Professional Documents
Culture Documents
Nder Pend Oks PDF
Nder Pend Oks PDF
*)Drs.H.Wr.
Pendahuluan 1
1Saya mengucapkan terima kasih kepada Dra. Suswandari, M.Pd., Dosen di Program Studi
Pendidikan Sejarah FKIP UHAMKA Jakarta, yang telah memberi inspirasi dan membantu saya
untuk menuliskan topik ini. Walaupun begitu, seluruh isi dan interpretasi dalam tulisan ini
menjadi tanggung jawab akademik saya sendiri.
48
HISTORIA:
Journal of Historical Studies, VIII, 1 (June 2007)
sejarah kekuasaan yang dimiliki oleh orang atau sekelompok orang. Oleh
karena itu perwujudan HAM mempunyai korelasi yang positif dengan sistem
kekuasaan yang ada sepanjang sejarah umat manusia. Sementara itu, dalam
konteks pembelajaran, kekuasaan ada di tangan guru, yang perlu dikaji
ulang sesuai dengan perkembangan dan tuntutan zaman.
Lahirnya dokumen HAM sebagai dokumen resmi penegakkan hak-hak
dasar umat manusia ditandai dengan terbitnya Piagam Magna Charta
tahun 1215 di Inggris yang membatasi kekuasaan raja (Kohn, 1985:37).
Piagam Magna Carta berkembang pada abad berikutnya, yaitu abad XVII
setelah terjadinya Glorious Revolution dan langsung menjamin secara jelas
ketentuan perlindungan hak-hak individu dengan adanya dokumen Bill of
Right (tahun 1689). Selanjutnya disusul dengan keluarnya Declaration of
Independence tahun 1776 di Amerika Serikat yang pada intinya melindungi
hak-hak individu dari tekanan Inggris sebagai negara kolonialnya.
Dokumnen Declaration of Independence diilhami oleh The Virginia
Declaration of Rights, suatu dokumen teori kontrak sosial yang mengubah
figur sentral di tangan raja, diubah menjadi rakyat sebagai figur sentralnya.
Dengan kata lain, dengan dokumen tersebut menggambarkan adanya
perubahan dari paradigma kekuasaan raja otoritarian menjadi paradigma
nilai demokrasi liberal. Tidak lama kemudian muncul Declaration I Home
et du Citoyen tahun 1789 sebagai hasil Revolusi Perancis yang menjamin
persamaan kedudukan hukum bagi warga Perancis. Salah satu hasil positif
dari Revolusi Perancis 1789 ini adalah terjadinya lonjakan paradigmatis dari
absolutisme negara ke nasionalisme kerakyatan.
Revolusi Amerika tahun 1776 dan Revolusi Perancis tahun 1789 tersebut
merambat ke berbagai negara dengan tuntutan adanya jaminan hak asasi
dalam formulasi tertulis di dalam konstitusi negara pada abad itu.
Selanjutnya pada abad XIX konstitusi negara mulai diberlakukan di Swedia
(1809), Spanyol (1812), Norwegia (1814), Belgia (1831), Liberia (1847),
Sardinia (1848), dan Denmark (1848) (Alkostar, 1999:23). Selanjutnya pada
abad XX Meksiko (1917) memformulasikan jaminan hak asasi, dilanjutkan
dengan Rusia (1918) mencantumkan hak-hak komunal rakyat, hanya saja
Rusia tidak menyinggung hak-hak individu.
Berakhirnya Perang Dunia II, berikut dampak yang menyertainya, telah
mengilhami warga dunia untuk lebih tegas dalam upaya perlindungan
terhadap hak dasar setiap manusia. Terbitlah Universal Declaration of
Human Rights tahun 1948, dan oleh PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa)
dinyatakan sebagai jaminan terhadap adanya keseriusan untuk
perlindungan terhadap hak-hak dasar manusia. Dokumen Universal
Declaration of Human Rights tahun 1948 dikatakan sebagai generasi
pertama jaminan terhadap hak asasi. Sedangkan generasi kedua
menyangkut hak-hak sipil dan politik, sosial, ekonomi, dan budaya terbit
pada tahun 19661976. Dilanjutkan dengan generasi ketiga yang
mencermati tentang hak untuk pembangunan. Secara spesifik konvensi PBB
50
HISTORIA:
Journal of Historical Studies, VIII, 1 (June 2007)
51
Tahun 1988. Protokol San Salvador terhadap Konvensi Amerika tentang HAM:
menyebutkan bahwa negara mengakui hak atas pendidikan-pendidikan hendaknya
dapat diakses oleh semua pihak tanpa biaya.
Tahun 1989. Konvensi tentang hak anak menyebutkan pengakuan terhadap hak
anak atas dasar kesempatan yang sama bagi semua.
Tahun 1990. Perjanjian mengenai hak-hak dan kesejahteraan dari anak Afrika
menjelaskan pemberian pendidikan dasar tanpa biaya dan wajib bagi semua
(Tomasevski, 2005:19-20).
HISTORIA:
Journal of Historical Studies, VIII, 1 (June 2007)
Gambar 4
Sumber: Tim PLKJ Kelas III SD (2002:109)
54
HISTORIA:
Journal of Historical Studies, VIII, 1 (June 2007)
Gambar 5
Sumber: Ivy Hoh & Yl Yoong (2003:22)
Gambar 6
Sumber: Tim PLKJ Kelas VI SD (2002:44)
55
Secara leksikal, nilai diartikan sebagai hal-hal yang penting dan berguna
bagi kemanusiaan (Kamus Umum Bahasa Indonesia, 1996:470).
Keterkaitannya dengan kehidupan manusia akan lahir apa yang disebut
dengan nilai budaya. Nilai budaya dalam konteks ini diartikan sebagai
konsep abstrak mengenai masalah dasar yang sangat penting dan bernilai
bagi kehidupan manusia. Berbicara tentang nilai, hampir selalu dikaitkan
dengan etika. Etika berasal dari kata Yunani, athos, yang berarti dapat,
watak, akhlak, perasaan, sikap dan cara berpikir dari bentuk jamak ta etha.
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (1996:271), kata etika merupakan
turunan dari kata etik yang berarti kumpulan nilai yang berkenaan dengan
56
HISTORIA:
Journal of Historical Studies, VIII, 1 (June 2007)
akhlak, dan nilai mengenai benar dan salah yang dianut oleh suatu golongan
atau masyarakat. Kemudian lahir isitilah etika yang berarti sebagai ilmu
tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban
moral.
Memperhatikan pengertian-pengertian di atas, nilai dan etika dipandang
sebagai sesuatu yang positif dan dijadikan sebagai pedoman dan kehidupan
manusia dalam masyarakatnya. Dengan demikian, pada hakikatnya tingkahlaku manusia tidak akan mempunyai kebebasan penuh, karena ada ikatan
nilai dan etika sebagai pengarah dan petunjuk dalam mencari
kebermaknaan hidup. Semua petunjuk tersebut merupakan tataran dasar
yang sekaligus menyiratkan suatu etika moral positif bagi masyarakatnya.
Mengenai nilai ini, Mudji Sutrisno (1998) dalam salah satu tulisannya
menjelaskan bahwa:
[] nilai dimaksudkan sebagai yang dipandang berharga hingga layak digenggam
menjadi acuan-acuan. Mulai dari yang fisik kulit hingga yang inti. Mulai dari yang
instrumental sampai yang bernilai sebagai tujuan. Nilai adalah sesuatu yang positif,
dihargai, dipelihara, diagungkan, dihormati, dan membuat orang gembira.
Dari uraian di atas dapat diambil suatu benang merah bahwa nilai
merupakan acuan tertulis atau tidak tertulis dalam setiap perbuatan ataupun
tingkah-laku manusia sebagai anggota masyarakat. Keterkaitannya dengan
masyarakat internasional, maka muncullah nilai-nilai universal yang
dipedomani bersama untuk memperoleh hidup bersama dalam damai dan
harmoni dan saling menghormati (UNESCO-APNIEVE, 2000:20)
Jacques Delors memberikan pengertian mendalam tentang pendidikan
pada abad ke-21. Disebutkan bahwa di abad ke-21, setiap orang haruslah
dilengkapi untuk memperebutkan kesempatan-kesempatan belajar
sepanjang hayat, baik untuk memperluas pengetahuan maupun
keterampilan, dan setiap setiap orang harus mampu untuk menyesuaikan
diri dengan dunia yang sedang berubah. Belajar hidup bersama yang
menekankan pada kemampuan berperan-serta dan bekerjasama dengan
orang lain pada semua kegiatan manusia menjadi salah satu inti dari empat
sendi pendidikan yang dikemukakan oleh Jacques Delors (UNESCOAPNIEVE, 2000:20). Kesemuanya dilakukan tanpa membedakan jenis
kelamin, laki-laki atau perempuan. Perempuan adalah bagian dari manusia
yang mempunyai hak sama.
Nilai-nilai universal yang berkaitan dengan persoalan HAM dan
hendaknya dikembangkan melalui proses pendidikan mencakup persoalan:
kebenaran, kesamaan dan keadilan, penghormatan pada martabat manusia,
integritas, kejujuran, penghargaan kebhinekaan, kebebasan dan tanggung
jawab, serta kerjasama. Semua hal tersebut dikembangkan pada proses dan
sistem pendidikan tanpa membedakan jenis kelamin. Salah satu agenda
besar dalam perkembangan dunai abad ke-21 ini, World Commission on the
Social Dimension of Globalization (2004) menekankan pada gender
57
58
HISTORIA:
Journal of Historical Studies, VIII, 1 (June 2007)
Penutup
Berbagai uraian di atas menegaskan bahwa adanya kecenderungan
budaya patriarkhi yang membedakan peran berdasarkan jenis kelamin lakilaki dan perempuan bertentangan dengan nilai-nilai HAM yang terus
diperjuangkan. Laki-laki dan perempuan memang berbeda. Namun
demikian tidak untuk dibeda-bedakan. Education for all diperuntukkan bagi
laki-laki dan perempuan tanpa kecuali seiring dengan berbagai deklarasi dan
konvensi HAM di dunia. Oleh sebab itu penyelenggaraan pendidikan yang
masih menggambarkan bias gender hendaknya tidak dilanjutkan, baik
melalui bahan ajar maupun cara guru mengajar, termasuk dari para guru
dalam memberikan tugas kepada para siswa. Dalam hal ini termasuk para
orang tua di dalam memberikan prioritas untuk memberikan kesempatan
pendidikan bagi anak-anaknya perlu melakukan upaya kesetaraan gender.
Memang pada keluarga miskin, anak perempuan rawan terhadap sub
ordinasi peran sosial karena tidak dipahaminya hal-hal yang seharusnya
untuk anak-anak, baik laki-laki ataupun perempuan. Akhirnya bahwa
penyelenggaraan pendidikan yang memperhatikan kebutuhan dan
pemberian kesempatan yang sama kepada anak laki-laki dan perempuan
merupakan wujud dari universalisasi HAM.
60
HISTORIA:
Journal of Historical Studies, VIII, 1 (June 2007)
DAFTAR PUSTAKA
Alkostar, Artijo. (1999). Prospek HAM Abad XXI dalam Jurnal Media Inovasi, No.1, Th.IX.
Yogyakarta: Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Azkiyah, Nurul. (2002). Perempuan dalam Pendidikan. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.
Bhagwati, Jagdish. (2004). In Defense of Globalization. New York: Oxford University Press.
Bosherup, Ester. (1984). Peranan Wanita dalam Perkembangan Ekonomi. Terjemahan.
Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.
Combs, Philip H.. (1985). The World Crisis in Education: The View from the Eighties. New
York: Oxford University Press.
Depdiknas [Departemen Pendidikan Nasional]. (2004). Position Paper Pengarusutamaan
Gender Bidang Pendidikan. Jakarta: Depdiknas RI.
Harrison, Lawrence H. & Samuel P. Huntington. (2000). Culture Matters: How Values Shapes
Human Progress. New Yotk: Basic Books.
Helen, Tierney ed.. (t.t.). Womens Studies Encyclopedia, Vol.1. New York: Green Word Press.
Kamus Umum Bahasa Indonesia. (1996). Jakarta: Gramedia
Kementerian Pemberdayaan Perempuan. (2001). Panduan Penyelenggaraan Pelatihan
Pengarusutamaan Gender Bidang Kesehatan Reproduksi. Jakarta: Kementerian
Pemberdayaan Perempuan.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan. (2003). Bahan Pembelajaran Analisis Gender.
Jakarta: Kementerian Pemberdayaan Perempuan.
Marbun, B.N.. (1996). Kamus Politik. Jakarta: Sinar Harapan.
Muthaliin, Ahmad. (2002). Bias Gender dalam Pendidikan. Surakarta: Universitas
Muhammadiyah Surakarta.
Nusantara, Abdul Hakim Garuda. (1998). Rekonsiliasi dalam Perspektif HAM dalam
suratkabar Kompas. Jakarta: 10 Desember.
Rajab, Budi. (2002). Pendidikan Sekolah dan Perubahan Kedudukan Perempuan. Jakarta:
Yayasan Jurnal Perempuan.
Saraswati, Luh Ayu. (2000). Kekerasan Negara, Perempuan dan Refleksi Negara Patriarkhi
dalam Nur Iman Subono [ed.]. Negara dan Kekerasan Terhadap Perempuan. Jakarta:
Yayasan Jurnal Perempuan.
Sills, David L.. (1968). Internationale Encyclopedia of Social Studies, Vol.6. New York: The
Macmillan Company.
Simler, Vicki J.. (2001). Rights of Women: A Guide to the Most Important dalam Embun [ed.].
Hak Asasi Perempuan: Sebuah Panduan pada Konvensi Utama PBB tentang Hak Asasi
Perempuan. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.
Suryama, R.B.. (1998). Agenda Strategis Pendidikan Nasional Indonesia. Makalah dalam
Dialog Nasional Pendidikan di IKIP Karangmalang Yogyakarta.
Suswandari et al.. (2004). Bias Gender dalam Pembelajaran di Sekolah. Hasil Penelitian
Tidak Diterbitkan. Jakarta: Pusat Studi Wanita UHAMKA.
Sutrisno, Mudji. (1998). Tantangan Kebudayaan dalam majalah Tiras, No.6, Th.III. Jakarta:
16 Maret.
Tomasevski, Katarina. (2005). Adaptasi Pendidikan Berbasis Hak Asasi Manusia Versi
Indonesia. Jakarta: Dirjen Peningkatan Mutu Pendidikan dan Tenaga Kependidikan
kerjasama dengan UNESCO.
Umar, Nasarudin. (1999). Argumentasi Kesetaraan Gender: Perspektif Al-Quran. Jakarta:
Yayasan Wakaf Paramadina.
UNESCO. (1994). Learning: The Treasure Within. Bangkok, Thailand: Report to UNESCO of
Internationale Commision on Education for the Twenty-First Century.
UNESCO-APNIEVE. (2000). Learning to Live Together in Peace and Harmony dalam W.P.
Napitupulu [ed.]. Belajar untuk Hidup Bersama dalam Damai dan Harmoni. Bandung:
Universitas Pendidikan Indonesia.
61
62