Professional Documents
Culture Documents
Interaksi Ranitidin Dan Antasida
Interaksi Ranitidin Dan Antasida
Interaksi Ranitidin Dan Antasida
Abstract
Dyspepsia found as one of the most common digestive problems, happened about 13%-40% of the worlds population each year. This research was conducted to determine the Drug Related Problems, which frequently occur in dyspepsia patients, which can not include an indication of the drug, the drug therapy without medical indications, in appropriate drug selection, dosage excess, less dosage, in appropriate drug administration interval, drug interactions, drug side effects, and patient non-compliance. This research was a prospective observational study using descriptive cross sectional approach, performed on all dyspepsia patients with or without comorbidities in Departement of Internal Medicine DR. M. Djamil Hospital Padang during the months March to May 2011. The results showed that in Ward Inpatient Medicine DRPs type that occurs from 30 dyspepsia patients with or without comorbidities that as many as 19 patients of drug interactions, in appropriate drug administration interval 6 patients, drug side effects 11 patients, and non-compliance of drugs 1 patient . For other DRPs components not found the problem. In the Installation Outpatient Medicine DRPs that occur from 90 dyspepsia patients with or without comorbidities that as many as 77 patients of drug interactions, drug therapy without medical indications 2 patients, in appropriate drug selection 1 patient, and drug side effects 32 patients. For other DRPs components not found the problem. Drug interactions in the study of pharmacokinetic interaction, which in practice can be accommodates by separating their administration. Meanwhile, a toxic drug interactions was not found. Keyword: Dyspepsia, Drug Related Problems.
Pendahuluan
Perubahan gaya hidup dan pola konsumsi makanan menjadi salah satu penyebab terjadinya masalah pencernaan. Dispepsia merupakan salah satu masalah pencernaan yang paling umum ditemukan. Berdasarkan gambaran morbiditas 10
seluruh rumah sakit di Indonesia tahun 2003, dispepsia menempati peringkat ke 10 dengan proporsi 1,5%. Tahun 2004,
dispepsia menempati urutan ke 15 dari daftar 50 penyakit dengan pasien rawat inap terbanyak di Indonesia dengan
proporsi 1,3%.
Terapi
dispepsia
dengan
pada bulan Maret sampai Mei 2011. Penelitian ini dilakukan dengan
mempertahankan hidup pasien. Hal ini biasanya mengobati dilakukan pasien, dengan mengurangi cara atau
terhadap suatu populasi terbatas. Sampel penelitian adalah pasien dispepsia di bangsal rawat inap dan rawat jalan Penyakit Dalam di RSUP DR. M. Djamil Padang. Sumber data berupa rekam medik pasien, catatan perawat, memantau langsung keadaan pasien dan wawancara langsung dengan pasien atau keluarga pasien. Jenis data meliputi komponen dari DRPs yakni masalah-masalah yang
meniadakan gejala sakit, menghentikan atau memperlambat proses penyakit serta mencegah penyakit atau gejala. Namun ada hal-hal yang tak dapat disangkal dalam pemberian obat yaitu kemungkinan terjadinya hasil pengobatan tidak seperti yang diharapkan karena disebabkan oleh Drug Related Problems. Berdasarkan halhal tersebut diatas, maka perlu dilakukan penelitian pada terapi pasien dispepsia di bangsal rawat inap dan rawat jalan Penyakit Dalam RSUP DR. M. Djamil Padang terhadap kemungkinan terjadinya Drug Related Problems (DRPs). Permasalahan yang diambil dari penelitian ini adalah jenis Drug Related Problems (DPRs) apa yang sering terjadi serta berapa jumlah kejadian masingmasing DRPs tersebut dalam terapi dispepsia di Bangsal rawat inap dan
ditemukan dalam terapi seperti indikasi tidak dapat obat, terapi obat tanpa indikasi medis, ketidaktepatan pemilihan obat, dosis obat berlebih, dosis kurang, reaksi efek samping obat, interaksi obat, ketidakpatuhan pasien dan ketidaktepatan interval pemberian obat.
Metodologi
Penelitian dilaksanakan di bangsal rawat inap dan rawat jalan Penyakit Dalam RSUP DR. M. Djamil Padang
Tabel 1. Jumlah Pasien Dispepsia dengan Penyakit Penyerta yang Mengalami Drug Related Problems di Bangsal rawat Inap dan Rawat Jalan Penyakit Dalam RSUP. DR. M Djamil Padang. No Drug Related Problems Rawat Inap Jumlah Pasien 0 Rawat Jalan Jumlah Pasien 0
mengalami indikasi tidak dapat obat, semua pasien telah mendapatkan semua terapi obat yang diperlukan. b. Penggunaan Obat Tanpa Indikasi Medis Di Bangsal rawat inap Penyakit dalam RSUP DR. M. Djamil Padang
1.
Indikasi tidak dapat obat Terapi obat tanpa indikasi medis Ketidaktepatan pemilihan obat Dosis berlebih Dosis kurang Ketidaktepatan Interval pemberian Interaksi obat Reaksi efek samping obat Ketidakpatuhan pasien Total Pasien
2. 3.
0 0
2 1
tidak
ada
pasien
dispepsia
yang
4. 5. 6.
0 0 6
0 0 0
Poli rawat jalan Penyakit dalam RSUP DR. M. Djamil Padang terjadi pada 2 orang pasien. Ini berarti bahwa semua obat yang diberikan kepada pasien Penyakit Padang
7. 8. 9.
19 11 1
77 32 0
belum semuanya sesuai dengan indikasi yang ada. Terapi obat tanpa indikasi dapat diartikan sebagai adanya obat yang tidak
30
90
a. Indikasi Tidak Dapat Obat Indikasi tanpa obat dapat terjadi apabila pasien memiliki kondisi medis yang memerlukan terapi, tapi pasien tidak mendapatkan obat, juga dapat terjadi pada pasien yang memerlukan terapi tambahan untuk mengobati atau mencegah
diperlukan atau tidak sesuai dengan kondisi medis pasien (Priyanto, 2009). Pada kasus pasien rawat jalan no 75, ditemukan pasien yang tidak
mempunyai keluhan nyeri sendi, tetapi diberikan Fitbon sebagai suplemen untuk memelihara kesehatan fungsi persendian. Pemberian Fitbon tanpa indikasi medis yang jelas tidak dibutuhkan terutama dengan kemungkinan adanya efek
perkembangan penyakit, tapi pasien tidak mendapatkan obatnya (Priyanto, 2009). Dari hasil penelitian diketahui bahwa tidak ada pasien dispepsia di Bangsal rawat inap dan Poli rawat jalan Penyakit dalam RSUP DR. M. Djamil Padang yang
samping berupa gangguan gastrointestinal ringan dan kembung. Ini termasuk polifarmasi yang tentunya tidak
dibutuhkan sama sekali dan terapi yang diberikan merupakan obat paten yang dapat menyebabkan penambahan biaya
mengalami
DRPs
ketidaktepatan
pemilihan obat, yakni pasien dengan pasien no 27. Pada pasien ini dikenal menderita sirosis hepatis stadium
yang sebenarnya dapat direduksi (Trisna, 2004). Pada kasus pasien rawat jalan no 78, ditemukan pasien yang menerima
dekompensata tetapi mendapat terapi yang tidak tepat yaitu obat anti inflamasi non-steroid, meloxicam untuk mengobati nyeri lutut yang dialaminya. Padahal menurut literatur penggunaan meloxicam harus kondisi dihindari/kontraindikasi sirosis hati karena pada dapat
terapi Renadinac
tanpa tidak
jelas
dibutuhkan, karena termasuk golongan obat NSAIDs yang justru dapat semakin memperparah keadaan pasien yang sudah menderita gastritis kronik aktif dan hipertensi stage II ec essensial. Karena itu pemberian obat harus disesuaikan dengan diagnosa penyakit, sehingga tidak
meningkatkan kadar enzim transaminase. Meloxicam dimetabolisme di hati, dengan waktu paruh eliminasi 20 jam. Pasien ini juga merupakan kelompok usia lanjut, yang telah mengalami perubahan
ditemukan obat yang tidak diperlukan oleh pasien karena tidak ada indikasinya dan hanya akan menambah biaya
pengobatan. c. Ketidaktepatan Pemilihan Obat Tidak ada kejadian DRPs kategori ketidaktepatan pemilihan obat di Bangsal rawat inap Penyakit dalam RSUP DR. M. Djamil Padang. Sementara pasien
hepatik, ekstraksihepatik tergantung pada ukuran organ hati, up take ke hepatosit dan afinitas serta aktifitas enzim hati. Ukuran organ hati akan berkurang seiring dengan peningkatan usia dan akan terjadi penurunan massa organ hati antara 2040% pada dekade ketiga dan kesepuluh. Aliran darah hepatik akan turun setara dengan penurunan organ hati. Gangguan klirens obat yang eliminasinya terjadi dihati dapat terjadi pada usia lanjut. Perubahan penyebab morfologis utama dari merupakan berkurangnya
dispepsia yang mengalami DRPs kategori DRPs kategori ketidaktepatan pemilihan obat di Poli rawat jalan Penyakit dalam RSUP DR. M. Djamil Padang terjadi pada 1 orang pasien. Dari 90 orang pasien dispepsia di Poli rawat jalan terdapat 1 orang pasien
eliminasi
obat
dibandingkan
karena
hal ini disebabkan karena kesalahan dosis pada peresepan obat, dosis obat terlalu tinggi untuk efek obat yang diinginkan, jarak pemberian obat terlalu dekat,
terjadinya gangguan aktifitas enzimatis, sehingga menyebabkan tingginya kadar obat dalam darah toksisitas yang dapat &
(Walker
interaksi obat menimbulkan toksik, obat diberikan terlalu cepat (Priyanto, 2009). e. Ketidaktepatan Interval Pemberian Obat Dari penelusuran dan
d. Dosis Obat Kurang dan Dosis Obat Berlebih Pada terapi pasien dispepsia di Bangsal rawat inap dan Poli rawat jalan Penyakit dalam RSUP DR. M. Djamil Padang tidak ditemukan adanya dosis berlebih ataupun dosis kurang. Semua obat yang diberikan telah sesuai dengan dosis terapi obat tersebut. Dosis obat kurang artinya obat tidak mencapai Minimum Effective
ketidaktepatan interval pemberian obat di Bangsal rawat inap terjadi pada 6 orang pasien. Sementara di poli rawat jalan tidak ada ditemukan ketidaktepatan
interval pemberian obat. Pada penelitian ini ditemukan 6 orang pasien di bangsal rawat inap yang mengalami ketidaktepatan interval
disebabkan karena dosis terlalu rendah untuk efek yang diinginkan, interval pemakaian obat terlalu panjang, terjadi interaksi yang menyebabkan
pemberian obat. Dari 6 pasien tersebut 1 orang mengalami ketidaktepatan interval pemberian kotrimoksazol. Dari literatur, kotrimoksazol diberikan 960 mg dua kali sehari. Sementara pada kasus ini pasien mendapat terapi kotrimoksazol 960 mg satu kali sehari. Sementara 5 orang lainnya interval literatur, mengalami pemberian ranitidin ketidaktepatan ranitidin. diberikan Dari secara
berkurangnya bioavailabilitas, durasi obat terlalu pendek (Priyanto, 2009). Hal ini dapat menjadi tidak masalah efektifnya karena terapi
menyebabkan
sehingga pasien menjadi tidak sembuh, atau bahkan dapat memperburuk kondisi kesehatannya. Dosis obat berlebih artinya obat melebihi Maximum Toxic Concentration (MTC) sehingga mengakibatkan toksik,
intravena dengan dosis 50 mg tiap 6-8 jam, sedangkan pada kasus ini diberikan 50 mg tiap 12 jam. hanya
f. Terjadinya Interaksi Obat yang Merugikan Interaksi obat adalah peristiwa dimana aksi suatu obat diubah atau dipengaruhi oleh obat lain yang diberikan secara bersamaan (Stockley, 2008). Kejadian pasien Interaksi dengan obat pada
yang bersifat protein seperti albumin dan fibrinogen pada lokasi tukak. Pada
kondisi yang lebih ringan, sukralfat membentuk memberikan viscious perlindungan sehingga pada
permukaan mukosa lambung sehingga terjadi penurunan absorbsi lansoprasol/ ranitidin. Interaksi antara sukralfat dengan antasida terjadi karena sukralfat
dispepsia
penyakit
penyerta yang dirawat di Bangsal rawat inap Penyakit dalam RSUP DR. M. Djamil Padang terjadi pada 19 orang pasien, sementara terjadinya interaksi obat pada pasien dispepsia dengan
memerlukan pH asam agar aktif sebagai obat yang memproteksi mukosa lambung, dengan adanya antasida terjadi perubahan pH lambung menjadi basa sehingga mengurangi efek perlindungan mukosa lambung oleh sukralfat. Selain itu dapat meningkatkan kadar total aluminium dalam tubuh jika digunakan dengan antasida yang mengandung aluminium. Sukralfat merupakan garam aluminuim dari sukrosa kecil oktasulfat, alumunium sehingga dapat
penyakit penyerta di Poli rawat jalan Penyakit dalam RSUP DR. M. Djamil Padang terjadi pada 77 orang pasien. Mekanisme interaksi obat antara antasida dengan beberapa obat seperti dengan lansoprasol, ranitidin dan
terjadinya perubahan pH lambung oleh antasida. Interaksi ini bisa diatasi dengan memberikan obat-obat tersebut pada
sejumlah
waktu yang berbeda atau menyarankan untuk meminum obat lain minimal 2 jam sebelum atau setelah meminum antasida, sehingga efek terapetik yang diinginkan bisa tercapai (Stockley, 2008). Mekanisme interaksi obat antara sukralfat ranitidin dengan terjadi lansoprasol karena atau
diberikan pada pasien yang mengalami gagal ginjal, yang berisiko terhadap kelebihan alumunium (Katzung, 2002). Obat-obat juga bisa bersaing satu sama lainnya untuk berikatan dengan protein plasma atau jaringan. Hanya obat yang bebas (yang tidak terikat) yang memberikan didistribusikan efek ke atau jaringan. yang Apabila
sukralfat
interaksi ini terjadi, konsentrasi obat bebas akan naik dan respon obat juga naik. Penghambatan metabolisme obat dapat juga menaikkan kadar plasma dan respon obat dengan kemungkinan
air), jika dihambat maka terjadi retensi natrium dan air sehingga terjadi
penumpukan cairan di dalam jaringan (udema) akibatnya terjadi peningkatan tekanan darah dan vasokonstriksi
terjadinya toksisitas. Hampir semua interaksi obat yang mempengaruhi ekskresi di ginjal dapat meningkatkan ataupun mengurangi
bahwa interaksi yang banyak terjadi adalah interaksi farmakokinetik, interaksi ini bisa diatasi dengan memberikan obatobat tersebut pada waktu yang berbeda atau menyarankan untuk meminum obat lain minimal 2 jam sebelum atau setelah meminum antasida/sukralfat, sehingga
ekskresi dari satu obat oleh obat lain, jika terjadi pengurangan ekskresi akan
menyebabkan kenaikan kadar plasma dan dapat menimbulkan toksisitas. Namun sebaliknya, seperti interaksi antara asam asetil salisilat dengan allopurinol justru meningkatkan ekskresi dan menurunkan efek dari oksipurinol sehingga kadar
efek terapetik yang diinginkan bisa tercapai. Tidak ada terjadi interaksi obat yang merugikan dan yang bersifat
asam urat tidak turun (Martindale, 2007). Sehingga perlu dilakukan pemantauan kadar asam urat, jika perlu dosis
toksisitas pada pasien dispepsia yang dirawat di bangsal rawat inap dan rawat jalan RSUP DR. M. Djamil Padang. g. Efek Samping Obat Reaksi efek samping obat yang
allopurinol dinaikkan agar efek terapetik yang diinginkan bisa tercapai. Asam menurunkan asetil dari salisilat efek dapat
terjadi pada pasien dispepsia dengan penyakit penyerta selama dirawat di bangsal rawat inap Penyakit dalam RSUP DR. M. Djamil Padang adalah sebagai berikut: insomnia 4 pasien, kram perut 3 pasien, konstipasi 3 pasien, dan kembung 1 pasien. Total secara keseluruhan dari 30 pasien, yang mengalami efek samping obat 11 pasien, sedangkan pasien
furosemid.
Akibatnya efek vasodilatasi tidak terjadi dan tekanan darah tidak turun. Interaksi obat tersebut dapat diatasi pemakaiannya dijarakkan, furosemid diberikan pada pagi hari dan asam asetil salisilat pada siang harinya. Hal ini terjadi karena asam asetil salisilat menghambat sintesa
prostaglandin (untuk pengaturan aliran darah di ginjal dan transpor natrium dan
dispepsia yang ada di Poli rawat jalan Penyakit dalam RSUP DR. M. Djamil
Padang adalah sebagai berikut : insomnia 13 pasien, kembung 12 pasien, kram perut 5 pasien, konstipasi 1 pasien, dan depresi napas 1 pasien. Total secara keseluruhan dari 90 pasien, yang
DR. M. Djamil Padang dapat diketahui bahwa ketidakpatuhan pasien terjadi pada 1 orang pasien. Hal ini diketahui dari hasil visite mandiri, dimana ketika
ditanyakan apakah obat sudah diberikan kepada pasien, keluarga yang menjaga menjawab bahwa pasien mengalami
timbulnya efek yang tidak diinginkan oleh tubuh, seperti interaksi obat
depresi dan susah untuk memberikan obatnya. Kemudian ketika diperiksa laci meja pasien, ditemukan obat yang sudah beberapa hari yang lalu diresepkan dokter masih tersimpan rapi. Sebagai farmasis juga memberikan nasehat dan masukan supaya keluarga juga ikut serta dalam menjaga kepatuhan pasien dalam
dikontraindikasi karena faktor resiko, obat yang lebih aman diperlukan karena pasiennya beresiko (Priyanto, 2009). Efek samping tidak mungkin dihindari atau dihilangkan sama sekali, tetapi dapat ditekan atau dicegah seminimal mungkin dengan menghindari faktor-faktor risiko yang sebagian besar dapat diketahui. h. Ketidakpatuhan Pasien Salah satu kunci keberhasilan pengobatan adherence farmakoterapi. keterlibatan penyembuhan suatu penyakit adalah terhadap adalah dalam melalui
pengobatan dan sebisa mungkin untuk membujuk pasien agar mau menggunakan obatnya. Sementara di Poli rawat jalan Penyakit dalam RSUP DR. M. Djamil Padang tidak ada ditemukan
ketidakpatuhan pasien selama terapi, yang artinya semua pasien memiliki kepatuhan dalam menggunakan obatnya dan selalu datang berobat jalan setiap bulannya atau setiap kali persediaan obatnya sudah habis.
kepatuhan atas instruksi yang diberikan untuk terapi maupun dalam ketaatan melaksanakan anjuran lain dalam
Kesimpulan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa di Bangsal Rawat Inap Penyakit Dalam jenis DRPs yang terjadi dari 30 pasien dispepsia dengan atau tanpa penyakit penyerta yaitu interaksi obat
dilakukan pada bulan Maret-Mei 2011 di Bangsal rawat inap Penyakit dalam RSUP
sebanyak
19
pasien,
ketidaktepatan
Interaksi obat pada penelitian ini berupa interaksi farmakokinetik, yang dalam prakteknya sudah ditanggulangi dengan cara menjarakkan pemberian obat.
interval pemberian obat 6 pasien, reaksi efek samping obat 11 pasien, dan ketidakpatuhan penggunaan obat 1
pasien. Untuk komponen DRPs lainnya tidak ditemukan masalah. Di Instalasi Rawat Jalan Penyakit Dalam DRPs yang terjadi dari 90 orang pasien dispepsia dengan penyakit penyerta yaitu interaksi obat sebanyak 77 pasien, terapi obat tanpa indikasi medis 2 pasien, ketidaktepatan pemilihan obat 1 pasien, dan reaksi efek samping obat 32 pasien. Untuk komponen DRPs lainnya tidak ditemukan masalah.
Daftar Pustaka Anonim. 2005. Departemen Kesehatan RI Direktorat Bina Farmasi Komunitas Klinik. Gunawan., Sulistia G. 2007., Farmakologi dan Terapi edisi V. Departemen Farmakologi dan Terapeutik UI., Jakarta. Katzung, BG. 2002. Farmakologi Dasar dan Klinik. Salemba Medika. Jakarta. Martindale. 2007. The Complete Drug Reference, 35th edition, The Pharmaceutical Press. United States. Priyanto, 2009. Farmakoterapi dan Terminologi Medis, Lembaga Studi Dan Konsultasi Farmakologi, Jawa Barat. Stockley, I. 2008. Drug Interactions A Source Book of Adverse Interactions, Their Mechanism, Clinical Importance and Management (8th ed). London: Pharmaceutical Press. Strand, LM., PC Morley, RJ Cipolle. 1990. Drug Related Problems : Their Structure and Function. DICP Ann Pharmacother : 24;1093-1097. Trisna, Yulia. 2004. Idealisme Farmasis Klinik di Rumah Sakit. Pengantar Farmasi Klinik. Walker, R., and Edwards, C., 2003, Clinical Pharmacy and Therapeutics, 3rd Edition Churchill Livingstone, Philadelphia.