Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 19

JURNAL AKUNTANSI, MANAJEMEN BISNIS DAN SEKTOR PUBLIK (JAMBSP)

ISSN 1829 9857

MEMAHAMI PARADIGMA PENELITIAN N0N-POSITIVISME DAN IMPLIKASINYA DALAM PENELITIAN AKUNTANSI

Ikhsan Budi Riharjo


iksanbd@gmail.com Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Indonesia (STIESIA) Surabaya

ASTRACT Non positivism research paradigm emphasizes on social-reality comprehension which regard the reality has multiple characteristics, complicated, apparent, dynamic, constructed and holistic so that the truth of result findings contain a nature of relativity. The qualitative research findings are obtained based on the paradigm that is used. The orientation of non-positivism paradigm as reflected in epistemology, ontology and methodology can be divided into three catagories, that are: interpretive paradigm, critical paradigm and post modernism paradigm. Interpretive paradigm research views that social reality is consciously and actively built own by the person, and every person have a potential to give what signification to do. The observation of social reality cannot be generalized just like positivism paradigm. Research on accounting with interpretive paradigm shows an exhilarating development that colors paradigm diversity that can be used on research on accounting. Accounting researches that has been done in this paradigm are as follow: Jervis et al (1995); Granlund (2003); Ludigdo (2006); Rahayu, Ludigdo dan Affandy (2007); Yudi, Sukoharsono dan Affandy (2008); Sopanah (2009); Niswatin, Rosidi dan Irianto (2009); Riduwan (2008); Riduwan (2009); dan Chariri dan Nugroho (2009). Accounting researches that has been done by using critical paradigm try to explain that practical and theory of accounting can develop continuously compatible to the ones creativity who aims to do critic, transformation, recove ry, emancipation, disassembling towards phenomena to be researched in order to have a better understanding. In Indonesia, research on accounting with critical paradigm has been done by Mulawarman (2007) who aims to formulate the form of syariah cash flow report completely. While post modernism that is comprehended as all kind of reflection of critics on modern paradigm and critics on metaphysic in general. Post modernism is not to find and to prove the truth, but to find problematic and perspective meaning. Modernists rationality who chase after grand theory and its explanation, is rejected by the postmodernists and they replace it with differences, opposites, paradox, and enigma. Postmodernism accounting research has been done by Triyuwono (2007) by using sufistics analysis Manunggaling Kawulo-Gusti as a tool. While Riduwan et al (2009) using critical-postmodernism paradigm which is done based on assumptions and beliefs of critical theory in looking at social reality.
128
JAMBSP Vol. 8 No. 1 Oktober 2011: 128 146

Key words : non-positivism paradigm, interpretive paradigm, critical paradigm and post modernism paradigm

PENDAHULUAN Paradigma penelitian, khususnya dalam ilmu sosial merupakan rerangka berfikir yang menjelaskan cara pandang peneliti terhadap fakta kehidupan sosial. Paradigma penelitian penjelaskan bagaimana peneliti memahami suatu masalah penelitian, dan kriteria pengujian yang digunakan sebagai dasar dalam menjawab masalah penelitian. Secara ekstrim paradigma penelitian dapat dibedakan kedalam paradigma positivisme dan paradigma non-positivisme. Kedua paradigma tersebut dalam penelitian sering disederhanakan menjadi paradigma kuantitatif dan kualitatif, walaupun kenyataannya terdapat penelitian kualitatif yang berlandaskan pada paradigma positivisme. Penelitian kuantitatif umumnya dipahami sebagai penelitian yang menekankan pada pengujian teori-teori melalui pengukuran variabel-variabel penelitian, kemudian menganalisis data dengan pendekatan statistik yang umumnya bertujuan untuk menguji hipotesis. Paradigma positivisme sering disebut sebagai paradigma kuantitatif karena semua datanya diukur dalam angka yang dapat dihitung, kemudian dianalisis dengan pendekatan statistik. Paradigma positivisme memandang pengetahuan sebagai pernyataan mengenai keyakinan atau fakta yang dapat diuji secara empiris, dapat dikonfirmasi atau dapat ditolak. Muhadjir (2000:13) menjelaskan bahwa tujuan penelitian yang berlandaskan filsafat positivisme adalah menyusun bangunan ilmu nomothetik, yaitu ilmu yang berupaya membuat hukum dari generalisasinya. Positivisme menuntut agar penelitian itu bebas nilai (value free). Mereka mengejar obyektivitas agar dapat ditampilkan prediksi atau hukum yang keberlakukaannya bebas waktu dan tempat. Penelitian kualitatif (paradigma non-positivisme) menekankan pada memahaman terhadap realitas sosial. Pendekatan ini memandang realitas tersebut bersifat ganda, rumit, semu, dinamis, dikonstruksikan dan holistik, sehingga kebenaran temuan penelitian mengandung sifat relatif (Santana 2010). Model penelitian kualitatif sangat beragam, karena penelitian kualitatif merupakan penelitian yang temuannya diperoleh berdasarkan paradigma yang digunakan. Orientasi paradigma sebagaimana tercermin dalam epistemologi, ontologi, dan metodologi dapat dibedakan kedalam tiga kelompok, yaitu: paradigma interpretif, paradigma kritis, dan paradigma posmodernisme. Paradigma Interpretif dan Perkembangan Penelitian Akuntansi Paradigma penelitian interpretif berpandangan bahwa realitas sosial secara sadar dan secara aktif dibangun sendiri oleh individu, setiap individu mempunyai potensi memberi makna apa yang dilakukan. Ralitas itu ada dalam bentuk bermacam-macam konstruksi mental, berdasarkan pengalaman sosial, bersifat lokal dan spesifik serta tergantung pada

Memahami Paradigma Penelitian Non-Positivisme Dan Implikasinya (Ikhsan Budi Riharjo)

129

orang yang melakukannya. Oleh karena itu, suatu realitas yang diamati oleh seseorang tidak bisa digeneralisasi seperti halnya pada paradigma positivisme. Menurut Geertz (dalam Muhadjir 2000:119) tidak ada social fact yang menunggu observasi kita, yang ada adalah kesiapan peneliti untuk memberi makna atas observasinya. Menurut Burrel dan Morgan (1979:28), inti dari paradigma interpretif adalah memahami bentuk fundamental dari dunia sosial pada tingkat pengamatan sosial dan tingkat pengalaman subjektif seseorang yang bersifat nominalis, antipositivis, voluntarisme dan ideografis. Paradigma ini adalah produk langsung dari tradisi pemikir sosial aliran idealis Jerman. Ahli teori dalam paradigma ini adalah Dilthey, Weber, Husserl, dan Schultz yang berlandaskan pada Teori Kant. Metode penelitian dalam paradigma interpretif adalah: Etnografi, Etnometodologi, Fenomenologi, Hermeneutik dan Interaksi Simbolik. Etnografi Etnografi adalah salah satu jenis metode penelitian yang dianggap sebagai dasar ilmu antropologi (Muhadjir 2000:129). Etnografi merupakan pekerjaan mendeskripsikan suatu kebudayaan, dengan tujuan utama memahami suatu pandangan hidup dari sudut pandang penduduk asli. Oleh karena itu, penelitian etnografi melibatkan aktivitas belajar mengenai dunia orang yang telah belajar melihat, mendengar, berbicara, berpikir, dan bertindak dengan cara-cara yang berbeda. Untuk menemukan prinsip-prinsip tersembunyi dari pandangan hidup yang lain, peneliti harus menjadi murid. Inti etnografi adalah upaya memperlihatkan makna tindakan dari kejadian yang menimpa orang yang ingin kita pahami. Beberapa makna terekpresikan secara langsung dalam bahasa, atau secara tidak langsung melalui kata dan perbuatan. Sistem makna merupakan kebudayaan mereka, dan etnografi selalu mengimplementasikan teori kebudayaan. Dalam penelitian etnografi, metode utama yang digunakan adalah observasi partisipatif (terbatas). Metode observasi partisipatif merupakan metode yang lain, yang sangat berbeda dengan model observasi yang ada. Sasarannya adalah orang atau pelaku, oleh karena itu, keterlibatannya dengan sasaran yang diteliti terwujud dalam hubunganhubungan sosial dan emosional. Untuk itu, diperlukan metode dan upaya agar apa yang diinginkan dalam pengamatan yang terlibat akan sampai pada tujuan. Atkinson dan Hammersley dalam Denzim dan Lincoln (2009:317) menjelaskan bahwa semua penelitian sosial merupakan semacam observasi partisipan, karena kita tidak dapat meneliti realitas sosial tanpa menjadi bagian dari realitas itu sendiri. Baik etnografi maupun observasi partisipan merupakan bidang keilmuan yang menekankan paradigma interpretif terhadap berbagai keunikan manusia yang bertolak belakang dengan paradigma positivisme. Secara praktis, istilah etnografi biasanya mengacu pada bentuk-bentuk penelitian sosial dengan sejumlah ciri khas sebagai berikut: Atkinson dan Hammersley (dalam Denzim dan Lincoln 2009:316)

130

JAMBSP Vol. 8 No. 1 Oktober 2011: 128 146

a. Lebih menekankan upaya eksplorasi terhadap hakekat/sifat dasar fenomena sosial tertentu, bukan melakukan pengujian hipotesis atas fenomena tersebut. b. Lebih suka bekerja dengan data tak terstruktur, atau dengan kata lain, data yang belum dirumuskan dalam bentuk kode sebagai seperangkat katagori yang masih menerima peluang bagi analisis tertentu. c. Penelitian terhadap sejumlah kecil kasus, mungkin hanya satu kasus secara detail. d. Menganalisis data yang meliputi intrepretasi makna dan fungsi berbagai tindakan manusia secara eksplisit sebagai sebuah produk yang secara umum mengambil bentuk-bentuk deskripsi dan penjelasan verbal tanpa harus terlalu banyak memanfaatkan analisis kuantitatif dan statistik. Etnometodologi Banyak orang yang menyangka kata etnometodologi adalah suatu metodologi baru dari etnologi. Padahal ini merupakan dua hal yang tidak ada hubungannya. Etnologi adalah ilmu yang mempelajari tentang jenis-jenis atau karakteristik etnis. Sementara menurut asal kata, etnometodologi berasal dari bahasa Yunani ethnos yang berarti orang (etnis), methodos yang berarti metoda dan logos yang berarti ilmu. Jadi secara harfiah etnometodologi adalah sebuah studi atau ilmu tentang metoda yang digunakan orang awam (etnis) untuk menciptakan perasaan keteraturan sosial (social order) di dalam situasi di mana mereka berinterasksi (Raho 2007:151). Tokoh pemrakarsa pendekatan etnometodologi adalah Harold Garfinkel (1950-an) namun baru disadari oleh profesi-profesi lain setelah akhir tahun 1960-an dan awal tahun 1970an (Poloma 1994:281). Etnometodologi menyangkut studi mengenai kegiatan manusia sehari-hari khususnya yang terkait dengan aspek-aspek interaksi sosial yang diambil begitu saja (taken for granted) (Poloma 1994: 284). Etnometodologi Grafinkel ditujukan untuk meneliti aturan interaksi sosial sehari-hari yang berdasarkan common-sense (akal sehat). Apa yang dimaksudkan dengan dunia akal sehat adalah sesuatu yang biasanya diterima begitu saja, asumsi-asumsi yang berada di baliknya dan arti yang dimengerti bersama. Etnometodologi sebagaimana halnya dengan interaksionisme simbolik merupakan aliran pemikiran dalam paradigma interpretif (Burrel and Morgan 1979:235). Lahirnya etnometodologi diawali dengan munculnya teori-teori sosiologi dimana Grafinkel sebagai pemrakarsa banyak belajar pada para tokoh sosiologi. Oleh karenanya sangat mungkin pemikiran etnometodologi dipengaruhi oleh pemikiran seperti Alfred Schutz tokoh fenomenologi, pemikiran interaksionisme-simbolik dan pemikiran Goffman tokoh dramaturgi. Munculnya etnometodologi Grafinkel tidak lepas dari pengaruh Alfred Schutz, ahli fenomenologi yang juga sebagai guru Grafinkel. Harus diakui bahwa banyak konsep etnometodologi yang diambil dari Fenomenologi Schutz (Raho 2007). Fenomenologi

Memahami Paradigma Penelitian Non-Positivisme Dan Implikasinya (Ikhsan Budi Riharjo)

131

Schutz menekankan pentingnya studi tentang bagaimana interaksi menciptakan dan mempertahankan realitas sosial tertentu. Penekanan pada hakekat dunia yang diterima begitu saja (taken for granted), dan tentang pentingnya dunia kehidupan sehari-hari dalam mempertahankan perasaan aktor tentang realitas sosial, merupakan konsep fenomenologi yang diadopsi oleh etnometodologi. Dalam Etnometodologi juga dikenal istilah dramaturgi yaitu bagaimana aktor memanipulasi gerak isyarat untuk menciptakan kesan di sebuah panggung pertunjukkan (Raho 2007:154). Etnometodologi bukan pada manajemen kesan individu-individu, melainkan bagaimana aktor-aktor menciptakan perasaan akan realitas yang sama. Etnometodologi memusatkan perhatian pada teknik-teknik interaksi, bukan untuk menciptakan kesan-kesan sebagaimana dramaturgi Goffman, melainkan bagaimana teknik-teknik tersebut bisa mempertahankan suatu perasaan akan realitas sosial. Fenomenologi Asumsi dasar dari fenomenologi adalah bahwa manusia dalam berilmu pengetahuan tidak lepas dari pandangan moralnya, baik pada taraf mengamati, menghimpun data, menganalisis, ataupun dalam membuat kesimpulan. Sutrisno dan Hanafi (2004:3) menjelaskan apabila ditinjau dari prinsip dasar yang dikembangkan dalam paradigma interpretif, prinsip dasar dalam membaca fenomena, adalah: a. Individu menyikapi sesuatu atau apa saja yang ada dilingkungannya berdasarkan makna sesuatu tersebut pada dirinya; b. Makna tersebut diberikan berdasarkan interaksi sosial yang dijalin dengan individu lain; dan c. Makna tersebut dipahami dan dimodifikasi oleh individu melalui proses interpretif yang berkaitan dengan hal-hal lain yang dijumpainya. Ada dua pendekatan dalam penelitian fenomenologi yaitu: fenomenologi hermeneutik dan empiris, fenomenologi transendetal atau psikologi Van Manen (dalam Creswell 1997). Pandangan Hermeneutik berkaitan dengan menginteprestasikan dan memahami hasil pemikiran manusia yang memberikan ciri pada dunia sosial dan kultural. Dilthey menyatakan bahwa salah satu hal utama dalam suatu metode pemahaman untuk pandangan ini adalah penelitian tentang tampilan kehidupan empiris-institusi, situasi masa lampau, bahasa lainnya yang mencerminkan kehidupan inti dari penciptanya. Penelitian tentang penciptaan sosial ini dilihat sebagai hal utama untuk memahami dunia dari pikiran obyektif. Pandangan Fenomenologi Transendental banyak mendapatkan kontribusi dari Husserl dimana pada penelitian-penelitian awalnya, menyatakan bahwa sains sangat ditentukan oleh karakter intensionalitas. Husserl mencoba untuk meneliti dengan menggunakan analisis kesadaran, dimana dia mengesampingkan realitas dan mencoba menembus berbagai tingkatan fenomena, atau bisa dikatakan bahwa dia mencoba untuk

132

JAMBSP Vol. 8 No. 1 Oktober 2011: 128 146

mengaplikasikan fenomenologi. Menurut Husserl, pengetahuan adalah hal yang paling natural di dunia secara pandangan pre-filosofis atau bisa diasumsikan sebagai misteri. Dalam analisisnya, dia berusaha mencari bukti utama yang absolut seperti fenomena, dalam bentuk utuh, jelas dan tidak perlu suatu penjelasan mengenai bentuknya. Namun akhirnya, dia mencoba untuk mengatasi masalah ini dengan mengadakan interaksi antar individu untuk memunculkan ego transendental sehingga terdapat komunitas intersubyektif, yang pada gilirannya akan membentuk suatu dunia obyektifitas. Hermeneutik Selain fenomenologi, hermeneutik merupakan metode yang menjadi dasar sangat penting dan mewarnai penelitian kualitatif dengan paradigma interpretif. Smith (dalam Sutopo 2002: 26) menyatakan hermeneutik mengarah pada penafsiran ekspresi yang penuh makna dan dilakukan dengan sengaja oleh manusia. Artinya kita melakukan interpretasi atas interpretasi yang telah dilakukan oleh pribadi atau kelompok manusia terhadap situasi mereka sendiri. Hal ini sejalan dengan pola pikir fenomenologi yang melihat makna dari pandangan subyek yang dikaji. Setiap peristiwa atau karya memiliki makna dari interpretasi para pelaku atau pembuatnya. Karya atau peristiwa yang merupakan interpretasi atas sesuatu tersebut selanjutnya menghadapi pembaca atau pengamatnya, dan ditangkap dengan interpretasi pula. Hermeneutik berasal dari bahasa Yunani hermeneuein yang berarti menafsirkan, jika dikaitkan dengan strukturalisme termasuk strukturalisme semantik. Adapun logika hermeneutik termasuk logika linguistik semantik. Pemaknaan hermeneutik konvensional berdasar sumber tunggal. Sumber tunggal yang linguistik adalah struktur bahasa, adapun yang sosial adalah struktur sosial (Muhadjir 2000:315) Interaksi Simbolik Interaksi simbolik adalah salah satu model pendekatan penelitian yang berusaha mengungkap realitas perilaku manusia. Falsafah dasar interaksi simbolik adalah fenomenologi. Namun, dibanding penelitian naturalistik dan etnografi yang juga memanfaatkan fenomenologi, interaksi simbolik memiliki paradigma penelitian tersendiri. Model penelitian ini pun mulai bergeser dari awalnya, jika semula lebih mendasarkan pada interaksi kultural antar personal, sekarang telah berhubungan dengan aspek masyarakat dan atau kelompok. Karena itu bukan mustahil kalau awalnya lebih banyak dimanfaatkan oleh penelitian sosial, namun selanjutnya juga diminati oleh peneliti budaya dan bahkan penelitian dibidang ilmu-ilmu yang lain. Perspektif interaksi simbolik berusaha memahami perilaku manusia yang terpantul dalam komunikasi. Interaksi simbolik lebih menekankan pada makna interaksi sebuah komunitas. Makna esensial akan tercermin melalui komunikasi antar warga setempat. Pada saat berkomunikasi jelas banyak menampilkan simbol yang bermakna, karenanya tugas peneliti menemukan makna tersebut.

Memahami Paradigma Penelitian Non-Positivisme Dan Implikasinya (Ikhsan Budi Riharjo)

133

Muhadjir (2007:190) menjelaskan konsep interaksi simbolik bertolak dari setidaknya tujuh proposisi dasar yaitu: pertama, perilaku manusia itu mempunyai makna di balik yang menggejala. Kedua, pemaknaan kemanusiaan perlu dicari sumbernya ke dalam interaksi sosial. Ketiga, bahwa masyarakat manusia itu merupakan proses yang berkembang holistik, tak terpisah, tidak linier, dan tidak terduga. Keempat, prilaku manusia itu berlaku berdasarkan penafsiran fenomenologik, yaitu berlangsung atas maksud, pemaknaan dan tujuan, bukan didasarkan atas proses mekanik dan otomatik. Kelima, konsep mental manusia berkembang secara dialektik. Keenam, perilaku manusia itu wajar dan konstruktif kreatif, bukan elementer-reaktif. Ketujuh, perlu digunakan metode introspeksi simpathetik, menekankan pendekatan intuitif untuk menangkap makna. Selanjutnya prinsip metodologi dalam interaksi simbolik juga dijelaskan oleh Muhadjir (2007:192). Prinsip metodologi yang pertama adalah, simbol dan interaksi itu menyatu, tak cukup jika merekam fakta, kita harus mencari yang lebih jauh, yaitu mencari konteks sehingga dapat ditangkap simbol dan maknanya. Prinsip kedua, karena simbol dan makna itu tak lepas dari sikap pribadi, maka jati diri subyek perlu dapat ditangkap. Prinsip ketiga adalah, peneliti harus mengkaitkan antara simbol dengan jati diri dengan lingkungan dan hubungan sosial. Prinsip keempat, hendaknya direkam situasi yang menggambarkan simbol dan maknanya, bukan hanya merekam fakta sensualnya saja. Prinsip kelima, metode-metode yang digunakan hendaknya mampu merefleksikan bentuk perilaku dan prosesnya. Prinsip keenam, metode yang dipakai hendaknya mampu menangkap makna dibalik interaksi. Dan prinsip ketujuh mengemukakan bahwa sensitizing (yaitu sekedar mengarahkan pemikiran) itu yang cocok dengan interaksionosme simbolik, dan ketika mulai memasuki lapangan perlu dirumuskan menjadi lebih operasional, menjadi scientific concepts (yaitu konsep yang lebih definitif). Asumsi-asumsi dalam Paradigma Interpretif Asumsi-asumsi dominan dalam paradigma interpretif menurut Chua (1986): a. Keyakinan tentang pengetahuan. 1) Menggali penjelasan ilmiah atas human itention. Kecukupan data digali melalui kriteria konsistensi logis, interpretasi subjektif dan persesuaian dengan interpretasi common sense si aktor. 2) Etnografi, studi kasus dan observasi partisipan menjadi cara penggalian. Aktor diteliti dalam kehidupannya sehari-hari. b. Keyakinan tentang realitas fisik dan sosial. 1) Realitas sosial muncul, dihasilkan secara subjektif dan melalui interaksi manusia. 2) Semua tindakan memiliki makna dan intensi yang saling mendukung secara retrospektif dan berpijak dalam praktik sosial dan historis. 3) Asumsi ada aturan sosial. Konflik dimediasi oleh skema umum tentang makna sosial.

134

JAMBSP Vol. 8 No. 1 Oktober 2011: 128 146

c. Hubungan antara praktik dan teori. Teori hanya untuk menjelaskan tindakan dan memahami bagaimana aturan sosial diproduksi dan direproduksi. Soetriono dan Hanafie (2004:3) juga menjelaskan bahwa prinsip dasar yang dikembangkan dalam paradigma interpretif, disusun berdasarkan asumsi bahwa setiap individu bisa melihat dirinya sendiri sebagaimana dia melihat orang lain. Individu juga tidak pasif, artinya memiliki kemampuan membaca situasi yang melingkupi hidupnya. Pola interaksi yang dikembangkan oleh individu dalam aktivitas sosialnya terutama ditentukan oleh bagaimana individu tersebut menafsirkan situasi yang melingkupi hidupnya. Paradigma Interpretif dalam Penelitian Akuntansi Harus diakui bahwa paradigma positivisme dalam penelitian akuntansi secara mainstream masih mendominasi, namun pada beberapa tahun terakhir penelitian akuntansi dengan paradigma interpretif menunjukkan perkembangan yang menggembirakan, yang mewarnai keragaman paradigma yang dapat digunakan dalam penelitian akuntansi. Penelitian dengan paradigma interpretif antara lain dilakukan oleh Jervis et al (1995) yang melakukan penelitian terhadap perusahaan kecil yang dimiliki secara pribadi dengan paradigma interpretif dengan metode etnometodologi. Model yang mereka gunakan dinamakan ethnoaccounting untuk menangkap realitas bisnis, dengan demikian diperoleh praktik yang berguna secara aktual dan bagaimana praktik tersebut dapat digunakan oleh perusahan kecil. Hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa para pemilik lebih banyak menggunakan judgement disamping standar akuntansi yang ada. Penelitian lainnya yang menggunakan paradigma dan metode yang sama dilakukan oleh Granlund (2003), hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa perilaku individu sangat berperan penting dan krusial dalam proses setelah merger dan akuisisi. Faktor eksternal diluar aktor seperti tujuan yang ambigu, konflik budaya, dan konsekuensi-konsekuensi yang tidak diharapkan tidak mempengaruhi proses pembentukan pranata baru tersebut. Di Indonesia, beberapa contoh penelitian akuntansi dengan paradigma interpretif dilakukan oleh Ludigdo (2006) yang menggunakan metode etnometodologi dalam memahami praktik etika di kantor akuntan publik. Penelitian paradigma interpretif dengan metode fenomenologi juga mengalami perkembangan yang berarti. Penelitian fenomenologi di Indonesia antara lain dilakukan oleh: Rahayu, Ludigdo dan Affandy (2007) yang mengeksplorasi pemahaman atas fenomena penganggaran daerah, sedangkan tujuan penelitinnya adalah memahami perilaku aparatur dalam proses penyusunan anggaran daerah pada Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) di Provinsi Jambi; Penelitian sejenis juga dilakukan oleh Yudi, Sukoharsono dan Affandy (2008) yang mengeksplorasi pemahaman atas implementasi pengendalian akuntansi sektor publik yang diterapkan di kota Pusako, khususnya yang berkaitan dengan efektifitas pengendalian akuntansi sektor publik; dan Sopanah (2009) menjelaskan fenomena

Memahami Paradigma Penelitian Non-Positivisme Dan Implikasinya (Ikhsan Budi Riharjo)

135

partisipasi yang terjadi dalam proses penyusunan APBD di Pemerintah Kota Malang; Sedangkan penelitian yang dilakukan Niswatin, Rosidi dan Irianto (2009) menggunakan studi fenomenologi atas refleksi kinerja manajemen perbankan syariah dalam perspektif amanah. Penelitian paradigma interpretif dengan metode hermeneutik dilakukan oleh Riduwan (2008) yang mengungkapkan kandungan informasi laba akuntansi berdasarkan interpretasi tentang realitas yang direpresentasikan oleh laba akuntansi. Tujuan penelitiannya adalah: (1) memperoleh bukti empiris tentang kesimetrisan interpretasi laba akuntansi oleh akuntan dan non-akuntan. Sebagai simbol yang digunakan dalam komunikasi, laba yang dicantumkan dalam laporan laba-rugi seharusnya dimaknai secara sama, karena hanya dengan demikian komunikasi menjadi efektif; (2) memperoleh bukti empiris tentang pemahaman akuntan dan non-akuntan terhadap konsep laba yang digunakan dalam rerangka konseptual akuntansi. Pihak-pihak yang berkepentingan dengan informasi laba diasumsikan telah memahami konsep laba yang dianut dalam akuntansi ini, karena hanya dengan demikian mereka tidak menginterpretasikan laba akuntansi berdasarkan persepsinya masing-masing. Hasil penelitian ini menunjukkan fakta bahwa laba akuntansi diinterpretasikan secara berbeda oleh komunitas akuntan dan non-akuntan. Penelitian akuntansi dengan interpretif dengan metode hermeneutik lainnya juga dilakukan oleh Riduwan (2009). Pertanyaan-pertanyaan yang ingin dijawab serta tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah: (1) bagaimanakah akuntan, investor, kreditor, dan pemeriksa pajak memaknai praktik manajemen laba yang dilakukan oleh para manajer? (2) bagaimakah pendapat, sikap atau tanggapan akuntan, investor, kreditor, dan pemeriksa pajak atas praktik manajemen laba tersebut? Hasil penelitian Riduwan (2009) menunjukkan bahwa jawaban-jawaban atas pertanyaan dalam penelitian ini masih kontroversial, sesuai dengan perspektif masing-masing informan penelitian. Para akuntan (akuntan pendidik, akuntan manajemen, dan akuntan publik) maupun pemeriksa pajak, menyatakan bahwa manajemen laba tidak dapat disamakan dengan manipulasi laba, dan bukan pula perilaku koruptif, sepanjang dilakukan dalam koridor prinsip akuntansi berterima umum. Sedangkan penasihat investasi dan analis kredit yang menjadi sasaran dan menghadapi dampak langsung maupun tidak langsung dari praktik manajemen laba, menyatakan bahwa manajemen laba tidak berbeda dengan tindakan memanipulasi laba. Praktik manajemen laba merupakan refleksi dari perilaku koruptif yang termotivasi oleh pikiran-pikiran yang terkorupsi. Para pelaku manajemen laba maupun pihak yang mengatakan bahwa manajemen laba bukan perilaku koruptif, mereka pandang sebagai pihak-pihak yang telah mendistorsi makna kata manajemen dari makna luhur menjadi makna yang berkonotasi buruk. Dalam pandangan penasihat investasi dan analis kredit, manajemen laba merupakan praktik yang

136

JAMBSP Vol. 8 No. 1 Oktober 2011: 128 146

tidak dapat diterima, karena mendistorsi informasi keuangan, dan menjadikan laporan keuangan berpihak pada kepentingan manajer. Penelitian paradigma interpretif dengan pendekatan semiotik dilakukan oleh Chariri dan Nugroho (2006), yang menganalisis retorika yang digunakan manajemen dalam pelaksanaan sustainability reporting, dan berusaha menjawab pertanyaan bagaimana dan mengapa suatu perusahaan mengungkapkan informasi corporate social responsibility (CSR) dalam laporan tersebut. Hasil penelitian menunjukkan perusahaan (Aneka Tambang/Antam) mengungkapkan informasi CSR dalam bentuk cerita retorik untuk membentuk image positif bahwa Antam menjalankan kegiatan bisnisnya dengan tetap menaruh perhatian pada isu sosial dan lingkungan. Hal ini dilakukan untuk mengendalikan stakeholders sebagai audien sekaligus untuk memperoleh legitimasi dari stakeholdersnya. Dari analisis semiotik dapat disimpulkan bahwa ada beberapa alasan mengapa Antam mengungkapkan dan melaporkan pelaksanaan sustainability secara terpisah dari laporan tahunan. Alasan-alasan tersebut di antaranya sustainabilty report sebagai alat komunikasi manajemen, Sustainability report sebagai cerita retorik Antam, untuk memperoleh image baik dari stakeholder dan untuk memperoleh legitimasi dari stakeholder.

PARADIGMA KRITIS DAN PERKEMBANGAN KRITIS AKUNTANSI Teori kritis merupakan sekumpulan asumsi, konsep, proposisi-proposisi yang diyakini oleh seseorang atau sekelompok orang dan digunakan sebagai dasar untuk mengenali, menganalisis, dan menilai sesuatu (realitas). Sebagai dasar dalam mengemukakan opini dan kritik tentang realitas. Aliran kritis sebenarnya tidak dapat dikatakan sebagai suatu paradigma, tetapi lebih tepat disebut ideologically oriented inquiry, yaitu suatu wacana atau cara pandang terhadap realitas yang mempunyai orientasi ideologis terhadap paham tertentu. Ideologi ini meliputi: Neo-Marxisme, Materialisme, Feminisme, Freireisme, Partisipatory inquiry, dan paham-paham yang setara. Muhadjir (2000:199) menjelaskan lima model teori kritis yang dikembangkan oleh berbagai cabang ilmu, yaitu: teori kritis Freirian, teori kritis dalam studi Sosiologi, teori kritis Habermas, realisme metaphisik, dan teori kritis yang lain seperti Hermeneutik, Ethnography, dan Feminisme. Melalui pendekatan kritis kita akan melihat suatu teori itu bukan saja terletak pada upaya menempatkan ideologi sebagai bentuk pemikiran akan tetapi juga akan me ncoba mengkaji. Muhadjir (2000:196) mengetengahkan bahwa pandangannya tentang teori kritis berpijak dari pendapat Patti Lather, di mana pendekatan teori kritis termasuk pendekatan era pospositif, yang mencari makna di balik yang empiri, dan menolak value free.

Memahami Paradigma Penelitian Non-Positivisme Dan Implikasinya (Ikhsan Budi Riharjo)

137

Critical theory mempunyai komitmen yang tinggi kepada tata sosial yang lebih adil. Dua asumsi dasar yang menjadi landasan, yaitu: pertama, ilmu sosial bukan sekedar memahami ketidakadilan dalam distribusi kekuasaan dan distribusi sumber daya, melainkan berupaya untuk membantu menciptakan kesamaan dan emansipasi dalam kehidupan; kedua, pendekatan teori kritis memiliki keterikatan moral untuk mengkritik status quo dan membangun masyarakat yang lebih adil (Muhadjir 2000:197). Dilihat dari segi ontologis, paradigma kritis sama dengan post-positivisme yang menilai objek atau realitas secara kritis (critical realism), yang tidak dapat dilihat secara benar oleh pengamatan manusia. Karena itu, untuk mengatasi masalah ini secara metodologis paham ini mengajukan metode dialog dengan transformasi untuk menemukan kebenaran realitas yang hakiki. Secara epistemologis, hubungan antara pengamat dengan realitas yang menjadi objek merupakan suatu hal yang tidak bisa dipisahkan, karena itu, aliran ini lebih menekankan pada konsep subjektivitas dalam menemukan suatu ilmu pengetahuan, karena nilai-nilai yang dianut oleh subjek atau pengamat ikut campur dalam menentukan kebenaran tentang suatu hal. Asumsi-asumsi dalam Paradigma Kritis Asumsi-asumsi dominan dalam paradigma kritis menurut Chua (1986): a. Kriteria untuk memutuskan teori adalah sementara dan terbatas dalam konteks. Biasanya menggunakan studi historis riset etnografis dan studi kasus. b. Keyakinan tentang realitas fisik dan sosial. Manusia mempunyai potensi dalam dirinya yang diasingkan (dicegah dari kekawatiran yang penuh) melalui pembatasan mekanisme. Obyek-obyek yang dapat dipahami melalui sebuah studi tentang perubahan dan perkembangan historis obyek tersebut dalam sebuah totalitas hubungan. 1) Realitas empiris dikarakteristikan melalui tujuan, hubungan riil yang diubah dan diproduksi kembali berdasarkan interpretasi subyektif. 2) Perhatian manusia, rasionalitas dan keagenan diterima, namun hal ini dianalisis secara kritis berdasarkan sebuah keyakinan bahwa idologi dan kesadaran itu adalah palsu. 3) Konflik yang mendasar adalah penyakit masyarakat. Konflik timbul karena adanya ketidak adilan dan idologi dalam ilmu sosial, ekonomi dan politik mangaburkan dimensi kreatif manusia c. Hubungan antara praktik dan teori. Teori memiliki suatu pemaksaan kritis yaitu pengidentifikasian dan penggantian praktik-praktik dominasi dan idologi. Paradigma Kritis dalam Penelitian Akuntansi Penelitian akuntansi berbasis paradigma kritis berusaha untuk menjelaskan bahwa teori dan praktik akuntansi dapat berkembang terus sesuai dengan kreatifitas peneliti dalam akuntansi yang bertujuan melakukan kritik, transformasi, pemulihan, emansipasi,

138

JAMBSP Vol. 8 No. 1 Oktober 2011: 128 146

pembongkaran terhadap suatu fenomena yang diteliti agar dipahami lebih baik. Penelitian akuntansi kritis merupakan suatu proses pengungkapan praktik akuntansi melampaui penampakan di permukaan yang menurut pandangan peneliti didominasi oleh ilusi (Efferin et al 2004: 27). Teori dan praktik akuntansi juga diciptakan oleh manusia sebagai penguasa yang memanipulasi, mengkondisikan, dan mencuci -otak (brain-wash) orang lain agar memahami atau menginterpretasikan akuntansi sesuai dengan interpretasi yang diinginkan oleh yang berkuasa. Melalui paradigma kritis, diharapkan ilmu-ilmu sosial khusunya akuntansi akan terus berkembang berani menentang hegemoni kapitalisme. Penelitian akuntansi kritis diharapkan dapat memperjuangkan ide peneliti yang ingin membawa perubahan substansial, yang didukung dengan pemahaman yang diperoleh peneliti tentang fenomena akuntansi berdasarkan fakta di lapangan, dilengkapi dengan analisis dan pendapat berdasarkan keyakinan pribadi, dengan didukung oleh argumentasi yang memadahi. Penelitian akuntansi dengan paradigma kritis dilakukan oleh Mulawarman (2007) yang bertujuan merumuskan bentuk Laporan Arus Kas Syariah secara utuh. Metodologi yang digunakan adalah metodologi Hiperstrukturalisme Islam Terintegrasi (HIT) yang diperluas. Metodologi HIT dijalankan dengan cara integrasi strukturalisme dan postrukturalisme sekaligus melampaui (hyper) keduanya dalam kerangka Teknosistem yang dipayungi nilai-nilai Islam.

PARADIGMA POSMODERNISME DAN PERKEMBANGAN PENELITIAN AKUNTANSI Istilah posmodernisme dipahami sebagai segala bentuk refleksi kritis atas paradigma modern dan atas metafisika pada umumnya. Konsep posmo pertama kali muncul di lingkungan gerakan arsitektur. Arsitektur modern berorientasi pada fungsi struktur, sedangkan arsitektur posmo berupaya menampilkan makna simbolik dari konstruksi dan ruang. Istilah posmodern pertama kali digunakan oleh Frederico de Onis pada tahun 1930-an untuk menyebut gerakan kritik di bidang sastra, khususnya sastra Prancis dan Amerika Latin. Jean-Francois Lyotard dikenal sebagai tokoh yang pertama kali mengenalkan konsep Posmodernisme dalam filsafat. Kerangka pemikirannya menggabungkan antara Marxis dan Psikoanalisis Freud. Pemikiran Posmodernnya berkembang setelah melihat kenyataan sejarah hilangnya daya pikat seperti perjuangan sosialisme, runtuhnya komunisme, melihat gagalnya modernitas, kejadian-kejadian Auschwitch yang tak terfahami secara rasional. Muhadjir (2000:236) menjelaskan benang merah pola fikir era modern adalah yang rasionalistik, yang fungsionalis, yang interpretif, dan yang teori kritis, yaitu: dominannya rasionalitas. Dalam komparasi dapat dijumpai: paradigma positivisme membuat generalisasi dari frekuensi dan variansi, paradigma interpretif membuat kesimpulan

Memahami Paradigma Penelitian Non-Positivisme Dan Implikasinya (Ikhsan Budi Riharjo)

139

generatif dari esensi; paradigma positivis menguji kebenaran dengan uji validitas, paradigma interpretif menguji thuthworiness lewat triangulasi. Tradisi ilmu sampai teori kritis masih mengejar grand theory. Logika yang dikembangkan dalam berilmu pengetahuan masih dalam kerangka mencari kebenaran, membuktikan kebenaran, dan mengkonfirmasikan kebenaran. Sejumlah ahli mendeskripsikan posmo sebagai menolak rasionalitas yang digunakan oleh fungsionalis, rasionalis, interpretif, dan teori kritis. Namun Muhadjir (2000:237) berpendapat bahwa Posmo bukan menolak rasionalitas tetapi tidak membatasi rasionalitas pada yang linier, tidak membatasi pada yang standar termasuk yang divergen, horizontal, dan heterarkhik, tetapi lebih menekankan pada pencarian rasionalitas aktif kreatif. Bukan mencari dan membuktikan kebenaran, melainkan mencari makna perspektif dan problematis; logika yang digunakan adalah logika unstandard menurut Borghert (1996), logika discovery menurut Muhadjir (1997), atau logika inquiry menurut Conrad (1993). Rasionalitas modernis yang mengejar grand theory dan jabarannya, ditolak oleh posmo. Posmo menggantinya dengan perbedaan (differences), pertentangan (opposites), paradoks, dan penuh misteri (enigma). Dalam pola pikir era modern, kontradiksi intern merupakan indikator lemahnya suatu konsep atau teori. Dalam era posmo kontradiksi baik intern maupun ekstern menjadi suatu pola fikir yang dapat diterima. Untuk mengembangkan pola fikir spesifik posmo adalah Postpositivistik FenomenologikInterpretif Logik dan Etik, misalnya berupa model Interpretif Geertz, Grounded Research, Ethnografik-Etnometodologik, Paradigma Naturalistik, Interaksionisme Simbolik dan Model Kontruktivist. Tata fikir spesifik posmo adalah: kontradiksi, kontroversi, paradoks, dan dilematis. Posmo lebih melihat realitas sebagai problematis, sebagai yang selalu perlu di-inquired, yang selalu perlu di-discovered, sebagai yang kontroversial. Bukannya harus tampil ragu, melainkan harus memaknai dan selanjutnya in action. In action-nya kemana? Ber-action sesuai dengan indikator jalan benar. Yang benar absolut dimana? Bagi sekuler: benar absolut adalah benar universal, benar berdasarkan keteraturan semesta. Keteraturan semesta sampai millenium ketiga pun masih banyak yang belum terungkap. Baru saja teramati bagaimana suatu galaksi terbentuk, baru saja teridentifikasi DNA sebagai intinya gen yang diturunkan, dengan diketemukannya struktur setiap sesuatu dapat dikembangkan tiruan berupa polimer, dan banyak lagi. Bagi yang religius, benar absolut hanya diketahui Allah. Manusia berupaya mengungkap dan memanfaatkan keteraturan semesta untuk kemaslahatan manusia. Posmo dengan logika dan rasionalitas berupaya untuk in action berkelanjutan. Segala yang problematis, yang beragam, yang kontradiksi perlu dipecahkan secara cerdas untuk menemukan jalan menuju kebenaran. Ilmiah, bagi era modern akan bergerak dari tesis atau ke tesis lain, dan dari teori satu ke teori lain. Ilmiah, bagi era posmo dengan logic of discovery dan logic of inquiry bergerak dari innnovation dan invention satu ke innovation dan invention lain. Kebenaran semesta

140

JAMBSP Vol. 8 No. 1 Oktober 2011: 128 146

dapat dipilahkan menjadi dua, yaitu kebenaran keteraturan substantif dan kebenaran keteraturan esensial. Invensi berbagai keteraturan esensial dapat dikreasikan oleh manusia berbagai rekayasa teknologi. Hasilnya dapat luar biasa dan tak terduga, sebagaimana temuan di bidang komputer, temuan DNA, polimer dan lain-lain. Karena itu, inovasi hasil rekayasa teknologi memang tak tergambarkan sebelumnya, dan substansi kebenarannya pun memang belum ada. Meskipun demikian bertolak dari invensi-invensi esensial, imajinasi manusia dapat memprediksikan inovasi masa depan, seperti cerita ilmiah imajinatif pistol laser dari Prins Barin di planet Mars, pesawat ruang angkasa dari Flash Gordon, pembiakan lewat sel, ternyata terbukti dapat direalisasikan. Berbeda dengan rekayasa sosial. Banyak futurolog menampilkan struktur masyarakat atau dinamika masyarakat masa depan, seperti Toffler, Daniel Bell, Naisbitt, atau lainnya. Meskipun menggunakan indikator tertentu, tetap saja akan lebih banyak salahnya daripada benarnya (Muhadjir 2000). Dari penjelasan di atas, dapat dijelaskan bahwa ilmu menjadi empat yaitu: pertama, temuan basic and advanced research yang umumnya lewat eksperimen laboratori (seperti listrik, sinar gamma, struktur polimer, DNA); kedua, temuan fikir cerdas manusia, umumnya secara deduktif (seperti temuan angka arab, angka 0, sistem desimal, huruf latin, logika); ketiga, temuan rekayasa teknologi, temuan technological and advanced research, yang umumnya lewat eksperimen laboratori (seperti temuan televisi, komputer, satelit, polimer buatan, operasi jantung); dan keempat, temuan rekayasa sosial (seperti sistem kasta, monarkhi, teori konflik, teori fungsionalisme, teori posmo). Bagaimana posmodernisme bekerja? Dalam memandang sebuah realitas pikiran digantikan oleh keinginan, penalaran digantikan oleh emosi, dan moralitas digantikan oleh relativisme. Kenyataan tidak lebih dari sebuah konstruk sosial, kebenaran sama dengan kekuatan atau kekuasaan. Identitas diri muncul dari kelompok. Posmodernisme mempunyai karakteritik fragmentasi (terpecah-pecah menjadi lebih kecil), tidak menentukan (indeterminacy), dan sebuah ketidakpercayaan terhadap semua hal universal (pandangan dunia) dan struktur kekuatan. Posmodernisme adalah pandangan dunia yang menyangkal semua pandangan dunia. Singkatnya, posmodernisme mengatakan bahwa tidak ada kebenaran universal yang valid untuk setiap orang. Individu terkunci dalam persepktif terbatas oleh ras, gender, dan grup etnis masing-masing. Salah satu dari elemen utama dari posmodernisme adalah constructedness of reality and hence the inaccessibility of the Real. Posmodernisme bersifat relatif. Kebenaran adalah relatif, kenyataan (realitas) adalah relatif, dan keduanya menjadi konstruk yang tidak bersambungan satu sama lain. Hal tersebut jelas mempunyai implikasi dalam bagaimana kita melihat diri dan mengkonstruk identitas diri. Adian (2006) menangkap adanya gejala nihilisme kebudayaan barat modern. Sikap kritis yang bercikal bakal pada filsuf semacam Nietzsche, Rousseau, Schopenhauer yang menanggapi modernisme dengan penuh kecurigaan. Sikap-sikap kritis terhadap

Memahami Paradigma Penelitian Non-Positivisme Dan Implikasinya (Ikhsan Budi Riharjo)

141

modernisme tersebut nantinya akan berkembang menjadi satu mainstream yang dinamakan postmodernisme. Postmodernitas adalah kondisi dimana masyarakat tidak lagi diatur oleh prinsip produksi barang, melainkan produksi dan reproduksi informasi dimana sektor jasa menjadi faktor yang paling menentukan. Masyarakat adalah masyarakat konsumen yang tidak lagi bekerja demi memenuhi kebutuhan, melainkan demi memenuhi gaya hidup. Modernisme sendiri digambarkan sebagai wacana pemikiran yang meyakini adanya kebenaran mutlak sebagai objek representasi bagi subjek yang sadar, rasional, dan otonom. Menurut Hardiman (2002) modernitas yang kita alami sekarang adalah suatu modernitas yang terdistorsi. Artinya, ada sebuah konsep normatif mengenai modernitas yang kemudian secara faktual disimpangkan oleh tendensi-tendensi historis tertentu yaitu kapitalisme, sehingga modernitas yang ada adalah modernitas kapitalis. Habermas selanjutnya ingin menemukan bagaimana modernisasi merupakan proses rasionalisasi dengan paradigma tunggal dengan mempertahankan rasionalisasi kebudayaan, masyarakat dan kepribadian dengan rasionalisasi komunikatif. Kalau rasionalisasi berjalan sesuai dengan isi normatifnya, modernisasi akan menjamin integrasi kebudayaan, masyarakat dan sosialisasi. Dalam bidang akuntansi penyatuan teori dan/atau praktik yang dianggap dualistik atau dikotomis dalam Paradigma posmodernisme memfokuskan pada dunia modern (seperti: akal dan intuisi, agama dan ilmu, ilmu dan etika, bentuk dan substansi, egoistik dan altruistik, kompetisif dan kooperasif, dan lain-lain) ke dalam jaringan sinergis. Dengan demikian posmodernisme bersifat mutually inclusive dan holistik. Pendekatan ini juga membahas akuntansi dalam konteks sosial di lingkungan yang hybrid, siklikal, interseksi dan turbulen. Akuntansi Posmodern bersumber pada pemahaman kemajemukan metodologi untuk mencerahkan akuntansi dalam fenomena politik, sosial, budaya dan teknologi informasi. Penelitian akuntansi dengan paradigma postmodernisme dilakukan oleh Triyuwono (2007) yang mencoba untuk memberikan kontribusi dalam bentuk rumusan nilai-tambah syariah (Shariah value-added). Dari hasil studi ini diharapkan menjadi tambahan pengkayaan bagi teori akuntansi syariah. Di samping itu juga diharapkan bahwa accounting setter dapat mempertimbangkan konsep ini untuk diaplikasikan pada bank syariah di Indonesia. Pendekatan penelitian yang digunakan Triyuwono (2007) adalah kualitatif posmodern, studi ini menggunakan alat analisis filsafat sufistik Manunggaling Kawulo-Gusti. Tentu saja dalam studi ini tidak membicarakan konsep manunggaling Kawulo-Gusti dalam pengertian jalan mistik kepada Tuhan, tetapi sebaliknya direduksi dalam bentuk pengertian konsep dasar filsafat kemanunggalan. Pada tataran ilmiah, Manunggaling Kawulo-Gusti ini pada dasarnya adalah melakukan upaya sinergi, atau penggabungan,

142

JAMBSP Vol. 8 No. 1 Oktober 2011: 128 146

atau perpaduan antara dua hal atau lebih yang berbeda. Upaya penggunaan Manunggaling Kawulo-Gusti ini semata-mata dilakukan karena konsep tersebut adalah sesuai dengan sunnatullah, baik dalam pengertian ayat-ayat qauliyyah maupun ayat-ayat kauniyyah. Dengan menggunakan konsep tersebut diharapkan bahwa formulasi nilai-tambah syariah tetap selaras dengan tujuan akuntansi syariah yang ingin membangkitkan kesadaran keTuhanan para penggunanya. Hasil penelitian Triyuwono (2007) merumuskan bahwa nilai-tambah syariah meliputi nilai-tambah ekonomi, nilai-tambah mental, dan nilai-tambah spiritual di mana cara perolehan, pemrosesan, dan pendistribusiannya dilakukan secara halal. Bentuk nilaitambah semacam ini memang lebih kompleks jika dibandingkan dengan nilai-tambah ekonomi yang modern. Oleh karena itu, studi syariah ini terus tetap dibutuhkan. Penelitian akuntansi lainnya dengan paradigma postmodernisme dilakukan oleh Riduwan et al (2009) tujuan penelitiannya adalah (1) memahami penafsiran akuntan dan nonakuntan atas laba akuntansi dan (2) melakukan pencarian makna (semiotika) secara dekonstruktif atas penafsiran laba akuntansi untuk mengungkap realitas yang tersembunyi di balik penafsiran tersebut. Paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah paradigma kritis-posmodern (critical-postmodern paradigm) yang dilakukan berdasarkan asumsi-asumsi dan keyakinan dari teori kritis (critical theory) dalam memandang realitas sosial. Penelitian yang dilakukan Riduwan ini berpijak pada asumsi, pola pikir atau keyakinan berikut: (1) praktik akuntansi (khususnya akuntansi keuangan) bukanlah sesuatu yang bersifat given, atau ada seperti apa adanya, tetapi diciptakan oleh pihak yang memiliki kuasa, yaitu akuntan. Akuntan memiliki kuasa untuk menciptakan praktik akuntansi dan mengarahkan pihak lain untuk menjalankan dan memahami praktik akuntansi seperti yang diinginkan. (2) teori dan praktik akuntansi sarat dengan nilai, dan karenanya, netralitas dan objektivitas yang dilekatkan sebagai karakteristik kualitatif informasi akuntansi dapat memunculkan mitos (ilusi) di masyarakat tentang netralitas dan objektivitas informasi akuntansi. (3) tindakan praksis yang dilakukan oleh individu (akuntan dan non-akuntan) sering terdorong oleh keadaan yang tidak dikenalinya. Banyak hal yang mereka lakukan didasari oleh kesadaran semu, dan kesadaran semu tersebut menjadi abadi melalui ideologi, hegemoni, reifikasi, kuasa, dan metafisika kehadiran. (4) teori yang mendorong praktik akuntansi berjalan di atas kesadaran semu harus disikapi secara kritis, dan dipandang perlu adanya pemikiran untuk perubahan.

PENUTUP Berbagai paradigma penelitian non-positivisme memberikan ruang yang begitu luas dalam melakukan kajian di bidang akuntansi. Perkembangan penelitian akuntansi dalam

Memahami Paradigma Penelitian Non-Positivisme Dan Implikasinya (Ikhsan Budi Riharjo)

143

berbagai paradigma tersebut, diharapkan dapat mendorong perkembangan teori dan praktik akuntansi sesuai dengan kreatifitas peneliti, yang bertujuan melakukan kritik dan transformasi terhadap fenomena yang diteliti. Penelitian dengan paradigma posivisme kuantitatif lebih tepat digunakan pada permasalahan yang sudah jelas, data yang terukur dan penelitian dimaksudkan untuk menguji hipotesis (untuk menguji teori). Penelitian kuantitatif dimaksudkan untuk membuat generalisasi, sedangkan paradigma non positivisme dimaksudkan untuk memahami realitas sosial secara mendalam. Oleh karena itu, perbedaan paradigma tersebut tidak perlu dipertentangkan dalam penelitian akuntansi, yang perlu diperhatikan adalah kesesuaian tujuan penelitian dengan paradigma yang akan digunakan untuk menjawab tujuan penelitian.

DAFTAR PUSTAKA Adian, Donny Gahral. 2006. Percik Pemikiran Kontemporer: Sebuah Pengantar Komprehensif. Yogyakarta: Jalasutra. Burrel, G. dan G. Morgan. 1979. Sociological Paradigms and Organizational Analysis. New York: Ashgate Publishing Company. Chariri, Anis. dan Nugroho, Firman Aji. 2006. Retorika dalam Pelaporan Corporate Social Responsibility: Analisis Semiotik atau Sustainability Reporting PT. Aneka Tambang. Simposium Nasional Akuntansi XII. Palembang. Creswell, John. W. 2007. Qualitative Inquiry and Research Design, second edition, Sage Publication Inc, New Delhi India. Cua, Wai Fong. 1986. Radical Development in Accounting Thought. The Accounting Review. LXI(4): 601-632. Denzim K., Norman dan Lincoln S., Yvonna. 2009. Handbook of Qualitative Research. Edisi Bahasa Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Efferin, K., S.H. Darmadji dan Y. Tan. 2004. Metode Penelitian Akuntansi: Sebuah Pendekatan Praktis. Edisi 1. Banyumedia Publishing. Malang Granlund, Markus. 2003. Management accounting system integration in corporate mergers: A case study. Accounting, Auditing & Accountability Journal. 16(2): 208-243.

144

JAMBSP Vol. 8 No. 1 Oktober 2011: 128 146

Hardiman, F.Budi. 2002. Melampaui Positivisme dan Modernitas. Pustaka Filsafat. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Jarvis, Robin, J. Curran, J. Kitching and G.Lightfoot. 1995 Ethno-Accounting in Small Firms: Some Preliminary Considerations, Occasional Paper Series. Kingston Business School, Kingston University. Ludigdo, Unti. 2006. Strukturasi Praktik Etika di Kantor Akuntan Publik: Sebuah Studi Interpretif. Simposium Nasional Akuntansi IX. Padang. Muhadjir, Noeng. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Penerbit Rake Sarasin. _____________. 2007. Metodologi Keilmuan: Paradigma Kualitatif, Kuantitatif dan Mixed. Edisi V Revisi. Yogyakarta: Penerbit Rake Sarasin. Mulawarman, Aji Dedi. 2007. Menggagas Laporan Arus Kas Syariah Berbasis Maisyah: Diangkat dari Habitus Bisnis Muslim Indonesia. Simposium Nasional Akuntansi X. Makasar. Niswatin. Rosidi dan Irianto, Gugus. 2009. Refleksi Kinerja Manajemen Perbankan Syariah dalam Perspektif Amanah: Sebuah Studi Fenomenologis. Simposium Nasional Akuntansi XII. Palembang. Poloma, M. Margaret. 1994. Sosiologi Kontemporer. Diterjemahkan dari Contemporary Sociological Theory. Third Edition. Jakarta: Penerbit RajaGrafindo Persada. Raho, Bernard. 2007. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Penerbit Prestasi Pustaka Publisher. Rahayu, Sri. Ludigdo, Unti dan Affandy Didied. 2007. Studi Fenomenologi Terhadap Proses Penyusunan Anggaran daerah Bukti Empiris dari Satuan Kerja Perangkat Daerah di Provinsi Jambi. Simposium Nasional Akuntansi X. Makasar. Riduwan, Akhmad. 2008. Realitas Referensial Laba Akuntansi Sebagai Refleksi Kandungan Informasi: Studi Interpretif-Kritis Dari Komunitas Akuntan dan NonAkuntan. Simposium Nasional Akuntansi XI. Pontianak. _______________. 2009. Etika dan Perilaku Koruptif dalam Praktik Manajemen Laba: Studi Hermeneutik-Kritis. Simposium Nasional Akuntansi XII. Palembang.

Memahami Paradigma Penelitian Non-Positivisme Dan Implikasinya (Ikhsan Budi Riharjo)

145

Riduwan, Akhmad. Triyuwono, Iwan. Irianto, Gugus dan Ludigdo, Unti. 2009. Semiotika Laba Akuntansi: Studi Kritikal-Posmodernis Derridean. Simposium Nasional Akuntansi XII. Palembang. Santana K., Septiawan. 2010. Menulis Ilmiah: Metodologi Penelitian Kualitatif. Edisi Kedua. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Soetriono dan Hanafie Rita. 2004. Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian. Jember: Penerbit Universitas Jember. Sopanah. 2009. Studi Fenomenologis: Menguak Partisipasi Masyarakat dalam Proses Penyusunan APBD. Simposium Nasional Akuntansi XII. Palembang. Spradley, J.P. 1997. Metoda Etnografi. Diterjemahkan dari The Ethnographic Interview. Jogyakarta: Penerbit PT Tiara Wacana. Sutopo. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Edisi Pertama. Surakarta: Sebelas Maret University Press. Triyuwono, Iwan. 2007. Mengangkat Sing Liyan Untuk Formulasi Nilai Tambah Syariah. Simposium Nasional Akuntansi X. Makasar. Yudi. Sukoharsono, Eko ganis dan Affandy Didied. 2008. Studi Fenomenologis Terhadap Pelaksanaan Pengendalian Akuntansi Sektor Publik pada Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah kota Pusako di Provinsi Jambi dalam Pemahaman Functionalism Structural Parsons. Simposium Nasional Akuntansi XI. Pontianak.

146

JAMBSP Vol. 8 No. 1 Oktober 2011: 128 146

You might also like