Professional Documents
Culture Documents
Hukum Jum'at Bagi Musafir
Hukum Jum'at Bagi Musafir
Hukum Jum'at Bagi Musafir
http://subhan-nurdin.blogspot.com
Tanggapan
1. Rasul berangkat dari Madinah pada hari Sabtu 26 Dzulqa’dah 10 H. / 22 Februari 632 M.
Bulan Dzulqa’dah dan Dzulhijjah adalah genap 30 hari karena tahun kabisat sehingga
menurut penanggalan Hijriyah 30 hari sedangkan menurut kalender masehi bulan Februari
tahun 632 adalah 29 hari.
2. Rasul Wuquf di Arofah pada hari Jum’at tanggal 9 Dzulhijjah 10 H / 6 Maret 632 H.
3. Wuquf artinya berdiam diri, sehingga tidak ada khutbah wuquf. Maka khutbah tersebut
adalah khutbah Jum’at karena bertepatan dengan hari Jum’at yang diwajibkan melaksanakan
shalat Jum’at. Adapun rangkaian pelaksanaannya yang berbeda dengan Jum’at biasa
menunjukkan bahwa khusus ketika wuquf pada hari Jum’at pelaksanaan jum’at adalah seperti
itu.
4. Sehubungan dengan masalah ini Ibnu Hazm berkata : “Dan tidak ada perselisihan bahwa
sesungguhnya Rasulullah SAW (pada hari Arafah itu) khutbah lalu shalat dua raka’at, dan ini
adalah sifat shalat Jum’at.” Keterangan Ibnu Hazm ini cukup beralasan, dan cocok dengan
kenyataan, tidak bertentangan dengan dalil-dalil yang lainnya sehubungan dengan masalah
ini. (KHE. Abdurrahman:73)
5. Penyebutan shalat tersebut dengan dzuhur karena dilaksanakan pada waktu dzuhur adapun
sifatnya adalah sifat shalat jum’at yang didahului dengan khutbah. Seperti halnya Rasul
pernah menyebut shalat magrib sebagai Isya ul Awwal.
6. Tidak disebutkannya Rasul shalat Jum’at dalam perjalanannya, tidak berarti tidak
melaksanakan Jum’at, seperti juga tidak disebutkan makan dan minumnya, tidak berarti
beliau berpuasa kan ?! Kita bisa mengatkan tidak ada karena kita tahu akan tidak adanya,
bukan karena tidak disebutkan. (Al-‘ilmu Bi ‘Adamihi)
7. Jika mau konsisten pada hadits tersebut secara tekstual, maka seharusnya shalat dzuhur
bagi musafir pada hari Jum’at harus seperti yang dilakukan oleh Rasul, yaitu khutbah, adzan,
shalat dua raka’at dzuhur dan ashar dijama qosor.
8. Hadits Riwayat Al-Bukhari tentang Ibnu Umar dimuat dalam Kitab Al-Maghazi
(peperangan). Matan hadits tersebut jika difahami ibnu Umar tidak Jum’at bertentangan
dengan riwayat Muslim tentang ancaman bagi yang meninggalkan Jum’at tanpa udzur yang
diriwayatkan pula dari Ibnu Umar. Maka jika digabungkan (thoriqatul jam’i) bisa jadi Ibnu
Umar tidak shalat Jum’at di tempat tinggalnya, seperti juga tidak disebutkan dalam hadits
tersebut bahwa Ibnu Umar shalat dzuhur.
9. A. Hassan dalam “Soal-Jawab” nya mencabut pendapatnya bahwa musafir termasuk yang
dibolehkan meninggalkan jum’at. (A.Q, menyatakan : Pendapat ini sudah dicabut, Soal Jawab
II:455)
Kesimpulan:
- Hadits-hadits yang menyebutkan musafir tidak wajib jum’at adalah dla’if.
- Musafir tetap wajib melaksanakan Jum’at dan shalat dijama’ qosor dengan ashar.
- Lihat bantahan KH. E. Abdurrahman dalam Risalah Jum’at.
Juli ‘07
s.NooR
http://persatuan-islam-singapura.com/Html/text/Kitab%20Solat/Jum%27at
%20bagi%20Musafir.doc
Solat Jum’at hukumnya adalah wajib bagi lelaki yang sudah baligh dan sehat,
termasuk orang yang sedang musafir, yakni musafir tidak dikecualikan kerana tidak
ada keterangan yang shahih yang membebaskan mereka dari wajib Jum’at. Oleh
kerana itu Rasulullah SAW dan sahabatnya tidak akan meninggalkan sesuatu yang
hukumnya wajib dan bila hal itu tidak dikhabarkan, tidak bererti pasti dilakukan.
Riwayat yang shahih, diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Al-Bukhari dan Muslim
menerangkan dengan jelas, bahwa sahabat ‘Umar Ibnul Khattab benar-benar
mengetahui bahawa Rasulullah SAW wuquf di ‘Arafah tahun ke 10 ketika melakukan
ibadah hajinya kebetulan pada hari Jum’at.
‘Umar Ibnul Khattab menjawab pertanyaan orang yang menanyakan bilakah
ayat “ Al-Yauma Akmaltu lakum Dinakum .......... “ ( Q.S Al-Maidah : 3 ) yang
diturunkan kepada Rasulullah SAW, beliau (‘Umar) menjawab :
َ
صلى الله عليييه و ل اللهِ ت عََلى َر ُ
سو ْ ِ م ال ّذِيْ ن ََزل َ ْ م ال ْي َوْ َ ي لعْل َ ُ وَ اللهِ إ ِن ّ ْ
ل اللهِ صيلى اللييه عليييه و سييلم ت فِْيها َ عََلى َر ُ
سو ْ ِ ي ن ََزل َ ْ ة ال ّت ِ ْساعَ َ سلم وَ ال ّ
ة.مع َ ِ ي ي َوْم ِ ال ْ ُ
ج ُ ة فِ ْ ة عََرفَ َ شي ّ َ
عَ ِ
} رواه أحمد و
الشيخان {
Ertinya : “ Demi Allah, sesungguhnya aku tahu betul akan hari turunnya ayat itu
kepada Rasulullah SAW, dan aku tahu betul saat ayat itu turun kepada Rasulullah SAW
iaitu pada petang hari ‘Arafah (tanggal 9 Dzulhijjah tahun ke 10) pada hari Jum’at. “
Dalam kitab Fathul Bari, syarah shahih Al-Bukhari juz 13 halaman 206
dijelaskan, ‘Umar Ibnul Khattab berkata :
Berpedoman kepada nama hari yang diketahui oleh beberapa sahabat iaitu
tanggal 9 Dzulhijjah itu adalah hari Jum’at, dengan mudah dapat diketahui hari
tanggal 1 Dzulhijjah bulan termaksud, iaitu hari Khamis, dan pula kita mengetahui
hari yang terakhir dari bulan sebelumnya, iaitu bulan Dzulqaidah iaitu hari Rabu.
Dengan berpedomankan kepadanya dapat kita mengetahui hari bertolak Rasulullah
SAW dari Madinah ke Makkah yang dinyatakan oleh Ibnu ‘Abbas dan Siti ‘Aisyah,
beliau bertolak pada tanggal 25 Dzilqaidah, tanpa keterangan harinya.
Dan sebaliknya apabila kita berpedoman kepada tanggal 25 atau 24 bulan
Dzulqaidah yang tidak diketahui harinya yang pasti, sulit / tidak pasti mungkin
dengan pedoman tanggal tersebut untuk mengetahui hari apa tanggal 1 Dzulhijjah,
yang tidak diketahui pula umur bulan Dzulqaidah, apakah 29 atau 30 hari, dan
sebenarnya tidak perlu diselidiki lagi hari apa Rasulullah SAW wuquf di ‘Arafah, sebab
sudah ada yang mengetahuinya iaitu ‘Umar Ibnul Khattab dan sahabat-sahabat yang
lain.
Riwayat ‘Umar Ibnul Khattab itu tidak bertentangan dengan riwayat yang lain,
sebab bila telah diketahui tanggal 9 Dzulhijjah itu hari Jum’at, tentu tanggal
1 Dzulhijjah itu jatuh pada hari Khamis dan hari Rabu adalah hari terakhir dari bulan
Dzulqaidah, dan berdasarkan riwayat Ibnu ‘Abbas dan Siti ‘Aisyah, Rasulullah SAW
bertolak pada tanggal 25 Dzulqaidah itu, kita dapat mengatakan bahwa Rasulullah
SAW bertolak dari Madinah pada hari Sabtu setelah solat Zhuhur empat raka’at.
Rasulullah SAW bertolak bukan pada hari Jum’at, sebab diterangkan beliau
solat Zhuhur empat raka’at sebelum berangkat, dan biasanya Rasulullah SAW tidak
berpergian / safar hari Jum’at dan bukan hari Ahad, sebab kalau hari Ahad akan
berubah hari tanggal 1 Dzulhijjah, dan tidak tepat / cocok dengan keterangan ‘Umar
yang mengetahui dengan yakin bahwa tanggal 9 Dzulhijjah itu hari Jum’at.
Dalam kitab tafsir antara lain ‘Umdatut Tafsir karangan Imam Al-Qasimi dan
tafsir Ibnu Katsir, dicatatkan hasil penelitian dalam masalah ini, seperti berikut :
َ ٌ ك فيه و ل َ مريف
َ م عََرَفف
ة َو ْ ة أّنهفا َ ن ََزَلف
َ ْت َيفو ِّ َ َ َ ب ال ّذِيْ ل
َ ِ ِ ّ ش ُ واَ ص
ّ وَ ال
ة
ِ َ مع ُ ْ م ال
ُ ج َ َ كا
ُ ْن ي َو
Ertinya : “ Adapun yang benar, yang tidak ragu dan bimbang lagi, sesungguhnya
ayat itu turun pada hari ‘Arafah, dan kebetulan jatuh pada hari Jum’at.”
Oleh kerana hari ‘Arafah jatuh pada hari Jum’at itu adalah shahih dan sharih
(kuat dan jelas), maka golongan yang berpendapat bahwa musafir tidak wajib
Jum’at, tidak menolaknya, diakui benar hari ‘Arafah tahun itu jatuh pada hari Jum’at,
tetapi Rasulullah SAW tidak melakukan solat Jum’at, sesuai dengan riwayatnya,
seperti yang diriwayat oleh Muslim, Rasulullah SAW solat Zhuhur dan diriwayatkan
pula pada tanggal 8 Dzulhijjah sebelum hari ‘Arafah Rasulullah SAW solat Zhuhur.
Sedangkan golongan yang berpendapat, bahwa solat Jum’at itu wajib bagi
musafir, termasuk Rasulullah SAW dan para sahabatnya mengatakan berdasarkan
kenyataan bahwa yang dilaksanakan Rasulullah SAW di ‘Arafah itu bukan solat
Zhuhur, tetapi solat Jum’at, iaitu Rasulullah SAW khutbah lalu solat dua raka’at,
dan dilakukan pada hari Jum’at pada waktu Zhuhur, solat seperti itu adalah
sifat Jum’at yang pokok.
Adapun Zhuhur dijadikan nama bagi Jum’at, itu adalah nama yang tidak
mengubah hukum, sebab dalam Fathul Bari, Syarah Shahih Al-Bukhari juz 2
halaman 233 diterangkan oleh Rasulullah SAW ada orang arab kampung (badui) yang
menamakan Maghrib dengan Isya’, hal itu tidak mengubah hukum, tetap hukumnya
solat Maghrib, sebab ia solat tiga raka’at dan waktunya pada waktu Maghrib, dan
dalam pengamalan solat Jum’at itu adalah Zhuhur pada hari Jum’at dengan
berjama’ah.
Apabila azan dalam solat Jum’at dilaungkan di ‘Arafah itu, yang kebetulan
berkumpul dua hari raya, dilakukan ba’da khutbah, itu adalah satu contoh dari
Rasulullah SAW bagaimana cara solat Jum’at bila kebetulan sedang wuquf di ‘Arafah,
sebagaimana disyariatkan Rasulullah SAW bagaimana cara solat Jum’at bila
kebetulan hari Jum’at pada hari raya Adha dan Fithri, ia mempunyai cara khusus,
orang yang ikut solat hari raya, ia bebas dari wajib Jum’at, yakni ia sudah
melakukannya dengan cara yang khas. Sehubungan dengan masalah ini, Ibnu Hazm
berkata :
ّ َ َب و َ
ِ ص فلى َرك ْعَت َي ْف
ِن وَ هَ فذِه َ خط َف
َ م ّ ه عَل َي ْهِ ال
ُ َ سل ُ ّ ي أن ْ ِف ف َ َ خل
ِ َ وَ ل
.ة
ِ َ مع ُ جُ ْ صل َةِ ال
َ ة ُ صَف
ِ
Ertinya : “ Dan tidak ada perselisihan, bahwa sesungguhnya Rasulullah SAW (pada
hari ‘Arafah itu) khutbah lalu solat dua raka’at, dan ini adalah sifat solat Jum’at.”
Keterangan Ibnu Hazm itu cukup beralasan dan selari dengan kenyataan,
tidak bertentangan dengan dalil-dalil yang lain.
Adapun hujjah yang dipakai oleh ulama yang menetapkan bahwa musafir
tidak diwajibkan solat Jum’at berdasarkan keterangan berikut ini :
": صييلى اللييه عليييه و سييّلمُ ْ س فو
ِل اللفه َ َ قا: ل
ُ ل َر َ َ مَر قاَ ُن عِ ْ ن اب
ِ َ – ع1
ٍ} رواه الطففبراني ِباسففناد ".ة
ٌ َ معُ جُ ٍمسا َفِرُ س عََلى َ ْ ل َي
{ 495 بلوغ المرام حديث رقم،ف ٍ ْ ضعِي
َ
1. Ertinya : “ Tidak ada kewajipan Jum’at atas orang musafir.”
( H.R Ath-Thabrani dengan isnad yang lemah, Bulughul Maram hadits no 495 )
ًمَرأ َة
ْ ة إ ِل ّ ا
ُ َ مع ُ ْ خرِ فَعَل َي ْهِ ال
ُ ج ِ ن ِباللهِ وِ ال ْي َوْم ِ ْالُ مِ ْن ي ُؤ َ ن
َ كا ْ مَ "–2
َ َ َ
} رواه البيهي و .ضاً ْ مرِي
َ ْدا أوً ْ مسا َفًِرا أوْ عَب
ُ ْ أو
{ 219 : 3 نيل الوطار،الدراقطني
2. Ertinya : “ Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka wajib
Jum’at atasnya kecuali perempuan, musafir, hamba sahaya dan orang yang sakit.”
( H.R Al-Baihaqi dan Ad-Daraquthi, Nailul Authar 3 :
219 )
َ
} ِ ِ ل إ َِلى أهْل
".ه ُ ْ ن آَواهُ الل ّي َ ة عََلى
ْ م ُ َ مع ُ ْ – " ا َل3
ُ ج
{ رواه الترمذي
3. Ertinya : “ Jum’ah itu wajib atas orang yang bermalam pada ahlinya.”
( H.R At-Tirmidzi )
Dari hadits tersebut, bahwa orang yang tidak bermalam pada ahlinya, tidak
wajib Jum’at. Orang yang tidak bermalam pada ahlinya (keluarganya) ialah orang
musafir. Oleh itu musafir tidak wajib Jum’at.
َ َ َ كا
و
َ م فع ُ و َ ه ُ ف َ ُ حيا َن ًففا ل َ ي
ّ ج ْ م فع ُ و َ أ َ ُ حيا ًَنا ي
ّ ج ْ صرِهِ أْ َي ق ْ ِس ف َ َ "–4
ٌ َ ن أن
} رواه ".نِ ْ خي
َ سَ ِبالّزاوِي َةِ عََلى فَْر
{ 43 : 3 فتح الباري،البخاري
Komentar :
Hadits yang pertama yang diriwayatkan oleh Imam Ath-Thabrani,
sebagaimana yang tersebut dalam kitab Bulughul Maram bab Jum’ah no 495,
derajatnya adalah lemah kerana dalam sanadnya ada seorang rawi yang bernama
Abdullah bin Nafi’. Ia dilemahkan oleh beberapa ulama. Maka dengan kelemahan ini,
ia tidak dapat dijadikan alasan musafir tidak wajib Jum’at.
Hadits yang kedua yang diriwayatkan oleh Imam Al-Baihaqi yang ada sebutan
“ Musafir ” itu tidak sah, kerana dalam sanadnya ada dua orang rawi yang tercela /
lemah, mereka itu ialah :
1. Ibnu Lahi’ah, ia dilemahkan oleh beberapa ulama hadits diantaranya Ibnu
Ma’in, Abu Hatim dan Abu Zar’ah.
2. Mu’az bin Muhammad Al-Anshari. Kata ‘Uqaili : “ Tentang hadits Mu’az ada
kefahaman ”. Kata Ibnu Adi : “ Ia seorang yang diingkari haditsnya.” ( Tahzibut
Tahdzhib 5 : 373 dan Lisanul Mizan 6 : 55 )
Hadits yang ketiga yang diriwayatkan oleh Imam At-Tirmidzi itu tidak sah,
kerana dalam sanadnya terdapat seorang rawi yang bernama ‘Abdullah bin Sa’id Al-
Maqburi. Kata Imam Yahya bin Sa’id : “ Aku pernah duduk dalam majlis
‘Abdullah, lalu aku dapati pada dirinya dusta ”. Juga dilemahkan oleh Imam Ibnu
Ma’in, Ahmad ibnu Hanbal, Abu Zar’ah, Ibnul Barqi, Ya’qub bin Sufyan dan lainnya.
Riwayat Anas (dalil keempat), belum dapat dijadikan alasan untuk tidak wajib
Jum’at atas musafir, kerana :
a. Anas tidak solat Jum’at di Masjid Bashrah itu, tidak menunjukkan
bahwa ia tidak solat Jum’at di istananya (Qashr).
b. Yang dimaksudkan Anas tidak solat Jum’at itu, ialah tidak solat
Jum’at di Masjid Bashrah, bukan di istanannya.
c. Seandainya ditakdirkan betul Anas tidak solat Jum’ah di Masjid dan
juga di istananya, maka tidak juga dapat dijadikan alasan, kerana itu hanya
perbuatan seorang sahabat, sedangkan perbuatan seorang sahabat semata-
mata tidak menjadi alasan agama.
Dari empat macam komentar atau bantahan tersebut, dapatlah diambil
kesimpulan, bahwa alasan-alasan, dalil-dalil dan keterangan-keterangan golongan
yang berpendapat Musafir Tidak Wajib Solat Jum’at itu, tidak ada satupun yang
dapat diterima sebagai ketentuan.
##########################