Analisis Faktor Faktor Yang Mempengaruhi Tingkat Kemiskinan3

You might also like

Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 19

1

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI


TINGKAT KEMISKINAN REGIONAL DI KOTA BENGKULU
(Suatu Tinjauan terhadap Perubahan Struktur Perekonomian
dari Sektor Pertanian ke Sektor Industri dan Jasa)

Oleh
Nyayu Neti Arianti
1)

Musriyadi Nabiu
1)

M. Zulkarnain Yuliarso
1)

1) Staf Pengajar Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian
Fakultas P ertanian Universitas Bengkulu


ABSTRACT

The objective of this research was to know the factors which influencced the
regional poverty level in Kota Bengkulu. The data in this research were the
Headcount Index (HI) on 2004 in 57 political administration districts (kelurahan) di
Kota Bengkulu which were gotten from Keluarga Berencana dan Pemberdayaan
Keluarga Office in Kota Bengkulu, profile data of those political administration
districts (kelurahan) and other data related to this research. The multiple linier
regression model was used to know which factors influenced the regional poverty
level. Significance test was done at 95 % level of confidence.
The research results showed that the distance to the capital of the sub-district
area influenced the regional poverty level positively, becouse peoples who live
nearer to the capital as center of excellent had better accessibility to the
goodnesses, so their livings were better. However factors availibility of market,
education level of the large part of population, population density, percentage of
agriculture sector labors, percentage of industry sector labors, percentage of non-
formal service sector labors,and percentage of family who had TV did not influence
the poverty level.


I. PENDAHULUAN
1. 1. Latar Belakang
Suatu proses dan dampak yang alamiah jika semakin maju suatu negara atau
wilayah maka akan terjadi transformasi atau perubahan struktur perekonomian dari
dominasi sektor pertanian ke sektor non pertanian. Transformasi tersebut ditandai
dengan semakin meningkatnya pangsa relatif sektor industri dan jasa terhadap
Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) dari waktu ke waktu, sementara
pangsa relatif sektor pertanian semakin menurun walaupun pangsa absolutnya tetap

2
meningkat. Hal ini sejalan dengan Teori Pambangunan Clark-Fisher (Winoto, 1996 ;
Arifin, 2000 dan Tambunan, 2003
a
dan 2003
b
).
Dampak yang timbul dari perubahan struktur ekonomi tersebut dapat bersifat
positif maupun negatif. Dampak positif antara lain ditunjukkan dengan
meningkatnya kesejahteraan masyarakat. Dampak negatif timbul jika perubahan
pangsa relatif sektor terhadap PDB tidak diikuti oleh perubahan pangsa tenaga kerja
sektor-sektor tersebut secara proporsional. Dampak negatif dapat berupa penurunan
produktifitas tenaga kerja sektor pertanian, pengangguran di pedesaan maupun
perkotaan, kemiskinan pedesaan maupun perkotaan, beban kota yang semakin berat,
dan lain-lain (Winoto, 1996).
Masalah pengentasan kemiskinan merupakan hal yang rumit karena
kemiskinan bersifat multidimensi. Kemiskinan adalah awal dan akhir dari suatu
proses kemelaratan masyarakat. Bersama-sama faktor-faktor kelemahan jasmani,
kerawanan, ketidakberdayaan dan isolasi, serta kemiskinan membuat masyarakat
terjebak dan sulit keluar dari sindrom kemiskinan (Chambers, 1987).
Jumlah penduduk Indonesia yang hidup dalam kemiskinan dari tahun ke
tahun semakin bertambah. Sumodiningrat (2002)
1
menyatakan bahwa berdasarkan
data Bank Dunia jumlah penduduk miskin Indonesia pada tahun 2002 bukanlah 10
sampai 20 % tetapi telah mencapai 60 % dari jumlah penduduk Indonesia yang
berjumlah 215 juta jiwa.
1. 2. Perumusan Masalah
Proses pembangunan dengan pendekatan industrialisasi memungkinkan
pengembangan wilayah perkotaan sebagai pusat industri. Sehubungan dengan
semakin menurunnya pangsa relatif sektor pertanian terhadap PDB, sementara
jumlah tenaga kerja (TK) di sektor pertanian tidak mengikuti penurunan pangsa
tersebut secara proporsional, maka TK pertanian yang umumnya berada di pedesaan
mulai mencari peluang bekerja ke sektor industri perkotaan. Mengalirnya TK
pertanian ke kota selain menyebabkan berkurangnya TK produktif di sektor
pertanian, juga mengakibatkan peningkatan pengangguran dan kemiskinan di

1
Sumodiningrat, Gunawan. Penduduk Miskin Indonesia Capai 60 Persen. Harian Republika
Tanggal 17 Februari 2002

3
perkotaan. Hal tersebut terjadi akibat TK sektor pertanian tidak dapat diterima
sepenuhnya di sektor industri karena sektor industri membutuhkan kualifikasi
pendidikan dan keterampilan yang tinggi dibanding sektor pertanian. Akibatnya TK
pertanian dari pedesaan yang tidak terserap sektor industri umumnya lari ke sektor
jasa informal perkotaan. Ketidakseimbangan pendapatan yang diterima oleh TK
pertanian dengan TK industri, dimana tingkat kesejahteraan di sektor industri lebih
baik, maka dapat menimbulkan tingkat urbanisasi yang tidak terkendali. Akibatnya
antara lain adalah kemiskinan perkotaan yang menjadi beban berat bagi perkotaan
(Todaro dan Smith, 2004).
Salah satu bentuk kemiskinan adalah kemiskinan struktural. Kemiskinan
struktural ini secara langsung atau tidak langsung diakibatkan oleh berbagai
kebijakan, peraturan dan atau keputusan dalam pembangunan. Kemiskinan
umumnya ditandai ketimpangan, antara lain kepemilikan sumberdaya, kesempatan
berusaha, keterampilan dan faktor lain yang menyebabkan perolehan pendapatan
tidak seimbang dan mengakibatkan struktur sosial yang timpang. Kemiskinan
struktural umumnya dapat dikenali dari transformasi ekonomi yang berjalan tidak
seimbang, dimana peran relatif perolehan ekonomi sektor pertanian semakin
berkurang diganti industri tetapi tidak diikuti oleh peran tenaga kerjanya (Nugroho
dan Dahuri, 2004).
Hasil penelitian Arianti (2002) tentang perubahan struktur perekonomian
Propinsi Bengkulu dari tahun 1983 sampai tahun 1999 menunjukkan bahwa telah
terjadi perubahan pangsa relatif sektor pertanian, industri dan jasa terhadap PDRB
maupun pangsa TK nya terhadap total penyerapan TK propinsi. Untuk sektor
pertanian, sumbangannya terhadap PDRB pada tahun 1983 adalah sebesar 47,29 %
dan menurun menjadi 33,34 % pada tahun 1993. Sedang pangsa TKnya sebesar
78,52 % pada tahun 1983 sementara pada tahun 1993 menjadi 66,25 %. Untuk
sektor industri, pangsa relatif terhadap PDRB meningkat dari 1,69 % pada tahun
1983 menjadi 3,13 % pada tahun 1993. Sedang pangsa TKnya juga meningkat dari
1,90 % pada tahun 1983 menjadi 2,76 % pada tahun 1993. Sementara itu, untuk
sektor jasa, pangsa relatifnya terhadap PDRB cenderung tetap, dimana pada tahun
1983 sebesar 1,68 % sedang pada tahun 1993 sebesar 1,69 %. Tetapi pangsa TK nya
meningkat dari 9,06 % pada tahun 1983 menjadi 12,43 % pada tahun 1993.

4
Artinya, diperoleh informasi bahwa dari tahun 1983 sampai 1993, pangsa
relatif sektor pertanian terhadap PDRB Propinsi Bengkulu mengalami penurunan
sebesar 13,93 % sedang TK yang terserap di sektor tersebut juga menurun tetapi
dengan nilai penurunan yang lebih rendah yaitu sebesar 12,27 %. Untuk sektor
industri, pangsa relatif terhadap PDRB meningkat sebesar 1,44 % sementara serapan
TK nya hanya meningkat 0,86 %. Sementara pangsa relatif sektor jasa terhadap
PDRB meningkat sebesar 0,01 % sementara TK yang diserap meningkat sebesar 3,37
%. Hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi perubahan struktur perkonomian tak
berimbang, dimana perubahan pangsa relatif sektor terhadap PDRB tidak diikuti
perubahan pangsa TK secara proporsional. Akibatnya timbul kesenjangan ekonomi
antar sektor, terutama sektor pertanian dan industri, sedang sektor jasa, dalam hal ini
termasuk sektor jasa informal menjadi katup penyelamat bagi TK pertanian yang
tidak terserap di sektor industri dan menurun kesejahteraannya. Dengan demikian
temuan-temuan ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Todaro dan Smith
(2004).
Kondisi kemiskinan Indonesia semakin parah akibat krisis ekonomi pada
tahun 1998. Namun ketika pertumbuhan ekonomi yang sempat menurun akibat
krisis dapat dipulihkan, kemiskinan tetap saja sulit ditanggulangi. Pada tahun 1999,
27 % dari total penduduk Indonesia berada dalam kemiskinan. Sebanyak 33,9 %
penduduk desa dan 16,4 % penduduk kota adalah orang miskin (Krisnamurthi,
2004).
Salah satu prasyarat keberhasilan pengentasan kemiskinan adalah
kemampuan mengidentifikasi kelompok sasaran (target group) dan atau wilayah
sasaran (target area) dengan tepat. Program pengentasan dan pemulihan nasib orang
miskin tergantung dari langkah awal yaitu ketetapan mengidentifikasi siapa yang
dikatakan miskin dan dimana dia berada. Aspek dimana si miskin dapat ditelusuri
melalui si miskin itu sendiri. Aspek dimana si miskin berada dapat ditelusuri melalui
pendekatan-pendekatan profil wilayah atau karakter geografis (Basri, 1995).
Direktorat Pembangunan Desa (Ditbangdes) Propinsi Sumatera Selatan
(1995) merumuskan agar program pengentasan kemiskinan berhasil dengan baik,
terarah dan tepat sasaran maka perlu adanya upaya untuk mengetahui desa dengan
sifat dan karakteristik menurut potensinya. Dengan demikian akan dapat diketahui

5
dimana sebenarnya kelompok miskin berada atau terkonsentrasi. Karakter suatu desa
dapat ditentukan melalui faktor-faktor pokok seperti penduduk dan alam serta faktor
penunjang seperti faktor ekonomi (pendapatan, pendapatan per kapita, standar
hidup), faktor sosial (adat, kelembagaan, pendidikan, swadaya gotong royong), dan
faktor prasarana (produksi, perhubungan, pemasaran, sosial). Faktor-faktor tersebut
sudah tergambar dalam indikator-indikator yang digunakan oleh BPS untuk
mengidentifikasi status kemiskinan desa.
Jumlah penduduk miskin Kota Bengkulu dari waktu ke waktu semakin
bertambah. Pada tahun 1998, 11,85 % dari total kepala keluarga (KK) yang
berjumlah 40.819 KK atau sebanyak 4.837 KK adalah keluarga miskin. Pada tahun
1999 meningkat drastis menjadi 19,32 % yang merupakan dampak krisis ekonomi
tahun 1998. Pada tahun 2001 meningkat lagi menjadi 22,41 % dan pada tahun 2004
menjadi 30,17 % atau sebanyak 15.583 KK (Kantor Keluarga Berencana dan
Pemberdayaan Keluarga Kota Bengkulu, 2004).
Kota Bengkulu terdiri dari empat kecamatan, yaitu 1) Kecamatan Gading
Cempaka yang meliputi 21 kelurahan dan 2 desa, 2) Kecamatan Teluk Segara yang
melingkupi 19 kelurahan dan 4 desa, 3) Kecamatan Selebar yang meliputi 6 desa,
dan 4) Kelurahan Muara Bangkahulu yang meliputi 5 desa. Pada tahun 2004, rata-
rata persentase jumlah KK miskin dari jumlah KK di Kecamatan Gading Cempaka
adalah sebesar 34,52 %, di Kecamatan Teluk Segara sebesar 26,91 %, di Kecamatan
Selebar 24,09 % dan di Kecamatan Muara Bangkahulu sebesar 30,17 %. Jumlah
KK miskin ini mengalami peningkatan dari tahun ke tahun (Kantor Keluarga
Berencana dan Pemberdayaan Keluarga, 2004).
Dalam penelitian ini, kemiskinan regional yang dimaksud adalah kemiskinan
kota yang meliputi kemiskinan kota Bengkulu beserta wilayah kecamatan, kelurahan
dan desa yang dilingkupinya. Data kemiskinan diperoleh dari instansi terkait, dalam
hal ini Kantor Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Keluarga Kota Bengkulu,
berdasarkan kriteria kemiskinan tertentu, yaitu Kategori Keluarga Pra Sejahtera
(KPS) dan Keluarga Sejahtera (KS) I untuk Alasan Ekonomi. Faktor-faktor yang
mempengaruhi kemiskinan tersebut disusun kembali berdasarkan variabel-variabel
dan indikator-indikator kantong kemiskinan yang disusun oleh BPS dalam Jousairi

6
(1995) dan BPS dalam Kuncoro (2003) serta dipilih berdasarkan komponen struktur
ekonomi.
1. 3. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk
mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kemiskinan regional di Kota
Bengkulu. Sedangkan manfaat dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan
masukan bagi penyusun kebijakan dalam rangka menentukan metode pendekatan dan
program pengentasan kemiskinan yang terarah dan tepat sasaran serta menjadi bahan
untuk mengevaluasi program dan proses pembangunan yang sudah dilaksanakan
selama ini.
II. METODE PENELITIAN
2.1. Jenis dan Metode Pengumpulan Data
Data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Data primer
berupa data kemiskinan pada 57 kelurahan di Kota Bengkulu dan data profil ke-57
kelurahan tersebut untuk tahun 2004. Data kemiskinan yang diperoleh dari Kantor
Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Keluarga Kota Bengkulu. Sedang data
sekunder dikumpulkan guna menunjang data-data primer yang diperoleh dari
instansi-instansi terkait.
2. 2. Metode Analisis Data
Data dianalisis secara kuantitatif yang kemudian didukung dengan analisis
deskriptif.
Metode yang digunakan untuk mengukur tingkat kemiskinan adalah dengan
menentukan nilai Headcount Index (H), yaitu menghitung jumlah keluarga atau
penduduk miskin sebagai proporsi dari populasi (Kuncoro, 2003 dan Tambunan,
2003
b
). Dalam penelitian ini H diukur dengan mencari persentase jumlah keluarga
miskin dari jumlah keluarga yang ada di kelurahan-kelurahan di Kota Bengkulu
Model Regresi Linier Berganda digunakan untuk mengetahui faktor-faktor
yang mempengaruhi tingkat kemiskinan regional di Kota Bengkulu. Persamaan
matematisnya disusun sebagai berikut :
H
i
= b
0
+ b
1
D
1i
+ b
2
D
2i
+ b
3
X
1i
+ b
4
X
2i
+ b
5
X
3i
+ b
6
X
4i
+ b
7
X
5i
+ b
8
X
6i
+ u
Dimana :

7
H : Tingkat kemiskinan (%)
D
1
: Ketersediaan pasar (1 : tanpa bangunan sampai setengah
permanen, 0 : bangunan permanen)
D
2
: Tingkat pendidikan dominan penduduk (1 : Tidak Sekolah
sampai Tamat SD, 0 : SLTP ke atas)
X
1
: Kepadatan penduduk (jiwa/km
2
)
X
2
: Persentase penduduk yang bekerja di sektor pertanian (%)
X
3
: Persentase penduduk yang bekerja di sektor industri (%)
X
4
: Persentase penduduk yang bekerja di sektor jasa
informal (%)
X
5
: Persentase keluarga yang mempunyai televisi (%)
X
6
: Jarak kelurahan dari ibukota kecamatan (Km)
i
b
0

:
:
Kelurahan ke-i
Konstanta
b
1
-b
8
: Koefisien regresi
u : Kesalahan pengganggu

Koefisien regresi hasil estimasi kemudian diuji secara statistik pada tingkat
kepercayaan 95 %. Pengaruh variabel bebas secara bersama-sama terhadap variabel
terikat diuji dengan Uji F.
F hitung ditentukan dengan rumus :
) 1 /( ) 1 (
/
2
2

k n R
k R
Fhitung
Dimana, R
2
: Koefisien determinasi
n : Jumlah sampel
k : Jumlah variabel bebas

Hipotesis matematis yang diuji adalah :
Ho : b
i
= 0
Ha : paling tidak salah satu dari b
i
0

Kriteria pengambilan keputusannya adalah :
- Jika F hitung F tabel, maka Ho diterima atau Ha ditolak, artinya secara
bersama-sama variabel bebas berpengaruh tidak nyata terhadap variabel terikat.
- Jika F hitung > F tabel, maka Ha diterima atau Ho ditolak, artinya secara
bersama-sama variabel bebas berpengaruh nyata terhadap variabel terikat.
Sedangkan pengaruh dari masing-masing variabel bebas terhadap variabel
terikat secara parsial diuji dengan Uji t.

8
t hitung ditentukan dengan rumus :
) (bi Se
bi
thitung
Dimana : bi : Koefisien regresi variabel ke-i
Se(bi) : Kesalahan baku koefisien variabel ke-i
Hipotesis matematisnya adalah :
Ho : b
i
= 0
Ha : b
i
0
Kriteria pengambilan keputusannya adalah sebagai berikut :
- Jika -t tabel t hitung t tabel, maka Ho diterima atau Ha ditolak, artinya
variabel bebas berpengaruh tidak nyata terhadap variabel terikat.
- Jika -t hitung < -t tabel atau t hitung > t tabel, maka Ha diterima atau Ho ditolak,
artinya variabel bebas berpengaruh nyata terhadap variabel terikat
2.3. Konsep dan Pengukuran Variabel
1. Tingkat kemiskinan regional adalah persentase jumlah keluarga miskin
(headcount index) karena alasan ekonomi pada tingkat kelurahan di Kota
Bengkulu berdasarkan hasil pengukuran Kantor Keluarga Berencana dan
Pemberdayaan Keluarga Kota Bengkulu, dalam %.
2. Tenaga kerja adalah penduduk usia kerja ( 15 tahun) yang bekerja (working).
3. Ketersediaan pasar adalah tersedianya pasar tanpa bangunan sampai bangunan
permanen.
4. Tingkat pendidikan dominan penduduk adalah tingkat pendidikan formal yang
diselesaikan oleh sebagian besar penduduk.
5. Kepadatan penduduk adalah jumlah penduduk per luas wilayah, dalam jiwa/Km
2
.
6. Persentase penduduk yang bekerja di sektor pertanian adalah jumlah penduduk
yang bekerja di sektor pertanian dibagi dengan total jumlah penduduk yang
bekerja, dalam %.
7. Persentase penduduk yang bekerja di sektor industri adalah jumlah penduduk
yang bekerja di sektor industri dibagi dengan total jumlah penduduk yang
bekerja, dalam %.

9
8. Persentase penduduk yang bekerja di sektor jasa informal adalah jumlah
penduduk yang bekerja di sektor jasa informal dibagi dengan total jumlah
penduduk yang bekerja, dalam %.
9. Persentase keluarga yang mempunyai televisi adalah jumlah keluarga yang
memiliki televisi dibagi dengan total jumlah keluarga, dalam %.
10. Jarak kelurahan dari ibukota kecamatan adalah jarak yang diukur dari letak
kantor kepala kelurahan dengan letak kantor kepala kecamatan, dalam Km.
Diasumsikan letak kantor kepala menunjukkan letak ibukota wilayah.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kemiskinan di Kota
Bengkulu pada tahun 2004 dilakukan atas 46 kelurahan dari 57 kelurahan yang ada
di Kota Bengkulu. Sebanyak 11 kelurahan tidak dapat dimasukkan ke dalam
analisis. Kelurahan-kelurahan yang dimaksud adalah Kelurahan Teratai, Malabero,
Pasar Pantai, Kampung Cina, Kebun Keling, Kebun Ros, Rawa Makmur, Bentiring,
Kandang, Sukarami, dan Padang Serai. Ketika terjadi pemekaran Kota Bengkulu
pada bulan Agustus 2005 dari empat kecamatan menjadi delapan kecamatan,
kelurahan-kelurahan tersebut ada yang digabung atau dipecah menjadi beberapa
kelurahan sehingga data profil kelurahan-kelurahan tersebut pada saat penelitian
sudah tidak lagi tersedia.
Hasil estimasi fungsi regresi yang dianalisis untuk mengetahui faktor-faktor
yang mempengaruhi tingkat kemiskinan di Kota Bengkulu pada tahun 2004 disajikan
pada Tabel 1.











10
Tabel 1. Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Kemiskinan
Regional di Kota Bengkulu Tahun 2004

Variabel Bebas Koefisien
Regresi
Kesalahan
Baku
t Hitung
1. Ketersediaan Pasar (D1) 8,4309 6,4430 1,3090
2. Tk. Pendidikan
Dominan Pddk (D2)
5,5352 4,9310 1,1230
3. Kepadatan Penduduk
(X1)
-0,00003 0,00005 -0,5597
4. Persentase TK Pertanian
(X2)
-0,1118 0,1233 -0,9068
5. Persentase TK Industri
(X3)
0,4302 0,2961 1,4530
6. Persentase TK Jasa
Informal (X4)
0,0340 0,0895 0,3802
7. Persentase Keluarga
Punya TV (X5)
-0,0817 0,1402 -0,5830
8. Jarak Kel. dari Ibukota
Kecamatan (X6)
5,9078 1,4470 4,0840
*
Konstanta = 14,1460
F hitung = 45,558
F Tabel = 3,300
t Tabel = 2,042
R
2
= 0,4237
Keterangan : * Nyata pada Taraf Kepercayaan 95 %
Sumber : Data Diolah, 2006

Hasil analisis menunjukkan nilai koefisien determinasi (R
2
) adalah sebesar
0,4269 yang berarti bahwa 42,69 % variasi tingkat kemiskinan dipengaruhi oleh
variabel-variabel bebas dalam persamaan model. Sisanya sebesar 57,31 %
dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang tidak termasuk dalam persamaan model
tersebut.
Hasil uji F pada taraf kepercayaan 95 % menunjukkan bahwa secara bersama-
sama variabel bebas yang disusun dalam model berpengaruh nyata terhadap variabel
terikat. Dimana nilai F hitung (45,558) lebih besar dari nilai F tabel (3,300).
Faktor jarak kelurahan dari ibukota kecamatan berpengaruh nyata terhadap
tingkat kemiskinan di Kota Bengkulu, sedang faktor-faktor tersedianya pasar, tingkat
pendidikan sebagian besar penduduk, persentase TK pertanian, persentase TK
industri, persentase TK jasa informal, dan persentase keluarga yang mempunyai

11
televisi berpengaruh tidak nyata. Hal tersebut ditunjukkan oleh hasil estimasi dan uji
t statistik. Pembahasan yang lebih terinci untuk masing-masing faktor adalah
sebagai berikut:
1. Ketersediaan Pasar (D1)
Variabel pasar yang dimaksud adalah ketersediaan prasarana ekonomi untuk
penduduk melakukan transaksi baik transaksi barang-barang produksi maupun
barang-barang konsumsi. Sebagian besar kelurahan di Kota Bengkulu yaitu
sebanyak 41 kelurahan (89,13 %) tidak mempunyai pasar maupun pasar dengan
bangunan setengah permanen. Sedang sisanya (5 kelurahan atau 10,87 %) memiliki
pasar dengan bangunan permanen.
Berdasarkan hasil analisis, nilai koefisien regresi untuk ketersediaan pasar
bertanda positif yaitu sebesar 8,4309. Hal ini menunjukkan adanya kecenderungan
jika di kelurahan tersebut tersedia pasar tanpa bangunan atau tersedia bangunan
setengah permanen maka tingkat kemiskinannya lebih tinggi dibanding kelurahan
yang memiliki pasar dengan bangunan permanen. Pasar merupakan tempat transaksi
barang-barang hasil produksi, barang-barang faktor produksi maupun barang-barang
konsumsi. Aktifitas pasar di bangunan permanen umumnya relatif lebih baik
dibanding di pasar tanpa bangunan atau bangunan setengah permanen yang biasanya
hanya bersifat temporary.
Namun hasil uji t pada taraf kepercayaan 95 % menunjukkan bahwa
ketersediaan pasar baik tanpa bangunan sampai tersedia bangunan setengah
permanen maupun dengan bangunan permanen berpengaruh tidak nyata terhadap
tingkat kemiskinan di kelurahan yang bersangkutan. Hal ini diketahui dari nilai t
hitung (1,3090) yang lebih kecil dari nilai t tabel (2,042). Berpengaruh tidak
nyatanya ketersediaan pasar tersebut, mungkin disebabkan oleh 1) kurang atau tidak
dimanfaatkannya pasar tersebut oleh penduduk untuk aktifitas jual beli barang
produksi atau barang faktor produksi, jadi dengan kata lain hanya digunakan untuk
transaksi barang-barang konsumsi, dan atau 2) kurangnya akses penduduk terhadap
aktifitas transaksi barang-barang produksi atau barang-barang faktor produksi
sehingga tidak atau kurang bermanfaat bagi perbaikan taraf hidup.



12
2. Tingkat Pendidikan Dominan Penduduk (D2)
Tingkat pendidikan sebagian besar atau dominan penduduk dapat menjadi
indikator sejauh mana akses mereka terhadap pendidikan. Semakin tinggi tingkat
pendidikan penduduk, berarti semakin besar akses mereka terhadap pendidikan.
Tingkat pendidikan diukur berdasarkan kriteria pendidikan dasar, yaitu
sampai Tamat Sekolah Dasar (SD). Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian
besar kelurahan di Kota Bengkulu yaitu sebanyak 9 kelurahan (19,57 %) memiliki
penduduk yang sebagian besar mempunyai tingkat pendidikan tidak sekolah dan
sampai tamat SD sedang sisanya sebanyak 37 kelurahan (80,43 %) memiliki
penduduk yang dominan berpendidikan SLTP ke atas. Hal ini menunjukkan bahwa
sebagian besar penduduk di Kota Bengkulu telah memiliki akses yang baik terhadap
pendidikan, tidak hanya mengenyam pendidikan dasar.
Hasil analisis menunjukkan bahwa koefisien faktor tingkat pendidikan
sebagian besar penduduk bernilai positif yaitu 5,5352 yang menunjukkan
kecenderungan bahwa tingkat kemiskinan di kelurahan yang dominan penduduknya
tidak sekolah atau sampai tamat SD lebih tinggi dibanding tingkat kemiskinan di
kelurahan yang dominan penduduknya berpendidikan SLTP ke atas. Akses
penduduk terhadap pendidikan formal yang lebih telah membantu menaikkan taraf
hidup, karena walau bagaimanapun tingkat pendidikan formal masih menjadi
pertimbangan untuk memperoleh penghasilan.
Namun faktor tingkat pendidikan dominan penduduk berpengaruh tidak nyata
terhadap tingkat kemiskinan yang ditunjukkan oleh nilai t hitung (1,1230) lebih kecil
dari nilai t tabel (2,042). Hal ini kemungkinan disebabkan oleh karena pendapatan
seseorang, yang berujung kepada tingkat kesejahteraan, tidak semata-mata
dipangaruhi oleh tingkat pendidikan formalnya, tetapi lebih dipengaruhi oleh 1)
keterampilan atau keahlian yang dimiliki yang umumnya diperoleh dari pendidikan
informal, dan atau 2) kemampuan seseorang untuk mengakses aktifitas ekonomi
seperti akses terhadap modal, pasar, kesempatan berusaha dan lain-lain yang pada
akhirnya berpengaruh kepada perbaikan taraf hidup (Komite Penanggulangan
Kemiskinan Republik Indonesia, 2005).



13
3. Kepadatan penduduk (X1)
Berdasarkan hasil penelitian terhadap 46 kelurahan, diketahui rata-rata
kepadatan penduduk per kelurahan adalah 15950 jiwa per Km
2
, dengan kisaran 293
sampai 230060

jiwa per Km
2
. Sementara rata-rata kepadatan penduduk Kota
Bengkulu pada tahun 2004 adalah 2292 jiwa per Km
2
(untuk 57 kelurahan).
Nilai koefisien faktor kepadatan penduduk bernilai negatif yaitu 0,00003.
Nilai ini menunjukkan kecenderungan bahwa semakin tinggi kepadatan penduduk,
maka tingkat kemiskinan semakin rendah. Namun hasil uji t menunjukkan bahwa
faktor kepadatan penduduk berpengaruh tidak nyata terhadap tingkat kemiskinan,
dimana nilai t hitung (- 0,5597) lebih besar dari nilai t tabel (-2,042). Artinya tinggi
ataupun rendahnya kepadatan penduduk, tingkat kemiskinan tidak terpengaruh.
Karena kemiskinan seseorang karena alasan ekonomi diukur melalui kemampuan
keluarga dalam memenuhi kebutuhan kualitas pangan, sandang dan tempat tinggal.
4. Persentase tenaga kerja sektor pertanian (X2)
Hasil pengolahan data menunjukkan bahwa rata-rata jumlah tenaga kerja
sektor pertanian adalah 13,64 % dengan kisaran 0 sampai 70,20 %. Rata-rata
persentase tenaga pertanian ini tergolong rendah. Untuk wilayah Propinsi Bengkulu
rata-rata persentase tanaga kerja sektor pertanian tahun 1987 sampai tahun 2004
adalah sebesar 69,82 % dari total jumlah tenaga kerja (BPS Propinsi Bengkulu,
Berbagai Tahun Penerbitan). Hal ini dapat dipahami karena Kota Bengkulu adalah
ibukota propinsi dimana lahan yang dipergunakan untuk kegiatan pertanian sudah
relatif lebih sedikit dibanding peruntukan lahan yang lain, misalnya untuk
pemukiman penduduk. Lagipula sebagian besar penduduk Kota Bengkulu seperti
wilayah perkotaan pada umumnya, mempunyai pekerjaan di bidang-bidang lain
selain pertanian (industri, jasa, perdagangan dan lain-lain).
Koefisien faktor persentase tenaga kerja pertanian bernilai negatif, yaitu
sebesar 0,1118 yang memberi arti bahwa jumlah penduduk yang bekerja di sektor
pertanian meningkat, maka tingkat kemiskinan cenderung menurun. Hal ini
menunjukkan bahwa ternyata sektor pertanian dianggap sektor yang paling kuat
bertahan dalam badai krisis. Sektor pertanian yang dinamis dianggap mampu
memberikan penghidupan yang lebih baik (Arifin, 2004 ; Arsyad, 2004 serta
Tambunan, 2003
a
dan 2003
b
).

14
Namun demikian hasil uji t menunjukkan bahwa faktor persentase tenaga
kerja sektor pertanian berpengaruh tidak nyata terhadap tingkat kemiskinan, dimana
nilai t hitung ( - 0,9068) lebih besar dari nilai t tabel (-2,042). Kemiskinan seseorang
atau keluarga tidak disebabkan oleh di sektor atau di bidang apa mereka bekerja,
tetapi lebih kepada kemampuan mereka untuk memperoleh pendapatan dan
mencukupi kebutuhan keluarga, baik kemampuan dari dalam diri maupun daya
dukung lingkungan sekitarnya (Prayitno dan Santosa, 1996 dan Krisnamurthi, 2004).
5. Persentase tenaga kerja sektor industri (X3)
Rata-rata jumlah tenaga kerja sektor industri adalah 6,14 % dengan kisaran 0
sampai 27,94 %. Sedang untuk propinsi Bengkulu rata-rata persentase tenaga kerja
yang bekerja di sektor industri adalah sebesar 2,31 %. Hal ini menunjukkan bahwa
sektor industri lebih banyak ditekuni oleh masyarakat Kota Bengkulu, karena sektor
industri memang biasanya terpusat di wilayah perkotaan.
Koefisien faktor persentase tenaga kerja industri bernilai positif yaitu 0,4302.
Artinya jika semakin tinggi persentase tenaga kerja yang bekerja di sektor industri
maka tingkat kemiskinan cenderung meningkat. Hal ini disebabkan oleh jika
pembangunan diarahkan semata-mata hanya dengan mengejar pertumbuhan yang
biasanya dapat diperoleh dengan pengembangan sektor industri, maka yang terjadi
justru penurunan kesejahteraan karena sektor industri lebih sukar bertahan dari
permasalahan-permasalahan ekonomi yang terjadi (Padmowihardjo, 2002).
Hasil uji t menunjukkan faktor persentase tenaga kerja industri ternyata
berpengaruh tidak nyata terhadap tingkat kemiskinan (nilai t hitung sebesar 1,4530
lebih kecil dari nilai t tabel (2,042)). Hal ini terjadi karena kemiskinan seseorang
atau keluarga lebih disebabkan oleh kemampuan mereka memperoleh pendapatan
dan akses-akses mereka terhadap kesempatan-kesempatan ekonomi.
6. Persentase tenaga kerja sektor jasa informal (X4)
Sektor jasa informal menurut berbagai tulisan para ahli diketahui atau
dianggap sebagai katup penyelamat bagi tenaga kerja sektor pertanian yang
berdasarkan teori transformasi struktural banyak berpindah ke sektor industri.
Lazimnya, jika terjadi perubahan struktur ekonomi dari pertanian ke industri, maka
tenaga pertanian yang tidak dapat terserap oleh sektor pertanian beralih ke sektor
industri. Namun karena sektor industri membutuhkan tenaga kerja dengan tingkat

15
pendidikan dan keahlian tertentu, maka tenaga yang beralih dari sektor pertanian tadi
tidak dapat diserap oleh sektor industri dan sebagai alternatif adalah mereka memilih
sektor jasa informal. Sementara sektor jasa formal relatif lebih sulit untuk dimasuki,
karena juga membutuhkan kualifikasi tertentu (Winoto, 1996).
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa rata-rata tenaga kerja yang
bekerja di sektor jasa informal sebesar 32,72 % dengan kisaran 3,85 sampai 97,15 %.
Seperti umumnya wilayah perkotaan, di Kota Bengkulu juga berkembang sektor jasa
yang terdiri dari sektor jasa formal (pemerintahan) dan informal (swasta) lebih pesat,
selain sektor perdagangan dan komunikasi.
Nilai koefisien faktor persentase tenaga kerja sektor jasa informal adalah
0,0340, artinya ada kecenderungan jika persentase tenaga kerja yang bekerja di
sektor jasa informal meningkat maka tingkat kemiskinan juga meningkat. Sektor
jasa informal memang menjadi penyaluran tenaga kerja di sektor pertanian
tradisional yang tidak terserap oleh sektor industri yang berkembang, karena sektor
ini relatif lebih mudah dimasuki karena cenderung tidak mensyaratkan kualifikasi
tertentu bagi tenaga kerja tersebut.
Namun hasil uji t menunjukkan bahwa faktor persentase tenaga kerja sektor
jasa informal berpengaruh tidak nyata terhadap tingkat kemiskinan, dimana nilai t
hitung (0,3802) lebih kecil dari nilai t tabel (2,042). Seperti alasan-alasan yang
dikemukakan sebelumnya, kemiskinan tidak ditentukan oleh bidang apa yang
ditekuni, tetapi ditentukan oleh kemampuan seseorang bekerja dan memperoleh
pendapatan yang layak. Selain itu, karena sifatnya yang hanya menjadi sektor
pelarian, maka sektor ini sebenarnya tidak menjanjikan tingkat kehidupan yang
lebih baik, tetapi sektor ini cukup memberikan penghidupan. Tetapi jika sektor ini
dikembangkan tanpa perhitungan, maka justru sebagian besar masyarakat akan
menggantungkan hidupnya kepada sektor ini yang sebenarnya hanya menyumbang
sebagian kecil dari pendapatan wilayah. Akibat yang lain, jika masyarakat yang
bekerja di sektor ini tidak melaksanakan kegiatannya sesuai peraturan maka akan
menimbulkan masalah-masalah ketertiban dan gangguan bagi anggota masyarakat
lain (Winoto, 1996).



16
7. Persentase keluarga yang memiliki televisi (X5)
Selain sebagai sarana memperoleh hiburan, televisi menjadi pilihan yang
umum bagi masyarakat untuk mengakses informasi tentang segala hal dari tingkat
lokal sampai internasional. Sebagian besar keluarga di Kota Bengkulu memiliki
televisi. Dari 46 kelurahan yang diteliti, 82,71 % keluarga memiliki televisi di
rumah mereka. Kisaran persentase keluarga yang memiliki telivisi adalah 41,95
sampai 100 %. Hal ini disebabkan oleh televisi bukan lagi dianggap barang mewah,
tetapi sudah menjadi barang yang cukup dibutuhkan.
Nilai koefisien faktor persentase keluarga yang memiliki televisi adalah
sebesar 0,0817, artinya ada kecenderungan jika persentase jumlah keluarga yang
memiliki televisi meningkat maka tingkat kemiskinan menurun. Televisi menjadi
media yang umum dimanfaatkan oleh masyarakat untuk memperoleh informasi
mengenai berbagai hal. Mulai dari hiburan, berbagai informasi ilmu pengetahuan
dan teknologi sampai informasi tentang kesempatan berusaha.
Namun hasil uji t menunjukkan bahwa faktor persentase jumlah keluarga
yang memiliki televisi berpengaruh tidak nyata terhadap tingkat kemiskinan, dimana
nilai t hitung (-0,5830) lebih besar dari nilai t tabel (-2,042). Televisi memang dapat
menjadi media yang bermanfaat apabila keluarga mampu menangkap dan
mengadopsi informasi yang baik dan berguna bagi peningkatan taraf hidup. Jika
informasi yang diperoleh diiringi dengan kurangnya kemampuan memanfaatkan apa
yang diperoleh karena berbagai keterbatasan yang dimiliki maka informasi tersebut
tidak akan menyumbang bagi kemajuan dan peningkatan taraf hidup.
8. Jarak kelurahan dari ibukota kecamatan (X6)
Pada tahun 2004, Kota Bengkulu terdiri dari empat kecamatan. Jarak
kelurahan dari ibukota kecamatan adalah jarak kantor kelurahan dari kantor
kecamatan yang melingkupinya. Jarak dari pusat wilayah (inti) menjadi indikator
sejauhmana masyarakat sekitar inti tersebut dapat memperoleh manfaat dari
perkembangan ataupun kemajuan-kemajuan yang terjadi di wilayah inti. Semakin
dekat jarak dari pusat wilayah, maka semakin besar pula kesempatan masyarakat di
sekitarnya untuk memanfaatkan fungsi wilayah pusat tersebut sebagai Pusat dari
Segala Kebaikan (Center of Excellents) (Nugroho dan Dahuri, 2004 serta Tarigan,
2006). Diketahui kisaran jarak tersebut adalah 0,1 sampai 5 Km dengan rata-rata 2,8

17
Km. Jarak ini tergolong dekat karena luas masing-masing kecamatan juga relatif
sempit, sementara total luas Kota Bengkulu hanya 144,52 Km
2
.
Nilai koefisien regresi variabel jarak kelurahan dari ibukota kecamatan adalah
5,9078. Nilai positif menunjukkan kecenderungan semakin jauh jarak dari ibukota
kecamatan, maka tingkat kemiskinan di kelurahan tersebut semakin tinggi. Hasil uji
t menunjukkan bahwa variabel jarak ini berpengaruh nyata terhadap tingkat
kemiskinan. Hal ini ditunjukkan oleh nilai t hitung (4,0840) lebih besar dari nilai t
tabel (2,042). Nilai koefisien regresi sebesar 5,9078 dan berpengaruh nyata
memberikan arti jika jarak kelurahan dari ibukota kecamatan meningkat 1 Km maka
tingkat kemiskinan meningkat 5,9078 %.
Ibukota wilayah merupakan pusat dari segala kebaikan. Wilayah yang lebih
dekat dengan ibukota mempunyai akses yang lebih baik terhadap kebaikan-kebaikan
tersebut dibanding wilayah yang lebih jauh. Dengan demikian taraf hidup
masyarakat yang lebih dekat dengan pusat kebaikan (center of excellent) lebih
baik.
Menurut Badan Pengawasan Pembangunan Daerah (Bappeda) dan Komisi
Penanggulangan Kemiskinan (KPK) Propinsi Bengkulu (2005), penyebab
kemiskinan di Propinsi Bengkulu, di antaranya di Kota Bengkulu, berangkat dari
akar permasalahan terjadinya proses pemiskinan dari sisi keterbatasan,
ketidakmampuan dan ketidakberdayaan komunitas miskin dalam melakukan akses
dan atau kontrol terhadap : 1) asset produksi, yaitu sumberdaya utama untuk
menyangga pemenuhan kebutuhan pokok seperti sumberdaya lahan bagi petani,
sumberdaya laut dan pesisir bagi nelayan, dan kesempatan kerja bagi buruh, dan 2)
asset pelayanan umu, yaitu sarana dan prasarana layanan-layanan dasar seperti
fasilitas ekonomi, transportasi, pendidikan dan kesehatan. Permasalahan dasar bagi
masyarakat miskin pada umumnya adalah keterbatasan aksesibilitas terhadap kedua
asset tersebut yang dapat dilihat dari hambatan-hambatan yang dialami oleh
komunitas miskin, antara lain :
1. Keterbatasan kesempatan kerja dan berusaha
2. Keterbatasan akses terhadap faktor produksi
3. kepemilikan asset

18
4. Keterbatasan akses terhadap fasilitas pelayanan pendidikan, kesehatan,
ekonomi serta informasi dan komunikasi
5. Ketidakberdayaan dalam menentukan pilihan (kontrol) terhadap aksesibilitas
itu sendiri
6. Kelemahan tata pemerintahan dalam mengelola program-program
penganggulangan kemiskinan
7. Lemahnya tanggungjawab negara dalam melayani perlindungan sosial.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
4.1. Kesimpulan
Dari hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa faktor jarak
kelurahan dari ibukota kecamatan berpengaruh nyata positif terhadap tingkat
kemiskinan di kelurahan-kelurahan dalam Kota Bengkulu, sementara faktor
ketersediaan pasar, tingkat pendidikan dominan penduduk, kepadatan penduduk,
persentase tenaga kerja sektor pertanian, persentase tenaga kerja sektor industri,
persentase tenaga kerja sektor jasa informal dan persentase keluarga yang
mempunyai televisi berpengaruh tidak nyata.
4. 2. Saran
Perlu upaya-upaya untuk menghilangkan dan mengurangi keterbatasan
aksesibilitas masyarakat miskin terhadap asset produksi dan asset pelayanan umum.
Kebijakan-kebijakan penanggulangan kemiskinan yang disusun hendaknya bersifat
multidimensi serta menjadi tanggung jawab bersama sehingga masyarakat miskin
mampu dan mau mengatasi dan membangun diri secara mandiri.

DAFTAR PUSTAKA
Arianti, Nyayu Neti. 2002. Struktur Perekonomian Propinsi Bengkulu. Jurnal
Agroekologi 2 (4) : 87 94. Yayasan Lembak Bengkulu. Bengkulu.
Arifin, Bustanul. 2000. Pembangunan Pertanian : Paradigma, Kinerja dan Opsi
Kebijakan. INDEF. Jakarta.
Badan Pengawasan Pembangunan Daerah (Bappeda) dan Komisi Penanggulangan
Kemiskinan (KPK) Propinsi Bengkulu. 2005. Bersama Melawan
Kemiskinan, Rencana Aksi Penanggulangan Kemiskinan Propinsi Bengkulu.
Bappeda dan KPK Propinsi Bengkulu. Bengkulu.

19
Basri, Faisal. 1995. Perekonomian Indonesia Menjelang Abad XXI : Distorsi,
Peluang dan Kendala. Erlangga. Jakarta.
Chambers, Robert. 1987. Pembangunan Desa. LP3ES. Jakarta.
Direktorat Pembangunan Desa (Ditbangdes) Propinsi Sumatera Selatan. 1995.
Faktor Lokasi dalam Pendekatan dan Metode Pembinaan Desa Tertinggal.
Makalah Seminar Metode Alternatif Pengentasan Kemiskinan. Penerbit
Universitas Sriwijaya. Palembang.
Jousairi. 1995. Mengenal Variabel dan Indikator Kantong Kemiskinan BPS.
Makalah Seminar Metode Alternatif Pengentasan Kemiskinan. Penerbit
Universitas Sriwijaya. Palembang.
Kantor Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Keluarga Kota Bengkulu. 2005.
Laporan Hasil Pendataan Keluarga Kota Bengkulu Tahun 2004. Kantor
Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Keluarga Kota Bengkulu. Bengkulu.
(Tidak dipubilkasikan).
Krisnamurthi, Bayu. 2004. Strategi Pengembangan Pembiayaan untuk Pengurangan
Kemiskinan di Pertanian. Dalam Kumpulan Tulisan Rekonstruksi dan
Restrukturisasi Ekonomi Pertanian, Beberapa Pandangan Kritis
Menyongsong Masa Depan. Disunting oleh Rudi Wibowo, Bayu
Krisnamurthi dan Bustanul Arifin. Perhepi. Jakarta.
Kuncoro, Mudrajad. 2003. Ekonomi Pembangunan, Teori, Masalah dan Kebijakan.
Edisi Ketiga. UPP AMP YKPN. Yogyakarta.
Nugroho, Iwan dan Rochmin Dahuri. 2004. Pembangunan Wilayah, Perspektif
Ekonomi, Sosial dan Lingkungan. LP3ES. Jakarta.
Tambunan, Tulus H. 2003
a
. Perkembangan Sektor Pertanian di Indonesia, Beberapa
Isu Penting. Ghalia Indonesia. Jakarta.
_________________. 2003
b
. Perekonomian Indonesia, Beberapa Masalah Penting.
Ghalia Indonesia. Jakarta.
Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Propinsi Bengkulu. 2006. Profil
Keluarga Miskin dan Rekapitulasi Jumlah Keluarga Miskin Kota Bengkulu.
Badan Pemberdayaan Masyarakat Propinsi Bengkulu. Bengkulu.
Todaro, Michael P. dan Stephen C. Smith. 2003. Pembangunan Ekonomi di Dunia
Ketiga. Jilid I. Edisi Kedelapan. Erlangga. Jakarta.
Winoto, Joyo. 1996. Transformasi Struktur Perekonomian dan Ketenagakerjaan
Nasional. Bahan Kuliah pada Program Studi Ilmu Perencanaan
Pembangunan Wilayah dan Pedesaan. Program Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor. Bogor. (Tidak Dipublikasikan).

You might also like