Download as pdf
Download as pdf
You are on page 1of 12
PENGOLAHAN AIR GAMBUT UNTUK PERSEDIAAN AIR BERSIH (Studi Kasus : Krisis Air Bersih pada Musim Kemarau di Kotamadia Pontianak) PEAT WATER TREATMENT FOR FRESHWATER SUPPLY A Case Study : Freshwater Crisis in Dry Season of Pontianak Municipality Rossie W.NAlqadrie®, Sudarmadji®, Tukidal Yunianto ABSTRACT An alternative raw water resource used to fulfill freshwater need in Pontianak Municipality is the organic colored water (locally known as peat water). The main problem using peat water is its low-pH, brownish in color, high organic content, high iron (Fe) content, and turbidity. One of the efforts to decrease these drawbacks is to treat the peat water using coagulants (natural coagulant and supplement coagulant, ie. kelor seeds, clay and lime). The treatment is based on coagulation-flocculation process. The aims of peat water treatment using the coagulant, are ; (1) to determine precisely coagulant concentrations for. changing the peat water into freshwater, (2) to identify the use of coagulant kelor seeds, clay, and lime in peat water treatment. Peat water treatment used coagulant concentrations of kelor seeds, clay, and lime, as follows 5 g/L, 7.5 g/L, and 10 g/L kelor seeds; 1 g/L and 3 g/L clay; 1 g/L, 3 g/L, and 5 g/L lime. The samples were taken from three canals, they were primary canal, secondary canal, and tertiary canal. Parameters studied in this research were pH, color, turbidity, organic content, and iron e) content. In order to know the result of the treatment, comparison was made between the raw water (as a control) and the treated one based on Clean Water Quality Standard Category B. It was found that the pH, color, turbidity, organic, and iron (Fe) contents decreased with coagulant concentration : 75 g/L kelor seeds, 1 g/L clay, and 3 g/L lime and 75 g/L kelor seeds, 1 g/L clay, and 5 g/L lime. Moreover, the decrease in color was 94,5%-95,1%, turbidity 81,4%-92,5%, and iron content 84-93,5%. It was also found that the decrease of organic content was rot significant, because it was lower than Clean Water Quality Standard Category Brequirement. Key words : Peat water, coagulation flocculation, coagulant and Clean Water Quality Standard Category B. 1) Fakultas Pertanian Universitas Tanjungpura Pontianak 2) Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta 193 194 Teknosains, 13(2), Mei 2000 PENGANTAR Ketersediaan air bersih bagi masyarakat Kota Pontianak dan sekitarnya telah menjadi persoalan berkepanjangan, terutama pada bulan-bulan sekitar Juni hingga Agustus. Upaya pengadaan air bersih biasanya dikaitkan dengan upaya konservasi sumber air baku agar potensi air itu tidak mengalami penurunan drastis. Namun upaya- upaya itu memerlukan biaya yang sangat besar dan waktu yang panjang mulaj dari perencanaan hingga terlaksananya upaya-upaya itu. Salah satu sumber air baku di Kota Pontianak dan sekitamya adalah air gambut, yang sebagian besar terletak di Rasau Jaya (Gambar 1). Ditinjau dari segi kuantitas, air gambut merupakan potensi sumber air baku. Namun dari segi kualitas, air gambut tidak dapat langsung dimanfaatkan sebagai air bersih yang memenuhi persyaratan kesehatan. Untuk itulah diperlukan upaya pengolahan air gambut menjadi air bersih. Teknologi itu sebaiknya murah, mudah dan bahan-bahannya cukup tersedia di daerah setempat. Prinsip dalam teknologi bersih, pengkajian terhadap proses pengolahan sangat penting karena pengolahan akan dapat mengurangi atau menghilangkan sama sekali unsur-unsur yang tidak diinginkan, baik yang bersifat fisik, kimia maupun biologi sehingga menyebabkan terjadinya perubahan unsur dari keadaan prapengolahan ke pasca pengolahan. Teknologi bersih itu merupakan teknologi penjernihan air gambut dengan koagulan (coagulant), yaitu koagulan biji kelor (Moringa oleifera Lamk.) sebagai koagulan alami, lempung dan kapur sebagai koagulan tambahan (coagulant aids). Dalam pengolahan air gambut menjadi air bersih terjadi proses koagulasi-flokulasi yang terdiri atas netralisasi derajat kemasaman, penyerapan warna, pembentukan gumpalan atau flok dan pengendapan gumpalan serta penyaringan air hasil olahan (Notodarmojo dkk., 1998). Proses penyerapan warna, pesnbentukan gumpalan dan pengendapan gumpalan dapat terjadi sempurna dengan pengadukan cepat (flash mixing) agar terjadi proses koagulasi- flokulasi dan sedimentasi setelah didiamkan selama + 1-2 jam. Untuk mencapai suatu efek penjernihan yang optimal dari proses pengolahan air gambut, dibutuhkan pemakaian koagulan pada konsentrasi Rossie Wiedya N.A. et al., Pengolahan Air Gambut 195 LEGENOA: @ —uteta Propinsi EZZZZZZ| eos Pensltion [OA Tinga? I Ketimanlon Barat 1995 196 Teknosains, 13(2), Mei 2000 tertentu sesuai dengan pertimbangan sifat fisik dan kimia proses koagulasi-flokulasi dan laju pengadukan yang wajar. CARA PENELITIAN a. Penyiapan bahan pengolah air gambut Bahan koagulan biji kelor yang telah dihaluskan, ditimbang dengan konsentrasi 5 g/L, 7,5 g/L dan 10 g/L (Mi, Mz, Ms). Tanah Jempung yang telah dihaluskan, ditimbang dengan konsentrasi 1 g/L dan 3 g/L (Li, Lz), sedangkan kapur yang telah dihaluskan ditimbang dengan konsentrasi 1 g/L, 3g/L, dan 5 g/L (Ki, Kz, Ks). Kombinasi bahan koagulan di atas (3x2x3) sebanyak 18 variasi kombinasi untuk masing-masing saluran primer, sekunder, dan tersier. b. Penyediaan air gambut Sampel air gambut yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari saluran primer, sekunder, dan tersier di Desa Rasau Jaya. Waktu pengambilan sampe) air gambut dilakukan pada saat air surut dan tidak turun hujan lebih kurang 12 hari. Pengambilan air gambut dilakukan secara depth integrated. Sampel air gambut dikomposit atau dicampur pada masing-masing saluran sehingga diperoleh satu sampel komposit (composite sample). Banyaknya titik sampel komposit berdasarkan kondisi di lapangan. Keperluan air gambut untuk sampel komposit sebanyak 1 liter sehingga total sampel pada setiap saluran sebanyak 18 liter. Pengukuran pararneter air di lapangan berupa temperatur, daya hantar listrik (DHL), pH, dan salinitas. Pengukuran parameter pH, warna, kekeruhan, zat organik, dan besi sebagai kontrol dan air olahan dianalisis di laboratorium. c. Percobaan Jar-Test Sampel air gambut (saluran primer, sekunder, dan tersier) dimasukkan ke dalam gelas beker dan aduk selama beberapa menit untuk meratakan zat-zat tersuspensi lalu ditambah kapur untuk penyesuaian pH, kemudian berturut-turut dimasukkan tepung Jempung dan biji kelor dengan konsentrasi berlainan (lihat skema yancangan percobaan Jar-Test). Selanjutnya, ketiga koagulan diaduk agar menyatu. Rossie Wiedya N.A. et al., Pengolahan Air Gambut 197 I tf Primer Sekunder Tersier Primer Sekunder Tersier coo ooo MiliKi Maliki MiliKi Milika MiLiK, Milik MiLiKs Maliks MiLiKs Mib2K, MiloKi MiL2Ki MiL2Ko MiL2K2 MiLoK2 MiLcKs MiLzK3 MiLoKs Maliki M2LiK; Maliki MaliK2 = MoliK2 = MaliK2 MiLiK3 MaLiKs MaliKs MoL2Ky © Mal2Ki =MeL2Ki MoL2K2 MoaL2K2 MaL2K2 MoL2K3 MaloKs ~MpL2Ks MpliKi Maliki MslaKi MsLiK2 MslaK2 MsLiKe MsLiKs MeLiK3 MsLiks MoL2Ki MaleKi = MsL2Ki MsL2K2 MsLaK2 MsL2K2 = MsLzKs MslaKs Msl2Ks “pomp an oe Pengaduk diputar dengan kecepatan tinggi (100 rpm) selama 3 menit, kemudian diturunkan menjadi 40 rpm selama 15 menit, lalu didiamkan dengan kecepatan 0 rpm selama 30 menit agar terjadi pengendapan. Pemisahan air hasil olahan dilaksanakan dengan kertas saring untuk memisahkan endapan dan air hasil olahan. Air hasil olahan dianalisis untuk parameter pH, warna, kekeruhan, zat organik dan besi (Fe). HASIL DAN PEMBAHASAN a. Hasil Hasil penelitian di laboratorium berupa analisis parameter kualitas air olahan, yaitu pH, warna, kekeruhan, zat organik, dan besi (Fe). 1. pH PH air gambut (kontrol) pada saluran primer, sekunder, dan tersier adalah 487; 4,26; 4,41 (Tabel 1,2,3). Ketiga nilai itu tidak memenuhi Persyaratan Kualitas Air Bersih, yaitu sebesar 5 - 9. Teknosains, 13(2), Mei 2000 Tabel 1. Hasil analisis pengolahan air gambut saluran primer facforfo act] waffles} [a [a| |] 2 een a Tabel 3. Hasil analisis pengolahan air gambut saluran tersier Tease / ese fan enc aca a ne] ce] aan mfel=palafalml=ll-l-t=[>lol>le]=lo[ [4] ™t=lele[=f=|<[=lo]=| [=|] ]e]=|=[> [>| a fff ad af fm ed nef fff cou [ oe] ecards cadaaeazofonfoaufane a Rossie Wiedya N.A. et al., Pengolahan Air Gambut 199 Penambahan koagulan biji kelor, Jempung, dan kapur pada konsentrasi sebesar 7,5 g/L biji kelor, 1 g/L lempung dan 1 g/L kapur (MaLiKa), 7,5 g/L biji kelor, 1 g/L lempung, dan 3 g/L kapur (MoLiKs) dan 75 g/L biji kelor, 1 g/L lempung, dan 5 g/L kapur (MoLiKa) (Gambar 2.) dapat menurunkan derajat kemasaman atau meningkatkan pH air olahan menjadi 5,01 hingga 5,18 (3% - 14%). Nilai-nilai pH pada ketiga saluran telah memenuhi parsyaratan kualitas air bersih. 2 Wama Warna air gambut (kontrol) pada saluran primer, sekunder, dan tersier adalah sebesar 530, 900 dan 780 Pt-Co (Tabel 1,2,3). Ketiga nilai itu tidak memenuhi Persyaratan Kualitas Air bersih dari Permenkes, yaitu sebesar 50 Pt-Co. Variasi konsentrasi koagulan biji kelor, lempung dan kapur 7,5 g/L biji kelor, 1 g/L Jempung, dan 3 g/L kapur (MaLik2) , 7,5 g/L biji kelor, 1 g/L lempung, dan 5 g/L kapur (MaLiK3), 7,5 g/ biji kelor, 3 g/L lempung, dan 3 g/L kapur (MoL2K2) dan 7,5 g/L biji kelor, 3 g/L lempung, dan 5 g/L kapur (M2L2Ks) dapat menurunkan warna menjadi 50 Pt-Co hingga 26 Pt-Co atau penurunan sebesar 93,6% hingga 95,1% (Gambar 3). 3. Kekeruhan Kekeruhan yang bervariasi pada saluran primer, sekunder, dan tersier, yaitu sebesar 86, 146, dan 131 FTU, sedangkan syarat kualitas air bersih menurut Permenkes, yaitu sebesar 25 FTU, sehingga nilai- nilai itu tidak memenuhi Persyaratan Kualitas Air bersih. Penambahan koagulan biji kelor, lempung dan kapur pada konsentrasi 7,5 g/L biji kelor, 1 g/L lempung, dan 3 g/L kapur (MaLiK;), 7,5 g/L biji kelor, 1 g/L lempung, dan 5 g/L kapur (M2LiKs), 7,5 g/L biji kelor, 3 g/L lempung, dan 1 g/L kapur (MoL2Ki), dan 7,5 g/L biji kelor, 3 g/L lempung, dan 3 g/L kapur (MzL2K2) (Gambar 4), ternyata dapat menurunkan kekeruhan menjadi 23 FTU (825%) hingga 11 FTU (92,5%) pada ketiga saluran. 4, Zat Organik Zat organik air gambut sangat bervariasi pada saluran primer, sekunder dan tersier(Tabel 1,2,3), yaitu sebesar 260,7 mg/L, 315 mg/L, dan 298 mg/L. Nilai ketiga saluran itu tidak memenuhi Persyaratan Kualitas Air Bersih, yaitu sebesar 10 mg/L. Setelah pengolahan air gambut dengan penambahan koagulan biji kelor, lempung, dan kapur untuk semua variasi konsentrasi, ternyata tidak dapat menurunkan nilai zat organik sesuai dengan persyaratan itu (Gambar 5). 200 ‘ Teknosains, 13(2), Mei 2000 5. Besi (Fe) Hasil analisis besi (Fe) sampel air gambut (kontrol) pada saluran primer, sekunder, dan tersier sebesar 3,77 mg/L, 4,08 mg/L, dan 440 mg/L (Tabel 1,2,3). Nilai itu cukup tinggi dan tidak memenuhi Persyaratan Kualitas Air Bersih, yaitu sebesar 1,0 mg/L. Hasi] pengolahan air gambut dengan penambahan koagulan biji kelor, lempung, dan kapur dengan variasi konsentrasi mulai dari 7,5 g/L dan 10 g/L biji kelor, 1 g/L, dan 3 g/L lempung dan 1 g/L, 3 g/L, dan 5 g/I kapur (MaLiK; dan MsL2K2) pada ketiga saluran telah memenuhi Persyaratan Kualitas Air Bersih, yaitu dengan nilai 0,920 hingga 0,288 (77,5% - 3,5%) (Gambar 6). Khusus untuk saluran sekunder dan tersier, semua variasi koagulan dalam pengolahan air gambut menunjukkan nilai kurang dari batas Baku Mutu Air Bersih Golongan B. Di antara nilai-nilai itu terdapat nilai dengan penurunan terendah, yaitu sebesar 0,288 pada variasi konsentrasi M2L:K2. b. Pembahasan Warna merah kecoklatan air gambut merupakan warna alami yang mengandung partikel-partikel koloid organik bermuatan positif yang tidak dapat diendapkan secara gravitasi sehingga perlu ditambahkan gaya-gaya agar partikel itu dapat diendapkan. Penyebab utama diperkirakan adanya sebagian besar senyawa-senyawa hasil proses humifikasi (asam humat dan asam fulvat), di samping mineral Fe dan Mn. Kedua senyawa itu heterogen dalam berat molekul, kadar karboksil, kemasaman total, dan kelarutannya dalam Jarutan asam- basa. Menurut La Mer (Stumn et al., 1981) pH merupakan salah satu faktor penting yang dapat mempengaruhi proses koagulasi-flokulasi, karena pada daerah pH tertentu memungkinkan terjadinya proses- proses itu dengan baik. Hasil pengukuran pH air gambut (kontrol) pada saluran primer, sekunder, dan tersier tergolong dalam tingkat kemasaman kuat (pH antara 2,7 - 4,5). Schnitzer (Hassett dkk, 1992) menjelaskan tentang hubungan pH dengan bentuk, susunan, ukuran, dan derajat agregasi senyawa humat (asam humat dan asam fulvat), sebagai salah satu produk proses humifikasi bahan organik. 201 Rossie Wiedya N.A. et al., Pengolahan Air Gambut UamBvoy jsenuosUoy jsasEA aped umm ty (03) (90g URyeqrued “p ZEqUIED ueinBeoy eequosuoy jeouen sped waueio siy MRUsEIO ez UNURgMUe, "9 sAqWED usjndeoy (sequeavoy, jeepen sped ‘uenBeoy sanussuoy yeeyen eped ‘UeInBeoy poRAUeGUOY \soyEA BpEd URYBIO Aly UEYTUSXey UBYEqNIed “y JeqUIES) URUBIO JIV Hue URUEqrUed “f JEQUIED waunosiy Hdumpaqnied @ 4 ‘2 = saa = 1 : FAUOTOUAY. SecReSOOayEIT r—/ 4 oni |_——_——] «3 ont : ” ose 202 Teknosains, 13(2), Mei 2000 Pada PH <8, asam humat dan fulvat berbentuk serabut panjang bergelombang, sedangkan pada pH > 8, akan berubah menyerupai lembaran tipis. Menurut Tan (1991) susunan dan bentuk yang lebih kompleks dan rumit menunjukkan sifat yang lebih stabil dan tahan terhadap degradasi. Untuk menghilangkan sifat-sifat itu dapat dilakukan dengan meningkatkan pH atau menurunkan derajat kemasaman air gambut, yaitu dengan penambahan kapur dalam Jarutan. Penambahan kapur, sebagai media alkalin, dapat menyebabkan partikel koloid organik bermuatan negatif sehingga penambahan ion-ion bermuatan berlawanan (kation) dari koagulan biji kelor, berfungsi sebagai kation polielektrolit asam glutamin dan arginin Jahn, 1986), dan lempung, bersifat sebagai pembentuk inti flok, pemberat dan pengeruh, akan menimbulkan destabilisasi partikel koloid tersebut. Partikel-partikel yang tidak stabil cenderung untuk menggumpal dikarenakan adanya jembatan antara partikel yang menyebabkan interaksi kimia membentuk senyawa kompleks, sehingga terjadi tumbukan antara partikel dan penggabungan dengan membentuk gumpalan yang dapat diendapkan. Proses yang terjadi itu merupakan proses koagulasi-flokulasi. Menurut Schulze-Hardy (Hammer, 1986), koagulasi disebabkan oleh ion-ion yang mempunyai muatan berlawanan dengan muatan partikel koloid yang akan menimbulkan destabilisasi atau partikel tidak stabil. Tjokrokusumo (1998) menyatakan partikel yang tidak stabil diakibatkan ofeh ketidakseimbangan gaya tolak-menolak dan tarik-menarik pada permukaan partikel. Penambahan koagulan (kation-kation) dalam proses pengolahan air gambut, meningkatkan gaya tarik-menarik (van der Waals) dan dapat menyebabkan terjadinya penurunan ketebalan lapisan rangkap atau pemampatan pada permukaan partikel, sehingga partikel itu cenderung untuk teradsorpsi. Penjelasan-penjelasan di atas, dapat secara jelas memberikan gambaran bahwa pengolahan air gambut dengan pemberian koagulan biji_kelor, lempung, dan kapur, terjadi proses koagulasi-flokulasi melalui proses destabilisasi dan adsorpsi pada partikel koloid organik, sehingga terjadi perubahan, yakni pengurangan atau penurunan derajat kernasaman, warna, kekeruhan, zat organik, dan’ besi. Efisiensi penurunan sebesar 81,4% hingga 95,1%, yaitu pada konsentrasi 7,5 g/L biji kelor, 1 g/L lempung, dan 3 g/L kapur (MeLiK2) dan 7,5 g/L biji kelor, 1 g/L lempung, dan 5 g/L kapur (MeL:Kz). Namun, untuk zat organik, penurunan yang terjadi belum —— 7 Rossie Wiedya N.A. et al., Pengolahan Air Gambut 203 sesuai dengan kadar yang disyaratkan, yaitu 10.mg/L KMnO,, Meskipun demikian untuk konsumsi rumah tangga sehari-hari, air olahan itu dapat tetap dimanfaatkan. Penurunan kadar zat organik yang belum memenuhi standar persyaratan, dimungkinkan oleh karakteristik bahan organik air gambut yang tersusun atas 50% senyawa humat, yaitu asam humat 7,2%-54,6% dan asam fulvat 2,9%-35,8%. Perbedaan kedua senyawa itu, antara lain berat molekul dan komposisi struktur. Tan (1991) menyatakan bahwa ukuran molekul organik mempengaruhi laju jerapan dan gaya tarik-menarik, sehingga asam fulvat dengan berat molekul lebih kecil dari asam humat akan didominasi oleh gaya tolak- menolak yang dapat mengurangi kemampuan untuk saling mendekati atau teradsorpsi oleh partikel. Menurut Stevenson (1982) asam fulvat dengan kandungan karboksil besar mengandung inti aromatik kurang padat. Karakteristik asam fulvat itu dapat membentuk struktur polimer yang stabil, sedangkan asarn humat relatif tidak stabil. Pengolahan air gambut menjadi air bersih merupakan salah satu upaya pengelolaan sumber air yang efektif, efisien, dan ekonomis mulai dari pemanfaatan hingga pengembangan sumber air melalui teknologi bersih dengan koagulan alami dan koagulan tambahan. Hasil yang diharapkan dari uji coba ini dapat memberikan masukan dan rekomendasi bagi pengembangan instalasi pengolahan air bersih tipe individual, sehingga kebutuhan air bersih bagi masyarakat Kota Pontianak dan sekitarnya dapat terpenuhi. KESIMPULAN DAN SARAN Pengolahan air gambut dengan perlakuan koagulan biji kelor, lempung, dan kapur dapat menghasilkan air bersih sehingga kebutuhan air bersih bagi masyarakat Kota Pontianak dan sekitarnya dapat terpenuhi. Koagulan sebanyak 7,5 g/L biji kelor, 1 g/L lempung, dan 3 g/L kapur dan 7,5 g/L biji kelor, 1 g/L lempung, dan 5 g/L kapur dapat menurunkan derajat kemasaman, warna, kekeruhan, dan kadar besi, sedangkan penurunan kadar zat organik (mg/L KMnOy) belum sesuai dengan Baku Mutu Air Golongan B. Saran yang disampaikan ialah agar dilakukan penelitian lebih lanjut tentang bahan koagulan lain untuk menurunkan kadar zat organik sesuai dengan persyaratan, dan penggunaan kaporit agar air olahan dapat dimanfaatkan dalam jangka waktu cukup lama (lebih dari lima hari). 204 Teknosains, 13(2), Mei 2000 DAFTAR PUSTAKA Hammer, Mark.J. 1986. Water dan Wastewater Technology. John Wiley and Sons. New York. Hassett, J.J. and Wayne, L. Banwart. 1992. Soils and Their Environment. Prentice Hall Englewood Cliffs. New Jersey. Jahn, Samia Al Azharia. 1986. Proper Use of African Natural Coagulant for Rural Water Supplies (Research in The Sudan and A Guide for New Projects). Deutsche Gesellschaft fur Technische Zusammenarbiet (GTZ) GmbH. Federal Republic of Germany. Notodarmojo, Supriharto. dan Bambang W. 1994. Pengolahan Air Berwarna dalam Skala Laboratorium. Jurnal Teknik Lingkungan Vol. 1 No, 3. Jurusan teknik Lingkungan ITB. Bandung. Stevenson, FJ. 1982. Humus Chemistry : Genesis, Composition, Reactions. John Wiley & Sons Inc. New York. Stumn, W. and JJ. Morgan. 1981. Aquatic Chemistry. John Wiley and Sons. New York. Tan, Kim. H. 1991. Dasar-dasar Kimia Tanah. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta (terjemahan). Tjokrokusomo. 1998. Pengantar Enjiniring Lingkungan. Sekolah tinggi Teknik Lingkungan “YLH”. Yogyakarta.

You might also like