Professional Documents
Culture Documents
Analisis Faktor Faktor Yang Mempengaruhi Tingkat Kemiskinan3
Analisis Faktor Faktor Yang Mempengaruhi Tingkat Kemiskinan3
Analisis Faktor Faktor Yang Mempengaruhi Tingkat Kemiskinan3
k n R
k R
Fhitung
Dimana, R
2
: Koefisien determinasi
n : Jumlah sampel
k : Jumlah variabel bebas
Hipotesis matematis yang diuji adalah :
Ho : b
i
= 0
Ha : paling tidak salah satu dari b
i
0
Kriteria pengambilan keputusannya adalah :
- Jika F hitung F tabel, maka Ho diterima atau Ha ditolak, artinya secara
bersama-sama variabel bebas berpengaruh tidak nyata terhadap variabel terikat.
- Jika F hitung > F tabel, maka Ha diterima atau Ho ditolak, artinya secara
bersama-sama variabel bebas berpengaruh nyata terhadap variabel terikat.
Sedangkan pengaruh dari masing-masing variabel bebas terhadap variabel
terikat secara parsial diuji dengan Uji t.
8
t hitung ditentukan dengan rumus :
) (bi Se
bi
thitung
Dimana : bi : Koefisien regresi variabel ke-i
Se(bi) : Kesalahan baku koefisien variabel ke-i
Hipotesis matematisnya adalah :
Ho : b
i
= 0
Ha : b
i
0
Kriteria pengambilan keputusannya adalah sebagai berikut :
- Jika -t tabel t hitung t tabel, maka Ho diterima atau Ha ditolak, artinya
variabel bebas berpengaruh tidak nyata terhadap variabel terikat.
- Jika -t hitung < -t tabel atau t hitung > t tabel, maka Ha diterima atau Ho ditolak,
artinya variabel bebas berpengaruh nyata terhadap variabel terikat
2.3. Konsep dan Pengukuran Variabel
1. Tingkat kemiskinan regional adalah persentase jumlah keluarga miskin
(headcount index) karena alasan ekonomi pada tingkat kelurahan di Kota
Bengkulu berdasarkan hasil pengukuran Kantor Keluarga Berencana dan
Pemberdayaan Keluarga Kota Bengkulu, dalam %.
2. Tenaga kerja adalah penduduk usia kerja ( 15 tahun) yang bekerja (working).
3. Ketersediaan pasar adalah tersedianya pasar tanpa bangunan sampai bangunan
permanen.
4. Tingkat pendidikan dominan penduduk adalah tingkat pendidikan formal yang
diselesaikan oleh sebagian besar penduduk.
5. Kepadatan penduduk adalah jumlah penduduk per luas wilayah, dalam jiwa/Km
2
.
6. Persentase penduduk yang bekerja di sektor pertanian adalah jumlah penduduk
yang bekerja di sektor pertanian dibagi dengan total jumlah penduduk yang
bekerja, dalam %.
7. Persentase penduduk yang bekerja di sektor industri adalah jumlah penduduk
yang bekerja di sektor industri dibagi dengan total jumlah penduduk yang
bekerja, dalam %.
9
8. Persentase penduduk yang bekerja di sektor jasa informal adalah jumlah
penduduk yang bekerja di sektor jasa informal dibagi dengan total jumlah
penduduk yang bekerja, dalam %.
9. Persentase keluarga yang mempunyai televisi adalah jumlah keluarga yang
memiliki televisi dibagi dengan total jumlah keluarga, dalam %.
10. Jarak kelurahan dari ibukota kecamatan adalah jarak yang diukur dari letak
kantor kepala kelurahan dengan letak kantor kepala kecamatan, dalam Km.
Diasumsikan letak kantor kepala menunjukkan letak ibukota wilayah.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kemiskinan di Kota
Bengkulu pada tahun 2004 dilakukan atas 46 kelurahan dari 57 kelurahan yang ada
di Kota Bengkulu. Sebanyak 11 kelurahan tidak dapat dimasukkan ke dalam
analisis. Kelurahan-kelurahan yang dimaksud adalah Kelurahan Teratai, Malabero,
Pasar Pantai, Kampung Cina, Kebun Keling, Kebun Ros, Rawa Makmur, Bentiring,
Kandang, Sukarami, dan Padang Serai. Ketika terjadi pemekaran Kota Bengkulu
pada bulan Agustus 2005 dari empat kecamatan menjadi delapan kecamatan,
kelurahan-kelurahan tersebut ada yang digabung atau dipecah menjadi beberapa
kelurahan sehingga data profil kelurahan-kelurahan tersebut pada saat penelitian
sudah tidak lagi tersedia.
Hasil estimasi fungsi regresi yang dianalisis untuk mengetahui faktor-faktor
yang mempengaruhi tingkat kemiskinan di Kota Bengkulu pada tahun 2004 disajikan
pada Tabel 1.
10
Tabel 1. Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Kemiskinan
Regional di Kota Bengkulu Tahun 2004
Variabel Bebas Koefisien
Regresi
Kesalahan
Baku
t Hitung
1. Ketersediaan Pasar (D1) 8,4309 6,4430 1,3090
2. Tk. Pendidikan
Dominan Pddk (D2)
5,5352 4,9310 1,1230
3. Kepadatan Penduduk
(X1)
-0,00003 0,00005 -0,5597
4. Persentase TK Pertanian
(X2)
-0,1118 0,1233 -0,9068
5. Persentase TK Industri
(X3)
0,4302 0,2961 1,4530
6. Persentase TK Jasa
Informal (X4)
0,0340 0,0895 0,3802
7. Persentase Keluarga
Punya TV (X5)
-0,0817 0,1402 -0,5830
8. Jarak Kel. dari Ibukota
Kecamatan (X6)
5,9078 1,4470 4,0840
*
Konstanta = 14,1460
F hitung = 45,558
F Tabel = 3,300
t Tabel = 2,042
R
2
= 0,4237
Keterangan : * Nyata pada Taraf Kepercayaan 95 %
Sumber : Data Diolah, 2006
Hasil analisis menunjukkan nilai koefisien determinasi (R
2
) adalah sebesar
0,4269 yang berarti bahwa 42,69 % variasi tingkat kemiskinan dipengaruhi oleh
variabel-variabel bebas dalam persamaan model. Sisanya sebesar 57,31 %
dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang tidak termasuk dalam persamaan model
tersebut.
Hasil uji F pada taraf kepercayaan 95 % menunjukkan bahwa secara bersama-
sama variabel bebas yang disusun dalam model berpengaruh nyata terhadap variabel
terikat. Dimana nilai F hitung (45,558) lebih besar dari nilai F tabel (3,300).
Faktor jarak kelurahan dari ibukota kecamatan berpengaruh nyata terhadap
tingkat kemiskinan di Kota Bengkulu, sedang faktor-faktor tersedianya pasar, tingkat
pendidikan sebagian besar penduduk, persentase TK pertanian, persentase TK
industri, persentase TK jasa informal, dan persentase keluarga yang mempunyai
11
televisi berpengaruh tidak nyata. Hal tersebut ditunjukkan oleh hasil estimasi dan uji
t statistik. Pembahasan yang lebih terinci untuk masing-masing faktor adalah
sebagai berikut:
1. Ketersediaan Pasar (D1)
Variabel pasar yang dimaksud adalah ketersediaan prasarana ekonomi untuk
penduduk melakukan transaksi baik transaksi barang-barang produksi maupun
barang-barang konsumsi. Sebagian besar kelurahan di Kota Bengkulu yaitu
sebanyak 41 kelurahan (89,13 %) tidak mempunyai pasar maupun pasar dengan
bangunan setengah permanen. Sedang sisanya (5 kelurahan atau 10,87 %) memiliki
pasar dengan bangunan permanen.
Berdasarkan hasil analisis, nilai koefisien regresi untuk ketersediaan pasar
bertanda positif yaitu sebesar 8,4309. Hal ini menunjukkan adanya kecenderungan
jika di kelurahan tersebut tersedia pasar tanpa bangunan atau tersedia bangunan
setengah permanen maka tingkat kemiskinannya lebih tinggi dibanding kelurahan
yang memiliki pasar dengan bangunan permanen. Pasar merupakan tempat transaksi
barang-barang hasil produksi, barang-barang faktor produksi maupun barang-barang
konsumsi. Aktifitas pasar di bangunan permanen umumnya relatif lebih baik
dibanding di pasar tanpa bangunan atau bangunan setengah permanen yang biasanya
hanya bersifat temporary.
Namun hasil uji t pada taraf kepercayaan 95 % menunjukkan bahwa
ketersediaan pasar baik tanpa bangunan sampai tersedia bangunan setengah
permanen maupun dengan bangunan permanen berpengaruh tidak nyata terhadap
tingkat kemiskinan di kelurahan yang bersangkutan. Hal ini diketahui dari nilai t
hitung (1,3090) yang lebih kecil dari nilai t tabel (2,042). Berpengaruh tidak
nyatanya ketersediaan pasar tersebut, mungkin disebabkan oleh 1) kurang atau tidak
dimanfaatkannya pasar tersebut oleh penduduk untuk aktifitas jual beli barang
produksi atau barang faktor produksi, jadi dengan kata lain hanya digunakan untuk
transaksi barang-barang konsumsi, dan atau 2) kurangnya akses penduduk terhadap
aktifitas transaksi barang-barang produksi atau barang-barang faktor produksi
sehingga tidak atau kurang bermanfaat bagi perbaikan taraf hidup.
12
2. Tingkat Pendidikan Dominan Penduduk (D2)
Tingkat pendidikan sebagian besar atau dominan penduduk dapat menjadi
indikator sejauh mana akses mereka terhadap pendidikan. Semakin tinggi tingkat
pendidikan penduduk, berarti semakin besar akses mereka terhadap pendidikan.
Tingkat pendidikan diukur berdasarkan kriteria pendidikan dasar, yaitu
sampai Tamat Sekolah Dasar (SD). Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian
besar kelurahan di Kota Bengkulu yaitu sebanyak 9 kelurahan (19,57 %) memiliki
penduduk yang sebagian besar mempunyai tingkat pendidikan tidak sekolah dan
sampai tamat SD sedang sisanya sebanyak 37 kelurahan (80,43 %) memiliki
penduduk yang dominan berpendidikan SLTP ke atas. Hal ini menunjukkan bahwa
sebagian besar penduduk di Kota Bengkulu telah memiliki akses yang baik terhadap
pendidikan, tidak hanya mengenyam pendidikan dasar.
Hasil analisis menunjukkan bahwa koefisien faktor tingkat pendidikan
sebagian besar penduduk bernilai positif yaitu 5,5352 yang menunjukkan
kecenderungan bahwa tingkat kemiskinan di kelurahan yang dominan penduduknya
tidak sekolah atau sampai tamat SD lebih tinggi dibanding tingkat kemiskinan di
kelurahan yang dominan penduduknya berpendidikan SLTP ke atas. Akses
penduduk terhadap pendidikan formal yang lebih telah membantu menaikkan taraf
hidup, karena walau bagaimanapun tingkat pendidikan formal masih menjadi
pertimbangan untuk memperoleh penghasilan.
Namun faktor tingkat pendidikan dominan penduduk berpengaruh tidak nyata
terhadap tingkat kemiskinan yang ditunjukkan oleh nilai t hitung (1,1230) lebih kecil
dari nilai t tabel (2,042). Hal ini kemungkinan disebabkan oleh karena pendapatan
seseorang, yang berujung kepada tingkat kesejahteraan, tidak semata-mata
dipangaruhi oleh tingkat pendidikan formalnya, tetapi lebih dipengaruhi oleh 1)
keterampilan atau keahlian yang dimiliki yang umumnya diperoleh dari pendidikan
informal, dan atau 2) kemampuan seseorang untuk mengakses aktifitas ekonomi
seperti akses terhadap modal, pasar, kesempatan berusaha dan lain-lain yang pada
akhirnya berpengaruh kepada perbaikan taraf hidup (Komite Penanggulangan
Kemiskinan Republik Indonesia, 2005).
13
3. Kepadatan penduduk (X1)
Berdasarkan hasil penelitian terhadap 46 kelurahan, diketahui rata-rata
kepadatan penduduk per kelurahan adalah 15950 jiwa per Km
2
, dengan kisaran 293
sampai 230060
jiwa per Km
2
. Sementara rata-rata kepadatan penduduk Kota
Bengkulu pada tahun 2004 adalah 2292 jiwa per Km
2
(untuk 57 kelurahan).
Nilai koefisien faktor kepadatan penduduk bernilai negatif yaitu 0,00003.
Nilai ini menunjukkan kecenderungan bahwa semakin tinggi kepadatan penduduk,
maka tingkat kemiskinan semakin rendah. Namun hasil uji t menunjukkan bahwa
faktor kepadatan penduduk berpengaruh tidak nyata terhadap tingkat kemiskinan,
dimana nilai t hitung (- 0,5597) lebih besar dari nilai t tabel (-2,042). Artinya tinggi
ataupun rendahnya kepadatan penduduk, tingkat kemiskinan tidak terpengaruh.
Karena kemiskinan seseorang karena alasan ekonomi diukur melalui kemampuan
keluarga dalam memenuhi kebutuhan kualitas pangan, sandang dan tempat tinggal.
4. Persentase tenaga kerja sektor pertanian (X2)
Hasil pengolahan data menunjukkan bahwa rata-rata jumlah tenaga kerja
sektor pertanian adalah 13,64 % dengan kisaran 0 sampai 70,20 %. Rata-rata
persentase tenaga pertanian ini tergolong rendah. Untuk wilayah Propinsi Bengkulu
rata-rata persentase tanaga kerja sektor pertanian tahun 1987 sampai tahun 2004
adalah sebesar 69,82 % dari total jumlah tenaga kerja (BPS Propinsi Bengkulu,
Berbagai Tahun Penerbitan). Hal ini dapat dipahami karena Kota Bengkulu adalah
ibukota propinsi dimana lahan yang dipergunakan untuk kegiatan pertanian sudah
relatif lebih sedikit dibanding peruntukan lahan yang lain, misalnya untuk
pemukiman penduduk. Lagipula sebagian besar penduduk Kota Bengkulu seperti
wilayah perkotaan pada umumnya, mempunyai pekerjaan di bidang-bidang lain
selain pertanian (industri, jasa, perdagangan dan lain-lain).
Koefisien faktor persentase tenaga kerja pertanian bernilai negatif, yaitu
sebesar 0,1118 yang memberi arti bahwa jumlah penduduk yang bekerja di sektor
pertanian meningkat, maka tingkat kemiskinan cenderung menurun. Hal ini
menunjukkan bahwa ternyata sektor pertanian dianggap sektor yang paling kuat
bertahan dalam badai krisis. Sektor pertanian yang dinamis dianggap mampu
memberikan penghidupan yang lebih baik (Arifin, 2004 ; Arsyad, 2004 serta
Tambunan, 2003
a
dan 2003
b
).
14
Namun demikian hasil uji t menunjukkan bahwa faktor persentase tenaga
kerja sektor pertanian berpengaruh tidak nyata terhadap tingkat kemiskinan, dimana
nilai t hitung ( - 0,9068) lebih besar dari nilai t tabel (-2,042). Kemiskinan seseorang
atau keluarga tidak disebabkan oleh di sektor atau di bidang apa mereka bekerja,
tetapi lebih kepada kemampuan mereka untuk memperoleh pendapatan dan
mencukupi kebutuhan keluarga, baik kemampuan dari dalam diri maupun daya
dukung lingkungan sekitarnya (Prayitno dan Santosa, 1996 dan Krisnamurthi, 2004).
5. Persentase tenaga kerja sektor industri (X3)
Rata-rata jumlah tenaga kerja sektor industri adalah 6,14 % dengan kisaran 0
sampai 27,94 %. Sedang untuk propinsi Bengkulu rata-rata persentase tenaga kerja
yang bekerja di sektor industri adalah sebesar 2,31 %. Hal ini menunjukkan bahwa
sektor industri lebih banyak ditekuni oleh masyarakat Kota Bengkulu, karena sektor
industri memang biasanya terpusat di wilayah perkotaan.
Koefisien faktor persentase tenaga kerja industri bernilai positif yaitu 0,4302.
Artinya jika semakin tinggi persentase tenaga kerja yang bekerja di sektor industri
maka tingkat kemiskinan cenderung meningkat. Hal ini disebabkan oleh jika
pembangunan diarahkan semata-mata hanya dengan mengejar pertumbuhan yang
biasanya dapat diperoleh dengan pengembangan sektor industri, maka yang terjadi
justru penurunan kesejahteraan karena sektor industri lebih sukar bertahan dari
permasalahan-permasalahan ekonomi yang terjadi (Padmowihardjo, 2002).
Hasil uji t menunjukkan faktor persentase tenaga kerja industri ternyata
berpengaruh tidak nyata terhadap tingkat kemiskinan (nilai t hitung sebesar 1,4530
lebih kecil dari nilai t tabel (2,042)). Hal ini terjadi karena kemiskinan seseorang
atau keluarga lebih disebabkan oleh kemampuan mereka memperoleh pendapatan
dan akses-akses mereka terhadap kesempatan-kesempatan ekonomi.
6. Persentase tenaga kerja sektor jasa informal (X4)
Sektor jasa informal menurut berbagai tulisan para ahli diketahui atau
dianggap sebagai katup penyelamat bagi tenaga kerja sektor pertanian yang
berdasarkan teori transformasi struktural banyak berpindah ke sektor industri.
Lazimnya, jika terjadi perubahan struktur ekonomi dari pertanian ke industri, maka
tenaga pertanian yang tidak dapat terserap oleh sektor pertanian beralih ke sektor
industri. Namun karena sektor industri membutuhkan tenaga kerja dengan tingkat
15
pendidikan dan keahlian tertentu, maka tenaga yang beralih dari sektor pertanian tadi
tidak dapat diserap oleh sektor industri dan sebagai alternatif adalah mereka memilih
sektor jasa informal. Sementara sektor jasa formal relatif lebih sulit untuk dimasuki,
karena juga membutuhkan kualifikasi tertentu (Winoto, 1996).
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa rata-rata tenaga kerja yang
bekerja di sektor jasa informal sebesar 32,72 % dengan kisaran 3,85 sampai 97,15 %.
Seperti umumnya wilayah perkotaan, di Kota Bengkulu juga berkembang sektor jasa
yang terdiri dari sektor jasa formal (pemerintahan) dan informal (swasta) lebih pesat,
selain sektor perdagangan dan komunikasi.
Nilai koefisien faktor persentase tenaga kerja sektor jasa informal adalah
0,0340, artinya ada kecenderungan jika persentase tenaga kerja yang bekerja di
sektor jasa informal meningkat maka tingkat kemiskinan juga meningkat. Sektor
jasa informal memang menjadi penyaluran tenaga kerja di sektor pertanian
tradisional yang tidak terserap oleh sektor industri yang berkembang, karena sektor
ini relatif lebih mudah dimasuki karena cenderung tidak mensyaratkan kualifikasi
tertentu bagi tenaga kerja tersebut.
Namun hasil uji t menunjukkan bahwa faktor persentase tenaga kerja sektor
jasa informal berpengaruh tidak nyata terhadap tingkat kemiskinan, dimana nilai t
hitung (0,3802) lebih kecil dari nilai t tabel (2,042). Seperti alasan-alasan yang
dikemukakan sebelumnya, kemiskinan tidak ditentukan oleh bidang apa yang
ditekuni, tetapi ditentukan oleh kemampuan seseorang bekerja dan memperoleh
pendapatan yang layak. Selain itu, karena sifatnya yang hanya menjadi sektor
pelarian, maka sektor ini sebenarnya tidak menjanjikan tingkat kehidupan yang
lebih baik, tetapi sektor ini cukup memberikan penghidupan. Tetapi jika sektor ini
dikembangkan tanpa perhitungan, maka justru sebagian besar masyarakat akan
menggantungkan hidupnya kepada sektor ini yang sebenarnya hanya menyumbang
sebagian kecil dari pendapatan wilayah. Akibat yang lain, jika masyarakat yang
bekerja di sektor ini tidak melaksanakan kegiatannya sesuai peraturan maka akan
menimbulkan masalah-masalah ketertiban dan gangguan bagi anggota masyarakat
lain (Winoto, 1996).
16
7. Persentase keluarga yang memiliki televisi (X5)
Selain sebagai sarana memperoleh hiburan, televisi menjadi pilihan yang
umum bagi masyarakat untuk mengakses informasi tentang segala hal dari tingkat
lokal sampai internasional. Sebagian besar keluarga di Kota Bengkulu memiliki
televisi. Dari 46 kelurahan yang diteliti, 82,71 % keluarga memiliki televisi di
rumah mereka. Kisaran persentase keluarga yang memiliki telivisi adalah 41,95
sampai 100 %. Hal ini disebabkan oleh televisi bukan lagi dianggap barang mewah,
tetapi sudah menjadi barang yang cukup dibutuhkan.
Nilai koefisien faktor persentase keluarga yang memiliki televisi adalah
sebesar 0,0817, artinya ada kecenderungan jika persentase jumlah keluarga yang
memiliki televisi meningkat maka tingkat kemiskinan menurun. Televisi menjadi
media yang umum dimanfaatkan oleh masyarakat untuk memperoleh informasi
mengenai berbagai hal. Mulai dari hiburan, berbagai informasi ilmu pengetahuan
dan teknologi sampai informasi tentang kesempatan berusaha.
Namun hasil uji t menunjukkan bahwa faktor persentase jumlah keluarga
yang memiliki televisi berpengaruh tidak nyata terhadap tingkat kemiskinan, dimana
nilai t hitung (-0,5830) lebih besar dari nilai t tabel (-2,042). Televisi memang dapat
menjadi media yang bermanfaat apabila keluarga mampu menangkap dan
mengadopsi informasi yang baik dan berguna bagi peningkatan taraf hidup. Jika
informasi yang diperoleh diiringi dengan kurangnya kemampuan memanfaatkan apa
yang diperoleh karena berbagai keterbatasan yang dimiliki maka informasi tersebut
tidak akan menyumbang bagi kemajuan dan peningkatan taraf hidup.
8. Jarak kelurahan dari ibukota kecamatan (X6)
Pada tahun 2004, Kota Bengkulu terdiri dari empat kecamatan. Jarak
kelurahan dari ibukota kecamatan adalah jarak kantor kelurahan dari kantor
kecamatan yang melingkupinya. Jarak dari pusat wilayah (inti) menjadi indikator
sejauhmana masyarakat sekitar inti tersebut dapat memperoleh manfaat dari
perkembangan ataupun kemajuan-kemajuan yang terjadi di wilayah inti. Semakin
dekat jarak dari pusat wilayah, maka semakin besar pula kesempatan masyarakat di
sekitarnya untuk memanfaatkan fungsi wilayah pusat tersebut sebagai Pusat dari
Segala Kebaikan (Center of Excellents) (Nugroho dan Dahuri, 2004 serta Tarigan,
2006). Diketahui kisaran jarak tersebut adalah 0,1 sampai 5 Km dengan rata-rata 2,8
17
Km. Jarak ini tergolong dekat karena luas masing-masing kecamatan juga relatif
sempit, sementara total luas Kota Bengkulu hanya 144,52 Km
2
.
Nilai koefisien regresi variabel jarak kelurahan dari ibukota kecamatan adalah
5,9078. Nilai positif menunjukkan kecenderungan semakin jauh jarak dari ibukota
kecamatan, maka tingkat kemiskinan di kelurahan tersebut semakin tinggi. Hasil uji
t menunjukkan bahwa variabel jarak ini berpengaruh nyata terhadap tingkat
kemiskinan. Hal ini ditunjukkan oleh nilai t hitung (4,0840) lebih besar dari nilai t
tabel (2,042). Nilai koefisien regresi sebesar 5,9078 dan berpengaruh nyata
memberikan arti jika jarak kelurahan dari ibukota kecamatan meningkat 1 Km maka
tingkat kemiskinan meningkat 5,9078 %.
Ibukota wilayah merupakan pusat dari segala kebaikan. Wilayah yang lebih
dekat dengan ibukota mempunyai akses yang lebih baik terhadap kebaikan-kebaikan
tersebut dibanding wilayah yang lebih jauh. Dengan demikian taraf hidup
masyarakat yang lebih dekat dengan pusat kebaikan (center of excellent) lebih
baik.
Menurut Badan Pengawasan Pembangunan Daerah (Bappeda) dan Komisi
Penanggulangan Kemiskinan (KPK) Propinsi Bengkulu (2005), penyebab
kemiskinan di Propinsi Bengkulu, di antaranya di Kota Bengkulu, berangkat dari
akar permasalahan terjadinya proses pemiskinan dari sisi keterbatasan,
ketidakmampuan dan ketidakberdayaan komunitas miskin dalam melakukan akses
dan atau kontrol terhadap : 1) asset produksi, yaitu sumberdaya utama untuk
menyangga pemenuhan kebutuhan pokok seperti sumberdaya lahan bagi petani,
sumberdaya laut dan pesisir bagi nelayan, dan kesempatan kerja bagi buruh, dan 2)
asset pelayanan umu, yaitu sarana dan prasarana layanan-layanan dasar seperti
fasilitas ekonomi, transportasi, pendidikan dan kesehatan. Permasalahan dasar bagi
masyarakat miskin pada umumnya adalah keterbatasan aksesibilitas terhadap kedua
asset tersebut yang dapat dilihat dari hambatan-hambatan yang dialami oleh
komunitas miskin, antara lain :
1. Keterbatasan kesempatan kerja dan berusaha
2. Keterbatasan akses terhadap faktor produksi
3. kepemilikan asset
18
4. Keterbatasan akses terhadap fasilitas pelayanan pendidikan, kesehatan,
ekonomi serta informasi dan komunikasi
5. Ketidakberdayaan dalam menentukan pilihan (kontrol) terhadap aksesibilitas
itu sendiri
6. Kelemahan tata pemerintahan dalam mengelola program-program
penganggulangan kemiskinan
7. Lemahnya tanggungjawab negara dalam melayani perlindungan sosial.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
4.1. Kesimpulan
Dari hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa faktor jarak
kelurahan dari ibukota kecamatan berpengaruh nyata positif terhadap tingkat
kemiskinan di kelurahan-kelurahan dalam Kota Bengkulu, sementara faktor
ketersediaan pasar, tingkat pendidikan dominan penduduk, kepadatan penduduk,
persentase tenaga kerja sektor pertanian, persentase tenaga kerja sektor industri,
persentase tenaga kerja sektor jasa informal dan persentase keluarga yang
mempunyai televisi berpengaruh tidak nyata.
4. 2. Saran
Perlu upaya-upaya untuk menghilangkan dan mengurangi keterbatasan
aksesibilitas masyarakat miskin terhadap asset produksi dan asset pelayanan umum.
Kebijakan-kebijakan penanggulangan kemiskinan yang disusun hendaknya bersifat
multidimensi serta menjadi tanggung jawab bersama sehingga masyarakat miskin
mampu dan mau mengatasi dan membangun diri secara mandiri.
DAFTAR PUSTAKA
Arianti, Nyayu Neti. 2002. Struktur Perekonomian Propinsi Bengkulu. Jurnal
Agroekologi 2 (4) : 87 94. Yayasan Lembak Bengkulu. Bengkulu.
Arifin, Bustanul. 2000. Pembangunan Pertanian : Paradigma, Kinerja dan Opsi
Kebijakan. INDEF. Jakarta.
Badan Pengawasan Pembangunan Daerah (Bappeda) dan Komisi Penanggulangan
Kemiskinan (KPK) Propinsi Bengkulu. 2005. Bersama Melawan
Kemiskinan, Rencana Aksi Penanggulangan Kemiskinan Propinsi Bengkulu.
Bappeda dan KPK Propinsi Bengkulu. Bengkulu.
19
Basri, Faisal. 1995. Perekonomian Indonesia Menjelang Abad XXI : Distorsi,
Peluang dan Kendala. Erlangga. Jakarta.
Chambers, Robert. 1987. Pembangunan Desa. LP3ES. Jakarta.
Direktorat Pembangunan Desa (Ditbangdes) Propinsi Sumatera Selatan. 1995.
Faktor Lokasi dalam Pendekatan dan Metode Pembinaan Desa Tertinggal.
Makalah Seminar Metode Alternatif Pengentasan Kemiskinan. Penerbit
Universitas Sriwijaya. Palembang.
Jousairi. 1995. Mengenal Variabel dan Indikator Kantong Kemiskinan BPS.
Makalah Seminar Metode Alternatif Pengentasan Kemiskinan. Penerbit
Universitas Sriwijaya. Palembang.
Kantor Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Keluarga Kota Bengkulu. 2005.
Laporan Hasil Pendataan Keluarga Kota Bengkulu Tahun 2004. Kantor
Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Keluarga Kota Bengkulu. Bengkulu.
(Tidak dipubilkasikan).
Krisnamurthi, Bayu. 2004. Strategi Pengembangan Pembiayaan untuk Pengurangan
Kemiskinan di Pertanian. Dalam Kumpulan Tulisan Rekonstruksi dan
Restrukturisasi Ekonomi Pertanian, Beberapa Pandangan Kritis
Menyongsong Masa Depan. Disunting oleh Rudi Wibowo, Bayu
Krisnamurthi dan Bustanul Arifin. Perhepi. Jakarta.
Kuncoro, Mudrajad. 2003. Ekonomi Pembangunan, Teori, Masalah dan Kebijakan.
Edisi Ketiga. UPP AMP YKPN. Yogyakarta.
Nugroho, Iwan dan Rochmin Dahuri. 2004. Pembangunan Wilayah, Perspektif
Ekonomi, Sosial dan Lingkungan. LP3ES. Jakarta.
Tambunan, Tulus H. 2003
a
. Perkembangan Sektor Pertanian di Indonesia, Beberapa
Isu Penting. Ghalia Indonesia. Jakarta.
_________________. 2003
b
. Perekonomian Indonesia, Beberapa Masalah Penting.
Ghalia Indonesia. Jakarta.
Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Propinsi Bengkulu. 2006. Profil
Keluarga Miskin dan Rekapitulasi Jumlah Keluarga Miskin Kota Bengkulu.
Badan Pemberdayaan Masyarakat Propinsi Bengkulu. Bengkulu.
Todaro, Michael P. dan Stephen C. Smith. 2003. Pembangunan Ekonomi di Dunia
Ketiga. Jilid I. Edisi Kedelapan. Erlangga. Jakarta.
Winoto, Joyo. 1996. Transformasi Struktur Perekonomian dan Ketenagakerjaan
Nasional. Bahan Kuliah pada Program Studi Ilmu Perencanaan
Pembangunan Wilayah dan Pedesaan. Program Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor. Bogor. (Tidak Dipublikasikan).