Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 16

PENDIDIKAN BERPERSPEKTIF

GENDER DI INDONESIA: MENUJU


UNIVERSALISASI NILAI-NILAI HAK
AZASI MANUSIA
Wr. Hendra Saputra *)
ABSTRACT
This paper tries to explore how Indonesian education system deals with justice
and equality between male and female as further enhancement of human rights
universalization process. In the process of Indonesian education system, especially
from Elementary School to Secondary School, gender bias is quite intense placing
female to take domestic roles, with the male taking public ones. In school textbooks,
the gender bias is strictly emphasized, saying, for example, that girls work at home
while boys in the yards. This situation, realized or not, reflects that in a society
supporting patriarchal, the position and roles of female in education system
which should actually have liberated and dignified still at the subordinate position
under the hegemony of male power. The present paper analyzes and provides
solution of how to develop education with gender perspective, education which does
not differ gender, and becomes the needs of one of the human right universalization
actualization. As a country endorsing the recognition and valuation of Human
Rights Declaration in the world, Indonesia should have implemented democratic,
liberated, and dignified education for the whole people in the country. In this
context, even though biologically male and female are different, the differences
should not be differentiated in all aspects of life, including education.
Key words: gender bias, education in Indonesia, human rights
universalization, education with gender equality perspective.

*)Drs.H.Wr.

[Warrow] Hendra Saputra, M.Hum. adalah Dosen dan sekarang menjabat


sebagai Dekan di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Muhammadiyah
HAMKA (UHAMKA) Jakarta. Lahir di Majalengka, Jawa Barat, pada tanggal 7 Agustus 1954.
Menyelesaikan pendidikan Sarjana (Drs.) di Jurusan Pendidikan Sejarah FKIP IKIP
Muhammadiyah Jakarta pada tahun 1984; dan pendidikan S2 (M.Hum.) di Program Studi Ilmu
Sejarah Pascasarjana UI (Universitas Indonesia) Jakarta pada tahun 1997, dengan menulis
Tesis tentang PDRI (Pemerintahan Darurat Republik Indonesia) pada Masa Revolusi: Antara
Harapan dan Kenyataan. Aktif dalam berbagai kegiatan organisasi, terutama di Ikatan
Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) dan Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah di Jakarta;
serta menulis beberapa buku, diantaranya adalah Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial
(Jakarta: UHAMKA Press, 2006). Untuk kepentingan akademis, penulis dapat dihubungi
dengan alamat kantor: Program Studi Pendidikan Sejarah FKIP UHAMKA, Jalan Tanah
Merdeka, Pasar Rebo, Jakarta Timur. Tlp.(021) 8400341.

Wr. HENDRA SAPUTRA,


Pendidikan Berspektif Gender di Indonesia

Pendahuluan 1

Pendidikan berperspektif gender merupakan wacana baru dalam sistem


pendidikan di Indonesia. Kata atau istilah gender berasal dari bahasa
Inggris yang berarti jenis kelamin. Dalam Websters New World Dictionary,
gender diartikan sebagai perbedaan yang tampak antara laki-laki dan
perempuan dilihat dari sisi tingkah laku (Umar, 1999:12). Selanjutnya dalam
Womens Studies Encyclopedia, gender adalah konsep kultural yang
membuat pembedaan dalam hal peran, perilaku, mentalitas dan karakter
emosional laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat
(Helen ed., t.t.:153). Secara tidak disadari, pemahaman gender
sebagaimana disebutkan di atas mempunyai pengaruh kuat pada
masyarakat, dalam konteks ini berkaitan dengan pengambilan keputusan
dalam keluarga untuk pendidikan bagi anak-anaknya. Tidak sedikit keluarga
mengutamakan laki-laki untuk memperoleh pendidikan yang lebih baik.
Demikian pula cukup banyak jumlah guru yang mempercayai laki-laki
sebagai ketua kelas, komandan upacara, pemimpin kelompok, ketua panitia
dan lain-lain. Sementara siswa perempuan diposisikan pada peran-peran
domestik di kelas atau peran nomor dua dalam organisasi.
Sementara itu UUD (Undang-Undang Dasar) tahun 1945
mengamanatkan pemerintah untuk mengusahakan dan menyelenggarakan
sistem pendidikan nasional yang mampu menjamin kesempatan sama
antara laki-laki dan perempuan (Depdiknas, 2004:1). Hasilnya dapat
dikatakan bahwa pembangunan pendidikan yang dilaksanakan telah
meningkatkan pemerataan kesempatan belajar bagi penduduk laki-laki dan
perempuan pada jenjang dan bidang tertentu. Di samping itu ditunjukkan
pula dengan semakin menurunnya angka buta huruf dan meningkatnya
angka melek huruf sebagai indikator keberhasilan pembangunan. Hal ini
seiring dengan hasil konvensi internasional mengenai universal education
atau education for all di Jomtien, Thailand tahun 1990 (Suryama, 1998:4).
Inti deklarasi pendidikan untuk semua tertuang dalam komitmen setiap
pemerintah untuk memenuhi basic learning needs, yang mencakup learning
tools dan learning contens. Dengan demikian orang yang telah mengikuti
proses belajar, baik laki-laki dan perempuan, diharapkan dapat: (1) bertahan
dalam kehidupannya; (2) mengembangkan kapasitasnya; (3) hidup dan
bekerja secara terhormat; (4) berpartisipasi dalam pembangunan; (5)
memperbaiki mutu kehidupan; (6) mengambil keputusan yang berbasis ilmu
pengetahuan; dan (7) terus-menerus melanjutkan belajarnya. Kesemua hal
tersebut merupakan pencerminan dari sejumlah hak dasar setiap warga
negara yang disebut dengan hak asasi manusia.

1Saya mengucapkan terima kasih kepada Dra. Suswandari, M.Pd., Dosen di Program Studi
Pendidikan Sejarah FKIP UHAMKA Jakarta, yang telah memberi inspirasi dan membantu saya
untuk menuliskan topik ini. Walaupun begitu, seluruh isi dan interpretasi dalam tulisan ini
menjadi tanggung jawab akademik saya sendiri.

48

HISTORIA:
Journal of Historical Studies, VIII, 1 (June 2007)

Meskipun demikian, pengembangan sistem pendidikan di Indonesia


belum seutuhnya mampu memenuhi harapan-harapan tersebut. Tidak
sedikit hambatan ditemukan sehingga mengganggu proses pendidikan ideal
yang diimpikan, terutama proses pendidikan yang menggambarkan
kesetaraan dan keadilan bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh
akses pendidikan yang tidak berat sebelah. Proses pembelajaran pun masih
menunjukkan ketimpangan yang berarti bagi upaya penyadaran kesetaraan
dan keseimbangan laki-laki dan perempuan dalam peran-peran sosialnya.
Sehubungan dengan hal tersebut, tulisan ini mencoba untuk mengupas
bagaimana sistem pendidikan di Indonesia kaitannya dengan keadilan dan
kesetaraan laki-laki dan perempuan, sebagai perpanjangan tangan dari
proses universalisasi hak asasi manusia. Sekedar untuk memperjelas, tulisan
ini akan dimulai dengan membahas: (1) Hak Asasi Manusia dalam perspektif
sejarah; (2) Bias gender dalam proses pembelajaran di sekolah dasar; (3)
Mengupayakan pendidikan berperspektif gender menuju universalisasi nilainilai hak asasi manusia; serta (4) Penutup.

Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Sejarah


Hak Asasi Manusia (selanjutnya disingkat HAM) adalah hak yang
dimiliki oleh manusia karena kelahirannya, bukan karena diberikan oleh
masyarakat atau negara. HAM tersebut tidak dapat dihilangkan atau
dinyatakan tidak berlaku oleh negara (Marbun, 1996:231). Adapun yang
termasuk HAM meliputi antara lain: hak atas hidup, hak atas kemerdekaan,
hak atas milik pribadi, hak atas keamanan, hak melakukan perlawanan
terhadap penindasan, serta hak untuk mencapai kebahagiaan. Hak-hak
seperti yang telah tersebut merupakan hak yang dimiliki oleh setiap manusia
tanpa membedakan jenis kelamin dan harus mendapatkan perlindungan.
Dalam pandangan David L. Sills (1968:540) disebutkan bahwa perlindungan
terhadap HAM sudah dimulai sejah zaman Raja Hammurabbi dari
Babylonia sekitar tahun 2131-2080 SM yang disebut dengan The Code of the
Babylonian King Hammurabbi.
Akhir-akhir ini, dalam berbagai media massa sering dimunculkan
berbagai kasus yang berkaitan dengan HAM, baik yang berbentuk
pelanggaran maupun dalam bentuk tuntutan perlindungan. Dapat
dicontohkan, adanya kasus penahanan individu secara sewenang-wenang,
penyiksaan, pembunuhan massal, dan penghilangan paksa, serta
pemerkosaan. Kesemuanya itu tidak saja telah menyebabkan ribuan nyawa
hilang, namun juga penderita yang hebat. Di samping itu, ada bentuk
pelanggaran HAM yang disebut dengan penindasan hak-hak politik dan
diskriminasi dalam penegakkan hukum (Nusantara, 1998:7).
Kehidupan sosial manusia tidak dapat terlepas dari tarik-menarik
tentang HAM dengan struktur kekuasaan yang melingkupinya. Dalam
pandangan Abdul Hakim Garuda Nusantara (1998:7) dijelaskan bahwa []
konsep hak asasi manusia dan aktualisasinya tidak bisa dilepaskan dari
49

Wr. HENDRA SAPUTRA,


Pendidikan Berspektif Gender di Indonesia

sejarah kekuasaan yang dimiliki oleh orang atau sekelompok orang. Oleh
karena itu perwujudan HAM mempunyai korelasi yang positif dengan sistem
kekuasaan yang ada sepanjang sejarah umat manusia. Sementara itu, dalam
konteks pembelajaran, kekuasaan ada di tangan guru, yang perlu dikaji
ulang sesuai dengan perkembangan dan tuntutan zaman.
Lahirnya dokumen HAM sebagai dokumen resmi penegakkan hak-hak
dasar umat manusia ditandai dengan terbitnya Piagam Magna Charta
tahun 1215 di Inggris yang membatasi kekuasaan raja (Kohn, 1985:37).
Piagam Magna Carta berkembang pada abad berikutnya, yaitu abad XVII
setelah terjadinya Glorious Revolution dan langsung menjamin secara jelas
ketentuan perlindungan hak-hak individu dengan adanya dokumen Bill of
Right (tahun 1689). Selanjutnya disusul dengan keluarnya Declaration of
Independence tahun 1776 di Amerika Serikat yang pada intinya melindungi
hak-hak individu dari tekanan Inggris sebagai negara kolonialnya.
Dokumnen Declaration of Independence diilhami oleh The Virginia
Declaration of Rights, suatu dokumen teori kontrak sosial yang mengubah
figur sentral di tangan raja, diubah menjadi rakyat sebagai figur sentralnya.
Dengan kata lain, dengan dokumen tersebut menggambarkan adanya
perubahan dari paradigma kekuasaan raja otoritarian menjadi paradigma
nilai demokrasi liberal. Tidak lama kemudian muncul Declaration I Home
et du Citoyen tahun 1789 sebagai hasil Revolusi Perancis yang menjamin
persamaan kedudukan hukum bagi warga Perancis. Salah satu hasil positif
dari Revolusi Perancis 1789 ini adalah terjadinya lonjakan paradigmatis dari
absolutisme negara ke nasionalisme kerakyatan.
Revolusi Amerika tahun 1776 dan Revolusi Perancis tahun 1789 tersebut
merambat ke berbagai negara dengan tuntutan adanya jaminan hak asasi
dalam formulasi tertulis di dalam konstitusi negara pada abad itu.
Selanjutnya pada abad XIX konstitusi negara mulai diberlakukan di Swedia
(1809), Spanyol (1812), Norwegia (1814), Belgia (1831), Liberia (1847),
Sardinia (1848), dan Denmark (1848) (Alkostar, 1999:23). Selanjutnya pada
abad XX Meksiko (1917) memformulasikan jaminan hak asasi, dilanjutkan
dengan Rusia (1918) mencantumkan hak-hak komunal rakyat, hanya saja
Rusia tidak menyinggung hak-hak individu.
Berakhirnya Perang Dunia II, berikut dampak yang menyertainya, telah
mengilhami warga dunia untuk lebih tegas dalam upaya perlindungan
terhadap hak dasar setiap manusia. Terbitlah Universal Declaration of
Human Rights tahun 1948, dan oleh PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa)
dinyatakan sebagai jaminan terhadap adanya keseriusan untuk
perlindungan terhadap hak-hak dasar manusia. Dokumen Universal
Declaration of Human Rights tahun 1948 dikatakan sebagai generasi
pertama jaminan terhadap hak asasi. Sedangkan generasi kedua
menyangkut hak-hak sipil dan politik, sosial, ekonomi, dan budaya terbit
pada tahun 19661976. Dilanjutkan dengan generasi ketiga yang
mencermati tentang hak untuk pembangunan. Secara spesifik konvensi PBB
50

HISTORIA:
Journal of Historical Studies, VIII, 1 (June 2007)

tentang HAM ada yang berkaitan dengan persoalan genosida tahun


1948/1951, diskriminasi rasial tahun 1965/1968, diskriminasi seksual
1979/1981, penyiksaan tahun 1984/1987, dan tentang anak-anak tahun
1989/1990.
Wacana tentang pemikiran HAM di era pos-modernisme ini terus
berkembang sesuai dengan filosofi yang melatarbelakanginya, budaya serta
realitas sosial-ekonomi negara nasional maupun kelompok regional seperti
Eropa, Amerika dan Afrika. Abdur Rahman Shad dalam bukunya, The
Rights of Allah and Human Rights (dalam Alkostar, 1999:24) menyodorkan
konsep HAM yang merujuk pada konsep Islam. Dalam Islam sumbu utama
yang dapat menggerakkan mekanisme sosial-politik yang adil dan terarah
secara manusiawi tertuang dalam spirit amar maruf nahi munkar,
persamaan dan toleransi.
Adanya hubungan korelasional antara krisis HAM dan munculnya
dokumen-dokumen resmi hak asasi. Hal ini menunjukkan terdapatnya suatu
kehendak agar ada jaminan terhadap pelanggagaran dan krisis hak asasi
tidak terulang kembali. Dengan kata lain, berbagai dokumen tersebut
menuntut tegaknya norma, moral dan hukum yang melindungi HAM.

Pengarusutamaan HAM dalam Perspektif Pendidikan

Pengarusutamaan HAM mengharuskan hak-hak manusia melalui


praktek pendidikan pada semua jenjang dari tingkat global hingga lokal
(Tomasevski, 2005:1). Perjanjian internasional tentang HAM, menjadi tolok
ukur dalam upaya mencapai tujuan pendidikan untuk semua (PUS) atau
education for all, mencakup upaya untuk menghapus diskriminasi manusia
dalam pendidikan, diskriminasi sosial dan menghapus diskriminasi
terhadap perempuan. Ketiga hal ini, dalam perspektif HAM diupayakan
untuk menghapuskan seluruh kesenjangan yang diawali oleh persoalan
gender yang ada.
Universalisasi pendidikan dilakukan untuk menjamin upaya peningkatan
kualitas sumber daya manusia. Oleh sebab itu, dalam forum internasional
khususnya yang berkaitan dengan konsep HAM, pendidikan menjadi
prioritas penting. Sehingga secara runtut beberapa isi deklarasi HAM yang
berkaitan dengan persoalan pendidikan dapat diungkap sebagai berikut:
Tahun 1948. Deklarasi universal HAM menyebut: pendidikan harus tanpa biaya,
pendidikan dasar wajib.
Tahun 1952. Konvensi Eropa tentang HAM. Protokol 1 (1952) menyebut: tidak ada
seorang pun yang boleh diabaikan dari hak atas pendidikan.
Tahun 1960. Konvensi UNESCO tentang penentangan diskriminasi dalam
pendidikan menjelaskan negara peserta konvensi akan merumuskan pengembangan,
menerapkan kebijakan nasional [] cenderung mempromosikan kesamaan
kesempatan dan perlakuan memperoleh pendidikan.
Tahun 1966. Konvensi internasional tentang hak ekonomi, sosial, budaya
menyelaskan pendidikan dasar menjadi wajib dan harus tersedia untuk semua.

51

Wr. HENDRA SAPUTRA,


Pendidikan Berspektif Gender di Indonesia

Tahun 1988. Protokol San Salvador terhadap Konvensi Amerika tentang HAM:
menyebutkan bahwa negara mengakui hak atas pendidikan-pendidikan hendaknya
dapat diakses oleh semua pihak tanpa biaya.
Tahun 1989. Konvensi tentang hak anak menyebutkan pengakuan terhadap hak
anak atas dasar kesempatan yang sama bagi semua.
Tahun 1990. Perjanjian mengenai hak-hak dan kesejahteraan dari anak Afrika
menjelaskan pemberian pendidikan dasar tanpa biaya dan wajib bagi semua
(Tomasevski, 2005:19-20).

Beberapa deklarasi dan konvensi di atas mempertegas pernyataan bahwa


pendidikan adalah bagian dari HAM tanpa membedakan jenis kelamin.
Keterkaitannya dengan hak-hak perempuan, selama ini masih terdapat
banyak kendala bagi perempuan untuk memperoleh akses pendidikan yang
lebih baik. Budaya patriarkhis masih menguasai konsep pengambilan
keputusan pada keluarga-keluarga yang mempunyai anak perempuan untuk
melanjutkan sekolah atau tidak (Saraswati, 2000:19). Khususnya pada
masyarakat yang memiliki keterbatasan ekonomi.
Konferensi HAM tingkat dunia di Wina tahun 1993 menjelaskan hak
perempuan adalah hak asasi manusia (Simler, 2001:14-15), termasuk di
dalamnya persoalan memperoleh akses pendidikan. Diskriminasi terhadap
perempuan adalah sesuatu yang dilarang. Persoalan hak asasi perempuan
dipertegas dalam konverensi internasional perempuan di Beijing tahun
1994.

Bias Gender dalam Proses Pembelajaran


Ahmad Muthaliin (2002:12-17) dalam penelitiannya tentang proses
pembelajaran di salah satu Sekolah Dasar (SD) di kota Surakarta, Jawa
Tengah, menyatakan bahwa proses pembelajaran di sekolah-sekolah dasar
pada umumnya sarat dengan bias gender. Bias gender itu kentara sekali
dalam hal adanya perbedaan pemberian atribut, perlakuan, peranan, fungsi
dan kesempatan kepada laki-laki dan perempuan (Kementrian
Pemberdayaan Perempuan, 2001:97) dalam aktivitas pembelajaran. Bias
gender dalam proses pembelajaran dimulai dari buku ajar yang digunakan
sampai dengan perilaku pembelajaran dan dalam pemberian tugas kepada
para peserta didiknya. Misalnya dalam buku teks Bahasa Indonesia
ditemukan wacana sebagai berikut: [] ibu memasak di dapur, Ani
membantu ibu mencuci piring. Wati ikut ibu ke pasar. Bapak mencangkul
di sawah. Andi membantu bapak di kebun. Budi ikut aya memancing
(Muthaliin, 2002:6).
Kutipan di atas, merepresentasikan kalimat yang dipakai dalam proses
pembelajaran membaca di sekolah. Hal ini mengindikasikan adanya
pembagian kerja secara dikotomis yang tegas antara laki-laki dan
perempuan. Ibu, Ani dan Wati mewakili kaum perempuan yang
dikontruksikan untuk bekerja pada sektor domestik. Sementara itu Bapak,
Andi dan Budi mengacu pada sosok laki-laki yang beraktivitas di luar rumah
atau sektor publik.
52

HISTORIA:
Journal of Historical Studies, VIII, 1 (June 2007)

Pada aktivitas sekolah yang lain dapat disebutkan misalnya, dalam


pelaksanaan upacara bendera setiap hari Senin. Struktur pelaksanaan
upacara bendera memperlihatkan penataan barisan peserta upacara dengan
menempatkan perempuan di deretan depan, sedangkan laki-laki di deretan
belakang. Di samping itu, pembawa baki tempat bendera pada umumnya
perempuan. Penataan seperti ini, menggambarkan bias gender dalam
budaya belajar-mengajar. Perempuan di depan dan diberi peran
menjalankan tugas yang dikategorikan ringan. Contoh lain, dalam
pembuatan atau penyusunan organisasi siswa, apakah OSIS (Organisasi
Siswa Intra Sekolah) ataupun organisasi di kelas, kebanyakan menempatkan
anak laki-laki sebagai ketua kelas dan anak perempuan sebagai sekretaris
atau bendahara. Demikian pula pada organisasi yang lain, perempuan pada
umumnya ditempatkan pada posisi sekretaris, bendahara, seksi konsumsi
dan yang sejenisnya.
Perlakuan seperti ini merupakan kelanjutan dari anggapan bahwa
perempuan itu lemah dan bersifat feminin, yang harus selalu dilindungi dan
dikasihani dan cukup bertugas pada peran- peran yang penuh kasih sayang
serta halus. Sementara laki-laki digambarkan sebagai sosok kuat, maskulin
dan oleh karenanya harus melindungi perempuan.
Konsep bias gender ditemukan ketika kita mulai membuka materi
pelajaran. Dalam pelajaran Mulok (Muatan Lokal) SD di DKI (Daerah
Khusus Ibukota) Jakarta misalnya, baik di matapelajaran PLKJ (Pendidikan
Lingkungan dan Kesenian Jakarta) dan keterampilan untuk SD dan SLTP
(Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama) Umum, maupun Bahasa Inggris dan
Bahasa Arab untuk MI (Madrasah Ibtidaiyah) dan Tsanawiyah. Apabila
dikelompokkan pada kategori bias gender yang dimaksud, menggambarkan
sekaligus mensosialisasikan bias yang bersifat feminin, peran domestik,
subordinasi atau marjinalisasi bagi perempuan; atau sebaliknya sifat
maskulin dan peran publik bagi kaum laki-laki. Hal ini termanifestasi dalam
berbagai gambaran kegiatan dengan perbedaan gender meliputi aktivitas,
profesi, peran, permainan, kepemilikan, tugas, atau tanggung jawab masingmasing berdasar jenis kelamin.
Peran domestik perempuan dapat telihat dari gambar kegiatan yang
dilakukan perempuan seperti merapihkan ruang, mencuci, merawat anak
dan sebagainya. Gambar-gambar kegiatan ini secara umum hampir dijumpai
di buku-buku Mulok yang ada seperti PLKJ, Bahasa Inggris, Bahasa Arab,
dan Keterampilan (Tata Busana). Sifat feminin perempuan banyak
terekspose dalam tampilan-tampilan pakaian (rok, kebaya) dan tampilantampilan kegiatan olahraga (senam) yang dapat ditemukan dalam pelajaranpelajaran Bahasa Inggris, PLKJ dan Tata Busana. Selanjutnya, subordinasi
terhadap perempuan terimplikasi pada profesi-profesi di bidang publik
seperti perawat, sebagai pendamping dokter yang diperankan laki-laki atau
pramugari sebagai penyerta profesi pilot. Hal ini mengkomunikasikan atau
mensosialisasikan meskipun perempuan berperan di bidang publik, tetapi
53

Wr. HENDRA SAPUTRA,


Pendidikan Berspektif Gender di Indonesia

perempuan belum diposisikan sebagai tokoh sentral. Sementara pekerjaan


di ranah domestik lebih mensentralkan perempuan sebagai tokoh utamanya
(memasak, mencuci, mengurus anak dan sebagainya).
Penguatan peran perempuan di ranah domestik tetap disosialisasikan
dengan menampilkan gambar anak-anak perempuan (tokoh anak) yang
membantu pekerjaan ibu. Pensosialisasian perempuan sebagai orang yang
feminin dan laki-laki yang maskulin juga tampak pada jenis mainan yang
dilakukan seperti permainan sepak bola bagi laki-laki atau boneka bagi
perempuan. Untuk lebih jelasnya saya tampilkan gambar-gambar dalam
sebagian buku pelajaran yang menunjukkan bias gender di tingkat SD dan
SMP (Sekolah Menengah Pertama) sebagai berikut:

Gambar 4
Sumber: Tim PLKJ Kelas III SD (2002:109)

Gambar di atas mempertegas peran domestik yang dilakukan perempuan


pada pekerjaan membantu ibu menyapu dan membersihkan kamar mandi
yang dilakukan perempuan yang umumnya dikatakan ringan. Sementara
pekerjaan membersihkan langit-langit dilihat sebagai pekerjaan berat
dilakukan oleh laki-laki. Gambar berikut (lihat halaman sebelah)
menjelaskan tentang aktivitas lain dari perempuan (ibu) yang ada di rumah,
sementara anak laki-laki pulang dari sekolah, setelah berada di luar rumah,
dan selanjutnya.
Mencermati penjelasan di atas semakin mempertegas bahwa pendidikan
berperspektif gender sangat diharapkan. Laki-laki dan perempuan adalah
makhluk Tuhan yang mempunyai hak-hak sama. Adanya gambaran
terjadinya subordinasi peran perempuan di ranah publik tidak terlepas dari
kecenderungan budaya patriarkhi yang ada. Oleh sebab itu bagaimana
mengupayakan pendidikan berperspektif gender, pendidikan yang tidak
membedakan jenis kelamin, menjadi kebutuhan sebagai salah satu

54

HISTORIA:
Journal of Historical Studies, VIII, 1 (June 2007)

universalisasi HAM. Dalam konteks ini laki-laki dan perempuan memang


berbeda, tetapi tidak untuk dibeda-bedakan (Suswandari et al., 2004).

Gambar 5
Sumber: Ivy Hoh & Yl Yoong (2003:22)

Gambar 6
Sumber: Tim PLKJ Kelas VI SD (2002:44)

55

Wr. HENDRA SAPUTRA,


Pendidikan Berspektif Gender di Indonesia

Upaya Menciptakan Pendidikan Berperspektif


Kesetaraan Gender
Kembali pada hasil konvensi pendidikan internasional di Jomtien,
Thailand pada tahun 1990 tentang education for all, pendidikan untuk
semua tanpa membedakan jenis kelamin. Hal ini sebagaimana dijelaskan
dalam laporan UNESCO (United Nations for Economic, Social and Cultural
Organisation) komisi pendidikan yang tertuang dalam buku Learning: The
Treasure Within (1996) menegaskan bahwa pentingnya mengeliminir
bentuk-bentuk diskriminasi terhadap perempuan dan anak perempuan
dalam pendidikan dan pelatihan. Para perempuan diberikan akses yang
lebih baik untuk mencegah kebodohan mereka. Hal ini dimaksudkan agar
tidak seperti yang terjadi di Burkina Faso, yang menggambarkan hanya
sembilan persen perempuan melek huruf (Coombs, 1985).
Perspektif gender dalam pendidikan yang dimaksudkan adalah
kemampuan untuk memperlakukan dan memberlakukan sensitif gender,
bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai peran sosial yang sama,
termasuk dalam memperoleh akses pendidikan. Pendidikan berperspektif
gender menjadi bagian dari inovasi pendidikan untuk memecahkan masalah
pendidikan, khususnya pendidikan bias gender yang membedakan peran
sosial laki-laki dan perempuan. Matthew B. Miller, seperti dikutip oleh Budi
Rajab (2002:24), menjelaskan bahwa makna pendidikan berperspektif
gender mengarah pada proses inovasi pendidikan yang berkaitan dengan
prosedur, peran yang dilakukan, wawasan dan strategi guru pada proses
pembelajaran yang pada akhirnya dapat melahirkan desain dan kesadaran
serta perhatian pada konteks pendidikan yang berkeadilan dan
berkesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Pemerataan kesempatan
belajar dan aktivitas belajar membawa implikasi terhadap kesetaraan dan
keadilan gender yang pada gilirannya akan berdampak pada peningkatan
kualitas SDM (Sumber Daya Manusia) secara menyeluruh (Depdiknas,
2004:1).

Aktualisasi dan Universalisasi Nilai-nilai HAM


Melalui Pendidikan Berepsketif Gender
A. Konsep Nilai dan Nilai Universal

Secara leksikal, nilai diartikan sebagai hal-hal yang penting dan berguna
bagi kemanusiaan (Kamus Umum Bahasa Indonesia, 1996:470).
Keterkaitannya dengan kehidupan manusia akan lahir apa yang disebut
dengan nilai budaya. Nilai budaya dalam konteks ini diartikan sebagai
konsep abstrak mengenai masalah dasar yang sangat penting dan bernilai
bagi kehidupan manusia. Berbicara tentang nilai, hampir selalu dikaitkan
dengan etika. Etika berasal dari kata Yunani, athos, yang berarti dapat,
watak, akhlak, perasaan, sikap dan cara berpikir dari bentuk jamak ta etha.
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (1996:271), kata etika merupakan
turunan dari kata etik yang berarti kumpulan nilai yang berkenaan dengan
56

HISTORIA:
Journal of Historical Studies, VIII, 1 (June 2007)

akhlak, dan nilai mengenai benar dan salah yang dianut oleh suatu golongan
atau masyarakat. Kemudian lahir isitilah etika yang berarti sebagai ilmu
tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban
moral.
Memperhatikan pengertian-pengertian di atas, nilai dan etika dipandang
sebagai sesuatu yang positif dan dijadikan sebagai pedoman dan kehidupan
manusia dalam masyarakatnya. Dengan demikian, pada hakikatnya tingkahlaku manusia tidak akan mempunyai kebebasan penuh, karena ada ikatan
nilai dan etika sebagai pengarah dan petunjuk dalam mencari
kebermaknaan hidup. Semua petunjuk tersebut merupakan tataran dasar
yang sekaligus menyiratkan suatu etika moral positif bagi masyarakatnya.
Mengenai nilai ini, Mudji Sutrisno (1998) dalam salah satu tulisannya
menjelaskan bahwa:
[] nilai dimaksudkan sebagai yang dipandang berharga hingga layak digenggam
menjadi acuan-acuan. Mulai dari yang fisik kulit hingga yang inti. Mulai dari yang
instrumental sampai yang bernilai sebagai tujuan. Nilai adalah sesuatu yang positif,
dihargai, dipelihara, diagungkan, dihormati, dan membuat orang gembira.

Dari uraian di atas dapat diambil suatu benang merah bahwa nilai
merupakan acuan tertulis atau tidak tertulis dalam setiap perbuatan ataupun
tingkah-laku manusia sebagai anggota masyarakat. Keterkaitannya dengan
masyarakat internasional, maka muncullah nilai-nilai universal yang
dipedomani bersama untuk memperoleh hidup bersama dalam damai dan
harmoni dan saling menghormati (UNESCO-APNIEVE, 2000:20)
Jacques Delors memberikan pengertian mendalam tentang pendidikan
pada abad ke-21. Disebutkan bahwa di abad ke-21, setiap orang haruslah
dilengkapi untuk memperebutkan kesempatan-kesempatan belajar
sepanjang hayat, baik untuk memperluas pengetahuan maupun
keterampilan, dan setiap setiap orang harus mampu untuk menyesuaikan
diri dengan dunia yang sedang berubah. Belajar hidup bersama yang
menekankan pada kemampuan berperan-serta dan bekerjasama dengan
orang lain pada semua kegiatan manusia menjadi salah satu inti dari empat
sendi pendidikan yang dikemukakan oleh Jacques Delors (UNESCOAPNIEVE, 2000:20). Kesemuanya dilakukan tanpa membedakan jenis
kelamin, laki-laki atau perempuan. Perempuan adalah bagian dari manusia
yang mempunyai hak sama.
Nilai-nilai universal yang berkaitan dengan persoalan HAM dan
hendaknya dikembangkan melalui proses pendidikan mencakup persoalan:
kebenaran, kesamaan dan keadilan, penghormatan pada martabat manusia,
integritas, kejujuran, penghargaan kebhinekaan, kebebasan dan tanggung
jawab, serta kerjasama. Semua hal tersebut dikembangkan pada proses dan
sistem pendidikan tanpa membedakan jenis kelamin. Salah satu agenda
besar dalam perkembangan dunai abad ke-21 ini, World Commission on the
Social Dimension of Globalization (2004) menekankan pada gender
57

Wr. HENDRA SAPUTRA,


Pendidikan Berspektif Gender di Indonesia

equality and empower women. Bahwa dalam proses globalisasi ini


memerlukan kebersamaan laki-laki dan perempuan melalui akses universal
menuju peningkatan kualitas sumber daya manusia. Laki-laki dan
perempuan yang berkualitas dapat menemukan peluang untuk
berpartisipasi dalam proses pembangunan.

B. Pendidikan Berperspektif Gender:


Aktualisasi Nilai HAM Universal

Pendidikan berperspektif gender adalah sistem dan proses pendidikan


yang memperhatikan kepentingan dari kedua belah pihak, laki-laki dan
perempuan, untuk akses, partisipasi, dan kontrol serta manfaat. Dalam
kurun waktu yang sangat lama, sistem dan proses pendidikan di Indonesia
diwarnai oleh budaya patriarkhi. Dalam hal ini laki-laki (negara) sangat kuat
dalam penentuan kebijakan dan pengambilan keputusan dalam pendidikan.
Ketimpangan gender yang berlangsung di berbagai segi kehidupan,
ditandai dengan masih rendahnya peluang yang dimiliki perempuan untuk
beraktivitas sama dengan laki-laki. Pada sisi yang lain, kesenjangan ini
juga terlihat pada rendahnya akses perempuan terhadap sumber ekonomi,
teknologi, pasar, kredit dan modal kerja. Perempuan sebagai bagian dari
kelompok masyarakat masih terus mengalami ketertinggalan sebagai akibat
dari bentuk konstruksi sosial-budaya patriarkhi yang sudah mengakar dan
pemahaman nilai agama yang sempit. Demikian pula dengan kondisi
perempuan dalam bidang pendidikan. Tidak sedikit perempuan yang
memiliki akses rendah dalam partisipasi pendidikan yang ada. Sampai saat
ini masih lekat dalam persepsi masyarakat kebanyakan bahwa peluang
untuk mendapat pendidikan yang lebih baik, lebih diperuntukkan bagi lakilaki. Hal ini dilatarbelakangi oleh pemikiran bahwa nantinya laki-lakilah
yang akan menjadi kepala rumah tangga. Berbagai mitos atau ungkapan
dimunculkan untuk memperkokoh bentuk kesenjangan ini.
Idealnya, dalam suatu proses pembangunan, setiap perempuan dan lakilaki mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan. Kesetaraan
untuk memperoleh kesempatan pada semua jenjang pendidikan merupakan
hal yang paling mendesak bagi perempuan untuk dapat berpartisipasi dalam
kehidupan bermasyarakat baik secara sosial, ekonomi ataupun politik.
Melalui pendidikan yang baik akan mampu membuka potensi kaum
perempuan itu sendiri. Ester Bosherup (1984) dalam penelitiaannya tentang
pentingnya pendidikan bagi perempuan menjelaskan bahwa pendidikan bagi
perempuan akan mampu menambah akses perempuan pada pasar kerja dan
membekali mereka dengan keahlian tertentu serta mengeliminir berbagai
dampak negatif dari pembangunan ekonomi semata yang jelas-jelas tidak
berpihak pada kepentingan perempuan. Dengan kata lain, pendidikan bagi
perempuan akan mampu menjembatani permasalahan yang dihadapi
perempuan dalam pembangunan.

58

HISTORIA:
Journal of Historical Studies, VIII, 1 (June 2007)

Perbincangan tentang pentingnya pendidikan bagi perempuan, sebagai


salah satu universalisasi HAM telah dimulai sejak tahun 1970-an, seiring
dengan lahirnya kritik dari kalangan feminis terhadap model pembangunan
yang justru banyak merugikan perempuan. Isu tentang pentingnya
pendidikan bagi perempuan sebagaimana hasil penelitian Ester Bosherup
(1984) yang menjelaskan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara
pendidikan yang diperoleh perempuan dengan indikator kesejahteraan
sosial perempuan. Lebih lanjut Ram & Standing (dalam Azkiyah, 2002) juga
menjelaskan bahwa bertambahnya kesempatan pendidikan bagi perempuan
mampu menaikkan potensi penghasilan perempuan, menambahkan aspirasi
mereka untuk mencari kerja, mengubah pandangan mereka terhadap peran
tradisional mereka dalam rumah tangga. Secara sosial, hasil penelitian
Cochrane (dalam Azkiyah, 2002:35) menjelaskan bahwa pendidikan bagi
perempuan mempunyai dampak psikologis dalam hal kesadaran yang lebih
baik.
Berbagai temuan hasil studi yang telah disebutkan di atas tidaklah
menjadi hal yang aneh bila akses perempuan untuk memperoleh pendidikan
terus diperluas dan menjadi kebijakan utama di beberapa negara
berkembang, termasuk Indonesia, sebagai bagian dari implementasi HAM.
Deklarasi HAM menyebutkan bahwa setiap orang memiliki hak untuk
memperoleh pendidikan tanpa kecuali, baik laki-laki maupun perempuan.
Dengan pendidikan, nyata-nyata kaum perempuan akan memiliki
kemampuan menstranformasikan diri dari partisipan pasif pembangunan
menjadi aktor sekaligus aktif dalam proses pembangunan.
Namun demikian, mengupayakan pendidikan yang memperhatikan
kebutuhan laki-laki dan perempuan secara bersama-sama bukanlah
persoalan yang mudah. Materi bahan ajar, pola guru mengajar dan berbagai
penugasan guru, secara sadar ataupun tidak sadar, masih menggambarkan
bias gender. Hal ini disebabkan karena masih kuatnya perilaku budaya
patriarkhi yang lebih memilih dan mengutamakan laki-laki daripada anak
perempuan, termasuk prioritas untuk memperoleh pendidikan. Karena
dalam pemahaman budaya patriarkhi tersebut, perempuan diharapkan
hanya mengurus rumah tangga, menjaga anak-anak dan kalaupun bekerja
hanya bersifat menambah penghasilan keluarga (Simler, 2001). Bahkan jika
anak perempuan dapat bersekolah, materi pengajaran seringkali berfokus
terhadap apa yang dapat anak laki-laki lakukan daripada apa yang dapat
anak perempuan lakukan. Hal ini memperkuat stereotype bahwa
perempuan tidak mampu melakukan hal yang sama dengan laki-laki,
sehingga keterlibatan perempuan dalam pendidikan dibatasi.
Perilaku diskriminatif tersebut sebenarnya tidak saja merugikan
perempuan tetapi juga masyarakat secara keseluruhan, termasuk
pelanggaran HAM. Dari berbagai hasil penelitian membuktikan bahwa
banyak manfaat sosial dan ekonomi yang dapat diperoleh dari aktivitas
pendidikan bagi perempuan, antara lain: (1) Mendorong produktivitas
59

Wr. HENDRA SAPUTRA,


Pendidikan Berspektif Gender di Indonesia

perempuan dan negara; (2) Meningkatkan kesempatan kerja bagi


perempuan dan tingkat pendapatannya; (3) Menurunkan angka kematian
bayi dan anak; (4) Meningkatkan harapan hidup bagi perempuan dan
seluruh anggota keluarga; (5) Mengurangi rata-rata kelahiran; serta (6)
Memberikan kemampuan kepada perempuan mengelola sumber daya alam.
Bahkan melalui pemberian kesempatan pendidikan yang sama antara lakilaki dan perempuan, maka ruang gerak perempuan menjadi lebih luas dan
rasa percaya diri kaum perempuan pun semakin meningkat. Kondisi seperti
ini akan menjadi konstribusi pada keluarga dan masyarakat (Kementerian
Pemberdayaan Perempuan, 2003).
Pada prinsipnya, pendidikan mendorong terbentuknya karakter positif
antara laki-laki dan perempuan untuk saling menghormati dan menghargai,
sesuai dengan nilai-nilai dasar HAM. Berdasarkan program dari Rencana
Aksi Nasional Penghapusan Kekerasan Terhadap perempuan (RAN-PKTP)
bidang pendidikan menjelaskan bahwa tujuan peningkatan pendidikan bagi
perempuan adalah terciptanya sistem pendidikan yang membentuk rasa
saling menghargai dan menghormati serta mendorong kerjasama antara
perempuan dan laki-laki serta menghapus budaya kekerasan melalui
kebijakan demokratisasi bidang pendidikan. Berbagai agenda kebijakan
pendidikan, baik yang menyangkut kurikulum, manajemen dan organisasi
maupun sarana dan prasarana, berangsur-angsur dibangun untuk dapat
melahirkan sistem pendidikan yang tidak bias gender, sebagai wujud dari
universalisasi pendidikan (UNESCO, 1994).

Penutup
Berbagai uraian di atas menegaskan bahwa adanya kecenderungan
budaya patriarkhi yang membedakan peran berdasarkan jenis kelamin lakilaki dan perempuan bertentangan dengan nilai-nilai HAM yang terus
diperjuangkan. Laki-laki dan perempuan memang berbeda. Namun
demikian tidak untuk dibeda-bedakan. Education for all diperuntukkan bagi
laki-laki dan perempuan tanpa kecuali seiring dengan berbagai deklarasi dan
konvensi HAM di dunia. Oleh sebab itu penyelenggaraan pendidikan yang
masih menggambarkan bias gender hendaknya tidak dilanjutkan, baik
melalui bahan ajar maupun cara guru mengajar, termasuk dari para guru
dalam memberikan tugas kepada para siswa. Dalam hal ini termasuk para
orang tua di dalam memberikan prioritas untuk memberikan kesempatan
pendidikan bagi anak-anaknya perlu melakukan upaya kesetaraan gender.
Memang pada keluarga miskin, anak perempuan rawan terhadap sub
ordinasi peran sosial karena tidak dipahaminya hal-hal yang seharusnya
untuk anak-anak, baik laki-laki ataupun perempuan. Akhirnya bahwa
penyelenggaraan pendidikan yang memperhatikan kebutuhan dan
pemberian kesempatan yang sama kepada anak laki-laki dan perempuan
merupakan wujud dari universalisasi HAM.

60

HISTORIA:
Journal of Historical Studies, VIII, 1 (June 2007)

DAFTAR PUSTAKA
Alkostar, Artijo. (1999). Prospek HAM Abad XXI dalam Jurnal Media Inovasi, No.1, Th.IX.
Yogyakarta: Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Azkiyah, Nurul. (2002). Perempuan dalam Pendidikan. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.
Bhagwati, Jagdish. (2004). In Defense of Globalization. New York: Oxford University Press.
Bosherup, Ester. (1984). Peranan Wanita dalam Perkembangan Ekonomi. Terjemahan.
Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.
Combs, Philip H.. (1985). The World Crisis in Education: The View from the Eighties. New
York: Oxford University Press.
Depdiknas [Departemen Pendidikan Nasional]. (2004). Position Paper Pengarusutamaan
Gender Bidang Pendidikan. Jakarta: Depdiknas RI.
Harrison, Lawrence H. & Samuel P. Huntington. (2000). Culture Matters: How Values Shapes
Human Progress. New Yotk: Basic Books.
Helen, Tierney ed.. (t.t.). Womens Studies Encyclopedia, Vol.1. New York: Green Word Press.
Kamus Umum Bahasa Indonesia. (1996). Jakarta: Gramedia
Kementerian Pemberdayaan Perempuan. (2001). Panduan Penyelenggaraan Pelatihan
Pengarusutamaan Gender Bidang Kesehatan Reproduksi. Jakarta: Kementerian
Pemberdayaan Perempuan.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan. (2003). Bahan Pembelajaran Analisis Gender.
Jakarta: Kementerian Pemberdayaan Perempuan.
Marbun, B.N.. (1996). Kamus Politik. Jakarta: Sinar Harapan.
Muthaliin, Ahmad. (2002). Bias Gender dalam Pendidikan. Surakarta: Universitas
Muhammadiyah Surakarta.
Nusantara, Abdul Hakim Garuda. (1998). Rekonsiliasi dalam Perspektif HAM dalam
suratkabar Kompas. Jakarta: 10 Desember.
Rajab, Budi. (2002). Pendidikan Sekolah dan Perubahan Kedudukan Perempuan. Jakarta:
Yayasan Jurnal Perempuan.
Saraswati, Luh Ayu. (2000). Kekerasan Negara, Perempuan dan Refleksi Negara Patriarkhi
dalam Nur Iman Subono [ed.]. Negara dan Kekerasan Terhadap Perempuan. Jakarta:
Yayasan Jurnal Perempuan.
Sills, David L.. (1968). Internationale Encyclopedia of Social Studies, Vol.6. New York: The
Macmillan Company.
Simler, Vicki J.. (2001). Rights of Women: A Guide to the Most Important dalam Embun [ed.].
Hak Asasi Perempuan: Sebuah Panduan pada Konvensi Utama PBB tentang Hak Asasi
Perempuan. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.
Suryama, R.B.. (1998). Agenda Strategis Pendidikan Nasional Indonesia. Makalah dalam
Dialog Nasional Pendidikan di IKIP Karangmalang Yogyakarta.
Suswandari et al.. (2004). Bias Gender dalam Pembelajaran di Sekolah. Hasil Penelitian
Tidak Diterbitkan. Jakarta: Pusat Studi Wanita UHAMKA.
Sutrisno, Mudji. (1998). Tantangan Kebudayaan dalam majalah Tiras, No.6, Th.III. Jakarta:
16 Maret.
Tomasevski, Katarina. (2005). Adaptasi Pendidikan Berbasis Hak Asasi Manusia Versi
Indonesia. Jakarta: Dirjen Peningkatan Mutu Pendidikan dan Tenaga Kependidikan
kerjasama dengan UNESCO.
Umar, Nasarudin. (1999). Argumentasi Kesetaraan Gender: Perspektif Al-Quran. Jakarta:
Yayasan Wakaf Paramadina.
UNESCO. (1994). Learning: The Treasure Within. Bangkok, Thailand: Report to UNESCO of
Internationale Commision on Education for the Twenty-First Century.
UNESCO-APNIEVE. (2000). Learning to Live Together in Peace and Harmony dalam W.P.
Napitupulu [ed.]. Belajar untuk Hidup Bersama dalam Damai dan Harmoni. Bandung:
Universitas Pendidikan Indonesia.

61

Wr. HENDRA SAPUTRA,


Pendidikan Berspektif Gender di Indonesia

World Commision on Social Dimension of Globalization. (2004). A Fair Globalization:


Creating Opportunities for All. New York: ILO Publication.

62

You might also like