Transfer Gen Proteinase Inhibitor II Pada Kedelai Melalui Vektor Agrobacterium Tumefaciens Untuk

You might also like

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 9

Jurnal 20 Bioteknologi Pertanian, Vol. 9, No. 1, 2004, pp.

20-28

Saptowo J. Pardal et al.

Transfer gen proteinase inhibitor II pada kedelai melalui vektor Agrobacterium tumefaciens untuk ketahanan terhadap hama penggerek polong ( Etiella zinckenella Tr.)
Transfer of the proteinase inhibitor II gene into soybean through Agrobacterium tumefaciens vector for pod borer resistance Saptowo J. Pardal1, G.A. Wattimena2, Hajrial Aswidinnoor2, M. Herman1, Edy Listanto1, dan Slamet1
1

Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian, Jalan Tentara Pelajar 3A, Bogor 16111, Indonesia 2 Program Studi Agronomi, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Kampus IPB Darmaga, Bogor 16680, Indonesia

ABSTRACT
Pod borer (Etiella zinckenella Tr. ) is one of the most important pests in soybean and still difficult to be managed conventionally. The use of resistant cultivars is the best strategy and relative safe, but the source of resistance gene to pod borer is not found in soybean germplasm so far. The development of transgenic soybean resistant to pod borer is an alternative way to solve the problem. The objectives of this research were to obtain the best protocol for soybean transformation through Agrobacterium tumefaciens and soybean plants resistant to pod borer. On the first experiment, young embryos and cotyledons of soybean explants cv. Wilis and Tidar were inoculated with A. tumefaciens strain EHA 105 contained plasmid p Cambia 1301 with gus gene in TDNA region. The treatments were included an optical density, inoculation time, cocultivation time, and type of explant. Result indicated that the best protocol for inoculation was using young cotyledon as explants with 1 x 10 8 cell/ml of A. tumefaciens for 90 minutes inoculation and 5 days cocultivation. On the second experiment, 1,539 young cotyledon explants from Wilis and 984 explants from Tidar were inoculated with A. tumefaciens contained pin II gene on plasmids p GA pin II construct. Result indicated that Wilis was better than Tidar. Wilis explants produced eight plants (AW 1 AW 8), while Tidar only produced one plant (AT 1 ) on media with 200 mg/l kanamycine. Molecular analysis using PCR indicated that only event AT 1 was positive (containing pin II gene), while eight plants from event AW were all negative. Bioassay of first generation of event AT 1 (AT 1 R 1) to pod borer larvae indicated that transformed plants showed a lower in pod damages (58.8%) compared to control plants (95.5%). [ Keywords : Glycine max , gene transfer, Agrobacterium tumefaciens , pest resistance, Etiella zinckenella ]

ketahanan tersebut belum ditemukan pada plasma nutfah kedelai yang ada. Perakitan tanaman kedelai transgenik tahan penggerek polong merupakan alternatif terbaik untuk mengatasi masalah ini. Penelitian bertujuan mendapatkan protokol terbaik untuk transformasi kedelai melalui Agrobacterium tumefaciens dan tanaman kedelai tahan penggerek polong. Pada percobaan I, eksplan embrio dan kotiledon muda varietas Wilis dan Tidar diinokulasi dengan A. tumefaciens strain EHA105 dengan plasmid p Cambia 1301 yang mengandung gen gus pada bagian T-DNA. Perlakuan meliputi kerapatan bakteri, lama inokulasi, lama kokultivasi, dan jenis eksplan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa protokol terbaik untuk inokulasi adalah menggunakan eksplan kotiledon muda dengan kerapatan bakteri 1 x 10 8 sel/ml selama 90 menit dan 5 hari kokultivasi. Selanjutnya, pada percobaan II 1.539 eksplan kotiledon muda kedelai Wilis dan 984 Tidar diinokulasi dengan A. tumefaciens p GA pin II yang mengandung gen pin II. Hasil regenerasi dan seleksi dengan kanamisin 200 mg/l menunjukkan bahwa Wilis lebih baik daripada Tidar, karena Wilis dapat menghasilkan 8 planlet/tanaman (AW 1AW 8) sedangkan Tidar hanya satu planlet/tanaman (AT 1). Analisis molekuler terhadap sembilan tanaman tersebut menunjukkan bahwa hanya event AT 1 yang positif mengandung gen pin II, sedangkan delapan tanaman dari event AW hasilnya negatif. Bioasai pada tanaman generasi pertama dari event AT 1 (AT 1R 1 ) terhadap larva penggerek polong menunjukkan bahwa tanaman AT 1 R 1 memiliki persentase kerusakan polong yang lebih rendah (58,8%) dibandingkan tanaman kontrol (95,5%). [ Kata kunci: Kedelai, transfer gen, Agrobacterium tumefaciens , ketahanan terhadap hama, Etiella zinckenella ]

PENDAHULUAN Penggerek polong (Etiella zinckenella Treitschke ) merupakan hama penting pada kedelai. Rata-rata luas areal serangan hama ini mencapai 11.000 ha setiap tahun dengan kehilangan hasil berkisar 20-40%. Intensitas serangan bahkan dapat mencapai 90% jika tidak dilakukan upaya pengendalian (Nurdin et al . 1995).

ABSTRAK
Penggerek polong (Etiella zinckenella Tr. ) merupakan salah satu hama penting kedelai dan masih sulit dikendalikan secara konvensional. Penggunaan varietas tahan merupakan strategi terbaik dan relatif aman, tetapi hingga saat ini sumber gen

Transfer gen proteinase inhibitor II pada kedelai ...

21 diharapkan diperoleh protokol terbaik untuk transformasi kedelai dan dapat dihasilkan tanaman kedelai hasil transformasi yang mengandung gen pin II dan tahan terhadap hama penggerek polong.

Penggunaan varietas kedelai tahan hama penggerek polong merupakan alternatif pengendalian yang potensial. Namun, perakitan varietas kedelai tahan melalui persilangan konvensional menghadapi kendala dengan belum ditemukannya varietas kedelai yang betul-betul tahan terhadap penggerek polong untuk digunakan sebagai sumber gen ketahanan. Delapan varietas kedelai yang dinyatakan relatif tahan terhadap penggerek polong (diuji di Mojokerto, Jawa Timur), setelah diuji ulang tidak satu pun menunjukkan ketahanan tinggi terhadap hama tersebut (Tengkano dan Soehardjan 1985). Djuwarso et al . (1994) yang melakukan seleksi ketahanan terhadap 339 galur kedelai dalam dua musim kemarau berturutturut di daerah Lampung (1991-1992) juga tidak mendapatkan galur yang memiliki ketahanan terhadap penggerek polong (rata-rata mengalami kerusakan polong > 60%). Gen proteinase inhibitor (pin) merupakan gen yang dapat menghasilkan senyawa antinutrisi yang dapat menghambat kerja enzim proteolitik (proteinase) dalam perut serangga (Ryan 1990). Gen ini dapat digunakan untuk merakit tanaman transgenik tahan hama. Apabila gen ini berhasil ditransfer ke dalam kromosom tanaman dan mampu diekspresikan dengan baik, maka serangga yang memakan tanaman tersebut akan terganggu sistem pencernaannya, terhambat pertumbuhannya dan akhirnya mati jika tingkat penghambatannya tinggi (Jhonson et al . 1990). Serine proteinase inhibitors (tripsin dan kimotripsin inhibitor) telah menunjukkan keefektifannya menghambat perkembangan larva beberapa jenis Lepidoptera, di antaranya Ostrinia nubilalis (Steffens et al . 1978), Manduca sexta (Shukle dan Murdock 1983), Heliothis zea , dan Spodoptera exigua (Broadway dan Duffey 1986). Transformasi dengan gen pin telah berhasil dilakukan, di antaranya pada padi (Xu et al. 1996) dan ubi jalar (Newell et al. 1995) menggunakan gen tripsin inhibitor cowpea , kemudian pada tembakau menggunakan gen pinI dan II (Jhonson et al. 1990). Metode transfer gen pada tanaman yang paling banyak digunakan adalah dengan vektor Agrobacterium. Metode ini sangat sederhana dan murah, karena pada prinsipnya gen interest disisipkan ke plasmid T-DNA Agrobacterium lalu diinokulasikan ke jaringan target yang telah dilukai. Namun, tidak semua jenis tanaman dapat diinfeksi oleh Agrobacterium sehingga aplikasinya terbatas pada beberapa jenis tanaman saja (Hinchee et al. 1988). Penelitian bertujuan untuk melakukan transfer gen pinII kentang ke dalam tanaman kedelai melalui vektor Agrobacterium tumefaciens . Melalui penelitian ini

BAHAN DAN METODE Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Biologi Molekuler dan Fasilitas Uji Terbatas (FUT), Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian, Bogor. Penelitian menggunakan dua varietas kedelai yang sudah populer di petani, yaitu Wilis dan Tidar. Dua varietas ini dipilih karena memiliki daya regenerasi in vitro yang cukup baik pada penelitian sebelumnya dan peka terhadap penggerek polong. Sebagai vektor transformasi digunakan A. tumefaciens strain EHA 105 dengan plasmid pCambia 1301 yang mengandung gen gus dan hph serta strain LBA 4404 dengan plasmid pGA pinII yang mengandung gen pinII dan nptII. Optimasi transformasi dengan gen gus Benih kedelai Wilis dan Tidar ditanam di rumah kaca. Setelah tanaman mulai berbunga (35-40 hari) dilakukan penandaan bunga yang sedang mekar (anthesis) . Polong dipanen pada saat berumur 14-15 hari setelah penandaan. Polong dicuci dengan air sabun dan dibilas air bersih. Kemudian polong direndam dalam larutan clorox 20% selama 25-30 menit, lalu dibilas dengan akuades steril 3-4 kali. Eksplan kotiledon dan embrio muda diisolasi dari polong steril ini. Sebelum inokulasi, eksplan diperlakukan dengan 1 : 1 cairan bakteri dan medium Luria Bertani (LB). Untuk mencegah pengaruh merusak dari inokulum bakteri dilakukan pembiakan bakteri selama 24 jam, kemudian disentrifugasi dan dimasukkan ke suspensi medium MS (Murashige dan Skoog 1962) + 100 mM sukrosa + 200 M asetosiringon, pH 5,7. Cara inokulasi mengikuti prosedur dari Hinchee et al . (1988) menggunakan strain A. tumefaciens EHA 105 dengan plasmid pCambia 1301 yang mengandung gen gus dan hph . Perlakuan inokulasi meliputi kerapatan bakteri (optical density = OD600) yaitu 0,5; 1; 1,5, lama inokulasi (60 dan 90 menit), serta lama kokultivasi (3 dan 5 hari inkubasi). Jumlah eksplan untuk setiap perlakuan sebanyak lima eksplan. Uji ekspresi gen gus pada eksplan hasil inokulasi Agrobacterium dilakukan setelah 3 dan 5 hari inkubasi menggunakan prosedur dari Jefferson (1987). Uji GUS positif jika terjadi bercak biru pada jaringan eksplan.

22 Makin tebal dan banyak warna biru, makin tinggi ekspresi gen gus. Transformasi dengan gen pinII Eksplan kotiledon muda kedelai Wilis dan Tidar diinokulasi dengan A. tumefaciens strain p GA pin II (membawa gen pinII dan nptII) pada OD600= 1 (setara 108 sel/ml) selama 90 menit shaker (protokol terbaik). Eksplan yang telah diinokulasi selanjutnya dikeringkan pada cawan petri yang telah diberi alas kertas saring steril, lalu dipindahkan ke medium kokultivasi (MS + vitamin B5 + asetosiringon 20 mM). Kultur diinkubasi dalam ruang gelap selama 5 hari. Eksplan dicuci dengan larutan Cefotaxime 200 mg/l, lalu dikulturkan pada media seleksi I1 yang terdiri atas medium MS + vitamin B5 (Gamborg et al. 1968) + NAA 10 mg/l + L-glutamin 30 mg/l + L-asparagin 30 mg/l + sukrosa 5 mg/l (Pardal et al. 1997) ditambah kanamisin 200 mg/l. Pada 4-6 minggu kemudian, eksplan yang tumbuh dan mengalami embriogenesis dipindahkan ke medium seleksi I1-1 yaitu medium I1 dengan kadar NAA 1 mg/l + kanamisin 200 mg/l. Embrio somatik yang telah dewasa/sempurna dikecambahkan pada medium G01 (MS + vitamin B5 + GA3 0,1 mg/l). Planlet yang dihasilkan dipindahkan ke medium 1/2 MS + vitamin B5 + IBA 1 mg/l untuk inisiasi perakaran selama 2-3 minggu, kemudian diaklimatisasi ke media tanah dalam pot. Analisis molekuler tanaman hasil transformasi Prosedur isolasi DNA dan PCR menggunakan protokol dari ICI Seeds Co. USA (Listanto et al . 1996). Sampel DNA hasil isolasi dari daun muda sebanyak 4 l dimasukkan ke dalam tabung PCR 0,5 ml, kemudian ditambahkan 2,5 l 10 x bufer PCR (Promega), 2 l campuran dNTPs (2,5 mM setiap dNTP, Promega), 1 l masing-masing primer untuk pinII, 10,33 l ddH2O dan 0,175 l Taq polymerase (total volume 25 l). Tabung sampel ditambah satu tetes minyak mineral lalu ditutup dengan selotip tahan panas. Program PCR yang digunakan yaitu tahap satu (inisiasi denaturasi) pada 94oC selama 5 menit, tahap dua (denaturasi) pada 94oC selama satu menit, tahap tiga (annealing) 55o C satu menit, dan tahap empat (pemanjangan) satu menit pada suhu 72oC. Tahap 2-4 diulangi 35 siklus, lalu dilanjutkan ke tahap lima (inkubasi) pada suhu 72oC selama 5 menit. Produk PCR di- loading pada 1% agarose gel yang mengandung ethidium bromida bersamaan dengan sampel DNA tanaman kontrol dan DNA standar (gen pin II). Gel hasil elektroforesis divisualisasi dengan UV dan

Saptowo J. Pardal et al.

difoto dengan film polaroid. Data berupa pita-pita DNA dianalisis berdasarkan ada tidaknya DNA pinII sebesar 600 bp. Bioasai tanaman hasil transformasi terhadap larva E. zinckenella Pengujian dilakukan di FUT BB Biogen dengan metode infestasi langsung (in vivo) larva umur satu hari (neonate) . Tanaman yang diuji adalah kedelai keturunan pertama dari event AT 1. Tiga puluh benih kedelai AT1R1 dan Tidar nontransgenik sebagai kontrol ditanam dalam pot dan dipelihara di rumah kaca. Setelah tanaman mulai berpolong (50 hari), setiap tanaman dipilih 10 polong yang berbeda tempatnya, lalu setiap polong diinfestasi dengan 3 ekor larva Etiella sp. Selanjutnya polong ditutup dengan kantung plastik berlubang untuk mengisolasi larva. Pengamatan dilakukan setelah tanaman dipanen untuk mengetahui persentase serangan larva pada polong dan biji. Pengelompokan kriteria ketahanan tanaman kedelai terhadap hama penggerek polong mengacu pada hasil penelitian Akib dan Baco (1985) sebagai berikut: tanaman tahan jika serangan polong 0-10%, agak tahan 11-30%, agak peka 31-50%, peka 51-70, dan sangat peka 71-100%.

HASIL DAN PEMBAHASAN Optimasi transformasi melalui Agrobacterium Eksplan embrio dan kotiledon muda kedelai sangat responsif terhadap infeksi A. tumefaciens . Ketiga perlakuan kerapatan bakteri dapat menghasilkan bercak biru pada semua eksplan, namun OD600 = 1 (setara dengan 1 x 108 sel/ml) memberikan persentase gus positif terbaik pada kedua jenis eksplan. Lama inokulasi 90 menit memberikan hasil terbaik untuk kedua jenis eksplan dan kokultivasi di ruang gelap selama 5 hari lebih baik daripada 3 hari (Tabel 1). Keberhasilan infeksi dan transfer gen oleh A. tumefaciens antara lain ditentukan oleh jenis dan kondisi eksplan, ada tidaknya luka/pelukaan, kerapatan bakteri, lama inokulasi, dan lama kokultivasi (Hinchee et al. 1988). Untuk jenis eksplan, semakin muda jaringan eksplan akan semakin mudah diinfeksi oleh bakteri. Hal ini ditunjukkan pada penelitian ini; dua jenis eksplan yang digunakan, yaitu kotiledon dan embrio muda, dapat diinfeksi oleh A. tumefaciens. Uji GUS pada kedua jenis eksplan tersebut memberikan hasil yang positif (ada bercak biru) pada jaringan eksplan. Luka pada jaringan eksplan sangat

Transfer gen proteinase inhibitor II pada kedelai ...

23

Tabel 1. Persentase gus positif pada eksplan embrio dan kotiledon muda kedelai Wilis hasil transformasi dengan Agrobacterium tumefaciens . Table 1. Gus positive percentage on immature embryo and cotyledon explants of Wilis transformed with Agrobacterium tumefaciens . Jenis eksplan/ kerapatan bakteri Explant type/ bacterial density (OD 600 ) Embrio muda Immature embryo 0,5 1 1,5 Kotiledon muda Immature cotyledon 0,5 1 1,5 Jumlah eksplan Explant n u mb e r Lama inokulasi 60 menit Inoculation time (60 min) 3 hari kokultivasi 3-day cocultivation 5 hari kokultivasi 5-day cocultivation Lama inokulasi 90 menit Inoculation time (90 min) 3 hari kokultivasi 3-day cocultivation 5 hari kokultivasi 5-day cocultivation

6 6 6

2 (33,3) 3 (50) 0 (0)

2 (33,3) 4 (66,7) 1 (16,7)

1 (16,7) 4 (66,7) 3 (50)

1 (16,7) 5 (83,3) 1 (16,7)

6 6 6

0 (0) 3 (50) 0 (0)

1 (16,7) 3 (50) 4 (66,7)

0 (0) 3 (50) 4 (66,7)

4 (66,7) 3 (50) 6 (100)

Keterangan: OD 600 = 1 setara dengan 1 x 10 8 sel/ml. Angka dalam kurung adalah persentase. Notes: OD 600 = 1 equal to 1 x 10 8 sel/ml. Numbers in parantheses are percent.

mempengaruhi infeksi bakteri. Luka akan menghasilkan senyawa fenolik, misalnya asetosiringon, yang merangsang kerja gen virulen dan gen chv (gen chromosomal) dari bakteri A. tumefaciens sehingga terjadi infeksi dan transfer gen (T-DNA) (Zambryski et al . 1989). Oleh karena itu, pada media kokultivasi selalu ditambahkan asetosiringon untuk meningkatkan daya infeksi bakteri pada sel-sel eksplan. Kerapatan bakteri juga menentukan keberhasilan infeksi. Jumlah bakteri yang diperlukan dalam proses infeksi suatu eksplan harus tepat. Jika jumlahnya kurang, proses infeksi tidak efektif, sebaliknya jika jumlah bakteri terlalu banyak akan terjadi pertumbuhan bakteri yang berlebih (overgrowth) . Akibatnya tingkat kompetisi bakteri sangat tinggi dan pertumbuhan eksplan terhambat atau mati sehingga proses infeksi tidak efektif (Siswanto et al. 1997). Ketiga perlakuan kerapatan bakteri (OD 600) yang digunakan pada penelitian ini menunjukkan hasil uji GUS yang positif, artinya ketiga kerapatan bakteri tersebut sudah dapat menyebabkan terjadinya infeksi bakteri ke dalam sel-sel eksplan kedelai. Namun, perlakuan OD600 = 1 (setara dengan 1 x 108 sel/ml) merupakan kerapatan bakteri A. tumefaciens yang ideal

untuk infeksi eksplan kedelai. Pada OD ini, semua perlakuan menghasilkan persentase GUS positif yang selalu tinggi dibandingkan OD lainnya, baik pada eksplan kotiledon maupun embrio muda (Tabel 1). Lama inokulasi juga menentukan keberhasilan infeksi bakteri. Semakin lama waktu inokulasi, peluang infeksi semakin tinggi. Untuk eksplan yang berukuran besar, tebal, dan tua seperti pada penelitian ini diperlukan waktu inokulasi yang lebih lama. Inokulasi selama 90 menit menunjukkan hasil uji GUS yang lebih baik dibandingkan selama 60 menit (Tabel 1). Lama kokultivasi (inkubasi) antara bakteri dan eksplan juga sangat mempengaruhi keefektifan infeksi bakteri. Inkubasi yang terlalu cepat menyebabkan pertumbuhan bakteri kurang baik, sehingga belum mampu menginfeksi sel-sel eksplan dengan sempurna. Sebaliknya, jika inkubasi terlalu lama akan terjadi pertumbuhan koloni bakteri yang berlebihan sehingga menghambat pertumbuhan atau bahkan mematikan eksplan. Kokultivasi 5 hari ideal untuk infeksi A. tumefaciens pada eksplan kotiledon muda kedelai daripada inkubasi 3 hari (Tabel 1). Dari dua jenis eksplan yang digunakan, embrio muda memberikan persentase GUS positif yang lebih tinggi

24 daripada kotiledon muda. Namun, bercak biru yang terjadi pada eksplan embrio muda terletak pada bagian bekas potongan kotiledon, bukan pada mata tunas (Gambar 1). Hal ini kurang baik untuk menghasilkan tanaman transgenik, karena regenerasi tunas/tanaman pada eksplan embrio berasal dari multiplikasi (organogenesis) mata tunas, sehingga tanaman yang dihasilkan tidak berasal dari jaringan yang tertransformasi. Transformasi dengan gen pinII Hasil transfer gen pinII pada eksplan kedelai melalui Agrobacterium menunjukkan bahwa varietas Wilis memberikan jumlah planlet dan tanaman yang lebih banyak (8 tanaman) daripada Tidar yang hanya menghasilkan 1 tanaman (Tabel 2). Hal ini disebabkan embrio somatik yang dihasilkan dari eksplan Wilis berukuran lebih besar dan bentuknya lebih sempurna sehingga mudah dikecambahkan menjadi planlet/ tanaman (Gambar 2). Embrio dari eksplan Tidar, walaupun jumlahnya lebih banyak daripada Wilis, tetapi ukurannya lebih kecil dan kurang sempurna sehingga banyak yang gagal berkecambah dan akhirnya hanya diperoleh satu tanaman saja (Gambar 3). Tanaman hasil regenerasi berhasil diaklimatisasikan dan tumbuh normal di rumah kaca serta menghasilkan polong yang berbiji (fertil). Keberhasilan penelitian transformasi kedelai sangat ditentukan oleh metode regenerasi dan transformasi yang digunakan. Tidak dapat dipungkiri bahwa salah

Saptowo J. Pardal et al.

Gambar 1. Hasil uji GUS pada eksplan kedelai hasil transformasi dengan Agrobacterium tumefaciens ; tampak bercak biru pada eksplan embrio (kiri) dan kotiledon muda (kanan). Fig. 1. The result of GUS test on soybean transformants through Agrobacterium tumefaciens ; blue spot on transformant of immature embryo (left) and cotyledon (right).

Gambar 2. Pertumbuhan embrio somatik dari eksplan kotiledon muda kedelai varietas Wilis (kiri) dan Tidar (kanan) hasil transformasi melalui Agrobacterium tumefaciens pada media seleksi yang mengandung kanamisin 200 mg/l. Fig. 2. Development of somatic embryo of soybean transformant of Wilis (left) and Tidar (right) through Agrobacterium tumefaciens on selection medium containing 200 mg/l kanamycine.

Tabel 2. Hasil regenerasi dan seleksi tanaman dari eksplan kotiledon muda kedelai Wilis dan Tidar yang diinokulasi dengan Agrobacterium tumefaciens yang mengandung gen pin II. Table 2. Plant regeneration of immature cotyledon explants of Wilis and Tidar inoculated with Agrobacterium tumefaciens containing pin II gene. Varietas Varieties Wilis transformasi Wilis nontransformasi + kanamisin 200 mg/l Wilis nontransformasi tanpa kanamisin Tidar transformasi Tidar nontransformasi + kanamisin 200 mg/l Tidar nontransformasi tanpa kanamisin Jumlah eksplan Explant number 1.539 30 30 984 30 30 Jumlah embrio somatik Somatic embryo number 17 (1,1) 1 (3,3) 16 (53,3) 21 (2,1) 0 (0) 24 (80) Jumlah planlet Jumlah tanaman Plantlet number Plant number 15 (0,9) 1 (3,3) 9 (30) 3 (0,3) 0 (0) 16 (53,3) 8 (0,5) 0 (0) 4 (13,3) 1 (0,1) 0 (0) 6 (20) Kode tanaman Plant code AW 1-8 AWO 1-4 AT 1 ATO 1-6

Keterangan: Angka dalam kurung adalah persentase. Notes: Numbers in parantheses are percent.

Transfer gen proteinase inhibitor II pada kedelai ...

25

Gambar 3. Perkecambahan embrio somatik dan aklimatisasi tanaman kedelai Tidar (AT 1 ) hasil transformasi melalui Agrobacterium tumefaciens ; a = planlet, b = aklimatisasi dalam pot, c = tanaman AT 1 di rumah kaca. Fig. 3. Development of somatic embryo and acclimatization of soybean Tidar transformant (AT 1) through Agrobacterium tumefaciens ; a = plantlet, b = pot acclimatization, c = AT 1 plant.

satu hambatan besar dalam transformasi kedelai adalah respons tanaman kedelai pada manipulasi kultur in vitro (Finer 1988). Parrott et al . (1989), misalnya, telah menghasilkan kedelai transgenik primer melalui transformasi A. tumefaciens pada eksplan kotiledon muda. Namun, dari kultur ini hanya diperoleh beberapa embrio dan akhirnya hanya berkembang menjadi tiga tanaman transgenik. Kedelai pada dasarnya dapat diregenerasikan melalui organogenesis dan embriogenesis. Meskipun dua cara ini sistemnya berbeda, keduanya sangat dipengaruhi oleh genotipe/kultivar tanaman (cultivarspecific responses) . Beberapa galur lebih responsif terhadap media kultur dibanding galur lainnya (Pardal et al . 1994). Galur yang dapat membentuk sejumlah besar embrio somatik selama tahap induksi, mungkin tidak dapat memberikan pertumbuhan/proliferasi yang cepat. Oleh karena itu, kondisi kultur jaringan yang optimum untuk masing-masing galur/kultivar harus ditentukan sesuai dengan metode regenerasinya. Pada penelitian ini, varietas Wilis lebih responsif terhadap media regenerasi daripada Tidar. Eksplan kotiledon Wilis yang ditransformasi dapat membentuk delapan tanaman regeneran, sedangkan dari Tidar hanya satu tanaman (Tabel 2). Embriogenesis somatik merupakan jalur regenerasi tanaman yang banyak digunakan dalam rekayasa genetika karena tanaman yang dihasilkan dapat berasal dari satu sel. Secara genetis, tanaman regeneran yang berasal dari satu sel lebih stabil dibandingkan dengan dua jalur regenerasi lainnya (Ignacimuthu 1997). Studi histologi terhadap kultur jaringan embriogenik kedelai menunjukkan bahwa proliferasi embrio

berasal dari sel-sel permukaan (apikal) dan hanya sedikit sel yang terlibat dalam pembentukan embrio somatik (Finer 1988). Namun, embrio somatik kedelai tidak selalu berasal dari sel-sel apikal. Pembentukan embrio somatik primer bergantung pada jaringan eksplan dan kadar auksin pada media induksi (Hartweck et al. 1988). Dalam induksi embriogenesis, hormon auksin berperan sangat penting. Penggunaan auksin yang tinggi akan mempercepat dan memperbanyak jumlah embrio somatik yang terbentuk (Mariska et al. 2001). Jenis auksin yang biasa digunakan untuk induksi embriogenesis adalah 2,4 -dichlorophenoxyacetic acid (2,4-D) dan naphthalene acetic acid (NAA). Hormon 2,4-D cenderung menginduksi embrio somatik secara tidak langsung melalui fase kalus sehingga jumlah embrio yang dihasilkan cukup banyak. Namun, embrio yang dihasilkan banyak yang abnormal dan sulit dikecambahkan menjadi planlet/tanaman. Hormon NAA cenderung menginduksi embrio somatik secara langsung tanpa pembentukan kalus. Embrio somatik yang dihasilkan relatif normal dan mudah dikecambahkan menjadi planlet/tanaman, tetapi jumlahnya sedikit. Penggunaan NAA 10 mg/l pada penelitian ini mampu menginduksi terjadinya embriogenesis pada eksplan kotiledon muda kedelai Wilis dan Tidar, tetapi kualitas dan jumlah embrio somatik yang dihasilkan berbeda. Eksplan kotiledon muda Wilis yang ukurannya lebih besar dapat menghasilkan embrio somatik lebih besar dan normal sehingga mudah dikecambahkan menjadi planlet. Sebaliknya, eksplan kotiledon muda Tidar yang berukuran lebih kecil menghasilkan embrio somatik lebih kecil dan abnormal sehingga sulit di-

26 kecambahkan menjadi planlet (Tabel 2). Menurut Finer dan Nagasawa (1988), eksplan kotiledon kedelai dapat menghasilkan banyak embrio somatik dan mudah dikecambahkan. Namun, jumlah embrio yang dihasilkan setiap eksplan berbeda-beda yang kemungkinan disebabkan oleh perbedaan kemampuan regenerasi jaringan dari setiap eksplan (Pardal et al. 1994). Hal yang sama juga terjadi pada penelitian ini, di mana satu eksplan kotiledon muda dapat menghasilkan lebih dari satu embrio somatik dan jumlahnya berbeda antareksplan (Gambar 2). Analisis molekuler tanaman kedelai hasil transformasi Transformasi kedelai dengan gen pinII melalui Agrobacterium menghasilkan delapan tanaman Wilis (AW1-AW8) dan satu tanaman Tidar (AT1). Kesembilan tanaman R 0 tersebut selanjutnya diambil contoh daunnya untuk dianalisis DNA-nya dengan teknik PCR menggunakan sepasang primer spesifik untuk gen pinII. Hasil analisis molekuler menunjukkan bahwa hanya satu sampel tanaman yang menghasilkan pita sebesar 600 bp (positif), yaitu AT1 (Tidar), sehingga tanaman ini kemungkinan besar mengandung gen pinII. Delapan sampel tanaman Wilis (AW1-AW8) tidak satu pun menghasilkan pita 600 bp (negatif), sehingga tanaman tersebut kemungkinan besar tidak mengandung gen pin II (Gambar 4). Walaupun kedelapan tanaman tersebut telah lolos pada media seleksi yang mengandung kanamisin 200 mg/l, kemungkinan besar tanaman tersebut escaped atau terhindar dari seleksi. Hal ini dimungkinkan karena regenerasi pada proses ini melalui embriogenesis somatik dan media yang digunakan berbentuk padat. Embrio somatik dapat berasal dari satu sel yang kebetulan tidak terseleksi oleh kanamisin, lalu tumbuh menjadi embrio dan berkembang menjadi planlet/ tanaman.

Saptowo J. Pardal et al.

600 bp

9 10 11 12 13

Gambar 4. Hasil PCR sampel DNA tanaman kedelai R 0 hasil transformasi dengan gen pin II melalui Agrobacterium tumefaciens ; M = 1kb, 1 = air, 2 = AT 1 , 3-10 = AW 1 -AW 8, 11 = gen pin II, 12 = Tidar nontransformasi, 13 = Wilis nontransformasi. Fig. 4. PCR product of plant DNA of R o soybean transformant containing pin II gene through Agrobacterium tumefaciens ; M = 1kb, 1 = water, 2 = AT 1, 3-10 = AW 1-AW 8, 11 = pin II gene, 12 = Tidar nontransformant, 13 = Wilis nontransformant.

Bioasai tanaman kedelai AT1 R1 terhadap Etiella sp. Uji bioasai dimaksudkan untuk mengetahui ekspresi gen sisipan pada tanaman hasil transformasi. Makin tinggi tingkat ekspresi gen sisipan, makin tinggi tingkat ketahanan tanaman terhadap hama/penyakit target. Tiga puluh tanaman kedelai AT 1R 1 (progeni dari event AT1) dibioasai terhadap larva penggerek polong yang baru menetas. Secara umum, tanaman AT 1R 1 tergolong peka terhadap serangan Etiella sp. dengan rata-rata polong terserang 58,8% dan biji terserang 84,3% (Tabel 3). Namun apabila dibandingkan dengan tanaman kedelai Tidar nontransgenik (kontrol), tanaman hasil transformasi masih sedikit lebih tahan terhadap hama penggerek polong. Serangga dari ordo Lepidoptera bergantung pada serine proteinase (tripsin, kimotripsin, dan estalase)

Tabel 3. Hasil uji bioasai tanaman kedelai R 1 (WP 2 dan AT 1 ) terhadap larva Etiella zinckenella di FUT BB-Biogen. Table 3. Bioassay on AT 1 R 1 soybean plants to Etiella zinckenella larvae in the biosafety containment of BB-Biogen, Bogor. Jumlah tanaman Plant n u mb e r 30 nontransformasi 3 Jumlah sampel polong Number of pod sample 20 10 Rata-rata polong terserang Average of infected pod (%) 58,8a 95,5 Rata-rata biji terserang Average of infected seed (%) 84,3b 80,3 Rata-rata ketahanan tanaman Average of plant resistance Peka Sangat peka Event terbaik Best event AT 1-11

Kode tanaman Plant code

AT 1 Tidar

Keterangan: Korelasi serangan polong dan biji pada AT 1 negatif ( > 0,05). Notes: Correlation between pod and seed damages on event AT 1 were negative ( > 0.05 ).

Transfer gen proteinase inhibitor II pada kedelai ...

27 KESIMPULAN Transfer gen pinII pada tanaman kedelai telah berhasil dilakukan melalui A. tumefaciens dengan dihasilkannya satu event tanaman AT 1 (Tidar) yang menunjukkan hasil PCR positif terhadap gen pin II. Protokol terbaik untuk transformasi kedelai melalui A. tumefaciens adalah menggunakan eksplan kotiledon muda dengan kerapatan bakteri 1 x 108 sel/ml, lama inokulasi 90 menit, dan lama kokultivasi 5 hari. Tanaman kedelai AT1R1 (Tidar) hasil transformasi melalui A. tumefaciens sedikit lebih tahan terhadap hama penggerek polong daripada tanaman kedelai nontransgenik (konrol). DAFTAR PUSTAKA
Akib, W. dan D. Baco. 1985. Ketahanan varietas kedelai terhadap penggerek polong Etiella zinckenella (Trietsche). Prosiding Simposium Hama Palawija. Perhimpunan Entomologi Indonesia Cabang Bandung. Balai Penelitian Tanaman Pangan Sukamandi. hlm. 58-62. Bahagiawati, A.H. 2000. Peranan dan potensi dietary insecticidal protein dalam rekayasa genetika tanaman tahan hama. Buletin Agro. Bio. 3(2): 74-79. Broadway, R.M. and S.S. Duffey. 1986. The effect of dietary protein on the growth and digestive physiology of larval Heliothis zea and Spodoptera exigua . J. Insect Physiol. (32): 673-680. Djuwarso, T., D.M. Arsyad, Asadi, and A. Naito. 1994. Evaluation of soybean resistance to Etiella podborer. In Effective Use of Agricultural Materials and Insect Pest Control on Soybean. Report on CRIFC-JICA Research Cooperation Program 1991-1994. Bogor Research Institute for Food Crops-JICA. p. 21-32. Finer, J.J. 1988. Apical proliferation of embryogenic tissue of soybean (Glycine max [L.]Merril). Plant Cell Rep. (7): 238-241.

sebagai proteinase utama untuk mendapatkan asam amino dari protein yang dimakannya. Enzim proteinase mengkatalis pemecahan protein yang dimakan oleh serangga untuk mendapatkan asam amino yang penting bagi pertumbuhan normal serangga (Bahagiawati 2000). Proteinase inhibitor II (pinII) merupakan salah satu contoh senyawa penghambat (inhibitor) kerja enzim serine proteinase khususnya tripsin dan kimotripsin dari serangga Lepidoptera (Bahagiawati 2000). Jhonson et al. (1990) dan Ryan (1990) melaporkan bahwa apabila gen pin II berhasil ditransfer ke dalam kromosom tanaman dan mampu diekspresikan, maka serangga yang memakan bagian dari tanaman transgenik tersebut akan terganggu sistem pencernaannya, terhambat pertumbuhannya dan akhirnya mati jika tingkat penghambatan pencernaan protein relatif tinggi. Gambar 5 menyajikan perbedaan antara polong kedelai yang sehat (tahan) dan yang terserang (peka) larva penggerek polong. Polong yang tahan memperlihatkan biji yang utuh, tanpa ada bekas gerekan larva (Gambar 5b), sebaliknya pada polong yang peka, bijinya rusak atau hampir habis dimakan oleh larva penggerek polong (Gambar 5c). Mekanisme kerja gen pin berbeda dengan protein racun pada gen cry (Bt). Gen pin hanya menghambat pertumbuhan serangga, bukan meracuni seperti pada gen Bt. Oleh karena itu, untuk mematikan larva Etiella sp. diperlukan ekspresi gen pinII yang sangat tinggi. Dari Tabel 3 dapat dilihat bahwa rata-rata ketahanan dari individu tanaman AT1R1 hanya memperlihatkan ketahanan peka walaupun kedua event ini telah menunjukkan hasil PCR positif terhadap gen pin II. Diduga tingkat ekspresi gen pinII pada event ini sangat rendah.

Gambar 5. Hasil bioasai tanaman kedelai AT 1R 1 terhadap larva Etiella zinckenella ; a = polong yang telah diinfestasi larva Etiella sp., b = polong tanaman R 1 yang tidak terserang, c = polong tanaman kontrol yang terserang. Fig. 5. Bioassay of soybean AT 1R 1 using Etiella zinckenella larvae; a = pod infested with Etiella sp., b = healthy pod (no damages), c = damaged pod on control plant.

28
Finer, J.J. and A. Nagasawa. 1988. Development of an embryogenic suspension culture of soybean (Glycine max) . Plant Cell, Tissue and Organ Culture (15): 125-136. Gamborg, O.L., R.A. Miller, and K. Ojima. 1968. Nutrient requirements of soybean root cells. Exp. Cell Res. (50): 151-158. Hartweck, L.M., P.A. Lazzeri, D. Cui, G.B. Collin, and E.G. Williama. 1988. Auxin orientation effect on somatic embryogenesis from immature soybean cotyledons. In Vitro Cel. Dev. Biol. (24): 821-828. Hinchee, M.A.W., D.V. Connor-Ward, C.A. Newell, R.E. Mc Donell, S.J. Sato, C.S. Gasser, D.A. Fischoff, D.B. Re, R.T. Fraley, and R.B. Horsch. 1988. Production of transgenic soybean plants using Agrobacterium mediated DNA transfer. Bio. Tech. 6: 915-922. Ignacimuthu, S. 1997. Plant Biotechnology. Science Publishers Inc. Hampshine. p. 204-208. Jefferson, R.A. 1987. Assaying chimeric genes in plants: the GUS gene fusion system. Plant Mol. Biol. Rep. 5: 387-405. Jhonson, R., J. Narvaez, Ang, and C.A. Ryan. 1990. Expression of proteinase inhibitors I and II in transgenic tobacco plants: effects on natural defence against Manduca sexta larvae. Proc. Natl. Acad. Sci. USA (86): 9871-9875. Listanto, E., S.J. Pardal, and K. Wang. 1996. A simple method of DNA isolation from transgenic maize plant for polymerase chain reaction. Indon. J. Agric. Biotechnol. 1(1): 33-38. Mariska, I., S. Hutami, M. Kosmiatin, A. Husni, W.H. Adil, and Y. Supriyati. 2001. Somatic embryogenesis in different soybean varieties. Proceedings of Workshop on Soybean Biotechnology for Al Tolerant in Acid Soils and Disease Resistance. Central Research Institute for Food Crops Biotechnology, Bogor. p. 34-45. Murashige, T. and F. Skoog. 1962. A revised medium for rapid growth and bio-assays with tobacco tissue cultures. Physiol. Plant (15): 473-497. Newell, C.A., J.M. Lowe, A. Merryweather, L.M. Rooke, and W.D.O. Hamilton. 1995. Transformation of sweet potato (Ipomea batatas [L.] Lam.) with Agrobacterium tumefaciens and regeneration of plants expressing cowpea trypsin inhibitor and snowdrop lectin. Plant Sci. (107): 215-227. Nurdin, F., F. Artati, dan Atman. 1995. Hama penggerek polong kedelai (Etiella spp. ) : Biologi, serangan dan pe-

Saptowo J. Pardal et al. ngendaliannya. Buletin Teknik Sukarami, Balai Penelitian Tanaman Pangan Sukarami (8): 9-18. Pardal, S.J., G.A. Wattimena, M.F. Masyhudi, dan S. Harran. 1994. Pengaruh umur embrio dan genotipe tanaman terhadap pertumbuhan kultur embrio muda kedelai. Zuriat 5(2): 51-56. Pardal, S.J., D.R Untari, A. Sisharmini, D. Rijadi, dan M. Herman. 1997. Regenerasi kedelai secara in vitro. Prosiding Seminar Perhimpunan Bioteknologi Pertanian Indonesia (PBPI), Surabaya. PBPI, Bogor. hlm. 27-38. Parrott, W.A., L.M. Hoffman, D.F. Hildebrand, E.G. Williams, and G.B. Collins. 1989. Recovery of primary transformant soybean. Plant Cell Rep. (7): 615-617. Ryan, C.A. 1990. Proteinase inhibitors in plants: genes for improving defenses against insects and pathogens. Ann. Rev. Phytopathol. (28): 425-449. Shukle, R.H. and I.L. Murdock. 1983. Lypogenase, trypsin inhibitor, and lectin from soybeans: Effect on larval growth of Manduca sexta (Lepidoptera: Sphingidae). Environ. Entomol. 12: 787-791. Siswanto, A. Budiani, T. Chaidamsari, dan A. Darussamin. 1997. Ekspresi gen transien GUS pada tahap awal transformasi genetik tanaman kopi melalui Agrobacterium tumefaciens . Prosiding Seminar Perhimpunan Bioteknologi Pertanian Indonesia. Surabaya. hlm. 149-157. Steffens, R., F.R. Fox, and Kassell. 1978. Effect of trypsin inhibitors on growth and metamorphosis of corn borer larvae, Ostrinia nubilalis (Hubner). J. Agric. Food Chem. (26): 170-174. Tengkano, W. dan M. Soehardjan. 1985. Jenis hama utama pada berbagai fase pertumbuhan tanaman kedelai. Dalam S. Somaatmadja, M. Ismunadji, Sumarno, M. Syam, S.O. Manurung, dan Yuswadi (Ed.). Kedelai. Pusat Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Bogor. Xu, D., Q. Xue, D. Mc Elroy, Y. Mawal, V.A. Hilder, and R. Wu. 1996. Constitutive expression of cowpea trypsin inhibitor gene, CpTi , in transgenic rice plants confers resistance to two major rice insect pests. Mol. Breed. (2): 167-173. Zambryski, P., J. Tempe, and J. Schell. 1989. Transfer and function of T-DNA genes from Agrobacterium Ti and Ri plasmid in plants. Cell 50: 193-201.

You might also like