Download as doc, pdf, or txt
Download as doc, pdf, or txt
You are on page 1of 13

PENDAHULUAN

Kegiatan hubungan internasional yang dilakukan oleh subjek hukum internasional selalu memungkinkan munculnya sengketa di kemudian hari. Perkembangan dunia bisnis dan perdagangan yang saat ini sudah menglobal, menimbulkan banyaknya perjanjian atau transaksi bisnis yang bersifat lintas Negara. Tidak jarang timbul sengketa di antara para pihak karena adanya salah paham, wanprestasi, ataupun perbedaan pendapat. Pada umumnya masyarakat berpandangan bahwa sengketa (konflik) hanya bisa diselesaikan melalu jalur Pengadilan, bahkan kalangan profesional hukum pun berpandangan yang sama.1 Pada saat ini terdapat alternative penyelesaian sengketa di luar pengadilan diantaranya adalah arbitrase. Arbitrase berasal dari arbitrare (bahasa latin) yang berarti kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu menurut kebijaksanaan.2 Pengaturan di Indonesia mengenai lembaga penyelesaian sengketa di luar pengadilan diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang memiliki pengertian arbitrase sebagai berikut: Lembaga Arbitrase adalah badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu; lembaga tersebut juga dapat memberikan pendapat yang mengikat mengenai suatu hubungan hukum tertentu dalam hal belum timbul sengketa. Badan Abitrase Nasional Indonesia (BANI) adalah salah satu lembaga arbitrase di Indonesia. Sedangkan di dunia internasional terdapat berbagai lembaga arbitrase, diantaranya seperti The International Chamber of Commerce (ICC) Internaional Court of Arbitration, The American Arbitration Associations (AAA) International Centre for Dispute Resolution (ICDR), The London Court of International
1

I Made Widyana, Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR), Jakarta: PT Fikahati Aneska, 2009, hal: 1. Frans Hendra Winarta, Hukum Penyelesaian Sengketa, Jakarta : Sinar Grafika, 2011, hal: 36

Arbitration (LCIA), dll3.

Putusan dari Lembaga International tersebut adalah

putusan yang final dan binding. Enforcement dari putusan tersebut diatur di dalam The United Nations Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards (The New York Convention selanjutnya disebut NYC) (1958). Arbitrase merupakan cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Landasan yang mendasari perjanjian tersebut adalah kesepakatan bersama, kesukarelaan dan kesadaran bersama untuk menyelesaikan sengketa di luar badan peradilan resmi, tetapi akan diselesaikan oleh sebuah badan kuasa swasta yang bersifat netral yang dapat disebut arbitrase. Permasalahan

Bagaimanakah peran perjanjian arbitrase sebagai sumber hukum dalam praktik arbitrase?

Margaret L. Moses, The Principles and Practice of International Commercial Arbitration, (United States Of America: Cambridge University Press), hal.:10-12.

PEMBAHASAN

Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Dari definisi tersebut, ada 3 hal yang dapat dikemukakan dari definisi yang diberikan, yaitu4 : 1. Arbitrase merupakan salah satu bentuk perjanjian 2. Perjanjian arbitrase harus dibuat dalam bentuk tertulis 3. Perjanjian arbitrase tersebut merupakan perjanjian untuk menyelesaikan sengketa yang dilaksanakan di luar pengadilan umum. Landasan yang mendasari perjanjian tersebut adalah kesepakatan bersama, kesukarelaan dan kesadaran bersama untuk menyelesaikan sengketa di luar badan peradilan resmi dan juga asas kebebasan berkontrak. Hal ini sesuai dengan ketentuan KUHPerdata yang menyatakan bahwa apa yang telah diperjanjikan para pihak mengikat mereka sebagai undang-ndang. Pasal 1338 berbunyi: semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Apabila para pihak telah terikat dalam perjanjian arbitrase maka pengadilan negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak tersebut. Perjanjian arbitrase tidak mempersoalkan masalah pelaksanaan perjanjian. Tetapi hanya mempersoalkan masalah cara dan lembaga yang berwenang menyelesaikan perselisihan(disputes settlement) atau difference yang terjadi antara pihak yang berjanji. Jadi, focus perjanjian arbitrase semata-mata ditujukan kepada masalah penyeselesaian perselisihan yang timbul dari perjanjian.5
4

Gunawan Widjaja, Alternatif Penyelesaian Sengketa, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2001), hal: 98
5

M. Yahya Harahap, S.H. Arbitrase, Jakarta: Sinar Grafika, 2004, hal: 61.

Perjanjian arbitrase itu sendiri memiliki perngertian sebagai berikut Perjanjian arbitrase atau dapat juga disebut sebagai klausula arbitrase pada dasarnya adalah suatu klausula yang terdapat dalam suatu perjanjian, isinya memperjanjikan bahwa apabila terjadi sengketa para pihak sepakat untuk menyelesaikannya melalui arbitrase. Menurut UU Arbitrase pasal 1 angka 3 Perjanjian arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa klausula arbitrase yang tercantum di dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat oleh para pihak sebelum timbul sengketa atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa. Sebagai salah satu bentuk perjanjian, sah tidaknya perjanjian arbitrase ditentuan oleh syarat-syarat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1320 KUHPerdata yaitu:6 Syarat Subjektif Untuk memenuhi syarat subjektif, selain harus dibuat oleh mereka yang cakap untuk bertindak dalam hukum, perjanjian arbitrase harus dibuat oleh mereka yang demi hukum dianggap memiliki kewenangan untuk melakukan hal yang demikian.

Syarat Objektif Objek perjanjian arbitrase atau dalam hal ini adalah sengketa yang akan diselesaikan di luar pengadilan melalui lembaga arbitrase hanyalah sengketa
6

Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum Arbitrase, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2001, hal 44.

di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa. Perjanjian Harus Dibuat Tertulis UU No. 30 tahun 1999 mensyaratkan bahwa perjanjian arbitrase harus dibuat secara tertulis. Syarat tertulis dari perjanjian arbitrase dapat berwujud suatu kesepakatan berupa klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa; atau suatu perjanjian tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa. Perjanjian Bersifat Assesoir Fokus perjanjian arbitrase ditujukan kepada masalah penyelesaian perselisihan yang timbul dari perjanjian. Selain persyaratan-persayaratan yang telah dijelaskan di atas, terdapat (2)dua bentuk perjanjian, yaitu:7 Pactum de Compromittendo Merupakan perjanjian arbitrase yang dibuat oleh para pihak sebelum terjadinya sengketa. diatur dalam pasal 1 angka 3 dan pasal 7 UU Arbitrase. Mengenai Pactum de Compromittendo ini sebelumnya juga diatur di dalam pasal 615 (3) Rv, dimana pihak-pihak dapat mengikatkan diri satu sama lain untuk menyerahkan persengketaan yang munkin timbul di kemudian hari kepada seorang atau beberapa orang arbiter. Berdasarkan pasal-pasal pada UU Arbitrase tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa diperbolehkan untuk membuat suatu klausula dalam perjanjian untuk memperjanjikan bahwa apabila di kemudian terjadi sengketa, maka para pihak akan menyerahkan
7

Frans Hendra Winarta, Hukum Penyelesaian Sengketa, Jakarta : Sinar Grafika, 2011, hal: 38

penyelesaiannya kepada arbitrase dan bukan pengadilan. Sedangkan mengenai cara pembentukan pactum de compromittendo secara umum dapat dibedakan menjadi: 1. Perjanjian arbitrase dibuat sebagai salah satu klausula dalam suatu perjanjian pokok. Cara ini umum terjadi mengingat pada saat ini dalam suatu perjanjian para pihak biasanya sudah langsung menentukan pilihan penyelesaian sengketa yang mereka pilih apabila terjadi sengketa dikemudian hari, dimana dalam hal pilihan penyelesaian sengketa yang dipilih adalah arbitrase. 2. Perjanjian arbitrase dibuat dalam suatu perjanjian tersendiri yang dibuat sebelum terjadinya sengketa dan bersamaan dengan pembuatan perjanjian pokoknya serta tidak menjadi satu/ digabungkan dalam perjanjian pokoknya sehingga ada dua akta yaitu akta yang berisi perjanjian pokok dan akta yang berisi perjanjian arbitrase. Akta kompromis Merupakan perjanjian arbitrase yang berbentuk akta, dan dibuat setelah terjadi sengketa, diatur dalam pasal 1 angka 3 dan pasal 9 UU Arbitrase. Sengketa Pasal 9 UU Arbitrase: 1. Dalam hal para pihak memilih penyelesaian sengketa melalui arbitrase setelah sengketa terjadi, persetujuan mengenai hal tersebut harus dibuat dalam suatu perjanjian tertulis yang ditandatangani para pihak. 2. Dalam hal para pihak tidak dapat menandatangani perjanjian tersebut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), perjanjian tertulis tersebut harus dibuat dalam akta notaris. 3. Perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memuat: a.masalah yang dipersengketakan; b.nama lengkap dan tempat tinggal

para pihak ;c. nama lengkap dan tempat tinggal arbiter atau majelis arbitrase;d. tempat arbiter atau majelis arbitrase mengambil keputusan; e. nama lengkap sekretaris; f. jangka waktu penyelesaian sengketa; g. pernyataan kesediaan arbiter; h. pernyataan kesediaan dari pihak yang bersengketa untuk menanggung segala biaya yang diperlukan untuk penyelesaian sengketa melalui arbitrase. 4. Perjanjian tertulis yang tidak memuat hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) batal demi hukum. Klausul Arbitrase Yang dimaksud isi klausul arbitrase adalah mengenai hal-hal yang boleh dicantumkan dalam perjanjian arbitrase. Penggunaan istilah klausul arbitrase mengandung konotasi bahwa perjanjian pokok yang bersangkutan diikuti atau dilengkapi dengan persetujuan mengenai pelaksanaan arbitrase. Sebuah klausul arbitrase seharusnya mengacu pada peraturan-peraturan spesifik yang akan diterapkan, seperti peraturan dari BANI, SIAC, ICC, atau AAA. Mengenai hal itu secara tegas disebutkan dalam Peraturan Prosedur Arbitrase BANI, yaitu: Apabila perjanjian arbitrase atau klausul arbitrase menunjuk BANI sebagai badan arbitrase yang akan memutus sengketa, atau apabila dengan tegas disebutkan bahwa pemutusan sengketa akan dilakukan oleh suatu badan arbitrase berdasarkan Peraturan Prosedur BANI, maka BANI berkompetensi untuk menangani sengketa dan sengketa tersebut akan diperiksa dan diputus menurut ketentuan-ketentuan yang berikut. Perjanjian arbitrase ini menjadi sumber hukum yang penting dalam salah satu cara menyelesaikan sengketa di luar pengadilan. Hal ini juga mempunyai peranan dalam suatu lembaga arbitrase menyelesaikan sengketanya.

Peranan badan arbitrase tampak pada beberapa hal berikut ini, yaitu: 1. Pada beberapa perundang-undangan nasional, persyaratan penunjukan badan arbitrase ICSID sebagai badan arbitrase yang akan menangani sengketasengketa yang timbul dari adanya kontrak penanaman modal asing telah dicantumkan di dalamnya. Kebijaksanaan hukum seperti ini dilakukan oleh Afganistan, Kongo, Niger dan Tunisia. 2. Peran yang dimainkan oleh Bank Dunia dalam memberikan bantuan biaya pembangunan proyek di banyak negara. Peran yang dimainkannya yaitu memonitor atau mengawasi kontrak yang dibuat untuk pelaksanaan proyek tersebut. Disini Bank Dunia bisa saja merekomendasikan kepada negara-negara yang bersangkutan dalam membuat kontrak-kontraknya dan menggunakan sarana arbutrase ICSID tersebut. Badan Arbitrase ICSID telah menyelesaikan beberapa sengketa penanaman modal internasional. Salah satu diantaranya adalah: Kasus Holiday Inns (Holiday Inns/ Petroleum v. Governent of Marocco). Pada tahun 1966, pemerintah Maroko meminta perusahaan Occidental untuk menghubungi perusahaan hotel Amerika Serikat membangun industri pariwisata negara tersebut.. Kemudian Pemerintah Maroko dan Occidental menandatangani perjanjian dasar (penanaman modal) tentang pembangunan industri parawisata di Negeri Maroko. Dalam perjanjian tersebut ditetapkan bahwa group perusahaan Holiday Inns, perusahaan perhotelan Amerika Serikat yang dihubungi oleh Occidental, akan membangun 4 hotel di kota Rabat, Marrakesh, Fez dan Tangier. Keempat hotel ini nantinya akan dimiliki anak perusahaan cabang Holiday Inns. Ditentukan pula bahwa pemerintah Maroko akan memberikan fasilitas pemberian pinjaman modal, memberi bantuan di dalam mencari dan mendapatkan

lokasi bangunan dan fasilitas perpajakan dan keuangan lainnya. Di dalam klausul perjanjian ditetapkan pula bahwa apabila kelak muncul sengketa maka sengketa akan diserahkan pada badan arbitrase ICSID. Ketika dua hotel berhasil dibangun dan dua bangunan hotel lainnya nyaris selesai, proyek tersebut mengalami kesulitan berhubungan dengan masalah pembiayaan. Karena masalah itu. group perusahaan Holiday Inns mengancam akan meninggalkan proyek tersebut dan di pihak lainnya, pemerintah Maroko menghentikan pemberian pinjaman uang dan menolak fasilitas keuangan dan bantuan administratif lainnya kepada perusahaan tersebut. Ketika sengketa itu dilimpahkan ke badan arbitrase ICSID, ternyata pemerintah Maroko serta merta menolak Jurisdiksi dewan arbitrase ini atas para pihak. Maroko berpendapat bahwa perusahaan Holiday Inns kurang memiliki kapasitas untuk menyerahkan sengketa yang bersangkutan kepada badan arbitrase ICSID karena pada waktu penandatanganan perjanjian dasar pada 1966, baik Maroko maupun Swiss bukanlah anggota peserta konvensi ICSID. Terhadap argumentasi ini, Dewan arbitrase berkesimpulan bahwa para pihak sepakat menyerahkan sengketanya kepada badan arbitrase menurut pengertian konvensi.

Kemudian, Maroko berpendapat bahwa cabang perusahaan Holiday Inns lainnya yakni Holiday Inns SA dan Occidental tidak mempunyai hak untuk menjadi peserta di dalam proses arbitrase tersebut karena mereka bukanlah penandatangan perjanjian kontrak pembangunan hotel tersebut yang mengandung klausula arbitrase ICSID. Terhadap argumentasi ini, Dewan arbitrase memutuskan bahwa setiap pihak yang hak-hak dan kewajibannya berdasarkan perjanjian telah tergabung di dalamnya, berhak ats keuntungan-keuntungan dan tunduk kepada klausula arbitrase.

Setelah adanya keputusan sementara di atas, Maroko kemudian mengangkat kembali masalah jurisdiksi lainnya. Setelah ditandatangani perjanjian dasar di tahun 1966, perjanjian tambahan lainnya juga ditandatangani. Diantaranya adalah kontrak antara perusahaan Holiday Inns dan perusahaan milik pemerintah Maroko dan perusahaan swasta asing lainnya yaitu Credit Immobilier Hotelier (CIH). Kontrak tersebut menyebutkan bahwa peradilan Maroko akan memiliki jurisdiksi atas sengketa-sengketa yang timbul sehubungan dengan pelaksanaan isi kontrak tersebut. Oleh karenanya, Maroko berpendapat bahwa dewan arbitrase ICSID hanya berwenang memeriksa akibat-akibat yang mungkin timbul dari putusanputusan yang dikeluarkan pengadilan Maroko tentang hak-hak dan kewajiban para pihak terhadap Konvensi ICSID. Dewan arbitrase ICSID menolak argumentasi ini, dengan alasan bahwa proyek-proyek tersebut secara umum dilaksanakan oleh berbagai macam tindakan hukum. Para pihak tidak bermaksud untuk membeda-bedakan atau memisahmisahkan perbuatan hukum yang satu dengan yang lainnya. Perjanjian dasar 1966 yang ditandatangani bersama pemerintah pada dasarnya adalah perjanjian utama. sedangkan kontrak yang diadakana kemudian merupakan perjanjian pelaksana dari perjanjian utama tersebut. Oleh Karena itu, dewan arbitrase memiliki jurisdiksi utama untuk memutuskan masalah-masalah yang berhubungan langsung dengan perjanjian tersebut, sedangkan pengadilan maroko hanya memiliki jurisdiksi atas masalahmasalah yang tidak langsung atau aspek-aspek tambahan dengan penanaman modalnya.

KESIMPULAN

Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Arbitrase dilandasi oleh kesepakatan, kesukarelaan dan kesadaran bersama untuk menyelesaikan sengketa di luar pengadilan. Arbitrase memegang peranan penting sebagai sumber hukum dalam praktik arbitrase. Lembaga

arbitrase menggunakan perjanjian ini sebagai sumber hukum untuk menyelesaikan sengketanya. Misalnya adalah ICSID dalam menyelesaikan sengketa dalam Kasus Holiday Inns (Holiday Inns/ Petroleum v. Governent of Marocco) yang memilih arbitrase sebagai cara untuk menyelesaikan sengketa. Jadi perjanjian arbitrase mempunyai peranan yang penting dalam praktik arbitrase.

DAFTAR PUSTAKA

Frans Hendra Winarta, Hukum Penyelesaian Sengketa, Jakarta : Sinar Grafika, 2011 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum Arbitrase, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada

Harahap, M. Yahya. Arbitrase. Jakarta: Sinar Grafika, 2004 Matti S. Kurkel and Santtu Turunen, Due Process in International Commercial Arbitration Pedro J. Martinez-Fraga, The American Influences on International Commercial Arbitration: Doctrinal Developments and Discovery Methods. Widjaja, Gunawan. Alternatif Penyelesaian Sengketa Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001. Widnyana, I Made. Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR). Jakarta: PT Fikahati Aneska, 2009.

Indonesia, Undang-Undang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, No. 30 Tahun 1999, LN No. 138 Tahun 1999, TLN No. 3872

You might also like