Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 164

ANALISIS KONSUMSI DAN KEBUTUHAN UNTUK KONSUMSI PANGAN DI PROVINSI SUMATERA BARAT, JAWA TENGAH, DAN SULAWESI TENGGARA

TAHUN 2005-2015

SRI CATUR LESTARI WIDIASIH

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI


Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Konsumsi dan Kebutuhan untuk Konsumsi Pangan di Provinsi Sumatera Barat, Jawa Tengah, dan Sulawesi Tenggara Tahun 2005-2015 adalah karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Januari 2009 Sri Catur Lestari Widiasih NRP. I051060161

ABSTRACT
SRI CATUR LESTARI WIDIASIH. Actual Food Consumption Analysis and Food Demand Estimation in West Sumatera, Central Java, and Southeast Sulawesi Provinces Year 2005-2015. Under direction of DRAJAT MARTIANTO, and YAYAT HERYATNO Food diversification program is one among the food security strategies in Indonesia. The goal of the program is to improve food diversity of the Indonesian peoples food consumption to achieve the balance diet. The national indicator of balance diet is reflected at the achievement of desirable dietary pattern (=PPH or Pola Pangan Harapan). The DDP score of 100 is expected to be achieved at year 2015. Although food diversification is among the oldest nutrition program in Indonesia, however after 50 years its implementation the results are still under expectation. In 2007, the National Food Security Agency try to accelerate the efforts through acceleration program of food diversity to achieve the target on time. A study on the present achievement of food diversification status and its estimation in 2015 is therefore become an interesting field to be elaborated. The objectives of the study were to assess the nutrient adequacy-particularly energy and protein adequacy level, food diversity (DDP score), estimate the response of food demand related to change in food price and income using Almost Ideal Demand System (AIDS) model, and estimate provincial food demand for human consumption only from 2008 until 2015. The study shows that the average energy intake has already exceeded the RDA, except in Central Java (98.5% or 1,969 kcal). In general, energy adequacy level found to be higher at rural than urban areas due to easier access of carbohydrate sources, but on the contrary the protein adequacy level was found higher in urban due to higher purchasing power on protein sources of food. The DDP score in West Sumatera was 82.4; Southeast Sulawesi 82.3; and Central Java 80.5. Demand of read meat is more responsive to change in price than other foods. On the other hand, demand of cereals is more responsive to change in price than poultry meat and eggs and milk, except in Central Java. Food demands in rural areas are more responsive to the price changes than in urban, except in West Sumatera: wheat flour, fresh fish, oily seed, sugar, and vegetable and fruit; in Central Java: poultry meat, ruminant meat, fresh fish, and sugar. The demand of urban community is greatly dependent to price change. In Central Java and Southeast Sulawesi, almost all animal food is more responsive to change in income than cereals. Among 14 analyzed food groups, generally, food demand in rural is more responsive to change in income than urban, except in West Sumatera: eggs and milk, oil and fats, oily seed, legumes, sugar, and vegetables and fruits; in Central Java: wheat flour, ruminant meat, canned fish, oily seed, and legumes. Result of the estimation in year 2015 shows that consumption of milk and fruits in all provinces still do not reach ideal consumption level yet, while rice consumption in all provinces exceed ideal consumption level. These figures indicate a pessimistic achievement of DDP score of 100 at 2015, except there is a great strategy, including the socio-economic construct to achieve it. Keywords: food diversification, Almost Ideal Demand System, food demand.

ii

RINGKASAN SRI CATUR LESTARI WIDIASIH. Analisis Konsumsi dan Kebutuhan untuk Konsumsi Pangan di Provinsi Sumatera Barat, Jawa Tengah, dan Sulawesi Tenggara Tahun 2005-2015. Dibimbing oleh DRAJAT MARTIANTO, dan YAYAT HERYATNO Saat ini Pemerintah Indonesia sedang berupaya keras melaksanakan kegiatan percepatan diversifikasi pangan, dengan harapan pada tahun 2015 konsumsi pangan masyarakat akan mendekati pola pangan harapan (PPH) dengan skor maksimal 100. Oleh karenanya penelitian tentang konsumsi dan permintaan pangan yang dapat memberikan gambaran pencapaian diversifikasi pangan sangat penting untuk dilakukan. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data Susenas modul konsumsi tahun 2005. Tujuan penelitian adalah: (1) menganalisis tingkat kecukupan energi dan protein serta keragaman konsumsi pangan berdasarkan pendekatan PPH, (2) menganalisis respon permintaan pangan terkait perubahan harga pangan, dan perubahan pendapatan, (3) melakukan estimasi kebutuhan pangan wilayah pada tahun 2008-2015 berbasis data Susenas tahun 2005. Selain Susenas, data lain yang digunakan diantaranya adalah data proyeksi penduduk hasil sensus tahun 2000, dan data pertumbuhan ekonomi. Lokasi penelitian adalah Sumatera Barat, Jawa Tengah, dan Sulawesi Tenggara yang dibedakan antara wilayah perkotaan dan perdesaan. Data yang dianalisis meliputi: Tingkat Kecukupan Energi (TKE) dan Protein (TKP); keragaman konsumsi; elastisitas permintaan pangan; dan estimasi kebutuhan konsumsi pangan tahun 2008-2015. TKE dan TKP dihitung sebagai hasil perbandingan antara konsumsi energi dan protein aktual dengan angka kecukupan energi (AKE) sebesar 2.000 kkal/kapita/hari dan protein (AKP) sebesar 52 gram/kapita/hari yang dinyatakan dalam persen. AKE dan AKP menggunakan rekomendasi WNPG 2004. Selanjutnya tingkat kecukupan energi dikelompokkan menurut klasifikasi Departemen Kesehatan (1996) yaitu: (1) TKE: <70% defisit berat, (2) TKE: 70-79% defisit sedang, (3) TKE: 8089% defisit ringan, (4) TKE: 90-119% normal, dan (5) TKE >120% kelebihan (BKP 2006). Skor keragaman konsumsi pangan dihitung dengan pendekatan skor PPH. Analisis permintaan pangan dilakukan dengan menggunakan sistem permintaan simultan model Almost Ideal Demand System (AIDS). Dengan model ini selanjutnya dihitung nilai elastisitas dari setiap kelompok pangan. Pada penelitian ini data konsumsi pangan dikelompokkan menjadi 14 kelompok pangan yaitu: (1) padi-padian, (2) terigu, (3) umbi-umbian, (4) daging unggas, (5) daging ruminansia, (6) ikan segar, 7) ikan olahan, (8) telur dan susu, (9) minyak dan lemak, (10) buah/biji berminyak, (11) kacang-kacangan, (12) gula, (13) sayur dan buah, (14) lainnya. Persamaan regresi digunakan untuk membuat estimasi kebutuhan konsumsi pangan berdasarkan respon permintaan pangan terhadap perubahan pendapatan. Kebutuhan pangan strategis yang dianalisis adalah beras, terigu, jagung, ubi kayu, daging unggas, daging ruminansia, ikan segar, ikan olahan, telur, susu, kedele, sayur, dan buah. Analisis kebutuhan pangan dihitung dengan dua pendekatan, yaitu pendekatan ekonometrika dan pendekatan ideal berdasarkan pola pangan setempat dengan skor PPH tahun 2015 sebesar 100.

ii

Hasil analisis menunjukkan bahwa rata-rata konsumsi energi telah melebihi kecukupannya kecuali di Jawa Tengah, dengan tingkat kecukupan energi sebesar 98.5% (1.969 kkal). Pada umumnya konsumsi energi di perdesaan lebih tinggi daripada perkotaan, kecuali Sulawesi Tenggara. Berdasarkan klasifikasi tingkat kecukupan energi, masih terdapat lebih dari 20% rumah tangga di tiga provinsi baik di perkotaan maupun perdesaan yang mengalami defisit energi (TKE< 90%). Konsumsi protein di tiga provinsi telah melebihi tingkat kecukupan baik di wilayah perkotaan maupun perdesaan. Secara umum konsumsi protein hewani di perkotaan lebih tinggi dibandingkan di perdesaan, diduga di perkotaan lebih banyak jenis pangan yang tersedia dan lebih mudah untuk mengakses pangan. Hasil analisis keragaman pangan menunjukkan bahwa di ketiga provinsi skor PPH Sumatera Barat 82.4; Sulawesi Tenggara 82.3 dan Jawa Tengah 80.5. Terpenuhinya kebutuhan energi dari berbagai kelompok pangan sesuai PPH, maka secara implisit kebutuhan zat gizi akan terpenuhi kecuali untuk zat gizi yang defisit dalam suatu kelompok pangan. Susunan pangan sesuai PPH, selain memenuhi kecukupan gizi juga mempertimbangkan keseimbangan gizi, daya cerna, daya terima, kuantitas, dan kemampuan daya beli. Selanjutnya melalui PPH dapat dinilai keberhasilan dari upaya diversifikasi pangan. Ditinjau dari segi jenisnya, terlihat bahwa masyarakat di ketiga provinsi masih sangat tergantung pada satu jenis makanan yaitu beras sebagai pangan pokok. Apabila terus berlanjut, dikhawatirkan kemampuan daerah untuk menyediakan pangan beras akan menurun. Hal ini bisa terjadi karena permintaannya meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk. Guna menghindari kejadian tersebut, sosialisasi/pengenalan pangan sumber karbohidrat jenis lain harus terus digalakkan. Keragaman konsumsi pangan di perdesaan relatif lebih buruk dibandingkan di perkotaan. Di ketiga provinsi skor PPH di perdesaan kurang dari 80, sementara di perkotaan berkisar antara 82.5 (Jawa Tengah) hingga 93.3 (Sulawesi Tenggara). Di perdesaan Sulawesi Tenggara skor PPH baru mencapai 78.7, sedangkan di perdesaan dua provinsi lainnya hampir sama yaitu sekitar 79. Banyak konsumsi pangan yang harus ditingkatkan hingga mencapai nilai ideal, pangan tersebut diantaranya adalah pangan hewani, sayur buah, dan kacang-kacangan. Hasil analisis elastisitas harga menunjukkan bahwa sebagian besar pangan bersifat inelastis kecuali sayur buah di Sumatera Barat (semua wilayah) dan jenis pangan lainnya di Jawa Tengah (perkotaan+perdesaan dan perkotaan). Apabila dibedakan menurut wilayah, secara umum permintaan pangan di perdesaan lebih responsif terhadap perubahan harga dibandingkan perkotaan. Hasil kajian di tiga provinsi menunjukkan bahwa semua jenis pangan yang dianalisis bersifat barang normal yang ditunjukkan oleh nilai elatisitas pendapatan yang bertanda positif. Hampir semua jenis pangan permintaannya inelastis (<1), kecuali di Sumatera Barat untuk umbi-umbian (perkotaan+perdesaan dan perdesaan), gula dan buah biji berminyak (perkotaan); di Jawa Tengah untuk buah biji berminyak (perkotaan) dan ikan segar (perdesaan), serta daging ruminansia di Sulawesi Tenggara. Umbi-umbian di Sumatera Barat bersifat elastis, diduga dari pangan tersebut merupakan barang mewah misalnya kentang. Diantara pangan umbi-umbian, kentang dikonsumsi dalam jumlah paling besar. Demikian pula dengan daging ruminansia di Sulawesi Tenggara termasuk barang mewah dan diduga masyarakat cukup menggemarinya sehingga elastis. Kenaikan pendapatan

iii

10% di Sulawesi Tenggara akan meningkatkan permintaan daging ruminansia sebesar 15.05%. Di Jawa Tengah dan Sulawesi Tenggara, pangan hewani lebih elastis dibandingkan padi-padian. Pada umumnya di ketiga provinsi padi-padian bersifat komplementer terhadap berbagai jenis pangan kecuali terhadap pangan lainnya di Sumatera Barat, ikan olahan di Jawa Tengah, serta terigu dan daging unggas di Sulawesi Tenggara. Hasil estimasi kebutuhan pangan tahun 2015 menurut pola pangan di tiga provinsi umumnya menunjukkan beberapa pangan diperkirakan akan dikonsumsi melebihi jumlah ideal, namun ada beberapa pangan yang konsumsinya kurang dari jumlah ideal. Hal ini mencerminkan adanya ketidakseimbangan gizi dalam pola konsumsi pangan masyarakat di ketiga provinsi. Diperkirakan pada tahun 2015 di Sumatera Barat konsumsi aktual dan ideal (ditulis dalam kurung) per kapita adalah: beras 141 kg (96 kg), daging unggas 9 kg (6 kg), ikan segar 29 kg (18 kg), telur 11 kg (10 kg), susu 4 kg (21 kg), kedele 5 kg (7 kg), sayur 78 kg (67 kg), dan buah 37 kg (44 kg); dan diperkirakan kebutuhan aktual dan ideal (ditulis dalam kurung) di wilayah ini adalah: beras 661.586 ton (448.387 ton), daging unggas 42.443 ton (26.799 ton), ikan segar 134.640 ton (83.528 ton), telur 52.539 ton (45.915 ton), susu 20.946 ton ( 96.382 ton), kedele 24.553 ton (34.367 ton), sayur 365.124 ton (314.867 ton), dan buah 173.688 ton (204.931 ton). Dengan demikian terdapat kesenjangan yaitu kelebihan kebutuhan untuk beras 213.198 ton (47.55%), daging unggas 15.644 ton (58.38%), ikan segar 51.112 ton (61.19%), telur 6.624 ton (14.43%), dan sayur 50.257 ton (15.96%); serta kekurangan kebutuhan untuk susu 75.436 ton (78.27%), kedele 9.815 ton (28.56%), dan buah 31.242 ton (15.25%). Di Jawa Tengah diperkirakan konsumsi aktual dan ideal per kapita adalah: beras 110 kg (89 kg), daging unggas 7 kg (8 kg), ikan segar 13 kg (8 kg), telur 8 kg (10 kg), susu 4 kg (24 kg), kedele 15 kg (9 kg), sayur 72 kg (68 kg), dan buah 32 kg (43 kg); sedangkan perkiraan kebutuhan aktual dan ideal untuk beras 3.626.501 ton (2.939.613 ton), daging unggas 216.802 ton (277.164 ton), ikan segar 422.407 ton (272.914 ton), telur 256.982 ton (333.241 ton), susu 120.870 ton (773.627 ton), kedele 488.341 ton (305.351 ton), sayur 2.377.077 ton (2.240.543 ton), dan buah 1.062.208 ton (1.408.148 ton). Terdapat kesenjangan yaitu kelebihan kebutuhan untuk beras 686.888 ton (23.37%), ikan segar 149.493 ton (54.78%), kedele 182.990 ton (59.93%), dan sayur 136.534 ton (6.09%); serta kekurangan kebutuhan untuk daging unggas 60.362 ton (21.78%), telur 76.259 ton (22.88%), susu 652.757 ton (84.38%), dan buah 345.940 ton (24.57%). Diperkirakan pada tahun 2015 di Sulawesi Tenggara konsumsi aktual dan ideal per kapita adalah: beras 133 kg (91 kg), ikan segar 53 kg (47 kg), telur 6 kg (4 kg), susu 4 kg (19 kg), kedele 4 kg (5 kg), sayur 59 kg (50 kg), dan buah 51 kg (58 kg); dan diperkirakan kebutuhan aktual dan ideal untuk beras 351.938 ton (242.240 ton), ikan segar 141.373 ton (124.898 ton), telur 15.196 ton (9.691 ton), susu 10.171 ton (50.886 ton), kedele 10.119 ton (13.879 ton), sayur 157.653 ton (131.747 ton), dan buah 135.588 ton (152.828 ton). Terdapat kesenjangan yaitu kelebhan kebutuhan untuk beras 109.698 ton (45.28%), ikan segar 16.475 ton (13.19%), telur 5.505 ton (56.81%), sayur 25.906 ton (19.66%); serta kekurangan kebutuhan untuk susu 40.715 ton (80.01%), kedele 3.759 ton (27.09%), dan buah 17.240 ton (11.28%). Kata kunci: diversifikasi pangan, Almost Ideal Demand System (AIDS), permintaan pangan

iv

@ Hak cipta milik IPB, tahun 2009 Hak Cipta dilindungi undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruhnya karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruhnya karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.

2.

ANALISIS KONSUMSI DAN KEBUTUHAN UNTUK KONSUMSI PANGAN DI PROVINSI SUMATERA BARAT, JAWA TENGAH, DAN SULAWESI TENGGARA TAHUN 2005-2015

SRI CATUR LESTARI WIDIASIH

Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Departemen Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009

vi

Judul Penelitian :

Nama : NRP : Program Studi :

Analisis Konsumsi dan Kebutuhan untuk Konsumsi Pangan di Provinsi Sumatera Barat, Jawa Tengah, dan Sulawesi Tenggara Tahun 2005-2015 Sri Catur Lestari Widiasih I051060161 Ilmu Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga

Disetujui, Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Drajat Martianto, MSi. Ketua

Yayat Heryatno, SP, MPS. Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Ilmu Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Hadi Riyadi, MS.

Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS.

Tanggal Ujian: 26 Nopember 2008

Tanggal Lulus:

vii

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Yayuk Farida Baliwati, MS.

viii

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga penulisan tesis ini dapat diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian adalah Analisis Konsumsi dan Kebutuhan untuk Konsumsi Pangan di Provinsi Sumatera Barat, Jawa Tengah, dan Sulawesi Tenggara Tahun 2005-2015. Selama mempersiapkan dan melakukan penelitian sampai akhirnya dapat menyelesaikan tesis ini, penulis selalu mendapat bimbingan dan arahan dari: Bapak Dr. Ir. Drajat Martianto, MSi (Ketua Komisi) dan Bapak Yayat Heryatno, SP, MPS. (Anggota). Kesabaran, kebajikan, dan ketelitian beliau berdua sangat membantu dalam proses penyelesaian tesis ini dan memberikan pelajaran yang berharga. Dengan penuh ketulusan hati penulis sampaikan terima kasih dan penghargaan kepada beliau berdua. Penyelesaian tesis ini juga tidak terlepas dari masukan, saran, dan koreksi dari Ibu Dr. Ir. Yayuk Farida Baliwati, MS yang bertindak sebagai penguji luar komisi pembimbing pada saat ujian tesis. Tidak lupa penulis juga menyampaikan rasa terima kasih yang sedalamdalamnya kepada: 1. Ketua Program Studi dan para dosen di lingkup Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga yang telah memberikan pengajaran dan perhatian kepada penulis selama menempuh pendidikan di IPB 2. Orangtua penulis Ibu Romawiyah dan Bapak Dachroni H. (alm), serta mertua: Ibu Supiyatun dan Bapak Soetrisno S (alm) dengan penuh cinta kasih, nasihat, dukungan, doa restu nan tulus. Semua itu takkan mampu penulis balas. 3. Suami tercinta Nuryanto dan anak-anak tersayang Ika, Dhani, Jihan, dan Ayesha, dari ketulusan, doa restu, dukungan, hiburan, dan pengertian kalian penulis mampu menyelesaikan pendidikan S2 ini 4. Kakak-kakak dan adik-adik serta saudara ipar yang senantiasa mendukung dan menghibur penulis di saat menghadapi permasalahan 5. Para Pejabat di lingkup Sekretariat Jenderal yang telah mendukung serta memberikan ijin sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan S2 6. Badan Pengembangan SDM Pertanian yang telah memberikan beasiswa kepada penulis untuk mengikuti pendidikan S2 di Sekolah Pascasarjana IPB, dan Badan Litbang Pertanian yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk ikut terlibat dalam kegiatan KKP3T sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dalam rangka penyelesaian tesis. 7. Teman-teman di Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, dengan ketelatenan, kesabaran, dan ketelitian membantu mengolah data, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini 8. Teman-teman sejawat di Biro Perencanaan Deptan, teman-teman GMK angkatan 2006/2007 maupun angakatan 2007/2008 yang senantiasa membantu dan mendukung penulis untuk segera menyelesaikan pendidikan S2 Semoga Tuhan Yang Maha Esa membalas atas budi baik Bapak/Ibu/Saudara semuanya. Mudah-mudahan karya tulis ini dapat bermanfaat.

Bogor, Januari 2009 Sri Catur Lestari Widiasih

ix

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kebumen, Provinsi Jawa Tengah tanggal 7 Nopember 1964 sebagai anak ke empat dari sembilan bersaudara, dari pasangan Ibu Romawijah dan Bapak Dachroni Hadipranoto. Penulis menikah dengan Nuryanto yang dikaruniai empat orang anak: Ika, Dhani, Jihan, dan Ayesha. Tahun 1976 penulis tamat SD Negeri 1 Kebumen, selanjutnya di kota yang sama melanjutkan ke SMP Negeri 1 dan tamat pada tahun 1980. Selanjutnya penulis diterima di SMA Negeri Kebumen dan tamat tahun 1983. Melalui Proyek Perintis II penulis diterima di IPB, tahun 1984 penulis memilih Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga serta lulus tahun 1988. Sejak 1990 penulis tercatat sebagai Pegawai Negeri Sipil di Sekretariat Jenderal Departemen Pertanian. Pada tahun 2006 penulis mendapat bantuan beasiswa dari Badan Pengembangan SDM Pertanian untuk melanjutkan pendidikan di Sekolah Pascasarjana IPB dan memilih Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga.

xi

DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL .................................................................................. DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................... PENDAHULUAN ................................................................................. Latar Belakang ................................................................................ Tujuan Umum .................................................................................. Tujuan Khusus ................................................................................. Manfaat ........................................................................................... TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................... Konsumsi Pangan dan Faktor yang Mempengaruhinya .................... Kecukupan dan Kualitas Konsumsi Pangan ............................ Faktor yang Mempengaruhi Konsumsi Pangan ....................... Permintaan dan Kebutuhan untuk Konsumsi Pangan ........................ Pengertian ............................................................................... Sistem Permintaan Pangan ........................................................ KERANGKA PEMIKIRAN .................................................................. METODE PENELITIAN ....................................................................... Desain, Sumber dan Jenis Data ........................................................ Pengolahan dan Analisis Data .......................................................... Tingkat Kecukupan Konsumsi .................................................. Keragaman Konsumsi Pangan ................................................ Elastisitas Permintaan Konsumsi Pangan ................................ Estimasi Kebutuhan untuk Konsumsi Pangan .......................... Keterkaitan Antar Metode Analisa Data .................................. Batasan Operasional .......................................................................... HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................... Keragaan Konsumsi Pangan ............................................................... Konsumsi Energi ...................................................................... Konsumsi Protein ...................................................................... Keragaman Konsumsi Pangan .................................................... Elastisitas Konsumsi Pangan .............................................................. Koefisien Pendugaan Parameter ............................................... Elastisitas Harga Sendiri ........................................................... Elastisitas Pendapatan ............................................................... Elastisitas Silang ....................................................................... Estimasi Kebutuhan untuk Konsumsi dari Berbagai Jenis Pangan tahun 2008-2015 ................................................................................ Estimasi Kebutuhan Konsumsi Aktual ....................................... Estimasi Kebutuhan Konsumsi Ideal ........................................ KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................ DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ xiii xiv 1 1 3 4 4 5 5 5 8 13 13 15 19 20 20 21 21 22 23 26 29 30 32 32 32 36 42 52 52 53 58 63 71 71 81 92 95 xii

DAFTAR TABEL
Halaman 1. Pengelompokan jenis pangan, persentase, bobot, dan skor ................... 2. Tingkat kecukupan energi di Provinsi Sumatera Barat, Jawa Tengah, dan Sulawesi Tenggara tahun 2005 ....................................................... 23

33

3. Persentase rumah tangga menurut tingkat kecukupan energi di Provinsi Sumatera Barat, Jawa Tengah, dan Sulawesi Tenggara tahun 2005 ...... 34 4. Tingkat kecukupan protein di Provinsi Sumatera Barat, Jawa Tengah, dan Sulawesi Tenggara tahun 2005 ....................................................... 5. Rataan konsumsi protein per kapita per hari menurut wilayah di Provinsi Sumatera Barat, Jawa Tengah dan Sulawesi Tenggara tahun 2005 .............................................................................................. 6. Rataan konsumsi protein hewani per kapita per hari menurut wilayah dan jenis pangan hewani di Provinsi Sumatera Barat, Jawa Tengah dan Sulawesi Tenggara tahun tahun 2005 ............................................. 7. Keragaman kualitas konsumsi pangan di Provinsi Sumatera Barat, Jawa Tengah dan Sulawesi Tenggara Sumatera Barat tahun 2005 ...... 8. Elastisitas harga sendiri menurut wilayah di Provinsi Sumatera Barat, Jawa Tengah dan Sulawesi Tenggara tahun 2005 .... 9. Elastisitas pendapatan menurut wilayah di Provinsi Sumatera Barat, Jawa Tengah dan Sulawesi Tenggara tahun 2005 .... 10. Estimasi kebutuhan pangan aktual di Provinsi Sumatera Barat tahun 2008 2015 .................................................................................. 11. Estimasi kebutuhan pangan aktual di Provinsi Jawa Tengah tahun 2008 2015 .............................................................................. 12. Estimasi kebutuhan pangan aktual di Provinsi Sulawesi Tenggara tahun 2008 2015 .................................................................................. 13. Konsumsi dan kebutuhan ideal tahun 2015 di Provinsi Sumatera Barat, Jawa Tengah dan Sulawesi Tenggara .......................................... 14. Kesenjangan antara kebutuhan konsumsi aktual dan ideal tahun 2015 di Provinsi Sumatera Barat, Jawa Tengah, dan Sulawesi Tenggara ......

37

39

40

45

55

59

78

79

80

88

91

xiii

DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1. Pengelompokan jenis pangan untuk analisis PPH ................................. 2. Pengelompokan jenis pangan untuk analisis AIDS ............................... 3. Proyeksi penduduk Provinsi Sumatera Barat, Jawa Tengah, dan Sulawesi Tenggara tahun 2000-2015 ..................................................... 4. Pertumbuhan ekonomi Provinsi Sumatera Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Indonesia tahun 2001-2005 ............................ 5. Pertumbuhan pendapatan Provinsi Sumatera Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Indonesia ......................................................... 6. Perkiraan pendapatan per kapita per bulan Provinsi Sumatera Barat, Jawa Tengah, dan Sulawesi Tenggara tahun 2008-2015 ...................... 7. Rataan per kapita per bulan menurut wilayah di Provinsi Sumatera Jawa Tengah, dan Sulawesi Tenggara tahun 2005 ................................ 8. Ratan pengeluaran konsumsi berbagai jenis pangan per kapita per bulan menurut wilayah di Provinsi Sumatera Barat, Jawa Tengah, dan Sulawesi Tenggara tahun 2005 .............................................................. 9. Rataan distribusi konsumsi protein menurut jenis pangan per kapita per hari menurut wilayah perkotaan+perdesaan di Provinsi Sumatera Barat, Jawa Tengah, dan Sulawesi Tenggara tahun 2005 ..... 10. Rataan distribusi konsumsi protein menurut jenis pangan per kapita per hari menurut wilayah perkotaan di Provinsi Sumatera Barat, Jawa Tengah, dan Sulawesi Tenggara tahun 2005 .............................. 103 105

107

108

108

109

109

110

112

113

11. Rataan distribusi konsumsi protein menurut jenis pangan per kapita per hari menurut wilayah perdesaan di Provinsi Sumatera Barat, Jawa Tengah, dan Sulawesi Tenggara tahun 2005 ................................ 114 12. Rataan konsumsi per kapita berbagai jenis pangan menurut wilayah di Provinsi Sumatera Barat tahun 2005 ................................................. 13. Rataan konsumsi per kapita berbagai jenis pangan menurut wilayah di Provinsi Jawa Tengah tahun 2005 ..................................................... 14. Rataan konsumsi per kapita berbagai jenis pangan menurut wilayah di Provinsi Sulawesi Tenggarat tahun 2005 ...........................................

115

116

117

xiv

15. Rataan distribusi konsumsi energi menurut jenis pangan per kapita per hari menurut wilayah perkotaan+perdesaan di Provinsi Sumatera Barat, Jawa Tengah, dan Sulawesi Tenggara tahun 2005 .... 16. Rataan distribusi konsumsi energi menurut jenis pangan per kapita per hari menurut wilayah perkotaan di Provinsi Sumatera Barat, Jawa Tengah, dan Sulawesi Tenggara tahun 2005 ............................... 17. Rataan distribusi konsumsi energi menurut jenis pangan per kapita per hari menurut wilayah perdesaan di Provinsi Sumatera Barat, Jawa Tengah, dan Sulawesi Tenggara tahun 2005 ............................... 18. Koefisien pendugaan dari sistem permintaan pangan wilayah perkotaan +perdesaan di Provinsi Sumatera Barat tahun 2005 ............. 19. Koefisien pendugaan dari sistem permintaan pangan untuk wilayah perkotaan di Provisni Sumatera Barat tahun 2005 ................................. 20. Koefisien pendugaan dari sistem permintaan pangan untuk wilayah perdesaan di Provinsi Sumatera Barat tahun 2005 ................................ 21. Koefisien pendugaan dari sistem permintaan pangan untuk wilayah perkotaan+perdesaan di Provinsi Jawa Tengah tahun 2005 .................. 22. Koefisien pendugaan dari sistem permintaan pangan untuk wilayah perkotaan di Provinsi Sumatera Barat tahun 2005 ................................. 23. Koefisien pendugaan dari sistem permintaan pangan untuk wilayah perdesaan di Provinsi Jawa Tengah tahun 2005 .................................... 24. Koefisien pendugaan dari sistem permintaan pangan di Provinsi Sulawesi Tenggara tahun 2005 .............................................................. 25. Elastisitas harga silang menurut wilayah perkotaan+perdesaan di Provinsi Sumatera Barat, Jawa Tengah, dan Sulawesi Tenggara tahun 2005 .............................................................................................. 26. Elastisitas harga silang menurut wilayah perkotaan di Provinsi Sumatera Barat dan Jawa Tengah tahun 2005 ....................................... 27. Elastisitas harga silang menurut wilayah perdesaan di Provinsi Sumatera Barat, Jawa Tengah, dan Sulawesi Tenggara tahun 2005 ..... 28. Estimasi konsumsi aktual berbagai jenis pangan per kapita per hari di Provinsi Sumatera Barat tahun 2008-2015 ............................................

118

119

120

121

123

125

127

129

131

133

134

136

138

140

29. Estimasi konsumsi aktual berbagai jenis pangan per kapita per tahun di Provinsi Sumatera Barat tahun 2008-2015 ............................................ 141 xv

30. Estimasi konsumsi aktual berbagai jenis pangan per kapita per hari di Provinsi Jawa Tengah tahun 2008-2015 ................................................

142

31. Estimasi konsumsi aktual berbagai jenis pangan per kapita per tahun di Provinsi Jawa Tengah tahun 2008-2015 ................................................ 143 32. Estimasi konsumsi aktual berbagai jenis pangan per kapita per hari di Provinsi Sulawesi Tenggara tahun 2008-2015 ......................................

144

33. Estimasi konsumsi aktual berbagai jenis pangan per kapita per tahun di Provinsi Sulawesi Tenggara tahun 2008-2015 ...................................... 145 34. Persamaan regresi hubungan antara konsumsi dengan pengeluaran di Provinsi Sumatera Barat ........................................................................ 35. Persamaan regresi hubungan antara konsumsi dengan pengeluaran di Provinsi Jawa Tengah ............................................................................ 36. Persamaan regresi hubungan antara konsumsi dengan pengeluaran di Provinsi Sulawesi Tenggara ...................................................................

146

146

147

xvi

PENDAHULUAN
Latar Belakang Salah satu butir yang tercantum dalam pembangunan milenium (Millenium Development Goals) adalah menurunkan proporsi penduduk miskin dan kelaparan menjadi setengahnya antara tahun 1990-2015. Dalam rangka pencapaian tujuan tersebut, pada Konferensi Dewan Ketahanan Pangan tahun 2006 para Gubernur telah bersepakat untuk menurunkan jumlah penduduk yang miskin dan kelaparan di wilayahnya masing-masing minimal satu persen setiap tahunnya (BKP 2006a). Sampai dengan Maret 2006 jumlah penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan cukup tinggi, yaitu 17.75 persen (BPS 2006a). Menurut para ahli, kemiskinan sangat dekat dengan kelaparan. Meskipun upaya penurunan penderita kelaparan telah dilaksanakan namun sampai kini masih terdengar adanya kasus gizi kurang maupun gizi buruk. Kelaparan sebagai akibat tidak cukup pangan baik jumlah maupun kualitasnya. Pangan merupakan salah satu kebutuhan pokok yang pemenuhannya merupakan bagian dari hak azazi manusia (HAM), sebagaimana diamanatkan dalam UU Pangan No 7 tahun 1996. Dalam rangka menindaklanjuti pelaksanaan UU Pangan tersebut, maka pembangunan di bidang pangan harus diwujudkan secara merata di seluruh wilayah sepanjang waktu, dengan memanfaatkan sumberdaya, kelembagaan dan budaya lokal. Pemenuhan hak masyarakat Indonesia akan pangan adalah salah satu bentuk dari tujuan pembangunan ketahanan pangan yang antara lain dapat diwujudkan melalui program diversifikasi pangan. Pada Konferensi Dewan Ketahanan Pangan yang dihadiri para Gubernur dan Bupati/Walikota, diversifikasi pangan diangkat sebagai salah satu isu utama dan dituangkan dalam salah satu butir kesepakatan untuk dilaksanakan sesuai dengan kondisi dan situasi daerah, dengan mengutamakan sumber pangan lokal untuk mencegah ketergantungan beras sesuai dengan Pola Pangan Harapan (PPH). Cikal bakal program diversifikasi pangan telah ada sejak lebih dari empat puluh tahun yang lalu, namun demikian tingkat keberhasilan program tersebut sampai kini belum sesuai dengan yang diharapkan. Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi

2 Nasional (Susenas) tahun 2005 yang diolah oleh Badan Ketahanan Pangan untuk Indonesia/nasional diketahui rata-rata konsumsi energi sebesar 1.997 kkal per kapita per hari, sedangkan protein sebesar 55.7 gram/kapita/hari (BKP 2007). Konsumsi energi tersebut masih berada di bawah Angka Kecukupan Energi sesuai Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) 2004, yaitu sebesar 2.000 kkal/kapita/hari. Kecukupan konsumsi protein yang dianjurkan adalah sebesar 52 gram/kapita/hari. Kontribusi energi konsumsi pangan penduduk Indonesia terbesar adalah dari kelompok padi-padian terutama beras. Hal tersebut menyebabkan pola pangan penduduk belum sesuai pola pangan ideal, dimana skor Pola Pangan Harapan tersebut baru mencapai 79.1 (Bappenas 2007). Rendahnya skor terkait dengan ketidakseimbangan pola konsumsi pangan yang antara lain dicirikan oleh masih sangat tingginya kontribusi energi padi-padian dalam pola konsumsi sebesar 1.241 kkal (62.1% dari total energi), rendahnya konsumsi sayuran dan buah-buahan yang hanya menyumbang energi sebesar 93 kkal (4.7% dari total energi), pangan hewani (139 kkal) dan kacang-kacangan (67 kkal) (BKP 2006b).

Ketidakseimbangan pola konsumsi tersebut tidak menguntungkan, karena peningkatan produksi pangan banyak mengalami rintangan. Konversi lahan pertanian tanaman pangan yang semakin marak sepanjang tahun, akan menghambat pencapaian pemenuhan produksi pangan. Pengalihan fungsi lahan pertanian banyak terjadi di Pulau Jawa terutama untuk perumahan, industri, maupun pembangunan prasarana transportasi. Kejadian tersebut sangat

disayangkan, karena pulau ini dengan luas daratan 6.5% dari daratan Indonesia memasok kebutuhan pangan nasional sebesar 53% (Kompas 2008). Martianto (1995) dalam laporan penelitiannya menerangkan bahwa dengan membaiknya pendapatan penduduk ternyata diikuti pula oleh semakin bergesernya pola konsumsi pangan pokok ke arah pola konsumsi tunggal, yaitu pola beras. Komposisi pangan yang ideal sesuai dengan kaidah PPH, khususnya dari kelompok pangan padi-padian adalah 50% (setara 1.000 kkal), sedangkan untuk kelompok pangan sayur dan buah sebesar 6% dari total kecukupan energi. Peningkatan kualitas dan kuantitas konsumsi pangan yang ideal memerlukan upaya-upaya penyediaan pangan, peningkatan pendapatan dan daya beli yang

3 diiringi dengan perbaikan pengetahuan gizi. Hal ini disebabkan konsumsi pangan yang defisit pada umumnya dari kelompok pangan sumber protein, serta sayuran dan buah-buahan yang relatif mahal harganya. Melalui upaya peningkatan pengetahuan gizi, memungkinkan pengelolaan sumberdaya akan lebih baik, sehingga masyarakat dapat memilih jenis bahan pangan yang bermutu gizi tinggi dengan harga terjangkau. Oleh karenanya upaya diversifikasi konsumsi pangan masih selalu menjadi tujuan dalam berbagai kebijakan dan program pembangunan ketahanan pangan hingga kini. Dalam upaya perbaikan gizi, Menteri Pertanian pada Sidang Regional Dewan Ketahanan Pangan tahun 2007 mencanangkan kembali pengembangan diversifikasi konsumsi pangan berbasis pangan lokal. Meskipun sebenarnya kegiatan ini sudah dilaksanakan beberapa waktu yang lalu. Target dari kegiatan tersebut adalah melaksanakan percepatan diversifikasi konsumsi pangan sehingga pada tahun 2015 PPH masyarakat Indonesia mendekati skor 100, artinya masyarakat telah menerapkan pola makan yang beragam, bergizi, seimbang, dan aman. Salah satu upaya pencapaian target tersebut adalah penyediaan pangan yang cukup, dengan berorientasi pada kecukupan pangan dan gizi penduduk. Dalam perencanaan penyediaan pangan harus memperhatikan beberapa faktor

diantaranya adalah perilaku konsumsi pangan dan prinsip gizi seimbang. Berdasarkan permasalahan tersebut, maka dilakukan pengkajian (analisa) yang mendalam tentang keragaan konsumsi pangan yang tercermin dari hasil skor mutu gizi konsumsi pangan, serta respon permintaan pangan akibat perubahan harga pangan itu sendiri, harga pangan lain serta perubahan pendapatan. Kajian seperti ini diharapkan dapat memberikan informasi yang lebih rinci tentang perilaku konsumsi pangan. Informasi yang dihasilkan diharapkan dapat bermanfaat bagi perencanaan kebijakan dan program perbaikan pangan dan gizi khususnya dalam rangka pencapaian gerakan percepatan diversifikasi konsumsi pangan. Tujuan Umum Secara umum tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis konsumsi pangan pada beberapa provinsi (Sumatera Barat, Jawa Tengah, Sulawesi

4 Tenggara) dan keterkaitannya dengan faktor pendapatan, harga sendiri, dan harga pangan lain, serta kebutuhan untuk konsumsi pangan di ketiga wilayah tersebut. Tujuan Khusus 1. Menilai tingkat kecukupan konsumsi dan keragaman konsumsi pangan rumahtangga per kapita berdasarkan pendekatan PPH 2. Menganalisis respon permintaan pangan terkait perubahan harga pangan sendiri, harga pangan lain, dan perubahan pendapatan 3. Melakukan estimasi kebutuhan pangan wilayah pada tahun 2008-2015 berbasis data Susenas tahun 2005 Manfaat 1. Memberikan informasi kuantitas dan kualitas konsumsi pangan dalam kaitannya dengan perubahan harga pangan dan perubahan pendapatan 2. Memberikan informasi kebutuhan pangan untuk konsumsi sampai dengan tahun 2015. Informasi tersebut diharapkan dapat bermanfaat bagi para pemangku kebijakan sebagai bahan pertimbangan dalam penyusunan perencanaan kebijakan pangan dalam rangka mencukupi konsumsi pangan dan gizi di wilayah

TINJAUAN PUSTAKA
Konsumsi Pangan dan Faktor yang Mempengaruhinya Dikemukakan oleh Maslow, pangan merupakan salah satu kebutuhan fisiologis, yaitu kebutuhan dasar manusia untuk mempertahankan hidup (Sumarwan 2003). Pangan merupakan kebutuhan pokok yang paling mendasar bagi manusia, karenanya pemenuhan kebutuhan pangan merupakan bagian dari hak azasi individu. Pemenuhan kebutuhan pangan sangat penting sebagai komponen dasar untuk mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas. Mengingat pentingnya memenuhi kecukupan pangan, setiap negara akan mendahulukan pembangunan ketahanan pangan sebagai fondasi bagi

pembangunan sektor-sektor lainnya (Dewan Ketahanan Pangan 2006). Hak atas kecukupan pangan tidak dapat dilepaskan dari masalah hak azazi manusia. Aspek gizi memandang bahwa tujuan mengkonsumsi pangan adalah memperoleh sejumlah zat gizi yang diperlukan tubuh, sehingga bila hak atas pangan terpenuhi, maka kualitas hidup yang baik mencakup status gizi dan kesehatan akan tercapai (Khomsan 2002). Jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi tidak saja dipengaruhi oleh produksi, ketersediaan pangan, tetapi juga daya beli, kesukaan, pendidikan, nilai sosial budaya yang berlaku di masyarakat. Kecukupan dan Kualitas Konsumsi Pangan a. Angka Kecukupan Energi dan Protein Dikemukakan pula oleh Hardinsyah dan Martianto (1989), agar hidup sehat dan dapat mempertahankan kesehatannya manusia memerlukan sejumlah zat gizi. Jumlah zat gizi yang diperoleh melalui konsumsi pangan harus mencukupi kebutuhan tubuh untuk melakukan kegiatan, pemeliharaan pertumbuhan bagi yang masih dalam taraf pertumbuhan. Kekurangan zat gizi terutama energi dan protein pada tahap awal akan menimbulkan rasa lapar, akan tetapi bila berlangsung cukup lama akan berakibat berat badan menurun disertai dengan menurunnya produktivitas kerja. Apabila kekurangan berlanjut terus akan menyebabkan marasmus, kwashiorkor atau tubuh, dan

6 marasmus dan kwashiorkor. Penanganan yang terlambat akan mengakibatkan mudah terkena infeksi yang dapat berakhir dengan kematian. Sejumlah zat gizi minimal yang harus dipenuhi dari konsumsi makanan disebut sebagai kebutuhan gizi. Konsumsi yang berlebih maupun kekurangan dan berlangsung dalam jangka waktu lama akan berbahaya bagi kesehatan (Hardinsyah dan Martianto 1989). Kebutuhan gizi didefinisikan pula sebagai kebutuhan minimal zat gizi agar dapat hidup sehat, sedagkan kecukupan gizi adalah jumlah masing-masing zat gizi yang sebaiknya dipenuhi seseorang agar hampir semua orang (sekitar 97.5% populasi) hidup sehat. Angka kecukupan energi dan protein berguna untuk mengukur tingkat konsumsi, perencanaan konsumsi dan ketersediaan pangan. Menurut hasil WNPG tahun 2004, Angka Kecukupan Energi (AKE) rata-rata orang Indonesia untuk tingkat konsumsi sebesar 2.000 kalori dan sebesar 2.200 kalori untuk tingkat ketersediaan. Angka Kecukupan Protein (AKP) pada tingkat konsumsi sebesar 52 gram sedangkan pada tingkat ketersediaan sebesar 57 gram. b. Kualitas Konsumsi Pangan Keanekaragaman konsumsi pangan merupakan pencerminan dari

mutu/kualitas pangan. Penilaian kualitas pangan berdasarkan keragaman dan keseimbangan komposisi energi dapat dilakukan dengan pendekatan Pola Pangan Harapan. Pola Pangan Harapan (PPH) pertama kali diperkenalkan oleh FAORAPA pada tahun 1989, dan selanjutnya dikembangkan oleh Departemen Pertanian untuk menjabarkan penganekaragaman pangan melalui Workshop yang diselenggarakan bersama dengan FAO. Penjabaran ini dikenal dengan suatu pendekatan Desirable Dietary Pattern dan pada saat ini lebih dikenal dengan Pola Panga Harapan. Pola Pangan Harapan merupakan kumpulan beragam jenis dan jumlah kelompok pangan utama yang dianjurkan untuk memenuhi kebutuhan energi dan zat gizi pada komposisi yang seimbang. Pola pangan ini dapat digunakan sebagai ukuran keseimbangan dan keanekaragaman gizi (Hardinsyah et al. 2001). Selanjutnya dijelaskan bahwa dengan terpenuhinya kebutuhan energi dari berbagai kelompok pangan sesuai PPH, secara implisit kebutuhan zat gizi juga

7 terpenuhi kecuali untuk zat gizi yang sangat defisit dalam suatu kelompok pangan. Oleh karena itu, skor PPH mencerminkan mutu gizi konsumsi dan keragaman konsumsi pangan. Disamping itu dalam pembobotan setiap kelompok pangan telah mempertimbangkan kepadatan energi, zat gizi esensial, zat gizi mikro, kandungan serat, volume pangan dan tingkat kelezatan (Riyadi 1996). Penelitian oleh Martianto dan Ariani (2004) terhadap konsumsi pangan yang dianalisa dari Susenas, menunjukkan bahwa selama 10 tahun terakhir (1993 2002) telah terjadi peningkatan mutu gizi konsumsi pangan masyarakat Indonesia. Skor mutu gizi pangan yang dicerminkan oleh skor PPH bergerak dari 55.2 (1993) menjadi 71.8 (2002). Namun seiring dengan krisis ekonomi yang terjadi telah menurunkan mutu gizi konsumsi pangan masyarakat dari skor 69.8 (1996) menjadi 62.4 (1999). Rendahnya mutu gizi terjadi akibat rendahnya tingkat kecukupan energi di satu sisi dan ketidakseimbangan komposisi pangan yang dikonsumsi. Selanjutnya disampaikan pula upaya-upaya yang diperlukan untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas konsumsi pangan untuk mencapai pola konsumsi pangan yang ideal (PPH). Upaya tersebut diantaranya adalah: upaya yang secara langsung dapat mempengaruhi perbaikan mutu gizi, seperti peningkatan pendapatan dan daya beli yang diiringi dengan perbaikan pengetahuan gizi. Peningkatan pengetahuan gizi memungkinkan pengelolaan sumberdaya secara lebih baik, sehingga masyarakat akan mampu memilih jenis pangan bermutu gizi tinggi dengan harga yang terjangkau. Dalam rangka pembangunan ketahanan pangan, sesuai dengan Kebijakan Umum Ketahanan Pangan 2006-2009, disebutkan bahwa pada kurun waktu tersebut kualitas konsumsi pangan mencapai skor PPH minimal 80 (padi-padian 275 gr, umbi-umbian 100 gr, pangan hewani 150 gr, kacang-kacangan 35 gr, sayuran dan buah 250 gr). Diharapkan pula pada periode yang sama konsumsi pangan per kapita dapat memenuhi kecukupan energi minimal 2.000 kkal/hari dan protein sebesar 52 gram/hari (Dewan Ketahanan Pangan 2006). Komposisi protein yang dianjurkan adalah 80% nabati dan 20% hewani. Martianto (2004) menyarankan besarnya komposisi pangan hewani untuk tingkat konsumsi per kapita per hari adalah sebagai berikut: 65 gram pangan hewani asal ruminansia dan unggas dan 85 gram berasal dari ikan. Komposisi yang dianjurkan

8 dari pangan ruminansia dan unggas adalah: daging ruminansia 12 gram, daging unggas 22 gram, telur 17 gram, dan susu 14 gram (BKP 2006b). Berdasarkan data Susenas yang telah diolah Badan Ketahanan Pangan, diperoleh skor PPH dari penduduk Indonesia tahun 1999-2005 mengalami peningkatan, adalah sebagai berikut: 66.3 (1999), 72.6 (2002), 77.5 (2003), 76.8 (2004), dan 79.1 pada tahun 2005 (BKP 2006b). Namun demikian komposisi pangan yang ada masih didominasi oleh kelompok padi-padian. Komposisi yang ideal sesuai dengan PPH, kelompok pangan ini seharusnya tidak lebih dari 50% dari total Angka Kecukuan Energi. Kelompok padi-padian pada periode tersebut menyumbang lebih dari 60%. Hal ini sangat memprihatinkan karena dikhawatirkan akan terjadi ketergantungan pada satu jenis pangan saja, yaitu beras. Ketergantungan pada salah satu jenis pangan akan mengakibatkan sistem ketahanan pangan yang rapuh. Oleh karenanya perlu dilakukan upaya diversifikasi pangan untuk meningkatkan ketahanan pangan tersebut. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 68 tahun 2002, diversifikasi atau penganekaragaman pangan dilakukan dengan cara meningkatkan keanekaragaman pangan, meningkatkan teknologi pengolahan dan produk pangan, serta meningkatkan kesadaran masyarakat untuk mengkonsumsi aneka ragam pangan dengan prinsip gizi seimbang. Upaya sosialisasi diversifikasi diarahkan pada diversifikasi konsumsi pangan beragam, bergizi dan berimbang berbasis sumberdaya pangan lokal sesuai potensi daerah (Husodo dan Muchtadi 2004). Faktor yang Mempengaruhi Konsumsi Pangan a. Pengetahuan Gizi Menurut Hardinsyah (2007), terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi keragaman konsumsi pangan keluarga, yaitu bila keluarga memiliki cukup akses secara ekonomi dan pemenuhan kebutuhan pangan, serta pengetahuan gizi orang tua yang baik. Selanjutnya tingkat pengetahuan gizi yang baik dapat mewujudkan perilaku atau kebiasaan makan yang baik pula. Beberapa hasil penelitian sebagaimana disebutkan dalam review Hardinsyah (2007), dijelaskan bahwa tingkat pengetahuan gizi yang baik tidak selalu terwujud dalam perilaku makan

9 yang baik. Karena adanya faktor daya beli pangan yang rendah, keterbatasan waktu untuk mengolah makanan atau mempersiapkan makanan. Keluarga/ masyarakat miskin tidak dapat mengkonsumsi beraneka ragam pangan, meskipun mereka dekat dengan pasar yang menyediakan kebutuhan pangan dan memiliki pengetahuan gizi yang baik pula. Pengetahuan gizi dapat mempengaruhi keragaman konsumsi pangan penduduk. Namun demikian pengaruh positif ini dapat ditiadakan/berubah oleh beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut adalah daya beli atau ekonomi, ketersediaan waktu untuk membeli, mengolah dan menyiapkan makanan, preferensi atau kesukaan pangan, kepercayaan terhadap jenis pangan, dan ketersediaan pangan. Selain faktor tersebut, review Hardinsyah (2007) menyebutkan ada faktor lain yang berpengaruh terhadap keragaman konsumsi pangan, yaitu pendidikan gizi, paparan media masa dan pengalaman gizi, usia kedua orang tua, dan partisipasi ibu dalam kegiatan sosial. b. Pendapatan Menurut Harper et al. dalam Suhardjo (1989) ada empat faktor yang

mempengaruhi jumlah dan jenis pangan yag dikonsumsi, yaitu: produksi pangan untuk keperluan rumah tangga, pengeluaran untuk pangan rumah tangga, pengetahuan gizi, dan tersedianya pangan. Pengeluaran pangan dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya adalah subsidi pangan oleh pemerintah, pangan yang dibagi-bagikan ke masyarakat, jumlah dan ragam pangan yang dibeli, harga pangan di pasar, persediaan pangan yang dapat diterima di pasaran, jumlah pendapatan yang dikeluarkan untuk pangan serta pendapatan rumah tangga. Dari hasil penelitian Martianto dan Ariani (2004), variabel pendapatan atau daya beli masyarakat merupakan faktor utama dalam konsumsi pangan. Dari hasil penelitiannya, ditemukan bahwa pada kondisi sebelum krisis ekonomi, konsumsi pangan mengalami peningkatan, dan sebaliknya pada saat krisis ekonomi konsumsi pangan mengalami penurunan. Menurut Madanijah (2006), disebutkan bahwa konsumsi pangan merupakan kumpulan informasi tentang jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi oleh seseorang atau sekelompok orang pada waktu tertentu. Banyak faktor yang

10 berpengaruh, diantaranya adalah faktor ekonomi dan harga. Perubahan pendapatan secara perlahan-lahan dapat mempengaruhi perubahan konsumsi pangan. Meningkatnya pendapatan berarti memperbesar peluang untuk membeli pangan dengan kuantitas dan kualitas yang lebih baik. Namun sebaliknya rendahnya pendapatan akan menyebabkan penurunan kuantitas dan kualitas pangan yang dikonsumsi. Semakin tinggi penghasilan semakin menurun bagian penghasilan yang dialokasikan untuk membeli pangan. Bila penghasilan keluarga semakin membaik, maka jumlah uang yang dialokasikan untuk pembelian pangan meningkat, sampai tingkat tertentu dimana uang pembeli pangan itu tidak bertambah secara berarti atau dianggap tetap dan tidak banyak berubah. Hal tersebut sesuai dengan teori Engel yang menyatakan bahwa semakin sejahtera seseorang maka semakin kecil persentase pendapatannya untuk membeli pangan (Sumarwan 2003). Menurut Khumaidi (1989), faktor ekonomi merupakan determinan penting yang mewarnai kebiasaan makan. Pada masyarakat dengan tingkat ekonomi yang tinggi/kuat, akan mempunyai kebiasaan makan yang cenderung beras, dan ada kecenderungan mengkonsumsi lebih dari cukup. Sementara bagi masyarakat dengan tingkat ekonomi yang lebih rendah mempunyai kebiasaan makan yang mempunyai nilai gizi kurang dari angka kecukupan baik jumlah maupun mutunya. Pada wilayah perkotaan ditemukan adanya peningkatan pendapatan atau daya beli, diikuti oleh munculnya masalah gizi lebih dan disertai dengan gejala penyakit degeneratif (Susanto, 1994). Sejalan dengan pendapat Khumaidi, Hardinsyah (2007) dalam reviewnya menyebutkan bahwa pendapatan merupakan determinan yang dikenal luas dalam model perilaku konsumen, dan model penawaran pangan. Rumah tangga sebagai satuan/unit primer penghasil pendapatan merupakan unit primer konsumsi pangan. Pandangan umum mengenai hubungan antara pendapatan dan keragaman konsumsi pangan berasal dari bukti empiris bahwa ada perbedaan pola konsumsi pangan pada kelompok masyarakat menengah ke atas dan menengah ke bawah. Pangan sumber energi (bahan pangan pokok), lebih utama dipilih kelompok

11 menengah ke bawah, sedangkan kelompok menengah atas pola konsumsinya lebih beragam dengan lebih banyak mengkonsumsi pangan sumber protein dan vitamin. c. Faktor Budaya Sanjur (1982), mengemukakan bahwa banyak faktor yang berkait erat dengan konsumsi pangan. Dalam model multidimensional, digambarkan bahwa konsumsi pangan merupakan fungsi dari kebiasaan makan, preferensi, ideologi, dan sosial budaya. Dimana kebiasaan makan adalah cara seseorang atau sekelompok orang memilih pangan dan memakannya sebagai reaksi terhadap pengaruh fisiologik, psikologik, budaya dan sosial. Seseorang atau keluarga menganut kepercayaan tertentu mengenai makanan karena adanya tekanan sosial dari sistem budaya masyarakat, pada akhirnya akan menghasilkan sikap mental yang relatif konsisten di dalam proses pemilihan makanan. Tumbuh dan berkembangnya sikap mental tersebut terjadi melalui proses sosialisasi dalam keluarga, di mana keluarga memiliki acuan yang kuat untuk mengatur tentang makanan yang boleh dan tidak boleh untuk dikonsumsi. Di wilayah yang terpencil, terisolir atau tertinggal dapat ditemukan pola konsumsi makan yang spesifik pada kalangan keluarga dalam masyarakat bersangkutan. Penduduk tersebut umumnya jarang berkomunikasi dengan media massa, dan akses terhadap informasi pangan dan gizi sangat terbatas (Susanto (1994). Madanijah (2006), menjelaskan bahwa kebudayaan suatu masyarakat berkekuatan untuk mempengaruhi seseorang atau sekelompok orang terhadap pemilihan bahan makanan yang akan dikonsumsi. Dimana budaya adalah merupakan cara hidup manusia yang berfungsi menjamin kelestarian hidup dan kesejahteraan masyarakat dengan memberikan pengalaman yang teruji dalam upaya memenuhi kebutuhan orang-orang yang tergabung dalam masyarakat yang bersangkutan. Budaya mengajarkan orang tentang cara bertingkah laku dan berusaha untuk memenuhi kebutuhan dasar biologi. Seseorang dapat menentukan apa yang akan digunakan sebagai makanan, untuk siapa, dan dalam keadaan bagaimana makanan tersebut dimakan. Beberapa penemuan dari hasil para peneliti menyatakan bahwa faktor sosiobudaya sangat berperan dalam proses konsumsi pangan dan terjadinya masalah

12 gizi di berbagai masyarakat dan negara. Unsur budaya mampu menciptakan suatu kebiasaan makan penduduk dan kadang-kadang bertentangan dengan prinsipprinsip ilmu gizi (Madanijah 2006). Selamatan dan sesaji adalah tuntutan budaya, karenanya masyarakat berusaha untuk mematuhi. Makanan yang disajikan pada kegiatan tersebut kadang bermutu gizi tinggi, tetapi tidak untuk dikonsumsi keluarga akan tetapi dibagikan ke orang lain. Aturan agama yang melarang penganutnya untuk mengkonsumsi daging sapi, karena binatang tersebut dianggap suci, ataupun melarang umatnya untuk mengkonsumsi daging babi. Melihat kedua jenis pangan tersebut dilihat dari segi gizi cukup potensial sebagai pangan sumber protein hewani, karena peraturan dalam agama bersifat absolut, maka sebagai penganutnya akan mematuhi larangan tersebut. Uraian tersebut di atas kiranya dapat disimpulkan bahwa makanan dapat dijadikan sebagai identitas/fungsi budaya, makanan sebagai fungsi religi atau magis (Susanto 1991). Pada budaya daerah tertentu makanan dikaitkan dengan upacara khusus. Di daerah Bali ditemukan berbagai jenis jajanan/makanan yang digunakan sebagai sesaji dalam upacara keagamaan. Begitu pula dengan makanan pokok di beberapa wilayah Indonesia termasuk salah satu jenis makanan yang disakralkan. Beberapa contoh adalah: sebelum panen padi dilakukan upacara pemujaan kepada Dewi Sri, sebelum pohon sagu ditebang dilakukan upacara untuk Agustina. d. Faktor Ekologi Jumlah pangan yang tersedia untuk konsumsi tergantung pada kondisi lingkungan (ekologi) seperti iklim, tanah, irigasi, dan sebagainya. Pangan yang dikonsumsi akan berpengaruh terhadap status gizinya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa masalah gizi dapat dianggap sebagai masalah ekologi sebab merupakan hasil akhir dari berbagai pengaruh faktor-faktor yang saling berinteraksi di dalam ekologi fisik, biologis dan budaya (Jellife and Jellife 1989). Ekologi berperan penting dan dominan dalam pembentukan pola konsumsi pangan, dengan menyediakan bahan pangan untuk dikonsumsi manusia. Kondisi ekosistem yang menentukan tersedianya bahan pangan dapat diubah oleh manusia

13 untuk mempengaruhi jenis tanaman dan hewan yang dibudidayakan. Karena sifat ekologi antar wilayah berbeda, maka pola konsumsi antar wilayahpun berbeda. Pola konsumsi pangan penduduk dapat berbeda antar wilayah maupun antar budaya. Jenis pangan yang dikonsumsi ditentukan oleh pangan yang diproduksi atau tersedia di lingkungannya. Kebiasaan makan terbentuk karena interaksi manusia dengan lingkungan fisik, sosial budaya dan ekonomi. Dengan demikian kebiasaan makan inipun dapat berubah dalam jangka panjang karena faktor lingkungan fisik, sosial budaya, dan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi, peningkatan ekonomi keluarga, kemudahan untuk mengakses pangan termasuk fast food dan iklan/promosi telah merubah perilaku dan kebiasaan makan penduduk Indonesia (Hardinsyah 2007). Permintaan dan Kebutuhan untuk Konsumsi Pangan Pengertian Menurut Sukirno (2005), permintaan seseorang atau suatu masyarakat terhadap sesuatu barang ditentukan oleh banyak faktor. Faktor-faktor tersebut diantaranya adalah harga barang itu sendiri, harga barang lain yang berkaitan erat dengan barang tersebut, pendapatan rumah tangga dan pendapatan rata-rata masyarakat. Selanjutnya dijelaskan bahwa dalam hukum permintaan terdapat sifat hubungan antara permintaan dan tingkat harga. Harga suatu barang semakin rendah, maka permintaannya akan semakin meningkat, dan sebaliknya semakin mahal/tinggi harga barang maka semakin sedikit permintaan akan barang tersebut. Antara permintaan dan tingkat harga memiliki sifat hubungan tersebut, oleh Sukirno (2005) dijelaskan karena pertama: sifat hubungan tersebut disebabkan kenaikan harga mengakibatkan pembeli mencari barang lain yang dapat digunakan sebagai pengganti terhadap barang yang mengalami kenaikan harga. Apabila harga turun maka orang tersebut akan mengurangi pembelian terhadap barang lain yang sama jenisnya dan menambah pembelian terhadap barang yang mengalami penurunan harga. Kedua: kenaikan harga mengakibatkan pendapatan riil pembeli berkurang. Pendapatan yang merosot memaksa pembeli untuk mengurangi pembeliannya terhadap berbagai jenis barang dan terutama barang yang mengalami kenaikan harga.

14 Guna mengetahui pengaruh perubahan harga terhadap perubahan

permintaan, diperlukan suatu ukuran. Alat ukur untuk mengetahui secara kuantitatif dinamakan elastisitas permintaan. Elastisitas diartikan sebagai besarnya perubahan relatif dari suatu variabel yang dijelaskan yang disebabkan oleh perubahan relatif dari suatu variabel penjelas. Karena elastisitas merupakan perubahan dalam relatif maka besarnya nilai elastisitas dinyatakan dalam angka absolut tetapi dibaca dengan mempergunakan persentase (Kelana 1996). Oleh Sukirno (2005), elastisitas permintaan dibedakan pada tiga konsep yaitu: elastisitas permintaan harga, elastisitas pendapatan, dan elastisitas permintaan silang. Nilai koefisien elastisitas berkisar antara nol dan tak terhingga. Elastisitas bernilai nol apabila perubahan harga tidak akan mengubah jumlah yang diminta, jumlah yang diminta tetap meskipun harga mengalami kenaikan atau penurunan. Sedangkan elastisitas bernilai tak terhingga terjadi apabila pada suatu harga tertentu pasar sanggup membeli semua barang yang ada di pasar. Suatu barang dikatakan tidak elastis apabila koefisien elastisitas permintaan antara nol dan satu, yaitu apabila persentase perubahan harga adalah lebih besar daripada persentase perubahan jumlah yang diminta. Dikatakan bersifat elastis apabila koefisien elastisitasnya bernilai lebih dari satu, dan persentase perubahan permintaan lebih besar daripada persentase perubahan harga. Koefisien yang menunjukkan besarnya perubahan permintaan terhadap sesuatu barang apabila terjadi perubahan terhadap harga barang lain disebut elastisitas permintaan silang. Nilai elastisitas silang ini bernilai negatif, maka barang tersebut merupakan barang penggenap, saling melengkapi (barang komplementer). Yaitu apabila harga barang Y naik maka jumlah barang X yang diminta akan turun. Sedangkan nilai elastisitas silang bernilai positif, maka barang tersebut merupakan barang substitus (saling menggantikan). Hal ini berarti harga barang Y naik maka jumlah barang X yang diminta akan naik pula (Kelana 1996 dan Sukirno 2005). Koefisien yang menunjukkan besarnya perubahan permintaan terhadap sesuatu barang akibat perubahan pendapatan dinamakan elastisitas permintaan pendapatan. Nilai elastisitas pendapatan bernilai positif, maka dapat dikatakan

15 bahwa barang tersebut bersifat normal. Artinya kenaikan pendapatan akan menyebabkan kenaikan permintaan. Nilai elastisitas pendapatan negatif, dikatakan barang tersebut termasuk barang inferior. Terhadap barang inferior seseorang akan mengurangi permintaan apabila pendapatan bertambah (Kelana 1996 dan Sukirno 2005). Elastisitas pendapatan dikatakan tidak elastis apabila nilai koefisiennya kurang dari satu, dan elastisitas pendapatan disebut elastis apabila nilai koefisiennya lebih dari satu. Menurut Sukirno (2005), berbagai jenis makanan dan hasil pertanian mempunyai elastisitas pendapatan yang kurang elastis, pertambahan permintaan berkembang lebih lambat daripada pertambahan pendapatan. Beberapa kajian mengenai elastisitas, di wilayah DI Aceh, DKI Jakarta, DI Yogyakarta, dan Irian Jaya menunjukkan hasil elastisitas harga sendiri komoditas pangan hewani negatif (Martianto 1995). Elastisitas negatif berarti kenaikan harga kelompok pangan hewani akan menurunkan kualitas konsum pangan. Karena kenaikan harga akan menurunkan alokasi pengeluaran untuk komoditas pangan ini, hal tersebut sebenarnya tidak dikehendaki. Dari segi kualitas gizi pada umumnya pangan hewani mempunyai kualitas protein yang jauh lebih bagus dibandingkan dengan protein dari pangan nabati (Linder 1992, Hardinsyah dan Tambunan 2004). Pada umumnya protein hewani, unggas, dan ikan mempunyai proporsi asam amino esensial yang cukup, sementara itu biji-bijian dan kacangkacangan cenderung rendah akan lisin dan kadang-kadang juga triptofan. Hasil kajian Susenas untuk Provinsi Nusa Tenggara Timur yang dilakukan oleh Anwar (1996), menunjukkan bahwa permintaan konsumsi daging/telur/susu cukup responsif terhadap perubahan harga, sedangkan elastisitas konsumsi ikan terhadap perubahan harga bersifat inelastis. Permintaan konsumsi kacangkacangan, bersifat elastis terhadap perubahan harga. Namun demikian permintaan konsumsi sayur/buah, bersifat elastis di perkotaan dan inelastis di perdesaan. Sistem Permintaan Pangan Kajian mengenai permintaan pangan adalah hal yang penting untuk membantu para pengambil kebijakan pada saat pengambilan keputusan dalam rangka menyediakan/pemenuhan kebutuhan pangan bagi masyarakat. Alat untuk

16 mengkaji permintaan terhadap suatu pangan kini telah berkembang dalam beberapa model. Model tersebut misalnya model permintaan parsial (persamaan tunggal). Dimana terdapat satu variabel tak bebas Y dan satu atau lebih variabel yang berpengaruh (penjelas/variabel X). Hubungan sebab akibat dalam model seperti itu berlangsung dari X ke Y (Gujarati 1978). Diantara variabel atau komoditas dianggap tidak ada interaksi. Menurut Setiawan (1992), pada analisis persamaan tunggal sering dijumpai beberapa masalah diantaranya adalah: a). diantara komoditas dianggap tidak ada interaksi, b). pada kenyataannya jumlah barang yang diminta dipengaruhi oleh harga barang itu sendiri, harga barang lain, pendapatan, dan lain-lain. Adanya saling keterkaitan diantara komoditas maka metode yang digunakan harus berupa metode sistem. Melihat kenyataan tersebut maka dibuatlah model permintaan simultan. Gujarati (1978), mencontohkan beberapa model persamaan simultan, diantaranya adalah model Keynes, model ini digunakan untuk menetapkan pendapatan. Kelana (1996), mencontohkan persamaan Slutksy untuk melihat pengaruh perubahan harga terhadap jumlah barang yang diminta. Pada model Slutsky ini terdapat dua efek yang bekerja, yaitu efek substitusi jika terjadi perubahan permintaan yang dihubungkan dengan terjadinya perubahan pertukaran antara dua barang, dan efek pendapatan jika terjadi perubahan permintaan yang dihubungkan dengan daya beli. Deaton dan Muelbauer (1983), memperkenalkan model permintaan simultan yang dikenal dengan Almost Ideal Demand System (AIDS). Model ini banyak dipakai untuk menganalisa data guna menghitung besaran elastisitas harga sendiri, harga silang, dan elastisitas pendapatan beberapa komoditas. Beberapa penelitian permintaan pangan menggunakan model secara sistem di Kawasan Timur Indonesia (KTI) adalah Rachman (2001). Model yang sama digunakan oleh Ariningsih (2002) dan Nurfarma (2005) untuk melihat dampak krisis ekonomi terhadap permintaan pangan. Rachman (2001) menggunakan data Susenas 1996 untuk menduga parameter permintaan komoditas beras, serealia lain, umbi-umbian, daging, ikan, telur, dan lain sebagainya dengan model AIDS. Hasil penelitian menunjukkan

17 bahwa permintaan pangan di perdesaan di KTI lebih responsif terhadap perubahan harga dibanding perkotaan, kecuali untuk umbi-umbian, sayuran, dan minyak goreng. Secara umum semakin tinggi tingkat pendapatan, permintaan pangan semakin kurang responsif terhadap perubahan harga pangan yang bersangkutan. Terdapat hubungan substitusi antara beras dengan serealia lain, umbi-umbian, mie/terigu, makanan jadi, susu, kacang-kacangan dan minyak goreng. Di wilayah KTI semua komoditas pangan yang dianalisis bersifat barang normal yang ditunjukkan oleh tanda positif dari nilai elastisitas pendapatan. Ariningsih (2001) menduga parameter permintaan pangan di Jawa dengan menggunakan model AIDS untuk kelompok pangan ikan segar, ikan awetan, daging ternak, daging unggas, telur, susu, kacang-kacangan, dan serealia. Pada tahun 2005 Nurfarma menggunakan model yang sama untuk Provinsi Sumatera Barat. Kelompok pangan yang diduga parameter permintaannya adalah beras, umbi, ikan, daging, telur+susu, sayur, kacang, buah, minyak+lemak,

minuman+makanan jadi, bumbu, dan pangan lainnya. Kebutuhan Pangan Wilayah Estimasi dibuat adalah dalam rangka memberi masukan bagi para pengambil kebijakan. Beberapa penelitian menggunakan pendekatan pendapatan dan pendekatan ideal (PPH) untuk membuat proyeksi kebutuhan pangan. Melalui pendekatan pendapatan, permintaan pangan yang dilihat adalah hubungan antara pendapatan/kapita/bulan dengan konsumsi beberapa jenis pangan. Ariani (1993) memproyeksikan kebutuhan pangan pada Repelita VI, dan Martianto (1995) memproyeksikan permintaan pangan hewani pada Pelita VI. Meskipun konsumsi pangan dipengaruhi oleh berbagai faktor, namun berdasarkan beberapa kajian pendapatan merupakan determinan konsumsi pangan. Berdasarkan hal itu, para peneliti tersebut di atas melakukan proyeksi permintaan pangan didasarkan pada model regresi hubungan antara pendapatan dengan konsumsi pangan dan diasumsikan bahwa faktor lain (misalnya selera) adalah tetap. Ariani (1993) dengan data Susenas memproyeksikan kebutuhan pangan beras, jagung, ubi kayu, kedele, daging ayam, daging sapi, ikan, telur, gula pasir, dan minyak goreng. Pada umumunya persamaan regresi yang cocok untuk

18 pangan tersebut berbentuk persamaan double Ln. Martianto (1995)

memproyeksikan permintaan pangan hewani, dan umumnya persamaan regresi yang cocok untuk hubungan antara konsumsi ikan dan pengeluaran adalah berbentuk semi Ln. Anwar (1996) memproyeksikan kebutuhan pangan tahun 2005 dengan pendekatan pendapatan, dimana elastisitas permintaan pangan terhadap

pendapatan dikoreksi dengan proporsi pengeluaran pangan menurut wilayah perdesaan dan perkotaan. Hasil proyeksi permintaan pangan dilakukan dengan beberapa skenario, menunjukkan bahwa pada laju pertumbuhan ekonomi yang sama semakin rendah laju pertumbuhan penduduk, semakin tinggi laju peningkatan permintaan beras, jagung, ketela pohon, kedele, pangan hewani, gula pasir, dan minyak goreng. Sedangkan pada laju pertumbuhan penduduk yang sama semakin tinggi laju pertumbuhan ekonomi, semakin tinggi permintaan pangan per kapita. Dari hasil proyeksi tersebut didapatkan informasi bagi para pengambil kebijakan untuk mengantisipasi peningkatan produksi guna mencukupi kebutuhan pangan penduduk. Antisipasi tersebut diantaranya adalah dengan

menyediakan lahan pertanian untuk meningkatkan produksi baik dengan meningkatkan produktivitas lahan maupun dengan memperluas lahan pertanian. Kebutuhan pangan suatu wilayah selain dipengaruhi oleh pertumbuhan ekonomi juga dipengaruhi oleh pertumbuhan penduduk. Pertumbuhan penduduk yang cepat merupakan isu sentral yang dihadapi dunia, terlebih di negara berkembang termasuk Indonesia. Konsekuensi dari hal tersebut adalah peningkatan ketersediaan pangan untuk mengimbangi pertambahan penduduk. Menurut Khomsan dan Kusharto (2004), bila jumlah penduduk meningkat maka terjadi kompetisi pemanfaatan lahan yang dapat mengancam keberadaan lahan pertanian. Konversi lahan pertanian akan mengancam pemantapan ketahanan pangan.

19

KERANGKA PEMIKIRAN
Banyak faktor yang mempengaruhi konsumsi pangan diantaranya adalah faktor ekonomi, sosial budaya dan sebagainya (Madanijah 2006). Faktor ekonomi yang cukup dominan sebagai determinan konsumsi pangan adalah pendapatan dan harga pangan. Adanya perubahan pendapatan maupun harga pangan akan mengakibatkan respon terhadap permintaan konsumsi pangan tersebut. Respon permintaan pangan sebagai cerminan perilaku konsumsi pangan dapat diketahui berdasarkan elastisitas permintaan komoditas pangan tersebut. Demikian pula dengan bertambahnya jumlah penduduk akan mengakibatkan meningkatnya jumlah kebutuhan konsumsi pangan suatu wilayah. Dari konsumsi pangan tersebut dapat dinilai tingkat kecukupan dan mutu gizinya yang ditunjukkan oleh keragaman pangannya, yang akan dihitung melalui pendekatan Pola Pangan Harapan. Informasi mengenai keragaan konsumsi dan perilaku konsumsi pangan dalam kaitannya dengan perubahan harga pangan dan pendapatan berguna sebagai masukan dalam penyusunan kebijakan dan program pencapaian percepatan diversifikasi pangan. Kerangka pemikiran dari penelitian ini ditunjukkan oleh bagan berikut:
Pengetahuan gizi

Faktor budaya

Faktor lain

Harga pangan (pangan itu sendiri & pangan lain)

Konsumsi pangan: - Tingkat kecukupan - Mutu gizi

Pendapatan/ pengeluaran pangan

Permintaan pangan

Faktor lain

Jumlah penduduk

Kebutuhan untuk konsumsi pangan : diteliti

Faktor lain

: tidak diteliti

20

METODE PENELITIAN
Desain, Sumber dan Jenis Data Penelitian ini menggunakan data Susenas Modul Konsumsi tahun 2005 yang dikumpulkan dengan desain cross sectional. Data Susenas Modul Konsumsi terdiri atas konsumsi makanan dan bukan makanan. Konsumsi makanan dirinci menjadi 215 jenis yang dikumpulkan baik dalam bentuk kuantitas maupun nilainya. Data lain yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya adalah data proyeksi penduduk tahun 2000-2025 yang merupakan hasil sensus tahun 2000, dan data pertumbuhan ekonomi. Susenas merupakan survei rumah tangga dengan lingkup nasional dan dilakukan secara sampel. Kekuatan estimasinya tidak saja pada tingkat nasional tetapi juga representatif sampai pada tingkat provinsi dan dapat dibedakan atas wilayah perkotaan dan perdesaan. Pada hakekatnya ada 2 (dua) kelompok variabel yang dikumpulkan dalam Susenas, yaitu Kor dan Modul. Data variabel kor dikumpulkan setiap tahun dengan publikasi Statistik Kesejahteraan Rakyat, sedangkan variabel modul terbagi menjadi 3 (tiga) kelompok dan secara bergiliran dikumpulkan 3 tahun sekali. Ketiga kelompok modul tersebut adalah : (1) konsumsi/pengeluaran, (2) perumahan dan kesehatan, (3) sosial budaya dan pendidikan. Ukuran sampel modul Susenas 2005 sebesar 68 288 rumah tangga tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Kerangka sampel yang digunakan terdiri dari 3 jenis yaitu: kerangka sampel untuk pemilihan blok sensus, kerangka sampel untuk pemilihan sub-blok sensus, dan kerangka sampel untuk pemilihan rumah tangga. Kerangka sampel blok sensus dibedakan menurut daerah perkotaan dan perdesaan. Kerangka sampel untuk pemilihan sub blok sensus adalah daftar sub blok sensus yang terdapat dalam blok sensus terpilih dengan jumlah lebih dari 150 rumah tangga. Prosedur pemilihan sampel Susenas 2005 untuk suatu kabupaten/kota melalui beberapa tahap, yaitu tahap pertama: dari master frame blok sensus dipilih blok sensus sejumlah target blok sensus untuk Susenas secara probability proportional to size (PPS)-sistematik. Tahap selanjutnya, blok sensus terpilih dipilih sejumlah blok sensus secara sistematik. Pada tahap terakhir dari setiap blok

21 sensus terpilih dipilih secara sistematik sejumlah 16 rumahtangga. Pada blok sensus yang muatannya lebih dari 150 rumahtangga, dilakukan pemilihan subblok sensus secara PPS-sistematik (BPS 2006b ). Pengumpulan data Susenas 2005 dilakukan pada bulan Juni-Juli. Referensi waktu survei yang digunakan adalah seminggu yang lalu untuk konsumsi makanan dan sebulan atau setahun yang lalu untuk konsumsi bukan makanan. Pengeluaran untuk konsumsi makanan dan bukan makanan tidak memperhatikan asal barang dan terbatas pada pengeluaran untuk kebutuhan rumahtangga saja. Pengeluaran tidak termasuk konsumsi/pengeluaran untuk keperluan usaha atau yang diberikan pada pihak lain. Berdasarkan asalnya konsumsi makanan dirinci menurut: (1) pembelian, dan (2) produksi sendiri, pemberian atau lainnya. Konsumsi makanan yang dikumpulkan selain dalam bentuk kuantitas juga dinilai dalam bentuk Rupiah. Pada penelitian ini, pemilihan provinsi dilakukan secara purposive dengan pertimbangan provinsi terpilih memiliki keragaman pola konsumsi pangan yang berbeda (unik), dimana: Provinsi Sumatera Barat merupakan wilayah memiliki pola konsumsi pangan pokok beras, dengan pangan hewani relatif menonjol; Provinsi Jawa Tengah memiliki pola konsumsi pangan relatif beragam dan sumber protein nabati relatif menonjol; sedangkan Provinsi Sulawesi Tenggara memiliki pola konsumsi beras dengan sumber protein hewani didominasi oleh produk perikanan. Selanjutnya analisis yang lebih mendalam pada masing-masing provinsi, akan dibedakan antara wilayah perkotaan dan perdesaan. Pengolahan dan Analisis Data Tingkat Kecukupan Konsumsi Untuk menilai kecukupan konsumsi pangan maka didekati dengan menghitung tingkat kecukupan gizinya atau besarnya persentase angka kecukupan gizi. Pada tulisan ini tingkat kecukupan konsumsi dinyatakan sebagai tingkat kecukupan energi dan tingkat kecukupan protein. Angka kecukupan gizi adalah nilai yang menunjukkan jumlah zat gizi yang diperlukan tubuh untuk hidup sehat setiap hari bagi hampir semua populasi menurut kelompok umur, jenis kelamin dan kondisi fisiologis tertentu seperti kehamilan dan menyusui. Angka kecukupan

22 gizi berguna sebagai nilai rujukan yang digunakan untuk perencanaan dan penilaian konsumsi makanan dan asupan gizi bagi orang sehat, agar tercegah dari defisiensi ataupun kelebihan asupan zat gizi (IOM 2002 dalam Muhilal dan Hardinsyah 2004). Tingkat kecukupan energi dinyatakan sebagai hasil perbandingan antara konsumsi energi aktual (Susenas) dengan kecukupan energi yang

direkomendasikan oleh WNPG tahun 2004, dan dinyatakan dalam persen. Demikian pula untuk menghitung tingkat kecukupan protein, dinyatakan sebagai perbandingan antara konsumsi protein aktual dengan kecukupan protein yang direkomendasikan WNPG. Perhitungan tingkat kecukupan gizi dirumuskan sebagai berikut : a. Tingkat kecukupan energi TKE = [(Konsumsi energi aktual)/(Angka kecukupan energi)] x 100% b. Tingkat kecukupan protein TKP : [(Konsumsi protein aktual)/(Angka kecukupan protein)] x 100% Sesuai dengan rekomendasi WNPG 2004, kecukupan energi untuk tingkat konsumsi ditetapkan sebesar 2.000 kkal dan protein sebesar 52 gram. Selanjutnya dari perhitungan tersebut tingkat kecukupan energi diklasifikasikan menurut Departemen Kesehatan sebagaimana dikutip oleh Badan Ketahanan Pangan (2006) yaitu: (1) TKE: < 70% adalah defisit berat, (2) TKE: 70 - 79% adalah defisit sedang, (3) TKE: 80 89% adalah defisit ringan, (4) TKE: 90 -119% adalah normal, dan (5) TKE > 120% adalah kelebihan. Keragaman Konsumsi Pangan Keragaman konsumsi pangan yang mencerminkan mutu dari konsumsi dapat dilihat dengan cara menghitung skor PPH, dari data Susenas 2005 tersebut akan dihitung skor PPH dengan cara mengelompokkan konsumsi pangan dalam 9 kelompok pangan. Sembilan kelompok pangan tersebut adalah : (1) padi-padian, (2) umbi-umbian, (3) pangan hewani, (4) minyak dan lemak, (5) buah/biji berminyak, (6) kacang-kacangan, (7) gula, (8) sayur dan buah, (9) lainnya. Pengelompokan jenis pangan secara terinci ditunjukkan pada Lampiran 1.

23 Langkah-langkah menghitung PPH adalah : (1) Dari kesembilan kelompok pangan tersebut dihitung nilai total konsumsi energinya. (2) Menghitung kontribusi energi dari setiap kelompok pangan, dengan berdasarkan Angka Kecukupan Energi (AKE) WNPG 2004, yaitu : % AKE = [(Energi kelompok pangan)/2000] x 100%

(3)

Selanjutnya dengan mengalikan hasil persentase langkah kedua dengan rating/bobot akan diperoleh skor dari masing-masing kelompok pangan. Setiap kelompok pangan memiliki skor maksimum. Apabila skor melebihi range optimal, akan digunakan skor maksimal dalam range tersebut.

(4)

Menjumlahkan skor semua kelompok pangan sehingga akan diketahui skor PPH mutu pola konsumsi pangan. Pengelompokan pangan, skor, dan bobot yang digunakan sebagai standar PPH nasional diuraikan pada tabel berikut :

Tabel 1. Pengelompokan jenis pangan, persentase, bobot, dan skor No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Kelompok pangan Padi-padian Umbi-umbian Pangan hewani Minyak dan lemak Buah/biji berminyak Kacang-kacangan Gula Sayur dan buah Lain-lain Minimummaksimum*) 40.0-60.0 0.0-8.0 5.0-20.0 5.0-15.0 0.0-3.0 2.0-10.0 2.0-15.0 3.0-8.0 0.0-5.0 100 % 50.0 6.0 12.0 10.0 3.0 5.0 5.0 6.0 3.0 100.0 Bobot 0.5 0.5 2.0 0.5 0.5 2.0 0.5 5.0 0.0 Skor maksimum 25.0 2.5 24.0 5.0 1.0 10.0 2.5 30.0 0.0 100

*) : FAO-RAPA 1989 Sumber : Hardinsyah, Martianto, Baliwati, 2001 Elastisitas Permintaan Konsumsi Pangan Untuk menganalisis respon permintaan konsumsi pangan, digunakan analisis model AIDS. Analisis pengeluaran untuk konsumsi pangan dibagi ke dalam 14 kelompok yaitu: (1) padi-padian, (2) terigu, (3) umbi-umbian, (4) daging unggas,

24 (5) daging ruminansia, (6) ikan segar, (7) ikan olahan, (8) telur dan susu, (9) minyak dan lemak, (10) buah/biji berminyak, (11) kacang-kacangan, (12) gula, (13) sayur dan buah, (14) lainnya. Pengelompokan jenis pangan untuk analisis model AIDS ditunjukkan pada Lampiran 2. Pengelompokan/penggabungan dilakukan untuk menghindari adanya

pengamatan yang kosong, karena tidak semua rumah tangga mengkonsumsi jenis pangan yang akan dianalisis. Adanya pengamatan yang kosong akan menimbulkan kesulitan dalam proses pengolahan data. Model persamaan simultan (AIDS) menghendaki semua rumah tangga mengkonsumsi semua pangan yang dianalisis, sebagai konsekuensi dari adanya asumsi keterkaitan antar jenis pangan (Daud 1986, Ariani 1993, Martianto 1995, Nurfarma 2005). Guna menganalisis permintaan pangan digunakan sistem permintaan simultan dengan menggunakan aproksimasi linier dari model Almost Ideal Demand System (AIDS). Model ini telah dikembangkan oleh Deaton dan Muellbauer (Daud 1986, Ariani 1993 dan Martianto 1995). Model aproksimasi linier tersebut adalah : Wi = i + ij ln Pj + i ln (X/P*) Dimana : Wi = proposi pengeluaran untuk pangan ke-i terhadap total pengeluaran pangan ; i = 1, 2, 3, ..., n , , dan = parameter estimasi, berturut-turut untuk intersep, harga agregat dari tiap-tiap kelompok pangan, dan pengeluaran Pj X P* = harga agregat dari kelompok pangan ke j ; j = 1, 2, 3, .... n = pengeluaran total (nominal) dari rumah tangga untuk pangan = Indeks Stone

Penghitungan harga agregat dilakukan dengan menggunakan rumus:

n Pj = Wi Pi i

25 Pj : harga agregat kelompok pangan Wi : proporsi pengeluaran pangan ke i Pi : harga komoditas i Rumus tersebut merupakan formula Indeks Stone. Harga agregat adalah tahap awal yang harus dilakukan sebelum memperoleh Indeks Stone. Variabel Wi merupakan proporsi masing-masing rincian pangan di dalam kelompok pangan, dihitung dengan cara membagi nilai pengeluaran setiap pangan terhadap nilai pengeluaran kelompoknya. Daud (1986) menyarankan supaya proksi ini tetap konsisten, maka dipilih nilai pengeluaran dari masing-masing pangan yang diketahui kuantitasnya di dalam setiap kelompok (jumlah proporsi untuk setiap pangan terhadap kelompoknya harus sama dengan satu). Variabel Pi adalah harga dari masing-masing pangan di dalam setiap kelompok, dihitung dengan cara membagi nilai pengeluaran dengan kuantitasnya. Kemudian dari perhitungan rumus tadi akan diperoleh harga agregat dari setiap kelompok pangan. Penghitungan Indeks Stone diperoleh dengan cara yang sama seperti membuat perhitungan untuk harga agregat, hanya proporsi di sini adalah hasil bagi antara nilai pengeluaran setiap kelompok pangan terhadap nilai pengeluaran total pangan. Komponen harga yang dipakai adalah harga agregat untuk masingmasing kelompok pangan. Untuk memenuhi teori permintaan, dalam model AIDS ini

dilakukan/diterapkan restriksi yaitu : 1. 2. 3. Simetris Homogenitas Adding up ij = ji ; ij = 0; dan ij = 0 ; i = 0 ; i = 1.

Sebagaimana yang dilakukan pada penelitian terdahulu oleh Daud (1986), Ariani (1993) dan Martianto (1995), untuk menghitung besaran elastistas permintaan konsumsi pangan terhadap harga dan pendapatan digunakan rumus yang diturunkan dari fungsi permintaan. Rumus perhitungan tersebut adalah sebagai berikut: 1. Elastisitas pendapatan: i = 1 + ( i/ Wi)

26 2. Elastisitas harga sendiri: ii 3. ij = (ii/ Wi) 1 = (ij/ Wi) , (i j)

Elastisitas harga silang:

Estimasi Kebutuhan untuk Konsumsi Pangan Walaupun konsumsi pangan dipengaruhi oleh berbagai faktor, namun menurut hasil beberapa kajian pendapatan merupakan determinan konsumsi pangan. Berdasarkan hal itu, pada penelitian ini untuk mengestimasi kebutuhan untuk konsumsi pangan digunakan model regresi hubungan antara pendapatan per kapita per bulan dan konsumsi pangan strategis. Pangan tersebut adalah: beras, terigu, jagung, ketela pohon/ubi kayu, daging unggas, daging ruminansia, ikan segar, ikan olahan, telur, susu, minyak goreng, kacang kedele, kacang lainnya, sayur, dan buah. Beberapa persamaaan regresi yang dikutip dari Ariani (1993) dan Martianto (1995), sebagai alternatif model yang dicobakan adalah: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Linier Semi Ln Double Ln Ln inverse Hyperbolik Semi ln-inverse Double Ln-inverse Ki Ki = a + b Ii = a + b ln Ii

ln K i = a + b ln Ii ln K i = a - b/Ii Ki Ki = a b/Ii = a + b ln Ii - c/Ii

ln K i = a + b ln Ii - c/Ii

dimana: Ki Ii a, b, c, = konsumsi pangan per kapita pada rumah tangga i = pendapatan per kapita pada rumah tangga i, i = 1, 2, 3, ..., n = parameter estimasi

Dari beberapa persamaan tersebut pada akhirnya dipilih persamaan yang memberikan hasil diantaranya adalah: memiliki elastisitas pendapatan yang konsisten dengan hasil analisis AIDS, dan hasil estimasi konsumsi per kapita cukup rasional. Setelah persamaan regresi terpilih, tahap berikutnya adalah melakukan proyeksi pendapatan per kapita pada tahun 2008-2015. Dengan mengetahui laju pertumbuhan pendapatan maka dapat diduga pendapatan pada

27 tahun mendatang. Beberapa penelitian melakukan perhitungan laju pertumbuhan pendapatan dengan cara menghitung selisih antara laju pertumbuhan ekonomi dan laju pertumbuhan penduduk (Ariani 1994 dan Martianto 1995). Pada penelitian ini perhitungan laju pertumbuhan pendapatan dilakukan dengan cara seperti yang dilakukan oleh Ariani (1994) dan Martianto (1995). Pertumbuhan penduduk dari hasil proyeksi tahun 2000-2025 ditunjukkan oleh Lampiran 3, selanjutnya pertumbuhan ekonomi ketiga wilayah penelitian ditunjukkan oleh Lampiran 4. Laju pertumbuhan ekonomi yang digunakan dalam menghitung estimasi permintaan pangan tahun 2008-2015 adalah laju pertumbuhan ekonomi tahun 2001-2005 di masing-masing provinsi. Penggunaan data tersebut dengan asumsi laju pertumbuhan ekonomi pada tahun 2008-2015 sama dengan laju pertumbuhan ekonomi tahun 2001-2005 yaitu untuk Sumatera Barat 4.6% per tahun, Jawa Tengah 4.52% per tahun, dan Sulawesi Tenggara 6.81% per tahun (BPS 2007). Selanjutnya, laju pertumbuhan penduduk tahun 2008-2015 di Sumatera Barat 0.67% per tahun, Jawa Tengah 0.35%/tahun, Sulawesi Tenggara 2.54% tahun (Bappenas, BPS, NFPA 2005). Proyeksi pendapatan per kapita dilakukan dengan menggunakan persamaan sebagai berikut : It = Io ert Dimana: It Io t r e = pendapatan rumah tangga per kapita per bulan pada tahun ke t = pendapatan rumahtangga per kapita per bulan pada tahun ke 0 = selisih tahun ke-t dengan tahun ke 0 = laju pertumbuhan pendapatan = natural logaritmik Setelah memperoleh hasil pendapatan rata-rata per kapita, data ini dimasukkan pada persamaan regresi yang terpilih. Dari persamaan ini akan diperoleh perkiraan permintaan pangan per kapita per hari, maupun per kapita per tahun pada tahun yang dikehendaki. Untuk kebutuhan konsumsi aktual wilayah di masing-masing provinsi pada tahun yang dikehendaki dihitung dengan cara mengalikan permintaan konsumsi pangan per kapita per tahun dengan jumlah penduduk pada tahun yang dikehendaki.

28 Untuk mengestimasi konsumsi pangan ideal dihitung berdasarkan pola pangan setempat dengan skor PPH tahun 2015 sebesar 100. Langkah-langkah menghitung konsumsi pangan ideal adalah : (1) Data dasar yang digunakan adalah data konsumsi aktual tahun 2005. Konsumsi pangan dikelompokkan dalam 9 kelompok sebagaimana menghitung skor PPH. (2) Dari masing-masing kelompok pangan dihitung nilai total konsumsi energinya. (3) Setiap kelompok pangan terdiri dari beberapa jenis pangan, selanjutnya dari masing-masing jenis pangan tersebut dihitung kontribusinya terhadap energi kelompok pangan dan dinyatakan dalam persen (%). Jenis pangan yang akan diestimasi adalah: a) kelompok padi-padian (beras, terigu, jagung), b) kelompok umbi-umbian (ubi kayu), c) pangan hewani (daging unggas, daging ruminansia, ikan segar, ikan olahan, telur, susu), d) minyak dan lemak (semua yang termasuk dalam minyak dan lemak); minyak dan lemak dalam penelitian ini diasumsikan sebagai minyak goreng, e) kacang-

kacangan (kedele, kacang lainnya selain kedele), f) sayur dan buah (sayur, buah), g) gula (semua yang termasuk dalam gula) (4) Setiap kelompok pangan memiliki Angka Kecukupan Energi, yaitu: padipadian 1.000 kkal, umbi-umbian 120 kkal, pangan hewani 240 kkal,

minyak dan lemak 200 kkal, kacang-kacangan 100 kkal, sayur dan buah 120 kkal, gula 100 kkal. (5) Untuk mendapatkan konsumsi pangan yang ideal dari masing-masing jenis pangan, selanjutnya hasil perhitungan dari butir 3 di atas dikalikan dengan Angka Kecukupan Energi dari kelompoknya (butir 4), sehingga diperoleh energi dari setiap jenis pangan. (6) Energi dari setiap jenis pangan tersebut selanjutnya disetarakan ke bentuk gram jenis pangan. Bentuk setara pangan yang dimaksud adalah: beras setara beras giling, terigu setara terigu, jagung setara jagung kering pipil baru, ubi kayu setara ubi kayu, daging unggas setara daging ayam, daging ruminansia setara daging sapi, ikan segar setara ikan segar, ikan olahan setara ikan asin kering, telur setara telur ayam, susu setara susu sapi, minyak

29 dan lemak setara minyak kelapa sawit, kedele setara kedele kering, kacang lainnya setara kacang hijau, sayur setara bayam, buah setara jeruk manis, dan gula setara gula pasir Kebutuhan pangan ideal bagi wilayah di ketiga provinsi pada tahun 2015 dihitung dengan cara mengalikan permintaan konsumsi pangan per kapita per tahun pada tahun 2015 dengan jumlah penduduk pada tahun yang sama. Keterkaitan Antar Metode Analisa Data Metoda analisis yang digunakan dalam penelitian ini ada 3 model yaitu : (1) pendekatan PPH untuk melihat keragaman dari konsumsi pangan, (2) model AIDS, (3) pendekatan pendapatan, berupa persamaan regresi hubungan pendapatan dan konsumsi pangan. Tingkat kecukupan konsumsi pangan yang dianalisis adalah tingkat kecukupan energi dan protein (TKE dan TKP). Penilaian kualitas dari konsumsi pangan dilakukan dengan menghitung skor PPH. Hasil penghitungan TKE dan TKP serta skor PPH adalah untuk menggambarkan keragaan konsumsi pangan saat itu dan mendukung hasil analisis lainnya. Metode AIDS merupakan model sistem yang sesuai dengan teori tingkah laku konsumen terutama dalam perilaku konsumsi pangan. Model AIDS menggambarkan respon permintaan pangan akibat perubahan harga sendiri, pendapatan, dan perubahan harga pangan lain yang ditunjukkan oleh angka elastisitas (elastisitas harga sendiri, elastistas pendapatan, dan elastisits harga silang). Dengan angka elastisitas dapat diperkirakan terjadinya perubahan konsumsi pangan dan gizi sebagai akibat perubahan harga maupun perubahan pendapatan. Elasitisitas pendapatan hasil perhitungan dengan model AIDS akan dijadikan dasar dalam mengestimasi permintaan konsumsi pangan dengan menggunakan persamaan regresi. Nilai elastisitas pendapatan yang diperoleh dari persamaan regresi terpilih harus konsisten dengan nilai elastisitas yang diperoleh dari model AIDS. Oleh karena hasil estimasi permintaan konsumsi pangan tersebut semata-mata karena faktor preferensi, selanjutnya untuk pembanding estimasi permintaan konsumsi pangan pada tahun 2015 juga dihitung dengan

30 pendekatan PPH. Pendekatan PPH digunakan untuk mengestimasi permintaan konsumsi pangan ideal/harapan sesuai dengan pola konsumsi setempat. Batasan Operasional Rumahtangga Sampel rumahtangga pada Susenas adalah rumahtangga biasa, yaitu seorang atau sekelompok orang yang mendiami sebagian atau seluruh bangunan fisik/sensus, dan biasanya makan bersama dari satu dapur. Pendapatan Adalah nilai rupiah yang diperoleh suatu rumah tangga dari mata pencahariannya atau dari sumber-sumber lain, dinyatakan dalam rupiah per bulan. Pada penelitian ini besarnya pendapatan diproksi dari pengeluaran total rumah tangga per kapita per bulan (Rp/kapita/bulan) Pola Pangan Harapan (PPH) Adalah susunan beragam pangan menurut sembilan kelompok pangan yang didasarkan pada sumbangan energi terhadap total energi penyediaan maupun konsumsi pangan yang mampu mencukupi kebutuhan gizi secara kuantitas, kualitas maupun keragaman. Elastisitas permintaan Adalah besarnya respon permintaan pangan akibat: perubahan satu satuan harga pangan itu sendiri (elastisitas harga sendiri); perubahan satu satuan harga pangan lain (elastisitas harga silang). perubahan satu satuan pendapatan (elastisitas pendapatan); Pangan strategis Adalah jenis pangan yang umum dikonsumsi dan cukup berarti dalam menyumbang zat gizi terutama energi dan protein. Termasuk pangan strategis dalam penelitian ini adalah beras, terigu, jagung, ubi kayu, daging unggas, daging ruminansia, ikan segar, ikan olahan, telur, susu, minyak goreng, kacang kedele, kacang lainnya, sayur, dan buah. Permintaan konsumsi pangan aktual Adalah jumlah pangan yang diperkirakan akan dikonsumsi (gram/kapita/hari atau kg/kapita/tahun) pada tahun 2008-2015 yang dihitung dengan

31 mempertimbangkan hubungan antara pendapatan dan konsumsi pangan dengan asumsi faktor lain seperti selera tetap Kebutuhan pangan aktual Adalah jenis dan jumlah pangan yang diperkirakan akan di konsumsi di wilayah/daerah pada tahun 2008-2015 sesuai dengan tingkat pendapatan di provinsi/wilayah Permintaan konsumsi pangan ideal Adalah pangan yang diperkirakan akan dikonsumsi (gram/kapita/hari atau kg/kapita/tahun) pada tahun 2015 dalam jumlah dan komposisi ideal sesuai dengan kaidah Pola Pangan Harapan yang telah disesuaikan dengan pola pangan setempat Kebutuhan pangan ideal Adalah jenis dan jumlah pangan yang diperkirakan untuk konsumsi di suatu provinsi/wilayah pada tahun 2015 dalam jumlah dan komposisi yang sesuai dengan kaidah Pola Pangan Harapan yang telah disesuaikan dengan pola pangan setempat

32

HASIL DAN PEMBAHASAN


Keragaan Konsumsi Pangan Konsumsi Energi Untuk hidup sehat seseorang membutuhkan sejumlah zat gizi yang bersumber dari berbagai macam sumber pangan, baik pangan nabati maupun hewani. Zat gizi yang harus dipenuhi terutama adalah energi dan protein. Menurut Martianto (2004) kekurangan dua zat gizi tersebut dan berlangsung lama akan berpengaruh pada kualitas SDM-nya, diantaranya menurunkan produktivitas kerja, kecerdasan, imunitas, dan lainnya. Apabila kekurangan energi terus berlanjut dapat menimbulkan marasmus, kwashiorkor, ataupun marasmus kwashiorkor. Energi diperlukan untuk pertumbuhan, metabolisme, dan aktivitas tubuh. Kebutuhan energi diperoleh terutama dari karbohidrat dan lemak. Meskipun protein mampu memberikan energi, akan tetapi pemanfaatannya lebih diutamakan untuk menyediakan asam amino bagi sintesis protein sel, hormon, dan enzim untuk mengatur metabolisme (Pudjiadi 2001). Energi merupakan salah satu hasil metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak. Kelebihan energi akan disimpan sebagai cadangan energi dalam bentuk glikogen dan dalam bentuk lemak. Sesuai dengan rekomendasi WNPG 2004, kecukupan energi per kapita per hari untuk tingkat konsumsi adalah sebesar 2.000 kkal. Rata-rata konsumsi energi ketiga provinsi disajikan pada Tabel 2. Dari tabel tersebut tampak bahwa rata-rata konsumsi energi telah melebihi angka kecukupan kecuali di Provinsi Jawa

Tengah, dengan tingkat kecukupan energi sebesar 98.57% (1.969 kkal). Meskipun tingkat konsumsi energi masih dalam batas normal kecuali di Sulawesi Tenggara (wilayah perkotaan) tetap perlu diwaspadai. Karena konsumsi energi yang berlebih dan berlangsung terus menerus menyebabkan menurunnnya kualitas kesehatan. Apabila dibedakan menurut wilayah, pada umumnya konsumsi energi di perdesaan lebih tinggi dibandingkan perkotaan kecuali di Sulawesi Tenggara. Fenomena tersebut dijelaskan oleh Regmi dan Dyck (2001), terdapatnya perbedaan kebutuhan energi antara perdesaan dan perkotaan diantaranya adalah:

33 perbedaan gaya hidup, ketersediaan pangan dan kemampuan untuk membeli pangan. Masyarakat perkotaan cenderung bergaya hidup sedentary sehingga memerlukan energi yang lebih sedikit, sedangkan aktivitas penduduk di perdesaan umumnya membutuhkan energi yang lebih besar. Pada umumnya beragam jenis pangan lebih banyak tersedia di perkotaan serta daya beli masyarakatnya lebih tinggi. Tabel 2. Tingkat kecukupan energi di Provinsi Sumatera Barat, Jawa Tengah, dan Sulawesi Tenggara tahun 2005 No 1 Provinsi/wilayah Sumatera Barat - Perkotaan + perdesaan - Perkotaan - Perdesaan Jawa Tengah - Perkotaan + perdesaan - Perkotaan - Perdesaan Sulawesi Tenggara - Perkotaan+perdesaan - Perkotaan - Perdesaan Konsumsi (kkal//kapita/hari) 2 327 2 274 2 349 1 969 1 956 1 978 2 293 2 459 2 255 Tingkat Kecukupan (%AKE)* 116.4 113.7 117.4 98.5 97.8 98.9 114.6 123.0 112.8

*Angka Kecukupan Energi (AKE) = 2 000 kkal/kapita/hari

Konsumsi di perdesaan diduga berkaitan dengan kemampuan daya beli yang dicerminkan oleh rata-rata pendapatan di perdesaan yang lebih kecil daripada perkotaan (Lampiran 7). Sebagaimana diutarakan oleh Martianto, Ariani, dan Hardinsyah (2003), pada tingkat pendapatan yang terbatas, seseorang akan lebih mengutamakan faktor kenyang daripada rasa ataupun prestise. Oleh karena itu mereka cenderung mengalokasikan pendapatannya untuk membeli pangan yang murah dan memberi rasa kenyang. Pada penelitian ini terlihat bahwa alokasi pengeluaran untuk pangan di perdesaan lebih besar daripada untuk bukan pangan. Sebaliknya di perkotaan, selain pendapatan yang lebih tinggi dan didukung oleh faktor pendidikan yang lebih baik serta kesadaran akan kesehatan dan faktor ketersediaan pangan lebih beragam, hal tersebut akan memudahkan dalam memilih pangan sesuai dengan kaidah gizi.

34 Selanjutnya berdasarkan klasifikasi yang digunakan oleh Departemen Kesehatan untuk menilai tingkat kecukupan energi disajikan pada Tabel 3. Klasifikasi tersebut adalah defisit berat (TKE <70%), defisit sedang (TKE: 7079%), defisit tingkat ringan (TKE: 80-89%), dan normal (TKE: 90-119%), sedangkan kategori berlebih (TKE>120%). Meskipun secara umum tingkat kecukupan energinya di atas angka normal, tetapi bila dirinci lebih jauh masih terdapat lebih dari 20% rumah tangga di tiga provinsi yang mengalami defisit energi (TKE<90%). Seperti disebutkan di atas, kekurangan energi yang berkelanjutan dapat menimbulkan permasalahan yang serius. Apabila suplai energi sehari-hari dari makanan tidak mencukupi, maka terjadi sebagian protein dipergunakan sebagai sumber energi dan akan mengurangi bagian yang diperlukan bagi pertumbuhan (Pudjiadi 2001). Hal tersebut didukung oleh Soekirman (2004) yang menyatakan bahwa kurang gizi berdampak pada masa depan yang suram karena akan tertinggal baik dalam kesehatan, kecerdasan, maupun produktivitasnya, terutama bagi baduta. Tabel 3. Persentase rumah tangga menurut tingkat kecukupan energi di Provinsi Sumatera Barat, Jawa Tengah, dan Sulawesi Tenggara tahun 2005
Provinsi/Klasifikasi 1 Sumatera Barat - Defisit berat - Defisit sedang - Defisit ringan - Normal - Kelebihan Total Jawa Tengah - Defisit berat - Defisit sedang - Defisit ringan - Normal - Kelebihan Total Sulawesi Tenggara - Defisit berat - Defisit sedang - Defisit ringan - Normal - Kelebihan Total Perkotaan+perdesaan % 8.7 7.1 10.2 33.9 40.1 100.0 14.0 11.5 16.3 38.5 19.6 100.0 11.8 9.0 9.3 31.3 38.6 100.0 Perkotaan % 10.9 5.1 11.4 33.7 38.9 100.0 14.8 11.5 16.9 37.8 19.2 100.0 6.7 6.7 6.3 26.4 53.8 100.0 Perdesaan % 7.8 7.9 9.7 33.9 40.6 100.0 13.5 11.6 16.0 39.0 19.9 100.0 12.9 9.5 10.0 32.3 35.2 100.0

35 Mengacu data Tabel 3, di Jawa Tengah masih terdapat rumah tangga yang mengalami defisit energi (41.8%). Dari segi jumlah penduduk Jawa Tengah

berpenduduk tertinggi diantara ketiga provinsi yang diteliti, hasil proyeksi penduduk 2000-2025 tahun 2005 berjumlah 31.887.2 ribu (Bappenas, BPS, UNFPA 2005). Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa di Provinsi Jawa Tengah masih terdapat masalah pangan dan gizi. Masalah kecukupan zat gizi terutama energi dan protein berkait erat dengan masalah ketahanan pangan. Menurut Atmarita (2003) ketahanan pangan tingkat rumah tangga erat hubungannya dengan kemiskinan. Ketidakmampuan untuk membeli pangan dalam jumlah dan kualitas yang cukup menjadi salah satu penyebab defisit energi. Melihat kondisi tersebut menggambarkan bahwa masalah konsumsi pangan sebenarnya masih cukup luas dan perlu dicarikan jalan keluarnya. Upaya peningkatan konsumsi bagi mereka perlu diperhatikan. Barangkali kemampuan yang terbatas untuk membeli pangan, oleh karena itu program pemberian makanan tambahan bagi penduduk rawan pangan dan gizi perlu diberdayakan secara optimal. Demikian pula kegiatan Posyandu maupun PMTAS (Pemberian Makanan Tambahan Anak Sekolah) perlu untuk ditingkatkan lagi aktivitasnya. Kedua kegiatan tersebut merupakan media yang dapat dimanfaatkan untuk membantu peningkatan konsumsi pangan. Dampak panjang dari kurang energi kronis (KEK) khususnya bagi ibu hamil dapat menyebabkan kelahiran bayi BBLR (Berat Badan Lahir Rendah). Hal itu ditunjukkan oleh penelitian Mustika yang diungkapkan oleh Hadi (2005), yaitu ibu hamil yang mengalami KEK mempunyai resiko melahirkan bayi BBLR lima kali lebih besar. Satu sisi konsumsi pangan tidak memenuhi kecukupan, akan tetapi di sisi lain terdapat rumah tangga di tiga provinsi mengkonsumsi energi melebihi kecukupan (TKE>120%). Di Sumatera Barat terdapat rumah tangga yang mengkonsumsi energi lebih dari kecukupan, mencapai 40.1%, di Sulawesi Tenggara dan Jawa Tengah masing-masing sebesar 38.6% dan 19.6%. Umumnya konsumsi energi yang berlebih adalah di perdesaan, akan tetapi yang terjadi di Sulawesi Tenggara, justru di wilayah perkotaan yang mengkonsumsi energi lebih dari cukup mencapai 53.9%. Kondisi konsumsi energi yang berlebih dapat menimbulkan masalah. Energi dapat disimpan dalam bentuk lemak dan selanjutnya dapat diubah kembali

36 menjadi energi. Konsumsi energi yang berlebihan dalam jangka panjang dapat mengakibatkan kegemukan (Hardinsyah, Martianto 1992). Hal tersebut juga dikemukakan oleh Hadi (2005), ketidakseimbangan antara asupan dan energi yang digunakan/dikeluarkan dapat menjadi penyebab obesitas. Obesitas meningkatkan resiko kematian pada semua penyebab kematian. Sebagaimana penelitian Lew & Garfinkel yang dikutip oleh Hadi (2005) menunjukkan bahwa orang yang mempunyai berat badan 40% lebih berat dari berat badan rata-rata populasi mempunyai resiko kematian dua kali lebih besar. Baik kelebihan maupun kekurangan energi perlu diupayakan jalan keluarnya. Dalam hal ini pengetahuan gizi sangat diperlukan untuk diterapkan dalam praktek kehidupan sehari-hari guna mencapai hidup sehat. Meskipun faktor lain diperlukan pula untuk menanggulangi masalah gizi, seperti lingkungan tempat tinggal, sosial, budaya, ekonomi, dan lain sebagainya. Konsumsi Protein Mengacu pada angka kecukupan protein menurut WNPG 2004 sebesar 52 gram/kapita/hari, secara umum konsumsi protein di tiga provinsi telah melebihi angka kecukupan (Tabel 4). Konsumsi protein di Sulawesi Tenggara cukup tinggi baik di perkotaan+perdesaan, perkotaan, maupun perdesaan. Besar konsumsi masing-masing adalah 64.39 gram, 77.98 gram, dan 61.35 gram per kapita per hari. Konsumsi protein di Jawa Tengah, yaitu 55.10 gram (perkotaan+perdesaan), 56.48 gram (perkotaan), dan 54.18 gram (perdesaan) per kapita per hari. Protein adalah salah satu zat gizi yang penting untuk pertumbuhan. Sebagai zat pembangun atau pertumbuhan, karena merupakan bahan pembentuk jaringan baru dalam tubuh terutama bagi bayi, anak-anak, ibu hamil, ibu menyusui dan orang yang baru sembuh dari sakit (Hardinsyah, Martianto 1992). Protein yang dimakan sehari-hari terdiri dari berbagai macam asam amino, setelah dicerna dan diserap oleh tubuh digunakan untuk sintesis protein sel, protein fungsional seperti hormon dan enzim, dan protein pengangkut seperti transferin. Jumlah protein yang diberikan dikatakan adekuat apabila mengandung semua asam amino esensial dalam jumlah yang cukup, mudah dicerna dan diserap oleh tubuh. Protein yang memenuhi syarat tersebut adalah protein yang berkualitas tinggi seperti

37 misalnya protein hewani (Pudjiadi 2001). Fungsi protein lainnya adalah untuk pertumbuhan dan pemeliharaan, mengatur keseimbangan air, memelihara

netralitas tubuh, pembentukan antibodi, mengangkut zat-zat gizi, dan sebagai sumber energi. Tabel 4. Tingkat kecukupan protein di Provinsi Sumatera Barat, Jawa Tengah, dan Sulawesi Tenggara tahun 2005 No 1 Provinsi/wilayah Sumatera Barat - Perkotaan + perdesaan - Perkotaan - Perdesaan Jawa Tengah - Perkotaan + perdesaan - Perkotaan - Perdesaan Sulawesi Tenggara - Perkotaan+perdesaan - Perkotaan - Perdesaan Konsumsi (kkal//kapita/hari) 62.95 67.16 61.20 55.10 56.48 54.18 64.39 77.98 61.35 Tingkat Kecukupan (%AKP)* 121.1 129.2 117.7 106.0 108.6 104.2 123.8 150.0 118.0

* Angka Kecukupan Protein (AKP) = 52 gram/kapita/hari

Apabila dibedakan berdasarkan wilayah, pada umumnya konsumsi protein di perkotaan lebih tinggi daripada di perdesaan. Selanjutnya jika dikaitkan dengan tingkat pendapatan, di perkotaan lebih tinggi daripada perdesaan. Pendapatan yang lebih tinggi akan semakin tinggi pula daya beli. Dengan demikian rumah tangga akan mampu membeli makanan dalam jumlah yang lebih banyak dan dengan kualitas yang lebih baik, dan didukung oleh ketersediaan pangan di kota yang lebih beragam. Walaupun konsumsi protein telah melebihi dari kecukupan, tetapi perlu ditinjau kembali komposisi sumber pangan. Dikemukakan oleh Pudjiadi (2001), protein hewani lebih baik kualitasnya dibandingkan dengan protein nabati. Selanjutnya Hardinsyah dan Martianto (1992), menjelaskan bahwa penilaian kualitas atau mutu protein didasarkan atas beberapa pertimbangan, yaitu a). protein merupakan salah satu zat gizi makro yang bersumber dari berbagai pangan dan memberikan manfaat yang beragam bagi tubuh, umumnya manfaat protein

38 nabati lebih rendah daripada protein hewani; b). pangan hewani mengandung bermacam mineral yang dibutuhkan tubuh dan tersedia dalam bentuk mudah diserap dan dimanfaatkan oleh tubuh; c). pangan yang kaya protein pada umumnya mengandung lemak yang relatif tinggi dan terasa gurih, pangan ini umumnya dimiliki oleh pangan hewani. Konsumsi pangan hewani akan memberikan asupan zat gizi esensial seperti protein dengan bioavailabilitas yang baik, vitamin, dan mineral mikro (B6, B12, zat besi, iodium, dan seng). Kekurangan zat gizi mikro akan berakibat resiko tinggi terhadap pertumbuhan dan keterbelakangan mental pada kelompok rawan pertumbuhan (janin, bayi, dan anak-anak), penyakit infeksi dan penurunan produktivitas (Martianto dan Ariani 2004). Komposisi protein yang dianjurkan adalah 80% nabati dan 20% hewani (BKP 2006). Atas dasar itu, dapat dikatakan bahwa konsumsi protein hewani di Jawa Tengah belum sesuai dengan anjuran, karena baru memenuhi 16.4% (wilayah perdesaan) dan 19.0% (wilayah perkotaan+perdesaan) dari 20% yang dianjurkan. (Tabel 5). Melihat kenyataan ini menunjukkan bahwa rata-rata kuantitas maupun kualitas konsumsi pangan penduduk di Jawa Tengah masih relatif rendah, hal itu didukung oleh adanya kasus defisit energi (TKE<90%) yang relatif besar (41.8%). Konsumsi protein hewani di Sumatera Barat dan Sulawesi Tenggara telah sesuai anjuran yaitu minimal 20% dari total konsumsi protein. Konsumsi protein hewani di Sulawesi Tenggara sebesar 22.84 gram, di Sumatera Barat 18.39 gram, dan Jawa Tengah 10.45 gram/kapita/hari. Pada umumnya konsumsi protein hewani di perkotaan jauh lebih tinggi dibandingkan di perdesaan. Sebagai pembanding dari penelitian ini adalah: Ariningsih (2002), menemukan kontribusi protein hewani di Jawa sekitar 18.32% pada tahun 1996, dan 14.05% pada tahun 1999. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa konsumsi protein hewani di Jawa Tengah tahun 2005 sudah lebih baik daripada tahun 1996. Rincian konsumsi protein menurut jenis pangan dari masing-masing provinsi ditunjukkan oleh Lampiran 9-11. Rendahnya konsumsi protein hewani di perdesaan diduga karena pangan hewani relatif lebih mahal daripada pangan nabati. Oleh karena pendapatan

39 terbatas, mereka akan lebih mengutamakan jenis pangan lain yang lebih murah harganya daripada untuk membeli pangan hewani. Disamping itu mereka telah merasa cukup atau kebutuhan minimum pangan hewani sudah terpenuhi. Tabel 5. Rataan konsumsi protein per kapita per hari menurut wilayah di Provinsi Sumatera Barat, Jawa Tengah, dan Sulawesi Tenggara tahun 2005 Perkotaan gram % 42.76 24.40 67.16 43.66 12.28 56.48 44.51 33.47 77.98 63.7 36.3 100.0 77.3 22.7 100.0 57.1 42.9 100.0 Perdesaan gram % 45.30 15.90 61.20 45.31 8.87 54.18 40.89 20.46 61.34 74.0 26.0 100.0 83.6 16,4 100.0 66.6 33.4 100.0

/Provinsi/Klasifikasi Perkotaan+perdesaan Gram % 1 Sumatera Barat - Nabati 44.56 70.8 - Hewani 18.39 29.2 Total 62.95 100.0 2 Jawa Tengah - Nabati 44.65 81.0 - Hewani 10.45 19.0 Total 55.10 100.0 3 Sulawesi Tenggara - Nabati 41.55 64.5 - Hewani 22.4 35.5 Total 64.39 100.0

Susunan protein hewani yang disarankan adalah berasal dari ternak 6 gram dan ikan sebesar 9 gram (WNPG 2004). Pangan hewani yang dianjurkan adalah daging ruminansia dan unggas sebesar 65 gram atau terdiri atas 12 gram daging ruminansia, 22 gram daging unggas, 17 gram telur, dan 14 gram susu, sedangkan untuk ikan sebesar 85 gram. Berdasarkan sumber protein hewani ditunjukkan oleh Tabel 6. Di Sumatera Barat komposisi konsumsi protein hewani telah sesuai dengan anjuran. Konsumsi protein dari ikan bahkan telah melebihi anjuran, sedangkan konsumsi protein bersumber daging, di perdesaan masih kurang dari anjuran yaitu sebesar 5.3 gram/kapita/hari. Ikan memberikan kontribusi protein hewani >50% baik di perdesaan maupun perkotaan, dan dikonsumsi dalam bentuk ikan segar maupun ikan olahan. Berdasarkan jumlah pangan hewani yang dikonsumsi, maka ikan segar menempati urutan pertama baik di perdesaan maupun perkotaan, masing-masing sebesar 49 gram dan 54 gram/kapita/hari. Konsumsi terbesar kedua adalah telur (Lampiran 12). Di perdesaan jumlah konsumsi ikan olahan

40 lebih tinggi dibandingkan dengan konsumsi daging unggas maupun ruminansia. Sebaliknya konsumsi daging unggas lebih tinggi di perkotaan yaitu sekitar 15 gram/kapita/hari. Rata-rata konsumsi menurut jenis pangan per kapita per hari disajikan pada Lampiran 12-14. Tabel 6. Rataan konsumsi protein hewani per kapita per hari menurut wilayah dan jenis pangan hewani di Provinsi Sumatera Barat, Jawa Tengah, dan Sulawesi Tenggara tahun 2005
No Wilayah/jenis pangan Perkotaan+perdesaan Ruminansia & unggas: - Daging unggas - Daging ruminansia - Telur - Susu Ikan Total Perkotaan Ruminansia & unggas: - Daging unggas - Daging ruminansia - Telur - Susu Ikan Total Perdesaan Ruminansia & unggas: - Daging unggas - Daging ruminansia - Telur - Susu Ikan Total Sumatera Barat gram % 7.2 2.5 1.3 2.4 1.0 11.2 18.4 11.7 5.0 2.0 3.0 1.6 12.7 24.4 5.3 1.5 1.0 2.1 0.7 10.6 15.9 39.2 13.7 7.2 13.0 5.2 60.8 100.0 48.1 20.7 8.3 12.4 6.7 51.9 100.0 33.5 9.2 6.5 13.5 4.3 66.5 100.0 Jawa Tengah Gram % 5.4 2.4 0.6 1,7 0.7 5.0 10.4 7.2 3.2 1.1 1.9 1.0 5.6 12.8 4.2 1.9 0.3 1.5 0.4 4.7 8.9 51.8 23.1 6.0 16.2 6.5 48.2 100.0 56.5 25.1 8.2 15.0 8.1 43.5 100.0 47.3 21.1 3.9 17.4 4.9 52.7 100.0 Sulawesi Tenggara gram % 2.8 0.9 0.3 0.9 0.7 20.1 22.8 4.4 1.3 0.3 1.5 1.2 29.1 33.5 2.4 0.8 0.3 0.8 0.6 18,0 20.5 12.2 4.0 1.2 3.9 3.1 87.8 100.0 13.0 4.0 1.0 4.6 3.5 87.0 100.0 11.9 4.0 1.2 3.7 2.9 88.1 100.0

Atas dasar besarnya kontribusi protein dari pangan hewani, maka susunan konsumsi pangan hewani di Sumatera Barat wilayah perkotaan adalah ikan,

daging unggas, telur, daging ruminansia dan susu. Di perdesaan adalah sebagai berikut: ikan, telur, daging unggas, dan daging ruminansia. Pada umumnya ikan dikonsumsi lebih tinggi dari daging, salah satu penyebabnya adalah harga ikan yang lebih murah daripada daging unggas maupun ruminansia. Konsumsi protein hewani di Jawa Tengah belum memenuhi anjuran kecuali di perkotaan (produk ternak), sedangkan konsumsi ikan masih di bawah angka anjuran baik di perdesaan maupun perkotaan. Ikan merupakan penyumbang terbesar konsumsi protein hewani di wilayah perdesaan yaitu sebesar 52.7% atau

41 setara 4.7 gram protein. Secara umum kuantitas konsumsi pangan hewani di Jawa Tengah masih rendah, yaitu rata-rata 53 gram per hari, atau menurut wilayah perkotaan sebesar 65 gram, dan di perdesaan sebesar 44 gram/hari, jumlah yang dianjurkan adalah 150 gram pangan hewani yang terdiri atas 65 gram daging ternak dan 85 gram ikan. Jumlah konsumsi per kapita per hari menurut jenis pangan ditunjukkan oleh Lampiran 13. Berdasarkan besarnya konsumsi pangan hewani, maka susunan konsumsi pangan hewani di perkotaan adalah ikan segar, telur, daging unggas, ikan olahan, susu, dan daging ruminansia. Susunan ini berbeda untuk perdesaan, di mana telur dikonsumsi lebih tinggi dibandingkan pangan hewani lainnya. Berturut-turut dengan susunan sebagai berikut: telur, ikan segar, ikan olahan, daging unggas, susu, dan daging ruminansia. Namun secara umum dapat dikatakan bahwa telur dan ikan merupakan pangan hewani cukup besar dikonsumsi di Jawa Tengah (perkotaan+perdesaan), masing-masing sebesar 16 gram dan 23 gram per kapita per hari (Lampiran 13). Di Jawa Tengah baik perdesaan maupun perkotaan konsumsi pangan hewani yang telah memenuhi anjuran adalah konsumsi telur. Barangkali dapat dikatakan bahwa telur merupakan sumber pangan protein hewani yang murah atau mungkin dapat diterima oleh hampir semua rumah tangga. Keadaan tersebut dapat dipahami mengingat harga telur yang relatif murah dibandingkan pangan hewani lainnya terutama produk ternak, mudah dalam pengolahan dan penyajiannya. Telur memiliki rasa yang enak dan memiliki daya simpan relatif lama dan tingkat ketersediaannya relatif tinggi. Konsumsi protein hewani di Sulawesi Tenggara telah sesuai dengan anjuran. Protein hewani didominasi oleh ikan, kontribusi terhadap total protein hewani mencapai >80% baik di perkotaan maupun perdesaan. Hal tersebut adalah wajar, karena provinsi ini banyak dikelilingi oleh lautan yang berpotensi untuk perikanan. Melihat besarnya kontribusi ikan terhadap konsumsi protein hewani, hal ini menunjukkan bahwa ikan telah menjadi bagian penting dalam konsumsi sehari-hari. Pada satu sisi konsumsi protein bersumber ikan telah mencapai sasaran, tetapi di sisi lain protein bersumber ternak belum terpenuhi. Protein terbesar berasal dari ikan yaitu mencapai 29.1 gram di wilayah perkotaan

42 sedangkan di perdesaan sebesar 18.0 gram atau secara keseluruhan (perkotaan+ perdesaan) sebesar 20.1 gram per kapita per hari (Tabel 6). Kuantitas pangan hewani di Sulawesi Tenggara sangat tinggi rata-rata sebesar 152 gram. Apabila dibedakan menurut wilayah maka di perkotaan sebesar 227 gram per hari dan 137 gram di perdesaan (Lampiran 14). Di wilayah perkotaan sebesar 50% pangan hewani berasal dari ikan segar, kemudian disusul oleh telur, susu dan ikan olahan. Di wilayah perdesaan setelah ikan segar konsumsi selanjutnya adalah telur, ikan olahan, dan susu. Hal yang menarik dari hasil penelitian di tiga provinsi adalah bahwa di perkotaan Jawa Tengah protein bersumber ternak terlihat mendominasi konsumsi protein hewani. Sebaliknya di perdesaan protein ikanlah yang dominan. Pendapatan yang relatif rendah dan kecenderungan untuk hidup sederhana, mendorong penduduk di perdesaan untuk mengkonsumsi lebih banyak protein ikan yang harganya relatif murah (Ariningsih 2002). Pada umumnya konsumsi ikan olahan lebih tinggi dikonsumsi di perdesaan. Menurut Ariningsih (2002), ikan olahan/awetan mempunyai daya jangkau lebih luas di wilayah perdesaan, dan dengan mudah didapat. Ikan tersebut mempunyai daya tahan yang relatif lama dan penanganannya relatif lebih sederhana. Di wilayah perdesaan pendapatan per kapita relatif lebih rendah daripada perkotaan, sehingga ikan olahan yang relatif murah harganya lebih banyak dikonsumsi dibanding daging unggas ataupun daging ruminansia. Keragaman Konsumsi Pangan Salah satu dari 13 pesan dasar gizi seimbang adalah makanlah aneka ragam makanan. Maksud dari pesan tersebut adalah bahwa tidak ada satupun jenis makanan yang mengandung secara lengkap zat gizi sehingga seseorang yang mengkonsumsinya akan hidup sehat, tumbuh kembang secara normal dan produktif. Kekurangan satu zat gizi tertentu pada satu makanan akan terpenuhi atau dilengkapi oleh makanan lain yang memiliki zat tersebut. Diantara satu makanan dengan makanan lain terjadi aksi saling melengkapi asupan zat gizinya. Pola Pangan Harapan adalah susunan beragam pangan yang didasarkan atas proporsi sumbangan energi, baik secara absolut maupun relatif terhadap total

43 energi penyediaan atau konsumsi pangan yang mampu mencukupi kebutuhan pangan dan gizi penduduk, baik dalam jumlah kualitas maupun keragamannya. FAO RAPA mendefinisikan PPH sebagai komposisi kelompok pangan utama yang bila dikonsumsi dapat memenuhi kebutuhan energi dan zat gizi lainnya (Baliwati 2007). Melalui pendekatan PPH mutu/kualitas konsumsi pangan

penduduk dapat dilihat dari nilai skor pangan (skor PPH). Semakin tinggi skor PPH semakin bagus kualitas dari konsumsi pangan penduduk tersebut dan berarti konsumsi pangan semakin beragam dan seimbang. Pada hasil penelitian yang dilakukan oleh Anwar (1996), disebutkan kelebihan pemakaian pendekatan PPH salah satunya adalah derajat kesehatan penduduk lebih terjamin, karena titik tolak pendekatan adalah kecukupan gizi. Dijelaskan oleh Hardinsyah et al (2001) bahwa dengan terpenuhinya kebutuhan energi dari berbagai kelompok pangan sesuai PPH, maka secara implisit kebutuhan zat gizi akan terpenuhi kecuali untuk zat gizi yang sangat defisit dalam suatu kelompok pangan. Komposisi/susunan konsumsi ideal yang dianjurkan untuk tingkat konsumsi adalah: padi-padian 275 gram, umbi-umbian 100 gram, pangan hewani 150 gram, kacang-kacangan 35 gram, sayur dan buah 250 gram (Dewan Ketahanan Pangan 2006). Susunan pangan sesuai kaidah PPH sebagaimana dikemukakan oleh Hardinsyah, tidak hanya memenuhi kecukupan gizi tetapi mempertimbangkan keseimbangan gizi yang didukung oleh daya

cerna, daya terima masyarakat, kuantitas, dan kemampuan daya beli. Selanjutnya melalui PPH dapat dinilai keberhasilan dari upaya diversifikasi pangan. Susenas tahun 2005 untuk tiga provinsi menunjukkan bahwa skor PPH telah sesuai dengan sasaran Kebijakan Umum Ketahanan Pangan yaitu untuk periode 2006-2009 telah mencapai skor PPH minimal 80. Skor PPH tahun 2005 yang dicapai oleh Sumatera Barat (82.4) dan Jawa Tengah (80.5). Skor PPH untuk Sulawesi Tenggara hampir sama besarnya dengan Sumatera Barat yaitu 82.3. Tabel 7 memperlihatkan secara terinci besarnya masing-masing skor dari kelompok pangan. Meskipun telah mencapai sasaran, secara umum konsumsi pangan tersebut belum seimbang karena masih jauh dari skor ideal. Meskipun proporsi energi dari padi-padian telah melebihi sumbangan yang diharapkan (50%), skor yang diperoleh dari kelompok ini hanya 25. Hal ini disebabkan

44 rating/bobot yang ditetapkan 0.5 dan skor maksimum adalah 25. Skor setiap kelompok pangan harus memperhatikan batas maksimum yang disarankan untuk dipenuhi. Ditinjau menurut jenis komoditas pada kelompok padi-padian, akan terlihat bahwa sumber utama energi di Sumatera Barat masih sangat tergantung pada satu jenis pangan yaitu beras. Beras memang telah menjadi pangan pokok di semua lapisan masyarakat termasuk wilayah yang sebelumnya berpola pangan pokok bukan beras (Martianto, Ariani, Hardinsyah, 2003). Di provinsi ini beras sangat berperan dalam memenuhi kebutuhan energinya, sehingga konsumsi pangan sumber karbohidrat kurang beragam. Karena pola pangan yang cenderung tunggal kurang bermanfaat, dan riskan apabila suatu saat terjadi gejolak harga atau ketersediaan dari pangan tersebut mengalami gangguan. Apabila terus berlanjut, dikhawatirkan kemampuan daerah untuk menyediakan pangan beras akan menurun. Hal ini bisa terjadi karena permintaan pangan akan beras meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk, sementara daya dukung lahan kurang memadai. Guna menghindari kejadian tersebut, sosialisasi/ pengenalan pangan sumber karbohidrat jenis lain harus terus digalakkan. Walaupun skor yang dicapai oleh Sumatera Barat telah sesuai dengan sasaran yang ditargetkan dalam Kebijakan Umum Ketahanan Pangan 2006-2009, skor tersebut harus terus dipertahankan dan ditingkatkan lagi. Upaya yang diharapkan dapat dilakukan adalah: (a) dengan menurunkan konsumsi beras,

hingga konsumsi dari kelompok padi-padian mencapai 50% dari total kecukupan energi; (b) meningkatkan konsumsi umbi-umbian, konsumsi hewani, konsumsi kacang-kacangan, serta meningkatkan konsumsi buah dan sayur. Melaksanakan upaya tersebut tentunya tidak mudah, meskipun ketersediaan ditingkatkan tetapi tidak diimbangi dengan daya beli, usaha tersebut akan sia-sia. Kemampuan daya beli ada tetapi tidak diimbangi dengan pengetahuan gizi yang baik dan kesadaran untuk berperilaku hidup sehat, sehingga tujuan tidak tercapai. Masalah pangan dan gizi melibatkan semua sektor, tidak hanya pemerintah tetapi swasta/

masyarakat juga bertanggung jawab untuk mengatasinya. Bila dilihat secara umum (perkotaan+perdesaan), maka konsumsi minyak dan lemak telah berlebih (Sumatera Barat), namun tidak demikian dengan

Tabel 7.
No

Keragaman kualitas konsumsi pangan di Provinsi Sumatera Barat, Jawa Tengah, dan Sulawesi Tenggara tahun 2005
Sumatera Barat %TKE 72.1 2.5 8.6 13.0 6.8 2.0 4.8 5.3 1.3 116.4 Bobot 0.5 0.5 2 0.5 0.5 2 0.5 5 Skor PPH Kkal 25.0 1.3 17.2 5.0 1.0 3.9 2.4 26.6 82.4 1.217 61 116 195 50 95 104 98 33 1.969 Jawa Tengah %TKE 60.9 3.0 5.8 9.7 2.5 4.8 5.2 4.9 1.6 98.5 Bobot 0.5 0.5 2 0.5 0.5 2 0.5 5 Sulawesi Tenggara Skor PPH Kkal 25.0 1.5 11.6 4.9 1.0 9.5 2.5 24.5 80.5 1.401 198 179 174 69 29 106 105 32 2.293 %TKE 70.1 9.9 8.9 8.7 3.5 1.4 5.3 5.2 1.6 114.6 Bobot 0.5 0.5 2 0.5 0.5 2 0.5 5 Skor PPH 25.0 2.5 19.9 4.4 1.0 2.9 2.5 26.2 82.3

Kelompok pangan Kkal Perkotaan+perdesaan Padi-padian 1.442 Umbi-umbian 51 Pangan hewani 172 Minyak & lemak 259 Buah/biji berminyak 137 Kacang-kacangan 39 Gula 95 Sayur & buah 107 Lain-lain 26 Total 2.327 Perkotaan Padi-padian Umbi-umbian Pangan hewani Minyak & lemak Buah/biji berminyak Kacang-kacangan Gula Sayur & buah Lain-lain Total

1 2 3 4 5 6 7 8 9

1 2 3 4 5 6 7 8 9

1.347 37 247 286 92 48 88 99 30 2.274

77.4 1.8 12.3 14.0 4.6 2.4 4.4 5.0 1.5 113.7

0.5 0.5 2 0.5 0.5 2 0.5 5 -

25.0 0.9 24.0 5.0 1.0 4.8 2.2 24.9 87.8

1.191 46 146 194 43 96 110 95 35 1.956

59.6 2.3 7.3 9.7 2.1 4.8 5.5 4.8 1.8 97.8

0.5 0.5 2 0.5 0.5 2 0.5 5 -

25.0 1.1 14.6 4.9 1.0 9.6 2.5 23.8 82.5

1.486 90 263 220 72 35 123 129 41 2.459

74.3 4.5 13.1 11.0 3.6 1.8 6.1 6.5 2.1 123.0

0.5 0.5 2 0.5 0.5 2 0.5 5 -

25.0 2.3 24.0 5.0 1.0 3.5 2.5 30.0 93.3

46

Lanjutan Tabel 7.
No Kelompok pangan Kkal 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Perdesaan Padi-padian Umbi-umbian Pangan hewani Minyak & lemak Buah/biji berminyak Kacang-kacangan Gula Sayur & buah Lain-lain Total 1.481 56 140 248 155 36 98 110 25 2.349 Sumatera Barat %TKE 74.0 2.8 7.0 12.4 7.8 1.8 4.9 5.5 1.2 117.4 Bobot 0.5 0.5 2 0.5 0.5 2 0.5 5 Skor PPH Kkal 25.0 1.4 14.0 5.0 1.0 3.6 2.5 27.4 79.8 Jawa Tengah %TKE Bobot 0.5 0.5 2 0.5 0.5 2 0.5 5 Sulawesi Tenggara Skor PPH Kkal 25.0 1.8 9.6 4.9 1.0 9.5 2.5 24.9 79.2 1.382 223 160 164 69 27 102 99 29 2.255 %TKE 69.1 11.1 8.0 8.2 3.4 1.4 5.1 5.0 1.5 112.8 Bobot 0.5 0.5 2 0.5 0.5 2 0.5 5 Skor PPH 25.0 2.5 16.0 4.1 1.0 2.7 2.5 24.9 78.7

1.234 61.7 71 3.5 96 4.8 195 9.8 55 2.7 95 4.8 101 5.1 100 5.0 31 1.6 1.978 98.9

% TKE = {(konsumsi energi aktual)/AKE} x 100% = Kkal/2000 x 100% Skor PPH = %TKE x Bobot

47 konsumsi pangan hewani dan buah sayur. Sesuai dengan PPH Deptan 2001 untuk mencapai skor 100 pada tahun 2015, dari sembilan jenis pangan yang perlu ditingkatkan jumlahnya adalah pangan hewani, kacang-kacangan, sayur dan buah. Sumatera Barat perlu meningkatkan skornya masing-masing sebesar 6.8 point, 6.1 point, dan 3.4 point. Demikian pula Provinsi Jawa Tengah perlu meningkatkan konsumsi pangan hewani sebesar 12.4 point, kacang-kacangan 0.5 point, dan sebesar 5.5 point untuk sayur buah. Sulawesi Tenggara hendaknya meningkatkan lagi pangan hewani sebesar 6.1 point, dan 7.1 point untuk kacang-kacangan, serta 3.8 point untuk sayur buah. Dari ketiga provinsi, terlihat bahwa skor konsumsi umbi-umbian belum mencapai skor yang diharapkan (2.5) kecuali di Sulawesi Tenggara. Meskipun sedikit dikonsumsi, diharapkan pada masa mendatang konsumsinya meningkat. Upaya yang dilakukan adalah penganekaragaman produk olahan dari umbiumbian sehingga akan meningkatkan daya tarik untuk mengkonsumsinya. Bila melihat kontribusi energi dari masing-masing jenis pangan, Lampiran 15-17 memperlihatkan bahwa beras merupakan penyumbang utama energi. Secara umum (perkotaan+perdesaan) di tiga provinsi, beras menyumbang energi lebih dari 50% total konsumsi energi kecuali di Jawa Tengah yaitu 48.3%. Penyumbang energi terbesar di Sumatera Barat setelah beras adalah minyak dan lemak (11.1%), kemudian terigu (7.1%). Penyumbang energi terbesar di Jawa Tengah untuk kedua dan ketiga adalah terigu (12.4%) dan kelompok minyak dan lemak (9.9%). Berbeda dengan kedua provinsi tadi, maka di Sulawesi Tenggara konsumsi pangan umbi-umbian (8.7%) merupakan penyumbang energi terbesar kedua, kemudian diikuti terigu (8.1%). Berdasarkan pangan sumber karbohidrat dan besarnya kontribusi terhadap total konsumsi energi, maka susunan konsumsi pangan di Sumatera Barat adalah beras-terigu, sedangkan di Jawa Tengah susunannya adalah beras-terigu. Susunan pangan di Sulawesi Tenggara jauh beragam dibanding dua lainnya, yaitu berasumbi-terigu. Hal yang perlu dikhawatirkan adalah konsumsi terigu yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan konsumsi umbi-umbian ataupun jagung. Terigu telah menggeser pola pangan lokal, dan sampai sekarang terigu masih merupakan barang impor. Tentunya kondisi ini akan memperberat tugas pemerintah karena

48 akan menguras devisa untuk mengimpor pangan khususnya terigu yang semestinya dapat dialihkan untuk kepentingan yang lain. Apabila dilihat menurut wilayah, maka kualitas konsumsi pangan di perkotaan lebih bagus daripada di perdesaan. Skor PPH di wilayah perkotaan Sulawesi Tenggara yaitu 93.3 selanjutnya Sumatera Barat 87.8 dan Jawa Tengah sebesar 82.5. Bila Tabel 7 diamati lebih lanjut, terlihat bahwa beberapa kelompok pangan di Sulawesi Tenggara khususnya wilayah perkotaan telah mencapai nilai maksimum, dan ini berarti bahwa pangan tersebut hampir mencapai komposisi yang ideal. Selain kelompok pangan padi-padian, banyak kelompok pangan lain yang konsumsinya telah mencapai skor maksimum. Pangan tersebut adalah pangan hewani, minyak dan lemak, buah/biji berminyak, gula, serta sayur dan buah. Sedangkan konsumsi di wilayah perkotaan yang perlu ditingkatkan skornya adalah kelompok pangan kacang-kacangan sebesar 6.5 point. Di wilayah perkotaan Sumatera Barat kelompok pangan yang telah mencapai skor maksimum adalah padi-padian, pangan hewani, minyak dan lemak, dan buah/biji berminyak. Konsumsi yang perlu ditingkatkan skornya hingga mencapai ideal adalah kacangkacangan sebesar 5.2 point, umbi-umbian 1.6 point, dan sayur buah sebesar 5.1 point. Dari ketiga provinsi khususnya untuk wilayah perkotaan, konsumsi pangan hewani telah mencapai kontribusi yang diharapkan menurut kaidah PPH kecuali di Jawa Tengah. Kualitas konsumsi pangan di Jawa Tengah perlu terus

ditingkatkan, karena banyak konsumsi pangan yang masih jauh dari ideal. Pangan yang ditingkatkan skor PPHnya adalah umbi-umbian sebesar 1.4 point, pangan hewani 9.4 point, kacang-kacangan 0.4 point, dan sayur buah sebesar 6.2 point. Memperhatikan Lampiran 15-17, jenis pangan pokok yang dikonsumsi sebagai sumber karbohidrat untuk ketiga provinsi adalah padi-padian. Dari kelompok padi-padian, beras yang dikonsumsi masing-masing lebih dari 45% kontribusinya terhadap total energi. Apabila dilihat berdasarkan wilayah perkotaan, di Sumatera Barat penyumbang energi terbesar setelah beras adalah minyak dan lemak (12.6%) dan terigu (8.9%). Sedangkan di Jawa Tengah adalah terigu (14.4%), minyak dan lemak (9.9%), serta gula (5.6%). Sementara itu di

49 Sulawesi Tenggara adalah terigu (10.9%), minyak dan lemak (8.9%) dan ikan segar (6.5%). Apabila dilihat sumber karbohidrat dan energi adalah padi-padian dan umbiumbian, maka dapat dikatakan bahwa penyumbang energi terbesar di wilayah perkotaan di ketiga provinsi adalah beras-terigu. Pola konsumsi yang mengarah ke terigu tentunya perlu dikritisi, karena pangan jenis ini masih impor. Terigu belum diproduksi di Indonesia. Pada umumnya terigu dikonsumsi dalam bentuk mie, maupun biskuit. Seperti kita ketahui umumnya pangan terigu dikonsumsi dalam bentuk mie, dan pangan ini telah dikenal secara luas sampai ke perdesaan. Kondisi mutu pangan di perdesaan tidak lebih baik dibandingkan perkotaan. Ketiga provinsi menunjukkan skor PPH kurang dari 80. Rendahnya skor PPH tergantung pada pencapaian sumbangan setiap kelompok pangan. Skor PPH Sumatera Barat dan Jawa Tengah masing-masing sebesar 79.8 dan 9.2, sedangkan skor PPH di Sulawesi Tenggara sebesar 78.7. Meskipun proporsi kelompok padipadian, buah biji berminyak dan gula telah melebihi sumbangan yang diharapkan, akan tetapi setelah dinilai skornya masing-masing hanya diperoleh 25 untuk padipadian, satu untuk buah/biji berminyak, dan 2.5 untuk gula. Seperti dijelaskan di atas karena penentuan skor PPH harus memperhatikan batas maksimal yang disarankan untuk dipenuhi. Data yang tersaji pada Tabel 7 memperlihatkan skor PPH pangan hewani di perdesaan lebih rendah daripada perkotaan. Skor PPH dari kelompok pangan ini belum ada yang mencapai skor ideal. Analisis PPH ini mendukung pernyataan di atas, konsumsi pangan hewani lebih rendah di perdesaan daripada di perkotaan. Hal ini diduga berkaitan dengan kemampuan daya beli di perdesaan lebih rendah dari perkotaan. Pada umumnya pangan hewani lebih mahal daripada pangan nabati. Khusus wilayah perdesaan dari tiga provinsi ini masih perlu meningkatkan kualitas dan kuantitas konsumsi pangannya. Beragam pangan yang perlu ditingkatkan hingga mencapai nilai ideal, pangan tersebut diantaranya adalah pangan hewani, sayur buah, kacang-kacangan. Provinsi Sumatera Barat perlu meningkatkan pangan hewani sebesar 10 point, kacang-kacangan 6.4 point, dan sayur buah 2.6 point. Konsumsi pangan di Jawa Tengah yang perlu ditingkatkan

50 masing-masing 14.4 point (pangan hewani), 0.5 point (kacang-kacangan), dan 5.1 point (sayur buah). Konsumsi pangan di Sulawesi Tenggara yang perlu ditingkatkan adalah pangan hewani 8 point, kacang-kacangan 7.3 point, dan sayur buah 5.1 point. Seperti halnya konsumsi pangan di perkotaan, di wilayah perdesaan beras menyumbang energi paling besar daripada jenis pangan lain. Kontribusi beras terhadap total energi di Sumatera Barat cukup besar yaitu 56.7%, sedangkan di Jawa Tengah sebesar 49.7%. Berdasarkan besarnya kontribusi energi dari pangan sumber karbohidrat, maka susunan pangan di perdesaan Sumatera Barat dan Jawa Tengah yaitu beras-terigu, sedangkan di Sulawesi Tenggara adalah beras-umbiterigu. Pola konsumsi pangan beras-umbi tentunya perlu dipertahankan, karena selain beras ternyata umbi-umbian masih diandalkan sebagai penyumbang kebutuhan energinya. Di Sulawesi Tenggara umbi-umbian menyumbang sebesar 9.9% dari total energi (Lampiran 17). Penyumbang energi terbesar di Sumatera Barat setelah beras adalah minyak dan lemak (10.6%), buah/biji berminyak (6.6%), dan terigu (6.4%), di Jawa Tengah setelah beras adalah terigu (11.1%), minyak dan lemak (9.9%), dan di Sulawesi Tenggara adalah umbi-umbian (9.9%), selanjutnya disusul oleh terigu (7.4%), minyak dan lemak (7.3%). Tingginya kontribusi energi dari kelompok minyak dan lemak disebabkan kandungan energi per satuan berat dari kelompok pangan ini cukup besar, sebagai contoh 100 gram minyak kelapa mengandung energi 870 kkal sedangkan 100 gram beras menghasilkan 360 kkal. Menurut Statistik Pertanian 2006 produksi pangan di wilayah Jawa Tengah, untuk komoditas ubi kayu dan ubi jalar pada tahun 2005 cukup besar yaitu masing-masing sebesar 3.478.970 ton dan 144.598 ton dengan produktivitas masing-masing sebesar 165 kuintal per hektar dan 129 kuintal per hektar (Deptan 2006). Di Sulawesi Tenggara, pangan umbi-umbian cukup potensial

dikembangkan di wilayah ini. Hal tersebut terlihat dari produksi tahun 2005 untuk ubi kayu sebesar 256.467 ton dan ubi jalar sebesar 24.823 ton dengan produktivitas masing-masing sebesar 173 kuintal per hektar dan 83 kuintal per hektar. Dengan potensi yang ada, sebenarnya pangan sumber karbohidrat di masing-masing daerah cukup beragam. Rupanya produksi yang besar tersebut

51 belum sepenuhnya dimanfaatkan sebagai sumber energi pangan, sehingga sumber energi konsumsi penduduk masih sangat bergantung pada beras. Dari hasil analisis dengan pendekatan PPH, yang perlu digarisbawahi adalah bahwa: a) kelompok padi-padian telah mencapai skor makimum di semua provinsi baik perkotaan maupun perdesaan, b) konsumsi ideal dari kelompok pangan ini adalah 50% dari angka kecukupan dan skornya 25, c) tingkat kecukupan energi aktual dari pangan ini berkisar 59.6 (perkotaan di Jawa Tengah) dan 77.1% (perkotaan+perdesaan di Sumatera Barat). Atas dasar alasan tersebut maka dapat dikatakan bahwa konsumsi pangan untuk padi-padian belum mencapai jumlah yang ideal. Diterangkan oleh Martianto dan Ariani (2004), konsumsi yang masih di bawah konsumsi harapan, memerlukan upaya-upaya serius untuk meningkatkan kuantitas maupun kualitas konsumsi pangan guna mencapai pola pangan ideal. Upaya yang dilakukan tidak terbatas pada penyediaan saja akan tetapi upayaupaya yang secara langsung dapat mempengaruhi perbaikan mutu gizi. Upaya ini diantaranya peningkatan pendapatan dan daya beli yang diikuti dengan perbaikan pengetahuan gizi. Peningkatan pengetahuan gizi memungkinkan pengelolaan sumberdaya secara lebih baik, sehingga masyarakat dapat memilih jenis pangan bermutu gizi dengan harga yang terjangkau. Dalam rangka perbaikan kualitas konsumsi pangan perlu ditekankan di sini akan pentingnya pemahaman gizi seimbang. Menurut Soegianto (2008), konsep gizi seimbang adalah usaha untuk mencapai keseimbangan antara kebutuhan tubuh akan zat gizi dengan asupan yang didapat melalui makanan, serta mencapai keseimbangan antara berbagai macam zat gizi dalam makanan yang dikonsumsi. Untuk mempertahankan kelangsungan hidup dibutuhkan zat gizi dan energi. Zat gizi dan energi didapatkan dari makanan. Mengkonsumsi makanan dengan benar yaitu dalam jumlah yang seimbang akan menghasilkan tubuh yang sehat. Karena tidak ada satu jenis pangan yang lengkap kandungan zat gizinya kecuali ASI, sehingga disarankan untuk mengkonsumsi pangan yang beranekaragam. Menurut Madanijah (2006) kebiasaan atau perilaku mengkonsumsi pangan dapat secara perlahan diubah ke arah yang lebih baik yaitu melalui pendidikan gizi. Didukung oleh pendapat tersebut, kebiasaan makan di ketiga provinsi

52 tentunya dapat diperbaiki. Upaya tersebut diantaranya adalah pendidikan gizi yang diberikan sejak usia dini atau sejak di sekolah dasar. Pengetahuan yang diterima dapat merupakan dasar bagi pembinaan kebiasaan makannya (Soehardjo 1989) Berdasarkan pangan sumber karbohidrat, terlihat bahwa pemanfaatan pangan lokal masih kurang. Pemanfaatan umbi-umbian maupun jagung sebagai pangan sumber energi masih sedikit, hal ini tercermin dari skor PPHnya. Melihat kondisi ini kiranya perlu digalakkan usaha pemanfaatan pangan sumber karbohidrat non beras khususnya umbi-umbian. Termasuk dalam kelompok pangan ini diantaranya adalah ubi kayu, ubi jalar, kentang, sagu, talas, dan pangan olahan umbi-umbian lainnya. Umbi-umbian merupakan kelompok pangan lokal yang potensial untuk dikembangkan namun selama ini kurang tersentuh. Karenanya upaya pengembangan baik produksi, penanganan pascapanen, dan pemanfaatannya sebagai pangan olahan misalnya sebagai substitusi pangan pokok ataupun makanan jajanan perlu penanganan yang sungguh-sungguh. Dari segi pengolahan, telah kita ketahui bahwa mengolah pangan tersebut lebih rumit dan memakan waktu yang lama dibandingkan dengan mengolah beras, sehingga kini saat yang tepat untuk mengembangkan teknologi pengolahan pangan lokal. Elastisitas Konsumsi Pangan Koefisien Pendugaan Parameter Analisis elastisitas konsumsi pangan dibedakan menurut wilayah perdesaan dan perkotaan. Khusus untuk Sulawesi Tenggara, analisis tidak dibedakan menurut wilayah. Hal tersebut disebabkan jumlah yang dianalisa cukup banyak dan data yang tersedia tidak mencukupi, sehingga analisa AIDS di wilayah Sulawesi Tenggara tidak dapat dibedakan menurut tipe wilayah perdesaan dan perkotaan. Berdasarkan wilayah perkotaan dan perdesaan, analisa hanya meliputi dua provinsi yaitu Sumatera Barat dan Jawa Tengah. Hasil pendugaan parameter dari sistem permintaan dengan model AIDS digunakan untuk menghasilkan/menghitung angka elastisitas, baik elastisitas harga sendiri, elastisitas harga silang, maupun elastisitas pendapatan. Pendugaan parameter dari sistem permintaan pangan disajikan pada Lampiran 18-24.

53 Koefisien parameter harga sendiri pada beberapa jenis pangan menunjukkan tanda negatif, kecuali di Sulawesi Tenggara yang bertanda positif untuk semua kelompok pangan. Sementara itu koefisien harga silang ada yang menunjukkan tanda positif dan negatif. Hal tersebut menunjukkan bahwa ada pangan yang bersifat substitusi (pengganti) dan ada pula yang bersifat komplementer (saling melengkapi). Tanda koefisien parameter harga yang positif menunjukkan bahwa pangsa pengeluaran suatu pangan akan meningkat apabila harga pangan tersebut (harga sendiri) atau harga pangan lain (harga silang) meningkat, dan sebaliknya bila koefisien parameter harga bertanda negatif. Seperti koefisien harga silang, koefisien pengeluaran juga beragam ada yang positif maupun negatif. Koefisien parameter pengeluaran bertanda negatif berarti bahwa meningkatnya pengeluaran pangan akan diikuti oleh penurunan pangsa pengeluaran kelompok pangan yang koefisien parameternya bertanda negatif tadi, yaitu di Sumatera Barat (perkotaan+perdesaan): padi-padian, terigu, daging unggas, daging ruminansia, ikan olahan, telur dan susu, minyak dan lemak, serta kacang-kacangan; di Jawa Tengah (perkotaan+perdesaan): padi-padian, terigu, daging ruminansia, ikan olahan, dan telur susu; dan di Sulawesi Tenggara (perkotaan+perdesaan): padi-padian, daging unggas, telur dan susu, minyak dan lemak, dan gula. Koefisien pengeluaran bertanda positif berarti bahwa meningkatnya pengeluaran pangan akan diikuti oleh meningkatnya pangsa pengeluaran kelompok pangan yang dugaan parameternya bertanda positif (Lumbantobing 2005). Elastisitas Harga Sendiri Tabel 8 memperlihatkan besaran elastisitas harga sendiri komoditas pangan di tiga provinsi menurut wilayah perkotaan+perdesaan, perkotaan, dan perdesaan. Elastisitas harga menunjukkan atau mencerminkan besarnya perubahan satu satuan permintaan akibat adanya perubahan satu satuan harga pangan itu sendiri. Dari sisi tanda, elastisitas harga sendiri sesuai dengan teori permintaan. Baik di wilayah perkotaan+perdesaan, perkotaan, maupun perdesaan memperlihatkan tanda negatif. Tanda negatif berarti bahwa naik turunnya harga pangan akan direspon dengan arah berlawanan terhadap jumlah yang diminta. Pada beberapa

54 penelitian juga menunjukkan hal yang sama, bahwa pada umumnya elastisitas sendiri menunjukkan nilai yang negatif (Ariani 1993, Martianto 1995, Rachman 2001, Ariningsih 2002, Lumbantobing 2005). Sebagian kecil komoditas pangan di Sumatera Barat bersifat elastis, yaitu gula (di perkotaan), sayur buah (semua wilayah), dan pangan lainnya (di perdesaan), sedangkan di Jawa Tengah hanya pangan lainnya yang bersifat elastis (di perkotaan+perdesaan, perkotaan). Kelompok pangan selain tersebut di atas umumnya bersifat inelastis. Fenomena ini dapat diinterpretasikan bahwa komoditas-komoditas tersebut merupakan barang kebutuhan. Respon terhadap perubahan jumlah yang diminta untuk pangan-pangan tersebut persentasenya lebih kecil dibanding persentase perubahan harga. Khusus untuk padi-padian di tiga provinsi bersifat inelastis, temuan ini mendukung hasil temuan sebelumnya untuk wilayah Kawasan Timur Indonesia (Rachman 2001). Nilai elastisitas harga sendiri di Sumatera Barat berkisar -0.137 (ikan olahan di perkotaan) sampai dengan -1.084 (sayur buah di perdesaan). Hal yang menarik dari Tabel 8 adalah di semua wilayah elastisitas padi-padian lebih lemah daripada daging ruminansia. Fenomena ini menunjukkan bahwa permintaan konsumsi daging ruminansia lebih reponsif terhadap perubahan harga daripada permintaan konsumsi padi-padian. Di wilayah perkotaan+perdesaan dan perdesaan, permintaan konsumsi daging ruminansia paling responsif terhadap perubahan harga dibandingkan pangan hewani lainnya (daging unggas, telur dan susu, ikan segar, ikan olahan). Di perkotaan, permintaan ikan paling responsif terhadap perubahan harga. Menurunnya respon pangan hewani terhadap harga di wilayah perkotaan dimungkinkan oleh beberapa hal yaitu: a) adanya usaha untuk mengurangi konsumsi pangan tersebut, atau b) karena konsumsi sudah mencukupi/telah memenuhi kebutuhan minimum, sehingga anggaran yang ada dialokasikan pada pengeluaran pangan yang lain. Dari aspek gizi dampak menurunnya permintaan konsumsi pangan hewani sebagai respon terhadap perubahan harga adalah tidak dikehendaki, karena akan menurunkan jumlah konsumsi pangan tersebut. Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa protein hewani mempunyai kualitas yang lebih baik daripada protein nabati. Hasil analisis menunjukkan, konsumsi pangan hewani belum

55 mancapai skor PPH yang diharapkan. Guna mencapai skor 100, konsumsi pangan hewani di Sumatera Barat perlu ditingkatkan sebesar 6.8 point. Tabel 8. Elastisitas harga sendiri menurut wilayah di Provinsi Sumatera Barat, Jawa Tengah, dan Sulawesi Tenggara tahun 2005
Sumatera Barat No Kelompok/jenis Pangan Perkotaan+ Perkotaan Perdesaan Perkotaan+ Perkotaan Perdesaan perdesaan perdesaan -0.621 -0.422 -0.600 -0.242 -0.683 -0.606 -0.333 -0.442 -0.873 -0.397 -0.557 -0.548 -1.043 -0.990 -0.384 -0.694 -0.294 -0.223 -0.671 -0.718 -0.137 -0.365 -0.746 -0.912 -0.474 -1.036 -1.058 -0.873 -0.644 -0.369 -0.769 -0.306 -0.697 -0.630 -0.359 -0.365 -0.858 -0.296 -0.506 -0.466 -1.084 -1.069 -0.188 -0.616 -0.492 -0.390 -0.407 -0.180 -0.385 -0.333 -0.637 -0.606 -0.649 -0.590 -0.853 -1.005 -0.133 -0.547 -0.417 -0.402 -0.466 -0.188 -0.391 -0.141 -0.527 -0.562 -0.637 -0.630 -0.668 -1.040 -0.217 -0.668 -0.528 -0.347 -0.414 -0.158 -0.424 -0.436 -0.637 -0.691 -0.679 -0.512 -0.912 -0.964 -0.477 -0.971 -0.429 0.283 -0.527 -0.615 -0.578 -0.350 -0.511 -0.354 -0.520 -0.177 -0.801 -0.751 Jawa Tengah Sulawesi Tenggara

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14

Padi-padian Terigu Umbi-umbian Daging unggas Daging ruminansia Ikan segar Ikan olahan Telur & susu Minyak & lemak Buah/bj berminyak Kacang-kacangan Gula Sayur & buah Lainnya

Respon dari kenaikan harga sayur buah adalah menurunnya permintaan konsumsi pangan tersebut. Sayur dan buah di Sumatera Barat bersifat elastis karena besarnya lebih dari satu. Elastisitas sebesar -1.043 dapat diintepretasikan bahwa bila terjadi kenaikan harga sayur dan buah sebesar 10% maka akan menurunkan permintaan pangan tersebut sebesar 10.43%. Konsumsi pangan ini masih perlu ditingkatkan (3.4 point) untuk mencapai susunan pangan yang ideal. Sayur dan buah adalah pangan sumber utama vitamin dan mineral. Sriwijayanti (2004) melakukan analisis permintaan buah di DKI Jakarta mendapatkan elastisitas buah-buahan bersifat inelastis. Elastisitas buah tersebut berkisar -0.159 (jeruk) dan -0.898 (pisang). Menurutnya adanya gejolak harga buah tidak terlalu mempengaruhi konsumsinya. Namun sebaliknya yang terjadi di Sumatera Barat adalah gejolak harga buah dan sayur akan berpengaruh terhadap permintaan. Elastisitas permintaan pangan yang cukup besar di Jawa Tengah (perkotaan+perdesaan) adalah kelompok pangan lainnya. Termasuk dalam kelompok ini diantaranya adalah bumbu-bumbu, minuman, tembakau dan sirih. Elastisitas pangan selain tersebut di atas adalah sayur dan buah (-0.853), dan

56 kacang-kacangan (-0.649). Kenaikan harga sebesar 10% untuk kelompok pangan tersebut akan menurunkan permintaan sebesar 8.53% sayur buah dan 6.49% kacang-kacangan. Sebagaimana dalam pembahasan keragaman konsumsi pangan, maka penurunan terhadap permintaan sayur buah maupun kacang-kacangan sangat tidak diharapkan. Berpatokan pada skor total konsumsi pangan adalah 100, maka kedua kelompok/jenis pangan ini masih belum mencapai skor PPH yang diharapkan. Setiap kelompok pangan tersebut perlu ditingkatkan skornya sebesar 5.5 point untuk sayur buah dan 0.5 point untuk kacang-kacangan. Pangan sayur dan buah merupakan sumber vitamin, mineral, dan serat sedangkan kacangkacangan adalah sumber protein nabati terbesar setelah beras. Kacang-kacangan berperan penting dalam menyumbang protein nabati di Jawa Tengah. Protein nabati yang cukup menonjol dan cukup dominan selain beras adalah kacangkacangan. Pada umumnya kacang-kacangan dikonsumsi dalam bentuk tempe dan tahu. Nilai elastisitas padi-padian di Jawa Tengah cukup lemah, berkisar -0.133 sampai -0.217. Fenomena ini menunjukkan bahwa gejolak harga padi-padian di wilayah ini pengaruhnya relatif kecil terhadap permintaan. Diduga konsumsi pangan padi-padian telah mencukupi kebutuhan minimal sehingga pendapatan yang ada dialokasikan untuk pangan selainnya. Analisis PPH juga menunjukkan bahwa konsumsi pangan padi-padian telah melampaui jumlah konsumsi yang diharapkan. Apabila memungkinkan sebaiknya konsumsi dari kelompok padipadian dikurangi hingga mencapai 50% dari total kecukupan energi. Elastisitas pangan di Sulawesi Tenggara bersifat inelastis. Dengan demikian adanya kenaikan harga pangan tidak terlalu berpengaruh pada permintaan. Sayur buah mempunyai nilai elastisitas sebesar -0.801 dan ikan segar -0.615. Apabila di provinsi ini terjadi kenaikan harga sebesar 10% untuk kelompok pangan tersebut maka akan terjadi penurunan permintaan sebesar 8.01% persen untuk sayur buah dan 6.15% untuk ikan segar. Seperti diketahui bahwa di provinsi ini keragaman konsumsi/skor PPH sebesar 82.3. Karenanya masih banyak kelompok/jenis pangan yang perlu ditingkatkan kuantitas maupun kualitasnya. Khusus untuk kelompok pangan sayur buah perlu ditingkatkan skor PPH sebesar 3.8 point, dan konsumsi pangan hewani sebesar 6.1 point. Oleh karena itu penurunan permintaan

57 pangan terhadap sayur buah maupun ikan, dikhawatirkan akan menurunkan kualitas pangannya. Bila kekurangan pangan ini berlangsung lama diduga akan menimbulkan defisit vitamin dan mineral. Dari tiga provinsi yang diteliti, Tabel 8 memperlihatkan bahwa perubahan harga padi-padian di Jawa Tengah tidak terlalu peka terhadap perubahan permintaan. Kenaikan harga sebesar 10% akan menurunkan permintaan padipadian 1.88% di Jawa Tengah, 6.21% di Sumatera Barat dan 4.77% di Sulawesi Tenggara. Pada umumnya di tiga provinsi permintaan konsumsi sayur buah lebih responsif terhadap perubahan harga daripada padi-padian. Seperti hasil analisa terhadap penilaian mutu konsumsi pangan, tingkat kecukupan energi padi-padian telah melebihi jumlah ideal tetapi tidak demikian untuk sayur dan buah. Apabila hal tersebut dikaitkan dengan perilaku konsumsinya adalah wajar karena konsumsi padi-padian telah mencapai kebutuhan minimum dan sebaliknya dengan sayur buah. Sebagai pembanding hasil penelitian ini adalah: a) Nurfarma (2005) dengan menggunakan data Susenas Sumatera Barat tahun 1999 mendapatkan elastisitas beras sebesar -0.707, umbi-umbian -0.911, b) Lumbantobing (2005) dengan data Susenas Jambi tahun 2002 mendapatkan elastisitas padi-padian sebesar -0.814 dan umbi-umbian -0.979, c) Setiawan (1992) dalam penelitiannya di Kabupaten Subang mendapatkan elastisitas beras berkisar -0.308 dan -0.390. Menurut beberapa penelitian rendahnya elastisitas harga sendiri untuk kebutuhan makanan pokok (beras) merupakan gambaran tingginya tingkat kesejahteraan suatu masyarakat. Penurunan permintaan pangan hewani di semua provinsi sebenarnya tidak dikehendaki karena konsumsi aktual saat ini masih rendah. Kelompok pangan ini merupakan sumber protein dengan kualitas yang lebih baik dibandingkan dengan protein nabati. Penurunan permintaan berarti terjadi penurunan kuantitas konsumsi, dampak selanjutnya adalah penururnan kualitas konsumsi protein hewani. Khusus di Sumatera Barat konsumsi protein yang ada saat ini hendaknya tetap dipertahankan, tetapi tidak demikian dengan di Jawa Tengah. Konsumsi pangan hewani di Jawa Tengah khususnya wilayah perkotaan masih jauh dari skor harapan (skor PPH 24), dan perlu dinaikkan sebesar 9.4 point untuk mencapai

58 skor maksimum. Dampak dari kenaikan harga pangan hewani akan berdampak terhadap kuantitas dan kualitas konsumsi pangan hewani di Jawa Tengah. Pada umumnya elastisitas harga sendiri di perdesaan lebih besar daripada di perkotaan, kecuali di Sumatera Barat: terigu, ikan segar, buah/biji berminyak, dan gula; di Jawa Tengah: daging unggas, daging ruminansia, ikan segar, dan gula. Fenomena tersebut menunjukkan bahwa perubahan harga menyebabkan rumah tangga menjadi lebih responsif dalam merespon perubahan harga pangan tersebut. Sebagai pembanding dari penelitian ini adalah: a) Rachman (2001) di Kawasan Timur Indonesia, b) Ariningsih (2002) tahun 1996 di wilayah Jawa menganalisis permintaan pangan sumber protein hewani dan nabati. Kedua penelitian tersebut menunjukkan hal yang sama, permintaan pangan di perdesaan lebih responsif terhadap perubahan harga. Oleh karena itu disarankan program dan kebijakan yang berkaitan dengan masalah pangan dan gizi lebih diutamakan di wilayah perdesaan. Elastisitas Pendapatan Dengan adanya pendapatan suatu rumah tangga akan mampu menyediakan konsumsi pangan. Respon perubahan pendapatan/elastisitas pendapatan dari suatu pangan didefinisikan sebagai persentase perubahan jumlah pangan yang diminta akibat adanya perubahan pendapatan sebesar satu satuan. Hasil analisis di tiga provinsi menunjukkan bahwa semua jenis pangan yang dianalisis bernilai positif (Tabel 9). Nilai elastisitas pendapatan yang positif menunjukkan bahwa pangan tersebut bersifat/dikategorikan sebagai barang normal (Mankiw 2000, Kelana 2006, Soekirno 2005). Nilai yang positif berarti konsumsi komoditas akan terus meningkat seiring dengan adanya peningkatan pendapatan (pengeluaran). Semua pangan yang dianalisis di wilayah perkotaan+perdesaan

menunjukkan sifat yang inelastis kecuali umbi-umbian di Sumatera Barat dan daging ruminansia di Sulawesi Tenggara. Pangan yang elastis di perkotaan khususnya di Sumatera Barat: buah/biji berminyak dan gula; di Jawa Tengah: buah/biji berminyak. Di wilayah perdesaan pangan yang elastis adalah umbiumbian (Sumatera Barat) dan ikan segar (Jawa Tengah). Hal tersebut ditunjukkan oleh nilai elastisitas pendapatan yang lebih besar dari satu.

59 Umbi-umbian di Sumatera Barat bersifat elastis, beberapa alasan yang dapat disampaikan adalah: a) termasuk dalam kelompok umbi-umbian adalah ubi kayu, gaplek, tepung gaplek, tapioka, kerupuk, ubi jalar, sagu, talas, kentang, dan umbiumbian lainnya, b) dari segi konsumsi di dalam kelompok pangan ini, kentang paling banyak dikonsumsi oleh rumah tangga dan volumenya lebih banyak dibandingkan dengan jenis umbi yang lain, c) dari segi harga, kentang paling mahal dibandingkan dengan umbi lainnya, d) karena mahal maka dapat dikatakan bahwa kentang termasuk pangan yang mewah, tetapi tidak demikian dengan ubi kayu dan ubi jalar; e) umbi-umbian dikonsumsi tidak dalam bentuk utuh ubi tetapi sudah menjadi pangan olahan. Karena kualitas yang lebih baik, dengan naiknya pendapatan rumah tangga akan merespon dengan mengalokasikan sebagian pendapatan untuk membeli umbi-umbian. Tabel 9. Elastisitas pendapatan menurut wilayah di Provinsi Sumatera Barat, Jawa Tengah, dan Sulawesi Tenggara tahun 2005
Sumatera Barat Perkotaan Perkotaan + perdesaan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 Padi-padian Terigu Umbi-umbian Daging unggas Daging ruminansia Ikan segar Ikan olahan Telur & susu Minyak & lemak Buah/bj berminyak Kacang-kacangan Gula Sayur & buah Lainnya 0.677 0.550 1.295 0.530 0.284 0.909 0.366 0.480 0.565 0.920 0.662 0.767 0.747 0.834 0.521 0.309 0.571 0.375 0.203 0.830 0.255 0.732 0.775 1.239 0.835 1.481 0.937 0.579 Jawa Tengah Perdesaan Perkotaan Perkotaan Perdesaan + perdesaan 0.674 0.802 1.333 0.659 0.308 0.927 0.381 0.420 0.552 0.900 0.539 0.702 0.694 0.927 0.516 0.465 0.897 0.744 0.507 0.744 0.634 0.598 0.674 0.914 0.678 0.736 0.883 0.765 0.508 0.464 0.686 0.611 0.657 0.437 0.791 0.607 0.570 1.007 0.740 0.704 0.806 0.814 0.524 0.450 0.991 0.818 0.238 1.015 0.573 0.632 0.742 0.923 0.656 0.765 0.911 0.741 0.447 0.766 0.931 0.622 1.505 0.822 0.722 0.593 0.675 0.870 0.759 0.543 0.973 0.475 Sulawesi Tenggara

No

Kelompok/jenis pangan

Daging ruminansia di Sulawesi Tenggara cukup elastis, beberapa alasan yang dapat disampaikan di sini adalah: a) daging termasuk pangan mewah, b) konsumsi daging ruminansia di wilayah ini masih rendah/belum mencapai batas

60 minimum dibandingkan dengan ikan, c) barangkali faktor selera mendorong untuk meningkatkan konsumsinya pada saat pendapatan meningkat. Rendahnya elastisitas daging ruminansia di Sumatera Barat (0.284), diduga konsumsi daging ruminansia di sana sudah dianggap cukup atau harga yang mahal sehingga kurang terjangkau. Pangan hewani lain yang harganya lebih murah akan dijadikan pilihan, misalnya ikan. Ikan segar memiliki elastistas sebesar 0.909. Dari data tersebut dapat diartikan bahwa apabila terjadi kenaikan pendapatan di wilayah ini sebesar 10% akan berdampak pada kenaikan permintaan pangan ikan segar sebesar 9.09%. Kenaikan konsumsi ikan segar sangat dikehendaki, mengingat skor PPH untuk kelompok pangan hewani belum mencapai skor PPH yang ideal. Jawa Tengah memiliki rentang elastisitas pendapatan antara 0.465 (terigu) sampai dengan 0.914 (buah/biji berminyak). Elastisitas lainnya adalah umbiumbian (0.897), daging ruminansia (0.507), dan sayur buah (0.883). Artinya bahwa kenaikan pendapatan sebesar 10% akan menyebabkan kenaikan permintaan umbi-umbian sebesar 8.97%, 5.7% daging ruminansia dan 8.83% sayur buah. Kenaikan permintaan jenis pangan tersebut terus diharapkan, karena konsumsi untuk kedua kelompok pangan ini masih belum mencapai skor harapan. Konsumsi umbi-umbian perlu ditingkatkan sebesar satu point, dan konsumsi sayur buah sebesar 5.5 point. Elastisitas pendapatan di Sulawesi Tenggara berkisar 0.447 (padi-padian) dan 1.505 (daging ruminansia). Elastisitas lainnya adalah umbi-umbian (0.931) dan buah/biji berminyak (0.870). Angka tersebut dapat diartikan bahwa kenaikan pendapatan sebesar 10% akan menyebabkan kenaikan permintaan umbi-umbian sebesar 9.31% dan 8.70% untuk buah/biji berminyak. Menanggapi kenaikan konsumsi buah/biji berminyak sangat tidak diharapkan. Karena konsumsinya telah mencapai skor PPH yang maksimum. Kandungan energi per 100 gram buah/biji berminyak sangat tinggi, sehingga konsumsi yang berlebihan tidaklah bermanfaat bagi kesehatan. Umbi-umbian meskipun tidak elastis, tetapi nilainya lebih tinggi daripada elastisitas padi-padian, diduga karena salah satu pola konsumsi pangan di sini adalah umbi-umbian.

61 Regmi et al (2001), dalam penelitiannya mendapatkan bahwa pada semua tingkat pendapatan elastisitas pangan pokok seperti serealia, lemak dan minyak, sayur dan buah adalah rendah dibandingkan dengan elastisitas pangan hewani. Namun demikian elastisitas pendapatan untuk pangan pokok lebih tinggi di negara miskin (pendapatan per kapita rendah) dibandingkan dengan di negara yang pendapatan per kapita tinggi. Demikian pula elastistas pendapatan untuk pangan hewani lebih tinggi dibandingkan di negara kaya. Elastisitas pangan hewani berkisar 0.65 dan 0.92 di negara dengan pendapatan sedang dan berkisar 0.33 dan 0.35 di negara yang kaya, sedangkan di negara miskin berkisar 0.82 hingga 2.77. Jika dipilah menurut wilayah, nampak bahwa pada umumnya permintaan konsumsi pangan di wilayah perdesaan lebih responsif terhadap perubahan pendapatan dibanding wilayah perkotaan, kecuali di Sumatera Barat: telur susu, minyak dan lemak, buah/biji berminyak, kacang-kacangan, gula, dan sayur buah; di Jawa Tengah: terigu, daging ruminansia, ikan olahan, buah/biji berminyak, dan kacang-kacangan. Menurut Rachman (2001), implikasi dari responsifnya wilayah perdesaan terhadap perubahan harga dan pendapatan adalah pentingnya keberpihakan setiap kebijakan yang terkait dengan masalah pangan dan gizi di wilayah perdesaan. Temuan tersebut tidak berbeda dengan hasil penelitian Nurfarma (2005) yang menganalisa hasil Susenas 1999 Provinsi Sumatera Barat. Hasil tersebut dapat dinterpretasikan bahwa permintaan pangan di perdesaan lebih responsif terhadap perubahan pendapatan. Penelitian beliau menunjukkan kelompok pangan ikan mempunyai elastisitas pendapatan sebesar 1.59 di wilayah perdesaan, dan pada umumnya di Provinsi Sumatera Barat (perkotaan+perdesaan) semua kelompok pangan menunjukkan nilai yang inelastis terhadap pendapatan (< 1). Sedangkan Sriwijayanti (2004) di DKI Jakarta mendapatkan elastisitas pendapatan dari buah-buahan berkisar 0.200 (mangga) hingga 1.462 (apel). Menurutnya buah-buahan yang menghasilkan nilai inelastis, karena persentase perubahan permintaan yang terjadi lebih rendah daripada persentase perubahan pengeluaran untuk buah-buahan. Selanjutnya buah yang bernilai elastis khususnya apel diduga karena harga apel cukup mahal. Dan jenis buah lain yang bersifat

62 elastis diduga karena sesuai karakteristik buah yang bersifat musiman dan harga buah-buahan tersebut relatif tidak stabil. Bila besaran elastisitas harga sendiri dan elastisitas pendapatan diamati lebih lanjut, terlihat bahwa permintaan pangan lebih reponsif terhadap perubahan pendapatan daripada perubahan harga sendiri. Hal itu ditunjukkan oleh elastisitas pendapatan yang pada umumnya lebih besar daripada elastisitas harga sendiri. Pada pembahasan sebelumnya dijelaskan bahwa rata-rata pendapatan di perdesaan lebih rendah daripada perkotaan. Penilitian ini mendukung penelitian sebelumnya, yaitu Rachman (2001) dan Ariningsih (2002). Dalam penelitiannya didapatkan pada rumah tangga berpendapatan rendah lebih responsif terhadap perubahan pendapatan dibandingkan dengan kelompok berpendapatan tinggi. Dari keadaan ini kedua peneliti menganjurkan perlunya prioritas kebijakan yang mendorong peningkatan pendapatan bagi penduduk berpendapatan rendah. Meningkatnya pendapatan akan mendorong meningkatnya daya beli. Hal ini diharapkan akan menjamin tercukupinya kebutuhan pangan baik kuantitas maupun kualitas. Sesuai dengan saran beliau, maka di ketiga provinsi penelitian (Sumatera Barat, Jawa Tengah dan Sulawesi Tenggara) khususnya di perdesaan perlu dibuka lapangan kerja. Harapannya adalah dengan bekerja akan diperoleh penghasilan yang pada akhirnya akan dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan pangan. Menurut Mankiw (2000), elastisitas permintaan tergantung pada

kecenderungan atau preferensi konsumen. Selanjutnya dikatakan pula bahwa elastisitas permintaan terhadap barang ditentukan oleh kekuatan atau faktor ekonomi, sosial, dan juga psikologis yang mewarnai selera konsumen. Beberapa hal yang menentukan elastistisitas permintaan terhadap harga adalah: a) ketersediaan pengganti atau substitusi. Barang yang substitutan (penggantinya banyak), cenderung memiliki permintaan yang elastis. Hal ini terjadi karena rumah tangga akan dengan mudah beralih ke penggantinya; b) keadaan pasar, pada pasar yang terbatas barang cenderung inelastis, tetapi pada pasar yang lebih besar, rumah tangga akan dengan mudah menemukan penggantinya sehingga barang menjadi elastis; c) rentang waktu, pada rentang waktu yang panjang rumah tangga mempunyai kesempatan untuk mencari barang pengganti sehingga barang

63 cenderung elastis. Selain kesempatan untuk mencari pengganti, konsumen juga membiasakan diri untuk tidak mengkonsumsi barang/pangan yang harganya naik. Elastisitas Silang Elastisitas silang adalah koefisien yang menunjukkan besarnya perubahan permintaan terhadap sesuatu barang apabila terjadi perubahan harga terhadap barang lain (Sukirno 2005). Lampiran 25-27 menunjukkan secara rinci besarnya elastisitas dari ketiga provinsi yang diteliti. Dari tabel-tabel tersebut terlihat bahwa elastisitas harga silang ada yang bertanda positif dan adapula yang bertanda negatif. Dengan kata lain bila bertanda positif maka kenaikan harga suatu pangan akan diikuti dengan peningkatan permintaan pangan lain. Selanjunya diantara pangan ini terjadi sifat saling menggantikan (substitusi). Sebaliknya bila elastisitas bertanda negatif maka kenaikan harga suatu pangan akan direspon secara berlawanan dengan menurunkan permintaan pangan lainnya. Sehingga diantara barang tersebut timbul sifat komplementer atau saling melengkapi. Elastistas silang di tiga provinsi ini bersifat inelastis. Dikatakan demikian karena elastisitasnya selain kurang dari satu dan umumnya kurang dari 0.5. Pada umumnya komoditas pangan di sana ada yang bersifat substitusi dan adapula yang bersifat komplementer. Di Sumatera Barat (wilayah perkotaan+perdesaan), hubungan antara padi-padian terhadap semua jenis pangan bersifat komplementer kecuali pangan lainnya (bumbu-bumbuan dan sebaginya), hal tersebut ditunjukkan oleh nilai elastisitas silang yang negatif. Hubungan komplementer ini bersifat dua arah, artinya bila terjadi kenaikan harga pada jenis pangan yang lain akan berdampak pada penurunan permintaan padi-padian. Namun demikian dilihat dari besarnya penurunan permintaan padi-padian sebagai akibat dari naiknya harga pangan komplementer relatif lebih besar dibandingkan dengan dampak kenaikan harga padi-padian terhadap permintaan pangan komplementernya. Naiknya harga barang komplementer sebesar 10% akan menyebabkan penurunan permintaan padi-padian sekitar 0.9% sampai dengan 8.31%. Hal ini sesuai dengan penelitian Lumbantobing (2005) di wilayah Jambi yang memperoleh hasil hubungan komplementer antara padi-padian dengan umbi-umbian, ikan, telur, susu, serta buah-buahan. Sifat komplementer beras dengan pangan lain menurut Ariani

64 (1993) karena beras merupakan pangan pokok. Menurut Nurfarma (2005) karena pangan lain umumnya merupakan lauk pauk dan buah yang saling melengkapi. Hasil temuan penulis maupun tiga peneliti tadi agak berbeda hasilnya dengan yang ditemukan oleh Regmi A et al (2001). Di semua negara yang ditelitinya didapatkan hubungan substitusi antara pangan serealia dengan sayur dan buah dan hubungan komplementer antara seralia dengan daging, pangan hewani, lemak dan minyak. Selanjutnya dijelaskan pula bahwa permintaan pangan akibat perubahan harga di negara miskin lebih responsif dibandingkan dengan negara yang relatif kaya. Hubungan sepasang kelompok pangan tidak selalu sama, tetapi adakalanya hanya satu arah. Hal ini terjadi pada hubungan beberapa kelompok makanan. Sebagai contoh di Sumatera Barat (perkotaan+perdesaan), hubungan ikan segar terhadap ruminansia adalah bersifat substitusi, tetapi sebaliknya antara ruminansia terhadap ikan segar memiliki hubungan komplementer. Contoh lain yang mempunyai hubungan seperti ini adalah antara sayur buah terhadap daging ruminansia bersifat substitusi, tetapi antara daging ruminansia dan sayur buah bersifat komplementer. Meskipun hubungan tersebut lemah karena nilai elastisitasnya kurang dari satu. Kenaikan harga sayur buah sebesar 10% akan menurunkan permintaan daging ruminansia sebesar 0.05% saja, tetapi sebaliknya kenaikan harga daging ruminansia sebesar 10% akan meningkatkan permintaan sayur buah sebesar 0.95%. Kenaikan harga daging ruminansia, akan direspon dengan meningkatkan pembelian sayur dan buah sebagai pengganti lauk pauk. Beberapa pasang komoditas di Sumatera Barat juga mempunyai hubungan substitusi yang bersifat dua arah, misalnya antara umbi-umbian terhadap minyak dan lemak, kacang-kacangan, gula, dan sayur buah. Artinya kenaikan harga pangan substitusi akan meningkatkan permintaan konsumsi umbi-umbian. Demikian pula jika terjadi kenaikan harga umbi-umbian akan direspon dengan meningkatkan permintaan konsumsi barang substitusi (minyak dan lemak, kacang-kacangan, gula, sayur dan buah). Seperti halnya di Sumatera Barat, elastistas silang di Jawa Tengah relatif inelastis, tidak ada satupun komoditas pangan yang mempunyai elastisitas silang lebih dari satu. Pada umumnya komoditas pangan di sana ada yang bersifat

65 substitusi dan adapula yang bersifat komplementer. Hubungan diantara pangan padi-padian dengan semua pangan adalah komplementer kecuali terhadap ikan olahan. Hubungan timbal balik diantara pangan tersebut terhadap padi-padian adalah konsisten. Bila dilihat hubungan antara pangan hewani di Provinsi Jawa Tengah sangat menarik, karena sifat hubungan yang konsisten antara kelompok pangan hewani tersebut (daging unggas, daging ruminansia, ikan segar, ikan olahan, telur dan susu). Bila bersifat substitusi, maka sifatnya adalah dua arah, demikian pula bila hubungannya komplementer akan berlaku dua arah. Daging unggas bersifat substitusi terhadap daging ruminansia dan telur susu, dan bersifat komplementer terhadap ikan segar dan ikan olahan. Daging ruminansia hanya bersifat komplementer terhadap ikan olahan. Dari aspek gizi adanya sifat substitusi diantara pangan hewani sangat menguntungkan, karena berkurangnya permintaan konsumsi salah satu pangan hewani akan disubtitusi oleh pangan hewani lain. Komoditas pangan di Sulawesi Tenggara ini tidak ada satupun yang

mempunyai elastisitas silang lebih dari satu. Sifat hubungan antar kelompok pangan yang terjadi adalah komplementer dan substitusi. Elastisitas silang di Sulawesi Tenggara ditunjukkan oleh Lampiran 25. Beberapa hal yang dapat disampaikan di sini adalah hubungan padi-padian terhadap semua pangan bersifat komplementer kecuali terigu, daging unggas, dan pangan lainnya (bumbubumbuan). Sifat hubungan tersebut umumnya konsisten, kecuali untuk hubungan padi-padian terhadap minyak dan lemak. Kenaikan harga padi-padian akan direspon dengan meningkatkan permintaan konsumsi minyak dan lemak, tetapi sebaliknya kenaikan harga minyak dan lemak akan mengakibatkan penurunan terhadap permintaan konsumsi padi-padian. Dampak kenaikan harga minyak dan lemak terhadap permintaan padi-padian lebih besar daripada dampak kenaikan harga padi-padian terhadap permintaan minyak dan lemak. Hal yang sama terjadi pada hubungan antara terigu-daging ruminansia, gula-buah/biji berminyak, dan kacang-kacangan-sayur buah, dimana hubungan tersebut tidak konsisten. Hubungan antar pangan selain tersebut di atas bersifat konsisten. Hasil analisis keragaman pangan menunjukkan bahwa konsumsi pangan padi-padian di provinsi

66 ini telah melebihi jumlah harapan/ideal, karenanya penurunan permintaan pangan padi-padian tentunya diharapkan. Bila dilihat hubungan antara pangan hewani, terdapat hubungan yang konsisten antara kelompok pangan tersebut (daging unggas, daging ruminansia, ikan segar, ikan olahan, telur dan susu). Daging unggas bersifat substitusi terhadap kelompok pangan hewani yang lain kecuali terhadap ikan segar. Kenaikan daging unggas sebesar 10% akan menurunkan permintaan ikan segar sebesar 6.11%. Tetapi dampak dari kenaikan harga ikan segar sebesar 10% tidak terlalu berpengaruh terhadap permintaan daging unggas karena turun sebesar 0.6% saja. Sifat komplementer pada pangan hewani hanya terjadi pada hubungan antara daging unggas-ikan segar, dan daging ruminansia-telur susu. Hubungan antara pangan hewani selain tersebut tadi semuanya bersifat substitusi. Hal ini didukung oleh konsumsi pangan hewani di wilayah Sulawesi Tenggara yang cukup tinggi bila dibandingkan dengan dua provinsi lainnya. Kenaikan harga salah satu pangan hewani, akan direspon dengan mencari pangan hewani pengganti lainnya. Oleh karena itu dampak dari kenaikan salah satu pangan hewani tidak terlalu berpengaruh terhadap konsumsi protein hewani. Penelitian oleh Regmi et al (2001), menemukan hubungan komplementer antara serealia dengan daging, produk susu, lemak dan minyak, sayur buah di negara miskin. Di Amerika Serikat elastisitas silang serealia-sayur buah 0.0017 dan serealia-daging 0.08. Di Tanzania elastisitas silang serealia-sayur buah 0.087 dan serealia-produk susu 0.26. Dengan kata lain elastisitas silang di negara dengan pendapatan per kapita rendah akan lebih tinggi dibandingkan di negara dengan pendapatan perkapitanya tinggi (makmur). Jika analisa dipilah menurut wilayah, hubungan antar kelompok pangan di perkotaan di Sumatera Barat ada yang bersifat komplementer maupun substitusi. Hubungan tersebut umumnya konsisten, artinya bila hubungan antar satu jenis pangan dengan pangan lainnya bersifat komplementer, maka hubungan sebaliknya juga bersifat komplementer. Demikian pula bila hubungan semula substitusi, maka hubungan sebaliknya juga substitusi. Hanya ada beberapa pangan yang mempunyai hubungan satu arah saja, artinya satu sisi bersifat komplementer, tetapi untuk hubungan sebaliknya bersifat substitusi. Hampir semua pangan

67 mempunyai hubungan yang konsisten terhadap semua jenis pangan, kecuali padipadian-terigu, padi-padian-ikan olahan, daging unggas-buah/biji berminyak, dan daging unggas-sayur buah. Hubungan substitusi terjadi antara padi-padian-terigu, dan padi-padian-ikan olahan, akan tetapi sebaliknya hubungan terigu-padi-padian, dan ikan olahan- padi-padian bersifat komplementer. Penelitian Regmi A et al (2001) menunjukkan bahwa permintaan pangan di negara dengan penduduk berpendapatan rendah (miskin), lebih responsif terhadap perubahan harga pangan. Adanya kenaikan harga beras, penduduk yang berpenghasilan rendah akan mensubsitusi ke jagung atau sorgum. Tetapi sebaliknya bagi penduduk dengan pendapatan tinggi, akan mensubstitusi ke pangan hewani atau sayur dan buah. Pangan padi-padian mempunyai hubungan yang komplementer dengan semua kelompok pangan kecuali terhadap daging ruminansia dan ikan olahan. Kenaikan harga pangan padi-padian akan direspon dengan menurunkan permintaan semua jenis pangan, tetapi di perkotaan akan direspon dengan meningkatkan permintaan konsumsi daging ruminansia. Hubungan daging ruminansia dengan padi-padian adalah substitusi. Kenaikan harga padi-padian akan meningkatkan permintaan konsumsi daging ruminansia. Respon yang sama terjadi bila harga daging ruminansia naik maka permintaan konsumsi padi-padian akan direspon searah. Hampir semua pangan bersifat inelastis, kecuali padi-padian-gula. Nilai elastisitasnya sebesar -1.622, yang berarti bahwa kenaikan harga gula sebesar 10% akan menurunkan permintaan padi-padian sebesar 16.22%. Menurunnya permintaan konsumsi padi-padian bila dikaitkan dengan keragaman pangan sangat bermakna, karena selama ini konsumsi padi-padian di wilayah Sumatera Barat, baik perkotaan maupun perdesaan telah melebihi jumlah yang dianjurkan/ diharapkan, dan tingkat kecukupan energinya lebih dari 50%. Pada umumnya nilai elastisitas semua pangan adalah kecil (<0.5), kecuali gula-buah/biji berminyak (-0.651), sayur buah-buah/biji berminyak (-0.727), dan sayur buah-kacang-kacangan (-0.619). Data tersebut dapat digambarkan sebagai berikut, bila terjadi peningkatan harga buah/biji berminyak sebesar 10% maka akan berdampak pada penurunan permintaan pangan gula dan sayur buah masing-

68 masing sebesar 6.51% dan 7.27%. Jikalau yang mengalami kenaikan harga kacang-kacangan sebesar 10%, akan direspon dengan menurunkan permintaan konsumsi sayur buah sebesar 6.19%. Hubungan substitusi maupun komplementer yang demikian menurut Nurfarma (2005) dikatakan sebagai hubungan yang relatif lemah. Selanjutnya bila dicermati kembali Lampiran 26 maka akan terlihat kenaikan harga buah/biji berminyak akan segera direspon dengan mencari barang penggantinya yaitu minyak dan lemak, dan kacang-kacangan. Pada Lampiran 26 memperlihatkan kepada kita, bahwa daging unggas mempunyai hubungan komplementer terhadap semua pangan hewani (daging ruminansia, ikan segar, ikan olahan, telur susu). Hubungan komplementer pangan tersebut adalah konsisten, karena hubungan pangan hewani lainnya terhadap daging unggas bersifat komplementer pula. Sifat komplementer dan konsisten juga terdapat pada hubungan ikan olahan dengan semua pangan hewani lainnya. Arti dari itu semua bahwa kenaikan harga daging unggas maupun ikan olahan akan direspon dengan menurunkan permintaan pangan hewani lainnya. Dari sudut pandang gizi hal tersebut tidak dikehendaki, karena akan menurunkan kuantitas konsumsi pangan hewani. Dampak dari hal tersebut adalah menurunnya kualitas konsumsi pangan khususnya protein hewani. Data Susenas pada wilayah perkotaan di Jawa Tengah menunjukkan nilai yang inelastis (Lampiran 26). Selanjutnya hubungan antara kelompok pangan ada yang bersifat komplementer maupun substitusi. Dibandingkan dengan wilayah perkotaan Sumatera Barat, di sini lebih banyak pangan yang mempunyai hubungan satu arah. Sebagai contoh padi-padian-ikan olahan, terigu-daging unggas, umbi-umbiansayur buah, daging unggas-sayur buah, hubungan diantara pangan tersebut adalah komplementer, tetapi untuk sebaliknya adalah hubungan substitusi. Contoh lainnya adalah hubungan substitusi antara umbi-umbian minyak dan lemak, daging unggas-terigu, daging ruminansia-ikan segar, namun untuk hubungan pangan yang sebaliknya bersifat komplementer. Pangan padi-padian mempunyai hubungan komplementer terhadap semua jenis pangan. Fenomena tersebut dapat diartikan bahwa pangan selain padi-padian adalah merupakan lauk pauk ataupun buah, merupakan pangan pelengkap dari padi-padian. Namun demikian tidak semua jenis pangan mempunyai hubungan

69 komplementer terhadap padi-padian misalnya ikan olahan, pangan lainnya. Temuan ini searah dengan penelitian Lumbantobing (2005) di wilayah Jambi yang memperoleh hasil hubungan komplementer antara padi-padian dengan umbiumbian, ikan, telur, susu, dan buah-buahan. Pangan hewani di wilayah perkotaan ini mempunyai hubungan yang konsisten terhadap sesamanya, kecuali hubungan antara daging ruminansia-ikan segar mempunyai hubungan substitusi satu arah, sebaliknya ikan segar-daging ruminansia besifat komplementer. Kenaikan harga daging ruminansia 10% akan menyebabkan turunnya permintaan ikan segar sebesar 0.1%. Sebaliknya adanya kenaikan harga ikan segar akan disubtitusi oleh daging ruminansia sebesar 0.04%. Fenomena tersebut menggambarkan bahwa daging ruminansia lebih disukai daripada ikan segar. Temuan ini mendukung temuan Ariningsih (2002) di wilayah perkotaan Jawa Tengah, daging ternak lebih disukai daripada ikan. Data pada Lampiran 26 memperlihatkan adanya hubungan substitusi diantara pangan hewani dengan telur susu yang saling timbal balik. Kenaikan kenaikan harga telur susu, akan direspon dengan meningkatkan permintaan konsumsi pangan hewani sebagai penggantinya yaitu daging unggas, daging ruminansia, ikan segar, dan ikan olahan. Meskipun elastisitasnya kecil, tetapi hal ini bertanda baik, karena protein hewani dapat terus dikonsumsi. Tidak jauh berbeda sifat hubungan pangan antara di perkotaan dan perdesaan. Tidak satupun pangan yang bersifat elastis, bahkan lebih kecil dari 0.5. Oleh karena elastisitasnya kecil, gejolak kenaikan harga pangan hanya sedikit menurunkan permintaan konsumsi pangan. Namun demikian akibat kekurangan jumlah pangan yang dikonsumsi untuk jenis pangan tertentu dan berlangsung dalam jangka panjang tidak baik, karena berdampak pada kualitas konsumsi pangannya. Pada wilayah perdesaan di Sumatera Barat, hubungan antar kelompok pangan ada yang bersifat komplementer maupun substitusi. Hubungan tersebut umumnya konsisten, kecuali padi-padian-ikan segar, terigu-ikan segar, daging ruminansia terhadap minyak lemak, buah/biji berminyak dan kacang-kacangan, dan ikan segar-minyak lemak. Selanjutnya pangan padi-padian mempunyai hubungan komplementer dengan semua kelompok pangan kecuali terhadap

70 buah/biji berminyak. Kenaikan harga pangan padi-padian akan menurunkan permintaan konsumsi semua jenis pangan, dan di perdesaan akan direspon dengan meningkatkan permintaan buah/biji berminyak dan menurunkan permintaan konsumsi pangan yang lain (Lampiran 27). Tidak seperti wilayah perkotaan, di perdesaan pangan hewani khususnya daging unggas mempunyai hubungan substisuti terhadap semua pangan hewani lainnya kecuali terhadap ikan segar. Hubungan substitusi pada kelompok pangan hewani adalah dikehendaki. Hal ini beralasan, karena naiknya salah satu jenis pangan hewani akan digantikan dengan jenis pangan hewani lainnya. Dampak dari kenaikan harga pangan terhadap permintaan pangan hewani adalah turunnya kualitas konsumsi pangan. Sebagaimana telah dianalisa bahwa skor PPH di perdesaan belum mencapai skor yang diharapkan. Khusus untuk pangan hewani masih perlu ditingkatkan sebesar 10 point. Semua pangan di wilayah perdesaan di Jawa Tengah bersifat inelastis. Pada umumnya sifat hubungan antar pangan adalah konsisten, kecuali hubungan pangan padi-padian-ikan segar, terigu terhadap umbi-umbian dan gula, daging unggas-sayur buah, daging ruminansia-buah/biji berminyak. Pangan tersebut mempunyai sifat komplementer, tetapi untuk sebaliknya mempunyai hubungan substitusi. Hampir semua hubungan padi-padian terhadap pangan lain bersifat saling melengkapi kecuali terhadap ikan olahan. Apabila terjadi kenaikan harga padi-padian, akan direspon dengan menurunkan sejumlah jenis pangan dan sebaliknya akan meningkatkan permintaan ikan olahan. Hubungan komplementer padi-padian dengan pangan lain menunjukkan bahwa pangan lain tersebut merupakan pangan pelengkap atau lauk pauk bagi padi-padian. Pangan hewani di wilayah perdesaan ini mempunyai hubungan yang konsisten terhadap sesamanya. Ikan segar berhubungan komplementer terhadap semua jenis pangan hewani kecuali terhadap daging ruminansia. Demikian pula ikan olahan berhubungan komplementer terhadap semua pangan hewani kecuali terhadap telur susu. Hal tersebut mengindikasikan bahwa kenaikan harga ikan segar atau ikan olahan akan berdampak pada penurunan konsumsi pangan hewani lainnya. Kenaikan harga ikan segar akan direspon dengan meningkatkan permintaan konsumsi daging ruminansia, sedangkan kenaikan harga ikan olahan

71 akan direspon dengan meningkatkan permintaan konsumsi telur susu. Hal tersebut menggambarkan bahwa daging ruminansia ataupun telur susu lebih disukai oleh keluarga di Jawa Tengah. Estimasi Kebutuhan untuk Konsumsi dari Berbagai Jenis Pangan Tahun 2008- 2015 Estimasi Kebutuhan Konsumsi Aktual Hasil analisis dengan model AIDS untuk menghitung elastisitas harga maupun pendapatan menunjukkan bahwa pada umumnya permintaan konsumsi pangan lebih responsif terhadap perubahan pendapatan. Hal tersebut ditunjukkan oleh nilai elastisitas pendapatan pada umumnya lebih besar dari nilai elastiistas perubahan harga. Oleh karena itu untuk menghitung permintaan konsumsi pangan di masa mendatang pada penelitian ini menggunakan pendekatan pendapatan. Pada perhitungan ini memerlukan data laju pertumbuhan pendapatan, dimana laju pertumbuhan ekonomi telah dikoreksi oleh laju pertumbuhan penduduk (Lampiran 5). Estimasi kebutuhan konsumsi pangan untuk penduduk melalui pendekatan pendapatan bertujuan untuk menyediakan sesuai dengan kecenderungan permintaan berdasarkan selera konsumen (Ariani 1993). Namun demikian perencanaan penyediaan pangan melalui pendekatan ini akan bagus apabila tingkat pengetahuan gizi dari masyarakat telah baik. Pengetahuan gizi yang baik akan mendorong seseorang untuk mendapatkan pangan yang bergizi dan sesuai dengan kecukupannya. Hasil estimasi permintaan konsumsi pangan antara tahun 2008-2015 Sumatera Barat ditunjukkan oleh Lampiran 28-29. Tabel lampiran tersebut menunjukkan perkiraan/estimasi permintaan konsumsi pangan per kapita, sedangkan Tabel 10 menunjukkan estimasi kebutuhan konsumsi pangan tingkat provinsi. Permintaan konsumsi pangan per kapita per hari cenderung meningkat terus sepanjang tahun. Khusus untuk konsumsi beras dan terigu kecenderungan ini harus segera dikritisi, karena selama ini konsumsi untuk pangan padi-padian telah melebihi jumlah yang diharapkan. Konsumsi beras pada tahun 2005 sebesar 360 gr/kapita/hari (Lampiran 12), sedangkan ketersediaan pada tahun yang sama

72 sebesar 654 gram/kapita/hari (NBM Sumatera Barat 2005). Konsumsi padi-padian yang ideal (DKP 2006) adalah sebesar 275 gram/kapita/hari setara beras, sementara itu konsumsi di provinsi ini sangat tinggi. Permintaan beras tahun 2015 yang diperkirakan akan dikonsumsi mencapai 140.96 kg/kapita/tahun.

Pertumbuhan rata-rata permintaan konsumsi beras per kapita sebesar 0.48% per tahun (Lampiran 28-29), sedangkan rata-rata pertumbuhan kebutuhan beras provinsi Sumatera Barat sebesar 1.14% per tahun (Tabel 10). Meskipun hasil analisis dengan PPH menunjukkan konsumsi dari kelompok umbi-umbian belum mencapai skor yang ideal, hasil estimasi permintaan konsumsi pangan dengan pendekatan pendapatan, menunjukkan jumlah yang meningkat sepanjang tahun. Diperkirakan pada tahun 2015 konsumsi per kapita mencapai 23.76 kg atau laju pertumbuhan permintaan konsumsi untuk ubi kayu sebesar 1.44% per tahun. Konsumsi pangan hewani di Sumatera Barat dari tahun ke tahun diperkirakan meningkat dengan laju antara 1.69% (ikan olahan) sampai dengan 5.07% per tahun (daging ruminansia). Konsumsi pada tahn 2015 untuk daging ruminansia diperkirakan mencapai 2.80 kg/kapita/tahun, sedangkan untuk daging unggas mencapai 9.04 kg/kapita/tahun. Selanjutnya untuk memenuhi kebutuhan di provinsi ini masing-masing diperkirakan sebesar 3.156 ton daging ruminansia dan 42.443 ton daging unggas. Mengacu pada Tabel 10 konsumsi aktual telur pada tahun 2010 mencapai 9.9 kg/kapita/tahun. Menurut perhitungan Direktorat Jenderal Peternakan, maka dapat dikatakan bahwa konsumsi telur di Sumatera Barat berada di atas konsumsi rata-rata per kapita tingkat nasional (4.64 kg/kapita/tahun) pada tahun 2006 (Deptan 2006). Kacang-kacangan adalah sumber protein nabati dan pada umumnya merupakan penyumbang protein nabati kedua setelah beras. Disamping itu, kacang-kacangan adalah sumber serat pangan yang potensial. Terutama bila

dikonsumsi dalam keadaan utuh (Astawan & Wresdiyati 2004). Kacang kedele merupakan salah satu jenis kelompok pangan kacang-kacangan yang umum dikonsumsi dalam jumalh yang lebih besar dibandingkan dengan jenis kacang lainnya. Pada tahun 2005 konsumsi kedele mencapai sebesar 11 gram/kapita/hari

73 atau 4 kg/kapita/tahun. Konsumsi berbagai jenis pangan rata-rata per kapita per hari tahun 2005 ditunjukkan oleh Lampiran 12. Hasil estimasi menunjukkan bahwa konsumsi kedele sampai dengan tahun 2015 baru mencapai 5.2 kg/kapita/tahun. Kedele merupakan bahan baku untuk pembuatan tempe dan tahu, dan permintaannya terus meningkat sepanjang waktu. Pertumbuhan permintaan konsumsi kedele mencapai 2.18% per tahun, sedangkan pertumbuhan kebutuhannya mencapai 2.85% per tahun. Pada tahun 2015 provinsi ini membutuhkan sebanyak 24.553 ton kedele untuk memenuhi permintaan konsumsi aktual penduduknya. Konsumsi sayuran pada tahun 2005 sebesar 56.58 kg/kapita/tahun dan hasil estimasi menunjukkan peningkatan sepanjang tahun dengan rata-rata

pertumbuhan sebesar 1.82% per tahun. Diperkirakan jumlah sayuran yang dibutuhkan oleh wilayah pada tahun 2015 mencapai 365 124 ton, dengan laju pertumbuhan sebesar 2.50%. Apabila melihat statistik pertanian provinsi ini maka dengan laju pertumbuhan produksi sayuran sebesar 4.42% per tahun pada tahun 2005 dengan produksi sebesar 240.204 ton tentunya sulit untuk memenuhi

kebutuhan konsumsi penduduknya pada tahun 2015. Hambatan semakin bertambah dengan semakin menurunnya luas panen sayuran dengan laju -3.86% (Deptan 2006). Kondisi ini harus segera diantisipasi oleh daerah guna memenuhi kebutuhan pangan sayuran bagi penduduknya. Konsumsi buah per kapita per hari sebesar 29.88 kg/kapita/tahun pada tahun 2005 dan hasil estimasi menunjukkan permintaan yang meningkat sepanjang tahun. Laju permintaan konsumsi buah per kapita sebesar 2.77% per tahun sedangkan laju kebutuhan untuk konsumsi di provinsi ini sebesar 2.50% per tahun. Hasil perkiraan permintaan konsumsi pangan antara tahun 2008-2015 di Jawa Tengah ditunjukkan oleh Lampiran 30-31. Data pada lampiran tersebut menunjukkan estimasi permintaan pangan per kapita, sedangkan Tabel 11 menunjukkan estimasi kebutuhan pangan aktual tingkat provinsi. Seperti di Sumatera Barat, penduduk di sini mempunyai kecenderungan permintaan konsumsi beras per kapita meningkat sepanjang tahun dengan laju pertumbuhan 0.57% per tahun. Kecenderungan ini harus segera dikritisi, karena selama ini

74 konsumsi beras telah melebihi jumlah yang ideal. Konsumsi beras pada tahun 2005 sebesar 276 gr/kapita/hari meskipun masih lebih kecil dari ketersediaan per kapita yaitu 378 gram/kapita/hari (NBM Jawa Tengah 2005). Konsumsi beras di provinsi ini mencapai 101 kg/kapita/tahun pada tahun 2005, diperkirakan pada tahun 2015 konsumsinya mencapai 110 kg/kapita/tahun. Kebutuhan pangan wilayah meningkat rata-rata 0.86% per tahun, diperkirakan pada tahun 2015 dibutuhkan sebesar 3.626.501 ton. Jumlah tersebut adalah cukup besar, sehingga harus diantisipasi ketersediaan lahan untuk memproduksi padi ataupun mendatangkan beras dari wilayah lain. Upaya pemenuhan ketersediaan pangan belum cukup untuk memperbaiki konsumsi pangan penduduk. Upaya lain adalah melalui peningkatan pengetahuan gizi, sehingga masyarakat sadar akan gizi. Hasil estimasi menunjukkan bahwa konsumsi umbi-umbian (ubi kayu) khususnya masih jauh dari jumlah ideal. Pada tahun 2005 konsumsinya sebesar 0.1 kg/kapita/tahun dan diperkirakan pada tahun 2015 konsumsinya mencapai 18.87 kg/kapita/tahun dan kebutuhan konsumsi wilayah mencapai 620.624 ton. Menurut Statistik Pertanian 2006 produksi pangan di wilayah Jawa Tengah, untuk komoditas ubi kayu dan ubi jalar pada tahun 2005 cukup besar yaitu masingmasing sebesar 3.478.970 ton dan 144.598 ton ( Deptan 2006), dengan produktivitas masing-masing sebesar 165 kuintal per hektar dan 129 kuintal per hektar. Dengan melihat data tersebut dapat disimpulkan bahwa daerah/wilayah ini mampu memenuhi kebutuhan konsumsi aktual wilayahnya. Konsumsi pangan hewani per kapita per hari cenderung meningkat terus sepanjang tahun, pertumbuhan permintaan tertinggi adalah susu yang mencapai 3.87% per tahun. Hal tersebut wajar karena selama ini konsumsi susu di sini masih rendah dan konsumsinya kurang dari jumlah yang diharapkan. Hasil estimasi kebutuhan susu di sini pada tahun 2015 belum mencapai jumlah yang ideal. Karena konsumsi aktual susu masih rendah yaitu 3.68 kg/kapita/tahun. Konsumsi susu di Jawa Tengah masih jauh di bawah tingkat konsumsi nasional yang mencapai 9.32 kg/kapita/tahun pada tahun 2005. Diperkirakan pada tahun 2015 kebutuhan konsumsi aktual unggas sebesar 216.802 ton, daging ruminansia sebesar 83.271 ton, ikan segar 422.407 ton.

75 Kebutuhan akan konsumsi ikan barangkali dapat dipenuhi oleh wilayah ini, karena Jawa Tengah memiliki wilayah laut yang luas sepanjang pantai utara dan selatan. Kebutuhan pangan hewani barangkali dapat dilakukan dengan pengembangan usaha ternak potong. Konsumsi kacang-kacangan khususnya di Jawa Tengah mencapai 11.63 kg/kapita/tahun pada tahun 2005. Hasil analisis dengan pendekatan PPH menunjukkan skor yang tinggi untuk kelompok pangan kacang-kacangan yaitu 9.5, skor maksimum untuk kelompok kacang-kacangan adalah 10. Pangan kacang-kacangan di provinsi ini sangat penting peranannya, karena merupakan penyumbang utama protein nabati setelah padi-padian. Diperkirakan kebutuhan konsumsi sayuran di Jawa Tengah pada tahun 2015 sebesar 2.377.077 ton, sedangkan kebutuhan ideal sebesar 2.240.543 ton. Berdasarkan data produksi tahun 2005 provinsi ini mampu memproduksi sayuran sebanyak 1.230.025 ton dengan pertumbuhan yang menurun yaitu -6.48% pada tahun tersebut, demikian pula dengan luas tanamnya mengalami laju pertumbuhan yang negatif. Melihat kondisi ini tentunya sangat berat bila permintaan konsumsi penduduknya tidak dapat dipenuhi dari produksi sendiri. Meskipun produksi buah-buahan provinsi ini menduduki peringkat ketiga setelah Jawa Barat dan Jawa Timur pada tahun 2005, namun hasil analisis PPH menunjukkan konsumsi per kapita belum mencapai jumlah yang ideal. Pada tahun 2015 diperkirakan konsumsi aktual mencapai 32.3 kg/kapita/tahun setara jeruk. Fenomena ini menuntut daerah untuk lebih menggalakkan peningkatan produksi hortikultura terutama tanaman buah-buahan. Selain meningkatkan produksi, yang utama adalah meningkatkan daya beli. Kita ketahui bahwa harga buah-buahan relatif lebih mahal dibandingkan dengan sayuran. Hasil perkiraan permintaan pangan antara tahun 2008-2015 di Sulawesi Tenggara ditunjukkan oleh Lampiran 32-33 menunjukkan perkiraan/estimasi permintaan pangan per kapita, sedangkan Tabel 12 menunjukkan estimasi kebutuhan pangan tingkat provinsi. Permintaan konsumsi pangan per kapita per hari cenderung meningkat terus sepanjang tahun. Seperti dua provinsi lainnya kecenderungan permintaan konsumsi beras per kapita meningkat 0.66% per tahun, sedangkan konsumsi beras telah melebihi jumlah yang ideal. Konsumsi beras pada

76 tahun 2005 sebesar 324 gram/kapita/hari sedangkan ketersediaannya mencapai 284 gram/kapita/hari (NBM Sulawesi Tenggara 2005). Hasil estimasi menunjukan bahwa perkiraan permintaan beras untuk konsumsi di wilayah ini mencapai 127 kg/kapita/tahun pada tahun 2009, dan kebutuhan pangan tersebut meningkat sepanjang tahun. Diperkirakan pada tahun 2015 permintaan konsumsinya mencapai 133 kg/kapita/tahun. Hasil analisis data Susenas tahun 2005 menunjukkan konsumsi umbiumbian adalah di provinsi ini menyumbang energi sebesar 9.9% dari total kecukupan energi dan memberikan skor PPH yang hampir mencapai ideal. Berdasarkan pendekatan pendapatan, maka diperkirakan permintaan konsumsi ubi kayu meningkat sepanjang tahun, sampai dengan tahun 2015 laju permintaan konsumsi per kapita sebesar 0.13% per tahun sedangkan laju pertumbuhan untuk kebutuhan konsumsi di provinsi ini mencapai 2.51% per tahun. Hasil perhitungan menunjukkan konsumsi pangan hewani di Sulawesi Tenggara pada tahun 2008 telah mencapai angka yang ideal yaitu sebesar 150 gram/kapita/hari. Bahkan mempunyai kecenderungan terus meningkat

konsumsinya. Diperkirakan pada tahun 2009 kebutuhan ikan segar mencapai 107.088 ton dan pada tahun 2015 diperkirakan sebesar 141.373 ton (Tabel 12). Sebagaimana hasil analisis di depan, menunjukkan bahwa konsumsi protein hewani didominasi oleh produksi perikanan. Ikan berperan penting pada konsumsi penduduk di provinsi ini, pangan ini menyumbang >50% total protein. Seperti dua provinsi yang lain, konsumsi susu pada tahun 2015 diperkirakan belum mencapai jumlah yang ideal. Konsumsi susu pada tahun 2005 sebesar 1.46 kg/kapita/tahun, dan konsumsi ini masih jauh di bawah tingkat konsumsi susu nasional yang mencapai 9.32 kg/kapita/tahun. Beberapa alasan rendahnya konsumsi susu di provinsi ini adalah: a) harga susu relatif mahal dibandingkan dengan pangan hewani lainnya misalnya ikan, b) susu kurang disukai hal tersebut ditunjukan oleh nilai elastisitas harga maupun pendapatan yang inelastis, c) susu tidak dihasilkan di provinsi ini, statistik pertanian tahun 2006 menunjukkan produksi susunya nol dan tidak ada populasi sapi perah. Sementara itu estimasi konsumsi pangan berdasarkan Susenas 2005 menunjukkan bahwa diperkirakan konsumsi kacang kedele sampai dengan tahun

77 2015 mencapai 3.8 kg/kapita/hari setara kedele kering. Rendahnya konsumsi kedele di sini adalah sesuai dengan analisa permintaan, yaitu bersifat inelastis baik itu terhadap harga maupun pendapatan. Hal tersebut dapat dikatakan bahwa kacang-kacangan khususnya kedele kurang disukai di sana. Alasan lain diantaranya adalah produksi kedele masih rendah dengan produktivitas sebesar 8.57 kwintal/ha pada tahun 2005 sedangkan luas panen untuk kedele mengalami pasang surut. Konsumsi sayuran pada tahun 2005 sebesar 53.92 kg/kapita/tahun dan hasil estimasi menunjukkan permintaan yang meningkat sepanjang tahun dengan pertumbuhan sebesar 2.01% per tahun. Diperkirakan jumlah sayuran yang akan dibutuhkan di wilayah ini pada tahun 2015 mencapai 156 653 ton, dengan laju pertumbuhan sebesar 4.43%. Apabila melihat statistik pertanian provinsi ini maka dengan pertumbuhan produksi yang menurun sebesar 21.85% pada tahun 2005 dan produksi sebesar 34.738 ton tentunya sulit untuk memenuhi kebutuhan konsumsi penduduknya pada tahun 2015. Hambatan semakin bertambah dengan semakin menurunnya luas panen sebesar 46.97% pada tahun tersebut (Deptan 2006). Kondisi ini harus segera diantisipasi oleh daerah guna memenuhi kebutuhan pangan sayuran bagi penduduknya. Selanjutnya untuk konsumsi buah per kapita per hari sebesar 30.14 kg/kapita/tahun pada tahun 2005 dan hasil estimasi menunjukkan permintaan yang meningkat sepanjang tahun. Laju permintaan konsumsi buah per kapita sebesar 1.79% per tahun (Lampiran 32-33), sedangkan laju kebutuhan di provinsi ini sebesar 4.20% per tahun (Tabel 12). Hasil estimasi kebutuhan sebagaimana Tabel 10-12 menunjukkan jumlah minimal yang harus disediakan untuk konsumsi pangan aktual penduduk. Jumlah tersebut belum termasuk untuk kebutuhan bibit, pakan, tercecer, dan kebutuhan industri. Dengan data produksi maupun produktivitas yang ada, daerah dapat memperkirakan jumlah lahan minimal yang harus disediakan untuk memenuhi kebutuhan pangan penduduknya.

78

Tabel 10. Estimasi kebutuhan pangan aktual di Provinsi Sumatera Barat tahun 2008-2015
No Jenis pangan 2008 2009 2010 2011 2012 Tahun 2013 2014 2015 Rata-rata pertumbuhan

-------- ton -----1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Beras Terigu Ubi kayu Jagung Daging unggas Daging ruminansia Ikan segar Ikan olahan Telur Susu Minyak goreng Kedele Kacang lainnya Sayur Buah 610 910 38 941 96 313 13 731 33 736 8 884 112 729 16 550 42 031 14 984 47 161 20 162 11 991 307 270 136 952 617 510 40 080 98 346 13 993 34 836 9 390 115 670 16 930 43 362 15 707 48 483 20 723 12 345 315 030 141 581 624 339 412837 100 428 14 256 35 982 9 927 118 674 17 323 44 747 16 470 49 856 21 305 12 713 322 960 146 406 631 425 42 554 102 563 14 521 37 177 10 499 121 750 17 730 46 191 17 275 51.284 21 911 13 096 331 080 151 443 638 954 43 911 104 784 14 793 38 435 11 110 124 934 18 158 47 710 18 130 52 784 22 547 13 498 339 492 156 746 646 707 45 341 107 056 15 065 39 744 11 759 128 187 18 600 49 289 19 032 54 340 23 207 13 917 348 087 162 272 654 168 46 812 109 293 15 327 41 075 12 439 131 407 19 043 50 893 19 968 55 910 23 872 14 340 356 587 167 898 661 586 48 344 111 537 15 584 42 443 13 156 134 640 19 492 52 539 20 946 57 516 24 553 14 773 365 124 173 688 1.14 3.14 2.12 1.83 3.33 5.77 2.57 2.37 3.24 4.90 2.88 2.85 3.03 2.50 3.45

79

Tabel 11. Estimasi kebutuhan pangan aktual di Provinsi Jawa Tengah tahun 2008-2015

No

Jenis pangan 2008 2009 2010 2011 2012

Tahun 2013 2014 2015

Rata-rata pertumbuhan

-------- ton -----1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Beras Terigu Ubi kayu Jagung Daging unggas Daging ruminansia Ikan segar Ikan olahan Telur Susu Minyak goreng Kedele Kacang lainnya Sayur Buah 3 416 097 397 025 602 427 115 821 185 327 62 728 356 407 168 607 214 152 90 851 299 618 436 771 116 053 2 174 440 873 391 3 447 328 407 172 605 275 118 054 189 369 65 349 365 332 171 617 219 905 94 677 305 183 444 230 117 526 2 203 973 898 573 3 479 055 417 421 608 192 120 264 193 601 68 086 374 516 174 663 225 834 98 673 310 812 451 776 119 064 2 233 888 924 567 3 508 653 427 454 610 723 122 360 197 883 70 891 383 680 177 610 231 770 102 770 316 267 459 067 120 582 2 262 495 950 669 3 538 903 437 604 613 354 124 436 202 377 73 822 393 124 180 598 237 898 107 054 321 797 466 463 122 175 2 291 576 977 692 3 568 658 447 727 615 885 126 452 207 025 76 861 402 729 183 570 244 143 111 495 327 297 473 812 123 807 2 320 390 1 005 281 3 597 470 457 766 618 241 128 393 211 808 80 000 412 445 186 500 250 477 116 086 332 725 481 054 125 466 2 348 639 1 033 338 3 626 501 467 863 620 624 130 299 216 802 83.271 422 407 189 448 256 982 120 870 338 187 488 341 127 193 2 377 077 1 062 208 0.86 2.37 0.43 1.70 2.27 4.13 2.46 1.68 2.64 4.16 1.74 1.61 1.32 1.28 2.84

80

Tabel 12. Estimasi kebutuhan pangan aktual di Provinsi Sulawesi Tenggara tahun 2008-2015
No Jenis pangan 2008 2009 2010 2011 2012 -------- ton -----1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Beras Terigu Ubi kayu Jagung Daging unggas Daging ruminansia Ikan segar Ikan olahan Telur Susu Minyak goreng Kedele Kacang lainnya Sayur Buah 285 221 26 294 83 600 39 433 24 390 10 340 102 136 13 792 10 450 7 437 17 516 7 421 8 873 116 384 101 651 294 219 27 734 85 788 40 518 25 075 10 673 107 088 14 312 11 034 7 784 18 452 7 764 9 236 121 651 106 120 303 505 29 229 88 032 41 629 25 784 11 013 112 287 14 858 11 651 8 148 19 438 8 124 9 615 127 163 110 754 312 876 30 763 90 273 42 740 26 500 11 353 117 664 15 421 12 296 8 524 20 465 8 495 10 003 132 843 115 480 322 876 32 345 92 541 43 863 27 232 11 697 123 266 16 007 12 972 8 914 21 541 8 880 10 404 138 739 120 337 332 117 33 969 94 818 44 990 27 976 12 042 129 074 16 615 13 680 9 318 22 662 9 279 10 816 144 829 125 302 341 872 35 630 97 087 46 114 28 728 12 386 135 076 17 242 14 417 9 735 23 828 9 689 11 237 151 097 130 355 351 938 37 353 99 416 47 266 29 508 12 738 141 373 17 903 15 196 10 171 25 056 10 119 11 677 157 653 135 588 3.05 5.14 2.51 2.62 2.76 3.02 4.75 3.80 5.50 4.57 5.25 4.53 4.00 4.43 4.20 Tahun 2013 2014 2015 Rata-rata pertumbuhan

81 Estimasi Kebutuhan Konsumsi Ideal Program percepatan diversifikasi pangan pada tahun 2015, adalah tercapainya skor PPH sebesar 100. Konsumsi pangan dikatakan ideal apabila dalam komposisi antar kelompok pangan terdapat keseimbangan. Pengadaan dan konsumsi pangan yang cukup baik kualitas maupun kuantitasnya bagi seluruh penduduk di suatu wilayah belum dapat menjamin penduduk terhindar dari masalah pangan dan gizi. Sebagai upaya dalam pemenuhan kebutuhan pangan yang dikonsumsi adalah kontribusi diantara jenis pangan yang dikonsumsi harus seimbang. Berdasarkan hal itu maka perencanaan pangan yang digunakan harus memperhatikan kualitas dan kuantitas pangan. Salah satu metode yang dapat dipakai adalah menggunakan pendekatan PPH. Pada penelitian ini dilakukan estimasi kebutuhan pangan wilayah pada tahun 2015 dengan pendekatan PPH yang didasarkan pada pola pangan setempat. Hasil estimasi kebutuhan konsumsi pangan ideal di Sumatera Barat ditunjukkan oleh Tabel 13. Sebagaimana pembahasan di atas diketahui bahwa konsumsi beras di wilayah ini sudah melebihi konsumsi ideal, diperkirakan pada tahun 2015 mencapai 140.96 kg/kapita/tahun, sedangkan jumlah yang sesuai dengan harapan/ideal adalah sebesar 95.54 kg/kapita/tahun atau kebutuhan ideal di wilayah ini adalah sebesar 448.387 ton. Melihat kondisi tersebut maka di wilayah ini terdapat kelebihan sebesar 47.55% dari kebutuhan ideal atau 213.198 ton (Tabel 14). Meskipun hasil analisis dengan PPH menunjukkan konsumsi dari kelompok umbi-umbian belum mencapai skor yang ideal, akan tetapi hasil estimasi permintaan konsumsi pangan dengan pendekatan pendapatan, menunjukkan jumlah yang meningkat sepanjang tahun. Kebutuhan ideal umbi-umbian khususnya ubi kayu pada tahun 2015 sebesar 57.977 ton, sedangkan kebutuhan aktual sebesar 111.537 ton. Berdasarkan pola pangan setempat maka antara kebutuhan aktual dan ideal terdapat kesenjangan sebesar 53.560 ton (92.38%). Berdasarkan pola pangan di provinsi ini dengan mengacu pada pola konsumsi tahun 2005, konsumsi daging ruminansia dan daging unggas belum sesuai dengan harapan/ideal. Konsumsi ideal untuk daging ruminansia sebesar 3.18 kg dan daging unggas sebesar 5.71 kg/kapita/tahun. Hasil estimasi kebutuhan

82 aktual menunjukkan bahwa daging unggas dikonsumsi melebihi kebutuhan ideal, dan sebaliknya daging ruminansia dikonsumsi kurang dari jumlah ideal. Konsumsi pangan yang berlebihan dan berlangsung lama akan berdampak negatif terhadap kesehatan Pangan hewani khususnya daging unggas dan daging ruminansia bila dikonsumsi dalam jumlah berlebih mengakibatkan penurunan kualitas kesehatan. Pada umumnya pangan dari hasil ternak mempunyai kadar kolesterol yang tinggi. Berpatokan pada konsumsi ideal/harapan, maka konsumsi pangan hewani khususnya telur akan mencapai tingkat konsumsi ideal pada tahun 2010. Pada tahun tersebut diperkirakan konsumsi aktual pangan ini mencapai 9.9 kg/kapita/tahun, sedangkan konsumsi yang ideal adalah 9.78 kg/kapita/tahun. Menurut perhitungan Direktorat Jenderal Peternakan, maka dapat dikatakan bahwa konsumsi telur di Sumatera Barat berada di atas konsumsi rata-rata per kapita tingkat nasional (4.64 kg/kapita/tahun) pada tahun 2006 (Deptan 2006). Kacang-kacangan sebagai sumber protein nabati disamping beras dan sayur buah, dikonsumsi dalam jumlah yang kurang dari ideal. Konsumsi aktual pada tahun 2015 baru mencapai 5.2 kg/kapita/tahun sedangkan konsumsi ideal sebesar 7.32 kg atau kebutuhan ideal di wilayah ini sebesar 34.367 ton. Hasil estimasi ini mendukung hasil analisis keragaman konsumsi pangan sebelumnya, skor PPH dari kacang-kacangan masih rendah yaitu 3.9. Oleh karena itu konumsi kedele di sini perlu ditingkatkan hingga mencapai jumlah ideal dan diharapkan skor PPH jenis pangan ini mencapai 10. Berpedoman pada skor PPH 100 pada tahun 2015, maka konsumsi buah di sini belum mencapai jumlah yang ideal. Diperkirakan konsumsi per kapita sebesar 37.01 kg/kapita/tahun, sedangkan konsumsi idealnya sebesar 67.09

kg/kapita/tahun. Buah dan sayur sebagai sumber vitamin dan mineral mutlak dibutuhkan oleh tubuh. Oleh karena itu, upaya peningkatan jumlah konsumsi buah perlu diupayakan. Hasil analisis PPH menunjukkan bahwa skor PPH untuk sayur buah belum mencapai skor harapan dan perlu ditingkatkan sebesar 3.4 point. Untuk mencapai jumlah konsumsi yang ideal untuk buah-buahan sebesar 43.67 kg/tahun maka Sumatera Barat minimal menyediakan 204.931 ton untuk memenuhi kebutuhan ideal penduduknya.

83 Secara terinci kebutuhan pangan ideal per jenis pangan pada tahun 2015 disajikan pada Tabel 13, sedangkan kesenjangan antara kebutuhan aktual dan ideal disajikan pada Tabel 14. Hasil perkiraan permintaan konsumsi pangan ideal Provinsi Jawa Tengah ditunjukkan oleh Tabel 13 dan 14. Seperti di Sumatera Barat, penduduk di sini mempunyai kecenderungan permintaan konsumsi beras per kapita meningkat sepanjang tahun. Di wilayah ini telah terjadi kesenjangan antara kebutuhan aktual dan ideal. Kebutuhan aktual cenderung lebih tinggi daripada kebutuhan ideal. Konsumsi beras aktual diperkirakan mencapai 110 kg/kapita/tahun pada tahun 2015 sedangkan konsumsi yang ideal adalah 89.40 kg/kapita/tahun (Tabel 13). Kesenjangan tersebut menimbulkan masalah, karena kebutuhan yang besar menuntut wilayah untuk memenuhinya. Sementara itu upaya pemenuhan ketersediaan pangan belum cukup untuk memperbaiki konsumsi pangan penduduk. Upaya lain adalah melalui peningkatan pengetahuan gizi, sehingga masyarakat sadar akan gizi. Hasil estimasi untuk kebutuhan ideal pada tahun tersebut sebesar 2.939.613 ton, sehingga ada kesenjangan sebesar 23.37 % atau 686.888 ton (Tabel 14). Hasil estimasi menunjukkan bahwa konsumsi umbi-umbian (ubi kayu) masih jauh dari jumlah ideal. Diperkirakan pada tahun 2015 konsumsi ideal dari umbi-umbian khususnya ubi kayu mencapai 24.31 kg/kapita/tahun atau kebutuhan ideal untuk provinsi ini sebesar 799.268 ton. Apabila data yang tersaji pada Tabel 14 dicermati lebih lanjut, ternyata masih terjadi kesenjangan antara konsumsi aktual dan ideal. Konsumsi aktual masih jauh dari ideal, sehingga untuk memenuhi kebutuhannya masih terdapat kekurangan sebesar 178.644 ton (22.35%). Kesenjangan tersebut sebenarnya dapat dipenuhi apabila masyarakat di sana telah melakukan pola konsumsi pangan berimbang. Provinsi Jawa Tengah mampu memproduksi ubi kayu dan ubi jalar masing-masing sebesar 3.478.970 ton dan 144.598 ton ( Deptan 2006), dengan produktivitas masing-masing sebesar 165 kuintal per hektar dan 129 kuintal per hektar. Data statistik di atas menunjukkan bahwa terdapat produksi yang cukup berlebih di Jawa Tengah khususnya untuk pangan umbi-umbian. Namun demikian produksi yang ada kurang dimanfaatkan

84 sebagai pangan sumber karbohidrat. Pada umumnya umbi-umbian dipandang sebagai pangan inferior, orang enggan untuk mengkonsumsinya. Hasil estimasi di Jawa Tengah menunjukkan bahwa konsumsi pangan hewani masih jauh dari jumlah yang ideal kecuali ikan segar. Meskipun menurut Statistik Pertanian tahun 2006, menunjukkan bahwa Provinsi Jawa Tengah menduduki peringkat ketiga setelah Jawa Barat dan Jawa Timur dalam hal memproduksi daging. Namun demikian konsumsi pangan ini belum ideal, beberapa alasan yang dapat disampaikan: a) pangan hewani selain ikan adalah mahal harganya, b) karena terbatasnya anggaran, rumah tangga lebih mengutamakan untuk kebutuhan pangan lain yang harganya relatif lebih murah, c) pangan hewani tersebut dikonsumsi pada saat-saat tertentu saja. Meskipun hasil estimasi kebutuhan susu di wilayah ini cenderung meningkat terus sepanjang tahun, tetapi sampai dengan tahun 2015 belum mencapai jumlah konsumsi yang ideal. Hasil estimasi konsumsi ideal susu pada tahun 2015 mencapai 23.53 kg/kapita/tahun atau kebutuhan ideal di tingkat provinsi sebesar 773.627 ton dan terdapat kekurangan kebutuhan sebesar 652.757 ton (84,38%). Konsumsi susu di Jawa Tengah masih jauh di bawah tingkat konsumsi nasional yang mencapai 9,32 kg/kapita/tahun pada tahun 2005. Upaya pemenuhan kebutuhan ideal susu diperlukan, misalnya melalui gerakan kampanye minum susu bagi anak-anak sekolah. Diperkirakan pada tahun 2015 konsumsi ideal pangan hewani selain susu adalah daging unggas, daging ruminansia, dan telur. Hasil estimasi menunjukkan bahwa konsumsi aktual masih dibawah jumlah konsumsi ideal. Kesenjangan kebutuhan pangan di wilayah ini adalah 60.362 ton (21.78%) daging unggas, 7.960 ton (8.73%) daging ruminansia, dan 76.259 ton (22.88%) telur (Tabel 14). Kebutuhan akan konsumsi ikan barangkali dapat dipenuhi oleh wilayah ini, karena Jawa Tengah memiliki wilayah laut yang luas sepanjang pantai utara dan selatan. Kebutuhan pangan hewani barangkali dapat dilakukan dengan pengembangan usaha ternak potong. Hasil analisis dengan pendekatan PPH menunjukkan skor yang tinggi untuk kelompok pangan kacang-kacangan yaitu 9.5, skor maksimum untuk kelompok kacang-kacangan adalah 10. Diantara ketiga provinsi yang diteliti, Jawa Tengah

85 memiliki skor PPH untuk kacang-kacangan tertinggi. Hal itu adalah wajar, pada umumnya masyarakat Jawa Tengah cukup banyak mengkonsumsi kacangkacangan khususnya kedele. Kedele dikonsumsi dalam bentuk tempe dan tahu. Makanan ini merupakan lauk pauk sehari-hari di wilayah ini. Hasil estimasi kebutuhan aktual menunjukkan bahwa konsumsi sayur akan mencapai konsumsi ideal pada tahun 2010, konsumsi ideal sebesar 68.1 kg/kapita/tahun sedangkan konsumsi aktual pada tahun tersebut diperkirakan sebesar 68.8 kg/kapita/tahun. Konsumsi sayur di sini adalah setara bayam, diperkirakan kebutuhan ideal pada tahun 2015 sebesar 2.240.543 ton. Berdasarkan data produksi dan luas tanam tahun 2005 di provinsi ini dikhawatirkan produksi yang ada akan sulit untuk memenuhi kebutuhannya. Upaya pemenuhan kebutuhan pangan dapat dilakukan melalui intensifikasi tanaman hortikultura maupun mendatangkan pangan dari wilayah lain. Hasil estimasi permintaan konsumsi buah-buahan belum mencapai konsumsi yang ideal. Pada tahun 2015 diperkirakan konsumsi aktual mencapai 32.3 kg/kapita/tahun, dan konsumsi ideal sebesar 42.8 kg/kapita/tahun setara jeruk. Fenomena ini menuntut daerah untuk lebih menggalakkan peningkatan produksi hortikultura terutama tanaman buah-buahan. Selain meningkatkan produksi, yang utama adalah meningkatkan daya beli. Kita ketahui bahwa harga buah-buahan relatif lebih mahal dibandingkan dengan sayuran. Hasil perkiraan kebutuhan pangan ideal tahun 2015 di Sulawesi Tenggara disajikan pada Tabel 13, sedangkan perkiraan kesenjangan kebutuhan antara aktual dan ideal disajikan pada Tabel 14. Hasil estimasi menunjukan bahwa perkiraan kebutuhan beras meningkat sepanjang tahun. Diperkirakan pada tahun 2015 permintaan konsumsinya mencapai 133 kg/kapita/tahun, padahal konsumsi yang sesuai dengan harapan adalah sebesar 91.31 kg/kapita/tahun. Pada tahun 2015 kebutuhan ideal mencapai 242.240 ton. Umbi-umbian sebagai pangan sumber energi, cukup berperan di dalam konsumsi pangan di wilayah ini. Hal tersebut tercermin dari perkiraan jumlah konsumsi aktual yang lebih besar dari konsumsi ideal. Hasil analisis data Susenas tahun 2005 menunjukkan konsumsi umbi-umbian telah mencapai skor PPH maksimum (2.5). Hal tersebut adalah wajar, karena pola konsumsi pangan di

86 wilayah ini adalah beras-umbi. Pada tahun 2015 diperkirakan kebutuhan ideal ubi kayu mencapai 37.570 ton, sedangkan kebutuhan aktualnya mencapai 99.416 ton. Meskipun pada tahun 2008 diperkirakan konsumsi pangan hewani mencapai jumlah ideal sebesar 150 gram/kapita/hari, tetapi jika dilihat per jenis pangan hanya susu yang belum mencapai jumlah konsumsi ideal. Konsumsi aktual susu pada tahun 2005 sebesar 1.46 kg/kapita/tahun,diperikarakan konsumsi ideal pada tahun 2015 sebesar 19.18 kg/kapita/tahun. Konsumsi ideal tersebut telah berada di atas konsumsi nasional yang mencapai 9.32 kg/kapita/tahun pada tahun 2005. Beberapa alasan rendahnya konsumsi susu di provinsi ini adalah: a) harga susu relatif mahal dibandingkan dengan pangan hewani lainnya misalnya ikan, b) susu kurang disukai hal tersebut ditunjukkan oleh nilai elastisitas harga maupun pendapatan yang inelastis, c) provinsi ini tidak menghasilkan susu, statistik pertanian tahun 2006 menunjukkan produksi susunya nol dan tidak ada populasi sapi perah. Estimasi terhadap konsumsi kacang-kacangan (kedele) diperkirakan sampai dengan tahun 2015 belum mencapai angka yang ideal, karena baru mencapai 3.8 kg/kapita/hari sedangkan yang ideal adalah sebesar 5.2 kg setara kedele kering. Hasil estimasi tersebut mendukung analisis PPH sebelumnya, konsumsi kacangkacangan baru mencapai skor 2.9 sedangkan skor ideal sebesar 10. Beberapa alasan rendahnya konsumsi kedele yang dapat disampaikan diantaranya adalah: (a) analisis permintaan dengan model AIDS menunjukkan sifat yang inelastis untuk harga maupun pendapatan, (b) produksi kedele masih rendah dengan produktivitas sebesar 8.57 kwintal/ha pada tahun 2005 sedangkan luas panen untuk kedele mengalami pasang surut. Estimasi kebutuhan sayuran dengan pendekatan pendapatan menunjukkan kecenderungan meningkat sepanjang tahun, dan pada tahun 2015 perkiraan konsumsi aktualnya telah melebihi konsumsi ideal. Konsumsi ideal pada tahun tersebut sebesar 49.66 kg/kapita/tahun setara bayam dan perkiraan kebutuhan di tingkat provinsi mencapai 131.747 ton. Ketidakseimbangan konsumsi zat gizi berdampak pada kesehatan. Konsumsi pangan yang berlebihan tidaklah bermanfaat, mengingat tidak satupun jenis pangan yang lengkap kandungan

87 gizinya selain ASI. Sayuran merupakan pangan sumber vitamin, mineral, dan serat pangan. Kelebihan konsumsi zat gizi dan bila berlangsung terus menerus akan berdampak negatif terhadap kesehatan. Mengacu pada skor PPH 100, maka pada tahun 2015, maka konsumsi buah di sini belum mencapai jumlah yang ideal. Diperkirakan konsumsi per kapita sebesar 51.11 kg/kapita/tahun, sedangkan konsumsi idealnya sebesar 57.61 kg/kapita/tahun setara jeruk manis. Kebutuhan ideal tingkat provinsi pada tahun tersebut diperkirakan sebesar 152.828 ton atau 57.61 kg/kapita/tahun Beberapa hal penting yang dapat dikemukakan di sini dari hasil analisis permintaan dan kebutuhan konsumsi pangan padi-padian di ketiga provinsi ini adalah bahwa pangan tersebut telah dikonsumsi dalam jumlah yang lebih dari ideal. Menurut Dakhuri R (2008), saat ini konsumsi beras orang Indonesia tertinggi di dunia yaitu 139 kg/kapita/tahun. Konsumsi ini jauh melampaui konsumsi negara lain diantaranya adalah Jepang (60 kg), Malaysia (80 kg), Thailand (90 kg), dan rata-rata dunia (60 kg). Tingginya konsumsi beras mengakibatkan 31 juta ton beras yang dihasilkan setiap tahun tidak mencukupi kebutuhan nasional. Untuk memperoleh tubuh yang sehat diperlukan pangan dalam jumlah yang cukup seimbang baik jumlah maupun jenis zat gizi dan sumber pangannya. Pangan yang cenderung tunggal dapat menyebabkan defisiensi zat gizi, karena tidak ada makanan yang lengkap kandungan zat gizinya. Meskipun dalam konsumsi sehari-hari padi-padian khususnya beras merupakan penyumbang utama energi dan protein, tetapi bila dikonsumsi dalam jumlah berlebihan tidak ada manfaatnya. Oleh karena asupan energi yang tidak seimbang dengan energi yang dikeluarkan, akan mengakibatkan kelebihan energi. Kelebihan energi selain akan disimpan sebagai cadangan energi, juga akan disimpan dalam bentuk lemak. Dampak lain dari kelebihan konsumsi ini adalah kegemukan. Ketergantungan pada pangan pokok tunggal akan menghambat tujuan progam percepatan diversifikasi pangan, karena tujuan utama diversifikasi atau penganekaragaman pangan adalah untuk meningkatkan mutu konsumsi gizi dan mengurangi ketergantungan konsumsi pada salah satu jenis/kelompok pangan.

88 Tujuan lain adalah secara langsung atau tidak langsung akan berdampak pada perbaikan kesehatan. Berbagai faktor mempengaruhi kebiasaan makan, salah satu diantaranya adalah preferensi (Suhardjo 1989). Menurut beliau kesukaan pangan (preferensi) makin terpengaruh oleh pendekatan melalui media masa, radio, televisi, pamflet, iklan, dan pendekatan ini cukup efektif untuk merubah kebiasaan makan. Faktor fisik pangan, flavor, warna, bentuk, merupakan faktor penting yang

mempengaruhi pemilihan pangan. Agar supaya pangan umbi-umbian dapat diterima sebagai bagian dari konsumsi pangan sehari-hari maka diperlukan upaya meningkatkan citra pangan umbi-umbian. Perlunya diverisifikasi pangan olahan umbi-umbian, sehingga menjadi pangan yang secara fisik telah berubah bentuknya dan meningkatkan daya terima. Pengembangan teknologi pangan spesifik lokasi, sangat dibutuhkan untuk meningkatkan kualitas fisik maupun kandungan gizi, pengolahan aneka jenis pangan dan daya simpan. Teknologi spesifik lokasi sangat membantu dalam meningkatkan ketersediaan pangan maupun perbaikan pendapatan masyarakat sehingga mampu meningkatkan daya beli. Tabel 13. Konsumsi dan kebutuhan ideal tahun 2015 di Provinsi Sumatera Barat, Jawa Tengah, dan Sulawesi Tenggara
Jenis pangan No. Kg/kap 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Beras Terigu Jagung Ubi kayu Daging unggas Daging ruminansia Ikan segar Ikan olahan Telur Susu Minyak goreng Kedele Gula Sayur Buah 95.54 5.73 0.05 12.35 5.71 3.18 17.80 7.92 9.78 20.54 8.09 7.32 10.03 67.09 43.665 Ton/th 448,387 26,906 225 57.977 26.799 14.937 83.528 37.165 45.915 96.382 37.984 34.367 47.063 314.867 204.931 Kg/kap 89.40 10.04 2.13 24.31 8.43 2.77 8.30 8.42 10.13 23.53 8.09 9.29 10.03 68.14 42.82 Ton/th 2.939.613 330.147 69.883 799.268 277.164 91.231 272.914 276.935 333.241 773.627 266.124 305.351 329.730 2.240.543 1.408.148 Kg/kap 91.31 6.61 3.97 14.16 2.26 1.22 47.08 3.85 3.65 19.18 8.09 5.23 10.03 49.66 57.61 Ton/th 242.240 17.528 10.523 37.570 5.986 3.245 124.898 10.224 9.691 50.886 21.471 13.879 26.603 131.747 152.828 Sumatera Barat Jawa Tengah Sulawesi Tenggara

89 Berdasarkan pola konsumsi pangan setempat, maka estimasi pada tahun 2015 di Sumatera Barat diperkirakan masih terdapat beberapa pangan yang belum mencapai jumlah yang diharapkan/ideal. Pangan tersebut adalah daging ruminansia, ikan olahan, susu, dan buah (Tabel 14). Di Jawa Tengah diperkirakan pangan yang masih di bawah jumlah konsumsi ideal adalah ubi kayu, buah dan semua pangan hewani kecuali ikan segar, sedangkan di Sulawesi Tenggara adalah susu, kacang kedele dan buah. Di satu sisi pangan tersebut belum mencapai jumlah yang diharapkan, tetapi di sisi lain di luar pangan yang disebut tadi konsumsi aktualnya melebihi konsumsi harapan/ideal. Fenomena tersebut menunjukkan bahwa permintaan konsumsi aktual lebih tinggi dari kebutuhan yang ideal. Implikasi dari hal tersebut adalah perlunya peningkatan pengetahuan gizi masyarakat. Pemenuhan kebutuhan pangan tidak cukup dengan meningkatkan ketersediaannya, tetapi yang terpenting adalah terpenuhinya pangan dalam jumlah yang seimbang, bergizi, aman dan terjangkau oleh daya beli masyarakat. Faktor lain yang harus dipertimbangkan adalah faktor selera (preferensi) dan perilaku konsumsi pangan. Konsumsi susu di ketiga provinsi diperkirakan belum mencapai jumlah konsumsi yang ideal. Beberapa alasan diantaranya adalah: a) jumlah susu yang dikonsumsi masih di bawah konsumsi nasional, b) susu termasuk pangan yang relatif mahal harganya dibandingkan pangan hewani lainnya misalnya ikan, c) belum semua provinsi mampu memproduksi susu misalnya Sulawesi Tenggara sehingga kebutuhan susu harus didatangkan dari luar provinsi, d) terbatasnya pendapatan, menyebabkan kenaikan pendapatan dialokasikan untuk konsumsi pangan lain yang dianggap lebih penting, e) konsumsi susu sudah dianggap cukup. Upaya peningkatan konsumsi susu barangkali dapat dimulai sejak usia dini. Sebagai contoh adalah mengaktifkan kembali gerakan minum susu sebagaiman pernah dilakukan beberapa tahun yang lalu dalam bentuk Program Susu Sekolah (Khomsan 2002). Program ini dinilai sederhana karena mendistribusikan susu sampai susu tersebut diminum oleh siswa. Upaya lain yang dapat dilakukan misalnya adalah efisiensi produksi peternakan untuk menurunkan harga atau stabilitas harga.

90 Hasil estimasi di ketiga provinsi konsumsi buah berada di bawah konsumsi yang ideal. Buah-buahan adalah pangan sumber vitamin, mineral, dan serat pangan, senyawa fitokimia, dan antioksidan. Oleh karena kandungan zat gizi maupun lainnya terdapat pada buah, pangan tersebut berkhasiat sebagai antikanker, antioksidan, meningkatkan sistem kekebalan tubuh, menurunkan kolesterol, dan lain sebagainya. Vitamin yang banyak terdapat pada buah adalah vitamin A, D, dan E, sedangkan mineral yang terkandung di dalamnya adalah zat besi, zink, kalsium, mangan, copper (Astawan dan Wresdiyati 2004). Konsumsi pangan dalam jumlah yang cukup maupun berlebihan dapat disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah keterbatasan anggaran, tidak tersedianya pangan dalam jumlah yang cukup, kebiasaan makan, distribusi pangan yang tidak merata, aksesibilitas pangan tersebut. Pemenuhan konsumsi pangan khususnya buah-buahan adalah dengan meningkatkan produksi dan

mempertahankan ketersediaan pangan tersebut sepanjang waktu serta stabilitas harga. Hasil estimasi kebutuhan ideal sebagaimana Tabel 13 adalah menunjukkan jumlah yang diperkirakan akan dikonsumsi oleh penduduk dalam jumlah sesuai kaidah PPH. Jumlah tersebut belum termasuk untuk kebutuhan bibit, pakan, tercecer, kebutuhan industri. Dengan data produksi maupun produktivitas yang ada, daerah dapat memperkirakan jumlah lahan minimal yang harus disediakan untuk memenuhi kebutuhan pangan ideal bagi penduduknya. Disamping upaya memenuhi kebutuhan pangan penduduk melalui peningkatan produksi, maka ada faktor lain yang dirasa cukup efektif untuk merubah kebiasaan pangan yang dianggap kurang bagus dari aspek gizi yaitu pendidikan gizi di sekolah. Beberapa keunggulan yang dikemukakan oleh Suhardjo (1989) dari pendidikan gizi ini adalah anak-anak mempunya pemikiran yang lebih terbuka daripada orang dewasa, dan pengetahuan yang diterima dapat dijadikan dasar untuk pembinaan kebiasaan makannya. Bagi masyarakat umum pendidikan gizi yang disampaikan barangkali dapat berupa penyuluhan gizi. Penyuluhan gizi harus diberikan secara berimbang, dari setiap materi harus dijelaskan manfaat dan dampak dari konsumsi pangan yang berlebihan maupun yang kurang serta penanggulangannya.

91 Tabel 14. Kesenjangan antara kebutuhan aktual dan ideal tahun 2015 di Provinsi Sumatera Barat, Jawa Tengah, dan Sulawesi Tenggara
No Provinsi/jenis pangan Sumatera Barat Beras Terigu Jagung Ubi kayu Daging unggas Daging ruminansia Ikan segar Ikan olahan Telur Susu Minyak goreng Kedele Gula Sayur Buah Jawa Tengah Beras Terigu Jagung Ubi kayu Daging unggas Daging ruminansia Ikan segar Ikan olahan Telur Susu Minyak goreng Kedele Gula Sayur Buah Sulawesi Tenggara Beras Terigu Jagung Ubi kayu Daging unggas Daging ruminansia Ikan segar Ikan olahan Telur Susu Minyak goreng Kedele Gula Sayur Buah Ko Aktual 661.586 48.344 15.584 111.537 42.443 13.156 134.640 19.492 52.539 20.946 57.516 24.553 57.477 365.124 173.688 Kebutuhan (Ton) Ideal 448,387 26,906 225 57.977 26.799 14.937 83.528 37.165 45.915 96.382 37.984 34.367 47.063 314.867 204.931 Selisih aktual-ideal 213,198 21,439 15.359 53.560 15.644 -1.781 51.112 -17.672 6.624 -75.436 19.531 -9.815 10.414 50.257 -31.242

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15

3.626.501 467.863 130.299 620.624 216.802 83.271 422.407 289.448 256.982 120.870 338.187 488.341 458.076 2.377.077 1.062.208

2.939.613 330.147 69.883 799.268 277.164 91.231 272.914 276.935 333.241 773.627 266.124 305.351 329.730 2.240.543 1.408.148

686.888 137.716 60.415 -178.644 -60.362 -7.960 149.493 12.513 -76.259 -652.757 72.063 182.990 128,345 136.534 -345.940

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15

351.938 37.353 47.266 99.416 29.508 12.738 141.373 17.903 15.196 10.171 25.056 10.119 39.126 157.653 135.588

242.240 17.528 10.523 37.570 5.986 3.245 124.898 10.224 9.691 50.886 21.471 13.879 26.603 131.747 152.828

109.698 19.825 36.744 61.846 23.522 9.493 16.475 7.679 5.505 -40.715 3.585 -3.759 12.523 25.906 -17.240

92

KESIMPULAN DAN SARAN


Kesimpulan A. Tingkat kecukupan gizi dan keragaman pangan dari ketiga provinsi adalah: 1). Tingkat konsumsi energi (TKE) mencapai lebih dari 100% kecuali di Provinsi Jawa Tengah sebesar 98.,5%, tingkat kecukupan energinya mendekati AKG (1.969 kkl). Pada umumnya konsumsi energi di perdesaan lebih tinggi dibandingkan perkotaan, kecuali di Sulawesi Tenggara. 2) Konsumsi protein telah mencapai angka kecukupan (TKP) lebih dari 100%. Konsumsi protein di Jawa Tengah didominasi oleh protein nabati yang bersumber dari beras dan kacang-kacangan. Konsumsi protein, lebih tinggi di perkotaan daripada perdesaan. 3) Dari segi komposisi, konsumsi pangan di ketiga provinsi belum mencapai keseimbangan meski telah sesuai dengan sasaran Kebijakan Umum Ketahanan Pangan tahun 2006-2009. Skor PPH di perkotaan jauh lebih baik dibandingkan di perdesaan. B. Respon permintaan pangan terkait dengan perubahan harga dan pendapatan adalah : 1) Di semua provinsi (perkotaan+perdesaan) kecuali Jawa Tengah, permintaan padi-padian lebih responsif terhadap perubahan harga daripada daging ruminansia dan telur susu. Secara umum permintaan pangan di perdesaan lebih responsif terhadap perubahan harga daripada perkotaan, kecuali di Sumatera Barat: terigu, ikan segar, buah/biji berminyak, dan gula; di Jawa Tengah: daging unggas, daging ruminansia, ikan segar, dan gula. 2) Di wilayah perkotaan+perdesaan di Provinsi Jawa Tengah dan Sulawesi Tenggara, hampir semua pangan hewani lebih responsif terhadap perubahan pendapatan daripada padi-padian. Selanjutnya permintaan pangan di perdesaan lebih responsif terhadap perubahan pendapatan daripada perkotaan, kecuali di Sumatera Barat: telur susu, minyak dan lemak, buah/biji berminyak, kacang-kacangan, sayur buah, dan gula; di Jawa Tengah: terigu, daging ruminansia, ikan olahan, buah/biji berminyak, dan kacang-kacangan.

93 3) Secara umum didapatkan bahwa elastistas silang padi-padian terhadap pangan lainnya bersifat komplementer, dan sifat tersebut adalah konsisten. C. Pada tahun 2015 diperkirakan akan terjadi peningkatan konsumsi pangan penduduk maupun kebutuhan pangan wilayah di masing-masing provinsi . Hasil estimasi menunjukkan bahwa: 1) Konsumsi aktual beras di Sumatera Barat diperkirakan mencapai 141 kg/kapita/tahun sedangkan jumlah yang sesuai dengan harapan/ideal adalah sebesar 96 kg/kapita/tahun, sedangkan di Jawa Tengah mencapai 110 kg/kapita/tahun dan jumlah yang ideal sebesar 89 kg/kapita/tahun, di Sulawesi Tenggara mencapai 133 kg/kapita/tahun sedangkan yang ideal sebesar 91 kg/kapita/tahun. Sehingga kebutuhan aktual dari pangan ini di setiap provinsi mencapai 661.586 ton di Sumatera Barat, 3.626.501 ton di Jawa Tengah, dan 351.938 ton di Sulawesi Tenggara. 2) Kebutuhan aktual umbi-umbian (ubi kayu) pada tahun tersebut diperkirakan mencapai 111.537 ton di Sumatera Barat, 620.624 ton di Jawa Tengah, dan 99.416 ton di Sulawesi Tenggara. Sementara itu kebutuhan ideal lebih rendah dari kebutuhan aktual. 3) Hasil estimasi kebutuhan terhadap pangan hewani di Jawa Tengah lebih rendah dari kebutuhan ideal kecuali ikan segar. Diperkirakan kebutuhan aktual ikan segar mencapai 422.407 ton sedangkan kebutuhan idealnya sebesar 272.914 ton 4) Konsumsi susu di semua provinsi masih berada di bawah jumlah konsumsi yang ideal. Perkiraan kebutuhan ideal susu di Sumatera Barat 93.382 ton di Jawa Tengah 773.627 ton, dan 50.886 ton di Sulawesi Tenggara. 5) Konsumsi sayuran di ketiga provinsi diperkirakan lebih tinggi dari jumlah yang ideal. Kebutuhan aktual pangan ini adalah 365.124 ton di Sumatera Barat, 2.377.077 ton di Jawa Tengah, dan 57.653 ton di Sulawesi

Tenggara. Sebaliknya konsumsi buah diperkirakan akan dikonsumsi dalam jumlah kurang dari ideal. Pada tahun 2015 kebutuhan aktual dari buah mencapai 173.688 ton di Sumatera Barat, 1.062.208 ton di Jawa Tengah dan 135.588 ton di Sulawesi Tenggara, sedangkan kebutuhan idealnya masing-masing mencapai 204.931 ton, 1.408.148 ton, dan 152.828 ton.

94 Saran 1. Hasil analisis tahun 2005 masih dijumpai adanya rumah tangga yang mengalami defisit berat, sehingga masalah konsumsi energi harus dicarikan upaya pemecahannya. Upaya perbaikan konsumsi pangan yang dilakukan tidak terbatas pada penyediaan saja akan tetapi upaya-upaya yang secara langsung dapat mempengaruhi perbaikan mutu gizi. Upaya ini diantaranya peningkatan pendapatan dan daya beli yang diikuti dengan perbaikan pengetahuan gizi. Peningkatan pengetahuan gizi memungkinkan

pengelolaan sumberdaya secara lebih baik, sehingga masyarakat dapat memilih jenis pangan bermutu gizi dengan harga yang terjangkau. Dengan demikian dibutuhkan strategi konstruksi sosial ekonomi budaya dalam upaya pencapaian percepatan diversifikasi pangan. 2. Karena pada umumnnya permintaan pangan lebih responsif terhadap perubahan pendapatan maka upaya peningkatan pendapatan lebih utama. Upaya yang dapat dilakukan dengan menciptakan lapangan kerja dan pengembangan desa mandiri pangan disarankan terus dipertahankan dan diperluas jangkauannya. Kegiatan tersebut adalah kegiatan pemberdayaan masyarakat melalui pemberian bantuan untuk mengembangkan usaha kelompok. 3. Karena kecenderungan konsumsi beras meningkat dan selama ini telah melebihi jumlah yang ideal, namun sebaliknya konsumsi umbi-umbian belum mencapai konsumsi harapan. Dengan demikian diperlukan strategi yang tepat karena umbi-umbian cenderung inferior dan beras superior. Pengembangan teknologi pangan spesifik lokasi, sangat dibutuhkan untuk meningkatkan kualitas fisik maupun kandungan gizi, pengolahan aneka jenis pangan dan daya simpan. Teknologi spesifik lokasi sangat membantu dalam meningkatkan ketersediaan pangan maupun perbaikan pendapatan

masyarakat sehingga mampu meningkatkan daya beli. 4. Mengingat konsumsi pangan hewani (khususnya di Jawa Tengah) dan buah masih rendah, sehingga dirangsang untuk meningkatkan konsumsinya. Untuk tujuan tersebut diperlukan upaya sinergis antara peningkatan pendapatan, produksi, pengetahuan dan kelancaran distribusinya.

95

DAFTAR PUSTAKA
Anonim. Pedoman Umum Pengembangan Konsumsi Pangan. http: //iptek.apjii.or.id/ artikel/pangan/DEPTAN/materi-pendukung/Pedum% 20 pengemb% 20 Konsumsi%20Pangan.htm. [9 Agustus 2007]. _______. 17 Nop 2008. Tol picu konversi lahan sawah. Kompas:1(kolom1-2). _______. 17 Nop 2008. Ratusan hektar sawah di Awa susut tiap tahun. Kompas:18(kolom2-4). Anwar, DH. 1996. Proyeksi permintaan pangan di Nusa Tenggara Timur tahun 2005 [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Ariani, M. 1993. Kajian pola konsumsi dan permintaan pangan [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Ariningsih E. 2002. Perilaku konssumsi pangan sumber protein hewani dan nabati sebelum dan pada masa krisis ekonomi di Jawa [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Astawan M, Wresdiyati T. 2004. Diet Sehat dengan Makanan Berserat. Solo: Tiga Serangkai. Atmarita, Falah TS. 2003. Analisis Gizi dan Kesehatan Masyarakat Analisis Kecenderungan dan Proyeksi sampai 2015. Jakarta: Direktorat Gizi Masyarakat, Depkes. Pra Widyakarya Nasioanl Pangan dan Gizi, 14 Oktober 2003. Azwar, A. 2004. Aspek kesehatan dan gizi dalam ketahanan pangan. Di dalam: Ketahanan Pangan dan Gizi di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi. Prosiding WNPG VIII; Jakarta, 17-19 Agustus 2004. hlm 101-109. Baliwati YF, Roosita K. 2006. Sistem pangan dan gizi. Di dalam: Baliwati F, Khomsan A, Dwiriani CM, editor. Pengantar Pangan dan Gizi. Jakarta: Penebar Swadaya. hlm.35-44. ____________. 2007. Materi Pelatihan Analisis Ketersediaan Pangan Wilayah Berdasarkan Neraca Bahan Makanan (NBM) dan Pola Pangan Harapan (Tingkat Pertama). Edisi Provinsi Jawa Barat. Kerjasama Bagian Bina Ketahanan Pangan Biro Bina Produksi Setda Provinsi Jawa Barat dengan Tim Bagian Kebijakan Pangan Departemen Gizi Masyarakat Fakulat Ekologi Manusia IPB. Bappenas, BPS, UNFPA. 2005. Proyeksi Penduduk Indonesia (Indonesia Population Projection) 2000-2025. Jakarta: Bappenas, BPS, UNFPA.

96 [BBKP] Badan Bimas Ketahanan Pangan, Proyek Pemantapan Sistem Ketahanan Pangan. 2004. Ketahanan Pangan dan Gizi di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi: Ringkasan Hasil dan Rekomendasi Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi VIII. Jakarta: Badan Ketahanan Pangan. BBKP, Bappeda, BPS. 2006. Neraca Bahan Makanan Sumatera Barat 2006. Padang: Badan Bimas Ketahanan Pangan Sumatera Barat. BBMKP. 2006. Neraca Bahan Makanan (NBM) Jawa Tengah 2005. Semarang: Badan Bimbingan Massal Ketahanan Pangan Jawa Tengah. [BKP] Badan Ketahanan Pangan. 2006a. Hasil Konferensi Dewan Ketahanan Pangan Tahun 2006. Jakarta: Sekretariat Dewan Ketahanan Pangan. __________________________. 2006b. Direktori Pengembangan Konsumsi Pangan Seri 3. Jakarta: Pusat Konsumsi dan Keamanan Pangan. __________________________. 2006c. Direktori Pengembangan Konsumsi Pangan Seri 5. Jakarta: Pusat Konsumsi dan Keamanan Pangan. [BKP] Badan Ketahanan Pangan. 2006d. Pengelompokan Konsumsi Pangan Penduduk menurut Komoditas Berdasarkan Data Susenasn (Studi PSKPGIPB). Jakarta: Pusat Konsumsi dan Keamanan Pangan BKP. __________________________. 2007. Memorandum Nomor: 471/PP.300/5.4/ I.2007, tanggal 3 Januari 2007, perihal Laporan Gambaran Situasi Konsumsi Pangan Penduduk Tahun 2006. Jakarta:Badan Ketahanan Pangan. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2006a. Tingkat Kemiskinan di Indonesia Tahun 2005-2006. Berita Resmi Statistik 47/IX/1 September. _____________________. 2006b. Konsumsi Kalori dan Protein Penduduk Indonesia dan 2005. Buku 2. Jakarta: BPS. ______________________. 2007. Growth Rate of Gross Regional Domestic Product at Constant 2000 Prices by Province, 2001-2005 (Percent) http://www.bps.go.id/sector/grdp/tables.shtml [26 Juli 2007]. Bappenas. 2007. Rencana Nasional Aksi Pangan dan Gizi 2006-2010. Jakarta: Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. Daud, LA. 1986. Kajian sistem permintaan makanan penting di Indonesia, suatu penerapan model almost ideal demand system (AIDS) dengan data SUSENAS 1981 [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Dakhuri, R. 2008. Kedaulatan Pangan Bangsa. http: www.seputar-indonesia.com. [10 Januari 2009]

97 Deaton A, Muellbauer J. 1980. Economics and Consumer Beahvior. Cambridge University Press. Departemen Kesehatan. 1996. Panduan 13 Pesan Dasar Gizi Seimbang. Jakarta: Ditjen Pembinaan Kesehatan Masyarakat, Direktorat Bina Gizi Masyarakat. Departemen Pertanian. 2006. Statistik Pertanian (agriculture Statistics). Jakarta: Departemen Pertanian Dinas Pertanian. 2007. Neraca Bahan Makanan Sulawesi Tenggara 2007 (Atap 2005 dan Asem 2006). Kendari: Dinas Pertanian Sulawesi Tenggara. [DKP] Dewan Ketahanan Pangan. 2006. Kebijakan Umum Ketahanan Pangan 2006-2009. Jakarta: Dewan Ketahanan Pangan. FAO. 2007. FAO insists on food as a human right. www.fao.org/newsroom/ en/news/2007. 14 Desembr 2007. Gujarati, DS. Ekonometrika Dasar. Zain, S, penerjemah; Jakarta: Erlangga. Terjemahan dari: Basic Econometrics. Hadi, H. 2005. Beban Ganda Masalah Gizi dan Implikasinya terhadap Kebijakan Pembangunan Kesehatan Nasional. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Fakultas Kedokteran UGM. Yogyakarta: 5 Februari 2005. Hardinsyah. 2007. Review Faktor Determinan Keragaman Konsumsi Pangan (review on Determinant Factors of Dietary Diversity). Jurnal Gizi dan Pangan 2007; Vol 2, No 2: 55-74. __________, Martianto, D. 1989. Menaksir Kecukupan Energi dan Protein serta Penilaian Mutu Gizi Konsumsi Pangan. Jakarta: Wirasari. ______________________. 1992. Gizi Terapan. Bogor: Pusta Antar Universiatas Pangan dan Gizi IPB. __________ et al. 2001. Pengembangan Konsumsi Pangan dengan Pendekatan Pola Pangan Harapan. Jakarta: Pusat Studi Kebijakan Pangan dan Gizi (PSKPG), Lembaga Penelitian Institut Pertanian Bogor - Pusat Pengembangan Konsumsi Pangan, Badan Bimas Ketahanan Pangan, Departemen Pertanian. __________, Tambunan, V. 2004. Angka kecukupan energi, protein, lemak, dan serat makanan. Di dalam: Ketahanan Pangan dan Gizi di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi. Prosiding WNPG VIII; Jakarta, 17-19 Agustus 2004. hlm 317-329. __________. 2007. Gizi, pangan dan sistem ekologi manusia. Di dalam: Ekologi Manusia. Adiwibowo, S, editor. Bogor: Fakultas Ekologi Manusia, IPB.

98 Husodo, SY, Muchtadi TR. 2004. Alternatif solusi permasalahan dalam ketahanan pangan. Di dalam: Ketahanan Pangan dan Gizi di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi. Prosiding WNPG VIII; Jakarta, 17-19 Agustus 2004. hlm 111116. Jellife DB, Jellife EFP. 1989. Community Nutritional Assessment. Oxford: Oxford University Press. Kelana, S. 1996. Teori Ekonomi Mikro. Jakarta: PT Raja Garfindo Persada. Kementrian Koordinator Bidang Perekonomian RI. 2006. Kajian Perumusan Kebijakan Peningkatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumberdaya Lokal. Jakarta: Kementrian Koordinator Bidang Perekonomian RI. Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2004. Draft Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional; Jakarta 12 Desember 2004. http://www. bappenas.go.id/ [20 September 2007]. Khomsan, A. 2002. Pangan dan Gizi dalam Dimensi Kesejahteraan. Bogor: Jurusan GMSK-Fakultas Pertanian-Institut Pertanian Bogor. __________, Kusharto CM. 2006. Kaitan pangan, gizi, dan kependudukan. Di dalam: Baliwati F, Khomsan A, Dwiriani CM, editor. Pengantar Pangan dan Gizi. Jakarta: Penebar Swadaya. hlm.29-34. Khumaidi, M. 1989. Gizi Masyarakat. Bogor: Deparetemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, IPB. Linder, MC. 1992. Biokimia Nutrisi dan Metabolisme dengan Pemakaian secara Klinis. Parakkasi, A, penerjemah; Jakarta: UI-Press. Terjemahan dari: Nutritional Biochemistry and Metabolism. Lumbantobing, IP. 2005. Analisis permintaan dan pola konsumsi pangan di Provinsi Jambi [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Madanijah, S. 2006. Pola konsumsi pangan. Di dalam: Baliwati YF, Khomsan, A, Dwiriani CM, editor. Pengantara Pangan dan Gizi.. Jakarta: Penebar Swadaya. hlm 69-77. Mankiw, NG. 2000. Pengantar Ekonomi. Munandar H, penerjemah; Jakarta: Erlangga. Terjemahan dari: Principles of Economics.

99 Martianto, D. 1995. Pola konsumsi dan permintaan pangan hewani di berbagai provinsi di Indonesia [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. ___________. 2004. Peran Pangan dan Gizi dalam Peningkatan Kualitas SDM. Sosialisasi dan Apresiasi Pengembangan Kewaspadaan Pangan; Jakarta: 3031 Agustus 2004. Jakarta: Pusat Kewaspadaan Pangan, Badan Bimas Ketahanan Pangan, Departemen Pertanian. ___________ , Ariani, M. 2004. Analisis perubahan konsumsi dan pola konsumsi pangan masyarakat dalam dekade terakhir. Di dalam: Ketahanan Pangan dan Gizi di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi. Prosiding WNPG VIII; Jakarta, 17-19 Agustus 2004. hlm 183-207. ____________, Ariani, M, Hardinsyah. 2003. Perkembangan konsumsi dan ketersediaan pangan di Indonesia, 1993-2002. Pra WNPG; Jakarta, 17-19 Agustus 2003. Menteri Pertanian. 2007. Pengarahan Menteri Pertanian/Ketua Harian Dewan Ketahanan Pangan. Sidang Regional Dewan Ketahanan Pangan Kabupaten/Perkotaan untuk Wilayah Timur; Denpasar, 31 Juli-2 Agustus 2007. _______________. 2007. Pengarahan Menteri Pertanian/Ketua Harian Dewan Ketahanan Pangan. Sidang Regional Dewan Ketahanan Pangan Kabupaten/Perkotaan untuk Wilayah Barat; Banjarmasin, 8-10 Agustus 2007. Muhilal, Hardinsyah. 2004. Penentuan kebutuhan gizi dan kesepakatan harmonisasi di Asia Tenggara. Di dalam: Ketahanan Pangan dan Gizi di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi. Prosiding WNPG VIII; Jakarta, 1719 Agustus 2004. hlm 301-307. Nurfarma, M. 2005. Dampak krisis ekonomi terhadap pola konsumsi dan permintaan pangan rumahtangga di Provinsi Sumatera Barat [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Presiden Republik Indonesia. UU No. 7 Tahun 1996, tentang Pangan. Jakarta. _______________________. 2002. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor: 68 tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan. Jakarta. http://dokumen.deptan.go.id/doc/ [9 Agustus 2007]. _______________________. 2007. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional tahun 2005-2025. Jakarta: Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas.

100 Pudjiadi, S. 2001. Ilmu Gizi Klinis pada Anak. Ed 4. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indoensia. Rachman HPS. 2001. Kajian pola konsumsi dan permintaan pangan di Kawasan Timur Indonesia [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Regmi A, Deepak MS, Sale Jr J, Bernstein J. 2001. Cross-country analysis of food consumption patterns. Di dalam: Regmi A, editor. Changing structure of global food consumption and trade. Washington: USDA WRS-01-1. hlm 14-21.
_______, Dyck J. 2001. Effect of urbanization on global food demand. Di dalam: Regmi A, editor. Changing structure of global food consumption and trade. Washington: USDA WRS-01-1. hlm 23-30

Riyadi H. 1996. Pola konsumsi pangan. Di dalam: Khomsan A, Sulaeman A, editor. Gizi dan Kesehatan dalam Pembangunan Pertanian. Bogor: IPB Press. hlm. 174-183. Sanjur, D. 1982. Social and Cultural Perspective in Nutrition. New Jersey: Prentice Hall.
Setiawan. 1992. Kajian tentang seemingly unrelated regression (SUR) dan penerapannya pada model Almost Ideal Demand System (AIDS). [tesis]. Bogor: Program

Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Soegianto B. 2008. Upaya Penyebarluasan Pemahaman Gizi Seimbang di Masyarakat. Disampaikan pada Seminar Gizi Seimbang, Jakarta 23 Agustus. Soehardjo. 1989. Sosio Budaya Gizi. Bogor: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi-Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi-Institut Pertanian Bogor. Soekirman. 2004. Permasalahan lintas sektor dalam penanggulangan krisis pangan dan alternatif pemecahannya. DI dalam Seminar Evaluasi Kebijakan Pangan dan Kemsikinan, Dies Natalis IPB; Bogor, 2 September 2004. Sriwijayanti E, Sinaga BM, Kuntjoro SU, Harianto. 2004. Analisis Pola Permintaan dan Pengeluaran Konusmsi Buah-buahan di DKI Jakarta. Forum Pascasarjana 2004; Vol 27, No 2:159-175. Sukandar D, et al. 2001. Kajian Indikator Ketahanan Pangan Tingkat Rumah Tangga di Provinsi Jawa Tengah. Bogor: Pusat Studi Kebijakan Pangan dan Gizi (PSKPG), Lembaga Penelitian, IPB. Sukirno, S. 2005. Mikro Ekonomi: Teori Pengantar. Ed ke-3. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

101 Sumarwan, U. 2003. Perilaku Konsumen : Teori dan Penerapannya dalam Pemasaran. Jakarta: Ghalia Indonesia. Susanto, D. 1991.Fungsi Sosial dan Budaya Pangan. Pangan No. 9 Vol II : 51-56. ________ 1994. Aspek-aspek Sosial Budaya Pangan dan Gizi Masyarakat. Materi: Training Manajemen Penelitian Bidang Pangan dan Gizi Masyarakat; Bogor, 4-23 Juli 1994. Jurusan GMSK, Faperta, IPB bekerjasama dengan Bagian Proyek Pengembangan Kesehatan dan Gizi Masyarakat III, Ditbinlitabmas, Dikti.

102

LAMPIRAN

103 Lampiran 1. Pengelompokan konsumsi pangan untuk analisis PPH __________________________________________________________________ No Kelompok/jenis pangan_____________________________ 1 Padi-padian: beras (beras lokal, kualitas unggul, impor), beras ketan, jagung basah dengan kulit, jagung pipilan beras jagung, tepung beras, tepung jagung (maizena), tepung terigu, padi-padian lainnya, mie basah, mie instan, bihun, makaroni/mie kering, bubur bayi kemasan, roti tawar, roti manis/roti lainnya, kue kering/biskuit semprong, kue basah, makanan gorengan, nasi campur/rames, nasi goreng, nasi putih, lontong/ketupat sayur, mie bakso/mie rebus/mie goreng, mie instant, makanan ringan anakanak/krupuk/kripik, makanan jadi lainnya Umbi-umbian: ketela pohon/singkong, ketela rambat/ubi jalar, sagu (bukan dr ketela pohon, misal: sagu ambon), talas/keladi, kentang, gaplek, tepung gaplek (tiwul), tepung ketela pohon (tapioka/kanji), umbi-umbian lainnya, kerupuk Pangan hewani: Ikan: ekor kuning, tongkol/tuna/cakalang, tenggiri, selar, kembung, teri, bandeng, gabus, mujair, mas, lele, kakap, baronang, ikan segar lainnya; udang dan hewan air lainnya yang segar: udang, cumi-cumi/sotong, ketam/kepiting/rajungan, kerang/siput, lainnya; ikan diawetkan/olahan: kembung (peda), tenggiri, tongkol/tuna/cakalang, teri, selar, sepat, bandeng, gabus, ikan dalam kaleng, lainnya, ikan (goreng, bakar, presto, pindang, pepes, dsb); Udang & hewan air lainnya yg diawetkan: udang (ebi), cumicumi/sotong, lainnya; daging segar: daging sapi, daging kerbau, daging kambing, daging babi, daging ayam ras, daging ayam kampung, daging unggas lainnya, daging lainnya; daging diawetkan /olahan: dendeng, abon, daging dalam kaleng, lainnya, soto/gule/sop rawon/cincang, sate/tongseng, ayam/daging (goreng, bakar, dsb.); lainnya: hati, jeroan (selain hati), tetelan, tulang, lainnya; telur dan susu: telur ayam ras, telur ayam kampong, telur itik/itik manila, telur puyuh, telur lainnya, telur asin, susu murni, susu cair pabrik, susu kental manis, susu bubuk, susu bubuk bayi, keju, hasil lain dari susu Minyak dan lemak: minyak kelapa, minyak jagung, minyak goreng lainnya, margarine, lainnya, Buah/biji berminyak: kelapa, kacang mede, kemiri, emping, es krim Kacang-kacangan: kacang tanah tanpa kulit, kacang tanah dengan kulit, kacang kedele, kacang lainnya, kacang hijau, kacang lainnya, tahu, tempe, tauco, oncom, lainnya, bubur kacang hijau,

2.

3.

4.

5.

6.

104 Lampiran 1. Lanjutan __________________________________________________________________ No Kelompok/jenis pangan_____________________________ 7. Gula: gula pasir, gula merah (termasu gula air), sirup, lainnya Sayur dan buah: sayur: bayam, kangkung, kol/kubis, sawi putih (petasi), sawi hijau, buncis, kacang panjang, tomat sayur, wortel, mentimun, daun ketela pohon, terong, tauge, labu, jagung muda kecil, sayur sop/cap cay, sayur asam/lodeh, nangka muda, pepaya muda, jamur, petai, janegkol, bawang merah, bawang putih, cabe merah, cabe hijau, cabe rawit, sayur dalam kaleng, lainya, gadogado/ketoprak/pecel; buah-buahan : jeruk, mangga, apel, alpokat, rambuat, duku, durian, salak, nenas, pisang ambon, pisang raja, pisang lainnya, pepaya, jambu, sawo, belimbing, kedondong, semangka, melon, nangka, tomat buah, buah dalam kaleng, lainnya

8.

9.

Lain-lain: bahan minumuan: teh, kopi (bbuk, biji, instan), coklat instan, coklat bubuk; bumbu-bumbuan: garam, ketumbar,/jinten, merica/lada, asam, biji pala, cengkeh, terasi/petis, kecap, penyedap masakan/vetsin, sambal masak/jadi/saus tomat, bumbu masak jadi/kemasan, bumbu dapur lainnya, konsumsi lainnya: bahan agar-agar, lainnya; makanan dan minuman jadi: es lainnya, minumnan ringan mengandung CO2(soda), minumnan tdk mengandung CO2 (soda), air kemasan, air teh kemasan, sari buah kemasan, minuman kesehatan/minuman berenergi, minuman lainnya (kopi, kopi susu, teh, susu coklat, dll), minuman yang mengandung alkohol: bir, anggur, minuman beralkohol lainnya __________________________________________________________________ Sumber: Program Aplikasi Perencanaan Pangan dan Gizi Wilayah, Departemen Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor, 2004.

105 Lampiran 2. Pengelompokan konsumsi pangan untuk analisis model AIDS __________________________________________________________________ No Kelompok/jenis pangan_____________________________ 1. Beras: beras: beras (beras lokal, kualitas unggul, impor), beras ketan, tepung beras, padi-padian lainnya, bihun, bubur bayi kemasan, lainnya, nasi campur/rames, nasi goreng, nasi putih, lontong/ketupat, ; jagung: jagung basah dengan kulit, jagung pipilan beras jagung, tepung jagung (maizena) Terigu: tepung terigu, mie basah, mie instan, makaroni/mie kering, roti tawar, roti manis/roti lainnya, kue kering/biskuit semprong, kue basah, makanan gorengan, mie bakso/mie rebus/mie goreng, mie instant, makanan ringan anak-anak/krupuk/kripik, makanan jadi lainnya Umbi-umbian: ketela pohon: ketela pohon/singkong, gaplek, tepung gaplek (tiwul), tepung ketela pohon (tapioka/kanji), kerupuk; umbi-umbian selain ketela pohon: ketela rambat/ubi jalar, sagu (bukan dr ketela pohon, misal: sagu ambon), talas/keladi, kentang, umbi-umbian lainnya Daging unggas: daging ayam ras, daging ayam kampung, daging unggas lainnya, daging lainnya, ayam goreng (goreng, bakar, dsb) Daging ruminansia: daging sapi, daging kerbau, daging kambing, daging babi, dendeng, abon, daging dalam kaleng, lainnya, hati, jeroan (selain hati), tetelan, tulang, lainnya soto/gule/sop rawon/cincang, sate/tongseng Ikan segar: ikan: ekor kuning, tongkol/tuna/cakalang, tenggiri, selar, kembung, teri, bandeng, gabus, mujair, mas, lele, kakap, baronang, ikan segar lainnya; udang: udang, cumi-cumi/sotong, ketam/kepiting/rajungan, kerang/siput, lainnya Ikan olahan: ikan olahan: kembung (peda), tenggiri, tongkol/tuna/cakalang, teri, selar, sepat, bandeng, gabus, ikan dalam kaleng, lainnya, ikan (goreng, bakar, presto, pindang, pepes, dsb); udang olahan: udang (ebi), cumi-cumi/sotong, lainnya Telur dan susu: telur: telur ayam ras, telur ayam kampong, telur itik/itik manila, telur puyuh, telur lainnya, telur asin; susu: susu murni, susu cair pabrik, susu kental manis, susu bubuk, susu bubuk bayi, keju, hasil lain dari susu, es krim

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

106 Lampiran 2. Lanjutan __________________________________________________________________ No Kelompok/jenis pangan_____________________________ 9. Minyak dan lemak (minyak goreng): minyak kelapa, minyak jagung, minyak goreng lainnya, margarine, lainnya Buah/biji berminyak: kelapa, kacang mede, kemiri, emping Kacang-kacangan: kedele: kacang kedele, tahu, tempe, tauco, oncom, kecap; kacang selain kedele: kacang tanah tanpa kulit, kacang tanah dengan kulit, kacang lainnya, kacang hijau, kacang lainnya, bubur kacang hijau, lainnya Gula: gula pasir, gula merah (termasu gula air) Sayur dan buah sayur: bayam, kangkung, kol/kubis, sawi putih (petasi), sawi hijau, buncis, kacang panjang, tomat sayur, wortel, mentimun, daun ketela pohon, terong, tauge, labu, jagung muda kecil, sayur sop/cap cay, sayur asam/lodeh, nangka muda, pepaya muda, jamur, petai, janegkol, bawang merah, bawang putih, cabe merah, cabe hijau, cabe rawit, sayur dalam kaleng, lainya, gadogado/ketoprak/pecel; buah-buahan: jeruk, mangga, apel, alpokat, rambuat, duku, durian, salak, nenas, pisang ambon, pisang raja, pisang lainnya, pepaya, jambu, sawo, belimbing, kedondong, semangka, melon, nangka, tomat buah, buah dalam kaleng, lainnya

10.

11.

12.

13.

14.

Lainnya: sirup, lainnya, teh, kopi (bbuk, biji, instan), coklat instan, coklat bubuk, es lainnya, minumnan ringan mengandung CO2 (soda), minumnan tdk mengandung CO2 (soda), air kemasan, air teh kemasan, sari buah kemasan, minuman kesehatan/minuman berenergi, minuman lainnya (kopi, kopi susu, teh, susu coklat, dll), bir, anggur, minuman beralkohol lainnya, garam, ketumbar,/jinten, merica/lada, asam, biji pala, cengkeh, terasi/petis, kecap, penyedap masakan/vetsin, sambal masak/jadi/saus tomat, bumbu masak jadi/kemasan, bumbu dapur lainnya, bahan agar-agar __________________________________________________________________

107 Lampiran 3. Proyeksi penduduk Provinsi Sumatera Barat, Jawa Tengah, dan Sulawesi Tenggara tahun 2000-2025
Tahun Sumatera Barat Jumlah 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 4.248.5 4,280.3 4,311.6 4,342.2 4,372.2 4,402.1 4,428.0 4,453.7 4,480.7 4,507.3 4,535.3 4,564.9 4,597.4 4,631.2 4,662.6 4,693.4 31.8 31.3 30.6 30.0 29.9 25.9 2.7 27.0 26.6 28.0 29.6 32.5 33.8 31.4 30.8 0.75 0.73 0.71 0.69 0.68 0.59 0.58 0.61 0.59 0.62 0.65 0.71 0.74 0.68 0.66 0.67 Selisih Pertumbuhan Jumlah 31,223.0 31,361.8 31,496.5 31,629.8 31,759.8 31,887.2 32,002.5 32,119.4 32,234.6 32,341.4 32,451.6 32,540.8 32,635.0 32,723.6 32,802.6 32,882.7 138.8 134.7 133.3 130.0 127.4 115.3 116.9 115.2 106.8 110.2 89.2 94.2 88.6 79.0 80.1 0.44 0.43 0.42 0.41 0.40 0.36 0.37 0.36 0.30 0.34 0.27 0.29 0.27 0.24 0.24 0.35 Jawa Tengah Selisih Pertumbuhan Sulawesi Tenggara Jumlah 1,820.3 1,873.0 1,926.0 1,978.3 2,031.7 2,085.9 2,141.3 2,195.7 2,251.4 2,306.9 2,363.9 2,420.8 2,478.4 2,536.2 2,593.8 2,653.0 52.7 53.0 52.3 53.4 54.2 55.4 54.4 55.7 55.5 57.0 56.9 57.6 57.8 57.6 59.2 2.90 2.83 2.72 2.70 2.67 2.66 2.54 2.54 2.47 2.47 2.41 2.38 2.33 2.27 2.28 2.54 Selisih Pertumbuhan

Rata-rata pertumbuhan tahun 2000-2015

Sumber: Proyeksi penduduk Indonesia (Indonesia Population) 2000-2025 Bappenas, BPS, UNFPA 2005

108 Lampiran 4. Pertumbuhan ekonomi Provinsi Sumatera Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Indonesia tahun 2001-2005 Tahun 2002 2003 2004 2005 4.69 5.26 5.47 5.73 3.55 4.98 5.13 5.35 6.66 7.57 7.51 7.31 4.37 4.58 4.30 5.25 Rata-rata 2001-2005 4.96 4.52 6.81 4.38

No 1 2 3 4

Provinsi/nasional Sumatera Barat Jawa Tengah Sulawesi Tenggara Indonesia 2001 3.6 3.59 5.01 3.39

Sumber:

BPS. 2007. Growth rate of gross regional domestic product at constant 2000 prices by province, 2001-2005. http:///www.bps.go.id/sector/ nra/ grdp/tables.shtml. [akses 26 Juli 2007] Pertumbuhan pendapatan Provinsi Sumatera Barat, Jawa tengah, Sulawesi Tenggara, dan Indonesia
Rata-rata pertumbuhan Penduduk Pendapatan (2000-2025) **) 2005-2015 ***) 0.67 4.29 0.35 4.17 2.54 4.27 1.26 3.12

Lampiran 5.

No

Provinsi/nasional Ekonomi (2001-2005)*) 4.96 4.52 6.81 4.38

1 2 3 4

Sumatera Barat Jawa Tengah Sulawesi Tenggara Indonesia

Sumber:

*)

BPS. 2007. Growth rate of gross regional domestic product at constant 2000 prices by province, 2001-2005. http:///www.bps.go.id/sector/ nra/ grdp/tables.shtml. [akses 26 Juli 2007] **) Proyeksi penduduk Indonesia 2000-2025, Bappenas, BPS, UNFPA (2005) ***) Rata-rata pertumbuhan pendapatan = rata-rata pertumbuhan ekonomi rata-rata pertumbuhan penduduk

109 Lampiran 6. Perkiraan pendapatan per kapita per bulan Provinsi Sumatera Barat, Jawa Tengah, dan Sulawesi Tenggara tahun 2008-2015 *) Tahun Provinsi

*)

Sulawesi Sumatera Barat Jawa Tengah Tenggara 2008 367.137 272.002 265.910 2009 383.228 283.583 277.509 2010 400.024 295.657 289.614 2011 417.557 308.245 302.247 2012 435.858 321.369 315.431 2013 454.961 335.052 329.190 2014 474.902 349.318 343.550 2015 495.716 364.191 358.535 Hasil proyeksi dari pendapatan per kapita tahun 2005 (Susenas 2005) dengan menggunakan persamaan Tt = Io (e)^rt

Lampiran 7. Rataan pengeluaran per kapita per bulan menurut wilayah di Provinsi Sumatera Barat, Jawa Tengah, dan Sulawesi Tenggara tahun 2005
Provinsi/klasifikasi pengeluaran 1 Sumatera Barat - Pangan - Bukan pangan Total 2 Jawa Tengah - Pangan - Bukan pangan Total 3 Sulawesi Tenggara - Pangan - Bukan pangan Total Perkotaan+ perdesaan Rupiah % 192 554 139 265 331 819 129 938 116 901 246 839 134 046 103 699 237 745 58.0 42.0 100.0 52.6 47.4 100.0 56.4 43.6 100.0 Perkotaan Rupiah 244 305 253 085 497 390 152 237 162 409 314 646 189 799 204 635 394 434 % 49.1 50.9 100.0 48.4 51.6 100.0 48.1 51.0 100.0 Perdesaan Rupiah 171 025 91 916 262 941 115 055 86 528 201 583 121 550 81 075 202 625 % 65.0 35.0 100.0 57.1 42.9 100.0 60.0 40.0 100.0

Catatan: Rata-rata pendapatan per kapita diproksi dari besarnya pengeluaran rata-rata

110 Lampiran 8. Rataan pengeluaran konsumsi berbagai jenis pangan per kapita per bulan menurut wilayah di Provinsi Sumatera Barat, Jawa Tengah, dan Sulawesi Tenggara tahun 2005
Sumatera Barat % 27.4 8.7 0.0 1.9 2.7 3.9 7.4 3.3 5.3 2.8 1.5 2.0 2.3 14.4 16.5 12.0 4.5 100,0 Jawa Tengah Rp 29.383 17.974 321 1.740 4.463 3.486 3.911 2.418 7.609 4.158 1.549 7.540 4.563 17.818 23.005 14.029 8.976 129.938 % 22.6 13.8 0.2 1.4 3.4 2.7 3.0 1.9 5.9 3.2 1.2 5.8 3.5 13.7 17.7 10.8 6.9 100.0 20.8 15.4 0.1 1.2 3.9 3.8 3.6 1.7 6.8 2.8 1.0 5.2 3.2 13.3 17.4 10.1 7.3 100.0 Sulawesi Tenggara Rp % 29.819 12.975 818 3.441 2.297 1.495 21.341 2.102 6.654 3.958 1.101 2.564 5.322 15.441 24.717 17.100 7.617 22.2 9.7 0.6 2.6 1.7 1.1 15.9 1.6 5.0 3.0 0.8 1.9 4.0 11.5 18.4 12.8 5.7

No Jenis pangan

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15

Rp Perkotaan+perdesaan Beras 52.853 Terigu 16.853 Jagung 56 Umbi-umbian 3.652 Daging unggas 5.172 Daging ruminansia 7.548 Ikan segar 14.160 Ikan olahan 6.308 Telur & susu 10.192 Minyak & lemak 5.320 Buah/bj berminyak 2.808 Kacang-kacangan 3.820 Gula 4.402 Sayur & buah 27.753 Lainnya 31.754 - Tembakau dan sirih 23.011 - Pangan lainnya 8.743 Total 192.554

134.046 100.0 36.992 25.000 481 2.315 3.752 3.244 31.899 2.352 11.041 5.142 1.457 3.596 6.072 23.781 32.675 19.959 12.716 189.799 19.5 13.2 0.3 1.1 2.0 1.7 16.8 1.2 5.8 2.7 0.8 1.9 3.2 12.5 17.2 10.5 6.7 100.0

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15

Perkotaan Beras 67.413 Terigu 23.600 Jagung 65 Umbi-umbian 3.798 Daging unggas 9.983 Daging ruminansia 11.926 Ikan segar 15.905 Ikan olahan 7.724 Telur & susu 14.096 Minyak & lemak 5.899 Buah/bj berminyak 2.538 Kacang-kacangan 4.865 Gula 4.035 Sayur & buah 31.437 Lainnya 41.310 - Tembakau dan 29.064 sirih - Pangan lainnya 12.246 Total 244.305

27.6 9.7 0.0 1.5 4.1 4.9 6.5 3.2 5.8 2.3 1.0 2.0 1.7 12.9 16.9 11.9 5.0 100.0

31.641 23.396 115 1.762 5.884 5.773 5.406 2.615 10.296 4.258 1.533 7.944 4.857 20.295 26.463 15.365 11.098 152.237

111 Lampiran 8. Lanjutan


No Jenis pangan Sumatera Barat Rp 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Perdesaan Beras Terigu Jagung Umbi-umbian Daging unggas Daging ruminansia Ikan segar Ikan olahan Telur & susu Minyak & lemak Buah/bj berminyak Kacang-kacangan Gula Sayur & buah Lainnya - Tembakau dan sirih - Pangan lainnya Total 46.796 13.911 52 3.628 3.170 5.727 13.435 5.719 8.568 5.163 2.920 3.385 4.555 26.220 27.779 20.493 7.286 171.025 % 27.4 8.1 0.0 2.1 1.9 3.3 7.9 3.3 5.0 3.0 1.7 2.0 2.7 15.3 16.2 12.0 4.3 100.0 Jawa Tengah Rp 27.876 14.355 459 1.726 3.514 1.959 2.913 2.287 5.815 4.091 1.560 7.270 4.367 16.165 20.697 13.137 7.560 115.055 % 24.2 12.5 0.4 1.5 3.1 1.7 2.5 2.0 5.1 3.6 1.4 6.3 3.8 14.1 18.0 11.4 6.6 100.0 Sulawesi Tenggara Rp % 28.211 10.280 894 3.694 1.971 1.103 18.975 2.046 5.670 3.692 1.022 2.333 5.154 13.572 22.933 16.459 6.474 121.549 23.2 8.5 0.7 3.0 1.6 0.9 15.6 1.7 4.7 3.0 0.8 1.9 4.2 11.2 18.9 13.5 5.3 100.0

112 Lampiran 9. Rataan distribusi konsumsi protein menurut jenis pangan per kapita per hari wilayah perkotaan+perdesaan di Provinsi di Sumatera Barat, Jawa Tengah, dan Sulawesi Tenggara tahun 2005
No Jenis pangan
Sumatera Barat Jawa Tengah Sulawesi Tenggara

gram 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Beras Terigu Jagung Umbi-umbian Daging unggas Daging ruminansia Ikan.segar Ikan olahan Telur & susu Minyak & lemak Buah biji berminyak Kacang-kacangan Gula Sayur & buah Lainnya Total 30.0 3.2 0.0 0.7 2.5 1.3 6.7 4.5 3.4 0.1 1.3 3.7 0.0 4.0 1.4 62.9

% 47.7 5.1 0.0 1.1 4.0 2.1 10.7 7.1 5.3 0.1 2.1 5.9 0.0 6.4 2.2 100.0

gram 23,0 5.3 0.6 0.5 2.4 0.6 2.2 2.9 2.4 0.1 0.7 8.9 0.2 3.8 1.7 55.1

% 41.7 9.6 1.0 0.9 4.4 1.1 3.9 5.2 4.3 0.1 1.2 16.2 0.3 6.9 3.1 100.0

gram 27.4 3.7 1.2 0.8 0.9 0.3 17.8 2.3 1.6 0.1 0.7 2.2 0.1 3.9 1.4 64.4

% 42.5 5.8 1.9 1.2 1.4 0.4 27.6 3.6 2.5 0.2 1.1 3.5 0.1 6.0 2.1 100.0

113 Lampiran 10. Rataan distribusi konsumsi protein menurut jenis pangan per kapita per hari wilayah perkotaan di Provinsi di Sumatera Barat, Jawa Tengah, dan Sulawesi Tenggara tahun 2005
No Jenis pangan
Sumatera Barat Jawa Tengah Sulawesi Tenggara

gram 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Beras Terigu Jagung Umbi-umbian Daging unggas Daging ruminansia Ikan.segar Ikan olahan Telur & susu Minyak & lemak Buah biji berminyak Kacang-kacangan Gula Sayur & buah Lainnya Total 27.3 3.9 0.0 0.6 5.0 2.0 7.4 5.3 4.7 0.1 0.9 4.7 0.0 3.9 1.4 67.2

% 40.6 5.8 0.0 0.9 7.5 3.0 11.0 7.9 7.0 0.1 1.3 6.9 0.0 5.8 2.0 100.0

gram 22.1 6.1 0.1 0.4 3.2 1.1 2.8 2.8 3.0 0.1 0.6 9.0 0.2 3.4 1.8 56.5

% 39.0 10.7 0.3 0.7 5.7 1.9 4.9 5.0 5.2 0.1 1.1 15.9 0.3 6.1 3.1 100.0

gram 28.0 5.2 0.6 0.5 1.3 0.3 26.4 2.7 2.7 0.2 0.8 2.8 0.1 4.6 1.7 78.0

% 35.9 6.7 0.8 0.7 1.7 0.4 33.8 3.5 3.5 0.2 1.0 3.6 0.1 5.9 2.1 100.0

114 Lampiran 11. Rataan distribusi konsumsi protein menurut jenis pangan per kapita per hari wilayah perdesaan di Provinsi di Sumatera Barat, Jawa Tengah, dan Sulawesi Tenggara tahun 2005
No Jenis pangan
Sumatera Barat Jawa Tengah Sulawesi Tenggara

gram 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Beras Terigu Jagung Umbi-umbian Daging unggas Daging ruminansia Ikan.segar Ikan olahan Telur & susu Minyak & lemak Buah biji berminyak Kacang-kacangan Gula Sayur & buah Lainnya 31.2 3.0 0.0 0.8 1.5 1.0 6.5 4.1 2.8 0.1 1.5 3.3 0.0 4.1 1.4

% 50.9 4.8 0.0 1.2 2.4 1.7 10.6 6.7 4.6 0.1 2.5 5.4 0.0 6.7 2.3

gram 23.6 4.8 0.8 0.6 1.9 0.3 1.8 2.9 2.0 0.1 0.7 8.8 0.2 4.1 1.7

% 43.6 8.8 1.6 1.0 3.5 0.6 3.3 5.4 3.7 0.1 1.3 16.3 0.3 7.5 3.0

gram 27.2 3.4 1.4 0.9 0.8 0.3 15.8 2.2 1.4 0.1 0.7 2.1 0.0 3.7 1.3

% 44.4 5.5 2.2 1.4 1.3 0.4 25.8 3.6 2.2 0.2 1.2 3.5 0.1 6.0 2.2

Total

61.2

100.0

54.2

100.0

61.3

100.0

115 Lampiran 12. Rataan konsumsi per kapita berbagai jenis pangan menurut wilayah di Provinsi Sumatera Barat tahun 2005
No Jenis pangan Perkotaan+perdesaan gram/hari 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 Beras Terigu Jagung Ubi kayu Ubi jalar Sagu Daging unggas Daging ruminansia Ikan.segar Ikan olahan Telur Susu Minyak dan lemak Kedele Kacang lain Gula Sayur Buah 360 21 0 18 4 1 7 5 51 10 22 5 29 11 4 26 155 82 kg/tahun 131 8 0 6 2 1 3 2 19 4 8 2 11 4 1 10 57 30 Perkotaan gram/hari 331 28 0 17 3 15 9 54 10 28 8 32 14 4 24 163 91 kg/tahun 121 10 0 6 1 5 3 20 4 10 3 12 5 1 9 59 33 Perdesaan gram/hari 372 19 0 18 4 2 4 4 49 10 20 3 28 9 3 27 152 78 kg/tahun 136 7 0 7 2 1 2 1 18 4 7 1 10 3 1 10 56 29

116 Lampiran 13. Rataan konsumsi per kapita berbagai jenis pangan menurut wilayah di Provinsi Jawa Tengah tahun 2005
No Jenis pangan Perkotaan+perdesaan gram/hari 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 Beras Terigu Jagung Ubi kayu Ubi jalar Sagu Daging unggas Daging ruminansia Ikan.segar Ikan olahan Telur Susu Minyak dan lemak Kedele Kacang lain Gula Sayur Buah 276 28 3 40 6 7 3 16 7 16 4 22 32 3 28 166 71 kg/tahun 101 10 1 15 2 3 1 6 3 6 1 8 12 1 10 61 26 Perkotaan gram/hari 266 33 1 29 6 10 5 20 6 18 6 22 32 3 30 160 78 kg/tahun 97 12 0 10 2 3 2 7 2 6 2 8 12 1 11 58 29 Perdesaan gram/hari 283 25 5 48 5 6 2 13 8 14 2 22 31 3 28 171 65 kg/tahun 103 9 2 17 2 2 1 5 3 5 1 8 11 1 10 63 24

117 Lampiran 14. Rataan konsumsi per kapita berbagai jenis pangan menurut wilayah di Provinsi Sulawesi Tenggara tahun 2005
No Jenis pangan Perkotaan+perdesaan gram/hari 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 Beras Terigu Jagung Ubi kayu Ubi jalar Sagu Daging unggas Daging ruminansia Ikan.segar Ikan olahan Telur Susu Minyak dan lemak Kedele Kacang lain Gula Sayur Buah 324 23 8 76 4 28 3 2 130 5 9 4 20 6 3 29 148 83 kg/tahun 118 9 3 28 1 10 1 1 47 2 3 1 7 2 1 11 54 30 Perkotaan gram/hari 333 33 4 62 1 4 4 2 191 4 14 7 25 9 4 34 180 107 kg/tahun 122 12 2 22 0 1 1 1 70 2 5 2 9 3 1 12 66 39 Perdesaan gram/hari 322 21 9 79 4 33 3 2 116 5 7 4 19 6 3 28 140 77 kg/tahun 118 8 3 29 2 12 1 1 42 2 3 1 7 2 1 10 51 28

118 Lampiran 15. Rataan distribusi konsumsi energi menurut jenis pangan per kapita per hari wilayah perkotaan+perdesaan di Provinsi di Sumatera Barat, Jawa Tengah, dan Sulawesi Tenggara tahun 2005
No Jenis pangan Sumatera Barat kkal % 1.276 165 1 51 34 13 39 30 56 259 137 39 95 107 26 2.327 54.8 7.1 0.0 2.2 1.5 0.6 1.7 1.3 2.4 11.1 5.9 1.7 4.1 4.6 1.1 100.0 Jawa Tengah kkal % 951 244 22 61 34 8 12 22 41 195 50 95 104 98 33 1.969 48.3 12.4 1.1 3.1 1.7 0.4 0.6 1.1 2.1 9.9 2.5 4.8 5.3 5.0 1.7 100.0 Sulawesi Tenggara kkal % 1.169 185 47 198 14 5 109 15 36 174 69 29 106 105 32 2.293 50.99 8.1 2.0 8.7 0.6 0.2 4.7 0.7 1.6 7.6 3.0 1.2 4.6 4.6 1.4 100.0

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15

Beras Terigu Jagung Umbi-umbian Daging unggas Daging ruminansia Ikan.segar Ikan olahan Telur & susu Minyak & lemak Buah biji berminyak Kacang-kacangan Gula Sayur & buah Lainnya Total

119 Lampiran 16. Rataan distribusi konsumsi energi menurut jenis pangan per kapita per hari wilayah perkotaan di Provinsi di Sumatera Barat, Jawa Tengah, dan Sulawesi Tenggara tahun 2005
No Jenis pangan Sumatera Barat kkal % 1.144 203 1 37 64 21 43 41 78 286 92 48 88 99 30 50.3 8.9 0.0 1.6 2.8 0.9 1.9 1.8 3.4 12.6 4.1 2.1 3.9 4.4 1.3 Jawa Tengah kkal % 903 282 6 46 43 13 16 22 52 194 43 96 110 95 35 46.2 14.4 0.3 2.3 2.2 0.6 0.8 1.1 2.7 9.9 2.2 4.9 5.6 4.9 1.8 Sulawesi Tenggara kkal % 1.194 269 23 90 19 5 159 23 56 220 72 35 123 129 41 48.6 10.9 1.0 3.7 0.8 0.2 6.5 0.9 2.3 8.9 2.9 1.4 5.0 5.3 1.7

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15

Beras Terigu Jagung Umbi-umbian Daging unggas Daging ruminansia Ikan.segar Ikan olahan Telur & susu Minyak & lemak Buah biji berminyak Kacang-kacangan Gula Sayur & buah Lainnya

Total

2.274

100.0

1.956

100.0

2.459

100.0

120 Lampiran 17. Rataan distribusi konsumsi energi menurut jenis pangan per kapita per hari wilayah perdesaan di Provinsi Sumatera Barat, Jawa Tengah, dan Sulawesi Tenggara tahun 2005
No Jenis pangan Sumatera Barat kkal % 1.331 150 1 56 21 10 38 25 46 248 155 36 98 110 25 56.7 6.4 0.0 2.4 0.9 0.4 1.6 1.1 2.0 10.6 6.6 1.5 4.2 4.7 1.1 Jawa Tengah kkal % 983 219 33 71 27 4 10 21 33 195 55 95 101 100 31 49.7 11.1 1.6 3.6 1.4 0.2 0.5 1.1 1.7 9.9 2.8 4.8 5.1 5.0 1.6 Sulawesi Tenggara kkal % 1.164 166 52 223 13 5 97 13 31 164 69 27 102 99 29 51.6 7.4 2.3 9.9 0.6 0.2 4.3 0.6 1.4 7.3 3.0 1.2 4.5 4.4 1.3

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15

Beras Terigu Jagung Umbi-umbian Daging unggas Daging ruminansia Ikan.segar Ikan olahan Telur & susu Minyak & lemak Buah biji berminyak Kacang-kacangan Gula Sayur & buah Lainnya

Total

2.349

100.0

1.978

100.0

2.255

100.0

Lampiran 18. Koefisien pendugaan dari sistem permintaan pangan wilayah perkotaan+perdesaan di Provinsi Sumatera Barat tahun 2005
No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 Kelompok pangan Padi-padian Terigu Umbi-umbian Daging unggas Daging ruminansia Ikan segar Ikan olahan Telur & susu Minyak & lemak Buah/biji berminyak Kacang-kacangan Gula Buah & sayur Lain-lain Keterangan: *** 0.383777 0.062483 -0.03088 0.03799 *** 0.098073 0.005208 ** 0.05777 *** 0.096718 *** 0.053715 0.007401 0.021916 0.024166 *** 0.159473 1 *** 0.119104 -0.014763 *** -0.01229 -0.005834 * -0.00876 -0.0074 ** -0.010988 *** -0.017436 *** -0.011507 ** -0.005953 *** -0.008702 *** -0.013267 -0.012814 ** 0.010611 2 -0.014763 *** 0.052235 0.004508 -0.003554 -0.001912 -0.001562 0.005351 -0.005194 0.002398 -0.001282 -0.002136 -0.000498 *** -0.028509 3 *** -0.01229 0.004508 *** 0.009484 -0.00201 ** -0.002776 -0.004087 * -0.003308 -0.000395 ** 0.003546 -0.001563 0.001645 0.002122 * 0.006116 4 -0.005834 -0.003554 -0.00201 *** 0.020136 * 0.002853 -0.003619 0.002627 0.001236 *** -0.004782 -0.000652 0.00138 *** -0.004212 -0.004115 5 * -0.00876 -0.001912 ** -0.002776 * 0.002853 *** 0.012324 -0.001673 -0.002777 0.001048 -0.000921 -0.000707 0.000624 -0.000308 -0.000129 * 0.003114 6 -0.0074 -0.001562 -0.004087 -0.003619 -0.001673 *** 0.03664 *** -0.012473 *** -0.013937 0.001996 -0.000655 -0.003654 0.000402 *** 0.021984 *** -0.011963 7 ** -0.010988 0.005351 * -0.003308 0.002627 -0.002777 *** -0.012473 *** 0.024144 0.004072 0.000388 0.001483 0.002126 * -0.002971 ** -0.009232 0.001556

0.022191 -0.005082 -0.000991 0.000546 R^2 = 36,82 * : nyata pada taraf 10%; ** : nyata pada taraf 5%; *** : nyata pada taraf 1%

121

Lampiran 18. Lanjutan


No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 Kelompok pangan Padi-padian Terigu Umbi-umbian Daging unggas Daging ruminansia Ikan segar Ikan olahan Telur & susu Minyak & lemak Buah/biji berminyak Kacang-kacangan Gula Buah & sayur Lain-lain 8 *** -0.017436 -0.005194 -0.000395 0.001236 0.001048 *** -0.013937 0.004072 *** 0.031579 -0.001396 ** -0.004112 0.002699 0.000817 0.005288 -0.00427 9 *** -0.011507 0.002398 ** 0.003546 *** -0.004782 -0.000921 0.001996 0.000388 -0.001396 * 0.004047 0.0008 *** -0.005112 0.001083 *** 0.008556 0.000904 10 ** -0.005953 -0.001282 -0.001563 -0.000652 -0.000707 -0.000655 0.001483 ** -0.004112 0.0008 *** 0.011124 -0.000566 -0.001075 * 0.004039 -0.000881 11 *** -0.008702 -0.002136 0.001645 0.00138 0.000624 -0.003654 0.002126 0.002699 *** -0.005112 -0.000566 *** 0.009926 *** -0.004484 0.003142 ** 0.003113 12 *** -0.013267 -0.000498 0.002122 *** -0.004212 -0.000308 0.000402 * -0.002971 0.000817 0.001083 -0.001075 *** -0.004484 *** 0.012742 ** 0.008696 0.000953 13 -0.012814 *** -0.028509 * 0.006116 -0.004115 -0.000129 *** 0.021984 ** -0.009232 0.005288 *** 0.008556 * 0.004039 0.003142 ** 0.008696 -0.00438 0.001359 14 ** 0.010611 -0.005082 -0.000991 0.000546 * 0.003114 *** -0.011963 0.001556 -0.00427 0.000904 -0.000881 ** 0.003113 0.000953 0.001359 0.001032 -0.000361 -0.017608 *** 0.02053 -0.005824 ** -0.024512 ** 0.029477 ** -0.017106 -0.017052 -0.005535 * 0.006512 -0.000538 0.003674 0.01702 0.011323 Share 0.314 0.093 0.023 0.027 0.042 0.087 0.037 0.058 0.033 0.018 0.022 0.028 0.168 0.049

122

Lampiran 19. Koefisien pendugaan dari sistem permintaan pangan wilayah perkotaan di Provinsi Sumatera Barat tahun 2005
No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 Kelompok pangan Padi-padian Terigu Umbi-umbian Daging unggas Daging ruminansia Ikan segar Ikan olahan Telur & susu Minyak & lemak Buah/biji berminyak Kacang-kacangan Gula Buah & sayur *** 0.479891 0.249794 0.04486 ** 0.111528 ** 0.174649 0.033582 0.099059 -0.032025 -0.005935 -0.022841 -0.003461 ** -0.06246 -0.122935 1 *** 0.175443 -0.011131 -0.0079 -0.010658 0.003004 -0.016777 -0.004022 *** -0.051505 ** -0.012566 -0.002676 -0.003857 *** -0.023055 *** -0.046228 2 -0.011131 0.027006 -0.006712 -0.007517 -0.01586 -0.014961 -0.006809 0.025645 -0.002344 0.003459 0.005277 0.007184 -0.01106 3 -0.0079 -0.006712 ** 0.01297 -0.000566 0.004569 * -0.009696 -0.000475 -0.004115 *** -0.008733 *** 0.007866 *** 0.009707 *** 0.008958 -0.000487 4 -0.010658 -0.007517 -0.000566 *** 0.033834 -0.003141 * -0.008075 -0.001323 -0.008769 -0.001133 0.000292 0.000416 -0.001308 -0.000822 ** 0.008768 5 0.003004 -0.01586 0.004569 -0.003141 ** 0.01609 0.002776 -0.005716 0.003371 -0.001476 -0.000627 -0.001934 *** -0.005362 0.006294 -0.001987 6 -0.016777 -0.014961 * -0.009696 * -0.008075 0.002776 * 0.024023 ** -0.016932 -0.010479 0.006147 * 0.004987 0.003994 0.000467 *** 0.035956 -0.001429 7 -0.004022 -0.006809 -0.000475 -0.001323 -0.005716 ** -0.016932 *** 0.030662 -0.002422 ** 0.009449 ** -0.00692 -0.003999 0.003759 0.00362 0.00113

14 Lain-lain Keterangan:

0.056295 0.011928 0.007822 -0.005386 R^2 = 69,09 * : nyata pada taraf 10%; ** : nyata pada taraf 5%; *** : nyata pada taraf 1%

123

Lampiran 19. Lanjutan


No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 Kelompok pangan Padi-padian Terigu Umbi-umbian Daging unggas Daging ruminansia Ikan segar Ikan olahan Telur & susu Minyak & lemak Buah/biji berminyak Kacang-kacangan Gula Buah & sayur Lain-lain 8 *** -0.051505 0.025645 -0.004115 -0.008769 0.003371 -0.010479 -0.002422 *** 0.04389 0.000759 -0.001195 -0.002404 0.005402 ** 0.02634 *** -0.02452 9 ** -0.012566 -0.002344 *** -0.008733 -0.001133 -0.001476 0.006147 ** 0.009449 0.000759 ** 0.007267 0.002554 ** -0.004543 *** 0.006742 -0.001484 -0.000639 10 -0.002676 0.003459 *** 0.007866 0.000292 -0.000627 * 0.004987 ** -0.00692 -0.001195 0.002554 0.00126 ** 0.004489 *** -0.007906 * -0.007171 0.001588 11 -0.003857 0.005277 *** 0.009707 0.000416 -0.001934 0.003994 -0.003999 -0.002404 ** -0.004543 ** 0.004489 *** 0.012419 *** -0.00762 *** -0.013091 0.001147 12 *** -0.023055 0.007184 *** 0.008958 -0.001308 *** -0.005362 0.000467 0.003759 0.005402 *** 0.006742 *** -0.007906 *** -0.00762 -0.000153 ** 0.011329 0.001563 13 *** -0.046228 -0.01106 -0.000487 -0.000822 0.006294 *** 0.035956 0.00362 ** 0.02634 -0.001484 * -0.007171 *** -0.013091 ** 0.011329 0.003298 -0.006494 14 0.011928 0.007822 -0.005386 ** 0.008768 -0.001987 -0.001429 0.00113 *** -0.02452 -0.000639 0.001588 0.001147 0.001563 -0.006494 0.006509 -0.045691 -0.052796 -0.001228 -0.01723 -0.036835 0.027739 -0.021238 0.013328 0.007444 ** 0.012869 0.008503 *** 0.027682 *** 0.080183 -0.002729 Share 0.308 0.107 0.018 0.045 0.055 0.077 0.036 0.068 0.028 0.013 0.023 0.019 0.151 0.052

124

Lampiran 20. Koefisien pendugaan dari sistem permintaan pangan wilayah perdesaan di Provinsi Sumatera Barat tahun 2005
No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 Kelompok pangan Padi-padian Terigu Umbi-umbian Daging unggas Daging ruminansia Ikan segar Ikan olahan Telur & susu Minyak & lemak Buah/biji berminyak Kacang-kacangan Gula Buah & sayur *** 0.462707 -0.052589 -0.04055 0.019998 * 0.078078 -0.002987 * 0.058975 ** 0.109759 *** 0.05669 0.013994 * 0.036296 * 0.033687 *** 0.215144 1 *** 0.109404 ** -0.027161 -0.008034 -0.002474 ** -0.01584 0.002848 -0.010615 * -0.016642 *** -0.012752 0.002241 ** -0.010058 ** -0.011909 -0.006054 2 ** -0.027161 *** 0.05635 * 0.006221 -0.003253 0.001912 0.002153 0.005844 -0.007647 * 0.004373 -0.001354 -0.002605 -0.000438 *** -0.029446 3 -0.008034 * 0.006221 ** 0.006149 -0.000817 -0.001799 -0.00579 -0.002958 -0.001933 ** 0.004387 -0.001779 -0.000516 0.001634 0.003887 4 -0.002474 -0.003253 -0.000817 *** 0.013407 0.002446 -0.004175 0.003371 0.001994 *** -0.004857 -0.001712 ** 0.002975 *** -0.00479 0.00064 5 ** -0.01584 0.001912 -0.001799 0.002446 *** 0.01036 0.001179 -0.002621 -0.00044 -0.000361 0.000176 -0.000271 0.000548 0.001838 0.002873 6 0.002848 0.002153 -0.00579 -0.004175 0.001179 *** 0.036103 *** -0.012961 ** -0.016559 0.000549 -0.002582 ** -0.006417 -0.001425 ** 0.01847 ** -0.011394 7 -0.010615 0.005844 -0.002958 0.003371 -0.002621 *** -0.012961 *** 0.023394 ** 0.006459 -0.001065 ** 0.00301 0.002664 * -0.003438 ** -0.011324 0.000241

14 Lain-lain Keterangan:

0.010798 0.007046 -0.004949 0.001348 -0.002754 R^2 = 39,97 * : nyata pada taraf 10%; ** : nyata pada taraf 5%; *** : nyata pada taraf 1%

125

Lampiran 20. Lanjutan


No. Kelompok pangan 8 * -0.016642 -0.007647 -0.001933 0.001994 -0.00044 ** -0.016559 ** 0.006459 *** 0.033372 -0.001713 *** -0.005738 0.003413 0.000634 0.006891 -0.002091 9 *** -0.012752 * 0.004373 ** 0.004387 *** -0.004857 -0.000361 0.000549 -0.001065 -0.001713 0.004779 -0.002465 *** -0.004882 0.001387 *** 0.011065 0.001556 10 0.002241 -0.001354 -0.001779 -0.001712 0.000176 -0.002582 ** 0.00301 *** -0.005738 -0.002465 *** 0.014642 -0.001963 -0.002426 -0.00006269 0.000012958 11 ** -0.010058 -0.002605 -0.000516 ** 0.002975 -0.000271 ** -0.006417 0.002664 0.003413 *** -0.004882 -0.001963 *** 0.010811 ** -0.003858 ** 0.007165 * 0.003541 12 ** -0.011909 -0.000438 0.001634 *** -0.00479 0.000548 -0.001425 * -0.003438 0.000634 0.001387 -0.002426 ** -0.003858 *** 0.016807 0.006014 0.001259 13 -0.006054 *** -0.029446 0.003887 0.00064 0.001838 ** 0.01847 ** -0.011324 0.006891 *** 0.011065 -0.00006269 ** 0.007165 0.006014 -0.014954 0.005871 14 0.007046 -0.004949 0.001348 -0.002754 0.002873 ** -0.011394 0.000241 -0.002091 0.001556 0.000012958 * 0.003541 0.001259 0.005871 -0.00256 -0.011433 0.01285 *** 0.021991 -0.001106 -0.020545 0.02943 * -0.017072 * -0.021774 -0.007458 0.005909 -0.005066 0.000103 -0.001484 0.015655 Share 0.317 0.088 0.024 0.019 0.037 0.090 0.037 0.054 0.035 0.021 0.022 0.031 0.175 0.048

1 Padi-padian 2 Terigu 3 Umbi-umbian 4 Daging unggas 5 Daging ruminansia 6 Ikan segar 7 Ikan olahan 8 Telur & susu 9 Minyak & lemak 10 Buah/biji berminyak 11 Kacang-kacangan 12 Gula 13 Buah & sayur 14 Lain-lain

126

Lampiran 21. Koefisien pendugaan dari sistem permintaan pangan wilayah perkotaan+perdesaan di Provinsi Jawa Tengah tahun 2005
No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 Kelompok pangan Padi-padian Terigu Umbi-umbian Daging unggas Daging ruminansia Ikan segar Ikan olahan Telur & susu Minyak & lemak Buah/biji berminyak Kacang-kacangan Gula Buah & sayur *** 0.555418 *** 0.1754 0.011271 -0.000524 0.014064 0.019109 * 0.020693 ** 0.039098 *** 0.042619 -0.003462 *** 0.074614 * 0.023571 1 *** 0.202792 *** -0.033595 *** -0.007109 *** -0.016968 *** -0.016177 * -0.005189 0.000172 *** -0.026475 *** -0.012282 * -0.002599 *** -0.015681 *** -0.00922 *** -0.047177 *** -0.010493 2 *** -0.033595 *** 0.051362 -0.001319 0.002438 ** 0.004506 0.001279 -0.001002 0.000687 ** -0.004385 -0.00017 *** -0.01098 0.000109 ** -0.008868 3 *** -0.007109 -0.001319 *** 0.008133 0.001024 * -0.001006 *** -0.002798 -0.000024234 ** -0.002089 ** 0.001446 -0.000129 *** 0.002754 0.0001 4 *** -0.016968 0.002438 0.001024 *** 0.022224 ** 0.002024 * -0.001607 *** -0.003066 ** 0.003413 -0.000529 *** -0.002378 ** -0.003472 -0.001404 5 *** -0.016177 ** 0.004506 * -0.001006 ** 0.002024 *** 0.015184 0.001127 -0.001106 0.000902 *** -0.00303 -0.000677 *** -0.003436 -0.001375 0.001121 * 0.001942 6 * -0.005189 0.001279 *** -0.002798 * -0.001607 0.001127 *** 0.026058 * -0.001395 0.00047 *** -0.003585 * -0.000917 -0.001937 *** -0.005922 *** -0.005084 -0.000501 7 0.000172 -0.001002 -0.000024234 *** -0.003066 -0.001106 * -0.001395 *** 0.013045 0.000272 ** -0.001717 ** 0.001066 -0.000763 * -0.00146 * -0.002704 -0.001318

14 Lain-lain Keterangan:

-0.005913 0.000967 0.00085 * ** 0.034041 -0.000062161 0.000050319 -0.002549 R^2 = 29,41 * : nyata pada taraf 10%; ** : nyata pada taraf 5%; *** : nyata pada taraf 1%

127

Lampiran 21. Lanjutan


No. Kelompok pangan 1 Padi-padian 2 Terigu 3 Umbi-umbian 4 Daging unggas 5 Daging ruminansia 6 Ikan segar 7 Ikan olahan 8 Telur & susu 9 Minyak & lemak 10 Buah/biji berminyak 11 Kacang-kacangan 12 Gula 13 Buah & sayur 14 Lain-lain 8 *** -0.026475 0.000687 ** -0.002089 ** 0.003413 0.000902 0.00047 0.000272 *** 0.041191 *** -0.005146 *** -0.004182 *** -0.008445 *** -0.00441 0.004541 -0.00073 9 *** -0.012282 ** -0.004385 ** 0.001446 -0.000529 *** -0.00303 *** -0.003585 ** -0.001717 *** -0.005146 *** 0.013863 0.000605 ** 0.003966 * 0.003327 *** 0.007377 0.000089946 10 * -0.002599 -0.00017 -0.000129 *** -0.002378 -0.000677 * -0.000917 ** 0.001066 *** -0.004182 0.000605 *** 0.005575 *** 0.005774 -0.001438 -0.000828 0.0003 11 *** -0.015681 *** -0.01098 *** 0.002754 ** -0.003472 *** -0.003436 -0.001937 -0.000763 *** -0.008445 ** 0.003966 *** 0.005774 *** 0.024072 0.000183 * 0.00553 0.002435 12 *** -0.00922 0.000109 0.0001 -0.001404 -0.001375 *** -0.005922 * -0.00146 *** -0.00441 * 0.003327 -0.001438 0.000183 *** 0.017181 0.003229 0.001098 13 *** -0.047177 ** -0.008868 0.000967 0.00085 0.001121 *** -0.005084 * -0.002704 0.004541 *** 0.007377 -0.000828 * 0.00553 0.003229 *** 0.031913 *** 0.009132 14 *** -0.010493 -0.000062161 0.000050319 ** -0.002549 * 0.001942 -0.000501 -0.001318 -0.00073 0.000089946 0.0003 0.002435 0.001098 *** 0.009132 0.000606 *** -0.052973 *** -0.04179 ** 0.006216 0.005613 -0.005525 0.004911 -0.000344 -0.00447 0.001759 *** 0.005849 0.003587 0.005879 *** 0.057654 *** 0.013633 Share 0.267 0.15 0.016 0.036 0.026 0.032 0.021 0.062 0.038 0.014 0.068 0.041 0.156 0.073

128

Lampiran 22. Koefisien pendugaan dari sistem permintaan pangan wilayah perkotaan di Provinsi Jawa Tengah tahun 2005
No. Kelompok pangan 1 Padi-padian 2 Terigu 3 Umbi-umbian 4 Daging unggas 5 Daging ruminansia 6 Ikan segar 7 Ikan olahan 8 Telur & susu 9 Minyak & lemak 10 Buah/biji berminyak 11 Kacang-kacangan 12 Gula 13 Buah & sayur 14 Lain-lain Keterangan: *** 0.510316 ** 0.158813 ** 0.025115 0.023753 -0.017092 ** 0.081594 -0.001592 0.027611 *** 0.060939 -0.007111 ** 0.061971 0.021426 0.048965 1 *** 0.200056 *** -0.034667 *** -0.008334 *** -0.015418 *** -0.022761 -0.006765 -0.000615 *** -0.028605 ** -0.00702 * -0.003411 * -0.009584 ** -0.008628 *** -0.054198 2 ** -0.034667 *** 0.068621 ** -0.005053 -0.001518 0.006325 -0.005304 -0.001473 -0.004868 ** -0.006972 -0.001405 ** -0.011381 0.002986 -0.007468 3 *** -0.008334 ** -0.005053 *** 0.007917 ** 0.002242 -0.000674 ** -0.002208 -0.00016 -0.001112 -0.000042781 ** 0.00124 *** 0.006013 -0.000907 0.000528 4 *** -0.015418 -0.001518 ** 0.002242 *** 0.024655 ** 0.003454 -0.001633 -0.001204 0.001137 -0.002397 ** -0.001932 -0.002037 -0.001821 0.001373 ** -0.004902 5 *** -0.022761 0.006325 -0.000674 ** 0.003454 *** 0.0199 -0.000276 0.001714 0.002552 *** -0.004044 -0.000302 *** -0.006007 -0.000822 -0.000471 0.001412 6 -0.006765 -0.005304 ** -0.002208 -0.001633 -0.000276 *** 0.030827 0.000802 0.000255 ** -0.003044 -0.00025 -0.002735 *** -0.004086 -0.003936 -0.001649 7 -0.000615 -0.001473 -0.00016 -0.001204 0.001714 0.000802 *** 0.01146 0.000371 -0.000627 -0.000621 -0.000516 ** -0.003269 -0.004035 -0.001826

0.005293 0.00005049 0.002175 0.000551 R^2 = 35,6 * : nyata pada taraf 10%; ** : nyata pada taraf 5%; *** : nyata pada taraf 1%

129

Lampiran 22. Lanjutan


No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 Kelompok pangan Padi-padian Terigu Umbi-umbian Daging unggas Daging ruminansia Ikan segar Ikan olahan Telur & susu Minyak & lemak Buah/biji berminyak Kacang-kacangan Gula Buah & sayur Lain-lain 8 *** -0.028605 -0.004868 -0.001112 0.001137 0.002552 0.000255 0.000371 *** 0.061896 *** -0.006876 -0.001357 *** -0.016877 -0.002833 -0.004694 0.001011 9 ** -0.00702 ** -0.006972 -0.000042781 -0.002397 *** -0.004044 ** -0.003044 -0.000627 *** -0.006876 *** 0.015708 0.000060431 ** 0.005911 0.001519 ** 0.008007 -0.000182 10 * -0.003411 -0.001405 ** 0.00124 ** -0.001932 -0.000302 -0.00025 -0.000621 -0.001357 0.000060431 *** 0.005084 *** 0.005557 0.000274 -0.002533 -0.000406 11 * -0.009584 ** -0.011381 *** 0.006013 -0.002037 *** -0.006007 -0.002735 -0.000516 *** -0.016877 ** 0.005911 *** 0.005557 *** 0.023082 0.002062 0.000758 * 0.005752 12 ** -0.008628 0.002986 -0.000907 -0.001821 -0.000822 ** -0.004086 ** -0.003269 -0.002833 0.001519 0.000274 0.002062 *** 0.014125 0.005968 ** -0.004569 13 *** -0.054198 -0.007468 0.000528 0.001373 -0.000471 -0.003936 -0.004035 -0.004694 ** 0.008007 -0.002533 0.000758 0.005968 *** 0.056787 0.003915 14 -0.00005049 0.002175 0.000551 ** -0.004902 0.001412 -0.001649 -0.001826 0.001011 -0.000182 -0.000406 * 0.005752 ** -0.004569 0.003915 -0.001232 ** -0.043891 ** -0.041822 0.001457 -0.000562 0.002234 -0.011338 0.005178 -0.001443 -0.002642 ** 0.007146 0.011943 0.005123 *** 0.045291 *** 0.023324 Share 0.243 0.167 0.014 0.041 0.037 0.038 0.019 0.072 0.033 0.011 0.062 0.038 0.15 0.074

130

Lampiran 23. Koefisien pendugaan dari sistem permintaan pangan wilayah perdesaan di Provinsi Jawa Tengah tahun 2005
No. Kelompok pangan 1 Padi-padian 2 Terigu 3 Umbi-umbian 4 Daging unggas 5 Daging ruminansia 6 Ikan segar 7 Ikan olahan 8 Telur & susu 9 Minyak & lemak 10 Buah/biji berminyak 11 Kacang-kacangan 12 Gula 13 Buah & sayur 14 Lain-lain Keterangan: *** 0.58741 *** 0.195297 0.002611 -0.006943 * 0.042509 -0.01124 * 0.027664 0.029398 0.025002 -0.006666 *** 0.080068 0.01279 -0.021313 1 *** 0.20541 *** -0.032893 ** -0.005138 *** -0.014667 ** -0.008571 -0.001647 -0.000418 *** -0.024695 *** -0.019367 -0.002719 *** -0.016633 *** -0.014384 *** -0.043999 *** -0.020279 2 *** -0.032893 *** 0.04003 0.001198 0.003662 0.001125 0.003676 0.000259 0.004557 -0.002041 0.001111 *** -0.011015 0.000575 * -0.009175 3 *** -0.005138 0.001198 *** 0.008329 0.000524 -0.000463 *** -0.003038 -0.000169 * -0.002221 * 0.001651 -0.000863 0.000982 -0.000729 0.000089317 4 *** -0.014667 0.003662 0.000524 *** 0.021551 0.000938 * -0.002107 *** -0.003671 ** 0.003247 -0.000007775 *** -0.0024 ** -0.004682 -0.001988 0.001576 5 ** -0.008571 0.001125 -0.000463 0.000938 *** 0.010554 0.000305 ** -0.002168 -0.001609 ** -0.001907 -0.000145 -0.001295 -0.001178 0.002461 0.001951 6 -0.001647 0.003676 *** -0.003038 * -0.002107 0.000305 *** 0.023129 ** -0.002497 -0.001661 *** -0.003548 -0.000976 -0.000836 *** -0.006813 * -0.00377 -0.000217 7 -0.000418 0.000259 -0.000169 *** -0.003671 ** -0.002168 ** -0.002497 *** 0.013148 0.00025 ** -0.002262 *** 0.001751 -0.000644 -0.000745 -0.001957 -0.000877

0.043413 -0.001069 -0.000151 -0.001976 R^2 = 28,55 * : nyata pada taraf 10%; ** : nyata pada taraf 5%; *** : nyata pada taraf 1%

131

Lampiran 23. Lanjutan


No. Kelompok pangan 8 *** -0.024695 9 *** -0.019367 10 -0.002719 0.001111 -0.000863 *** -0.0024 -0.000145 -0.000976 *** 0.001751 *** -0.005297 0.001096 *** 0.004926 *** 0.005219 ** -0.002773 11 *** -0.016633 *** -0.011015 0.000982 ** -0.004682 -0.001295 -0.000836 -0.000644 -0.00203 0.003067 *** 0.005219 *** 0.023139 -0.001778 0.005375 0.00113 12 *** -0.014384 0.000575 13 *** -0.043999 * -0.009175 14 *** -0.020279 -0.001069 -0.000151 -0.001976 0.001951 -0.000217 -0.000877 -0.000296 0.001379 0.001051 0.00113 *** 0.005579 *** 0.010517 0.003258 *** -0.058146 *** -0.044093 ** 0.008733 0.007893 * -0.011748 ** 0.014613 -0.002982 -0.002237 0.005196 ** 0.006268 -0.000371 0.007011 *** 0.060908 0.008954 Share 0.283 0.139 0.017 0.033 0.018 0.027 0.023 0.056 0.041 0.016 0.072 0.044 0.159 0.072

1 Padi-padian 2 Terigu 3 Umbi-umbian 4 Daging unggas 5 Daging ruminansia 6 Ikan segar 7 Ikan olahan 8 Telur & susu 9 Minyak & lemak 10 Buah/biji berminyak 11 Kacang-kacangan 12 Gula 13 Buah & sayur 14 Lain-lain

0.004557 -0.002041 * * -0.002221 0.001651 ** 0.003247 -0.000007775 ** -0.001609 -0.001907 *** -0.001661 -0.003548 ** 0.00025 -0.002262 *** ** 0.031249 -0.004851 ** *** -0.004851 0.015118 *** -0.005297 0.001096 -0.00203 * -0.004272 ** 0.007629 -0.000296

-0.000729 0.000089317 -0.001988 -0.001178 *** -0.006813 0.001576 0.002461 * -0.00377

-0.000745 -0.001957 * ** -0.004272 0.007629 ** ** 0.005512 0.006162 ** -0.002773 0.000021053 -0.001778 *** 0.021651 0.001344 *** 0.005579 0.005375 0.001344 *** 0.023725 *** 0.010517

0.003067 ** 0.005512 ** 0.006162 0.000021053 0.001379

0.001051

132

Lampiran 24. Koefisien pendugaan dari sistem permintaan pangan di Provinsi Sulawesi Tenggara tahun 2005
No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 Kelompok pangan Padi-padian Terigu Umbi-umbian Daging unggas Daging ruminansia Ikan segar Ikan olahan Telur & susu Minyak & lemak Buah/biji berminyak Kacang-kacangan Gula Buah & sayur *** 0.612336 0.091362 0.020613 0.024393 -0.030795 0.039774 -0.002518 0.018618 ** 0.052949 0.000946 0.014606 *** 0.096638 1 *** 0.124737 ** 0.037512 -0.006856 0.010536 -0.009621 ** -0.03869 *** -0.022923 *** -0.038495 -0.002199 -0.00347 -0.005378 -0.010011 ** -0.039356 2 ** 0.037512 0.003856 0.004755 *** -0.015653 0.000922 -0.004527 0.001254 0.005008 *** -0.014787 0.001805 0.000513 *** -0.015971 3 -0.006856 0.004755 *** 0.020819 ** -0.007848 -0.001266 0.004008 -0.001466 -0.003858 -0.00167 -0.000025748 -0.000341 -0.001539 ** -0.006293 4 0.010536 *** -0.015653 ** -0.007848 *** 0.020734 0.001793 -0.010133 0.001277 0.005201 0.000489 ** -0.001936 0.003247 0.001948 * -0.011196 5 -0.009621 0.000922 -0.001266 0.001793 * 0.004275 0.005323 0.001182 -0.000218 -0.001703 -0.000032406 0.002013 ** -0.004076 0.002987 -0.001578 6 ** -0.03869 -0.004527 0.004008 -0.010133 0.005323 *** 0.075956 0.004404 0.003066 ** -0.008639 -0.000015124 * -0.00975 ** -0.013941 -0.001888 -0.005172 7 *** -0.022923 0.001254 -0.001466 0.001277 0.001182 0.004404 *** 0.007822 *** 0.006902 0.000264 0.000856 ** -0.00368 -0.002747 0.004968 0.001886

14 Lain-lain Keterangan:

-0.076768 0.012138 *** ** 0.137845 0.004214 -0.016824 0.001582 0.00154 R^2 = 47,22 * : nyata pada taraf 10%; ** : nyata pada taraf 5%; *** : nyata pada taraf 1%

133

Lampiran 25. Elastisitas harga silang menurut wilayah perkotaan+perdesaan di Provinsi Sumatera Barat, Jawa Tengah, dan Sulawesi Tenggara tahun 2005
No. Kelompok/jenis pangan Sumatera Barat Padi-padian Terigu Umbi-umbian Daging unggas Daging ruminansia Ikan segar Ikan olahan Telur & susu Minyak & lemak Buah/biji bermnyak Kacang-kacangan Gula Sayur & buah Lainnya Jawa Tengah Padi-padian Terigu Umbi-umbian Daging unggas Daging ruminansia Ikan segar Ikan olahan Elastisitas 8

10

11

12

13

14

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14

-0.099 -0.047 -0.039 -0.019 -0.028 -0.023 -0.035 -0.055 -0.037 -0.019 -0.028 -0.042 -0.041 0.034 0.053 -0.033 -0.013 0.000 0.064 -0.045 0.032 -0.010 -0.019 0.000 -0.274 -0.045

-0.831 0.115 -0.114 -0.161 -0.260 -0.181 -0.071 0.127 -0.086 0.053 0.069 0.118 -0.089

-0.150 -0.113 -0.070 0.116 -0.116 0.106 0.059 -0.171 -0.020 0.056 -0.151 -0.117 0.031

-0.025 0.009 -0.053 0.083 0.011 -0.044 0.059 -0.003 -0.006 0.028 0.009 0.095 0.103

-0.192 -0.050 -0.055 -0.051 -0.034 -0.157 -0.181 0.012 -0.014 -0.050 -0.005 0.197 -0.155

-0.151 0.187 -0.079 0.083 -0.055 -0.296 0.136 0.026 0.048 0.068 -0.067 -0.171 0.065

-0.207 -0.062 0.000 0.029 0.030 -0.214 0.081 -0.014 -0.065 0.053 0.022 0.140 -0.059

-0.294 0.088 0.111 -0.140 -0.021 0.075 0.018 -0.032 0.027 -0.15 0.037 0.286 0.035

-0.439 -0.104 -0.094 -0.045 -0.054 -0.067 0.068 -0.246 0.032 -0.039 -0.069 0.162 -0.066

-0.380 -0.093 0.074 0.062 0.029 -0.161 0.096 0.122 -0.227 -0.025 -0.199 0.144 0.140

-0.516 -0.030 0.073 -0.154 -0.017 0.003 -0.111 0.022 0.034 -0.041 -0.163 0.289 0.028

-0.108 -0.179 0.034 -0.027 -0.005 0.122 -0.059 0.026 0.048 0.022 0.016 0.049 0.003

0.143 -0.125 -0.025 0.005 0.053 -0.263 0.023 -0.100 0.011 -0.022 0.058 0.013 -0.011

1 2 3 4 5 6 7

-0.149 -0.096 -0.023 -0.056 -0.055 -0.013 0.005 -0.004 0.026 0.037 0.017 -0.001

-0.554 -0.142 0.051 -0.074 -0.189 -0.010

-0.512 0.044 0.026 0.052 -0.049 -0.088

-0.568 0.206 -0.036 0.086 0.05 -0.038

-0.206 0.017 -0.091 -0.056 0.032 -0.047

0.012 -0.045 -0.001 -0.144 -0.052 -0.065

-0.406 0.022 -0.032 0.057 0.016 0.010 0.006

-0.335 -0.122 0.037 -0.016 -0.081 -0.096 -0.046

-0.299 -0.075 -0.016 -0.186 -0.059 -0.079 0.068

-0.245 -0.170 0.040 -0.053 -0.052 -0.03 -0.012

-0.261 -0.019 0.000 -0.039 -0.037 -0.148 -0.038

-0.402 -0.113 0.000 -0.008 -0.002 -0.044 -0.025

-0.194 -0.029 -0.002 -0.042 0.022 -0.013 -0.022

134

Lampiran 25. Lanjutan


No. Kelompok/jenis pangan Telur & susu Minyak & lemak Buah/biji bermnyak Kacang-kacangan Gula Sayur & buah Lainnya Sulawesi Tenggara Padi-padian Terigu Umbi-umbian Daging unggas Daging ruminansia Ikan segar Ikan olahan Telur & susu Minyak & lemak Buah/biji bermnyak Kacang-kacangan Gula Sayur & buah Lainnya Elastisitas 8

1 -0.087 -0.038 -0.007 -0.045 -0.026 -0.146 -0.025

2 0.022 -0.019 0.003 -0.054 0.012 -0.016 0.020

3 -0.157 0.076 -0.014 0.147 -0.01 0.000 -0.025

4 0.085 -0.021 -0.068 -0.107 -0.045 -0.001 -0.082

5 0.048 -0.109 -0.023 -0.118 -0.044 0.077 0.091

6 0.005 -0.119 -0.031 -0.072 -0.194 -0.185 -0.027

9 -0.138

10 -0.326 0.027 0.386 -0.120 -0.125 -0.009

11 -0.128 0.056 0.084 0.001 0.073 0.032

12 -0.116 0.075 -0.037 -0.005 0.056 0.016

13 0.006 0.033 -0.010 0.010 0.005 0.032

14 -0.022 -0.006 0.002 0.021 0.007 0.096

8 9 10 11 12 13 14

0.014 -0.080 0.050 -0.035 -0.068 -0.125 -0.061

-0.080 -0.066 -0.131 -0.068 0.084 -0.007

0.015 0.101 0.086 0.187 -0.001

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14

0.359 0.159 -0.011 0.041 -0.030 -0.070 -0.071 -0.113 0.004 -0.009 -0.011 -0.017 -0.090 0.035 0.046 -0.168 0.009 -0.072 0.011 0.046 -0.162 0.018 0.003 -0.176 0.112 -0.186

-0.303 0.098 -0.226 -0.039 0.045 -0.048 -0.128 -0.060 -0.004 -0.017 -0.062 -0.224 0.022

0.675 -0.959 -0.482 0.112 -0.611 0.080 0.326 0.033 -0.119 0.202 0.124 -0.681 0.100

-1.450 -0.011 -0.187 0.183 0.383 0.111 -0.088 -0.235 -0.015 0.202 -0.522 0.184 -0.252

-0.279 -0.045 0.015 -0.060 0.028 0.021 0.006 -0.056 -0.002 -0.059 -0.088 -0.037 -0.042

-1.260 0.062 -0.082 0.068 0.063 0.226 0.370 0.012 0.046 -0.200 -0.152 0.261 0.098

-0.708 0.109 -0.070 0.103 -0.003 0.082 0.136 0.014 -0.015 -0.085 0.011 0.049 -0.147

-0.062 -0.424 -0.048 0.014 -0.049 -0.247 0.008 0.014 -0.024 0.019 -0.198 0.265 0.247

-0.468 0.173 -0.013 -0.219 -0.006 -0.053 0.089 -0.109 -0.104 0.065 -0.026 -0.371 0.111

-0.293 0.013 -0.021 0.154 0.095 -0.489 -0.179 -0.223 0.027 0.03 0.135 0.030 0.119

-0.143 -0.303 -0.024 0.043 -0.080 -0.246 -0.052 0.016 -0.132 0.000 0.064 0.141 0.093

-0.441 0.055 -0.066 -0.096 0.020 -0.093 0.031 -0.009 0.058 -0.028 -0.002 0.024 -0.089

0.158 -0.253 0.037 0.031 -0.024 -0.033 0.037 -0.118 0.154 0.022 0.05 0.082 -0.095

135

Lampiran 26. Elastisitas harga silang menurut wilayah perkotaan di Provinsi Sumatera Barat dan Jawa Tengah tahun 2005
No. Kelompok/jenis pangan Sumatera Barat 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 Padi-padian Terigu Umbi-umbian Daging unggas Daging ruminansia Ikan segar Ikan olahan Telur & susu Minyak & lemak Buah/biji bermnyak Kacang-kacangan Gula Sayur & buah Lainnya -0.020 -0.023 -0.028 0.018 -0.043 -0.008 -0.157 -0.037 -0.007 -0.009 -0.072 -0.128 0.047 -0.054 -0.048 -0.121 -0.102 -0.046 0.274 -0.008 0.039 0.061 0.077 -0.029 0.099 -0.028 0.252 -0.522 -0.023 -0.219 -0.473 0.428 0.529 0.488 -0.016 -0.289 -0.049 -0.151 -0.016 -0.171 -0.015 0.011 0.018 -0.022 0.040 0.217 0.102 -0.079 0.106 -0.008 -0.003 -0.020 -0.084 0.215 -0.001 -0.232 -0.159 0.069 0.060 0.043 -0.001 0.410 -0.037 -0.027 0.275 -0.183 -0.096 0.114 0.187 0.061 0.006 -0.020 -0.040 0.076 0.359 -0.372 0.089 -0.170 0.238 -0.094 -0.037 0.334 -0.651 -0.727 0.073 -0.335 -0.619 0.030 0.368 0.006 -0.071 0.048 -0.409 -0.358 -0.120 -0.128 -0.006 0.260 -0.216 0.095 -0.027 -0.327 -0.231 -0.132 -0.120 0.016 0.069 -0.125 -0.002 -0.010 -0.125 -0.419 -0.821 0.358 -0.064 -0.138 0.039 -0.170 -0.043 -0.535 -0.113 -0.320 -0.053 -0.068 0.201 0.331 0.009 -0.529 0.166 0.609 -0.022 -0.107 0.318 -0.589 -0.165 0.175 -0.279 0.188 0.411 0.002 -0.103 0.144 -0.186 -0.128 -0.206 0.189 -1.622 0.218 0.434 -0.130 -0.354 -0.086 0.141 0.181 0.307 -0.424 -0.425 -0.471 -0.130 -0.013 -0.029 0.012 0.197 0.005 0.139 -0.025 -0.054 -0.099 0.065 0.244 0.155 -0.102 0.170 -0.035 -0.023 0.024 -0.466 -0.011 0.031 0.023 0.031 -0.116 1 2 3 4 5 6 Elastisitas 7 8 9 10 11 12 13 14

136

Lampiran 26. Lanjutan


No. Kelompok/jenis pangan Jawa Tengah 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 Padi-padian Terigu Umbi-umbian Daging unggas Daging ruminansia Ikan segar Ikan olahan Telur & susu Minyak & lemak Buah/biji bermnyak Kacang-kacangan Gula Sayur & buah Lainnya -0.112 -0.032 -0.056 -0.087 -0.021 0.001 -0.105 -0.023 -0.012 -0.028 -0.029 -0.196 0.013 -0.027 0.001 0.047 -0.022 -0.004 -0.011 -0.033 -0.006 -0.053 0.027 -0.007 0.032 0.161 -0.054 -0.167 -0.014 -0.090 -0.007 0.090 0.437 -0.071 0.023 0.033 0.084 -0.039 -0.029 0.029 -0.058 -0.047 -0.049 -0.044 0.035 -0.118 -0.010 0.045 0.064 -0.111 -0.009 -0.166 -0.024 -0.022 0.034 0.026 0.028 -0.069 -0.003 -0.053 -0.095 -0.058 -0.021 0.000 -0.043 -0.036 -0.045 -0.186 -0.258 -0.118 -0.095 -0.019 -0.233 -0.038 -0.062 0.015 0.003 0.182 0.048 0.251 0.000 0.448 0.000 -0.316 -0.082 0.026 -0.017 0.079 0.138 -0.132 0.004 -0.147 -0.641 -0.391 -0.37 -0.035 0.055 -0.628 0.160 -0.019 0.091 -0.104 -0.089 -0.053 -0.030 0.004 -0.100 -0.125 -0.012 -0.076 0.082 0.032 -0.391 -0.064 -0.015 0.017 0.036 0.004 0.006 -0.191 -0.195 0.000 -0.068 -0.118 -0.088 -0.017 -0.200 -0.451 -0.227 0.100 -0.195 -0.050 -0.046 -0.066 -0.164 -0.016 -0.203 -0.217 0.095 -0.041 -0.105 -0.052 -0.012 -0.288 0.09 0.088 -0.262 0.057 -0.026 -0.054 -0.027 -0.114 -0.089 -0.085 0.036 0.006 0.046 -0.434 -0.100 -0.001 -0.003 -0.014 -0.038 -0.032 -0.053 0.043 -0.020 -0.013 0.028 -0.077 -0.023 0.003 -0.079 0.007 -0.034 -0.03 -0.009 -0.013 -0.009 0.058 -0.073 0.005 1 2 3 4 5 6 Elastisitas 7 8 9 10 11 12 13 14

137

Lampiran 27. Elastisitas harga silang menurut wilayah perdesaan di Provinsi Sumatera Barat dan Jawa Tengah tahun 2005
No. Kelompok/jenis pangan 1 2 3 4 5 6 Elastisitas 7 8 9 10 11 12 13 14

Sumatera Barat 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 Padi-padian Terigu Umbi-umbian Daging unggas Daging ruminansia Ikan segar Ikan olahan Telur & susu Minyak & lemak Buah/biji bermnyak Kacang-kacangan Gula Sayur & buah Lainnya -0.082 -0.024 -0.007 -0.049 0.012 -0.032 -0.051 -0.039 0.008 -0.031 -0.036 -0.013 0.024 0.067 -0.040 0.016 0.011 0.061 -0.095 0.045 -0.018 -0.033 -0.010 -0.362 -0.064 -0.051 -0.107 -0.32 -0.156 -0.129 0.149 -0.092 -0.041 0.039 0.002 0.012 0.129 -0.211 0.176 0.106 -0.249 -0.087 0.155 -0.246 0.043 -0.140 0.083 -0.050 0.018 0.010 0.016 0.005 0.033 0.148 0.105 -0.156 -0.201 -0.005 -0.035 -0.078 -0.026 0.147 -0.142 0.197 -0.012 0.090 0.081 -0.077 -0.222 0.028 -0.017 -0.097 0.072 0.024 0.197 -0.019 -0.065 -0.133 0.046 0.349 0.054 -0.102 -0.127 -0.053 -0.013 -0.167 0.364 0.171 0.190 0.040 0.034 -0.357 -0.618 0.177 -0.110 -0.163 -0.041 -0.254 0.101 -0.035 0.077 -0.072 -0.005 -0.072 -0.052 0.001 -0.139 0.196 -0.068 0.099 -0.053 -0.305 -0.179 -0.105 -0.026 0.044 0.007 -0.268 0.134 -0.293 0.142 0.129 -0.133 -0.002 0.034 -0.022 -0.037 0.018 -0.091 -0.093 -0.089 -0.002 -0.151 0.135 -0.294 -0.130 -0.382 -0.098 -0.018 0.139 -0.004 -0.270 0.129 0.167 -0.213 -0.084 -0.379 -0.014 0.052 -0.152 0.017 -0.046 -0.109 0.020 0.044 -0.077 -0.123 -0.032 -0.168 0.022 0.004 0.011 0.106 -0.064 0.04 0.064 0.000 0.041 0.035 0.043 -0.132 0.020 -0.064 0.048 -0.267 -0.007 -0.061 0.021 -0.006 0.067 0.016 0.065

138

Lampiran 27. Lanjutan


No. Kelompok/jenis pangan 1 2 3 4 5 6 Elastisitas 7 8 9 10 11 12 13 14

Jawa Tengah 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 Padi-padian Terigu Umbi-umbian Daging unggas Daging ruminansia Ikan segar Ikan olahan Telur & susu Minyak & lemak Buah/biji bermnyak Kacang-kacangan Gula Sayur & buah Lainnya -0.088 -0.015 -0.045 -0.026 0.000 0.003 -0.076 -0.060 -0.006 -0.044 -0.042 -0.123 -0.057 0.014 0.037 0.014 0.035 0.009 0.050 -0.002 0.013 -0.056 0.018 -0.015 0.015 0.014 -0.036 -0.189 -0.021 -0.156 0.075 -0.058 0.020 -0.064 -0.075 -0.045 0.024 -0.071 -0.118 0.086 -0.010 -0.077 -0.161 -0.072 0.010 -0.078 0.034 -0.103 -0.052 -0.078 0.002 -0.024 -0.036 0.236 0.152 -0.105 -0.092 -0.154 -0.045 -0.070 -0.276 -0.226 -0.047 0.018 -0.093 0.078 -0.019 -0.027 -0.065 -0.029 -0.086 -0.095 -0.034 -0.075 0.144 -0.002 0.025 0.066 0.129 0.130 0.024 0.305 -0.195 -0.063 0.038 -0.024 0.075 0.016 0.005 0.116 0.039 -0.147 -0.439 -0.001 -0.518 0.079 0.012 -0.285 0.150 -0.014 0.072 -0.214 0.061 -0.122 -0.096 0.001 0.019 0.029 -0.005 -0.156 -0.092 -0.105 -0.433 0.088 -0.039 0.060 -0.028 -0.029 0.005 -0.507 -0.067 0.038 -0.004 -0.049 -0.090 -0.058 -0.125 -0.288 0.015 -0.062 -0.167 -0.017 -0.073 0.103 -0.361 0.054 -0.229 -0.152 0.014 -0.065 -0.018 -0.011 -0.009 -0.028 0.043 0.072 -0.375 -0.009 -0.019 -0.051 -0.030 -0.160 -0.021 -0.107 0.120 -0.066 -0.052 -0.384 -0.111 -0.006 -0.003 0.008 -0.034 -0.021 0.027 0.023 -0.006 0.006 -0.008 -0.318 -0.032 -0.004 -0.032 0.025 -0.006 -0.015 -0.011 0.014 0.013 0.007 0.072 0.127

139

Lampiran 28. Estimasi permintaan konsumsi aktual berbagai jenis pangan per kapita per hari di Provinsi Sumatera Barat tahun 2008-2015
No Jenis pangan 2008 1 Beras 2 Terigu 3 Ubi kayu 4 Jagung 5 Daging Unggas 6 Daging Ruminansia 7 Ikan segar 8 Ikan olahan 9 Telur 10 Susu 11 Minyak goreng 12 Kedele 13 Kacang lainnya 14 Sayur 15 Buah 16 Gula 374 24 59 8 21 5 69 10 26 9 29 12 7 188 84 31 2009 375 24 60 9 21 6 70 10 26 10 29 13 8 191 86 31 2010 377 25 61 9 22 6 72 10 27 10 30 13 8 195 88 32 2011 379 26 62 9 22 6 73 11 28 10 31 13 8 199 91 32 Tahun 2012 381 26 62 9 23 7 74 11 28 11 31 13 8 202 93 32 2013 383 27 63 9 24 7 76 11 29 11 32 14 8 206 96 33 2014 384 28 64 9 24 7 77 11 30 12 33 14 8 210 99 33 2015 386 28 65 9 25 8 79 11 31 12 34 14 9 213 101 34 Pertumbuhan 0.48 2.46 1.44 1.15 2.65 5.07 1.89 1.69 2.56 4.21 2.20 2.18 2.35 1.82 2.77 1.26 ----- gram/kapita/hari -----

140

Lampiran 29. Estimasi permintaan konsumsi aktual berbagai jenis pangan per kapita per tahun di Provinsi Sumatera Barat tahun 2008-2015
No Jenis pangan 2008 1 Beras 2 Terigu 3 Ubi kayu 4 Jagung 5 Daging Unggas 6 Daging Ruminansia 7 Ikan segar 8 Ikan olahan 9 Telur 10 Susu 11 Minyak goreng 12 Kedele 13 Kacang lainnya 14 Sayur 15 Buah 16 Gula 136 9 21 3 8 2 25 4 9 3 11 4 3 69 31 11 2009 137 9 22 3 8 2 26 4 10 3 11 5 3 70 31 11 2010 138 9 22 3 8 2 26 4 10 4 11 5 3 71 32 12 2011 138 9 22 3 8 2 27 4 10 4 11 5 3 73 33 12 Tahun 2012 139 10 23 3 8 2 27 4 10 4 11 5 3 74 34 12 2013 140 10 23 3 9 3 28 4 11 4 12 5 3 75 35 12 2014 140 10 23 3 9 3 28 4 11 4 12 5 3 76 36 12 2015 141 10 24 3 9 3 29 4 11 4 12 5 3 78 37 12 Pertumbuhan 0.48 2.46 1.44 1.15 2.65 5.07 1.89 1.69 2.56 4.21 2.20 2.18 2.35 1,82 2,77 1,26 ----- kg/kapita/tahun -----

141

Lampiran 30. Estimasi permintaan konsumsi aktual berbagai jenis pangan per kapita per hari di Provinsi Jawa Tengah tahun 2008-2015
No Jenis pangan 2008 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 Beras Terigu Ubi kayu Jagung Daging Unggas Daging Ruminansia Ikan segar Ikan olahan Telur Susu Minyak goreng Kedele Kacang lain Sayur Buah Gula 290 34 51 10 16 5 30 14 18 8 25 37 10 185 74 34 2009 292 34 51 10 16 6 31 15 19 8 26 38 10 187 76 35 2010 294 35 51 10 16 6 32 15 19 8 26 38 10 189 78 35 Tahun 2011 2012 ----- gram/kapita/hari ----295 297 36 37 51 51 10 10 17 17 6 6 32 33 15 15 20 20 9 9 27 27 39 39 10 10 190 192 80 82 36 36

2013 299 37 52 11 17 6 34 15 20 9 27 40 10 194 84 37

2014 300 38 52 11 18 7 34 16 21 10 28 40 10 196 86 38

2015 302 39 52 11 18 7 35 16 21 10 28 41 11 198 89 38

Pertumbuhan 0.57 2.08 0.14 1.41 1.98 3.83 2.17 1.39 2.35 3.87 1.46 1.32 1.03 0,99 2,54 1,69

142

Lampiran 31. Estimasi permintaan konsumsi aktual berbagai jenis pangan per kapita per tahun di Provinsi Jawa Tengah tahun 2008-2015
No Jenis pangan 2008 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 Beras Terigu Ubi kayu Jagung Daging Unggas Daging Ruminansia Ikan segar Ikan olahan Telur Susu Minyak goreng Kedele Kacang lain Sayur Buah Gula 106 12 19 4 6 2 11 5 7 3 9 14 4 67 27 12 2009 107 13 19 4 6 2 11 5 7 3 9 14 4 68 28 13 2010 107 13 19 4 6 2 12 5 7 3 10 14 4 69 28 13 2011 Tahun 2012 2013 109 14 19 4 6 2 12 6 7 3 10 14 4 71 31 13 2014 110 14 19 4 6 2 13 6 8 4 10 15 4 72 32 14 2015 110 14 19 4 7 3 13 6 8 4 10 15 4 72 32 14 Pertumbuhan 0.57 2.08 0.14 1.41 1.98 3.83 2.17 1.39 2.35 3.87 1.46 1.32 1.03 0.99 2.54 1.69 ----- kg/kapita/tahun ----108 108 13 13 19 19 4 4 6 6 2 2 12 12 5 6 7 7 3 3 10 10 14 14 4 4 70 70 29 30 13 13

143

Lampiran 32. Estimasi permintaan konsumsi aktual berbagai jenis pangan per kapita per hari di Provinsi Sulawesi Tenggara tahun 2008-2015
No Jenis pangan 2008 1 Beras 2 Terigu 3 Ubi kayu 4 Jagung 5 Daging Unggas 6 Daging Ruminansia 7 Ikan segar 8 Ikan olahan 9 Telur 10 Susu 11 Minyak goreng 12 Kedele 13 Kacang lain 14 Sayur 15 Buah 16 Gula 347 32 102 48 30 13 124 17 13 9 21 9 11 142 124 36 2009 349 33 102 48 30 13 127 17 13 9 22 9 11 144 126 37 2010 352 34 102 48 30 13 130 17 14 9 23 9 11 147 128 37 2011 354 35 102 48 30 13 133 17 14 10 23 10 11 150 131 38 Tahun 2012 356 36 102 48 30 13 136 18 14 10 24 10 12 153 133 39 2013 359 37 102 49 30 13 139 18 15 10 24 10 12 156 135 39 2014 361 38 103 49 30 13 143 18 15 10 25 10 12 160 138 40 2015 363 39 103 49 30 13 146 18 16 11 26 10 12 163 140 40 Pertumbuhan 0.66 2.71 0.13 0.24 0.38 0.64 2.33 1.39 3.05 2.15 2.81 2.11 1.59 2.01 1.79 1.62 ----- gram/kapita/hari -----

144

Lampiran 33. Estimasi permintaan konsumsi aktual berbagai jenis pangan per kapita per tahun di Provinsi Sulawesi Tenggara tahun 2008-2015
No Jenis pangan 2008 1 Beras 2 Terigu 3 Ubi kayu 4 Jagung 5 Daging Unggas 6 Daging Ruminansia 7 Ikan segar 8 Ikan olahan 9 Telur 10 Susu 11 Minyak goreng 12 Kedele 13 Kacang lain 14 Sayur 15 Buah 16 Gula 127 12 37 18 11 5 45 6 5 3 8 3 4 52 45 13 2009 128 12 37 18 11 5 46 6 5 3 8 3 4 53 46 13 2010 128 12 37 18 11 5 48 6 5 3 8 3 4 54 47 14 2011 129 13 37 18 11 5 49 6 5 4 8 4 4 55 48 14 Tahun 2012 130 13 37 18 11 5 50 6 5 4 9 4 4 56 49 14 2013 131 13 37 18 11 5 51 7 5 4 9 4 4 57 49 14 2014 132 14 37 18 11 5 52 7 6 4 9 4 4 58 50 15 2015 133 14 37 18 11 5 53 7 6 4 9 4 4 59 51 15 Pertumbuhan 0.66 2.71 0.13 0.24 0.38 0.64 2.33 1.39 3.05 2.15 2.81 2.11 1.59 2.01 1.79 1.62 ----- kg/kapita/tahun -----

145

146 Lampiran 34. Persamaan regresi hubungan antara konsumsi dan pendapatan di Provinsi Sumatera Barat
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 Jenis pangan Beras Terigu Ubi kayu Jagung Unggas Ruminansia Ikan segar Ikan olahan Telur Susu Minyak goreng Kedele Kacang lainnya Sayur Buah Gula K K K Ln LK Ln K Ln K K Ln K Ln K Ln K Ln K Ln K Ln K K Ln K K Persamaan = -60.735455 + 15.38051 Ln I = 4.094656 + 0.000012519 I = -75.353314 + 7.55832 Ln I = 1.429193 - 113 561/I = -5.800147 + 0.61021 Ln I = -14.093109 + 1.153282 Ln I = -125.41428 + 11.751129 Ln I = -3.696713 + 0.390474 Ln I = -5.305243 + 0.588744 Ln I = -11.107206 + 0.96105 Ln I = -4.13715 + 0.506571 Ln I = -4.924851 + 0.501726 Ln I = -5.941347 + 0.5405 Ln I = -324.822815 + 30.701956 Ln I = -4.741729 + 0.636952 Ln I = -32.682908 + 3.426121 Ln I Elastisitas dengan pendekatan AIDS Regresi 0.677 0.12 0.55 0.52 1.295 1.26 0.677 0.34 0.53 0.61 0.284 1.15 0.909 0.62 0.366 0.39 0.48 0.59 0.48 0.96 0.565 0.51 0.662 0.50 0.662 0.54 0.747 0.54 0.747 0.64 0.767 0.34

Lampiran 35. Persamaan regresi hubungan antara konsumsi dan pendapatan di Provinsi Jawa Tengah
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 Jenis pangan Beras Terigu Ubi kayu Jagung Unggas Ruminansia Ikan segar Ikan olahan Telur Susu Minyak goreng Kedele Kacang lain Sayur Buah Gula K K Ln K Ln LK K Ln K Ln K K Ln K Ln K K K K K Ln K K Persamaan = -78.804598 + 14.766433 Ln I = -69.636729 + 6.549171 Ln I = 2.505544 + 0.033754 Ln I = 1.665672 10 5174/I = 3.259406 + 0.000009154 I = -10.626408 + 0.902395 Ln I = -4.027626 + 0.513895 Ln I = -17.523426 + 1.81835 Ln I = -5.0696 + 0.556456 Ln I = -10.35074 + 0.909966 Ln I = -33.138453 + 3.39099 Ln I = -42.239224 + 4.458281 Ln I = 2.810103 + 0.000002905 I = -139.747057 + 16.558334 Ln I = -4.238527 + 0.602376 Ln I = -53.71412 + 5.282501 Ln I Elastisitas dengan pendekatan AIDS Regresi 0.52 0.15 0.47 0.65 0.90 0.03 0.52 0.43 0.74 0.75 0.51 0.90 0.74 0.51 0.63 0.61 0.60 0.56 0.60 0.91 0.67 0.42 0.68 0.37 0.68 0.72 0.88 0.27 0.88 0.60 0.74 0.53

147 Lampiran 36. Persamaan regresi hubungan antara konsumsi dan pendapatan di Provinsi Sulawesi Tenggara

No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16

Jenis pangan Beras Terigu Ubi kayu Jagung Daging unggas Daging ruminansia Ikan segar Ikan olahan Telur Susu Minyak goreng Kedele Kacang lainnya Sayur Buah Gula K K Ln K K K K Ln K K Ln K Ln K Ln K Ln K Ln K Ln K K K

Persamaan = -122.846653 + 19.97713 Ln I = -88.635109 + 8.030979 Ln I = 3.649844 9 399.893 Ln I = 18.680841 309 999/I = 10.003428 + 0.000003121 = 5.400077 214 671/I = -2.912088 + 0.538539 Ln I = 4.339266 + 0.000006719 = -7.254787 + 0.703697 Ln I = -5.030815 + 0.498419 Ln I = -6.050476 + 0.648634 Ln I = -4.907277 + 0.488361 Ln I = -3.243987 + 0.369505 Ln I = -1.879436 + 0.466321 Ln I = -203.813216 + 19.931572 Ln I = -52.454577 + 5.254379 Ln I

Elastisitas dengan pendekatan AIDS 0.45 0.77 0.93 0.45 0.62 1.51 0.82 0.72 0.59 0.59 0.68 0.76 0.76 0.97 0.97 0.54 Regresi 0.17 0.89 0.04 0.43 0.74 0.90 0.54 0.80 0.70 0.50 0.65 0.49 0.37 0.47 0.66 0.48

You might also like