Professional Documents
Culture Documents
1 http://id.wikipedia.org/wiki/Wayang
Untuk membuatnya, beberapa helai daun rerumputan dijalin
lalu dirangkai (dengan melipat) membentuk figur serupa wayang
kulit. Karena bahannya, wayang suket biasanya tidak bertahan
lama. 2
2 http://id.wikipedia.org/wiki/Wayang_suket
pendapat miring dari kalangan seniman di sekitarnya. Tahun demi
tahun, pentas wayang suketnya ternyata banyak mengundang
minat. Tidak hanya keliling di berbagai kota, tapi juga ditanggap ke
luar negeri. Ia pun menjadi sosok seniman fenomenal. Di tangan
Slamet Gundono, Wayang Suket menjadi sebuah media seni teater
berbasis kesenian tradisional wayang.
Slamet Gundono awalnya tidak berpikir sama sekali jika suket
akan menjadi trend sebuah wayang. Wayang suket adalah
pengalaman bawah sadar masa kecilnya. Bukan kesengajaan yang
dimunculkan dan dieksplorasi di dunia seni. Setiap hari di masa
kecilnyan sawah menjadi tujuan utama dia bermain. Setiap hari ia
melihat suket. Ketika para petani sedang santai mereka
menganyam bagian batang jenis rumput menyerupai model wayang
untuk mengisi waktu istirahatnya.
Pertama kali wayang suket dimainkan pada tahun 1997 di
Riau. Sebuah proses yang tidak disengaja, tiba-tiba ia harus
mementaskan wayang. Padahal, di sana tidak dietemukan satupun
perlengkapan pewayangan. Akhirnya ia memutuskan untuk
memakai suket, suket ia bentuk, lalu di ikat, dan di gulung menjadi
beragam bentuk yang kemudian ia mainkan. Gamelannya pakai
mulut, ala kadarnya dengan lakon “Kelingan Lamun Kelangan”.
Itulah pertunjukkan wayang suket pertamanya. 3
3 http://kedaipuisi.wordpress.com/2008/04/02/wayang-suket-pengalaman-bawah-
slamet-gundono/
Menafsir kembali siapa itu wayang-wayang sebagai bayangan
hidup. Manusia terus tumbuh, tapi wayang kulit tidak. Werkudoro
yang sedang sakit tetap membusung gagah, menangis pun tetap
membusung gagah. Satu sisi ini menunjukkan wayang kulit sudah
terlalu puncak, sudah selesai sebagai sebuah perjalanan estetika.
Sudah stagnan untuk memberi ruang bebas. Sehingga akhirnya
muncul eksperimen-eksperimen vulgar.
Slamet Gundono tidak ingin ikut arus tersebut, sehingga ia
memutuskan memilih suket untuk memulainya.
FILOSOFI SUKET
Filosifi suket diartikan sebagai sesuatu yang terus tumbuh
adalah spirit yang membuat Slamet bangga. Suket hanya butuh air
dan sinar matahari. Kekuatan filosofi ini menggambarkan kekuatan
ruang imajinasi dari wayang suket. Pertunjukkannya merupakan
simbol grass root yang mempertanyakan tentang diri, bukan
memberontak atau merusak. Konsep pertunjukannya adalah
pelataran seperti lagunya, urip kuwi mung koyo bocah cilik dolanan
nang pelataran.
Selain itu, dimaksudkan pula dimana dia berada dia bisa
mendalang, selama ditemukan suket maka dia bisa terus bercerita
dan menghibur.
Slamet Gundono mengemas Wayang Suket secara apik dan
unik sebagai kreasi baru dunia pewayangan. Cerita yang
diangkatnya bukan sekedar cerita-cerita klasik yang bersumber dari
kitab Mahabarata, Ramayana, kisah Panji, atau kisah Menak, tapi
sudah berkolaborasi dengan sumber cerita keseharian yang lagi
menjadi sorotan.
Setelah wayang suket selesai pentas, biasanya banyak yang
berebutan untuk mendapatkan wayang suket dan dibawa pulang
untuk dipajang. Durasi pementasannya fleksibel, pernah hanya
15 menit, pernah satu jam, pernah juga tiga jam. Pernah pentas
dengan tiga orang, pernah pula pentas dengan 30. Begitu juga
dengan iringan musiknya, ia hanya membawa satu atau dua jenis
perangkat gamelan, bambu, ditambah gitar kecil untuk
berimprovisasi, bisa juga dengan cangkem (mulut).
Gundono menyandingkan tokoh-tokoh wayang yang biasa
dikenal dengan tokoh yang dicomot dari dunia keseharian sang
dalang, semuanya berbalut kritik sampai joke-joke yang membuat
penonton terpingkal-pingkal.
Ketika tampil di panggung, Slamet Gundono tidak
menggunakan baju beskap, blangkon, dan keris di pinggang
sebagaimana kaidah-kaidah seni pedalangan tradisional. Ia biasa
tampil dengan pakaian setengah telanjang atau seperti koboi. Media
pementasannya pun tidak menggunakan wayang, kecuali untuk
gunungan atau beberapa tokoh. Malah kadang ia menggunakan
buah-buahan hasil kebun; seperti cabe, mentimun, tomat, bawang
merah, dan lain-lain yang tertancap di batang pisang; jika di
panggung.
Sangat bertolak belakang dengan pementasan wayang pada
umumnya yang mengharuskan adanya beberapa syarat baku yang
tidak bisa di tinggalkan dalam setiap pementasannya. Wayang
suket terkesan lebih simple dan apa adanya akan tetapi tetap
membawa unsur-unsur moral serta jauh dari kesan asal-asalan.
Kesederhanaan dan lepas dari mainstream wayang yang biasa
orang ketahui.
Dari pengalaman beberapa tahun memopulerkan wayang
suket, Slamet menandai orang-orang yang mengundang wayang
suket tidak sekadar nanggap. Ia menangkap romantisme kuat pada
mereka, yakni romantisme masyarakat agraris. Itu ada di ruang
bawah sadar orang-orang kota. Tak hanya orang-orang asal Jawa
yang antusias. Penonton di Berlin, Jerman, pun memberikan
antusiasme serupa. Begitu terkesannya pada pertunjukan Slamet
Gundono, beberapa penonton mengundangnya makan malam
seusai pentas.4
4 http://mediakeberagaman.com/wayang-suket-’bom’-wong-solo.php
Selain lakon masternya, “Kelingan Lamun Kelangan”, ada
lakon-lakon lain yang digarap Slamet Gundono, antara lain; “Sukesi
atau Rahwana Lahir”, “Limbuk Ingin Merdeka”, dan “Bibir Merah
Banowati” tergantung segmen dan keinginan pasar. Di tangan
Slamet Gundono, Wayang Suket menjadi tontonan yang enak,
segar, dan penuh tuntunan. Ia berpijak pada seni tradisi dalam
mengupas persoalan pada masa kekinian.
KESIMPULAN
Dunia wayang ternyata dapat diselaraskan dengan keadaan
jaman yang telah banyak berubah. Di tangan Slamet Gundono,
wayang di gambarkan menjadi sesuatu yang lebih sederhana
namun tetap tidak melupakan hakekatnya sebagai budaya bangsa.
Dengan bahasa yang mudah diartikan oleh para pendengar
yang tentu saja tidak segmented hanya orang yang mengerti
bahasa jawa saja. Dengan penokohan yang tetap sesuai
pewayangan namun ide cerita yang berlatar belakang jaman
sekarang yang sedang kita hadapai. Dengan memasukkan unsur-
unsur komedi, kritik-kritik pedas terhadap keadaan jaman yang
tentu saja banyak berubah. Dengan cara ini diharapkan cerita
wayang dapat lebih mudah untuk diserap oleh para penikmatnya.
Diharapkan, untuk kedepannya kita dapat terus melestarikan
budaya kita. Budaya yang merupakan warisan lelhur kita, sehingga
keberadaan Indonesia tetap berwarna dengan kekayaan budaya.
Agar tidak dicuri oleh bangsa lain yang sangat iri terhadap
kekayaan budaya kita.