Download as doc, pdf, or txt
Download as doc, pdf, or txt
You are on page 1of 26

TUGAS MATA KULIAH

PENGEMBANGAN USAHA KECIL MENENGAH


DOSEN PEMBINA Prof. Dr. H. Yuyus Suryana Sudarma, SE, MS Dr. H. Tatang Sulaeman, SE

Topik :

TECHNOPRENEURSHIP

Nama NPM No. HP e-mail

: Dedeng Abdul Gani A. : 120120080042 : 08179293735 : dedeng.amrullah@gmail.com : denk.ganie@yahoo.com

PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM MAGISTER ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS PADJADJARAN BANDUNG 2009

Pengantar
Bismillahirrahmanirrahiem, Hanya dengan berharap, berdoa dan sedikit kerja keras yang dapat mengantarkan saya mampu menyelesaikan tugas ini, peran Allah SWT yang paling menentukan, dengan senantiasa berharap Ridho-Nya, semoga tulisan ini dapat bermanfaat, amien Peradaban manusia bergerak tiada henti dan sekarang kita sampai pada suatu masa yang di sebut dengan dunia global, dan membesarnya peran teknologi dan ilmu pengetahuan sebagai penggerak peradaban tersebut. Tidak sedikit yang tertinggal dan tidak sedikit juga yang mampu menjadikan globalisasi itu sebagai peluang untuk mempertahankan hidup bahkan memperoleh keuntungan dari proses tersebut. Keinginan untuk menjadi kompetitif mutlak di perlukan dalam kondisi global ini, menjadi orang atau organisasi yang kreatif dan inivatif menjadi satu dari sekian kata kunci sukses dalam persaingan ini, terlebih jika didukung pengetahuan dan kemampuan memanfaatkan teknologi sebagai basis kegiatan, baik itu di level individu, organisasi maupun perusahaan. Konsep dasar ini kemudian yang di kenal sebagai technopreneurship, atau technological etrepreneurship, sebuah konsep organisasi berbasis teknologi. Makalah ini dibuat untuk memberikan pemahaman lebih pada penulis tentang apa yang disebut dengan technopreneurship, selain tugas Mata Kuliah Pengembangan UKM yang sedang diikuti penulis. Pada kesempatan ini penulis sampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya pada Pembina Mata Kuliah, Prof. Dr. H. Yusus Suryana Sudarma, SE, MS dan Bapak Dr. H. Tatang Sulaeman, SE, atas motivasi dan dorongannya bagi penulis. Semoga tulisan ini dapat memberikan manfaat yang besar. Bandung, Desember 2009 Penulis

Pendahuluan
Globalisasi, inovasi teknologi dan persaingan yang ketat pada abad ini memaksa perusahaan-perusahaan mengubah cara mereka menjalankan bisnisnya. Agar dapat terus bertahan, perusahaan-perusahaan mengubah dari bisnis yang didasarkan pada sumber daya ( resources-based business) menuju knowledge based business/company (bisnis berdasarkan

pengetahuan), dengan karakteristik utama ilmu pengetahuan. Ketika pencapaian utama perusahaan adalah sustainable competitive advantage atau pencapaian daya saing bisnis berkelanjutan, maka manajemen perusahaan akan didorong pada proses pencapaian dan pengembangan pengetahuan sebagai strategi bersaing perusahaan. Knowledge based company adalah perusahaan yang diisi oleh komunitas yang memiliki pengetahuan, keahlian, dan ketrampilan. Komunitas ini memiliki kemampuan belajar, daya inovasi, dan kemampuan problem solving yang tinggi. Ciri lainnya adalah perusahaan ini lebih mengandalkan knowledge dalam mempertajam daya saingnya, hal ini digambarkan dengan semakin mengecilnya investasi yang dialokasikannya untuk physical capital, sementara untuk modal intelektual mendapat alokasi investasi yang semakin besar. Competitiveness juga didorong oleh perkembangan teknologi yang semakin canggih dan cepat, ketertinggalan dalam penguasaan teknologi akan berdampak pada kesulitan untuk memenangkan persaingan, baik itu di level negara atau organisasi. Persaingan antar negara ditandai dengan

peningkatan skala produksi yang dapat dihasilkan, investasi langsung yang dating dari luar negeri dan peningkatan standar hidup masyarakat. Merujuk pada hasil pertemuan Word Economic Forum (WEP), keunggulan kompetitif negara dihasilkan oleh dua factor utama yaitu kompetitif dalam pertumbuhan dan kompetitif pada mikroekonominya. keunggulan kompetitif ini dihasilkan oleh factor penguasaan teknologi, peran instutusi publik dan sumber daya makroekonomi. Daya saing seperti inilah yang dewasa ini menurun bagi Indonesia, peranan produk nasional yang di hasilkan oleh peran tenologi tinggi masih sangat rendah, produksi Indonesia masih didominasi oleh hasil teknologi rendah dan menengah, konsekwensinya adalah Indonesia sulit untuk memperoleh keungulan kompetitif, karena kapabilitas teknologinya masih rendah. Dengan kata lain upaya yang paling layak untuk di kedepankan adalah bagaimana meningkatkan penguasaan tekologi untuk meningkatkan daya saing, baik itu pada level organisasi maupun level negara. Salah satu jawabannya adalah dengan konsep penerapan

technopreneurship untuk mencapai keunggulan masa yang akan datang. Prespektif bisnis masa yang akan datang harus dibangun dari pondasi penguasaan teknologi, konsepsi ini memerlukan sinergi antara penguasaan teknologi dan kapasitas pembangunan, kemudian teknologi di trasformasikan menjadi dasar bisnis. Esensinya adalah techonopreneurship sebagai pembangunan yang berbasis pada teknologi atau Technology-businessbased.

Pada

level

negara

diperlukan

sinergitas

antara

teknologi

dan

pembangunan, seperti sinkronisasi antara pemerintah dan peraturan bisnis, dalam jangka panjang sinergi ini akan menciptakan pertumbuhan

berkelanjutan, dan dengan dukungan teknologi yang maksimal yang pada akhirnya akan menciptakan peluang sebagai motor penggerak pertumbuhan. Kondisi yang sama diterapkan pada level bisnis atau organisasi, organisasi yang ingin mencapai keunggulan kompetitif berkelanjutan adalah organisasi yang berbasis pada penguasaan teknologi dan menjadi teknologi sebagai motor penggerak organisasinya.

Entrepreneurship dan Technopreneurship


Pada dasarnya technopreneurship adalah bagian dari intrepreneurship, maka untuk mengetahui tentang technopreneurship maka harus di ketahui juga tentang apa itu intrepreneurship, merujuk pada Jeffrey Timmons (1990), Entrepreneurship is the ability to cerate and build a vision from practically nothing. Fundamentally, it is a human, creative act. It is a application of energy to initiating and building an enterprise or organization, rather than just watching or analyzing. This vision requires a willingness to take calculated risks-both personal and financial, and than to do everything possible to reduce changes of failure. Entrepreneurship also includes the ability to build an entrepreneurial or venture to complement your (the entrepreneur) own skill and talents. It is the knack for sensing an opportunity where other see chaos, contradiction, and

diffusion. It is possessing the know-how to find, marshal control resources, often owned by others Sedangkan Peter Druker mendefinisikan ; the practice of consistently converting good ideas into profitable commercial ventures, berdasarkan definisi di atas ada beberapa kata kunci tentang pengertian entrepreneurship atau di Indonesia di kenal dengan kewirausahaan, yaitu : 1. aktivitas manusia yang creative dan inovatif; 2. kemampuan untuk membuat dan membangun yang belum ada; 3. visi untuk bersedia mengambil resiko; 4. kewirausahaan adalah ilmu, yang dapat di pelajari (Peter Druker). Beranjak dari pengertian di atas maka entrepreneur atau wirausahawan adalah orang yang memiliki paradigma hidupnya sebagai innovator, creator dan oportunis, orang ini juga menjadi kunci perubahan yang mampu mencptakan lapangan kerja dan kesejahteraan. Wirausaha adalah orang yang ngin di sebut boss yang mampu menjadi penggerak ekonomi. YY Wong,( founder of the WyWy Group of companies and chairman of the Pacific Basin Economic Council, Singapore) mendefinisikan:

Entrepreneurship is the enthusiastic thrust to constantly innovate and passionately implement purposeful ideas for extraordinary gains . Sebagai syarat orang yang ingin disebut wirausahawan setidaknya harus memiliki sifat : innovative & opportunistic, willingness to take risk, initiative, self reliance, perseverance (keep trying to achieve something), need to achieve and self confidence. Selain itu diperlukan juga kunci suksesnya yaitu memilki jiwa kepemimpinan, bersaing, sehat, creative dan

memiliki energi yang tinggi, mampu mengelola uang, menginginkan kekuasaan dan memiliki kemampuan berafiliasi. Perlu menjadi catatan bahwa entrepreneurship memilki pengertian yang berbeda dengan Usaha Kecil Mnengah (UKM), UKM adalah unit usaha kecil yang berbasis pada bisnis keluarga yang dalam pengertiannya memiliki sedikit inovasi, pertumbuhan yang tidak cepat, visi usaha jangka pendek dan memiliki resiko usaha yang rendah. Berdasarkan pengertian tentang entrepreneurship di atas, maka secara umum dapat dinyatakan bahwa technopreneurship adalah entrepreneur yang berbasis pada teknologi tinggi termasuk pada proses produksi dan penyaluran hasil produksinya kepada konsumen. Technopreneurship berasal dari kata technology dan entrepreneurship atau disebut sebagai technological entrepreneurship yang disingkat menjadi technopreneurship. Merujuk pada Dorf and Byers (2005) mendefinisikan technological entrepreneurship sebagai style of business leadership that involve identifying high potential, technology intensive commercial opportunities, gathering resources such as talent and capital, and managing rapid growth and significant risk using principled decision making skill. Technology ventures exploit breakthrough advances in science and engineering to develop better products and services for costumer. The leader technology ventures demonstrate focus, passion and unrelenting will to succeed . Shane and Venkataraman (2004) mendefiniskan technological

entrepreneurship sebagai proses yang digunakan oleh wirausahawan untuk mengelola sumber daya, system teknis (teknologi), dan strategi organisasi

untuk memanpaatkan peluang, sedangkan Canadian Academy Engineering (1998), mendifinisikan sebagai pengaplikasian inovatif dari pengetahuan teknis dan keilmuan seseorang atau beberapa orang yang memulai dan mengoperasikan bisnisnya berdasarkan resiko dalam mencapai tujuan organisasi. Yani Rodyat (MEDCO Group) mendifinisikan Being an entrepreneur by using existing technologies and pertain it to newer application or invent a new product, Someone who uses technology to do something new or invents new devices & then makes a business from selling these inventions Berdasarkan definisi-definisi di atas maka dapat di gambarkan secara umum technological entrepreneurship sebagai gaya bisnis yang berdasarkan kemampuan menjadikan technology dasar untuk mengidentifikasi peluang usaha dan menggunakan teknologi sebagai alat atau system pembuatan keputusan bisnis berdasarkan kemampuan pengetahuan dan keilmuannya, termasuk merancang, membuat dan menditribusikan hasil produksi

perusahaan kepada pengguna.

Elemen Kunci Technological Entrepreneurship


Pentingnya technopreneurship dewasa ini berkenaan dengan

keterikatannya dengan ilmu dan teknologi, ketika negara menggunakan pendekatan peningkatan kemampuan teknologi sebagai pendorong

peningkatan produksi nasional dan dalam banyak negara sebagai strategi competitive advantage, maka technoprenuersip adalah program yang

termasuk didalamnya sebagai bagian integral dari peningkatan kultur kewirausahaan. Kunci dari technopreneurship juga adalah kreativitas, dengan kreativitas yang tinggi maka mental lama yang cenderung konvensional dari wirausahawan akan berubah, kreativitas adalah bermain dengan imaginasi dan kemungkinan-kemungkinan, memimpin perubahan dengan ide-ide baru dan memberikan arti pada hubungan antara ide, orang dan lingkungan. Technopreneurship juga harus di bangun dengan pendekatan

menyeluruh dan integral, yang dilakukan dengan mengkolaborasikan budaya (budaya inovasi, kewirausahaan dan kreativitas), konsepsi (konsep ikubator bisnis, penelitian dan pengembanga, knowledge

managemen dan learning organization ), yang didukung oleh kapabilitas wirausahanya sendiri, koneksitas dan koboratif. Memahami technological entrepreneurship atau technopreneurship dapat juga dilakukan dengan mengidentifikasi elemen-elemen kunci yang memiliki keterkaitan dengan proses pembentukan usaha berbasis teknologi, Igor Prodan (2007) mengidentifikasi, elemen itu adalah : 1. Technological entrepreneur; 2. universities; 3. corporation; 4. Capital; 5. Market/costumers; 6. government; and 7. advisor. Merujuk pada pandangan Igor Prodan (2007), dalam upaya

meningkatkan peran techopreneur terhadap perekonomian, dan keterkaitan antara komponen-komponen yang mendukunnya, dapat di gambarkan dalam model sebagai berikut :

Sumber : Thrin, Franois, 2007

Adapun uraian Ke tujuh elemen kunci tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut : 1. Technological entrepreneur, atau wirausahawan berbasis teknologi, Elemen ini menjadi kunci penciptaan perusahaan berbasis teknologi, wirausahawan ini pada dasarnya adalah orang yang memiliki pengetahuan, kemampuan dan karakteristik khusus yang berbeda dengan wirausahawan bukan berbasis teknologi, sebagai contoh misalnya wirausahawan yang mengasai kemampuan

teknologi informasi seperti komputer dan menjalankan internet. Pengetahuan dan keahlian ini dapat di pelajari di lembaga lembaga pendidikan khususnya yang membuat kerangka keterkaitan antara teknologi dengan kewirausahaan. Faktor lain yang harus ada dalam wirausahawan ini adalah faktor motivasi yang kuat untuk menguasai teknologi, setidaknya faktor ini dimuali dengan motiv untuk memulai bisnis karena ingin tidak terikat yang menyangkut keinginan sebagai orang bebas dan dapat mengontrol, kesejahteraan dan ekploitasi. 2. Universities, atau Perguruan Tinggi Unversitas atau institusi pendidikan tinggi lainnya adalah elemen penting sebagai tempat lahirnya pengetahuan dan kelmuan yang baru termasuk didalamnya teklogi dan kewirausahaan. Untuk dapat menciptakan technopreneur setidaknya dalam institusi pendidikan tersebut harus memiliki kerjasama yang kuat antara bagiannya misalnya kerjasama fakultas teknik dengan fakultas bisnis (ekonomi),

atau bahkan atar universitas untuk mengadakan pendidikan dan pelatihan tentang technopreneurship. Dalam kerangka pengembangan wirausaha berbasis teknologi ini setidaknya ada tiga elemen kunci dalam universitas/perguruan tinggi yaitu : riset-riset berbasis teknologi yang dihasilkan universitas, pusat inkubasi bisnis yang dimiliki universitas dan keuntungan ( spin-off) universitas. a. Lembaga Penelitian (Riset dan Pengembangan) Lembaga pendidikan tinggi seperti universitas menjadi pendorong lahirnya technopreneurship mengingat salah satu peran dari universitas sebagai yang salah satunya adalah tepat atau lembaga penelitian, unversitas harus mendorong pada peneitian-penelitian berbasis teknologi tepat guna yang digunakan oleh wirausahawan dalam memulai atau menjalankan bisnisnya, atau dikenal dengan istilah technological innovation. b. Inkubator Bisnis Inkubator bisnis merupakan wadah atau tempat mahasiswa dan pekerja belajar membuat perusahaan, disana mereka dapat belajar, membuat jaringan dan alat untuk membuat kesuksesan usaha. Inkubator bisnis sendiri didefinisikan sebagai proses dukungan bisnis untuk menjadi lebih cepat mencapai kesuksesan . Tujuan dari inkubator bisnis adalah melahirkan perusahaan sukses yang dapat meninggalkan program bantuan keuangan dan mampu berdiri sendiri, lulusan incubator bisnis akan melahirkan wirausahawan yang

mampu

menciptakan

lapangan

kerja,

mengkomersialisasikan

teknologi dan penguatan ekonomi local dan nasional. Proses pembentukan Inkubator bisnis, secagaiman gambar berikut :

Dalam pengembangnnya universitas yang memiliki lembaga riset, pusat inkubasi bisnis, Usaha Kecil Menengah (UKM) harus berkolaborasi untuk mendorong usaha berbasis teknologi, salah satu konsep yang di tawarkannya adalah membentuk klaster-klaster usaha. Klaster usaha di perlukan untuk mengarahkan usaha pada jenis-jenis yang sifatnya lebih homogen, dengan klaster

dimungkinkan untuk pengembangan inovasi dan kompetisi yang sehat, klaster juga diharapkan sebagai wahana pertukaran informasi dan pengalaman, selain tujuan jangka panjangnya yaitu

pertumbuhan jangka panjang usaha. Kepentingan Lembaga Inkubator Bisnis bagi Perguruan Tinggi Inkubator bisnis memiliki arti penting dalam memperlancar proses pendidikan di dalam organisasi perguruan tinggi sebagai organisasi pembelajaran (quantum learning organization), selain itu untuk menjadikan organisasi kreatif, inovatif, dan efektif. Inkubator bisnis

yang berada dibawah kelolaan perguruan tinggi dapat memberikan manfaat, diantaranya adalah: menghasilkan pendapatan nonakademik, berkesempatan dalam penanaman modal dalam negeri dan berpartisipasi dalam berwirausaha, memiliki jaringan kerja luas baik dengan lembaga pemerintah maupun dengan lembaga nonpemerintah (NGOs), mengkomersialisasikan hasil-hasil penelitian, meningkatkan pengetahuan kewirausahaan dan memberikan

pengalaman praktik bagi organisasi, dan mengefektifkan fasilitas yang ada secara optimum. Terjadinya perubahan peran dan fungsi perguruan tinggi tidak terlepas dari situasi dan kondisi yang semakin maju dan serbaberkembang. Perguruan tinggi sebagai pencipta dan pembina sumberdaya manusia yang intelektual dan berkualitas mengalami perubahan paradigma dalam pembelajaran. Perubahan fundamental dalam penciptaan sumberdaya manusia yang bersumberdaya menurut Schuler (1990) adalah: (1) perubahan lingkungan yang dramatik, perubahan-perubahan ini mencakup: tingkat perubahan bisnis yang cepat, biaya yang meningkat, perubahan teknologi, organisasi yang kompleks, organisasi yang lebih flat, respon terhadap eksternal, dan meningkatkan kompetensi dan kolaborasi. (2) Manusia memiliki sifat kritik, dalam hal ini sumberdaya manusia sebagai filosofi organisasi/perusahaan. (3) Manusia bersifat tidak pasti, ketidakpastian yang di maksud mencakup: mendapatkan

individu-individu yang terampil, ketersediaan yang cukup, rekruitmen & selection, dan motivasi. Perubahan paradigma terhadap sumberdaya manusia dalam lingkungan perguruan tinggi merupakan tantangan dan peluang guna meningkatkan kompetensi dan konsistensi perguruan tinggi sebagai lembaga pencipta dan pembina sumberdaya manusia berkualitas. Paradigma konvensional menekankan sumberdaya manusia sebagai pelengkap dari aktivitas organisasi/perusahaan, sedangkan

paradigma kontemporer atau total quality paradigm menekankan sumberdaya manusia sebagai salah satu faktor atau aset penting dalam aktivitas organisasi/perusahaan. Paradigma kontemporer ini mengindikasikan bahwa sumberdaya manusia yang berdaya-saing adalah sumberdaya manusia yang memiliki skill dan motivasi entrepreneurship. Perguruan tinggi merupakan wadah pembelajaran atau

organisasi belajar (learning organization). Perguruan tinggi yang memiliki lembaga inkubator bisnis dalam struktur organisasinya niscaya menghasilkan sumberdaya manusia yang memiliki

kemampuan bounded rationality, artinya kemampuan dalam berfikir kreatif rasional. Setiap perubahan disikapi dengan kekuatan rasionalitas akademik, sehingga aktivitas dan kompleksitas

organisasi akan lebih dinamis. Inkubator bisnis merupakan penunjang pelaksanaan TriDharma Perguruan Tinggi. Inkubator bisnis merupakan nalaran

konsep link and match yang disempurnakan. Nalaran tersebut menghasilkan sinergi antara perguruan tinggi dengan lingkungannya. Visi dan misi yang diemban oleh suatu perguruan tinggi harus diwujudkan kedalam bentuk construct, sarana dan prasarana pewujud visi dan misi tersebut dapat berbeda-beda diantara perguruan tinggi, salah satu sarana pewujudnya adalah lembaga inkubator bisnis. Salah satu misi pokok yang ada dalam embanan perguruan tinggi adalah empowerment. Secara tradisional belajar terbagi atas wilayah (domain) kognitif (intelektual), afektif (emosi), dan psikomotorik (fisikal). Proses ini berlangsung melalui suatu pengkondisian belajar yang tepat. Program pembelajaran bagi individu dengan tingkat intelektual yang melebihi mahluk lain bisa mendapatkan pengalaman dan

transformasi tanpa harus megalami suatu kondisi riil, proses tersebut secara psikologi disebut operant conditioning. Empowerment yang diemban oleh perguruan tinggi memiliki kompetensi pengembangan knowledge, skills, dan attitude (KSA). Empowerment menciptakan memiliki figur relasi dengan entrepreneurship Melalui yaitu

pemimpin

(leadership).

penerapan

empowerment dan entrepreneurship yang tepat akan memberikan dampak bagi anggota organisasi perguruan tinggi yaitu: (1) memiliki pengetahuan (knowlegde), (2) memahami visi yang dituju oleh organisasi, (3) memiliki komitmen terhadap visi organisasi, (4) memanfaatkan smart technologies untuk menerapkan pengetahuan.

Lembaga

inkubator

bisnis

memfasilitasi

penciptaan

empowerment dan entrepreneurship dan menjadikan kedua hal tersebut sebagai nilai budaya organisasi. Empowerment dan entrepreneurship mengandung nilai desentralisasi dan demokrasi yang sangat tinggi. Nilai budaya yang terkandung di dalam lembaga inkubator bisnis adalah: (1) menghargai pengetahuan; (2)

memobilisasi gagasan dan pemecahan masalah dari segenap orang; (3) tanggap terhadap perubahan lingkungan; (4) mendelegasikan kekuasaan dan wewenang secara proporsional; (5) memberikan dukungan dan motivasi terhadap ide-ide kreatif; (6) bersikap (7) memberikan pelatihan

rasional dalam menganalisis masalah; dan pengembangan potensi sumberdaya.

Urgensi lembaga inkubator bisnis bagi perguruan tinggi merupakan tuntutan atas perubahan paradigma belajar-mengajar dalam era new economy. Tanpa komitmen dan konsistensi dari pengelola perguruan tinggi, lembaga inkubator bisnis hanya menjadi sebuah retorika tanpa suatu kenyataan. Lembaga inkubator bisnis sulit dijalankan apabila perguruan tinggi menerapkan manajemen tertutup, budaya curiga, atau pola kepemimpinan otoriter. Oleh sebab itu, pembentukan lembaga inkubator bisnis bersifat timbalbalik dengan prinsip win-win solution. c. Pusat Informasi bisnis Universitas dengan lembaga risetnya juga dituntut menciptakan technological park atau taman teknologi sebagai pusat informasi dan

konsolidasi bisnis yaitu wahana interaksi antara pemerintah, UKM dan hasil riset dalam mengkosolidasikan ide-ide baru dalam berusaha, sumberdaya-sumber daya dan peralatan usaha yang berbasis teknologi. Tujuan dari pusat informasi ini adalah : 1. memastikan terus melakukan inovasi dan penggunaan teknologi tepat guna; 2. menghubungkan pengetahuan dengan industri; 3. membangun ekonomi local dengan melakukan training dan pelatihan pekerja untuk menciptakan keahlian berusaha dan kreatifitas; 4. menjadi lembaga jasa konsultasi terhadap penerapan teknologi baru. 3. Corporation, atau Perusahaan Perusahaan juga memiliki peran dalam penciptaan wirausaha berbasis teknologi, perubahan paradigma dari menempatkan

karyawan hanya sebagai faktor produkai ke arah konsepsi intrapreneurship atau wirausaha dalam perusahaan akan

berdampak pada peningkatan performa bisnis perusahaan tersebut, perusahaan menjadi lebih inovatif dan pekerja lebih produktif. Konsepsi dasar intrapreneurship berbasis pada riset dan

pengembangan dalam perusahaan akan mendorong stabilitas perusahaan,

4. Capital,atau Modal Faktor yang tidak kalah pentingnya dalam pengembangan tecnopreneurship adalah capital atau modal, keberanian mengambil resiko dalam berusaha menunjukan salah satu sisi sifat

wirausahawan maju termasuk menggunakan modal pihak ketiga untuk meningkatkan usahanya. Banyak cara untuk memperoleh dana pihak ketiga dalam usaha berbasis teknologi ini, seperti saudara atau teman, tapi itu tidak akan cukup untuk mengembangkan usaha menjadi lebih besar hubungan dengan bank, pemerintah dan lembaga keuangan lain mutlak di perlukan. Pada kondisi ini yang harus ditanamkan adalah prinsip harus melunasi pinjaman dan membuat usaha lebih maju.

5. Market/costumers, atau pasar/pengguna Fokus pengembangan usa apapun harus lepada pengguna, walapun wirausaha berbasis teknologi memiliki fokus pada

pengembangan teknologi dan produksi berbasis teknologi fkus pada pelanggan merupakan suatu keharusan, preusan memerlukan feedback dari pasar untuk meningkatkan kapasitas dan

kapabilitasnya. Wirausahawan juga di tuntut untuk menciptakan komersialisasi dan pemasaran produk berbasis teknologi tinggi, meningkatkan pemasaran dengan strategi pertumbuhan,

memperluas pasar dan lanilla yang berkaitan dengan isu-isu pemasaran.

6. Government atau pemerintah Peranan pemerintah harus menjadi pendorong percepatan perusahaan, menjadi stimulus bagi perubahan kapasitas usaha dari kecil menjadi menengah dan besar. Membangun Usaha Kecil Menengah dapat dilakukan dengan : 1. kebjakan makroekonomi, khususnya dalam staibilitas lingkungan bisnis; 2. peraturan khusus dalam pengembangan UKM; 3. pendukung perkembangan dan membantu permasalahan UKM dan 4. mempromosikan bisnis UKM dan membangun kultur usaha kompetitif. Pemerintah juga pengembangan UKM dituntut untuk mendorong lebih sukses, aspek utama yaitu dengan

menjadi

mengkombinasi aspek : kebijakan (menjadi kesatuan kebijakan), mendorong peningkatan institusional/organisasional dari UKM sendiri dan membuat program pelayanan pengembangan UKM.

Permasalahan pengembangan UKM yang belum focus dan berubahubah dengan berbagai pendekatan dan berbagai instansi yang terlibat menjadi tidak efektif, maka pemerintah harus menciptakan kebijakan yang terpadu dan mengatur kebijakan untuk lebih komprhensif dan terarah. Gambaran pemerintah tentang dalam kemungkinan pengembangan yang dapat di lakukan dan

entrepreneurship

technopreneurship adalah sebagai berikut : 1). Meningkatkan Insentif Pasar Untuk Entrepeneurship

a) Faktor penentu adalah willingness dari tiap pribadi untuk menjadi Entrepeneur b) Willingness ditentukan oleh benefit yang diperoleh c) Di banyak negara regulasi pasar membatasi insentif, sbg contoh batas atas harga ditetapkan dibawah market

equilibrium d) Jika keuntungan ekonomis yg diperkirakan lebih rendah dari opportunity cost, maka akan mengendurkan minat para Entrepeneur e) Di beberapa negara diperlukan policy yang akan

meningkatkan insentif untuk para Entrepeneur f) Pemerintah perlu membuat suatu regulasi dan penetapan harga yang mampu mendorong dan menjadi insentif bagi para interpreneur 2). Peningkatan ketersediaan kredit dan modal a) Faktor penentu kedua yang dominan adalah peluang dan kesempatan b) Modal usaha merupakan masalah pertama yang akan dihadapi para interpreneur untuk memulai suatu usaha. c) Kebanyakan pemula tidak memiliki modal yang diperlukan untuk dapat memulai suatu usaha sendiri. d) Untuk mengatasi masalah tersebut, Pemerintah dapat

melakukan halhal berikut:

Mendorong berkembangnya perusahaan-perusahaan yang bergerak dibidang pendanaan Melaksanakan Program Kredit Usaha Kecil (micro-credit program) 3). Mengembangkan program yang mendukung Entrepeneurship a) Menciptakan lingkungan usaha yang kondusif, sesuai dengan budaya setempat dan beresiko relatif lebih kecil bagi interpreneur baru. b) Program-program lainnya yang dapat memfasilitasi

interpreneur dalam memperoleh modal kerja, menetapkan business plan dan pengenalan terhadap berbagai regulasi usaha dan perpajakan. 4). Memprakarsai program pelatihan Entrepeneurship. Penyelenggaraan pendidikan atau kursus tentang

interpreneurial skill akan secara efektif meningkatkan jumlah individu-individu yang kompeten, yang pada gilirannya akan membantu mereka untuk berhasil. 5). Reformasi regulasi pasar untuk memfasilitasi penetrasi pasar a) Pemerintah dapat meningkatan jumlah interpreneur dengan memberikan kemudahan untuk masuk dalam sektor formal. b) Banyak Negara yang menggunakan izin dan lisensi untuk mengatur siapa saja yang dapat berpartisipasi dalam sektor formal. Meskipun hal ini dapat menjadi pendapatan atau mungkin juga sebagai perlindungan bagi BUMN, namun hal ini

secara efektif membuat pasar menjadi tidak efisien karena kurangnya kompetisi dan menghalangi masuknya

interpreneur-interpreneur baru. c) Untuk meningkatkan jumlah interpreneur, perlu dilakukan reformasi Undang-Undang yang terkait dengan masalah ini. 6). Peningkatan peluang / kesempatan Entrepeneurship bagi para wanita dan kawula muda. a) Seringkali perempuan dan karyawan muda usia tidak bisa banyak berperan dan mendapat kesempatan dalam sektor formal baik karena nilai budaya setempat ataupun karena peraturan perundangundangan. b) Hal ini secara esensial membatasi kemungkinan bagi mereka untuk menjadi interpreneur. c) Dengan menghilangkan hal-hal yang bersifat diskriminatif, diharapkan dapat meningkatkan kemungkinan bertambahnya para interpreneur baru.

7. Advisor, atau konsultan Hasil penelitian Bolton, menemukan tiga permasalahan utama yang dihadapi oleh UKM yang memungkinkan diselesaikan dengan pengadaan pelatihan dan konsultansi, yaitu : a. Information gap, wirausahawan biasanya memiliki keterbatasan tentang informasi pasar dan permasalahan bisnis sehingga mungkin melakukan kesalahan pengambilan keputusan,

konsultan dapat memberikan advis dalam hal proses penyaringan informasi sebagai bahan pengambilan keputusan. b. Problem solving and technical capabilities, wirausahawan dalam perusahaan berbasis teknologi dapat menghadapi berbagai masalah termasuk kemampuan teknologi yang baru, peran konsultan dapat masuk sebagai pengarah pemampaatan

peningkatan kemampuan teknis yang berkaitan dengan teknologi. c. Learning gap, Permasalahan yang juga sering di hadapi oleh wirausahawan adalah proses pembelajaran, terutama berkaitan dengan transper pengetahuan kepada bawahan atau karyawan, peran konsultan dalam memberikan advis dalam pembelajaran sangat di perlukan, termasuk dalam menyelenggarakan

pelatihannya.

Penutup

Pemberdayaan

dan

dorongan

terhadap

pemberdayaan

technopreneurship memerlukan kerjasama berbagai pihak yang terkait secara integral, pemerintah memiliki peran besar dalam pembuatan aturan yang mendorong iklim usaha kompetitif dan pemberdayaan, lembaga keuangan memiliki peran dalam peningkatan kapasita usaha, perguruan tinggi berperan dalam riset dan pengembangan terhadap teknologi tepat guna, termasuk program industrial cluster dan incubator bisnis, berkaitan juga dengan pembangunan sumber daya manusia dan lainnya, yang semuanya dapat dikoordinasikan oleh pemerintah. Tujuan jangka panjangnya adalah peningkatan kemampuan penciptaan laba oleh perusahaan berbasis teknologi tersebut, wirausahawan juga harus menempatkan strategi level bisnisnya yang mendorong inovasi dan kreatifitas dan pemerintah juga mendorong peningkatan level usaha kearah persaingan tingkat internasional. Peran pemerintah dalam membangun budaya kewirausahaan juga sangat penting dalam peningkatan mutu dan membangun spirit transpormasi kewirausahaan Indonesia dari konvensional kea rah wirausaha berbasis teknologi.

Referensi

Jan

Ulijn, Dominique

Drillon, Frank Lasch 2007,

Entrepreneurship,

Cooperation and the Firm, Edward Elgar Publishing Limited, Glensanda House Montpellier Parade, Cheltenham, UK Jordan, Ramiro, at.al, 2006, S cience and Technology Entrepreneurship for Economic Development (seed), 9th International Conference on Engineering Education Nasdaq Indian CEO High Tech Council, U.S. Chamber of Commerce, 2001, The Technology Entrepreneurs Guidebook, Washington Technology Partners, Inc. Sahadah Hj. Abdullah, Dr. Zulkhairi Md. Dahalin, and Mohd. Syahrir Rahim, 2004, Technopreneur Education and Incubation: Designing IT Technopreneurship Graduate Program, Business Review, Cambridge * December * 2004 Smith, Stephen at al, 2007, Towards a motivational theory of technology implementation Mediterranean Processes,Proceedings Conference on of European Systems and 2007 Information

(EMCIS2007) June 24-26 2007, Polytechnic University of Valencia, Spain www.emcis.org Tantia Dian Permata Indah, 2008, Technopreneurship : A Right Answer to Overcome The Future, Jurnal FE Universitas Indonesia Thrin, Franois, 2007, Handbook Of Research On Techno-

Entrepreneurship, Edward Elgar Publishing Limited, Glensanda House Montpellier Parade, Cheltenham, UK

You might also like