Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 54

MAKALAH

Bahaya Kebakaran Hutan


Bagi Kelangsungan Keragaman Hidup Flora Dan Fauna

Disusun Untuk Memenuhi Mata Kuliah
Jurusan Teknik Elektro Program Studi Teknik Telekomunikasi

Disusun Oleh :
Herdani Agustina 0611 3033 0967
Maya Sari Rahmawati 0611 3033 0971
Reni Oktaria 0611 30330976
Kelas : 6TC

POLITEKNIK NEGERI SRIWIJAYA
PALEMBANG
2014
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu Negara tropis yang memiliki wilayah hutan
terluas di dunia setelah Brazil dan Zaire. Hal ini merupakan suatu kebanggaan
bagi bangsa Indonesia, karena dilihat dari manfaatnya sebagai paru-paru dunia,
pengatur aliran air, pencegah erosi dan banjir serta dapat menjaga kesuburan
tanah. Selain itu, hutan dapat memberikan manfaat ekonomis sebagai
penyumbang devisa bagi kelangsungan pembangunan di Indonesia. Karena itu
pemanfaatan hutan dan perlindungannya telah diatur dalam UUD 45, UU No. 5
tahun 1990, UU No 23 tahun 1997, UU No. 41 tahun 1999, PP No 28 tahun 1985
dan beberapa keputusan Menteri Kehutanan serta beberapa keputusan Dirjen
PHPA dan Dirjen Pengusahaan Hutan.
Hutan yang seharusnya dijaga dan dimanfaatkan secara optimal dengan
memperhatikan aspek kelestarian kini telah mengalami degradasi dan deforestasi
yang cukup mencenangkan bagi dunia Internasional, faktanya Indonesia
mendapatkan rekor dunia guiness yang dirilis oleh Greenpeace sebagai negara
yang mempunyai tingkat laju deforestasi tahunan tercepat di dunia, Sebanyak 72
persen dari hutan asli Indonesia telah musnah dengan 1.8 juta hektar hutan
dirusakan per tahun antara tahun 2000 hingga 2005, sebuah tingkat kerusakan
hutan sebesar 2% setiap tahunnya.
Hal ini dikarenakan pengelolaan dan pemanfaatan hutan selama ini tidak
memperhatikan manfaat yang akan diperoleh dari keberadaan hutan tersebut,
sehingga kelestarian lingkungan hidup menjadi terganggu. Penyebab utama
kerusakan hutan adalah kebakaran hutan. Kebakaran hutan terjadi karena
manusia yang menggunakan api dalam upaya pembukaan hutan untuk Hutan
Tanaman Industri (HTI), perkebunan, dan pertanian. selain itu, kebakaran
didukung oleh pemanasan global, kemarau ekstrim yang seringkali dikaitkan
dengan pengaruh iklim memberikan kondisi ideal untuk terjadinya kebakaran
hutan.

1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah :
1. Pengertian dan manfaat hutan di Indonesia.
2. Kerusakan hutan dan penyebabnya yang terjadi di Indonesia.
3. Kebakaran hutan dan jenis-jenisnya.
4. Penyebab dan dampak kebakaran hutan.
5. Pencegahan dan penaggulangan kebakaran hutan.
6. Beberapa kasus kebakaran hutan.

1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah :
1. Mengetahui pengertian dan manfaat hutan di Indonesia.
2. Mengetahui kerusakan hutan yang terjadi di Indonesia dan penyebabnya.
3. Mengetahui pengertian dan jenis-jenis kebakaran hutan.
4. Mengetahui penyebab dan dampak kebakaran hutan.
5. Mengetahui cara pencegahan dan penaggulangan kebakaran hutan.
6. Mengetahui beberapa kasus kebakaan hutan.








BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Hutan
Hutan adalah kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya
alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya,
yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan (Undang undang Nomor 41
Tahun 1999 tentang Kehutanan). Sedangkan menurut Ensiklopedia Indonesia,
hutan adalah suatu areal yang dikelola untuk produksi kayu dan hasil hutan
lainnya dipelihara bagi keuntungan tidak langsung atau dapat pula bahwa hutan
sekumpulan tumbuhan yang tumbuh bersama.
Pemanfaatan sekaligus perlindungan hutan di Indonesia diatur dalam UUD
45, UU No. 5 tahun 1990, UU No 23 tahun 1997, UU No. 41 tahun 1999, PP No
28 tahun 1985 dan beberapa keputusan Menteri Kehutanan serta beberapa
keputusan Dirjen PHPA dan Dirjen Pengusahaan Hutan. Menurut beberapa
peraturan tersebut,hutan merupakan sumberdaya alam yang tidak ternilai karena
didalamnya terkandung keanekaragaman hayati sebagai sumber plasma nutfah,
sumber hasil hutan kayu dan non-kayu, pengatur tata air, pencegah banjir dan
erosi serta kesuburan tanah, perlindungan alam hayati untuk kepentingan ilmu
pengetahuan, kebudayaan, rekreasi, pariwisata dan sebagainya.

2.2 Hutan di Indonesia
Luas hutan di Indonesia berkisar 122 juta hektar, yang persebarannya di
Pulau Jawa hanya sekitar 3 juta Ha, terdiri atas 55% hutan produksi dan 45%
hutan lindung. Persebaran hutan di Indonesia kebanyakan berjenis hutan hujan
tropis yang luasnnya mencapai 89 juta hektar. Daerah-daerah hutan hujan tropis
antara lain terdapat di pulau Sumatera, Kalimantan, Jawa Barat, Sulawesi Utara,
dan Irian. Hutan hujan tropis anggotanya tidak pernah menggugurkan daun,
liananya berkayu, pohon-pohonnya lurus dapat mencapai rata-rata 30 meter.

2.3 Manfaat Hutan di Indonesia
1. Hutan di Indonesia Sebagai paru-paru dunia jamur dan bakteri
Kekayaan Keanekaragaman Hayati yang Tinggi sebagai Paru-paru
Dunia Jamur dan bakteri tersebut dapat membantu proses pembusukan
pada hewan dan tumbuhan secara cepat. Dengan demikian hutan hujan
tropika tidak saja ditandai dengan pertumbuhan yang baik tetapi juga
tempat pembusukan yang baik. Keanekaragaman hayati ditandai dengan
kekayaan spesies yang dapat mencapai sampai hampir 1.400 spesies,
Brasil tercatat mempunyai 1.383 spesies. Di daerah tropika tumbuhan
berkayu mempunyai dominasi yang lebih besar daripada daerah lainnya.
2. Hutan Sebagai Pengatur Aliran Air
Penguapan air ke udara hingga terjadi kondensasi di atas tanah
yang berhutan antara lain disebabkan oleh adanya air hujan, dengan
ditahannya (intersepsi) air hujan tersbut oleh tajuk pohon yang terdiri dari
lapisan daun, dan diuapkan kembali ke udara. Sebagian lagi menembus
lapisan tajuk dan menetes serta mengalir melalui batang ke atas
permukaan serasah di hutan.
3. Pencegah Erosi dan Banjir
Erosi dan banjir adalah akibat langsung dari pembukaan dan
pengolahan tanah terutama di daerah yang mempunyai kemiringan
permukaan bumi atau disebut juga kontur yang curam. Keduanya dapat
bersumber dari kawasan hutan maupun dari luar kawasan hutan, misalnya
perkebunan, tegalan, dan kebun milik rakyat.
4. Menjaga Kesuburan Tanah
Kesuburan tanah sebagian besar dalam bentuk mineral, seperti
unsur-unsur Ca, K, N, P, dan lainnya, disimpan pada bagian dari vegetasi
yang ada di atas tanah, misalnya pada batang, dahan, ranting, daun,
bunga, buah, dan lain-lain. Dengan demikian dengan adanya kerapatan
hutan pada hutan tropika dapat menjaga kesuburan tanah.

2.4 Kerusakan Hutan di Indonesia
Kerusakan hutan (deforestasi) masih tetap menjadi ancaman di Indonesia.
Menurut data laju deforestasi (kerusakan hutan) periode 2003-2006 yang
dikeluarkan oleh Departemen Kehutanan, laju deforestasi di Indonesia mencapai
1,17 juta hektar pertahun.Bahkan jika melihat data yang dikeluarkan oleh State of
the Worlds Forests 2007 yang dikeluarkan The UN Food & Agriculture
Organization (FAO), angka deforestasi Indonesia pada periode 2000-2005 1,8 juta
hektar/tahun. Laju deforestasi hutan di Indonesia ini membuat Guiness Book of
The Record memberikan gelar kehormatan bagi Indonesia sebagai negara
dengan daya rusak hutan tercepat di dunia.
Dari total luas hutan di Indonesia yang mencapai 180 juta hektar, menurut
Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan (Menteri Kehutanan sebelumnya menyebutkan
angka 135 juta hektar) sebanyak 21 persen atau setara dengan 26 juta hektar telah
dijarah total sehingga tidak memiliki tegakan pohon lagi. Artinya, 26 juta hektar
hutan di Indonesia telah musnah. Selain itu, 25 persen lainnya atau setara dengan
48 juta hektar juga mengalami deforestasi dan dalam kondisi rusak akibat bekas
area HPH (Hak Penguasaan Hutan). Dari total luas hutan di Indonesia hanya
sekitar 23 persen atau setara dengan 43 juta hektar saja yang masih terbebas dari
deforestasi (kerusakan hutan) sehingga masih terjaga dan berupa hutan primer.
Laju deforestasi hutan di Indonesia paling besar disumbang oleh kegiatan
industri, terutama industri kayu, yang telah menyalahgunakan HPH yang
diberikan sehingga mengarah pada pembalakan liar. Penebangan hutan di
Indonesia mencapai 40 juta meter kubik per tahun, sedangkan laju penebangan
yang sustainable (lestari berkelanjutan) sebagaimana direkomendasikan oleh
Departemen Kehutanan menurut World Bank adalah 22 juta meter kubik meter
per tahun. Penyebab deforestasi terbesar kedua di Indonesia, disumbang oleh
pengalihan fungsi hutan (konversi hutan) menjadi perkebunan. Konversi hutan
menjadi area perkebunan (seperti kelapa sawit), telah merusak lebih dari 7 juta ha
hutan sampai akhir 1997.
Deforestasi (kerusakan hutan) memberikan dampak yang signifikan bagi
masyarakat dan lingkungan alam di Indonesia. Kegiatan penebangan yang
mengesampingkan konversi hutan mengakibatkan penurunan kualitas lingkungan
yang pada akhirnya meningkatkan peristiwa bencana alam, seperti tanah longsor
dan banjir.
Dampak buruk lain akibat kerusakan hutan adalah terancamnya kelestarian
satwa dan flora di Indonesia utamanya flora dan fauna endemik. Satwa-satwa
endemik yang semakin terancam kepunahan akibat deforestasi hutan misalnya
lutung jawa (Trachypithecus auratus), dan merak (Pavo muticus), owa jawa
(Hylobates moloch), macan tutul (Panthera pardus), elang jawa (Spizaetus
bartelsi), merpati hutan perak (Columba argentina), dan gajah sumatera (Elephant
maximus sumatranus).

2.5 Kebakaran Hutan
Kebakaran hutan merupakan salah satu penyebab kerusakan hutan yang
memiliki dampak negatif. Kebakaran hutan, kebakaran vegetasi, atau kebakaran
semak, adalah sebuah kebakaran yang terjadi di alam liar, tetapi juga dapat
memusnahkan rumah-rumah dan lahan pertanian disekitarnya. Selain itu,
kebakaran hutan dapat didefinisikan sebagai pembakaran yang tidak tertahan dan
menyebar secara bebas dan mengonsumsi bahan bakar yang tersedia di
hutan,antara lain terdiri dari serasah, rumput, cabang kayu yang sudah mati, dan
lain-lain. Istilah Kebakaran hutan di dalam Ensiklopedia Kehutanan Indonesia
disebut juga Api Hutan. Selanjutnya dijelaskan bahwa Kebakaran Hutan atau Api
Hutan adalah Api Liar yang terjadi di dalam hutan, yang membakar sebagian atau
seluruh komponen hutan. Dikenal ada 3 macam kebakaran hutan, Jenis-jenis
kebakaran hutan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Api Permukaan atau Kebakaran Permukaan yaitu kebakaran yang terjadi
pada lantai hutan dan membakar seresah, kayu-kayu kering dan tanaman
bawah. Sifat api permukaan cepat merambat, nyalanya besar dan panas,
namun cepat padam. Dalam kenyataannya semua tipe kebakaran berasal
dari api permukaan.
2. Api Tajuk atau Kebakaran Tajuk yaitu kebakaran yang membakar seluruh
tajuk tanaman pokok terutama pada jenis-jenis hutan yang daunnya
mudah terbakar. Apabila tajuk hutan cukup rapat, maka api yang terjadi
cepat merambat dari satu tajuk ke tajuk yang lain. Hal ini tidak terjadi
apabila tajuk-tajuk pohon penyusun tidak saling bersentuhan.
3. Api Tanah adalah api yang membakar lapisan organik yang dibawah
lantai hutan. Oleh karena sedikit udara dan bahan organik ini, kebakaran
yang terjadi tidak ditandai dengan adanya nyala api. Penyebaran api juga
sangat lambat, bahan api tertahan dalam waktu yang lama pada suatu
tempat.

2.6 Kebakaran dan Pembakaran
Kebakaran dan pembakaran merupakan sebuah kata dengan kata dasar yang
sama tetapi mempunyai makna yang berbeda. Kebakaran indentik dengan
kejadian yang tidak disengaja sedangkan pembakaran identik dengan kejadian
yang sengaja diinginkan tetapi tindakan pembakaran dapat juga menimbulkan
terjadinya suatu kebakaran. Penggunaan istilah kebakaran hutan dengan
pembakaran terkendali merupakan suatu istilah yang berbeda. Penggunaan istilah
ini sering kali mengakibatkan timbulnya persepsi yang salah terhadap dampak
yang ditimbulkannya.
Kebakaran-kebakaran yang sering terjadi digeneralisasi sebagai kebakaran
hutan, padahal sebagian besar (99,9%) kebakaran tersebut adalah pembakaran
yang sengaja dilakukan maupun akibat kelalaian, baik oleh peladang berpindah
ataupun oleh pelaku binis kehutanan atau perkebunan, sedangkan sisanya (0,1%)
adalah karena alam (petir, larva gunung berapi). Saharjo (1999) menyatakan
bahwa baik di areal HTI, hutan alam dan perladangan berpindah dapat dikatakan
bahwa 99% penyebab kebakaran hutan di Indonesia adalah berasal dari ulah
manusia, entah itu sengaja dibakar atau karena api lompat yang terjadi akibat
kelalaian pada saat penyiapan lahan. Bahan bakar dan api merupakan faktor
penting untuk mempersiapkan lahan pertanian dan perkebunan (Saharjo, 1999).
Pembakaran selain dianggap mudah dan murah juga menghasilkan bahan mineral
yang siap diserap oleh tumbuhan. Banyaknya jumlah bahan bakar yang dibakar di
atas lahan akhirnya akan menyebabkan asap tebal dan kerusakan lingkungan yang
luas. Untuk itu, agar dampak lingkungan yang ditimbulkannya kecil, maka
penggunaan api dan bahan bakar pada penyiapan lahan haruslah diatur secara
cermat dan hati-hati. Untuk menyelesaikan masalah ini maka manajemen
penanggulangan bahaya kebakaran harus berdasarkan hasil penelitian dan tidak
lagi hanya mengandalkan dari terjemahan textbook atau pengalaman dari negara
lain tanpa menyesuaikan dengan keadaan lahan di Indonesia (Saharjo, 2000).

2.7 Penyebab Kebakaran Hutan
Kebakaran hutan dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain sebagai
berikut:
1. Sambaran petir pada hutan yang kering karena musim kemarau yang
panjang.
2. Kecerobohan manusia antara lain membuang puntung rokok sembarangan
dan lupa mematikan api di perkemahan.
3. Aktivitas vulkanis seperti terkena aliran lahar atau awan panas dari
letusan gunung berapi.
4. Tindakan yang disengaja seperti untuk membersihkan lahan pertanian
atau membuka lahan pertanian baru dan tindakan vandalisme.
5. Kebakaran dibawah tanah/ground fire pada daerah tanah gambut yang
dapat menyulut kebakaran di atas tanah pada saat musim kemarau.
6. Cuaca Terik Pada Musim Kemarau
Salah satu faktor alam yang menyebabkan terjadinya kebakaran hutan
adalah cuaca yang terik pada musim kemarau. Kejadian ini yang termasuk
sering terjadi dihutan Indonesia khususnya pada periode April hingga
September. Cuaca yang terik menyebabkan pohon-pohon menjadi kering
terutama ilalang, ranting dan dedaunan dan ini sangat mudah sekali
terbakar.
7. Alih Fungsi Lahan
Penyebab lainnya yang membuat hutan kita terbakar adalah alih fungsi
lahan. Ini dilakukan oleh banyak perusahaan yang membakar hutan untuk
membuat pabrik, hal ini dilakukan karena berbiaya jauh lebih murah
dibandingkan menggunakan alat berat. Ini juga dilakukan masyarakat
sekitar untuk membuka lahan pertanian dengan cara membakar hutan.

2.8 Kerugian yang ditimbulkannya
Kebakaran hutan akhir-akhir ini menjadi perhatian internasional sebagai isu
lingkungan dan ekonomi khususnya setelah terjadi kebakaran besar di berbagai
belahan dunia tahun 1997/98 yang menghanguskan lahan seluas 25 juta hektar.
Kebakaran tahun 1997/98 mengakibatkan degradasi hutan dan deforestasi
menelan biaya ekonomi sekitar US $ 1,6-2,7 milyar dan biaya akibat pencemaran
kabut sekitar US $ 674-799 juta. Kerugian yang diderita akibat kebakaran
hutantersebut kemungkinan jauh lebih besar lagi karena perkiraan dampak
ekonomi bagikegiatan bisnis di Indonesia tidak tersedia. Valuasi biaya yang
terkait dengan emisi karbon kemungkinan mencapai US $ 2,8 milyar (Tacconi,
2003).
Hasil perhitungan ulang kerugian ekonomi yang dihimpun Tacconi (2003),
menunjukkan bahwa kebakaran hutan Indonesia telah menelan kerugian antara US
$ 2,84 milayar sampai US $ 4,86 milyar yang meliputi kerugian yang dinilai
dengan uang dan kerugian yang tidak dinilai dengan uang. Kerugian tersebut
mencakup kerusakan yang terkait dengan kebakaran seperti kayu, kematian
pohon, HTI, kebun, bangunan, biaya pengendalian dan sebagainya serta biaya
yang terkait dengan kabut asap seperti kesehatan, pariwisata dan transportasi.

2.9 Dampak Kebakaran Hutan
Dampak kebakaran hutan secara umum :
1. Kebakaran hutan menyebakan polusi dan pencemaran udara. Gas emisi
yang berupa karbon terlepas ke udara, dan ini bisa membahayakan
manusia dan bahkan bisa menyebabkan kematian.
2. Dampak lain yang sering dirasakan manusia akibat terbakarnya hutan
Indonesia adalah kesulitan untuk bernapas bahkan hingga terkena penyakit
saluran pernapasan (ISPA)
3. Hutan yang terbakar akan melepaskan gas karbon monoksida ke atmosfer.
Sebagaimana yang kita ketahui bersama bahwa gas karbon monoksida
merupakan penyebab pemanasan global.
4. Terbakarnya hutan menyebabkan persediaan oksigen manjadi menipis.
Dalam hutan terdapat banyak pohon yang menghasilkan oksiden, kalau
hutan terbakar tentu tidak ada oksigen.
5. Hutan merupakan rumah bagi flora dan fauna, jika hutan terbakar
mereka tentu tidak punya rumah lagi. Ini merupakan salah satu
penyebab kelangkaan beberapa flora fauna Indonesia.
6. Kebakaran hutan menyebakan suhu udara menjadi panas, dan ini
berpegaruh kepada kota-kota yang disekitarnya. Dan hal tersebut akan
membuat hidup kita menjadi tidak nyaman.
7. Hutan yang terbakar juga membuat potensi pendapatan dari hasil hutan
menjadi berkurang, padahal hasil hutan bisa mendatangkan pendapatan
yang terbilang besar.
8. Untuk sebagian masyarakat, hasil hutan adalah sumber mata pencaharian
mereka. Jika hutan terbakar, maka tentulah mereka tidak akan
mendapatkan penghasilan.
9. Peristiwa terbakarnya hutan akan membuat negara mengeluarkan uang
yang tidak sedikit. Tentu uang ini akan jauh lebih bermanfaat jika
digunakan untuk kesejahteraan warga.
10. Kebakaran hutan membuat image Indonesia dimata internasional menjadi
buruk, Indonesia dianggap sebagai negara yang tidak becus dalam
mengelola lingkungannya.
2.9.1 Dampak Kebakaran Hutan terhadap Lingkungan Biologis
Lingkungan biologi yaitu segala sesuatu di sekitar manusia yang berupa
organisme hidup selain dari manusia itu sendiri seperti hewan, tumbuhan, dan
decomposer. Dampak yang ditimbulkan dari adanya kebakaran hutan khususnya
terhadap lingkungan biologis antara lain sebagai berikut :
1. Terhadap flora dan fauna
Kebakaran hutan akan memusnahkan sebagian spesies dan merusak
kesimbangan alam sehingga spesies-spesies yang berpotensi menjadi
hama tidak terkontrol. Selain itu, terbakarnya hutan akan membuat
Hilangnya sejumlah spesies; selain membakar aneka flora, kebakaran
hutan juga mengancam kelangsungan hidup sejumlah binatang. Berbagai
spesies endemik (tumbuhan maupun hewan) terancam punah akibat
kebakaran hutan. Selain itu, kebakaran hutan dapat mengakibatkan
terbunuhnya satwa liar dan musnahnya tanaman baik karena kebakaran,
terjebak asap atau rusaknya habitat. Kebakaran juga dapat menyebabkan
banyak spesies endemik/khas di suatu daerah turut punah sebelum sempat
dikenali/diteliti.
Beberapa dampak kebakaran tehadap hewan dan tumbuhan antara lain
sebagai berikut:
- Bangsa Binatang
Kebakaran hutan akan mengakibatkan banyak binatang yang akan
kehilangan tempat tinggal yang digunakan untuk berlindung serta
tempat untuk mencarimakan. Dengan demikian, hewan yang tidak dapat
beradaptasi dengan lingkungan baru setelah terjadinya kebakaran
tersebut akan mengalami penurunan jumlah bahkan dapat mengalami
kepunahan.
Contoh dampak kebakaran hutan bagi beberapa hewan antara lain
sebagai berikut:
Geobin : seluruh daur hidupnya di dalam tubuh tanah (Ciliophora,
Rhizopoda & Mastigophora, dll)
Geofil : sebagian daur hidupnya di dalam tubuh tanah (serangga)
- Bangsa Tumbuhan
Kehidupan tumbuhan berhubungan erat dengan hutan yang merupakan
tempat hidupnya. Kebakaran hutan dapat mengakibatkan berkurangnya
vegetasi tertentu.
Contoh dampak kebakaran hutan terhadap tumbuhan adalah sebagai
berikut:
Tumbuhan tingkat tinggi (akar pohon, semak atau rumput)
Tumbuhan tingkat rendah (bakteri, cendawan dan Ganggang)

Terjadinya kebakaran hutan akan menghilangkan vegetasi di atas tanah,
sehingga apabila terjadi hujan maka hujan akan langsung mengenai permukaan
atas tanah, sehingga mendapatkan energi pukulan hujan lebih besar, karena tidak
lagi tertahan oleh vegetasi penutup tanah. Kondisi ini akan menyebabkan
rusaknya struktur tanah.
1. Terhadap keanekaragaman hayati
Kebakaran hutan membawa dampak yang besar pada keanekaragaman
hayati. Hutan yang terbakar berat akan sulit dipulihkan, karena struktur
tanahnya mengalami kerusakan. Hilangnya tumbuh-tumbuhan
menyebabkan lahan terbuka, sehingga mudah tererosi, dan tidak dapat lagi
menahan banjir. Karena itu setelah hutan terbakar, sering muncul bencana
banjir pada musim hujan di berbagai daerah yang hutannya terbakar.
Kerugian akibat banjir tersebut juga sulit diperhitungkan.
2. Terhadap mikroorganisme
Kebakaran hutan dapat membunuh organisme (makroorganisme dan
mikroorganisme) tanah yang bermanfaat dalam meningkatkan kesuburan
tanah. Makroorganisme tanah misalnya: cacing tanah yang dapat
meningkatkan aerasi dan drainase tanah, dan mikroorganisme tanah
misalnya: mikorisa yang dapat meningkatkan ketersediaan unsur hara P,
Zn, Cu, Ca, Mg, dan Fe akan terbunuh. Selain itu, bakteri penambat
(fiksasi) nitrogen pada bintil-bintil akar tumbuhan Leguminosae juga akan
mati sehingga laju fiksasi ntrogen akan menurun. Mikroorganisme, seperti
bakteri dekomposer yang ada pada lapisan serasah saat kebakaran pasti
akan mati. Dengan temperatur yang melebihi normal akan membuat
mikroorganisma mati, karena sebagian besar mikroorganisma tanah
memiliki adaptasi suhu yang sempit. Namun demikian, apabila
mikroorganisme tanah tersebut mampu bertahan hidup, maka ancaman
berikutnya adalah terjadinya perubahan iklim mikro yang juga dapat
membunuhnya. Dengan terbunuhnya mikroorganisme tanah dan
dekomposer seperti telah dijelaskan di atas, maka akan mengakibatkan
proses humifikasi dan dekomposisi menjadi terhenti.
3. Terhadap organisme dalam tanah
Kebakaran hutan biasanya menimbulkan dampak langsung terhadap
kematian populasi dan organisme tanah serta dampak yang lebih
signifikan lagi yaitu merusak habitat dari organisme itu sendiri. Perubahan
suhu tanah dan hilangnya lapisan serasah, juga bisa menyebabkan
perubahan terhadap karakteristik habitat dan iklim mikro. Kebakaran
hutan menyebabkan bahan makanan untuk organisme menjadi sedikit,
kebanyakan organisme tanah mudah mati oleh api dan hal itu dengan
segera menyebabkan perubahan dalam habitat, hal ini kemungkinan
menyebabkan penurunan jumlah mikroorganisme yang sangat besar dalam
habitat. Efek negatif ini biasanya bersifat sementara dan populasi
organisme tanah akhirnya kembali menjadi banyak lagi dalam beberapa
tahun.

2.9.2 Dampak Terhadap Sosial, Budaya, dan Ekonomi
Dampak yang ditimbulkan kebakaran hutan ternyata sangat kompleks.
Kebakaran hutan tidak hanya berdampak terhadap ekologi dan mengakibatkan
kerusakan lingkungan saja. Namun dampak dari kebakaran hutan ternyata
mencakup bidang-bidang lain.
Menurut Rully Syumanda (2003), menyebutkan ada 4 aspek yang
terindikasi sebagai dampak dari kebakaran hutan. Keempat dampak tersebut
mencakup dampak terhadap kehidupan sosial, budaya, dan ekonomi, dampak
terhadap ekologis dan kerusakan lingkungan, dampak terhadap hubungan antar
negara, serta dampak terhadap perhubungan dan pariwisata.
Dampak Terhadap Sosial, Budaya, dan Ekonomi. Kebakaran hutan
memberikan dampak yang signifikan terhadap kehidupan sosial, budaya, dan
ekonomi yang diantaranya meliputi:
1. Terganggunya aktivitas sehari-hari; Asap yang diakibatkan oleh
kebakaran hutan secara otomatis mengganggu aktivitas manusia
sehari-hari, apalagi bagi yang aktivitasnya dilakukan di luar ruangan.
2. Menurunnya produktivitas; Terganggunya aktivitas manusia akibat
kebakaran hutan dapat mempengaruhi produktivitas dan penghasilan.
3. Hilangnya sejumlah mata pencaharian masyarakat di dan sekitar hutan;
Selain itu, bagi masyarakat yang menggantungkan hidup dari
mengolah hasil hutan, dengan terbakarnya hutan berarti hilang pula
area kerja (mata pencarian).
4. Meningkatnya hama; Kebakaran hutan akan memusnahkan sebagian
spesies dan merusak kesimbangan alam sehingga spesies-spesies yang
berpotensi menjadi hama tidak terkontrol. Selain itu, terbakarnya hutan
akan membuat sebagian binatang kehilangan habitat yang kemudian
memaksa mereka untuk keluar dari hutan dan menjadi hama seperti
gajah, monyet, dan binatang lain.
5. Terganggunya kesehatan; Kebakaran hutan berakibat pada pencemaran
udara oleh debu, gas SOx, NOx, COx, dan lain-lain dapat
menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan manusia, antara lain
infeksi saluran pernafasan, sesak nafas, iritasi kulit, iritasi mata, dan
lain-lain.
6. Tersedotnya anggaran negara; Setiap tahunnya diperlukan biaya yang
besar untuk menangani (menghentikan) kebakaran hutan. Pun untuk
merehabilitasi hutan yang terbakar serta berbagai dampak lain semisal
kesehatan masyarakat dan bencana alam yang diambilkan dari kas
negara.
7. Menurunnya devisa negara. Hutan telah menjadi salah satu sumber
devisa negara baik dari kayu maupun produk-produk non kayu lainnya,
termasuk pariwisata. Dengan terbakarnya hutan sumber devisa akan
musnah. Selain itu, menurunnya produktivitas akibat kebakaran hutan
pun pada akhirnya berpengaruh pada devisa negara.

2.9.3 Dampak Terhadap Ekologis dan Kerusakan Lingkungan
Dampak Terhadap Ekologis dan Kerusakan Lingkungan. Kebakaran hutan
memberikan dampak langsung terhadap ekologi dan lingkungan yang diantaranya
adalah:
1. Hilangnya sejumlah spesies; selain membakar aneka flora, kebakaran
hutan juga mengancam kelangsungan hidup sejumlah binatang.
Bebrabagai spesies endemik (tumbuhan maupun hewan) terancam punah
akibat kebakaran hutan.
2. Erosi; Hutan dengan tanamannya berfungsi sebagai penahan erosi. Ketika
tanaman musnah akibat kebakaran hutan akan menyisakan lahan hutan
yang mudah terkena erosi baik oleh air hujan bahkan angin sekalipun.
3. Alih fungsi hutan; Kawasan hutan yang terbakar membutuhkan waktu
yang lama untuk kembali menjadi hutan. Bahkan sering kali hutan
mengalami perubahan peruntukan menjadi perkebunan atau padang
ilalang.
4. Penurunan kualitas air; Salah satu fungsi ekologis hutan adalah dalam daur
hidrologis. Terbakarnya hutan memberikan dampak hilangnya
kemampuan hutan menyerap dan menyimpan air hujan.
5. Pemanasan global; Kebakaran hutan menghasilkan asap dan gas CO2 dan
gas lainnya. Selain itu, dengan terbakarnya hutan akan menurunkan
kemampuan hutan sebagai penyimpan karbon. Keduanya berpengaruh
besar pada perubahan iklim dan pemansan global.
6. Sendimentasi sungai; Debu dan sisa pembakaran yang terbawa erosi akan
mengendap di sungai dan menimbulkan pendangkalan.
7. Meningkatnya bencana alam; Terganggunya fungsi ekologi hutan akibat
kebakaran hutan membuat intensitas bencana alam (banjir, tanah longsor,
dan kekeringan) meningkat.

2.9.4 Dampak Kebakaran Hutan Terhadap Keanekaragaman Hayati
Kebakaran hutan membawa dampak yang besar pada keanekaragaman
hayati. Hutan yang terbakar berat akan sulit dipulihkan, karena struktur tanahnya
mengalami kerusakan. Hilangnya tumbuh-tumbuhan menyebabkan lahan
terbuka, sehingga mudah tererosi, dan tidak dapat lagi menahan banjir. Karena
itu setelah hutan terbakar, sering muncul bencana banjir pada musim hujan di
berbagai daerah yang hutannya terbakar. Kerugian akibat banjir tersebut juga
sulit diperhitungkan.
Hutan alam mungkin memerlukan ratusan tahun untuk berkembang
menjadi sistem yang rumit yang mengandung banyak spesies yang saling
tergantung satu sama lain. Pada tegakan dengan pohon-pohon yang ditanam
murni, lapisan permukaan tanah dan tumbuhan bawahnya diupayakan relatif
bersih. Pohon-pohon muda akan mendukung sebagian kecil spesies asli yang telah
ada sebelumnya. Pohon-pohon hutan hujan tropis perlu waktu bertahun-tahun
untuk dapat dipanen dan tidak dapat digantikan dengan cepat; demikian juga
komunitasnya yang kompleks juga juga tidak mudah digantikan bila rusak.
Luas hutan hujan tropika di dunia hanya meliputi 7 % dari luas permukaan
bumi, tetapi mengandung lebih dari 50 % total jenis yang ada di seluruh dunia.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa hutan hujan tropika merupakan salah satu
pusat keanekaragaman hayati terpenting di dunia. Laju kerusakan hutan hujan
tropika yang relatif cepat telah menyebabkan tipe hutan ini menjadi pusat
perhatian dunia internasional. Meskipun luas Indonesia hanya 1.3 % dari luas
bumi, tetapi memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi, meliputi : 10 % dari
total jenis tumbuhan berbunga, 12 % dari total jenis mamalia, 16 % dari total jenis
reptilia, 17 % dari total jenis burung dan 25 % dari total jenis ikan di seluruh
dunia. Hal ini menyebabkan Indonesia menjadi pusat perhatian dunia
internasional dalam hal keanekaragaman hayatinya.
Berdasarkan hasil penafsiran citra satelit Landsat 7 ETM+ tahun
2002/2003, total daratan yang ditafsir adalah sebesar 187,91 juta ha kondisi
penutupan lahan, baik di dalam maupun di luar kawasan, adalah : Hutan 93,92
juta ha (50 %), Non hutan 83,26 juta ha (44 %), dan Tidak ada data 10,73 juta ha
(6 %). Khusus di dalam kawasan hutan yaitu seluas 133,57 juta ha, kondisi
penutupan lahannya adalah sebagai berikut : Hutan 85,96 juta ha (64 %), Non
hutan 39,09 juta ha (29 %) dan Tidak ada data 8,52 juta ha (7 %). (BAPLAN,
2005)
Kebakaran hutan Indonesia pada tahun 1997/98 saja telah
menghanguskan seluas 11,7 juta hektar. Kebakaran terluas terjadi di Kalimantan
dengan total lahan terbakar 8,13 juta hektar, disusul Sumatera, Papua Barat,
Sulawesi dan Jawa masing-masing 2,07 juta hektar, 1 juta hektar, 400 ribu hektar
dan 100 ribu hektar (Tacconi, 2003). Kebakaran hutan setiap tahunnya telah
memberikan dampak negatif bagi keanekaragaman hayati. Berbagai jenis kayu
kini telah menjadi langka. Kayu eboni (Dyospyros ebenum dan D. celebica),
kayu ulin (Eusyderoxylon zwageri), ramin (Gonystylus bancanus), dan beberapa
jenis meranti (Shorea spp.) adalah contoh dari beberapa jenis kayu yang sudah
sulit ditemukan di alam. Selain itu, puluhan jenis kayu kurang dikenal (lesser-
known species) saat ini mungkin telah menjadi langka atau punah sebelum
diketahui secara pasti nilai/manfaat dan sifat-sifatnya.
Setiap species mempunyai kecepatan tumbuh yang berbeda-beda, ada
yang tergolong fast growing spesies terutama untuk jenis-jenis pioner, tetapi ada
yang termasuk dalam slow growing spesies. Untuk keberlanjutan pemanenan
jangka panjang jenis pohon yang lambat pertumbuhannya seperti Shorea ovalis, S.
seminis, S. leavis, Vatica sp., Koompassia sp. dan Eusideroxylon zwageri, maka
diperlukan kegiatan konservasi keanekaragaman hayati. Hal ini perlu dilakukan
agar tidak terjadi kepunahan dalam jenis tertentu akibat kebakaran ataupun
pembakaran hutan.
Jenis-jenis pohon dari suku Dipterocarpaceae merupakan bagian akhir dari
suksesi hutan, karena hanya tumbuh di hutan-hutan yang sudah memiliki kanopi
yang rapat. Jenis-jenisnya tersebar luas sekali, tumbuh di hutan-hutan dari dataran
rendah sampai kaki pegunungan di seluruh Asia Tenggara dan sub-benua India.
Suku Dipterocarpaceae merupakan bagian dari kayu keras yang paling berharga di
dunia.
Selama beberapa dekade, hutan-hutan Dipterocarpaceae di Indonesia
sering mengalami kebakaran baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja
yang berdampak langsung dengan hilangnya sejumlah spesies flora dan fauna
tertentu.
Kehilangan keanekaragaman hayati secara umum juga berarti bahwa
spesies yang memiliki potensi ekonomi dan sosial mungkin hilang sebelum
mereka ditemukan. Sumberdaya obat-obatan dan bahan kimia yang bermanfaat
yang dikandung oleh spesies liar mungkin hilang untuk selamanya. Kekayaan
spesies yang terdapat pada hutan hujan tropis mungkin mengandung bahan kimia
dan obat-obatan yang berguna. Banyak spesies lautan mempertahankan dirinya
secara kimiawi dan ini merupakan sumber bahan obat-obatan yang penting.

2.10 Pencegahan Kebakaran Hutan di Indonesia
Upaya untuk menangani kebakaran hutan ada dua macam, yaitu
penanganan yang bersifat represif dan penanganan yang bersifat preventif.
Penanganan kebakaran hutan yang bersifat represif adalah upaya yang dilakukan
oleh berbagai pihak untuk mengatasi kebakaran hutan setelah kebakaran hutan itu
terjadi. Penanganan jenis ini, contohnya adalah pemadaman, proses peradilan bagi
pihak-pihak yang diduga terkait dengan kebakaran hutan (secara sengaja), dan
lain-lain.
Sementara itu, penanganan yang bersifat preventif adalah setiap usaha,
tindakan atau kegiatan yang dilakukan dalam rangka menghindarkan atau
mengurangi kemungkinan terjadinya kebakaran hutan. Jadi penanganan yang
bersifat preventif ini ada dan dilaksanakan sebelum kebakaran terjadi. Selama ini,
penanganan yang dilakukan pemerintah dalam kasus kebakaran hutan, baik yang
disengaja maupun tidak disengaja, lebih banyak didominasi oleh penanganan yang
sifatnya represif. Berdasarkan data yang ada, penanganan yang sifatnya represif
ini tidak efektif dalam mengatasi kebakaran hutan di Indonesia.
Hal ini terbukti dari pembakaran hutan yang terjadi secara terus menerus.
Sebagai contoh : pada bulan Juli 1997 terjadi kasus kebakaran hutan. Upaya
pemadaman sudah dijalankan, namun karena banyaknya kendala, penanganan
menjadi lambat dan efek yang muncul (seperti : kabut asap) sudah sampai ke
Singapura dan Malaysia. Sejumlah pihak didakwa sebagai pelaku telah diproses,
meskipun hukuman yang dijatuhkan tidak membuat mereka jera. Ketidakefektifan
penanganan ini juga terlihat dari masih terus terjadinya kebakaran di hutan
Indonesia, bahkan pada tahun 2008 ini.
Oleh karena itu, berbagai ketidakefektifan perlu dikaji ulang sehingga bisa
menghasilkan upaya pengendalian kebakaran hutan yang efektif.
Menurut UU No 45 Tahun 2004, pencegahan kebakaran hutan perlu
dilakukan secara terpadu dari tingkat pusat, provinsi, daerah, sampai unit kesatuan
pengelolaan hutan. Ada kesamaan bentuk pencegahan yang dilakukan diberbagai
tingkat itu, yaitu penanggungjawab di setiap tingkat harus mengupayakan
terbentuknya fungsi-fungsi berikut ini :
1. Mapping
pembuatan peta kerawanan hutan di wilayah teritorialnya masing-masing.
Fungsi ini bisa dilakukan dengan berbagai cara, namun yang lazim
digunakan adalah 3 cara berikut:
- pemetaan daerah rawan yang dibuat berdasarkan hasil olah data dari
masalalu maupun hasil prediksi.
- pemetaan daerah rawan yang dibuat seiring dengan adanya survai desa
(Partisipatory Rural Appraisal).
- pemetaan daerah rawan dengan menggunakan Global Positioning
System atau citra satelit.
2. Informasi
penyediaan sistem informasi kebakaran hutan. Hal ini bisa dilakukan dengan
pembuatan sistem deteksi dini (early warning system) di setiap tingkat.
Deteksi dini dapat dilaksanakan dengan 2 cara berikut :
- analisis kondisi ekologis, sosial, dan ekonomi suatu wilayah
- pengolahan data hasil pengintaian petugas
3. Sosialisasi
pengadaan penyuluhan, pembinaan dan pelatihan kepada masyarakat.
Penyuluhan dimaksudkan agar menginformasikan kepada masyarakat di
setiap wilayah mengenai bahaya dan dampak, serta peran aktivitas manusia
yang seringkali memicu dan menyebabkan kebakaran hutan. Penyuluhan
juga bisa menginformasikan kepada masayarakat mengenai daerah mana saja
yang rawan terhadap kebakaran dan upaya pencegahannya.
Pembinaan merupakan kegiatan yang mengajak masyarakat untuk
dapat meminimalkan intensitas terjadinya kebakaran hutan.
Sementara, pelatihan bertujuan untuk mempersiapkan masyarakat,
khususnya yang tinggal di sekitar wilayah rawan kebakaran hutan,untuk
melakukan tindakan awal dalam merespon kebakaran hutan.
4. Standardisasi
Pembuatan dan penggunaan SOP (Standard Operating Procedure).
Untuk memudahkan tercapainya pelaksanaan program pencegahan
kebakaran hutan maupun efektivitas dalam penanganan kebakaran hutan,
diperlukan standar yang baku dalam berbagai hal berikut :
- Metode pelaporan
Untuk menjamin adanya konsistensi dan keberlanjutan data yang masuk,
khususnya data yang berkaitan dengan kebakaran hutan, harus
diterapkan sistem pelaporan yang sederhana dan mudah dimengerti
masyarakat. Ketika data yang masuk sudah lancar, diperlukan analisis
yang tepat sehingga bisa dijadikan sebuah dasar untuk kebijakan yang
tepat.
- Peralatan
Standar minimal peralatan yang harus dimiliki oleh setiap daerah harus
bisa diterapkan oleh pemerintah, meskipun standar ini bisa disesuaikan
kembali sehubungan dengan potensi terjadinya kebakaran hutan,
fasilitas pendukung, dan sumber daya manusia yang tersedia di daerah.
- Metode Pelatihan untuk Penanganan Kebakaran Hutan
Standardisasi ini perlu dilakukan untuk membentuk petugas penanganan
kebakaran yang efisien dan efektif dalam mencegah maupun menangani
kebakaran hutan yang terjadi. Adanya standardisasi ini akan
memudahkan petugas penanganan kebakaran untuk segera mengambil
inisiatif yang tepat dan jelas ketika terjadi kasus kebakaran hutan.
5. Supervisi
Pemantauan dan pengawasan kepada pihak-pihak yang berkaitan
langsung dengan hutan. Pemantauan adalah kegiatan untuk mendeteksi
kemungkinan terjadinya perusakan lingkungan, sedangkan pengawasan
adalah tindak lanjut dari hasil analisis pemantauan. Jadi, pemantauan
berkaitan langsung dengan penyediaan data,kemudian pengawasan
merupakan respon dari hasil olah data tersebut. Pemantauan, menurut
kementerian lingkungan hidup, dibagi menjadi empat, yaitu :
- Pemantauan terbuka adalah Pemantauan dengan cara mengamati
langsung objek yang diamati. Contoh : patroli hutan
- Pemantauan tertutup (intelejen) : Pemantauan yang dilakukan dengan
cara penyelidikan yang hanya diketahui oleh aparat tertentu.
- Pemantauan pasif : Pemantauan yang dilakukan berdasarkan dokumen,
laporan, dan keterangan dari data-data sekunder, termasuk laporan
pemantauan tertutup.
- Pemantauan aktif : Pemantauan dengan cara memeriksa langsung dan
menghimpun data di lapangan secara primer. Contohnya : melakukan
survei ke daerah-daerah rawan kebakaran hutan. Sedangkan,
pengawasan dapat dilihat melalui 2 pendekatan, yaitu :
1. Preventif
Preventif : kegiatan pengawasan untuk pencegahan sebelum
terjadinya perusakan lingkungan (pembakaran
hutan). Contohnya : pengawasan untuk menentukan
status ketika akan terjadi kebakaran hutan.
2. Represif
Represif : kegiatan pengawasan yang bertujuan untuk
menanggulangi perusakan yang sedang terjadi atau
telah terjadi serta akibat-akibatnya sesudah
terjadinya kerusakan lingkungan.
Untuk mendukung keberhasilan, upaya pencegahan yang sudah dikemukakan
diatas, diperlukan berbagai pengembangan fasilitas pendukung yang meliputi :
1. Pengembangan dan sosialisasi hasil pemetaan kawasan rawan kebakaran
hutan
Hasil pemetaan sebisa mungkin dibuat sampai sedetail mungkin dan
disebarkan pada berbagai instansi terkait sehingga bisa digunakan sebagai
pedoman kegiatan institusi yang berkepentingan di setiap unit kawasan
atau daerah.
2. Pengembangan organisasi penyelenggara Pencegahan Kebakaran Hutan
Pencegahan Kebakaran Hutan perlu dilakukan secara terpadu antar sektor,
tingkatan dan daerah. Peran serta masyarakat menjadi kunci dari
keberhasilan upaya pencegahan ini. Sementara itu, aparatur pemerintah,
militer dan kepolisian, serta kalangan swasta perlu menyediakan fasilitas
yang memadai untuk memungkinkan terselenggaranya Pencegahan
Kebakaran Hutan secara efisien dan efektif.
3. Pengembangan sistem komunikasi

Sistem komunikasi perlu dikembangkan seoptimal mungkin sehingga
koordinasi antar tingkatan (daerah sampai pusat) maupun antar daerah bisa
berjalan cepat. Hal ini akan mendukung kelancaran early warning system, transfer
data, dan sosialisasi kebijakan yangberkaitan dengan kebakaran hutan.

2.11 Penanggulangan Kebakaran Hutan di Indonesia
Isu global telah membawa bangsa Indonesia harus dan mau untuk bisa
melakukan upaya yang maksimal dalam mencegah dan menjaga hingga pada
upaya penindakan yang berskala besar. Salah satu isu global yang paling
diperhatikan oleh di pergaulan dunia internasional adalah masalah lingkungan
hidup. Salah satu komponen yang termasuk di dalamnya adalah hutan. Alasan isu
ini menjadi begitu penting dan segera harus ditangani dengan serius terutama oleh
Negara Negara yang masih memiliki sumber data hutan yang luas adalah
dampak yang ditimbulkan terhadap umat manusia seluruh dunia. Dampaknya,
ada yang terasa secara langsung juga secara tidak langsung.
Dampak dari pengrusakan hutan secara langsung adalah : meningkatnya
panas bumi akibat kurangnya jumlah O2 yang tersedia di alam digantikan oleh
asap dan kabut tebal pada pagi hari, terjadinya longsor tanah di beberapa daerah di
indonesia karena berkurang daya tahan tahan terhadap air hujan karena
berkurangnya pondasi yang memperkuat sruktur tanah berupa pohon dan humus,
terjadinya banjir dibeberapa daerah sebagai akibat berkurangnya kemampuan
tanah dalam melakukan penyerapan terhadap air , dan sebagainya. Dampak yang
tidak langsung yang dirasakan oleh umat manusia adalah adanya kanker kulit
sebagai akibat dari mengurangnya kemampuan atmosfer dalam melakukan
perlindungan terhadap unsur sinar matahari yang berbahaya, meningkatnya
permukaan air laut yang mengakibatkan tenggelamnya beberapa pulau kecil yang
berada di beberapa daerah di wilayah bumi, dan sebagainya. Jadi bisa kita
bayangkan bersama kalau hari ini para cukong cukong kayu yang menggunduli
hutan yang ada di Kalimantan, Riau, dampaknya tidak hanya akan dialami oleh
bangsa Indonesia saja tetapi juga oleh umat manusia di seluruh dunia.
Berdasarkan data tahun 1985, Indonesia bersama sama dengan Brasil
dan Zaire mempunyai luas hutan tropis sebesar 53 % dari luas total hutan dunia.
Indonesia sendiri mempunyai 10 % yang merupakan kekayaan hutan tropika
terbesar di asia dan nomor tiga di dunia. ( Kantor Men. KLH, 1990 : 25-27 ).
Sejak akhir tahun 1970-an, Indonesia mengandalkan hutan alam sebagai
penopang pembangunan ekonomi nasional, dan Hak Pengusahaan Hutan (HPH)
menjadi sistem yang dominan dalam memanfaatkan hasil hutan dari hutan alam.
Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) dan Rencana Tata Ruang Wilayah
Propinsi (RTRWP) digunakan untuk merancang dan mengendalikan
pembangunan HPH, HTI dan perkebunan, terutama perkebunan besar, agar dapat
meminimumkan dampak negatif terhadap lingkungan dengan cara sesedikit
mungkin mengkonversi hutan alam. Namun yang terjadi malah sebaliknya,
proses penataan ruang di daerah, yang dimulai dari penyusunan Rencana Tata
Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) dan Rencana Tata Ruang Wilayah
Kabupaten/Kota (RTRWK), justru mempercepat alih fungsi hutan di bawah
wilayah di Tanah Air. Menurut evaluasi Greenomics Indonesia periode tahun
2003-2007 terhadap proses RTRWP dan RTRWK di Pulau Sumatera dan
Kalimantan, tingkat kesahihan produk RTRWP dan RTRWK secara umum dapat
dikategorikan cukup rendah karena data penentu kesahihan suatu produk RTRWP
dan RTRWK sering tidak terpenuhi.
Banyaknya muncul pengalihan hutan dari hutan lindung menjadi hutan
produksi maupun untuk areal pemukiman oleh pemerintah daerah menjadikan
hutan Indonesia semakin tidak lestari dan menimbulkan berbagai masalah yang
bersifat internasional. Salah satu contoh adalah Kebakaran hutan di Indonesia
yang kerap terjadi setiap tahun akibat pengaruh alam pada musim kemarau atau
pembakaran lahan untuk memperluas dan membuka areal perkebunan baru
khususnya di Sumatera dan Kalimantan.
Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki hutan yang luas di
dunia, berikut di bawah ini adalah pembagian macam-macam / jenis-jenis hutan
yang ada di Negara Kesatuan Republik Indonesia:
1. Hutan bakau
2. Hutan Sabana
3. Hutan Rawa
4. Hutan Hujan tropis

Saat ini pemerintah telah memberikan klasifikasi hutan terbagi / dibagi
berdasarkan fungsinya, yaitu :
1. Hutan Wisata
Hutan yang digunakan untuk rekreasi oleh masyarakat umum.
2. Hutan Cadangan
Hutan yang menyediakan berbagai plasma nutfah berupa flora dan
fauna yang merupakan kekayaan alam indonesia untuk menjadi
kelestarian beberapa spesies yang tergolong langka agar habitatnya
tetap tersedia di dunia.
3. Hutan Lindung
Hutan yang difungsikan sebagai penjaga ketaraturan air dalam tanah
(fungsi hidrolisis), menjaga tanah agar tidak terjadi erosi serta untuk
mengatur iklim (fungsi klimatologis) sebagai penanggulang
pencematan udara seperti C02 (karbon dioksida) dan C0 (karbon
monoksida). Hutan lindung sangat dilindungi dari perusakan
penebangan hutan membabibuta yang umumnya terdapat di sekitar
lereng dan bibir pantai.
4. Hutan Produksi / Hutan Industri
Hutan yang dapat dikelola untuk menghasilkan sesuatu yang bernilai
ekonomi. Hutan produksi dapat dikategorikan menjadi dua golongan
yakni hutan rimba dan hutan budidaya. Hutan rimba adalah hutan yang
alami sedangkan hutan budidaya adalah hutan yang sengaja dikelola
manusia yang biasanya terdiri dari satu jenis tanaman saja. Hutan
rimba yang diusahakan manusia harus menebang pohon denga sistem
tebang pilih dengan memilih pohon yang cukup umur dan ukuran saja
agar yang masih kecil tidak ikut rusak.
Luas hutan Indonesia dulu mencapai 113 juta hektar terus berkurang
drastis akibat kebodohan oknum pemerintah dan oknum masyarakat yang selalu
haus uang dengan membabat dan menggunduli hutan demi mendapat keuntungan
yang besar tanpa melihat dampak bagi lingkungan sekitar dan global. Hilangnya
sebagian besar hutan lindung dan hutan konservasi Indonesia akibat kebijakan
pemerintah untuk melakukan alih fungsi hutan telah menimbulkan kerugian yang
sangat besar. Greenomics Indonesia mencatat, sejak munculnya UU Nomor 5
Tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Kehutanan hingga tahun 2007, luas areal
hutan lindung dari konservasi Indonesia yang hilang sebanyak 10 juta hektare
(ha), dan akibat alih fungsi hutan selama 40 tahun terakhir, kerugian yang diderita
negara dan masyarakat Indonesia minimal Rp 589,3 triliun per tahun. Kerugian
total itu terbagi menjadi tiga bagian, yakni Rp 170,2 triliun untuk kerugian kayu,
Rp 320,6 triliun akibat hancurnya ekologi, serta kenaikan inflasi Rp 88,5 triliun
per tahun Negara Rugi Rp 589,3 Triliun Setahun. Ini adalah sebuah bencana besar
bagi negara Indonesia dan juga dunia.
Dampak yang paling parah mendapat ekspor asap dari Indonesia ketika
terjadi kebakaran hutan dan lahan itu terutama Singapura dan Malaysia. Singapura
pada 2006 memberikan bantuan dana hampir Rp100 miliar untuk Jambi dalam
pembuatan master plan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan serta kabut
asap.Data Dinas Kehutanan Jambi mencatat kebakaran hutan dan lahan di daerah
itu sepanjang tahun 2006 sedikitnya menghanguskan lahan dan hutan seluas 3.000
hektar.Pada 2005 tercatat seluas 1.280 hektar, pada 2004 (3.262 hektar), dan pada
2003 (6.326 hektar).Sementara pada 1997 merupakan kebakaran hutan terhebat
dan terbesar yang menghanguskan hutan dan lahan seluas19.306 hektar. Namun
pada 1998 mulai menurun menjadi 86,25 hektar dan pada 2002 kembali terjadi
yang melahap areal seluas hampir 2.000 hektar.
Definisi dari bencana atau disaster adalah suatu kejadian/ event yang
menimbulkan; mengakibatkan : korban jiwa, kejiwaan, harta benda, flora dan
fauna serta ciptaan tuhan lainnya.
Pada dasarnya sumber dan jenis bencana dapat dibagi menjadi 3 ( tiga )
bagian yaitu :
1. Bencana alam : natural disaster
2. Ulah manusia : man made disaster
3. Karena alam dan ulah manusia

Kerusakan hutan ini dapat digolongkan ke dalam bencana yang
diakibatkan oleh ulah manusia, karena pada dasarnya alam ini diciptakan
seimbang oleh yang maha kuasa. Adanya campur tangan manusia terhadap alam
ini mengakibatkan keadaan yang seimbang tadi menjadi tidak seimbang dan
cenderung untuk menjadi tidak seimbang ( rusak ). Hutan yang rusak akan
mendatangkan permasalahan yang kompleks terhadap kelangsungan hidup
manusia tidak hanya dirasakan oleh Indonesia tetapi dampaknya juga akan
dirasakan oleh seluruh penduduk dunia.
Undang Republik Indonesia Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi
Sumber Daya Hayati dan Ekosistem serta beberapa peraturan perundang
undangan yang di dalamnya mengandung maksud menjaga dan memelihara
kelestarian alam dengan prinsip pembangunan berkelanjutan misalanya UU
migas, UU pertambangan, dan sebagainya.
Penanggulangan hutan di Indonesia telah di atur dengan jelas di dalam
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.12/Menhut-Ii/2009 Tentang Pengendalian
Kebakaran Hutan. Adapun upaya penanggulangan yang dimaktub tersebut antara
lain:
1. Memberdayakan sejumlah posko yang bertugas menanggulangi kebakaran
hutan di semua tingkatan. Pemberdayaan ini juga harus disertai dengan
langkah pembinaan terkait tindakan apa saja yang harus dilakukan jika
kawasan hutan telah memasuki status Siaga I dan juga Siaga II.
2. Memindahkan segala macam sumber daya baik itu manusia, perlengkapan
serta dana pada semua tingkatan mulai dari jajaran Kementrian Kehutanan
hingga instansi lain bahkan juga pihak swasta.
3. Memantapkan koordinasi antara sesame instansi yang saling terkait
melalui dengan PUSDALKARHUTNAS dan juga di lever daerah dengan
PUSDALKARHUTDA tingkat I dan SATLAK kebakaran lahan dan juga
hutan.
4. Bekerjasama dengan pihak luar seperti Negara lainnya dalam hal
menanggulangi kebakaran hutan. Negara yang potensial adalah Negara
yang berbatasan dengan kita misalnya dengan Malaysia berama pasukan
BOMBA-nya. Atau juga dengan Australia bahkan Amerika Serikat.
Upaya penanggulangan kebakaran hutan ini tentunya harus sinkron dengan
upaya pencegahan. Sebab walau bagaimanapun, pencegahan jauh lebih baik dari
memanggulangi. Ada beragam cara yang bisa dilakukan dalam rangka mencegah
kebakaran hutan khususnya yang disebabkan oleh perbuatan manusia seperti
membuang punting rokok di wilayah yang kering, kegiatan pembukaan lahan dan
juga api unggun yang lupa dimatikan. Upaya pencegahannya adalah dengan
meningkatkan kesadaran masyarakat khususnya mereka yang berhubungan
langsung dengan hutan. Masyarakat ini biasanya tinggal di wilayah hutan dan
memperluas area pertaniannya dengan membakar. Pemerintah harus serius
mengadakan sosialisi agar hal ini bisa dicegah.
Pada dasarnya upaya penanggulangan kebakaran hutan juga bisa
disempurnakan jika pemerintah mau memanfaatkan teknologi semacam bom air.
Atau bisa juga lebih lanjut ditemukan metode yang lebih efisien dan ampuh
menaklukkan kobaran api di hutan. Langkah yang paling baik adalah dengan
mengikutsertakan para perangkat pendidikan agar merancang teknologi maupun
metode yang membantu pemerintah di level praktis. Sokongan dana dari
pemerintah akan membuat program tersebut lebih baik dan terarah.
Pemulihan terhadap kerusakan hutan harus segera dilaksanakan untuk
menjaga kerusakan yang lebih parah. Untuk melaksanakan pemulihan terhadap
kerusakan hutan yang telah terjadi, pemerintah dengan mengajak seluruh lapisan
masyarakat, dari kalangan individu, kelompok maupun organisasi perlu secara
serentak mengadakan reboisasi hutan dalam rangka penghijauan hutan kembali
sehingga pada 10 15 tahun ke depan kondisi hutan Indonesia dapat kembali
seperti sedia kala. Pelaksanaan penghijauan tersebut harus lebih mengaktifkan
masyarakat lokal ( masyarakat yang berada di sekitar hutan ) untuk secara sadar
dan spontan turut menjaga kelestarian hutan tersebut.
Pemerintah harus menerapkan cara cara baru dalam penanganan
kerusakan hutan. Pemerintah mengikutsertakan peran serta masyarakat terutama
peningkatan pelestarian dan pemanfaatan hutan alam berupa upaya
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, pendidikan dan latihan serta
rekayasa kehutanan.
Pencegahan dan Peringanan, Pencegahan di sini dimaksud kegiatan
penyuluhan / penerangan kepada masyarakat lokal akan penting menjaga fungsi
dan manfaat hutan agar dapat membantu dalam menjaga kelestarian hutan dan
penegakan hukum yang tegas oleh aparat penegak hukum, POLRI yang dibantu
oleh POL HUT dalam melaksanakan penyelidikan terhadap para oknum
pemerintahan daerah atau desa yang menyalahgunakan wewenang untuk
memperdagangkan kayu pada hutan lindung serta menangkap dan melakukan
penyidikan secara tuntas terhadap para cukong cukong kayu yang merugikan
negara trilyunan rupiah setiap tahunnya. Peringanan yang dimaksud di sini adalah
pemerintah harus melaksanakan analisa terhadap pelaksanaan peraturan tersebut
di dalam masyarakat. Bila ditemukan hal hal yang tidak cocok bagi masyarakat
sebaiknya pemerintah mengadakan revisi terhadap undang undang tersebut
sepanjang tujuan awal pembuatan undang undang itu tidak dilanggar.
Pemerintah harus melaksanakan pengawasan dan pengendalian secara
rutin dan situasional terhadap segala hal yang berkaitan adanya informasi
kerusakan hutan yang didapatkan melalui media massa cetak maupun elektronik
ataupun informasi yang berasal dari masyarakat sendiri. Pemerintah harus
melakukannya secara kontinyu dan terus menerus sehingga kalaupun ada
kerusakan hutan yang dilakukan oleh oknum tertentu dapat segera diambil
langkah yang tepat serta dapat mengurangi akibat bencana/ disaster yang akan
ditimbulkan kemudian.
Peranan pemerintah untuk menjaga keletarian dan pemanfaatan hutan
dengan baik sangat penting. Pemerintah memiliki tanggung jawab atas
pengelolaan dan kelestarian hutan Indonesia. Pemerintah harus memiliki :
1. Keahlian, kemampuan dan keterampilan teknis kerja yang bagus untuk
bisa mengelola hutan Indonesia secara tepat dan benar
2. Mempunyai sikap mental yang positif terhadap kelestarian hutan,
bukan untuk kepentingan pribadi atau golongan
3. Berdisiplin yang tinggi dan memiliki dedikasi yang tinggi terhadap
tugas yang dibebankan kepadanya.

Dalam kondisi yang demikian selain peranan pendidikan dan pelatihan
juga peranan pengawasan fungsional, yang melekat pada pengawasan sosial/
masyarakat harus ditingkatkan untuk memotivasi aparat pemerintah dan penegak
hukum supaya berkerja lebih profesional dengan etos kerja yang luas untuk
mampu bekerja secara beradaya guna dan berhasil guna sehingga tujuan untuk
menjaga kelestarian hutan dapat diwujudkan.
2.12 Kasus Kebakaran Hutan di Indonesia
2.12.1 Kebakaran Hutan di Riau
Luas hutan berdasarkan Laporan Dinas Kehutanan Provinsi Riau adalah 8,6
juta hektar. Bila dirinci menurut fungsinya seluas 228.793,82 hektar (2,66 persen)
merupakan hutan lindung, kemudian 1.605.762,78 hektar (18,67 persen) adalah
hutan produksi tetap, 1.815.949,74 hektar (21,12 persen) adalah hutan produksi
terbatas dan 531.852,65 hektar (6,19 persen) adalah hutan suaka alam dan seluas
4.277.964,39 hektar (49,75) merupakan hutan produksi konversi.
Luas lahan kritis dalam kawasan hutan berdasarkan tata guna hutan di
Provinsi Riau pada tahun 2012 tercatat seluas 1,2 juta hektar dengan lokasi terluas
ada di Kabupaten Indragiri Hilir 229.319,24 hektar atau 19,18 persen diikuti
Kabupaten Kampar seluas 181.291,18 hektar atau 15,16 persen dan Kabupaten
Rokan Hilir seluas 143.983,50 hektar atau 12,04 persen.
Secara umum, topografi provinsi Riau merupakan daerah dataran rendah
dan agak bergelombang .Sebagian besar tanah daratan daerah Riau terdiri dari
daratan yang terbentuk dari formasi alluvium (endapan). Berdasarkan penelitian
Zwieryeki (1919-1929) bahwa di Riau terdapat empat jenis tanah, yakni :
1. Jenis tanah Organosol Glei humus
2. Jenis tanah padsolik merah kuning dari alluvium
3. Jenis tanah padsolik merah kuning dari batuan endapan
4. Jenis tanah padsolik merah kuning dari batuan endapan dan batuan beku

Selain jenis tanah tersebut, dibeberapa daerah di Provinsi Riau juga
tersebar tanah gambut seperti halnya di wilayah Kabupaten Indragiri Hilir,
Kabupaten Kampar, Kabupaten Rokan Hulu, dll.Luas seluruh lahan gambut Riau
adalah 4.043.602 hektar dan terdapat hampir di semua wilayah kabupaten, tetapi
yang paling luas terdapat di wilayah kabupaten yang berada di pantai timur. Enam
kabupaten yang memiliki lahan gambut paling luas berturut-turut adalah
Kabupaten Indragiri Hilir (983 ribu ha atau 24,3% dari total lahan di provinsi),
Bengkalis (856 ribu ha atau 21,2%), Pelalawan (680 ribu ha atau 16,8%), Siak
(504 ribu ha atau 12,5%), Rokan Hilir (454 ribu ha atau 11,2%), dan Indragiri
Hulu (222 ribu ha atau 5,5%). Kabupaten yang lain seperti Kampar, Karimun, dan
Pekanbaru hanya mempunyai lahan gambut kurang dari 5% (Wahyunto et al.,
2005).
Tanah gambut terbentuk dari akumulasi sisa-sisa tanaman purba yang mati
dan sebagian mengalami perombakan, mengandung minimal 12-18% C-organik
dengan ketebalan minimal 50 cm. Secara taksonomi tanah disebut juga sebagai
tanah gambut, Histosol atau Organosol bila memiliki ketebalan lapisan gambut
40 cm, bila bulk density 0,1 g/cm
3
(Widjaja Adhi, 1986). Hingga saat ini, luas
lahan gambut provinsi Riau mencapai 4,02 juta hektar.
Istilah gambut memiliki makna ganda yaitu sebagai bahan organik (peat)
dan sebagai tanah organik (peat soil). Gambut sebagai bahan organik merupakan
sumber energy,m bahan untuk media perkecambahan biji dan pupuk organik
sedangkan gambut sebagai tanah organik digunakan sebagai lahan untuk
melakukan berbagai kegiatan pertanian dan dapat dikelola dalam lahan untuk
melakukan berbagai kegiatan pertanian dan dapat dikelola dalam system usaha
tani (Andriesse, 1988).



Tabel 1. Pembagian bahan organik tanah berdasarkan tingkat dekomposisi
bahan tanaman aslinya
Bahan
organik
Tingkat
dekomposisi
Bulk
density
(berat
jenis/
g/cm
3
)
Kandungan
serat
Kadar air
saat
jenuh
(%)
Warna
Fibrik rendah < 0,1
850
3000
Coklat
kekuningan,
coklat tua
atau coklat
kemerahan.
Hemik sedang
0,13
0,29
<3/4 -
250
450
Coklat
keabu-
abuan dan
kemerahan
tua
Saprik tinggi 0,2 < < 450
Kelabu tua
hingga
hitam

Lahan gambut kurang bernilai ekonomis tetapi memiliki fungsi ekologis
yang sangat penting, seperti fungsi hidrologi yang berperan dalam mengatur aliran
dan menyimpan air.Kemampuannya menyerap air yang tinggi menjadikan rawa
gambut berperan penting dalam mencegah terjadinya banjir.Gambut juga
merupakan salah satu penyusun bahan bakar yang terdapat di bawah permukaan.
Gambut mempunyai kemampuan dalam menyerap air sangat besar, karena itu,
meskipun tanah di bagian atasnya sudah kering, di bagian baawhnya tetap lembab
dan bahkan relatif masih basah karena mengandung air. Saat musim kemarau tiba
permukaan tanah gambut cepat sekali kering dan mudah terbakar, dan api di
permukaan juga dapat merambat ke lapisan dalam yang relatif lembab. Oleh
karenanya, ketika terbakar, kobaran api tersebut akan bercampur dengan uap air di
dalam gambut dan menghasilkan asap yang sangat banyak.

Kebakaran Hutan/ Lahan Gambut di Provinsi Riau
Kebakaran gambut tergolong dalam kebakaran bawah (ground fire). Pada
tipe ini, api menyebar tidak menentu secara perlahan di bawah permukaan karena
tanpa dipengaruhi oleh angin. Api membakar bahan organik dengan pembakaran
yang tidak menyala (smoldering) sehingga hanya asap berwarna putih saja yang
tampak di atas permukaan tanah. Kebakaran bawah ini tidak terjadi dengan
sedirinya, biasanya api berasal dari permukaan, kemudian menjalar ke bawah
membakar bahan organik melalui pori-pori gambut. Mengingat tipe kebakaran
yang terjadi di dalam tanah dan hanya asapnya saja yang muncul ke permukaan,
maka kegiatan pemadaman akan mengalami banyak kesulitan. Pemadaman secara
tuntas terhadap api di dalam lahan gambut hanya akan berhail, jika pada lapisan
gambut yang terbakar digenangi oleha air. Untuk mendapatkan kondisi sperit ini
tentu diperlukan air dalam kapasitas besar misalnya dengan menggunakan stick
pump atau menunggu sampai api dipadamkan oleh hujan deras secara alami.
Sebagaimana hal yang terjadi dewasa ini, lahan Riau yang terbakar sejak
pertengahan hingga akhir Juni lalu telah mencapai areal seluas 3.700 hektar.
Kabupaten Rokan Hilir dengan ibukota Bagansiapi-api merupakan daerah
terparah dengan areal kebakaran hingga 2.800 hektar, diikuti Kabupaten
Bengkalis 500 hektar, Rokan Hulu 200 hektar, dan Pelalawan 500 hektar.
Menurut Tengku Syoib, Sekretaris Kepala Dinas Kehutanan Riau pada jumat
(21/6/2013) bahwa sebagian besar lahan yang terbakar berada di tanah gambut.
Selain itu, Isbanu tim Manggala Agni BBKSDA Riau juga mengalami kesulitan
untuk memadamkan areal yang sangat luas itu. Kendala utama akibat peralatan
yang minim dan tradisional serta sumber air yang sulit dijangkau dilapangan
ditambah lagi lahan yang terbakar merupakan lahan gambut.
Dewasa ini merupakan musimnya kebakaran hutan di pulau-pulau Indonesia
khususnya Sumatera dan Kalimantan.Mengingat peristiwa kebakaran hutan yang
sering terjadi di kedua pulau tersebut.Salah satunya yakni di Provinsi Riau dimana
kebakaran lahan kali ini merupakan yang terparah dari sebelumnya. Menurut
Pakar lingkungan dari Universitas Riau Prof. Adnan Kasri menyatakan, kabut
asap dampak dari kebakaran lahan gambut yang melanda Provinsi Riau kali ini
merupakan yang terparah sepanjang sejarah. Sebelumnya sekitar tahun 1997,
kasus kebakaran hebat memang sempat terjadi.Namun dampat kabut asapnya
tidak separah kali ini dimana pencemaran udara sudah berada di atas ambang
normal. (Antara Pekanbaru, Selasa 25/6/2013).
Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU)
Kualitas udara disampaikan ke masyarakat dalam bentuk indeks standar
pencemar udara atau disingkat ISPU, adalah angka yang tidak mempunyai satuan
yang menggambarkan kondisi kualitas udara ambien di lokasi dan waktu tertentu
yang didasarkan kepada dampak terhadap kesehatan manusia, nilai estetika dan
makhluk hidup lainnya.Kualitas udara ambien merupakan tahap awal untuk
memahami dampak negatif cemaran udara terhadap lingkungan. Kualitas udara
ambien di tentukan oleh :
1. Kualitas emisi cemaran dari sumber cemaran
2. Proses transportasi, konversi dan penghilang cemaran di atmosfer, dimana
kualitas udara ambien akan menentukan dampak negatif cemaran udara
terhadap kesehatan masyarakat dan kondisi lingkungan ( tumbuhan,
hewan, material, dll )

Berdasarkan Keputusan Badan Pengendalian Dampak Lingkungan
(Bapedal) Nomor KEP-107/Kabapedal/11/1997, penyampaian ISPU kepada
masyarakat dapat dilakukan melalui media massa dan elektronika serta papan
peraga di tempat-tempat umum.


Kategori Pencemar Udara
ISPU ditetapkan berdasarkan 5 pencemar utama, yaitu: CO, SO
2
, NO
2
,
Ozon permukaan (O
3
), dan partikel debu (PM
10
).
PM
10

PM merupakan kependekan dari particulate matter atau partikulat.
Partikulat merupakan zat pencemar padat maupun cair yang terdispersi di udara.
Partikulat ini dapat berupa debu, abu, jelaga, asap, uap, kabut, atau aerosol. Jenis-
jenis partikulat dibedakan berdasarkan ukurannya. Partikel yang sangat kecil
dapat bergabung satu sama lain membentuk partikel yang lebih besar.
Partikulat dalam emisi gas buang dapat terdiri atas bermacam-macam
komponen.Beberapa unsur kandungan partikulat adalah karbon (dari pembakaran
tidak sempurna) dan logam timbel (dari pembakaran bensin bertimbel). Sebagian
partikulat keluar dari cerobong pabrik sebagai asap hitam tebal. Tetapi, yang
paling berbahaya adalah butiran-butiran halus sehingga dapat menembus bagian
terdalam paru-paru. Jika ini yang terjadi, organ pernapasan akan terganggu.
Standar baku mutu yang diperbolehkan adalah 150 ug/Nm
3

SO
2
SO
2
merupakan rumus kimia untuk gas sulfur dioksida. Gas ini berasal dari
hasil pembakaran bahan bakar yang mengandung sulfur.Selain dari bahan bakar,
sulfur juga terkandung dalam pelumas.Gas sulfur dioksida sukar dideteksi karena
merupakan gas tidak berwarna. Sulfur dioksida dapat menyebabkan gangguan
pernapasan, pencernaan, sakit kepala, sakit dada, dan saraf. Pada kadar di bawah
batas ambang, dapat menyebabkan kematian. Korban sulfur dioksida bukan hanya
manusia, tetapi juga bangunan dan tumbuhan. Keberadaan gas ini di udara dapat
menimbulkan hujan asam yang merusakkan bahan bangunan dan menghambat
pertumbuhan tanaman. Standara baku mutu yang diperbolehkan adalah 365
ug/Nm
3

CO
CO merupakan rumus kimia untuk gas karbon monoksida. Gas ini
dihasilkan dari pembakaran bahan bakar yang tidak sempurna.Pembakaran tidak
sempurna, salah satu sebabnya adalah kurangnya jumlah oksigen.Bisa karena
saring udara yang tersumbat, bisa juga karena karburator kotor dan setelannya
tidak tepat.Asap kendaraan merupakan sumber utama bagi karbon monoksida di
berbagai perkotaan. Data mengungkapkan bahwa 60 persen pencemaran udara di
kota-kota besar disumbang oleh transportasi umum.Karbon monoksida bersifat
racun, mengakibatkan turunnya berat janin, meningkatkan jumlah kematian bayi,
serta menimbulkan kerusakan otak. Standar baku mutu yang diperbolehkan adalah
10.000 ug/Nm3

O
3
O
3
merupakan lambang dari ozon.Senyawa kimia ini tersusun atas tiga atom
oksigen.Ozon merupakan gas yang sangat beracun dan berbau sangit.Ozon
terbentuk ketika percikan listrik melintas dalam oksigen.Adanya ozon dapat
dideteksi melalui bau (aroma) yang ditimbulkan oleh mesin-mesin bertenaga
listrik.Secara kimiawi, ozon lebih aktif ketimbang oksigen biasa dan juga
merupakan zat pengoksidasi yang lebih baik.
Biasanya, ozon digunakan dalam proses pemurnian (purifikasi) air,
sterilisasi udara, dan pemutihan jenis makanan tertentu. Di atmosfer, terjadinya
ozon berasal dari nitrogen oksida dan gas organik yang dihasilkan oleh emisi
kendaraan maupun industri.Di samping dapat menimbulkan kerusakan serius pada
tanaman, ozon berbahaya bagi kesehatan, terutama penyakit pernafasan seperti
bronkitis maupun asma. Standar baku mutu yang diperbolehkan adalah 235
ug/Nm
3
pada pengukuran selama 1 jam.
NO
2

NO
2
singkatan dari nitrogen dioksida.Zat nitrogen dioksida sangat beracun
sehingga dapat menyebabkan iritasi pada mata, hidung, dan saluran pernapasan
serta menimbulkan kerusakan paru-paru.Gas ini terbentuk dari hasil pembakaran
tidak sempurna.Setelah bereaksi di atmosfer, zat ini membentuk partikel-partikel
nitrat sangat halus sehingga dapat menembus bagian terdalam paru-paru. Partikel-
partikel nitrat ini pula, jika bergabung dengan air baik air di paru-paru atau uap air
di awan akan membentuk asam. Asam ini dapat merusakan tembok bangunan dan
menghambat pertumbuhan tanaman. Jika bereaksi dengan sisa hidrokarbon yang
tidak terbakar, akan membentuk smog atau kabut berwarna cokelat kemerahan.
Standar baku mutu yang diperbolehkan adalah 150 ug/Nm
3
.
Agar lebih mudah dipahami ISPU dapat dibayangkan seperti penggaris
angka 1 hingga 1000.Semakin tinggi nilai ISPU maka semakin tinggi tingkat
pencemaran dan semakin berbahaya dampaknya terhadap kesehatan.Sebagai
contoh, ISPU 30 menunjukkan kualitas udara baik dan tidak ada dampak yang
berbahaya terhadap kesehatan.
Ketika kondisi ISPU di bawah 100 dipandang tidak berbahaya terhadap
masyarakat secara umum. Namun ketika ISPU beranjak melebihi 100 maka
pertama-tama kelompok masyarakat yang sensitif seperti penderita asma dan
anak-anak serta orang dewasa yang aktif di luar ruangan, akan paling awal
merasakan dampak kualitas udara yang tidak sehat. Sejalan dengan meningkatnya
ISPU maka akan semakin banyak yang merasakan dampak, hingga akhirnya
seluruh masyarakat akan menderita karena dampak kesehatan yang terjadi.

Cara Kerja ISPU
Hasil ISPU tidak dapat secara langsung ditampilkan menjadi informasi ke
masyarakat, melaikan sebelum ditampilkan, hasil ISPU harus melewati beberapa
proses terlebih dahulu.
Tahap awal untuk menentukan ISPU adalah memantau unsur-unsur yang
ada di udara bebas.Misalkan di wilayah Provinsi Riau menggunakan
Pemantau Udara Kota Pekanbaru yang terdiri dari 3 Fix Monitoring
Station (Statiun Pemantau ) yaitu :
1. Stasiun Kulim (PEF-1)
2. Stasiun Suka jadi (PEF -2)
3. Stasiun Tampan (PEF-3)
Tahap kedua adalah pengumpulan dan peneriman data dari alat pemantau
udara Kota Pekanbaru ke satu pusat pengolahan data yaitu laboratorium
udara Kota Pekanbaru. Di laboratorium ini data akan diolah sedemikian
rupa menjadi lebih sederhana dan mudah untuk dimengerti oleh
masyarakat.
Tahap ketiga adalah menampilkan data yang telah diolah ke data display
agar dapat dilihat dan diamati oleh masyarakat.

Indeks Warna dan Kategori ISPU
ISPU memiliki Indeks Warna dan Kategori sebagai berikut:







Baik : Tingkat kualitas udara yang tidak memberikan efek bagi
kesehatan manusia atau hewan dan tidak berpengaruh pada tumbuhan,
bangunan atau nilai estetika.
Sedang : Tingkat kualitas udara yang tidak berpengaruh pada
kesehatan manusai ataupun hewan tetapi berpengaruh pada tumbuhan
yang sensitive dan nilai estetika.
Tidak sehat : Tingkat kualitas udara yang bersifat merugikan pada
manusia ataupun kelompok hewan yang sensitif atau bisa menimbulkan
kerusakan pada tumbuhan ataupun nilai esrtetika
Berbahaya : Tingkat kualitas udara berbahaya secara umum dapat
merugikan kesehatan yang serius pada populasi.

Menurut Laboratorium Udara Kota Pekanbaru, hasil ISPU Kota Pekanbaru
pada saat terjadinya kebakaran lahan dan marak-maraknya asap baru-baru ini
,menunjukkan hasil Tidak Sehat. Karena hasil ISPU menunjukkan angka 150
(Tidak Sehat).Hasil ini bukanlah hasil yang parah, karena Kota Pekanbaru
Indeks Kategori Warna
1-50 Baik Hijau
51-100 Sedang Biru
101-199 Tidak Sehat Kuning
200-299 Sangat Tidak Sehat Merah
>300 Berbahaya Hitam
bukanlah penyumbang asap, melainkan penerima asap. Sementara itu, lain halnya
dengan ISPU yang diukur pada sekitar jam 08.00 WIB 23 Juni dibeberapa kota
seperti Rumbai 619 psi, Minas 247 psi, Duri 164 psi, dan wilayah Dumai yang
tingkat konsentrasinya di atas 800 bahkan telah mencapai 900 psi (polutant
standard index) pada Senin (24/6/2013) sekitar pukul 16.00 WIB. (Data Badan
Lingkungan Hidup Provinsi Riau)
Akhir-akhir ini kebakaran hutan di Indonesia khususnya di provinsi Riau
semakin sering terjadi. Penyebabnya bisa beragam yang dibagi ke dalam dua
kelompok utama, alam dan campur tangan manusia. Menurut data statistik,
kebakaran hutan di Riau sebanyak 90 % disebabkan oleh manusian dan
selebihnya adalah kehendak alam.
Kebakaran hutan di provinsi Riau adalah peristiwa dimana hutan yang
digologkan sebagai ekologi alamiah mengalami perubahan bentuk yang
disebabkan oleh aktfitas pembakaran secara besar-besaran. Pada dasarnya,
peristiwa ini memberi dampak negatif maupun positif. Namun, jika dicermati,
dampak negatif kebakaran hutan jauh lebih mendominasi ketimbang dampak
positifnya. Oleh sebab itu hal ini penting untuk dicegah agar dampak negatifnya
tidak merugikan manusia terlalu banyak. Salah satu upaya pencegahan yang
paling mendasar adalah dengan memahami penyebab terjadinya kebakaran hutan
di provinsi Riau. Di dalam Kamus Kehutanan yang diterbitkan oleh Kementrian
Kehutanan RI, disebutkan bahwa kebakaran hutan disebabkan oleh alam dan
manusia. Konteks alam mencakup musim kemarau yang berkepanjanganjuga
sambaran petir. Sementara faktor manusia antara lain kelalaian membuang
punting rokok, membakar hutan dalam rangka pembukaan lahan, api unggun yang
lupa dimatikan dan masih banyak lagi lainnya.
Kebakaran hutan di provinsi Riau perlu ditanggulangi secara tepat sebab
peristiwa ini memiliki dampak buruk bagi kehidupan manusia, flora dan fauna.
Dampaknya antara lain sebagai berikut :
1. Kebakaran hutan akan menyebarkan sejumlah emisi gas karbon ke
wilayah atmosfer dan berperan dalam fenomena penipisan lapisan
ozon.
2. Dengan terbakarnya hutan, satwa liar akan kehilangan rumah tempat
mereka hidup dan mencari makan. Hilangnya satwa dalam jumlah
yang besar tentu akan berakibat pada ketidakseimbangan ekosistem.
3. Hutan identik dengan pohon. Dan pepohonan identik sebagai pendaur
ulang udara serta akarnya berperan dalam mengunci tanah serta
menyerap air hujan. Jika pepohonan berkurang, dipastikan beberapa
bencana akan datang seperti banjir atau longsor.
4. Kebakaran hutan di provinsi Riau akan membuat bangsa kita
kehilangan bahan baku industri yang akan berpengaruh pada
perekonomian.
5. Jumlah hutan yang terus berkurang akan membuat cuaca cenderung
panas dan kering.
6. Asap dari hutan akan membuat masyarakat terganggu dan terserang
penyakit yang berhubungan dengan pernapasan.seperti yang kita
rasakan pada saat ini.
7. Kebakaran hutan bisa berdampak pada menurunnya jumlah wisatawan
yang berkunjung ke sebuah Negara.
8. Selain itu dampak dari kebakaran hutan akan mengganggu kinerja dan
aktifitas seperti dihentikan pekerjaan.
9. Terganggu penerbangan di bandara-bandara yang ada di provinsi Riau
akibat dari akubat asap terbakarnya hutan yang mengurangi jarak
pandang.
Jenis-jenis flora yang banyak terdapat di hutan-hutan wilayah Kabupaten
Bengkalis adalah Meranti, Punak, Sungkai, Bintangur, Api-api, Bakau,
Nibung(flora identitas provinsi Riau). Kayu-kayu ini sebagian besar merupakan
jenis kayu komersial yang digunakan sebagai bahan baku industri kayu dan
furniture. Hasil hutan lainnya adalah Rotan, Damar dan Getah Jelutung.
Disamping itu terdapat beberapa jenis anggrek hutan dan berbagai jenis tanaman
hias, seperti Pinang Merah dan Palm (Kepau).
Sedangkan jenis-jenis fauna yang masih terapat di kawasan hutang
Bengkalis, seperti Harimau Sumatera, Gajah, Beruang Madu, Beruk, Lutung,
Kera, Rusa, Kijang, Kancil, Ayam Hutan, Buaya, serta berbagai jenis ular dan
burung, contohya burung serindit (fauna khas dari riau). Di Kabupaten Bengkalis
terdapat kawasan hutan lindung yang terdapat di Kecamatan Bukit Batu, Mandau
dan Rupat.
Melihat luasnya area hutan yang terbakar di Riau mencapai 20.067
hektare, walaupun tidak ada data yang akurat tentang flora dan fauna yang
menjadi korban dalam kebakaran hutan di Riau, namun dapat diperkirakan banyak
dari flora baik itu berbagai jenis pohon, bunga, maupun tumbuhan jenis lainnya
yang mati akibat dari kebakaran hutan di Provinsi Riau ini. Begitu pula dengan
fauna yang yang bertempat tinggal di hutan Riau ini, banyak juga yang menjadi
korban dalam kebakaran Riau ini. Namun diperkirakan banyak juga hewan yang
menyelamatkan diri dengan cara pergi meninggalkan hutan menuju ke tempat
yang lebih aman bagi mereka.
Kebakaran hutan di Riau tak hanya mengakibatkan polusi udara tinggi.
Satwa-satwa di dalam hutan pun ikut keluar. Seperti Harimau Sumatera yang
keluar hutan dan mendekati pemukiman warga.
Tentu saja hal ini membuat warga setempat khawatir. Seperti yang dialami
warga di sekitar Dusun Bukit Lengkung Desa Tanjung Leban, Kecamatan Bukit
Batu, Bengkalis. Mereka berlarian karena melihat empat ekor harimau berkeliaran
di daerah mereka.
Warga setempat memperkirakan harimau tersebut merupakan satu
keluarga terdiri dari tiga harimau dewasa dan satu ekor anak harimau. Harimau
tersebut terlihat di lahan yang terbakar. Kawanan si kucing besar
kemungkinan keluar sarang karena hutan tempat mereka bertahan hidup turut
terbakar.
Sejumlah warga mulai resah karena seekor harimau Sumatera mulai
mendekati areal perkampungan akibat kebakaran lahan dan hutan yang memaksa
satwa liar itu secara alami keluar dari habitatnya di Kabupaten Bengkalis, Riau.
"Warga cemas karena ditemukan jejak kaki harimau di lahan sawit dekat
dengan permukiman warga," kata seorang warga Aswadi ketika dihubungi dari
Pekanbaru, Rabu (26/2/2014).

2.12.2 Kebakaran Hutan di Kalimantan
Kerusakan hutan telah meningkatkan emisi karbon hampir 20 %. Ini
sangat signifikan karena karbon dioksida merupakan salah satu gas rumah kaca
yang berimplikasi pada kecenderungan pemanasan global. Salju dan penutupan es
telah menurun, suhu lautan dalam telah meningkat dan level permukaan lautan
meningkat 100-200 mm selama abad yang terakhir. Bila laju yang sekarang
berlanjut, para pakar memprediksi bumi secara rata-rata 1
o
C akan lebih panas
menjelang tahun 2025. Peningkatan permukaan air laut dapat menenggelamkan
banyak wilayah. Kondisi cuaca yang ekstrim yang menyebabkan kekeringan,
banjir dan taufan, serta distribusi organisme penyebab penyakit diprediksinya
dapat terjadi.
Kebakaran hutan merupakan salah satu bentuk gangguan yang makin
sering terjadi. Dampak negatif yang ditimbulkan oleh kebakaran hutan cukup
besar mencakup kerusakan ekologis, menurunnya keanekaragaman hayati,
merosotnya nilai ekonomi hutan dan produktivitas tanah, perubahan iklim mikro
maupun global, dan asapnya mengganggu kesehatan masyarakat serta
mengganggu transportasi baik darat, sungai, danau, laut dan udara. Gangguan
asap karena kebakaran hutan Indonesia akhir-akhir ini telah melintasi batas
negara.
Berbagai upaya pencegahan dan perlindungan kebakaran hutan telah
dilakukan termasuk mengefektifkan perangkat hukum (undang-undang, PP, dan
SK Menteri sampai Dirjen), namun belum memberikan hasil yang optimal. Sejak
kebakaran hutan yang cukup besar tahun 1982/83 di Kalimantan Timur, intensitas
kebakaran hutan makin sering terjadi dan sebarannya makin meluas. Tercatat
beberapa kebakaran cukup besar berikutnya yaitu tahun 1987, 1991, 1994 dan
1997 hingga 2003. Oleh karena itu perlu pengkajian yang mendalam untuk
mencegah dan menanggulangi kebakaran hutan.
Kebakaran hutan di Kalimantan Timur yang terjadi pada tahun 1983
merupakan suatu fenomena bencana di hutan hujan tropis dataran rendah di
Indonesia. Peristiwa itu menunjukan bagaimana kondisi alam dan kegiatan
manusia dapat secara bersama-sama menimbulkan suatu situasi, sehingga bahwa
hutan di daerah tropika yang terletak di khatulistiwa itu bisa terbakar.
Berdasarkan penelitian Lennertz dan Pance (1983) beserta teman kerjanya
dari Indonesia tercatat 3,5 juta hektar hutan telah mengalami rusak berat akibat
musim kemarau yang panjang pada tahun 1982 dan kemudian diikuti kebakaran
pada awal tahun 1983. Hutan yang rusak meliputi 800.000 hektar hutan primer,
1.400.000 hektar hutan yang telah ditebang kayu gelondongannya, 750.000 hektar
hutan sekunder, perladangan, dan penghunian penduduk, serta 550.000 hektar
rawa gambut dan hutan rawa gambut. Di antara hutan yang mengalami musibah
itu adalah Taman Nasional Kutai, hutan penelitian, dan banyak areal hutan untuk
tanaman percobaan.
Kawasan hutan di Kalimantan Timur sejak tahun 1982 keadaannya cukup
kering untuk sudah terbakar dan merupakan masa buruk bagi Kalimantan dalam
abad itu. Analisis yang dibuat Leighton (1984) terhadap Kalimantan Timur
mengenai pola curah hujan tahunan menunjukan, bahwa daerah itu sangat
dipengaruhi oleh menghangatnya air laut musiman yang melanda perairan Peru
dan Ekuador yang dikenal dengan nama El Nino.
Fenomena ini mengakibatkan lebatnya hujan di daerah Pasifik Timur dan
berkurangnya hujan di Pasifik Barat. Ada dugaan bahwa kekeringan di
Kalimantan yang diderita tahun itu mungkin merupakan kejadian yang berulang
setiap 100 tahun. Data kejadian di masa lalu tidak dapat diperoleh sehingga
pendapat itu tidak dapat diuji kebenarannya. Sebagaimana diketahui, kebakaran
justru terjadi di kawasan hutan yang kompleks dengan kekayaan jenis yang masih
tersisa di kawasan Asia Tenggara. Kalimantan Timur adalah pusat penyebaran
jenis-jenis pohon, termasuk keluarga Dipterocarpaceae yang bernilai ekonomi
penting.
Kawasan yang terletak di sepanjang garis Khatulistiwa itu merupakan
habitat dari banyak jenis satwa yang populasinya jarang dan terancam punah,
seperti mawas (Pongo pygmaeus), bekantan (Nasalis larvatus), banteng (Bos
Javanicus), beruang madu (Helartos malayanus), dan banyak jenis burung
rangkok, serta jenis pohon terkenal, seperti meranti, liana, anggrek, palma, dan
pohon buah yang hidup liar. Beberapa jenis hidupan liar dapat menghindari dari
api, akan tetapi banyak lainnya yang musnah. Diduga banyak jenis tanaman dan
binatang yang langka yang belum sempat dikenal oleh ahli biologi telah lenyap
akibat kebakaran.
Kebakaran di Kalimantan Timur telah pula mengancurkan kayu niaga
dalam jumlah yang amat besar. Lennertz dan Pance (1983) menyebutkan bahwa di
dalan hutan yang belum ditebang, sabagai akibat dari kebakaran itu kira-kira 50%
kayu yang ekonomis mati tebakar atau mengalami kekeringan, dengan nilai
mencapai US $ 2 miliard. Diperkirakan 60% hutan yanh telah dikonsesikan juga
rusak sehingga tidak menghasilkan sama sekali kayu tebangan. Kerugian ini
diduga berkisar antara US $ 3,6 hingga 6 miliard berdasarkan perhitungan nilai
kayu yang potensial. Banyak pohon di hutan yang terhindar dari api saat ini telah
diganggu oleh serangga penggerek kayu serta oleh jamur parasit dan tidak lama
lagi akan mati juga. Pohon-pohon lainnya mungkin akan tertebang juga seperti
pohon-pohon yang lain. Banyak pertanyaan timbul mengenai bagaimana proses
pemulihan hutan dari kerusakan hutan akibat kebakaran oleh api yang besar akan
berlangsung. Prosesi suksesi tentunya berbeda bila dibandingkan dengan kejadian
di kawasan hutan yang diramba oleh kasus perladangan berpindah-pindah.
Dari penelitian Riswan dan Yusuf (1984) disimpulkan bahwa kebakaran
hutan di KALTIM menyebabkan kematian 130 pohon per hektar di hutan primer
dan 197 pohon per hektar di hutan sekunder lama. Enam bulan sesudah kebakaran
ternyata tinggal hampir 23% dari pohon-pohon yang tersisa di hutan primer
sedangkan 32,5% dari pohon-pohon yang tersisa di hutan sekunder lama bertunas
kembali dan pohon ulin (Eusideroxylon zwageri) tampaknya merupakan tanaman
yang palinh tahan dan mampu hidup kembali sesudah masa kebakaran. Dari
survei-survei terlihat bahwa beberapa daerah yang terbakar itu telah ditumbuhi
kembali oleh vegetasi sekunder melebat, seperti tanaman-tanaman merambat
terbuka dari Convolvulaceae dan Cucurbitaceae. Di tempat-tempat terbuka
vegetasi sekunder didominasi oleh Macaranga, Trema, Mollotus, Omallanthus,
dan jenis tanaman sekunder dan semak-semak. Tentu saja daerah yang terbakar
berat tidak pernah lagi pulih seperti keadaannya semula dengan keanekaragaman
ekologinya.
Banyak lagi timbul masalah lain dari peristiwa kebakaran hutan di
KALTIM. Antara lain erosi tanah, perusakan tanah, banjir dan hanyut oleh sungai
Mahakam. Masalah terakhir ini dapat menimpa usaha perikanan di daerah
pedalaman di sepanjang sungai dan menyulitkan operasi pembalakan kayu yang
menggantungkan usahanya kepada transportasi sungai. Ada kemungkinan besar
bahwa timbulnya kebakaran-kebakaran menyebabkan erosi terus-menerus dan
pada waktu yang lain tertimpa kekeringan. Sangat banyak tegakan pohon yang
mati dan padatnya tumbuhan penutup tanah akan mudah tersulut api jika
lingkungannya kering.
Penyebab kebakaran hutan sampai saat ini masih menjadi topik
perdebatan, apakah karena alami atau karena kegiatan manusia. Namun
berdasarkan beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa penyebab utama
kebakaran hutan adalah faktor manusia yang berawal dari kegiatan atau
permasalahan sebagai berikut:
1. Sistem perladangan tradisional dari penduduk setempat yang
berpindah-pindah.
2. Pembukaan hutan oleh para pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH)
untuk insdustri kayu maupun perkebunan kelapa sawit.
3. Penyebab struktural, yaitu kombinasi antara kemiskinan, kebijakan
pembangunan dan tata pemerintahan, sehingga menimbulkan konflik
antar hukum adat dan hukum positif negara.

Perladangan berpindah merupakan upaya pertanian tradisional di kawasan
hutan dimana pembukaan lahannya selalu dilakukan dengan cara pembakaran
karena cepat, murah dan praktis. Namun pembukaan lahan untuk perladangan
tersebut umumnya sangat terbatas dan terkendali karena telah mengikuti aturan
turun temurun (Dove, 1988). Kebakaran liar mungkin terjadi karena kegiatan
perladangan hanya sebagai kamuflasa dari penebang liar yang memanfaatkan
jalan HPH dan berada di kawasan HPH.

Pembukaan hutan oleh pemegang HPH dan perusahaan perkebunan untuk
pengembangan tanaman industri dan perkebunan umumnya mencakup areal yang
cukup luas. Metoda pembukaan lahan dengan cara tebang habis dan pembakaran
merupakan alternatif pembukaan lahan yang paling murah, mudah dan cepat.
Namun metoda ini sering berakibat kebakaran tidak hanya terbatas pada areal
yang disiapkan untuk pengembangan tanaman industri atau perkebunan, tetapi
meluas ke hutan lindung, hutan produksi dan lahan lainnya.

Sedangkan penyebab struktural, umumnya berawal dari suatu konflik
antara para pemilik modal industri perkayuan maupun pertambangan, dengan
penduduk asli yang merasa kepemilikan tradisional (adat) mereka atas lahan,
hutan dan tanah dikuasai oleh para investor yang diberi pengesahan melalui
hukum positif negara. Akibatnya kekesalan masyarakat dilampiaskan dengan
melakukan pembakaran demi mempertahankan lahan yang telah mereka miliki
secara turun temurun. Disini kemiskinan dan ketidak adilan menjadi pemicu
kebakaran hutan dan masyarakat tidak akan mau berpartisipasi untuk
memadamkannya.

Dengan terjadinya kebakaran hutan ini kelangsungan hidup makhluk hidup
di hutan Kalimantan mengalami gangguan dengan kata lain kebakaran hutan ini
mengganggu kehidupan ekosistem di hutan tersebut. Mengingat banyaknya
spesies langkah baik itu flora maupun fauna yang bermukim di hutan kalimantan,
akibat kebakaran ini otomatis banyak sekali flora dan fauna yang menjadi korban,
banyak dari mereka tidak dapat bertahan hidup dengan keadaan hutan yang
keadaan udaranya tidak baik untuk kelangsungan hidup mereka. Namun, tidak
dapat dipastikan secara rinci jumlah dari flora dan fauna yang menjadi korban
dalam kebakaran hutan ini. Hal ini juga akan berdampak kedepannya bagi
kelangsungan hidup manusia.

Kebakaran Hutan dan Lahan Gambut di Kalimantan Tengah Butuh
Penanganan Serius
Palangkaraya: Kebakaran hutan dan lahan gambut yang terjadi belakangan
ini membuat Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah, masih diselimuti kabut
asap. Kabut asap sempat menghilang saat hujan mengguyur, namun pembakaran
hutan dan lahan gambut oleh warga setempat kembali terjadi. Umumnya kabut
asap pekat terjadi terutama pada pagi dan sore hari.
Jarak pandang saat kabut asap sekitar 100 hingga 200 meter. Pengendara
yang melintas harus berhati-hati untuk menghindari kecelakaan. Sementara itu,
upaya pemadaman kebakaran hutan dan lahan gambut terus dilakukan pemerintah
provinsi setempat. Warga setempat mengatakan kabut asap sudah mengganggu
penglihatan dan kesehatan. Mereka berharap pembakaran lahan gambut pada
musim kemarau dapat dicegah agar kebakaran lahan tidak meluas.(DNI)

Sumber : Metro News
Membaca berita di atas sungguh sangat ironis dengan kegiatan yang baru baru
saja kita selenggarakan di Palangkaraya KalTeng, CFG merupakan pertemuan
berbagai perwakilan provinsi dari indonesia dan juga perwakilan negara guna
menjaga hutan - hutan yang ada di dunia. Sungguh sangat ironis bukan, CFG
dilaksanakan pada tanggal 21 s/d 22 deptember 2011 di Palangkaraya sungguh
bukan pertemuan biasa karena mengingat bukan hanya pertemuan intern
indonesia melainkan pertemuan internasional yang melibatkan beberapa negara
negara penting di dunia. Tetapi apa yang terjadi sekarang di kota palangkaraya ini
asap menyelimuti kota kita ini, hal ini terjadi karena kebakaran hutan yang terjadi
disini.
Nilai Subjektif
- Penilaian tergantung pada subjek/manusia yang menilai.
- Bersifat relatif, karena tiap manusia bisa memiliki penilaian yang berbeda-beda.

Nilai Objektif
- Nilai tidak tergantung pada subjek yang menilai.
- Objek memang sudah bernilai.

Nilai Subjektif
- Kurangnya tindakan tegas dari aparat penegak hukum dalam penanganan kasus -
kasus kebakaran hutan di kalimantan.
- Membakar hutan merupakan jalan pintas dalam masyarakat membuka lahan.
- Sebagian besar masyrakat menilai bahwa membuka lahan dengan membakar
lahan lebih menghemat waktu tenaga dan biaya.
- Menurut masyarakat kebakaran hutan yang terjadi di kalteng tidak sepenuhnya
kesalahan mereka, melainkan dikarenakan gambut yang mudah terbakar.
mengingat sebagaian besar struktur lahan yang ada di kalteng di dominasi oleh
gambut. Gambut mudah terbakar.
- Kebanyakan kasus kebakaran lahan di kalteng banayak orang menilai bahwa
masyarakat tradisionalah yang menjadi pelaku utama, tetapi kenyataanya tidak
sedikit juga perusaha2 besar seperti perusahan sawit yang membakar hutan
membuka lahan.
- Peningkatan angka kasus kebakaran lahan dikalimantan terjadi karena kurangnya
penyuluhan oleh pemerintah untuk masyarakat tentang pentingnya menjaga
lingkungan hidup (hutan).
- Anggapan masyarkat dengan membakar lahan, lahan yang telah dibakar tersebut
nantinya akan menghasilkan tanah yang subur.
- Aturan tetang pembakaran hutan telah di atur dengan sedemikian rupa namun
pada prakteknya tidak dilaksanakan secara maksimal.
- Walaupun telah ada sangsi bagi para pelaku kebakaran lahan tetapi hal ini tidak
membuat pelaku jera, bahkan banyak pelaku pembakaran hutan yang dibiarkan
dan tidak dikenakan sangsi apa apa.

Nilai Objektif
- Maraknya kasus pembakaran lahan dikalteng membuktikan bahwa kesadaran
masyrakat bahwa pentingnya menjaga dan memelihara lingkungan hidup
sangatlah rendah
- Kasus pembakaran lahan menimbulkan berbagai macam masalah
semakin berkurangnya hutan kalteng setiap tahunya karena adanya pembukaan
lahan dengan membakar hutan.
- Kebakaran hutan dikalimantan tidak hanya berdampak pada wilayah indonesia
saja melainkan juga negara tetangga misalnya malaysia dan brunei.
- Aturan tentang kabakaran hutan telah diatur dalam uud bagaimana kasus
penangan kebakaran lahan
- Jika adanya koordinasi antara pemerintah, aparatur penegak hukum dan
masyarakat maka kasus pembakaran lahan dapat dengan mudah diatasi.
- Pelaku pembakar lahan dikenakan denda agar pelaku jera.
- Kasus pembakaran lahan merupakan suatu tindak kejahatan.
Palangkaraya (06/10)-Kebakaran hutan dan lahan gambut di Kalimantan
Tengah sudah menjadi kado tahunan yang rutin terjadi. Pembukaan lahan dengan
pembakaran secara besar-besaran untuk kebutuhan hutan tanaman industri,
perkebunan sawit dan proyek lahan gambut sejuta hektar yang mengakibatkan
kerusakan parah menjadi penyebab utama tak terkendalinya kebakaran hutan di
Kalteng.
Musim kemarau yang terjadi sejak Juli lalu telah mengakibatkan
kebakarah hutan dan lahan gambut di Kalimantan Tengah yang cukup
serius.Walaupun tidak separah kebakaran lahan gambut yang terjadi pada 1997
lalu yang luasannya mencapai 0,73 juta ha, namun kebakaran yang melanda
Kalteng sejak September ini telah memasuki wilayah di dalam dan sekitar
kawasan konservasi TN. Sebangau.
Menurut staf komunikasi WWF-Indonesia di Kalimantan Tengah, Tira
Maya, lokasi yang terbakar berada di wilayah-wilayah dekat sungai atau kanal
yang mudah terjangkau oleh manusia. Berdasarakan hasil wawancara dengan
pihak Balai Taman Nasional Sebangau, diperkirakan luasan area yang terbakar
adalah 20 ha di Pulang Pisau, 600 ha di Mendawai dan sekitar 20 ha lebih di
sekitar Palangkaraya. Lokasi pembibitan Garuda di TN. Sebangau juga patut
diwaspadai mengingat lokasinya sangat dekat dengan kebakaran yang terjadi di
sekitar kawasan taman.
Koordinator Forest Fire WWF-Indonesia Dedi Hariri mengemukakan,
kebakaran hutan dan lahan gambut di Kalimantan Tengah butuh upaya
penanganan yang serius dari semua elemen, baik masyarakat, LSM, maupun
pemerintah. Dalam waktu dekat WWF-Indonesia bekerjasama dengan Balai
Taman Nasional Sebangau akan membentuk tim patroli yang terdiri dari tim
jagawana dari Taman Nasional dan masyarakat. Tim ini nantinya akan mendeteksi
adanya kebakaran di sekitar wilayah dan di dalam Taman Nasional. WWF akan
membantu dalam operasionalnya serta pelatihan, ungkap Dedi.
Sebelumnya, WWF juga telah bekerjasa sama dengan BTNS dengan
membentuk Regu Pengendali Kebakaran (RPK) dan pembuatan canal blocking
untuk menjaga permukaan air laut dan mengurangi akses masuknya masyarakat
ke dalam kawasan . Sampai dengan tahun 2009 telah dibangun sejumlah 176 tabat
di sekitar Sungai Bangah dan Sungai Bakung.
Program yang telah dilakukan WWF dan BTNS tentu tidak akan efektif
mengurangi laju deforestasi di Kalimantan Tengah jika tidak ada upaya yang
serupa dari pemerintah.Saya berharap pemerintah memperkuat aspek pencegahan
kebakaran hutan maupun lahan gambut. Selain itu penegakan hukum yang tegas
terhadap pelaku pembakaran hutan dan lahan juga harus diefektifkan, tambah
Dedi. Dedi juga menyebutkan perlunya pemetaan dan implementasi zona prioritas
penanganan kebakaran hutan.












BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
1. Indonesia merupakan salah satu Negara tropis yang memiliki wilayah
hutan terluas di dunia setelah Brazil dan Zaire. Dan manfaat hutan sebagai
paru-paru dunia, pengatur aliran air, pencegah erosi dan banjir serta dapat
menjaga kesuburan tanah. Selain itu, hutan dapat memberikan manfaat
ekonomis sebagai penyumbang devisa bagi kelangsungan pembangunan di
Indonesia.
2. Kebakaran hutan dapat didefinisikan sebagai pembakaran yang tidak
tertahan dan menyebar secara bebas dan mengonsumsi bahan bakar yang
tersedia di hutan,antara lain terdiri dari serasah, rumput, cabang kayu yang
sudah mati, dan lain-lain.
Saran
1. Hutan yang seharusnya dijaga dan dimanfaatkan secara optimal dengan
memperhatikan aspek kelestarian kini telah mengalami degradasi dan
deforestasi yang cukup mencenangkan bagi dunia Internasional
2. Upaya penanggulangan kebakaran hutan ini tentunya harus sinkron dengan
upaya pencegahan.
3. Upaya pencegahannya adalah dengan meningkatkan kesadaran masyarakat
khususnya mereka yang berhubungan langsung dengan hutan dan peran
pemerintahan.

You might also like