Professional Documents
Culture Documents
Bahaya Kebakaran Hutan
Bahaya Kebakaran Hutan
SO
2
SO
2
merupakan rumus kimia untuk gas sulfur dioksida. Gas ini berasal dari
hasil pembakaran bahan bakar yang mengandung sulfur.Selain dari bahan bakar,
sulfur juga terkandung dalam pelumas.Gas sulfur dioksida sukar dideteksi karena
merupakan gas tidak berwarna. Sulfur dioksida dapat menyebabkan gangguan
pernapasan, pencernaan, sakit kepala, sakit dada, dan saraf. Pada kadar di bawah
batas ambang, dapat menyebabkan kematian. Korban sulfur dioksida bukan hanya
manusia, tetapi juga bangunan dan tumbuhan. Keberadaan gas ini di udara dapat
menimbulkan hujan asam yang merusakkan bahan bangunan dan menghambat
pertumbuhan tanaman. Standara baku mutu yang diperbolehkan adalah 365
ug/Nm
3
CO
CO merupakan rumus kimia untuk gas karbon monoksida. Gas ini
dihasilkan dari pembakaran bahan bakar yang tidak sempurna.Pembakaran tidak
sempurna, salah satu sebabnya adalah kurangnya jumlah oksigen.Bisa karena
saring udara yang tersumbat, bisa juga karena karburator kotor dan setelannya
tidak tepat.Asap kendaraan merupakan sumber utama bagi karbon monoksida di
berbagai perkotaan. Data mengungkapkan bahwa 60 persen pencemaran udara di
kota-kota besar disumbang oleh transportasi umum.Karbon monoksida bersifat
racun, mengakibatkan turunnya berat janin, meningkatkan jumlah kematian bayi,
serta menimbulkan kerusakan otak. Standar baku mutu yang diperbolehkan adalah
10.000 ug/Nm3
O
3
O
3
merupakan lambang dari ozon.Senyawa kimia ini tersusun atas tiga atom
oksigen.Ozon merupakan gas yang sangat beracun dan berbau sangit.Ozon
terbentuk ketika percikan listrik melintas dalam oksigen.Adanya ozon dapat
dideteksi melalui bau (aroma) yang ditimbulkan oleh mesin-mesin bertenaga
listrik.Secara kimiawi, ozon lebih aktif ketimbang oksigen biasa dan juga
merupakan zat pengoksidasi yang lebih baik.
Biasanya, ozon digunakan dalam proses pemurnian (purifikasi) air,
sterilisasi udara, dan pemutihan jenis makanan tertentu. Di atmosfer, terjadinya
ozon berasal dari nitrogen oksida dan gas organik yang dihasilkan oleh emisi
kendaraan maupun industri.Di samping dapat menimbulkan kerusakan serius pada
tanaman, ozon berbahaya bagi kesehatan, terutama penyakit pernafasan seperti
bronkitis maupun asma. Standar baku mutu yang diperbolehkan adalah 235
ug/Nm
3
pada pengukuran selama 1 jam.
NO
2
NO
2
singkatan dari nitrogen dioksida.Zat nitrogen dioksida sangat beracun
sehingga dapat menyebabkan iritasi pada mata, hidung, dan saluran pernapasan
serta menimbulkan kerusakan paru-paru.Gas ini terbentuk dari hasil pembakaran
tidak sempurna.Setelah bereaksi di atmosfer, zat ini membentuk partikel-partikel
nitrat sangat halus sehingga dapat menembus bagian terdalam paru-paru. Partikel-
partikel nitrat ini pula, jika bergabung dengan air baik air di paru-paru atau uap air
di awan akan membentuk asam. Asam ini dapat merusakan tembok bangunan dan
menghambat pertumbuhan tanaman. Jika bereaksi dengan sisa hidrokarbon yang
tidak terbakar, akan membentuk smog atau kabut berwarna cokelat kemerahan.
Standar baku mutu yang diperbolehkan adalah 150 ug/Nm
3
.
Agar lebih mudah dipahami ISPU dapat dibayangkan seperti penggaris
angka 1 hingga 1000.Semakin tinggi nilai ISPU maka semakin tinggi tingkat
pencemaran dan semakin berbahaya dampaknya terhadap kesehatan.Sebagai
contoh, ISPU 30 menunjukkan kualitas udara baik dan tidak ada dampak yang
berbahaya terhadap kesehatan.
Ketika kondisi ISPU di bawah 100 dipandang tidak berbahaya terhadap
masyarakat secara umum. Namun ketika ISPU beranjak melebihi 100 maka
pertama-tama kelompok masyarakat yang sensitif seperti penderita asma dan
anak-anak serta orang dewasa yang aktif di luar ruangan, akan paling awal
merasakan dampak kualitas udara yang tidak sehat. Sejalan dengan meningkatnya
ISPU maka akan semakin banyak yang merasakan dampak, hingga akhirnya
seluruh masyarakat akan menderita karena dampak kesehatan yang terjadi.
Cara Kerja ISPU
Hasil ISPU tidak dapat secara langsung ditampilkan menjadi informasi ke
masyarakat, melaikan sebelum ditampilkan, hasil ISPU harus melewati beberapa
proses terlebih dahulu.
Tahap awal untuk menentukan ISPU adalah memantau unsur-unsur yang
ada di udara bebas.Misalkan di wilayah Provinsi Riau menggunakan
Pemantau Udara Kota Pekanbaru yang terdiri dari 3 Fix Monitoring
Station (Statiun Pemantau ) yaitu :
1. Stasiun Kulim (PEF-1)
2. Stasiun Suka jadi (PEF -2)
3. Stasiun Tampan (PEF-3)
Tahap kedua adalah pengumpulan dan peneriman data dari alat pemantau
udara Kota Pekanbaru ke satu pusat pengolahan data yaitu laboratorium
udara Kota Pekanbaru. Di laboratorium ini data akan diolah sedemikian
rupa menjadi lebih sederhana dan mudah untuk dimengerti oleh
masyarakat.
Tahap ketiga adalah menampilkan data yang telah diolah ke data display
agar dapat dilihat dan diamati oleh masyarakat.
Indeks Warna dan Kategori ISPU
ISPU memiliki Indeks Warna dan Kategori sebagai berikut:
Baik : Tingkat kualitas udara yang tidak memberikan efek bagi
kesehatan manusia atau hewan dan tidak berpengaruh pada tumbuhan,
bangunan atau nilai estetika.
Sedang : Tingkat kualitas udara yang tidak berpengaruh pada
kesehatan manusai ataupun hewan tetapi berpengaruh pada tumbuhan
yang sensitive dan nilai estetika.
Tidak sehat : Tingkat kualitas udara yang bersifat merugikan pada
manusia ataupun kelompok hewan yang sensitif atau bisa menimbulkan
kerusakan pada tumbuhan ataupun nilai esrtetika
Berbahaya : Tingkat kualitas udara berbahaya secara umum dapat
merugikan kesehatan yang serius pada populasi.
Menurut Laboratorium Udara Kota Pekanbaru, hasil ISPU Kota Pekanbaru
pada saat terjadinya kebakaran lahan dan marak-maraknya asap baru-baru ini
,menunjukkan hasil Tidak Sehat. Karena hasil ISPU menunjukkan angka 150
(Tidak Sehat).Hasil ini bukanlah hasil yang parah, karena Kota Pekanbaru
Indeks Kategori Warna
1-50 Baik Hijau
51-100 Sedang Biru
101-199 Tidak Sehat Kuning
200-299 Sangat Tidak Sehat Merah
>300 Berbahaya Hitam
bukanlah penyumbang asap, melainkan penerima asap. Sementara itu, lain halnya
dengan ISPU yang diukur pada sekitar jam 08.00 WIB 23 Juni dibeberapa kota
seperti Rumbai 619 psi, Minas 247 psi, Duri 164 psi, dan wilayah Dumai yang
tingkat konsentrasinya di atas 800 bahkan telah mencapai 900 psi (polutant
standard index) pada Senin (24/6/2013) sekitar pukul 16.00 WIB. (Data Badan
Lingkungan Hidup Provinsi Riau)
Akhir-akhir ini kebakaran hutan di Indonesia khususnya di provinsi Riau
semakin sering terjadi. Penyebabnya bisa beragam yang dibagi ke dalam dua
kelompok utama, alam dan campur tangan manusia. Menurut data statistik,
kebakaran hutan di Riau sebanyak 90 % disebabkan oleh manusian dan
selebihnya adalah kehendak alam.
Kebakaran hutan di provinsi Riau adalah peristiwa dimana hutan yang
digologkan sebagai ekologi alamiah mengalami perubahan bentuk yang
disebabkan oleh aktfitas pembakaran secara besar-besaran. Pada dasarnya,
peristiwa ini memberi dampak negatif maupun positif. Namun, jika dicermati,
dampak negatif kebakaran hutan jauh lebih mendominasi ketimbang dampak
positifnya. Oleh sebab itu hal ini penting untuk dicegah agar dampak negatifnya
tidak merugikan manusia terlalu banyak. Salah satu upaya pencegahan yang
paling mendasar adalah dengan memahami penyebab terjadinya kebakaran hutan
di provinsi Riau. Di dalam Kamus Kehutanan yang diterbitkan oleh Kementrian
Kehutanan RI, disebutkan bahwa kebakaran hutan disebabkan oleh alam dan
manusia. Konteks alam mencakup musim kemarau yang berkepanjanganjuga
sambaran petir. Sementara faktor manusia antara lain kelalaian membuang
punting rokok, membakar hutan dalam rangka pembukaan lahan, api unggun yang
lupa dimatikan dan masih banyak lagi lainnya.
Kebakaran hutan di provinsi Riau perlu ditanggulangi secara tepat sebab
peristiwa ini memiliki dampak buruk bagi kehidupan manusia, flora dan fauna.
Dampaknya antara lain sebagai berikut :
1. Kebakaran hutan akan menyebarkan sejumlah emisi gas karbon ke
wilayah atmosfer dan berperan dalam fenomena penipisan lapisan
ozon.
2. Dengan terbakarnya hutan, satwa liar akan kehilangan rumah tempat
mereka hidup dan mencari makan. Hilangnya satwa dalam jumlah
yang besar tentu akan berakibat pada ketidakseimbangan ekosistem.
3. Hutan identik dengan pohon. Dan pepohonan identik sebagai pendaur
ulang udara serta akarnya berperan dalam mengunci tanah serta
menyerap air hujan. Jika pepohonan berkurang, dipastikan beberapa
bencana akan datang seperti banjir atau longsor.
4. Kebakaran hutan di provinsi Riau akan membuat bangsa kita
kehilangan bahan baku industri yang akan berpengaruh pada
perekonomian.
5. Jumlah hutan yang terus berkurang akan membuat cuaca cenderung
panas dan kering.
6. Asap dari hutan akan membuat masyarakat terganggu dan terserang
penyakit yang berhubungan dengan pernapasan.seperti yang kita
rasakan pada saat ini.
7. Kebakaran hutan bisa berdampak pada menurunnya jumlah wisatawan
yang berkunjung ke sebuah Negara.
8. Selain itu dampak dari kebakaran hutan akan mengganggu kinerja dan
aktifitas seperti dihentikan pekerjaan.
9. Terganggu penerbangan di bandara-bandara yang ada di provinsi Riau
akibat dari akubat asap terbakarnya hutan yang mengurangi jarak
pandang.
Jenis-jenis flora yang banyak terdapat di hutan-hutan wilayah Kabupaten
Bengkalis adalah Meranti, Punak, Sungkai, Bintangur, Api-api, Bakau,
Nibung(flora identitas provinsi Riau). Kayu-kayu ini sebagian besar merupakan
jenis kayu komersial yang digunakan sebagai bahan baku industri kayu dan
furniture. Hasil hutan lainnya adalah Rotan, Damar dan Getah Jelutung.
Disamping itu terdapat beberapa jenis anggrek hutan dan berbagai jenis tanaman
hias, seperti Pinang Merah dan Palm (Kepau).
Sedangkan jenis-jenis fauna yang masih terapat di kawasan hutang
Bengkalis, seperti Harimau Sumatera, Gajah, Beruang Madu, Beruk, Lutung,
Kera, Rusa, Kijang, Kancil, Ayam Hutan, Buaya, serta berbagai jenis ular dan
burung, contohya burung serindit (fauna khas dari riau). Di Kabupaten Bengkalis
terdapat kawasan hutan lindung yang terdapat di Kecamatan Bukit Batu, Mandau
dan Rupat.
Melihat luasnya area hutan yang terbakar di Riau mencapai 20.067
hektare, walaupun tidak ada data yang akurat tentang flora dan fauna yang
menjadi korban dalam kebakaran hutan di Riau, namun dapat diperkirakan banyak
dari flora baik itu berbagai jenis pohon, bunga, maupun tumbuhan jenis lainnya
yang mati akibat dari kebakaran hutan di Provinsi Riau ini. Begitu pula dengan
fauna yang yang bertempat tinggal di hutan Riau ini, banyak juga yang menjadi
korban dalam kebakaran Riau ini. Namun diperkirakan banyak juga hewan yang
menyelamatkan diri dengan cara pergi meninggalkan hutan menuju ke tempat
yang lebih aman bagi mereka.
Kebakaran hutan di Riau tak hanya mengakibatkan polusi udara tinggi.
Satwa-satwa di dalam hutan pun ikut keluar. Seperti Harimau Sumatera yang
keluar hutan dan mendekati pemukiman warga.
Tentu saja hal ini membuat warga setempat khawatir. Seperti yang dialami
warga di sekitar Dusun Bukit Lengkung Desa Tanjung Leban, Kecamatan Bukit
Batu, Bengkalis. Mereka berlarian karena melihat empat ekor harimau berkeliaran
di daerah mereka.
Warga setempat memperkirakan harimau tersebut merupakan satu
keluarga terdiri dari tiga harimau dewasa dan satu ekor anak harimau. Harimau
tersebut terlihat di lahan yang terbakar. Kawanan si kucing besar
kemungkinan keluar sarang karena hutan tempat mereka bertahan hidup turut
terbakar.
Sejumlah warga mulai resah karena seekor harimau Sumatera mulai
mendekati areal perkampungan akibat kebakaran lahan dan hutan yang memaksa
satwa liar itu secara alami keluar dari habitatnya di Kabupaten Bengkalis, Riau.
"Warga cemas karena ditemukan jejak kaki harimau di lahan sawit dekat
dengan permukiman warga," kata seorang warga Aswadi ketika dihubungi dari
Pekanbaru, Rabu (26/2/2014).
2.12.2 Kebakaran Hutan di Kalimantan
Kerusakan hutan telah meningkatkan emisi karbon hampir 20 %. Ini
sangat signifikan karena karbon dioksida merupakan salah satu gas rumah kaca
yang berimplikasi pada kecenderungan pemanasan global. Salju dan penutupan es
telah menurun, suhu lautan dalam telah meningkat dan level permukaan lautan
meningkat 100-200 mm selama abad yang terakhir. Bila laju yang sekarang
berlanjut, para pakar memprediksi bumi secara rata-rata 1
o
C akan lebih panas
menjelang tahun 2025. Peningkatan permukaan air laut dapat menenggelamkan
banyak wilayah. Kondisi cuaca yang ekstrim yang menyebabkan kekeringan,
banjir dan taufan, serta distribusi organisme penyebab penyakit diprediksinya
dapat terjadi.
Kebakaran hutan merupakan salah satu bentuk gangguan yang makin
sering terjadi. Dampak negatif yang ditimbulkan oleh kebakaran hutan cukup
besar mencakup kerusakan ekologis, menurunnya keanekaragaman hayati,
merosotnya nilai ekonomi hutan dan produktivitas tanah, perubahan iklim mikro
maupun global, dan asapnya mengganggu kesehatan masyarakat serta
mengganggu transportasi baik darat, sungai, danau, laut dan udara. Gangguan
asap karena kebakaran hutan Indonesia akhir-akhir ini telah melintasi batas
negara.
Berbagai upaya pencegahan dan perlindungan kebakaran hutan telah
dilakukan termasuk mengefektifkan perangkat hukum (undang-undang, PP, dan
SK Menteri sampai Dirjen), namun belum memberikan hasil yang optimal. Sejak
kebakaran hutan yang cukup besar tahun 1982/83 di Kalimantan Timur, intensitas
kebakaran hutan makin sering terjadi dan sebarannya makin meluas. Tercatat
beberapa kebakaran cukup besar berikutnya yaitu tahun 1987, 1991, 1994 dan
1997 hingga 2003. Oleh karena itu perlu pengkajian yang mendalam untuk
mencegah dan menanggulangi kebakaran hutan.
Kebakaran hutan di Kalimantan Timur yang terjadi pada tahun 1983
merupakan suatu fenomena bencana di hutan hujan tropis dataran rendah di
Indonesia. Peristiwa itu menunjukan bagaimana kondisi alam dan kegiatan
manusia dapat secara bersama-sama menimbulkan suatu situasi, sehingga bahwa
hutan di daerah tropika yang terletak di khatulistiwa itu bisa terbakar.
Berdasarkan penelitian Lennertz dan Pance (1983) beserta teman kerjanya
dari Indonesia tercatat 3,5 juta hektar hutan telah mengalami rusak berat akibat
musim kemarau yang panjang pada tahun 1982 dan kemudian diikuti kebakaran
pada awal tahun 1983. Hutan yang rusak meliputi 800.000 hektar hutan primer,
1.400.000 hektar hutan yang telah ditebang kayu gelondongannya, 750.000 hektar
hutan sekunder, perladangan, dan penghunian penduduk, serta 550.000 hektar
rawa gambut dan hutan rawa gambut. Di antara hutan yang mengalami musibah
itu adalah Taman Nasional Kutai, hutan penelitian, dan banyak areal hutan untuk
tanaman percobaan.
Kawasan hutan di Kalimantan Timur sejak tahun 1982 keadaannya cukup
kering untuk sudah terbakar dan merupakan masa buruk bagi Kalimantan dalam
abad itu. Analisis yang dibuat Leighton (1984) terhadap Kalimantan Timur
mengenai pola curah hujan tahunan menunjukan, bahwa daerah itu sangat
dipengaruhi oleh menghangatnya air laut musiman yang melanda perairan Peru
dan Ekuador yang dikenal dengan nama El Nino.
Fenomena ini mengakibatkan lebatnya hujan di daerah Pasifik Timur dan
berkurangnya hujan di Pasifik Barat. Ada dugaan bahwa kekeringan di
Kalimantan yang diderita tahun itu mungkin merupakan kejadian yang berulang
setiap 100 tahun. Data kejadian di masa lalu tidak dapat diperoleh sehingga
pendapat itu tidak dapat diuji kebenarannya. Sebagaimana diketahui, kebakaran
justru terjadi di kawasan hutan yang kompleks dengan kekayaan jenis yang masih
tersisa di kawasan Asia Tenggara. Kalimantan Timur adalah pusat penyebaran
jenis-jenis pohon, termasuk keluarga Dipterocarpaceae yang bernilai ekonomi
penting.
Kawasan yang terletak di sepanjang garis Khatulistiwa itu merupakan
habitat dari banyak jenis satwa yang populasinya jarang dan terancam punah,
seperti mawas (Pongo pygmaeus), bekantan (Nasalis larvatus), banteng (Bos
Javanicus), beruang madu (Helartos malayanus), dan banyak jenis burung
rangkok, serta jenis pohon terkenal, seperti meranti, liana, anggrek, palma, dan
pohon buah yang hidup liar. Beberapa jenis hidupan liar dapat menghindari dari
api, akan tetapi banyak lainnya yang musnah. Diduga banyak jenis tanaman dan
binatang yang langka yang belum sempat dikenal oleh ahli biologi telah lenyap
akibat kebakaran.
Kebakaran di Kalimantan Timur telah pula mengancurkan kayu niaga
dalam jumlah yang amat besar. Lennertz dan Pance (1983) menyebutkan bahwa di
dalan hutan yang belum ditebang, sabagai akibat dari kebakaran itu kira-kira 50%
kayu yang ekonomis mati tebakar atau mengalami kekeringan, dengan nilai
mencapai US $ 2 miliard. Diperkirakan 60% hutan yanh telah dikonsesikan juga
rusak sehingga tidak menghasilkan sama sekali kayu tebangan. Kerugian ini
diduga berkisar antara US $ 3,6 hingga 6 miliard berdasarkan perhitungan nilai
kayu yang potensial. Banyak pohon di hutan yang terhindar dari api saat ini telah
diganggu oleh serangga penggerek kayu serta oleh jamur parasit dan tidak lama
lagi akan mati juga. Pohon-pohon lainnya mungkin akan tertebang juga seperti
pohon-pohon yang lain. Banyak pertanyaan timbul mengenai bagaimana proses
pemulihan hutan dari kerusakan hutan akibat kebakaran oleh api yang besar akan
berlangsung. Prosesi suksesi tentunya berbeda bila dibandingkan dengan kejadian
di kawasan hutan yang diramba oleh kasus perladangan berpindah-pindah.
Dari penelitian Riswan dan Yusuf (1984) disimpulkan bahwa kebakaran
hutan di KALTIM menyebabkan kematian 130 pohon per hektar di hutan primer
dan 197 pohon per hektar di hutan sekunder lama. Enam bulan sesudah kebakaran
ternyata tinggal hampir 23% dari pohon-pohon yang tersisa di hutan primer
sedangkan 32,5% dari pohon-pohon yang tersisa di hutan sekunder lama bertunas
kembali dan pohon ulin (Eusideroxylon zwageri) tampaknya merupakan tanaman
yang palinh tahan dan mampu hidup kembali sesudah masa kebakaran. Dari
survei-survei terlihat bahwa beberapa daerah yang terbakar itu telah ditumbuhi
kembali oleh vegetasi sekunder melebat, seperti tanaman-tanaman merambat
terbuka dari Convolvulaceae dan Cucurbitaceae. Di tempat-tempat terbuka
vegetasi sekunder didominasi oleh Macaranga, Trema, Mollotus, Omallanthus,
dan jenis tanaman sekunder dan semak-semak. Tentu saja daerah yang terbakar
berat tidak pernah lagi pulih seperti keadaannya semula dengan keanekaragaman
ekologinya.
Banyak lagi timbul masalah lain dari peristiwa kebakaran hutan di
KALTIM. Antara lain erosi tanah, perusakan tanah, banjir dan hanyut oleh sungai
Mahakam. Masalah terakhir ini dapat menimpa usaha perikanan di daerah
pedalaman di sepanjang sungai dan menyulitkan operasi pembalakan kayu yang
menggantungkan usahanya kepada transportasi sungai. Ada kemungkinan besar
bahwa timbulnya kebakaran-kebakaran menyebabkan erosi terus-menerus dan
pada waktu yang lain tertimpa kekeringan. Sangat banyak tegakan pohon yang
mati dan padatnya tumbuhan penutup tanah akan mudah tersulut api jika
lingkungannya kering.
Penyebab kebakaran hutan sampai saat ini masih menjadi topik
perdebatan, apakah karena alami atau karena kegiatan manusia. Namun
berdasarkan beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa penyebab utama
kebakaran hutan adalah faktor manusia yang berawal dari kegiatan atau
permasalahan sebagai berikut:
1. Sistem perladangan tradisional dari penduduk setempat yang
berpindah-pindah.
2. Pembukaan hutan oleh para pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH)
untuk insdustri kayu maupun perkebunan kelapa sawit.
3. Penyebab struktural, yaitu kombinasi antara kemiskinan, kebijakan
pembangunan dan tata pemerintahan, sehingga menimbulkan konflik
antar hukum adat dan hukum positif negara.
Perladangan berpindah merupakan upaya pertanian tradisional di kawasan
hutan dimana pembukaan lahannya selalu dilakukan dengan cara pembakaran
karena cepat, murah dan praktis. Namun pembukaan lahan untuk perladangan
tersebut umumnya sangat terbatas dan terkendali karena telah mengikuti aturan
turun temurun (Dove, 1988). Kebakaran liar mungkin terjadi karena kegiatan
perladangan hanya sebagai kamuflasa dari penebang liar yang memanfaatkan
jalan HPH dan berada di kawasan HPH.
Pembukaan hutan oleh pemegang HPH dan perusahaan perkebunan untuk
pengembangan tanaman industri dan perkebunan umumnya mencakup areal yang
cukup luas. Metoda pembukaan lahan dengan cara tebang habis dan pembakaran
merupakan alternatif pembukaan lahan yang paling murah, mudah dan cepat.
Namun metoda ini sering berakibat kebakaran tidak hanya terbatas pada areal
yang disiapkan untuk pengembangan tanaman industri atau perkebunan, tetapi
meluas ke hutan lindung, hutan produksi dan lahan lainnya.
Sedangkan penyebab struktural, umumnya berawal dari suatu konflik
antara para pemilik modal industri perkayuan maupun pertambangan, dengan
penduduk asli yang merasa kepemilikan tradisional (adat) mereka atas lahan,
hutan dan tanah dikuasai oleh para investor yang diberi pengesahan melalui
hukum positif negara. Akibatnya kekesalan masyarakat dilampiaskan dengan
melakukan pembakaran demi mempertahankan lahan yang telah mereka miliki
secara turun temurun. Disini kemiskinan dan ketidak adilan menjadi pemicu
kebakaran hutan dan masyarakat tidak akan mau berpartisipasi untuk
memadamkannya.
Dengan terjadinya kebakaran hutan ini kelangsungan hidup makhluk hidup
di hutan Kalimantan mengalami gangguan dengan kata lain kebakaran hutan ini
mengganggu kehidupan ekosistem di hutan tersebut. Mengingat banyaknya
spesies langkah baik itu flora maupun fauna yang bermukim di hutan kalimantan,
akibat kebakaran ini otomatis banyak sekali flora dan fauna yang menjadi korban,
banyak dari mereka tidak dapat bertahan hidup dengan keadaan hutan yang
keadaan udaranya tidak baik untuk kelangsungan hidup mereka. Namun, tidak
dapat dipastikan secara rinci jumlah dari flora dan fauna yang menjadi korban
dalam kebakaran hutan ini. Hal ini juga akan berdampak kedepannya bagi
kelangsungan hidup manusia.
Kebakaran Hutan dan Lahan Gambut di Kalimantan Tengah Butuh
Penanganan Serius
Palangkaraya: Kebakaran hutan dan lahan gambut yang terjadi belakangan
ini membuat Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah, masih diselimuti kabut
asap. Kabut asap sempat menghilang saat hujan mengguyur, namun pembakaran
hutan dan lahan gambut oleh warga setempat kembali terjadi. Umumnya kabut
asap pekat terjadi terutama pada pagi dan sore hari.
Jarak pandang saat kabut asap sekitar 100 hingga 200 meter. Pengendara
yang melintas harus berhati-hati untuk menghindari kecelakaan. Sementara itu,
upaya pemadaman kebakaran hutan dan lahan gambut terus dilakukan pemerintah
provinsi setempat. Warga setempat mengatakan kabut asap sudah mengganggu
penglihatan dan kesehatan. Mereka berharap pembakaran lahan gambut pada
musim kemarau dapat dicegah agar kebakaran lahan tidak meluas.(DNI)
Sumber : Metro News
Membaca berita di atas sungguh sangat ironis dengan kegiatan yang baru baru
saja kita selenggarakan di Palangkaraya KalTeng, CFG merupakan pertemuan
berbagai perwakilan provinsi dari indonesia dan juga perwakilan negara guna
menjaga hutan - hutan yang ada di dunia. Sungguh sangat ironis bukan, CFG
dilaksanakan pada tanggal 21 s/d 22 deptember 2011 di Palangkaraya sungguh
bukan pertemuan biasa karena mengingat bukan hanya pertemuan intern
indonesia melainkan pertemuan internasional yang melibatkan beberapa negara
negara penting di dunia. Tetapi apa yang terjadi sekarang di kota palangkaraya ini
asap menyelimuti kota kita ini, hal ini terjadi karena kebakaran hutan yang terjadi
disini.
Nilai Subjektif
- Penilaian tergantung pada subjek/manusia yang menilai.
- Bersifat relatif, karena tiap manusia bisa memiliki penilaian yang berbeda-beda.
Nilai Objektif
- Nilai tidak tergantung pada subjek yang menilai.
- Objek memang sudah bernilai.
Nilai Subjektif
- Kurangnya tindakan tegas dari aparat penegak hukum dalam penanganan kasus -
kasus kebakaran hutan di kalimantan.
- Membakar hutan merupakan jalan pintas dalam masyarakat membuka lahan.
- Sebagian besar masyrakat menilai bahwa membuka lahan dengan membakar
lahan lebih menghemat waktu tenaga dan biaya.
- Menurut masyarakat kebakaran hutan yang terjadi di kalteng tidak sepenuhnya
kesalahan mereka, melainkan dikarenakan gambut yang mudah terbakar.
mengingat sebagaian besar struktur lahan yang ada di kalteng di dominasi oleh
gambut. Gambut mudah terbakar.
- Kebanyakan kasus kebakaran lahan di kalteng banayak orang menilai bahwa
masyarakat tradisionalah yang menjadi pelaku utama, tetapi kenyataanya tidak
sedikit juga perusaha2 besar seperti perusahan sawit yang membakar hutan
membuka lahan.
- Peningkatan angka kasus kebakaran lahan dikalimantan terjadi karena kurangnya
penyuluhan oleh pemerintah untuk masyarakat tentang pentingnya menjaga
lingkungan hidup (hutan).
- Anggapan masyarkat dengan membakar lahan, lahan yang telah dibakar tersebut
nantinya akan menghasilkan tanah yang subur.
- Aturan tetang pembakaran hutan telah di atur dengan sedemikian rupa namun
pada prakteknya tidak dilaksanakan secara maksimal.
- Walaupun telah ada sangsi bagi para pelaku kebakaran lahan tetapi hal ini tidak
membuat pelaku jera, bahkan banyak pelaku pembakaran hutan yang dibiarkan
dan tidak dikenakan sangsi apa apa.
Nilai Objektif
- Maraknya kasus pembakaran lahan dikalteng membuktikan bahwa kesadaran
masyrakat bahwa pentingnya menjaga dan memelihara lingkungan hidup
sangatlah rendah
- Kasus pembakaran lahan menimbulkan berbagai macam masalah
semakin berkurangnya hutan kalteng setiap tahunya karena adanya pembukaan
lahan dengan membakar hutan.
- Kebakaran hutan dikalimantan tidak hanya berdampak pada wilayah indonesia
saja melainkan juga negara tetangga misalnya malaysia dan brunei.
- Aturan tentang kabakaran hutan telah diatur dalam uud bagaimana kasus
penangan kebakaran lahan
- Jika adanya koordinasi antara pemerintah, aparatur penegak hukum dan
masyarakat maka kasus pembakaran lahan dapat dengan mudah diatasi.
- Pelaku pembakar lahan dikenakan denda agar pelaku jera.
- Kasus pembakaran lahan merupakan suatu tindak kejahatan.
Palangkaraya (06/10)-Kebakaran hutan dan lahan gambut di Kalimantan
Tengah sudah menjadi kado tahunan yang rutin terjadi. Pembukaan lahan dengan
pembakaran secara besar-besaran untuk kebutuhan hutan tanaman industri,
perkebunan sawit dan proyek lahan gambut sejuta hektar yang mengakibatkan
kerusakan parah menjadi penyebab utama tak terkendalinya kebakaran hutan di
Kalteng.
Musim kemarau yang terjadi sejak Juli lalu telah mengakibatkan
kebakarah hutan dan lahan gambut di Kalimantan Tengah yang cukup
serius.Walaupun tidak separah kebakaran lahan gambut yang terjadi pada 1997
lalu yang luasannya mencapai 0,73 juta ha, namun kebakaran yang melanda
Kalteng sejak September ini telah memasuki wilayah di dalam dan sekitar
kawasan konservasi TN. Sebangau.
Menurut staf komunikasi WWF-Indonesia di Kalimantan Tengah, Tira
Maya, lokasi yang terbakar berada di wilayah-wilayah dekat sungai atau kanal
yang mudah terjangkau oleh manusia. Berdasarakan hasil wawancara dengan
pihak Balai Taman Nasional Sebangau, diperkirakan luasan area yang terbakar
adalah 20 ha di Pulang Pisau, 600 ha di Mendawai dan sekitar 20 ha lebih di
sekitar Palangkaraya. Lokasi pembibitan Garuda di TN. Sebangau juga patut
diwaspadai mengingat lokasinya sangat dekat dengan kebakaran yang terjadi di
sekitar kawasan taman.
Koordinator Forest Fire WWF-Indonesia Dedi Hariri mengemukakan,
kebakaran hutan dan lahan gambut di Kalimantan Tengah butuh upaya
penanganan yang serius dari semua elemen, baik masyarakat, LSM, maupun
pemerintah. Dalam waktu dekat WWF-Indonesia bekerjasama dengan Balai
Taman Nasional Sebangau akan membentuk tim patroli yang terdiri dari tim
jagawana dari Taman Nasional dan masyarakat. Tim ini nantinya akan mendeteksi
adanya kebakaran di sekitar wilayah dan di dalam Taman Nasional. WWF akan
membantu dalam operasionalnya serta pelatihan, ungkap Dedi.
Sebelumnya, WWF juga telah bekerjasa sama dengan BTNS dengan
membentuk Regu Pengendali Kebakaran (RPK) dan pembuatan canal blocking
untuk menjaga permukaan air laut dan mengurangi akses masuknya masyarakat
ke dalam kawasan . Sampai dengan tahun 2009 telah dibangun sejumlah 176 tabat
di sekitar Sungai Bangah dan Sungai Bakung.
Program yang telah dilakukan WWF dan BTNS tentu tidak akan efektif
mengurangi laju deforestasi di Kalimantan Tengah jika tidak ada upaya yang
serupa dari pemerintah.Saya berharap pemerintah memperkuat aspek pencegahan
kebakaran hutan maupun lahan gambut. Selain itu penegakan hukum yang tegas
terhadap pelaku pembakaran hutan dan lahan juga harus diefektifkan, tambah
Dedi. Dedi juga menyebutkan perlunya pemetaan dan implementasi zona prioritas
penanganan kebakaran hutan.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1. Indonesia merupakan salah satu Negara tropis yang memiliki wilayah
hutan terluas di dunia setelah Brazil dan Zaire. Dan manfaat hutan sebagai
paru-paru dunia, pengatur aliran air, pencegah erosi dan banjir serta dapat
menjaga kesuburan tanah. Selain itu, hutan dapat memberikan manfaat
ekonomis sebagai penyumbang devisa bagi kelangsungan pembangunan di
Indonesia.
2. Kebakaran hutan dapat didefinisikan sebagai pembakaran yang tidak
tertahan dan menyebar secara bebas dan mengonsumsi bahan bakar yang
tersedia di hutan,antara lain terdiri dari serasah, rumput, cabang kayu yang
sudah mati, dan lain-lain.
Saran
1. Hutan yang seharusnya dijaga dan dimanfaatkan secara optimal dengan
memperhatikan aspek kelestarian kini telah mengalami degradasi dan
deforestasi yang cukup mencenangkan bagi dunia Internasional
2. Upaya penanggulangan kebakaran hutan ini tentunya harus sinkron dengan
upaya pencegahan.
3. Upaya pencegahannya adalah dengan meningkatkan kesadaran masyarakat
khususnya mereka yang berhubungan langsung dengan hutan dan peran
pemerintahan.