You are on page 1of 10

WAYANG SUKET

Wayang sudah dikenal sejak zaman prasejarah yaitu sekitar


1500 tahun sebelum Masehi. Masyarakat Indonesia memeluk
kepercayaan animisme berupa pemujaan roh nenek moyang yang
disebut hyang atau dahyang, yang diwujudkan dalam
bentuk arca atau gambar.
Wayang merupakan seni tradisional Indonesia yang
berkembang di Pulau Jawa dan Bali. Pertunjukan wayang itu sendiri
telah diakui oleh UNESCO pada tanggal 7 November 2003, sebagai
karya kebudayaan yang mengagumkan dalam bidang cerita narasi
dan warisan yang indah dan sangat berharga (Masterpiece of Oral
and Intangible Heritage of Humanity). 1

Ada versi wayang yang dimainkan oleh orang dengan


memakai kostum, yang dikenal sebagai wayang orang, dan ada pula
wayang yang berupa sekumpulan boneka yang dimainkan
oleh dalang. Wayang yang dimainkan dalang ini diantaranya
berupa wayang kulit atau wayang golek. Cerita yang dikisahkan
dalam pagelaran wayang biasanya berasal
dari Mahabharata dan Ramayana.

SEJARAH WAYANG SUKET


Nama wayang suket mungkin belum terkenal seperti wayang
kulit, wayang orang, maupun wayang golek, namun fenomenanya
luar biasa, seolah mengalahkan wayang-wayang ’pakem’ yang
terlebih dahulu ’lahir’.
Wayang suket merupakan bentuk tiruan dari berbagai
figur wayang kulit yang terbuat dari rumput (bahasa Jawa: suket).
Wayang suket biasanya dibuat sebagai alat permainan atau
penyampaian cerita pewayangan pada anak-anak di desa-
desa Jawa.

1 http://id.wikipedia.org/wiki/Wayang
Untuk membuatnya, beberapa helai daun rerumputan dijalin
lalu dirangkai (dengan melipat) membentuk figur serupa wayang
kulit. Karena bahannya, wayang suket biasanya tidak bertahan
lama. 2

Slamet Gundono, adalah ayah sekaligus ibu yang melahirkan


ide wayang suket. Pria bertubuh tambun dengan bobot sekitar 350
kg, kelahiran Slawi, Tegal 19 Juni 1966 ini menemukan ide
pementasan wayang suket sejak tahun 1997 lalu.
Slamet Gundono memang belum setenar Ki Manteb
Sudarsono, Ki Anom Suroto, maupun Asep Sunarya, namun karya-
karyanya sangat akrab di telinga para pecinta seni khususnya seni
tradisional.
Kedua orang tuanya petani tulen, tidak ada darah seni yang
mengalir sama sekali. Nama asli pemberian orang tuanya hanya
Gundono. “Slamet” merupakan pemberian guru SD-nya yang lalu
diterakan di ijazah.
Kesenangannya pada pedalangan secara disadari karena ia
tertarik sejak kecil. Tapi ia tidak menyukai kehidupan kesenian
pedalangan saat itu yang dekat dengan minum dan main
perempuan. Hal itulah yang membuat dia jengah dan memutuskan
masuk ke pesantren di Lebak Siu sampai Madrasah Aliyah.
Meskipun tumbuh di lingkungan pesantren, kecintaannya terhadap
wayang tidak pernah hilang, ia semakin rindu wayang.
Kini, Wayang Suket menjadi sebuah ikon bagi Slamet
Gundono, yang merupakan alumni Jurusan Seni Pedalangan,
Sekolah Tinggi Seni Indonesa (STSI) Surakarta tahun 1999. Slamet
yang berpenampilan nyentrik semula dikenal sebagai dalang
wayang kulit. Di saat dia mulai ramai mendalang di berbagai
kesempatan undangan, Slamet justru berbelok dan menekuni seni
wayang suket.
Awalnya ia kerap menjadi bahan olok-olok dan mengundang

2 http://id.wikipedia.org/wiki/Wayang_suket
pendapat miring dari kalangan seniman di sekitarnya. Tahun demi
tahun, pentas wayang suketnya ternyata banyak mengundang
minat. Tidak hanya keliling di berbagai kota, tapi juga ditanggap ke
luar negeri. Ia pun menjadi sosok seniman fenomenal. Di tangan
Slamet Gundono, Wayang Suket menjadi sebuah media seni teater
berbasis kesenian tradisional wayang.
Slamet Gundono awalnya tidak berpikir sama sekali jika suket
akan menjadi trend sebuah wayang. Wayang suket adalah
pengalaman bawah sadar masa kecilnya. Bukan kesengajaan yang
dimunculkan dan dieksplorasi di dunia seni. Setiap hari di masa
kecilnyan sawah menjadi tujuan utama dia bermain. Setiap hari ia
melihat suket. Ketika para petani sedang santai mereka
menganyam bagian batang jenis rumput menyerupai model wayang
untuk mengisi waktu istirahatnya.
Pertama kali wayang suket dimainkan pada tahun 1997 di
Riau. Sebuah proses yang tidak disengaja, tiba-tiba ia harus
mementaskan wayang. Padahal, di sana tidak dietemukan satupun
perlengkapan pewayangan. Akhirnya ia memutuskan untuk
memakai suket, suket ia bentuk, lalu di ikat, dan di gulung menjadi
beragam bentuk yang kemudian ia mainkan. Gamelannya pakai
mulut, ala kadarnya dengan lakon “Kelingan Lamun Kelangan”.
Itulah pertunjukkan wayang suket pertamanya. 3

Bekal pengalaman pertama dari Riau itu ia bawa pulang ke


tanah Jawa. Slamet Gundono mengumpulkan beberapa teman dan
membentuk komunitas wayang suket yang kemudian ia pakai
sebagai nama Padepokan Komunitas Wayang Suket, di Ngringo,
Jaten, Karanganyar, Jawa Tengah.
Kelebihan wayang suket adalah ruang yang sangat bebas bagi
penonton untuk membangun imajinasinya. Dalam wayang suket,
semua diajak untuk berimajinasi, tanpa adanya patokan pasti
mengenai simbol-simbol pewayangan yang sudah lebih dahulu ada.

3 http://kedaipuisi.wordpress.com/2008/04/02/wayang-suket-pengalaman-bawah-
slamet-gundono/
Menafsir kembali siapa itu wayang-wayang sebagai bayangan
hidup. Manusia terus tumbuh, tapi wayang kulit tidak. Werkudoro
yang sedang sakit tetap membusung gagah, menangis pun tetap
membusung gagah. Satu sisi ini menunjukkan wayang kulit sudah
terlalu puncak, sudah selesai sebagai sebuah perjalanan estetika.
Sudah stagnan untuk memberi ruang bebas. Sehingga akhirnya
muncul eksperimen-eksperimen vulgar.
Slamet Gundono tidak ingin ikut arus tersebut, sehingga ia
memutuskan memilih suket untuk memulainya.

FILOSOFI SUKET
Filosifi suket diartikan sebagai sesuatu yang terus tumbuh
adalah spirit yang membuat Slamet bangga. Suket hanya butuh air
dan sinar matahari. Kekuatan filosofi ini menggambarkan kekuatan
ruang imajinasi dari wayang suket. Pertunjukkannya merupakan
simbol grass root yang mempertanyakan tentang diri, bukan
memberontak atau merusak. Konsep pertunjukannya adalah
pelataran seperti lagunya, urip kuwi mung koyo bocah cilik dolanan
nang pelataran.
Selain itu, dimaksudkan pula dimana dia berada dia bisa
mendalang, selama ditemukan suket maka dia bisa terus bercerita
dan menghibur.
Slamet Gundono mengemas Wayang Suket secara apik dan
unik sebagai kreasi baru dunia pewayangan. Cerita yang
diangkatnya bukan sekedar cerita-cerita klasik yang bersumber dari
kitab Mahabarata, Ramayana, kisah Panji, atau kisah Menak, tapi
sudah berkolaborasi dengan sumber cerita keseharian yang lagi
menjadi sorotan.
Setelah wayang suket selesai pentas, biasanya banyak yang
berebutan untuk mendapatkan wayang suket dan dibawa pulang
untuk dipajang. Durasi pementasannya fleksibel, pernah hanya
15 menit, pernah satu jam, pernah juga tiga jam. Pernah pentas
dengan tiga orang, pernah pula pentas dengan 30. Begitu juga
dengan iringan musiknya, ia hanya membawa satu atau dua jenis
perangkat gamelan, bambu, ditambah gitar kecil untuk
berimprovisasi, bisa juga dengan cangkem (mulut).
Gundono menyandingkan tokoh-tokoh wayang yang biasa
dikenal dengan tokoh yang dicomot dari dunia keseharian sang
dalang, semuanya berbalut kritik sampai joke-joke yang membuat
penonton terpingkal-pingkal.
Ketika tampil di panggung, Slamet Gundono tidak
menggunakan baju beskap, blangkon, dan keris di pinggang
sebagaimana kaidah-kaidah seni pedalangan tradisional. Ia biasa
tampil dengan pakaian setengah telanjang atau seperti koboi. Media
pementasannya pun tidak menggunakan wayang, kecuali untuk
gunungan atau beberapa tokoh. Malah kadang ia menggunakan
buah-buahan hasil kebun; seperti cabe, mentimun, tomat, bawang
merah, dan lain-lain yang tertancap di batang pisang; jika di
panggung.
Sangat bertolak belakang dengan pementasan wayang pada
umumnya yang mengharuskan adanya beberapa syarat baku yang
tidak bisa di tinggalkan dalam setiap pementasannya. Wayang
suket terkesan lebih simple dan apa adanya akan tetapi tetap
membawa unsur-unsur moral serta jauh dari kesan asal-asalan.
Kesederhanaan dan lepas dari mainstream wayang yang biasa
orang ketahui.
Dari pengalaman beberapa tahun memopulerkan wayang
suket, Slamet menandai orang-orang yang mengundang wayang
suket tidak sekadar nanggap. Ia menangkap romantisme kuat pada
mereka, yakni romantisme masyarakat agraris. Itu ada di ruang
bawah sadar orang-orang kota. Tak hanya orang-orang asal Jawa
yang antusias. Penonton di Berlin, Jerman, pun memberikan
antusiasme serupa. Begitu terkesannya pada pertunjukan Slamet
Gundono, beberapa penonton mengundangnya makan malam
seusai pentas.4

4 http://mediakeberagaman.com/wayang-suket-’bom’-wong-solo.php
Selain lakon masternya, “Kelingan Lamun Kelangan”, ada
lakon-lakon lain yang digarap Slamet Gundono, antara lain; “Sukesi
atau Rahwana Lahir”, “Limbuk Ingin Merdeka”, dan “Bibir Merah
Banowati” tergantung segmen dan keinginan pasar. Di tangan
Slamet Gundono, Wayang Suket menjadi tontonan yang enak,
segar, dan penuh tuntunan. Ia berpijak pada seni tradisi dalam
mengupas persoalan pada masa kekinian.

LAKON WAYANG SUKET

MAIN BOLA ALA KORUPTOR


Oleh: Ki Slamet Gundono
(http://wayang.wordpress.com/2010/03/07/main-bola-ala-koruptor/)

WARNA-WARNI umbul-umbul mewarnai langit di atas


Gemporium Stadium Ngastina. Sore itu, di stadion besar tersebut,
sedang dilangsungkan big match, pertandingan mahadahsyat,
game of the year, antara Kurawa Dream Team versus Ngalengka
Best Team. Ribuan bonek Ngalengka terlihat wira-wiri di stadion
mencari celah gratisan.
Ratusan spanduk dibeber oleh para suporter sebagai bentuk
dukungan kepada yang bertanding. Il Capitano Duryudana, aku di
belakangmu!!! Begitu bunyi salah satu spanduk. Rahwana, I Love
You, spanduk yang lain tak mau kalah bersaing. Melihat jajaran
spanduk warna-warni itu, hati para pemain kian mongkog. Irung
mereka tambah mekrok.
”Kami punya trik khusus. Kalau perlu, maen srimpung,” kata
Sengkuni, dedengkot tim Kurawa saat jumpa pers. Rahwana tak
mau kalah. ”Dengan kekuatan Dasamuka plus Kumbakarna di
bawah mistar, we are the best,” katanya. Perang analisis di media
massa pun terjadi. Ngalengka siap turunkan Kumbakarna dan
Rahwana dengan Dasamuka-nya. Begitu bunyi headline Ngastina
Pos.
Tiket Gemporium Stadium ludes terjual. Suporter kedua kubu
tampak mbleber di pinggir lapangan. Di tengah lapangan, terlihat
Kresna, wasit yang sudah punya lisensi internasional, melemparkan
mata uang. Sengkuni dan Rahwana terlihat saling sepakat dan
berjabat tangan.
Kick off!!
Bola dihadapi Duryudana dan Sengkuni. Bola ditendang ke
belakang, diterima Kartamarma. Tik-tak, cepat satu dua diteruskan
long pass ke kiri luar. Salah satu dari sepuluh kepala Rahwana cepat
memotong bola. Kesepuluh kepala Rahwana terlihat kompak
bermain bola atas, saling sundul sementara si tubuh berlari cepat.
Pertahanan Kurawa diam terperangah.
Tampak bola dilambungkan ke atas. Kepala bagian tengah
dari sepuluh kepala mencoba memanjangkan lehernya. Wuzzz, bola
melesat tepat dalam pelukan Dursasana, ”Kunyuk Durmogati!
Bajingan! Di-srimpung Le, aja meneng bae” teriak Dursasana.
Walaupun jumlah Kurawa lebih banyak, beberapa kali
serangan Kurawa mentok. Akhirnya, Sengkuni dan Duryudana
mendekat saling umik-umik. Keduanya terlihat saling berdebat
serius.
Akhirnya, Rahwana melakukan blitzkrieg cepat lantaran
melihat ada kesempatan. Tapi, Sengkuni mendekati kepala ke
sembilan dari Rahwana. Kepala dengan wajah melankolis dengan
kumis tipis yang selalu diliputi senyum, Si Roh Khim Sahuri.
Sengkuni mengacungkan selembar kuitansi senilai 31,7 miliar.
Uangnya diambil Sengkuni dari dana nonbudgeter fishing and
maritime department Kurawa. Dana yang ngendon lama tak
terpakai, dari pada mubazir pikir Sengkuni. Kekompakan Ngalengka
Best Team terganggu. Lewat umpan silang Kartamarma, Duryudana
merobek jala Kumbokarno, 1-0.
”Roh Khim, bedebah, ente gelo, yo opo masih kurang ta gaji
ente?” teriak Rahwana wajah ke lima. Wah tidak bisa didiemkan
nich kalo begini carane, timpal wajah keenam. Keduanya, lewat
ponsel 3G, browsing data riwayat hidup Sengkuni. Akhirnya, ketemu
celahnya. Sengkuni pun diganggu lewat telepon.
”Ya…ini siapa? Duit mah biasa, ada plusnya nggak? Cantik
mana dengan istri saya?” jawab Sengkuni by phone. Wajah kelima
Rahwana menerangkan, plus-plus itu gak kalah caem, malah denok-
denok duebleng, semlohay. Lalu, dalam babak istirahat, di ruang
ganti, Sengkuni ”bertanding” sendiri melawan si plus-plus itu. Dia
krenggosan adus kringet melakukan serangan mematikan, diakhiri
gol-gol fantastis.
Hasilnya nyata. Di babak kedua, dengkul Sengkuni teklok.
Koordinasi lapangan tengah Kurawa pun mudah diterobos. Sebuah
sundulan keras dari jarak 12 meter merobek jalan Dursasana. 1-1
bertahan hingga peluit akhir ditiup Kresna.
Sengkuni pun seperti diadili. Dia tertunduk lesu saat sadapan
telepon yang membuktikan bahwa dia minta servis plus-plus
diputar. Namun, tim tetap diupayakan solid agar tetap bisa beraksi.
Akhirnya, mereka menantang Ngamarta FC.
”Kakang, Diterima aja lah, jangan nyerah. Kita pasti menang,”
sahut Werkudara saat ditanya Puntadewa soal tantangan Ngastina.
Lalu, seperti yang sudah direncanakan, peluit panjang Kresna
kembali ditiup.
Umpan silang manis Werkudara, diselesaikan tendangan salto
Arjuna tepat di sudut gawang Dursasana. Dari tengah lapangan,
Nakula berhasil melewati tiga hadangan. Sontekan kecil mengecoh
Dursasana, kembali merobek jala Dursasana. Pertahanan kuat
Kurawa, dibuat kocar-kacir Pandawa.
Sengkuni, dari bangku cadangan membisikkan sesuatu pada
Duryudana. Dilihatnya perempuan sexy dalam balutan kaus tim
Ngamarta FC. Duryudana menyalami wanita itu. Namanya, Artalyta
Mustokoweni. Di ruang ganti, Duryudana menawarkan sebuah
tawaran 6 miliar untuk membuat skandal calciopoli (pengaturan
skor). Setelah bersalaman, keduanya memisahkan diri.
Di sela-sela babak pertama, Artalyta Mustokoweni mendekati
beberapa hakim garis seperti yang direncanakan. So, memasuki
babak kedua, pertandingan berat sebelah. Dalam waktu singkat,
kedudukan sudah imbang 3-3. Werkudara merasakan ada sesuatu
yang janggal. Di pinggiran lapangan, Werkudara membisikkan
sesuatu ke Gatotkaca, Antasena, dan Antareja.
Dalam waktu singkat, Mustokoweni diseret ke KPK (Komisi
Penegakan Kesebelasan). Di pengadilan, Artalyta Mustokoweni
dihukum 5 tahun penjara dan denda 250 juta. Artalyta Mustokoweni
dengan tersenyum mbatin, wah kecil amat hukumanku. Terbayang,
6 miliar masih bisa untuk hidup tujuh turunan.

KESIMPULAN
Dunia wayang ternyata dapat diselaraskan dengan keadaan
jaman yang telah banyak berubah. Di tangan Slamet Gundono,
wayang di gambarkan menjadi sesuatu yang lebih sederhana
namun tetap tidak melupakan hakekatnya sebagai budaya bangsa.
Dengan bahasa yang mudah diartikan oleh para pendengar
yang tentu saja tidak segmented hanya orang yang mengerti
bahasa jawa saja. Dengan penokohan yang tetap sesuai
pewayangan namun ide cerita yang berlatar belakang jaman
sekarang yang sedang kita hadapai. Dengan memasukkan unsur-
unsur komedi, kritik-kritik pedas terhadap keadaan jaman yang
tentu saja banyak berubah. Dengan cara ini diharapkan cerita
wayang dapat lebih mudah untuk diserap oleh para penikmatnya.
Diharapkan, untuk kedepannya kita dapat terus melestarikan
budaya kita. Budaya yang merupakan warisan lelhur kita, sehingga
keberadaan Indonesia tetap berwarna dengan kekayaan budaya.
Agar tidak dicuri oleh bangsa lain yang sangat iri terhadap
kekayaan budaya kita.

You might also like