahan Makanan memang perlu, namun bagaimana
cara mengurangi resiko yang terjadi selama “Musim Gugur” di Langda
tampaknya juga dibutuhkan oleh masyarakat Langda.

*** Victor Mambor ***

-4-
2. “Tali Poro Tra Ada Isi”
Sebelum tahun 1963, saat pos Landikma dibuka oleh misionaris, masyarakat
Una Ukam sudah menjalani hidup dalam kerasnya cuaca pegunungan
Jayawijaya. Periode “musim gugur” sudah menjadi keseharian mereka.
Tercatat, pada tahun 1976 terjadi gempa bumi dahsyat si Langda. Kemudian
pada tahun 1983, masyarakat Nipsan mengalami krisis pangan yang cukup
parah. Selanjutnya, pada tahun 1997 terjadi kemarau panjang yang
membuat masyarakat sekitar Langda dan Bomela mengalami krisis pangan
dan juga air bersih. Beberapa orang yang sudah hidup sejak zaman sebelum
injil masuk menjadi saksi bagaimana masyarakat Una Ukam berkali-kali
dihadapkan pada situasi seperti tahun ini.

Namun mendapatkan pandangan para orang tua-tua di Langda mengenai


krisis pangan yang sedang dihadapi bukanlah hal mudah. Sebagian besar
masyarakat Langda yang lahir sebelum tahun 1973 (tahun misionaris masuk
pertama kalinya ke Langda) tidak tahu berapa umur mereka. Kita hanya bisa
menduga umur orang tua-tua di Langda dari fisik mereka. Rata-rata
masyarakat Langda yang sudah berkeluarga sebelum tahun 1973 masih
memelihara janggut mereka. Janggut tebal dan rambut mereka yang mulai
memutih adalah perbedaan yang paling menonjol antara masyarakat Langda
yang sudah berkeluarga sebelum tahun 1973 dengan masyarakat Langda
yang masih berusia balita dan anak-anak sebelum tahun yang sama. Kadar
penggunaan bahasa Indonesia dalam cerita mereka mengenai Langda dan
juga cerita itu sendiri merupakan pegangan utama lainnya untuk menduga
usia orang tua-tua di Langda.

Untuk mengungkapkan kesulitan yang sedang mereka alami, masyarakat


Langda menggunakan istilah “Tali Poro Trada Isi”. Istilah ini digunakan oleh
orang-orang tua yang sebenarnya masih punya kewajiban untuk berkebun
atau berburu namun karena perut kosong, mereka tidak bisa pergi berkebun
atau berburu. Dan bagi yang masih memiliki sedikit kekuatan, akan mengikat
perut mereka dengan semacam kulit kayu atau kain agar perut mereka tidak
terasa mual saat berjalan, berkebun atau berburu.

“Saya mau pergi ke kebun tapi tra sanggup jalan lagi. Tali poro tra ada isi.
Jadi sa tinggal-tinggal saja di rumah.” Kata Otto Balyo dalam bahasa Una
yang diterjemahkan oleh Petrus Balyo, warga lokal yang sehari-harinya
bertugas sebagai penanggungjawab lapangan terbang Langda. Menurut
Petrus, saat ini kaum laki-laki yang berumur diatas lima puluh tahun lebih
banyak tinggal di rumah. Mereka sudah tidak sanggup lagi bekerja di kebun
atau hanya untuk sekedar mencari kayu bakar saja. Mereka hanya akan
duduk di rumah saja hingga anak-anak atau kaum perempuan membawakan
mereka daun pakis atau pucuk pohon kelapa hutan untuk dimakan.

-5-
Sementara Yosia Nabyal, warga Langda
yang mengajar di SD Langda
mengatakan jika mereka yang masih
sedikit kuat pergi ke kebun juga, untuk
saat ini tidak ada gunanya karena ubi
jalar sebagai makanan pokok mereka
memang tidak ada isinya. Paling mereka
pulang dengan membawa daun-daun
yang bisa dimakan, yang mereka
temukan di sepanjang perjalanan pulang
pergi ke kebun mereka.

“Mau berburu juga tidak ada binatang


buruan lagi. Tikus Tanah, Kuskus Pohon
dan Burung yang biasa kami buru sudah
pindah ke lokasi lain. Mungkin mereka
juga merasa di hutan kami sudah tidak
ada makanan bagi mereka juga.” terang
Petrus Balyo mengenai hutan mereka.

Bagi Ayub Balyo, pendeta yang


melakukan pelayanan di Gereja setempat
situasi seperti ini sudah mereka alami
setiap tahun, bahkan sebelum pihak
misionaris masuk. Hanya saja
sebelumnya kampung Langda masuk
dalam wilayah kecamatan Kurima
sehingga kurang terekspos. Menurutnya, masyarakat Langda (anak-anak
maupun dewasa dan orang tua) sudah terbiasa dengan kondisi krisis pangan
seperti ini. Namun tahun ini kondisinya lebih parah dari tahun-tahun
sebelumnya sehingga membuat masyarakat Langda merasa perlu meminta
bantuan pemerintah.

“Tahun 1997 kami pernah mengalami kemarau panjang dan hutan kami
sempat terbakar. Mungkin tahun ini adalah situasi yang paling sulit setelah
tahun 1997 itu. Situasi ini mengakibatkan banyak orang yang meninggal
karena penyakit yang sebelumnya mereka derita ditambah lagi dengan tidak
adanya ubi jalar yang menjadi makanan pokok kami selama ini. Tahun-tahun
sebelumnya juga ada yang meninggal, tapi tidak sebanyak tahun ini.” Ujar
Ayub Balyo.

Keterangan Ayub Balyo dibenarkan oleh Mecky Weyato, mantri yang sudah
bekerja di Langda dari tahun 1979. Menurut mantri Weyato, kebanyakan
masyarakat yang meninggal karena kekurangan makan dan mengkonsumsi
daun-daun saja. Penyakit yang mereka derita seperti Penumonia, ISPA, Gizi
Buruk, Paru-Paru Basah hingga cacingan semakin parah karena diare yang
mereka derita lagi karena kekurangan makanan pokok.

-6-
“Masyarakat hanya mengkonsumsi daun-daun dari kebun atau hutan seperti
daun pakis, daun labu, daun ubi jalar dan tunas Kelapa Hutan. Ada yang
dimakan mentah dan ada juga yang dimasak. Namun banyak masyarakat
yang tidak memasak makanan tersebut dengan baik sehingga akhirnya
mereka menderita diare, mencret-mencret terus kemudian kekurangan
cairan, dehidrasi dan akhirnya meninggal. Di distrik ini setiap tahun bisa 1-5
orang yang meninggal. Tapi tahun ini sudah lebih dari 50 orang yang
meninggal. Jadi memang situasi tahun ini lebih parah dari tahun-tahun
sebelumnya.” Terang Mantri Weyato.

Mantri Weyato juga mengatakan bahwa obat-obatan juga sangat sulit


didapat. Droping obat-obatan dari Dinas Kesehatan Yahukimo sangat
bergantung pada pesawat yang datang ke Langda. Sehingga sulit bagi
dirinya untuk memberikan penanganan yang cepat terhadap masyarakat
yang sakit. Belum lagi kondisi geografis distrik Langda yang dipenuhi lereng-
lereng yang terjal sehingga menyulitkan dirinya atau orang sakit untuk
bertemu dan melakukan pelayanan kesehatan.

“Dulu ada kader-kader kesehatan di setiap kampung. Tapi sekarang mereka


sudah tidak bekerja dengan baik lagi karena honor atau insentif yang
seharusnya mereka dapatkan tiap tiga bulan tidak dibayarkan dengan baik
oleh pemerintah. Jadi mereka pergi untuk mengurus kebun mereka saja.”
Ujar Mantri Weyato mengenai kader-kader kesehatan di Distrik Langda.

Kutukan Alam

Orang tua-tua di Langda yang saat ini hanya bisa tinggal di rumah saja,
memiliki pandangan tersendiri mengenai kondisi krisis pangan yang mereka
hadapi. Sebagian dari orang tua ini bahkan sudah terlihat putus asa. Mereka
menganggap kondisi krisis pangan yang terjadi di Langda adalah kutukan
alam akibat perilaku generasi muda yang mulai berubah.

“Ini kutukan alam akibat anak-anak kami sudah mulai kawin satu marga.
Juga karena yang pergi sekolah sudah tidak mau pulang lagi untuk melihat
orang tua mereka.” ungkap Otto Balyo

Anggapan kutukan ini sulit diterima oleh generasi muda Langda tapi mereka
juga tidak bisa membantah alasan orang tua mereka mengenai kutukan ini.
Terutama jika dikaitkan dengan parahnya situasi yang mereka hadapi tahun
ini.

“Memang bagi kami anggapan kutukan ini kurang bisa diterima. Tapi kami
tidak bisa membantah anggapan orang tua karena tahun ini memang
berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Apalagi sampai banyak yang
meninggal karena kekurangan makanan pokok sehingga sakit yang mereka
derita menjadi lebih parah.” terang Yosia Nabyal, guru SMP Negeri Langda.

Menurut para orang tua Langda, dulu jika ada orang yang kawin satu marga
maka mereka akan dihukum dengan aturan adat. Biasanya akan dibunuh

-7-
dengan membuang mereka ke dalam jurang. Dan untuk orang-orang yang
tidak mau melihat orang tua mereka lagi, biasanya akan dikucilkan oleh
masyarakat kampung.

“Tapi kami tahu kalau sekarang tidak sama lagi dengan dulu. Pemerintah
(hukum, red) dan gereja melarang hal tersebut. Itu namanya pembunuhan.
Jadi kami tidak bisa melakukan apa-apa lagi. Kami hanya bisa melihat dan
menerima akibatnya saja.” ujar Otto Balyo yang mengaku sudah
berkeluarga dan memiliki anak sebelum tahun 1971.

Pandangan mengenai kutukan ini lebih diperjelas oleh Otto Balyo : “Mungkin
setelah bapak (Jubi, red) pergi, saya juga akan pergi.”

*** Victor Mambor ***

-8-
3. Kantor Pemerintah, Hanya Tinggal “Kepala” Saja
Jubi- Pusat distrik layaknya memiliki fasilitas pelayanan publik standard
seperti Puskesmas, Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama/Atas dan
Kantor Pemerintahan (Distrik). Fasilitas ini memang dimiliki oleh distrik
Bomela maupun Langda. Sayangnya, fasilitas-fasilitas ini tidak berfungsi
sebagaimana mestinya.

“Kantor Distrik, Puskesmas dan Sekolah hanya tinggal “kepala” saja.” ujar
Matias Aruman, menjelaskan fasilitas-fasilitas yang dimiliki oleh Distrik
Bomela. Matias Aruman yang menjadi Kepala Kampung Bomela, desa induk
yang namanya dijadikan nama distrik ini mengungkapkan bahwa sejak
kantor-kantor tersebut dibangun, belum ada aktivitas di kantor-kantor
tersebut. Kepala sekolah sudah lebih dari 2 tahun tidak bertugas di SD
Bomela. Terutama sejak ia diangkat sebagai Kepala Distrik Bomela. Sama
halnya dengan di Langda. Ini tidak berbeda dengan Kepala Distrik di kedua
distrik tersebut. Anehnya lagi, menurut Aruman, biasanya di kantor Distrik
itu selain ada Kepala Distrik juga ada kelengkapan distrik lainnya seperti
sekretaris distrik atau kepala seksi dan staff lainnya. Demikian juga
Puskesmas dan Sekolah.

“Ini yang saya bilang tadi, kantor-kantor ini hanya sisa “kepala” saja. Tidak
ada staff lainnya. Masak kepala-kepala ini mau kerja sendiri untuk sekian
ribu masyarakat distrik?” tanya Mathias.

Pantauan Jubi terhadap fasilitas-fasilitas pelayanan publik di kedua distrik ini


memang membenarkan apa yang dikatakan oleh Mathias Aruman. Kantor
Distrik Langda seperti rumah hantu yang tidak berpenghuni lagi. Sedangkan
kantor distrik Bomela lebih parah lagi. Pintu kantor dan pintu ruang-ruang
kerja sudah lenyap entah kemana. Tapi tidak tampak ada bekas penghuni
atau setidaknya tanda-tanda ada orang yang pernah keluar masuk kantor
tersebut. Rumput disekeliling kantor tingginya hampir sama dengan atap
kantor distrik tersebut. Sedangkan Puskesmas dan Sekolah Dasar/Sekolah
Menengah masih terlihat lebih rapih karena ada aktivitas belajar dan
pengobatan. Para mantri dan guru masih memiliki tanggungjawab menjaga
fasilitas pemerintah ini, sekalipun gaji mereka harus diambil sendiri ke Dekai.

“Kalau mau ambil gaji, biasanya tiga bulan sekali. Atau kami titip pada orang
yang mau datang ke Langda. Kalau setiap bulan ambil gaji ke Dekai, pasti
tidak cukup untuk biaya pulang pergi saja. Biasanya kami pinjam uang
keluarga baru kami pergi ambil gaji ke Dekai. Nanti pulang baru kami ganti.”
terang Yosia Nabyal mengenai gaji mereka.

Tidak berbeda jauh dengan Mantri Mecky Weyato di Langda dan Kirinius
Balyo di Bomela. Selain gaji, keduanya juga harus pasrah menerima beras
jatah PNS setahun sekali. Beras tahun 2008 akan didrop tahun 2009. Kirinius
Balyo yang diangkat sebagai Mantri karena pengalaman kerjanya bersama
Suster Marry van Moolenbroek (perawat yang masuk ke Bomela bersama

-9-
misi Zending Netherland Reformation Church), mengatakan bahwa sejak
Kepala Puskesmas tidak ada di Sumbat (Pusat Distrik Bomela) terpaksa ia
yang menjalankan fungsi Puskesmas Bomela dengan bantuan kader-kader
kesehatan didikan Yakpesmi.

“Tapi bapak (Jubi, red) lihat sendiri, banyak orang yang sakit sekarang.
Sekitar awal bulan Oktober lalu memang ada tim kesehatan kabupaten yang
datang ke Bomela. Mereka tinggal hampir dua minggu dan melakukan
pelayanan kesehatan. Tapi mereka tidak jalan ke kampung-kampung untuk
lihat masyarakat yang sakit. Orang-orang sakit yang dibawa ke Sumbat dari
kampung-kampung seperti Kitikni, Bomela, Kubiyalar, Yalmabi dan
Balamdua. Tapi tidak banyak yang datang karena sebagian besar orang-
orang yang sakit ini tidak bisa jalan lagi dan tidak punya keluarga lagi di
kampung mereka. Orang-orang sakit yang datang ini diperiksa dan diambil
darahnya. Tapi sampe sekarang belum ada penjelasan tentang sakit yang
mereka alami itu.” terang Kirinius Balyo.

Kirinius juga menambahkan bahwa beberapa warga yang dibawa untuk


diperiksa oleh Tim Kesehatan Kabupaten ini, saat akan diambil darahnya,
petugas kesehatan sulit mendapatkan darah dari jari-jari mereka. Untuk
kasus-kasus ini Kirinius menyebutnya “Orang Kurus” atau kurang darah.
Untuk desa Sumbat saja, tercatat 15 orang yang masuk dalam kategori ini
saat diperiksa.

Perjalanan dari
masing-masing
kampung ke Sumbat
(pusat distrik
Bomela) memang
sangat berat karena
harus berjalan kaki
melintasi lembah
dan gunung. Belum
lagi jembatan-
jembatan kayu yang
menghubungkan
satu kampung
dengan kampung
lainnya. Untuk orang
yang normal saja,
berjalan kaki dari Kitikni ke Sumbat harus ditempuh sekitar 3 jam, hampir
sama dengan dari Bomela ke Sumbat. Jarak ini bisa ditempuh dengan cepat
karena hanya kedua kampung ini yang jalannya menurun dari kampung asal
menuju sumbat. Hanya ada satu jurang yang harus dilewati oleh orang-
orang dari Kitikni dan Bomela untuk mencapai Sumbat. Sedangkan dari
Kubiyalar ke Sumbat bisa ditempuh seharian. Dari Yalmabi dan Balam Dua
makan waktu dua hari.

- 10 -
Kondisi pendidikan juga memprihatinkan. Bomela hanya memiliki satu
Sekolah Dasar dengan 3 ruang kelas. SD ini juga merupakan peninggalan
Misionaris yang saat ini dikelola oleh Klasis Bomela dengan nama SD YPK
Bomela. Pemerintah Yahukimo memang sudah membangun satu gedung
sekolah baru dengan tiga ruang kelas. Tapi belum ada fasilitas seperti kursi
dan meja belajar. Juga ruang guru. Ini membuat guru dan anak-anak
sekolah lebih suka belajar di kelas yang lama, sekalipun harus duduk di atas
lantai tanah.

“Tidak ada kepala sekolah, sejak Ananias Maling diangkat sebagai Kepala
Distrik Bomela. Yang ada hanya saya dengan dua orang guru bantu yang
sebenarnya adalah pelayan jemaat di Bomela. Mereka yang membantu saya
secara cuma-cuma karena mereka adalah anak-anak asli Bomela.” Panus
Alya, guru SD Bomela yang masih CPNS bersama Rubus Alya ini menjelaskan
tentang guru di SD Bomela ini.

Menurut Panus, karena statusnya yang masih CPNS ini dia berharap dia akan
ditempatkan di Bomela. Sebab kalau ia ditempatkan di tempat lain,
kemungkinan besar SD Bomela ini tidak akan ada guru lagi dalam waktu
yang lama, karena harus menunggu guru lagi. Sama halnya dengan Antipas
Sunyap yang membantu mengajar di SD Bomela, Statusnya sebagai lulusan
Sekolah Alkitab membuat ia juga harus menunggu panggilan pelayanan dari
Gereja. Jika panggilan pelayanan ini datang dari kampung lain yang letaknya
sangat jauh, maka ia pasti akan meninggalkan Sumbat, kampung tempat ia
lahir dan besar. Selain Antipas Sunyap, dua guru bantu lainnya adalah Adam
Balyo dan Titus Balyo. Titus Balyo bahkan sudah membantu mengajar di SD
ini sejak tahun 1998, saat ia mulai menjadi pelayan jemaat di Bomela.

“Sekarang ini saya ada tunggu-tunggu panggilan pelayanan. Selain


berkewajiban melayani jemaat-jemaat di Kubiyalar, Sumbat, Bomela, Kitikni,
Balamdua dan Yalmabi, saya juga mengisi waktu saya untuk mengajar adik-
adik di SD Bomela. Kalau panggilan pelayanan ini datang dari kampung yang
jauh, pasti saya sudah tidak bisa mengajar adik-adik saya lagi.” ungkap
Antipas dengan sedih.

Karena ruang kelas hanya ada tiga saja, menurut kedua guru ini, untuk
proses belajar mengajar anak-anak Kelas 1 digabung dengan Kelas 2, Kelas
3 dengan Kelas 4 dan Kelas 5 dengan Kelas 6. Jumlah seluruh murid SD ini
mencapai 127 siswa. Jika siswa-siswa ini ingin lanjut ke SMP maka mereka
harus pergi ke Langda, Dekai atau Wamena.

Sebagian besar siswa SD ini sekolah dengan baju seadanya. Hanya beberapa
anak saja yang menggunakan seragam SD. Seperti juga buku tulis yang
mereka miliki, seragam ini didapatkan dengan cara menitip uang pada
orang-orang yang akan pergi ke Dekai atau Wamena. Kalau ada kesempatan
keluar Bomela, para guru juga membeli buku tulis dan dijual kepada murid-
muridnya. Tapi tidak semua murid bisa membeli buku dan seragam ini.

- 11 -
“Tidak semua murid bisa punya seragam dan buku tulis. Yang punya orang
tua lengkap (bapak dan ibu) saja yang bisa beli. Kalau yang bapak atau
ibunya sudah meninggal tidak bisa beli.” ungkap Panus Alya.

Panus Alya yang mengambil alih tugas-tugas Kepala Sekolah sejak Kepsek
diangkat sebagai Kepala Distrik juga menambahkan bahwa hampir sebagian
besar murid-muridnya tidak punya raport. Menurut Panus, rekannya di Dekai
pernah melihat ada tumpukan raport yang akan dikirimkan ke Bomela. Tapi
hingga sekarang raport-raport tersebut belum sampai juga ke Bomela.

“Mungkin ada salah kirim ke SD lainnya ka. Jadi sekarang hanya beberapa
murid saja yang punya raport. Itu juga mereka sendiri yang beli di Wamena
seharga Rp. 15.000,-.” ujar Panus sambil menambahkan bahwa inventaris
SD lainnya seperti lemari, peta, mistar, meja guru bahkan kapurpun tidak
pernah ada.

*** Victor Mambor ***

- 12 -
4. Kepala Suku Kitikni : “Pejabat Yahukimo Takut
Tertular Penyakit”
Kitikni, merupakan salah satu kampung di Distrik Bomela, Kabupaten
Yahukimo yang bisa dikatakan cukup mudah di capai dari pusat distrik
Bomela. Bagi orang yang terbiasa berjalan melintasi lembah dan gunung,
perjalanan menuju kampung tersebut bisa ditempuh sekitar 4 jam dengan
berjalan kaki. Konon sebelum Injil masuk ke kampung ini dan masyarakat
Kitikni dipindahkan dari lokasi asalnya, masyarakat Kitikni adalah
masyarakat yang sulit ditaklukkan oleh musuh-musuh mereka. Lokasi asal
masyarakat Kitikni tidak jauh dari lokasi mereka sekarang. Namun terletak
salah satu puncak bukit disekitar kampung mereka saat ini. Jalan menuju
puncak bukit tersebut sangat terjal dengan kemiringan lebih dari 75 derajat.
Wajar jika musuh-musuh mereka mengalami kesulitan untuk menguasai
kampung Kitikni.

Saat Jubi memasuki kampung Kitikni, terlihat anak-anak kecil berlarian


menuju orang tua mereka masing-masing dan bersembunyi di belakang
tubuh orang tua mereka. Agak aneh memang, karena sebelumnya anak-anak
kecil inilah yang duduk di pinggir tebing dan menyaksikan kedatangan Jubi.
Mereka memang ditugaskan oleh orang-orang dewasa untuk memberikan
tanda ke kampung mengenai siapa yang akan masuk kampung mereka. Ya,
anak-anak kecil ini memang sudah punya tugas untuk menjaga kampung
mereka. Saat Jubi menanyakan pada warga setempat, mengapa anak-anak
tersebut berlarian dan bersembunyi, masyarakat menjawab bahwa anak-
anak tersebut takut.

“Mereka takut karena baru pertama kali lihat orang rambut lurus.” ujar
Tadius Alya, Kepala Suku Kitikni dalam bahasa lokal yang diterjemahkan oleh
Stefanus Sunyap, penterjemah yang membantu Jubi selama perjalanan di
distrik Bomela. Usut punya usut, ternyata Jubi adalah orang berambut lurus
pertama yang masuk ke kampung tersebut setelah para misionaris. Samar-
samar terdengar para orang tua menyampaikan kepada anak-anak mereka
untuk tidak takut dan tidak usah bersembunyi.

Tadius Alya, Kepala Suku Kitikni langsung menunjuk pada salah satu honai
perempuan yang ada di sekitar jalan masuk Kampung Kitikni. Di depan honai
yang ia tunjuk, tampak seorang perempuan yang kira-kira berumur 35
tahun. Perempuan tersebut, Kankena namanya, hanya duduk di depan honai
dengan kaki diluruskan. Jubipun menuju honai tersebut. Dalam bahasa lokal,
Tadius Alya menyampaikan bahwa perempuan tersebut sudah tidak bisa
berjalan lagi walaupun umurnya masih cukup muda. Sudah lebih dari 8 bulan
ia hanya bisa merayap keluar masuk honai untuk sekedar berjemur sinar
matahari dipagi hari. Sebelumnya, dalam perjalanan ke Kitikni, Jubi juga
menemui Banius Aruman (14 tahun) yang mengalami nasib sama dengan
Kankena. Sudah lebih dari 4 bulan Banius mengalami kelumpuhan pada
kakinya sehingga tidak bisa pergi ke sekolah.

- 13 -
Saat Jubi menanyakan kenapa perempuan tersebut tidak dibawa ke tim
kesehatan yang datang ke Bomela sekitar bulan Agustus, masyarakat
menjawab bahwa keluarga perempuan tersebut tidak ada di kampung dan
mereka tidak bisa membawanya menuju pusat distrik Bomela, tanpa
persetujuan keluarga perempuan tersebut.

“Banyak yang sakit seperti ini di kampung kami. Tapi tidak bisa pergi berobat
karena harus diangkat oleh orang lain atau berjalan sendiri. Mereka sudah
tidak kuat lagi.” kata Tadius Alya.

Yafdas Aruman, mantas Sekretaris Kampung Sumbat (Pusat Distrik Bomela)


menambahkan bahwa tim kesehatan yang dikirim ke distrik Bomela tidak
melakukan perjalanan ke kampung-kampung. Tim kesehatan ini hanya
tinggal di Sumbat menunggu orang sakit yang datang untuk diperiksa.

Inilah yang disesalkan Tadius Alya. Menurutnya, seharusnya tim kesehatan


datang ke kampung-kampung supaya bisa tahu kondisi kesehatan
masyarakat kampung Kitikni yang terdiri dari 75 KK. Lagipula, menurut
Tadius, Kitikni bukanlah kampung yang harus dicapai dengan berjalan kaki
lebih dari satu hari.

“Seharusnya mereka datang ke kampung kami supaya lebih banyak yang


bisa diperiksa dan diobati. Bukan tinggal-tinggal saja di bawah (Sumbat-
Red). Karena kami dengar Bupati bilang tim kesehatan ini akan datang ke
kampung-kampung. Ternyata, orang-orang kampung yang sakit yang
disuruh datang ke Sumbat.” sesal Tadius Alya.

Setidaknya, dari sekitar 20 honai di Kampung Kitikni, Jubi menemukan lebih


dari 10 honai yang berisi orang sakit. Sebagian besar masyarakat yang sakit
ini adalah ibu-ibu, anak-anak dan balita. Dan dari pengakuan ibu-ibu,
mereka yang sakit ini mengandalkan obat-obatan tradisional. Mereka hanya
mengkonsumsi obat-obatan dari Dinas Kesehatan jika obat tersebut dibawa
oleh mantri di kampung mereka.

Walaupun berdekatan dengan pusat Distrik Bomela, selain honai tempat


masyarakat tinggal, hanya ada tiga bangunan lainnya yang merupakan
peninggalan misionaris, yakni Poly, Sekolah Buta Huruf dan Gereja. Poly
adalah fasilitas pelayanan kesehatan saat misionaris masih melakukan
pelayanan untuk masyarakat Una Ukam. Sedangkan Sekolah Huta Huruf
(SBH) adalah pelayanan pendidikan untuk belajar membaca dan berhitung.
Gereja lama memang sudah di bongkar oleh masyarakat setempat untuk
dibangun gereja yang baru atas swadaya masyarakat setempat. Menurut
pengakuan warga setempat, tidak ada bantuan pemerintah Kabupaten dalam
pembangunan kembali gereja mereka. Hal ini dipertegas oleh Tadius, “Tidak
ada pejabat daerah yang pernah berkunjung ke kampung kami ini. Mereka
takut datang ke Kitikni karena mungkin mereka takut tertular penyakit dari
kami. Padahal, penyakit yang kami derita adalah derita yang seharusnya
mereka rasakan juga. Sebab mereka bisa berdiri karena kami ada. Mereka

- 14 -
adalah anak adat juga, sama seperti kami! Kenapa harus takut?" suara
Tadius terdengar lirih.

Tadius memang pantas mempertanyakan hal ini karena menurutnya, tidak


akan ada kabupaten Yahukimo tanpa masyarakatnya. Termasuk masyarakat
kampung Kitikni. Tadius yang tidak pernah meninggalkan kampungnya selain
disekitar Bomela dan Langda, memahami bahwa seorang pemimpin harus
bertanggungjawab pada rakyatnya. Sebagai Kepala Suku, ia memahami hal
tersebut dengan baik. Hal inilah yang ia pertanyakan pada pejabat-pejabat
Yahukimo. Apakah memang ada perbedaan antara dirinya sebagai pemimpin
orang Kitikni dengan pejabat di Yahukimo, sehingga menimbulkan kesan
pejabat Yahukimo tidak bertanggungjawab terhadap rakyatnya sendiri?

Di kampung ini hanya ada satu orang petugas kesehatan yang belajar
pelayanan kesehatan pada Suster Marry yang datang bersama misi Zending
tahun 1981. Amon Maling, petugas kesehatan tersebut menolak disebut
mantri. Walaupun menurut masyarakat setempat, ia sudah diangkat oleh
Pemda Yahukimo sebagai mantri di Kitikni namun Amon mengaku ia bekerja
secara sukarela. Ia menyebut dirinya sebagai Kader Kesehatan Terlatih. Dan
seperti kampung lainnya, pelayanan Amon ini terkendala obat-obatan yang
hampir mustahil didapatkan. Obat-obatan yang jumlahnya terbatas
cenderung sampai di pusat distrik saja. Tidak tersalurkan hingga ke
kampung-kampung. Saat ditanyakan obat-obatan apa saja yang digunakan
untuk penanganan malaria, sang mantri menjawab ia hanya bisa
memberikan Chloroquin atau Kina untuk semua jenis malaria karena hanya
obat tersebut yang bisa ia dapatkan.

“Penyakit yang paling banyak di Kitikni adalah Penumonia, Cacingan, Sakit


Kepala, Flu, Malaria dan ISPA. Sebagian besar penduduk menunjukkan gejala
kurang darah. Untuk Penumonia saya kasih Penisilin. Sedangkan untuk yang
kurang darah, saya kasih vitamin. Cuma itu yang bisa saya dapatkan dari
Sumbat selain Chloroquin dan Kina.” Amon Maling menjelaskan obat-obatan
dan tindakan medis yang bisa ia lakukan.

Selama bulan Januari – September, menurut Amon Maling dari 40 orang


warga distrik Bomela, sudah delapan orang warga Kitikni yang meninggal.
Angka kematian ini lebih tinggi dari tahun-tahun sebelumnya. Biasanya
dalam satu tahun di Kitikni ada 2-3 orang yang meninggal karena sakit atau
sudah berusia lanjut. Kedelapan orang yang meninggal ini berusia 11 – 40
tahun. Penyakit yang mereka derita antara lain Malaria, Ispa, Penumonia dan
Anemia. Amon juga menambahkan bahwa diantara warga yang meninggal
ini, salah satunya adalah Magdalena Alua yang meninggal setelah melahirkan
bayinya.

Penjelasan Amon Maling mengenai kesehatan Ibu dan Anak di Kitikni tidak
berbeda jauh dengan kampung-kampung lainnya di pedalaman Papua. Ibu-
ibu hamil mengurus kehamilannya sendiri sejak bulan pertama kehamilan
hingga kelahiran anaknya. Mereka akan melahirkan secara tradisional

- 15 -
dengan bantuan keluarga sendiri dan memanfaatkan obat-obatan tradisional
yang berada di sekitar mereka. Jika terjadi pendarahan atau kelahiran
sungsang, barulah dibawa ke Wamena atau Dekai. Tentu saja karena
perjalanan dari Kitikni ke Sumbat untuk membawa orang sakit harus
ditempuh dengan berjalan kaki selama 5 jam, lebih banyak ibu dan bayi
yang meninggal sebelum bisa di bawa ke Wamena atau Dekai daripada yang
selamat. Selain jarak Kitikni dan Sumbat, pesawat adalah kendala lainnya
yang menyebabkan ibu dan bayinya tidak bisa dibawa ke Wamena atau
Dekai dengan segera. Tapi ibu-ibu di Kitikni menyebutkan jika mereka bisa
tahu dengan segera ada masalah dengan kehamilan mereka, mereka bisa
mencari jalan keluar dengan bantuan obat-obatan tradisional yang mereka
miliki atau secepatnya pergi ke Wamena atau Dekai sebelum masa kelahiran
bayi mereka.

“Dulu, waktu masa Suster Marry melakukan pelayanan kesehatan di Bomela,


ibu-ibu diajarkan untuk mengetahui dan menjaga kondisi kehamilan mereka
oleh kader-kader kesehatan yang dilatih oleh Suster Marry. Tapi sekarang,
tidak ada lagi program-program seperti yang dilakukan Suster Marry
sehingga ibu-ibu di Kitikni tidak tahu kondisi kehamilan mereka.” ujar Amon
Maling yang mendapatkan pengetahuan tentang pelayanan kesehatan dari
suster Marry van Moolenbroek ini, membenarkan pernyataan ibu-ibu
kampung Kitikni.

*** Victor Mambor ***

- 16 -
5. Kwaning Kume
Menanggapi fakta yang disampaikan oleh Izak Kipka (Kord Yakpesmi),
Mathias Aruman (Kepala Kampung Bomela) dan Foker LSM Papua, Bupati
Yahukimo, Ones Pahabol melalui salah satu media lokal berkomentar bahwa
“Kelaparan” di Yahukimo harus dipahami melalui noken masyarakat
setempat. Juga, “Kelaparan” ini hanya bisa dipahami jika seseorang tinggal
selama seminggu di lokasi “Kelaparan” tersebut.

Komentar Bupati Yahukimo ini sangat tepat. Sebab memahami fenomena


“Kelaparan” Yahukimo memang tidak sesederhana menuliskannya sebagai
sebuah berita. Butuh pemahaman yang cukup luas mengenai masyarakat
Una Ukam yang menjadi mayoritas di Langda, Suntamon, Bomela dan
Seradala. Baik pemahaman soal cuaca, cara berkebun, relasi masyarakat,
sosial budaya hingga kepercayaan masyarakat setempat. Pemahaman ini
sulit dilakukan jika hanya “meraba” komentar dan mengutip narasumber.
Pemahaman ini sangat penting, terutama untuk memutuskan penggunaan
kata “Kelaparan” atau “Krisis Pangan” sehingga tidak memantik polemik
“Kelaparan” yang telah terjadi sejak tahun 2005, sejak Yahukimo disebutkan
mengalami bencana “Kelaparan”. Karena kenyataannya, meskipun terjadi di
lokasi yang berbeda, namun secara umum “Kelaparan” yang terjadi di
kabupaten ini disebabkan oleh penyebab yang sama, iklim/cuaca yang tidak
menentu.

5.1.Kwaning Kume

Bagi masyarakat Una Ukam, tidak boleh ada makanan yang disembunyikan.
Jika ada yang menyembunyikan makanan, maka menurut kepercayaan
mereka keluarga yang menyembunyikan makanan tersebut akan tertimpa
kemalangan. Ubi Jalar yang disebut dalam bahasa lokal sebagai “Kwaning”
harus ada di setiap honai. Baik honai laki-laki maupun perempuan. Dipagi
hari, setiap honai akan membakar ubi untuk dimakan sebelum pergi ke
kebun. Jika ada tamu yang datang ke salah satu honai, maka honai tersebut
wajib memberikan ubi yang telah masak kepada tamunya. Karena itu, setiap
honai akan membakar ubi dalam jumlah yang lebih banyak daripada jumlah
penghuninya. Kwaning akan dikubur dalam abu agar tetap hangat sehingga
bisa diberikan kepada tamu yang datang. Jika masih ada yang tersisa, ubi
akan dibawa ke kebun untuk makan siang di kebun. Dalam situasi tertentu,
makan siang di kebun biasanya diadakan secara beramai-ramai dengan
Bakar Batu. Jika ada Bakar Batu di kebun, maka orang-orang yang ikut
Bakar Batu ini akan membawa pulang makanan untuk dimakan di rumah
sebagai makan malam. Jika tidak ada bakar batu, maka api di masing-
masing honai akan digunakan untuk membakar ubi, selain untuk
menghangatkan tubuh dan penerangan sebelum tidur.

“Kalau musim baik, kami biasa makan 2 atau 3 kali sehari. Pagi makan di
honai, siang makan di kebun dan sore kami makan di honai sepulang dari
kebun. Kami tidak biasa sembunyi-sembunyi makanan. Karena orang lain

- 17 -
pasti tahu apakah kami punya makanan atau tidak saat melihat noken yang
kami bawa ketika pulang berkebun. Kami masuk kampung lewat jalan yang
sama, jadi semua orang saling tahu apa yang kami dapat di kebun ataupun
apa yang kami dapat saat berburu.” kata Simon Nabyal, warga Landa yang
sering berburu Kuskus dan mencari kelapa hutan.

Namun siklus makan seperti ini hanya bisa terjadi selama bulan Desember
hingga Maret/April. Dalam bulan Mei hngga Oktober/November siklus makan
ini berubah total. Dari 3 kali makan sehari, menjadi 1 kali sehari hingga 3
hari sekali makan. Dari honai ke honai, kita akan mendapatkan kalimat
“Kwaning Kume” yang artinya “tidak ada ubi jalar”. Inilah yang dirasakan
oleh Jubi selama hampir 3 minggu di Langda dan Bomela. Setiap penghuni
honai yang didatangi oleh Jubi akan mengatakan “Kwaning Kume”, sekalipun
Jubi punya maksud lain mendatangi honai mereka.

5.2.Memahami Noken

“Kwaning Kume” dari kebun hingga honai pastilah berdampak juga pada
noken-noken masyarakat Una Ukam. Selain honai yang merupakan tempat
makanan disimpan dan dikeluarkan, noken juga memiliki fungsi yang sama
untuk masyarakat Una Ukam. Untuk mengetahui ada atau tidak Kwaning di
salah satu keluarga, masyarakat Una Ukam akan mengukurnya dari noken
yang dibawa oleh keluarga tersebut dalam perjalanan pulang dari kebun
masing-masing. Jika noken terisi penuh dengan makanan seperti Kwaning
dan sayur-sayuran, maka itu artinya makanan cukup tersedia untuk keluarga
tersebut. Namun jika hanya berisi kayu bakar dan sayur-sayuran atau daun-
daun dari hutan, maka itu berarti kebun milik keluarga tersebut tidak
menghasilkan sesuatu. Selama hampir tiga minggu perjalanan Jubi di Langda
dan Bomela, noken-noken yag biasa dibawa oleh kaum perempuan dan
anak-anak dalam perjalanan pulang dari kebun hanya berisi daun pakis,
daun labu siam, sayur lilin, labu siam dan daun-daun lainnya yan ditemukan
disekitar hutan atau kebun masyarakat. Beberapa noken yang dibawa
masyarakat bahkan hanya berisi kayu bakar saja.

Situasi dimana noken menjadi representasi ketersediaan pangan masyarakat


akan sangat jelas terlihat dalam aktivitas ibadah Gereja. Masyarakat Una
Ukam yang sebagian besar beragama Kristen Protestan dan merupakan
denominasi Gereja Jemaat Protestan di Indonesia (GJPI) menggunakan
Noken untuk menumpulkan perpuluhan di Gereja masing-masing. Sebelum
Balyo, Pendeta yang malayani Jemaat Efata di Sumbat menjelaskan bahwa
dalam bulan Januari hingga Mei, noken yang digunakan untuk
mengumpulkan perpuluhan akan terisi penuh oleh ubi jalar sehingga harus
diangkat oleh dua orang laki-laki dewasa.

“Dalam bulan Januari hingga Mei, noken perpuluhan akan berisi sangat
banyak sehingga harus diangkat oleh dua orang laki-laki dewasa. Hampir
seluruh masyarakat kampung membawa ubi untuk persembahan di gereja.
Jarang yang membawa sayur-sayuran sebagai persembahan. Jika mereka

- 18 -
tidak sempat ke kebun untuk mengali ubi, mereka akan memberikan uang
sebagai persembahannya.” demikian penjelasan Seblum Balyo mengenai
persembahan di gereja masyarakat Una Ukam.

Penjelasan Sebelum ini


diperkuat oleh Mathias
Aruman yang juga
merupakan majelis jemaat
Gereja di Bomela. “Bapak
lihat sendiri, di gereja saya
ini noken hanya diangkat
oleh satu orang saja. Isinya
juga sedikit dan cuma sayur
labu siam dan sayur lilin.
Tidak ada ubi. Mungkin
orang menganggap kami
tipu-tipu soal “kelaparan” ini
tapi kenyataannya bisa
bapak lihat sendiri. Di
Gerejapun tidak ada ubi
yang dipersembahkan untuk
perpuluhan.” jelas Mathias.

Menurut Mathias, ubi


memiliki nilai sosial yang
sangat tinggi bagi mereka
selain babi. Ubi adalah
lambang ketercukupan
pangan bagi orang Una
Ukam. Sehingga jika tidak
ada ubi yang
dipersembahkan di gereja,
maka orang Una Ukam
sedang mengalami masalah
ketersediaan pangan. Inilah
filosofi Noken dan Ubi pada
masyarakat Una Ukam. Hal
ini sudah terjadi jauh
sebelum Injil dikenal oleh
orang Una Ukam. Juga
sebelum orang Una Ukam
mengenal jenis ubi seperti
sekarang. Dalam periode
Mei hingga November,
aktivitas seperti upacara kematian nyaris dilakukan tanpa ubi karena para
keluarga yang datang ke upacara kematian keluarga mereka tidak bisa
membawa ubi. Sebelumnya, orang Una Ukam hanya mengenal jenis ubi liar

- 19 -
yang mereka sebut Bangal. Ubi ini tumbuh sendiri di sekitar hutan dan kebun
mereka.

“Saat ini, ubi yang ada hanyalah ubi lokal. Ubi ini kami sebut Bangal. Sudah
ada sejak kami ada di sini. Dulu sebelum ada jenis ubi lain, ubi itu yang kami
makan. Ubi ini sebenarnya beracun. Kalau cara makannya salah, orang bisa
mati setelah menderita penurunan kekuatan fisik sekian lama. Uap ubi
tersebut yang mengandung racun. Jadi setelah dibakar, ubi ini harus dibuka
dulu agar uapnya keluar semua.” terang Mathias Aruman mengenai ubi yang
mereka sebut Bangal.

5.3.Ketahanan Pangan

Mengenai pola ketahanan pangan masyarakat lokal, Mathias Aruman yang


memiliki kebun kopi dan saat ini sedang mencoba membuat sawah di lereng
kampun Bomela menyebutkan bahwa lumbung pangan orang Una Ukam ada
di kebunnya masing-masing. Mereka memilik cara sendiri untuk mengetahui
kapan ubi bisa diambil dan berapa isi ubi dalam satu rumpun. Ubi tidak digali
untuk diambil isinya semua dalam satu kali panen. Dalam satu rumpun ubi
yang ditanam, menurut Mathias bisa berisi 8-10 buah ubi sebesar lengan
manusia dewasa. Jika sebagian daun ubi sudah menguning, maka mereka
akan menggali salah satu sisi rumpun ubi dan mengambil sebagian isinya
sesuai dengan kebutuhan mereka. Untuk kebutuhan sehari-hari, mereka
akan mengambil 2-3 buah ubi dari setiap rumpun yang mereka tanam. Tapi
kalau ada kegiatan khusus seperti upacara kematian, perkawinan atau
lainnya, mereka akan mengambil lebih dari 3 buah ubi bahkan mungkin
semua isi yang ada dalam satu rumpun. Dengan pola seperti ini, orang Una
Ukam bisa mempertahankan ketersediaan pangan mereka selama sekian
waktu.

Namun mengenai pola bercocok tanam orang Una Ukam, menurut Mantri
Weyato yang sudah bertugas di Langda sejak tahun 1979, memang terjadi
perubahan. Jika dulu orang Una Ukam masih bercocok tanam secara
berpindah (peramu), saat ini orang Una Ukam lebih banyak yang bercocok
tanam secara menetap. Perubahan ini mempengaruhi ketahanan pangan
mereka dalam waktu satu tahun. Dalam masa meramu, setelah membuka
kebun disatu tempat, sekitar dua atau tiga bulan kemudian orang Una Ukam
akan membuka kebun baru di tempat lainnya. Dengan demikian, dalam satu
tahun setiap keluarga akan memiliki 3-4 kebun di lokasi berbeda. Berbeda
dengan sekarang, orang Una Ukam cenderung memiliki satu kebun selama
satu tahun. Kebun mereka ini akan ditanam kembali setelah isinya habis.

“Walaupun saat ini ada juga orang Una Ukam yang punya lebih dari satu
kebun seperti yang saat ini ada di lereng-lereng, tapi itu lebih dikarenakan
kondisi saat ini yang membuat mereka harus mencari lahan baru karena
lahan lama mereka tidak ada isinya. Bukan karena sebuah tradisi yang dulu
mereka miliki.” terang Mantri Weyato mengenai beberapa kebun yang ada di
lereng-lereng kampung.

- 20 -
Dalam perbincangan dengan beberapa warga kampung di Langda dan
Bomela, hal lain yang juga mempengaruhi perubahan pola bercocok tanam
ini adalah penetapan wilayah administratif dari setiap kampung. Penetapan
wilayah administratif ini membuat sebagian warga satu kampung yang
sebenarnya bukan penduduk asli kampung tersebut (meskipun masih
termasuk suku Una Ukam) enggan membuka kebun di kampung asal
mereka. Mereka enggan kembali membuka kebun di kampung asal mereka
karena ini akan membuat mereka harus tinggal dalam waktu yang lama di
kampung asal mereka. Sementara nama mereka sudah tercatat sebagai
warga kampung dimana mereka tinggal sekarang. Ini berkaitan dengan
program-program bantuan pemerintah daerah. Bantuan pemerintah daerah
yang hanya akan diberikan pada warga yang tercatat sebagai warga dimana
bantuan diberikan membuat mereka bertahan di kampung tempat mereka
tinggal. Padahal mereka memiliki tanah yang cukup untuk berkebun di
kampung asal mereka tersebut. Akhirnya, mereka hanya mengandalkan
sebidang tanah pemberian orang asli dari kampung tempat mereka tinggal
untuk berkebun.

*** Victor Mambor ***

- 21 -
6. Anak-Anak Bomela, Makan Tiga Hari Sekali
JUBI - Matan Maling, bocah yatim dari Bomela ini meminta Jubi memotretnya
saat bergantungan diatas pohon Lamtoro. Saat Jubi mengiyakan, Matan
langsung memanjat pohon dan tak lama kemudian dia sudah bergantung
diatas salah satu dahan pohon yang dipanjatnya, bersama Salmon dan
Tropinus, dua karibnya. Saat mengarahkan kamera kepada ketiga bocah ini,
barulah Jubi sadar bahwa pohon yang mereka panjat berdiri di pinggir jurang
sedalam 20 meter.

Inilah potret anak-anak Bomela, anak-anak Una Ukam dari Kabupaten


Yahukimo yang disebutkan oleh media massa sedang mengalami
“Kelaparan”. Tidak ada sedikitpun anak-anak ini memperlihatkan bahwa
kondisi fisik mereka terpengaruh oleh “Kelaparan” di kampung mereka.
Keceriaan tetap ada di wajah mereka. Selain memanjat pohon, berlari di sisi
jurang, mandi di kali yang deras airnya, masuk keluar hutan dan tentu saja
pergi ke kebun adalah aktivitas mereka sehari-hari setelah pulang sekolah.

Matan, Salmon dan


Tropinus berumur sekitar
10 – 12 tahun. Ketiganya
tinggal di kampung
Sumbat namun seringkali
bermain hingga kampung
Bomela, Kitikni dan
Langda. Matan telah
ditinggal oleh ayahnya
sejak bayi. Sedangkan
orang tua Salmon dan
Tropinus masih lengkap.
Tapi ketiganya sudah harus
meninggalkan honai orang
tua masing-masing untuk
tinggal di honai laki-laki
dan mengurus dirinya
masing-masing. Ketiganya
sudah diwajibkan
mengolah kebun masing-
masing agar dapat
menyediakan makanan
untuk honai mereka.

Saat Jubi akan melakukan perjalanan ke kampung Bomela, ketiganya datang


dan langsung memikul peralatan milik Jubi yang akan dibawa ke Bomela.
Beginilah cara mereka menawarkan diri untuk ikut berjalan ke salah satu
kampung.

- 22 -
“Trada, tong cuma mau ikut saja. Mau jalan-jalan liat kampung Bomela.”
ujar Matan dalam bahasa Una, saat ditanya untuk apa dia memikul barang-
barang bawaan Jubi. Matan memang belum terlalu fasih berbahasa
Indonesia. Berbeda dengan Tropinus dan Salmon yang cukup lancar
berbahasa Indonesia. Dan ketiganyapun mulai berjalan bersama Jubi dan
beberapa laki-laki dewasa lainnya.

Benar-benar tidak disangka oleh Jubi bahwa ketiga bocah ini belum makan
sejak satu hari sebelum perjalanan menuju kampung Bomela ini. Mungkin
saja ketiganya makan sesuatu, namun jika karbohidrat yang menjadi acuan
kita, maka ketiganya benar-benar belum mendapatkan asupan karbohidrat.
Sebab fisik ketiganya tidak terlihat lemas karena belum makan selama satu
hari. Selama perjalanan mendaki, ketiganyapun tidak pernah berhenti
berjalan dengan beban yang mereka bawa, kecuali di tiga tempat yang
memang biasa digunakan sebagai tempat istirahat warga kampung lain jika
melakukan perjalanan ke kampung Bomela.

Kenyataan bahwa ketiganya belum makan sejak satu hari sebelumnya, baru
diketahui Jubi dalam perjalanan pulang menuju kampung Sumbat. Saat
mendaki jurang yang memisahkan kampung Sumbat dan Kampung Bomela,
hari mulai gelap. Ketiganya berjalan tergesa-gesa. Menurut Stefanus
Sunyap, penterjemah bahasa lokal untuk Jubi, ketiganya berjalan tergesa-
gesa karena mereka ingin pergi mencari kodok di sungai. Kodok-kodok di
sungai memang menjadi makanan pengganti, selain sayuran dan daun-
daunan serta pisang dan tebu selama kebun mereka tidak menghasilkan ubi.
Uniknya, kodok-kodok ini berkembang biak dengan sangat pesat dalam
masa-masa sulit seperti pada bulan Mei hingga Oktober. Kodok-kodok ini
hanya bisa ditangkap pada malam hari saja. Warga lokal harus mengalihkan
air sungai ke tempat lain terlebih dahulu sebelum bisa menangkap kodok-
kodok menggunakan sebatang kayu yang dibelah ujungnya untuk menjepit
kodok-kodok tersebut.

“Belum, tong belum makan. Besok baru tong makan, jadi tong harus cari
kodok malam ini.” kata Salmon saat Jubi bertanya apakah dia sudah makan
atau belum. Jawaban yang sama ia berikan saat Jubi menanyakan kembali,
apakah kemarin ia makan atau tidak. Demikian juga jawaban yang diberikan
Matan dan Tropinus. Ketiganya belum makan sejak sehari sebelum
perjalanan kami menuju Bomela dan baru akan makan esok harinya, setelah
perjalanan kami. Sulit dipercaya memang. Mungkin saja anak-anak lain
seusia mereka yang tidak makan selama satu hari dan harus membawa
beban seberat 7 kg dalam perjalanan mendaki selama 5 jam sudah harus
masuk rumah sakit. Namun selama hampir 2 minggu tinggal bersama warga
Bomela membuat Jubi yakin bahwa sebagian besar anak-anak yang sudah
keluar dari honai keluarganya memang memenuhi kebutuhan makanan
mereka sekali dalam tiga hari. Beberapa anak yang beruntung karena masih
mendapatkan perhatian orang tuanya, bisa makan satu kali sehari.

- 23 -
Sungguh ironis. WHO memberi batasan anak usia sekolah adalah anak
dengan usia 6-12 tahun. Mereka berbeda dengan orang dewasa, karena anak
mempunyai ciri yang khas yaitu selalu tumbuh dan berkembang, sampai
berakhirnya masa remaja. Anak-anak usia 6-12 ini sedang mengalami
pertumbuhan dan perkembangan. Pertumbuhan merupakan bertambahnya
ukuran dan jumlah sel serta jaringan tubuh yang berarti bertambahnya
ukuran fisik dan struktur tubuh. Sedangkan perkembangan adalah
bertambahnya kemampuan struktur dan fungsi tubuh yang lebih kompleks.
Pada usia sekolah ini, anak-anak banyak melakukan aktivitas, fisik maupun
mental, seperti bermain, belajar, berolah raga. Zat gizi akan membantu
meningkatkan kesehatan tubuh anak, sehingga sistem pertahanan
tubuhnyapun baik dan tidak mudah terserang penyakit. Anak usia sekolah
membutuhkan lebih banyak energi dan zat gizi. Diperlukan tambahan energi,
protein, kalsium, fluor, zat besi, sebab pertumbuhan sedang pesat dan
aktivitas kian bertambah. Untuk memenuhi kebutuhan energi dan zat gizi,
anak seusia ini membutuhkan 5 kali waktu makan, yaitu makan pagi
(sarapan), makan siang, makan malam, dan 2 kali makan selingan.
Sedangkan pada anak remaja putri, dalam usia ini beberapa dari mereka
sudah mulai mengalami haid, sehingga diperlukan tambahan zat besi. Anak-
anak perempuan yang sudah haid ini akan mengalami perubahan siklus
hormonal yang terjadi setiap bulan. Sehingga selain zat besi, vitamin C juga
dibutuhkan sebagai antibody dan vitamin E yang dibutuhkan untuk
pemeliharaan kulit. Status gizi baik atau status gizi optimal pada anak-anak
usia ini terjadi bila tubuh memperoleh cukup zat-zat gizi yang digunakan
secara efisien, sehingga memungkinkan pertumbuhan fisik, perkembangan
otak, kemampuan kerja dan kesehatan secara umum pada tingkat setinggi
mungkin. Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi
makanan dan penggunaan zat-zat gizi (Almatsier, 2002).

Lantas mengapa anak-anak ini bisa terlihat stabil secara fisik dan tidak
berkurang keceriaanya sebagaimana anak-anak di tempat lainnya yang tidak
pernah melewatkan waktu bermain mereka?

Menurut Kirinius Balyo, Mantri Distrik Bomela, anak-anak di Bomela terbiasa


menkonsumsi sari buah merah minimal dua minggu sekali. Kemungkinan,
inilah yang membuat anak-anak di Bomela memiliki ketahanan fisik yang
stabil sekalipun kekurangan asupan karbohidrat. Kebutuhan protein, kalsium,
zat besi dan vitamin C bisa terpenuhi oleh sari buah merah yang mereka
konsumsi. Demikian juga kebutuhan nutrisi lainnya seperti Energi, Protein,
Lemak, Serat, Fosfor, Vitamin B1, Niasin dan Air yang terkandung dalam
buah merah.

“Paling tidak, dua minggu sekali anak-anak di Bomela makan buah merah.
Biasanya ada yang bakar batu di kebun mereka. Anak-anak yang bantu
membuka kebun akan diajak makan bersama-sama keluarga pemilik kebun.
Sayuran, pisang, labu siam, sayur lilin, daun gedi dan sayur-sayur lainnya
akan disiram air perasan buah merah sebelum dimakan. Kalau sedang
beruntung, bisa ada tambahan Kuskus Pohon atau burung untuk bakar batu.

- 24 -
Kami disini makan buah merah supaya tidak cepat sakit dan badan kuat
untuk beberapa hari.” jelas Kirinius Balyo. Namun, sekalipun ia menyebutkan
buah merah sebagai solusi ketahan fisik mereka dalam menghadapi musim
sulit, ia tidak menampik kenyataan bahwa di kampung Sumbat yang menjadi
pusat distrik Bomela, terdapat 16 orang yang dinyatakan menderita
kekurangan gizi, yang mereka sebut sebagai “Orang Kurus” selama tahun
2009 ini. 6 orang dari penderita kekurangan gizi ini berusia 3-14 tahun.
Sementara sisanya berusia lebih dari 30 tahun. Bagaimana dengan anak-
anak kampung lainnya seperti Yalmabi, Kubiyalar, Balamdua?

Kirinius mengaku, dirinya tidak bisa memantau kondisi kesehatan ibu


maupun anak-anak di kampung-kampung lainnya selain Sumbat, Kitikni dan
Bomela yang memang dekat dari pusat distrik Bomela. Ia hanya bisa
mengumpulkan informasi mengenai jumlah kematian dari kampung Yalmabi,
Kubiyalar, Balamdua serta penyebab kematiannya kemudian mencatatnya
dalam laporan bulanannya.

Matan, Tropinus dan Salmon mungkin tidak ambil pusing dengan berapa kali
mereka makan dalam satu hari. Mereka bertiga juga tidak perlu berpikir
apakah Buah Merah bisa mencukupi kebutuhan nutrisi mereka atau tidak,
selama masa sulit yang dihadapi kampung mereka. Karena mereka bertiga
hanyalah bocah yang secara alamiah memerlukan ruang aktivitas bagi
pertumbuhan mental dan fisik mereka. Mereka juga ingin tau apa itu mobil,
motor, televisi, kuda, kucing, kangguru, danau, laut dan lainnya yang hanya
bisa mereka lihat gambarnya saja dari buku-buku sekolah mereka. Melihat
langsung, memegang atau memiliki mungkin sulit bagi mereka. Tapi
setidaknya mereka harus diberikan kesempatan untuk berimajinasi
sebagaimana kesempatan yang diperoleh anak-anak seusia mereka di
tempat lainnya.

*** Victor Mambor ***

- 25 -
 

Address: Jalan Mampang Prapatan XI No.23 – Jakarta 12790 – Indonesia


Phone (6221) 79196721, 79196722, Fax (6221) 7941577
Email:infid@infid.org,www.infid.org

You might also like