Once Upon A Time There Were Three Little Pigs

You might also like

Download as doc, pdf, or txt
Download as doc, pdf, or txt
You are on page 1of 7

Once upon a time there were three little pigs, who left their mummy and daddy to see

the world. All summer long, they roamed through the woods and over the plains, playing games and having fun. None were happier than the three little pigs, and they easily made friends with everyone. Wherever they went, they were given a warm welcome, but as summer drew to a close, they realized that folk were drifting back to their usual jobs, and preparing for winter. Autumn came and it began to rain. The three little pigs started to feel they needed a real home. Sadly they knew that the fun was over now and they must set to work like the others, or they'd be left in the cold and rain, with no roof over their heads. They talked about what to do, but each decided for himself. The laziest little pig said he'd build a straw hut. "It will only take a day,' he said. The others disagreed.

"It's too fragile," they said disapprovingly, but he refused to listen. Not quite so lazy, the second little pig went in search of planks of seasoned wood. "Clunk! Clunk! Clunk!" It took him two days to nail them together. But the third little pig did not like the wooden house. "That's not the way to build a house!" he said. "It takes time, patience and hard work to build a house that is strong enough to stand up to wind, rain, and snow, and most of all, protect us from the wolf!" The days went by, and the wisest little pig's house took shape, brick by brick. From time to time, his brothers visited him, saying with a chuckle. "Why are you working so hard? Why don't you come and play?" But the stubborn bricklayer pig just said "no". "I shall finish my house first. It must be solid and sturdy. And then I'll come and play!" he said. "I shall not be foolish like you! For he who laughs last, laughs longest!" It was the wisest little pig that found the tracks of a big wolf in the neighborhood. The little pigs rushed home in alarm. Along came the wolf, scowling fiercely at the laziest pig's straw hut. "Come out!" ordered the wolf, his mouth watering. "I want to speak to you!" "I'd rather stay where I am!" replied the little pig in a tiny voice. "I'll make you come out!" growled the wolf angrily, and puffing out his chest, he took a very deep breath. Then he blew with all his might, right onto the house. And all the straw the silly pig had heaped against some thin poles, fell down in the great blast. Excited by his own cleverness, the wolf did not notice that the little pig had slithered out from underneath the heap of straw, and

was dashing towards his brother's wooden house. When he realized that the little pig was escaping, the wolf grew wild with rage. "Come back!" he roared, trying to catch the pig as he ran into the wooden house. The other little pig greeted his brother, shaking like a leaf. "I hope this house won't fall down! Let's lean against the door so he can't break in!" Outside, the wolf could hear the little pigs' words. Starving as he was, at the idea of a two course meal, he rained blows on the door. "Open up! Open up! I only want to speak to you!"

Inside, the two brothers wept in fear and did their best to hold the door fast against the blows. Then the furious wolf braced himself a new effort: he drew in a really enormous breath, and went ... WHOOOOO! The wooden house collapsed like a pack of cards. Luckily, the wisest little pig had been watching the scene from the window of his own brick house, and he rapidly opened the door to his fleeing brothers. And not a moment too soon, for the wolf was already hammering furiously on the door. This time, the wolf had grave doubts. This house had a much more solid air than the others. He blew once, he blew again and then for a third time. But all was in vain. For the house did not budge an inch. The three little pigs watched him and their fear began to fade. Quite exhausted by his efforts, the wolf decided to try one of his tricks. He scrambled up a nearby ladder, on to the roof to have a look at the chimney. However, the wisest little pig had seen this ploy, and he quickly said. "Quick! Light the fire!" With his long legs thrust down the chimney, the wolf was not sure if he should slide down the black hole. It wouldn't be easy to get in, but the sound of the little pigs' voices below only made him feel hungrier. "I'm dying of hunger! I'm going to try and get down." And he let himself drop. But landing was rather hot, too hot! The wolf landed in the fire, stunned by his fall. The flames licked his hairy coat and his tail became a flaring torch. "Never again! Never again will I go down a chimney" he squealed, as he tried to put out the flames in his tail. Then he ran away as fast as he could. The three happy little pigs, dancing round and round the yard, began to sing. "Tra-la-la! Tra-la-la! The wicked black wolf will never come back...!" From that terrible day on, the wisest little pig's brothers set to work with a will. In less than no time, up went the two new brick houses. The wolf did return once to roam in the neighborhood, but when he caught sight of three chimneys, he remembered the terrible pain of a burnt tail, and he left for good.

Now safe and happy, the wisest little pig called to his brothers. "No more work! Come on, let's go and play!"

Terjemahan Contoh Narrative Text : The Tree Little Pigs Suatu ketika tersebutlah tiga babi kecil, yang ditinggalkan ayah dan ibu mereka untuk melihat dunia. Sepanjang musim panas, mereka menjelajahi hutan dan seluruh daratan, bermain permainan dan bersenang-senang. Tidak ada sebahagia dari pada ketiga babi kecil tersebut, dan mereka mudah bergaul dengan siapa saja. Kemanapun mereka pergi, mereka disambut dengan hangat, tetapi ketika musim panas hampir selesai, mereka menyadari bahwa orang-orang kembali ke pekerjaan mereka, dan menyiapkan untuk musim dingin. Musim gugur datang dan mulai hujan. Ketiga babi kecil tersebut mulai merasa mereka membutuhkan sebuah rumah. Sayangnya mereka tahu bahwa kesenangan telah berakhir sekarang dan mereka harus berkeja seperti yang lainnya, atau mereka akan di tinggalkan dalam kedinginan dan kehujanan, dengan tidak adanya atap di atas kepala-kepala mereka. Merka berbincang-bincang mengenai apa yang akan dilakukan, tapi mereka memutuskan diri sendiri. Babi kecil yang paling malas mengatakan bahwa dia akan membangun sebuah pondok dari jerami. "Ini hanya akan membutuhkan satu hari," dia berkata. Yang lain tidak setuju. "Itu sangat rapuh," mereka berkata dengan tidak setuju, tetapi dia tidak mendengarkannya. Tidak begitu malas, Babi kecil yang kedua ingin mencari papan dari kayu musiman. "Clunk! Clunk! Clunk!" Ini membutuhkan dua hari untuk memakunya. Tetapi babi kecil yang ketiga tidak menyukai rumah dari kayu. "Itu bukanlah cara membuat sebuah rumah!" dia berkata. "Membutuhkan waktu, kesabaran dan kerja keras utnuk membangun sebuah rumah yang cukup kuat berdiri dari angin, hujan, dan salju, dan yang terpenting

melindungi

kita

dari

srigala!"

Hari telah berganti, dan rumah babi kecil yang bicak mulai tampak bentuknya, bata demi bata. Dari waktu ke waktu, sodara-sodaranya mengunjunginya, menertawainya. "Mengapa kamu bekeja begitu keras? Mengapa kamu tidak datang dan bermain?" Tetapi babi tukang bangunan yang keras kepala hanya berkata "tidak" "Saya harus menyelesaikan rumah ku ini dulu. Ini harus kuat dan kokoh. Dan kemudian saya akan datang dan bermain!" dia berkata. "Saya tidak sebodoh kamu! Untuk dia yang tertawa terakhir adalah tertawa yang paling lama!" Babi kecil yang paling bijaklah yang menemukan jejak kaki dari seekor srigala besar di pekarangannya. "Babi-babi kecil tersebut pun bergegas ke rumah. Datanglah srigala, melihat tajak ke pondok jerami milik babi yang paling malas. "Keluarlah!" perintah srigala, mulutnya mengeluarkan air. "Saya ingin berbicara dengan mu!" "Saya akan tetap di sini!" jawab babi kecil dengan suara yang kecil. "Saya akan membuat mu keluar!" Geram srigala dengan marah, dan menggembungkan dadanya, dia mengambil napas sangat dalam. Kemudian dia meniupnya dengan segala kekuatannya, tepat ke dalam rumah tersebut. Dan semua jerami milik babi bodoh tersebut pun terlempar, jatuh dalam ledakan yang besar. Terpana dengan kecerdikannya, srigala tersebut tidak menyadari bahwa babi kecil tersebut telah merayap di bawah tumpukan jerami, dan berlari ke rumah kayu milik sodaranya. Ketiak dia menyadari bahwa babi kecil tersebut telah melarikan diri, srigala tersebut bertambah buas. "Kembalilah!" dia mengaung, mencoba untuk menangkap babi tersebut saat dia lari ke dalam rumah kayu tersebut. Babi kecil yang lain menyambut sodaranya dengan gemetar seperti selembar daun. "Saya harap rumah ini tidak akan runtuh! Mari kita menahan pintu tersebut jadi dia tidak akan bisa menjebolnya!" Di luar, srigala tersebut dapat mendengar kata-kata yang diucapkan babi-babi kecil tersebut. Dengan buasnya, pada ke dua calon makananya tersebut, dia menghujani tiupan pada pintu tersebut. "Buka! Buka! Saya hanya ingin berbicara kepada mu!"

Di dalam, ke dua sodara tersebut menagin dalam ketakutan dan melakukan yang terbaik untuk menahan pintu tersebut dari tiupan-tiupan. Kemudian srigala yang marah tersebut memperkuat dirinya dengan sebuah usaha: Dia mengambil nafas yang sangat kuat, dan kemudian ... WHOOOOO! Rumah kayu tersebut pun runtuk seperti tumpukan kartu-kartu. Untungnya, babi kecil yang paling bijak telah melihatnya dari jendela pada rumah batu-batanya, dan dia dengan cepatnya membuka pintu untuk sodarasodranya yang sedang melarikan diri. Dan dengan waktu yang sangat singkat, serigala tersebut langsung menggedor dengan marah pintu rumah tersebut. Kali ini, serigala tersebut ragu. Rumah ini mempunyai suasana yang lebih kuat dari pada yang lain. Dia meniupnya sekali, dia meniupnya lagi dan untuk ketiga kalinya. Tetapi semuanya sia-sia. Rumah tersebut tidak bergeser se-inci pun. Ketiga babi kecil tersebut melihatnya dan ketakutan mereka mulai memudar. Cukup lelah dengan usahanya, serigala tersebut memutuskan untuk mencoba satu dari trik-triknya. Dia memanjat tangga yang di dekatnya, ke atap untuk melihat cerobong asap. Tetapi, babi kecil yang paling bijak telah melihat cara ini, dan dia langsung berkata. "Cepat! Nyalakan apinya!" Dengan kaki-kaki panjangnya merangkak ke bawah cerobong asap tersebut, srigala tersebut tidak yakin jika dia harus melucur jatuh ke dalam lubang hitam tersebut. Ini tiak akan mudah untuk masuk, tetapi suaru babi-babi kecil tersebut membuat dia merasa lebih lapar. "Saya aka mati kelaparan! Saya akan mencoba turu." Dan dia membiarkan dirinya jatuh. Tetapi mendarat ternyata lebih panas, sangat panas! Serigala tersebut mendarat di api, termenung karena jatuhnya. Api tersebut menjilat mantel berbulunya dan ekornya menjadi suluh obor. "Tak akan pernah lagi! Tak akan pernah lagi saya akan pergi ke corobong asap" dia menjerit, ketika dia mencoba untuk memadamkan api di ekornya. Kemudian dia lari secepat yang dia bisa. Ketiga babi kecil tersebut senag, menari mengelilingi halaman, dan mulai bernyanyi. "Tra-la-la! Tra-la-la! srigala hitam yang jahat itu tiak akan pernha kembali...!" Dari hari yang mengerikan itu, saudara-saudara babi kecil yang bijak tersebut bekerja dengan sebuah harapan. Dalam waktu yang relatif, mereka telah mendirikan dua rumah batu bata yang baru. Serigala tersebut sesekali kembali untuk menjelajahi pekarangan mereka, tetapi ketika dia melihat tiga cerobong asap, dia teringat dengan rasa sakit dari ekor yang terbakar, dan dia pergi untuk kebaikan. Sekarang aman dan bahagia, babi kecil yang palin bijak mengatakan ke pada sodara-sodaranya. "Tidak ada lagi kerja! Ayo, datan dan mainlah!"

Once upon time, a man had a wonderful parrot. There was no other parrot like it. The parrot could say every word, except one word. The parrot would not say the name of the place where it was born. The name of the place was Catano. The man felt excited having the smartest parrot but he could not understand why the parrot would not say Catano. The man tried to teach the bird to say Catano however the bird kept not saying the word. At the first, the man was very nice to the bird but then he got very angry. You stupid bird! pointed the man to the parrot. Why cant you say the word? Say Catano! Or I will kill you the man said angrily. Although he tried hard to teach, the parrot would not say it. Then the man got so angry and shouted to the bird over and over; Say Catano or Ill kill you. The bird kept not to say the word of Catano. One day, after he had been trying so many times to make the bird say Catano, the man really got very angry. He could not bear it. He picked the parrot and threw it into the chicken house. There were four old chickens for next dinner You are as stupid as the chickens. Just stay with them Said the man angrily. Then he continued to humble; You know, I will cut the chicken for my meal. Next it will be your turn, I will eat you too, stupid parrot. After that he left the chicken house. The next day, the man came back to the chicken house. He opened the door and was very surprised. He could not believe what he saw at the chicken house. There were three death chickens on the floor. At the moment, the parrot was standing proudly and screaming at the last old chicken; Say Catano or Ill kill you.

Terjemahan :
Beo Paling Pintar Pada suatu hari, seorang pria memiliki seekor burung beo indah. Tidak ada burung beo lain yang seperti itu. Burung beo ini bisa mengucapkan setiap kata, kecuali satu kata. Beo tidak akan mengatakan nama tempat di mana ia lahir. Nama tempat itu adalah Catano. Pria itu merasa senang memiliki burung beo pintar tapi mengerti mengapa burung beo tidak mau mengatakan Catano. Pria itu mencoba untuk mengajari burung itu untuk mengatakan Catano namun burung itu tetap tidak mengatakan kata itu. Pada awalnya, orang itu sangat suka pada burung tetapi kemudian ia menjadi sangat marah. "Kau burung bodoh!" Kata orang itu untuk burung kakatua tersebut. "Mengapa kau tidak bisa mengucapkan kata itu? Katakanlah Catano! Atau aku akan membunuhmu "kata pria itu dengan marah. Meskipun ia berusaha keras untuk mengajar, burung beo tidak akan mengatakannya. Lalu orang itu menjadi sangat marah dan berteriak kepada burung berulang-ulang; "Katakanlah Catano atau aku akan membunuhmu". Burung itu tetap tidak mengatakan Catano. Suatu hari, setelah ia telah mencoba begitu bberkali-kali untuk membuat burung mengatakan Catano, pria itu benar-benar menjadi sangat marah. Dia tidak bisa menanggungnya. Dia mengambil burung beo dan melemparkannya ke dalam kandang ayam. Ada empat ayam umur untuk makan malam berikutnya "Kau bodoh seperti ayam. Tinggallah bersama mereka "Kata orang itu dengan marah. Kemudian ia melanjutkan dengan santai, "Kau tahu, aku akan memotong ayam untuk makan saya. Selanjutnya giliranmu, saya akan memakanmu juga, beo bodoh ". Setelah itu ia meninggalkan kandang ayam. Keesokan harinya, pria itu kembali ke kandang ayam. Dia membuka pintu dan sangat terkejut. Dia tidak bisa percaya apa yang dilihatnya di rumah ayam. Ada ayam mati tiga di lantai. Pada

saat ini, burung beo itu berdiri dengan bangga dan berteriak pada ayam tua terakhir; "Katakanlah Catano atau aku akan membunuhmu".

You might also like