Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 45

PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK ETANOL TEMULAWAK (Curcuma xanthorrhiza Roxb.

) PADA GAMBARAN HISTOPATOLOGI GINJAL AYAM PETELUR

DINE RESTI SUSANTI

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009


1

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Pengaruh Pemberian Ekstrak Etanol Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) Pada Gambaran Histopatologi Ginjal Ayam Petelur adalah karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing, serta belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, September 2009

Dine Resti Susanti NIM B04052054

ABSTRACT DINE RESTI SUSANTI. B04052054. The effect of Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) Ethanol Extract on Histopathological Laying Hens Kidney. Under supervision from WIWIN WINARSIH and BAMBANG PONTJO PRIOSOERYANTO. The objective of this research is to determine the effect temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) ethanol extract on the kidney histopathological lesion of laying hens. Eighty heads of laying hens 16 weeks old were divided into eight groups are negative control with physiologis saline solution; groups with graded doses namely 17.5 mg / kg BW, 35 mg / kg of BW, and 52.5 mg / kg of BW with the temulawak ethanol (70%) extract; groups with graded doses namely 17.5 mg / kg BB, 35 mg / kg of BW, and 52.5 mg / kg of BW with the temulawak ethanol (96%) extract; and commercially meniran (Phylantus niruri) extract as positive control. Temulawak ethanol extract was administrated for 4 week with the rest of 3 days each weeks. Kidney were taken and processed for the histopatological speciments and were observed using photo-video microscope. Results showed that there were histopathological changes in the glomerulus, interstitium and tubulus of the control groups (positive and negative), treatment groups. The lesion were glomerulus congestion, apoptotic and degeneration of the epithelial tubulus as well as congestion in the interstitial tissue. Research shows the temulawak ethanol extract and stimulant are not toxic on laying hens kidney. Keyword: Curcuma xanthorrhiza, extract, kidney, chicken

ABSTRAK DINE RESTI SUSANTI. Pengaruh Pemberian Ekstrak Etanol Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) pada Gambaran Histopatologi Ginjal Ayam Petelur. Dibimbing oleh WIWIN WINARSIH dan BAMBANG PONTJO PRIOSOERYANTO. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian ekstrak etanol temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) yang dilakukan dengan cara per oral menggunakan sonde lambung pada kelompok ayam petelur terhadap gambaran histopatologi ginjal. Delapan puluh ekor ayam petelur berumur 16 minggu dibagi menjadi 8 kelompok yaitu kelompok dengan pemberian NaCl fisiologis sebagai kontrol negatif; kelompok dengan dosis bertingkat yaitu 17,5 mg/kg BB, 35 mg/kg BB, dan 52,5 mg/kg BB dengan pelarut etanol 70%; perlakuan dengan dosis bertingkat yaitu 17,5 mg/kg BB, 35 mg/kg BB, dan 52,5 mg/kg BB dengan pelarut etanol 96%; pemberian stimulan meniran komersial sebagai kontrol positif. Ekstrak etanol temulawak diberikan selama 4 minggu dengan selang istirahat 3 hari setiap minggunya. Ayam dinekropsi dan diambil organ ginjalnya, lalu dibuat sediaan histopatologi dan diamati dengan menggunakan mikroskop video foto. Hasil pengamatan histopatologi organ ginjal ayam petelur menunjukkan bahwa kelompok kontrol negatif, perlakuan, dan stimulan ditemukan adanya perubahan pada glomerulus, tubulus dan interstitium. Perubahan berupa kongesti pada glomerulus, degenerasi dan apoptosis epitel tubuli, dan kongesti pada interstitium. Penelitian menunjukkan pemberian ekstrak etanol temulawak dan stimulan tidak toksik pada ginjal ayam petelur. Kata Kunci : Curcuma xanthorrhiza, ekstrak, ginjal, ayam

PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK ETANOL TEMULAWAK (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) PADA GAMBARAN HISTOPATOLOGI GINJAL AYAM PETELUR

DINE RESTI SUSANTI

Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 5

Judul Skripsi

: Pengaruh Pemberian Ekstrak Etanol Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) Pada Gambaran Histopatologi Ginjal Ayam Petelur

Nama Mahasiswa NRP

: Dine Resti Susanti : B04052054

Disetujui: Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Drh. Wiwin Winarsih, Msi NIP. 1963 0614 199002 2 001

Drh. Bambang Pontjo P.,MS,PhD NIP. 1960 0228 198601 1 001

Diketahui: Wakil Dekan FKH IPB

Dr. Nastiti Kusumorini_____ NIP : 1962 1205 198703 2 001

Tanggal Lulus :

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandung pada tanggal 15 Desember 1987. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara pasangan Ayahanda Ayi Rusmawan dan Ibunda Neneng Sunarti. Penulis menyelesaikan masa sekolah TK hingga SMA di Bandung. Lulus dari TK Bustanul Atfal tahun 1993. Dilanjutkan SD Negeri 02 Cililin dan lulus tahun 1998. Kemudian masuk SLTP Negeri 1 Cililin tahun yang sama dan lulus tahun 2002. Penulis lulus dari SMA Negeri 2 Cimahi pada tahun 2005. Diterima di IPB melalui jalur USMI di tahun yang sama. Selama mengikuti perkuliahan, penulis menjadi ketua bagian kewirausahaan Himpro Ruminansia pada tahun ajaran 2006/2007.

PRAKATA

Segala puji dan syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT karena atas berkah rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan baik. Penyusunan skripsi ini banyak dibantu oleh berbagai pihak, baik secara moril maupun materil. Oleh karena itu. Penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada kedua orang tua tercinta, adinda dan abang tersayang atas segala dukungan, doa dan semangat yang telah diberikan kepada penulis. Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dr. drh. Wiwin Winarsih, MSi dan Drh. Bambang Pontjo Priosoeryanto, MS. PhD. sebagai dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan, arahan, saran, dan motivasi kepada penulis. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Drh. Tutiek Wresdiyati, MS. PhD. dan Drh. Yusuf Ridwan MS. sebagai dosen penilai yang telah banyak memberikan saran, kritik yang membangun dan pengarahan kepada penulis. Terima kasih penulis sampaikan kepada seluruh staf dan pegawai Bagian Patologi FKH IPB yang telah membantu penulis dalam penelitian dan penulisan skripsi ini. Kepada teman-teman sepenelitian dan seluruh teman-teman seperjuangan Goblet 42 serta semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu, terima kasih sebesar-besarnya atas dukungan, doa, serta semangat yang telah diberikan selama penulis menempuh pendidikan dan menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Dalam penulisan skripsi ini penulis menyadari bahwa masih banyak terdapat kekurangan, sehingga perlu kritik dan saran yang bersifat membangun. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat untuk kemajuan ilmu pengetahuan di masa mendatang.

Bogor, September 2009 Dine Resti Susanti

DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI.................................................................................................... ix DAFTAR TABEL. xi DAFTAR GAMBAR xii DAFTAR LAMPIRAN xiii PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Tujuan Penelitian. 3 Hipotesis.. 3 Manfaat Penelian ................................................................................ 3 TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................. 4 Temulawak...........................................................................................4 Taksonomi............................................................................... 4 Morfologi................................................................................ 5 Fisiologis Temulawak............................................................. 7 Komponen Utama Temulawak............................................... 9 Ginjal Ayam...................................................................................... 10 Anatomi dan Histologi........................................................... 10 Fisiologis Ginjal......................................................................13 Toksikopatologi Ginjal........................................................... 14 BAHAN DAN METODE PENELITIAN....................................................... 16 Waktu dan Tempat..................................................................16 Alat dan Bahan....................................................................... 16 Metode Penelitian................................................................... 16 HASIL DAN PEMBAHASAN....................................................................... 20 SIMPULAN DAN SARAN............................................................................. 28 Simpulan................................................................................. 28 Saran....................................................................................... 28

Halaman DAFTAR PUSTAKA....................................................................................... 29 LAMPIRAN..................................................................................................... 32

10

DAFTAR TABEL Halaman 1. Komposisi rimpang temulawak .................. 8 2. Komposisi Pati Temulawak ........................ 8 3. Kelompok ayam petelur ....................................................................... 17 4. Rataan persentase kongesti glomerulus yang diberi ekstrak etanol temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb.)....20 5. Rataan persentase lesio pada tubuli ginjal ayam yang diberi ekstrak etanol Temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb.) .................. 22 6. Rataan persentase kongesti pada interstitium ginjal ayam yang diberi Ekstrak etanol Temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb.).................. 26

11

DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Temulawak.................................................. ........................................ 4 2. Kongesti pada glomerulus (anak panah), kelompok P5 (dosis ekstrak etanol temulawak 35 mg/kg BB pelarut etanol 96%).. 21 3. Degenerasi tubulus ginjal ayam (kepala anak panah) dan apoptosis sel epitel tubulus ginjal ayam (anak panah) pada kelompok P5 (dosis ekstrak etanol 96% temulawak 35 mg/kg BB).. 26 4. Kongesti pembuluh darah interstitium (anak panah), kelompok P5 (dosis ekstrak etanol 96% temulawak 35 mg/kg BB). 27

12

DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Tabel 7. Posisi ayam dalam kandang....................................................33 2. Tabel 8. Data pencekokan ekstrak etanol temulawak (September dan Oktober 2007) ...................................................................................... 34 3. Tabel 9. Data pencekokan ekstrak etanol temulawak (Oktober 2007) 35

13

PENDAHULUAN

Latar Belakang Gaya hidup kembali ke alam back to nature menjadi trend saat ini sehingga masyarakat memanfaatkan kembali bahan alam, termasuk pengobatan dengan menggunakan obat herbal. Sejak zaman dahulu masyarakat Indonesia mengenal dan menggunakan tanaman berkhasiat obat sebagai salah satu upaya menanggulangi masalah kesehatan, jauh sebelum pelayanan kesehatan formal dengan obat-obatan modern menyentuh masyarakat. Selain lebih ekonomis, efek samping dari obat herbal sangat kecil. Karena itu penggunaan obat herbal alami dengan formulasi yang tepat sangat penting dan tentunya lebih aman dan efektif (Agromedia 2008). Bahan alam tumbuhan yang digunakan dalam pengobatan baik sebagai obat maupun bahan obat menunjukkan kecenderungan peningkatan dalam penggunaannya. Akhir-akhir ini peningkatan penggunaan ini menunjukkan peningkatan kepercayaan masyarakat terhadap khasiat dan keamanannya, karena penggunaannya tidak lagi hanya berdasarkan pengalaman empirik secara tradisional saja, tetapi telah mendapat dukungan data ilmiah berdasarkan penelitian. Penggunaan bahan alam tumbuhan sebagai obat kini terpilah menjadi tiga bagian, yaitu sebagai jamu, sediaan herbal terstandarkan dan sediaan fitofarmaka. Jamu merupakan sediaan obat yang bahan dasarnya berupa simplisia dan cara pembuatannya masih sangat sederhana yaitu dengan cara direbus atau diseduh dengan air panas, serta penggunaannya didasarkan pada pengalaman turun temurun, dan tidak memiliki aspek jaminan pengendalian kualitas. Penggunaan lain adalah sebagai sediaan herbal terstandarkan, yaitu sediaan obat herbal yang bahan dasarnya bukan lagi simplisia, tetapi ekstrak yang kualitas serta kadarnya dapat dikendalikan, khasiat dan keamanannya telah melalui pengujian praklinik berupa pengujian pada hewan percobaan, serta kandungan kimia aktifnya telah dapat ditetapkan (Moelyono 2007). Penggunaan herbal yang paling diinginkan adalah penggunaannya sebagai sediaan fitofarmaka, yaitu sediaan herbal terstandarkan dan telah menjalani dan lulus pengujian klinik. Sediaan 14

fitofarmaka merupakan sediaan obat herbal yang jaminan kualitasnya setara dengan obat sintetis, sehingga sediaan fitofarmaka ini merupakan sediaan obat asal tumbuhan yang bukan lagi menjadi alternatif dalam pengobatan, tetapi menjadi mitra sejajar obat sintetis dalam sistem layanan kesehatan formal (Moelyono 2007). Diantara sekian banyak tumbuhan yang terdapat di Indonesia, temulawak merupakan tumbuhan yang banyak digunakan untuk obat atau bahan obat, hingga dapat dikatakan temulawak merupakan primadona tumbuhan obat Indonesia. Temulawak merupakan tanaman obat berupa tumbuhan rumpun berbatang semu. Di daerah Jawa Barat temulawak disebut sebagai koneng gede, sedangkan di Madura disebut sebagai temu lobak. Kawasan Indo-Malaysia merupakan tempat dari mana temulawak ini menyebar ke seluruh dunia. Saat ini tanaman ini selain di Asia Tenggara dapat ditemui pula di Cina, IndoCina, Bardabos, India, Jepang, Korea, di Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa. Temulawak dalam obat tradisional Indonesia digunakan sebagai simplisia tunggal atau merupakan salah satu komponen dari suatu ramuan. Dalam konteks penggunaan tradisional, temulawak digunakan sebagai obat untuk mengatasi penyakit tertentu, atau juga digunakan sebagai penguat daya tahan tubuh (Moelyono 2007). Temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb.) merupakan salah satu tumbuhan obat suku Zingiberaceae yang banyak tumbuh di Indonesia. Temulawak diketahui memiliki banyak manfaat antara lain sebagai antihepatitis, antikarsinogenik, antimikroba, antioksidan, antihiperlipidemia, antiviral, antiinflamasi, dan

detoksifikasi. Komponen utama yang berkhasiat sebagai obat dalam rimpang temulawak adalah kurkumin dan minyak atsiri yang merupakan hasil metabolisme sekunder dari tanaman ini. Zat ini berkhasiat menetralkan racun, menghilangkan nyeri sendi, menurunkan kadar kolesterol dan trigliserida darah, sebagai antibakteri, dan antioksidan atau penangkal senyawa-senyawa radikal bebas yang berbahaya. Temulawak diketahui dapat meningkatkan fungsi ginjal. Temulawak mempunyai aktivitas diuretikum yaitu obat-obat yang bekerja pada ginjal yang berfungsi mempercepat pembentukan urin (Sidik et al. 1995). Kurkuminoid memberikan warna kuning pada rimpang temulawak dan mempunyai khasiat medis (Suwiah 1991). 15

Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian ektstrak etanol temulawak yang dilakukan dengan cara per oral menggunakan sonde lambung pada kelompok ayam terhadap gambaran histopatologi ginjal ayam petelur.

Hipotesis H0= Pemberian ekstrak etanol temulawak dilakukan dengan cara per oral menggunakan sonde lambung menyebabkan kerusakan organ ginjal ayam petelur. H1= Pemberian ekstrak etanol temulawak dilakukan dengan cara per oral menggunakan sonde lambung tidak menyebabkan kerusakan organ ginjal ayam petelur.

Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah a. Mengetahui gambaran histopatologi ginjal ayam petelur yang diberi ekstrak etanol temulawak dengan tingkat dosis yang berbeda. b. Memberikan wawasan dan pengetahuan tentang efek pemberian ekstrak etanol temulawak pada organ ginjal ayam petelur. c. Sebagai acuan untuk penelitian selanjutnya.

16

TINJAUAN PUSTAKA

Temulawak (Curcuma Xanthorrhiza Roxb.) Temulawak yang mempunyai nama ilmiah Curcuma xanthorrhiza Roxb. adalah tanaman obat-obatan yang tergolong dalam suku temu-temuan

(Zingiberacea). Temulawak banyak ditemukan di hutan-hutan daerah tropis. Temulawak juga berkembang biak di tanah tegalan sekitar pemukiman, teutama pada tanah yang gembur, sehingga buah rimpangnya mudah berkembang menjadi besar. Daerah tumbuhnya selain di dataran rendah juga dapat tumbuh baik sampai pada ketinggian tanah 1.500 meter di atas permukaan laut (Plantus 2007).

Gambar 1. Temulawak. (a) rimpang, (b) bunga Sumber : Anonimus (2008 dan 20091) Taksonomi Menurut Anonimus (20092) klasifikasi temulawak adalah sebagai berikut : Divisi Sub divisi Kelas Ordo Keluarga Genus Spesies : Spermatophyta : Angiospermae : Monocotyledonae : Zingiberales : Zingiberaceae : Curcuma : Curcuma xanthorrhiza Roxb.

17

Morfologi a. Akar Temulawak sebagai tanaman monokotil tidak memiliki akar tunggang. Akar yang dipunyai adalah rimpang. Rimpang adalah bagian batang di bawah tanah. Rimpang disebut juga umbi akar, umbi batang, atau umbi tunggal (Afifah et al. 2005). Akar rimpang terbentuk dengan sempurna dan bercabang kuat berwarna hijau gelap. Rimpang induk dapat memiliki 3-4 buah rimpang. Warna kulit rimpang cokelat kemerahan atau kuning tua, sedangkan warna daging rimpang oranye tua atau kuning. Rimpang temulawak terbentuk di tanah pada kedalaman sekitar 16 cm. Tiap rumpun umumnya memiliki 6 buah rimpang tua dan 5 buah rimpang muda. Rimpang temulawak sangat berkhasiat untuk antiradang, anti keracunan empedu, penurunan kadar kolesterol, diuretik (peluruh kencing), penambah ASI, tonikum, dan penghilang nyeri sendi (Parahita 2007). b. Batang Temulawak termasuk jenis tumbuh-tumbuhan herba yang batang pohonnya berbentuk semu dan tingginya dapat mencapai 2 sampai 2,5 meter berwarna hijau atau cokelat gelap. Pelepah daunnya saling menutupi membentuk batang. Umbi akan muncul dari pangkal batang, warnanya kuning tua atau cokelat muda, panjangnya sampai 15 sentimeter dan bergaris tengah 6 sentimeter. Baunya harum dan rasanya pahit agak pedas (Parahita 2007). c. Daun Tiap batang mempunyai daun 2-9 helai dengan bentuk bundar memanjang sampai bangun lanset, warna daun hijau atau cokelat keunguan terang sampai gelap. Panjang daun 31-84 cm dan lebar 10-18 cm, panjang tangkai daun termasuk helaian 43-80 cm. Daunnya bundar panjang, mirip daun pisang (Parahita 2007). d. Bunga Temulawak mempunyai bunga yang berbentuk unik (bergerombol), berukuran pendek dan lebar, warna putih atau kuning tua dan pangkal bunga berwarna ungu. Bunga majemuk berbentuk bulat panjang, panjang 9-23 cm, lebar 4-6 cm. Mahkota bunga berwarna merah berbentuk tabung dengan panjang keseluruhan 4.5 cm, helaian bunga berbentuk bundar memanjang berwarna putih 18

dengan ujung yang berwarna merah dadu atau merah, panjang 1.25-2 cm dan lebar 1 cm (Parahita 2007). e. Buah Aroma dan warna khas dari rimpang temulawak adalah berbau tajam dan daging buahnya berwarna kekuning-kuningan. Warna kulit rimpang cokelat kemerahan atau kuning tua, sedangkan warna daging rimpang oranye tua atau kuning (Parahita 2007).

Morfologi Makroskopis Keping tipis temulawak, berbentuk bundar atau jorong, ringan, keras, rapuh, garis tengahnya sampai 6 cm, dan tebal 2 mm sampai 5 mm. Permukaan berkerut warna cokelat kuning buram, melengkung tidak beraturan dan tidak rata. Sering dengan tonjolan melingkar pada batas antara silinder pusat dengan korteks. Korteksnya sempit dan mempunyai tebal 3 mm sampai 4 mm. Bekas patahan berdebu, berwarna kuning jingga sampai cokelat jingga terang (Parahita 2007). Mikroskopis Epidermis temulawak bergabus dan terdapat sedikit rambut yang berbentuk kerucut bersel satu. Hipedermis agak menggabus, dibawahnya terdapat periderm yang kurang berkembang. Korteks dan silinder pusat parenkimatik terdiri dari sel parenkim berdinding tipis berisi butir pati. Dalam parenkim tersebar banyak sel minyak yang berisi minyak berwarna kuning dan zat berwarna jingga, juga terdapat idiblas berisi hablur kalsium oksalat berbentuk jarum kecil. Butir pati berbentuk pipih, bulat panjang sampai bulat telur memanjang. Panjang butir 20m sampai 70m, lebar 5m sampai 30m, tebal 3m sampai 10m, lamella jelas dan hillus di tepi. Berkas pembuluh tipe kolateral, tersebar tidak beraturan pada parenkim korteks dan pada silinder pusat. Berkas pembuluh disebelah dalam endodermis tersusun dalam lingkaran dan letaknya lebih berdekatan satu sama lainnya. Pembuluh didampingi oleh sel sekresi yang panjangnya sampai 200m, berisi zat berbutir warna cokelat dengan besi (III) klorida menjadi lebih tua (Parahita 2007).

19

Fisiologis Temulawak Kandungan kimia rimpang temulawak sebagai sumber bahan pangan, bahan baku obat idustri atau bahan baku obat dapat dibedakan atas beberapa fraksi, yaitu fraksi pati, fraksi kurkuminoid, dan fraksi minyak atsiri (Sidik et al. 1995). Selain ketiga fraksi di atas, masih terdapat kandungan lain dalam rimpang temulawak, yaitu lemak, serat kasar, dan protein. Persentase komposisi rimpang temulawak dapat dilihat pada Tabel 1. Pati. Pati rimpang temulawak merupakan salah satu kandungan dalam jumlah yang cukup besar, berbentuk serbuk warna putih kekuningan karena mengandung sesepora kurkuminoid. Kadar pati dalam rimpang temulawak bervariasi antara 48% hingga 54% tergantung pada ketinggian tempat tumbuh. Makin tinggi tempat tumbuh, makin rendah kadar patinya. Menurut Sidik et al. (1995), pati temulawak mempunyai komposisi seperti tertera pada Tabel 2. Kurkuminiod. Kurkuminoid pada rimpang temulawak terdiri dari dua komponen, yaitu kurkumin dan desmetoksikurkumin, mempunyai warna kuning atau kuning jingga, berbentuk serbuk dengan rasa sedikit pahit, larut dalam aseton, alkohol, asam asetat glasial, dan alkali hidroksida. Kurkuminoid tidak larut dalam air dan dietileter. Kurkumioid mempunyai aroma yang khas, tidak bersifat toksik (Sidik et al. 1995). Kurkuminoid pada rimpang temulawak bersifat antibakteri, hepatoprotektor, antikanker, anti-tumor,dan mengandung anti-

oksidan dan hypokolesteromik yaitu dapat menurunkan kada kolesterol total dan mempunyai aktivitas peningkatan kadar HDL (High Density Lipoprotein) kolesterol (Parahita 2007). Selain itu kurkuminoid mempunyai aktivitas antiinflamasi yang sama dengan fenilbutazon dan kortison, yaitu mencegah timbulnya edema pada peradangan akut maupun kronik. Kurkuminoid memiliki kemampuan anti-artritis dengan prinsip kerja yang mirip dengan salisilat (Sidik et al. 1995).

20

Tabel 1. Komposisi rimpang temulawak Komponen Pati Lemak Kurkumin Serat kasar Abu Protein Minyak atsiri Besaran (%) 27.62 5.38 1.93 6.89 3.96 6.44 10.96

Sumber: Dyah Ayu Fatmawati 2008. Berdasarkan rimpang kering dengan kadar air 10%. Tabel 2. Komposisi Pati Temulawak Komposisi Abu Protein Lemak Serat Kasar Karbohidrat Kurkuminoid Kalium Natrium Kalsium Magnesium Besi Mangan Kadmium Kadar 0,37 % 1,52 % 1,35 % 0,80 % 79,96 % 15,00 bpj 11,45 bpj 6,38 bpj 19,07 bpj 12,72 bpj 6,68 bpj 0,82 bpj 0,02 bpj

Keterangan : bpj (bagian per juta) (Sidik et al. 1995). Minyak Atsiri. Minyak atsiri adalah suatu zat berbentuk cair yang terkandung dalam simplisia nabati atau hewani, berbau harum, segar, berguna untuk pengobatan, tata boga, kosmetik dan pewangi (Sidik et al. 1995). Minyak atsiri mengandung seskuiterpen, a-curcumene, 1-sikloisoprenmyrsene, 21

zingiberene, xanthorrhizol, turunan lasabolen, epolisid-bisakuron, bisakuron A, bisakuron B, bisakuron C, ketonseskuiterpen, turmeron, a-turmeron, a-atlanton, germakon, monoterpen, sineol, d-borneol, d-a-phellandren, dan d-camphene (Afifah et al. 2005). Kajian dan penelitian atas temulawak (Curcuma xanthorrhiza)

membuktikan bahwa rimpangnya mengandung banyak zat kimiawi yang memberikan efek positif terhadap organ dalam manusia seperti empedu, hati dan pankreas. Pengaruhnya ke empedu ialah dapat mencegah pembentukan batu dan kolestasis. Dalam hati, zat temulawak merangsang sel hati membuat empedu, mencegah hepatitis dan penyakit hati, membantu menurunkan kadar SGOT (Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase) dan SGPT (Serum Glutamic Pyruvic Transaminase) dan sebagai anti-hepatotoksik. Selain itu, dapat merangsang

fungsi pankreas, menambah selera makan, berkemampuan merangsang fungsi sistem hormon metabolisme dan fisiologi tubuh. Bahan berkhasiat tanaman obat adalah senyawa organik yang kandungan utamanya adalah karbon (Parahita 2007). Komposisi kimia dari rimpang temulawak adalah protein pati sebesar 2930 persen, kurkumin satu sampai dua persen, dan minyak atsiri antara 6 hingga 10 persen. Daging buah (rimpang) temulawak mempunyai beberapa kandungan senyawa kimia antara lain berupa fellandrean dan tumerol atau yang sering disebut minyak menguap. Kemudian minyak atsiri, kamfer, glukosida, foluymetik, karbinol. Temulawak mengandung minyak atsiri seperti limonina yang mengharumkan. Sedangkan kandungan flavonoida-nya berkhasiat

menyembuhkan radang. Minyak atsiri juga bias membunuh mikroba. Buahnya mengandung minyak terbang (anetol, pinen, felandren, dipenten, fenchon, metilchavikol, anisaldehida, asam anisat, kamfer), dan minyak lemak (Parahita 2007). Komponen Utama Temulawak Menurut Parahita (2007), komponen utama temulawak adalah sebagai berikut: Pati 48.18% - 59.64% : membantu proses metabolisme dan fisiologi organ badan 22

Protin 29.00% - 30.00% Abu 5.26% - 7.07% Serat 2.58% - 4.83% : memulihkan kesegaran badan (bersifat tonik) Kurkumin 1.60% - 2.20% : melancarkan proses pencernaan tubuh Minyak atsiri 6.00% - 10.00% : meningkatkan fungsi ginjal Phelandren : melancarkan pengeluaran toksik dalam tubuh melalui air kencing Kamfer Tumerol : membantu proses metabolisme Borneol : memulihkan kesehatan tubuh badan akibat serangan penyakit. Sineal Xanthorrizol

Ginjal Ayam Anatomi dan Histologi Organ sistem urinasi unggas terdiri atas dua ginjal (Renes) dan dua saluran urine (ureter), yang dipertautkan pada dinding dorsal collumna vertebralis di posterior paru-paru, membentang ke daerah tulang ekor. Masing-masing ginjal terdiri dari tiga gelambir berwarna coklat-merah (Setijanto 1998). Ginjal dibagi menjadi bagian kranial, tengah, dan kaudal. Ginjal ayam berbentuk simetris bilateral dan terletak dibawah ventral sinsacrum yang disebut fossa renalis. Ginjal bersifat retroperitoneal yang berarti terletak dibelakang rongga peritoneum yang melapisi rongga abdomen (Schmidt et al. 2003). Ginjal mendapat suplai darah dari arteri renalis yang masuk dari bagian hilus. Ada 3 pasang arteri renalis yaitu arteri bagian kranial, tengah, kaudal. Arteri bagian kranial adalah cabang dari aorta,bagian tengah dan kaudal berasal dari arteri ischiadica. Setiap arteri menyuplai darah pada masing-masing bagianbagian ginjal kranial, tengah dan kaudal (Schmidt et al. 2003). Unggas tidak mempunyai kantong air seni dan pelvis renalis (Sturkie 1976). Urin mengalir dari ginjal melalui ureter langsung ke kloaka. Diperkirakan volume urin yang dibuat per hari 700-800 ml. Penyaluran urin ke kloaka 23

dilakukan oleh ureter yang akan bermuara di urodeum melalui ostium cloacale ureteris. Pada unggas betina, ureter kiri bermuara di dinding kloaka sebelah medial dari muara oviduct (Setijanto 1998). Secara histologis ginjal terdiri dari unsur utama glomerulus, tubuli dan interstitium, dan pembuluh darah. Unit fungsional ginjal adalah nefron yang terdiri dari korpuskulus renalis (glomerulus dengan kapsula bowman), sistem tubulus yaitu tubulus kontortus proksimal, ansa henle, tubulus kontortus distalis (Mc Gavin 2007). Nefron berfungsi sebagai regulator air dan zat terlarut dalam tubuh dengan cara menyaringnya dari darah, kemudian mereabsorpsi cairan dan molekul yang masih diperlukan tubuh melalui mekanisme pertukaran lawan arus dan kotranspor. Molekul dan sisa cairan lainnya akan dibuang dan diekskresikan melalui urin (Hartono 1995). Unggas mempunyai dua tipe nephron yaitu the reptilian type dan the mammalian type (Schmidt et al. 2003). The reptilian type tidak mempunyai loop Henle dan terletak di bagian korteks, the mammalian type terletak di bagian medulla (Sturkie 1976). Korpuskulus renalis terdapat di daerah korteks dan berbentuk bulat. Korpuskulus renalis terdiri dari glomerulus dan kapsula bowman. Glomerulus merupakan jalinan kapiler yang keluar dari arteriola afferent. Arteriola afferent merupakan cabang arteria interlobularis yang pendek dan lurus. Buluh darah ini berkembang menjadi beberapa cabang dimana setiap cabang membentuk belitanbelitan yang menyatu tanpa adanya anastomose. Cabang-cabang tersebut kemudian kembali membentuk arteriola efferent yang lebih kecil. Buluh darah kembali bercabang setelah dari arteriola efferent menjadi kapiler yang mensuplai darah ke tubulus (kapiler peritubulus). Oleh karena itu segmen arterial antara glomerulus dan tubulus merupakan sistem portal secara teknik dan kapiler glomerulus merupakan satu-satunya kapiler dalam tubuh yang mengalirkan darah ke arteriol (Ganong 2003). Glomerulus terbentuk oleh invaginasi seberkas kapiler ke dalam pelebaran ujung nefron yang buntu dan melebar (kapsula bowman). Kapiler mendapat darah dari arteriol aferen, darah akan keluar menuju arteriol eferen yang sedikit lebih kecil daripada arteriol aferen. Dua lapisan memisahkan darah dari filtrate glomerulus di dalam kapsula bowman yaitu endotel kapiler dan epitel khusus 24

kapsula yang membentuk podosit di bagian atas kapiler glomerulus. Kedua lapisan sel ini dipisahkan oleh lamina basalis. Sel stelata yang disebut sel mesangial terdapat antara lamina basalis dan endotel. Sel mesangial umumnya terdapat antara dua kapiler bersebelahan. Sel mesangial bersifat kontraktil dan berperan dalam pengaturan filtrasi glomerulus. Sel-sel ini mensekresikan beberapa zat, dan menyerap kompleks imun, serta terlibat dalam patogenesis penyakit glomerulus (Ganong 2003). Glomerulus unggas lebih kecil dan kurang vaskularisasi daripada glomerulus mamalia, dengan lebih sedikit loop kapiler. Hal ini menyebabkan filtrasi kurang per glomerulus. Jumlah glomerulus pada kedua ginjal ayam dengan berat 2500 gram sekitar 840.000 (Sturkie 1976). Tubulus kontortus proksimal dindingnya terdiri dari selapis sel yang berinterdigitasi dan membentuk tight junction di daerah apikal. Di daerah basis sel, antara dua sel yang bersebelahan terdapat perluasan ruang ekstrasel yang disebut ruang intersel lateral. Tepi sel yang menghadap ke lumen memiliki garisgaris brush border karena terdapat sangat banyak mikrovili. Bagian tubulus proksimal yang bergelung mengalirkan cairan filtrat ke dalam bagian yang lurus (pars rekta) yang membentuk awal dari ansa Henle. Tubulus proksimal berakhir di segmen tipis pars desendens ansa Henle, yang epitelnya terdiri dari sel-sel yang tipis dan gepeng (Ganong 2003). Menurut Mc Gavin (2007), fungsi dari tubulus kontortus proksimal adalah reabsorpsi sodium, klorid, potassium, albumin, glukosa, air dan bikarbonat. Tubulus kontortus proksimal dilanjutkan ke ansa henle yang mempunyai hubungan anatomi dan fisiologi dengan jaringan kapiler peritubular (korteks) dan vasa rekta (medulla). Ansa henle berfungsi dalam mekanisme countercurrent dan pompa sodium potassium ATPase, absorbsi ion Na+ dan ion Cl-, memproduksi filtrat yang hipotonis yang selanjutnya akan dialirkan ke dalam tubulus kontortus distalis (Mc Gavin 2007). Tubulus kontortus distal epitelnya lebih tipis daripada epitel tubulus proksimal. Epitel ini hanya sedikit mengandung mikrovili tanpa brush border yang jelas. Beberapa tubulus distal bersatu membentuk duktus koligentes (Ganong 2003). Nefron yang glomerulusnya berada di korteks bagian luar mempunyai ansa Henle yang pendek (nefron kortikal), sedangkan yang glomerulusnya terletak di daerah juxtamedularis korteks memiliki ansa Henle yang panjang sampai 25

mencapai piramid medulla. Segmen tebal pars ascendens ansa Henle mencapai glomerulus nefron tempat asal tubulus dan berjalan berdekatan dengan arteriol aferen dan arteriol eferennya. Dinding arteriol aferen ini mengandung sel jukstaglomerulus yang mengekskresikan renin. Di sini epitel tubulus berubah histologisnya membentuk makula densa. Sel jukstaglomerulus dan makula densa membentuk satu kesatuan yang disebut apparatus jukstaglomerulus (Ganong 2003). Pengukuran nefron ayam menampakkan ukuran yang mirip dengan burung puyuh. Diameter untuk nefron ayam tertentu adalah sebagai berikut; glomerulus 0.086 mm; proximal tubule 0.062 mm; bagian loop yang tebal 0.0349 mm, bagian loop yang tipis 0.0186 (Sturkie 1976). Kapsula ginjal tipis tetapi kuat. Bila terjadi edema, kapsula ini akan membatasi pembengkakan, dan akibatnya tekanan jaringan (tekanan interstitial ginjal) meningkat. Hal ini menyebabkan akan menurunkan laju filtrasi glomerulus dan dianggap memperberat dan memperpanjang keadaan anuria pada gagal ginjal akut. Ginjal mendapat aliran getah bening yang cukup banyak yang berasal dari duktus torasikus melalui peredaran darah vena toraks (Ganong 2003).

Fisiologis Ginjal Cairan yang menyerupai plasma difiltrasi melalui dinding kapiler glomerulus ke tubulus renalis di ginjal (filtrasi glomerulus). Dalam perjalanannya sepanjang tubulus ginjal, volume cairan filtrat akan berkurang dan susunannya berubah akibat proses reabsorpsi tubulus (penyerapan kembali air dan zat terlarut dari cairan tubulus) dan proses sekresi tubulus (sekresi zat terlarut ke dalam cairan tubulus) untuk membentuk kemih (urine) yang akan disalurkan ke dalam pelvis renalis (Ganong 2003). Ginjal berperan dalam fungsi endokrin seperti sistem renin-angiotensin, menghasilkan eritropoietin dan vitamin D. Eritropoietin diproduksi ginjal sebagai respon terhadap berkurangnya tekanan oksigen, yang dilepaskan ke dalam darah dan menstimulasi sumsum tulang untuk memproduksi eritrosit. Vitamin D

dikonversi pada ginjal menjadi bentuk aktif yaitu 1.25-dihidroksikolekalsiferol (kalsitrol) yang memfasilitasi absorpsi kalsium oleh usus (McGavin 2007). Menurut Lu (1995), renin adalah suatu enzim proteolitik yang dibentuk dalam sel 26

dari apparatus jukstaglomerular dan mengkatalisis perubahan prehormon angiotensin plasma menjadi angitensin I. Angiotensin I didalam paru-paru diubah menjadi angiotensin II. Angiotensin II berfungsi dalam regulasi tekanan darah diantaranya adalah stimulasi sekresi hormone aldosteron dari adrenal, stimulasi sekresi ADH (antidiuretic hormone) dari hipotalamus, dan vasokontriktor (renal dan sistemik vascular) (Geneser 1994). Fungsi ginjal pada dasarnya adalah sebagai kontrol volume cairan tubuh dan konsentrasi elektrolit, ekskresi sisa-sisa produk metabolisme, elaborasi hormon, mengatur aktivitas metabolisme seperti transport aktif elekrolit,

transport protein dan asam amino, transport asam organik, kontrol keseimbangan asam basa, kontrol kolesterol, dan metabolisme xenobiotik (Wanda dan Colin 1998).

Toksikopatologi Ginjal Konsep umum dari toksikopatologi ginjal adalah kecenderungan nefron untuk bereaksi terhadap luka. Perubahan struktur yang irreversible dari sel menandakan adanya suatu bukti kematian sel. Kematian sel dapat digolongkan secara morfologi kedalam dua pola khusus yaitu apoptosis dan nekrosis (Wanda dan Colin 1998). Apoptosis. Menurut Cheville (2006), apoptosis atau kematian sel terprogram adalah kontrol mekanisme homeostasis secara umum. Pada apoptosis terjadi peristiwa pengaktifan beberapa gen untuk membentuk enzim baru seperti enzim endonuklease. Enzim ini dapat menghancurkan sel pembentuknya. Apoptosis ditandai adanya pengembungan sel yang tetap menjaga integritas membran dan membentuk badan apoptosis. Apoptosis terjadi sebagai respon dari dalam sel, yang mungkin merupakan proses yang fisiologis (Wanda & Colin 1998). Nekrosis. Nekrosis adalah pembengkakan sel yang kemudian mengalami lisis. Sel yang nekrotik terlihat membesar dan lebih asidofilik (merah) daripada sel normal. Nekrosis melibatkan kematian sekelompok sel dan terlihat adanya respon peradangan (Wanda & Colin 1998). Menurut Cheville (2006), penyebab dari nekrosa adalah iskemia, agen fisik (terbakar dan trauma), zat kimia, virus, 27

mikroorganisme lain dan toksin. Secara histologi, kelainan pada ginjal yang sering mengalami perubahan adalah glomerulus, tubulus, interstitium, dan pembuluh darah. Kelainan dan

perubahan yang terjadi pada glomerulus sering terjadi karena faktor kekebalan tubuh. Respon ginjal terhadap kerusakan pada glomerulus diantaranya adalah nekrosa, proliferasi sel glomerulus, proliferasi membran basal glomerulus, proliferasi sel mesangium, infiltrasi leukosit, peningkatan permeabilitas vaskuler, penurunan perfusi vaskuler. Respon ginjal terhadap kerusakan pada tubulus adalah degenerasi sel, nekrosa, apoptosis, atrofi, ruptur membran basal, penebalan membran basal, regenerasi sel. Kelainan pada tubulus disebabkan oleh kerusakan pada sel epitel tubulus akibat infeksi dari darah, infeksi ascendens (patogen intratubular), toksin dan iskemia. Respon ginjal terhadap kerusakan pada

interstitium adalah edema, hemoragi, peradangan dan fibrosis. Sedangkan kelainan pada pembuluh darah ginjal antara lain thrombosis, sklerosis, penebalan membrane basal, dan hipertrofi sel endotel (Mc Gavin 2007).

28

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan di Bagian Patologi Departemen Klinik Reproduksi dan Patologi Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor dari bulan September 2007 hingga Agustus 2008.

Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah kandang ayam dan timbangan, tempat pakan minum ayam, alat bedah diantaranya scalpel, gunting, pisau, pinset, sonde lambung, gelas ukur, tissue casette, tissue basket, autotechnic proccesor, stopwatch, object glass, cover glass, dan mikroskop. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain ekstrak etanol temulawak, vaksin AI, vaksin ND, vaksin gumboro, herbal komersil (meniran), pakan ayam yang mengandung coccidiostat, larutan fiksatif Neutral Buffer Formalin 10%, alkohol 70 %, 80 %, 90 %, alkohol absolut I, alkohol absolut II, xilol I, xilol II, parafin, pewarna jaringan Hematoksilin, Eosin, dan aquades.

Metode Penelitian Uji aktivitas biologik fraksi bioaktif Uji hayati pendahuluan (BSLT) dilakukan untuk mendapatkan nilai Lethal Concentration median (LC50), yaitu konsentrasi yang menyebabkan kematian 50 % larva udang Artemia salina Leach. Pengujian dilakukan (triplo) terhadap satu seri konsentrasi ekstrak terhadap 30 ekor larva udang dalam air laut sintetis dan setelah 24 jam dihitung jumlah kematian larva udang. Uji ini dilakukan untuk mengetahui dosis ekstrak temulawak yang akan diberikan pada ayam.

Persiapan Kandang Penelitian Kandang ayam percobaan dibuat menurut sistem baterai. Seluruh

dinding dan lantai ruangan percobaan dilapisi dengan kapur tembok berwarna putih, didesinfeksi dengan desinfektan kelompok fenol sintetik sehari sebelum ayam percobaan dimasukkan. 29

Hewan Percobaan Penelitian ini menggunakan ayam petelur (strain ISA Brown) yang berumur 16 minggu dengan bobot badan 1,5kg 1,6kg. Kondisi ayam petelur yang digunakan hampir sama dengan kondisi ayam yang ada di lapangan. Sebelum perlakuan dimulai, diadakan masa adaptasi selama 7 hari untuk mengembalikan kondisi ayam dari stres karena pemindahan dan transportasi. Selama masa ini diberikan vitamin dan elektrolit (Nopstress VitaminTM) lewat air minum sesuai dengan rekomendasi pabrik pembuat. Selain itu semua ayam diberi antibiotik (Neo DimitrilTM) untuk menjaga ayam tetap sehat. Ayam juga diberi vaksin ND, Gumboro dan vaksin AI. Vaksin komersial yang digunakan ini adalah vaksin aktif Medivac Gumboro ATM (satu dosis mengandung 102 EID50 IBD virus), Medivac ND La SotaTM (satu dosis mengandung 107 EID50 ND virus dan 103.5 EID550 IB virus) dan vaksin inaktif Medivac AITM dengan dosis 0,5 ml per ekor. Rute pemberian vaksin ND melalui air minum, vaksin Gumboro melalui tetes mata dan vaksin AI dengan injeksi subkutan pada pangkal leher. Sebanyak 80 ekor ayam didistribusikan ke dalam kandang-kandang individu dengan sistem baterai yang berukuran sesuai standard komersial, yaitu dengan panjang 110 cm, lebar 40 cm dan tinggi 45 cm. Ayam dibagi ke dalam 8 kelompok yaitu disajikan dalam Tabel 3.

Tabel 3. Kelompok ayam petelur Kelompok K1 P1 P2 P3 P4 P5 P6 K2 Keterangan NaCl fisiologis dosis 0,5 cc/kg BB sebagai kontrol negatif Ekstrak etanol 70% temulawak 17,5 mg/kg BB Ekstrak etanol 70% temulawak 35 mg/kg BB Ekstrak etanol 70% temulawak 52,5 mg/kg BB Ekstrak etanol 96% temulawak 17,5 mg/kg BB Ekstrak etanol 96% temulawak 35 mg/kg BB Ekstrak etanol 96% temulawak 52,5 mg/kg BB Stimulan meniran komersial dosis 0,2 cc/kg BB sebagai kontrol positif. 30

Pemberian ekstrak etanol temulawak dilakukan dengan cara per oral menggunakan sonde lambung. Ekstrak diberikan selama 4 minggu dengan selang istirahat 3 hari tidak diberikan setiap minggunya (terlampir). Selama percobaan, pemberian pakan dan minum sesuai dengan perlakuan di peternakan ayam petelur komersil. Jumlah ayam petelur pada setiap kelompok ditampilkan pada lampiran.

Pengambilan Sampel Alat Tubuh Pada akhir penelitian, semua ayam dilakukan nekropsi dan diambil organ ginjalnya. Pengambilan sampel organ ginjal dari semua ayam percobaan dengan cara memotong ginjal dengan ukuran 1 cm3 dan kemudian dimasukkan dalam larutan fiksatif Neutral Buffer Formalin 10% selama + 48 jam untuk kemudian diproses guna pembuatan sediaan histopatologi.

Pembuatan Sediaan Histopatologi Potongan sediaan ginjal dengan ketebalan + 3 mm dimasukkan ke dalam kaset tissue kemudian dilakukan tindakan dehidrasi dengan merendam sediaan tersebut secara berturut-turut ke dalam alkohol 70 %, 80 %, 90 % masingmasing selama 2 jam. Kemudian alkohol absolut I, alkohol absolut II masingmasing selama 1 jam. Proses clearing menggunakan xilol I, xilol II masingmasing selama 1 jam. Infiltrasi dengan parafin I dan terakhir kedalam parafin II selama 40 menit. Jaringan dimasukkan ke dalam alat pencetak berisi parafin cair, dan letak jaringan diatur agar tetap berada di tengah blok parafin. Setelah mulai membeku, parafin ditambahkan kembali hingga alat pencetak penuh dan dibiarkan sampai parafin mengeras. Pemotongan jaringan dengan mikrotom dilakukan dengan ketebalan 5 mikron. Hasil potongan yang berbentuk pita (ribbon), diletakkan di atas permukaan air hangat (45oC) dengan tujuan untuk menghilangkan lipatan akibat pemotongan. Sediaan diangkat dari permukaan air dengan gelas objek yang telah diulasi larutan perekat (albumin), kemudian dikeringkan semalam dalam inkubator suhu 60oC. Sediaan dimasukkan ke dalam xilol dua kali selama 2 menit. Selanjutnya 31

menjalani proses rehidrasi yang dimulai dari alkohol absolut sampai ke alkohol 80%, yang masing-masing lamanya dua menit. Kemudian sediaan dicuci dengan air mengalir dan dikeringkan. Setelah itu sediaan diwarnai dengan pewarna Mayers Hematoksilin selama 8 menit, dibilas dengan air mengalir, dicuci dengan lithium karbonat selama 15-30 detik, dibilas dengan air lagi, dan akhirnya diwarnai dengan pewarna Eosin selama dua menit. Untuk menghilangkan warna Eosin yang berlebihan, sediaan dicuci dengan air mengalir dan dikeringkan. Kemudian sediaan dicelupkan ke dalam alkohol 90% sebanyak 10 kali celupan, alkohol absolut I 10 kali celupan, alkohol absolut II selama 2 menit, xilol I selama satu menit dan xilol II selama dua menit. Akhirnya sediaan ditetesi perekat permount ditutup dengan gelas penutup dan siap dilihat menggunakan mikroskop cahaya.

Pengamatan Histopatologi. Pengamatan dilakukan dengan menggunakan mikroskop video foto dengan pembesaran 20X untuk kongesti glomerulus, pembesaran 40X untuk degenerasi dan apoptosis tubulus, dan pembesaran 10X untuk kongesti pada interstitium. Masing-masing pengamatan dilakukan sebanyak 5 lapang pandang pada tiap preparat. Pengamatan histopatologi dilakukan dengan penghitungan rataan persentase kongesti glomerulus, degenerasi dan apoptosis tubulus, dan kongesti pada interstitium.

Analisis data Semua data kuantitatif dianalisis secara statistika menggunakan uji analisis sidik ragam (ANOVA) dan dilanjutkan dengan uji Duncan.

32

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil pengamatan histopatologi organ ginjal ayam kelompok kontrol negatif, perlakuan, kontrol positif ditemukan adanya perubahan pada glomerulus, tubulus dan interstitium. Perubahan yang terjadi pada glomerulus terlihat adanya kongesti (Gambar 2), sedangkan pada tubulus terlihat adanya apoptosis dan degenerasi epitel tubuli (Gambar 3). Pada interstitium terjadi perubahan berupa kongesti (Gambar 4). Hasil perhitungan dan analisis statistik pada lesio tesebut disajikan dalam Tabel 4, 5, 6.

Tabel 4. Rataan persentase kongesti glomerulus yang diberi ekstrak etanol temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb.) Kelompok Kongesti K1 P1 P2 P3 P4 P5 P6 K2 51.796 6.025a 78.998 9.134a 59.854 4.255a 63.73419.002a 67.86624.807a 82.4 19.161a 58.77631.049a 66.42811.913a

Keterangan : K1 : Kontrol; P1 : dosis ekstrak etanol 70 % temulawak 17.5 mg/kg BB; P2 : dosis ekstrak etanol 70% temulawak 35 mg/kg BB; P3 : dosis ekstrak etanol 70% temulawak 52.5 mg/kg BB; P4 : dosis ekstrak etanol 96% temulawak 17.5 mg/kg BB; P5 : dosis ekstrak etanol 96% temulawak 35 mg/kg BB; P6 : dosis ekstrak etanol 96% temulawak 52.5 mg/kg BB; K2 : meniran komersial dosis 0,2 cc/kg BB; Huruf superskrift yang sama menunjukkan perbedaan yang tidak nyata (p > 0.05).

Berdasarkan Tabel 4, hasil analisis statistik menunjukkan persentase kongesti glomerulus kelompok kontrol negatif tidak berbeda nyata dibandingkan dengan kelompok perlakuan dan kontrol positif (P>0.05). Demikian juga antar perlakuan tidak berbeda nyata. Hal ini terlihat dari hasil pengamatan bahwa seluruh kelompok kontrol negatif, perlakuan, maupun kontrol positif mengalami kongesti. 33

Kongesti adalah suatu keadaan yang disertai meningkatnya volume darah dalam pembuluh darah yang melebar pada suatu alat atau bagian tubuh (Cooper dan Slauson 2002). Kongesti dapat terjadi melalui dua mekanisme yaitu (1) kenaikan jumlah darah yang mengalir ke jaringan via arteri atau (2) penurunan jumlah darah yang mengalir dari jaringan via venula. Jika aliran darah ke dalam jaringan bertambah dan menimbulkan kongesti, maka disebut kongesti aktif, artinya lebih banyak darah mengalir secara aktif ke dalam daerah jaringan itu. Kenaikan aliran darah lokal ini disebabkan oleh adanya dilatasi arteriol yang bekerja sebagai katup yang mengatur aliran darah ke dalam mikrosirkulasi lokal. Contoh kongesti aktif adalah hiperemi yang menyertai radang akut. Sementara kongesti pasif tidak menyangkut kenaikan jumlah darah yang mengalir ke suatu daerah, tetapi lebih merupakan gangguan aliran darah dari daerah itu. Semua yang menekan venula-venula dan vena-vena yang mengalirkan darah dari jaringan dapat menimbulkan kongesti pasif. Suatu perubahan yang serupa tetapi yang lebih berarti dapat terjadi, misalnya oleh tumor yang menekan aliran vena lokal dari suatu daerah. Selain sebab-sebab lokal, kongesti pasif dapat juga disebabkan oleh sebab-sebab sentral atau sistemik yang dapat mengganggu drainase vena (Price dan Lorraine 2006).

Gambar 2. Kongesti pada glomerulus (anak panah), kelompok P5 (dosis ekstrak etanol 96 % temulawak 35 mg/kg BB). Pewarnaan HE, bar 0.2m.

34

Tabel 5. Rataan persentase lesio pada tubuli ginjal ayam yang diberi ekstrak etanol temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb.) Kelompok Degenerasi Apoptosis K1 P1 P2 P3 P4 P5 P6 K2 11.872 7.395a 6.094 2.841bc 6.638 1.331bc 5.730 3.311bc 2.812 0.985bc 1.928 1.128bc 1.550 0.423bc 2.672 1.703bc 4.458 3.331a 9.256 8.098a 6.997 8.091a 2.068 0.887a 14.426 17.586a 11.804 9.845a 15.519 24.431a 4.279 8.525a

Keterangan : K1 : Kontrol; P1 : dosis ekstrak etanol 70 % temulawak 17.5 mg/kg BB; P2 : dosis ekstrak etanol 70% temulawak 35 mg/kg BB; P3 : dosis ekstrak etanol 70% temulawak 52.5 mg/kg BB; P4 : dosis ekstrak etanol 96% temulawak 17.5 mg/kg BB; P5 : dosis ekstrak etanol 96% temulawak 35 mg/kg BB; P6 : dosis ekstrak etanol 96% temulawak 52.5 mg/kg BB; K2 : meniran komersial dosis 0,2 cc/kg BB; Huruf superskrift yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p < 0.05).

Tabel 5 menyajikan hasil pemeriksaan histopatologi tubuli ginjal. Lesio tubuli berupa degenerasi menunjukkan perbedaan yang nyata antara kelompok kontrol negatif , perlakuan, dan kontrol positif (p<0.05). Hasil analisis statistik menunjukkan degenerasi pada kelompok K1 memperlihatkan berbeda nyata (p<0.05) dengan kelompok perlakuan dan kontrol positif. Kelompok K1 (kelompok yang tidak diberi ekstrak etanol temulawak) mempunyai rataan persentase degenerasi tertinggi. Persentase terendah terlihat pada kelompok P6, yaitu kelompok yang diberi dosis ekstrak etanol 96% temulawak 52,5 mg/kg BB. Semakin tinggi dosis ekstrak temulawak yang diberikan semakin rendah lesio degenerasi pada tubulus ginjal. Kebanyakan mekanisme kerusakan sel adalah melalui jalur radikal bebas. Molekul radikal bebas menyebabkan kerusakan sel dengan cara peroksidasi lipid membran, merusak asam deoksiribonukleat, merusak protein (Cheville 2006). Radikal bebas adalah atom atau molekul yang tidak memiliki elektron pada orbit terluarmya, seperti superoksida anion, radikal hidroksil, hydrogen peroksida. Pembentukan radikal bebas terjadi terus menerus dalam sel sebagai akibat dari 35

reaksi enzimatis dan non-enzimatis. Reaksi enzimatis yang merupakan sumbersumber radikal bebas yaitu proses dalam rantai pernafasan, fagositosis, dan sintesa prostaglandin di dalam sistem sitokrom P450, sedangkan reaksi nonenzimatis ditimbulkan oleh radiasi ionisasi (Bagchi et al. 1998). Radikal bebas dapat dinetralkan oleh antioksidan. Menurut Wu et al. (2002), antioksidan dibagi menjadi 2 yaitu antioksidan endogen atau enzim antioksidan (superoksida dismutase, katalase, glutathion reduktase, glutathion peroksidase) dan antioksidan eksogen (glutathion, arginin, sitrulin, taurin, kreatinin, selenium, zinc, vitamin E, vitamin C, vitamin A). Sistem tubuh mempunyai mekanisme dalam menetralkan radikal bebas dan ROS (Reactive Oxygen Spesies) yaitu dengan pertahanan sistem enzim antioksidan yang terdiri dari superoksida dismutase, katalase, dan glutation peroksidase yang dapat mengurangi konsentrasi radikal bebas dalam jaringan. Selain itu juga tubuh memerlukan suatu antioksidan sebagai pertahanan kedua terhadap kerusakan akibat radikal bebas (Bagchi et al. 1998). Menurut Bharat et al. (2007), kurkumin mengandung antioksidan yang berperan sebagai sistem pertahanan protektif sel terhadap kerusakan yang disebabkan oleh ROS (Reactive Oxygen Spesies) dan radikal bebas. Berdasarkan penelitian McClure et al. (2006), menunjukkan bahwa kurkumin berinteraksi langsung dengan superoksida anion dan radikal hidroksil dengan cara memadamkan interaksi radikal dengan spin trap. Hal itu menunjukkan bahwa kurkumin mempunyai aktivitas sebagai scavenger glutathion. Degenerasi dapat didefinisikan secara luas sebagai kondisi kehilangan struktur dan fungsi normal sel, biasanya progresif, yang tidak ditimbulkan oleh induksi radang dan neoplasia. Degenerasi sel sering diartikan sebagai kehilangan struktur normal sel sebelum kematian. Degenerasi menunjukkan gangguan biokimiawi sel yang dapat disebabkan oleh iskemia, anemia, metabolisme abnormal dan zat kimia yang bersifat toksik (Spector dan Spector 1993). Bentuk perubahan degeneratif sel yang paling sederhana adalah penimbunan air di dalam sel-sel yang terkena. Trauma dapat menyebabkan hilangnya pengaturan volume pada bagian-bagian sel. Jika terjadi gangguan metabolisme akan menyebabkan sel tidak mampu memompa ion natrium dalam jumlah cukup. Akibat osmosis alami 36 radikal oksigen dan sebagai antioksidan melalui modulasi tingkat

pada peningkatan konsentrasi natrium di dalam sel adalah masuknya air ke dalam sel. Akibatnya adalah perubahan morfologik yang disebut pembengkakan selular atau pembengkakan keruh (cloudy swelling). Jika terdapat aliran masuk air yang hebat, maka akan terlihat sitoplasma sel yang bervakuola. Keadaan ini disebut perubahan hidropik atau disebut perubahan vakuolar (Price dan Lorraine 2006). Perubahan hidropik atau disebut degenerasi hidropis atau pembengkakan sel akut adalah terjadinya peningkatan jumlah air di dalam sel yang menyebabkan sitoplasma dan organel sel tampak membengkak dan bervakuola. Ada faktor yang mengganggu kemampuan membran sel untuk melakukan transport aktif ion natrium keluar sel yang berakibat masuknya air dalam jumlah yang berlebihan ke dalam sel (Jones et al. 2006). Akumulasi cairan di dalam sel menyebabkan kebengkakan pada organel-organel sel. Kebengkakan endoplasmik retikulum akan menghambat sintesa protein, sehingga ribosom terlepas dari rough endoplasmik retikulum (RER). Karena sel gagal memperoleh energi yang bersumber dari mekanisme aerobik, maka sel berusaha memperoleh energi dengan sumber mekanisme anaerobik (glikolisis). Perubahan sel pada tahap ini merupakan respon adaptasi agar sel tetap bertahan hidup. Perubahan ini bersifat sementara atau reversible, yaitu jika rangsang yang menimbulkan cedera dapat dihentikan, sel-sel akan normal kembali (Cheville 2006). Apabila paparan zat toksik pada sel cukup lama atau berlangsung lama, maka sel akan mencapai suatu titik hingga sel tidak dapat lagi mengkompensasi dan tidak dapat melanjutkan metabolisme (Price dan Lorraine 2006). Perubahan reversible akan menjadi irreversible, yaitu terjadi kematian sel. Kematian sel dapat terjadi secara fisiologis dan patologis. Proses kematian sel dapat terjadi secara apoptosis dan nekrosa. Nekrosa adalah suatu proses degradasi sel yang mati, sedangkan apoptosis adalah suatu proses mekanisme yang membutuhkan energi dimana sel aktif berpartisipasi dalam proses destruksi sel. Apoptosis merupakan kematian sel terprogram (Cooper dan Slauson 2002). Kedua mekanisme ini merupakan fenomena morfologik yang dapat disebabkan oleh stress oksidatif sebagai pemicu awalnya (Baraas 2006). Kematian sel yang terjadi pada epitel tubuli ginjal adalah apoptosis. lesio tubuli berupa apoptosis. Berdasarkan Tabel 5, persentase lesio apoptosis pada 37

tubuli tidak disebabkan oleh pemberian ekstrak etanol temulawak, karena dari hasil analisis statistik menunjukkan perbedaan yang tidak nyata antara kelompok kontrol negatif, perlakuan, dan kontrol positif (p>0.05). Bahan aktif yang terkandung dalam ekstrak etanol temulawak tidak menyebabkan kerusakan apoptosis pada tubulus ginjal. Apoptosis yang terjadi disebabkan karena hipoksia, infeksi virus, toksin, agen kimia, agen fisik (Macfarlene 2000). Menurut Pamela (2008), stres oksidatif adalah suatu keadaan dimana jumlah molekul radikal bebas yang dihasilkan dari metabolisme tubuh, jumlahnya melebihi kapasitas tubuh untuk menetralisirnya. Akibat dari hal ini adalah intensitas proses oksidasi sel-sel tubuh yang normal menjadi semakin tinggi dan menimbulkan kerusakan yang lebih banyak. Keadaan stress oksidatif membawa pada kerusakan oksidatif mulai dari tingkat sel, jaringan hingga ke organ tubuh. Stres oksidatif adalah keadaan yang ditandai dengan terlalu banyak radikal bebas yang dihasilkan tubuh dan terlalu sedikit antioksidan dalam tubuh (Bagchi et al. 1998). Oleh karena itu diperlukan antioksidan eksogen sebagai penghambat kerusakan oksidatif di dalam tubuh. Antioksidan dalam arti biologis adalah semua senyawa yang dapat mencegah dampak negatif oksidan, termasuk dalam penghambatan dan penghentian kerusakan oksidatif terhadap suatu molekul target (Bambang dan Eko 2005). Salah satu antioksidan eksogenus terdapat dalam rimpang temulawak yaitu kurkumin. Kurkumin merupakan diet antioksidan yang menetralkan radikal bebas, mencegah dan melindungi dari pembentukan peroksidasi lipid membran dan kerusakan DNA (Akpolat et al. 2008). Antioksidan dalam tubuh bekerja

mengikat radikal-radikal bebas yang akan merusak sel-sel tubuh sehingga mendorong terjadinya pertumbuhan sel-sel tidak normal (kanker). Kurkumin yang terkandung dalam ekstrak temulawak berpotensi sebagai antioksidan yang dapat menghambat kerusakan sel-sel tubuli ginjal. Antioksidan mempunyai aktifitas neuroprotektif dan anti-apoptosis pada konsentrasi yang rendah, jika pada konsentrasi yang tinggi dapat menginduksi aksi pro-oksidasi dan neurotoksik pro-apoptosis dalam metode kultur sel dan in vivo pada penyakit degenerasi syaraf (Rimbach et al. 2005).

38

Gambar 3. Degenerasi tubulus ginjal ayam (kepala anak panak) dan apoptosis sel epitel tubulus ginjal ayam (anak panah) pada kelompok P5 (dosis ekstrak etanol 96% temulawak 35 mg/kg BB). Pewarnaan HE, bar 0.2m.

Tabel 6. Rataan persentase kongesti pada interstitium ginjal ayam yang diberi ekstrak etanol temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb) Kelompok Kongesti K1 P1 P2 P3 P4 P5 P6 K2
Keterangan :
K1 : Kontrol; P1 : dosis ekstrak etanol 70 % temulawak 17.5 mg/kg BB; P2 : dosis ekstrak etanol 70% temulawak 35 mg/kg BB; P3 : dosis ekstrak etanol 70% temulawak 52.5 mg/kg BB; P4 : dosis ekstrak etanol 96% temulawak 17.5 mg/kg BB; P5 : dosis ekstrak etanol 96% temulawak 35 mg/kg BB; P6 : dosis ekstrak etanol 96% temulawak 52.5 mg/kg BB; K2 : meniran komersial dosis 0,2 cc/kg BB; Huruf superskrift yang sama menunjukkan perbedaan yang tidak nyata (p > 0.05).

76.666 19.293a 54.666 26.812a 75.200 15.300a 70.00025.495a 85.20011.252a 96.668 7.958a 67.36636.646a 68.00021.807a

Perubahan yang terjadi pada interstitium adalah kongesti. Kejadian kongesti disajikan pada Tabel 6 menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata antara kelompok kontrol negatif, perlakuan, dan kontrol positif (p<0,05). Kongesti adalah suatu keadaan gangguan sirkulasi yang merupakan hiperemi pasif akibat hambatan aliran darah kapiler sebagai akibat hambatan aliran darah vena. 39

Menurut Bharat et al. (2007), stres oksidatif dapat memicu pembentukan berbagai mediator vasoaktif yang dapat mempengaruhi fungsi ginjal secara langsung dan menyebabkan vasokonstriksi ginjal serta penurunan koefisien filtrasi kapiler glomerulus sehingga terjadi penurunan laju filtrasi. Berdasarkan analisa statistik menggunakan uji faktorial diketahui kombinasi antara pelarut etanol 70% dan 96% dengan tiga tingkatan dosis ekstrak temulawak yaitu 17,5 mg/kg bb, 35 mg/kg bb dan 52,5 mg/kg bb diperoleh hasil yang tidak berbeda nyata. Perbedaan tidak nyata tersebut menunjukkan tidak ada interaksi antara keduanya. Hal ini berarti konsentrasi pelarut alkohol 70% dan 96% memberikan respon yang sama terhadap kongesti pada glomerulus, degenerasi dan apoptosis pada tubulus, dan kongesti pada interstitium. Pemberian ekstrak temulawak dengan pelarut etanol 70% dan 96% tidak menyebabkan kerusakan pada glomerulus, tubulus dan interstitium.

Gambar 4. Kongesti pembuluh darah interstitium (anak panah) pada kelompok P5 (dosis ekstrak etanol 96% temulawak 35 mg/kg BB). Pewarnaan HE, bar 1 m.

40

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan Berdasarkan hasil yang telah diamati, diperoleh kesimpulan bahwa pemberian ekstrak etanol 70% dan 96% temulawak dan stimulan tidak toksik pada ginjal ayam petelur.

Saran Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui efek toksisitas dari pemberian ekstrak etanol temulawak dan mengetahui efek pemberian ekstrak etanol temulawak pada ayam yang diinfeksi virus.

41

DAFTAR PUSTAKA

Afifah et al. 2005. Khasiat dan Manfaat Temulawak. Rimpang Penyembuh Aneka Penyakit. Jakarta: Agro Media Pustaka. Akpolat M, Kanter M, Uzal MC. 2008. Protective effects of curcumin against gamma radiation-induced ileal mucosal damage. Archives of Toxicology. 83(6): 609617. Anonimus. 2008. Traditional Medition for Kids. [terhubung berkala]. http://www.tymask.wordpress.com/temulawak.htm [29 Juni 2009]. Anonimus. 20091.http://www.geocities.com [29 Juni 2009]. Anonimus. 20092. Temulawak (Curcuma xanthorrhiza http://www.aagos.ristek.go.id/pertanian/temulawak.pdf. [12 2009]. ROXB). Februari

Bagchi K, Puri S. 1998. Free radicals and antioxidants in health and disease. Eastern Mediterranean Health Journal. 4(2):350-360. Bambang S, Eko S. 2005. Stres Oksidatif dan Peran Antioksidan pada Diabetes Melitus. Majalah Kedokteran Indonesia 55:2 Baraas F. 2004. Dari Progammed Cell Survival Sampai Progammed Cell Death Pada Sel Otot Jantung.http//www.neuroonkologi.com/article/ApoptosisSel-Otot-Jantung. [10 Juni 2009]. Bharat BA, Young JS, Shishir S. 2007. The Molecular Targets and Therapeutic Uses of Curcumin in Health and Disease. Amerika: Spinger. Cheville NF. 2006. Introduction to Veterinary Pathology. 3th Ed. 2121 State Avenue,Ames. IA 50014 USA: Blackwell Publishing Profesional. Cooper J, Slauson DO. 2002. Mechanism of Disease : A Text Book of Comparative General Pathology. 3th Ed. Amerika: Mosby Incorporation. Fatmawati DA. 2008. Pola Protein dan Kandungan Kurkuminoid Rimpang Temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb) [Skripsi]. Bogor: F-MIPA IPB. Ganong W. 2003. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Widjajakusumah MD, Irawati D, Siagian M, Moelek D, Pendit BU. Penerjemah; Widjajakusumah MD,editor. Edisi 20. Jakarta: EGC. Terjemahan dari Review of Medical Phisiology. 671-675 Geneser F. 1994. Buku Teks Histologi Jilid 2. Gunawijaya FA, Penerjemah. Jakarta: Binarupa Aksara. 227-228. 42

Hartono. 1995. Histologi Veteriner Sitologi dan Jaringan Dasar. Bogor: Laboratoium Histologi, Departemen Anatomi FKH IPB. Jones TC, Ronald DH, Norval WK. 2006. Veterinary Pathology. 6th Ed. United State America: Blackwell Publishing. Lu FC. 1995. Toksikologi Dasar Edisi Ke-2. Nugroho E, Penerjemah. Jakarta: UI Press. Macfarlene PS, Reid R, Callander R. 2000. Pathology Illustrated. 5th Ed. United Kingdom: Harcourt Publisher. McClure D, Biswas K, Jimenez LA, Megson IL, Rahman I. 2005. Curcumin Induces glutathion biosynthesis and inhibits NF-kappa B Activation and Interleukin-8 Release in Alveolar Epithelial Cell:Mechanisme of Free Radical Scavenging Activity. United State National Library of Medicion and the National Institutes of Health. 7(1-2):32-41. McGavin MD, Zachary JF. 2007. Pathologic Basic of Veterinary Disease. 4th Ed. Philadelphia, USA : Mosby Incorporation. Moelyono MW. 2007. Temulawak, Ikon Obat Herbal Indonesia?. http://blogs.unpad.ac.id/moelyono/?=14.htm[3 Februari 2009] Pamela R. 2003. Sress Oksidatif Memicu Penuaan Dini. www.ruripamela.com/2008/11/penuaan-merupakan-proses-yangkompleks.html. [10 Juni 2009] http:///

Parahita LM. 2007 .Curcuma xanthorrhiza (Temulawak) Morfologi, Anatomi dan Fisiologi. http://touisa.multiply.com/journal/item/240/curcuma_xanthorriza_temula wak_-_Morfologi_Anatomi_dan_Fisiologi.htm. [1 Februari 2009]. Plantus. 2007. Temulawak, Ginsengnya Indonesia. http://www.anekaplantasia.cibermediaclip.htm [3 Februari 2009]. Price SA, Lorraine MW. 2006. Pathofisiologi : Konsep Proses-proses Penyakit Edisi ke-6 Vol 1. Jakarta : EGC. Redaksi Agromedia. 2008. Buku Pintar Tanaman Obat Edisi Pertama. Jakarta : PT. Agromedia Pustaka. Rimbach G, Fuchs J, Packer L. 2005. Nutrigennomics. Los Angeles, California : CRC Press. Schmidt RE, Drury RR, David NP. 2003. Pathology of Pet and Aviary Birds. 1st Ed. 2121 State Avenue. Ames, Iowa : Iowa State Press. 95-96 43

Setijanto,H. 1998. Anatomi Unggas. Bogor: Laboratorium Anatomi Bagian Anatomi Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Sidik et al. 1995. Temulawak (Curcuma xanthorhiza). Jakarta: Yayasan Pengembangan dan Pemanfaatan Obat Bahan Alam. Suwiah A. 1991. Pengaruh Perlakuan Bahan dan Jenis Pelarut yang Digunakan pada Pembuatan Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb) Instan terhadap Rendemen dan Mutunya [Skripsi] Fateta IPB. Dalam Fatmawati DA. 2008. Pola Protein dan Kandungan Kurkuminoid Rimpang Temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb) [Skripsi]. Bogor: F-MIPA IPB. Spector WD, Spector TD. 1993. Pengantar Patologi Umum Edisi ke-3. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Sturkie P. D. 1976. Avian Physiology. 3th Ed. New York : Heidelberg Berlin Press. Wanda HM, Colin RG. 1998. Fundamentals of Toxicologic Pathology. New York, Europe : Academic Press. Wu Guayao, Yang S, Zhung Fang Y. 2002. Free Radical, Antioxidant, and Nutrition. The International Journal of Applied and Basic Nutritional Science.18(10):872-879.

44

You might also like