694 1528 1 SM

You might also like

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 8

Prosiding Semirata FMIPA Universitas Lampung, 2013

Semirata 2013 FMIPA Unila |339


Screening of biosurfactant producing hydrocarbonoclastic
bacteria as a bioremediation agent of petroleum contaminated
environment
Hary Widjajanti, Muharni, dan Mirfat
Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Sriwijaya, Inderalaya

Abstract. Biosurfactant application is one of the important efforts in accelerating the
petroleum bioremediation process. The aim of this research were screening for biosurfactant
producing by hydrocarbonoclastic bacteria from petroleum contaminated mangrove area and
to know the production and emulsification potency of their biosurfactant. Screening done by
looking hemolytic activity of 29 isolates of hydrocarbonoclastic bacteria on blood agar
medium. The variables measured were total count bacteria, biosurfactant production and
emulsification index. The results showed that 16 hydrocarbonoclastic bacteria known
potentially to produce biosurfactant. Pseudomonas alcaligenes, Pseudomonas
saccharophyla, and Bacillus sphaericus var rotans selected as the inoculum of biosurfactant
production. The highest biosurfactant product achieved at the 48

hours incubation time,
which biosurfactant produced by Pseudomonas alcaligenes was 1.9 g/L with emulsification
index 0.6, Pseudomonas saccharophyla produce biosurfactant at 1.86 g/L with
emulsification index of 0.63 and Bacillus sphaericus var rotans produce biosurfactant at 0.68
g/L with emulsification index of 0.6.
Key words: screening, biosurfactant, hydrocarbonoclastic bacteria, emulsification index
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Pencemaran minyak bumi yang terjadi
pada ekosistem perairan selain dapat
merusak lingkungan biota air di bawahnya,
dapat juga mengganggu kesehatan manusia.
Bahan pencemar tersebut sangat sulit untuk
diatasi apabila sudah menempel pada
partikel padat seperti tanah, pasir, sediment
dan tumbuhan. Beberapa cara telah
dilakukan untuk menanggulangi
pencemaran ini, diantaranya dengan
fotooksidasi, penguapan, dan penggunaan
surfaktan kimia (Van Dyke et al., 1991).
Masalah lain dari penanggulangan tersebut
diantaranya adalah biaya yang mahal, selain
itu beberapa surfaktan kimia juga
menyebabkan masalah bagi lingkungan
karena sifatnya yang resisten untuk dapat
dipecah secara biologi dan sangat toksik
saat terakumulasi dalam suatu ekosistem
alam (Fiechter, 1992).
Salah satu cara penanggulangan
pencemaran oleh minyak bumi yang aman
adalah dengan menggunakan biosurfaktan
yang dihasilkan oleh mikroba pendegradasi
minyak bumi. Selain dapat membantu
peningkatan degradasi minyak bumi juga
tidak toksik terhadap lingkungan, sehingga
keberadaan biosurfaktan dapat menjadi
alternatif pengganti senyawa surfaktan
kimia pengaktif permukaan (Van Dyke et
al., 1991).
Biosurfaktan dapat digunakan untuk
mempercepat bioremediasi lingkungan
yang tercemar minyak bumi, yaitu dengan
meningkatkan daya kelarutan minyak bumi.
Selanjutnya minyak bumi didegradasi oleh
sel-sel mikroorganisme, melalui
pembentukan butiran-butiran minyak bumi
(misel) yang terdispersi dalam air (Dunvjak
et al., 1983). Selain untuk bioremediasi,
biosurfaktan juga dapat dimanfaatkan
dalam teknologi MEOR untuk
meningkatkan perolehan minyak bumi.
Hary Widjajanti, dkk: Screening of biosurfactant producing hydrocarbonoclastic
bacteria as a bioremediation agent of petroleum contaminated environment

340|Semirata 2013 FMIPA Unila
Widjajanti dkk (2008) telah
mendapatkan 29 jenis bakteri
hidrokarbonoklastik dari kawasan
mangrove yang tercemar minyak bumi,
yaitu dari genera Alcaligenes, Bacillus,
Pseudomonas, Enterobacter,
Flavobacterium, dan Pseudomonas. Semua
jenis bakteri tersebut bersifat
hidrokarbonoklastik dan diduga juga
menghasilkan biosurfaktan. Oleh karena itu
akan dikaji kemampuan isolat bakteri yang
didapatkan dalam menghasilkan
biosurfaktan dan optimasi pertumbuhannya
dalam produksi biosurfaktan.

Tujuan penelitian untuk melakukan
skrining bakteri hidrokarbonoklastik
penghasil biosurfaktan yang diperoleh dari
kawasan mangrove yang tercemar minyak
bumi dan menguji kemampuannya dalam
produksi dan emulsifikasi biosurfaktan.

BAHAN DAN METODE

Skrining bakteri penghasil biosurfaktan
Srining bakteri penghasil biosurfaktan
menggunakan uji hemolisis. Aktivitas
hemolitik oleh strain bakteri dilihat dengan
cara menginokulasikan bakteri pada
medium agar darah (blood agar) dan
diinkubasi pada suhu 30
0
C selama 24 jam.
Terbentuknya zona bening di sekitar koloni
bakteri menunjukkan aktivitas hemolitik
yang dapat diindikasikan sebagai penghasil
biosurfaktan (Bicca et al., 1999 dalam
Tabatabaee et al. 2005). Dari semua bakteri
yang dapat menghasilkan biosurfaktan akan
dipilih bakteri yang membentuk zona
bening paling besar dan paling jelas di
sekeliling koloninya. dan selanjutnya
digunakan sebagai inokulum untuk
produksi biosurfaktan.

Pembuatan kurva standar dan kurva
pertumbuhan bakteri
Kurva standar yang dibuat merupakan
korelasi antara kekeruhan biakan dan
jumlah sel bakteri per ml biakan. Kurva
standar ini selanjutnya akan digunakan
dalam penghitungan jumlah bakteri
selanjutnya. (Modifikasi Hadioetomo
1990).

Kurva pertumbuhan dibuat dengan
menumbuhkan bakteri pada medium ZoBell
cair dan diinkubasi di atas shaker pada suhu
ruang dengan kecepatan agitasi 150 rpm.
Jumlah sel bakteri dihitung setiap 6 jam
sekali sampai terjadi penurun. Data jumlah
sel bakteri dari setiap waktu pengamatan
dibuat dalam bentuk grafik, sehingga
diketahui fase-fase pertumbuhannya
(Brock, 1974).

Produksi Biosurfaktan
Medium SMSS cair 100 mL dengan pH
6,5 diinokulasi dengan 10% inokulum
bakteri. Kultur selanjutnya diinkubasi pada
rotary shaker 150 rpm pada suhu ruang.
Pengambilan sampel untuk pengukuran
produksi biosurfaktan dilakukan setiap 12
jam sekali, sampai jam ke 60 (Modifikasi
Suryatmana et al. 2004).

Pengukuran Produksi Biosurfaktan
Biosurfaktan dipisahkan dari kultur
dengan sentrifugasi pada kecepatan 13.000
rpm selama 60 menit sehingga diperoleh
supernatan. Selanjutnya dilakukan ekstraksi
biosurfaktan fraksi asam lemak
(Suryatmana, 2006 dalam Devianto &
Kardena 2010) dan ekstraksi biosurfaktan
fraksi eksopolisakarida (Vermani et. al.,
1995).

Pengukuran Indeks Emulsifikasi (E
24
)
Pengukuran dilakukan untuk menguji
tingkat emulsifikasi biosurfaktan fraksi
total terhadap minyak bumi. Pengukuran
dilakukan dengan menambahkan 5 ml
supernatan hasil sentrifugasi pada 5 ml
crude oil. Larutan campuran antara crude
oil dan supernatan kemudian dikocok
dengan vorteks kecepatan maksimal sampai
tercampur merata, lalu dibiarkan selama 24
jam. Indeks Emulsifikasi (E
24
) diketahui
Prosiding Semirata FMIPA Universitas Lampung, 2013


Semirata 2013 FMIPA Unila |341
dengan mengukur ketinggian larutan
minyak teremulsi dibagi tinggi total larutan
setelah 24 jam (Suryatmana, 2006 dalam
Devianto & Kardena 2010).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil skrining bakteri
hidrokarbonoklastik penghasil
biosurfaktan

Hasil skrining bakteri
hidrokarbonoklastik pada medium agar
darah disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Hasil skrining bakteri
hidrokarbonoklastik penghasil
biosurfaktan

No. Spesies Diameter
Zona
Bening
(mm)
1. Alcaligenes eutrophus -
2. Alcaligenes faecalis 6,3
3. Bacillus aminovorans 9,7
4. Bacillus apiarius -
5. Bacillus brevis 3,3
6. Bacillus carotarum -
7. Bacillus cereus -
8. Bacillus coagulans -
9. Bacillus firmus -
10. Bacillus licheniformis -
11. Bacillus macerans 6,8
12. Bacillus megaterium 8,2
13. Bacillus mycoides 7,8
14. Bacillus polymyxa 1,0
15. Bacillus sphaericus 7,8
16. Bacillus sphaericus
var rotans 15,0
17. Enterobacter
agglomerans
-
18. Flavobacterium
thalpophilum 3,0
19. Pseudomonas
alcaligenes 10,1
20. Pseudomonas
aureofaciens
-
21. Pseudomonas
aeruginosa 7,5
22. Pseudomonas cepacia 10,5
23. Pseudomonas
diminuta
-
24. Pseudomonas
mendocina 1,0
25. Pseudomonas
pseudoalcaligenes 1,0
26. Pseudomonas
pseudomallei
-
27. Pseudomonas putida -
28. Pseudomonas
saccharophyla 13,3
29. Pseudomonas syringae -

Keterangan: tanda (-) : tidak terbentuk zona
bening

Diameter zona bening yang terbentuk di
sekitar koloni bakteri bervariasi berkisar
antara 1 hingga 15 mm. Perbedaan ini
diduga disebabkan perbedaan kemampuan
masing-masing bakteri dalam menghasilkan
biosurfaktan. Bakteri yang memiliki
kemampuan menghasilkan biosurfaktan
lebih banyak, akan membentuk misel lebih
banyak di sekeliling fosfolipid darah dan
kemudian melisiskannya. Semakin banyak
sel darah yang lisis semakin besar pula zona
bening yang terbentuk, begitu juga
sebalikanya. Menurut Yuliar (2008), prinsip
aktivitas biosurfaktan didasarkan pada
kemampuan biosurfaktan membentuk misel
mengelilingi komponen hidrofobik dan
melisis sel darah merah.
Hasil skrining menunjukkan bahwa
Pseudomonas alcaligenes, Pseudomonas
saccharophyla, dan Bacillus sphaericus var
rotans menghasilkan zona yang paling
bening di sekeliling koloninya. Hal ini
menunjukkan bahwa ketiga bakteri mampu
melisis darah dengan sempurna (
hemolisis). Menurut Tabatabaee et al.
(2005), terbentuknya zona bening di sekitar
koloni bakteri menunjukkan aktivitas
hemolisis bakteri yang dapat diindikasikan
sebagai penghasil biosurfaktan. Ketiga
Hary Widjajanti, dkk: Screening of biosurfactant producing hydrocarbonoclastic
bacteria as a bioremediation agent of petroleum contaminated environment

342|Semirata 2013 FMIPA Unila
bakteri ini kemudian dipilih sebagai
inokulum untuk produksi biosurfaktan.

Produksi biosurfaktan
Hasil pengukuran produksi biosurfaktan
pada jam ke-0, 12, 24, 36, 48, dan 60
disajikan pada Gambar 1.







Gambar 1. Produksi Biosurfaktan oleh a) P.
alcaligenes, b) P. saccharophyla,
dan c) B. sphaericus var rotans

Produksi biosurfaktan ketiga kultur
bakteri cenderung mengalami peningkatan
secara simultan sejak awal pengamatan
hingga jam ke-48, dimana ketiga strain
bakteri sedang berada pada fase
eksponensial dan fase stasioner. Hal ini
sesuai dengan pernyataan Mulligan &
Gibbs tehun 1993 dalam Ratih & Eviyati
(2007), bahwa senyawa biosurfaktan
merupakan bioproduk sel bakteri yang
terbentuk selama fase eksponensial dan
stasioner. Biosurfaktan diproduksi jika
terjadi akumulasi lemak pada dinding sel
bakteri.

Produksi biosurfaktan tertinggi terlihat
pada jam ke-48, dimana ketiga kultur
bakteri sedang berada pada akhir fase
stasioner. Hal ini diduga disebabkan karena
pada akhir fase stasioner terjadi
penumpukan biosurfaktan yang dihasilkan
oleh sel bakteri. Menurut Gosalam et al.
(2008) pada akhir fase stasioner terjadi
penimbunan metabolit-metabolit yang dapat
menurunkan pertumbuhan.

Penurunan produksi mulai terjadi setelah
48 jam masa inkubasi, dimana bakteri mulai
berada pada akhir fase stasioner atau awal
fase kematian. Penelitian Latunussa (2007)
dalam Devianto & Kardena (2010), bahwa
setelah inkubasi selama 48 jam terjadi
penurunan produksi eksopolisakarida oleh
bakteri Lactobacillus rhamnosus hingga
mencapai 82%. Anonim (2011)
menambahkan, terjadi penurunan produksi
biosurfaktan seiring dengan menurunnya
pertumbuhan bakteri.
Penurunan produksi ini diduga
disebabkan karena pada akhir fase stasioner
terdapat penimbunan metabolit yang
menghambat pertumbuhan bakteri.
Terhambatnya pertumbuhan sel bakteri
secara tidak langsung juga menghambat
bakteri untuk menghasilkan enzim yang
berperan dalam pembentukan biosurfaktan.
Menurut Sheppard & Cooper (1991),
produksi biosurfaktan dipengaruhi oleh
Prosiding Semirata FMIPA Universitas Lampung, 2013


Semirata 2013 FMIPA Unila |343
keberadaan enzim glutamin sintetase. Jika
kehadiran enzim glutamin sintetase tertekan
maka produksi biosurfaktan pun akan
menurun.
Pola produksi biosurfaktan yang telah
dijelaskan di atas memperlihatkan bahwa
kuantitas produksi biosurfaktan
berhubungan dengan pertumbuhan bakteri,
dimana apabila jumlah sel bakteri
meningkat maka produksi biosurfaktan
meningkat. Menurut Shuler & Kargi tahun
1992 dalam Suryatmana et al. (2004),
bakteri tertentu memiliki pola pembentukan
produk yang secara simultan sejalan dengan
pertumbuhan, dimana produk biosurfaktan
proporsional terhadap pertumbuhan sel.
Biosurfaktan yang dihasilkan ketiga
bakteri pun dapat terdeteksi jenisnya.
Berdasarkan hasil ekstraksi diketahui
bahwa Pseudomonas alcaligenes dan
Pseudomonas saccharophyla memiliki
potensi dalam mengekskresikan senyawa
kelompok eksopolisakarida (EPS). Sesuai
dengan Kim et al. (1996) beberapa spesies
dari genus Pseudomonas menghasilkan
jenis polisakarida penting. Polisakarida
tersebut antara lain polisakarida
ekstraselular (EPS), kapsular, dan
lipopolisakarida. Bacillus sphaericus var
rotans juga mengekskresikan senyawa
kelompok eksopolisakarida. Hal ini sejalan
dengan penelitian Illias et al. (2001) bahwa
dari uji produksi polisakarida pada medium
sukrosa, didapatkan 6 koloni dari genus
Bacillus terlihat berlendir karena kehadiran
eksopolisakarida. Eksopolisakarida dapat
berfungsi sebagai biosurfaktan, yang dapat
meningkatkan biodegradasi limbah minyak
bumi (Iwabuchi et al. 2002).

Indeks Emulsifikasi
Hasil pengukuran indeks emulsifikasi
menunjukkan bahwa biosurfaktan dari
ketiga kultur bakteri yang diuji memiliki
kemampuan dalam megemulsi hidrokarbon
(Gambar 2). Hal ini sesuai dengan dengan
Nimatuzzahroh et al. (2002), produk
biosurfaktan yang dihasilkan bakteri
Pseudomonas sp. dapat meningkatkan
emulsifikasi hidrokarbon di dalam air dan
mampu menurunkan tegangan permukaan
supernatan kultur bakteri.






Gambar 2. Index Emulsifikasi (E
24
)
biosurfaktan oleh kultur bakteri
a) P. alcaligenes, b) P.
saccharophyla, c) B. sphaericus
var rotans

Hary Widjajanti, dkk: Screening of biosurfactant producing hydrocarbonoclastic
bacteria as a bioremediation agent of petroleum contaminated environment

344|Semirata 2013 FMIPA Unila
Produksi biosurfaktan tertinggi dicapai
pada jam ke-48, dimana indeks emulsifikasi
(E
24
) Pseudomonas alcaligenes sebesar 0,6
dengan produksi biosurfaktan 1,9 g/L, E
24

Pseudomonas saccharophyla mencapai
angka 0,63 dengan 1,86 g/L, dan Bacillus
sphaericus var rotans mencapai angka 0,6
dengan kuantitas biosurfaktan 0,68 g/L.
Meski kultur bakteri Bacillus sphaericus
var rotans menghasilkan produk yang
relatif sedikit (0,68 g/L), namun kultur ini
masih menunjukkan nilai emulsifikasi
sebesar 0,6. Kondisi ini menunjukkan
bahwa kualitas biosurfaktan yang
dihasilkan memiliki kualitas emulsifikasi
yang kuat. Menurut Dastgheib et al. (2008)
biosurfaktan dengan berat molekul tinggi
seperti eksopolisakarida merupakan
emulsifier yang sangat efisien bekerja pada
konsentrasi rendah dan menunjukkan
kekhasan substrat. Diperkuat Diah (2008)
bioemulsifier polisakarida amfifatik
merupakan polimer dengan berat molekul
besar. Dalam medium cair, bioemulsifier ini
mempengaruhi pembentukan emulsi serta
kestabilannya.
Semakin tinggi produk yang terbentuk
maka semakin tinggi pula indeks
emulsifikasi yang dicapai (Gambar 2). Hal
ini terjadi karena semakin banyak
biosurfaktan yang diproduksi, semakin
banyak pula misel yang terbentuk dan
meningkatkan kelarutan minyak dalam air.
Menurut Nababan (2008) mikroorganisme
dengan produksi biosurfaktan yang besar
pada umumnya juga mempunyai
kemampuan yang besar dalam menguraikan
senyawa hidrokarbon melalui pelarutan
ataupun emulsifikasi.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
Hasil skrining dari 29 bakteri
hidrokarbonoklastik yang berasal dari
kawasan mangrove tercemar minyak bumi
diketahui 16 bakteri berpotensi
menghasilkan biosurfaktan.
Produk biosurfaktan tertinggi dicapai
pada jam pengamatan ke-48, dimana P.
alcaligenes memproduksi biosurfaktan
sebesar 1,9 g/L, diikuti P. saccharophyla
1,86 g/L, dan B. sphaericus var rotans 0,68
g/L.
Indeks emulsifikasi tertinggi dicapai
pada jam pengamatan ke-48, dimana P.
alcaligenes mencapai indeks emulsifikasi
sebesar 0,6; P. Saccharophyla 0,63; dan B.
sphaericus var. rotans 0,6.

Saran
Berdasarkan hasil yang diperoleh pada
penelitian ini, dapat disarankan perlunya
dilakukan optimasi nutrien (sumber karbon
dan nitrogen) dan faktor lingkungan
(seperti: pH dan kecepatan agitasi) yang
mendukung produksi biosurfaktan dari
ketiga bakteri untuk mendapatkan hasil
produksi yang lebih tinggi.

DAFTAR PUSTAKA
Datsgheib, S.M.M., M.A. Amoozegar, E.
Elahi, S. Asad & I.M. Banat. 2008.
Bioemulsifier production by a
halothermophilic Bacillus strain with
potential applications in microbially
enhanced oil recovery. Biotechnol. Lett.
30: 263-270.
Devianto, L.A. & E. Kardena. 2010.
Pengaruh Glukosa terhadap Produksi
Biosurfaktan oleh Azotobacter vinelandii
dan Pengaruh Biosurfaktan Terhadap
Biodegradasi TPH oleh Konsorsium
Bakteri Petrofilik. Biotechnology. 8 (1):
1-10.
Diah, P. 2008. Mekanisme Kerja Bakteri
Pseudomonas sp. dalam Proses
Bioremediasi Minyak Bumi.
http://orpipu.com/2008/11/mekanisme-
kerja-bakteri-pseudomonas-sp.html. 19
April 2011.
Duvnjak, Z., Cooper, Cooper, D.G, dan
Kosaric, N.1983. Effect of nitrogen
sources on surfactans production by
Prosiding Semirata FMIPA Universitas Lampung, 2013


Semirata 2013 FMIPA Unila |345
Arthobacter paraffineus ATCC 19558
dalam Microbial Enhanced Oil
Recovery. Zajic, J. E. Penn Well Books
Tulsa, Oklahoma, 66-71.
Fiechter, A.1992. Biosurfactans : moving
towards industrial application. Tibtech,
10, 208-216.
Gosalam, S., A. Tahir & J.L. Silviana.
2008. Uji Kemampuan Bakteri dari
Perairan dalam Mendegradasi Senyawa
Minyak Solar. Jurnal Torani. 18 (2):
171-178.
Hadioetomo, R.S. 1990. Mikrobiologi
Dasar dalam Praktek Teknik dan
Prosedur Dasar Laboratorium.
Gramedia. Jakarta. 163 hlm.
Illias, R.M., O.S. Wei, A.K. Idris & W.A.
Rahman 2001. Isolation and
Characterization Of Halotolerant
Aerobic Bacteria From Oil Reservoir.
Jurnal Teknologi. 35 (1): 1-10.
Iwabuchi, N., M. Sunairi, M. Urai, C. Itoh,
H. Anza, & S. Harayama. 2002. Extra
cellular Polysacharides of Rhodococus
rhodochrous S-2 stimulate the
Degradation of Aromatic Components in
Crude Oil by Indigenous Marine
Bacteria. J. Appl. Environ. Microbiol.
68: 2337-2343.
Kim, J.S., B.L. Reuhs, M.M. Rahman, B.
Ridley & R.W. Carlson. 1996.
Separation of bacterial capsular and
lipopolysaccharides by preparative
electrophoresis. Glycobiology. 6 (4):
433- 437.
Nababan, B. 2008. Isolasi Dan Uji Potensi
Bakteri Pendegradasi Minyak Solar Dari
Laut Belawan. Tesis.Universitas
Sumatera Utara. xi+62 hlm.
Nimatuzahroh, T. Surtiningsih & M.
Tanjung. 2002. Mekanisme Asimilasi
Hidrokarbon Oleh Bakteri
Hidrokarbonoklastik Pseudomunas sp.
Abstrak Penelitian. 1 hlm.
Ratih, S. & R. Eviyati. 2007. Pestisida
Organik Berbahan Aktif Bakteri Agensia
Hayati yang Efektif Mengendalikan
Pustul Kedelai. Jurnal Agrijati. 6 (1):
30-34.
Sheppard, J.D. & D.G. Cooper. 1991. The
Respons of Bacillus subtillis ATCC
21332 to Manganese During Continous
Phase Growth. Appl. Microbiol. Techno.
35: 72-76.
Suryatmana, P., K. Edwan, R. Enny &
Wisjnuprapto. 2004. Karakteristik Bio-
surfaktan dari Azotobacter chroococcum.
Di dalam Laporan akhir dan Seminar
Evaluasi RUT XI. Kementrian Riset dan
Teknologi RI. Serpong. 1-18 hlm.
Tabatabaee, A., M.M. Assadi, A.A. Noohi
& V.A. Sajadian. 2005. Isolation of
Biosurfactant Producing Bacteria from
Oil Reservoirs. Iranian J. Env. Health
Sci. Eng. 2 (1): 6-12.
Van Dyke., Lee, H., and Trevor, J.T, 1991.
Application of microbial surfactans,
Biotech. Adv., 9, 241-252.
Widjajanti, H., M. Ridho & Munawar.
2008. Upaya Rehabilisasi Hutan
Mangrove: Studi Modelling
Bioremediasi Menggunakan Agen
Biologis Indigenous untuk Menurunkan
bahan Pencemar di Hutan Mangrove
Wilayah Propinsi Sumatera Selatan.
Laporan Penelitian Universitas
Sriwijaya. 1-41 hlm.
Yuliar. 2008. Skrining Bioantagonistik
Bakteri untuk Agen Biokontrol
Rhizoctonia solani dan Kemampuannya
dalam Menghasilkan Surfaktin.
Biodiversitas. 9 (2): 83-86.




346|Semirata 2013 FMIPA Unila

You might also like