You are on page 1of 4

INDONESIA, ASEAN, DAN KONFLIK TIMTENG

Oleh. Hendra Manurung


---------------------------------------------------
Dalam konteks global di abad millenium, fokus utama pencapaian keamanan telah
menuntut adanya perubahan-perubahan agenda pembangunan, baik nasional maupun
internasional. Hal ini disebabkan, isu yang sedang hangat di suatu negara akan selalu
menjadi hirauan bagi aktor-aktor negara (state actors) dan aktor non-negara (non-state
actors) lainnya. Dengan demikian, semua pihak dituntut untuk mengikuti agenda global
dalam penyusunan prioritas kebijakan nasional (national policy) dan politik luar
negerinya (foreign policy).
Beberapa prioritas kebijakan yang kini menjadi agenda global adalah:
penyebarluasan demokrasi, perlindungan HAM, pencegahan dan penyelesaian konflik
komunal, ketidakamanan ekonomi yang disebabkan pasar bebas, menurunnya kualitas
daya dukung lingkungan hidup global, dan semakin terbatasnya sumber energi dunia.
Semua agenda tersebut jelas merupakan produk globalisasi yang saat ini sedang
memengaruhi kebijakan politik global. Oleh karena itu, diplomasi dan politik luar negeri
RI juga semakin dituntut kemahirannya dalam memerankan posisinya menghadapi isu-
isu krusial di atas.
Globalisasi, dalam tingkatan tertentu misalnya, telah memicu pergeseran identitas
nasional ke dalam identital global dan bahkan ke dalam ikatan identitas yang lebih
khusus, seperti halnya budaya, agama, dan etnis (Globalization & The Nation-State,
Robert J.Holton, New York, 1998). Kecenderungan-kecenderungan tersebut, pada
akhirnya, memposisikan individu, kelompok masyarakat, dan negara bangsa ke dalam
dua bentuk tindakan yang bertolak belakang yaitu:pertama, “Fragmentation” melalui
upaya pemisahan diri (secession) dan “Unification” melalui penggabungan (fusi).
Dalam persoalan di atas, nasionalisme dan globalisasi seringkali tidak dapat
berjalan beriringan, sehingga mempersulit posisi negara bangsa (nation-state) dalam
sistem politik internasional, terutama bagi negara-bangsa yang terdiri dari masyarakat
yang majemuk.
Kunjungan kenegaraan SBY akhir April 2006 selama 10 hari, ke negara-negara
Timur Tengah, seperti Arab Saudi, Kuwait, Jordania, Qatar, dan Uni Emirat Arab
menunjukkan bahwa pelaksanaan politik luar negeri RI “Bebas-Aktif”. Hal ini
mencerminkan citra dan instrumen politik luar negeri RI akan cenderung berubah seiring
dengan perkembangan-perkembangan domestik dan eksternal yang terjadi di lingkungan
internasional.
Secara politik memang diakui kawasan Timur Tengah, khususnya negara-negara
Arab, merupakan “kawasan yang tidak stabil” (instability region), dimana dituntut
keterlibatan Indonesia untuk berperan aktif. Salah satu penyebabnya adalah Indonesia
tidak lihai dalam memainkan manuver politik luar negerinya dan cenderung terlalu lugas
menyikapi setiap perkembangan regional dan global. Untuk berhasil menarik investor
Arab, Indonesia harus melakukan investasi politik terlebih dahulu di Timur Tengah.
Namun, Indonesia sama sekali hampir-hampir tidak melakukan langkah-langkah
diplomasi yang cukup berarti.
Diplomasi RI
Hubungan bilateral Indonesia dengan negara-negara Timur Tengah memang tidak
buruk, namun sulit untuk dikatakan hangat dan mesra. Ketika, april 2006 lalu, Raja Arab
Saudi berkunjung ke Malaysia, ia tak sempat mampir berkunjung ke Indonesia, negara
Muslim terbesar di dunia. Hanya Raja Faishal bin Abdul Azis (Raja Arab Saudi, 1970-an)
yang pernah berkunjung ke Indonesia, lainnya tidak.
Keberadaan Organisasi Konferensi Islam (OKI) pun tidak juga dimanfaatkan
Indonesia untuk manuvernya membuka akses hubungan politik dan ekonomi dengan
negara-negara Arab kaya minyak tersebut. Dunia Islam yang kini diorganisasikan dalam
OKI (Organization of Islamic Countries/OIC) memang bukan hanya Arab. Namun, posisi
negara-negara Arab dalam dunia Islam begitu berperan. Sayangnya, Indonesia tidak bisa
memainkan posisi tawar-menawar politik luar negerinya yang signifikan dalam OKI.
Malaysia dan Turki telah melangkah jauh di depan. Malaysia yang berpenduduk
Muslim 15 juta jiwa, kini memimpin OKI. Demikian pula dengan Turki yang notabene
merupakan negara Muslim sekuler dan sangat pro-Barat, berpenduduk hanya 70 juta
jiwa, berhasil menempatkan Dr Ekmeleddin Ihsanoglu sebagai Sekjen OKI dan
menempatkan Ketua Parlemen Bulenc Arinc sebagai Presiden Parliamentary Union of
OIC Member States (PUIC), merupakan organisasi parlemen dunia terbesar kedua, yang
beranggotakan negara-negara Muslim, setelah Inter-Parliamentary Union.
Kunjungan SBY ke negara-negara Arab tersebut merupakan sebuah langkah
terobosan dalam upaya konkret melakukan investasi politik di kawasan Timur Tengah.
Presiden SBY harus mulai menggeser Indonesia ke dalam kawasan Islam dan
memasukkannya dalam arus utama dunia Islam. Sebab, selama ini peran Indonesia sangat
marjinal dan terpinggirkan (periferal). Indonesia kini harus masuk arus utama (core) dan
mengarahkan kebijakan luar negerinya semakin bebas-aktif menjembatani hubungan
Barat dan Islam, sehingga hubungan antara Barat dan Islam menjadi lebih dialogis, aktif,
dan tidak dalam posisi antagonistik, apalagi dalam kerangka benturan budaya (clash of
civilization) yang destruktif.
Posisi Indonesia berpotensi penting di dunia Islam. Jika sebelumnya, Barat tidak
menganggap Indonesia sebagai Islam, kini mereka mulai yakin bahwa Indonesia benar-
benar Islam yang perlu didukung peranannya untuk mewakili kepentingan dunia Islam.
Kunjungan PM Tony Blair, PM Jan Pieter Balkenende, dan Komisi Uni Eropa baru-baru
ini sangat bernuansa Islam. Mereka mengikuti Paul Wolfowitz, mantan Dubes AS untuk
Indonesia yang menyatakan,”..... It’s not possible to have a full understanding of Islam in
the world today without understanding Islam in Indonesia”.
Maknanya merupakan cerminan cara pandang Barat untuk menyadarkan posisi
tawar menawar (bargaining position) Indonesia, bahwa dunia Barat sebenarnya memang
telah menganggap Indonesia sebagai Islam yang moderat dan demokratis. Inilah modal
sangat berharga bagi Indonesia untuk memainkan peran-perannya secara signifikan dan
berkelanjutan untuk dapat dipergunakan bagi kepentingan pembangunan ekonomi
nasional di masa sekarang dan masa yang akan datang .
Posisi Indonesia dalam ASEAN
Pertemuan Tingkat Menteri Luar Negeri ASEAN (AMM, ASEAN Ministerial
Meeting) ke-39 di Kuala Lumpur, mengeluarkan pernyataan bersama tentang upaya
penyelesaian konflik Timur Tengah, diantaranya, yaitu: pertama, mengecam keras
serangan militer Israel ke Palestina dan Lebanon; kedua, ASEAN mendesak dilakukan
gencatan senjata untuk mengakhiri konflik; ketiga, melakukan langkah-langkah
rehabilitasi Timur Tengah sesegera mungkin. Dukungan Indonesia terhadap rakyat
Palestina jelas dinyatakan dalam kecamannya yang pedas atas serangan Israel yang
menewaskan ratusan masyarakat sipil dan merusak fasilitas infrastruktur, walaupun
hanya didukung Malaysia. Sementara, Thailand, Singapura, dan Filipina nyata-nyata
memiliki kepentingan tertentu (hidden agenda), dalam hubungan bilateral ekonominya
dengan Israel.
Dalam konteks sikap Indonesia dan ASEAN terhadap serangan Israel tersebut,
hanya mencirikan sifat normatif belaka, dimana menunjukkan adanya rasa simpati dan
kepeduliam kepada penderitaan rakyat Palestina dan Lebanon. Suara Indonesia yang
terwakili dalam ASEAN tidak akan terlalu berpengaruh, meskipun penyampaiannya
ditujukan langsung kepada AS dan Israel, bahwa tindakan mereka yang membabi buta di
Timur Tengah tidak sesuai dengan norma-norma hukum internasional. Namun demikian,
kita berharap bahwa ASEAN memang dapat diandalkan membawa upaya penyelesaian
konflik Timur Tengah ke Sidang Dewan Keamanan PBB, dan ASEAN juga mampu
mengorganisir dukungan terhadap negara-negara lain yang ada di PBB untuk segera
mengambil tindakan keras kepada Israel.
Diakui bahwa sistem politik internasional saat ini sangat didominasi AS dan
sekutunya. Oleh karena itu, sangat penting bagi ASEAN untuk menolak kebijakan luar
negeri AS yang keras dan menyerang, terutama ditujukan kepada negara-negara yang
memusuhi Israel di Timur Tengah. Walaupun sikap keras ASEAN tersebut hanya
ditunjukkan dalam pertemuan tingkat menteri luar negeri ASEAN (AMM) ke-39. Sikap
keras ASEAN ini akhirnya melunak dan hasilnya sangat bertolak belakang dalam Forum
Regional ASEAN (ARF), dimana forum ini diikuti juga oleh negara adidaya, AS. Dalam
pernyataan di forum ARF, nyata-nyata bahwa ASEAN hanya,”menyatakan keprihatinan
mendalam”, atas memburuknya situasi dan meningkatnya kekerasan di Timur Tengah,
tanpa menyebutkan kata Israel sebagai pihak penyerang (agressor) di Palestina dan
Lebanon. Inilah kebijakan politik luar negeri adidaya yang mampu membuktikan adanya
keberpihakan kepentingan nasional AS (national interest) terhadap posisi tawar menawar
Israel dalam upaya penyelesaian konflik Timur Tengah.
Sangat disesalkan, apabila ASEAN dan Indonesia hanya bisa berperan sebatas
mengeluarkan pernyataan normatif dan etis, tanpa adanya upaya-upaya konkret dan
partisipasi aktif dalam penyelesaian masalah dan isu-isu regional maupun internasional,
yang sangat dipengaruhi kepentingan AS saat ini.

You might also like