You are on page 1of 8

qwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyui

opasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfgh
jklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvb
nmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwer
RABU KELABU
tyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopas
Cerita Pendek

dfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzx
23 Januari 2010

Chytra Bertdiana Ersa


cvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmq
wertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuio
pasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghj
klzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbn
mqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwerty
uiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdf
ghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxc
vbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmrty
uiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdf
ghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxc
vbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqw
ertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiop
Rabu Kelabu

Kebekuan mata tua bening itu mencair. Guratan wajahnya mengeras. Pucat. Hari kedua
evakuasi Kaki-kakinya bergetaran kelelahan. Tangan kanannya seperti kapas. Melayang ringan.
Menarik nafas sekuat tenaga. Ia berharap. Hatinya berdoa. Doa sepenuh hati yang pernah ia
panjatkan pada Tuhan. Doa Keajaiban. Mematahkan semua keangkuhannya dan rasa marah.
Titik Kegalauannya memuncak. Tepat ketika tubuh gadis itu dikeluarkan dari reruntuhan. Ia
jatuh terduduk. Jantungnya seperti tertusuk. “Ya Allah!” desisnya. Sungguh-sungguh. Suara-
suara berkelebatan seperti bayang-bayang. Mengangkat tubuh gadis itu. “Tiaraaaa….” Istrinya
meraung. Bergelayutan di tangan kanannya yang mati rasa.
………………….
Hernando adalah pria yang tidak biasa. Dua puluh lima tahun dihabiskannya bekerja
menjual mie ayam di depan sebuah sekolah menengah atas. Hernando adalah pria mini. Ukuran
tubuhnya hanya setengah tinggi pria dewasa. Tangan sebelah kanannya lebih pendek dari sebelah
kiri. Ia sendiri tidak ingat lagi kapan terakhir kalinya ia memiliki dua tangan yang sama panjang.
Sama halnya seperti ia tidak ingat lagi kapan tubuhnya tidak bertambah tinggi lagi. Saat-saat
tersulit baginya adalah saat kanak-kanak dan menjelang remaja. Ketika anak-anak seusianya
belum paham benar arti perbedaan, arti menghargai dan sakitnya diolok-olok. Ia melewati semua
itu dengan penuh rasa amarah. Kenapa Tuhan memberinya semua derita ini? Kenapa ia harus
menjadi anak laki-laki yang bersembunyi di sudut kelas ketika jam istirahat, atau duduk menatap
iri pada anak-anak lain yang bermain dengan gembira. Ketika itu lengan kanannya sudah terlihat
memendek dengan jelas. Ia hanya bisa merasa sedih.
Masa kecilnya dihabiskan di sebuah kampung, 3 jam dari kota Padang. Orang tuanya
bukanlah orang-orang berpendidikan apalagi berfikiran terbuka. Mereka adalah orang-orang
tradisional yang masih percaya pada guna-guna dan tahayul. Mereka percaya pada hukum karma,
kutukan dan roh-roh jahat. Mereka melumuri tangan yang memendek itu dengan ramu-ramuan.
Hernando kecil tidak bisa menghitung sudah berapa banyak dukun-dukun bermacam aliran yang
mengobati tangannya. Orangtuanya alergi dokter. Alergi obat-obatan. Mereka percaya benar
Hernando telah dijahati makhluk halus kalau tidak terkena kutukan. Pernah seorang bidan desa
menyarankan agar ia dibawa berobat ke dokter. Tapi sekeras apapun usaha bidan itu, dan

chy_bert@yahoo.com
Page 2
Hernando dapat melihat niat baik dari mata wanita itu, orangtuanya bersikeras untuk
membawanya ke seorang dukun di dekat bukit di ujung kampung mereka. Jadilah, praktek
perdukunan menjadi makanan sehari-hari Hernando kecil.
Usaha keras orangtuanya lama-kelamaan tetap tidak membuakan hasil. Tidak hanya
tangan kanannya yang pendek, tapi sekarang ukuran tubuhnya tidak normal lagi. Ketika teman-
temannya bertambah tinggi dan tinggi setiap tahunnya, Hernando dapat mengamati dengan jelas
di depan cermin tubuhnya yang mungil. Ia merasakan tulang-tulangnya seperti melebar dan
nyaris merobek dagingnya. Tapi ia tetap Hernando yang mini. Tubuhnya tidak tumbuh lagi.
Tidak pernah meski ia sudah melakukan berbagai hal yang dianjurkan neneknya.
Ketika ia beranjak remaja, tidak satu hal pun yang bisa dibanggakan darinya. Otaknya
tidak cemerlang. Ia tidak pintar matematika apalagi olahraga. Tubuhnya tidak memungkinkan.
Ayahnya merasa tidak beruntung memilikinya. Ia dapat merasakan dari sikap pria itu meski
Ayah tidak pernah mengatakan langsung padanya. Ibunya merasa malu. Ia tahu itu. Ibu memang
tidak pernah mengatakannya. Tapi ibu tidak suka membicarakan keadaannya pada keluarga atau
tetangga mereka. Hernando benci tatapan rasa kasihan. Ia benci menjadi berbeda. Setelah
usianya beranjak dua puluhan, yakni ketika ia mulai menyadari betapa sebagai seorang laki-laki
ia pun harus memikul sebuah tanggung jawab dan membuktikan kemampuannya sendiri, maka
Hernando muda memutuskan untuk merantau ke kota Padang. Dengan penuh rasa percaya diri
dan tumpukan rasa marah pada nasib, ia meninggalkan kampung.
…………….
“Bang, minum dulu sedikit,” Astri, adik perempuannya menyodorkan minuman.
Hernando menepuk dadanya. Membiarkan rasa sakit menusuk dan meluncur ke perutnya. Ia
melihat sekeliling. Mencari istrinya. “dimana Lina?” Tanya Hernando. “Di kamar bang,” Astri
menjawab pelan. Ia duduk di hadapan Hernando dengan pandangan datar dan rasa kasihan.
“Abang harus merelakan Tiara, abang harus kuat ya bang?” ujar Astri pelan. Hernando menelan
air matanya. Astri adalah adik kandungnya, seorang perempuan yang normal. Dengan ukuran
tubuh yang normal, seperti orang pada umumnya. Astri melewati masa kecil layak anak-anak
lainnya, melewati masa remaja dengan gembira dan punya cita-cita. Astri yang penuh percaya
diri dan punya harapan, yang bisa menatap orang lain dengan penuh rasa kesetaraan. Astri tidak
tahu perasaannya sekarang. Tidak tahu bagaimana rasanya kehilangan kehidupan, kehilangan
masa kecil dan sekarang kehilangan satu-satunya anak perempuan yang dimilikinya.
chy_bert@yahoo.com
Page 3
“tinggalkan aku sendiri,” ujar Hernando tenang. Suaranya datar mengambang. Astri
mengangguk, meletakkan gelas di atas meja dan meninggalkan kamar kecil itu. Satu-satunya
kamar yang masih tersisa. Hernando mencuri dengar suara dari balik pintu kamarnya. Suara
bincang-bincang beberapa orang. Lina, istrinya pastilah berada di kamar sebelah. Sekali ia
mendengar suara segukan perempuan menangis. Hatinya perih teriris. Mengapa Tuhan
memperlakukannya seperti ini? Apakah benar ia memiliki dosa yang sangat terkutuk? Dadanya
seperti hendak meledak. Ia marah. Tidak pernah semarah ini. Tubuhnya bergetar dan air matanya
mendesak keluar, menyesakkan dada. Ia ingin berteriak sekuat-kuatnya. Sebisa mungkin
melepaskan diri dari tubuh mungil yang menyedihkan ini. Melemparkannya kembali ke masa-
masa dimana putri kecilnya itu masih ada. Tiara, ketika gadis kecil itu masih bisa tersenyum dan
mencium tangannya untuk terakhir kalinya, pada 30 september, rabu lalu.
........
“Ayah,” Tiara memasuki kedai mie ayam Ayahnya, saat itu pukul satu siang. Gadis itu
masih menggunakan seragam putih abu-abunya. “bagaimana pelajaran tadi?” Tanya Hernando,
“baik yah, o ya nanti aku ada les yah, jam setengah empat,” Tiara tersenyum dan menyerobot
masuk ke tempat pengolahan mie ayam lalu mencomot kerupuk.“Ara, ganti bajumu dulu
sana,”ujar ibunya memotong. Gadis itu tersenyum usil, mencium pipi ibunya dan bergegas ke
belakang warung.. Tempat itu lebih dari sekadar warung, melainkan juga tempat tinggal mereka
sekeluarga.
Seperti biasa setelah pulang sekolah Tiara membantu melayani pengunjung. Warung mie
ayam mereka memang kecil, tapi ramai saat siang hari. Hingga pukul tiga ia masih sibuk
membantu kedua orang tuanya. Hernando sangat mencintai putrinya. Satu-satunya hal yang
membuatnya bersemangat menjalani hari-hari, mengumpulkan uang, bergegas ke pasar di subuh
buta dan menyiapkan mie ayam adalah satu hal: Tiara. Ia dan istrinya sangat ingin melihat anak
perempuan mereka itu bisa sekolah tinggi. Tidak seperti mereka. Tidak seperti Hernando.
Putrinya itu haruslah memiliki kepercayaan diri, haruslah merasa seperti layaknya anak-anak
normal lainnya. Putri mereka haruslah memiliki banyak pilihan untuk masa depannya.
“Ara, sudahlah katanya mau pergi les…” Hernando mengambil mangkuk-mangkuk dari
tangan putrinya. “Ayah…sekarang sedang ramai-ramainya,” Ara memaksa. “Sudah, sudah, sini
biar Ayah yang kerjakan, sana kamu pergi siap-siap, katanya ada les,” wajah gadis itu cemberut.
“Malas ah, sekaliiii iniii saja yah, ya yah??” Ara uring-uringan. Ia senang membantu kedua
chy_bert@yahoo.com
Page 4
orang tuanya. Tapi bagi Hernando, masa depan anaknya adalah yang paling penting. “Tidak bisa!
Kamu harus pergi les, ayo sana! Ini pekerjaan ayah sama ibu, ayo pergi sana, biar ayah yang
kerjakan,” Ara mematuhi Ayahnya. Ia bergegas kembali ke belakang warung yang menjadi
rumah mereka, bersiap –siap untuk berangkat les.
……
Jarum jam menunjukkan pukul 16.45. warung mie ayam Hernando mulai sepi. Biasanya
jam-jam segini hanya beberapa orang yang lalu lalang. Hernando dan Lina istrinya duduk-duduk
sambil menonton televise. Memotong sayuran dan menyiapkan untuk dagangan mereka
keesokan harinya. Satu-satunya hal yang membuat Hernando merasa amat berharga adalah Lina.
Wanita yang telah menemani hidupnya selama dua puluh tahun itu. Ia sendiri tidak habis pikir,
entah apa yang ada di fikiran istrinya sehingga mau menerima pinangannya. Seorang pria aneh
bertubuh kecil, pria menyedihkan yang tidak punya masa depan. Ia sendiri tidak melihat satu
keberuntungan pun dari dirinya. Ia hamper merasa tak percaya, Lina adalah wanita normal. Ia
memenuhi semua kriteria yang membuatnya tidak perlu merasa diasingkan. Merasa terasing itu
sangat menyakitkan. Hernando merasa ia sangat beruntung menemukan wanita yang menjadi
istrinya sekarang ini. Meski Lina hanya tamatan smp dan tidak punya orang tua lagi. Ia dengan
bangga dapat memperkenalkan istrinya pada orang-orang kampung, agar mereka tidak
memandangnya rendah lagi. Memandangnya dengan pandangan asing tak normal, pada tangan
kananya yang mengecil dan tubuhnya yang pendek.
“lumayan bu, pendapatan kita hari ini,” Hernando senang. “Ayah, jangan dihitung dulu,”
“lhaa memangnya kenapa? Nantinya uangnya jadi kurang ya?” Hernando tertawa, “itu kan cuma
omongan orang-orang saja,”
“ya sudah, bantu ibu menyiapkan ini, sayuran buat besok,”
“Ara sampe jam berapa lesnya bu?”
“jam setengah enam, yah, tolong baskom yang di ujung situ,” Hernando mengambil baskom
kecil abu-abu di sebelahnya.
“tidak terasa ya bu, sudah tujuh belas tahun saja usia Ara, haaah…sudah kelas tiga sma, rasanya
baru kemaren dia lahir.” Lina mengangguk tersenyum.
“Ayah mau dia bisa kuliah, apa saja, yang penting sesuai keingannya, tidak seperti kita berdua,”
“Ibu juga ingin begitu, makanya kita harus menabung lebih giat lagi, pokoknya supaya…”

chy_bert@yahoo.com
Page 5
“apa bu?” suara gemeratakan terdengar. Tiba-tiba sebuah baskom jatuh meluncur dari meja. Rak-
rak meja bergetar hebat. Semangkuk kuah tumpah. Beberapa pelanggan yang sedang makan mie
ayam tiba-tiba berteriak, “gempa!…gempa!…” menghambur cepat mereka berlarian, meloncat
keluar warung. Hernando, tidak menyadari, secepat kilat, entah bagaimana, ia telah menarik
tangan istrinya dan sekejap saja mereka berdua telah berdiri di jalan depan warung mereka.
Bumi bergetar, seperti gelombang air yang beriak di bawah kaki mereka. Lina mengucap,
bibirnya tak henti-hentinya bergerak, suaranya halus masuk ke telinga Hernando, jelas. Wajah-
wajah panik. Pucat. Diam. Menunggu bumi menghentikan detak amarahnya. Dua menit itu
rasanya seperti dua jam yang panjang. Puluhan pasang mata menyaksikan teori fisika gerak.
Warung mie ayam menjadi celengan koin yang berguncang, isinya berhamburan. Mangkuk-
mangkuk pecah. Di hadapan mereka sebuah rumah bertingkat dua jatuh terduduk seperti seorang
lelaki tua yang kehilangan tongkat. Avanza 2007 terparkir di depan kios berlantai dua,
berdentum seperti pecahan kerupuk tertimpa beton. Kaca-kacanya berlentingan. Pekikan
terdengar di udara seperti suara asing dari alam lain. Hening sesaat yang mencekam. Udara
menakutkan. Menghantui setiap makhluk bergerak. Membunuh keberanian.
“Ara…” itulah kata-kata pertama yang meluncur dari bibir Lina begitu goncangan itu
mulai reda. Diam berganti kepanikan. Rasa tangis yang menghiba. Gerak-gerik tak tentu arah.
Langit entah kenapa menjadi begitu cepat gelap. Puluhan kaki bersicepat, berkejaran waktu. Isu
tsunami sekarang menghantui. Berlarian. Berkejaran mengejar kesempatan hidup. “Evakuasi!
Cepat ke Jalur Evakuasi!!” entah suara siapa. Kebingungan menghantui mereka, Hernando dan
istrinya. “Ara yah,,ara dimana?” Lina terlihat letih membayangkan putrid mereka. Warung mie
ayam mereka menjadi hal yang tidak penting sama sekali. Ketakutan akan keselamatan Ara
menghantui, jauh lebih menakutkan dari ancaman tsunami. “Bang, ayo ke atas, jalur evakuasi,
gempa barusan kuat sekali, mungkin saja ada tsunami.” Debi, pedagang kecil di samping warung
mereka terlihat cemas. Ia membawa serta istri dan dua anaknya yang masih kecil, menjinjing
satu tas entah berisi apa. Hernando menitipkan Lina pada keluarga kecil itu, ia sendiri bergegas
pergi dengan motor yang dipinjam dari Debi untuk mencari Tiara. Tempat pertama adalah:
tempat lesnya.
Puluhan kemungkinan bersileweran di pikiran Hernando. Ia mengantongi sejumlah uang
untuk mengisi bensin. Sayang, jejeran kendaraan telah memenuhi pom bensin dalam sekejap.
Seperti disualap. Entah darimana datangnya. Puluhan orang berjalan kaki. Mengejar warung-
chy_bert@yahoo.com
Page 6
warung kecil. Wajah-wajah mereka pucat cemas, “bang, ada jual minuman tidak?” “apa saja
bang yang penting minuman,” “air mineral botol besar dua bang,” “habis!habis” “tidak bisa
diambil, barang-barang berserakan!” “cepat! Cepat!” seorang wanita menangis kebingungan
kehilangan anaknya. Gerombolan pemuda-pemuda bergegas berlarian, mengejar gedung-gedung
yang baru runtuh, mencoba menyelamatkan siapa saja yang terkurung. Beberapa orang bergegas
mengungsi, ada yang membawa tikar, botol minuman, tas ransel, mendorong motor, atau hanya
mengucap-ucap sepanjang jalan, menangis tak tentu arah. Memasuki jalan besar suara sirine
pemadam terdengar meraung-raung. Di beberapa sudut asap mengepul, kebakaran hebat. Jalanan
Macet Total. Tidak ada jalan lain selain menyelip diantara kendaraan-kendaraan. Terlihat
rombongan besar mahasiswa-mahasiswa kedokteran yang sedang praktek berjalan beriringan,
dengan tas punggung, dalam satu komando bersicepat berkejaran untuk memberikan pertolongan
pertama. Suara sirine meraung-raung diantara teriakan supir bus. Kota yang awalnya tenang tiba-
tiba berubah menjadi tempat yang paling mencekam.
Setengah jam lebih Hernando baru bisa terlepas dari kemacetan. Ia tidak mempedulikan
apapun lagi. Perasaannya agak sedikit tenang begitu terdengar berita radio yang dipasang dengan
pengeras suara di setiap mesjid: gempa tidak berpotensi tsunami. Hernando sedikit lega.
Sekarang ia hanya harus menemukan Tiara. Putrinya. Menjemputnya segera dan membawanya
pulang.
Menjelang magrib. Tubuhnya lelah. Tak peduli kendaraan roda dua itu diletakkan begitu
saja di pinggir jalan. Hernando berlari menuju halaman tempat les putrinya. Gedung tiga tingkat
itu tertekuk, terlihat miring. Di sekelilingnya wajah-wajah kecemasan menanti. Orang tua murid.
Mencoba sekuat tenaga mencari putra-putri mereka. Hernando berkeliling, mencari Tiara,
memastikan keberadaan putrinya. menanyakan siapa saja yang bisa ditanya. “pak,” seorang
wanita menyapanya, “bapak orang tuanya Tiara?” “iya, saya benar sekali” Hernando berbinar.
“Saya gurunya Tiara pak,” “iya, iya, anak saya dimana bu??” Wanita itu diam sesaat, matanya
yang kelelahan terlihat berkaca-kaca. “Tiara tadi sedang belajar di lantai dua pak,”
“ya,”
“anak-anak tidak sempat keluar pak, banyak yang terkurung sebelum gedung ambruk.
Kejadiannya cepat sekali pak. Tiara masih di dalam kelas pak..…”
Hernando tercekat. Ia seperti dicekik oleh sebuah tangan raksasa. Tenggorokannya
sempit dan membuatnya tak bisa bernafas. Ia menatap marah pada gedung tinggi itu. Menatap
chy_bert@yahoo.com
Page 7
marah pada tubuh kecil dan tangan kanannya yang pendek. Beberapa pemuda beserta sejumlah
aparat kepolisian berusaha mencari sumber suara dari sisa reruntuhan. Hernando berjalan.
Terhuyung-huyung. Berputar dari satu sudut ke sudut lain sambil terus
berteriak,”Araaa….Araaaa….” Air matanya terasa asin.

Didedikasikan untuk anak-anak korban Gempa Padang 30 September

PadanK 23 Januari 2010

chy_bert@yahoo.com
Page 8

You might also like