Download as odt, pdf, or txt
Download as odt, pdf, or txt
You are on page 1of 71

Bismillah Walhamdulillah Was Salaatu Was Salaam 'ala Rasulillah As-Salaam Alaikum Wa-Rahmatullahi Wa-Barakatuhu 20th Shawwal 1434

(27th August 2013) Narrated by Anas bin Malik (Radi-Allahu 'anhu): The Prophet (Sallallahu 'Alaihi Wa Sallam) was not one who would abuse (others) or say obscene words, or curse (others), and if he wanted to admonish anyone of us, he used to say: "What is wrong with him, his forehead be dusted!" Bukhari Vol. 8 : No. 58

ROBERT FISK

Tuesday 27 August 2013

Does Obama know hes fighting on al-Qaidas side?


All for one and one for all should be the battle cry if the West goes to war against Assads Syrian regimeQuite an alliance! Was it not the Three Musketeers who shouted All for one and one for all each time they sought combat? This really should be the new battle cry if or when the statesmen of the Western world go to war against Bashar al-Assad.
The men who destroyed so many thousands on 9/11 will then be fighting alongside the very nation whose innocents they so cruelly murdered almost exactly 12 years ago. Quite an achievement for Obama, Cameron, Hollande and the rest of the miniature warlords. This, of course, will not be trumpeted by the Pentagon or the White House nor, I suppose, by al-Qaida though they are both trying to destroy Bashar. So are the Nusra front, one of al-Qaidas affiliates. But it does raise some interesting possibilities. Maybe the Americans should ask al-Qaida for intelligence help after all, this is the group with boots on the ground, something the Americans have no interest in doing. And maybe al-Qaida could offer some target information facilities to the country which usually claims that the supporters of al-Qaida, rather than the Syrians, are the most wanted men in the world. There will be some ironies, of course. While the Americans drone al-Qaida to death in Yemen and Pakistan along, of course, with the usual flock of civilians they will be giving them, with the help of Messrs Cameron, Hollande and the other Little General-politicians, material assistance in Syria by hitting alQaidas enemies. Indeed, you can bet your bottom dollar that the one target the Americans will not strike in Syria will be al-Qaida or the Nusra front. And our own Prime Minister will applaud whatever the Americans do, thus allying himself with al-Qaida, whose London bombings may have slipped his

mind. Perhaps since there is no institutional memory left among modern governments Cameron has forgotten how similar are the sentiments being uttered by Obama and himself to those uttered by Bush and Blair a decade ago, the same bland assurances, uttered with such self-confidence but without quite enough evidence to make it stick. In Iraq, we went to war on the basis of lies originally uttered by fakers and conmen. Now its war by YouTube. This doesnt mean that the terrible images of the gassed and dying Syrian civilians are false. It does mean that any evidence to the contrary is going to have to be suppressed. For example, no-one is going to be interested in persistent reports in Beirut that three Hezbollah members fighting alongside government troops in Damascus were apparently struck down by the same gas on the same day, supposedly in tunnels. They are now said to be undergoing treatment in a Beirut hospital. So if Syrian government forces used gas, how come Hezbollah men might have been stricken too? Blowback? And while were talking about institutional memory, hands up which of our jolly statesmen know what happened last time the Americans took on the Syrian government army? I bet they cant remember. Well it happened in Lebanon when the US Air Force decided to bomb Syrian missiles in the Bekaa Valley on 4 December 1983. I recall this very well because I was here in Lebanon. An American A-6 fighter bomber was hit by a Syrian Strela missile Russian made, naturally and crash-landed in the Bekaa; its pilot, Mark Lange, was killed, its co-pilot, Robert Goodman, taken prisoner and freighted off to jail in Damascus. Jesse Jackson had to travel to Syria to get him back after almost a month amid many clichs about ending the cycle of violence. Another American plane this time an A-7 was also hit by Syrian fire but the pilot managed to eject over the Mediterranean where he was plucked from the water by a Lebanese fishing boat. His plane was also destroyed. Sure, we are told that it will be a short strike on Syria, in and out, a couple of days. Thats what Obama likes to think. But think Iran. Think Hezbollah. I rather suspect if Obama does go ahead that this one will run and run

Dialektika Haji Abdul Karim Amurullah & Haji Dt. BatuahLembaran sejarah Sumatra Thawalib Padang
Panjang tidak bisa dilepaskan dari kedua tokoh, seperti yang Anda lihat pada foto berikut. Ya.., Haji Abdul Karim Amrullah dan Haji Ahmad Khatib Dt. Batuah. Kedua tokoh ini, dideskripsikan Hamka tak ubahnya, seperti Bapak-Anak. Selama menuntut ilmu di Sumatra Thawalib Padang Panjang, Haji Ahmad Khatib merupakan murid kesayangan Haji Rasul yang dikenal cerdas dan alim. Setelah menamatkan pendidikannya di Thawalib Padang Panjang, Haji Rasul mengizinkan sang murid untuk kembali ke kampung halamannya di Koto Laweh untuk mengajar di sana. Perkenalannya dengan komunisme dimulai sejak keberangkatannya ke Aceh sebagai utusan dari Haji Rasul untuk meninjau keadaan Thawalib School di Aceh yang pernah dirintis Buya A.R Sutan Mansur. Ia bertemu dengan salah seorang propagandis komunis asal Padang, yakni Natar Zainuddin. Sejak pertemuannya dengan Natar Zainuddin

tersebut, terjadilah diskusi yang hangat di antara keduanya. Untuk membuktikan rasa penasarannya terhadap perkembangan komunis di Jawa, ia diajak untuk bertemu dengan Haji Misbach. Sejak pertemuan dengan Haji Misbach, muncul keinginan dai Dt Batuah untuk merintis PKI di Padang Panjang. Pada tanggal 20 November 1923 berdirilah PKI seksi Padang Panjang dengan susunan pengurus: Haji Dt. Batuah (Ketua), Djamaluddin Tamim (sekretaris dan bendahara), Natar Zainuddin (anggota), dan Dt. Machudum Sati (anggota). Sejak saat itu, Haji Dt. Batuah dianggap sebagai propagandis ilmu kuminih (komunis), yang memadukan ajaran Islam dengan unsur-unsur Marxis di kalangan murid-murid Thawalib Padang Panjang. Tidak hanya mendirikan pusat diskusi dengan nama bufet merah, ia juga mendirikan media pers Pemandangan Islam, dan aktif menulis di Djago Djago dan Doenia Achirat. Sementara, Haji Rasul yang pernah melawat ke Jawa tahun 1917, pernah ditawari HOS Tjokroaminto untuk mendirikan SI di Sumatera Barat pun ditolaknya, karena ia bukan tipe ulama partisan. Apatah lagi dengan komunisme. Lewat Arradu alad Dahriyyin karangan Djamaluddin Al-Afghani, Haji Rasul sadar bahwa marxisme menetang seluruh agama. Namun, satu hal yang perlu dicatat komunisme yang berkembang di SUmatera Barat pada 1920an tersebut belum dipengaruhi historis-materialism, namun menitik beratkan pada kapitalisme-imprealisme. Sampai suatu hari, Haji Dt. Batuah dan Natar Zainuddin menemui Haji Rasul di Gatangan dan berdeleaktika mengenai komunisme-Islam. Terjadilah, perdebatan sengit malam itu, Haji Rasul menguatkan hujjahnya bahwa komunisme bertentangan dengan Islam, pada saat yang sama Haji Dt. Batuah pun mempertahankan pendapatnya dengan penuh semangat. Hingga suatu hari Dt. Batuah dan Natar Zainuddin pun ditangkap. Meskipun Dt. Batuah pernah menentang pendapatnya, mendengar berita penangkapan itu, wajah Haji Rasul pun muram. Ia berujar kepada puteranya, Sudah tertangkap Haji Dt. Batuah.. Sayang dia seorang alim besar, terbenam saja ilmunya. Waang jangan masuk komunis pula. Haji Rasul pun sadar, Dt. Batuah tidak saja berpengaruh di Thawalib Padang Panjang, namun juga mempengaruhi Duski Samad,adik sepupu A.R Sutan Mansur. Fikrul Hanif, saat ini sedang merampungkan naskah:Menentang Kolonialisme di Sumatera Barat. Protes Intelektual Haji Ahmad Khatib Dt. Batuah 1923-1948

foto berikut. Ya.., Haji Abdul Karim Amrullah dan Haji Ahmad Khatib Dt. Batuah. Kedua tokoh ini, dideskripsikan Hamka tak ubahnya, seperti Bapak-Anak. Selama menuntut ilmu di Sumatra Thawalib Padang Panjang, Haji Ahmad Khatib merupakan murid kesayangan Haji Rasul yang dikenal cerdas dan alim. Setelah menamatkan pendidikannya di Thawalib Padang Panjang, Haji Rasul mengizinkan sang murid untuk kembali ke kampung halamannya di Koto Laweh untuk mengajar di sana. Perkenalannya dengan komunisme dimulai sejak keberangkatannya ke Aceh sebagai utusan dari Haji Rasul untuk meninjau keadaan Thawalib School di Aceh yang pernah dirintis Buya A.R Sutan Mansur. Ia bertemu dengan salah seorang propagandis komunis asal Padang, yakni Natar Zainuddin. Sejak pertemuannya dengan Natar Zainuddin tersebut, terjadilah diskusi yang hangat di antara keduanya. Untuk membuktikan rasa penasarannya terhadap perkembangan komunis di Jawa, ia diajak untuk bertemu dengan

Haji Misbach. Sejak pertemuan dengan Haji Misbach, muncul keinginan dai Dt Batuah untuk merintis PKI di Padang Panjang. Pada tanggal 20 November 1923 berdirilah PKI seksi Padang Panjang dengan susunan pengurus: Haji Dt. Batuah (Ketua), Djamaluddin Tamim (sekretaris dan bendahara), Natar Zainuddin (anggota), dan Dt. Machudum Sati (anggota). Sejak saat itu, Haji Dt. Batuah dianggap sebagai propagandis ilmu kuminih (komunis), yang memadukan ajaran Islam dengan unsur-unsur Marxis di kalangan murid-murid Thawalib Padang Panjang. Tidak hanya mendirikan pusat diskusi dengan nama bufet merah, ia juga mendirikan media pers Pemandangan Islam, dan aktif menulis di Djago Djago dan Doenia Achirat. Sementara, Haji Rasul yang pernah melawat ke Jawa tahun 1917, pernah ditawari HOS Tjokroaminto untuk mendirikan SI di Sumatera Barat pun ditolaknya, karena ia bukan tipe ulama partisan. Apatah lagi dengan komunisme. Lewat Arradu alad Dahriyyin karangan Djamaluddin Al-Afghani, Haji Rasul sadar bahwa marxisme menetang seluruh agama. Namun, satu hal yang perlu dicatat komunisme yang berkembang di SUmatera Barat pada 1920an tersebut belum dipengaruhi historis-materialism, namun menitik beratkan pada kapitalisme-imprealisme. Sampai suatu hari, Haji Dt. Batuah dan Natar Zainuddin menemui Haji Rasul di Gatangan dan berdeleaktika mengenai komunisme-Islam. Terjadilah, perdebatan sengit malam itu, Haji Rasul menguatkan hujjahnya bahwa komunisme bertentangan dengan Islam, pada saat yang sama Haji Dt. Batuah pun mempertahankan pendapatnya dengan penuh semangat. Hingga suatu hari Dt. Batuah dan Natar Zainuddin pun ditangkap. Meskipun Dt. Batuah pernah menentang pendapatnya, mendengar berita penangkapan itu, wajah Haji Rasul pun muram. Ia berujar kepada puteranya, Sudah tertangkap Haji Dt. Batuah.. Sayang dia seorang alim besar, terbenam saja ilmunya. Waang jangan masuk komunis pula. Haji Rasul pun sadar, Dt. Batuah tidak saja berpengaruh di Thawalib Padang Panjang, namun juga mempengaruhi Duski Samad,adik sepupu A.R Sutan Mansur. Fikrul Hanif, saat ini sedang merampungkan naskah:Menentang Kolonialisme di Sumatera Barat. Protes Intelektual Haji Ahmad Khatib Dt. Batuah 1923-1948 Lembaran sejarah Sumatra Thawalib Padang Panjang tidak bisa dilepaskan dari kedua tokoh, seperti yang Anda lihat padaSyech Ibrahim Musa Parabek dalam Tinjauan Biografi Tematis Tulisan kali ini, akan membahas salah seorang tokoh modernisme Islam, yakni Syech Ibrahim Musa Parabek. Ibrahim Musa dilahirkan di Parabek pada hari Minggu tanggal 12 Syawal 1301 Hijriyah atau bertepatan dengan tahun 1882. Pada masa kecil, ia diberi nama Luthan. Luthan kecil merupakan keturunan hartawan dan dikenal sebagai keluarga yang taat menjalankan syariat Islam. Sedangkan ayahnya bernama Musa bin Abdul Malik AlQasthawi, seorang ulama yang dihormati masyarakat Parabek. Sedangkan ibunya, Ureh, berasal dari suku Pisang. Ibrahim Musa memperoleh pendidikan dasar secara tradisional di beberapa tempat di Minangkabau. Mula-mula belajar membaca Al-Quran dengan orang tuanya sendiri sampai berumur 13 tahun, Karena melihat ketekunan dan kepribadian anaknya, maka dengan penuh semangat, orang tuanya kemudian menyerahkan Ibrahim Musa untuk menuntut ilmu ke beberapa ulama lain di Minangkabau. Ulama-ulama Minangkabau yang dikunjunginya untuk menuntut ilmu adalah Syech Mata Air di Pakandangan, Tuanku Angin di Batipuh, Syech Abdul Shamad di IV Angkat Candung (Biaro), dan Syech Jalaluddin AlKusai di Sungai Landai selama satu tahun.

Meskipun ia telah memiliki banyak murid, Ibrahim Musa masih merasakan kekurangan ilmu pada dirinya. Inyiak Parabek melanjutkan pelajarannya ke tanah suci Mekah pada tahun 1901 bersama kakaknya Abdul Malik. Disana ia bersama kakaknya belajar kepada Syech Ahmad Khatib Al-Minangkabawy, seorang ulama kharismatik asal Minangkabau yang kemampuan keilmuannya di bidang agama Islam diakui di Jazirah Arabia terutama di Mekah. Melalui Syech Ahmad Khatib, Ibrahim Musa belajar tentang Ilmu Fiqh mazhab Syafii. Setelah belajar Fiqh dengan pelopor gerakan modernis Islam awal abad ke XX ini, Ibrahim Musa kemudian melanjutkan petualangannya dalam menuntut ilmu. Ulama yang ditemuinya adalah Syech Muh. Djamil Djambek. Dengan Syech Djamil Djambek ini, ia belajar tentang seluk beluk Ilmu Falaq. Selanjutnya belajar kepada Syech Mukhtar AI-Jawi dan Syech Yusuf Al-Hayat. Setelah bermukim di Mekah selama 7 tahun, Ibrahim Musa kembali ke kampung halamannya. Secara historis, lembaga pendidikan Sumatera Thawalib Parabek berasal dari perkumpulan beberapa orang murid di Surau Parabek. Perkumpulan ini diberi nama Muzakaratul Ikhwan. Karena kegiatan murid-murid ini makin hari makin bertambah intens dan diikuti oleh banyak murid, maka perkumpulan ini berobah menjadi Sumatera Thawalib setelah terinspirasi dengan berdirinya Sumatera Thawalib di Padang Panjang. Pada tanggal 21 September 1921, surau Parabek yang memakai sistem belajar secara konvensional dan konservatif (sistem halaqah) dirubah menjadi sistem berkelas atau klasikal. Saat suhu politik yang juga ditandai dengan kebijakan Ordonansi Sekolah Liar dan Ordonansi Guru, Syech Ibrahim Musa mendapat peringatan dari pemerintah Hindia Belanda Belanda. Inyiak Parabek pun melawan kebijakan tersebut. Akhirnya pemerintah Belanda menawarkan bantuan subsidi untuk Thawalib Parabek, namun ia (Syech Ibrahim Musa) menolaknya secara halus dan bijaksana. Pemerintahan Belanda masih tetap curiga, walaupun dalam kurikulum Sumatera Thawalib tidak terdapat pelajaran yang berbau politik, ternyata banyak dari lulusan Sumatera Thawalib aktif dan campin dibidang politik, seperti Persatuan Muslimin Indonesia (PERMI) yang dipelopori oleh Ali Imran Jamil, Abdul Gafar Ismail, Abdul Malik Sidik dan lain-lainnya. Di samping kecurigaan-kecurigaan Belanda diatas banyak lagi hal-hal dan cobaan yang dialami oleh Syech Ibrahim Musa, seperti: terjadinya kebakaran di Parabek, yang menghanguskan sekolah, kantor, asrama bertingkat, hal ini terjadi pada tanggal 17-18 Oktober 1937, lima tahun kemudian, terjadi lagi kebakaran yang menghanguskan asrama putri, juga bertingkat dua. Fikrul Hanif Sufyan adalah penulis dan pengajar di Prodi Pendidikan Sejarah STKIP Abdi Pendidikan Payakumbuh, serta staf Dosen Bahasa Belanda di Universitas Andalas Padang Tulisan kali ini, akan membahas salah seorang tokoh modernisme Islam, yakni Syech Ibrahim Musa Parabek. Ibrahim Musa dilahirkan di Parabek pada hari Minggu tanggal 12 Syawal 1301 Hijriyah atau bertepatan dengan tahun 1882. Pada masa kecil, ia diberi nama Luthan. Luthan kecil merupakan keturunan hartawan dan dikenal sebagai keluarga yang taat menjalankan syariat Islam. Sedangkan ayahnya bernama Musa bin Abdul Malik AlQasthawi, seorang ulama yang dihormati masyarakat Parabek. Sedangkan ibunya, Ureh, berasal dari suku Pisang. Ibrahim Musa memperoleh pendidikan dasar secara tradisional di beberapa tempat di Minangkabau. Mula-mula belajar membaca Al-Quran dengan orang tuanya sendiri sampai berumur 13 tahun, Karena melihat ketekunan dan kepribadian anaknya, maka dengan penuh semangat, orang tuanya kemudian menyerahkan Ibrahim Musa untuk menuntut ilmu ke beberapa ulama lain di Minangkabau. Ulama-ulama Minangkabau yang

dikunjunginya untuk menuntut ilmu adalah Syech Mata Air di Pakandangan, Tuanku Angin di Batipuh, Syech Abdul Shamad di IV Angkat Candung (Biaro), dan Syech Jalaluddin AlKusai di Sungai Landai selama satu tahun. Meskipun ia telah memiliki banyak murid, Ibrahim Musa masih merasakan kekurangan ilmu pada dirinya. Inyiak Parabek melanjutkan pelajarannya ke tanah suci Mekah pada tahun 1901 bersama kakaknya Abdul Malik. Disana ia bersama kakaknya belajar kepada Syech Ahmad Khatib Al-Minangkabawy, seorang ulama kharismatik asal Minangkabau yang kemampuan keilmuannya di bidang agama Islam diakui di Jazirah Arabia terutama di Mekah. Melalui Syech Ahmad Khatib, Ibrahim Musa belajar tentang Ilmu Fiqh mazhab Syafii. Setelah belajar Fiqh dengan pelopor gerakan modernis Islam awal abad ke XX ini, Ibrahim Musa kemudian melanjutkan petualangannya dalam menuntut ilmu. Ulama yang ditemuinya adalah Syech Muh. Djamil Djambek. Dengan Syech Djamil Djambek ini, ia belajar tentang seluk beluk Ilmu Falaq. Selanjutnya belajar kepada Syech Mukhtar AI-Jawi dan Syech Yusuf Al-Hayat. Setelah bermukim di Mekah selama 7 tahun, Ibrahim Musa kembali ke kampung halamannya. Secara historis, lembaga pendidikan Sumatera Thawalib Parabek berasal dari perkumpulan beberapa orang murid di Surau Parabek. Perkumpulan ini diberi nama Muzakaratul Ikhwan. Karena kegiatan murid-murid ini makin hari makin bertambah intens dan diikuti oleh banyak murid, maka perkumpulan ini berobah menjadi Sumatera Thawalib setelah terinspirasi dengan berdirinya Sumatera Thawalib di Padang Panjang. Pada tanggal 21 September 1921, surau Parabek yang memakai sistem belajar secara konvensional dan konservatif (sistem halaqah) dirubah menjadi sistem berkelas atau klasikal. Saat suhu politik yang juga ditandai dengan kebijakan Ordonansi Sekolah Liar dan Ordonansi Guru, Syech Ibrahim Musa mendapat peringatan dari pemerintah Hindia Belanda Belanda. Inyiak Parabek pun melawan kebijakan tersebut. Akhirnya pemerintah Belanda menawarkan bantuan subsidi untuk Thawalib Parabek, namun ia (Syech Ibrahim Musa) menolaknya secara halus dan bijaksana. Pemerintahan Belanda masih tetap curiga, walaupun dalam kurikulum Sumatera Thawalib tidak terdapat pelajaran yang berbau politik, ternyata banyak dari lulusan Sumatera Thawalib aktif dan campin dibidang politik, seperti Persatuan Muslimin Indonesia (PERMI) yang dipelopori oleh Ali Imran Jamil, Abdul Gafar Ismail, Abdul Malik Sidik dan lain-lainnya. Di samping kecurigaan-kecurigaan Belanda diatas banyak lagi hal-hal dan cobaan yang dialami oleh Syech Ibrahim Musa, seperti: terjadinya kebakaran di Parabek, yang menghanguskan sekolah, kantor, asrama bertingkat, hal ini terjadi pada tanggal 17-18 Oktober 1937, lima tahun kemudian, terjadi lagi kebakaran yang menghanguskan asrama putri, juga bertingkat dua. Fikrul Hanif Sufyan adalah penulis dan pengajar di Prodi Pendidikan Sejarah STKIP Abdi Pendidikan Payakumbuh, serta staf Dosen Bahasa Belanda di Universitas Andalas Padang

Bestuur Saudagar Vereeniging Padang 1941-1945


Posted on 29/12/2012
Bloggers, pagi ini Saya mengajak anda untuk menuju ke masa lampau, tepatnya kita akan mengunjungi persatuan saudagar di Padang atau Bestuur Saudagar Vereeniging Padang. Foto ini kemungkinan diambil pada tahun 1941. Adapun nama-nama yang terdapat di foto ini adalah (dari kiri ke kanan): A. Fatah Sutan Malano (comissaris), A. Karim Yusuf (comissaris), Abdul Aziz Latif

(Penningmeester/bendahara), Marzuki Yatim (Vice Voorzitter), Mr. Sutan Harun al-Rasjid (Hoofdcomissaris), Turki Bagindo Marah (voorzitter), Oemar Marah Alamsyah (Secretaris), M. Thaib Sutan Mangkuto (Comissaris), Datuk Madjo Kayo (Comissaris), H.M Thaib (comissaris). Menurut salah seorang cucu dari Abdul Aziz Latif (yang menjabat sebagai bendahara), bahwa kelompok ini merupakan kumpulan para saudagar-saudagar atau pengusahapengusaha yang berdomisi di Padang. Kalau kita ibaratkan mungkin sama dengan KADIN saat ini. Saya sedikit menerangkan salah seorang tokoh dalam foto ini, yakni Abdul Aziz Latif. Abdul Latif demikian biasanya ia akrab dipanggil. Abdul Latif adalah seorang pengusaha asal nagari Koto Anau Solok. Ia merupakan pengusaha textile yang pabriknya berlokasi di dua tempat, yakni di Simpang Haru (sekarang STIE Dharma Andalas) dan di Koto Anau Solok. Kedua pabrik textile itu diberi nama Tenun Haji Abdul Aziz Latif. Sedangkan kain hasil tenunannya diberi label Randai Sebagai putra asal Koto Anau, ia mendatangkan beberapa tokoh modernisasi Islam ke daerah tersebut, di antaranya Haji Abdul Karim Amrullah, Abdul Manap asal Lantai Batu Kabupaten Tanah Datar. Untuk mendatangkan kedua tokoh tersebut, Abdul Latif rela untuk merogoh uang sakunya guna memodernisasi Islam di nagari Koto Anau. Fikrul Hanif Sufyan adalah staf pengajar di Prodi Pendidikan Sejarah STKIP Abdi Pendidikan dan Dosen di Universitas Andalas Padang

Natar Zainuddin, Sang Propagandis Komunis dalam DjagoDjago


Pagi hari ini mengulang kisah perjalanan Islam dan Komunisme di Sumatera Barat, rasanya kurang jika tidak melibatkan satu nama, yakni Natar Zainuddin. Natar Zainuddin adalah seorang perantau Minang yang bekerja sebagai kondektur kereta api di Aceh. Ia lahir di Padang tahun 1890. Pada tahun 1920, pernah menghadiri kongres Vereeniging van Spoor en Tramwegs Personeel (VSTP) di Semarang. Selama kongres itu ia bertemu dengan tokoh-tokoh komunis dari ISDV, diantaranya Bersgma dan Baars. Selama aktif di VSTP, Natar Zainuddin slelau mendapat gemblengan dari Semaun, Dharsono, dan Haji Misbach.Tiga tahun ia bekerja sebagai kondektur, tahun 1923 takdir mempertemukannya dengan Datuk Batuah yang ditugasi Haji Abdul Karim Amrullah untuk mengurus Thawalib School yang sempat dirintis Buya A.R Sutan Mansur. Sejak saat itu, terjadi interaksi kuat di antaranya, dan rupanya Haji Dt. Batuah tertarik dengan ceritacerita Natar Zainuddin tentang komunisme dan perlawananya terhadap pemerintah kolonial Belanda. Pada tahun 1923 itu juga, Haji Dt. Batuah dan Natar Zainuddin berangkat ke Jawa. Keduanya mengikuti kongres Partai Komunis Indonesia/Sarekat Islam Merah (SI-Merah) di Bandung, Jawa Barat. Saat itu, Haji Misbach dari Surakarta tampil berpidato. Haji Datuk Batuah saat itu terperangah saat Misbach menjelaskan secara progresif tentang kuatnya hubungan Islam dan komunisme. Sepulangnya dari kongres itu, Datuk Batuah segera menyebarkan pandangan Haji Misbach itu di perguruan Thawalib. Selain itu, bersama dengan Djamaluddin Tamin, Datuk Batuah juga mengelola koran Pemandangan Islam. Sedangkan Natar Zainuddin, yang kembali ke Sumatera Barat pada tahun 1923, segera menyebarkan gagasan islam komunis melalui korannya: Djago Djago! Meskipun sebagian besar guru-guru Thawalib adalah pedagang, tetapi mereka juga

menentang penghisapan atau eksploitasi terhadap orang lain. Sebagai pedagang Islam, mereka mengharamkan praktek riba. Selain itu, islam juga melarang keras umatnya memupuk kekayaan. Kesesuaian-kesesuaian inilah yang menjadi lahan subur propaganda marxisme di kalangan islam. PKI Sumatera Barat sendiri, pada tahun 1920-an, sangat membela pedagang kecil. PKI mengemukakan sikap: Sekalipun mereka berdagang, tetapi mereka bukan kapitalis. Mereka juga korban kapitalisme. Mereka bukan mencari kaya dan jadi gemuk dan bermalas-malasan, melainkan mencari sepiring nasi. Dan mereka digencet oleh pengusaha-pengusaha kapitalis yang telah mengambil seluruh kehidupan mereka. (Ruth McVey dan Harry J Benda, Key Documents, 1960) Aktivitas Haji Batuah dan Natar Zainuddin tidaklah terlalu lama. Sebab, dua bulan setelah kepulangannya dari kongres PKI di Jawa, satu detasemen polisi bersenjata telah datang untuk menangkap keduanya. Keduanya dituding mempengaruhi tokoh-tokoh adat untuk melakukan pemberontakan. Saat penangkapan tokoh-tokoh komunis itu, Haji Rasul, yang memimpin perguruan Thawalib, tidak berbuat apa-apa. Akibatnya, murid-murid pun marah dan memaksa Haji Rasul mengundurkan diri dari sekolah Thawalib. Setelah itu, tidak banyak yang tahu bagaimana nasib Natar Zainuddin, apakah ia meninggal di Boven Digoel? Atau diasingkan bersama Haji Datuk Batuah ke New South Wales Australia, Saya sendiri belum tahu bagaimana nasib tokoh ini Haji Ahmad Khatib Dt. Batuah Saya mengajak anda untuk singgah ke Nagari Koto Laweh Padang Panjang untuk menyinggahi Haji Ahmad Khatib gelar Dt. Batuah. Haji Dt. Batuah, demikian sosok ini sering kenang namanya.Ahmad Khatib lahir tahun 1895 di Nagari Koto Laweh dari pasangan Syech Gunung Rajo (seorang pimpinan Tarekat Sy attariyah) dan Saidah. Ahmad Khatib merupakan anak kedua dari tiga bersaudara, masing-masing Sanah, Ahmad Khatib gelar Dt. Batuah, dan Jamaliah. Pada tahun 1909 ia memutuskan berangkat kembali ke Mekah untuk mendalami Islam dan berguru pada Syech Ahmad Khatib al-Minangkabawi. Enam tahun bermukim di sana, tahun 1915 ia kembali ke Padang Panjang dan meneruskan untuk berguru pada Haji Abdul Karim Amrullah. Sejak saat itu, ia menjadi salahmela seorang murid kesayangan tokoh modernisme Islam tersebut dan diamanahi sebagai guru di Sumatra Thawalib Padang Panjang. Perkenalannya dengan komunisme dimulai sejak keberangkatannya ke Aceh sebagai utusan dari Haji Rasul untuk meninjau keadaan Thawalib School di Aceh yang pernah dirintis Buya A.R Sutan Mansur. Ia bertemu dengan salah seorang propagandis komunis asal Padang, yakni Natar Zainuddin. Sejak pertemuannya dengan Natar Zainuddin tersebut, terjadilah diskusi yang hangat di antara keduanya. Untuk membuktikan rasa penasarannya terhadap perkembangan komunis di Jawa, ia diajak untuk bertemu dengan Haji Misbach. Sejak pertemuan dengan Haji Misbach, muncul keinginan dai Dt Batuah untuk merintis PKI di Padang Panjang. Pada tanggal 20 November 1923 berdirilah PKI seksi Padang Panjang dengan susunan pengurus: Haji Dt. Batuah (Ketua), Djamaluddin Tamim (sekretaris dan

bendahara), Natar Zainuddin (anggota), dan Dt. Machudum Sati (anggota). Sejak saat itu, Haji Dt. Batuah dianggap sebagai propagandis ilmu kuminih (komunis), yang memadukan ajaran Islam dengan unsur-unsur Marxis di kalangan murid-murid Thawalib Padang Panjang. Tidak hanya mendirikan pusat diskusi dengan nama bufet merah, ia juga mendirikan media pers Pemandangan Islam, dan aktif menulis di Djago Djago dan Doenia Achirat. Haji Dt. Batuah mengakhiri masa lajangnya pada umur 23 tahun dengan mempersunting gadis asal Nagari Koto Laweh, yakni Saadiah. Dari hasil pernikahannya, ia dikaruniai tiga orang anak, yakni LENIN, SAUKANI, dan NABAWIYAH. Pada saat LENIN berumur satu tahun, Dt. Batuah menikah lagi dengan Zainab dan dikaruniai satu orang anak, yakni KARTINI. Membesarnya pengaruh komunis di Padang Panjang, membuat pemerintah Hindia Belanda gusar. Untuk mencegah semakin membesar dan bertambahnya jumlah pengikut Haji Dt. Batuah, pemerintah Hindia Belanda melakukan penggeldehan terhadap kantor IDC. Tanggal 11 November 1924, Haji Dt. Batuah dan Natar Zainuddin ditangkap. Kejadian yang sama juga menimpa pimpinan PKI di Padang, seperti Magas, A. Wahab, Kaharoeddin, Djalaludin, dan lainnya. Tahanan politik itu pun diasingkan ke Boven Digoel. Setahun setelah pengasingannya, isteri pertama Haji Dt. Batuah pun menyusul ke sana. Pada tahun 1943, eks Digoelis ini pun dipindah ke New South Wales Australia karena kawasan Indonesia diduduko pemerintah fasisme Jepang. Pada tahun 1945, Dt. Batuah dan Saadiah menghirup udara kebebesannya dan memutuskan berangkat menuju Solo (belum diketahui apa aktivitasnya di sana). Pada tahun 1948, pasangan suami isteri ini kembali ke Nagari Koto Laweh. Aktivitas yang dijalani Ahmad Khatib menjelang akhir hayatnya tidak jauh berbeda saat ia menjadi propagandis komunis, tetap berdakwah, mengajak masy Koto Laweh diskusi masalah politik di rumahnya ataupun di kedai kopi. Pada tahun 1949, tokoh fenomenal ini pun menghembuskan nafas terakhirnya dan dimakamkan di Nagari Koto Laweh. Namun ada satu hal yang menjadi tanda tanya besar, sejauh mana interaksi Haji Dt. Batuah dengan Tan Malaka, komunikasinya dengan tokoh komunis Jawa, seperti Semaun, Alimin dan Darsono??? Penulis saat ini sedang meneliti Aktivitas Kelompok Propaganda Haji Dt, Batuah dalam Menyebarkan Paham Komunis di Sumatera Barat

Setujukah Anda Dengan Nederlandsetaal Cursus???


Program pelatihan Bahasa Belanda (Nederlandsetaal cursus) yang diselenggarakan pihak Prodi Pendidikan Sejarah adalah murni untuk mengajarkan kepada mahasiswa Sejarah untuk mengetahui dasar-dasar bahasa Belanda. Dengan native speaker Fikrul Hanif Sufyan,S.S, M.Hum, kursus bahasa Belanda ini berupaya mencari solusi terhadap kendala yang dihadapi mahasiswa dalam membaca dan menterjemahkan Bahasa Belanda yang terdapt di dalam arsip. Silakan begabung dengan kelas Nederlandsetaal cursus pada hari Senin pukul 12.00 siang!!! Program ini tanpa dipungut biaya, untuk kemajuan Mahasiswa dan Prodi Pendidikan Sejarah itu sendiri. Pemimpin Berkepala Batu Salah satu alasan Tritunggal (Soekarno-Mohammad Hatta-Sutan Sjahrir) tak bertahan lama karena kepala mereka lebih keras daripada batu. Tak heran mereka mirip film kartun Tom

and Jerry. Hatta mengakhiri era keemasan Dwitunggal setelah mundur sebagai wapres tahun 1956 karena menganggap Soekarno makin otoriter. Soekarno amat menghormati Hatta, baik sebagai proklamator maupun administrator.Soekarno memberikan peluang kepada Hatta-juga Sjahrir-memimpin kabinet sebagai perdana menteri. Kala itu ia sering melawat ke daerah menggalang kebinekaan ala Pancasila.Tentu Soekarno pernah geram kepada Hatta. Saking jengkel-nya, ia sempat keceplo-san bahwa tanpa Hatta pun ia bisa membaca teks Proklamasi sendirian saja. Ketika Republik genting menjelang pemberontakan PRRI/ Permesta 1957-1958, Hatta pergi ke sejumlah daerah membela Soekarno. Namun, kritik Hatta makin tajam setelah Soekarno memberlakukan Dekret 5 Juli 1959. Hatta nekat minta izin ke Soeharto menjenguk Soekarno, sahabatnya yang sekarat. Soekarno siuman, mereka menangis sambil bergenggaman tangan dan dua hari kemudian Soekarno wafat. Hubungan Hatta-Sjahrir bagus. Setelah menyelesaikan studi di Belanda, Hatta menyiapkan Sjahrir sebagai penggantinya, memimpin Perhimpunan Indonesia. Namun, Hatta jengkel pada politicking Sjahrir yang ikut menghancurkan demokrasi parlementer sebelum Pemilu 1955. Akibatnya, Hatta ditendang ke atas dari jabatan PM yang berkuasa jadi wapres ban serep. Kekesalan Hatta tampak dari jawabannya atas pertanyaan basa-basi Sjahrir tentang tugas wapres. Saya sekarang mengurus PON (Pekan Olahraga Nasional) agar kita sehat, termasuk kamu, sindir Hatta. Soekarno dan Sjahrir ibarat air dan minyak yang mustahil dicampur. Saat bersua pertama kali di Bandung, Sjahrir secara terbuka mengkritik Soekarno yang memakai bahasa Belanda-bukan Indonesia-dalam rapat-rapat PNI. Sjahrir dongkol tiap kali Soekarno mandi sambil bernyanyi karena suaranya sumbang. Soekarno suka meledek Sjahrir sebagai pejuang yang mengandalkan siaran radio-radio luar negeri. Sjahrir ditangkap Soekarno 18 Januari 1962 dan disekap di penjara Madiun, RSPAD, Jalan Keagungan, dan RTM Budi Utomo. Ia dituduh terlibat dalam upaya pembunuhan Soekarno saat iring-iringan mobil Kepala Negara dilempari granat di Makassar, 7 Januari 1962. Selain berbakat memimpin dan berotak cair, Tritunggal terbentuk karena tiga faktor. Kombinasi ketiga faktor itu membuktikan kelahiran Tritunggal sudah menjadi suratan sejarah (fate), bukan sekadar untung- untungan (luck). Faktor pertama, politik etis Belanda yang membuka sekolah bagi pribumi. Tritunggal mengenyam pendidikan bermutu tinggi, termasuk Hatta dan Sjahrir yang belajar ke Belanda. Kedua, kemenangan Jepang atas Rusia dalam perang 1905 yang menaikkan gengsi Asia. Dan, ketiga, sukses revolusi Bolshevik di Rusia tahun 1917 yang meruntuhkan kekaisaran Rusia. Kebebasan bangsabangsa yang baru kala itu merupakan ikhtiar bersamabukan individual effort. Di Uni Soviet ada model triumvirat Vladimir Lenin (1870-1924), Joseph Stalin (1878-1953), dan Leon Trotsky (1879-1940). Di China ada pula kepemimpinan trio Chiang Kaishek (1887-1975), Mao Zedong (18931976), dan Zhou Enlai (1899-1976). Di India pun sama, ada Mahatma Gandhi (1869-1948), Ali Jinnah (1876-1948), dan Jawaharlal Nehru (1889-1964). Sebagai pejuang, Soekarno dikenal mendambakan persatuan, Hatta memimpikan kedaulatan rakyat, dan Sjahrir bersikap nonkooperatif. Sebagai politisi, Soekarno orator pemukau massa, Hatta percaya demokrasi dimulai dari bawah, dan Sjahrir meyakini kaderisasi partai. Sehubungan dengan peringatan 100 tahun kelahiran Sjahrir, saya sering ditanyai apa

warisan PM pertama kita itu? Saya jawab, Ia tak meninggalkan warisan apa pun karena enggak punya duit. Soekarno ngutang untuk beli rumah, Hatta sampai wafat gagal membeli sepatu Bally. Wah, beda ya sama pemimpin sekarang, tulis seorang pembaca. Tritunggal adalah leaders (pemimpin), yang sekarang dealers (penjual). Pemimpin bersahabat dengan Nehru atau Mao, penjual berebut mau jumpa Barack Obama. Saat kampanye Pemilu 1955, pemimpin menawarkan program konkret. Fikrul Hanif Sufyan Arsip tanggal 16 Mei 2009 Prodi Pendidikan Sejarah berada di bawah naungan STKIP Abdi Pendidikan Payakumbuh. Prodi Pendidikan Sejarah pada awalnya didirikan pada tahun 2005.
Dengan Visi Menjadikan Prodi Pendidikan Sejarah yang menghasilkan lulusan yang beriman dan bertakwa, serta memiliki kompetensi yang bermutu sesuai kebutuhan masyarakat. Berdasarkan tuntutan Tri Dharma Perguruan Tinggi, Prodi Pendidkan Sejarah telah beberapa kali melaksanakan aplikasi mata kuliah sejarah lisan, sejarah pers, sejarah maritim, dan lain sebagainya. Selain itu, Prodi Pendidikan Sejarah telah beberapa kali melaksanakan seminar nasional yang menampilkan pembicara bertaraf nasional dan internasional, di antaranya Prof. Dr. Mestika Zed, M.A, Prof. Dr. Phil. Gusti Asnan, dan lainnya.

Abdullah Ahmad, Maestro Gerakan Modernisasi Islam di Minangkabau Posted on 29/12/2012 by abdipendidikan
Bloggers, kembali hari saya mengajak anda untuk masuk ke masa lampau untuk mengenal satu sosok tokoh gerakan modernisasi Islam. Haji Abdullah Ahmad sebagai salah seorang ulama modernis dan pembaru pendidikan Islam di Sumatera Barat. Ia lahir tanggal 1878 di Padang Panjang. Abdullah Ahmad berasal dari keluarga yang taat terhadap agama, sehingga sejak kecil ia telah didik oleh ayahnya yang bernama Haji Ahmad, seorang ulama dan pedagang kecil di Padang Panjang. Pada usia 17 tahun (1895) ia menunaikan ibadah haji ke Mekah, sekaligus berguru pada Syech Ahmad Khatib. Empat tahun kemudian (1899) ia kembali ke Padang Panjang dan mengajar di Surau Jembatan Besi bersama Haji Rasul. Pada tahun 1909 Abdullah Ahmad bersama beberapa orang pedagang mendirikan sebuah organisasi yang dinamakan Syarikat Usaha di Padang. Dari organisasi ini, Syarikat Usaha merintis berdirinya Adabiyah School (1909-1914) yang menerapkan sistem pendidikan Islam modernis. Pada tanggal 1 April 1911, Abdullah Ahmad mendirikan perusahaan pers Islam pertama dan menerbitkan majalah al-Munir. Selama penerbitannya, Abdullah Ahmad dibantu oleh ulama-ulama modernis, seperti Haji Abdul Karim Amrullah, Syekh Muhammad Djamil Djambek, dan Syekh Muhammad Thaib Umar. Rubrik yang ditampilkan al-Munir kental dengan nuansa konfrontatif dengan ulama-ulama tradisional. Biasanya dalam rubriknya dibahas tentang masalah ushalli, makan di rumah orang kematian, membaca barzanji, talqin terhadap si mayat, membedah masalah-masalah bidah, dan hukum memakai dasi. Melalui majalah al-Munir, Abdullah Ahmad cs mengemukakan ijtihad mereka terhadap beberapa masalah yang sebelumnya diharamkan oleh ulama tradisional, seperti berfoto hukumnya boleh, memakai dasi dan topi tidak haram hukumnya. Oleh sebab itu, majalah al-Munir merupakan salah satu media yang dimanfaatkan oleh tokoh-tokoh modernis Islam dalam menyampaikan ijtihadnya. Pada tahun 1918 Abdullah Ahmad mendirikan Persatuan Guru-guru Agama Islam, dan mendapat pengakuan hukum dari pemerintah Hindia Belanda tanggal 17 Juli 1920. Tujuan berdirinya organisasi ini adalah untuk mempersatukan ulama tradisional dan ulama modernis. Namun usaha ini tidak berhasil sepenuhnya, karena Kaum Tua dibawah pimpinan Syekh Sulaiman ar-Rusuli mendirikan organisasi serupa dengan nama Ittihadul Ulama Sumatra (Persatuan Ulama Sumatra). Sikapnya yang taktis dan tenang dalam berhadapan dengan aturan-aturan hukum pemerintah Hindia Belanda, Ronkel menjuluki Abdullah Ahmad sebagai politisi dan

intelektual. Gemblengan Syech Ahmad Khatib pada murid-murid terbaiknya umumnya memiliki dampak luas dalam mentransmisikan pemikiran-pemikirannya kepada orang Minang. Melalui murid-muridnya, penyebaran paham-paham modernis Islam di satu sisi mempercepat revolusi berpikir terhadap kejumudan berfikir dan sikap kritis orang Minang terhadap tarekat-tarekat yang berkembang di Sumatera Barat. Melalui murid-murid terbaiknya proses modernisasi Islam yang sebelumnya (masa gerakan Paderi) keras dan tanpa kompromi, berubah menjadi dakwah yang bertujuan memurnikan ajaran Islam sesuai dengan tuntunan Al-Quran dan Hadits. Haji Rasul, Syekh Muhammad Djamil Djambek, Haji Abdullah Ahmad, dan lainnya merupakan agen transmisi pemikiran Syech Ahmad Khatib dalam memodernisasi pendidikan tradisional menjadi pendidikan Islam berbasis modernis. Fikrul Hanif Sufyan adalah staf pengajar di Prodi Pendidikan Sejarah STKIP Abdi Pendidikan Payakumbuh dan Dosen Bahasa Belanda di Prodi Ilmu Sejarah Universitas Andalas Padang.

Kepolosan dalam Berpolitik Membaca biografi tokoh-tokoh Masyumi, ada satu


kemiripan dalam hal pembentukan karakter seorang politisi. Saya melihat Natsir, Roem, Prawoto, Hamka, sejenis manusia polos yang tidak berpikir rumit ketika berhadapan dengan lawan-lawannya yang culas. Pun demikian saya dapati pada Agus Salim. Semuanya bersahaja. Tulisan-tulisan mereka tidak begitu mengedepankan soal taktik, teknik, dan tipu muslihat mengelabui lawan. Karena bagi mereka, tipu-menipu itu bertentangan dengan politik moral yang selalu didengung-dengungkan.

Saya merasakan itulah kesan terkuat terkait pembacaan pada perjalanan para bapak bangsa dari rahim umat Islam, khususnya Masyumi. Polos, sederhana, bersahaja, dan tidak begitu berurusan soal yang sepintas menandai pengarangnya seorang politikus kawakan.

Oleh karena itu, sampai kini kesan yang saya tangkap itulah yang mendalam tentang negarawan. Menariknya, mereka berperan juga sebagai politisi. Politisi cumnegarawan. Yang begini ini manusia amat sangat langka di Senayan kiwari. Yang dipandang negarawan pun rupanya sosok lebih karena tidak bersentuhan langsung dengan politik, atau kadang kala bicaranya normatif tapi di balik layar ikut kecipratan proyek tertentu. Kalau politisi Senayan dan di daerah tidak perlu ditanya, semuanya tidak lebih makhluk politik, dalam arti selalu bicara kepentingan kelompok dan taktik memenangkan aspirasinya. Sungguh menarik menyimak sisi hidup orang semacam Natsir. Darinya saya temui cara menjadi politisi dalam arti yang aneh, yakni tidak seperti bayangan kekecewaan publik dewasa ini. Natsir tidak semata berjuang buat Masyumi, tapi juga bangsa. Memperkaya diri? Jauh dari bayangannya. Meski polos, saya salah besar bila ia bakal mudah dipecundangi kaum nasionalis-sekuler ataupun komunis kala berdebat di parlemen kita masa itu. Natsir tidak diragukan lagi kepiawaiannya di mata kawan dan lawan. Soal kepolosan, saya selalu terngiang dengan kebiasaan mahasiswa yang saat belajar berpolitik kampus lebih mengedepankan kepentingan golongan. Teknik-teknik mengelabui dan melawan politik pengelabuan lebih ditanamkan dahulu daripada soal-soal penguatan kepercayaan diri. Inilah yang tampaknya berbeda dibandingkan politisicum negarawan semodel Natsir, Hamka, dan nama-nama di atas.

Mereka polos? Saya berani jawab, ya. Tapi, di balik kepolosan bersikap, mereka punya kepercayaan diri dari siasat dan muslihat lawan. Dan mereka tahu betul siasat yang dimainkan lawan. Jadi, tidak benar bila mereka kita katakan polos sama sekali. Kepolosan mereka, dengan demikian, hanya tampilan lahirian, sejatinya dalam diri mereka ada keberanian dan ketegaran tersendiri. Ini mengingatkan saya pada sosok Dorodjatun, puta mahkota Kasultanan Yogyakarta, yang sebelum diangkat bertanding duel dengan Gubernur Belanda di Yogyakarta, Dr Lucien Adam. Dorodjatun masih anak kemarin sore, belum punya jam terbang di gelanggang diplomasi. Sementara yang dihadapinya sosok yang dikenal jagoan menundukkan lawan. Apa hasilnya? Pemuda Jawa nan polos itu berhasil menahan perdebatan hingga empat bulan, tercatat dalam sejarah dari November 1939 hingga Februari 1940. Orang-orang polos di atas lahiriah sepintas gampang digiring. Tapi, mereka punya sikap percaya diri, dan terutama harga diri. Inilah modal seorang negarawan yang semakin langka diperhatikan oleh para politisi. Harga diri mereka tidak lagi diacuhkan, semuanya diganti kepentingan, terutama perut dan di bawah perut. Bila soal ini tunduk, jangan mudah terkecoh andaipun mereka pintas berargumen dan mahir bersiasat. Yang begini tidak lama umurnya, eksistensinya. Kiranya saya harus segera meralat simpulan selama ini, bahwa menjadi negarawan itu tidak sesusah yang dibicarakan ramai di Kompas atau media utama lainnya. Dia pun tidak selalu terlahir dari pentas politik. Naif bila kita hanya beroleh dari sana. Hanya, semestinya politisi memiliki kesempatan untuk menjadi manusia polos sebagaimana Natsir dan kawan-kawan d Masyumi, atau Dorodjatun kala Indonesia belum merdeka. Sebaliknya, manusia politik yang banyak berseliweran di media massa (khususnya televisi) tidak perlu lagi ditakutkan kelihaiannya. Kalaulah rakyat ditundukkan oleh hawa nafsunya, harga diri mereka yang dipoles anti-kepolosan benar-benar tidak berguna. []

Memang seharusnya demikian Pak. "Kepolosan" yang seperti ini adalah hiasan yang selalu melekat pada para pejuang dari masa ke masa. Bahkan membaca Risalah Pergerakan pun di sana juga tertera sebuah kepolosan dalam berjuang. Sebuah pelajaran penting bagai generasi muda hari ini yang lebih sibuk beretorika dari pada melakukan kerja nyata.Kapitalisme di Indonesia
Posted in Uncategorized on November 27, 2012 by aswin
Diberitakan secara besar mengenai dugaan pemalakan BUMN oleh anggota DPR, kasus pembangunan wisma atlit yang melibatkan anggota dewan, mafia badan anggaran, dan kasus lainnya yang melibatkan para politikus di Senayan dalam keuangan negara. Penulis tidak mengkonsentrasikan pada kasus yang terjadi karena tentunya para ahli politik sudah banyak mengkomentari dan debat politik sudah kerap dilakukan. Apakah kondisi ini baru terjadi saat ini setelah reformasi? Sejak kapankah praktik-praktik seperti ini berlangsung? Marilah kita mulai dengan mempelajari sejarah kebangkitan kapitalisme di Indonesia. Tentu saja ini akan berkaitan erat sekali dengan sejarah Indonesia masa kolonial , kelahiran Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, kejatuhan orde lama dan kebangkitan orde baru. Dengan keterbatsan analisa, pengetahuan dan strategi secara politik, ekonomi dan sosial, penulis belum mampu menawarkan solusi kemana Indonesia akan melangkah. Tidak ada yang salah dengan ideologi

Pancasila, mungkin para pemimpin kita sekarang perlu melihat sejenak sejarah sehingga tindakan pencegahan bisa diambil. Republik Indonesia yang masih muda setelah memproklamirkan kemerdekaannya pada tahun 1945 harus mengalami serangkaian peristiwa yang akan membawa arah Indonesia ke depan secara politik, ekonomi dan sosial. Terlepas dari kepentingan politik yang ada, sebab terjadinya perang Jawa memang komplek. Untuk ini pembaca disarankan membaca buku Ramalan Kuasa. Pastinya pemberontakan Pangeran Diponegoro ini didukung oleh para santri, rakyat jelata, para bandit, dan sebagian bupati terhadap kolonialisme Belanda. Pada masa ini , masa ini, dikenal negaragung dan mancanegara, dimana hubungan kawula gusti akan menjelaskan betapa susah menggerakan kaum tani utk bergerak bersama kaum buruh dalam mewujudkan revolusi sosialnya. Pemerintahan Belanda sendiri menunjuk orang Cina memegang peranan penting sebagai penarik pajak di tiap pintu masuk Kota. Kelas kapitalis di Indonesia pun terbagi kapitalis kolonial, kapitalis China, dan kapitalis pribumi. Setelah kemerdekaan Indonesia, pemerintah berupaya mendorong terciptanya kapitalisme domestik. Bahkan mempermudah kegiatan ekonomi bagi borjuasi nasional, yakni pribumi. Bagi Masyumi, PSI dan sebagian PNI menganggap bahwa utk mewujudkan kapitalisme domestik, diperlukan modal asing sebagai pendorongnya. Melaksanakan ekonomi yang beorientasi pasar dengan para kapitalis yang efisien. Namun Soekarno, PKI, dan radikal PNI beranggapan kepemilikan penuh oleh negara untuk menjamin nasionalisme kapitalis. Nasionalisme ekonomi sebagi prioritas. Kapitalisme birokrasi atau kapital yang dimiliki para pejabat negara dan birokrasi partai menjadi gambaran utama kepemilikan modal swasta di Indonesia. Pada periode ofensifnya, PKI menciptakan slogan untuk menghantam para kapitalisme birokrasi ini. Jika merujuk pada manifesto komunis (1848) bahwa kapital harus dikuasai oleh negara. Namun kondisi yang cukup pelik di pemerintahan inilah yang nantinya akan memicu G30S oleh D.N Aidit dkk dan gerakan ini adalah gagal total, dimulailah tahun-tahun dimana kapitalis mulai tumbuh subur di Indonesia. Kondisi sosial yang berbeda antara Indonesia dengan eropa sehingga dapat dipahami bagi D.N Aidit yang cukup frustasi akhirnya mengambil jalan pintas meniru Lenin. Manifesto komunis yang menjadi doktrinasi tidak semuanya sesuai dengan kondisi Indonesia. Hubungan antara tuan tanah dan penggarap adalah hubungan patron (pelindung) dan klien (yang dilindungi), bukan hubungan antara majikan dengan buruh. Negara yang diharapkan tumbuh sebagai negara kapitalis mengalami stagnasi. Tidak adanya upaya yang bersemangat dari kaum borjuis untuk ke arah sana selain hanya mengamankan posisi politiknya. Hubungan ini kemudian terus berlanjut setelah Indonesia merdeka, demokrasi terpimpin, orde lama dan orde baru. Apapun jenis borjuis, borjuis adalah borjuis jika ini bersangkut paut dengan kepentingan Buruh. Seperti kita ketahui ada tiga kekuatan negara saat itu, yakni: Sukarno, militer AD dan PKI. Baik PKI ataupun AD mendukung berlakunya Demokrasi Terpimpin. Bagi AD adalah suatu kesempatan untuk mengambil perusahaan-Perusahaan Belanda. Sementara bagi PKI adalah kesempatan mengenyahkan musuh-musuh politiknya. Keterbatasan modal dan jaringan, borjuis nasional harus bekerjama dengan mereka. Artinya, pemerintah harus membuka terhadap modal internasional dan golongan Cina. Ini berarti dimulailah hubungan antara borjuasi nasional dengan golongan Cina. Situasi negara yang tidal stabil dengan jatuh bangunnya kabinet membuat Sukarno menerapkan demokrasai terpimpin. Rezim otoriter yang didukung militer AD ini menandai mulai terlibatnya militer dalam penguasaan aset negara peninggalan Belanda. Borjuis pribumi lebih memilih bergerak sebagai importir melalui keagenan tunggal yang mereka dapatkan dari program benteng daripada menjadi produsen kapitalis yang memerlukan sejumlah modal dan distribusi. Namun kegiatan ini bergantung terhadap kekuasaan penguasa sebagai patron-nya, artinya bisnis ini akan selesai begitu sang penguasa berakhir atau berganti. Perubahan dari sistem kepartaian ke Demokrasi Terpimpin dan akhirnya ke kekuasaan militer yang diikuti penghancuran PKI serta penyingkiran Masyumi dan PNI. Sejatinya apa yang berlangsung sekarang adalah warisan masa lalu. Sebuah sistem yang berkesinambungan dan sebenarnya tidak terputus. Kepemimpinan boleh berganti, rezim bisa berubah tetapi kapitalis borjuis dan birokrat selalu ada menghuni pada bagian-bagian vital negara. Syarat untuk terjadinya kapitalis negara ataupun sosialis negara sangat tidak mudah mengingat mutualisme yang erat antara birokrat, politik dan kapitalis di Indonesia. Budaya suap, korupsi yang akut dan nepotisme yang mencengkeram telah dimulai sejak masa kolonial Belanda. (November 2012, Laut Arafuru, Kupang, Balikpapan)

BIOGRAFI SINGKAT ROESTAM EFFENDI


Roestam Effendi adalah aktivis gerakan komunis Indonesia dan Belanda, lahir di Padang (Sumatera Barat) pada tanggal 13 Mei l903 dan meninggal di Jakarta pada tanggal 24 Mei l979. Ia adalah putra dari Sulaiman Effendi seorang fotografer, dan Siti Sawiah. Pada tanggal l7 Juni

l937, ia menikahi seorang wanita berkebangsaan Polandia yang bernama Johanna Berta Roodveldt, dan dikaruniai seorang putra dan putri. Roestam Effendi tumbuh dan besar di Padang sebagai anak tertua dari sembilan bersaudara. Setelah menyelesaikan sekolah Holland-Hindia (primer), ia melanjutkan pendidikannya ke Sekolah Raja (Kweekschool) Bukittinggi karena minatnya yang besar uantuk menjadi guru maka kedua orang tuanya mengirimkan Roestam remaja untuk melanjutkan sekolahnya di Hogere Kweekschool voor Indlanse Onderwijzers (Sekolah Guru Tinggi untuk Guru Bumiputra) di Bandung.

Di Bandung setelah dia datang maka tidak lama kemudian karena aktifitasnya dalam belajar Roestam remaja bertemu dengan Sukarno. Ayah Roestam adalah seorang propagandis untuk NIP (Nasional Indies Party) pimpinan saudara Douwes Dekker dan Tjipto Mangunkusumo. Pada tahun-tahun 1924-1927 Roestam aktif di organisasi Muda Sumatranenbond, aktiftas politiknya berada di wilayah Minangkabau (Sumatera Barat). Sejak masih duduk di bangku sekolah, Roestam sudah banyak menaruh minat pada soal-soal kebudayaan dan pernah bercita-cita hendak memperbaharui dunia sandiwara yang saat itu lebih bersifat komedi stambul. Beberapa karyanya yang terkenal pada masa itu adalah Pertjikan Permenungan (Padang - 1925) dan Bebasari (1926). Di dunia sastra, keseriusannya untuk mengembangkan sastra Melayu diperlihatkan dengan kegigihannya mempelajari hasil-hasil kesusastraan Melayu seperti hikayat, syair, dan pantun. Pada masa awal kepengarangannya, Roestam sering menggunakan namanama samaran seperti Rantai Emas, Rahasia Emas, dan Rangkayo Elok. Karyanya yang cukup terkenal pada masa itu ialah Bebasari, yaitu sebuah naskah drama. Naskah ini sempat dilarang oleh pemerintah Belanda ketika ingin dipentaskan oleh siswa MULO Padang dan para mahasiswa kedokteran di Batavia (Jakarta). Pelarangan itu disebabkan karena karya ini dianggap sindiran terhadap pemerintah Hindia-Belanda. Cuplikan teks Bebasari : Harapan beta perawan pada Bujangga hati pahlawan Lepaskan beta oh kakanda, lepaskan Dengarlah peluk asmara hamba Kilatkan jaya kekasih hati Isi cerita Bebasari ialah, putri seorang bangsawan yang terkurung di antara kawat berduri, setelah ayahnya dibunuh. Bebasari diculik. Barangkali dia yakin kekasihnya, Bujangga, terus membawa dendam kesumat pada penjahat Rahwana. Bagaimana tak sakit hati Bujangga, kekasih diculik, kerajaan porak-poranda, bapak mati berkubang kesedihan. Hatinya geram dan bersiap menuntut balas. Jiwa kebangsaan, dendam patriotik hingga cinta asmara menjadi senjata pamungkas menghadapi penjajah durjana. Sebelum pergi ke Belanda, Roestam sempat beberapa lama menjadi kepala sekolah di Adabiah, Padang. Sebelum di Adabiah, ia pernah diangkat menjadi Waarnemend hoofd pada sekolah tingkatan HIS di Siak Sri Indrapura. Namun pengangkatan tersebut ditolaknya. Ia kemudian mendirikan sekolah partikelir yang diberi nama "Adabiah". Sebagai kepala sekolah, ia merasa memiliki kemerdekaan untuk berbuat. Sehingga ketika ia mengepalai sekolah, ia juga terjun ke dunia politik dan aktif menulis. Sebelumnya seperti yang sudah dipaparkan diatas bahwa Roestam mulai aktif dalam pergerakan politik yaitu Jong Sumateranbond wilayah Sumatera Barat, karena aktifitasnya dalam dunia politik itu maka akhirnya dia banyak berkenalan dengan orang-orang kaum pergerakan baik yang berada di Sumatera Barat ataupun yang berada di Bandung. Dalam aktifitasnya pada dunia politik itu Roestam banyak berkecimpung dengan kelompok Nasionalis. Tetapi pada periode 1925-1926 pemerintahan penjajah Hindia-Belanda mulai melakukan tindakan represif kepada kaum pergerakan terutama kepada kelompok radikal

yaitu Partai Komunis Indonesia (PKI), para aktifisnya yang berada di basis Buruh dan Petani sejak tahun 1924 sering melakukan pemogokan karena menentang kesewenang-wenangan Pemerintahan Hindia Belanda. Pemogokan adalah senjata yang populer pada saat itu yang dilakukan oleh kaum pergerakan atau kaum Yang Berlawan. Pemerintahan Penjajahan yang mulai melakukan tindakan represif untuk mengantisipasi perlawan itu dan mulai menangkapi para pimpinan-pimpinan gerakan Rakyat. Siapa yang pada saat itu tidak mengenal Semaun, Darsono, Tan Malaka, Sugono, Subakat, Ali Archam, Hj. Misbach, Mas Marco Kartodikromo, dll. Para pemimpin gerakan Rakyat itu berada pada garis terdepan untuk menentang pemerintahan colonial Belanda. Karena banyak pimpinanpimpinannya yang tertangkap dan lalu dibuang maka PKI sebagai organisasi pelopor perlawanan Rakyat pada saat itu berada pada dua pilihan yang sulit, apakah terus melakukan perlawanan secara terbuka untuk segera melakukan pemberontakan atau mengalihkan metode perlawanan menjadi perjuangan bawah tanah agar dapat terus memimpin gerakan Rakyat untuk menentang kolonialisme Belanda. Karena banyak para pemimpin utamanya sudah ditangkap atau dibuang maka kepemimpinan diserahkan kepada orang-orang yang pada saat itu masih berusia muda seperti Sardjono, Dahlan, Soekrawinata, Baharoedin Saleh, dll. Tindakan represif terus dilakukan oleh Pemerintahan colonial Hindia-Belanda maka para pemimpin-pemimpin PKI yang masih berusia sangat muda itu memutuskan pada pertemuan Prambanan pada tanggal 25 December 1925 untuk melakukan pemberontakan terhadap pemerintahan colonial Hindia-Belanda. Keputusan yang dihasilkan dari pikiran panas ini menghasilkan perlawanan yang sangat premature, ditengah persiapan yang masih sangat kurang dan banyak organisasi-organisasi atau cabangcabang Partai sudah mulai bergerak dibawah tanah serta banyak juga para pemimpin-pemimpin utamanya baik di tingkat pusat maupun daerah sudah tertangkap Partai memutuskan untuk tetap melakukan pemberontakan pada tanggal 12 November 1926 malam di Jakarta, Banten, Priangan, Surakarta, Banyumas, Pekalongan, dll di Jawa. Selanjutnya pada tanggal 1 Januari 1927 meletus pemberontakan di Sumarta Barat. Akibat ketergesa-gesaan untuk melakukan pemberontakan itu karena kepala panas menyebabkan PKI menempuh jalan Opportunisme Kiri atau advonturir karena memang syaratsyarat utama baik factor internal organisasi maupun factor eksternal untuk melakukan pemberontakan belum terpenuhi. Karena ketidaksiapan organisasi-organisasi yang berada dibawah pimpinan Partai maka pemberontakan itu tidak berlangsung lama hanya hitungan mingguan saja dan berhasil ditumpas sehingga menyebabkan kerugian yang sangat besar bagi gerakan Rakyat pada saat itu karena ribuan massa Rakyat baik itu Buruh, Petani, Miskin Kota, para ulama ditangkap, di represi dan di dibuang oleh pemerintahan Hindia-Belanda karena kegagalan pemberontakan itu menyebabkan PKI hancur berkeping-keping sehingga ada kekosongan kepemimpinan pada gerakan Rakyat selama periode 1927-1945. Karena situasi politik pada saat itu sangat represif dan tidak menguntungkan kaum pergerakan dan pemerintahan Hindia-Belanda di wilayah Sumatera Barat juga sudah menyium bahwa Roestam selain beraktifitas dalam kelompok pergerakan Nasionalis juga pernah berhubungan dengan beberapa pimpinan PKI wilayah Sumatera Barat maka tidak ada pilihan selain menyingkir dari wilayah Indonesia untuk menghindari penangkapan. Atas rekomendasi dari Hj. Salim Effendi maka pada bulan-bulan awal tahun 1927 Roestam Effendi pergi ke negeri Belanda dengan alasan untuk melanjutkan pendidikan. Setelah tiba di Den Haag negeri Belanda Roestam melanjutkan terlebih dahulu pendidikannya pada sekolah dasar (Collage preparation) sebelum melanjutkannya pada sekolah Hukum Ekonomi. Selain melanjutkan sekolahnya Roestam juga mulai melakukan aktifitas politik terutama dikalangan para mahasiswa Indonesia dan dia bergabung dengan Perhimpunan

Indonesia (PI), yang tujuan dari organisasi itu adalah berjuang untuk Kemerdekaan Indonesia. Pada tahun 1929 dia duduk sebagai anggota dewan organisasi itu dan karena aktifitas politiknya itu Roestam mulai mendapat pengawasan dari polisi dan intelegen. Pada tahun-tahun itu PI juga aktif di Liga Menentang Imperialisme dan Kolonialisme yang berpusat di Belgia dan Liga itu juga mempunyai kontak internasional dari beberapa negara. Di Belanda, Roestam memberikan kontribusi untuk lembaran anti-militeristik dan kiri, di mana ia menganjurkan kemerdekaan bagi Indonesia. Di bawah arahan M. Hatta, Sutan Sjahrir, dkk maka PI mengundurkan diri pada tahun 1932 dari Liga Anti Imperialisme dan Kolonialisme, tetapi setelah terjadi perdebatan internal yang tajam, yang melibatkan Hatta dkk dengan Roestam Effendi dkk maka dilakukan voting untuk memilih apakah PI tetap bergabung dengan Liga Anti-Imperialisme dan Kolonialisme atau keluar dari organisasi itu, tetapi setelah dilakukan voting tersebut posisi Hatta dkk tetap tinggal minoritas. Hatta dkk menolak bergabung dengan Liga tersebut karena dianggap pengaruh Komunis Internasional (Komintern) terlalu besar. Karena keputusan organisasi tetap bergabung dengan Liga Anti-Imperialisme dan Kolonialisme maka Hatta dkk terus melakukan perlawanan, karena dianggap tidak patuh dan tunduk pada keputusan majoritas anggota organisasi maka Hatta, Sutan Sjahrir, dkk dipecat dari keanggotaan Perhimpunan Indonesia (PI). Pada masa itu banyak juga simpati anggota PI untuk Partai Komunis Belanda (CPN Communist Party Netherland) dan Liga Anti-Imperialisme dan Kolonialisme sehingga posisi mereka mayoritas pada saat dilakukan voting. Roestam Effendi pada akhir tahun Sembilan Belas dua puluhan tinggal di Rotterdam dan Den Haag serta kemudian pindah ke Amsterdam. Dia juga menghabiskan beberapa waktu di Berlin dan belajar pada tahun akademik 1932 -1933 dengan nama samara AlfaRoes ke Sekolah Lenin di Moskow. Setelah kembali ke negeri Belanda pada tahun 1933 maka oleh CPN Roestam Effendi dicalonkan sebagai kandidat untuk pemilihan parlemen. Warga negara Indonesia yang juga dianggap oleh hukum sebagai warga negara Belanda dapat juga bisa menjadi anggota parlemen. Tan Malaka pada tahun 1922 juga pernah dicalonkan oleh CPN menjadi anggota parlemen sebagai wakil dari tetapi gagal karena pada saat itu usianya masih sangat muda yaitu 24 tahun. Pada saat pemilihan parlemen itu para pemimpin yang dicalonkan oleh CPN pada tempat pertama adalah L de Visser dan ketiga adalah D.J. Wijnkoop. Rostam Effendi yang pada awalnya berada pada posisi ketiga di geser ke posisi keenam. CPN memenangkan empat kursi. Sardjono yang juga berasal dari Indonesia berada pada calon kedua, dan Alimin berada pada posisi ke-empat peserta pemilihan parlemen. Tetapi karena ketua PKI yaitu Sardjono ditangkap oleh pemerintahan colonial Hindia-Belanda dan dibuang ke Digoel yang berada di hutan New Guinea dan tidak bisa meninggalkan penjara dan Alimin yang pada pada saat itu tinggal di Moskow yang juga tidak diperkenankan masuk ke negeri Belanda, maka pemerintahan borjuis-kolonial Belanda tidak memperkenankan kedua calon yang berasal dari Indonesia tadi untuk dapat duduk di Parlemen Belanda. Untuk mengantisipasi kecurangan pemerintahan Borjuis-kolonial Belanda maka CPN mengajukan 4 nama untuk dapat bergabung di parlemen yang baru yaitu: C. Schalker, Roestam Effendi, De Visser dan D.J. Wijnkoop dan oleh komite pemilu pusat dinyatakan terpilih. Roestam Effendi adalah wakil pertama dan termuda dari Indonesia yang duduk di Parlemen Belanda sebagai wakil dari CPN. Seorang jaksa agung bahkan setelah terpilihnya Roestam sebagai anggota parlemen mencoba menunda untuk menarik melakukan sumpah karena Roestam Effendi dituduh melakukan penghasutan pada kampanye-kampanye pemilihan. Rostam

Effendi membantah dan menolak tuduhan itu. Roestam Effendi adalah seorang pendebat cerdas di DPR, yang sering mengungkapkan bahasa yang kuat. Dia mendapatkan banyak peringatan dari Ketua Sidang dan kata-katanya dia sering ditolak. Ketika wakil Partai Anti-Revolusioner yaitu J. Schouten yang dalam menghadapi pemberontakan di Kapal Tujuh (De Zeven Provincen) pada tahun 1933 di Indonesia, mengakhiri pidatonya dengan kata-kata Dan pemerintah harus memerintah!, maka Roestam Effendi segera bereaksi mengatakan Dan orang-orang saya pasti binasa. Didalam Parlemen Belanda Roestam Effendi berada pada posisi anggaran urusan colonial seperti Indonesia dan beberapa tanah jajahan lain seperti Suriname. Pada tahun-tahun tersebut Rostam Effendi sering menjadi pembicara pada pertemuan-pertemuan publik dan konferensi. Pada tahun tahun 1935 Roestam Effendi datang ke Moscow sebagai anggota delegasi Partai Komunis Belanda untuk berpartisipasi dalam Kongres VII Komintern. Dalam konggres tersebut Roestam Effendi yang merupakan anggota dewan dan Polit-Biro (BiroPolitik) CPN terpilih menjadi calon anggota Komite Eksekutif Komunis Internasional. Salah satu keputusan dari kongres Komintern ke VII itu adalah menghimbau kepada gerakan Buruh sedunia untuk menghadapi bahaya kebangkitan Fasisme dan melakukan perlawanan terhadap kebangkitan organisasi-organisasi Fasis di masing-masing negeri serta ikut menentang imperialisme negeri-negeri fasis. Hasil kongres Komintern ini dikenal dengan sebutan Doktrin Dimitrov. Dalam pemilihan umum tahun 1937 di Belanda Partai Komunis kehilangan satu kursi dari empat kursi mereka. Tetapi Roestam Effendi tetap masih terpilih menjadi anggota parlemen.. Tapi belum satu tahun berselang posisinya menjadi agak muram. Kritik dari Komintern terhadap haluan dan aksi CPN menguntungkan bagi tampilnya Paul de Groot sebagai ketua CPN. Dengan restu Moscow de Groot menetapan haluan baru dan kawan-kawan separtai yang berani memperdengarkan suara kritis tentang ini ditindak. Roestam Effendi yang juga anggota Biro Politik (Polit-Biro) yaitu badan partai tertinggi yang dipilih diantara pimpinan Partai mendukung dua orang oposan terhadap De Groot. De Groot menjadikan mereka itu sebagai sasaran serangannya dan ia mendapat dukungan dari mayoritas pimpinan partai. Roestam Effendi juga harus akibat-akibat dari pendiriannya itu. Ia tetap menduduki tempatnya dalam pimpinan Partai, tetapi oleh pimpinan ini ia tidak dipilih lagi untuk duduk dalam Biro-Politik. Setelah kongres ketujuh Komintern Roestam Effendi di Gedung parlemen Belanda dan dalam rapat-rapat atau pertemuan-pertemuan selalu mengkampanyekan untuk bersama-sama bahumembahu antara pemerintahan Belanda bersama Rakyat Indonesia kebanyakan untuk bersamasama melakukan persiapan terhadap ancaman kebangkitan bahaya fasisme Jepang. Slogan untuk kemerdekaan bagi Indonesia segera tidak lagi mengambil posisi di latar depan. Sebagai anggota parlemen Roestam membatasi diri pada masalah-masalah Indonesia saja dan dalam hal ini dia memperlihatkan kesetiannya pada garis Moscow yang menunjukkan fluktuasi yang mencolok - dari pendiriannya terhadap Negara-negara imperialis yang tidak terdamaikan menjadi politik Front Rakyat. Pada tahun 1938 Effendi dan keluarganya pindah ke Blaricum selama pendudukan Jerman. Roestam menunjukkan pendapatnya pada public yang lebih luas, namun mungkin sekali tidak berhasil dicapai; brosurnya yang diterbitkan di Blaricum tidak mendapat perhatian. Dengan program yang lunak ia berusaha menembus isolasi Komunis Paul De Groot dkk demi kepentingan kerjasama politik yang luas. Indonesia tidak mendapatkan lebih dari sekedar beberapa baris. Bangsa Belanda punya kewajiban yang tidak terelakkan dan juga siap untuk membebaskan atau membantu membebaskan bahwa Indonesia dari cengkraman imperialis fasis Jepang.

Sesudah pembebasan Belanda Roestam menduduki tempatnya lagi dalam barisan Partai. Suatu partai yang telah kehilangan banyak kadernya dari masa sebelum perang, namun dengan surat kabar De Waarheid yang illegal telah menerobos isolasi dari sebelum perang, dan tampakknya juga berhasil mendapat pengaruh yang lebih besar. Ini adalah perspektif kerjasama engan SosialDemokrasi dalam konteks yang baru. Pendukung kuat tentang ini adalah Paul De Groot yang dalam tahun 1943 mengemban pimpinan CPN illegal, sesudah berkali-kali hampir tidak bisa meloloskan diri dari penangkapan. Kemudia ia menyembunyikan diri di Belanda timur dan tidak ikut serta dalam aksi-aksi CPN. Segera setelah belanda barat juga dibebaskan, De Groot pergi ke Amsterdam untuk menawarkan ide-idenya disana. Ternyata dia berhasil kendati adanya perlawanan dari tokoh-tokoh CPN di selatan, dimana CPN telah didirikan kembali pada bulan December 1944. De Waarheid edisi Amsterdam tanggal 14 Mei telah memuat pernyataan dari delapan pimpinan CPN tentang pembubaran Partai mereka dan menyerukan untuk mewujudkan Vereniging van de Vrienden van De Waarheid (Perhimpunan Sahabat De Waarheid) sebagai partai baru dari kekuatan-kekuatan progresif dan demokratis. Aksi De Groot ini mirip yang terjadi di Amerika Serikat. Disana Partai Komunis pada bulan Mei 1944 juga dibubarkan oleh ketuanya, Earl Browder dan digantikan semua Perhimpunan Politik untuk Amerika yang lebih demokratis dan progresif. Sikap demikian ini ditentang oleh tokoh terkemuka Komunis Perancis, Jacques Decloc yang pada bulan April 1945 menulis sebuah artikel panjang dalam organ teori Cahiers du Communisme tentang pembubaran Browder tersebut. Dengan didirikannya kembali Partai Komunis Amerika pada bulan Juli 1945 praktis Browder disingkirkan dan Browderisme di cela sebagai penyimpangan baru dari garis Komunis. Terhadap semua ini De Groot dan kawan-kawannya sesame pimpinan tidak mengetahui. Pimpinan CPN di selatan sesudah pembubaran itu mencari kontak dengan Partai-Partai sekawan di Belgia dan Perancis di Brussel, yang justru memperkuat perlawanannya terhadap keputusan tersebut. Dalam bulan Juni diputuskan mengundang De Groot dan tokoh-tokoh pimpinan yang lain ke Paris untuk bisa membeberkan haluan yang benar pada kesempatan Kongres Partai Komunis Perancis. De Groot berhalangan tetapi ada dua orang utusan yang lain datang yaitu Duclos dan orang pertama Maurice Thorez. Dalam perjalanan pulang di Brussel mereka bertemu dengan De Groot yang pergi menyusul. Rombongan Belanda ini diterima oleh Partai Komunis Belgia, Edgar Lalman dan seorang mantan agen Komintern. Mulai Juli akhirnya De Groot harus menyesuaikan diri dengan apa yang dikehendaki Moscow: mendirikan kembali CPN kebijakaan ini berarti pukulan hebat bagi garis kebijakan De Groot. Termasuk dalam kalangan oposisi yang semakin besar, yang dalam berbagai kesempatan berkumpul adalah juga Roestam Effendi. Namun oleh Daan (Goulooze) tokoh terkemuka dalam pemulihan kembali CPN, Roestam agak sedikit dijauhi. Tentang ini tiada alasan yang kemukakan. Pada tanggal 20 Juli, satu hari sebelum konferensi Partai Roestam masih berbicara di depan pertemuan kaum oposisi. Dalam sebuah surat untuk kawan se-Partai tertanggal 26 Juni 1945 Roestam menyinggung tentang sedikit kekacauan dalam barisan sendiri, dan:

Kita menghadapi saat yang penuh gejolak dan menarik serta berdiri pada ambang
peristiwa besar. Disaat-saat seperti ini dari kita semua diminta keberanian, kegigihan, semangat dan keluwesan dalam mengemban cita-cita Komunis, mengatasi empasan dan rintangan sampai mencapai kemenangan akhir. Ini menuntut kita agar membuang schema dan dogma Partai yang tua dan using serta taktik kita harus disesuaikan dengan hubungan-hubungan dan pergeseran-pergeseran kekuatan didalam dan yang terjadi oleh perang ini. Kita harus melindungi diri dari politik advontur dan konjungtur yang demikian banyak dilakukan disekitar kita, karena jaman ini-pun telah ikut

menggalakkannya. Dalam konferensi tanggal 21-23 Juli 1945 masalah pendirian kembali CPN tidak lagi didiskusikan. Perdebatann yang agak sengit berkisar pada masalah pertanggung-jawaban, mencari siapa yang salah dan masalah-masalah pribadi. Akhirnya dilakukan pemilihan pimpinan Partai dengan hasil pengikut De Groot mendapat mayoritas. De Groot berhasil bertahan berkat oposisi yang tampil compang-camping dan tidak taktis serta manuvernya yang cekatan dan menyakinkan. Dalam hubungan di Belanda pendapat Roestam tidak sesuai dengan suasana De Waarheid dan juga PI yang diwakili oleh Setiadjit yang pada tahun 1944 duduk dalam Indische Commissie untuk perjuangan bersama yang dalam bulan Maret 1945 mengeluarkan pernyataan Voor de bevrijding van Indonesie (untuk Kemerdekaan Indonesia). Ini merupakan pernyataan persetujuannya untuk bergabung dengan sukarela dalam suatu vernieuwd gemenebest (persemakmuran bersama yang diperbaharui) dan akhirnya menyerukan agar bekerja dengan sukarela untuk memerdekaakan Indonesia dan bahkan menolak pengiriman tentara milisi. Bagi de Groot dan kawan-kawan yang ingin menyebarluaskan gambaran tentang Gerakan De Waarheid/CPN yang moderat secara nasional, visi Roestam Effendi tidak bisa diterima sama sekali. Sesudah proklamasi Paul De Groot berbicara dalam suatu rapat tertutup kader Partai tentang politik Indonesia pada tanggal 11 oktober 1945:

Pertama-tama kita harus menyatakan dengan tegas bahwa kita setuju ikatan bersama
antara Indonesia dengan Belanda dipertahankan. Indonesia terlepas dari Belanda berarti dalam sekejap jatuh ke tangan Inggris De Groot sungguh-sungguh mempunyai keberatan terhadap pemimpin-pemimpin Revolusi Indonesia yang terpenting terutama Sukarno yang pada masa pendudukan telah bekerja-sama dengan fasisme dunia dan juga dengan Hatta yang seorang Trotskyst, musuh Uni Sovyet yang sejak sebelum perang dunia ke II sudah menjadi agen Jepang. De Groot berpendapat:

Seluruh gerakan nasional di Indonesia telah bekerjasama dengan Jepang. Ini sama
sekali merusak nama baik. Apabila kita boleh berbicara secara blak-blakan maka kita akan mengatakan: Sukarno dan Hatta adalah kolaborator, tapi dari berita-berita ternyatalah bahwa pemerintahan baru yang dibentuk disana mendapat dukungan massa Rakyat yang luas. Maka akan lebih taktis jika pengadilan terhadap para kolaborator itu diserahkan kepada Rakyat Indonesia sendiri. Sudah mendesak waktunya bagi Partai Komunis Indonesia/PKI kembali tampil. Di sini kita tidak bisa mendirikan PKI. Kekuatan-kekuatan Indonesia belum diketahui. Tapi dari sini kita sejauh mungkin akan mengingatkan tentang keharusan adanya organisasi legal PKI. Terbuka kemungkinan-kemungkinan besar apabila kita melakukan politik yang tepat. Didalam hubungan kenegaraan dengan Belanda kita akan bisa mengambil langkah jauh lebih banyak untuk kemerdekaan Rakyat Indonesia, ketimbang dibawah semboyan Indonesia lepas dari Belanda. Sekarang Belanda berdiri di simpang sejarah. Akan-kah menempuh jalan menuju pembaruan dan kemajuan demokratis ataukah akan melangkah terus diatas jalan dolorosa kekolotan dan reaksi dengan segala akibat-akibatnya. Pemilihan umum yang dipercepat yang juga dirindukan dengan tidak sabar dan dicari oleh berjuta-juta kaum democrat yang beritikad baik di Indonesia, Suriname dan Curaqao, itulah yang akan menentukan hasilnya".

Pada tanggal 17 oktober 1945 Roestam Effendi memberikan reaksinya didalam sidang parlemen Belanda. Visi politik Roestam berjarak jauh dari kelompok disekitar Paul De Groot tapi pimpinan CPN yang baru tidak tidak bisa menyiapkan jalan untuk Roestam guna pengunduran dirinya di Parlemen Belanda sebab Roestam adalah satu-satunya anggota parlemen CPN yang selamat dari perang dunia ke II dan untuk pengunduran dirinya harus dilakukan lewat mekanisme pemilu yang sepertinya baru bisa dilakukan pertengahan 1946. Roestam pada sidang parlemen tanggal 17 oktober itu menyulut kembang-api retorika menurut tradisi sebelum perang. Ketua Tweede Kamer membiarkan Roestam dua kali menarik kembali bagian yang tidak bisa diterima. Roestam Effendi sekarang berbicara sebagai orang Indonesia dan Komunis kepada massa luas kaum Pekerja di Belanda dan kawan-kawanya setanah air di Indonesia, atas nama massa demokratis yang luas dan kaum Pekerja yang Revolusioner di Belanda. Ia menyerukan kerja sama antara Indonesia dan Belanda; suatu syarat mutlak dan kepentingan vital yang esensil bagi dua Negara untuk tidak menjadi bulan-bulanan permainan buruk dari kekuatan-kekuatan imperialis yang bergulat, intrik dan pat-pat gulipat. Tapi kerja sama itu hanya bisa dilakukan atas dasar HAK MENENTUKAN NASIB SENDIRI, SEDERAJAT DAN HAK SAMA! Bisakah dari kejadian-kejadian itu sesuatu yang baik dan besar masih akan lahir? Atau, apakah didalam konflik yang pecah terkandung benih untuk permusuhan yang kekal dan jurang yang tidak terjembatani, sehingga kedua-dua bangsa itu akan berpisah untuk selamanya?. Untu menjawab pertanyaan ini Roestam sebegitu jauh menegaskan apa yang didengar dari rekanrekannya yang mengandung sifat:

Picik, menyimpang dan kaku. Mereka tidak mempunyai orisinalitas dan pemikiran.
Mereka terlalu berbau udara museum yang apek, dimana matahari pikiran waras rupanya tidak pernah tercerahkan! Apa yang ku dengar hanyalah suatu reaksi dan kekolotan. Roh reaksi dan mentalitas colonial tua, yang selama bertahun-tahun peperangan dan pendudukan didalam ketakutan dan gentar bersembunyi duduk di tempat persembunyian mereka yang gelap, pada saat ini seakan-akan muncul dari gua-gua persembunyian tua mereka dab bermaksud bisa bermain lagi dengan permainan tua devide et impera.

Dan jika bicara tentang kerjasama adalah kebijakan colonial yang fatal bahwa
bangsa Indonesia harus di giring dan di giring dibawah kekuasaan Imperialisme Jepang. Adalah politik Digul dan politik bayonet yang busuk, politik amuk rezim colonial yang mengancam, yang membikin bangsa Indonesia menjauh dari Belanda.

Kami bekerjasama dengan Jepang hanya karena mengkonsolidasikan kekuatan kami


dan tidak karena kami pro-Jepang.

Kaum Komunis berbicara blak-blakan bahwa mereka mendukung sepenuhnya


perjuangan demokratis bangsa Indonesia untuk mengakhiri hubungan-hubungan colonial dan penindasan imperialism. Kita yang telah mempertaruhkan semuanya dalam perjuangan menentang Nazi di negeri ini, atas dasar yang sama membela kemerdekaan bangsa Indonesia terhadap penindasan bangsa yang lain! Jalan pikiran Roestam tidak bisa mendapat pengertian sedikitpun dan sama sekali diluar pola pikiran parlemen dan kabiner. Hal serupa juga berlaku bagi Partainya sendiri: Paul De Groot didepan sidang pimpinan Partai, memberikan pernyataan yang sangat bertentangan.

Sementara itu posisi Roestam Effendi didalam CPN ternyata tidak bisa dipertahankan lagi. Pada tanggal 27 November 1945, De Waarheid memberitakan bahwa pimpinan Partai telah memberhentikan Roestam Effendi untuk sementara waktu sebagai anggota Partai dan juga dianggap bukan lagi sebagai anggota fraksi CPN di parlemen Pada bulan Januari 1946 didalam kongres CPN Roestam Effendi dinyatakan dipecat dari keanggotaan CPN karena dianggap tidak tunduk pada garis kebijakan Partai baik di tingkatan Nasional Belanda maupun dalam urusan Indonesia. Dan sejak itulah maka Roestam Effendi sudah berpisah jalan dengan sesama teman Komunisnya di CPN seperti Paul De Groot dkk serta teman Komunisnya sesama orang Indonesia seperti Setiadjit, Abdul Madjid, Maruto Darusman dkk yang dulu pernah bersama-sama di dalam organisasi Perhimpunan Indonesia (PI). Untuk meng-counter usaha pemecatan dirinya dari keanggotaan CPN Roestam Effendi melayangkan sebuah surat kepada ketua sidang kongres CPN: Berdasarkan skorsing saya dan akibat-akibat yang timbul daripadanya, saya menyatakan: 1.Bukan saya, melainkan kalian sendiri yang telah membawa keluar krisis intern di dalam CPN melalui publikasi secara sadar didalam De Waarheid dan suratkabar-suratkabar lainnya. Suatu krisis politik yang karena kedisiplinan dan terutama pengendalian diri saya sampai sekarang tidak tersebar keluar. 2.Bahwa salah langkah politik ini yang dilakukan pada saat Rakyat Indonesia berjuang mati-matian untuk kemerdekaan, tidak lain berarti suatu penghianatan terhadap persekutuan antara Rakyat Indonesia dan kelas Buruh belanda ditengah-tengah pergulatan anti imperialis melawan musuh bersama. 3.Bahwa skorsing itu pada hakikatnya tidak lain berarti suatu daya upaya untuk membelokkan upaya perhatian Partai seluruhnya dari persoalan politik yang penting dan itulah yang dihadapi oleh kelas Buruh belanda dan khususnya Partai. 4.Bahwa tindakan politik baru yang keliru dari pimpinan Partai sementara ini timbul dari pandangan opportunisme yang sama, yang pada waktu itu telah berakibat pada dilikuidasi CPN secara otoriter, tidak demokratis. 5.Bahwa dengan motivasi skorsing melalui perusakan dan pemutar baikkan fakta-fakta dengan cara yang paling halus, dicobanya saya diserahkan kepada reaksi yang merasa marah dan tersinggung dan bersamaan dengan itu membikin pimpinan yang sekarang lebih menarik bagi kaum borjuasi, suatu cara yang harus diprotes keras oleh setiap orang Komunis. 6.Bahwa didalam alasan yang disiarkan tentang skorsing saya dilansir insinuasi secara sadar, yang tentang ini pimpinan Partai tahu dan harus tahu bahwa banyak kawan separtai dan buka separtai dengan bukti-bukti yang kongkrit bisa membantah insinuasi itu. 7.Bahwa pimpinan Partai yang sekarang mengibarkan formalisme setinggi-tingginya dan melecehkan Sentralisme Demokrasi kita! Setelah Roestam di pecat dari keanggotaan CPN maka pada akhir tahun 1946 Roestam Effendi bersama keluarganya pulang ke Indonesia menggunakan kapal laut bersama 250 orang buangan Indonesia yang ada di luar negeri yang termasuk didalamnya terdapat Douwes Dekker atau Setiabudi seorang politikus senior pendiri Nasional Indische Party (NIP). Setelah tiba di Jakarta maka Roestam dan keluarga bersama Douwes Dekker melanjutkan perjalanan menggunakan kereta api menuju Jogjakarta. Setibanya di Jogjakarta mereka disambut dengan meriah dan diterima oleh Sukarno yang pada saat itu merupakan presiden Republik Indonesia pada tanggal 13 Januari 1947. Pada tanggal 27 Januari 1947 Comite Central (CC) PKI mengumumkan bahwa berhubung dengan berita-berita dan pertanyaan-pertanyaan Roestam Effendi tidak bisa diterima menjadi

anggota PKI, sebab menurut berita resmi dari CPN dia sudah di royer (dipecat) karena telah melanggar disiplin Partai dan bahwa PKI sudah sepatutnya mengambil keputusan tersebut. Pada saat kongres PKI yang dilangsungkan di Solo pada tanggal 11-13 Januari 1947 Roestam Effendi yang datang beserta banyak anggota-anggota PKI lama dari periode 1926 yang juga baru datang dari pembuangan di Australia seperti Djamaludin Tamin, Nurut, Ongko D, Wiro S, dll juga ditolak masuk oleh Sardjono dengan alasan bahwa Roestam sudah di royer dari CPN dan para anggota PKI lama tahun 1926 semacam Djamaludin Tamin dkk juga dikatakan sudah di royer sebab pada tahun 1926 menghalang-halangi pemberontakan yang dipimpin oleh PKI terhadap pemerintahan colonial Hindia-Belanda. Sejak peristiwa Solo itulah maka kekuatan Komunis di Indonesia terpecah menjadi dua, PKI menuduh Roestam Effendi, Djamaludin Tamin dkk adalah pengikut Tan Malaka yang berarti kaum Trotskyst dan sejak itulah di mulai satu periode oposisi bersenjata dari kekuatan Komunis di luar lingkaran PKI terhadap jalannya Revolusi Pembebasan Nasional di Indonesia yang dianggap sudah menyeleweng sejak ditandatanganinya perjanjian Linggardjati oleh PM Sutan Sjahrir dan Menteri Pertahanan Amir Sjarifuddin (PKI Illegal). Sejak di Indonesia untuk menyalurkan ide-ide politknya Roestam Effendi sering menulis artikelartikel yang dimuat harian Pasific di Solo, yang sejak tanggal 1 Febuary 1947 di terbitkan oleh Barisan Banteng pimpinan dr Muwardi. Selain itu juga kakak kandung Roestam Effendi yaitu Boes Effendi juga secara teratur menulis di Pasific dari kakaknya itu maka Roestam bisa menyumbangkan karangan-karangannya disana. Setelah Perjanjian Linggardjati di tandatangani di Jakarta dan tidak lama kemudian belanda melanggar perjanjian gencatan bersenjata di Mojokerto maka Roestam Effendi kembali menuliskan:

menghadapi politik kapitalulasi dan reformisme ini kekuatan Revolusioner harus


mengatur organisasinya mereka sendiri. Reformisme Amir Sjarifuddin dan Sutan Sjahrir telah kandas. Percaya kepada itikad baik belanda merupakan struisvogel en zelfmoordpolitiek (politik burung unta dan politik bunuh diri, sekarang saatnya Amir dan Sjahrir harus menjawab!! Sesudah dilancarkannya aksi polisionil bulan Juli 1947, Roestam menyatakan tentang harus diakhirinya politik diplomasi dan politik slogan. Harus ada perjuangan dan tindakan. Perjuangan melawan imperialism belanda tidak bisa dielakkan lagi; untuk ini diperlukan suatu pemerintahan yang Revolusioner, yaitu pemerintahan yang Anti-Imperialis yang memimpin kabinet perang. Masukkanya semua politisi yang bertanggung jawab atas Linggardjati harus di tolak. Semua tapol (dari Persatuan Perjuangan dan semua elemen-elemen lain) yang menolak politik diplomasi dari pemerintahan RI harus mendapat amnesty, sebagai pengakuan terhadap kekeliruan tindakan penahanan mereka dan sebagai jaminan politik Anti-Imperialis yang sejati. Roestam Effendi sering tampil sebagai pembicara pada banyak organisasi politik seperti Barisan Banteng, Partai Rakyat, Partai Rakyat Djelata, Partai Buruh Merdeka, Laskar Rakyat Djelata, Partai Wanita Rakyat, Laskar Rakyat Djawa Barat, AKOMA dll. Karena lama pernah berdiam di Eropa dan juga pernah mengikuti khursus Marxis-Leninis di Moscow, Roestam Effendi cukup mampu menyampaikan pengetahuannya tentang Marxisme dengan lebih mendalam kepada para peserta khursus politik baik dari kalangan politikus maupun di kalangan Laskar. Tulisan-tulisan dari teks-teks klasik karya-karya Marx, Lenin dan Stalin sering dibawakannya pada khursus-khursus politik tersebut. Roestam Effendi membedah politik kapitalulasi Linggardjati sebagai politik reformis atau paham opportunis kanan, Linggardjati

berarti memantapkan posisi capital asing di Indonesia. Pemimpin-pemimpin Revolusioner gadungan yang menamakan dirinya sebagai komunis dan Leninis-Stalinis seperti Amir Sjarifuddin, Sardjono, Abdul Madjid, Maroeto Darusman, Alimin dan Setidjit mendukung penuh politik kapitulasi dan opportunis kanan ini. Menurut Roestam Effendi:

kaum Pseudo-Leninisten (Leninis gadungan) didalam republic ini hanya menunggu


dan sibuk dengan kata-kata mereka. Mereka mendukung pengembalian hak milik asing dan dengan begitu kapitalisme bisa datang kembali serta menunda jalannya Revolusi Borjuis Demokratis yang harus diselesaikan sampai akhir. Politik Persatuan Perjuangan (PP) mendukung program untuk mendapat dukungan luas dalam fase Borjuis-Demokratis. Dibawah pimpinan yang Revolusioner fase ini bisa beralih menjadi Revolusi-Sosialis. Memang barangkali aka nada suatu adempauze - jika keadaan objektif memerlukan - tapi adempauze yang sekarang ini, pada saat borjuasi berkkuasa hanya berakibat regresif. Posisi Roestam Effendi dalam pendidikan politik dan ideology menggantikan sementara posisi Tan Malaka yang masih berada di dalam penjara. Dalam setiap kursus-kursus yang dilakukan olehnya selalu dibanjiri oleh banyak peserta terutama dari golongan pemuda anggota-anggota AKOMA yang berpendidikan baik, yang Komunis tapi menentang politik PKI, karena PKI dianggap sudah menjalankan politik kapitalulasi/menyerah-isme kepada kaum Imperialis dengan mendukung perjanjian Linggardjati dan perjanjian Renville sebab itu merupakan penyelewengan terhadap Perjuangan Kelas Buruh dan Tani demi kemerdekaan Nasional dan Sosialnya di Indonesia. Pada saat pembentukan Partai Murba pada tanggal 7 November 1948 di Solo posisi Roestam Effendi, Tan Malaka dan Djamaludin Tamin duduk diluar struktur Partai yang pada saat itu banyak diisi oleh para Pemuda. Selama perang Kolonial ke II Roestam Effendi aktif melakukan perang gerilya di Djawa Timoer dan duduk sebagai Komisaris Politik pada Centraal - Commando pada organisasi Guerilla Pembela Proklamasi (GPP) bersama Abidin Effendi (adik kandung), J.F. Warraow, Sjamsu Harja Udaya dan Gondo Wardojo. Setelah perang kemerdekaan selesai pada periode 1950-1965 Roestam Effendi duduk sebagai dewan penasehat Partai Murba. Ketika terjadi huru-hara politik tahun 1965-1967 yang berbuntut pada tumpasnya Partai Komunis Indonesia dan digulingkannya presiden Sukarno oleh oleh Jendral Suharto-Nasution untuk menghindari penangkapan maka Roestam Effendi membakar seluruh dokumentasi yang dimiliki olehnya baik itu berupa artikel, surat-menyurat, dan buku-buku. Pada saat itu Roestam juga terus diawasi oleh militer sebab aktifitasnya dimasa lalu yang dianggap juga orang kiri. Selama periode akhir 1960an sampai dengan pertengahan tahun 1970an Roestam Effendi mengajar di Fakultas Ekonomi universitas Pajajaran bersama Mr. Iwa Kusuma Sumantri dan Semaun. Selain mengajar dia juga aktif menulis tentang karya-karya sastra. Roestam Effendi meninggal dunia akibat serangan jantung karena usia tua pada tahun 1979.

MERDEKA 100% - Dipetik dari buku "Politik" - Tan Malaka - 24 November 1945
SI TOKE : Apa yang dimaksudkan dengan Merdeka 100%? Buat saya Merdeka itu tak ada batasnya. SI GODAM : MERDEKA itu memang selalu ada batasnya. Batasnya itu pertama terhadap ke dalam. Kedua terhadap keluar.

SI TOKE : Apa artinya? SI GODAM : Terhadap ke dalam! Bukankah tiap-tiap orang dalam negara Merdeka itu mesti menghargai Kemerdekaan tiap-tiap warga lain? Jadi tiada boleh berbuat sekehendak hatinya saja terhadap warga sejawatnya. Di sinilah terletak batasnya. SI PACUL : Kalau begitu terhadap keluar: tiap-tiap negara Merdeka mesti pula mengakui Kemerdekaan tiap-tiap Negara Merdeka yang lain, besar atau kecil. Berapa pun kuatnya satu negara Merdeka tidaklah dia bisa berbuat sekehendak hatinya saja terhadap negara lain. Dengan begitu maka Kemerdekaan satu negara terletak pula pada Kemerdekaan negara lain, jadi arti luasnya pada suasana Kemerdekaan umumnya. SI GODAM : Tepat, Cul! Kalau suasana Kemerdekaan itu dalam arti umum terganggu, maka lambat laun akan hilang Kemerdekaan tiap-tiap negara. Lihatlah contoh di sekitar kita dan dalam sejarah dunia! Berapapun kuat satu Negara Merdeka, yang memperkosa Kemerdekaan negara lain akhirnya ia jatuh juga! SI TOKE : Kalau satu negara Merdeka mesti menghargai Kemerdekaan negara lain pula tentu satu warga negara Merdeka mesti pula menghormati warga negara lain sebagai tamunya. Bukankah begitu? SI GODAM : Sebenarnya begitu! Di sana teranglah sudah bahwa Kemerdekaan manusia itu mengandung perdamaian buat seluruh manusia. Perdamaian itulah dasar kemakmuran. Akhirnya kemakmuran itulah pula yang menjadi dasar Kemerdekaan.

MASSA-AKSI TERATUR - Dipetik dari buku "Dari Pendjara ke Pendjara", Djilid 1 - Tan Malaka - Pendjara Ponorogo, September 1947Jalannya Massa-Aksi, jika semua syarat sudah ada, kira-kiranya sebagai berikut: 1. Mogok umum dengan tuntutan Ekonomi. 2. Mogok Demonstrasi dengan tuntutan Ekonomi dan Politik. 3. Mogok umum dan Demonstrasi bersenjata untuk kemungkinan melawan provokasi. 4. Mogok umum dan Demonstrasi menuntut pemindahan kekuasaan. 5. Mengadakan Majelis Permusyawaratan Rakyat (National Assembly). 6. Memproklamirkan Kemerdekaan dan membentuk Pemerintahan Sementara. 7. Mengesahkan Undang-Undang Dasar. 8. Mengesahkan Pemerintah, mengesahkan atau merobah Undang-Undang Dasar tadi dan menentukan Garis-garis besarnya dalam Politik. 9. Membentuk Dewan Perwakilan Rakyat untuk membuat Undang-Undang. (Jalannya dalam praktek tentu bisa sedikit berlainan). Dari tingkat Mogok-Umum sampai ke Majelis Permusyawaratan Rakyat adalah bermacam-macam tuntutan dan Aksi yang harus dijalankan. Baru setelah nyata bahwa tiap-tiap tuntutan memang diatas oleh Massa (Murba), barulah pukulan terakhir dijalankan.

Bukankah semuanya ini membutuhkan Partai yang ulung, berdisiplin, mempunyai cukup banyak dan sifat (quantity dan quality) anggotanya buat memberikan pimpinan kepada 70 juta Rakyat yang tersebar diratusan pulau yang akan ditentang oleh tiga imperialis terbesar disekitarnya*? (*Belanda, Inggris dan Amerika) Tetapi apakah Rakyat dan Proletar Indonesia sudah siap? Yang dibelakang inilah perkara yang penting. Kalau belum siap, tak ada lain jalan buat seorang Pemimpin yang berani bertanggung-jawab kepada Rakyat dan dirinya sendiri, ialah terus mempersiapkan Rakyat buat Massa-Aksi. Kalau tidak bisa dengan jalan-terbuka, maka harus dijalankan dengan jalan-tertutup. Kalau sudah siap, maka sewaktu-waktu cara Massa-Aksi-lah yang harus dilakukan oleh PARTAI REVOLUSIONER.

ULANG TAHUN PEMBUBARAN PERSATUAN PERDJUANGAN - TAN MALAKA - Disiarkan oleh NAIFOSTA - Djakarta - 1948
Dua tahun berselang Persatuan Perdjuangan, ialah Organisasi pembelaan Kemerdekaan Rakjat, jang terbesar sampai sekarang dengan paksa dan setjara pentjederaan dibubarkan oleh segerombolan PETTYBOURGEOIS jang kebetulan memegang kekuasaan.PERSATUAN PERDJUANGANdibubarkan, karena gerombolan petty-bourgeois, bordjuis ketjil merasa dirinja terantjam oleh gerakan Revolusi MURBA. Mereka hendak membelokan gerakan MURBA itu kepada diplomasi jang berwudjutkan mengembalikan Indonesia kebawah telapak kakinja imperialisme Belanda. Lebih aman, lebih menguntungkan dan lebih senang buat mereka kenbali mendjadi kaki tangannja imperialis daripada berdjuang, dan menderita - bersama-sama MURBA dan untuk MURBA.
PERSATUAN PERDJUANGANdibubarkan dengan djelas mentjedera karena dengan setjara terang-terangan, dengan tuduhan pasti, tertulis menurut undang jang dibuat lebih dahulu, jang disjahkan oleh Rakjat, tangkapan para pemimpin PERSATUAN PERDJUANGAN pada 17 Maret 1946 itu tak dapat/tidak dapat dilakukan. Mereka haruslah ditangkap zonder diberi tahu lebih dahulu tuduhannja, melainkan dengan tipuan diadjak berunding dengan Presiden di Jogja dan dilakukan oleh lasjkar jang tidak resmi. Sebab kalau diberi tahukan lebih dahulu penangkapan itu mesti di beri alasan dan dilakukan oleh badan resmi; tetapi alasan memang alasan ditjari-tjari dan badan resmi tak mau mengakui menangkap.
Dan seandainja para pemimpin diantjam hendak ditangkap dengan lasjkar tak resmi untuk menantang lasjkar jang tak resmi itui asal sadja setjara terang-terangan setjara satria-rovolusioner!! Demikian penangkapan atas para Pemimpin PERSATUAN PERDJUANGAN di lakukan dengan sokonjong-konjong, setjara pentjerderaan dengan alasan ditjari-tjari dan fitnahan dan oleh Badan jang tidak resmi dengan tjara "MENUHUK KAWAN SEIRING" , menggunting dalam lipatan , memantjing dalam belanga.

APAKAH MAKSUD DAN MUSLIHAT PERSATUAN PERDJUANGAN?


PERSATUAN PERDJUANGAN, setjara satria, setjara djantan dan tjotjok dengan hak

dan SIKAP tiap-tiap bangsa Merdeka jang memegang KEHORMATANNJA menentang berunding dengan musuh didalam rumah, dengan pistol diatjukan kedada, dengan kelewang musuh melajang-lajang diatas kepala, PERSATUAN PERDJUANGAN, menentang berunding dengan musuh, selama musuh, ialah Belanda bersendjata menduduki darat dan laut Indonesia serta meraungi udara Indonesia. PERSATUAN PERDJUANGAN semenit pun tak pernah pertjaja kepada imperialisme Inggeris jang sudah ratusan dibohongi/membohongi Rakjat Asia dan Afrika, ataupun kepada imperialis Belanda jang sudah 350 tahun memeras menindas dan membohongi Rakjat Indonesia. PERSATUAN PERDJUANGAN akan mempersatukan siapa sadja, dari Sultan sampai ke Buruh, jang sungguh-sungguh mau mengusir pendjadjah dari darat, laut dan udara Indonesia, denganalat militer, perekonomian sosial dan politik jang ada pada kita, sampai si pendjadjah tak sanggup mendjadjah dan pulang kenegerinja.

Para pemimpin Persatuan Perdjuangan mengandjurkan kepada Rakjat, supaja 100% pertjaja kesanggupan 70 djuta Rakjat Indonesia membela Kemerdekaan 100% dan berunding atas pengakuan Kemerdekaan 100% itu, setelah musuh meninggalkan darat (daratan), laut dan udara Indonesia! TETAPI APAKAH MAKSUD DAN MUSLIHAT GEROMBOLAN BORDJUISKETJIL?

Mereka mau mengambil djalan tenang, djalan aman dan menguntungkan bagi kedudukan mereka sendiri! Setelah mereka merasa aman terhadap sikap, desakan dan tindakan PERSATUAN PERDJUANGAN, maka mereka terus berunding. Sekali berdiplomasi berunding dengan musuh bersendjata didada kita, mereka tetap berdiplomasi berunding! Sekali mereka bergood-will-goodwillan, tak perduli apakah good-will itu ada pada musuh jang bersendjata lengkap itu. Sekali mereka, berdjuis ketjil ingin kerdja-sama dengan si pendjadjah, pertjaja kepada mulutnja si pendjajah jang 350 tahun memeras, menindas dan menipu, membohongi MURBA INDONESIA , mereka tetap mentjoba mendapatkan kerdjasama dengan si Pendjadjah jang lengkap bersendjata ditanah air kita itu, tjojok dengan sifatnja/tabiatnja bordjuis ketjil, mereka terus mau mendjadi tengkulaknja si pendjadjah. Mereka tetap bersikeras kepala mempertahankan diplomasi bergood-will untuk kerdjasama dengan si pendjajah bersendjata jang terus-menerus merampas, membakar dan membunuh Rakjat Indonesia.

Pantang buat bordjuis ketjil mengakui kesalahan!! Lebih suka mereka melihat seluruhnja Indonesia didjadjah kembali, daripada mengakui kesalahan dan mengakui kesalahan-kegagalan mereka membela Prok lamasi Rakjat Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. BAGAIMANA TJORAK PEMERINTAH MENURUT PERSATUAN PERDJUANGAN? Ialah Pemerintah Rakjat, jang tjotjok dengan kemauan Rakjak. Bukan Pemerintahan jang membelokkan Revolusi kebawah telapak kaki si pendjadjah!

70 djuta Rakjat dari Sumatera Barat sampai ke Papua, dari Atjeh sampai ke Timor Kupang sudah mengisi arti Proklamasi 17 Agustus dengan pengorbanan harta-benda, djerih pajah dan djiwa, jang tidak kalah sifat dan bilangannja dengan Rakjat pada tempat manapun dan pada tempoh bila pundjuga. PERSATUAN PERDJUANGAN sedang mewudjudkan tjorak Pemerintahan jang tjotjok dengan kehendak 70 djuta Rakjat jang sedang berdjuang. itu.

Tak perduli siapa sadja jang duduk diputjuk pemerintah itu, asal sadja mereka membela/mau bertanggung djawab Kemerdekaan 100% seperti terselit dalam Proklamasi 17 Agustus dan asal sadja mau bertang gung djawab kepada Rakjat jang berdjuang, jang sudah berkorban dengan tak ada hingganja itu.

Persatuan antara pemerintah dengan Rakjat jang dikehendaki oleh Persatuan Perdjuangan itu ialah persatuan hasrat atas Dasar Minimum Program dan persatuan untuk berdjuang membela Kemerdekaan 100% tjo tjok dengan Proklamasi dan tjotjok dengan Kemerdekaan 100% (tentulah semua jang ada didunia ini dalam arti FILSAPAT berarti RELATIF ) seperti jang dipegang oleh banjak negara besar dan ketjil didunia fana dan relatif ini.

Kemerdekaan 100% bisa terwudjud oleh PEMERINTAH RAKJAT (pasal duaMINIMUM PROGRAM). TETAPI BAGAIMANA SIFAT DAN TINDAKAN PEMERINTAH BORDJUIS KETJIL? Mereka tak pertjaja kepada Rakjat. Itu sudah dibuktikan oleh Rakjat/pemuda Djakarta jang tahu seluk-beluknja Proklamasi 17 Agustus, dan tahu selukbeluknja pembentukan Pemerintah Republik dan undangundangRepublik. Tetapi itu belum perlu diuraikan disini! Ringkasnja kaum bordjuis ketjil tak pertjaja kepada kekuatan Rakjat 70 djuta dan tak per tjaja kepada DIALEKTIKA-nja Revolusi, Mereka takut kepada sendjata lahirnja MUSUH.

Mereka terus tak pertjaja kepada kekuasaan/kekuatan Rakjat dan terus takut kepada sendjata lahirnja MUSUH, walau pun Rakjat/Pemuda sudah berhasil memakai bambu runtjing sebagai batu lontjatan untuk mereka memakai karabin, tomygun, keki, mitraliur, meriam, kapal terbang, bahkan kapal perang pun pada permulaan Revolusi.

Karena tak pertjaja kepada kekuatan Rakjat dan takut kepada sendjata lahir musuh maka bordjuis-ketjil menentang kemauan Rakjat/Pemuda berdjuang dan dengan 1001 matjam tindakan mematahkan kemauan bulat Rakjat/Pemuda untuk mengusir musuh! TENTARA TJORAK APAKAH JANG DIKEHENDAKI OLEH PERSATUAN PERDJUANGAN? Ialah tentara Rakjat. Satu tentara jang kemauannja tjotjok deng an kemauan Rakjat. Tentara jang ber-ideologie sama dengan ideologie Rakjat berdjuang, Tentara jang revolusioner! Tentara jang tidak berideologie, tentara jang tjuma berdjuang untuk mengisi perutnja sadja atau mau cowboy-cowboy-an tak akan bisa mempersatukan diri dengan Rakjat Murba, jang berideologi Kemerdekaan. Tentara jang berdjuang untuk mendapat makan sadja dan tentara cowboy-cowboy-an saja tak akan bisa menahan panas-dingin, pajah-lapar dan senantiasa menghadapi bahaja maut. Tjuma tentara jang mempunjai tjita-tjitanja kaum Buruh Tani dan penduduk djembel, pendeknja tentara jang mengandung hasrat MURBALAH jang sanggup menderita semua kepahitan perdjuangan itu! Tentara inilah pula jang akan dilajani keperluannja, didengar nasehatnja dan ditjintai oleh Buruh-Tani Indonesia, oleh MURBA Indonesia. Tentara sematjam inilah jang bisa memobiliseer seluruh Rakjat/Pemuda Indonesia untuk menentang si pendjadjah setjara gerilja dimana sadja dan bilamana sadja. TENTARA TJORAK APAKAH JANG DIWUDJUDKAN OLEH BORDJUIS-KETJIL? Katanja ialah tentara menurut ukuran internasional dan tentara jang tiada berpolitik dan yang effisient. Kita tahu bahwa ukuran internasional itu sampai sekarang tjuma dilaksanakan pada BEEN-KAP jang berkilat-kilat, steep-mas dan topi jang miring-meruntjing. Tentara sematjam ini/tidak mempan/tjiptaan bordjuis ketjil ini memang baik dipertundjukkan dalam satu parade untuk memikat dunia/mata dunia! Tapi untuk berkelahi dalam lumpur dimusim hudjan menggempur musuh setjara gerilja, maka been-kap dan badju setrika litjin itu tjuma mendjadi halangan belaka. Kita mengenal pasukan tentara dan lasjkar

kita, jang tiada menghendaki pakaian sama sekali, ketjuali sehelai tjawet sadja tetapi berkali-kali mengusir musuh bersendjatakan tank raksasa dan merebut kembali daerah jang mulanja diduduki musuh. Sebaliknja tentara jang katanja dibentuk menurut ukuran internasional itu tiada begitu menunjukkan effisienscy dalam menghadapi Belanda, tapi memangnja efficienscy" menghadapi Lasjkar Rakjat (DjawaBarat)!!!! Pengganti milik ASING dari negera sahabat! Tetapi mensita (confiscir, beslag) MILIK MUSUH . Sikap ini tjotjok dengan undang internasional, milik musuh boleh disita, sebab musuh itu sudah melanggar hak dan keamanan hidup kita. Belanda adalah musuh. Sebab dia datang ke Indonesia Merdeka dengan tentara. Belanda sudah melakukan perampasan, pembakaran dan pembunuhan dalam daerah. Balasan semua tindakan Belanda itu oleh bangsa Indonesia sebagai bangsa Merdeka semendjak 17 Agustus 1945, ialah menggempur dan mengusir serdadu Belanda dan mensita harta benda Belanda. Kebon, pabrik, tambang itu adalah djaminan ekonomi dan politik buat Murba Indonesia. Dengan pabrik, tambang dan kebon dimiliki masjarakat Indonesia serta diurus dan dikerdjakan oleh bangsa Indonesia untuk kepentingan masjarakat Indonesia sendiri maka Kemerdekaan Indonesia bisa mendapatkan isi dan djaminan politik.Rakyat Indonesia mendapatkan sokongan dari ekonomi ditangan Rakjat Indonesia. Zonder kekuasaan ekonomi, maka Kemerdekaan politik itu hampa belaka! SIKAP BORDJUIS KETJIL? Mengembalikan semua milik-asing. Tak memandang negara Sahabat atau musuh. Katanja menurut aturan Internasional. Tetapi kapankah hak musuh diakui oleh suatu negara Merdeka jang menghormati dirinja? Bordjuis-ketjil rupanja mengganggap tentara Belanda jang merampas, membakar dan membunuh Rakjat Indonesia jang Merdeka itu. Bukan tentara musuh! Dengan pengembalian semua pabrik, semua tambang, semua kebon dan semua pengangkutan perkapalan, Bank dan asuransi Asing itu, maka mau tak mau besok atau lusa, Kemerdekaan Indonesia itu semata-mata akan berarti: PERKATAAN KOSONG! MURBA INDONESIA!!! Sudah dua tahun bordjuis ketjil berdiplomasi, bergood-will mentjoba kerdja-sama dengan imperialis Belanda jang mempunjai rentjana jang pasti dan wudjud jang tetap hendak mendjadjah Indonesia kembali 90% atau lebih wudjud itu sudah tertjapai POLITIK: Belanda sudah berhasil mendirikan dua Negara Boneka dan sedang giat zonder gangguan mendirikan empat Negara Boneka pula. Kalau maksudnja sampai, plebisit jang didjandjikan di Sumatera dan Djawa, menurut Renville itu akan menemui fait-accompli. Republik Indonesia akan menemui negara baru jang sedang dibentuk. Dengan

kosongnja kantong di Djawa dan Sumatera, maka Rakjat jang kehilangan perlindungan itu akan dibelah, dibolak-balik oleh tentera Belanda dan dipaksa dengan kasar/halus mengakui pemerintah Boneka. Enam pemerintahan Boneka segera akan berhadapan dengan satu Republik atas dasar deradjat sama maka Republik akan kalah suara. Sukar ditolak maksudnja Belanda menurunkan deradjat Republik ke deradjat NIT, jakni: mendjadikan NIS (Nederlands Indische Staat) dengan radja Belanda si pemegang kedaulatannja; Seperti Republik akan dihadapkan dengan "faitaccompli (nasi sudah djadi bubur) naka UNO-pun akan mengha dapi faitaccompli pula. MILITER:

Dengan kosongnja kantong, dengan terpukulnja Lasjkar Rakjat Djawa-Barat oleh TNI dengan terus-menerusnja Belanda memperkuat dan mempersiapkan dirinja, karena dia menduduki semua tempat jang strategist di darat, laut dan udara maka Republik, jang daerahnja tinggal 1% sadja itu langsung terantjam.

EKONOMI: Dengan berlangsungnja BLOKADE, penguasaan eksport-import oleh Belanda penguasaan daerah surplus untuk makanan, penguasaan hampir se muanja daerah perkebunan, pertambangan, perindustrian dan pelajaran diseluruhnja Indonesia, disamping merosotnja perekonomian Rakjat didaerah Republik, bersimaradja-lelanja korupsi dan merosotnja keuangan Republik maka Belanda sehari demi sehari dapat memperkuat perekonomian Militer dan politiknja. Achirnja akan tertjapailah-maksud Belanda jang sebenarnja ialah; bukan berundinrg dengan Republik, melainkan mendiktekan kemauannja kepada 70 djuta bangsa Indonesia dan mendirikan kembali djadjahan Belanda! MURBA INDONESIA!! Demikianlah hasil diplomasi bordjuis ketjil! Semuanja ini bisa dibatalkan dua tahun lampau, kalau PERSATUAN PERDJUANGAN dapat berdiri terus. Dengan sendjata kemiliteran, ekonomi dan politik Rakjat 70 juta semuanja itu dapat dibatalkan. Tetapi PERSATUAN PERDJUANGAN SUDAH DIBUBARKAN! Tetapi MURBA INSJAF PULA! Bubar tak berarti hantjurl Para pemimpin terpendjara tiada berarti bersalah! Kita semuanja tahu, bahwa kebenarannja Minimum Program selalu banjak mempunjai penganut dari permulaan. Perundingan jang berhasil dengan perdjandjian ke-Linggardjati sampai kepada perdjandjian Renville. Para penganut bertambah banjak bilangannja dengan bartambah merosotnja hasil perundingan. Dengan bertambah banjaknja penganut Minimum Program, maka semua organisasi jang dalam hakekatnja dikendali oleh semangat dan ISI-nja Minimum Program sehari demi sehari bertambah kukuh pula. MURBA SEPERDJUANGAN! Mari kita sekedjap memperingati "PERSATUAN PERDJUANGAN" sebagaiPERSATUAN semua lapisan Rakjat untuk membela Kemerdekaan 100%. Marilah pula sekedjap mata kita memperingati arti MINIMUM PROGRAM, sebagai pabri jang memperhubungkan 141 organisasi dan sebagai HAK-MINIMUM 70 djuta Rakjat I n d o n e s i a , u n t u k m e n d j a m i n Ke m e r d e k a a n d a n k e m a d j u a n ! Marilah kita bersama-sama bergembira karena sudah terbuktihnja: "PATAH TUMBUH H I L A N G B E R G A N T I " LE ROI.......................................

MALOEMAT KEPADA SECTIE dan ONDER SECTIE PKI dan RAJAT DI SELOEROEH INDONESIA - Koran NJALA - 30 April 1926
Soeara kaoem PROLETAR dari segala bangsa dan agama
Hoofd MEDEWERKERS: TAN SEMAOEN MALACCA Boeat Boeat Asia Eropa Redacteur: SOETIONO

--------------------------------------------

Hari satu MEI yang akan datang ini adalah suatu hari yang harus tercatat dengan huruf emas dalam riwayat Kemerdekaan Indonesia. Hari satu MEI yang akan datang ini tiadalah boleh dilupakan oleh segenap Rakyat Indonesia yang telah sadar dan asyik berusaha merebut Kemerdekaannya. Karena hari satu MEI yang akan datang ini akan melahirkan rintangan baru bagi pergerakan kita, sebagai menambah jumlah rintangan yang sudah ada sampai pada masa ini. Rintangan yang baharu itu adalah termaktub dalam artikel 153 bis dan 153 ter, seperti yang telah diuraikan dalam semua surat kabar di Indonesia, begitu pun dalam organ kita NJALA, sehingga disini kita perlu terangkan lagi. Dengan adanya kedua artikel itu telah teranglah kepada segenap Rakyat apa artinya Kemerdekaan bergerak dan mengarang yang ad adi Indonesia ini. Dengan adanya kedua artikel itu terikatlah hendaknya kedua kaki kita, terbungkamlah mulut kita sehingga akan ta dapat berjalan dan berkata lagi. Kita tidak boleh tinggal diam, tapi kita harus bekerja terus dengan segenap tenaga yang ada pada kita, bukannya hanya untuk lenyapnya kedua artikel itu sahaja, akan tetapi buat lenyapnya atau lepasnya semua ikatan yang dikenakan kepada diri kita.

SAUDARA KITA "API" BERSOEARA PENGHABISAN - Koran NJALA - 19 April 1926 SAUDARA-SAUDARA, ributlah dalam surat-surat kabar, telah dibicarakan tentang artikel-artikel baru: ada yang kata: WARISAN DARI MR. FOCK, ada yang kata DJERATAN POELA PADA SOEARA PERS, ada juga yang kata POEKOELAN HAIBAT PULA PADA SOEARA REVOLUSIONER, TERUTAMA KOMUNISTEN.
Disini kita akan menguraikan sedikitOBJECTIEF, artinya apa yang kita lihat dari adanya artikelartikel itu. Tetapi lebih dulu kita harus memberitakan bahwa Kommunisten tidak heran dengan

adanya artikel itu. Semua rintangan, semua halangan, pendek kata semua bis-bis, ter-ter, sampai apa saja, itu sudah termasuk dalam perhitungan kita. Kita tidak kaget. Adanya 153 bis dan ter itu menurut pemandangan pemerintah Indonesia amat perlu. Apa sebab? Untuk menjawab pertanyaan itu kita harus memperingatkan tentang keadaan diluar Indonesia, dikanan kiri Indonesia, pendek di seluruh Benua Timur dan lain-lain golongan dunia pula. keadaan di tanah-tanah tersebut diatas itu amat menguatirkan pada pendirian Kemodalan. Telegram-telegram yang kita baca sehari-hari tidak demikian mengabarkannya. Tetapi kita mengerti apa sebabnya. Telegram-telegram tadi umpamanya tidak boleh dikatakan dusta atau mengelabui mata maka telegram-telegram tadi toch dibikin lebih baik, lebih alus daripada mustinya, Ya, jadi kalau orang mempelajari keadaan dikanan kiri kita, maka lalu kita berpendapatan: "Demikian sekarang pemerintah Indonesia memperlukan adanya artikel 153 bis dan ter. Bagaimana nanti akan jadinya baik atau tambah "jelek" itu menjadi tanggungan pemerintah Indonesia. Dan seumpama itu: artikel timbul dari Mr. Fock, maka disini kita kata: "Hij beeft de grootste zet ge daan" (dia bertaruh dengan sebesar-besarnya sendiri), dalam bermain politik. Sekarang untuk mengetahui sebab-sebabnya yang lebih panjang pula tentang "de grootste zet" itu kita harus mengulangi lagi keadaan pergerakan Revolusioner di Indonesia. Pergerakan di Indonesia hingga sekarang sudah mengalami rupa-rupa. Dengan adanya itu, maka aliran yang kiri, yang standvastig menjadi bertambah besar dan bertambah dalam pengaruhnya. Meskipun mendapat rintangan yang amat hebat, aliran Revolusioner yang terkiri maju terus tidak ada berhentinya. Dan pimpinan itu laksana Colombus berlomba ditengah lautan dengan tetap menuju ketanah yang ditujunya. Semua halangan seolah-olah gelombang dan ombak-ombak yang membawa perahu tadi ke jurusan yang ditujunya. Begitulah keadaan pergerakan Revolusioner di Indonesia. Hingga membikin ributnya kaum yang anti pada aliran Revolusioner itu. Beberapa kali telah diadakan konferensi, lagi konferensi dan apa yang dibicarakan dalam konferensi itu dengan suara ramai ialah: bagaimana untuk menindas aliran Revolusioner, terutama Komunisme. Dengan mengingat adanya kegaduhan dan kegegeran dimana-mana tempat luar Indonesia, maka konferensi-konferensi tadi lalu berbuat tambahan artikel, yaitu 153 bis dan 153 ter. Sekarang dengan adanya 153 bis dan 153 ter itu pihak anti Revolusioner bertambah ributnya. Mereka menghitung-hitung berapa dan siapa yang akan terhela dalam bui. Kita tidak akan berhenti. Tetapi kita akan bekerja terus. MET VERSTAND (dengan otak): kita mengerti bahwa pada masa sekarang ini barulah ribut dibicarakan dengan kekuatan bagi menindas aliran Komunisme. Karena itu, API moelai besoek pagi, hari saptoe tanggal 17 April akan tidak terbit poela. Kalau kita menerjang itu semua, dengan tulis-menulis dalam koran, kita akan tersia-sia membuang

kekuatan. Karena itu kita akan bersikap: In dentijd van hard praten, eer ik het zwigen des te meer (dalam waktu ribut dan keras berbicara saja, lebih menghormati tidak bersuara). API sungguh tak boleh dipungkiri kebenarannya pendapatanmu pada achir katamu itu. Memang seharusnya kita dengan segera bekerja yang praktis dan daadwerkelijk, dimana tangan besi reaksi jatuh pada pundak kita sebagaimana terjadi pada dirimu itu. Ini waktu NJALA belumlah mendapat pukulan yang hebat seperti kamu, sehingga NJALAbelumlah terpaksa bernafas buat penghabisan untuk berobah menjadi badan halus. Dimana NJALA masih berkesempatan sedikit buat membentangkan pikiran-pikirannya diatas kertas, tiadalah buruknya bila kita mempergunakan kesempatan itu buat sekedar membunyikan suara kita, NJALA tau bahwa sesungguhnya "tidak suara bagi kita ada lebih utama daripada bersuara", karena dengan demikian musuh kita tak dapat mengukur kekuatan kita bukan? Siapa tau barang kali saudara mu muda NJALA besok atau lusa akan terpaksa mengikut kamu. Adieu Broeder!!
(REDACTEUR NJALA) THIBBUN NABAWI adalah Suatu Ilmu tentang RAHASIA KESEHATAN RASULULLAH SAW (PENGOBATAN ala NABI SAW). Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang-orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut nama Allah (Al Ahzab : 21).
. .

Bersama HERBA PENAWAR ALWAHIDA (HPA) kita SYI'ARkan THIBBUN NABAWI.

Nations are not communities and never have been. The history of any country, presented as the history

of a family, conceals the fierce conflicts of interest (sometimes exploding, often repressed) between conquerors and conquered, masters and slaves, capitalists and workers, dominators and dominated in race and sex. And in such as world of conflict, a world of victims and executioners, it is the job of thinking people, as Albert Camus suggested, not to be on the side of the executioners.-Howard Zinn "All the signs are they're going to do it again. The attack on Syria now being planned by the US and its allies will be the ninth direct western military intervention in an Arab or Muslim country in 15 years. Depending how you cut the cake, the looming bombardment follows onslaughts on Sudan, Afghanistan, Iraq, Libya and Mali, as well as a string of murderous drone assaults on Yemen, Somalia and Pakistan Saat akhir di Brunei , selesai sidang rundingan #TPPA ke 19. Ahli Kokus Parlimen terus pantau

biography of Hamka, Dr. BuyaHanya 24 halaman isi buku saku yang lebih mirip buletin.

Dicetak untuk dijual seharga seribu rupiah kala saya mendapatkannya sekitar tahun 2000. Serial fikrah, dawah dan harakah, begitutagline dari Waqfah Tarbawiyah. Sebuah media suplemen informasi bagi aktivis Tarbiyah produksi Yayasan Tarbiyatuna Jakarta. Di kemudian hari, setelah kebutuhan semakin berkembang, muncul kemasan berupa buku dalam ukuran sekitar 12 x 20 cm atau 14 x 20 cm, masih dari yayasan yang sama. .

Buku atau buletin keluaran Tarbiyatuna, Waqfah, tidak semata bicara soal mabda, tapi juga keterampilan teknis bagi aktivis dakwah, khususnya dari pergerakan Tarbiyah (yang kala itu bermetamorfosis menjadi Partai Keadilan). Dalam edisi nomor 04, Kiat Menjadi Pendengar Efektif dijadikan tulisan utama. Format yang dipakai memang ada tulisan utama yang merupakan judul seri tersebut. Penguatan soal kepemimpinan Islam melalui ranah politik banyak menghiasi seri-seri Waqfah.
: " "! (

. - (

! "".

. - ~

! ~ - .

.. !!

. ... . ! " ~

" ":

: ". .. 46 . ~

...

..

..

Tidak disangka, ustad muda yang kami kenal lama sudah piawai memimpin Shalat Malam di acara-acara mahasiswa di Yogyakarta itu mengecewakan sang guru. Dia pun harus diusir lantaran soal menikah. Meski sudah beristri, diam-diam ustad muda itu menikah siri sebanyak dua kali, tanpa mengindahkan etika di organisasi dakwahnya. Bahkan, di tempat peraduan barunya, diulanginya lagi nikah siri, kali ini dengan seorang pelajar SMA.
Biography text for Hamka Hamka, Dr. Buya Ranah-Ku (Kabupaten Solok

Saya membayangkan betapa hancur hati sang istri yang pernah memaafkan sang suami kala diam-diam menikahi mahasiswi di Yogyakarta dulu. Padahal, sang istri sudah memberikannya keturunan. Saya tidak ingin menghakimi ustad muda itu, kendati tidak menyetujui perilakunya. Yang bisa saya lakukan sebatas memetik hikmah di balik perilakunya. Semoga saja saya bisa menjaga perasaan istri dan anak-anak saya untuk tidak melalimi mereka atas nama kebaikan. Kedudukan perempuan dalam islam hamka - -
:

" " " "

2013
:

31

. :

" "

" - -

"

- 12 :

3 . 4 . 5 . 6- . 7 ) )

Indonesia: The Rise and Fall of the

PKI
Posted by sp

A short history of the Indonesian Communist Party. This pamphlet was originally written by Craig Bowen and published by Militant, the forerunner of the Socialist Party. Twenty five years ago the Indonesian Communist Party (PKI) was the largest aspiring revolutionary party in the world with three and a half million members. Six months later it had been effectively destroyed and up to a million people lay dead. Yet this was not the first time the PKI had been crushed. Three times in fifty years the PKI rose up and three times it was crushed most terribly and tragically of all following the events of September 30th 1965. Why did it happen? This pamphlet will attempt to answer that question and in doing so focus on a number of basic themes and theoretical questions that recur throughout the Partys history. But this has not been written simply for historical interest. We believe the lessons of Indonesia are of burning relevance today throughout all of the ex-colonial world. The theoretical questions that confronted the PKI are fundamentally the same as those that confront activists today throughout Asia, Africa and Latin America, and it is at those serious activists that this pamphlet is aimed. The pamphlet pretends to be nothing more than an introduction to the enormously rich history of the PKI. Whilst there are many books on the subject (some of them very bad), to the best of our knowledge the history of the Party has not been condensed into pamphlet form since PKI leader Aidits official history three decades ago. This will be an extremely critical look at the Partys history, yet it must be stated that despite all the criticisms it is quite clear that, over 50 years, the PKI attracted to its ranks the cream of several generations of Indonesian society. The news of the annihilation of the Party was a terrible blow to the whole labour movement internationally. Twenty five years on and the capitalist press throughout the world beat their chests and daily trumpet their message, Marxism is dead! Yet for all the talk of the triumph of capitalism, the class struggle continues unabated, particularly in the ex-colonial world. It is perhaps fitting that this pamphlet is being produced now, with virtually all the leaders of the labour movement internationally singing along with the capitalists, hang-dog style, to the funeral songs for Marxism. Our analysis is quite the opposite. In Indonesia the ideas of Marxism have run through the history of the working class movement like a backbone. And despite all the killing, all the torture, all the imprisonment and all the repression, you cannot kill ideas. Yet at the same time those ideas have suffered decades of Stalinist distortions, some of which still linger. To analyse and correct the distortions is of vital importance and it is hoped that this pamphlet will be of assistance.

Furthermore, as the new generation of Indonesian activists know, a revolution never has been, nor will it ever be, won from within the walls of a seminar room. Political theory is crucially important, but not for its own sake. The whole point of theory is that it is a guide to action. As the brave old PKI leader Aliarcham, who died in Boven Digul concentration camp said, Study while struggling: without study it is impossible to struggle! We are fully confident that far from being dead, the ideas of Marxism will come once more to be the driving force behind the mighty Indonesian labour movement when, from the ashes, it rises once again. It is only a matter of time. September 1990 The Early Years The communist movement in Indonesia sprang from an unusual source. A year before the First World War, the winds of revolt were blowing through Java. Amongst the Dutch colonialists there was widespread alarm. Thousands of miles away Lenin wrote, A significant development is the spread of the revolutionary democratic movement to the Dutch East Indies (the old colonial name for Indonesia) Parties and unions are being formed at an amazing speed. The government is banning them, thereby only fanning the resentment and accelerating the growth of the movement. Dutch colonialism was vicious. An American visitor wrote, A Polynesian transported to a scene of conventional Javanese activity would at once devoutly believe the worst that the missionaries had told him about hell. So great was the exploitation of the Indonesian masses that a major part of Dutch social capital formation in the nineteenth century was financed by wealth extracted from Indonesia. Yet for the Indonesians themselves, living standards were either stagnant or declining. A writer who had himself been a plantation boss wrote of Javanese contract workers, They may not run away from their work for that is forbidden by their contract which the ignorant, misled coolie signed somewhere in Java They are doing forced labour, or if you like they are slaves. The coolie slogs from morning till night, toiling and stooping; he has to stand up to the neck in stinking marshland, while greedy leeches suck his thin blood and malaria mosquitoes poison his sickly body. But he cannot run away, for the contract binds him. The tjententgs, the watchmen and constables of the firm, who have the strength of giants and are bestially cruel, track down the fugitive. When they catch him they give him a terrible hiding and lock him up, for the contract binds him. The first main road in Java, built by command of the Dutch governor Daendels was likewise built by forced labour and those who failed to complete their allocated quota of road on time were summarily hanged. But to top it all off, the road was, exclusively for European use. Dirt tracks alongside were provided for the natives! (1) Yet far from just accepting the situation, there were uprisings against the Dutch right throughout the whole colonial period and direct control by the Dutch, outside the island of Java, was not achieved until well into the twentieth century. The British colonialist Raffles commented that, ever since the arrival of the Europeans they (the Javanese) have neglected no opportunity of attempting to regain their independence. But the rebellions had always been at local or regional level. In 1911 the first mass political movement in the country that existed on a national scale, Sarekat Islam was formed. Founded originally to protect the interests of Javanese batik merchants from competition by Indies Chinese traders, it rapidly became a rallying point for discontent, spreading from the urban commercial class to the poorer population of the towns and into the rural areas, under the leadership of Umar Said Tjokroaminoto. At around the same time, a former Dutch railway union official, Henk Sneevliet, came to Indonesia looking for a job, having been blacklisted in Holland. On his initiative the Indonesian Social Democratic Association (ISDV)

was founded in 1914. From an original sixty members their numbers grew to eighty-five by the following year and they began to produce a paper however it was in Dutch. This was because the vast majority of ISDV members were Dutch and despite the fact that poverty was increasing, they were not reaching the Indonesian masses. By this time, in contrast Sarekat Islam, a movement rather than a party had thousands of adherents. Accordingly the ISDV decided to orient their work towards it, and it was from this source that the first generation of Indonesian Marxists were recruited. Prominent among them was a young railway worker, Semaun, who at the age of seventeen was vice chairman of the Surabaya branch of the ISDV, and in 1917 became one of the editors of the first Indonesian language socialist newspaper, Soera Merdika (The Free Vice). 1917 was a tumultuous year. The conservative elements within the ISDV split away during the year over an article written by Sneevliet in the Party newspaper celebrating the February revolution in Russia and saying, Dutch rule in the Indies would go the way of the Tsar if only the Indonesians set their mind to it. The government immediately set about prosecuting Sneevliet and attempted to suppress discussion of the uprising, which inevitably had the opposite effect and soon everybody was talking about the Russian revolution. While Sneevliet was awaiting trial, the Batavia branch of the ISDV, dominated by the conservatives, published a declaration saying, We should oppose those who, ignoring the unity of the native population groups necessary for the achievement of national independence and freedom, drive a wedge into it through their so-called socialist internationalism. Meanwhile Sarekat Islam (SI) was in turmoil also. Semaun had moved to Semarang where he was instrumental in building a strong SI branch which was becoming increasingly publicly critical of the SI leadership. By the time of the 1917 conference Tjokroaminoto and other SI leaders wanted all relations with the ISDV cut off, but the Semarang branch, where the ISDVs strength was centred, had strong backing from other branches. The upshot was, that rather than expelling the ISDV, the SI were forced to state that if, parliamentary action should prove unfruitful, the Sarekat Islam would not hesitate to revolt. Moreover the congress condemned sinful that is, foreign capitalism and demanded freedom of political organisation, radically improved labour and agrarian legislation and free public education. (2) Thus from what had been a merchants protection guild six years earlier, and had only four years earlier proclaimed its unconditional loyalty to the Dutch government, the SI had become a mass movement heading rapidly in a revolutionary direction. But most significant in its effects of all the events that year, was the Bolshevik revolution in October 1917. It sent an electric charge around the world. But it was particularly inspiring to the revolutionaries in Indonesia because they were always being told that Indonesia was too backward, it didnt have a strong enough proletariat to take power, and in fact suffered from an absence of all factors assumed necessary for a socialist revolution. And yet here was Russia, a backward peasant-based economy and the working class had taken power! Inspired by the Bolsheviks, the ISDV began organising soldiers and sailors soviets (councils) and within three months there were more than 3,000 members of the movement which became known as the Red Guardists. Meanwhile economic conditions continued to deteriorate, real income declined continuously from 1914 to 1924 and there was a general restlessness in the air. Considerable attention was devoted to work in Sarekat Islam and the position and influence of the ISDV steadily gained ground. ISDV member Darsono, became the official SI propagandist, and Semaun became SI commissioner in charge of West Java.

By the 1919 SI congress the powerful influence of the ISDV was unmistakable. Their paper reporting the congress declared, the struggle was directed squarely against capitalism and was not, as in previous times, an attack by a few on sinful capitalism, a combination of concepts that rests on a misunderstanding of socialism. But the tide began to turn. Amongst revolutionaries the perspective had been that the Russian revolution would simply be the first in a series of revolutions that would sweep across Europe, including the Netherlands, and which in turn would intersect with the movement in Indonesia. But the movements in Europe defeated (for reasons we shall go into later), while in Indonesia Red Guardists and ISDV members were imprisoned and Dutch revolutionaries banished. The merchant bourgeois Moslem interests that had steadily lost ground within Sarekat Islam began to reorganise, and it in turn began to crack apart. Within a few years Sarekat Islam had collapsed. The work within Sarekat Islam had transformed the ISDV from a small group of Dutch expatriates with almost no contact with the Indonesian masses, into an overwhelmingly Indonesian organisation that in many areas actually led the masses. But while Sarekat Islam was falling apart, the first phase of Indonesian communism was not yet over. Having changed names, from the ISDV to the Communist Party of Indonesia (PKI) in 1920, it became the first Communist Party in Asia and, although numerically small, during the 1920s it far outweighed any other political party in Indonesia in terms of its public support. During the early 1920s the PKI led a number of major strikes, notably of the pawnshop workers in 1922 and the railway workers in 1923. The strikes however were unsuccessful. But they further alarmed the Dutch who in turn stepped up their repression of PKI activities. Some of the PKIs most able leaders, such as Tan Malaka, Bergsma and Semaun were expelled from Indonesia Sneevliet had suffered the same fate, and many more were to follow. It was around this time also that the party abandoned the organisational method of democratic centralism. Instead, it was determined that a local unit could act independently, without informing party headquarters, so long as its decisions were in line with PKI constitution and by-laws. (3) In the increasingly volatile situation, to try and organise a revolutionary party on a do your own thing basis was a recipe for disaster particularly given the relative inexperience of the party and the continual arrests, imprisonment and banishment of party cadres. (No doubt these factors played a large part in the decision being made in the first place.) In mid-1925, with the economy picking up, strikes began to occur again all wild-cat, all small, and mostly unsuccessful. Then in Semarang major strikes began to break out. Thereafter followed strikes in Medan and Batavia and a near-general strike in Surabaya. Repression was stepped up. The right of assembly was prohibited in all areas where the PKI existed. Frustration and desperation grew, not least among the inexperienced leaders who were left. It was decided to organise an insurrection for the following year.

However by then the labour unions of Java, which were to have provided the major revolutionary thrust, were
in a state of collapse following their defeats. Secret terrorist organisations had been established in some regions but the centre had little or no control over them the transmission of the centres ideas had depended to a great extent on its now-banned publications. There were conflicts within the regional party organisations, and even the sub-sections showed increased independence of section leadership. (4) To make matters worse, the leadership of the party itself was split over the question of insurrection. During the preparatory period some leaders were touring branches arguing in favour, and others were touring arguing against the idea. The movement was visibly dissolving into anarchy. (5)

Thus when they occurred, the uprisings were a disaster. Despite the rebellious mood that undoubtedly existed, the movements in Java were quickly put down, with the exception of Banten where resistance continued until late 1926,and Sumatra where the insurrection did not begin until early 1927, and was quickly smashed. Thirteen thousand arrests were made and, of those arrested, an unspecified number were executed. Thousands were imprisoned and 1,300 were sent to the horrendous, malaria infested Boven Digul concentration camp in West Papua. Thus ended the first period of open Communist activity in Indonesia. Underground and Independence Its important to note that it was only from this point that the focus of the struggle became nationalism and the rise of the nationalist movement occurred. In fact Ruth McVey, the most astute of all bourgeois commentators, points out that Indonesian communists of the time felt that, nationalism was a European phenomenon of the nineteenth century and not a real issue in the Indonesia of their day The concept of revolution aimed not just at independence but also at drastic social change was not limited to doctrinaire leftists (sic) in the central party leadership; it was an integral part of the PKIs popular appeal The power of this appeal is shown by the fact that opponents preferred to attack the PKI on almost any issue except communism itself. (6) Not only physically but ideologically, the whole movement had been thrown backwards. It is also important to take note of world events and the subsequent development of the communist movement internationally, which in turn had a decisive effect within Indonesia itself. Revolutionaries throughout the world expected the Russian revolution to be but the first in a series of revolutions that would bring the working class to power in at least several key countries in Europe that were unquestionably ripe for revolt. However, fundamentally because the leaders of European Social Democracy sided with their own capitalist classes, and because the young revolutionary parties there had not developed the strength to overcome that fact, the revolutions failed. Consequently, even though the working class had won power in the Soviet Union, because it was an isolated backward country that had been weakened by three years of world war, ravaged by civil war, and almost brought to its knees by invasion from all the major imperialist powers on top of all that, an inevitable reaction set in. And this reaction manifested in the rise to power of a bureaucracy hesitant at first, but paradoxically growing in confidence (and ruthlessness) with each revolution that was defeated internationally. And personified in this process was the consummate ruthless bureaucrat Joseph Stalin. In the last years of his life Lenin formed a bloc with Leon Trotsky, the other great leader of the revolution, to try and put a check on what was happening, but he was extremely ill and died in 1924. Trotsky now became the individual who personified the struggle against reaction, both bourgeois and Stalinist. Historians portray the ensuing struggle between Stalin and Trotsky as some kind of crude, individual struggle for power. This was not the crux of what was at stake at all rather it was a struggle over either the maintenance or abandonment of Bolshevism itself. But to return to Indonesia, by the time of the 1926/27 uprising, this process was already decisively under way. The Communist International (Comintern), formed under the leadership of Lenin and Trotsky as a focal point for the strategy and tactics of revolutionaries internationally, had suffered a consequent degeneration. While undoubtedly the turn of world developments had enormously affected the prospects for Indonesian revolution, the Stalinisation of the Comintern does not seem to have played a determining role the Stalinists at this time were mainly pre-occupied with the situation in China. There, the Comintern had ordered the Chinese Communist Party to work within the Kuomintang (KMT), a bourgeois nationalist organisation with the strategy supposedly being based on the Indonesian experience. But

here lies a crucial difference. The Indonesian communists had not buried their own programme, but instead loudly proclaimed it. In contrast, the Comintern leadership instructed the Chinese communists to sacrifice their own programme in favour of the bourgeois programme of the KMT to dissolve their independent press and even hand over a list of their members to the KMT leadership. (7) As a result, in a chilling preview of Indonesia 1965, the Chinese Communist Party suffered a catastrophic defeat and thousands of workers were slaughtered. Given Moscows lack of attention it should however be noted that, according to Semaun, the Comintern did not want to establish any centres outside Moscow for Asian work for fear that Asian revolutionaries would be attracted to the Left Opposition the group Trotsky led. Furthermore, what is unquestionable is that subsequent swings in policy by the Comintern were to play a decisive role in Indonesian affairs.

The end of this first phase of PKI history brought a shift in the scene of Indonesian Communist activity.
Indonesia itself was now only a minor part of the stage. Until 1935 there was no significant activity there. Then Musso, an exiled PKI leader living in Moscow, returned to Indonesia to set up the illegal PKI A far more important centre of Communist activity, however, was the Netherlands, where many of the future leaders of the Indonesian Republic were living at that time as students. (8) For some years a nationalist organisation called Perhimpunan Indonesia had been in existence in Holland and it was to this organisation that the expatriate students were affiliated. During the same period a myriad of nationalist organisations sprang up within Indonesia itself including the PNI, the Partindo and the Gerindo. It was particularly in Gerindo that PKI members worked. During this period work within the trade unions was also maintained. The depression had a ravaging effect on the Indonesian economy. Peasants were forced to pawn their land as taxes were increased to pay for the crisis between 1926 and 1932 taxes increased 44%. As right-wing author JM Van Der Kroef puts it, those proletarianisation processes, in the long run could only strengthen the appeal of the Communist Party, and while in the 1930s there were no spectacular outbursts that could be attributed to (the PKI) there was undoubtedly a broadening of political consciousness in Indonesian society that was ready for exploitation at a later date. In 1933 sailors on the Dutch naval vessel Zeven Provincien mutinied briefly, seized command of the ship and attempted to sail it to a Russian port, until a bomb attack by a Dutch naval plane put an end to these plans. The mutiny, though apparently instigated by a Socialist trade union and by nationalists, was not without effect on developing Indonesian political opinion, despite its ignominious end. The present writer, who was in Indonesia at the time, heard in many Dutch circles that the Communists were really responsible for the mutiny (9) Exports collapsed. The amount earned by export sales in 1925 was only 25% of that in 1925. Poverty and hardship rose, unemployment rose, the economy contracted and wages were cut. Wages paid out (in million guilders) were: 1929-102; 1931-84; 1934-10. Meanwhile the Comintern had veered wildly to the left and then back right again. In perhaps the Cominterns most glaringly demented phase, having destroyed the revolutionary possibilities in China through leaning on capitalist elements, the Stalinists veered diagonally in the opposite direction. According to them it was now the Third Period the period of the final collapse of world capitalism (which was quite possible). But what made it impossible were their policies. The Socialist Parties, Labour Parties, Social Democratic Parties internationally, many of them huge working class organisations, were declared to be social-fascist parties. The Comintern declared that these parties now constituted the main danger confronting the working class and therefore they had to be destroyed. This policy had its most tragic consequences in Germany, where, rather than uniting with the rank and file Social Democrats against the fascists, the Communists consistently fought

against the Social Democrats as the main enemy. Hitler was able to come to power without breaking a pane of glass. As a result, the strongest Communist Party outside the Soviet Union was destroyed. As the mistake became clear, a panicky Stalin did another u-turn. Ignoring the fact that the Western capitalists had supported Hitler in his rise to power as a bulwark against Communism, the Comintern declared that the Communist Parties throughout the world must form a Popular Front against the fascists with their own respective capitalists of course on the terms of the capitalists. As Ted Grant put it, the full danger which Hitler represented to the Soviet Union was apparent to everyone. Stalin and the bureaucracy became panic-stricken. Contemptuous and cynical of the capacity of the Comintern as an instrument of world revolution, Stalin more openly converted it into an instrument of Russian foreign policy. An organisation in class society, which ceases to represent the working class inevitably, falls under the pressure and influence of the bourgeoisie. Stalin, in his search for allies, now turned to the bourgeoisie of Britain and France. The Popular Front policy was initiated This policy of coalition with the liberal capitalists is one against which Lenin had struggled all his life. (10) What the Popular Front policy meant in Indonesia was not only co-operation with Indonesian bourgeois nationalists, but the Dutch as well! According to the line, every other consideration, including even independence, had to be subordinated to the struggle against fascism. In Holland, as far as the Netherlands Communist party was concerned, not only was socialism off the agenda, but also independence for the colonies of Dutch imperialism ie Indonesia. At the same time, the expatriate Indonesian students organisation, Perhimpunan, which was now controlled by the Communists, dropped the word Merdeka from the name of its journal, Indonesia Merdeka. Thus when the Japanese invaded Indonesia in 1942 the PKI were placed in the position of having to argue that the Indonesian masses should combine with the Dutch to fight them. But the Indonesian masses wanted no part of such a deal. Indeed far from seeing the Japanese as the main enemy, future PKI leader Aidit recalled, The Indonesian people harboured illusions that the Japanese were liberators, when they first arrived. These illusions were soon dispelled. It is worth noting as well, that the Dutch colonialists harboured no such allied illusions as the PKI had. When some Indonesians did request arms from the Dutch to help fight the Japanese, they were told this was impossible. An interesting contrast with the official PKI line is provided here by the position of Indonesian communists still prisoners from the 1926/27 rebellion, who were taken by the fleeing Dutch administration with them to Australia, to prevent them being used for propaganda purposes by the Japanese. Having effectively been isolated from the Stalinist degeneration of the Communist movement (as a result of being in prison for the previous decade and a half), they were not at all happy with the idea of a bloc with Dutch colonialism. The comments of Rupert Lockwood, at that time a leading Australian Stalinist, are very revealing: Though advised by the CPA (Communist Party of Australia), the PKIat first made sectarian errors that made CPA hairs stand on end. The PKI brought many problems with it from behind the barbed wire of D Compound. Not a few of its members still spoke in the warmed-up cliches of 1926, and resisted co-operation with the NEI (Dutch) Government-In-Exile. (11) The fundamental ideas of the communist movement were now regarded as warmed-up cliches. But the CPA persisted and won out. Their advice manifested in the old PKI leader Sardjono (as Lockwood so inimitably put it), setting an exampleby donning a Dutch uniform, as Netherlands Indies Government-InExile Public Relations Officer. Sardjono had spent the previous 16 years in a Dutch concentration camp!

Other Indonesian workers were not at all convinced. Referring to Indonesian seamen stationed in Australia during the war, Lockwood lamented, the Indonesians held that the war was a purposeless clash of empires, after which they would be asked to accept the familiar currency of authoritarian direction. The Japanese occupation marked a turning point. The capitulation of the Dutch Colonial Administration only eight days after the Japanese invaded had an enormous psychological effect on the Indonesian masses they had seen them defeated, and defeated easily. At the same time, illusions in Japanese imperialism disappeared. They instituted a brutal slave labour (romusha) system under which at least 200,000 people died. Some sources say up to two million Indonesians died during the occupation. And therefore, despite their policy towards the Dutch, the PKI did earn respect for their hostility to Japanese occupation. However with the defeat of Japan the whole situation was radically altered and the PKI missed an enormous opportunity. Stalin and the Western powers were dividing up the continent of Europe between them nothing was to upset that, therefore the PKI had to continue to compromise with the Dutch. While Stalin and the West were leaning on one another, the colonial world was simmering with revolution. Commenting on Communist exiles returning from the Netherlands, George Kahin wrote, It does seem clear that when they first arrived in Indonesia in late 1945 and early 1946, they were adhering closely to Moscows line Their initial orientation was, paralleling that of the Netherlands Communist Party, anti-Republic. They conceived of the Republic as Japanese-made and Fascistic and their objective was to reunite the Netherlands and Indonesia. Thus the Netherlands government was happy to fly them out free of charge to Indonesia.(12) Indeed, during the Independence struggle, the PKI, by following Moscows directives, at times found themselves objectively to the right of not only the PNI, but even the right-wing Moslem party, the Masjumi. But rapidly the exiles realised their position was ridiculous. As Kahin puts it, they saw the Republic from the inside. They soon concluded that it was neither a Japanese product nor a Fascist dictatorship. It was clear to them that the Republic had the enthusiastic support of the population From mid 1944 onwards the exiles in Australia were organising Indonesian Independence Committees, and at their request, in a magnificent display of working class internationalism, the Australian trade unions put a ban on Dutch shipping. This proved a definite thorn in the side of Dutch attempts to recolonise Indonesia. It should be pointed out that this was in large part due to the influence of the Communist Party of Australia and was effectively against the Moscow line the pro-Dutch position was clearly untenable for a sustained period. In late 1945 the Australian Militant, a Marxist paper of the time, reported on news just received from Amsterdam: Widespread indignation with the imperialist policy of the government of Holland in suppressing the struggle of the Indonesians for their independence, has led in the past week to organised protest movements of soldiers culminating in mass demonstrations last Saturday, and a general strike in this city which began on Monday band was concluded Tuesday night.

During the second week in September, the soldiers at the Harderwijk camp near Amsterdam were informed
that they were to embark for Indonesia The soldiers protesting against the government order bluntly refused to go. Thy formed a committee representing at first 150 men, and went to the Communist headquarters to obtain aidsince many of them were members of the CP. The leaders of the latter refused all help. The soldiers committee thereupon turned to the other workers organisations For its part, Radio Moscow, the voice of the Soviet bureaucracy, ignored the proclamation of independence in 1945. The Soviet Union didnt adopt a favourable attitude to the Republic until January 1946. British paratroops, sent to Indonesia to help restore Dutch rule, staged a sit-down strike and British merchant seamen in Sydney mutinied. Boycotts were eventually imposed on the Dutch by workers in Burma, Canada, Sri

Lanka, China, Egypt, Holland, India, Japan, New Zealand, Pakistan, Singapore, the Soviet Union, Thailand, and the United States. It was the youth of Indonesia who were the driving force behind the independence struggle, and it was their irrepressible zeal that led to the declaration of independence on August 17th, 1945. (They at one stage actually kidnapped the nationalist leader Sukarno, who was a lot more cautious, in order to force his hand.) Sukarno became President of the Republic of Indonesia, and another bourgeois nationalist, Hatta, became Vice President. The Dutch however, were not at all pleased with the idea of losing their colony. Following the British army who arrived in Java in late September, they attempted to militarily re-assert control. In December 1945 the Militant reported, Lacking heavy arms, lacking military training, lacking everything except a burning conviction of the justice of their cause, the Indonesians are fighting back bravely against the British invaders at Surabaya.

In bravery, devotion, and administrative skill, they have astonished the world, including those imperialist
bandits, who now find themselves compelled to resort to military force when they had hoped that trickery and prevarication would do the job.

The British Command, after a series of conferences designed to gain time for the assembling of their and
Dutch military forces, have brutally bombed and shelled the virtually defenceless city of Surabaya, in the meantime holding open Batavia and other ports in readiness for the arrival of the Dutch armies now reported to have reached India.

The capitalist press speaks gloatingly of Indonesians mown down in fanatical attacks on British tanks, and of
many women and children killed when troops fired on a mob.

No prisoners, they say, are being taken because the natives have ignored the British ultimatum to disarm. In
the meantime they continue to spread the usual childish nonsense about thousands of Japanese soldiers fighting for the Indonesians In fact the British, who had supposedly gone to Indonesia to disarm the Japanese, had in fact rearmed them, and the two enemies of yesterday were now fighting alongside each other against the Indonesians. The British withdrew but the struggle with the Dutch continued, occasionally militarily, but mainly politically, until December 1949 when independence was finally achieved. Throughout this period the Indonesian government controlled certain areas of the country and the Dutch controlled other areas. Having abandoned their alliance with the Dutch, the PKI still however remained completely submerged within the independence movement itself. As Ruth McVey puts it, The PKIs leaders, following a policy of extreme self-effacement identified their programme completely with that of the government even in the latters least popular policies. (13) Demands on behalf of the workers and peasants were set aside in the national interest. In the mid 50s, Aidit, reflecting on the failure of the PKI to capture the leadership of the independence struggle wrote, During the revolution, the Party abandoned political, ideological and organisational freedom and did not attach sufficient importance to its activities in labour and peasant circles. These were the reasons why the revolution failed The party failed to realise in the August revolution that there was no need for illegality. The Party failed to realise that the Dutch colonial era ended and that a new era opened. This was the first mistake: the failure to declare the Party legal and lead the revolution. As a result the leadership of the independence movement became a struggle between various bourgeois nationalist figureheads Sukarno, Hatta, Sjahrir, and others, as well as Tan Malaka, who had split with the

Comintern and taken up a left-wing nationalist position. It should be emphasised that despite the mistakes, the PKI were nevertheless potentially a powerful force with sympathetic military units. Recognising the possible threat, Hatta, now leader of the Republican government initiated a reorganisation and rationalisation process within the army meaning the disbandment of PKI units. Conflicts between pro and anti PKI military units occurred with more and more frequency culminating in the brutal Madiun Affair in 1948. Pro-PKI soldiers seized control of the city of Madiun in central East Java in September 1948. It does not appear that the PKI was involved in the planning of the operation except at a local level. However once the rebellion had begun it quickly became an attempt to take power, and PKI leader Musso declared himself head of an alternative government. However just as in 1926/27 it was quite swiftly crushed though this time in a more bloody fashion. However the party itself did not have to go through another twenty-year period underground. Indeed within a year George Kahin was writing in the Far Eastern Survey about the potential of growth for the PKI: That potential is strong, particularly among young intellectuals, in direct proportion to the frustration of hopes for real national independence a number of young intellectuals having a high leadership potential, formerly opposed to Communism, are being attracted towards it and are almost certain to join if the present anti-Communist leaders of the Republic are forced to make more concessions to the Dutch. This illustrates how fluid the situation was. Within three years the Party was leading major strike movements. Jeanne S. Mintz quite graphically describes the mood of the times: within a few weeks after the transfer of sovereignty, there was a general miasma of disillusionment, as the revolutionary elan faded and no single inspiring force came to take its place. From the masses of the Indonesian people who had played an active role in achieving their independence there came a rather inarticulate but nevertheless real demand that independence bring in its wake something positive and tangible, some visible differences from the poverty and hardship of their daily lives. As some of their leaders had anticipated, the Indonesian people soon made the discovery that independence is not enough. (14) It was also in 1951 that a group of young men led by D.N. Adit, none of whom were aged over 30, came into the leadership of the PKI. It is really from this point that the third incarnation of the party begins. The Aidit Years From the outset, the appearance of the new leadership was one of spectacular success. From fewer than 7,000 members in early 1952, the party numbered more than 150,000 by 1954. In addition, its trade union federation, SOBSI, had become the largest in the country. Rather than concentrating on making fronts with nationalist leaders, who wanted no part of such deals following Madiun, the PKI was, forced to concentrate on a united front from below, a tactic which proved singularly effective in 1950-1951 and was one of the chief factors in the partys swift post rebellion recovery and its development of a number of powerful Communist mass organisations. (15) This had occurred as a reflection of declining economic conditions up to 25 per cent unemployment, the continued existence of feudal relations on the land, and the absence of any visible benefit from independence. It is interesting to note that 70 per cent of the estates on Java and Sumatra were back in foreign hands by 1953. The partys growth continued apace. In the general elections of 1955 the PKI polled 16 per cent of the vote, and in local elections two years later they had become the most popular party in Central Java. By 1958 the PKI membership had reached 1.5 million. At government level a series of weak and unstable coalitions came and went from power in less than seven years, six cabinets succeeded one another.

Meanwhile there were increasing signs of agitation from the senior level of the military, who had emerged as a powerful force from the independence struggle. It was against this background, and to divert the attention of the masses from their economic problems, that all the parties in Indonesia became involved in a fervently nationalist campaign to have Dutch occupied West New Guinea incorporated into Indonesia. In the course of this campaign, in a series of largely spontaneous actions led by both PNI and PKI rank and file members, the workers of Indonesia occupied and took control of all Dutch enterprises in the country. In turn, the Armed Forces seized the companies. Their power was now not only military, but economic as well. The following year a faction of the Armed Forces representing feudal interests on the Outer Islands (and backed by the United States) attempted to overthrow the government. Lacking mass support the revolt was crushed. As a result some political parties were banned and those that werent had their activities severely curtailed. Martial law was introduced. Independence had certainly not brought with it stable capitalist democracy! But worse was to come. Up until 1959 there had at least been elections, but in that year Sukarno the President, under pressure from the army, dissolved parliament, and in its place proclaimed the formation of an appointed, hand-picked, Consultative Congress. Thus was introduced the Guided Democracy period during which not a single election was held. The PKI approved of Sukarnos actions. Its worthwhile pausing here to consider the theories upon which the PKIs practical decisions were based. According to Aidit, the primary task was to form, a united front of all anti-imperialist and anti-feudal forces in the country. That is to say the working class, the peasantry, the petit-bourgeoisie and the national bourgeoisie. The task of this alliance is to bring about not socialist but democratic reforms. It should be noted first of all that this was precisely the same bloc of four classes formula from which the Chinese Communist Party had operated in the 1920s, and which led to their terrible defeat. But why was it such a dangerous theory? The starting point for any serious theory about changing society has to be the concrete reality of society as it stands. Clearly Indonesia had not become a modern capitalist country as Marxists put it, it had not completed the tasks of the bourgeois democratic revolution, which were: A thoroughgoing land reform, giving land to the peasants which in turn could create a viable internal market. The unification of the country and the development of the nation along modern lines, both economically, and politically through the institution of parliamentary democracy. These tasks were completed in the advanced capitalist world (Europe, America etc) roughly by the end of the nineteenth century. However they had not been completed in the colonial and ex-colonial countries. Thus with the advanced capitalist countries increasingly dominating the entire world in imperialist fashion, for the colonial and ex-colonial nations a third task was added: The overthrow of direct rule by imperialism, and even after that was achieved, the overthrow of the economic stranglehold exercised by imperialism. Put simply, these measures were what was necessary to transform Indonesia from a backward agricultural nation into a modern capitalist economy. But the vital question was, which forces in society were to carry through these tasks? In Europe these measures had been carried out against the incumbent feudal interests by the rising national

bourgeoisie in each of the different countries using the masses to do their fighting for them. Was this to be the case in Indonesia? What role was the working class to play? Let us backtrack briefly. In the very early 1920s when the Communist International had been a healthy organisation an extremely important discussion took place within its ranks concerning precisely the relationship between the proletariat and the national bourgeoisie of the colonial countries. Arising from this discussion Lenin stated, I should like especially to emphasise the question of the bourgeois democratic movement in backward countries There has been a certain rapprochement between the bourgeoisie of the exploiting countries and that of the colonies, so that very often perhaps even in most cases the bourgeoisie of the oppressed countries, while it does support the national movement, is in full accord with the imperialist bourgeoisie, ie, joins forces with it against all revolutionary movements and revolutionary classes. But if the bourgeoisie themselves are incapable of carrying through the bourgeois democratic revolution, then which section of society is capable? Of all the great revolutionary theoreticians, it was Trotsky, who not only earlier, but also more exactly, analysed the nature of the revolution in the colonial world, and flowing from it, the tasks of communist revolutionaries. And this set of ideas subsequently became known as the theory of permanent revolution. Central to the theory was the realisation that in the colonial and semi-colonial world the national bourgeoisie and the feudal interests were woven together. Thus there was no way that the national bourgeoisie would side with the masses against those feudal interests, nor the interests of imperialism. Therefore the workers and peasants would have to carry out the tasks of the bourgeois democratic revolutionagainst the national bourgeoisie! In addition, throughout history the peasantry, tied to its small plot of land has had a very narrow horizon, an extremely parochial horizon. Moreover, because it is so heterogeneous it always looks to the urban classes for leadership. In the modern epoch it is either the capitalists or the working class which provides the lead. (16) The revolution could not be lead by the capitalists because the revolution was against them and thus it had to be by the working class. But having initiated the bourgeois democratic revolution against the bourgeoisie, the workers and peasants obviously would not stop there and thus the tasks of the bourgeois democratic and the tasks of the socialist revolution were telescoped together hence permanent revolution. In turn, because of the impossibility of building socialism in one country, particularly an economically backward one, the revolution would ultimately have to spread internationally or face inevitable degeneration. Because of the imperialist domination of the world, there was no role for the colonial bourgeoisie. This was particularly so with the Indonesian bourgeoisie who were so weak as a class that the major question was whether they even actually existed or not! What was incontestable was that those seedlings of a capitalist class that did exist were inextricably interlinked with feudal interests. As Aidit himself wrote in frustration in 1964, Indonesias national bourgeoisie is still young and has many family ties with the landlords. One of its legs is capitalist while the other is feudal. Yet the PKI leadership put their faith in their alliance with them. In fact their analysis was based on the Stalinist two-stage theory of revolution and had little to do with the concrete reality that existed in Indonesia. According to Aidit, The character of the Indonesian revolution at the present stage is bourgeois democratic and not proletarian socialist. But the bourgeois democratic revolution in Indonesia is no longer one of the old type, or part of the outdated world bourgeois democratic revolution: it is one of a new type and a part of the world

proletarian socialist revolution firmly opposed to imperialism.

The Indonesian revolution is bourgeois in nature because it does not abolish private ownership of the means
of production. This is manifested in the fact that it distributes land to the peasants and encourages the growth of the national bourgeoisie so that it may be free from dependence upon imperialism. It is also democratic in nature, because it is opposed to feudalism and fights for democratic rights for the Indonesian people as a whole.(17) For all of Aidits playing with words about new types and old types of bourgeois democratic revolutions, what it boiled down to was two distinct stages; firstly the bourgeoisie would come to power and then, after years(?), decades(?), even centuries(?), the working class and peasants would come to power. Yet as Aidit himself had pointed out, The failure of the August 1945 revolution showed that the Indonesian bourgeoisie was unable to lead the bourgeois democratic revolution in the era of imperialism. Yet still, because all their theoretical education had been Stalinist, because of the authority of Moscow and Peking, and because of their growth in numbers, the PKI continued to base their strategy on alliance with the national bourgeoisie. As Rex Mortimer put it, It has seldom happened that a party as large as the PKI has held a class fraction, the national bourgeoisie in such high esteem, placed so many hopes upon it and accommodated itself to it, whole knowing so little about it. In essence the PKI leadership were putting their faith in people who were not allies but were in fact enemies of the masses; this was why it was so dangerous. Let us take stock: Ten and more years after independence and none of the tasks of the bourgeois democratic revolution had been accomplished. Feudal property relations were still intact, parliamentary democracy had been abolished, and instead of capitalist industry forging ahead the economy was in shambles. The development of the economy that had taken place was undertaken by the state. But as Richard Robison explains, the development of state enterprises did not represent a concerted move towards socialisation, or indeed even nationalisation of the economy the intervention of the state in the economy, to 1956, was heavily influenced by the idea that the state would provide the infrastructure for the development of a domestic capitalist class, operate enterprises that were necessary but beyond the capacity of national capital, and directly finance and protect a national (and by national was generally meant indigenous) bourgeoisie. And further, Despite the concerted attempt by the state to build an indigenous bourgeoisie, the growth of this class was not impressive. It was fundamentally the same economic idea underlying the Guided Democracy period but increasingly the historical ineptitude of the local capitalist class was becoming obvious. The Dutch concerns that the masses had seized could not be handed over to the local bourgeoisie because they were simply too weak, therefore they had to be nationalised. It was the concrete reality rather than the desires of those in power that governed the situation. Robison continues, it is agreed by most commentators that by 1965 the domestic bourgeoisie had not advanced since the 1950s.(18) But furthermore, what flowed from the two stage theory was the idea that the working class could not take industrial action against the national bourgeoisie because they were supposed to be in alliance. But this was not an equal alliance. Because it was supposedly the bourgeois democratic revolution then the interests of the bourgeoisie had to come first the interests of the workers had to come second. As Rex Mortimer describes it, the entire emphasis was on the self-abnegating role of the workers and their political responsibilities toward other classes and the nation as a whole.(19) This was the most dangerous and ultimately the most fatal aspect of the whole situation. Why then was the PKI growing so rapidly? Because as Indonesia slid towards catastrophe the whole of society was polarising and on one side was the PKI. They were relatively untouched by corruption scandals rife at

the time, and despite their policies they were at least perceived to be doing something they were the workers traditional, and only, political voice. As Ruth McVey observed in the early 1960s, The PKI is now virtually the only party worth considering as a major factor in Indonesia. The Masjumi and PSI were generally discredited as a result of the rebellion and were finally outlawed in 1960. The Nahdatul Ulama and PNI have degenerated as organisations into little more than self-perpetuating patronage machines. Only Murba, a national-Communist Party has improved its position: but it remains a splinter group at heart, a state of mind rather than a political organisation. On the other side was the military. Their increasing prominence was a reflection of the weakness of not only the Indonesian bourgeois/feudal political parties, but more fundamentally, the Indonesian bourgeoisie itself. According to the two stage theory, this should have been the period where bourgeois democracy was in blossom yet so weak was the capitalist class that its up-front representation had to be the military the State forces normally capitalisms last line of defence! And then there was Sukarno the classical Bonapartist balancing delicately in between. By the early 1960s the class forces in Indonesia were assembling for the showdown. It was now only a matter of time.Conditions for the masses were becoming impossible. The late 1963 harvest in Java had been heavily depleted by the worst drought and rat plague in living memory Aidit himself in his report of December 1963 mentioned that the people are now eating virtually anything edible and in the following months various sources drew attention to misery on a huge scale. Reuters Newsagency reported on February 16th, 1964 that in Central Java, where the crop failure had been particularly severe, one million people were starving; in the district of Wonosari between two and six people starved to death daily; and the deputy governor of Central Java said that 12,000 people were being treated for malnutrition and 15,000 families had deserted their barren rice fields. Antara detailed that 18,000 people were starving in Bali and that there were serious rice shortages in South Sumatra. Harian Rakjat reported on February 18th that people were selling everything including their children.(20) Land reform laws had existed since 1960 yet in practice nothing had changed. The peasants in frustration began taking over the land. The police, army and reactionaries in the rural areas responded with violence. The country was in ruin, corruption and smuggling in the civilian and military bureaucracy were rife. Managerial inefficiency and corruption by the military had ruined the nationalised industries. Production had declined absolutely to below what it was on the eve of the Second World War. Indonesia had at one time been a rice surplus area. Now it was having to import 150,000 tons of rice every year. The tin and rubber export industries had dwindled away and only oil remained as an earner of dollars. The nation was heavily in debt to the worlds banks and each year the budget deficit was doubling. The value of the rupiah had sunk to a hundredth of its legal value as the result of chronic inflation in the six years to 1965 the cost of living increased by 2,000 per cent. At the same time it was reported that up to an incredible 75% of the State Budget was being spent on the armed forces. For his part, Sukarno was more concerned with Indonesians developing a sense of pride in their nationhood an affordable sentiment for a man living in a mansion surrounded by expensive works of art. To facilitate this sense of pride millions were spent on prestige buildings, new boulevardes and grand statues in Jakarta. At the same time an endless stream of speeches, slogans and acronyms, increasingly coated in left-wing rhetoric, issued forth from Sukarno Manipol/USDEK Manipol being the political manifesto and USDEK an acronym made up of the initial letters of the 1945 Constitution, Indonesian socialism, Guided Democracy, guided economy and Indonesian identity. To these were added a host of others Ampera (the Message of the Peoples suffering), Berdikari (standing on our own feet), Tavip (the Year of Living Dangerously), NEFOS AND OLDEFOS (New Emerging Forces and Old Established Forces), Nasakom (union of Nationalism, Religion and Communism), the need to avoid textbook thinking, to return to the rails of revolution, the idea of continuing

revolution(21), and so on and so forth. Enthusiastically the PKI took up the chorus of these slogans. In the early fifties the PKI were calling Sukarno a Japanese collaborator, a perverter of Marxism and a semi-fascist. By the early sixties he was addressing PKI congresses. As Rex Mortimer puts it, By 1963 the partys worship was becoming almost idolatrous. Despite the Presidents notorious disdain for, and ignorance of, economic affairs, it declared that the solution of economic difficulties could safely be left in his hands A short time later (Aidit) bestowed the final accolade by describing the President as his first teacher in Marxism-Leninism.(22) In the end the PKI were arguing that Marxism and Sukarnoism were identical! By August 1965 the PKI had become the third largest Communist Party in the world (only the Soviet and Chinese parties were bigger). Three and a half million Indonesians were members of the party. In addition, the different organisations affiliated to it trade unions, peasant, youth, womens and cultural movements claimed the support of probably 20 million people. The international bourgeoisie looked on at the situation in Indonesia with increasing horror: it was commonly felt that the PKI were soon to take power. No matter what their policies may have been on paper, the concrete realities of the situation would force them to nationalise the economy as had happened in Cuba and China (as we have seen many sectors had been nationalised already). The loss of Indonesia, the fifth most populated country in the world, would be an enormous blow to international capitalism, yet they were powerless to intervene. The desperation of their thinking is shown in a memorandum to the Rand Corporation, in which key American policy advisor (and CIA operative) Guy Pauker wrote, Were the Communists to lose Sukarno as a protector, it seems doubtful that other national leaders, capable of rallying Indonesias dispersed and demoralised antiCommunist forces, would emerge in the near future. Furthermore, these forces would probably lack the ruthlessness that made it possible for the Nazis to suppress the Communist Party of Germany a few weeks after the elections of March 5th, 1933 The enemies of the PKI including the remnants of various right-wing rebellions, the suppressed political parties, and certain elements in the armed forces, are weaker than the Nazis, not only in numbers and in mass support, but also in unity, discipline and leadership.(23) (This was the thinking of international capitalism Where are the Nazis when you need them?) On the night of September 30th , 1965 things came to a head. Six generals of the high command were kidnapped and killed by a small force of middle-ranking military officers and a number of locations in Jakarta were seized. Army units under General Suharto rapidly crushed the coup attempt in the capital, although fighting continued for several weeks in Central Java. The coup and the killing of the generals were blamed on the PKI. The killing of PKI members and sympathisers began. At first there was enormous confusion. Most observers thought there would be a civil war. As the Economist pointed out on the 16th October, The most significant party in the country can hardly be driven underground without the risk of civil war. And indeed there was a civil war but only one side was fighting. Time magazine reported on December 17th, 1965 that Communists, red sympathisers and their families are being massacred by the thousands. Backlands army units are reported to have executed thousands of Communists after interrogation in remote jails. Armed with wide-bladed knives called parangs, Moslem bands crept at night into the homes of Communists, killing entire families and burying the bodies in shallow graves.

The murder campaign became so brazen in parts of rural East Java that Moslem bands placed the heads of
victims on poles and paraded them through villages. The killings have been on such a scale that the disposal of the corpses has created a serious sanitation problem in East Java and Northern Sumatra where the humid air bears the reek of decaying flesh. Travellers from those areas tell of small rivers and streams that have been literally clogged with bodies. River transportation has at places been seriously impeded.

The New York Times Sunday Magazine on May 8th, 1966 reported a schoolteacher in a village near Jogjakarta as having said, My students went right out with the army. They pointed out PKI members. The army shot them on the spot along with their whole family; women, children. It was horrible The NYTs correspondent, Seth King, commented, Surabaya, capital of East Java and long a centre of Communist activity, is laced with turbid canals. Since last October one of the more grisly tasks of local householders living beside the canals has been to get up each morning and push along the bodies caught near their garden landings.(24) In Bali, which had been the fastest growing centre of PKI organisation, the killings became so indiscriminate that finally the army stepped in to control them. And the CIA, not known as a humanitarian organisation, itself wrote, In terms of the numbers killed, the anti-PKI massacres in Indonesia rank as one of the worst mass murders of the twentieth century. Within four months between half a million and a million people, the cream of the working class, the best and brightest of Indonesian society, were slaughtered. The culmination of the PKIs two-stage theory of revolution was vicious counter-revolution with no stages! But what was most incredible about the whole situation was that the PKI, the third largest Communist Party in the world with 20 million supporters, was wiped out virtually without resistance. As Rex Mortimer explains, A dispersed and shattered leadership seems to have lost all capacity to rally the party or cope with the decimation of its ranks. Sticking to the last to the hope that Sukarno would pull their irons out of the fire, the leaders went into hiding and became to all intents and purposes, deactivated. Illustrative of the paralysis that afflicted the cadre forces of the party is the following account by a PKI member and wife of a Central Committee functionary of the way she and her husband reacted in the weeks and months following the coup:

After September 30th, we went on with our work for some days in the normal manner, but no one with whom
we came in contact was able to inform us as to what had happened or what we were expected to do. As the atmosphere in Jakarta grew worse, we just sat at home and waited for instructions. My husband had been given no guidance about what to do in such an eventuality. We did not expect things to turn out so badly; we thought there would be a setback for the party but that eventually it would be sorted out by Sukarno.

That is why the party disintegrated so rapidly. There were no orders and no one knew who to turn to or who to
trust, since arrests had started and we knew there had been betrayals (Party leaders) sent word just to wait and I know that a party leaders wife was sent to see Sukarno.(25) Sukarno it all rested on Sukarno. Flowing from their theory of alliance with the national bourgeoisie and following the eclipse of all the political parties, the PKI had come to the conclusion that Sukarno himself, an individual, now represented the national bourgeoisie. But Sukarno had no mass movement. Had he represented something solid, a powerful class interest, his demise in no way would have been so rapid. It was not Sukarno but the army that ultimately represented the interests of the national bourgeoisie, along with the forces of feudalism and imperialism all interwoven together. On the other side of the class divide were the PKI representing the workers and peasants and when these great class forces finally cracked apart, Sukarno simply toppled into the crevice. For the third time in less than 50 years the PKI had been bloodily crushed. The rank and file of the PKI were caught completely by surprise small wonder given Aidits bizarre two-aspect theory of the state on which the party had been educated. (As the underground PKI themselves put it in 1966, According to this two-aspect theory a miracle could happen in Indonesia. Namely the state could cease to be an instrument of the ruling oppressor classes to subjugate other classes, but could be made the instrument shared by both the oppressor classes and the

oppressed classes. And the fundamental change in state power could be peacefully accomplished by developing the pro-people aspect and gradually liquidating the anti-people aspect. In essence this was really just the classical reformist approach.) It is quite possible that Aidit knew in advance of the plan to kidnap the generals. It illustrates the whole approach of the leadership deals at the top rather than mobilisation of the masses. This is the key point. Let us recall: Aidits criticism of the PKI leadership during the independence struggle had been that the Party, abandoned political ideological and organisational freedom and did not attach sufficient importance to its activities in labour and peasant circles. These were the reasons why the revolution failed. History repeats itself. But lets go back one generation more, back to the very foundation of the PKI itself. Had not the right-wing of the ISDV opposed the raising of class questions and spoken of the need for, unity of the native population groups necessary for the achievement of of national independence and freedom... Did not this therefore mean support for the national bourgeoisie? Had the right-wing not split from those who went on to form the PKI precisely over this question? Had not the Tjokroaminoto faction of Sarekat Islam condemned sinful (by which they mean foreign) capitalism, whilst supporting native capitalism? The Aidit leadership of the PKI had effectively reverted to these ideas. Yet it was precisely in the struggle against these ideas that the PKI had developed in the first place! The wheel had come full circle. In 1960 Aidit stated explicitly that the class struggle was subservient to the national struggle, yet in reality this had been PKI policy from at least the time that Musso had arrived back in Indonesia from Moscow in 1935. The history of the PKI is in many ways a history of the international Communist movement itself. Obviously there were certain local peculiarities (such as the reliance on one man Sukarno) but the underlying theoretical base that led the PKI to such a position emanated initially from Moscow. Even following the Moscow/Peking split, when Indonesia came to side with the Chinese, both Moscow and Peking were putting forward the idea of alliance with the national bourgeoisie. Certainly from the 1930s onwards much of the blame for what happened in Indonesia can be laid squarely at the doorstep of international Stalinism. What happened in 1965 was all the more incredible when one considers that in the last few years it was the Chinese Communist Party that had become the mentors of the PKI. The same Chinese Communists who themselves had been obliterated 40 years earlier, precisely for putting their faith in an alliance with the national capitalists. The parallels even extended to certain details. In an eerie replay of China in the 1920s, the PKI on 4th February, 1961 handed the authorities a list of party members, including addresses, position in the party and date of entry into the party.(26) Even bourgeois observers in Indonesia at the time were drawing the parallel between Indonesia of the 1960s and the China of the 1920s. But the tragedy did not stop there. Less than a decade later in Chile the labour movement was smashed and the best of the working class slaughtered for following exactly the same policies. Indeed, the US-backed overthrow of the Allende government in Chile occurred under the slogan, Jakarta is approaching.(27) As is the case with Chile, the CIA were intricately and bloodily involved with the destruction of the PKI. But their effect should not be exaggerated. Just as in Chile, in Indonesia it was the mistakes of the PKI leadership that were crucial. Without those mistakes the efforts of the CIA would have been futile. Could the PKI have come to power? Yes, we believe many times. Or let us put it more accurately the

objective conditions for taking power were ripe on many occasions. In the 1920s leaving aside their organisational disarray it is certainly questionable whether they were powerful enough. Tan Malaka believed the uprising of 1926 had been left too late and that more time was needed now to build up the Partys strength that is probably right. However during the independence struggle it is quite clear that the PKI essentially handed their chance for the leadership of that struggle away. Likewise during the 1960s there was no question that Indonesia was ripe for revolution. A significant indicator is always the attitude of the international capitalism and what was their attitude? It varied from alarm to panic! Let us also not forget that numerically the PKI in the 1960s was in a way more favourable situation than the Bolsheviks had been in 1917 for example. Yet in terms of political theory it was way behind. It was not numbers, but theory that was the PKIs problem. Obviously there are no guarantees of success, even if the most scrupulous attitude is taken towards theory, sometimes the conditions are just not right. We do not believe this was the case however in the Indonesia of the 1940s and 1960s. It is not even excluded that the PKI could have come to power in the 1960s with Sukarno remaining as nominal head of government. But had they taken power (with or without Sukarno) it is inevitable, given the policies of the leadership, that the resulting regime would not have been of a genuinely socialist nature run by workers democracy but rather a deformed workers state along the lines of China. Nevertheless, the elimination of landlordism and capitalism in the largest country in South East Asia would have been an enormous step forward and a mighty boost in confidence for the oppressed masses internationally. Furthermore, Indonesia has the largest Moslem population of any country in the world. Had the PKI taken power in the 1960s the whole pattern of events in the Middle East since then may well have been very different, not to mention India or Pakistan. In the South East Asia region itself, the repercussions of revolution in the largest country would have been enormous, and for Western imperialism the loss of the fifth largest country in the world, just a decade or so after losing China, would have been devastating. Resurgence? And what is the situation now? Since 1965 the embryonic native bourgeoisie has expanded and some have become very rich, yet Indonesia still has the lowest wage rates in South East Asia. In addition, there is no way in the world that Indonesia will develop to the point of being a Japan, or even a South Korea. It is simply too late. As the Indian Marxists have pointed out, The only capitalist countries which can claim to have developed from backward societies into fully developed industrialised societies in the post war period are Japan and the socalled Newly Industrialised Countries of South East Asia (South Korea, Taiwan, Singapore and Hong Kong). In all these countries, it was fear at the example of the Chinese revolution which lay behind their development. The revolution was spreading to Korea, Vietnam and Malaya and even in Japan revolution was a serious danger in the 1940s.

The capitalist class in these countries was incapable of breaking the power of the feudal landlords and
carrying through the land reform without which industrialisation was impossible. In Japan, which despite its social backwardness was already a strong military imperialist power, it took American imperialism in the form of General Macarthur at the head of its occupation armies, to overrule the defeated Japanese warlords and impose a very drastic land distribution programme, at the same time financing industrialisation with huge dollar subsidies.

American imperialism imposed the same stringent land programme on occupied South Korea as a defence
against the spread of revolution from the Northern half of the peninsula. Again it was General Macarthur (in one sense the most progressive bourgeois this century!) who carried through this programme.

In Taiwan, Chiang Kai Sheks armies, fleeing from the revolution on the Chinese mainland, performed the
same role, to stabilise their occupation of the island. Singapore and Hong Kong are really city-states, likewise

based on off-shore islands, so the land question was not so formidable.

It is noteworthy that not one of the famous NICs is a real country. They are all fragments splintered off from
countries already over-run by revolution counter revolutions in exile! In no way can they be regarded as arguments in favour of the viability of capitalism. (28) As far as land reform in Indonesia is concerned, developments have been in precisely the opposite direction. Following independence there has been a continuing trend towards concentration of landholding and consolidation of a landlord class. Often military and civilian officials have moved into this sector with capital accumulated outside the commercial world.(29) 80% of the 180 million people of Indonesia live at a minimum existence. Infant mortality in Indonesia is the highest of the ASEAN nations (87/1000) and 89% of the population do not have access to safe drinking water. As far as the democratic aspect of the bourgeois-democratic revolution is concerned, there is less democracy in Indonesia today than there was under Dutch colonial rule. The Indonesian bourgeoisie are clearly historically incapable of carrying out their own revolution. And the PKI? Still the regime is shooting the old men, still it is purging the civil service of communists, more than 20 years after the PKIs last stand. But as to whether or not the Indonesian working class will politically reform again under the banner of the PKI or whether it will be under another banner is hard to say. But really thats not the key issue. It is the programme that the party adopts rather than the name which is the important thing. Following 1965 there were sporadic reports, culminating in 1968, of surviving PKI groups engaging in guerilla activities. Yet guerillaism in Indonesia as a focal tactic is doomed, simply by geographical factors. The island of Java was, and continues to be, the key to the whole country. In the early 1960s Java had a greater density of population per square mile than either Holland or Belgium. And what was true in the 1960s is many times more true today given the population increase that has occurred since. It is the working class in the towns and cities that is the key social force. That is not to say that at a later stage some form of guerilla struggle in the Outer Islands is completely excluded as a supplement to the work in the towns. Furthermore, the armed struggle in the sense of the mass of the workers being armed, is absolutely vital at a certain stage. But as a central tactic the road of guerillaism, or even worse, individual terrorist action, is a complete dead end. Indeed the occurrence of terrorist activities in the 1920s was an indication of the disarray of the movement. But there are even more serious dangers on the horizon. Many people in Indonesia pose today as democrats and friends of the people, tomorrow there will be many more. Some of them have very bloody hands. When the working class movement does rise again, it is crucial that it does not mistake its enemies for its friends. The winds of revolt are blowing through Indonesia once more, and once more it is the youth who are at the forefront. The back pages of Indonesian revolutionary history are indelibly stamped with the imprint of youth Semaun, Darsono, Tan Malaka and millions more. Likewise today, it is those young men and women gathered together in the study circles and activist groups, now linking together with the workers and farmers, that will form the core of the resurgence. In Indonesia today workers political parties are banned, real trade unions are banned, left-wing paper are banned, ideas are banned particularly the ideas of Marxism. Yet for all the regimes banning it is precisely the ideas of Marxism that are being debated within the ranks of the young activist and study groups at this moment. And it is from this debate, as well of course as the ongoing active struggle against this most vicious of all regimes, that the revolutionary cadre of tomorrow is being formed. It is to these heroic young revolutionaries that this pamphlet is dedicated. Notes

(1) Alisa Zainnuddin A Short History of Indonesia pg 165 (2) Ruth McVey The Rise of Indonesian Communism pg 24 (3) McVey pg 274 (4) McVey pg 328 (5) McVey pg 333 (6) McVey pg 178/179 (7) Marxist Workers Tendency (ANC) South Africas Impending Socialist Revolution pg 28 (8) Ruth McVey The Development of the Indonesian Communist Party and its Relations with the Soviet Union pg 2 (9) JM Van Der Kroef The Communist Party of Indonesia pg 24 (10) Ted Grant The Rise and Fall of the Communist International -pg 19 (11) Rupert Lockwood Black Armada pg 35 (12) George McT Kahin Nationalism and Revolution in Indonesia pg 160 (13) Ruth McVey .Relations with the Soviet Union pg 8 (14) Jeanne S Mintz Mohammed, Marx and Marhaen The Roots of Indonesian Socialism pg 102 (15) Ruth McVey .Relations with the Soviet Union pg 8 (16) Peter Taaffe The 1925/27 Revolution (China the Tradition of Struggle) pg 7 (17) DN Aidit The Indonesian Revolution and the Immediate Tasks of the Communist Party in Indonesia pg 14/15 (18) Richard Robison Indonesia: The Rise of Capital pg 41/42 (19) Rex Mortimer Indonesian Communism under Sukarno Ideology and Politics 1959-65 pg 62 (20) Mortimer pg 300 (21) John D Legge Indonesia pg 159 (22) Mortimer pg 88/89 (23) Quoted by Peter Dale Scott in Ten Years Military Terror in Indonesia pg 231 (24) Ten Years pg 14/15 (25) Mortimer pg 391 (26) Mintz pg 203 (27) Ten Years pg 15 (28) Dudiyora Horaata Time to Change Course! Communists and the Indian Revolution pg 25/26 (29) Robison pg 18 For more on Indonesia see the CWI publication Indonesia: An Unfinished Revolution. Click here

SEJARAH ORGANISASI PERTAMA DI INDONESIA "SAREKAT ISLAM"Sarekat Islam pada awalnya adalah perkumpulan pedagang-pedagang Islam yang diberi
nama Sarekat Dagang Islam (SDI). Perkumpulan ini didirikan oleh Haji Samanhudi tahun 1911di kota Solo. Perkumpulan ini semakin berkembang pesat ketika Tjokroaminoto memegang tampuk pimpinan dan mengubah nama perkumpulan menjadi Sarekat Islam. Sarekat Islam (SI) dapat dipandang sebagai salah satu gerakan yang paling menonjol sebelum Perang Dunia II. Pendiri Sarekat Islam, Haji Samanhudi adalah seorang pengusaha batik di Kampung Lawean (Solo) yang mempunyai banyak pekerja, sedangkan pengusaha-pengusaha batik lainnya adalah orangorang Cina dan Arab.Tujuan utama SI pada awal berdirinya adalah menghidupkan kegiatan ekonomi pedagang Islam Jawa. Keadaan hubungan yang tidak harmonis antara Jawa dan Cina mendorong pedagang-pedagang Jawa untuk bersatu menghadapi pedagang-pedagang Cina. Di samping itu agama Islam merupakan faktor pengikat dan penyatu kekuatan pedagang-pedagang Islam. Pemerintah Hindia Belanda merasa khawatir terhadap perkembangan SI yang begitu pesat. SI

dianggap membahayakan kedudukan pemerintah Hindia Belanda, karena mampu memobilisasikan massa. Namun Gubernur Jenderal Idenburg (1906-1916) tidak menolak kehadiran Sarekat Islam. Keanggotaan Sarekat Islam semakin luas. Pada kongres Sarekat Islam di Yogayakarta pada tahun 1914, HOS Tjokroaminoto terpilih sebagai Ketua Sarekat Islam. Ia berusaha tetap mempertahankan keutuhan dengan mengatakan bahwa kecenderungan untuk memisahkan diri dari Central Sarekat Islam harus dikutuk dan persatuan harus dijaga karena Islam sebagai unsur penyatu. HOS Cokro Aminoto Politik Kanalisasi Idenburg cukup berhasil, karena Central Sarekat Islam baru diberi pengakuan badan hukum pada bulan Maret 1916 dan keputusan ini diambil ketika ia akan mengakhiri masa jabatannya. Idenburg digantikan oleh Gubernur Jenderal van Limburg Stirum (1916-1921). Gubernur Jenderal baru itu bersikap agak simpatik terhadap Sarekat Islam. Namun sebelum Kongres Sarekat Islam Kedua tahun 1917 yang diadakan di Jakarta muncul aliran revolusionaer sosialistis yang dipimpin oleh Semaun. Pada saat itu ia menduduki jabatan ketua pada SI lokal Semarang. Walaupun demikian, kongres tetap memutuskan bahwa tujuan perjuangan Sarekat Islam adalah membentuk pemerintah sendiri dan perjuangan melawan penjajah dari kapitalisme yang jahat. Dalam Kongres itu diputuskan pula tentang keikutsertaan partai dalam Voklsraad. HOS Tjokroaminoto (anggota yang diangkat) dan Abdul Muis (anggota yang dipilih) mewakili Sarekat Islam dalam Dewan Rakyat (Volksraad). Pada Kongres Sarekat Islam Ketiga tahun 1918 di Surabaya, pengaruh Sarekat Islam semakin meluas. Semaun Sementara itu pengaruh Semaun menjalar ke tubuh SI. Ia berpendapat bahwa pertentangan yang terjadi bukan antara penjajah-penjajah, tetapi antara kapitalis-buruh. Oleh karena itu, perlu memobilisasikan kekuatan buruh dan tani disamping tetap memperluas pengajaran Islam. Dalam Kongres SI Keempat tahun 1919, Sarekat Islam memperhatikan gerakan buruh dan Sarekat Sekerja karena hal ini dapat memperkuat kedudukan partai dalam menghadapi pemerintah kolonial. Namun dalam kongres ini pengaruh sosial komunis telah masuk ke tubuhCentral Sarekat Islam (CSI) maupun cabang-cabangnya. Dalam Kongres Sarekat Islam kelima tahun 1921, Semaun melancarkan kritik terhadap kebijaksanaan Central Sarekat Islam yang menimbulkan perpecahan. Rupanya benih perpecahan semakin jelas dan dua aliran itu tidak dapat dipersatukan kembali. Dalam Kongres Luar Biasa Central Sarekat Islam yang diselenggarakan tahun 1921 dibicarakan masalah disiplin partai. Abdul Muis (Wakil Ketua CSI) yang menjadi pejabat Ketua CSI menggantikan Tjokroaminoto yang masih berada di dalam penjara, memimpin kongres tersebut. Akhirnya Kongres tersebut mengeluarkan ketetapan aturan Disiplin Partai. Artinya, dengan dikeluarkannya aturan tersebut, golongan komunis yang diwakili oleh Semaun dan Darsono, dikeluarkan dari Sarekat Islam. Dengan pemecatan Semaun dari Sarekat Islam, maka Sarekat Islam pecah menjadi dua, yaitu Sarekat Islam Putih yang berasaskan kebangsaan keagamaan di bawah pimpinan Tjokroaminoto dan Sarekat Islam Merah yang berasaskan komunis di bawah pimpinan Semaun yang berpusat di Semarang.Abdul Muis Pada Kongres Sarekat Islam Ketujuh tahun 1923 di Madiun diputuskan bahwa Central Sarekat Islam digantikan menjadi Partai Sarekat Islam (PSI). dan cabang Sarekat Islam yang mendapat pengaruh komunis menyatakan diri bernaung dalam Sarekat Rakyat yang merupakan organisasi di bawah naungan Partai Komunis Indonesia (PKI). Pada periode antara tahun 1911-1923 Sarekat Islam menempuh garis perjuangan parlementer dan evolusioner. Artinya, Sarekat Islam mengadakan politik kerja sama dengan pemerintah kolonial. Namun setelah tahun 1923, Sarekat Islam menempuh garis perjuangan nonkooperatif. Artinya, organisasi tidak mau bekerja sama dengan pemerintah kolonial, atas nama dirinya sendiri. Kongres

Partai Sarekat Islam tahun 1927 menegaskan bahwa tujuan perjuangan adalah mencapai kemerdekaan nasional berdasarkan agama Islam. Karena tujuannya adalah untuk mencapai kemerdekaan nasional maka Partai Sarekat Islam menggabungkan diri denganPemufakatan Perhimpunan-Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI). Pada tahun 1927 nama Partai Sarekat Islam ditambah dengan Indonesia untuk menunjukan perjuangan kebangsaan dan kemudian namanya menjadi Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII). Perubahan nama itu dikaitkan dengan kedatangan dr. Sukiman dari negeri Belanda. Namun dalam tubuh PSII terjadi perbedaan pendapat antara Tjokroaminoto yang menekankan perjuangan kebangsaan di satu pihak, dan di pihka lain dr. Sukiman yang menyatakan keluar dari PSII dan mendirikan Partai Islam Indonesia (PARI). Perpecahan ini melemahkan PSII. Akhirnya PSII pecah menjadi PSII Kartosuwiryo, PSII Abikusno, PSII, dan PARI dr. Sukiman Sejarah perjalan serikat Dagang Islam mengalami pasang surut,didalam percaturan politik tanah air,sejak jaman penjajahan belanda sampai saat ini, Namun yang harus kita ambil pelajaran bahwa cita-cita dari organisasi Seikat Dagang Islam dalam melepaskan diri dari segala bentuk penjajahan, itulah yang harus menjadi insvirator dan motivator bagi kita generasi muda hari ini untuk terus berjuang memajukan bangsa dan negara. Haji Rasul Amrullah Tokoh Tajdid Nusantara
Dicatat oleh Tawel Sensei di 5:39 PG
Pada bulan Januari 2006 genap dua tahun tulisan saya tentang ulama dunia Melayu disiarkan dalam ruangan agama Utusan Malaysia. Artikel pertama disiarkan pada Khamis 19 Februari 2004. Sehingga hari ini jumlah ulama yang telah diperkenalkan ialah seramai 95 orang. Hingga terbitan hari ini hanya tiga orang ulama Kaum Muda atau Tajdid diperkenalkan. Dua tokoh tajdid (pembaharuan) yang diperkenalkan sebelum ini ialah Syeikh Tahir Jalaluddin dan Syed Syeikh al-Hadi. Tujuan saya memperkenalkan tokoh-tokoh Kaum Tua dan Kaum Muda bukan bererti memperlihatkan diri berpihak, tetapi lebih kepada memaparkan sejarah. Ulama yang diperkenalkan kali ini nama asalnya ialah Muhammad Rasul. Namanya nama yang terkenal ialah Dr. Syeikh Abdul Karim bin Amrullah. Beliau lahir pada hari Ahad, 17 Safar 1296 H/10 Februari 1879 M di Kepala Kebun, Betung Panjang, Negeri Sungai Batang, Manjinjau, Dalam Luhak Agam, Minangkabau, Sumatera Barat. Pendidikan Sejak berumur tujuh tahun, ayah dan ibunya telah memerintahkan beliau mendirikan sembahyang dan puasa pada bulan Ramadan. Selanjutnya pada usia 10 tahun, ayah saudaranya, Haji Abdus Samad membawanya ke Sibalantai, Tarusan, Painan belajar al-Quran daripada Tuanku Haji Hud dan Tuanku Pakih Samnun. Buya Hamka menyebut bahawa setahun kemudian beliau pulang ke Sungai Batang, lalu diajarkannya menulis Arab (maksudnya tulisan Melayu/Jawi, pen:) daripada Adam anak Tuanku Said. Pada usia 13 tahun beliau mulai belajar ilmu nahu dan saraf daripada ayahnya, Syeikh Amrullah. Ayahnya menghantarnya belajar ke Sungai Rotan, Pariaman, menuntut ilmu daripada Tuanku Sutan Muhammad Yusuf. Kemudian Syeikh Amrullah sendiri membawa anaknya Muhammad Rasul itu ke Mekah untuk mendalami pengetahuannya dengan ulama-ulama Mekah pada zaman itu. Ketika belajar di sana, usia Muhammad Rasul sekitar lingkungan 16 ke 17 tahun iaitu pada tahun 1312 H/1894 Masihi. Buya Hamka dalam buku Ayahku menyebut nama guru-guru Haji Rasul ialah Syeikh Ahmad Khatib Minangkabau, Syeikh Abdullah Jamidin, Syeikh Utsman Sarawak, Syeikh Umar Ba Junaid, Syeikh Saleh Ba Fadhal, Syeikh Hamid Jeddah dan Syeikh Sa'id Yaman. Tulis Buya Hamka selanjutnya: "Dan pernah juga belajar kepada Syeikh Yusuf Nabhani, pengarang kitab Al-Anwarul Muhammadiyah. Syeikh ini jadi terkenal kerana dia benci kepada Syeikh Muhammad Abduh! (Karangan-karangannya itu besar pengaruhnya di kalangan ulama-ulama tua di Indonesia, sehingga

payah menghapuskannya)." (Lihat Ayahku, hlm. 59.) Daripada sumber Buya Hamka di atas, hanya dua orang ulama yang berasal dari dunia Melayu menajdi guru ayah beliau Haji Rasul Amrullah di Mekah iaitu Syeikh Ahmad Khatib Minangkabau dan Syeikh Utsman Sarawak. Tetapi yang saya kumpulkan daripada pelbagai sumber, Haji Rasul Amrullah Minangkabau juga belajar daripada ulama-ulama Melayu yang terkenal di Mekah ketika itu, di antara mereka ialah Syeikh Muhammad Ismail al-Fathani, Syeikh Wan Ali al-Kalantani dan Syeikh Ahmad alFathani. Tulisan Buya Hamka yang menyebut bahawa ayah beliau "pernah juga belajar daripada Syeikh Yusuf Nabhani", bagi saya, masih belum jelas kerana Syeikh Yusuf Nabhani itu adalah ulama di Beirut. Saya belum menemui riwayat bahawa Syeikh Yusuf Nabhani pernah mengajar di Mekah. Kemungkinan juga Haji Rasul Amrullah pernah mendatangi dan belajar daripada Syeikh Yusuf Nabhani di Beirut. Tidak terdapat keterangan lanjut baik daripada Buya Hamka mahupun dalam tulisan orang lainnya. Memperhatikan tahun kelahiran Haji Rasul Amrullah (1296 H/1879 M), tahun beliau belajar di Mekah ialah antara tahun 1312 H/1894 M hingga musim haji tahun 1323 H/Januari/Februari 1906 M dan beliau pulang ke Minangkabau pada Muharam 1324 H/Februari/Mac 1906 M. Daripada tarikh itu maka dapatlah kita bandingkan dengan beberapa orang ulama yang berasal dari dunia Melayu yang agak berdekatan tahun kelahiran dan sempat belajar dengan guru-guru yang sama di Mekah. Mereka ialah Syeikh Muhammad Said Linggi (lahir 1292 H/1875 M), Kadi Haji Abu Bakar Hasan Muar, Johor (lahir 1292 H/1875), Tengku Mahmud Zuhdi al-Fathani (lahir 1293 H/1876 M), Syeikh Abdul Hamid Mahmud Talu, Minangkabau (lahir 1298 H/1880 M) dan masih ramai lagi. Mereka adalah golongan Kaum Tua, kecuali Haji Rasul Amrullah yang diriwayatkan ini saja dalam golongan Kaum Muda. Sebenarnya jika disimpulkan, kitab-kitab yang dipelajari Haji Rasul Amrullah daripada semua gurunya adalah kitab-kitab Kaum Tua juga, seperti kitab Fat-h al-Mu'in, Tafsir Jalalain dan lain-lain. Saya belum menjumpai riwayat bahawa beliau pernah belajar kepada tokoh Kaum Muda, kecuali beliau hanya belajar daripada Syeikh Tahir Jalaluddin. Lain halnya dengan Syeikh Tahir Jalaluddin, Syeikh Muhammad Nur al-Fathani, dan Syeikh Basiyuni Imran (Maharaja Imam Sambas) yang ketigatiganya adalah murid Syeikh Muhammad Abduh dan Saiyid Rasyid Ridha di Mesir. Jadi pengetahuan Haji Rasul Amrullah adalah berdasarkan pembacaan kitab-kitab karangan Ibnu Taimiyah, Ibnu Qaiyim, Syeikh Muhammad Abdul Wahhab dan terakhir sekali ialah karangan Syeikh Muhammad Abduh dan karangan Saiyid Rasyid Ridha terutama Tafsir al-Manar. Riwayatnya menunjukkan beliau tidak belajar daripada ulama Kaum Muda, tetapi kepada ulama Kaum Tua, belajar kitab-kitab Kaum Tua, namun akhirnya hanya melalui pembacaan menjadi tokoh Kaum Muda yang dapat kita bandingkan dengan Mufti Haji Wan Musa Kelantan. Mengenai sambutan kepulangan Haji Rasul ke negerinya, Buya Hamka menulis, "Belum lama di rumah, orang dalam negeri, termasuk Laras sendiri mengadakan peralatan melantik Syeikh Amrullah bergelar 'Tuanku Nan Tuo' dan Haji Rasul diberi gelar 'Tuanku Nan Mudo'. Meraikannya disembelih beberapa ekor kerbau dan dipanggil tuanku-tuanku dari keliling danau untuk turut menyaksikan." (Lihat Ayahku, hlm. 61.) Kegembiraan Tuan Kisa-i (Syeikh Amrullah) atas kepulangan anak beliau Haji Rasul yang membawa ilmu tiada dapat kita bayangkan, tetapi kegembiraan itu rupa-rupanya bertukar menjadi sebaliknya kerana jalan pemikiran dalam pegangan Islam antara ayah dengan anak sangat jauh berbeza. Dari segi ini Buya Hamka mencerminkan kejujuran beliau menulis tentang ayah dan datuknya itu. Kata beliau, "Kedatangan di kampung disambut dengan gembira oleh ayahnya dan orang kampung, baik

kalangan lebai-lebai atau kalangan ninik-mamak. Tetapi kegembiraan itu akhirnya akan kecewa juga ... Syeikh Ahmad Khatib juga seorang sufi, tetapi beliau tidak menyetujui cara tarekat yang memakai kaifiat-kaifiat yang bidaah-bidaah itu. Padahal Syeikh Amrullah sendiri adalah Syeikh Thariqat Naqsyabandi." (lihat Ayahku, hlm. 61.) Kita tidak dapat menggambarkan bagaimana pergolakan dalaman antara ayah dengan anak yang terjadi sebenarnya, kerana belum terdapat tulisan orang lain yang membicarakan perkara itu. Saya kagum terhadap Buya Hamka. Dia seorang yang sangat bijaksana, beliau cukup faham ada perkara yang perlu diketahui oleh umum untuk dijadikan iktibar dan ada pula yang tidak perlu disebarkan kepada umum. Buya Hamka cukup beradab dan berbudi bahasa untuk menceritakan sesuatu yang menyentuh darah dan daging beliau sendiri. Tentang Syeikh Ahmad Khatib Minangkabau menganggap "memakai kaifiat-kaifiat yang bidaah-bidaah" adalah bidaah yang disebut oleh Buya Hamka itu. Ia sebenarnya telah ditentang oleh beberapa orang ulama yang berasal dari Minangkabau sendiri. Di antara yang dipandang paling hebat ialah Syeikh Muhammad Sa'ad Mungka. Bahkan sangat ramai murid Syeikh Ahmad Khatib Minangkabau tetap istiqamah mengamalkan tarekat di antaranya ialah Syeikh Khathib Ali bin Abdul Muthalib al-Khalidi an-Naqsyabandi, penyusun kitab Miftah ad-Din, termasuk Syeikh Sulaiman ar-Rasuli, murid Syeikh Ahmad Khatib juga mengamalkan tarekat. Buya Hamka membahagikan karangan ayahnya kepada beberapa jenis. Yang ditulis pada peringkat awal mulai tahun 1908 M hingga tahun 1923 M, jumlahnya ada 15 judul. Yang dikarang setelah beliau mengikut Kongres Islam di Mesir ditulis mulai tahun 1928 M hingga tahun 1943 M, ada 11 judul. Namun ada dua judul terakhir tidak terdapat tahun penulisan. Buya Hamka menulis, "Karangan-karangannya itulah yang menjadi 'soal besar' dan 'membuat ribut' dalam zamannya." Pada waktu itulah keluar kefahamannya yang ganjil-ganjil dan 'moden' sehingga beliau dicap Kaum Muda dan menggoncangkan masyarakat Minang 30 tahun yang lalu. (30 tahun yang lalu dihitung ketika Buya Hamka menulis buku tersebut, iaitu tahun 1950. Tetapi hingga sekarang bererti sudah lebih 80 tahun, pen:). Buya Hamka menulis selanjutnya, "Sehingga buku-buku itu dilarang dibaca dalam kerajaan Melayu: Johor, Pahang, Perak, Kelantan, Terengganu, Perlis, Selangor, dan Negeri Sembilan. Sebab menyebarkan bibit Kaum Muda!" (Lihat Ayahku, hlm. 222.) Saya belum mengetahui sampai di mana benarnya tulisan Buya Hamka itu kerana beliau masukkan Perlis juga melarang karangan-karangan ayah beliau, sedangkan negeri Perlis sendiri dikatakan orang adalah satu-satunya negeri Kaum Muda di Semenanjung Melayu. Kemungkinan di Minangkabau telah hangat pertikaian antara Kaum Tua dan Kaum Muda tetapi di Perlis ketika itu para ulamanya masih berpegang dengan fahaman Kaum Tua. Dalam simpanan saya terdapat beberapa bukti bahawa Syeikh Ahmad Khatib Minangkabau marah kepada muridnya Haji Rasul Amrullah. Sewaktu terjadi polemik antara Haji Rasul Amrullah dengan Syeikh Hasan Maksum, Medan, tentang Ushalli, Syeikh Ahmad Khatib Minangkabau menulis sepucuk surat berpihak kepada muridnya Syeikh Hasan Maksum (Kaum Tua) dan menolak fahaman Haji Rasul Amrullah. Sewaktu Syeikh Saad Mungka dalam perkara yang sama (Ushalli) menyalahkan Haji Rasul Amrullah, ada orang melaporkan kepada Syeikh Ahmad Khatib Minangkabau di Mekah. Ternyata Syeikh Ahmad Khatib Minangkabau tidak menyokong Haji Rasul Amrullah. Pada konteks ini Buya Hamka menulis, "Maka datanglah balasan dari Mekah! Syeikh Ahmad Khatib rupanya agak marah kepada ayahku, mengapa soal itu dibuka. Lalu beliau menguatkan lebih baik juga Ushalli dipakai. Demi menerima serangan daripada Syeikh Saad Mungka dan penyesalan daripada gurunya yang sangat dihormatinya, bertambah tersinggunglah perasaannya."

Serangan Syeikh Saad Mungka tambah mendorongnya buat mempersiap diri, dan penyesalan gurunya menambahkan ragunya, mengapa maka gurunya yang mendidiknya selama ini bebas berfikir telah menghambat kebebasan berfikir itu. Jawabnya kepada gurunya sangat hormat. (Lihat Ayahku, hlm. 280.) Kebebasan Mengenai kebebasan berfikir perlulah dibimbing daripada wahyu Allah, hadis Nabi s.a.w. ijmak, dan kias serta etika dalam menyebarkannya. Tidak semestinya kita berpendapat bahawa pemikiran kita saja yang benar, kerana sangat ramai orang selain kita juga berfikir. Apabila terjadi pertikaian pendapat yang bertentangan antara dua golongan, saya berpendapat, terdapat tiga rumusan. Pertama: masih dalam kemungkinan yang satu adalah 'betul' dan yang satu lagi adalah 'salah'. Kedua: yang sudah pasti, tidak mungkin kedua-duanya adalah 'betul'. Ketiga: masih ada kemungkinan kedua-duanya adalah 'salah'.

Ditulis oleh Ustaz Wan Mohd Shaghir Abdullah.

An attack on Syria will only spread the war and killing


Instead of removing the chemical weapon threat, another western assault on the Arab world risks escalation and backlash
Seumas Milne

The Guardian, Tuesday 27 August 2013 22.00 BS


A victim of an air strike by regime forces on Aleppo is carried away, on August 26 2013. 'Chemical weapons are far from being the greatest threat to Syrias people. That is the war itself and the death and destruction that has engulfed the country.' Photograph: Abo Al-Nur Sadk/AFP/Getty Images

All the signs are they're going to do it again. The attack on Syria now being planned by the US and its allies will be the ninth direct western military intervention in an Arab or Muslim country in 15 years. Depending how you cut the cake, the looming bombardment follows onslaughts on Sudan, Afghanistan, Iraq, Libya and Mali, as well as a string of murderous drone assaults on Yemen, Somalia and Pakistan. The two former colonial powers that carved up the Middle East between them, Britain and France, are as ever chafing for a slice of the action as the US assembles yet another "coalition of the willing". And as in Iraq and Sudan (where President Clinton ordered an attack on a pharmaceuticals factory in retaliation for an al-Qaida bombing), intelligence about weapons of mass destruction is once again at the centre of the case being made for a western missile strike. In both Iraq and Sudan, the intelligence was of course wrong. But once again, UN weapons inspectors are struggling to investigate WMD claims while the US and its friends have already declared them "undeniable". Once again they are planning to bypass the UN security council. Once again, they are dressing up military action as humanitarian, while failing to win the support of their own people.

The trigger for the buildup to a new intervention what appears to have been a chemical weapons attack on the Damascus suburb of Ghouta certainly has the hallmarks of a horrific atrocity. Hundreds, mostly civilians, are reported killed and many more wounded, their suffering caught on stomachchurning videos. But so far no reliable evidence whatever has been produced to confirm even what chemical might have been used, let alone who delivered it. The western powers and their allies, including the Syrian rebels, insist the Syrian army was responsible. The Damascus government and its international backers, Russia and Iran, blame the rebels. The regime, which has large stockpiles of chemical weapons, undoubtedly has the capability and the ruthlessness. But it's hard to see a rational motivation. Its forces have been gaining ground in recent months and the US has repeatedly stated that chemical weapons use is a "red line" for escalation. For the same reason, the rebel camp (and its regional sponsors), which has been trying to engineer a western intervention in the Libya-Kosovo mould for the past two years to tip the military balance, clearly has an interest in that red line being crossed. Three months ago, the UN Syria human rights commission member Carla Del Ponte said there were "strong concrete suspicions" that rebel fighters had used the nerve gas sarin, and Turkish security forces were reported soon afterwards to have seized sarin from al-Qaida-linked al-Nusra Front units heading into Syria. The arms proliferation expert, Paul Schulte, of King's College London, believes rebel responsibility "can't be ruled out", even if the "balance of probability" points to the regime or a rogue military commander. Either way, whatever Colin Powell-style evidence is produced this week, it's highly unlikely to be definitive. But that won't hold back the western powers from the chance to increase their leverage in Syria's grisly struggle for power. A comparison of their response to the Ghouta killings with this month's massacres of anti-coup protesters in Egypt gives a measure of how far humanitarianism rules the day. The Syrian atrocity, where the death toll has been reported by opposition-linked sources at 322 but is likely to rise, was damned as a "moral obscenity" by US secretary of state John Kerry. The killings in Egypt, the vast majority of them of civilians, have been estimated at 1,295 over two days. But Barack Obama said the US wasn't "taking sides", while Kerry earlier claimed the army was "restoring democracy". In reality, western and Gulf regime intervention in Syria has been growing since the early days of what began as a popular uprising against an autocratic regime but has long since morphed into a sectarian and regional proxy war, estimated to have killed over 100,000, balkanised the country and turned more than a million people into refugees. Now covert support has become open military backing for a rebel movement split into over 1,000 groups and increasingly dominated by jihadist fighters, as atrocities have multiplied on all sides. While the focus has been on Ghouta this week, rebels have been ethnically cleansing tens of thousands of Kurds from north east Syria across the border into Iraq. Until now, the western camp has been prepared to bleed Syria while Obama has resisted pressure for what he last week called more "difficult, costly interventions that actually breed more resentment". Now the risk to US red line credibility seems to have tipped him over to back a direct military attack. But even if it turns out that regime forces were responsible for Ghouta, that's unlikely to hold them to account or remove the risk from chemical weapons. More effective would be an extension of the weapons inspectors' mandate to secure chemical dumps, backed by a united security council, rather than moral grandstanding by governments that have dumped depleted uranium, white phosphorus and Agent Orangearound the region and beyond. In any case, chemical weapons are far from being the greatest threat to Syria's people. That is the war itself and the death and destruction that has engulfed the country. If the US, British and French

governments were genuinely interested in bringing it to an end instead of exploiting it to weaken Iran they would be using their leverage with the rebels and their sponsors to achieve a ceasefire and a negotiated political settlement. Instead, they seem intent on escalating the war to save Obama's face and tighten their regional grip. It's a dangerous gamble, which British MPs have a responsibility to oppose on Thursday. Even if the attacks are limited, they will certainly increase the death toll and escalate the war. The risk is that they will invite retaliation by Syria or its allies including against Israel draw the US in deeper and spread the conflict. The west can use this crisis to help bring Syria's suffering to an end or pour yet more petrol on the flames. Twitter: @SeumasMilne

Abdul Karim Amrullah


From Wikipedia, the free encyclopedia

Haji Rasul Amrullah Tokoh Tajdid Nusantara

Dicatat oleh Tawel Sensei di 5:39 PG


Pada bulan Januari 2006 genap dua tahun tulisan saya tentang ulama dunia Melayu disiarkan dalam ruangan agama Utusan Malaysia. Artikel pertama disiarkan pada Khamis 19 Februari 2004. Sehingga hari ini jumlah ulama yang telah diperkenalkan ialah seramai 95 orang. Hingga terbitan hari ini hanya tiga orang ulama Kaum Muda atau Tajdid diperkenalkan. Dua tokoh tajdid (pembaharuan) yang diperkenalkan sebelum ini ialah Syeikh Tahir Jalaluddin dan Syed Syeikh al-Hadi. Tujuan saya memperkenalkan tokoh-tokoh Kaum Tua dan Kaum Muda bukan bererti memperlihatkan diri berpihak, tetapi lebih kepada memaparkan sejarah. Ulama yang diperkenalkan kali ini nama asalnya ialah Muhammad Rasul. Namanya nama yang terkenal ialah Dr. Syeikh Abdul Karim bin Amrullah. Beliau lahir pada hari Ahad, 17 Safar 1296 H/10 Februari 1879 M di Kepala Kebun, Betung Panjang, Negeri Sungai Batang, Manjinjau, Dalam Luhak Agam, Minangkabau, Sumatera Barat. Pendidikan Sejak berumur tujuh tahun, ayah dan ibunya telah memerintahkan beliau mendirikan sembahyang dan puasa pada bulan Ramadan. Selanjutnya pada usia 10 tahun, ayah saudaranya, Haji Abdus Samad membawanya ke Sibalantai, Tarusan, Painan belajar al-Quran daripada Tuanku Haji Hud dan Tuanku Pakih Samnun. Buya Hamka menyebut bahawa setahun kemudian beliau pulang ke Sungai Batang, lalu diajarkannya menulis Arab (maksudnya tulisan Melayu/Jawi, pen:) daripada Adam anak Tuanku Said. Pada usia 13 tahun beliau mulai belajar ilmu nahu dan saraf daripada ayahnya, Syeikh Amrullah. Ayahnya menghantarnya belajar ke Sungai Rotan, Pariaman, menuntut ilmu daripada Tuanku Sutan Muhammad Yusuf. Kemudian Syeikh Amrullah sendiri membawa anaknya Muhammad Rasul itu ke Mekah untuk mendalami pengetahuannya dengan ulama-ulama Mekah pada zaman itu. Ketika belajar di sana, usia Muhammad Rasul sekitar lingkungan 16 ke 17 tahun iaitu pada tahun 1312 H/1894 Masihi. Buya Hamka dalam buku Ayahku menyebut nama guru-guru Haji Rasul ialah Syeikh Ahmad Khatib Minangkabau, Syeikh Abdullah Jamidin, Syeikh Utsman Sarawak, Syeikh Umar Ba Junaid, Syeikh Saleh Ba Fadhal, Syeikh Hamid Jeddah dan Syeikh Sa'id Yaman.

Tulis Buya Hamka selanjutnya: "Dan pernah juga belajar kepada Syeikh Yusuf Nabhani, pengarang kitab Al-Anwarul Muhammadiyah. Syeikh ini jadi terkenal kerana dia benci kepada Syeikh Muhammad Abduh! (Karangan-karangannya itu besar pengaruhnya di kalangan ulama-ulama tua di Indonesia, sehingga payah menghapuskannya)." (Lihat Ayahku, hlm. 59.) Daripada sumber Buya Hamka di atas, hanya dua orang ulama yang berasal dari dunia Melayu menajdi guru ayah beliau Haji Rasul Amrullah di Mekah iaitu Syeikh Ahmad Khatib Minangkabau dan Syeikh Utsman Sarawak. Tetapi yang saya kumpulkan daripada pelbagai sumber, Haji Rasul Amrullah Minangkabau juga belajar daripada ulama-ulama Melayu yang terkenal di Mekah ketika itu, di antara mereka ialah Syeikh Muhammad Ismail al-Fathani, Syeikh Wan Ali al-Kalantani dan Syeikh Ahmad alFathani. Tulisan Buya Hamka yang menyebut bahawa ayah beliau "pernah juga belajar daripada Syeikh Yusuf Nabhani", bagi saya, masih belum jelas kerana Syeikh Yusuf Nabhani itu adalah ulama di Beirut. Saya belum menemui riwayat bahawa Syeikh Yusuf Nabhani pernah mengajar di Mekah. Kemungkinan juga Haji Rasul Amrullah pernah mendatangi dan belajar daripada Syeikh Yusuf Nabhani di Beirut. Tidak terdapat keterangan lanjut baik daripada Buya Hamka mahupun dalam tulisan orang lainnya. Memperhatikan tahun kelahiran Haji Rasul Amrullah (1296 H/1879 M), tahun beliau belajar di Mekah ialah antara tahun 1312 H/1894 M hingga musim haji tahun 1323 H/Januari/Februari 1906 M dan beliau pulang ke Minangkabau pada Muharam 1324 H/Februari/Mac 1906 M. Daripada tarikh itu maka dapatlah kita bandingkan dengan beberapa orang ulama yang berasal dari dunia Melayu yang agak berdekatan tahun kelahiran dan sempat belajar dengan guru-guru yang sama di Mekah. Mereka ialah Syeikh Muhammad Said Linggi (lahir 1292 H/1875 M), Kadi Haji Abu Bakar Hasan Muar, Johor (lahir 1292 H/1875), Tengku Mahmud Zuhdi al-Fathani (lahir 1293 H/1876 M), Syeikh Abdul Hamid Mahmud Talu, Minangkabau (lahir 1298 H/1880 M) dan masih ramai lagi. Mereka adalah golongan Kaum Tua, kecuali Haji Rasul Amrullah yang diriwayatkan ini saja dalam golongan Kaum Muda. Sebenarnya jika disimpulkan, kitab-kitab yang dipelajari Haji Rasul Amrullah daripada semua gurunya adalah kitab-kitab Kaum Tua juga, seperti kitab Fat-h al-Mu'in, Tafsir Jalalain dan lain-lain. Saya belum menjumpai riwayat bahawa beliau pernah belajar kepada tokoh Kaum Muda, kecuali beliau hanya belajar daripada Syeikh Tahir Jalaluddin. Lain halnya dengan Syeikh Tahir Jalaluddin, Syeikh Muhammad Nur al-Fathani, dan Syeikh Basiyuni Imran (Maharaja Imam Sambas) yang ketigatiganya adalah murid Syeikh Muhammad Abduh dan Saiyid Rasyid Ridha di Mesir. Jadi pengetahuan Haji Rasul Amrullah adalah berdasarkan pembacaan kitab-kitab karangan Ibnu Taimiyah, Ibnu Qaiyim, Syeikh Muhammad Abdul Wahhab dan terakhir sekali ialah karangan Syeikh Muhammad Abduh dan karangan Saiyid Rasyid Ridha terutama Tafsir al-Manar. Riwayatnya menunjukkan beliau tidak belajar daripada ulama Kaum Muda, tetapi kepada ulama Kaum Tua, belajar kitab-kitab Kaum Tua, namun akhirnya hanya melalui pembacaan menjadi tokoh Kaum Muda yang dapat kita bandingkan dengan Mufti Haji Wan Musa Kelantan. Mengenai sambutan kepulangan Haji Rasul ke negerinya, Buya Hamka menulis, "Belum lama di rumah, orang dalam negeri, termasuk Laras sendiri mengadakan peralatan melantik Syeikh Amrullah bergelar 'Tuanku Nan Tuo' dan Haji Rasul diberi gelar 'Tuanku Nan Mudo'. Meraikannya disembelih beberapa ekor kerbau dan dipanggil tuanku-tuanku dari keliling danau untuk turut menyaksikan." (Lihat Ayahku, hlm. 61.) Kegembiraan Tuan Kisa-i (Syeikh Amrullah) atas kepulangan anak beliau Haji Rasul yang membawa ilmu tiada dapat kita bayangkan, tetapi kegembiraan itu rupa-rupanya bertukar menjadi sebaliknya kerana

jalan pemikiran dalam pegangan Islam antara ayah dengan anak sangat jauh berbeza. Dari segi ini Buya Hamka mencerminkan kejujuran beliau menulis tentang ayah dan datuknya itu. Kata beliau, "Kedatangan di kampung disambut dengan gembira oleh ayahnya dan orang kampung, baik kalangan lebai-lebai atau kalangan ninik-mamak. Tetapi kegembiraan itu akhirnya akan kecewa juga ... Syeikh Ahmad Khatib juga seorang sufi, tetapi beliau tidak menyetujui cara tarekat yang memakai kaifiat-kaifiat yang bidaah-bidaah itu. Padahal Syeikh Amrullah sendiri adalah Syeikh Thariqat Naqsyabandi." (lihat Ayahku, hlm. 61.) Kita tidak dapat menggambarkan bagaimana pergolakan dalaman antara ayah dengan anak yang terjadi sebenarnya, kerana belum terdapat tulisan orang lain yang membicarakan perkara itu. Saya kagum terhadap Buya Hamka. Dia seorang yang sangat bijaksana, beliau cukup faham ada perkara yang perlu diketahui oleh umum untuk dijadikan iktibar dan ada pula yang tidak perlu disebarkan kepada umum. Buya Hamka cukup beradab dan berbudi bahasa untuk menceritakan sesuatu yang menyentuh darah dan daging beliau sendiri. Tentang Syeikh Ahmad Khatib Minangkabau menganggap "memakai kaifiat-kaifiat yang bidaah-bidaah" adalah bidaah yang disebut oleh Buya Hamka itu. Ia sebenarnya telah ditentang oleh beberapa orang ulama yang berasal dari Minangkabau sendiri. Di antara yang dipandang paling hebat ialah Syeikh Muhammad Sa'ad Mungka. Bahkan sangat ramai murid Syeikh Ahmad Khatib Minangkabau tetap istiqamah mengamalkan tarekat di antaranya ialah Syeikh Khathib Ali bin Abdul Muthalib al-Khalidi an-Naqsyabandi, penyusun kitab Miftah ad-Din, termasuk Syeikh Sulaiman ar-Rasuli, murid Syeikh Ahmad Khatib juga mengamalkan tarekat. Buya Hamka membahagikan karangan ayahnya kepada beberapa jenis. Yang ditulis pada peringkat awal mulai tahun 1908 M hingga tahun 1923 M, jumlahnya ada 15 judul. Yang dikarang setelah beliau mengikut Kongres Islam di Mesir ditulis mulai tahun 1928 M hingga tahun 1943 M, ada 11 judul. Namun ada dua judul terakhir tidak terdapat tahun penulisan. Buya Hamka menulis, "Karangan-karangannya itulah yang menjadi 'soal besar' dan 'membuat ribut' dalam zamannya." Pada waktu itulah keluar kefahamannya yang ganjil-ganjil dan 'moden' sehingga beliau dicap Kaum Muda dan menggoncangkan masyarakat Minang 30 tahun yang lalu. (30 tahun yang lalu dihitung ketika Buya Hamka menulis buku tersebut, iaitu tahun 1950. Tetapi hingga sekarang bererti sudah lebih 80 tahun, pen:). Buya Hamka menulis selanjutnya, "Sehingga buku-buku itu dilarang dibaca dalam kerajaan Melayu: Johor, Pahang, Perak, Kelantan, Terengganu, Perlis, Selangor, dan Negeri Sembilan. Sebab menyebarkan bibit Kaum Muda!" (Lihat Ayahku, hlm. 222.) Saya belum mengetahui sampai di mana benarnya tulisan Buya Hamka itu kerana beliau masukkan Perlis juga melarang karangan-karangan ayah beliau, sedangkan negeri Perlis sendiri dikatakan orang adalah satu-satunya negeri Kaum Muda di Semenanjung Melayu. Kemungkinan di Minangkabau telah hangat pertikaian antara Kaum Tua dan Kaum Muda tetapi di Perlis ketika itu para ulamanya masih berpegang dengan fahaman Kaum Tua. Dalam simpanan saya terdapat beberapa bukti bahawa Syeikh Ahmad Khatib Minangkabau marah kepada muridnya Haji Rasul Amrullah. Sewaktu terjadi polemik antara Haji Rasul Amrullah dengan Syeikh Hasan Maksum, Medan, tentang Ushalli, Syeikh Ahmad Khatib Minangkabau menulis sepucuk surat berpihak kepada muridnya Syeikh Hasan Maksum (Kaum Tua) dan menolak fahaman Haji Rasul Amrullah. Sewaktu Syeikh Saad Mungka dalam perkara yang sama (Ushalli) menyalahkan Haji Rasul Amrullah, ada orang melaporkan kepada Syeikh Ahmad Khatib Minangkabau di Mekah. Ternyata Syeikh Ahmad Khatib Minangkabau tidak menyokong Haji Rasul Amrullah. Pada konteks ini Buya Hamka menulis, "Maka

datanglah balasan dari Mekah! Syeikh Ahmad Khatib rupanya agak marah kepada ayahku, mengapa soal itu dibuka. Lalu beliau menguatkan lebih baik juga Ushalli dipakai. Demi menerima serangan daripada Syeikh Saad Mungka dan penyesalan daripada gurunya yang sangat dihormatinya, bertambah tersinggunglah perasaannya." Serangan Syeikh Saad Mungka tambah mendorongnya buat mempersiap diri, dan penyesalan gurunya menambahkan ragunya, mengapa maka gurunya yang mendidiknya selama ini bebas berfikir telah menghambat kebebasan berfikir itu. Jawabnya kepada gurunya sangat hormat. (Lihat Ayahku, hlm. 280.) Kebebasan Mengenai kebebasan berfikir perlulah dibimbing daripada wahyu Allah, hadis Nabi s.a.w. ijmak, dan kias serta etika dalam menyebarkannya. Tidak semestinya kita berpendapat bahawa pemikiran kita saja yang benar, kerana sangat ramai orang selain kita juga berfikir. Apabila terjadi pertikaian pendapat yang bertentangan antara dua golongan, saya berpendapat, terdapat tiga rumusan. Pertama: masih dalam kemungkinan yang satu adalah 'betul' dan yang satu lagi adalah 'salah'. Kedua: yang sudah pasti, tidak mungkin kedua-duanya adalah 'betul'. Ketiga: masih ada kemungkinan kedua-duanya adalah 'salah'.

Ditulis oleh Ustaz Wan Mohd Shaghir Abdullah.

HAJI ABDUL MALIK KARIM AMRULLAH (HAMKA), lahir di Sungai Batang, Maninjau (Sumatera Barat) pada hari Ahad, tanggal 16 Pebruari 1908 M./13 Muharam 1326 H dari kalangan keluarga yang taat beragama. Ayahnya adalah Haji Abdul Karim Amrullah (Haji Rasul) bin Syekh Muhammad Amrullah (gelar Tuanku Kisai) bin Tuanku Abdullah Saleh. Sementara ibunya bernama Siti Shafiyah Tanjung binti Haji Zakaria (w. 1934). dalam silsilah Minangkabau ia berasal dari suku Tanjung, sebagaimana suku ibunya. Sejak kecil, ia menerima dasar-dasar agama dan membaca al-Quran langsung dari ayahnya. Ketika usia 6 tahun, ia di bawa ayahnya ke Padangpanjang. Pada usia 7 tahun, ia kemudian dimasukkan ke sekolah desa hanya sempat dienyam sekitar 3 tahun dan malamnya belajar mengaji dengan ayahnya sampai khatam. Tatkala ia berusia 12 tahun, kedua orang tuanya bercerai. Perceraian kedua orang tuanya ini merupakan pengalaman pahit yang dialaminya. Tak heran jika pada fatwa-fatwanya, ia sangat menentang tradisi kaum laki-laki Minangkabau yang kawin lebih dari satu. Sebab hal tersebut bisa merusak ikatan dan keharmonisan rumah tangga. Pada tahun 1916 sampai 1923, ia belajar agama di Diniyah School Padangpanjang dan Sumatera Thawalib Padangpanjang dan Parabek. Walaupun pernah duduk di kelas VII, akan tetapi ia tidak mempunyai ijazah. Guru-gurunya waktu itu antara lain Syekh Ibrahim Musa Parabek, Engku Mudo Abdul Hamid Hakim, Sutan Marajo, dan Syekh Zainuddin Labay el-Yunusiy. Bersama dengan Engku Dt. Sinaro, Engku Zainuddin memiliki percetakan dan perpustakaan sendiri dengan nama Zinaro. Melalui perpustakaan ini, sambil bekerja melipat-lipat kertas, ia diizinkan untuk membaca buku-buku yang ada diperpustakaan tersebut. Di sini, ia memiliki kesempatan membaca bermacam-macam buku, seperti agama, filsafat, dan sastra. Di sini ia mulai berkenalan dengan karya-karya filsafat Ariestoteles, Plato, Pythagoras, Plotinus, Ptolemaios, dan ilmuan lainnya. Kegelisahan intelektual yang dialaminya telah menyebabkan ia berhasrat untuk merantau guna menambah wawasannya. Pada awalnya, kunjungannya ke Jawa hanya ingin mengunjungi kakak

iparnya, A.R. St. Mansur dan kakaknya Fathimah yang tinggal di Pekalongan. Pada awalnya, ayahnya melarangnya untuk berangkat, karena khawatir akan pengaruh faham komunis yang mulai berkembang saat itu. Akan tetapi karena melihat demikian besar keinginan anaknya untuk menambah ilmu pengetahuan dan yakin anaknya tidak akan terpengaruh, maka akhirnya ia diizinkan untuk berangkat. Untuk itu, ia ditumpangkan dengan Marah Intan, seorang saudagar Minangkabau yang hendak ke Yogyakarta dan Pekalongan. Sesampainya di Yogyakarta, ia tidak langsung ke Pekalongan. Untuk sementara waktu, ia tinggal bersama adik ayahnya, Jafar Amrullah di desa Ngampilan. Bersama dengan pamannya, ia diajak mempelajari kitab-kitab klasik dengan beberapa ulama waktu itu, seperti Ki Bagus Hadikusumo (tafsir), R.M. Soeryopranoto (sosiologi), KH. Mas Mansur (filsafat dan tarikh Islam), Haji Fachruddin, H.O.S. Tjokroaminoto (Islam dan sosialisme), Mirza Wali Ahmad Baig, A. Hasan Bandung, dan A.R. Sutan Mansur. Ketika di Yogyakarta, ia berkenalan dengan teman-teman seusianya. Di antaranya Muhammad Natsir. Di sini, ia mulai berkenalan dengan ide pembaharuan gerakan SI dan Muhammadiyah yang dipimpin A.R. St. Mansur. Kemudian pada tahun 1925, ia berangkat ke Pekalongan dan tinggal selama enam bulan bersama iparnya, A.R. St. Mansur. Ia banyak belajar dari iparnya, baik tentang Islam yang dinamis maupun politik. Di sini ia berkenalan dengan ide-ide pembaharuan Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha yang berupaya mendobrak kebekuan umat. Pada bulan Juni 1925, ia pulang ke Maninjau dengan membawa semangat dan wawasan baru tentang Islam yang dinamis. Adapun buah tangan berharga yang dibawanya adalah beberapa buah karya yang memuat pemikiran dinamis ilmuan muslim waktu itu, antara lain Islam dan Sosialisme (kumpulan dari semua pidato H.O.S. Tjokroaminoto) dan Islam dan Materialisme (salinan merdeka A.D. Hani atas karangan Sayyid Jamaluddin al-Afghani. Dengan berbekal pengalaman dan pengetahuan, baik agama maupun umum, ia telah berani tampil berpidato di muka umum. Untuk membuka wawasannya, ia mulai berlangganan surat kabar dari Jawa. Melalui surat khabar tersebut, ia banyak berkenalan pula dengan ide-ide pembaharuan dan pergerakan umat Islam, baik di Indonesia maupun luar negeri, seperti Haji Agus Salim, Ir. Soekarno, Mustafa Kemal Attaturk, Ibn Saud, Saad Zaghlul Pasya, Syarif Husein, dan lain sebagainya. Meskipun kegandrungan ide pembaharuannya demikian menggelora, bukan berarti ia lupa untuk mendalami adat Minangkabau. Sebagai putra Minang, ia juga mempelajari adat istiadat negerinya dengan Dt. Singo Mangkuto. Buya Hamka dalam Dokumentasi Ed. Zulverdi Untuk memperkenalkan semangat modernis tentang wawasan Islam baru tersebut, ia awali dengan membuka kursus pidato yang diberi nama Tabligh Muhammadiyah pada tahun 1925. Pelaksanaannya dilakukan sekali seminggu dan mengambil tempat di Surau Jembatan Besi Padangpanjang. Naskah pidato teman-temannya, banyak yang ia sendiri membuatkannya. Kumpulan pidato ini kemudian ia cetak dalam sebuah buku dengan judul Khatib al-Ummah. Pada tahun 1927, ia berangkat ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji sambil menjadi koresponden pada harian Pelita Andalas di Medan. Sekembalinya dari Mekah, ia tidak langsung pulang ke Minangkabau, akan tetapi singgah di Medan untuk beberapa waktu lamanya. Di Medan, ia banyak menulis artikel dipelbagai majalah waktu itu, seperti majalah Seruan Islam di Tanjung Pura, pembantu redaksi Bintang Islam, dan Suara Muhammadiyah di Yogyakarta. Atas desakan iparnya, A.R. St. Mansur, ia kemudian diajak pulang ke Padangpanjang. Sekembalinya dari tanah suci, dalam satu rapat adat ninik mamak Nan Kurang Dua Empat Puluh dalam Nagari Sungai Batang, Engku Datuk Rajo Endah Nan Tuo, memaklumkan Hamka dengan gelar Datuk Indomo, gelar pusaka turun temurun dalam suku Tanjung. Pada tanggal 5 April 1929 ia kemudian dinikahkan dengan Siti Raham binti Endah Sutan (anak mamaknya). Dari perkawinannya dengan Siti Raham, ia dikarunia 11 orang anak. Mereka antara lain Hisyam (meninggal usia 5 tahun), Zaky, Rusydi, Fakhri, Azizah, Irfan, Aliyah, Fathiyah, Hilmi, Afif, dan Syakib. Setelah istrinya meninggal dunia, satu setengah tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1973, ia menikah lagi dengan seorang perempuan asal Cirebon, yaitu Hj. Siti Khadijah. Kreativitas jurnalistiknya semakin kelihatan melalui beberapa karya tulisnya. Pada tahun 1928, ia

menulis buku romannya yang pertama dalam bahasa minang dengan judul si Sabariah. Ia juga pemimpin majalah Kemajuan Zaman di Medan. Pada tahun 1929, hadir pula buku-bukunya, seperti Sedjarah Sajjidina Abubakar Shiddiq, Ringkasan Tarich Umat Islam, Agama dan Perempuan, Pembela Islam, Adat Minangkabau (buku ini dilarang beredar oleh Kolonial pemerintah Belanda), Agama Islam, Kepentingan Tabligh, Ayat-Ayat Miraj, dan lain sebagainya. Dinamika jurnalistiknya terus berkembang dan melahirkan berpuluh-puluh karya tulis, baik yang berbentuk roman, biografi dan otobiografi, tasauf, tafsir, sosial kemasyarakatan, pemikiran pendidikan (Islam), teologi, sejarah, dan fiqh. Namun demikian, tidak semua karyanya tersebut merupakan tulisan secara utuh. Sebagian di antaranya merupakan kumpulan artikel yang tersebar dalam berbagai media massa dan kemudian dibukukan. Kariernya di Muhammadiyah mulai diperhitungkan, terutama ketika ia menjadi pembicara dengan makalah Agama Islam dan Adat Minangkabau pada Kongres Muhammadiyah ke-19 di Bukittinggi tahun 1930. Melalui makalah tersebut, menempatkannya sebagai pembicara yang pertama sekali mencoba mempertalikan antara adat dan agama. Pada awal 1930, ia diajak ayahnya ke Sumatera Timur dan Aceh untuk memenuhi undangan kaum Muhammadiyah di sana. Kemudian pada tahun 1931, ia diundang ke Bengkalis untuk mendirikan cabang Muhammadiyah. Dari sana ia meneruskan perjalanan ke Bagan Siapi-Api, Labuhan Bilik (Pane), Medan, dan kemudian ke Tebing Tinggi, sebagai mubaligh Muhammadiyah. Kepiawaiannya sebagai mubaligh kembali memukau para peserta Kongres Muhammadiyah ke-20 di Yogyakarta pada tahun 1931, dengan judul Muhammadiyah di Sumatera. Dengan kemampuan retorikanya dalam menyampaikan makalah, telah menarik perhatian seluruh peserta kongres, bahkan sampai menangis. Untuk itu, tidak heran jika pada tahun 1932 ia dipercayai oleh pimpinan Muhammdiyah sebagai mubaligh ke Makasar (Sulawesi Selatan) dan pada tahun 1934 sebagai anggota tetap Majlis Konsul Muhammadiyah Sumatera Tengah. Ketika di Makasar, sambil melaksanakan tugasnya sebagai seorang mubaligh Muhammadiyah, ia memanfaatkan masa baktinya dengan sebaik-baiknya, terutama dalam mengembangkan lebih jauh minat sejarahnya. Ia mencoba melacak beberapa manuskrip sejarawan muslim lokal. Bahkan pada masa ini ia muncul sebagai peneliti pribumi pertama yang mengungkap secara luas riwayat ulama besar Sulawesi Selatan, Syeikh Muhammad Yusuf al-Makassari. Bukan itu saja, ketika di Makasar ia juga mencoba menerbitkan majalah pengetahuan Islam yang terbit sekali sebulan. Majalah tersebut diberi nama al-Mahdi. Setiap penerbitan majalah ini dicetak sebanyak 500 eksamplar. Karena faktor biaya, majalah ini hanya mampu bertahan sebanyak 9 nomor. Pada tahun 1934, ia meninggalkan Makasar dan kembali ke Padangpanjang untuk meneruskan cita-citanya dan mengelola Kulliyatul Muballighin antara tahun 1934-1935. Tujuan lembaga ini adalah untuk mencetak para mubaligh. Pada beberapa mata pelajaran penting seperti ilmu ushul fiqh dan manthiq, ilmu ikhtilaful mazahib (dengan memakai kitab Bidayatul Mujtahid), ilmu tafsir (al-Manar), dan ilmu arudh. Akan tetapi, karena honorarium dari mengajar tak mampu mencukupi kebutuhan keluarganya, maka bulan Januari 1936, ia memutuskan untuk berangkat ke Medan. Di Medan bersama M. Yunan Nasution ia mendapat tawaran dari Haji Asbiran Yakub dan Mohammad Rasami (bekas sekretaris Muhammadiyah Bengkalis) untuk memimpin majalah mingguan Pedoman Masyarakat dengan gaji sebesar f 17,50. Meskipun melalui banyak rintangan dan kritikan, sampai tahun 1938 peredaran majalah ini berkembang cukup pesat, bahkan oplahnya mencapai 4000 eksamplar setiap penerbitannya. Melalui rubrik tasauf modern, tulisannya telah mengikat hati para pembacanya, baik masyarakat awam maupun kaum intelektual, untuk senantiasa menantikan dan membaca setiap terbitan Pedoman Masyarakat. Pemikiran-pemikirannya yang cerdas yang dituangkannya di Pedoman Masyarakat merupakan alat yang sangat banyak menjadi tali penghubung antara dirinya dengan kaum intelektual lainnya, seperti Natsir, Hatta, Agus Salim, dan Mohammad Isa Anshari. Ketika zaman pendudukan Jepang (1942), ia masih sempat menerbitkan majalah Semangat Islam. Namun demikian, kehadiran majalah ini tidak bisa menggantikan kedudukan majalah Pedoman Masyarakat yang telah demikian melekat di hati pembacanya. Di tengah-tengah kekecewaan massa terhadap kebijakan Jepang, ia memperoleh kedudukan istimewa dari pemerintah Jepang sebagai anggota Syu Sangi Kai (Dewan Perwakilan Rakyat) pada tahun 1944. Sikap kompromistis dan kedudukannya sebagai anak emas Jepang telah menyebabkannya terkucil, dibenci, dan dipadang sinis oleh masyarakat. Kondisi yang tidak menguntungkan ini membuatnya lari malam dari kota Medan menuju Padangpanjang pada tahun 1945.

Sesampainya di Padangpanjang, ia dipercayakan untuk memimpin kembali Kulliyatul Muballighin dan menyalurkan kemampuan jurnalistiknya dengan menghasilkan beberapa karya tulis. Di antaranya ; Negara Islam, Islam dan Demokrasi, Revolusi Pikiran, Revolusi Agama, Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi, dan Dari Lembah Cita-Cita. Pada konferensi Muhammadiyah di Padangpanjang pada tahun 1946, ia terpilih sebagai ketua konsul Muhammadiyah Sumatera Timur menggantikan S.Y. Sutan Mangkuto, sampai tahun 1949. Setelah tercapainya Persetujuan Roem-Royen pada tanggal 18 Desember 1949, ia memutuskan untuk meninggalkan Minangkabau menuju Jakarta. Di sini, ia menekuni dunia jurnalistik dengan menjadi koresponden majalah Pemandangan dan Harian Merdeka. Ia kemudian mengarang karya otobiografinya Kenang-Kenangan Hidup (1950). Di samping itu, ia juga aktif di kancah politik melalui Masyumi. Bersama-sama dengan tokoh Masyumi lainnya, ia mendukung gagasan untuk mendirikan negara Indonesia yang berdasarkan Islam. Bersama K.H. Faqih Oesman dan M. Yusuf Ahmad, pada tanggal 15 Juni 1959 ia menerbitkan majalah bulanan Panji Masyarakat. Pada bulan Mei 1960 kontinuitas majalah ini terpaksa ditutup (dibrendel) dan kemudian kembali diterbitkan pada tahun 1967 pada masa pemerintahan Soeharto. Pada tahun 1950, setalah melaksanakan ibadah haji yang kedua kalinya, ia melakukan lawatan ke beberapa negara Arab. Di sini, ia dapat bertemu langsung dengan Thaha Husein dan Fikri Abadah yang karangan mereka selama ini dikenalnya dengan baik. Sepulangnya dari lawatan ini, ia mengarang beberapa buku roman. Di antaranya Mandi Cahaya di Tanah Suci, Di Lembah Sungai Nil, dan Di Tepi Sungai Dajlah. Secara terperinci, di antara karya-karya Hamka meliputi : Kenang-Kenangan Hidup, Jilid I, II, III, IV cet. 4, Jakarta, Bulan Bintang, 1979, Ayahku ; Riwayat Hidup Dr. H. Abdul Karim Amrullah dan Perjuangannya, Jakarta, Pustaka Widjaja, 1958, Khatib al-Ummah, 3 Jilid, Padang Pandjang, tp., 1925, Islam dan Adat, Padang Pandjang, Anwar Rasjid, 1929, Kepentingan Melakoekan Tabligh, Padang Pandjang, Anwar Rasjid, 1929, Bohong di Doenia, cet. 1, Medan, Cerdas, 1939, Agama dan Perempuan, Medan, Cerdas, 1939, Pedoman Moebaligh Islam, cet. 1, Medan, Bukhandel Islamiah, 1941, Hikmat Isra Miraj, 1946 (tempat dan penerbit tidak diketahui), Negara Islam, 1946 (tempat dan penerbit tidak diketahui), Islam dan Demokrasi, 1946 (tempat dan penerbit tidak diketahui), Revoloesi Fikiran, 1946 (tempat dan penerbit tidak diketahui), Dibandingkan Ombak Masjarakat, 1946 (tempat dan penerbit tidak diketahui), Moehammadijah Melaloei Tiga Zaman, Padang Pandjang, Anwar Rasjid, 1946, Revoloesi Agama, Padang Pandjang, Anwar Rasjid, 1946, Sesoedah Naskah Renville, 1947 (tempat dan penerbit tidak diketahui), Faham Soekarno, dalam A. Muchlis (ed.)., Tindjaoean Islam Ir. Soekarno, Tebing Tinggi, tp., 1949, Pribadi, 1950 (tempat dan penerbit tidak diketahui), Falsafah Hidoep, cet. 3, Djakarta, Poestaka Pandji Masyarakat, 1950, Falsafah Ideologi Islam, Djakarta, Poestaka Widjaja, 1950, Oerat Toenggang Pantjasila, Djakarta, Keluarga, 1951, Pelajaran Agama Islam, Djakarta, Boelan Bintang, 1952, K.H.A. Dahlan, Djakarta, Sinar Poedjangga, 1952, Perkembangan Tasawoef dari Abad ke Abad, cet. 3, Djakarta, Poestaka Islam, 1957, Pribadi, Djakarta, Boelan Bintang, 1959, Pandangan Hidup Muslim, Jakarta, Bulan Bintang, 1962, Lembaga Hidup, cet. 6, Jakarta, Djajamurni, 1962 (kemudian dicetak ulang di Singapura oleh Pustaka Nasional dalam dua kali cetakan (1995 dan 1999), 1001 Tanya Jawab tentang Islam, Jakarta, CV. Hikmat, 1962, Cemburu, Jakarta, Firma Tekad, 1962, Angkatan Baru, Jakarta, Hikmat, 1962, Exspansi Ideologi, Jakarta, Bulan Bintang, 1963, Pengaruh Muhammad Abduh di Indonesia, Jakarta, Tintamas, 1965 (awalnya merupakan naskah yang disampakannya pada orasi ilmiah sewaktu menerima gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas al-Azhar Mesir, tanggal 21-1-1958), Sayyid Jamaluddin alAfghani, Jakarta, Bulan Bintang, 1965, Lembaga Hikmat, cet. 4, Jakarta, Bulan Bintang, 1966, Dari Lembah Cita-Cita, cet. 4, Jakarta, Bulan Bintang, 1967, Hak-Hak Azasi Manusia Dipandang dari Segi Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1968, Gerakan Pembaruan Agama di Minangkabau, Padang, Minang Permai, 1969, Hubungan antara Agama dengan Negara menurut Islam, Jakarta, Pustaka Panjimas, 1970, Islam, Alim-Ulama dan Pembangunan, Jakarta, Pusat dakwah Islam Indonesia, 1971, Islam dan Kebatinan, Jakarta, Bulan Bintang, 1972, Mengembalikan Tasauf ke Pangkalnya, Jakarta, Pustaka Panjimas, 1973, Beberapa Tantangan terhadap Umat Islam di Masa Kini, Jakarta, Bulan Bintang, 1973, Kedudukan Perempuan dalam Islam, Jakarta, Pustaka Panjimas, 1973, Muhammadiyah di Minangkabau, Jakarta, Nurul Islam, 1974, Tanya Jawab Islam Jilid I dan II cet. 2, Jakarta, Bulan Bintang, 1975, Studi Islam, Aqidah, Syariah, Ibadah, Jakarta, Yayasan Nurul Iman, 1976, Perkembangan Kebatinan di Indonesia, Jakarta, Yayasan Nurul Islam, 1976, Tasauf, Perkembangan dan Pemurniannya, cet. 8, Jakarta, Yayasan Nurul Islam, 1980, Ghirah dan Tantangan Terhadap Islam, Jakarta, Pustaka Panjimas, 1982, Kebudayaan Islam di

Indonesia, Jakarta, Pustaka Panjimas, 1982, Lembaga Budi, cet. 7, Jakarta, Pustaka Panjimas, 1983, Tasauf Modern, cet. 9, Jakarta, Pustaka Panjimas, 1983, Doktrin Islam yang Menimbulkan Kemerdekaan dan Keberanian, Jakarta, Yayasan Idayu, 1983, Islam : Revolusi Ideologi dan Keadilan Sosial, Jakarta, Pustaka Panjimas, 1984, Iman dan Amal Shaleh, Jakarta, Pustaka Panjimas, 1984, Renungan Tasauf, Jakarta, Pustaka Panjimas, 1985, Filsafat Ketuhanan, cet. 2, Surabaya, Karunia, 1985, Keadilan Sosial dalam Islam, Jakarta, Pustaka Antara, 1985, Tafsir alAzhar, Juz I sampai Juz XXX, Jakarta, Pustaka Panjimas, 1986, Prinsip-prinsip dan Kebijaksanaan Dakwah Islam, Jakarta, Pustaka Panjimas, 1990, Tuntunan Puasa, Tarawih, dan Idul Fitri, Jakarta, Pustaka Panjimas, 1995, Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi, Jakarta, Tekad, 1963, Islam dan Adat Minangkabau, Jakarta, Pustaka Panjimas, 1984, Mengembara di Lembah Nil, Jakarta, NV. Gapura, 1951, Di Tepi Sungai Dajlah, Jakarta, Tintamas, 1953, Mandi Cahaya di Tanah Suci, Jakarta, Tintamas, 1953, Empat Bulan di Amerika, 2 Jilid, Jakarta, Tintamas, 1954, Merantau ke Deli, cet. 7, Jakarta, Bulan Bintang, 1977 (ditulis pada tahun 1939), Si Sabariah, (roman dalam bahasa Minangkabau), Padang Pandjang, tp., 1926 (Buku ini merupakan kisah nyata pembunuhan yang terjadi pada tahun 1915 di Sungai Batang), Laila Majnun, Djakarta, Balai Poestaka, 1932, Salahnya Sendiri, Medan, Cerdas, 1939, Keadilan Ilahi, Medan, Cerdas, 1940, Angkatan Baroe, Medan, Cerdas, 1949, Cahaya Baroe, Djakarta, Poestaka Nasional, 1950, Menoenggoe Bedoek Berboenji, Djakarta, Firma Poestaka Antara, 1950, Teroesir, Djakarta, Firma Poestaka Antara, 1950, Di Dalam Lembah Kehidoepan, (kumpulan cerpen), Djakarta, Balai Poestaka, 1958, Di Bawah Lindoengan Kabah, cet. 7, Djakarta, Balai Poestaka, 1957, Toean Direktoer, Djakarta, Djajamurni, 1961, Dijempoet Mamaknja, cet. 3, Djakarta, Mega Bookstrore, 1962, Cermin Kehidoepan, Djakarta, Mega Bookstrore, 1962, Tenggelamnya Kapal Van der Wijk, cet. 13, Jakarta, Bulan Bintang, 1979, Pembela Islam (Tarikh Sayyidina Abubakar Shiddiq), Medan, Pustaka Nasional, 1929, Ringkasan Tarikh Ummat Islam, Medan, Pustaka Nasional,1929, Sedjarah Islam di Soematera, Medan, Pustaka Nasional, 1950, Dari Perbendaharaan Lama, Medan, M. Arbi, 1963, Antara Fakta dan Khayal Tuanku Rao, cet. 1, Jakarta, Bulan Bintang, 1974, Sejarah Umat Islam, 4 Jilid, Jakarta, Bulan Bintang, 1975, Sullam al-Wushul ; Pengantar Ushul Fiqh, Terj. karya Dr. H. Abdul Karim Amrullah, Jakarta, Pustaka Panjimas, 1984, Margaretta Gauthier, Terj. karya Alexander Dumas Jr., cet. 7, Jakarta, Bulan Bintang, 1975, Persatoean Islam, Pembela Islam, Nos. 34 & 36, 1931, Boekti jang Tepat, Pembela Islam, No. 46, 1932, Arkanoel Islam, Makassar, 1932, Majalah Tentara (4 nomor), Makassar, 1932, Majalah al-Mahdi (9 nomor), Makassar, 1932, Majalah Semangat Islam, Medan 1943, Majalah Menara, Padang Panjang, 1946, K.H.A. Dahlan, dalam Boekoe Peringatan 40 tahoen Moehammadiyah, Djakarta, Tp. 1952, Almarhoem Ki Bagoes Hadikoesoemo, Hikmah, VII, 30, 18 September 1954, Orthodox and Modernisme, Majalah Pandji Masyarakat, I, No. 2, 1959, Hadji Moehammad Soedjak, Gema Islam, I, No. 15, 1962, Risalah Seminar Sedjarah Masoeknja Islam di Indonesia, Medan, 1963, Masaalah Chilafijah dan tentang Taqlid dan Idjtihad, Gema Islam, II, 1963, Kenang-Kenangan Beberapa Moeballigh Moehammadijah, Gema Islam, II, No. 40, 1963, Hak Azasi Manusia di Pandang dari Segi Islam, Majalah Panji Masyarakat, 1968, Cita-Cita Kenegaraan dalam Ajaran Islam, makalah kuliah umum di Universitas Kristen Jakarta, 1970, Lembaga Fatwa, Majalah Panji Masyarakat, No. 6, 1972, Das Verhaeltnis zwischen Religion und Staat im Islam, dalam Indonesians verantwortliche Gesellschaft; Erlangen, Italiaander, R. (Hrsg)., 1972, Dengan Sekularisasi Pantjasila akan Kosong, Majalah Panji Masyarakat No. 29, Salah Faham Yang Menghebohkan, dalam Panji Masyarakat, No. 121, XIV, 15 Mei 1973, Mensyukuri Tafsir al-Azhar, Majalah Panji Masyarakat, No. 317, Muhammadiyah di Minangkabau, Makalah, Padang, 1975, Pengaruh Islam dalam Sastra Melayu, artikel dalam Islam dan Kebudayaan Melayu, Kuala Lumpur, Kementerian Belia dan Sukan, 1978, Partisipasi Ulama dalam Pembangunan, Panji Masyarakat, No. 154, Thn. 1974, Dari Hati ke Hati; suatu Komentar terhadap Seminar Pendahuluan Sejarah Islam di Indonesia, dalam Panji Masyarakat, No. 291 Tahun XXI, 15 Maret 1980, Tajdid dan Mujaddid, dalam Panji Masyarakat, No. 403 / 1 Agustus 1983, Haji Agus Salim sebagai Sastrawan dan Ulama, dalam Peringatan Seratus Tahun Haji Agus Salim, Jakarta, Sinar Harapan, 1984, Hubungan Timbal Balik antara Adat dan Syara, dalam Panji Masyarakat, vol. 9 No. 61, tt. Natsir, Hamka (duduk) dan Isa Anshary, tiga orang politisi sarungan Sejak tahun 1952 sampai 1981, kariernya mulai menanjak. Berbagai jabatan penting pernah didudukinya antara lain adalah ; memenuhi undangan pemerintah Amerika (1952), anggota komisi kebudayaan di Muangthai (1953), menghadiri peringatan mangkatnya Budha ke-2500 di Burma (1954), menghadiri Konferensi Islam di Lahore (1958), Imam Masjid al-Azhar (Kebayoran Baru), Konferensi Negara-negara Islam di Rabat (1968), Muktamar Masjid di Mekkah 1976),

Seminar tentang Islam dan Peradaban di Kuala Lumpur, menghadiri peringatan Seratus Tahun Muhammad Iqbal di Lahore dan Konferensi Ulama di Kairo (1977), Badan Pertimbangan Kebudayaan Kementerian PP dan K, Guru Besar Perguruan Tinggi Islam dan Universitas Islam di Makasar, Penasehat Kementerian Agama, Ketua Dewan Kurator PTIQ, Ketua MUI (1975-1981), dan sejumlah posisi penting lainnya. Sikapnya yang konsisten terhadap agama dan tidak kompromis terhadap kemungkaran, menyebabkannya acapkali berhadapan dengan berbagai rintangan, terutama terhadap beberapa kebijakan pemerintah. Keteguhan sikapnya ini membuatnya untuk merelakan diri hidup dibalik terali besi (1964-1966). Pada awalnya, HAMKA diasingkan ke Sukabumi, kemudian ke Puncak, Megamendung, dan terakhir dirawat di rumah sakit Persahabatan Rawamangun, sebagai tawanan. Ia juga dengan tegas menolak kebijakan pemerintah memberlakukan RUU Perkawinan tahun 1973. Menurutnya, RUU tersebut secara prinsipil telah bertentangan dengan ajaran Islam. Untuk itu, haram bagi kaum muslim nikah berdasarkan RUU tersebut dan hanya wajib nikah secara Islam. Bahkan ketika menteri Agama dipegang Alamsyah Ratu Prawiranegara yang berupaya melakukan fatwa dengan diperbolehkannya menyertai peringatan Natal bersama umat Nasrani, ia secara tegas mengharamkannya dan mengecam keputusan tersebut. Meskipun pemerintah mendesaknya agar menarik kembali fatwanya (dengan diiringi berbagai ancaman), akan tetapi ia tetap dengan pendiriannya yang dengan keras dan tegas menolak untuk menariknya. Karena itu, pada tanggal 19 Mei 1981, ia memutuskan untuk melepaskan jabatannya sebagai Ketua MUI. Fleksibelitas sikapnya terhadap berbagai perbedaan khilafiyah dapat terlihat secara jelas pada tampilan majalah Panjimas yang dipimpinnya, terutama pada era awal 1967 sampai menjelang akhir tahun 1970-an yang tampil dengan corak liberal. Meskipun ide-ide pembaharuan yang dikembangkan Cak Nur menimbulkan kotroversial, baik secara internal maupun eksternal, namun ide-ide tersebut tetap dimuatnya dalam Panjimas. Pada Pemilu 1955, ia terpilih menjadi anggota DPR mewakili Jawa Tengah. Akan tetapi pengangkatan tersebut ditolak karena merasa tempat tersebut tidak sesuai baginya. Atas desakan A.R. Sutan Mansur, akhirnya Hamka menerima untuk diangkat menjadi anggota konstituante. Ia juga pernah menjadi pegawai tinggi Departemen Agama selama beberapa waktu, akan tetapi jabatan tersebut akhirnya dilepaskannya. Pada tahun 1959, ia mendapat anugerah gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas al-Azhar Cairo atas jasa-jasanya dalam penyiaran agama Islam dengan menggunakan bahasa Melayu yang indah. Kemudian pada 6 Juni 1974, kembali ia memperoleh gelar kehormatan tersebut dari Universitas Kebangsaan Malaysia pada bidang kesusanteraan, serta gelar Profesor dari Universitas Prof. Dr. Moestopo. Hamka meninggal dunia di Jakarta pada tanggal 24 Juli 1981, dalam usia 73 tahun dan dikebumikan di Tanah Kusir, Jakarta Selatan.

This article needs additional citations for verification. Please help improve this article by adding citations to reliable sources. Unsourced material may be challenged and removed. (December 2010) Abdul Karim Amrullah (18791945), known as Haji Rasul, was a Muslim reformer who led reformation of Islam in Sumatra.

Contents [hide]

1 Personal 2 Family 3 See also

life

4 References

Personal life[edit source | editbeta]


Haji Rasul was born in Sungai Batang, Maninjau, West Sumatra on February 10, 1879. His father was Muslim ulema, Syekh Muhammad Amarullah Tuanku Kisai and his mother Andung Tarawas.[citation needed] In 1894, he went to Mecca, studying Islamic law under Shaikh Ahmad Khatib. After he graduated, he taught Islam in Mecca until 1906.[1] Upon his return to the Dutch East Indies (now Indonesia), he founded an Islamic organization known as Muhammadiyah in West Sumatra. In 1915, Haji Rasul founded Sumatera Thawalib in Padang Panjang. Thawalib was an Islamic school that produced many progressive students.[citation needed] He died in Jakarta before independence day on June 2, 1945.

Family[edit source | editbeta]


Haji Rasul's son Hamka was also a prominent ulama, politician, and author. Rusdi Hamka, his grandson, is a politician, a member of DPR from United Development Party.

See also[edit source | editbeta]


Islam in Indonesia List of Minangkabau people

References[edit source | editbeta]


1.
^ "HAMKA atau HAJI ABDUL MALIK KARIM AMRULLAH (HAMKA)". Minang Forum (in Bahasa Indonesia). Minang Forum. Retrieved 22 July 2012.

You might also like