You are on page 1of 9

Peter Kasenda

Kontroversi di Sekitar Soekarno


Peran Soekarno dalam G-30-S

Kalau kita menelusuri sepanjang sejarah Indonesia yang berkaitan dengan nama mantan
presiden Republik Indonesia yang pertama, maka tidak jarang ditemukan polemik yang
berkepanjangan dan sepertinya tidak akan pernah selesai. Misalnya, sekitar peranan politik
Presiden Soekarno pada tahun-tahun sebelum kejatuhannya akibat Persitiwa Gerakan 30
September. Surat-surat dari Sukamiskin (surat-surat pengampunan Soekarno kepada pemerintah
Hindia Belanda), Soekarno bukan satu-satunya pembicara tentang Pancasila sebagai dasar negara
dan ada tuduhan bahwa Soekarno menerima komisi dari pemerintah Jepang sebagai hasil
rampasan perang. Dan ada kemungkinan polemik tentang diri Soekarno berkelanjutan, entah
tentang apalaginya Soekarno.

Tokoh sejarah yang paling kontroversial adalah Soekarno, pemimpin gerakan nasionalis
yang paling terkemuka dan presiden Republik Indonesia yang pertama (1945-1967). Menjelang
akhir hayatnya. lima tahun sebelumnya, Republik Indonesia dan rakyatnya telah mengalami
malapetaka dengan pecahnya Gerakan 30 September, yang melibatkan Partai Komunis
Indonesia, Angkatan Bersenjata, Presiden RI dan rakyat biasa, yang pada umumnya tidak
menyadari benar apa yang sedang terjadi. Bahwa dalam periode setelah Gerakan 30 September
tokoh Soekarno lebih banyak dilukiskan dengan warna hitam mudah diduga dan dapat dipahami.
Namun bersamaan dengan itu justru publikasi luar negeri itu dengan tinjauan yang lebih kritis,
sehingga di dalam lukisannya terdapat warna-warna yang tidak sepenuhnya hitam.

Ada beberapa fakta yang mengenai Gerakan 30 September yang tidak dapat disangkal
oleh siapapun. Pada malam hari tanggal 30 September aktivis-aktivis dari komplotan kudeta itu
berkumpul di pangkalan Angkatan Udara di Halim. Mereka, antara lain terdiri dari para perwira
tentara seperti Letkol Untung, Brigjen Soepardjo, panglima tempur di Kalimantan, dan Kolonel
Latief, komandan Brigade Infanteri yang ditempatkan di Jakarta. Dan dari Angkatan Udara, ada
Letkol Heru Atmodjo, seorang perwira intel, Mayor Sujono, komandan pertahanan udara Halim,
dan Mayor Gatot Sukrisno yang secara rahasia sedang melatih kelompok–kelompok pemuda di
Halim untuk Angkatan Kelima. Aidit dan Sjam, seorang kepercayaannya yang dekat, serta Omar
Dhani, panglima Angkatan Udara, juga berada di Halim. Sampai sejauh mana mereka
berhubungan dengan para aktivis kudeta, masih merupakan pokok perdebatan. Di bawah Untung
dan kawan-kawannya tersedia sebuah kompi Cakrabirawa yang merupakan kesatuan lama
Untung, Batalyon Raider 454 Diponogoro, Batalyon Raider 530 Brawijaya, kedua-keduanya
didatangkan ke Jakarta untuk diikut sertakan dalam Parade Hari Angkatan Bersenjata pada
tanggal 5 Oktober, dua peleton dari Brigade Latief, pasukan darat Angkatan Udara, dan unsur-
unsur dari Pemuda Rakyat serta Gerwani yang telah dilatih Gatot Sukriano. Begitu kata Ulf
Sundhaussen, yang ahli militer itu.

Pagi-pagi sekali tujuh regu yang terutama terdiri dari prajurit-prajurit Cakrabirawa
dengan sejumlah kecil sukarelawan dari Pemuda Rakyat mendatangi rumah Nasution, Yani dan
perwira-perwira staf Angkatan Darat, Mayjen Suprapto ( Deputi II), Mayjen Harjono Deputi
III), Mayjen Parman ( kepala intel AD), Brigjen Pandjaitan (Logistik), dan Brigjen Sutojo
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com, peterkasenda@rocketmail.com
Peter Kasenda

Siswomihardjo, Oditur Jendral AD. Pasukan itu diperintahkan untuk menangkap jendral-jendral
tersebut dan membawa mereka ke Halim; tidak ada seorang pun dari jendral dibiarkan lolos, dan
perintah ini oleh regu-regu tersebut diartikan bahwa mereka harus membawa mereka hidup atau
mati. Yani, Haryono, dan Pandjaitan dibunuh ketika mereka melawan dan mayat mereka dibawa
pergi. Suprapto, Parman dan Sutoyo di bawa. Nasution nyaris tertangkap dan dapat meloloskan
diri dari sergapan prajurit-prajurit itu yang melukai secara fatal puterinya yang berusia lima
tahun, membunuh seorang polisi di dekat tempat itu, dan menculik seorang ajudan Nasution,
Letnan Pierre Tendean, yang dibawa ke Halim dan dibunuh di sana bersama-sama dengan ketiga
jendral tadi. Mayat keenam jendral dan Tendean dibuang ke dalam sebuah sumur yang sudah
tidak bisa dipakai di suatu daerah yang dikenal sebagai Lubang Buaya. Dalam waktu yang
bersamaan kedua batalyon raider menduduki Lapangan Monas dan menguasai istana Presiden,
gedung RRI, dan Pusat Telekomunikasi.

Tafsiran

Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com, peterkasenda@rocketmail.com
Peter Kasenda

Indonesia di bawah Demokrasi Terpimpin yang semakin bergeser ke kiri, perlindungan


Soekarno terhadap PKI dan keberadaan Presiden Soekarno di Halim, yang merupakan markas
komplotan kudeta tersebut, ternyata telah menimbulkan berbagai spekulasi, apakah presiden
sadar akan rencana Gerakan 30 September dan sampai seberapa jauh simpatinya terhadap
gerakan tersebut. Menurut suatu dokumen yang dinyatakan sebagai catatan dari pemeriksaan
terhadap bekas ajudan Soekarno, Kolonel (Mar) Bambang Widjanarko pada akhir tahun 1970,
Soekarno telah memutuskan pemberhentian Yani dan menunjuk Deputi Kesatu, Mayor Jendral
Angkatan Darat Mursjid sebagai kepala staf Angkatan Darat yang baru. Soekarno telah
memerintahkan Yani agar ke istana tanggal 1 Oktober, barangkali untuk diberitahukan tentang
pemberhentiannya. Dengan Omar Dhani pada tanggal 29 September, Soekarno membicarakan
“kekalutan“ di kalangan Angkatan Darat dan menurut Omar Dhani, telah diberi tahu juga tentang
adanya sekelompok perwira yang tidak puas, termasuk Supardjo. Menurut Bambang
Widjanarko, Supardjo sendiri hadir dalam pembicaraan itu. Keadaan itu, kata Harlod Crouch,
tampak jelas presiden sadar bahwa suatu gerakan menentang pimpinan Angkatan Darat sedang
tumbuh dan cukup beralasan untuk menganggap bahwa ia berniat untuk mengeksploitasi konflik
itu dengan mengorbankan Yani. Telah diperlihatkan, bagaimanapun, bahwa peranan Soekarno
adalah lebih dari sekedar pihak ketiga yang berharap dapat mengeksploitasi ketidakpuasan para
perwira muda terhadap kepemimpinan Angkatan Darat.

Berdasarkan pemeriksaan terhadap Bambang Widjanarko, Antonie C Dake dalam


bukunya The Spirit of Red Banteng mengemukakan bahwa Soekarno-lah sebenarnya pemrakarsa
Gerakan 30 September. Menurut Bambang Widjanarko, ketika Soekarno merayakan hari ulang
tahunnya yang ke-64 di istana Tampaksiring Bali, ia mengeluh tentang sikap para jendral senior
Angkatan Darat dan mengatakan kepada Panglima Daerah Militer Bali Brigadir Jendral
Sjafuddin untuk memeriksa “kesetiaan“ para pemimpin Angkatan Darat. Kemudian, Sjafuddin
dan Komandan CPM Brigadir Jendral Sudirgo tampak di antara mereka yang dimintai
pertimbangan oleh Soekarno mengenai masalah ini. Dikatakan selanjutnya oleh Bambang
Widjanarko, pagi-pagi tanggal 4 Agustus Soekarno melakukan pembicaraan dengan Brigadir
Jendral Muhammad Sabur, komandan pasukan kawal istana Tjakrabirawa Letnan Kolonel
Untung Menurut Widjanarko yang juga hadir, Soekarno bertanya kepada Untung “apakah ia
bersedia, seandainya diperintahkan untuk bertindak melawan para jendral yang tidak setia” yang
dijawab Untung bahwa ia bersedia.

Kemudian pada tanggal 23 September di istana presiden, Soekarno bersama-sama dengan


tiga wakil perdana menteri, kepala staf Angkatan Udara, Sabur dan beberapa orang lain
mendengarkan laporan deputi pertama Yani, Mursyid, yang mengatakan bahwa memang benar
ada Dewan Jendral yang terdiri dari mereka yang tidal setia dan menentang kebijakan Soekarno.
Menurut Widjanarko, ketika itu Soekarno mengatakan kepada Sabur untuk ? bertindak terhadap
para jendral itu selekas mungkin “.Akhirnya pada tanggal 30 September, selagi Soekarno
menghadiri suatu rapat di Jakarta, menurut Widjanarko ia menerima surat penting untuk
presiden dari Untung Soekarno kemudian meninggalkan ruangan untuk membawa surat itu, dan
pada akhir pidato pada rapat tersebut ia mengatakan .” ,,,,,saya harus mengatur beberapa hal yang
akan membuat saya tidak tidur jauh malam” Hari berikutnya, Soekarno menghancurkan surat itu.

Dari keterangan ini, Antonie C Dake berkesimpulan bahwa bukan PKI, bukan pula
“perwira-perwira progresif“ tetapi Soekarno-lah pemrakarsa percobaan kudeta itu. Menurut

Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com, peterkasenda@rocketmail.com
Peter Kasenda

penafsirannya, Soekarno masih tetap mempertimbangkan bagaimana ia menangani para jendral


yang “tidak setia” setelah pertemuan di Bali pada tanggal 6 Juni, tetapi tidak memutuskan bahwa
Yani harus dilenyapkan sampai dengan akhir Juli. Di hari tanggal 4 Agustus ia berbicara dengan
Untung dan Sabur dan rupanya karena tekanan yang terlampau berat, ia pingsan segera setelah
itu. Beberapa hari sebelumnya, ia telah memerintahkan menelgram Aidit dan Nyoto supaya
mereka kembali ke Jakarta dan ketika mereka kembali, diberitahukan tentang keputusannya
untuk bergerak melawan para jendral. Jadi, bukan pingsannya Soekarno yang menggerakan PKI
untuk berperan serta dalam percobaan kudeta, tetapi kesanggupan para pemimpin partai itu untuk
menerima kemauan Soekarno.

Menurut, Harlod Crouch dalam Militer dan Politik, uraian Antonie C Dake ini dapat
dipersoalkan karena bersandar pada kesaksian yang sebagian besar tidak seorangpun
menguatkannya, dari seorang saksi yang mau tak mau harus bekerja sama dengan para pemeriksa
dan kesaksiannya di pengadilan tidak mendukung pernyatan-pernyataan sebelumnya. Selain itu
ada detail yang kurang dalam mata rantai antara Soekarno dengan Gerakan 30 September.
Bahwa Soekarno makin tidak menyukai sikap Yani sesudah bulan Mei 1965 adalah jelas dan
bukan tidak mungkin ia sering menyebut tentang : “melemparkan” Yani daripadanya. Namun
tidak terbukti bahwa pada tanggal 4 Agustus Soekarno memikirkan gerakan yang dipimpin oleh
Untung pada tanggal 30 September. Juga Dake tidak secara pasti menjelaskan “tindakan “ apa
yang harus dilakukan Sabur setelah pertemuan tanggal 23 September.

Hampir mustahil menarik kesimpulan yang pasti tentang siapa di balik peritiwa berdarah
Gerakan 30 September. Berbagai posisi yang kabur dan kurangnya sumber-sumber tertulis serta
saksi-saksi memunculkan berbagai spekulasi tentang dalang Gerakan 30 September. Menurut
versi sejarah resmi, yang dibangun berdasarkan alasan-alasan yang mudah dilihat, PKI-lah dalam
Gerakan 30 September, dan menjadi menjadi satu-satunya pihak yang patut dipersalahkan. Versi
kedua, yang sangat berlawanan dengan versi pertama, menginterprestasikan bahwa kudeta dan
aksi pembalasannya merupakan masalah internal AD. Versi ketiga percaya Soehartolah yang
sesungguhnya berada di balik rencana kudeta. Spekulasi mengenai peran Soeharto dalam rencana
dan pelaksanan Gerakan 30 September muncul ketika ia membuat keterangan yang tidak
konsisten mengenai perjumpaannya dengan Latief (yang bermaksud melaporkan aksi tersebut).
Versi keempat menyatakan, jaringan inteljen AD sendirilah yang memprakarsai Gerakan 30
September, baik atas usaha sendiri maupun atas bantuan agen-agen inteljen asing, khususnya
Amerika Serikat dan Cina. Versi yang kelima telah dikemukakan oleh Antonie C Dake diatas.

Periode 1965-1966 merupakan tahun-tahun yang terlupakan dalam sejarah Indonesia. Hal
ini bisa dimengerti karena studi atas periode itu dihalangi oleh berbagai faktor, mulai dari
langkanya sumber-sumber yang berkaitan dengan berbagai peristiwa yang terjadi pada tahun-
tahun tersebut hingga alasan politik. Setidak-tidaknya, ada tiga buku serius yang sedang
dikerjakan Hermawan Sulistyo menulis The Forgotten Years : The Missing History of
Indonesia”s Mass Slaughter (Jombang-Kediri 1965-1966) di Arizona State University, Iwan
Gardono menulis The Destruction of the Indonesian Communist Party (PKI) a comparative
analysis of East Java dan Bali di Harvard University dan Geoffrey Robinson menulis The Dark
Side of Paradise Political Violence in Bali di Cornell University.

Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com, peterkasenda@rocketmail.com
Peter Kasenda

Lagi pula, Ketetapan MPRS (TAP MPRS No XXV/MPRS/19660, ajaran marxisme-


leninisme, PKI, seluruh topik berkaitan dengan Peristiwa G-30-S dilarang untuk dipelajari.
Tetapi MPR ini membuat ketentuan bahwa studi ilmiah diijinkan, yang akan diatur lebih lanjut
dengan undang-undang ini tidak pernah dibuat. Sebagaian alasannya jelas bahwa kepentingan
politik mencegah ditetapkannya undang-undang seperti itu. Dalam waktu kurang dari satu
dekade, hilanglah seluruh sumber tertulis mengenai PKI yang mempunyai jutaan anggota dan
pendukung.

Mempelajari komunisme dan atau praksis politiknya merupakan kegiatan illegal. Hanya
ada satu pusat studi yang berhubungan dengan komunisme dan partai komunis secara umum,
yaitu Dinas Penelitian dan Pengembangan Masalah-masalah Komunis, yang berada dibawah
Pusat Sejarah Departemen Pertahanan dan Keamanan. Tanpa ijin dari kantor itu, tak seorang pun
bisa meneliti topik tersebut. Di samping kendala hukum dan politik, iklim sosial yang tidak
mendukung. Demikian kata Hermawan Sulistiyo yang menulis Peristiwa Gerakan 30 September
sekaligus pembataian massal pascakudeta.

Mengundang Polemik

Sejarah atau ilmu sejarah memang, bagaimanapun juga, tidak boleh dan malah tak bisa
menjadi sekelumit manusia yang memperkenalkan diri sebagai ahli sejarah saja. Sejarah harus
milik masyarakat. Sebab hanya masyarakat yang memiliki kesadaran sejarah yang akan
dimudahkan untuk menghadapi dan merintis masa depan. Karena itulah diperlukan popularisasi
dari sejarah yang kritis, analistis, serta dibimbing oleh etika ilmu pengethuan. Begitu kata Taufik
Abdullah.

Pada bulan September 1988, Soegiarso Soerojo,Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi


majalah Sarinah dan mantan perwira intel menulis sebuah buiku yang berjudul “Siapa
MenamburAngin Akan Menuai Badai. G30S-PKI dan Peran Bung Karno”. Buku yang ditulis
mantan anggota Bakin ini menuduh Soekarno adalah Komunis dan dalang Gerakan 30
September. Mantan Pemimpin Redaksi Harian Angkatan Bersenjata itu menunjukkan bukti
bahwa Soekarno adalah komunis karena Soekarno pernah belajar marxisme semasa di HBS dan
konsep Marhaenisme sebagai Marxisme yang diselenggarakan di Indonesia dan adanya
kesamaan pidato Masyarakat Indonesia dan Revolusi Indonesia DN Aidit dengan Manipol
USDEK Presiden Soekarno. Diantaranya bukti keterlibatan Soekarno dalam G-30-S
ditunjukkan dengan pidato Presiden Soekarno dihadapan pada Mukernas di Istana Bogor,di mana
Soekarno menyatakan “Kita semua adalah anak-anak revolusi dan anak-anak revolusi harus setia
kepada induknya, sebab kalau tidak, anak itu sendiri dimakan oleh induknya.” dan surat Presiden
Soekarno yang tak tertanggal kepada Nyoto, seorang tokoh PKI. Tertulis kata-kata – Saudara
Nyoto! Wedus dibeleh, mbandjur dikelti (Saudara Nyoto Kambing disembelih, kemudian
dikuliti). Kata-kata ini oleh Soegiarso Soerojo, dikaitkan dengan perkataan “ Keadaan Ibu Petiwi
sudah hamil tua,”

Alasan Soegiarso Soerojo menulis buku itu, karena Soegiarso Soerojo melihat massa
pendukung Partai Demokrasi Indonesia dalam pemilu yang lalu, mengidolakan Soekarno, dan
dia menginginkan agar Soekarno tidak perlu diidolakan. Tetapi keinginanya itu tidak
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com, peterkasenda@rocketmail.com
Peter Kasenda

terkabulkan. Penelitian yang dilakukan terhadap sejumlah mahasiswa Universitas Diponogoro


terhadap mahasiswa alamaternya, yang mencoba melihat sejauh mana pengaruh buku tersebut
terhadap diri mahasiswa. Ternyata menunjukkan bahwa tokoh Soekarno semakin dikagumi saja.

Di kalangan generasi muda sebenarnya ada kejenuhan terhadap realitas-realitas sosial


sebagai produk paradigma pembangunan yang diterapkan pemerintah Orde Baru. Di samping itu
kehidupan politik menjadi kering, monoton dan miskin dinamika, akibat kebijakan depolitasi
yang diberlakukan oleh rezim Orde Baru. Dalam situasi semacam ini, menurut Agus Sudibyo,
secara alamiah, anak-anak muda itu selalu merindukan perubahan dan hadirnya alternatif baru,
Mereka butuh inspirasi, spirit baru, proses idealisasi, dan dalam proses pencariannya mereka
tiba-tiba menemukan figure kenamaan Soekarno dalam skema kesadaran historis mereka. Secara
psikologis, wajar pula jika dalam kejenuhan terhadap kondisi sosial-politik, mereka
mendambakan gambaran sosok idola yang popular, revolusioner dan anti kemapanan, yang
akhirnya mereka dapatkan dalam diri Soekarno. Mereka berada pada usia yang lazim
mengidolakan figure yang romantis dan flamboyan, seperti dikatakan Taufik Abdullah.

Buku yang diakui bukan merupakan karya sejarah, namun sebagai karya jurnalistik dari
seorang warttawan, mendapat kupasan kritis dari mingguan Simponi secara bersambung. Dan
setahun kemudian terbit satu buku Menelusuri Peran Bung Karno dalam G 30 S/PKI, yang
ditulis oleh P Bambang Siswoyo, berdasarkan tulisan-tulisan yang beredar di koran akibat
terbitnya buku Soegiarso Soerojo. Tulisan di Simponi dan buku tersebut mencoba membantah
asumsi dari Soegiarso Soerojo yang menyatakan justru Soekarnolah yang menggerakkan
Gerakan 30 September.

Di samping mengundang polemik buku tersebut, Soegiarso Soerojo pun diseretkan ke


pengadilan, disebabkan adanya tuntutan dari Mr Soendoro, mantan Bupati Nganjuk di masa
Perang Kemerdekaan, yang ditulis sebagai bupati komunis. Akhirnya Soegiarso Soerojo dijatuhi
hukuman untuk membuat pernyataan mohon maaf di media massa. Sebenarnya hal itu tidak akan
terjadi kalau saja Soegiarso Soerojo mau meralat buku pada cetakan kedua, seperti yang
diinginkan oleh penuntut umum.

Kemudian muncul buku yang ditulis oleh Manai Sophian, bekas tokoh Partai Nasional
Indonesia. Buku Kehormatan Bagi Yang Berhak: Bung Karno Tidak Terlibat G30S/PKI (1994)
mengulas gejolak politik di sekitar tragedi nasional 29 tahun silam itu, Manai Sophian secara
lugas berpendapat, Presiden Soekarno tidak terlibat dalam manuver jahat PKI itu Untuk
memperkuat pendapatnya, Manai Sophian memberi argumen tambahan terhadap pidato
pelengkap Nawaksara yang ditolak pada 1967.

Dalam pidato “Pelengkap Nawaksara”, Presiden Soekarno mengatakan, G-30-S terjadi


karena tiga faktor: keblingernya pemimpin PKI, kelihaian Nekolim alias kekuatan Barat, dan
“adanya oknum yang tidak benar”. Para pemimpin PKI itu, menurut Manai Sophian, bertindak
tanpa persetujuan dari bawah. Mereka terjebak oleh isu kudeta Dewan Jendral yang dicurigai
Manai sebagai rekayasa inteljen Barat. Karena posisinya terancam, Biro Khusus (sayap militer
dalam Central Comite PKI) merancang kudeta dengan lebih dahulu menyingkirkan para jendral
yang dianggap berbahaya oleh PKI.

Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com, peterkasenda@rocketmail.com
Peter Kasenda

Selain melontarkan intrik Dewan Jendral. Manai Sophian juga menuding agen Barat itu
mempunyai hubungan khusus dengan sejumlah tokoh elite militer – kelompok yang oleh
Presiden Soekarno disebut ”oknum yang tidak benar.” Karena khawatir keduluan, Aidit dan
komplotannya, melancarkan kudeta dan membunuh para jendral. Di situlah, menurut Manai
Sophian, keblingerannya pemimpin PKI. Jadi, kata Manai Sophian, Presiden Soekarno tidak
terlibat G-30-S.

Buku Manai Sophian itu sekaligus juga ingin membersihkan nama Presiden Soekarno
dari tuduhan bahwa ia sejalan dengan PKI dan mengetahui rencana jahat G-30-S, sebagaimana
ditulis oleh bekas intel Kolonel (Purn) Soegiarso Soerojo dalam bukunya yang juga
kontroversial, Siapa Menabur Angin Akan Menuai Badai G30s-PKI. Peran Bung Karno (1988).
Diakui Manai Sophian, buku itu berusaha mengungkapkan bagian dari sejarah Indonesia yang
“kontroversial”

Sebenarnya buku yang ditulis oleh Manai Sophian terbilang sebuah usaha untuk
menggunakan sejumlah kaidah-kaidah ilmiah dalam merekontruksi Gerakan 30 September
ketimbang buku Soegiarso Soerojo. Misalnya, Manai Sophian mengumpulkan berbagai bahan
dokumen dari dalam dan luar negeri, di antaranya dokumen Presiden Amerika Serikat Johnson –
untuk menyusun buku itu Manai juga mewawancarai 10 mantan tahanan PKI. Oleh karena itu
bisa dimengerti apabila kalangan intelektual dalam menilai buku Siapa Menabur Angin Akan
Menuai Badai 30S-PKI dan Peran Bung Karno bersifat delegitimate. Dalam arti bahwa proses
delegitimasi terhadap Soegiarso Soerojo ini mereka lakukan dengan mendestribusikan retotika-
retorika scientific yang mengandung tendensi untuk menggugat sisi metodologis penyusunan
buku itu.

Misalnya, Sejarawan G Moedjanto melakukan deligitimasi terhadap Soegiarso Soerojo


dengan dengan mengistilahkan buku karangannya sebagai “sejarah yang ditulis sejarawan
amatir.” Metafor sejarawan amatir ini dapat diidentifikasi sebagai designator yang berfungsi
menempatkan Soegiarso Soerojo sebagai penulis buku itu dalam kategori kognitif yang
unauthoritative.

Di tengah kontroversial, muncullah Buku Putih versi pemerintah. Gerakan 30


September : Pemberontakan Partai Komunis Indonesia, yang dikeluarkan Sekretariat Negara.
Buku itu adalah versi yang menjelaskan awal dan akhir peristiwa G-30-S itu. Terbitnya kedua
buku itu telah menyulut perbincangan hangat tentang peranan Presiden Soekarno. Untuk
kesekian kalinya, sepak terjang Presiden Pertama RI itu diungkapkan lagi secara luas.
Perhatiannya, bagaimana sebenarnya posisi Presiden Soekarno di tengah peristiwa berdarah
yang berakhir dengan tampilnya pemerintahan Orde Baru pimpinan Jendral Soeharto.

Buku Putih yang melewati masa persiapan selama empat tahun, dalam kata pengantarnya,
menyatakan bahwa buku itu disusun untuk menarik pelajaran yang berharga dari pengalaman
masa lampau. Dokumen ini disusun untuk membekali bangsa Indonesia mengenai ancaman
terencana dari paham gerakan komunisme di Indonesia. Ada dugaan bahwa Buku Putih itu
disusun lantaran pemerintah Soeharto gerah melihat Soekarno dielu-elukan anak muda dalam
kampanye Partai Demokrasi Indonesia 1987. Karena itu perlu ada penerangan tentang siapa
sesungguhnya Presiden Soekarno itu. Harlod Crouch menganggap bahwa Buku Putih itu dipakai

Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com, peterkasenda@rocketmail.com
Peter Kasenda

untuk menangkal kegandrungan anak muda kepada tokoh karismatis seperti Presiden Soekarno,
sehingga mereka kemudian tergiring mendukung PDI. Dengan kata lain, pemerintah Orde Baru
mencoba menggembosi PDI.

Dalam Buku Putih tidak menyimpulkan bahwa Presiden Soekarno terlibat dalam
perencanaan G-30-S. Masalahnya, kesaksian Kolonel (Mar) Bambang Widjanarko dan Brigjen
TNI HR Sugandhi di Mahkahmah Militer Luar Biasa (Mahmilub) tidak dibahas dalam di buku
ini. Padahal kesaksian kedua orang dekat Presiden Soekarno ini bisa menggiring ke arah
penafsiran bahwa Presiden Soekarno mengetahui rencana dan pelaksanaan G-30-S .

Sejarah versi pemerintah Orde Baru tidak pula melihat kehadiran Presiden Soekarno di
Pangkalan Udara Halim pada 1 Oktober 1965 dengan mata curiga. Padahal, fakta itu selama ini
menjadi sumber spekulasi masalah kedekatan Presiden Soekarno dengan G-30-S. Sebab, ketika
itu, salah satu sentral komando (Cenko) G-30-S ada di Kompleks Halim. Lantas, di sana pula
Presiden Soekarno bertemu dengan Brigjen Soepardjo, yang merupakan penggerak dari aksi
tersebut.

Dijelaskan pula mengenai sikap Presiden Soekarno di Halim yang tidak serta merta
merestui aksi pembunuhan jendral-jendral Angkatan Darat. Buktinya, Presiden Soekarno
menginstruksikan agar gerakan-gerakan itu dihentikan dan siaran lewat RRI mengenai kelahiran
Dewan Revolusi dihentikan. Pengungkapan fakta itu seperti mermberi kesempatan munculnya
penafsiran bahwa Presiden Soekarno tak paham dengan skenario yang sedang dimainkan Biro
Khusus PKI yang dipimpin Sjam Kamaruzzaman.

Tetapi Buku Putih itu menampilkan fakta-fakta bahwa Presiden Soekarno cenderung
melindungi PKI kendati partai itu telah terbukti sebagai dalang G-30-S. Buktinya tulis Buku
Putih, Presiden Soekarno tidak mengambil tindakan hukum terhadap Brigjen Soepardjo, DN
Aidit dan kawan-kawannya, yang telah diketahuinya melakukan manuver berdarah Bahkan,
Presiden Soekarno memenuhi permintaan DN Aidit lewat surat yang dikirim dari
persembunyiannya di Jawa Tengah, yang memberi kesempatan kepada Nyoto, seorang tokoh
PKI, untuk membuat manuver lanjutan di rapat kabinet 6 Oktober 1965 di Istana Bogor. Di situ,
Nyoto melansir pernyataan bahwa G-30-S adalah urusan intern Angkatan Darat, dan PKI
mendukung pembersihan di tubuh Angkatan Darat.

Namun demikian, kata Agus Sudibyo yang menulis buku mengenai Soekarno, Meskipun
tidak secara eksplisit menyatakan keterlibatan Presiden Soekarno dalam G-30-S, eksplanasi dan
interprestasi yang ada di dalamnya cenderung mengarah pada kesimpulan bahwa Presiden
Soekarno “terlibat “ dalam G-30-S. Kesimpulan semacam ini bisa dipahami, kalau dilihat dari
De-Soekarnoisasi pada dataran simbolik yang dilakukan melalui wacana-wacana resmi negara,
serta keterlibatan unsur-unsur negara pada berbagai polemik mengenai Presiden Soekarno.

Timbulnya kontroversi yang ada ini menyadarkan kita semuanya betapa peka masalah
Soekarno untuk dibicarakan. Membicarakan tokoh semacam Soekarno dalam penulis sejarah
Indonesia perlu hati-hati. Karena berbicara mengenai dia seringkali menimbulkan guncangan-
guncangan yang tentu saja menarik perhatian khalayak ramai. Selama ini arwah Soekarno yang
sedang beristirahat dengan damai nun jauh di sana, Blitar, terusik ketenangannya dengan

Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com, peterkasenda@rocketmail.com
Peter Kasenda

sejumlah tulisan yang membicarakan dirinya dan dia tidak mempunyai kemampuan menjawab
karena keberadaannya. Seandainya Soekarno tidak meninggal dunia pada tanggal 21 Juni 1970
dan masih hidup sampai ssat ini, niscata ia akan menjawab kesemuanya itu dan masalahnya
menjadi jernih seperti air di pegunungan.

Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com, peterkasenda@rocketmail.com

You might also like