Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 0

\ Y 7/12 /zoo8

PEMANFAATAN PUPUK FOSFAT ALAM DAN FUNGI


. MIKORIZA ARBUSKULA DALAM MEMPERCEPAT
PEMBENTUKAN KAYU PADA BIBIT
Maesopsis eminii Engl DAN Swietenia macrophylla King
Oleh:
RINA BOGIDARMANTI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2008
ABSTRACT
RINA BOGIDARMANTI. Utilization of Natural Phosphate Fertilizer and Arbuscular
Mycorrhizal Fungi for Encouragement of Wood Formation on the Seedlings of
Maesopsis enzit~ii Engl. and Swietetzia uzncroplzylln King. (Supervised by SRI
WILARSO BUD1 R and IMAM WAHYUDI).
The rate of deforestation in Indonesia has reached vulnerable level ( 2 million
hectares per year). To deal with the problem, the Government of Indonesia through the
Ministry of Forestry formulates a National Forest and Land Rehabilitation Movement
called GNRHL or GERHAN. This program requires of avsiilability seedlings appropriately
to be transplanted to the field indicated by wood formation at their base stem. The wood
development can be enhanced by means do inoculation with Arbuscular Mycorrhizal Fungi
and apply natural phosphate fertilizer. This research is airned to observe the influence of
naturtal phosphates fertilizer (NPF) and arbuscular mycorrhizal fungi (AMF) usage to
support the growth and wood formation of those seedlings. This experiment was carried out
in double Factorial-Randomized Completely design with kind of natural phosphates
fertilizer and arbuscular mycorrhizal fungi as a main factor, while dosage of NPF ( 0,5 and
1,O g) and AMF (2,5 and 5,g). Each treatment was conducted in 30 replications with polybag
as treatment unit. Those were compared to the withoul. treatment as a control. The
improvements were assessed by measure growth and vigour of seedlings. Besides that, the
improvement of their wood formation is also observed. The result showed that NPF combine
with AMF gave a best response on growth and wood development of both Maesopsis eminii
Engl. and Swietenia macrophylla King. Seedlings. The most crucial information showed that
that the wood formation was initiated in the loth week. It is suggested that NPF and AMF
can be further developed as a fertilizer to support succeed of GERHAN movement.
Keywords : natural phosphates fertilizer, arbuscular mycorrhizal fungi, wood formation,
Maesopsis eminii Engl, Swietenia macrophylla King.
RINGKASAN
RlNA BOGIDARMANTI.
Pemanfaatan Pupuk Fosfat Alam Dan Fungi Mikoriza
Arbuskula Dalam Mempercepat Pembentukan Kayu Pada Bibit Maesopsis eminii Engl. dan
Swietenia macrophylla King. (Di bawah bimbingan Sri Wilarso Budi R dan Imam
Wahyudi).
Laju deforestasi atau kerusakan hutan di Indonesia yang sudah mencapai 1.6 - 2.0 juta hektar
per tahun, maka Pemerintah telah mencanangkan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan Dan
Lahan (GNRHL atau GERHAN). Guna menunjang kegiatan tersebut diperlukan bibit yang
berkualitas dalam ha1 ini harus memenuhi salah satu kriteria antara lain pangkal batang
sudah berkayu,. I~lformasi ~nengenai waktu terbentuknya ltayu pada bagian pangkal batang
bibit serta aspek silvikultur apa yang dapat mempengaruhinya saat ini masih kurang,
sehingga diperlukan penelitian mengenai ha1 tersebut. Tujuan dari penelitian ini untuk
mengetahui pengaruh pupuk fosfat alam dan fungi mikoriza arbuskula (FMA) dalarn
mempercepat pertumbuhan dan masa pembentukan kayu pada bibit Maesopsis eminii Engl
dan Swietenia macrophylla King.
Percobaan dilakukan dengan menggunakan rancangan Faktorial Acak Lengkap 3 X 3 dengan
ulangan sebanyak 30 polybag sebagai unit percobaan. Perlakuan yang diberikan yaitu FMA
dengan dosis 2,5 g dan 5,O g dan pupuk fosfat alam dengan dosis 0,5 g dan 1,O g,
dibandingkan dengan perlakuan kontrol (tanpa FMA dan pupuk fosfat alam). Parameter
yang diamati yaitu parameter pertuimbuhan meliputi tinggi, diameter, berat kering total,
nisbah pucuk akar, nilai kekokohan bibit, persen infeksi akar, kadar serapan hara makro dan
mikro, index mutu bibit, dan masa pembentukan kayu pada anakan.
Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa pada anakan Maesopsis eminii Engl, perlakuan
yang diberikan berpengaruh nyata terhadap tinggi, diameter, nisbah pucuk akar dan nilai
kekokohan bibit. Pada anakan Swietenia macrophylla King pemberian kedua perlakuan
tersebut berpengaruh nyata pada diameter.. Indeks mutu bibit jenis Swietenia macrophylla
King lebih tinggi dibandingkan dengan jenis Maesopsis eminii Engl. Sedangkan nilai
relative field mycorrhizal dependency (RFMD) anakan Manii lebih tinggi dibandingkan
dengan anakan Mahoni. Aplikasi pemberian pupuk fosfat alam dan FMA cenderung
meningkatkan serapan hara makro (N, P, K, Ca dan Mg) dan juga hara mikro (Fe, Cu, Zn dan
Mn). Hasil pengamatan anatoini batang anakan Manii dabn Mahoni menunjukkan bahwa
kedua jenis anakan mengawali pembentukan kayunya pada saat umur 10 MST pada
pemberian perlakuan FMA (2,5-5,O g) dikombinasikan dengan pupuk fosfat alam (0,5-1,O g),
sedangkan pada kontrol terjadi pada umur 12 MST.
Kata kunci: pupuk fosfat alam, fungi mikorioza arbuskula nasa pembentukan kayu,
Maesopsis erninii Engl., Swietenia macrophylla Icing
PEMANFAATAN PUPUK FOSFAT ALAM DAN FUNGI MIKORIZA
ARBUSKULA DALAM MEMPERCEPAT PEMBENTUKAN KAYU
PADA BIBIT Maesopsis etninii Engl. DAN Swieterzia mncrophylln King.
OIeh
RINA BOGIDARMANTI
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan
PROGRAM STUD1 ILMU PENGETAHUAN KEHUTANAN
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2008
Judul : Pemanfaatan Pupuk Fosfat Alam dan Fungi Milcoriza
Arbuskula Dalam Mempercepat Pembentukan Kayu pada
Bibit Maesopsis entinii Engl. Dan Swietenia macropltylla King.
Nama : NNA BOGIDARMANTI
NRP : E. 051040141
Program Studi : ILMU PENGETAHUAN KEHUTANAN
Menyetujui
1. Komisi Pembimbing
Mengetahui
2. Ketua Program Studi
-I
V
Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, MSc
Tanggal Ujian : 24 November 2007 Tanggal Lulus :
1 3 FEB 2008
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul :
PEMANFAATAN PUPUK FOSFAT ALAM DAN FUNGI MIKORIZA
ARBUSKULA DALAM MEMPERCEPAT PEMBENTUKAN KAYU
PADA BIBIT Maesopsis ernitzii Engl. DAN Swietenia nzacropllylla King.
Merupakan gagasan atau hasil penelitian tesis saya sendiri, dengan arahan Komisi
Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditujukan rujukannya. Semua data dan
informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas.
Bogor, Januari 2008
Yang Membuat Pernyataan,
Rina Bogidarmanti
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bogor, Jawa Barat pada tanggal 29 April 1964 yang merupakan
anak pertalna dari tiga bersaudara pasangan keluarga Bapak Maryoto Martohardjono (Alm)
dengan Ibu Mieke Suharti.
Pada tahun 1976 penulis lulus dari Sekolah Dasar Pengadilan I1 Bogor, tahun 1979
lulus Sekolah Menengah Pertanla Negeri I1 Bogor dan tahun 1982 lulus Sekolah Menengah
Atas Negeri I1 Bogor. Pada tahun 1982, penulis diteriina di Institut Pertanian Bogor melalui
jalur Tes Perintis I. Pada tahun 1987 penulis rnenyelesaikan pendidikan di Jurusan Biologi,
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, IPB.
Pada tahun 1988 penulis bekerja sebagai Staf peneliti di Kelompok Peneliti
Pemuliaan Pohon, Pusat Litbang Hutan, Bogor. Pada tahun 1996 menjadi Staf peneliti di
Kelompok Peneliti Silvikultur, Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam, Bogor. Pada
tahun 2005, penulis menjadi Staf peneliti di Kelompok Peneliti Silvikultur, Pusat Litbang
Hutan Tanaman, Bogor.
Pada tahun 2004, penulis mengikuti pendidikan Pascasarjana pada Program Studi
Ilmu Pengetahuan Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan mendapat status 1-iin Belajar
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke Hadirat Allah Ynag Maha Kuasa yang telah
senantiasa melimpahkan Rahmat dan Hidayah-Nya sehingga penyusunan tesis yang
berjudul Pemanfaatan Pupuk Fosfat Alan1 dan Fungi Mikoriza Arbuskula Dalam
Melnpercepat Pembentukan Kayu pada Bibit Maesopsis etninii Engl. Dan Swierenia
macvophylla King. dapat diselesaikan.
Dengan ketulusan hati penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada
selnua pihak yang secara langsung maupun tidak langsung memberikan kontribusi hingga
terselesaikannya penyusunan tesis ini. Secara khusus penulis ingin menyampaikan ucapan
terima kasih kepada :
1. Bapak Dr.Ir. Sri Wilarso Budi R, MS dan Bapak Dr. lr Imam Wahyudi, MS, selaku
dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan, lnasukan dan arahan selama
penyusunan tesis ini.
2. Bapak Dr. Ir. Iskandar Zulkarnaen, MSc, selaku dosen Penguji yang telah memberikan
banyak masukan pada penyempurnaan tesis ini.
3. Bapak Dr. Ir. Hany Santoso, selaku Kepala Pusat Litbang Hutan Tanaman yang telah
memberikan ijin belajar kepada penulis.
4.
Peneliti dan staf teknisi Kelti Silvikultur dan Perlindungan Hutan, yang telah memberi
bantuan sarana dan prasarana selama penelitian berlangsung.
4. Kelompok Peneliti Mikrobiologi Hutan, Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam,
atas bantuan dan bimbingan selama penelitian berlangsung.
5. Bapak Yadi, staf Laboratorium Silvikultur, BIOTROP, atas bantuannya selama
penelitian berlangsung.
6. Bapak Dr. Ir. Budi Suharjo (suami) beserta ananda tercinta, Fajrianza Adi Nugrahanto,
Aulia Ratnadianti, dan Shafira Rahmadianti atas dukungan moril dan materil serta
pengertiannya selama penelitian dan penyusunan tesis ini.
7. Ayahanda (Alm), Ibunda, serta Adinda atas segala doa dan semangat yang diberikan
dalam menyelesaikan penelitian dan penyusunan tesis ini.
Akhir kata penulis nlengharapkan rnasukan dan saran yang membangun guna
pnyempurnaan tesis ini. Semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi yang memerlukan.
Bogor, Januari 2008
Penulis
DAFTAR IS1
Halaman
DAFTAR IS1 ......................................................................................
DAFTAR TABEL ..............................................................................
DAFTAR GAMBAR ..........................................................................
DAFTAR LAMPIRAN ........................ .. ..........................................
PENDAHULUAN ........................... . . . . . ...........................................
Latar Belakang .................................................................................
.................................... .................................... Rumusan Masalah ....
Tujuan Penelitian .............................................................................
Hipotesis ..........................................................................................
. .
Kerangka Penelltlan .......................................................................
. .
Manfaat Penelltlan ...........................................................................
TINJAUAN PUSTAKA ..................... .. ............................................
Tinjauan Umum Tentang Kayu ....................................................
Struktur Kayu ..................................................................................
. .
........................................................ Komponen Klmla sel-sel kayu
............................. Peranan Unsur Hara Dalam Pembentukan Kayu
....................................................................... Pertumbuhan Pohon
............................................................... Produksi Kayu dan Kulit
................................. Pertumbuhan Primer dan Sekunder Batang
......................................................................... Kambium Vaskuler
.................................................................... Pembelahan Kambium
Mikoriza ..........................................................................................
Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) ................................................
......... Peranan FMA dalam Meningkatkan Pertumbuhan Tanaman
Pemupukan .......................................................................................
..................................................................................... Fosfat Alam
............................. Pengaruh Pemupukan terhadap Simbiosis FMA
....................................... Tinjauan Tentang Muesopsis etninii Engl
Tinjauan Tentang Swiefenia nzucrophylla King .............................
X
...
Xl l l
xiv
xvii
Halaman
METODOLOGI PENELITIAN ...........................................................
Tempat dan Waktu Penelitian ............... .. ......................................
Bahan dan Alat ..................................................................................
. .
Metode Penel~tlan ..........................................................................
. .
Rancangan Penelit~an .......................................................................
Pelaksanaan Percobaan ......................................................................
Inokulasi Bahan Tanaman .................................................................
Pemeriksaan Anatomi Jaringan Batang Anakan ................................
Pengukuran dan Pengamatan Parameter ............................................
Analisis Data ...................................................................................
HASIL DAN PEMBAHASAN ................... .. .....................................
........................................................................... HASIL PENELITIAN
Tinggi Batang ....................................................................................
. .
...................................... .................................. Tinggi Batang Man11 ....
Pola Pertumbuhan Tinggi Batang Manii ...........................................
....................................................................... Tinggi Batang Mahoni
Pola Pertumbuhan Tinggi Batang Mahoni .......................................
Diameter . Batang ................................................................................
. .
...................................................................... Diameter Batang Man11
Pola Pertumbuhan Diameter Batang Manii ........................................
.................................................................. Diameter Batang Mahoni
Pola Pertumbuhan Diameter Batang Mahoni .....................................
Berat Kering Total (BKT) ................................................................
. .
Berat Kering Total Man11 ...................................................................
Berat Kering Total Mahoni ...............................................................
Nisbah Pucuk Akar (NPA) .................................................................
Nisbah Pucuk Akar Manii .................................................................
Nisbah Pucuk Akar Mahoni .............................................................
. .
Nilai Kekokohan Blblt ......................................................................
Nilai Kekokohan Bibit Manii ............................................................
Nilai Kekokohan Bibit Mahoni .........................................................
Persen Infeksi Akar ...........................................................................
Persen Infeksi Akar Anakan Manii ....................................................
Persen Infeksi Akar Anakan Mahoni .................................................
Indeks Mutu Bibit (IMB) ...............................................................
. .
Indeks Mutu Bibit Man11 ........................ . . . . . . . ..............................
Indeks Mutu Bibit Mahoni ................................................................
Relative Field Mycorrhizal Dependency (RFMD) ...........................
Halaman
............................... Pengamatan Anatomi Jaringan Batang Anakan
.................... Pengamatan Anatomi Jaringan Batang Anakan Manii
..................... Rasio Pertumbuhan Xilem dan Floem Anaka11 Manii
................. Pengamatan Anatomi Jaringall Batang Anakan Mahoni
.................. Rasio Pertumbuhan Xileln dan Floeln Anakan Mahoni
Serapan Hara Makro dan Mikro ..................................................
................................................................................. PEMBAHASAN
................................................................. Pertumbuhan Tanaman
Pengamatan Anatomi Jaringan Batang Kayu Anakan Manii dan
Mahoni ..........................................................................................
............................................................... SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan .................................... ..... .................................................
Saran ..............................................................................................
DAFTAR PUSTAKA ........................ .. .............................................
....................... ............................................................... LAMPIRAN ..
DAFTAR TABEL
Halaman
Parameter yang Diamati serta Waktu Pengamatan ................................................
Hasil Analisis Ragam Tinggi Batang Analtan Manii ..............................................
Hasil Analisis Ragam Tinggi Batang Anakan Mahoni ............................................
Hasil Analisis Ragam Diameter Batang Manii Umur 16 MST ...............................
Hasil Analsis Ragarn Diameter Mahoni Umur 16 MST ......................................
Hasil Uji Nilai Tengah Diameter Mahoni Perlakuan Fosfat ..................... .. ........
Rataan Berat Kering Total Anakan Manii dan Mahoni Umur 16 MST .................
Hasil Analisis Ragam Berat Kering Total Manii Umur 16 MST ............................
Hasil Analisis Ragam Berat Kering Total Mahoni Umur 16 MST .......................
Nilai Ratan NPA Anakan Mahoni Dan Manii Umur 16 MST ............................ ....
............................................. Hasil Analisis Ragam NPA Manii U~nur 16 MST
Hasil Analisis Ragam NPA Anakan Mahoni Umur 16 MST .................................
Rataan Nilai Kekokohan Bibit Mahoni Dan Manii Umur 16 MST .........................
Hasil Analisis Ragarn Kekokohan Bibit Anakan Manii Umur 16 MST .................
Hasil Analisis Ragam Kekokohan Bibit Anakan Mahoni Umur 16 MST ...............
Rataan Persen Infeksi Akar Anakan Manii Umur 2-1 6 MST ................................
................................................. Hasil Analisis Ragam Infeksi Akar Anakan Manii
Rataan Persen Infeksi Akar Anakan Mahoni Umur 2-16 MST ..............................
Hasil Analisis Ragam Infeksi Akar Anakan Mahoni ..............................................
........ Nilai Rata-rata Indeks Mutu Bibit Anakan Manii dan Mahoni Umur 16 MST
. .
RFMD Anakan Mann ..............................................................................................
RFMD Anakan Mahoni ...........................................................................................
Proporsi Empulur Anakan Manii sampai Umur 16 MST ......................................
Proporsi Xilem Anakan Manii Sampai Umur 16 MST ...........................................
........................................... Proporsi Floem Anakan Manii Sampai U~nur 16 MST
......................................
Proporsi Kambium Anakan Manii Sanpai Umur 16 MST
............................................. Simpangan Baku Rasio Pertumbuhan Anakan Manii
................................... Proporsi Empulur Anakan Mahoni Sampai Umur 16 MST
....................................... Proporsi Xilem Anakan Mahoni Sampai Umur 16 MST
......................................... Proporsi Floem Anakan Manii Sampai Umur 16 MST
................................... Proporsi Kambium Anakan Manii Sampai Umur 16 MST
.......................................... Simpangan Baku Rasio Pertumbuhan Anakan Mahoni
...................................................... Serapan Hara Makro dan Mikro Anakan Manii
............................
Persentase Serapan Hara Makro dan Mikro Oleh Anakan Manii
................................................... Serapan Hara Makro dan Mikro Anakan Mahoni
......................
Peningkatan Serapan Hara Makro dan Mikro Oleh Anakan Mahoni
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Kerangka Pemikiran Penelitian ...................................................................
Proses Penjernihan Contoh Uji .....................................................................
Pola Rataan Pertumbuhan Tinggi Batang Anakan Manii ............................
Boxplot Respon Tinggi Anakan Manii Umur 16 MST ................................
Pola Pertumbuhan Tinggi Batang Anakan Manii Perlakuan MOP0 ..............
Pola Pertumbuhan Tinggi Batang Anakan Manii Perlakuan MI PO...............
Pola Pertumbuhan Tinggi Batang Anakan Manii Perlakuan MOP1 ..............
Pola Pertumbuhan Tinggi Batang Anakan Manii Perlakuan Ml Pl ..............
Pola Pertumbuhan Tinggi Batang Anakan Manii Perlakuan MOP2 ..............
Pola Pertumbuhan Tinggi Batang Anakan Manii Perlakuan M1P2 ..............
Pola Pertumbuhan Tinggi Batang Anakan Manii Perlakuan M2PO ...............
Pola Pertumbuhan Tinggi Batang Anakan Manii Perlakuan M2P1 ..............
Pola Pertumbuhan Tinggi Batang Anakan Manii Perlakuan M2P2 ..............
Pola Rataan Pertumbuhan Tinggi Batang Anakan Mahoni ..........................
............................... Boxplot Respon TinggiAnakan Mahoni Umur 16 MST
Pola Pertumbuhan Tinggi Anakan Mahoni Perlakuan MOP0 .......................
....................... Pola Pertumbuhan Tinggi Anakan Mahoni Perlakuan MlPO
....................... Pola Pertumbuhan Tinggi Anakan Mahoni Perlakuan MOPl
....................... Pola Pertumbuhan Tinggi Anakan Mahoni Perlakuan Ml Pl
...................... Pola Pertumbuhan Tinggi Anakan Mahoni Perlakuan MOP2
....................... Pola Pertumbuhan Tinggi Anakan Mahoni Perlakuan M1P2
....................... Pola Pertumbuhan Tinggi Anakan Mahoni Perlakuan M2PO
...................... Pola Pertumbuhan Tinggi Anakan Mahoni Perlakuan M2P1
....................... Pola Pertumbuhan Tinggi Anakan Mahoni Perlakuan M2P2
......................... Pola Rataan Pertumbuhan Diameter Batang Anakan Manii
....................... PolaPertumbuhan Diameter Anakan Manii Perlakuan MOPO
...................... Pola Pertumbuhan Diameter Anakan Manii Perlakuan MlPO
..................... Pola Pertumbuhan Diameter Anakan Manii Perlakuan MOPl
..................... Pola Pertumbuhan Diameter Anakan Manii Perlakuan Ml Pl
..................... Pola Pertumbuhan Diameter Anakan Manii Perlakuan MOP2
..................... Pola Pertumbuhan Diameter Anakan Manii Perlakuan M1P2
...................... Pola Pertumbuhan Diameter Anakan Manii Perlakuan M2PO
......................
Pola Pertumbuhan Diameter Anakan Manii Perlakuan M2P1
......................
Pola Pertumbuhan Diameter Anakan Manii Perlakuan M2P2
...................... Boxplot Respon Diameter Batang Manii Umur 16 MST . . . .
............................
Pertumbuhan Diameter Batang Mahoni Umur 2-16 MST
................... Pola Pertumbuhan Diameter Anakan Mahoni Perlakuan MOPO
................... Pola Pertumbuhan Diameter Anakan Mahoni Perlakuan MlPO
...................
Pola Pertumbuhan Dianleter Anakan Mahoni Perlakuan MOPl
...................
Pola Pertumbuhan Diameter Anakan Mahoni Perlakuan Ml Pl
................... Pola Pertumbuhan Diameter Anakan Mahoni Perlakuan MOP2
...................
Pola Pertumbuhan Diameter Anakan Mahoni Perlakuan M1P2
Pola Pertumbuhan Diameter Anakan Mahoni Perlakuan M2PO ...................
Pola Pertumbuhan Diameter Anakan Mahoni Perlakuan M2P1 ..................
Pola Pertumbuhan Diameter Anakan Mahoni Perlakuan M2P2 ..................
Boxplot Respon Diameter Anakan MahoniUmur 16 MST ...........................
Boxplot Respon Berat Kering Total Anakan Manii Umur 18 MST .............
Boxplot Respon Berat Kering Total Anakan Mahoni Umur 16 MST .........
Boxplot Respon NPA Anakan Manii Umur 16 MST ..................................
Boxplot NPA Anakan Mahoni Umur 16 MST .............................................
Boxplot Kekokohan Bibit Anakan Manii Umur 16 MST .............................
Boxplot Kekokohan Bibit Anakan Mahoni Umur 16 MST ..........................
Boxplot Infeksi Akar Analtan Manii Umur 16 MST ....................................
Hifa Pada Akar Anakan Manii Umur 16 MST ............................................
Arbuskula Pada Akar Anakan Manii Umur 16 MST ....................................
Boxplot Infeksi Akar Anakan Mahoni Umur 16 MST .................................
Boxplot IMB Anakan Manii Umur 16 MST ................................................
Boxplot IMB Anakan Mahoni Umur 16 MST .............................................
Rasio Pertumbuhan Xilem dan Floem Anakan Manii ..................................
Anatomi Jaringan Batang Manii (MOPO) Umur 2 Minggu ................... . . . . .
Anatomi Jaringan batang Manii (MOPO) Umur 4 Minggu ............................
Anatomi Jaringan Batang Manii (MOPO) Umur 6 Minggu ...........................
Anatomi Jaringan Batang Manii (MOPO) Umur 8 Minggu ...........................
Anatomi Jaringan Batang Manii (MOPO) Umur 10 Minggu ........................
......................... Anatomi Jaringan Batang Manii (MOPO) Umur 12 Minggu
Anatomi Jaringan Batang Manii (MOPO) Umur 14 Minggu .........................
Anatomi Jaringan Batang Manii (MOPO) Umur 16 Minggu .........................
........................... Anatomi Jaringan Batang Manii (MlP2) Umur 2 Minggu
........................... Anatomi Jaringan Batang Manii (MlP2) Umur 4 Minggu
........................... Anatomi Jaringan Batang Manii (MlP2) Umur 6 Minggu
........................... Anatomi Jaringan Batang Manii (MlP2) Umur 8 Minggu
....................... Anatomi Jaringan Batang Manii (MlP2) Umur 10 Minggu
......................... Anatomi Jaringan Batang Manii (M 1 P2) Umur 12 Minggu
........................ Anatomi Jaringan Batang Manii (MlP2) Umur 14 Minggu
......................... Anatomi Jaringan Batang Manii (MlP2) Umur 16 Minggu
.............................. Rasio Pertumbuhan Xilem Dan Floem Anakan Mahoni
..................... Anatomi Jaringan Batang Mahoni (MOPO) Umur 2 Minggu
...................... Anatomi Jaringan Batang Mahoni (MOPO) Umur 4 Minggu
....................... Anatomi Jaringan Batang Mahoni (MOPO) Umur 6 Minggu
........................ Anatomi Jaringan Batang Mahoni (MOPO) Umur 8 Minggu
...................... Anatomi Jaringan Batang Mahoni (MOPO) Umur 10 Minggu
..................... Anatomi Jaringan Batang Mahoni (MOPO) Umur 12 Minggu
...................... Anatomi Jaringan Batang Mahoni (MOPO) Umur 14 Minggu
...................... Anatomi Jaringan Batang Mahoni (MOPO) Umur 16 Minggu
........................ Anatomi Jaringan Batang Mahoni (MlP2) Umur 2 Minggu
........................ Anatomi Jaringan Batang Mahoni (MlP2) Umur 4 Minggu
....................... Anatomi Jaringan Batang Mahoni (MlP2) Umur 6 Minggu
....................... Anatomi Jaringan Batang Mahoni (MlP2) Umur 8 Minggu
32e . Anatomi Jaringan Batang Mahoni (MlP2) Umur 10 Minggu ..................... 76
32f . Anatomi Jaringan Batang Mahoni (MlP2) Umur 12 Minggu ..................... 76
32g . Anatomi Jaringan Batang Mahoni (M 1 P2) Umur 14 Minggu ...................... 76
32h . Anatomi Jaringan Batang Mahoni (MlP2) Umur 16 Minggu ..................... 76
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Hasil Analisis Laboratorium Serapan Unsur Hara Makro dan Mikro
pada Berbagai Perlakuan Terhadap Anakan Manii dan Mahoni .......... 93
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Deforestasi atau kerusakan hutan di Indonesia saat ini sudah sangat memprihatinkan,
Menurut Badan Planologi Kehutanan (2005), selama lima tahun terakhir laju kemsakan
hutan tersebut mencapai 1,6-2,O juta hektar per tahun, sementara kemampuan
pemerintah dalam merehabilitasi hutan dan lahan baru mencapai 700,000 hektar
(Departemen Kehutanan, 2004). Dengan tingginya tingkat deforestasi tanpa diimbangi
dengan kegiatan rehabilitasi lahan dan hutan yang memadai, maka ha1 ini akan
mengakibatkan kemsakan hutan menjadi semakin parah.
Salah satu usaha yang telah dilakukan pemerintah untuk mencegah terjadinya deforestasi
yang lebih luas, adalah dengan mencanangkan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan
Lahan (GNRHL). Kegiatan yang telah dimulai sejak tahun 2003 tersebut temtama
dititikberatkan pada kawasan hutan lindung dan hutan produksi yang terdegradasi
(Departemen Kehutanan, 2004). Kegiatan ini diharapkan dapat memulihkan fungsi
kedua kawasan tersebut baik sebagai pelindung sistem penyangga hidrologis, pengatur
tata air yang secara tidak langsung dapat mendukung kelestarian produksi dan kualitas
sumberdaya hutan, maupun memperbaiki iklim mikro serta meningkatkan kesejahteraan
masyarakat di sekitar hutan.
Dalam program GNRHL jenis tanaman yang digunakan disarankan mempakan jenis
tanaman andalan setempat. Hal ini secara logis dapat dimengerti, karena tanaman
tersebut secara alami mempakan jenis tanaman yang cocok dengan kondisi lingkungan
setempat. Hal lain yang disarankan berkaitan dengan pemilihan jenis tanaman adalah
penggunaan jenis serbaguna dan tanaman introduksi yang telah beradaptasi dengan
kondisi agroklimat setempat. Untuk daerah Jawa Barat misalnya, Manii (Maesopsis
eminii Engl.) dan Mahoni (Switenia macrophylla King) yang telah banyak ditanam ole11
masyarakat. Kayu yang dihasilkan memiliki banyak kegunaan, antara lain sebagai kayu
konstruksi, bahan baku pembuatan kotak dan tiang (Balai Besar Teknologi Perbenihan,
2000).
Untuk menunjang keberhasilan program GNRHL, salah satu faktor yang sangat penting
adalah penggunaan bibit tanaman yang berkualitas, yaitu yang sehat atau bebas dari
penyakit, berbatang tunggal, pangkal batang berkayu dan tinggi minimal 30 cm
(Departernen Kehutanan, 2004). Pentingnya syarat pangkal batang bibit harus berkayu
pada dasarnya ditujukan agar bibit memiliki kekuatan secara fisiologis untuk dapat
hidup pada kondisi lingkungan yang kurang mendukung (lingkungan marjinal)
sekalipun.
Berkaitan dengan salah ciri bibit tanaman berkualitas yaitu pangkal batang berkayu,
secara langsung maupun tidak langsung akan mendorong berbagai pihak terkait untuk
mengetahui kapan atau pada usia berapa bibit suatu jenis tanaman dapat memiliki
karakteristik tersebut. Hal ini menjadi sangat penting, pertama setiap jenis tanaman
memiliki karakteristik morfologis dan fisiologis yang berbeda satu dengan lainnya,
akibatnya bisa diduga usia bibit antar jenis tanaman yang memenuhi kriteria tersebut
akan berbeda satu dengan lainnya. Kedua adalah diperlukannya suatu usaha silvikultur
yang dapat mempercepat proses pembentukan kayu pada setiap jenis bibit tanaman
yang akan diusahakan. Hal ini akan berdampak pada proses percepatan penyediaan bibit
tanaman yang berkualitas pada saat diperlukan.
Secara umum usaha silvikultur yang dapat dilakukan untuk menunjang pengadaan bibit
yang bennutu adalah melalui kegiatan pemupukan. Dengan pemupukan ketersediaan
unsur hara yang diperlukan akan terjamin. Berkaitan dengan ha1 tersebut, pupuk fosfat
alam merupakan salah satu jenis bahan penyubur tanaman yang sudah lama dikenal di
Indonesia. Pupuk jenis ini banyak digunakan terutama untuk meningkatkan produksi
pada perkebunan karet, kelapa sawit, teh, tanaman pangan dan buah-buahan (Kusartuti,
1989). Selain pemupukan, penggunaan mikroorganisme seperti mikoriza dapat pula
meningkatkan kualitas bibit yang dihasilkan. Penggunaan mikoriza pada dasarnya
ditujukan untuk membantu tanaman dalam penyerapan unsur-unsur hara dari dalam
tanall. Jenis mikoriza yang dapat berasosiasi dengan jenis tanaman Manii dan Mahoni
adalah jenis yang termasuk endomikoriza FMA (Fungi Mikoriza Arbuskula).
Meski penggunaan pupuk fosfat alam dan mikoriza telah dikenal baik sebagai sumber
penyedia dan membantu dalam penyerapan unsur hara, namun seberapa besar peran dari
kedua faktor tersebut dalam pembentukan kayu masih belum banyak diketahui. Bahkan
secara lcbih rinci apakah penggunaan kedua faktor tersebut dapat mempengaruhi
percepatan proses pembentukan kayu pada bibit tanaman. hingga saat ini belum banyak
diketahui. Penelitian mengenai saat terbentuknya kayu pada bibit tanaman hutan barn
dilakukan pada beberapa jenis tanaman, antara lain Gmelina arborea dan nangka
(Artocarpus hete~ophylus) (Rizkiana, 2005) serta jati (Tectona grandis) (Tavita, 2000).
Akan tetapi penelitian-penelitian tersebut dilakukan hanya sebatas pada pengamatan
terhadap waktu terbentuknya kayu secara alami, tidak berkaitan dengan upaya
mempercepat proses pembentukan kayu, yang mungkin dapat dilakukan melalui suatu
perlakuan tertentu.
Oleh karena itu dalam upaya menunjang program GNRHL isu penting yang perlu
dicarikan jalan keluahya adalah tidak saja pada kemampuan penyediaan bibit
berkualitas, namun lebih jauh adalah upaya percepatan pembentukan kayunya. Dimana
salah satu isu krusial yang berkaitan dengan ha1 ini adalah perlunya suatu teknologi yang
mampu mempercepat proses pembentukan kayu pada bibit tanaman, khususnya pada
jenis Manii dan Mahoni.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang sebagaimana di atas, maka beberapa pertanyaan yang
ditujukan sebagai rangkuman dalam perurnusan masalah adalah:
a. Pada umur berapakah pembentukan kayu pada bibit tanaman Manii dan Mahoni
dalam keadaan normal, dalam artian tidak dilakukan perlakuan secara khusus?
b. Pemberian pupuk fosfat alarn dan FMA baik secara terpisah maupun dalam bentuk
kombinasinya dapat memperbaiki mutu bibit, namun apakah kedua perlakuan ini
secara umum terbukti mempercepat proses pembentukan kayu. Bila terbukti
signifikan, berapa besar dosis yang marnpu memberikan dampak percepatan yang
paling optimal pada kedua jenis tanaman tersebut?
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh pupuk fosfat alam dan FMA
terlladap pertumbuhan dan masa pembentukan kayu pada bibit Manii dan Mahoni.
Hipotesis
a. Penggunaan pupuk fosfat alam dapat memprcepat pertumbuhan dan masa
pembentukan kayu pada bibit Manii dan Mahoni.
b. Penggunaan FMA dapat mempercepat pertu~nbuhan dan masa pembentukan kayu
pada bibit Manii dan Mahoni.
c. Interaksi antara pupuk fosfat alam dan FMA dapat mepercepat pertumbuhan dan
masa pembentukan kayu pada bibit Manii dan Mahoni
Kerangka Penelitian
Kebutuhan akau bibit yang bermutu untuk
-.---.-----
GNRHL semakin meningkat
!
+
1 1 1 1
L _ _ . _ _ _ -
mempercepat proses obyektif guna mengetahui
pernbentukau kayu (Phospat kisaran usia bibit mulai
Gambar 1. Kerangka penlikiran penelitian
+
I
Informasi waktu pembentukan
kayu masih belum lengkap untuk
masing-masing jenis tanaman
I -
Berbatang
Tunggal
Tinggi Minimal
30 cm Batang
Berkayu
Bibit Sehat
-
Pangkal
Tolok ukur batang sudah
berkayu atau belum, masih
bersifat subyektif
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian mengenai peng&uh kombinasi penggunaan pupuk fosfat alam dan
fungi mikoriza arbuskula ini diharapkan dapat memperkaya kasanah pengetahuan dan
memberikan masukan kepada masyarakat kehutanan umumnya, serta kepada para
peneliti dalam bidang pembibitan khususnya, dalam rnenentukan standar mutu bibit
yang berkualitas. Disisi lain informasi dari hasil penelitian ini lebih jauh dapat
memberikan masukan guna peningkatan mutu bibit khususnya jenis Manii dan Mahoni,
kaitannya dalam mempercepat terbentuknya kayu pada kedua jenis tanaman tersebut.
TINJAUAN PUSTAKA
Tinjauan Umum Tentang Kayu
St rukt ur Kayu
Secara umum yang dimaksud dengan struktur kayu adalah kumpulan massa atau
elemen-elemen sel yang tersusun sedemikian rupa berdasarkan perbedaan bentuk,
ukuran serta fungsinya yang disebabkan oleh aktifitas kambium ke arah dalam batang
selama masa pertumbuhan (Wangaard, 1981).
Pengamatan terhadap struktur atau pun komponen sel-sel penyusun kayu dapat
dilakukan secara makroskopis, mikroskopis dan submikroskopis. Struktur yang dapat
diamati secara makroskopis adalah warna kayu, kayu teras, kayu gubal dan iingkaran
tumbuh. Karakter fisik lainnya yang clapat diamati meliputi rasa, bau, tekstur, kilau dan
serat. Pengamatan mikroskopis dapat dilakukan terhadap seluruh elemen penyusun kayu
beserta dimensinya serta saluran interseluler. Sedangkan pengamatan secara
submikroskopis dapat dilakukan pada struktur renik pada dinding sel kayu yaitu berupa
mikrofibril dan makrofibril (Haygreen & Bowyer, 1982).
Komponen Kimia Sel-sel Kayu
Pada umumnya komponen kimia kayu daun lebar (hardwood) dan kayu daun jarurn
(sofiwood) terdiri dari tiga fraksi (Dirjen Kehutanan, 1976), yaitu : (1) fraksi
karbohidrat (holoselulosa) terdiri dari selulosa dan hemiselulosa , (2) fraksi non
karbohidrat yaitu lignin dan (3) fraksi yang diendapkan dalam kayu selama masa
pertumbuhan yang dinamakan zat ekstraktif. Haygreen dan Bowyer (1982) menyatakan
bahwa komponen penyusun unsur-unsur kimia dalam kayu terdiri dari karbon (50 %),
hidrogen (6 %), nitrogen (0,04 - 0,10%), dan abn (0,20 - 0,40%). Sisanya adalah
oksigen. Abu mengandung unsur-unsur seperti kalsium, kalium, magnesium, mangan
dan silikon.
Peranan Unsur Hara dalam Pembentukan Kayu Tropis
Kandungan mineral pada kayu ternyata sangat rendah, yaitu hanya berkisar antara 0,2 -
1,0% (Larcher, 1980). Unsur kalsium (Ca) dan Kalium (K) merupakan unsur yang
paling banyak dijumpai pada abu kayu, yaitu hampir mencapai 50 % (Larcher, 1980)
Unsur lain yang juga merupakan komponen abu terbanyak adalah unsur P dan sisanya
merupakan unsur mikronutrien lainnya (Kramer & Kozlowski, 1960).
Organ-organ tumbuhan memiliki kandungan nutrien yang berbeda-beda (Larcher,
1980). Daun memiliki kandungan mineral terbanyak karena garam-garam hasil
evapotranspirasi terkonsentrasi pada organ tersebut. Cabang atau ranting yang kecil
memiliki kandungan mineral lebih banyak dibandingkan kayu yang sudah tua. Daerah
kambium diduga juga memiliki kandungan mineral yang tinggi namun belum ada data
yang mengungkapkan besarnya konsentrasi mineral pada organ tersebut (Kramer &
Kozlowski, 1960; Larcher, 1980). . .
Pertumbuhan Pohon
Produksi Kayu dan Kulit
Kayu (xilem) terdapat di sebelah dalam selubung kulit yang terdiri dari lapisan dalam
(floem) dan lapisan pelindung kulit luar (kulit). Selama pohon tumbuh, pohon
menambahkan kayu yang baru sehingga memperbesar diameter batang dan cabang.
Selain itu pula kulit juga ditambahkan untuk mengganti kulit yang pecah dan
mengelupas ketika batang tumbuh membesar (Haygreen & Bowyer, 1982).
Pertumbuhan Primer dan Sekunder Batang
Pertumbuhan pohon dapat terjadi dalam dua arah, yaitu petumbuhan tinggi
(pertumbuhan vertikal) dan pertumbuhan diameter (pertumbuhan horizontal) (Harada &
Cote, 1984). Pertumbuhan meninggi dihasilkan oleh jaringan yang terdapat di pucuk
apikal dimana jaringan tersebut bersifat meristematik, yaitu akan terus membelah secara
berulang membentuk sel-sel baru. Jaringan tersebut dikenal sebagai meristem apikal
yang akan menghasilkan jaringari primer (Harada & Cote, 1984). Daerah pucuk apikal
yang merupakan daerah dimana awal terjadinya proses pertumbuhan terbagi menjadi
dua daerah yaitu tunika dan korpus. Bidang tunika membelah secara antiklinal (tegak
lurus permukaan) sedangkan bidang pembelahan korpus ke segala arah (Mauseth, 1988).
Pertumbuhan diameter atau pertumbuhan sekunder berasal dari hasil kegiatan meristenl
lateral, yaitu yang disebut kambium vaskuler. Jaringan-jaringan yang dihasilkan
merupakan jaringan sekunder (Harada & Cote, 11984). Haygreen dan Bowyer (1982)
menyatakan bahwa prokambium merupakan satu jaringan primer yang berdiferensiasi
menjadi berkas-berkas vaskuler primer yang &an membentuk xilem primer dan floem
primer. Sebagian dari prokambium yang terletak di antara xiIem dan floem primer akan
berdiferensiasi menjadi kambium vaskuler. Proses selanjutnya merupakan pembentukan
kambium intervaskuler yang merupakan gabungan dari kambium vaskuler untuk
membentuk jaringan xilem dan floem sekunder.
Kambium Vaskuler
Kambium vaskuler terdiri dari suatu cincin selebar satu sampai beberapa sel
meristematik. Sel-sel penyusunnya terdiri dari dua macam, yaitu sel-sel yang panjang
dan ramping yang disebut inisial ksiform dan sel-sel yang pendek dan membulat yang
disebut inisial jari-jari. Sel-sel inisial fusiform akan membelah berulang-ulang
membentuk inisial kambium yang baru atau sel-sel xilem dan floe111 yang baru,
sementara inisial jari-jari akan membentuk jari-jari xilem atau floem atau pun inisial
jari-jari yang baru (Panshin & de Zeeuw, 1980).
Pembentukan xilem dan floem baru merupakan pembelahan secara periklinal, yaitu
pembelahan sejajar permukaan batang pada bidang tangensial. Sedangkan pembentukan
sel-sel inisial baru melalui pembelahan secara radial disebut sebagai pembelahan
antiklinal (Panshin & de Zeeuw, 1980).
Pembelahan Kambium
Sel-sel yang membelah secara periklinal &an membentuk dua macam sel, dimana satu
diantaranya masih tetap bersifat meristematik dan menjadi bagian dari kambium. Sel
yang lainnya akan menjadi sel induk xilem dan floem. Sel-sel tersebut kemudian akan
berkembang ke arah radial dan mungkin akan membelah satu atau beberapa kali
sebelum berkembang menjadi elemen xilem atau floem dewasa. Pendewasaan sel-sel
meliputi pertambahan diameter dan panjang, serta pertumbuhan yang diikuti dengan
penebalan dinding sel dan akhirnya diikuti dengan proses lignifikasi. Disamping itu
pula, sel-sel inisial fusiform akan membelah secara antiklinal yaitu menurut bidang yang
tegak lurus dengan permukaan radial atau membelah secara miring menurut bidang
lintang dalam rangka pembesaran kambium (Harada & Cote, 1982; Fahn, 1995).
Pertambahan diameter batang pohon dapat terjadi akibat adanya pembelahan sel-sel
kambium ke arah dalam (xilem sekunder). Pertambahan diameter ini harus diimbangi
pula dengan adanya pertambahan keliling kambium. Faktor-faktor yang menentukan
terjadinya pengembangan keliling kambium antara lain adalah pertumbuhan diameter
inisial fusiform dan inisial jari-jari serta pertambahan jumlah sel-sel inisial jari-jari
(Haygreen & Bowyer, 1982).
Mikoriza
Mikoriza merupakan suatu bentuk hubungan simbiosis mutualisme antara asosiasi fungi
(nyces) dan perakaran (rhyza) tumbuhan tingkat tinggi. Dalam hubungan ini cendawan
tidak merusak atau membunuh tanaman inangnya, tetapi memberikan sesuatu
keuntungan kepada tanaman inang (host) dan sebaliknya cendawan dapat memperoleh
karbohidrat dan faktor pertumbuhan laimya dari tanaman inangnya (Setiadi, 1992).
Manfaat yang dapat diperoleh tanaman inang dengan adanya mikoriza ini antara lain:
meningkatnya penyerapan unsur hara, meningkatnya ketahanan terhadap kekeringan,
dan tahan terhadap serangan patogen akar (Fakuara, 1988). Selain itu pula mikoriza
dapat menghasilkan hormon dan zat pengatur tumbuh (Setiadi, 1992).
Mikoriza dapat dikelompokkan menjadi tiga golongan besar berdasarkan struktur tubuh
dan infeksinya terhadap tanaman inang yaitu ektomikoriza, endomikoriza yang biasa
dikenal dengan nama Fungi Mikoriza Arbuskula dan ektendomikoriza (Setiadi, 1989).
Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA)
Berdasarkan taksonominya, FMA termasuk ke dalam kelas Zygomycetes, ordo
Glomales yang terbagi ke dalam 5 (lima) famili yaitu : Gigasporaceae, Glomaceae
Acaulosporaceae, Paraglomaceae, dan Archaeosporaceae Selanjutnya FMA ini
diklasifikasikan menjadi 8 (delapan) genus yaitu: Archaeospora, Glomus, Sclerocystis,
Acaulospora, Entrophospora, Paraglomus, Gigaspora, dun Scutellospora (INVAM,
ZOOS).
Karakteristik yang dimiliki oleh FMA yaitu dijumpai adanya 2 (dua) organ khusus di
dalam jaringan akar yang terinfeksi yaitu arbuskula dan vesikel. Menurut Setiadi
(1992), arbuskula diduga berperan sebagai pemindah unsur hara, yaitu yang terjadi dari
lingkungan luar ke cendawan dan selanjutnya baru ke dalam sistem perakaran Yesikel
berbentuk oval dan menggelembung yang terdapat pada hifa. Struktur khusus ini
mengandung minyak dan kadang-kadang berbentuk globul tunggal yang besar dan pada
akar yang tua juga berfungsi sebagai spora istirahat.
Secara umum proses infeksi FMA pada akar tanaman terjadi melalui empat tahap yaitu
1) induksi perkecambahan spora dan pertumbuhan hifa, 2) kontak antara hifa dan
permukaan akar yang menyebabkan terjadinya pengenalan dan pembentukan
apresorium, 3) penetrasi hifa ke dalam akar, dan 4) perkembangan struktur arbuskula
internal dan kemudian akan diikuti dengan proses simbiosis yang fungsional (Bonfante
& Perotto, 1995).
Peranan FMA dalam Meningkatkan Pertumbuhan Tanaman
Simbiosis antara tanaman dan FMA bersifat saling menguntungkan, dimana tanaman
mengirimkan 10-20% hasil fotosintesis untuk kegiatan pembentukan, pemeliharaan dan
pengaktifan struktur mikoriza dan sebaliknya tanaman memperoleh bantuan dalam
penyerapan unsur hara, terutama jika kondisi persediaan fosfor di tanah terbatas, maka
tanaman yang diinfeksi oleh FMA dapat menyerap lebih banyak P dibandingkan
tanaman yang tidak diinfeksi (Jakobsen & Rosendah, 1990 dala~n Prematuri, 1998).
Setiadi (1998) menyatakan bahwa FMA mempunyai kemampuan untuk berasosiasi
dengan hainpir 90% jenis tanarnan, sehingga dapat diaplikasikan secara luas baik pada
pertanian, hortikultura, perkebunan, kehutanan dan tanaman pakan ternak.
Biasanya tanaman yang bermikoriza mempunyai pertumbuhan yang lebili baik
dikarenakan status nutrisi tanaman tersebut dapat ditingkatkan atau diperbaiki (Setiadi,
1998 b). Adanya peningkatan pertumbuhan pada tanaman yang bermikoriza ini sering
dikaitkan dengan peningkatan serapan P pada tanaman. Bolan (1991) menyatakan
bahwa fosfor merupakan unsur hara utama yang dapat diserap oleh tanaman
bermikoriza. Selain itu pula, hifa eksternal FMA ini juga mampu mengangkut unsur
hara lain ke tanaman.
Pemupukan
Secara umum pemupukan dapat diartikan sebagai penambahan zat hara ke dalam tanah
(Hardjowigeno, 1989). Dengan adanya penambahan hara tersebut ke dalam tanah maka
dapat memberikan pengaruh yang baik pada pertukaran ion, memperbaiki struktur tanah,
meningkatkan pertumbuhan dan juga daya tahan terhadap serangan hama dan penyakit
(Sosrosoedarjo dan Rifai, 1982). Kegiatan pemupukan di persemaian dapat digunakan
untuk menghasilkan bibit yang berkualitas untuk ditanam di lapang.
Selanjutnya dalam kegiatan pemupukan, beberapa ha1 yang perlu diperhatikan adalah:
jenis tanaman, jenis tanah, jenis pupuk, dosis pupuk, waktu dan cara pemupukan
(Hardjowigeno, 1989).
Fosfat Alam
Fosfat alam dikenal juga dengan nama rock phosphate. Umumnya dijumpai dalam
bentuk flour apatit dengan formula 3Ca(P04)2.CaF2 dan memiliki sejumlah komponen
minor seperti klorida, silika, bahan organik dan garam-garam metal seperti besi,
aluminium, magnesium dan lain-lain (Ayyer dan Akolkar, 2000). Fosfat alam
inerupakan sumber hara P dan bersifat dapat melepaskan fosfat secara lambat (slow
release) dan kelarutan P-nya akan makin tinggi dengan meningkatnya kernasaman tanah.
Menurut Harjanto (1986), sumber fosfat di Indonesia terdiri dari fosfat gua dan batu
kapur terfosfatisasi yang umumnya dijumpai pada lokasi tertentu pada pegunungan
gamping atau dolomitik. Deposit yang sekarang mulai diusahakan dalam skala kecil
banyak dijumpai di Pulau Jawa, seperti di Jawa Barat (sekitar Bogor, Ciamis dan
Tasikmalaya), Jawa Tengah (daerah Kebumen dan Pati), Jawa Timur (sekitar Surabaya,
Lamongan, Tuban, Sampang, pulau-pulau sekitar Madura), Kalimantan (Banjarmasin),
Kepulauan Flores dan Papua dengan kandungan P205 berkisar antara 1% sampai 36%
(Kusartuti, 1987).
Kualitas pupuk fosfat alam dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu sifat mineralogi,
kelarutan, besar butir, kadar karbonat bebas, kadar PzOs total dan jenis deposit batuan
fosfat. Efektivitas penggunaan fosfat alam sangat ditentukan oleh reaksi kimia, ukuran
butir, sifat-sifat tanah, waktu dan cara aplikasi, takaran fosfat alam, jenis tanaman dan
pola tanam (Rajan et al, 1996). Penggunaan fosfat alam secara Iangsung tergantung dari
jenis atau sumber fosfat alam dan jenis tanah. Menurut Mursidi (!987) berdasarkan
kelarutan mineral fosfat dan sifat tanah, maka Ca-P harus digunakan pada tanah masam,
sedangkan A1-P dan Fe-P atau (Ca, Al, Fe)- P harus digunakan pada tanah netral atau
basa. Disamping itu pula faktor lain yang mempengaruhi efektivitas dari fosfat alam
ini menumt %a dan Guissou (1996) dalam Muin (2003) adalab status mikoriza pada
tanaman. Tanaman yang diinokulasi dengan FMA akan memanfaatkan lebih banyak
fosfor larut yang berasal dari fosfat alam daripada tanaman yang tidak bermikoriza
(Antunes dan Cardoso, 1991).
Pengaruh Pemupukan Terhadap Simbiosis FMA
Pengaruh pemupukan terhadap perkembangan FMA sangat bervariasi tergantung pada
bermacam-macam faktor diantaranya kandungan bahan organik tanah, tingkat
kesuburan awal tanah, ketergantungan tanaman inang terhadap simbiosis FMA serta
jenis FMA yang digunakan (Sukarno, 1998).
Setiadi (1998) menyatakan bahwa pemberian pupuk fosfat dalam bentuk mudah larut
sering memberikan efek negatif terhadap pertumbuhan FMA, sedangkan sebaliknya jika
menggunakan pupuk yang tidak mudah larut seperti batuan fosfat mempunyai efek yang
positif. Namun tidak semua penelitian menunjukkan hasil yang demikian.
Faktor keseimbangan nutrisi dalam pupuk (pupuk seimbang) ternyata dapat
mempengaruhi respon tanaman terhadap FMA. Sukarno (1998) menyebutkan bahwa
pemberian pupuk N dan P yang tinggi secara individu kepada tanaman dapat berakibat
negatif terhadap pertumbuhan FMA. Namun jika diberikan dalam bentuk pupuk
seimbang (N-P-K) pada konsentrasi yang sama memberikan pengaruh yang lebih baik
dibandingkan jika aplikasinya secara individu.
Tinjauan tentang Maesopsis enzirrii Engl.
Maesopsis eminii Engl. termasuk ke dalam famili Rhamnaceae dan dikenal dalam dunia
perdagangan sebagai Kayu Manii. Jenis ini tumbuh tersebar secara alami di daerah
tropika timur Afrika. Tanaman ini di Indonesia diintroduksi pertama kali di daerah
Jawa Barat (Badan Litbang Kehutanan Dan Perkebunan, 2000).
Jenis ini tumbuh baik pada ketinggian 100 - 1500 m di atas permukaan laut, dengan
curah hujan 1400 - 3600 mmltahun. Tumbuh baik pada solum tanah yang dalam, subur,
bebas genangan air, dan juga toleran terhadap tanah yang tidak subur, tanah berpasir dan
asam.
Bentuk pohon meranggas, tinggi mencapai 45 m dengan bebas cabang 213 tinggi total.
Kulit batang benvarna abu-abu pucat, beralur dalam, kulit dalam merah tua. Daun
sederhana, duduk daun saling berhadapan, panjang 6-15 cm dengan tepi daun bergerigi.
Tandan terdiri dari banyak bunga, sepanjang ketiak dam, panjang 1-5 cm. Bunga kecil
berkelamin ganda, mahkota putih kekuningan (Balai Besar Teknologi Perbenihan
2000).
Di Malaysia jenis ini memiliki dua periode musim berbunga yaitu pada bulan Februari -
Mei dan Agustus - September. Sedangkan musim buah masak di daerah Jawa Barat
terjadi pada bulan Juli - Agustus. Buah yang telah masak dicirikan oleh warna kulit
buah ungu kehitaman ( Balai Besar Teknologi Perbenihan, 2000).
Pengekstraksian benih dapat dilakukan dengan cara merendam buah di dalam air selama
satu hari dan pembersihan daging buahnya dilakukan dengan bantuan alat food
processor atau secara manual. Sisa daging buah yang menempel pada kulit benih harus
dibersihkan dengan sikat atau pasir untuk mencegah terjadinya serangan jamur.
Benih yang akan dikecambahkan, sebelum ditabur diberi perlakuan pendahuluan yaitu
dengan merendam benih di dalam larutan HzS04 (20 N) selama 20 menit untuk
meningkatkan daya berkecambahnya (Kumiaty, 1987). Benih dikecambahkan dengan
menggunakan media campuran pasir dan tanah 1 : 1 (vlv) yang telah disterilisasi.
Penyapihan bibit dapat dilakukan untuk kecambah normal yaitu setelah tumbuh
sepasang daun . Wadah bibit yaitu berupa kantong plastik berukuran 10 cm x 15 cm,
dengan medium carnpuran tanah, pasir dan kompos (7 : 2 : 1). Untuk mempercepat
pertumbuhan bibit dapat dilakukan pemupukan dengan NPK (5 g/l air) yang diberikan
setelah bibit berumur tiga minggu. Dosis yang digunakan yaitu sebanyak 1 sendok teh
per bibit dengan frekuensi pemberian 1 - 2 kali setiap dua minggu. Beberapa ha1 yang
perlu diperhatikan dalam melakukan penyapihan bibit yaitu :
(a)
akar tanaman tidak boleh ada yang terlipat atau patah,
(b)
bibit yang disapih hanya bibit yang sehat dan
(c)
penyapihan hanya dilakukanpada waktu pagi atau sore hari.
Tinjauan tentang S~vietetzia mncroplzylla King
Swietenia macrophylla King termas.uk ke dalam famili Meliaceae dan dikenal di dunia
perdagangan sebagai kayu Mahoni. Jenis ini tumbuh pada daerah dengan ketinggian
tempat berkisar antara 100-1200 m dpl. Jenis ini tumbuh pada zona lembah, menyebar
luas secara alami atau dibudidayakan terutama di Asia bagian Selatan dan Pasifik dan
Afrika Barat (Badan Litbang Kehutanan Dan Perkebunan ,2000).
Pohon selalu hijau dengan tinggi antara 30-35 cm. Kulit berwarna abu-abu dan halus
ketika masih muda, berubah menjadi warna coklat tua, menggelembung dan mengelupas
setelah tua. Daun bertandan dan menyirip yang panjangnya berkisar 35-50 cm, tersusun
bergantian, halus berpasangan, 4-6 pasang daun, panjangnya berkisar 9-18 cm. Bunga
kecil berwarna putih, panjang 10-20 cm, malai bercabang (Badan Litbang Kehutanan
Dan Perkebunan, 2000).
Musim berbunga dan berbuah terjadi setiap tahun pada tegakan sejak berumur 10 - 15
tahun, akan tetapi pembentukan buah akan menurun bila polinator (serangga) berkurang.
Pembentukan bunga sampai bwah masak memerlukan waktu 9-12 bulan. Biasanya
pembungaan terjadi pada saat pohon menggugurkan dam atau pada saat daun baru
mulai m~mcul sesaat sebelum musiin hujan (Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan.
2001).
Ekstraksi benih dapat dilakukan dengan cara memecah buah, kemudian benih
dikeluarkan. Benih tersebut dibersihkan dengan memotong sayap benih pada bagian atas
(diusahakan tidak sampai merusak struktur bagian dalam benih). Benih ditaburkan
dengan cara berbaring rata dengan media atau ditanam berdiri 1-2 cm di dalam media.
Media yang dapat digunakan adalah pasir, tanah atau campurannya (1:1, 1:2).
Kelompok benih yang baik mutunya dapat mencapai daya berkecambah 90-
1 OO%.(Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan, 2001).
Kadar air benih yang sesuai untuk penyimpanan berkisar 3-5%. Agar dapat
berkecambah dengan baik, maka setelah benih disimpan, diusahakan disemaikan di
bawah naungan berat. Biasanya bibit siap tanam setelah berumur 3 bulan (Direktorat
Perbenihan Tanaman Hutan, 2001).
METODOLOGI PENELITIAN
Waktu dan Tempat
Penelitian dilakukan di Rumah Kaca dan Laboratorium Mikrobiologi Pusat Litbang
Hutan Dan Konservasi Alam (P3H dan KA), Laboratorium Biologi Tanah Departemen
Tanah Institut Pertanian Bogor, dan di Laboratorium Silvikultur BIOTROP Bogor.
selama 6 (enam) bulan, mulai September 2006 sampai Maret 2007.
Bahan dan AIat
Bahan penelitian yang digunakan adalah benih Manii dan Mahoni yang berasal dari
Balai Teknologi Perbenihan Bogor, media tanah Oxisol yang diambil pada kedalaman
0 - 20 cm dari Arboretum Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam Bogor, inokulum
FMA Glonzus sp BA 13 koleksi Laboratorium Mikrobiologi Puslitbang Hutan Dan
Konservasi Alam, Bogor, pupuk fosfat alam yang berasal dari Citeureup Bogor, pupuk
dasar yaitu pupuk tunggal dalam bentuk Urea, Sp 36 dan KCI, polybag ukuran 10 cm x
15 cm, bahan kimia untuk pembuatan preparat mikrotom dan pewarnaan alcar : larutan
FAA (Formalacecic acid) 1%, safani~z 2%, aquadest, alkohol lo%, 30%, 50%, 70%, 96
%, xylol mumi, entkellan, HCI 2%, KOH lo%, HzOz, asam laktat 90%, gliserol 87%
dan acidfuchsin.
Alat-alat yang digunakan adalah bak kecambah ukuran 100 cm x 60 cm, ayakan tanah
ukuran 2 mm, mistar, kaliper, gembor, tabung bekas rol film, pinset, scalpel, cawan
petri, kaca obyek, kaca penutup, erlenmeyer, mikrotom penyayat, gunting, mikroskop
binokuler dan mikroskop compound, neraca analitik Ohaus Analytical Plus, oven,
steamer untuk sterilisasi tanah, kamera Nikkon 8015, film Fuji ASA 200, dan alat tulis.
Metode Penelitian
Rancangan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan percobaan Faktorial dengan rancangan
Acak Lengkap. Faktor-faktor yang dicobakan yaitu penggunaan pupuk fosfat alam
sebanyak 3 (tiga) taraf dan dosis inokulum FMA 3 (tiga) taraf. Seluruh percobaan
diulang 30 (tiga puluh) kali. Perlakuan yang diberikan terdiri dari :
a. Dosis pupuk fosfat alam (P) terdiri dari 3 (tiga) taraf, yaitu :
Po = tanpa pupuk fosfat alam
P, = dosis pupuk fosfat alam 0.50 glpolybag
P2 = dosis pupuk fosfat alam 1 .OO glpolybag
b. Dosis inokulum FMA (M) terdiri dari 3 (tiga) taraf, yaitu :
Ma = tanpa pemberian FMA
MI = dosis FMA 2.5 glpolybag (setara dengan 50 spora)
Mz = dosis FMA 5.0 glpolybag (setara dengan 100 spora)
Model rancangan menurut Gomez & Gomez (1986) adalah sebagai berikut :
Yijk = U + Ai + B, + (AB),j. + Ejjk
Dimana :
Yijk
= nilai pengamatan pada satuan percobaan ke-k yang memperoleh pengaruh
pemberian inoku!um FMA taraf ke-i dan pemberian pupuk fosfat alam
taraf ke-j
U = nilai rataan umum
Ai
= pengaruh pemberian inokulum FMA taraf ke-i. i = 1, 2, 3
B,
= pengaruh pemberian pupuk fosfat alarn taraf ke-j, j= 1,2, 3
ABij = pengaruh interaksi pemberian inokulum FMA taraf ke-i dan pemberian
pupuk fosfat alam taraf ke-j.
EVk
= pengaruh galat dari satuan percobaan ke-k yang memperoleh pengaruh
pemberian inokulum FMA taraf ke-i dan pupuk fosfat alam taraf ke-j
Dengan ulangan masing-masing perlakuan sebayak 30 (tigapuluh) bibit tanaman,
maka jumlah seluruh unit percobaan untuk masing-masing jenis tanaman adalah
3 x 3 x 30 = 270 unit.
Pelaksanaan Percobaan
Inokulasi Bahan Tanaman
a. Persiapan benih
Benih Manii dan Mahoni yang akan dikecambahkan diseleksi terlebih dahulu
dengan cara memilih biji yang memiliki ukuran yang relatif sama besar dan
bentuknya baik. Untuk benih Manii perlakuan pendahuluan yang diberikan yaitu
dengan merendam benih dalam air dingin selama 24 jam Sedangkan untuk benih
Mahoni tidak memerlukan perlakuan pendahuluan, jadi langsung ditabur (Badan
Litbang Kehutanan Dan Perkebunan, 2000).
b. Penyiapan media perkecambahan
Media untuk perkecambahan benih Manii dan Mahoni yaitu berupa campuran
pasir dan tanah 1:1 (14v) yang telah terlebih dahulu disterilisasi. Benih Manii
dan Mahoni kemudian ditaburkan pada media perkecambahan. Apabila benih
sudah mulai berkecambah yaitu ditandai dengan munculnya sepasang daun,
maka dilakukan pemindahan ke media sapih.
c. Penyiapan media sapih
Media sapih yang digunakan yaitu jenis tanah Oxisol yang telah diayak dan
dibersihkan dari kotoran berupa ranting, daun atau batu. Sterilisasi media
dilakukan dengan cara memasukkan tanah tersebut ke dalam steamer dan proses
ini memakan waktu sekitar 7 (tujuh) jam. Media untuk penyapihan dimasukkaxi
ke dalam masing-masing polybag lebih kurang sebanyak 600 g, kemudian diberi
pupuk dasar dalam bentuk pupuk tunggal yaitu 0.0125 g SP36, 0,0292 g KC1 per
polybag yang setara dengan 15 kg per Ha Pz05 dan 50 kg per Ha KzO. Urea
diberikan sebanyak 0.0130 g setara dengan 20 kg per Ha N. Media sapih
kemudian ditutup dan dibiarkan selarna 3 (tiga) hari.
d. Inokulasi FMA
Inokulurn FMA Glomus sp BA 13 diberikan ke media sapih dengan cara
menebarkan media zeolit yang berisi FMA secara merata. Dosis isolat FMA
yang diberikan sebanyak 2,5 glpolybag dan 5.0 glpolybag sesuai dengan
perlakuan.
e. Pemberian pupuk fosfat alam
Pemberian pupuk fosfat alam dilakukan dengan cara menaburkan pupuk ke
dalam media sapih sebelum dilakukan penyapihan. Dosis yang dipakai sebesar
0.50 glpolybag dan 1.00 glpolybag sesuai dengan kombinasi perlakuan yang
diberikan. Kegiatan ini dilakukan bersamaan waktunya dengan pemberian
inokulum FMA.
f. Penyapihan
Beberapa ha1 yang perlu diperhatikan dalam melakukan penyapihan yaitu a k a
tanaman tidak boleh terlipat atau patah, bibit yang disapih hanya bibit yang
sehat, dan penyapihan dilakukan pada pagi atau sore hari. Penyulaman bibit
yang mati dapat dilakukan dalam kurun waktu seminggu setelah tanam (1 MST).
g. Pemeliharaan bibit
Pemeliharaan yang dilakukan meliputi kegiatan penyiangan, penyiraman dan
pengendalian hama dan penyakit. Penyiraman dilakukan untuk menjaga
ketersediaan air bagi tanaman, dilakukan sekali dalam dua hari tergantung
kondisi kelembaban pada media tumbuh. Penyiangan dilakukan dengan
mencabut gulma yang tumbuh pada media tumbuh. Sedangkan untuk mencegah
terjadinya serangan hama dan penyakit dilakukan penyemprotan dengan
insektisida dan fungisida.
Pemeriksaan anatomi jaringan batang anakan
a. Pembuatan contoh uji
Contoh uji diambil sebanyak 3 (tiga) bibit dari masing-masing perlakuan.
Pengambilan contoh dilakukan setiap selang umur bibit 2 (dua) MST sampai
terjadi pembentukan kayu pada bibit. Pembuatan contoh uji dilakukan dengan
cara mengambil potongan atau irisan melintang pada batang anakan. Pembuatan
irisan dilakukan pada ketinggian lebih kurang 113 dari tinggi bibit. Selanjutnya
potongan batang tersebut dijadikan preparat mikrotomnya dengan mengacu pada
metode Sass (1958).
b. Parafinasi
Kegiatan ini dilakukan dengan cara memasukkan parafin ke dalam rongga pada
jaringan kayu (bibit). Parafin yang digunakan yaitu parafin keras.
c. Pembenaman (Enzbeddiizg)
Pembenaman merupakan penyimpanan materi ke dalam parafin dengan tujuan
untuk memudahkan dalam penyayatan tanpa merusak jaringan. Pembenaman
dilakukan di dalam cetakan parafin yang berisi parafin cair. Potongan contoh uji
segera dimasukkan ke dalam cetakan sebelum parafin tersebut mengeras. Arah
dari contoh uji dapat diatur dengan menggunakan pinset yaitu disesuaikan
dengan arah potongan yang diinginkan. Setiap contoh uji tersebut diberi label
dan dikeluarkan dari cetakan setelah parafin mengeras.
d. Penyayatan
Balok parafin yang telah berisi potongan contoli uji ditempelkan pada penjepit
yang terdapat pada mesin mikrotom Penjepit tersebut dapat diatur sehingga
permukaan contoh uji dapat dibuat sejajar dengan pisau penyayat. Pengaturan
ini diperlukan agar dapat diperoleh hasil sayatan yang sesuai dengan yang
diinginkan.
e. Pe~varnaan (Stairzing)
Pewarnaan dilakukan dengan tujuan agar bagian-bagian tertentu pada sel terlihat
lebih menonjol, sehingga akan mempermudah dalam pengamatan. Bahan
pewarna yang digunakan adalah Safranin 2% yang dilarutkan di dalam aquades.
Perendaman sayatan di dalam larutan pewarna dilakukan minimal selama 8
(delapan) jam.
f. Penjernihan (Clenrirtg) dan Pengeringan
Proses penjernihan dimaksudkan untuk menghilangkan zat pewrarna (safranin)
yang berlebihan pada jaringan sehingga mempermudah dalam pengamatan.
Proses ini dilakukan dengan mencelupkan jaringan yang telah diberi pewarna ke
dalam larutan alkohol dan xylol. Secara lengkap proses penjernihan tersebut
dapat dilihat pada Gambar 2.
Zat Pewarna
I
Alkohol 10% (I 0 menit)
1
( Xylol Murni (10 menit) (
Alkohol Absolut PA
(1 0 menit)
Garnbar 2. Proses Penjernihan Contoh Uji
g. Penempelan Sayatan (Mountirzg)
Setelah dilakukan proses penjemihan, sayatan contoh uji kemudian ditempelkan
pada kaca obyek kemudian diteteskan perekat enthellan dan ditutup dengan kaca
penutup agar sayatan melekat dengan sempurna, kaca obyek diletakkan pada alat
pemanas.
h. Pengukuran
Pada pengamatan sayatan contoh uji secara mikroskopis ini dilakukan
pengukuran terhadap proporsi sel penyusun jaringan xilem, floein, kambium dan
empulur.
i. Pewarnaan akar
Pewarnaan akar dilakukan untuk mengetahui persen infeksi FMA. Kegiatan ini
dilakukan pada setiap waktu pengambilan sampel (setiap 2 minggu). Contoh
akar diambil dengan menggunakan alat cork-borer. Contoh akar yang telah
diambil diwarnai (distaining) dengan prosedur yang dilakukan di Pusat
Penelitian Bioteknologi IPB Bogor, yang merupakan modifikasi metode Phillip
dan Hayman (1970) sebagai berikut : Akar dari bibit yang sudah diambil dicuci
dengan air biasa sampai bersih. Bagian akar yang masih mudatserabut diambil
dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi kemudian diberi larutan KOH 10%
ditunggu sampai akar benvarna kuning bersih. Larutan KOH tersebut dibuang.
Jika akar masih benvama gelap ditambahkan larutan alkalin H202, kemudian
dibilas dengan air, lalu direndam dalam larutan HCl 5% selama beberapa menit.
Tahap berikutnya larutan tersebut dibuang dan ditambahkan larutan lactophenol
acid fuchsin. Kemudian dipanaskan pada suhu 85 OC selama 20-30 OC. Larutan
staining kemudian dibuang dan dicuci dengan air. Kemudian aka-aka tersebut
diletakkan di dalam cawan petri dan dibilas dengan larutan glyceral lactic acid
atau lactophenol. Selanjutnya akar dipotong-potong sepanjang 1 cm kemudian
disusun pada kaca obyek (setiap kaca obyek terdiri dari 10 potong akar), dan
diamati di bawah mikroskop compound dengan perbesaran 100 x. Jumlah aka
yang terinfeksi dari 10 potong akar tersebut dicatat. Persentase akar. yang
terinfeksi dihitung berdasarkan rumus :
Contoh a ka yang terinfeksi
Akar terinfeksi (%) = x 100%
Seluruh contoh akar yang diamati
Pengukuran dan Pengamatan Parameter
Parameter yang diamati dalam penelitian ini meliputi parameter pertumbuhan dan
pengamatan anatomi jaringan bibit untuk melihat saat terbentuknya kayu.. Secara rinci
parameter-parameter yang diukur serta waktu pengamatannya disajikan pada Tabel 1
berikut:
Tabel 1. Paramater yang Dianlati serta Waktu Pengamatan
Teknik pengukuran yang dilakukan untuk masing-masing parameter yang diamati adalah
sebagai berikut:
a. Tinggi bibit
Pengukuran tinggi bibit dilakukan mulai titik bekas kotiledon hingga titik
Waktu Pengamatan
2 MST - 14 MST
16 MST
No
1
2
tertinggi (meristem apikal) pada batang. Pengukuran tinggi bibit dilakukan
setiap dua minggu sekali selama masa pengamatan.
Parameter
Tinggi, Diameter, Anatomi, Persen infeksi Akar
Tinggi, Diameter, Anatomi, BKT, NPA, Kekokohan
Bibit, Persen Infeksi Akar, Serapan hara, RFMD
b. Diameter batang
Pengukuran diameter batang dilakukan dengan menggunakan kaliper.
Pengukuran diameter dilakukan pada bagian batang di atas kotiledon (113 tinggi
bibit). Pengukuran dilakukan setiap dua minggu sekali selama masa pengamatan.
c. Bcrat kering total (BKT)
Nilai berat kering total diperoleh dengan melakukan penimbangan biomassa
bibit yang telah dioven selama 48 jam pada suhu 70' ~. Nilai tersebut dinyatakan
dalam satuan gram.
d. Nisbah pucuk akar (NPA)
Nilai ini menggambarkan perbandingan antara berat kering bagian pucuk dengan
bagian akar bibit.
e. Nilai kekokohan bibit
Nilai kekokohan bibit diperoleh dengan membandingkan tinggi dan diameter
batang
f. Persen infeksi FMA
Pengukuran persen infeksi ini dilakukan pada setiap selang waktu 2 (dua)
minggu bersamaan dengan saat pengambilan contoh uji untuk pembuatan
preparat mikrotom. Kegiatan ini dilakukan dengan menggunakan uji pewarnaan
akar, sehingga dapat diketahui persen infeksi mikoriza terhadap akar.
g. Indeks mutu bibit (IMB)
Indeks mutu bibit diukur berdasarkan persamaan (Bickelhaupt, 1980 dalarn
Hendromono, 2005) :
Indeks Mutu Bibit (Q) =
BK pucuk (g) + BK akar (g)
(Tinggi bibit (cm) I BK pucuk
Tinggi bibit (cm) ' BK akar (cm))
Bibit yang baik dan mampu bertahan hidup di lapangan jika memiliki nilai
Q > 0,09.
h. Relativefield inycorrhiza dependency ( RFMD)
Nilai RFMD menunjukkan tingkat ketergantungan suatu tanaman terhadap FMA
pada suatu tingkat kesuburan tanah tertentu dan dinyatakan dalam persen.
Rumus RFMD menurut Hettrick dan Wilson (1993) adalah sebagai berikut :
BK Tanaman dg mikoriza - BK tanaman tanpa mikoriza
Nilai RFMD = X 100%
BK tanarnan dg mikoriza
i. Analisa jaringan
Analisa jaringan dilakukan untuk mengetahui kandungan dan serapan unsur hara
makro (N, P, Ca , Mg dan K) serta unsur hara mikro (Fe, Cu, Zn dan Mn) akibat
penggunaan mikroorganisme.
j. Pembentukan kayu
Pengamatan pembentukan kayu dilakukan dengan cara mengambil contoh uji
masing-masing bibit setiap 2 (dua) minggu sekali dan dilakukan pemeriksaan
anatomis jaringannya yang meliputi pembentukan prokambium, empulur, xilem
dan floem.
k. Karakteristik sifat fisik dan kimia tanah
Analisis sifat fisik dan kimia tanah dilakukan pada awal dan akhir masa
penelitian.
Analisis Data
Untuk mendapatkan informasi mengenai pengaruh faktor-faktor pertumbuhan yang
meliputi pupuk dan FMA, terhadap variabel pengamatan dilakukan dengan
menggunakan analisis deskriptif. Untuk membandingkan faktor-faktor tersebut akan
digunakan analisis ragam (variance analysis). Sedangkan untuk mengetahui pola
pertumbuhan dari paramater yang diamati seperti diameter batang dan tinggi tanaman,
terhadap waktu, akan dilakukan analisis dengan regresi. Untuk membantu perhitungan
dalam analisis, digunakan perangkat lunak SPSS 13.
HASIL DAN PEMBAHASAN
HASIL
Berdasarkan serangkaian aktivitas sesuai dengan metodologi yang telah dijelaskan pada
bab terdahulu, maka secara runtun hasil-hasil yang telah diperoleh dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut:
Tinggi Batang
Hasil pengamatan tinggi batang serta analisisnya, baik untuk tinggi batang anakan
Manii dan Mahoni, adalah sebagai berikut.
Tinggi Batang Manii
Hasil p e n e a n rata-rata tinggi anakan Manii mulai dari urnur 2 hingga 16 Minggu
Setelah Tanam (MST) disajikan pada Gambar 3.
0 2 4 6 8 10 12 14 16 18
Waktu (MST)
Gambar 3. Pola Rataan Pertumbuhan Tinggi Batang Anakan Manii
Secara umum pertumbuhan tinggi batang anakan Manii hingga umur 16 MST
menunjukkan pola yang relatif sama, yakni tak linear. Pertumbuhan anakan Manii
dengan perlakuan M2P2 sejak urnur 8 MST menunjukkan tingkat pertumbuhan yang
relatif lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Bahkan mulai umur 12
MST pertumbuhan tinggi hasil perlakuan tersebut terlihat paling dominan. Sementara itu
rataan tinggi perlakuan M2P1 dan M2PO menunjukkan pertumbuhan yang relatif paling
rendah
Untuk mengetahui lebih rinci pengaruh perlakuan terhadap pertumbuhan tinggi anakan
Manii, pada Gambar 4 diperlihatkan sebaran pertumbuhan tinggi batang anakan Manii
sebagai respon perlakuan yang diberikan. Gambar ini merupakan Boxplot yang lazim
digunakan untuk melihat sebaran data, posisi nilai tengah (rataan), simpangan data dan
untuk mengetahui adanya pengamatan ekstrim atau pencilan (outlier.). Secara visual
terlihat bahwa setiap kombinasi perlakuan menunjukkan pola yang berbeda-beda (tak
linear). Tampak bahwa perlakuan M2P2 menunjukkan rataan respon yang paling tinggi,
sedangkan kombinasi perlakuan M2P1 menunjukkan ha1 sebaliknya.
Posphat
m 0
0 1
Micorhiza
Gambar 4. Boxplot Respon Tinggi Anakan Manii Umur 16 MST
Untuk mengetahui seberapa besar tingkat signifikansi perbedaan rataan tinggi anakan
Manii pada umur 16 MST, dilakukan pengujian hipotesis dengan menggunakan Analisis
Ragam, yang hasilnya dicantumkan pada Tabel 2. Berdasarkan hasil pengujian analisis
ragam, pengaruh interaksi perlakuan M dan P terhadap pertumbuhan tinggi anakan
Manii sangat nyata (p=0.001). Hal ini membuktikan bahwa efek perlakuan FMA
terhadap tinggi batang berbeda-beda pada dosis fosfat yang berbeda. Akibatnya
perlakuan baik FMA maupun fosfat tidak bisa diterjemahkan secara parsial dalam artian
taraf-taraf perlakuan pada masing-masing perlakuan tidak layak untuk diperbandingkan
satu sama lain, meskipun memiliki pengaruh yang nyata (Gomez & Gomez 1986).
Tabel 2. Hasil Analisis Ragarn Tinggi Batang Anakan Manii
Pola Pertumbuhan Tinggi Batang Manii
Untuk mengetahui pola pertumbuhan tinggi batang Manii selarna kurun waktu
pengamatan dilakukan analisis regresi, hasilnya ditampilkan pada Gambar 5 (Gambar
5a-Gambar 59. Dari hasil analisis regresi diketahui bahwa secara m u m pola
pertumbuhan batang Manii mengikuti pola polinomial berderajat tiga (kubik). Pada
umur hingga 12 MST pola pertumbuhan terlihat menaik secara cepat, setelah memasuki
umur 13 MST pertumbuhan tinggi batang mulai melambat, seperti kurva sigmoid yaitu
kurva berbentuk huruf S.
Sumber
Keragaman
M
P
M' P
Galat
Total
Jumlah
Kuadrat
670,784
1107,154
3003,031
9591.333
160338,750
Derajat
Bebas
2
2
4
72
81
Minggu Setelah Tanam
Minggu Setelah Tenam
50
E
-
c
2
: ro.
m
t
" "
F
20.
10,
Gambar 5a. Pola Perturnbuhan Tinggi Batang Gambar 5b. Pola Perlumbuhan Tinggi Batang
anakan Manii Perlakuan MOP0 anakan Manii Perlakuan MIPO
Jumlah
Kuadrat
Tengah
335,392
553.577
750,758
133,213
0 2 4 5 li 10 12 14 16 I8 0 2 1 5 1 20 11 14 ( 6 111
I.
y= .99-1.261~+0,648~~-0.026~~
F
2,518
4,156
5,636
I:; M
-
c
5 20
c
.- - rn
7 I 0
Nilai P
,088
,020
,001
-
Minggu Setelah Tanam
Gambar 5c. Pola Pertumbuhan Tinggi Batang
anakan Manii Perlakuan MOP1
Minggu Setelah Tanam
Gambar 5e. Poia Pertumbuhan Tinggi Batang
anakan Manii Perlakuan MOP2
Minggu Setelah Taoam
Gambar 5d. Pola Pertumbuhan Tinggi Batang
anakan Manii Periakuan Ml Pl
Minggu Setelah Tanam
Gambar 5f. Pola Pertumbuhan Tinggi Batang
anakan Manii Periakuan M1P2
Minggu Setelah Tanam
Minggu Setelah Tanam
Gambar 5g. Poia Pertumbuhan Tinggi Batang
Gambar 5h Pola Pertumbuhan Tinggi anakan
anakan Manii Perlakuan M2PO
Manii Periakuan M2P1
Gambar 5i. Pola Pertumbuhan Tinggi Balang
anakan Manii Perlakuan M2P2
Dari semua kombinasi perlakuan pada anakan Manii, perlakuan M2P2 menunjukkan
pertumbuhan yang paling tinggi, ha1 ini terlihat dari rataan tinggi hingga mencapai 54
cm pada umur 16 MST. Fakta ini menunjukkan bahwa M2P2, merupakan kombinasi
yang relatif paling optimal dibandingkan perlakuan lainnya. Hal menarik lainnya
adalah hampir semua kombinasi perlakuan memiliki pola sigmoid, dimana hingga umur
12 MST terjadi pertumbuhan yang sangat cepat, namun setelah melewati umur 12 MST
terjadi pertumbuhan yang melambat.
Tinggi Batang Mahoni
Risalah rataan pertumbuhan tinggi batang anakan Mahoni untuk masing-masing
kombinasi perlakuan sejak umur 2 hingga 16 MST disajikan pada Gambar 6. Rataan
pertumbuhan tinggi batang anakan Mahoni yang tertinggi diperoleh pada perlakuan
MlP2.
--t MOPO
-MOP1
+MlPO
+MIPI
e M I P 2
t M2PO
- M2P1
- M2P2
0 2 4 6 8 10 12 14 16 18
Waktu Pertumbuhan (MST)
Gambar 6. Pola Rataan Pertumbuhan Tinggi Batang Anakan Mahoni
Secara umum pola pertumbuhan tinggi anakan Mahoni mengikuti pola linear, namun
bila dibandingkan dengan anakan Manii, pertumbuhan anakan Mahoni dapat dikatakan
relatif lebih lambat, dimana rataan tinggi hingg apada mum 16 MST baru mencapai
kurang lebih 25 cm. Selain itu tampak bahwa hampir semua kombinasi perlakuan
memiliki kemiripan atau keragamannya rendah baik dari pola maupun dari rataan
tingginya.
Rendahnya tingkat keragaman respon dari berbagai kombinasi perlakuan
mengindikasikan tidak ada perlakuan baik secara parsial maupun interaksi yang
memberikan dampak yang h a t pada pertumbuhan tinggi anakan Mahoni.
Secara visual hal ini diperkuat dari hasil Boxplot tinggi anakan Mahoni pada Gambar 7
berikut. Tampak bahwa perlakuan MOPO meskipun hampir relatif sama tingginya
dengan perlakuan M2P2 namun dari sisi keragaman M2P2 lebih stabil, demikian juga
dengan perlakuan lainnya. Hal ini menunjukkan pemberian M dan P berpeluang
meningkatkan pertumbuhan tinggi anakan Mahoni, namun pada dosis yang diujikan ha1
tersebut tidak terlihat nyata.
Phospat
m 0
0 3 9 7 0 7
Michoriza
Gambar 7. Boxplot Respon Tinggi anakan Mahoni unur 16 MST
Hasil analisis ragam (Tabel 3) menunjukkan bahwa pemberian perlakuan FMA (M)
dan pupuk fosfat alam tidak berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan tinggi batang
anakan Mahoni. Berdasarkan hasil ini dapatlah disimpulkan bahwa pemberian M dan P
pada dosis yang diujikan belum mampu memberikan percepatan pertumbuhan tinggi
anakan Mahoni. Tidak berbedanya pelakuan yang diberikan dibandingkan dengan
kontrol (MOPO) menandakan bahwa dosis perlakuan yang diujikan perlu ditingkatkan
guna marnpu melewati minimum ambang batas pertumbuhan tinggi anakan Mahoni.
Tabel 3. Hasil Analisis Ragam Tinggi Batang Mahoni
F
1,356
,232
,108
Jurnlah
Kuadrat
Tengah
13,040
2.235
1,040
9,616
Nilai P
,264
,793
,979
Derajat
Bebas
2
2
4
72
81
-
Surnber
Keragaman
M
P
M* P
Galat
Total
Jumlah
Kuadrat
26,080
4,469
4,160
692.333
48299,500
Pola Pertumbuhan Tinggi Batang Mahoni
Untuk mengetahui pola pertumbuhan tinggi batang Mahoni dilakukan analisis regresi
untuk masing-masing kombinasi perlakuan, hasilnya ditampilkan pada Gambar 8
(Gambar 8a-8i). Secara ulnum terlihat bahwa pola pertumbuhan tinggi batang
mengikuti pola eksponensial. Berdasarkan rentang waktu pengamatan hingga 16 MST,
pertumbuhan tinggi batang Mahoni pada umur 2 MST hingga 12 MST tinggi batang
menunjukkan pertumbuhan yang agak landai, nalnun pada rentang umur 12 - 16 MST
pertumbuhan tinggi mengalami peningkatan yang cepat.
N*nggu Selclrh Tsmm
Gambar 8a. Pola Perturnbuhan Tinggi anakan
Mahoni Perlakuan MOP0
:vl
Y
rn
?
B
lb
0 2 1 B I ,O 32 t l 18 1)
Gambar 8c. Pola Perturnbuhan Tinggi anakan
Mahoni Perlakuan MOP1
Gambar 8b. Pola Perturnbuhan Tinggi anakan
Mahoni Perlakuan MIPO
Gambar Ed. Pola Perturnbuhan Tinggi anakan
Mahoni Perlakuan Ml Pl
Minpgu Selelah Tanam
Gambar 8e. Pola Pertumbuhan Tinggi anakan
Mahoni Perlakuan MOP2
Minggu Selelah Tanam
Gambar 8g. Pola Pertumbuhan Tinggi anakan
Mahoni Perlakuan M2PO
~i nggu Sa~clahTanam
Gambar 8f. Pola Pertumbuhan Tinggi anakan
Mahoni Perlakuan MIP2
Minggu Selelah Tanam
Gambar 8h. Pola Pertumbuhan Tinggi
anakan Mahoni Perlakuan M2P1
Minggu Setelah Taoam
Gambar 8i. Pola Pertumbuhan Tinggi anakan
Mahoni Perlakuan M2P2
Bila diperhatikan secara seksama hampir semua kombinasi perlakuan kecuali MOP0
terjadi pertumbuhan yang relatif lambat hingga umurl2 MST, namun terjadi suatu
loncatan setelah waktu 12 MST. Sementara untuk perlakuan yang lain pertumbuhan
mengikuti suatu pola percepatan yang stabil terutama pada perkuan M2P0, M1P2 dan
M2P2. Hal ini dapat mengindikasikan bahwa, pemberian perlakuan mampu
memberikan pola pertumbuhan yang teratur sejak awal.
Diameter Batang
Diameter Batang Manii
Pertumbuhan diameter anakan Manii mulai umur 2 hingga 16 MST untuk semua
kombinasi perlakuan disajikan pada Gambar 9. Berdasarkan hasil rataan diameter yang
diperoleh dapat dilihat bahwa pertumbuhan diameter batang anakan tertinggi yaitu
sebesar 0.40 cm, diperoleh pada pemberian perlakuan M2P2. .
i
0 2 4 6 8 10 12 14 16 18
Waktu (MST)
Gambar 9. Pola Rataan Pertumbuhan Diameter Batang Anakan Manii
Dari Gambar 9 dapat dilihat pola pertumbuhan diameter Manii untuk masing-masing
jenis perlakuan dapat dikatakan landai hingga umur 8 MST dan mulai meningkat setelah
umur 8 MST. Kombinasi perlakuan M2P2 menunjukkan pertumbuhan diameter yang
relatif lebih tinggi dibandingkan kombinasi perlakuan lainnya.
Pola Pertumbuhan Diameter Batang Manii
Pada Gambar 10 (10a-10i) disajikan model perturnbuhan diameter anakan Manii yang
diduga dengan menggunakan analisis regresi. Sebagai catatan satuan waktu yang
digunakan dalam gambar merupakan kelipatan dua, artinya angka 1 menandakan 2
MST.
Minggu Setelah Tanam
Gambar 10a. Pola Pertumbuhan Diarnater anakan
Manii Perlakuan MOP0
Minggu Setelah Tanam
Garnbar 10c. Pola Pertumbuhan Diarnater anakan
Manii Perlakuan MOP1
Minggu Selelah Tanam
Garnbar lob. Pola Pertumbuhan Diamater anakan
Manii Perlakuan MlPO
Minggu SetelahTanam
Garnbar 10d. Pola Pertumbuhan Diamater anakan
Manii Perlakuan MI PI
Y= 0.0024.1701t4.0897I?
Y= 0.2392-0.048714.0139t2-0.000813
Minggu Setelah Tanam
Minggu Setelah Tanam
Gambar 10e. Pola Pertumbuhan Diamater anakan
Gambar 10f. Pola Pertumbuhan Diamater anakan
Manii Perlakuan MOP2
Manii Perlakuan M1P2
Minggu Setelah Tanam
Minggu Setelah Tanam
Gambar 109. Pola Petumbuhan Diamater anakan
Gambar 10h. Pola Pertumbuhan Diamater anakan
Manii Perlakuan M2PO
Manii Perlakuan M2P1
. . . . . . . . . I
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 4 0
Minggu SelelahTanam
Garnbar 10 i. Pola Petumbuhan Diamater anakan
Manii Perlakuan M2P2
Gambar 10 menunjukkan bahwa secara umum pola pertumbuhan diameter batang Manii
mengikuti pola eksponensial hingga derajat tiga (pola kubik). Pada umur hingga 8 MST
pola pertumbuhan terlihat sangat landai, setelah memasuki umur 9 MST pertumbuhan
diameter mulai cepat, dimana terjadi loncatan pertambahan nilai yang agak tinggi.
Pada perlakuan MOPO, MIPO, MOP2, dan M2PO pertumbuhan diameter tidak
menunjukkan pola yang jelas. Hal ini terlihat dari plot diameter batang seakan-akan
mengikuti kaidah fungsi tangga, yaitu tidak menunjukkan pola pertumbuhan yang stabil
(steady). Sementara untuk perlakuan lainnya (MOPI, Ml Pl , MlP2, M2P2 dan M2P1),
pertumbuhan diameter batang Manii relatif stabil, artinya percepatan pertumbuhan
mengikuti pola tertentu.
Untuk mengetahui seberapa besar dampak perlakuan yang diberikan terhadap parameter
diameter ini pada 16 MST, secara deskriptif pada Gambar 11 disajikan boxplot diameter
Manii. Terlihat bahwa secara umum perlakuan M2 dampaknya lebih rendah
dibandingkan dengan MO dan MI, namun kombinasinya dengan P2 atau perlakuan
M2P2, memberikan dampak yang terbesar. Hal ini mengindikasikan faktor interaksi
sangat kuat pengaruhnya terhadap pertumbuhan diameter.
Gambar 11. Boxplot Respon Diameter Batang Manii Umur 16 MST
Berdasarkan hasil analisis ragam sepeti disajikan pada Tabel 4, terlihat bahwa interaksi
perlakuan FMA dan fosfat memiliki pengaruh sangat nyata.
Dimana kombinasi perlakuan FMA dan pupuk fosfat alam masing-masing pada dosis
MIPI dan M2P2 memiliki dampak tertinggi terhadap pertumbuhan diameter batang
anakan Manii. Sementara kombinasi perlakuan M2PO dan M2P1 memiliki respon yang
paling rendah. Bahwa bertambahnya dosis FMA pada kondisi tanpa fosfat (PO) respon
diameter Manii semakin meningkat. Hal ini tidak dijumpai pada kondisi dosis FMA
lainnya.
Tabel 4. Hasil Analisis Ragam Diameter Batang Manii umur 16 MST
Diameter Brtaog Mahoni
Pada Gambar 12 disajikan rataan pertumbuhan diameter anakan Mahoni mulai umur 2
hingga 16 MST. Secara umum pola pertumbuhan diameter yang terjadi pada anakan
Mahoni mengikuti pola polinomial: melandai pada awal pertumbuhan hingga umur 10
MST, setelah itu terjadi loncatan pertumbuhan diameter.
Sumber
Keragaman
M
P
M * P
Galat
Total
Jumlah
Kuadrat
Tengah
,009
,018
,018
,003
Jumlah
Kuadrat
,019
,036
,072
,206
9,588
F
3,249
6,257
6,281
Derajat
Bebas
2
2
4
72
81
Nilai P
,045
,003
,000
0 2 4 6 8 10 12 14 16 18
Waktu Pertumbuhan (MST)
1 I
Gambar 12. Pertumbuhan Diameter batang Mahoni Umur 2-16 MST
Dari Gambar 12 terlihat bahwa, secara urnurn tidak terdapat perlakuan yang memberikan
dampak yang ekstrim pada pertumbuhan diameter Mahoni, bahkan hingga pada umur 16
MST, besarnya diameter batang pada masing-masing perlakuan menunjukkan besar
yang relatif sama.
Pofa Pertumbuhan Diameter Batang Mahoni
Untuk mengamati pola pertumbuhan masing-masing perlakuan, pada Gambar 13
(Gambar 13a-13i) disajikan pendugaan pola pertumbuhan dengan mengunakan analisis
regresi. Satuan waktu pada Gambar menunjukkan kelipatan 2 MST.
Minggu Setelah Tenam
Gambar 13a. Pola Pertumbuhan Diamater anakan
Mahoni Perlakuan MOP0
. l b I
o i i 1 4 1 6 1 1 9 ? 0
Minggu SelelahTanam
Gambar 13c. Pola Pertumbuhan Diamater anakan
Mahoni Perlakuan MOP1
.I4
,32
Minggu Selelah Tanam
Gambar 138. Pola Pertumbuhan Diamater anakan
Mahoni Perlakuan MOP2
Minggu Setelah Tanam
Gambar 13b. Pola Pertumbuhan Diamater anakan
Mahoni Perlakuan MIPO
Minggu Setelah Tanam
Gambar 13d. Pola Pertumbuhan Diamater anakan
Mahoni Perlakuan MI PI
Minggu Selelah Tsnam
Gambar 13f. Pola Pertumbuhan Diamater
anakanMahoni Perlakuan MI P2
Minggu Setelah Tanam Minggu Setelah Tanam
Gambar 139. Pola Pertumbuhan Diamater anakan Gambar 13h. Pola Pertumbuhan Diamater anakan
Mahoni Perlakuan M2PO Mahonii Perlakuan M2P1
Minggu Setelah Taoam
Gambar 13i. Pola Petrumbuhan Diamater anakan
Mahoni Perlakuan M2P2
Pertumbuhan diameter batang anakan Mahoni secara umum mengikuti pola
eksponensial, artinya pada awal waktu, pertumbuhan sangat lambat, namun setelah
melewati waktu tertentu pertumbuhan akan berjalan dengan cepat.
Pola ini sangat
tampak pada perlakuan kontrol. Sementara dengan adanya pemberian perlakuan,
terutama kombinasi MOP2 dan MlPl laju percepatan pertunbuhan menjadi teratur,
artinya pemberian perlakuan FMA dan fosfat mampu mengurangi perlambatan pada
awal peliumbuhan.
Untuk mengetahui bagaimana perbedaan masing-masing kombinasi perlakuan dalam
memberikan pengaruh pada pertumbuhan diameter batang anaka1 Mahoni, pada Gambar
14 disajikan boxplot dari masing-masing kombinasi perlakuan tersebut.
Phospat
Michoriza
Gambar 14. Boxplot Diameter Mahoni Umur 16 MST
Secara umum respon diameter dari masing-masing kombinasi perlakuan tampak tak
perbedaan yang menonjol, namun terdapat indikasi pada perlakuan MOP2 sebaran
responnya lebih cenderung diatas perlakuan lainnya. Hal sebaliknya terjadi pada
perlakuan M2PO.
Berdasarkan hasil analisis ragam (Tabel 5) diketahui bahwa pemberian perlakuan pupuk
fosfat alam berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan diameter batang anakan,
sedangkan pengaruh mikoriza serta interaksinya tidak signifikan pada taraf nyata 5%.
Tabel 5. Hasil Analisis Ragam Diameter Mahoni Umur 16 MST
Nilai P
,856
,004
,708
43
F
,156
5,907
,539
Jumlah
Kuadrat
Tengah
0.000093
,004
,000
,001
Derajat
Bebas
2
2
4
72
81
Sumber
Keragaman
M
P
M* P
Galat
Total
Jumlah
Kuadrat
,000
,007
,001
,043
8.500
Selanjutnya untuk membandingkan dosis perlakuan mana yang paling tinggi digunakan
uji Bonferroni. Terlihat bahwa perlakuan P2 (1.0 g) memberikan dampak paling tinggi
terhadap pertumbuhan diameter batang Mahoni, meskipun pada dosis ini tidak berbeda
dengan dosis PI. Ringkasan hasil uji tersebut disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6. Hasil Uji Nilai Tengah Diameter Mahoni Perlakuan Fosfat
Berat Kering Total (BKT)
Berat Kering Total Manii
Hasil Uji
A
AB
B
Dosis Fosfat
0
1
2
Hasil pengukuran berat kering total anakan Manii dan Mahoni tertera pada Tabel 7.
Berdasarkan hasil yang diperoleh, berat kering total anakan Manii tertinggi pada umur
16 MST diperoleh pada pemberian perlakuan M2P2, dengan nilai sebesar 1,91 g
Nilai Tengah
0,313
0,320
0,336
Tabel 7. Rataan Berat Kering Total Anakan Manii dan Mahoni Umur 16 MS'I
No
1
2
3
Mahoni
Perlakuan
MoPo
MoPl
Mop2
No
1
2
3
Berat Kering
Total (g)
1,47
1,48
1,59
Berat Kering
Total (g)
1,47
1,48
1,59
Manii
Perlakuan
MoPo
MoPl
Mop2
Rasio (%)
100,OO
100,68
108,16
Rasio (%)
100,OO
100,68
108,16
Berat kering
Total (g)
1,53
0,94
1,37
Berat kering
Total (g)
1,53
0,94
1,37
Rasio (%)
100,.00
61,44
89,54
Rasio (%)
100,.00
61,44
89,54
Phospat
Michoriza
Gambar 15. Boxplot Berat Kering Total Anakan Manii Umur 16 MST
Pada Gambar 15 dapat dilihat bahwa dengan adanya pemberian perlakuan FMA (M)
dan pupuk fosfat alam (P) menghasilkan rataan berat kering total anakan Manii yang
beragam, dimana pada dosis M2, semakin tinggi dosis P maka respon berat kering
anakan Manii semakin tinggi pula. Sedangkan respon terendah terjadi pada dosis
MIPO.
Lebih lanjut, berdasarkan analisis ragam (Tabel S), tampak bahwa interaksi perlakuan
antara M dan P memberikan hasil yang sangat signifikan, artinya respon berat kering
total anakan Manii pada setiap dosis M yang berbeda dalam suatu dosis tertentu fosfat
akan memberikan respon berbeda pada dosis fosfat yang lain. Hal ini dapat dilihat
pada Gambar 14. Oleh karenanya untuk membedakan antar dosis pada masing-masing
perlakuan tunggal tidak Iagi relevan, meskipun pada hasil analisis ragam keduanya
lnenunjukkan hasil yang juga signifikan pada taraf 5%.
Tabel 8. Hasil Analisis Ragam BKT Manii Umur 16 MST
Berat Kering Total Mahoni
Pada anakan Mahoni umur 16 MST ternyata BKT tertinggi diperoleh juga pada
pemberian perlakuan M1P2 yaitu sebesar 1.69 g (Tabel 7). Pada Gambar 16 disajikan
sebaran respon berat kering total makm Mahoni untuk masing-masing kombinasi
perlakuan. Terlihat bahwa respon berat kering total tertinggi secara visual diperoleh
pada dosis MlP2, narnun keragaman respon pada dosis MI ini relatif tinggi
dibandingkan dengan dosis M lainnya. Hal ini mengindikasikm adanya pengaruh
interaksi, narnun untuk melihat signifikan tidaknya pengaruh tersebut perlu dilakukan
analisis ragam.
Sumber
Keragaman
M
P
M* P
Error
Total
2.4 .
-
_m 2 . 2 .
0, 2.0 .
C
,-
k
Y 1.8.
+.
m
1.6.
Michoriza
1.4. ~ M O
1.2 . UM~
F
8,314
10.023
5,178
Phospat
Nilai P
,003
,001
,006
Jumlah
Kuadrat
,621
,748
,773
,672
57.941
Gambar 16. Boxplot Berat Kering Total Mahoni
Derajat
Bebas
2
2
4
18
27
Jumlah
Kuadrat
Tengah
,310
,374
,193
,037
Hasil analisis ragam untuk berat kering anakan Mahoni disajikan pada Tabel 9 berikut.
Tampak bahwa meskipun terdapat indikasi perbedaan yang kuat pada interaksi, namun
hasil pengujian menunjukkan perbedaallnya tidak nyata, baik pada perlakuan secara
tunggal maupun secara bersama-sama (interaksi). Hal ini dapat diartikan bahwa
perlakuan yang diberikan pada anakan Mahoni belum cukup siginifikan untuk
menciptakan perbedaan yang diharapkan, meskipun indikasi kearah tersebut terlihat
secara visual.
Tabel 9. Hasil Analisis Ragam BKT Anakan Mahoni Uinur 16 MST
Nisbah Pucuk Akar (NPA)
Surnber
Keragaman
M
P
M' P
Galat
Total
Nisbah Pucuk Akar Manii
Hasil rataan nisbah pucuk akar anakan Manii dan Mahoni disajikan pada Tabel 10.
Berdasarkan hasil yang diperoleh dapat dilihat bahwa NPA tertinggi pada anakan Manii
diperoleh pada pemberian perlakuan MOPl yaitu sebesar 3,55. Sebaran respon NPA
untuk masing-masing kombinasi perlakuan disajikan pada Ganlbar 17.
Jurnlah
Kuadrat
,154
,269
,453
2,634
82,324
Terlihat bahwa pada respon fosfat berbeda-beda pada dosis M yang berbeda. Hal ini
menunjukan adanya indikasi interaksi antar perlakuan tersebut. Respon tertinggi secara
visual diperoleh pada dosis MOPl dengan nilai sebesar 3,55. Sementara respon terendah
dperolehi pada kombinasi M2PO dengan nilai sebesar 2,48.
Derajat
Bebas
2
2
4
18
27
Jumlah
Kuadrat
Tengah
,077
,135
,113
,146
F
,525
,920
,774
Nilai P
,600
,416
,556
Tabel 10. Nilai Rataan NPA Anakan Mahoni dan Manii
Umur 16 MST
4 .
z
2 .
Phospat
Michoriza
Gambar 17. Boxplot NPA Anakan Manii pada Umur 16 MST
Berdasarkan hasil analisis ragam (Tabel 1 l), pemberian kedua perlakuan secara tunggal
tersebut tidak berpengaruh nyata, namun interaksinya sangat berpengaruh nyata terhadap
nilai NPA. Berdasarkan hasil ini dapat disimpulkan bahwa respon tertinggi NPA terjadi
pada saat kombinasi MOP1.
Tabel 1 1. Hasil Analisis Ragam NPA Manii Umur 16 MST
Nisbah Pucuk Akar Mahoni
Sumber
Keragarnan
M
P
M* P
Galat
Total
Hasil rataan NPA pada Tabel 9 terlihat bahwa NPA pada anakan Mahoni yang tertinggi
diperoleh pada pemberian perlakuan MIPO, yaitu dengan nilai sebesar 4,05. Untuk
mengetahui bagaimana pola sebaran nilai rataan NPA tersebut, dapat dilihat pada
boxplot yang tertera pada Gambar 18.
4.5 '
4.0 .
z
3.5 '
Phospat
3.0 . ~S~PO
2.5 . u p 1
Jurnlah
Kuadrat
2.584
,234
7,937
21,645
554.029
Michoriza
Garnbar 18. Boxplot NPA Anakan Mahoni umur 16 MST
Derajat
Bebas
2
2
4
36
45
Pada boxplot di atas terlihat bahwa pemberian perlakuan FMA (MO, M1 dan M2) dan
pupuk fosfat alam menghasilkan pola sebaran nilai rataan NPA yang keragamannya
Jumlah
Kuadrat
Tengah
1,292
,117
1.984
,601
cukup tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa dengan adanya nilai keragarnan yang cukup
tinggi tersebut mengindikasikan bahwa kedua perlakuan tersebut baik secara tunggal
F
2,149
,195
3,300
Nilai P
,131
,824
,021
maupun bersama-sama (interaksi) mampu menunjukkan adanya perbedaan nilai NPA.
Untuk mengetahui perlakuan mana yang berpengaruh secara signifikan terhadap nilai
NPA anakan Mahoni, dapat dilihat pada hasil analisis ragam yang tertera pada Tabel 12.
Tabel 12. Hasil Analisis Ragam NPA Anakan Mahoni Umur 16 MST
Berdasarkan hasil analisis ragam yang tertera pada Tabel 11, dapat dilihat bahwa
pemberian perlakuan FMA dan pupuk fosfat alam pada dosis yang diujikan belum
mampu untuk menghasilkan adanya perbedaan nilai NPA anakan Mahoni.
Nilai Kekokohan Bibit
Nilai Kekokohan Bibit Manii
Pada Tabel 13 dapat dilihat bahwa rataan nilai kekokohan bibit Manii yang tertinggi
diperoleh pada pemberiall perlakuan MOP2 yaitu sebesar 20,02. Perlakuan kontrol
(MOPO) ternyata memiliki nilai kekokohan bibit yang terendah yaitu 15,90.
Tabel 13. Rataan Nilai Kekokohan Bibit Mahoni
dan Manii Umur 16 MST
F
1,138
,440
1,329
Jumlah
Kuadrat
Tengah
,597
,231
,698
,525
1 No I Perlakuan I Manii Mahoni
Nilai P
,342
,651
,297
Derajat
Bebas
2
2
4
18
27
Surnber
Keragaman
M
P
M * P
Galat
Total
Jumlah
Kuadrat
1.195
,462
2.791
9.447
360,295
1
2
3
MoPo
Mop1
Mop2
15,90
19,03
20,02
8,84
10,29
9,53
Pada Gambar 19 dapat dilihat bagaimana pola sebaran rataan nilai kekokohan bibit
Manii sebagai respon dari pemberian perlakuan. Berdasarkan sebaran data tersebut
terlihat bahwa terdapat keragaman yang cukup tinggi sebagai akibat pemberian FMA
pada dosis yang berbeda. Hal ini menunjukkan adanya pengaruh interaksi yang kuat
dari pe~nberian perlakuan tersebut terhadap nilai kekokohan bibit Manii. Untuk dapat
mengetahui bagaimana pengaruh perlakuan terhadap nilai kekokohan bibit maka dapat
dilihat pada hasil analisis ragaln pada Tabel 14.
Berdasarkan hasil analisis ragam ternyata pemberian perlakuan FMA dan pupuk fosfat
alam pada dosis secara parsial belum menunjukkan hasil yang signifikan, namun
interaksinya rne~~~beri kan hasil yang signifikan terhadap nilai kekokohan bibit. Namun
demikian hila disimak lebih jauh respon kekokohan tertinggi terjadi pada saat kombinasi
MOP1 dan MOP2, yang berarti dosis fosfat pada taraf 1 dan 2 mampu memberikan
dampak positif terhadap kekokohan anakan Manii.
22,
-
.-
00
m
c 20.
m
.c
0
Y
0 18.
Y
$ Phospat
16.
aa 0
14 -
0 1
Michoriza
Gambar 19. Boxplot Kekokohan Bibit Anakan Manii Umur 16 MST
Tabel 14. Hasil Analisis Ragam Kekokohan Bibit Anakan Manii Umur 16 MST
Nilai Kekokohan Bibit Mahoni
Untuk anakan Mahoni, nilai rata-rata kekokohan bibit tertinggi diperoleh pada
pemberian perlakuan Ml Pl yaitu sebesar 11,84. Nilai yang diperoleh pada pemberian
perlakuan kontrol (MOPO) ternyata menghasilkan rata-rata nilai yang terendah yaitu
sebesar 8,84. Secara lebih rinci nilai rataan kekokohan bibit Mahoni disajikan pada
Tabel 18. Selanjutnya untuk melihat bagaimana respon pemberian perlakuan FMA dan
pupuk fosfat alam terhadap nilai kekokohan bibit Mahoni dapat dilihat pada Boxplot
pada Gambar 20. Dari hasil boxplot tersebut terlihat bahwa keragaman nilai sebagai
Sumber
Keragaman
M
P
M' P
Galat
Total
respon dan perlakuan yang diberikan juga cukup be~ari asi . Dengan pemberian pupuk
fosfat alanl sebanyak P1 (0.5 g) ternyata menghasilkan nilai kekokohan bibit yang tinggi
dalam i nteraksinya dengan penggunaan dosis MO(0 g) dm MI (2.5 g).
Jumlah
Kuadrat
Tengah
17,139
6,570
18.161
4,836
14 -
2 12.
10. Phospat
mvo
8 -
u p 1
Jumlah
Kuadrat
34,277
13,139
72,643
174,106
13603,182
Michoriza
Gambar 20. Boxplot Kekokohan Bibit Anakan Maho ni Umur 16 MST
F
3,544
1,358
3,755
Derajat
Bebas
2
2
4
36
45
Nilai P
,039
,270
,012
Selanjutnya untuk mengetahui apakah dengan adanya pemberian perlakuan FMA dan
pupuk fosfat alam tersebut dapat mempengaruhi besarnya nilai kekokohan bibit Mahoni,
maka dapat dilihat dari hasil analisis ragamnya (Tabel 15).
Tabel 15. Hasil Analisis Ragam Kekokohan Bibit Anakan Mahoni Umur 16 MST
Berdasarkan hasil analisis ragam dapat dilihat bahwa pemberian perlakuan FMA dan
pupuk fosfat alam belum dapat secara signifikan menghasilkan perbedaan terhadap nilai
kekokohan bibit Mahoni. Dalam ha1 ini pemberian dosis FMA maupun pupuk fosfat
alam tersebut baik secara tunggal maupun dalam bentuk interaksinya belum dapat
menghasilkan pengaruh yang berbeda terhadap niIai kekokohan bibit Mahoni.
Persen Infeksi Akar
Persen Infeksi Akar Anakan Manii
Pada anakan Manii rata-rata persen infeksi akar tertinggi pada umur 16 MST diperoleh
pada pemberian perlakuan M2PO dan M2P2 yaitu masing-masing sebesar 46.7%.
Persen infeksi akar pada umur 4 MST pada perlakuan MlPO, MlP1, M2PO dan M2P1
sempat menurun dibandingkan dengan keadaan pada umur 2 MST. Namun mulai unur
6 MST hingga 16 MST persen infeksi akar cenderung meningkat. Secara lebih rinci
persen infeksi akar anakan Manii disajikan pada Tabel 16.
Surnber
Keragaman
M
P
M* P
Galat
Total
Derajat
Bebas
2
2
4
36
45
Jurnlah
Kuadrat
14,244
5,560
11.458
181,556
4884,832
Jurnlah
Kuadrat
Tengah
7,122
2,780
2,865
5,043
F
1.412
,551
,568
-
Nilai P
,257
,581
,687
Tabel 16. Rataan Persen Infeksi Akar Anakan Manii Umur 2 - 16 MST
Untuk mengetahui bagaimana pola sebaran respon nilai persen infeksi akar pada
anakan Manii sebagai hasil pemberian perlakuan FMA dan pupuk fosfat alam, maka
dapat dilihat pada boxplot yang tertera pada Gambar 21. Berdasarkan hasil pada
boxplot tersebut dapat dilihat bahwa dengan pemberian perlakuan dosis FMA dm pupuk
fosfat alam yang diberikan menghasilkan pola sebaran dengan keragaman yang cukup
bervariasi. Dalam ha1 ini terlihat dengan semakin tinggi dosis FMA d m pupuk fosfat
alam yang diberikan cenderung menghasilkan persen infeksi akar yang tinggi. Hal ini
menunjukkan bahwa dengan adanya keragaman yang cukup bervariasi pada pemberian
perlakuan MOP1 dan Ml Pl memngindikasikan bahwa dengan adanya interaksi kedua
perlakuan tersebut dapat menghasilkan adanya perbedaan nilai persen infeksi akarnya.
Selanjutnya untuk mengetahui pengaruh perlakuan mana yang dapat menghasilkan
perbedaan tersebut, maka dapat dilihat hasil analisis ragam seperti tertera pada Tabel 17.
Mi P2
23,3
23.3
36,7
36,7
40.0
40,O
43,3
43,3
MST
2
4
6
8
10
12
14
16
MOP0
0,o
0.0
0,O
0.0
0,o
0,O
0.0
0.0
M2PO
33,3
23.3
20,O
33,3
36,7
40.0
43.3
46,7
MOP1
0.0
0.0
0.0
0,o
0,O
0.0
0,o
0,o
MIPO
20,O
16,7
23.3
26,7
33,3
36,7
30,O
33,3
MOP2
0.0
0 8
0,o
0.0
0,O
0,o
0,o
0,o
M2P1
33.3
26.7
30,O
30,O
33,3
36,7
40,O
43,3
Ml Pl
26.7
16,7
26,7
30.0
33,3
33,3
36,7
40,O
M2P2
30,O
33,3
30,O
33,3
36,7
40.0
46,7
46,7
Phospat
a
Micorhiza
Gambar..21. Boxplot Infeksi Akar Manii pada 16 MST
Tabel 17. Hasil Analisis Ragam Infeksi Akar Anakan Manii
Berdasarkan analisis ragam tersebut dapat dilihat dengan adanya pemberian dosis FMA
dan pupuk fosfat alam tersebut temyata belum dapat secara signifikan memberikan hasil
yang berbeda, namun terdapat indikasi yang h a t bahwa dengan adanya penggunaan
dosis FMA yang berbeda dapat menghasilkan nilai persen infeksi akar yang berbeda.
Pada Gambar 22 dan Gambar 23 masing-masing merupakan sayatan memanjang akar
anakan Manii umur 1G MST yang terinfeksi Mikoriza, dimana tampak hifa dan
arbuskula.
Sumber
Keragaman
M
P
M * P
Error
Total
Jurnlah
Kuadrat
Tengah
200,000
38.889
50.000
44,444
Jurnlah
Kuadrat
200,000
77.778
100,000
533,333
33000,000
Derajat
Bebas
1
2
2
12
18
F
4,500
,875
1,125
Nilai P
,055
,442
,357
Garnbar 22. Hifa pada akar anakan Manii umur 16 MST, (H : Hifa),
Perbesaran 10x10
Gambar 23. Arbuskula pada akar anakan Manii umur 16 MST (A: Arbusk~
Perbesaran 10x10
Persen Infeksi Akar Anakan Mahoni
Rataan persen infeksi a ka pada anakan Mahoni disajikan pada Tabel 18 . Hasil
pengamatan menunjukkan, nilai tertinggi diperoleh pada perlakuan M2P0, yaitu sebesar
46.7%. Pada umur 4 MST, persen infeksi akar menurun yaitu pada perlakuan M1P2.
Namun setelah umur 6 MST hingga 16 MST persen infeksi akan cenderung meningkat.
Rata-rata persen infeksi terendah dijumpai pada pemberian perlakuan MlPO yaitu
sebesar 30.0%.
Tabel 18. Rataan Persen Infeksi Akar Anakan Mahoni Umur 2- 16 MST
Pada Gambar 24 tertera Boxplot pola sebaran nilai rataan infeksi aka anakan Mahoni
sebagai respon dari pemberian perlakuan FMA dan pupuk fosfat alam.
Berdasarkan
hasil yang diperoleh terlihat bahwa perlakuan MlPO memiliki keragaman yang kecil
bila dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Hal lain dijumpai pada pemberian
perlakuan M2PO dimana memiliki keragaman yang cukup besar. Hal ini
mengindikasikan bahwa dengan adanya interaksi dari kedua perlakuan yang diberikan,
maka dapat menghasilkan perbedaan nilai persen infeksi akar. Selanjutnya untuk
mengetahui ada tidaknya pengaruh perlakuan yang diberikan terhadap nilai persen
infeksi akar anakan Mahoni, maka dapat dilihat pada hasil analisis ragam yang tertera
pada Tabel 19.
M1P2
23,3
20,O
36.7
30,O
30,O
33,3
33,3
36.7
MST
2
4
6
8
10
12
14
16
MOP1
0,o
0.0
0,O
0,o
0,O
0.0
0,O
,oo
MOP0
0,O
0,o
0,o
0.0
0,O
0.0
0,O
0.0
M2PO
16.7
16.7
16,7
16,7
16,7
30.0
40.0
46.7
MOP2
0,0
0,O
0,O
0,O
0,O
0,0
0.0
0,O
M2P1
20,O
20.0
20,O
26,7
23.3
26,7
30,O
33.3
M2P2
20.0
23.3
23.3
26.7
26,7
30,O
33.3
33.3
MIPO
16,7
16,7
23.3
26,7
26,7
26,7
30,O
30.0
Ml Pl
26.7
26.7
30,O
30.0
30,O
30,O
33,3
33,3
Phospat
aa 0
0 1
* . I 1 1 > 3 3
m 2
1 2
Micorhiza
Gambar 24. Boxplot Infeksi Akar Mahoni pada Umur 16 MST
Tabel 19. Hasil Analisis Ragam Infeksi Akar Anakan Mahoni
Berdasarkan hasil analisis ragam di atas dapat dilihat bahwa pemberian perlakuan FMA
dan pupuk fosfat alam temyata pada dosis yang diujikan belum dapat menunjukkan
adanya perbedaan yang signifikan terhadap persen infeksi akar anakan Mahoni.
Indeks Mutu Bibit (IMB)
Indeks Mutu Bibit Manii
F
,696
,304
1,348
Jumlah
Kuadrat
Tengah
88,889
38,889
172.222
127,778
Hasil rataan indeks mutu bibit atiakan Manii dan Mahoni disajikan pada Tabel 20.
Berdasarkan hasil yang diperoleh dapat dilihat bahwa indeks mutu bibit tertinggi untuk
anakan Manii diperoleh pada pemberian perlakuan M2P2. yaitu sebesar 0,lO. Sedangkan
nilai IMB terendah dijumpai pada pemberian perlakuan MOP1 yaitu dengan nilai
sebesar 0,04.
Nilai P
,421
,743
,296
Derajat
Bebas
1
2
2
12
18
Sumber
Keragaman
M
P
M P
Gala!
Total
Jurnlah
Kuadrat
88.889
77,778
344.444
1533.333
24800,000
Nilai Rata-rata Indeks Mutu Bibit Anakan Manii Dan Mahoni
Umur 16 MST
8 Phospat
Michoriza
Gambar 25. Boxplot IMB anakan Manii Umur 16 MST
Sementara itu sebaran respon perlakuan dari masing-masing kombinasi perlakuan M dan
P disajikan pada Gambar 25. Terlihat bahwa respon perlakuan fosfat pada dosis M2
menunjukkan peningkatan linear. Bahkan respon IMB tertinggi diraih pada kombinasi
perlakuan M2P2, sedangkan terendah pada MOPO. Gambar tersebut mengindikasikan
adanya interaksi antar kedua perlakuan yang diberikan.
Indeks Mutu Bibit Mahoni
Untuk anakan Mahoni nilai IMB tertinggi diperoleh pada pemberian perlakuan M2PO
yaitu sebesar 0,18. Nilai IMB terendah diperoleh pada pemberian perlakuan Ml Pl .
yaitu dengan nilai sebesar 0, l l .
Phospat
Z 3 PO
Michoriza
Gambar 26. Boxplot IMB anakan Mahoni Umur 16 MST
Dari Gambar 26 terlihat tidak adanya respon yang cukup ekstrim, yang menandakan
adanya perlakuan yang memberikan respon tertinggi ataupun terendah. Hal ini
mengindikasikan tidak ada perbedaan yang signifikan baik masing-masing perlakuan
secara parsial maupun interaksinya.
Relative Field Mycorrhizal Dependency (RFMD)
Pada Tabel 21 dapat dilihat bahwa nilai RFMD untuk anakan Manii tertinggi diperoleh
pada kombinasi perlakuan MlPO yaitu sebesar 77.45%. Nilai RFMD terendah yaitu
dijumpai pada pemberian perlakuan M2PO dengan nilai sebesar - 19,02%. Pada
pemberian mikoriza sebanyak 2,5 g dan dikombinasikan dengan pemberian pupuk
fosfat alam dengan dosis yang seniakin meningkat (1,O g) ternyata menghasilkan nilai
RFMD yang semakin rendah. Kondisi sebaliknya terjadi pada pemberian mikoriza
sebanyak 5 g yang dikombinasikan dengan dosis pupuk fosfat alam yang semakin
meningkat temyata menghasilkan nilai RFMD yang semakin tinggi.
Untuk anakan Mahoni pada Tabel 22 dapat dilihat bahwa nilai RFMD tertinggi
diperoleh pada pemberian perlakuan M2P1, yaitu sebesar 20,53%. Sedangkan nilai
RFMD terendah diperoleh pada pemberian perlakuan M2P2 yaitu sebesar - 9,20%.
Tabel 21. RFMD Anakan Manii
Tabel 22. RFMD Anakan Mahoni
I I
PO
PI
P2
Pengamatan Anatomi Jaringan Batang Anakan
RFMD
RFMD
Pengamatan perkembangan jaringan batang anakan Manii dan Mahoni dilakukan pada
setiap selang waktu umur anakan 2 - 16 MST. Pengamatan dilakukan pada preparat
mikrotom batang kedua anakan. Secara umum batang terdiri dari dua bagian yaitu
bagian luar dan bagian tengah. Bagian luar batang terdiri dari lapisan pelindung yaitu
berupa epidermis dan korteks. Bagian tengah (stele) terdiri dari xilem di bagian dalam
dan floem di bagian luar. Diantara kedua jaringan tersebut terdapat lapisan kambium.
Bagian terdalam dari stele yaitu disebut empulur (Pandit dan Hidayat, 2003).
M1
77,45
72,78
26,48
MI
M2
-19,02
56,60
51,70
M2
Pengamatan Anatomi Jaringan Batnag Anakan Manii
Pada anakan Manii proporsi perkembangan jaringan-jaringan batangnya yang meliputi
empulur, xilem, floem, dan kambium, masing-masing disajikan pada Tabel 23 hingga
Tabel 26.
Tabel 23. Proporsi Empulur Anakan Manii sampai Umur 16 MST
Tabel 24. Proporsi Xilem Anakan Manii Sarnpai Umur 16 MST
Tabel 25 . Proporsi Floem Anakan Manii Sampai Umur 16 MST
Tabel 26. Proporsi Kambium Anakan Manii Sampai Umur 16 MST
Berdasarkan Tabel 23 - 26, dapat dilihat bahwa proporsi bagian jaringan batang anakan
Manii yang meliputi empulur, xilem, floem dan kambium sejak umur 2 MST hingga 16
MST masih menunjukkan adanya ketidakstabilan. Proporsi jaringan empulur pada
umur 2 MST hingga 6 MST rata-rata masih sekitar 60%.
Seiring dengan bertambahnya umur, maka proporsi empulur semakin menurun sampai
sekitar 43%. Proporsi floem juga cenderung mengalami penururan dengan semakin
bertambahnya umur, yaitu dari sekitar 8,9% menjadi sekitar 3,1%. Demikian juga
dengan kondisi jaringan kambium dimana dengan bertambahnya umur anakan, maka
proses diferensiasi menjadi xylem dan floem sekunder terus berjalan, maka proporsi
jaringan tersebut semakin menurun dari sekitar 10,9% menjadi 5,7%. Kondisi
sebaliknya terjadi pada jaringan xilem dimana bertambahnya umur anakan, maka
proporsi jaringan tersebut semakin meningkat, yaitu dari sekitar 14,1% menjadi 46,7%.
Rasio Pertumbuhan Xilem dan Floem Anakan Manii
Salah satu aspek penting yang perlu dilihat adalah rasio antara xilem dan floem, nilai ini
secara tidak langsung menggambarkan pola pembentukan kayu yang terjadi pada
tanaman anakan. Pada Gambar 27 disajikan pola pertumbuhan rasio Xylem dan Ploem
anakan Manii. Secara umum tampak bahwa hingga umur 16 MST rasio tersebut sangat
berfluktuasi, namun bila diperhatikan secara lebih teliti, terdapat dua pola yang
pertumbuhannya sejak minggu 5 dan 6 MST mulai stabil yakni anakan Manii dengan
perlakuan M2P 1, M2P2 serta MOP2.
0 2 4 6 8 10 12 14 16 18
Waktu Pertumbuhan (MST)
Gambar 27. Rasio Perhmbuhan Xylem dan Ploem anakan Manii
Fakta lain yang dapat dijadikan sebagai pedoman akan stabilitas pola rasio floem dan
Ploem ini adalah menggunakan Simpangan Baku Laju Pertumbuhan Rasio, seperti yang
disajikan pada Tabel 27 berikut:
Tabel 27. Simpangan Baku Rasio Pertumbuhan Anakan Manii
Perlakuan
M2P1
MOP2
Melihat hasil ini serta dikaitkan dengan hasil pengamatan pada parameter lainnya,
Standar Deviasi
1,560
1,939
M2P2
menunjukkan sesuatu yang semakin konvergen bahwa pada anakan Manii kombinasi
dengan perlakuan M2P1 dan MOP2 menunjukkan hasil yang positif untuk berbagai
2,154
parameter yang diamati. Oleh karenaa itu dari hasil ini untuk sementara dapatlah
disimpulkan bahwa pemberian perlakuan fosfat dan FMA mampu mempercepat
Ml Pl 3,320
pembentukan kayu pada anakan Manii, ha1 ini dapat dilihat bahwa nilai rasio simpangan
baku untuk perlakuan kontrol jauh lebih besar dari M2 dengan kombinasi Fosfat 0-1 gr.
Pada Ga~nbar 28a-h dan 29a-h disajikan anatomi jaringan batang anakan Manii masing-
masing untuk perlakuan MOP0 dan MlP2.
(MOPO). Umur 2 ~ i i g u ( 40~)
(MOPO), Umur 4 ~ i n g ~ u (40x)
Gambar 2%. Anatomi Jaringan Batang Manii
Gambar 28d. Anatomi Jaringan Batang Mani
(MOPO), Umur 6 Minggu (40x)
(MOPO), Umur 8 Minggu (40x)
Gambar 28e. Anatomi Jaringan Batang Manii
Gambar 28f. Anatomi Jaringan Batang Mani
(MOPO), Umur 10 Minggu (40x)
(MOW), Umur 12 Minggu (40x)
Gambar 289. Anatomi Jaringan Batang Manii
Gambar 28h. Anatomi Jaringan Batang Mani
(MOPO), Umur 14 Minggu (40x)
(MOW), Umur 16 Minggu (40x)
(MIPZ), Umur 2 Minggu (40x) (MlP2). Umur 4 Minggu (40x)
Gambar 29e. Anatomi Jaringan Batang Manii
(MIPZ). Umur 10 Minggu (40x)
Gambar 2%. Anatomi Jaringan Batang Mani
(MIP2), Umur 12 Minggu (40x)
Gambar 299. Anatomi Jaringan Batang Manii
(MIP2), Umur 14 Minggu (40x)
Gambar 29h. Anatomi Jaringan Batang Mani
(MIPZ), Umur 16 Minggu (40x)
Keterangan: A: Floem B: Kambium C: Xilem D: Empulur
Pengamatan Anatomi Jaringan Batang Anakan Mahoni
, Pada anakan Mahoni, proporsi jaringan empulur semakin menurun dengan
bertambahnya umur anakan, yaitu dari sekitar 69,5% menjadi 42,3%. Demikian pula
pada perkembangan jaringan floem, dengan semakin bertarnbahnya umur anakan, maka
proporsi jaringan tersebut semakin menurun, yaitu dari sekitar 7,5% ~nenjadi 3,4%.
Perkembangan jaringan atau lapisan kambium anakan Mahoni juga mengalami
penurunan dengan bertambahnya umur anakan, namun penurunan tersebut tidak terlalu
drastis, yaitu dari sekitar 9,8% menjadi 6,7%. Kondisi sebaliknya terjadi pada
perkembangan jaringan xilem, dimana dengan bertambahnya umur anakan, ~naka
proporsi jaringan tersebut me~ljadi meningkat. Pada umur 2 MST memiliki proporsi
jaringan sebanyak 19,9% dan pada umur 16 MST menjadi 40,8%. Proporsi masing-
masing jaringan batang anakan Mahoni disajikan pada Tabel 28 - 3 1.
Tabel 28. Proporsi Empulur Anakan Mahoni Sampai Umur 16 MST
Tabel 29. Proporsi Xilem Anakan Mahoni Sarnpai Umur 16 MST
Tabel 30. Proporsi Floem Anakan Mahoni Sampai Umur 16 MST
Tabel 3 1. Proporsi Kambium Anakan Mahoni Sampai Umur 16 MST
Rasio Pertumbuhen Xilem den Pioern Anskan Mahoni
Pada Gambar 30 disajikan pola rasio pertumbuhan xilem dan floem anakan Mahoni.
Secara umum tampak bahwa hingga umur 16 MST rasio tersebut sangat berfluktuasi,
namun bila diperhatikan secara Iebih teliti, terdapat dua pola yang perturnbuhannya
sejak umur 6 MST mulai stabil yaitu pada pemberian perlakuan M2P1, M2P2 serta
MOP2. Kombinasi perlakuan MOP2 dan M2PO serta M2P1 memiliki tingkat kestabilan
yang relatif lebih tinggi dibandingkan perlakuan lainnya.
Disisi lain dengan melihat nilai simpangan baku pertumbuhan rasio xilem dan floem
seperti tertera pada Tabel 32 dapat disimpulkan bahwa penlberian FMA pada dosis 2.5-
5.0 gr dengan kombinasi P pada dosis 0-1 gr yang diujikan bila dibandingkan dengan
kontrol, mampu mempercepat proses pertumbuhan kayu pada anakan Mahoni. Dimana
nilai simpangan baku MOPO adalah 2.351, jauh di atas nilai simpangan baku dengan
perlakuan M2 dengan kombinasi apapun.
9,000
8,000
L
8 7,000
-=-MOP1
ii
; 6.000
; MlPO
5,000
+MIPI
4,000
3,000
2,000
1,000 - - M2P2
0.000
0 2 4 6 8 10 12 14 16 18
Waktu Pertumbuhan (MST)
Gambar 30. Rasio Pertumbuhan Xilem dan Floem anakan Mahoni
Tabel 32. Simpangan Baku Rasio Pertumbuhan
Anakan Mahoni
Pada Garnbar 3la-h dan 32a-h disajikan anatomi jaringan batang anakan Mahoni
masing-masing untuk perlakuan MOPO dan MlP2.
Umur 2 ~ i g g u (40x)
. . . ~ . . . . .
Gambar 31d. ~natomi ~ari nqan Batang Mahoni
(MOPO) Umur 8 h4iiggu (40x)
Umur 10 Minggu (40x)
r\
Gambar 31f. Anatomi Jalingan Batang Mahoni (MOPO)
Umur I 2 Minggu (40x)
Umur 16 ~i nggu (40x1
Umur 2 Minggu (40x) Umur4 Minggu (40x)
Gambar 32c. Anatomi Jaringan Batang Mahoni (MIP2)
Umur 6 Minggu (40x) Umur 8 Minggu (40x)
Umur 10 Minggu (40x)
Umur 12 ~Ynggu (40xj
" Umur 14 ~ i n g g u ( 4 o ~ j
Keterangan: A: Floem B: K
Umur 16 Minggu (40x)
.ambitun C: Xilem D: Empulur
Serapan Hara Makro Dan Mikro
Analisis jaringan dilakukan untuk mengetahui kandungan serta besarnya serapan hara
makro dan mikro yang diambil oleh tanaman dari dalam media tumbuhnya. Berdasarkan
hasil pengamatan (Tabel 33 dan 34) dapat dilihat bahwa pada anakan Manii, serapan
hara makro (N, P dan K) hasil pemberian perlakuan MOP2, M1P2 dan M2P2
menghasilkan peningkatan nilai serapan hara makro tersebut dibandingkan kontrol.
Sedangkan untuk hara makro Ca, pemberian perlakuan FMA dan pupuk fosfat alam
(MOP2, MIPO, MIPI, MlP2, M2P1 dan M2P2) dapat meningkatkan nilai serapan hara
dibandingkan kontrol. Untuk hara makro Mg, peningkatan serapan terjadi pada
perlakuan M2P2. Hasil pengamatan terhadap serapan hara mikro menunjukkan adanya
kecenderungan semakin meningkat dosis FMA dan pupuk fosfat alam yang diberikan
(M2P1 dan M2P2), maka terjadi peningkatan pada nilai serapan hara Fe, Cu, Zn dan
Mn.
Tabel 33. Serapan Hara Makro dan Mikro Anakan Manii
Tabel 34. Persentase Serapan Hara Makro dan Mikro Oleh Anakan Manii
Pada Tabel 35 dan 36 dapat dilihat bahwa untuk anakan Mahoni, terjadi peningkatan
serapan hara makro (N, P dan K) sebagai hasil pemberian perlakuari FMA dan pupuk
fosfat alam (MOP2, MIPO, MIPI, M1P2, M2P0, M2P1 dan M2P2) bila dibandingkan
dengan kontrol. Pada serapan hara makro Ca, terjadi peningkatan nilai serapan pada
perlakuan MOP2, MlP2, M2P1 dan M2P2 bila dibandingkan dengan kontrol.
Sedangkan untuk hara makro Mg, peningkatan nilai serapan hanya terjadi pada
perlakuan M2P2. Peningkatan serapan hara mikro kondisinya lebih bervariasi, yaitu
untuk hara mikro Fe temyata hampir pada semua perlakuan kecuali M2P2 terjadi
peningkatan nilai serapan yang cukup tinggi.
Tabel 35. Serapan Hara Makro dan Mikro Anakan Mahoni
Tabel 36. Peningkatan Serapan Hara Makro dan Mikro Oleh Anakan Mahoni
Kondisi serapan hara mikro Zn, peningkatan nilai serapan hanya terjadi pada perlakuan
M2P0, M2P1 d m M2P2. Hal serupa juga dijumpai pada kondisi serapan hara Mn
dimana peningkatan nilai serapan hanya terjadi pada perlakuan MOPI, d m M2P2.
Khusus untuk serapan hara Cu, peningkatan nilai serapan hanya dijumpai pada
pemberian perlakuan MOP2
PEMBAHASAN
Pertumbuhan Tanaman
Pertumbuhan tanaman merupakan hasil dimana terjadi interaksi berbagai macam proses
fisiologis dan lingkungan dimana tanaman tersebut tumbuh. Selanjutnya Sitompul dan
Guritno (1995) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan pertumbuhan yaitu antara
lain meliputi: (1) perbanyakan sel, (2) penggandaan protoplasma, (3) pertam-bahan
ruang dan (4) pertambahan bobot kering. Lokasi pertumbuhan tanaman pada dasarnya
terjadi pada 3 (iga) bagian (Kramer dan Kozlowski, 1960 ; Haygreen dan Bowyer,
1989) yaitu : (1) bagian meristem apikal, (2) kambium primer, dan (3) kambium
sekunder. Pertumbuhan tinggi terjadi pada meristem apikal dan biasanya disebut
sebagai pertumbuhan primer. Sedangkan pertumbuhan diameter merupakan
pertumbuhan lateral dan disebut sebagai pertumbuhan seltunder.
Secara umum pola pertumbuhan tanaman dapat dinyatakan dalam benrtuk kurva
pertumbuhan yang merupakan hubungan fungsional antara sifat tertentu tanaman seperti
tinggi, diameter atau biomassa dengan umur tanaman. Bentuk kurva pertumbuhan yang
ideal akan mengikuti bentuk ideal untuk pertumbuhan organisme (termasuk tumbuh-
tumbuhan) yaitu berbentuk kurva sigmoid atau berbentuk huruf S. Bentuk umum kurva
pertumbuhan kumulatif tumbuh-tumbuhan memiliki tiga tahap yaitu tahap pertumbuhan
eksponensial, tahap pertumbuhan linier dan tahap pertumbuhan asimptotis.(Loetsch el
al, 1973). Menurut Bidwel(1979) bentuk kurva pertumbuhan ini sebenarnya merupakan
suatu rincian dari bentuk kurva sigmoid yang dicirikan oleh adanya titik belok dan
adanya garis asimptot dari kurva. Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh bahwa
pola pertumbuhan tinggi dan diameter pada anakan Manii dan Mahoni belum
menunjukkan pola pertumbuhan yang ideal dikarenakan masa pengamatan yang
dilakukan relatif kurang lama (hingga umur 16 MST). Dalam ha1 ini kedua jenis
tanaman tersebut masih berada dalam tahap pertumbuhan eksponensial yaitu pada awal
pertumbuhan agak lambat (sampai umur 4 MST) kemudian diikuti dengan pertumbuhan
yang relatif cepat dan akan menuju pada tahap pertumbuhan linier dan asimptotis.
Diduga tahap pertumbuhan linier dan asimptotis tersebut akan terjadi setelah anakan
berumur lebih dari 16 MST..
Pada anakan Manii dan Mahoni, pemberian perlakuan FMA dan pupuk fosfat
menghasilkan pengaruh yang berbeda terhadap pertumbuhan tinggi dan diameter
masing-masing anakan. Berdasarkan hasil yang diperoleh pemberian kedua perlakuan
tersebut tidak berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan tinggi kedua anakan. Untuk
pertumbuhan diameter kedua perlakuan memberikan pengaruh yang nyata pada anakan
Manii, namun ha1 sebaliknya terjadi pada anakan Mahoni. Pemberian perlakuan FMA
dan pupuk fosfat alam aIam ini belum berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan bibit
anakan dikarenakan kemungkinan masa pengamatan masih kurang lama. Bila
dibandingkan, kedua jenis anakan tersebut memiliki laju pertumbuhan tinggi dan
diameter yang hampir sama, yaitu terjadi peningkatan yang cukup signifikan pada waktu
umur 8 MST hingga 16 MST Disamping itu pula bila dilihat dari rata-rata tinggi pada
anakan Manii dan Mahoni terdapat kecederungan bahwa pemberian perlakuan FMA
sebagnyak 5,O g dan 10,O g dikombinasikan dengan dosis pupuk fosfat alam sebanyak
0,5 g dan 1,O g ternyata menghasilkan peningkatan pertumbuhan tinggi dan diameter
bila dibandingkan dengan kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa tanaman yang
diinokulasi oleh mkoriza akan menunjukkan tingkat pertumbuhan yang lebih baik jika
dibandingkan dengan tanaman yang tidak diinokulasi mikoriza (Setyadi, 1998a).
Sierverding (1991) menyatakan bahwa FMA yang menginfeksi tanaman inang akan
memproduksi jalinan hifa secara intensif sehingga tanaman bermikoriza &an mampu
meingkatkan kapasitasnya dalam menyerap unsur hara dan air.
Tanaman yang memiliki berat kering total tinggi menunjukkan tanaman tersebut
memiliki tingkat produktivitas dan perkembangan sel-sel jaringannya tinggi dan cepat.
Kecenderungan peningkatan berat kering tanaman ini berkaitan erat dengan metabolisme
tanaman atau karena adanya kondisi pertulnbuhan tanaman yang lebih baik bagi
berlangsungnya aktivitas metabolisme tanaman (Serrano, 1985 dalam Setiadi, 1989).
Walaupun hasil analisis ragam menunjukkan pemberian perlakuan FMA dan pupuk
fosfat alam tidak berpengaruh nyata terhadap BKT anakan Manii dan Mahoni, namun
terdapat kecenderungan penggunaan FMA sebanyak 2,5 g dan 5,O g dalam
kombinasinya dengan pupuk fosfat alam sebanyak 0,5 g dan 1,O g, dapat meningkatkan
BKT anakan bila dibandingkan dengan kontrol. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Sanders et a1 (1975) bahwa BKT pada anakan yang bermikoriza akan lebih besar karena
penyerapan dan translokasi unsur hara dari dalam tanah ke akar anakan &an lebih
efisien. Disamping itu, akar yang bermikoriza akan tumbuh lebih baik, menghasilkan
berat kering lebih tinggi dan memiliki akar cabang lebih banyak bila dibandingkan
dengan tanaman yang tidak bermikoriza.
Nisbah pucuk dan akar (NPA) menggambarkan kemampuan tanaman untuk bertahan
hidup jika ditanam di lapangan. Pemberian perlakuan FMA dan pupuk fosfat alam pada
anakan Manii memberikan pengaruh yang nyata, sedangkan pada anakan Mahoni
temyata tidak berpengaruh nyata terhadap nilai NPA. Namun demikian dapat dilihat
bahwa nilai rata-rata NPA yang diperoleh pada anakan Manii dan Mahoni dengan
adanya pemberian FMA sebanyak 2,5 g dan 5,O g yang dikombinasikan dengan pupuk
fosfat alam sebanyak 0,5 g dan 1,O g menghasilkan nilai NPA yang tertinggi. Menurut
Alrasjid (1972) kisaran nilai NPA yang baik untuk tumbuhan darat (bukan rawa) adalah
2 - 5. Dengan demikian maka dapat dilihat bahwa rataan nilai NPA anakan Manii dan
Mahoni dapat memenuhi kriteria tersebut. Disamping itu ha1 ini sejalan dengan
pernyataan Morgan (1 999) dalanz Muin (2003) bahwa anakan yang rnemiliki nilai NPA
yang tinggi menggambarkan analtan tersebut memiliki kualitas yang lebih baik Pada
anakan yang bermikoriza peranan akar-aka cabang akan dibantu oleh adanya hifa
eksternal FMA dalam memasok air dari dalam tanah ke pucuk. Dengan demikian
tanaman yang bermikoriza akan memiliki kemampuan atau daya hidup yang lebih baik
di lapang.
Nilai kekokohan bibit menggambarkan perbandingan antara tinggi dan diameter. Hasil
penelitian yang diperoleh menunjukkan bahwa rataan nilai kekokohan bibit Manii yaitu
sebesar 17,24.. Sedangljan untuk anakan Mahoni memiliki nilai sebesar 10,19. Nilai
tersebut lebih besar bila dibandingkan dengan kontrol. Hal ini menggambarkan bahwa
pada anakan Manii dan Mahoni dengan adanya pemberian FMA dan pupuk fosfat alam
ini dapat memacu pertumbuhan tinggi atau diameter anakan, sehingga dapat
menghasilkan nilai kekokohan bibit yang lebih tinggi. Bibit yang kokoh disamping
harus memiliki pertumbuhan tinggi yang baik juga harus diimbangi dengan pertambahan
diametemya, dengan memiliki nilai kekokohan bibit yang tinggi diharapkan tanaman
akan mampu hidup jika ditanam di lapang.
Akar tanaman yang terinfeksi oleh FMA ditandai dengan adanya organ berupa vesikula,
arbuskula, hifa, spora atau salah satu dari keempat organ tersebut. Berdasarkan hasil
penelitian yang diperoleh, pada anakan Manii persentase infeksi tertinggi dijumpai pada
pemberian perlakuan FMA (2,5 g) dan pupuk fosfat alam (Og dan 1,O g) dengan nilai
sebesar 46,7%. Dengan bertambah besarnya nilai persentase infeksi akar, maka akan
dapat mempengaruhi pertumbuhan anakan. Hal ini seperti dinyatakan oleh Lestari
(1998) bahwa dengan adanya infeksi FMA maka terdapat perubahan fisiologi akarnya.
Selain itu pula akan terjadi perubahan konsentrasi senyawa pengatw tumbuh, naiknya
laju fotosintesis dan pasokan hasil fotosintat ke akar. Adanya perubahan status nutrisi
dari jaringan tanaman ini sebagai hasil dari meningkatnya pengambilan mineral dari
dalam tanah yang dapat mengubah struktur dan biokimia sel akar dengan cara mengubah
permeabilitas membran sehingga mempengaruhi kualitas dan kuantitas eksudat akar.
Hasil penelitian pada anakan Mahoni menunjukkan bahwa anakan yang memiliki
persentase infeksi yang tinggi memiliki kualitas pertumbuhan tidak sebaik anakan yang
memiliki persentase infeksi akar yang rendah. Hal ini diduga kemungkinan disebabkan
jumlah miselianya lebih sedikit bila dibandingkan sporanya, dikarenakan ha1 yang dapat
mempengaruhi pertumbuhan tanaman yang diinokulasi oleh FMA bukan jumlah
sporanya melainkan jumlah miselia (Hadi, 1998). Lebih lanjut dinyatakan bahwa
dengan semakin banyak jumlah miselia, maka dapat membantu menyerap unsur-unsur
hara yang semula dalam bentuk yang tidak dapat diambil oleh tanaman menjadi bentuk
yang tersedia (Hadi, 1998).
Berdasarkan hasil penelitian, indeks mutu anakan Manii (IMB) yang tertinggi diperoleh
pada pemberian perlakuan FMA (2,s g dan 5,O g) yang dikombinasikan dengan
pemberian pupuk fosfat alam (0,5 g dan 1,O g) yaitu sebesar 0,09 dan 0,lO. Nilai IMB
perlakuan lain lebih kecil bila dibandingkan dengan kontrol (0,08). Pada anakan
Mahoni, nilai IMB tertinggi diperoleh hasil pemberian perlakuan FMA (0 g, 2.5 g dan
5,O g) dalam kombinasinya dengan pemberian pupuk fosfat alam sebanyak (0,5 g dan
1,O g), yaitu sebesar 0,15 dan 0,13. Sedangkan nilai IMB kontrol yaitu sebesar 0,12.
Dengan memperhatikan hasil yang diperoleh, bahwa untuk meningkatkan kualitas
anakan Manii dapat dilakuan dengan pemberian FMA sainpai dosis 5 g dan pupuk fosfat
alam sampai dosis 1,O g. Sedangkan pada anakan Mahoni, pemberian pupuk fosfat alam
dengan dosis sampai 1,O g dengan tanpa adanya FMA mampu meningkatkan kualitas
anakan, disamping pemberian perlakuan dalam bentuk kombinasi. Hal ini berkaitan
dengan ketersediaan kandungan hara makro (P, Ca, Mg, K dan Na) pada pupuk fosfat
alam Citeureup ini yang relatif cukup tinggi . Sehingga anakan Manii dan Mahoni akan
lebih baik pertumbuhannya jika terkolonisasi oleh FMA dan mendapat pasokan pupuk
fosfat alam. Hasil penelitian Muin (2003) menyebutkan bahwa untuk meningkatkan
kualitas (nilai IMB) anakan ramin dapat digunakan kombinasi perlakuan FMA dan
pupuk fosfat alam sampai dosis 0,50 g.
Berdasarkan hasil pengamatan terhadap RFMD menunjukkan bahwa, anakan Manii
secara umum menunjukkan sifat ketergantungan yang lebih tinggi terhadap mikoriza
dibandingkan anakan Mahoni. Nilai RFMD anakan Manii secara umum menunjukkan
nilai highly dependent (RFMD 50-75%) menurut kriteria dari Hable dan Manajunath
(1991). Khusus pada anakan Manii, pada dosis mikoriza 2,5 g ketergantungan terhadap
mikoriza semakin tinggi pada dosis fosfat yang semakin rendah. Hal sebaliknya justru
terjadi pada dosis mikoriza 5.0 g, dimana semakin tinggi fosfat semakin rendah
ketergantungannya. Hal ini dapat diartikan bahwa ketergantungan anakan Manii terbesar
terjadi pada dosis fosfat dan mikoriza yang rendah. Pada anakan Mahoni
ketergantungan tertinggi terjadi pada kombinasi fosfat 0,5 g dan mikoriza 2,5 g.
Menurut kriteria Hable dan Manajunath (1991), nilai RFMD anakan Mahoni ini
termasuk marginally dependent (RFMD = 0-25%) Namun demikian sifat
ketergantungan anakan Mahoni pada mikoriza tidak memiliki pola yang jelas. Hal ini
bisa diduga disebabkan penggunaan dosis baik mikoriza maupun fosfat belum mencapai
kondisi optimal, sehingga respon tanaman rnenunjukkan gejala yang belum stabil.
Hifa eksternal dari FMA akan berperan dalam ha1 meningkatkan potensi dari sistem
perakaran tanaman dalam menyerap unsur hara dan air di dalam tanah. Hasil
pengamatan terhadap anakan Manii dan Mahoni ternyata dengan adanya pemberian
FMA dan pupuk fosfat alam dapat meningkatan serapan hara makro (N, P, K, Ca, Mg)
dan juga hara mikro (Fe, Cu, Zn dan Mn). Peningkatan nilai serapan hara makro (N, P,
K dan Ca) terjadi hampir pada seluruh kombinasi perlakuan yang diberikan. Khusus
untuk serapan hara Mg peningkatan hanya terjadi pada perlakuan FMA 5,O g dan pupuk
fosfat alam 1,O g. Peningkatan serapan hara P ini terjadi karena adanya peningkatan
penyerapan efisiensi P oleh jalinan hifa mikoriza yang dapat menggunakan sumber P di
dalam tanah yang tidak tersedia bagi akar tanaman. Hal ini juga meningkatkan laju
solubilisasi P anorganik yang tidak larut (insoluble) atau hidrolisis P organik yang
tergantung pada perubahan pH yang terbatas, produk ion-ion organik sebagai pengkelat
dan produksi enzim fosfatase (Ekamawati, 1998). Selanjutnya Gunawan (1993) yang
diacu oleh Muin (2003) mengemukakan bahwa tanaman yang bermikoriza sering
memberikan tanggapan yang baik akibat penambahan fosfat tidak mudah larut seperti
trikalsium fosfat dan batuan fosfat. Efektivitas pupuk fosfat alam sangat tergantung
pada sifat fosfat alam itu sendiri, faktor tanah (pH) dan status mikoriza pada tanaman
(Ba dan Guissou, 1996 dalatn Muin, 2003).
Persentase serapan hara mikro (Fe, Cu, Zn dan Mn) pada jenis anakan Manii mengalami
peningkatan jika dibandingkan dengan kontrol hanya pada beberapa kombinasi
perlakuan (FMA 2,5 g dan 5,O g; pupuk fosfat alam 0,5 g dan 1,O g). Kondisi
sebaliknya terjadi pada anakan Mahoni dimana untuk serapan hara mikro Fe terjadi
kenaikan persentase serapan pada hainpir semua kombiilasi perlakuan. Sedangkan untuk
serapan hara Cu, Zn dan Mn peningkatan hanya terjadi pada perlakuan yang mendapat
pupuk fosfat alam 1,O g dan kombinasi pemberian FMA 5.0 g dan pupuk fosfat alam 0,5
g dan 1.0 g.. Jumlah hara nlikro (unsur logam) yang diakumulasi oleh tanaman memiliki
batas tertentu, karena jika berlebihan akan dapat meracuni dan berpengaruh terhadap
perturnbuhan tanaman Menurut Alloway 1995) yang diacu oleh Widiati (2006), kadar
Mn pada jaringan 80 ppm, dan Zn < 30 ppm.
Pengamatan Anatomi Jaringan Batang Anakan Manii dan Mahoni
Hasil pengarnatan pada jaringan batang anakan Manii dan Mahoni sampai umur 16 MST
menunjukkan bahwa dengan adanya pemberian perlakuan FMA dan pupuk fosfat alam
ternyata dapat mempengaruhi pembentukan kayu pada batang anakan tersebut. Hal ini
ditandai dengan terbentuknya kambium vaskuler yang telah berdiferensiasi menjadi
xilem dan floem sekunder. Pemberian perlakuan FMA (5.0 g) dan pupuk fosfat alam
(0.5 g) ternyata dapat mempercepat pembentukan kayu pada anakan Manii dan Mahoni
pada umur 10 MST, sedangkan pada perlakuan kontrol baru terbentuk pada umur 12
MST. Pengamatan pada jaringan batang anakan yang hanya mendapat perlakuan FMA
saja (0 g, 2,5 g dan 5.0 g) atau pupuk fosfat alam saja (0 g, 0.5 g dan 1.0 g) ternyata
baru membentuk kayu pada umur 12 MST.
Pada dasarnya setiap jenis tanaman akan mengalami proses diferensiasi pada waktu
yang berbeda. Menurut Ross dan Salisbury (1995), diferensiasi atau proses tumbuh
akan terjadi jika tanaman menerima rangsangan yang tepat dan sangat dipengaruhi oleh
lingkungan. Kondisi lingkungan dan rangsangan yang berbeda menyebabkan
pendewasaan yang tidak sama pada setiap umur tanaman. Faktor lain yang
menlpengaruhi tipe diferensiasi sel-sel di kambium yaitu jumlah nutrisi karbohidrat dan
konsentrasi hormon tumbuh (Baker, 1987 dalam Tavita, 2001). Perkembangan
jaringan batang anakan Manii dan Mahoni pada umur 2 MST terdiri dari lapisan
pelindung seperii epidermis atau cortex di bagian luar kemudian di bagian tengah
terdapat jaringan xylem dan floem primer, di antara keduanya terdapat lapisan kambium
dan di bagian pusat batang terdapat empulur. Pada umur 2 - 4 MST, proporsi jaringan
empulur paling besar, yaitu sekitar 45 - 75%. Dengan semakin bertambahnya umur
anakan (6 - 16 MST) maka terjadi pengurangan jumlab proporsinya, dikarenakan
jaringan kambium akan berdiferensiasi menjadi sel-sel xilem dan floem sekunder.
Berdasarkan Gambar 19 dan Gambar 20 beserta indeksnya dapat dilihat bahwa
proporsi xilem dan floem yang mulai stabil terdapat pada umur 10 MST untuk kedua
jenis anakan. Dengan semakin stabilnya proporsi xilem dan floem tersebut menandakan
bahwa sudah mulai terbentuk kambium vaskuler. Dengan terbentuknya kambium
vaskuler ini menandakan anakan sudah mulai berkayu (Haygreen dan Bowyer, 1989).
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Merujuk pada hasil penelitan yang telah diperoleh, maka dapat disimpulkan ke dalam
beberapa butir berikut:
a). Pada anakan Manii secara umum pemberian perlakuan pupuk fosfat alam dan FMA
dapat meningkatkan pertumbuhan tinggi anakan sebesar 11 1,59%, diameter
116,67%, Berat kering total 124,84%, nisbah pucuk akar 135,98%, dan nilai
kekokohan bibit 125,91%. Sedangkan pada anakan Mahoni dapat meningkatkan
pertumbuhan diameter sebesar 104,69%.
b), Pada umur 16 MST indeks mutu bibit anakan Mahoni yaitu sebesar 0,18 lebih tinggi
bila dibandingkan dengan anakan Manii yaitu sebesar 0,lO.
c). Kombinasi perlakuan FMA (2,s g dan 5,O g) dengan pupuk fosfat alam (0,s g dan
1,O g) secara umum dapat meningkatkan serapan hara makro dan mikro pada anakan
Manii dan Mahoni.
d). Kombinasi perlakuan FMA (2,s g dan S,0 g) dengan pupuk fosfat alarn (0,s g dan
1,O g) dapat mernpercepat pembentultan kayu pada anakan Manii dan Mahoni yang
dimulai pada umur 10 MST sedangkan untuk kontrol pembentukan kayunya dimulai
pada umur 12 MST.
e). Nilai ketergantungan terhadap mikoriza (WMD) anakan Manii lebih tinggi
dibandingkan dengan anakan Mahoni pada umur 16 MST.
Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang telah diperoleh guna mempertajam hasil serta
meningkatkan reliabilitas (konsistensi) hasil, maka disarankan beberapa ha1 seperti
berikut:
a) Waktu pengarnatan perlu dipei~anjang hingga 24 MST, ha1 ini disebabkan pada usia
kurang dari 16 MST pertumbuhan beberapa parameter yang diamati masih
menunjukkan hasil yang berfluktuatif. Dengan memperpanjang waktu pengamatan
diharapkan akan diperoleh pertumbuhan yang stabil sehingga memudahkan
pengarnbilan kesimpulan yang lebih pasti.
b) Perlu melebarkan atau meningkatkan dosis perlakuan baik untuk FMA maupun
Fosfat, ha1 ini ditujukan untuk melihat pengaruh yang optimal pada hasil perlakuan.
Hal ini disebabkan pada beberapa parameter yang diamati masih ferdapat pola yang
masih meningkat, meski ha1 ini lazinl akan terjadi pada proses pertumbuhan, namun
dengan peningkatan dosis perlakuan, setidaknya akan dapat diketahui pada kisaran
level berapa dari kombinasi perlakuan yang akan memberikan titik optimal pada
hasil percobaan.
c) Perlu adanya uji lapang penanaman untuk melihat apakah anakan atau bibit yang
mengalami pembentukan kayu lebih cepat juga akan memilki daya tumbuh yang
lebih baik dibandingkan dengan anakan yang tidak mendapat perlakuan penggunaan
FMA dan pemupukan.
DAFTAR PUSTAKA
Alrasjid, H. 1972. Tehnik Persemaian dan Penanaman di Jepang. Lap. No. 142. LPH.
Bogor.
Anrtunes, V and Cardosso, EJBE. 1991. Growth and Nutrient Status of Citrus Plants as
Influenced by Mycorrhiza and Phosphorous Application. Plant and Soil 13 1 :11-
19
Ayyer, J and Akolkar, VD. 2000. Comparative Evaluation of Rock Phosphate for
Possible Vapour Phase Corrosion in Equipments. Fertilizer News 45 (12): 67-69
Badan Litbang Kehutanan dan Perkebunan. 2000. Atlas Benih Tanaman Hutan
Indonesia. Jilid 11. B2TP Bogor. Indonesia.
Badan Planologi Kehutanan. 2005. EksekutifData Straiegis Kehutanan . Departemen
Kehutanan.
Bidwell, G. S. 1979. Plant Physiology. Second Edition. Collier Macmillan
International Edition. New York.
Bolan, N.S. 1991. A Critical Review on The Role of Myconhizal Fungi in The Uptake
of Phosphorous by Plant. Plant and Soil 134:189 -209..
Bonfante, P & S. Perotto. 1995. Strategies of Arbuscular Mycol-rhizal Fungi when
Infecting Host Plants. New Phytol. 130,3-21.
Departemen Kehutanan, 2004. Pedornan Penyelenggaraan Kegiatan Gerakan Nasinal
Rehabilitasi Hutan Dan Lahan. Buku I. Jakarta.
Direktorat Jenderal Kehutanan, 1976. Vademecum Kehutanan Indonesia. Departemen
Kehutanan, Jakarta
Direktorat Perbenihan Tanarnan Hutan, 2001. Informasi Singkat Benih, Departemen
Kehutanan, Jakarta.
Fahn. 1995. Anatomi Tumbuhan. Edisi Ketiga. Yogyakarta. Gadjahrnada Universitas
Press.
Fakuara, Y. 1988. Mikoriza, Teori dan Kegunaan dalam Praktek. Pusat Antar
Universitas IPB. Lembaga Sumberdaya Informasi IPB. Bogor.
. 1994. Peranan Mikorhiza dalam Peredaran Hara dan Peningkatan Kualitas
Semai. Dalam Laporan Penelitian. Bogor. Pusat Antar Universitas. Institut
Pertanian Bogor.
Gornez & Gomez , 1986. Experimental Design. John Willey & Sons
Hable, M and Manaunath, A. 1991. Categories of Vesicular-Arbuscular Mycorrhizal
Dependencyof Host Species. Mycorrhiza 1 : 3 - 12.
Harada, H and Cote, Jr. 1984. Strz~cture of Wood. In Biosynthesis And Biodegra-
dation of Wood Component. New York Syracuse University Press.
Hardjowigeno, S. 1989. Ilmu Tanah. PT Madyatama Sarana Perkasa. Jakarta.
Haygreen, J.G. and Jim, L. Bowyer. 1982. Fores~ Products and Wood Science. An
Introduction. Iowa University Press. USA.
Hudson, H.J. 1986. Fungal Biology. Edward Arnold Ltd. London.
(INVAM) International Culture Collection of Vessicula Arbuscular Mycorrhiza; Fungi.
2005. hhtp/ invam. cajwvu.edu/index. html ( 1 5 November 2005)
Kurniaty, R. 1987. Pengaruh Asarn Sulfat terhadap Perkecambahan Benih Maesopsis
eminii Engl. Buletin Penelitian Hutan No. 488 : 35-44
Kusal-tuti, 1989. Industri Pupuk Fosfat Alan1 di Indonesia. Bull. Perkebunan 1 : 2-7.
Kramer, P.J and T.T. Kozlowski. 1960. Physiology of Trees. McGraw-Hill, New
York.
Larcher, W. 1980. Physiological Plant Ecology. Totally Revised Edition. Springer
Verlag. New York.
Loetsch, F; F, Zohner and K.E. Haller. 1973. Forest Inventory. Volume 111. Translate
into English by K.F. Panzer. BLV Verlag and Gesselschaft. Muenchen.
Germany.
Mauseth, J.D. 1988. Plant Anatomy. California. The Benyamin Cunnings Publishing.
Muin, A. Pertumbuhan Anakan Ramin (Gonys&lus bancanus (Miq.) Kurz) dengan
Inokulasi Cendawan Mikoriza Arbuskula (FMA) pada Berbagai Intensitas
Cahaya dan Dosis Fosfat Alam. 2003. Disertasi (Tidak Dipublikasikan).
Program Pascasarjana. IPB.
Mursidi, S. 1980. Pemupukan DAP, TSP, da11 P-alam pada Tanah PMK Lampung dan
Banten. Thesis. (Tidak dipublikasikan) Fakultas Pascasarjana IPB. Bogor.
Pandit, IKN dan R. Hidayat. 2002. Anatomi Kayu, Pengalltar Sifat Kayu sebagai Bahan
Baku. Yayasan Penerbit Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Panshin, A.J. and C. de Zeeuw. Text Book of Wood Technology. New York. Mc Graw-
Hill.
Prematuri, R. 1998. Cendawan Mikoriza Arbuskula untuk Pohon Cepat Tumbuh.
Makalah disiunpaikan dalam rangka Workshop Aplikasi Cendawan Mikoriza
Arbuskula FMA pada Tanaman Pertanian, Perkebunan, dan Kehutanan. PAU
Bioteknologi IPB, 5-10 Oktober 1998.
Rizkiana, W. 20005. Studi Waktu Pertumbuhan terhadap Terbentuknya Kayu pada
Anakan Gmelina arborea Roxb. dan Artocarpus heterophyllus Lamk. Skripsi
(Tidak dipublikasikan) Program Studi Budidaya Hutan. Departemen Manajemen
Hutan. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.
Salysbury, F.B. and Ross, C. 1995. Fisiologi Tumbuhan. Terjemahan. .Jilid 1 , 2 dan 3.
Institut Teknologi. Bandung.
Setiadi, Y. 1989. Pemanfaatan Mikroorganisme dalam Kehutanan. Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi. PAU
Bioteknologi IPB. Bogor.
. 1992. Mengenal Mikoriza, Rhizobium dan Aktinorizas untuk Tanaman
Kehutanan. Fakultas Kehutanan. IPB. Bogor.
1998 a. Fungsi Mikoriza Arbuskula dan Prospeknya sebagai Pupuk
Biologis. Makalah disampaikan pada Workshop Aplikasi Cendawan Mikoriza
Arbuskula pada Tanaman Pertanan, Perkebunan dan Kehutanan. Tanggal 5-10
Oktober 1998. PAU Bioteknologi IPB. Bogor.
1998 b. Aplikasi Cendawan Mikoriza Arbuskula untuk Merehabilitasi
Lahan Kritis. Makalah disampaikan pada Workshop Aplikasi Cendawan
Mikoriza Arbuskula pada Tanaman Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan.
Tanggal 5-10 Oktober 1998. PAU Bioteknologi IPB. Bogor.
Sitompul, S.M. dan Guritno, B. 1995. Analisis Pertumbuhan Tanaman. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta.
Sukamo, N. 1998. Pengaruh Fungisida dan Pemupukan pada Mikoriza Arbuskula.
Makalah disampaikan pada Workshop Aplikasi Cendawan Mikoriza Arbuskula
pada Tanaman Pertanian, Perkebunan, dan Kehutanan. Tanggal 5-10 Oktober
1998. PAU Bioteknologi IPB. Bogor.
G.E. 2000. Kajian Anatomis Kayu Jati (Tectona grandis L.9 dari
Mikropropagasi Kultur Jaringan. Disertasi (Tidak dipublikasikan). Program
Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan. Program Pascasarjana. IPB. Bogor.
Wangaard, F.F. 1981. Wood: Its Structure and Properties. The Pensylvania. State
University Press.
Widyati, E. 2006. Bioremediasi Tanah Bekas Tambang Batubara dengan Sludge
Industri Kertas untuk Memacu Revegetasi Lahan. Disertasi. Sekolah
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Tabel Lampiran 1. Hasil Analisis Laboratorium Serapan Unsur Hara Mikro dan Makro pada Berbagai Perlakuan
terhadap Anakan Manii dan Mahoni
NO
1
2
4
5
6
6
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
20
TekNl i 3 fiaksi(%) KODE
SAMPLE
Maeropri sMo~o
MwropsisMaP1
3Maer opr i r MoP2
MaesoprirMlPo
MaeaapsirMlPl
MaeropslsMIPZ
7Mae~l ps i f MZPo
Mse~opsisM2Pl
MaeaopsirM2P2
Tanah Awal
Mahoni MoPo
Mahoni MOP1
Mshoni Mop2
Mahoni M1Po
Mahoni M1Pl
MahoniMlP2
Mahoni M2Po
MahoniM2P1
Mahoni MZP2
Phor~atAl emCi l eun
Pasir
4.6
5.2
5.1
6.2
5.1
5.4
5.6
5.1
4.9
12.6
4.60
5.1
5.4
6.2
5.6
6.0
5.9
5.7
5.2
Tolal P
%
28.6
pH(?:>)
HZ0
5.0
5.2
5.3
5.6
6.1
4.7
5.6
5.6
5 2
4.5
5.1
5.2
5.4
5.2
5.4
5.3
5.0
5.1
5.3
6.1
C
Omanik
(56)
1.66
2.31
2.16
2.26
2.34
2.57
1.92
2.16
2.32
0.67
1.12
1.29
2.11
1.16
1.24
2.16
2.08
1.98
2.14
0.76
KCL
4.2
4.6
4.5
4.9
5.7
4.2
5.2
5.1
4.7
3.6
4.5
4.6
4.7
4.3
4.6
4.5
4.2
4.4
4.6
5.6
Debu
472
44.9
45.2
48.2
47.3
45.9
44.7
45.2
46.1
42.9
42.6
44.3
46.7
43.9
44.7
45.0
46.2
4. 2
39.8
P a t i Sbe
<5W"
28.4
Liat
26.1
49.9
49.7
47.6
47.5
48.7
49.5
49.7
49.0
44.5
52.4
50.6
47.9
49.9
49.5
49.0
47.9
50.1
55.0
(%)
< M u
71.6
N
Total
(%)
0.16
0.18
0.19
0.21
0.22
0.24
0.17
0.18
0.21
0.07
0.11
0.12
0.14
0.12
0.12
0.20
0.16
0.16
0.20
0.07
CM
msb
11.6
12.8
11.4
10.6
10.6
10.7
11.3
12.0
11.0
12A
10.2
10.6
15.1
9.7
10.3
10.9
11.6
11
10.7
10.9
P tersedia
Bray l l l l
( P P ~ I
9.5
1 1
11.8
10.8
12.4
16.3
12.4
14.6
13.2
6.3
9.6
11.4
10.8
12.4
14.3
12.0
11.4
13.4
12.9
26.3
Bara bala dapal dilukar NH4 Aselat- KTK
rneqflwgr
11.16
10.62
13.74
13.82
15.82
12.75
14.26
15.31
14.08
10.34
12.46
11.63
13.48
13.84
16.47
14.19
14.34
12.86
16.21
20.41
Ca
1.64
2.83
3.08
2.62
2.98
2.77
0.99
2.60
3.46
0.61
0.59
1.07
2.96
0.91
1.56
1.62
0.66
1.38
1.34
10.33
Kejenuhan
basa
%
43.1
58.3
43.2
50.2
59.3
46.6
42.9
56.6
56.5
37.6
26.5
34.5
62.1
33.1
38.6
62.2
35.6
42.6
33.4
70.9
MQ
0.67
0.92
1.03
1.11
1.19
0.96
0.57
1.10
1.06
0.64
0.55
0.46
0.97
0.62
0.54
0.66
0.55
0.51
0.46
0.80
AM dapol diiukar
Total
4.81
6.19
5.94
6.94
9.38
5.94
6.12
6.67
7.95
3.89
3.56
4.01
8.37
4.56
6.03
8.83
5.14
5.49
5.41
14.48
r neql l W~r
A[ +++
0.12
0.14
0.14
0.16
0.21
0.18
0.23
0.12
0.14
0.28
0.16
0.21
0.16
0.23
0.16
0.16
0.18
0.16
0.20
0.26
l .ONpH7.0(rnegl l W
K
0.38
441
0.34
0.35
0.39
0.24
1.37
1.35
1.27
1.12
0.97
0.91
1.61
1.15
1.07
1.07
1.13
1.21
1.32
1.12
HI
0.09
0.11
0.14
0.10
0.14
0.14
0.12
0.09
0.1 1
0.32
0.1
0.14
0.14
0.12
0.13
0.W
0.11
0.10
0.12
0.16
gr l
Na
1.92
2.03
1.49
2.66
4.82
1.97
3.19
3.62
2.14
1.52
1.45
1.57
2.61
1.90
2.67
5.26
2.78
2.41
2.27
2.43

You might also like