6 Pengaruh Persia Pada Sastra Dan Seni Islam Nusantara1

You might also like

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 11

Jurnal Al-Qurba 1(1): 129-139, 2010

Pengaruh Persia Pada Sastra dan Seni Islam Nusantara


Agus Sunyoto1
1

Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Brawijaya, Malang. Email: dewasimha@yahoo.com

Abstract Many of the early Islam preachers came from Persia, and today, their influence can be found in social and cultural aspect of Indonesian society. This paper discusses Persian Islams influence in Indonesian archipelago, particularly in language, literary works, and art show. In language, many Persian words have been absorbed by Indonesian such as : nakhoda, tamasya, saudagar, pasar, syahbandar, pahlawan, kismis, anggur. The most prominent example of Persian influence in literary works is in Serat menak. Although it has various types, such as Menak Sarehas, Menak Lare, Menak Sulub, Menak Serandhil, Menak Kuristan, Menak Kanjun, Menak Kandhabumi, and Menak Jobin, all of them have the same story source, Amir Hamzah, Prophets unlcle who was in conflict with Gemblung Marmaya (Umayyah). In art show, the influence can be seen in Wayang; such as Wayang Krucil and Wayang Tengul in Java. Keywords: Persia, Indonesian archipelago, art, language Penyebaran Islam di Kalangan Pedagang dan Alawiyin Pemeluk Islam sudah masuk ke Indonesia sejak pertengahan abad ke-7 Masehi, sejaman dengan era kekuasaan Khalifah Utsman bin Affan. Yang paling awal membawa seruan Islam ke Nusantara adalah para saudagar Arab, Persia dan India yang sudah membangun jalur perhubungan dagang dengan Nusantara jauh sebelum Islam (Wheatley, 1961). Sebuah cerita kehadiran saudagar Persia (tazhi) pada masa kekuasaan Ratu Simha di Kerajaan Kalingga, diberitakan sumber-sumber Cina Dinasti Tang (Groeneveldt, 1960). 129

Sunyoto, A. Pengaruh Persia Pada Sastra dan Seni Islam Nusantara

S.Q. Fatimi (1963) mencatat bahwa pada abad ke-10 Masehi, terdapat migrasi suku-suku dari Persia ke Indonesia yaitu suku Lor, Yawani dan Sabangkara. Orang-orang Lor mendirikan pemukiman-pemukiman di pantai utara Pulau Jawa yang disebut Loram dan Leran. Terdapatnya makam Fatimah binti Maimun bin Hibatallah di Leran, Gresik, yang kronogram di batu nisannya menunjuk angka tahun 475 H/ 1082 M adalah petunjuk yang mengarah kepada kebenaran berita kehadiran suku Lor tersebut. Dalam Kitab Musarar Babon Saka ing Rum yang terdapat dalam Primbon Ramal Jayabaya susunan R Tanoyo (1956), diungkapkan bahwa dalam usaha mengisi Pulau Jawa yang masih dihuni jin, siluman, brekasakan, dan berjenis-jenis makhluk halus yang lain, Sultan al-Gabah, penguasa negeri Rum (istilah orang Jawa untuk menyebut Persia-pen) mengirim 20.000 keluarga muslim Rum ke Pulau Jawa di bawah pimpinan Patih Amirul Syamsu dan Jaka Sengkala. Mereka tinggal di Gunung Kendheng di pantai utara Jawa. Dikisahkan bahwa ke-20.000 keluarga muslim itu diserang makhluk-makhluk halus, banyak yang mati dan yang tersisa hanya 200 keluarga. Mendapat laporan itu, Sultan al-Gabah marah dan mengirim ulama, orang sakti dan syuhada ke Jawa untuk memasang tumbal guna mengusir makhluk-makhluk halus. Akibat keampuhan tumbal para ulama, orang sakti dan syuhada itu, terjadi pralaya di Jawa. Catatan yang tergolong historiografi ini, adalah rekaman sejarah masyarakat Jawa yang terkait dengan kehadiran suku Lor asal Persia, yang tinggal di tempat bernama Loram (nama tempat kuno di Kudus, Jawa Tengah pen) dan Leran (nama tempat kuno di Tuban dan Gresik, Jawa Timur pen), yang secara historis dapat dihubungkan dengan peristiwa pralaya di Jawa pada tahun 928 Saka (1006 M). Menurut Syihabuddin Akhmad Abdulwahab dalam Nihayah al-Arab (dalam Atjeh, 1985) Di sebelah timur Tiongkok ada enam pulau yang dinamakan kepulauan Sila. Penduduknya adalah golongan Alawiyin yang datang ke tempat itu karena melarikan diri dari golongan Bani Umayah. Penjelasan ini mengindikasikan bahwa Islam tersebar di sekitar Tiongkok semenjak dinasti Umayyah memburu golongan Alawiyyin pada akhir abad ke-7 Masehi. Dalam Taiping Yulan juga disebutkan kehadiran 500 keluarga Hu (Persia) di kerajaan Dun-sun di Semenanjung Malaysia (Wheatley, 1961) pada pertengahan abad 130

Jurnal Al-Qurba 1(1): 129-139, 2010

ke-7 Masehi. Digambarkan pula tentang banyaknya kapal Persia pada abad tersebut yang berdagang ke Cina, dan salah satu kapal tersebut dinaiki peziarah Buddhis Yijing yang akan ke India, di mana Yijing bertemu dengan orang bernama Persia (Hu) di Kedah (Wolters, 1967). Tersebarnya Islam yang dibawa golongan Alawiyin di sekitar Tiongkok sejak abad ke-7, kita ketahui dari catatan Masudi tentang keberadaan saudagar-saudagar muslim dari Basrah, Siraf, Oman, dan kota-kota India yang berniaga dengan saudagar-saudagar beragama lain di kota Kanton, Tiongkok pada abad ke-9. Namun akibat serangan tentara pemberontak Huang Chao pada tahun 879 Masehi, sekitar 200.000 orang muslim, Nasrani, Yahudi, dan Majusi tewas oleh senjata atau tenggelam dalam air ketika mereka berlarian dikejar-kejar (Meynard, 1962). Hancurnya masyarakat dagang muslim di Kanton tidak bermakna hilangnya pengaruh Islam di Kanton. Meski lambat, Islam terus berkembang di Kanton,Yangchouw dan Chanchou. Pada tahun 1386 M, terjadi pengungsian besar-besaran penduduk muslim Cina dari Kanton, Yangchou dan Chanchou ke selatan dan menghuni pantai utara Jawa dan pantai Timur Sumatera. Ketika tahun 1405 M Cheng Ho datang ke Jawa, diketahui bahwa di Tuban, Gresik dan Surabaya terdapat masing-masing 1000 orang keluarga Cina muslim (Groeneveldt, 1960). Menurut Parlindungan (2007) muslim Cina di Indonesia menganut mazhab Hanafi, di mana Imam Abu Hanifah pendiri mazhab Hanafi itu diketahui menerima semua pendapat Imam Jafar Shadiq kecuali tiga perkara (Aceh, 1988). Pengaruh Pada Bahasa Nusantara Persinggungan antara para pedagang dan golongan Alawiyin yang kebanyakan dari Persia dengan penduduk Nusantara semenjak abad ke-7, dapat diasumsikan mengakibatkan terjadinya proses saling pengaruh dalam aspek ekonomi, sosial, budaya, religi, dan terutama bahasa di antara keduanya. Dalam konteks bahasa, pengaruh Persia di Nusantara cukup signifikan karena tidak saja sejumlah kata Persia diserap menjadi kosa kata Nusantara, melainkan pola peminjaman kata Arab pun dicapai melalui bahasa Persia, yang kadang-kadang lewat bahasa India pengaruh Persia. Menurut Robert N. Bellah 131

Sunyoto, A. Pengaruh Persia Pada Sastra dan Seni Islam Nusantara

(1970), Islam datang ke Indonesia setelah melewati proses akulturasi dengan warisan Budaya Persia, atau lebih luas lagi, Iran (orang-orang Arya), sebagaimana tampak dalam gaya arsitektur bangunan, kesenian, sastra, ilmu pengetahuan yang menunjuk pada suatu kombinasi berbagai unsur peradaban yang berintikan warisan-warisan budaya Irano-Semitis. Para penyelidik kesusasteraan Indonesia pengaruh Islam, khususnya sarjana-sarjana Barat apabila membahas sumber kesusasteraan Indonesia lama pengaruh Islam kebanyakan merujuk kepada sumber-sumber Parsi dan India (Hamid, 1989). Pengaruh Persia dan India ini memang kelihatan sekali jejakjejaknya, baik dalam penggunaan kosa kata maupun karya-karya sastra. Beg (1982) yang meneliti sejumlah kamus bahasa Melayu menemukan sedikitnya terdapat 77 kosa kata Persia yang beredar dan digunakan di Nusantara. Beberapa contoh yang paling dikenal, menurut Beg, adalah kata kanduri (kenduri), astana (istana), bandar (pelabuhan), bedebah, biadab, bius, diwan (dewan), gandum, jadah (anak haram), lasykar, nakhoda, tamasya, saudagar, pasar, syahbandar, pahlawan, kismis, anggur, takhta, medan, firman, dsb. Pengaruh Persia yang kuat dalam kebahasaan di Nusantara, yang berhubungan dengan Islamisasi adalah sistem pengajaran membaca Al-Quran yang menggunakan istilah-istilah berbahasa Persia untuk menyebut harokat (vokal) dalam bahasa Arab seperti istilah Jabar untuk fatkhah, Jer (Zher) untuk kasroh dan Pes (Fyes) untuk dlomma. Menurut Nurcholis Madjid (1987), bahasa Indonesia banyak sekali mengandung kata-kata pinjaman dari bahasa Persia. Hampir semua kata Arab dalam bahasa Indonesia dipinjam dari dan melalui bahasa Persia. Ini bisa dibuktikan dari kasus ta marbuthah (huruf t, yang kalau berhenti, berubah bacaannya menjadi seperti h, dan kalau disambung dengan huruf hidup tetap berbunyi t ta maftuhah). Hampir semua kata Arab dalam bahasa Indonesia dengan akhiran ta marbuthah dibaca (dalam waqaf) sebagai t seperti: adat, berkat, dawat, hajat, jemaat, kalimat, masyarakat, niat, rahmat, sifat, tobat, warkat, zakat, dsb. Masuknya kosa kata Persia dalam bahasa Nusantara itu secara berangsur-angsur diikuti masuknya karya sastra karya sastra terjemahan dari bahasa Persia dan India seperti Qissah Insyiqaq al-Qamar (Hikayat Bulan Terbelah, yang mengisahkan 132

Jurnal Al-Qurba 1(1): 129-139, 2010

mukjizat Nabi Muhammad Saw), Rawdat al-Ahbab (Hikayat Nur Muhammad, yang mengisahkan cahaya kenabian yang mulamula dicipta Allah dari cahaya-Nya), Wafat Nameh (Hikayat Nabi Wafat), Qissah Wassiyah al-Mustafa li Imam Ali (Hikayat Nabi Mengajar Imam Ali), Qissah Amir al-Muminin Hasan wa Husain (Hikayat Amir al-Mukminin Hasan dan Husain), Qissah i Ali Hanafiah (Hikayat Muhammad Hanafiah, mengisahkan kepahlawanan putra Ali bin Abi Thalib dengan perempuan dari kabilah Hanafiyah), Qissa i Emir Hamza (Hikayat Amir Hamzah, mengisahkan kepahlawanan Hamzah bin Abdul Muthalib, paman Nabi Muhammad Saw), Qissas al-Anbiya (Hikayat Nabi-nabi), Qissa i Bakhtiar (Hikayat Bakhtiar), Tutinameh (Hikayat Bayan Budiman), Keratako wa Damanakala (Hikayat Kalilah dan Daminah), dan sebagainya (Harrison, 1955; Winstedt, 1920 & 1968; Ronkel, 1895 & 1932; Brakel, 1975; Dunia, 1969). Pengaruh Pada Sastra Islam Nusantara Di tengah arus masuknya karya sastra terjemahan Persia, terjadi perkembangan dalam karya sastra Islam berbahasa Melayu yang terpengaruh sastra Persia yang ditulis alim ulama seperti Nuruddin ar-Raniri dengan karyanya Bustan al-Salatin, Bukhari al-Jauhari dengan karyanya Taj al-Salatin, Abdul Rauf Singkel dengan karyanya Syair Marifah, dan Hamzah Fanzuri dengan karyanya Syair Perahu yang termasyhur yang menjadikannya dianggap sebagai bapak kesusasteraan Melayu modern (Fang, 1975; Dipodjojo, 1975; Al-Attas, 1972). Sementara itu, sedikit berbeda dengan di Sumatera dan Semenanjung Malaya, karya sastra bernafaskan Islam yang menyebar di kawasan pesisir utara Jawa biasanya berbentuk tembang atau gancaran, di antaranya: Serat Anbiya, Serat Pepali, Serat Menak, Suluk, Serat Raja Pirngon (Sedyawati, 2001). Berbeda pula dengan sastra Melayu pengaruh Islam yang ditandai munculnya naskah-naskah terjemahan dari bahasa Persia dan India, sastra Jawa pengaruh Islam hanya sebagian kecil mengambil naskah-naskah terjemahan. Bagian terbesar sastra Jawa pengaruh Islam berisi kisah-kisah lokal yang berkaitan dengan tokoh-tokoh muslim dan latar kehidupan setempat seperti Serat Jayalengkara, Serat Jatiswara, Serat Sastra Gending, Serat Jenggalamanik, Serat Kramaleya, Serat 133

Sunyoto, A. Pengaruh Persia Pada Sastra dan Seni Islam Nusantara

Syekh Jangkung, dan Serat Cabolek. Bahkan selama periode Mataram pada abad ke-16 yang dilanjutkan periode Surakarta pada abad ke-18, kesusasteraan yang ditulis pujangga-pujangga muslim mengambil latar dan tokoh lokal yang bukan muslim seperti Nawaruci, Serat Rama, Serat Arjunasasrabahu, Serat Anglingdarma, Serat Mintaraga, Serat Bima Swarga, Dahyang Saloka, Serat Panji yang diinterpolasi dengan ajaran Islam. Meski cenderung pada kisah-kisah lokal, pengaruh sejumlah naskah terjemahan Persia dan India juga berkembang dan digemari masyarakat Jawa. Serat Menak yang merupakan naskah terjemahan -- di Jawa berkembang dengan berbagai jenis lakon-lakonnya seperti Menak Sarehas, Menak Lare, Menak Sulub, Menak Serandhil, Menak Kuristan, Menak Kanjun, Menak Kandhabumi, Menak Jobin, Menak Ngambarkustup, Menak Kalakodrat, Menak Kuwari, Menak Cina, Menak Malebari, Menak Purwakandha, Menak Sorangan, Menak Jaminambar, Menak Lakat, dsb. Meski berbeda-beda judul, namun intisari cerita Menak berpijak pada kisah tokoh utama bernama Amir Ambyah putera Abdul Mutalib, seorang bangsawan di Makkah. Amir Ambyah ditampilkan sebagai pahlawan Islam yang berperang dari satu negeri ke negeri lain untuk menyebarkan Islam. Cerita Menak Amir Ambyah bersumber dari Hikayat Amir Hamzah berbahasa Melayu, di mana Hikayat Amir Hamzah berbahasa Melayu sendiri merupakan naskah terjemahan sastera Persia berjudul Qissa i Emir Hamza, sebuah epos Persia yang meriwayatkan tokoh Amir Hamzah (van Ronkel, 1895). Tokoh Amir Ambyah dalam Serat Menak sebenarnya merupakan penggambaran tokoh sejarah Hamzah bin Abdul Muthalib (paman Nabi Muhammad yang gugur dalam Perang Uhud-pen) sebagai pahlawan gagah perkasa tanpa tanding. Menurut Resowidjojo (1941) tokoh Amir Ambyah dalam cerita Menak diberi banyak nama antara lain Wong Agung Jayengrana, Wong Agung Menak, Jayeng Jurit, Jayeng Laga, Jayeng Satru, Amir Mukminin, Menak Amir, Jayadimurti, Wiradimurti, Jayeng Resmi, Palugon, Palugangsa, Retnaning Jurit, Kamidil Ngalam, Karabul Maunun. Amir Ambyah dikisahkan memiliki banyak isteri dan anak, hasil perkawinan denganputeri-puteri raja dari berbagai negeri. Dari pernikahan dengan Retna Muninggar (Mihrnigar) puteri Prabu Nusirwan 134

Jurnal Al-Qurba 1(1): 129-139, 2010

(Anushirwan) dari negeri Medayin lahir putera bernama Kobat Sarehas (Qobat Shehriar); dengan Dewi Marpinjun adik Retna Muninggar diperoleh putera bernama Rustamaji; dengan Dewi Ismayawati puteri Prabu Tamimasar (Tamim Azhar) dari negeri Ngajrak lahir Dewi Kuraisin (Quraisyin); dengan Dewi Kelaswara puteri Prabu Kelan Jajali raja Kaelani lahir Iman Suwangsa (Badiuz Zaman); dengan Dewi Sudarawreti puteri Prabu Perid (Farizh) raja Parang Akik adik Prabu Kanjun lahir putera bernama Jayusman; dengan Dewi Sekar Kedhaton puteri Prabu Asan Asir (Hasan al-Misri) raja Mesir lahir putera bernama Umar Mesir atau Maryunani; dengan Dewi Retna Kisbandi anak Prabu Kemar Raja Kuwari lahir putera bernama Hasim Kuwari (Hasyim al-Quwairy); dengan puteri raja Burudaging di negeri Rum lahir putera bernama Hasim Katamsi; dengan Dewi Robingu Sirtupelaeli dari negeri Karsinah, Amir Ambyah tidak memiliki putera. Pengaruh Pada Seni Pertunjukan Serat Menak Amir Ambyah di Jawa meski ditulis dalam naskah-naskah tulisan, tetapi sering divisualisasi dalam bentuk pertunjukan wayang krucil atau wayang tengul. Melalui seni pertunjukan itu, Serat Menak Amir Ambyah yang bersumber pada sastra Persia berjudul Qissa i Emir Hamza yang sarat memuat pandangan-pandangan dan gagasan-gagasan yang berpihak kepada keluarga Nabi Muhammad Saw, dikenal dan diterima oleh hampir seluruh masyarakat Jawa di pesisir dan pedalaman, bahkan berkembang sampai ke Nusa Tenggara Barat. Dalam sejumlah lakon, tokoh Amir Ambyah dikisahkan sering terlibat perselisihan dengan mertuanya; Raja Nusirwan yang masih kafir. Ia sering pula dikisahkan berselisih dengan tokoh Jemblung Marmaya (Omar Umayah) yang digambarkan sebagai tokoh berperut buncit (jemblung) berwajah jelek. Tokoh Amir Ambyah angat dikagumi masyarakat. Popularitas Serat Menak di kalangan masyarakat Jawa pada abad ke-19 dan ke-20 sedikitnya terlihat dengan digunakannya nama-nama tokoh Menak seperti Amir, Ambyah, Maktal, Jumiril, Lukman, Tamtanus, Jayusman, Kuraisin, Sulasikin, Sudarawerti, Muninggar, Kadarwati (Yosodipuro, 2002) untuk menamai anakanak mereka. Akibat populernya tokoh Amir Ambyah, tidak satu 135

Sunyoto, A. Pengaruh Persia Pada Sastra dan Seni Islam Nusantara

pun masyarakat Jawa yang berkenan menamai anaknya dengan meminjam nama tokoh antagonis Jemblung Marmaya (Omar Umayah) yang digambarkan sangat tidak simpatik, baik fisik maupun perangainya. Kemasyhuran cerita Amir Ambyah yang di Jawa sering dipergelarkan melalui media wayang krucil atau wayang tengul, berkembang pula di Nusa Tenggara Barat melalui media wayang Sasak. Bentuk wayang Sasak hampir menyerupai wayang gambuh, terbuat dari bahan kulit yang ditatah dan disungging. Dasar cerita yang digunakan adalah hikayat Amir Hamzah. Kata Sasak merupakan sebutan lain dari Pulau Lombok; jadi yang dimaksud di sini ialah wayang dari Pulau Lombok (Haryanto, 1988). Demikianlah, sastra Islam yang terpengaruh Persia berkembang menjadi seni pertunjukan di berbagai daerah dan memberikan pengaruh yang tidak kecil dalam proses dakwah Islam di Nusantara. Sementara itu penyebaran nilai-nilai Islam lewat jalur seni dilakukan melalui pengembangan asimilatif antara seni budaya setempat seperti wayang beber (karebet), wayang kulit (ringgit purwa), wayang klithik, wayang gedog, wayang Demak, banyolan (mabanyol), pelawak (mamirus), tari-tarian (nirtya), tembang gede, kidhung, macapat dengan seni budaya Islam yang berasal dari Persia, India, Campa, Cina, dan Arab. Satu hal pasti dari pengaruh Islam dari Persia dan India yang diketahui mempengaruhi lahirnya sejumlah seni tradisional tampak pada kesenian wayang klithik (yang membawakan cerita-cerita Menak), wayang purwa (membawakan cerita Ramayana dan Mahabharata), kentrung (menuturkan kisah para wali penyebar Islam), jemblung (membawakan cerita Menak), genjring (seni sulap bernuansa mistis), debus (seni kekebalan berasal dari tarikat Rifaiyyah), terbang jidor (pengiring pembacaan shalawat), dan shalawatan. Menurut Simuh (1988) di Jawa pengaruh Islam aliran Syiah terlihat sekali dalam proses Islamisasi melalui seni seperti terlihat pada pertunjukan sandhul, yakni suatu seni yang menggambarkan peperangan antara Imam Ali bin Abi Thalib melawan Muawiyyah. Perayaan hari Asyura pada tanggal 10 Muharram yang dirayakan dengan sajian nasi-bubur adalah selamatan dan peringatan bagi imam Husain (cucu Nabi Muhammad Saw) yang terbunuh dalam perang di Karbala tahun 136

Jurnal Al-Qurba 1(1): 129-139, 2010

680 Masehi. Simpulan Simuh bahwa seni Sandhul adalah pengaruh Islam Syiah, tentu berhubungan dengan Cerita Menak lakon Amir Ambyah, yang menggambarkan tokoh Amir Hamzah bin Abdul Munthalib yang sering berselisih dengan tokoh Jemblung Marmaya (Omar Umayah). Itu berarti, baik seni sandhul maupun cerita Menak, sama-sama menggambarkan kisah perselisihan abadi antara Bani Munthalib dengan Bani Umayyah yang direpresentasikan dalam kisah peperangan Imam Ali melawan Muawiyah maupun perselisihan Hamzah bin Abdul Muthalib melawan tokoh Umayyah, yang secara psikologis hal tersebut mempengaruhi struktur mental (habitus) masyarakat muslim di Nusantara. Dewasa ini, di tengah derasnya pengaruh sastra Barat dengan berbagai alirannya mulai aliran realisme sosial sampai humanisme -- yang melanda Indonesia lewat novel, roman, cerita pendek, naskah drama, sampai film memberi kesan seolah-olah sastra di Indonesia sudah menjadi sastra Barat. Namun dengan memahami bahwa Persia pernah menanamkan pengaruh pada sastra dan seni di Nusantara, yang memiliki peranan dalam pembentukan struktur mental (habitus), tentunya pengaruh tersebut tidak lenyap sama sekali. Sebab setiap kali hal baru datang, maka akan bersinggungan dengan hal-hal lama. Hal itu setidaknya terlihat pada kemunculan buku-buku terbitan baru yang memuat cerita-cerita Persia seperti Shahnameh atau film Prince of Persia, yang cukup mendapat respon positif dari masyarakat Indonesia. Itu berarti, ke depan nanti sastra Persia lama dan modern bisa dijadikan alternatif dalam pengembangan sastra di Indonesia, sebagai tandingan bagi sastra Barat yang sudah terlalu hegemonis. Daftar Pustaka Al-Attas, Syed M. Naguib, (1972), Islam Dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu, Kuala Lumpur: Universiti Kebangsaan Malaysia. Atjeh, Aboebakar, (1985), Sekitar Masuknya Islam ke Indonesia, Solo: Ramadhani, (cet.ke-5) ______________,(1988), Syiah: Rasionalisme Dalam Islam (cet.ke-5), Solo: Ramadhani. 137

Sunyoto, A. Pengaruh Persia Pada Sastra dan Seni Islam Nusantara

Beg, Muhammad Abdul Jabbar, (1982), Persian and Turkish LoanWords in Malay, Kuala Lumpur: Universiti Kebangsaan Malaysia. Bellah, Robert N. (1970), Beyond Belief, New York : Harper & Row. Brakel, L.F. (1975), The Hikayat Muhammad Hanafiyyah: A Medieval Moslem-Malay Romance, The Hague: Martinus Nijhoff. Dipodjojo, Asdi S.(1975), Kesusasteraan Indonesia Lama Pada Zaman Islam, Yogyakarta: IKIP. Dunia, Ghazali,(1969), Langgam Sastera Lama, Kuala Lumpur: Oxford University Press. Fang, Liaw Yaock,(1975), Sejarah Kesusasteraan Klasik, Singapura: Pustaka Nasional. Fatimy, S.Q. (1963), Islam Comes to Malaysia, Singapore: Malaysian Sociological Research Institute. Groeneveldt, W.F. (1960), Historical Notes on Indonesia and Malaya, Compiled from Chinese Sources, Djakarta: Bhratara. Hamid, Ismail. (1989), Kesusasteraan Indonesia Lama Bercorak Islam, Jakarta: Pustaka Al-Husna. Harrison, G.E. (1955), Persian Influence in Malay Life, JMBRAS, 28, I, hal.65. Madjid, Nurcholis,(1987), Islam: Kemodernan dan Keindonesiaan, Bandung: Mizan. Meynard, Barbier de & Pavet de Courteille (disunting.Ch.Pellat), (1962), Masudi: Les Prairies dor, 9 jilid, Paris: Societe Asiatique. Parlindungan, M.O, (2007), Tuanku Rao, Yogyakarta: LKiS. Resowidjojo,(1941), Serat Menak, register, Djakarta: Balai Pustaka. Ronkel, Ph.S. van,(1895), De Roman van Amir Hamzah, Leiden: E.J.Brill. ______________, (1932), Malay Tale About the Conversion Jews and Christians to Muhammedanism, Acta Orientalis, P. 60-61. Simuh, (1988), Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita: Suatu Studi Terhadap Serat Wirid Hidayat Jati, Jakarta: Universitas Indonesia Press. Tanojo, R.,(1956), Primbon Ramal Djajabaja, Solo: Sadu Budi. 138

Jurnal Al-Qurba 1(1): 129-139, 2010

Wheatley, P. (1961), The Golden Kersonese: Studies in The Historical Geography of The Malay Peninsula before A.D. 1500, Kuala Lumpur: University of Malaya Press. Winstedt, R.O. (1920), Malay Works Known to Worndly in 1735, JSBRAS 82. _________ (ed.), (1968), Hikayat Bayan Budiman, Kuala Lumpur: Oxford University Press. Wolters, O.W. (1967), Early Indonesian Commerce: A Study of the Origins of Srivijaya, Ithaca: Cornell University Press. Yosodipuro, R.Ng, (2002) Menak Sareas (alihbahasa Sumiwi Surosewoko), Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

139

You might also like