2011mha PDF

You might also like

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 236

MODEL PENGEMBANGAN PENGELOLAAN

TAMAN NASIONAL SECARA TERINTEGRASI


Studi Kasus Pengelolaan Berbasis Ekowisata
di Taman Nasional Bukit Tigapuluh Provinsi Riau dan Jambi

MOH. HARYONO

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI


DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Model Pengembangan


Pengelolaan Taman Nasional secara Terintegrasi: Studi Kasus

Pengelolaan

Berbasis Ekowisata di Taman Nasional Bukit Tigapuluh Provinsi Riau dan Jambi
adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun.

Sumber informasi

yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan
dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar
Pustaka di bagian akhir disertasi.

Bogor, Januari 2011

Moh. Haryono
E361070031

ii

ABSTRACT

MOH. HARYONO. Model of Integrated National Park Management Development


Case study of Bukit Tigapuluh National Park Management Based on Ecotourism.
Supervisors : HADI S. ALIKODRA, RINEKSO SOEKMADI, and LILIK BUDI
PRASETYO.

The management of national park should be integrated with buffer zone and
regional development. Integrated national park management must be based on the
existing potency. Ecotourism represents the potency of natural and cultural
resources which enable to be created as a focus for the development of integrated
national park management. The research was carried out in Bukit Tigapuluh
National Park (BTNP), Riau Province and Jambi Province. The research aimed to
formulate a model of development of integrated management of BTNP. Data
analysis was done with several methods that are spatial analysis, supply and
demand analysis, AWOT analysis (integration between SWOT and Analytic
Hierarchy Process) and dynamic system analysis. Model simulation with optimism
scenario (integrated management) showed that development of BTNP based on
ecotourism will significantly increase of local people income, and the government
income in ten year a head. In principle, BTNP ecotourism improvement based on
the integrated national park management will achieve three purposes of sustainable
ecotourism management, namely conservation/environment, economic and social
purposes.

Keyword : management, integrated, national park, ecotourism, model

RINGKASAN
MOH. HARYONO. Model Pengembangan Pengelolaan Taman Nasional secara
Terintegrasi Studi Kasus Pengelolaan Berbasis Ekowisata di Taman Nasional Bukit
Tigapuluh Provinsi Riau dan Jambi. Dibimbing oleh HADI S. ALIKODRA, RINEKSO
SOEKMADI, DAN LILIK BUDI PRASETYO.

Kerangka teoritis yang mendasari penelitian ini adalah adanya interaksi


(hubungan timbal baik) antara kawasan taman nasional dengan wilayah di sekitarnya
baik ditinjau dari aspek bio-fisik, sosial, ekonomi, maupun budaya. Oleh sebab itu
pengelolaan taman nasional seharusnya diintegrasikan dengan pengembangan
daerah penyanganya dan pembangunan wilayah.
Penelitian dilaksanakan di TNBT Propinsi Riau dan Propinsi Jambi, dimulai
bulan Maret 2009 sampai dengan Mei 2010. Data penunjang diperoleh dari beberapa
sumber sedangkan data utama diperoleh dengan metode pengamatan lapangan,
wawancara, Focus Group Discussion (FGD), dan pengisian kuesioner oleh pakar
terpilih.

Data yang dikumpulkan dianalisis dengan metode : 1) Analisis Spasial

dengan perangkat lunak ArcView 3.3, 2) Analisis Penawaran (supply) dan Permintaan
(demand), 3) Analisis SWOT, 4) Analisis AWOT (integrasi SWOT dan AHP / Analytic
Hierarchy Process ) dengan perangkat lunak ExpertChoice., dan 5) Analisis Sistem
Dinamik dengan perangkat lunak STELLA 9.02. serial number : 90047796426
Dari hasil penelitian didapatkan bahwa pengelolaan TNBT belum terintegrasi
dengan pengembangan daerah penyangga dan pembangunan wilayah. Lemahnya
integrasi pengelolaan TNBT dapat dilihat dari tiga bentuk integrasi yaitu ; integrasi
kebijakan, integrasi fungsional, dan integrasi sistem (Kay and Alder, 1999).

Hasil

analisis SWOT menunjukkan bahwa strategi untuk mengembangkan pengelolaan


TNBT secara terintegrasi berbasis ekowisata adalah strategi konservatif (Strategi
WO),

yakni strategi

mengatasi kelemahan untuk memanfaatkan peluang.

Berdasarkan hasil analisis AWOT, prioritas program

yang perlu dilakukan

untuk

mengembangkan pengelolaan TNBT secara terintegrasi berbasis ekowisata adalah ;


1) meningkatkan aksessibilitas ke lokasi obyek ekowisata (nilai bobot 0,293), 2)
mengintensifkan

promosi

dan

publikasi

ekowisata

(nilai

bobot

0,229),

3)

mengembangkan daya tarik obyek ekowisata (nilai bobot 0,183), 4) menekan tingkat
kerusakan hutan (nilai bobot 0,176), dan 5) mengintensifkan pengelolaan ekowisata
dengan melibatkan dunia usaha (nilai bobot 0,119).

Model yang dibangun terdiri dari tiga sub model yaitu: 1) Sub model
ekowisatawan, 2) Sub model pendapatan masyarakat, dan 3) Sub model penerimaan
pemerintah. Variabel kunci yang digunakan untuk mengetahui pengaruh penerapan
program prioritas terhadap peningkatan jumlah ekowisatawan TNBT adalah: 1)
Pelayanan pengunjung, 2) Promosi melalui pameran, 3)

Promosi dengan media

cetak, 4) Promosi melalui media elektronik, 5) Jumlah obyek ekowisata, 6) Kondisi


jalan akses, 6) Tingkat kerusakan hutan.
Dari hasil simulasi dengan variabel kunci sesuai kondisi saat ini pada sepuluh
tahun yang akan datang jumlah ekowisatawan TNBT meningkat dari 1.535 orang
(jumlah pada tahun 2009) menjadi 24.090 orang (jumlah pada tahun 2019). Demikian
pula pendapatan masyarakat dari kegiatan ekowisata TNBT akan meningkat dari Rp
149.159.361,-

(pendapatan

pada

tahun

2009)

menjadi

Rp

2,340,926,943,-

(pendapatan pada tahun 2019). Sedangkan penerimaan pemerintah dari ekowisata


TNBT akan meningkat dari Rp 3.546.000,- (penerimaan pada tahun 2009) menjadi
Rp 48.656.990,- (penerimaan pada tahun 2019).
Skenario pesimis dibuat dengan kondisi dimana kerusakan hutan meningkat
dari 1-5% per tahun menjadi 6-10% per tahun sedangkan enam variabel kunci lain
tetap (sesuai kondisi saat ini). Dari hasil simulai pesimis dapat dilihat bahwa jumlah
ekowisatawan TNBT akan mengalami peningkatan sampai tahun ketujuh dari 1.535
orang (jumlah pada tahun 2009) menjadi 10.720 orang pada tahun 2016, dan
selanjutnya mengalami penurunan hingga 9.354 orang pada tahun 2019. Demikian
pula pendapatan masyarakat dari

kegiatan ekowisata TNBT

akan mengalami

peningkatan sampai tahun ketujuh dari Rp 149.159.361,- (pendapatan pada tahun


2009) menjadi Rp 1.041.670.383,- pada tahun 2016 dan selanjutnya mengalami
penurunan hingga Rp 908.992.915,- pada tahun 2019.

Sedangkan penerimaan

pemerintah dari ekowisata TNBT juga mengalami peningkatan sampai tahun ketujuh
dari Rp 3.546.000,- (penerimaan pada tahun 2009) menjadi Rp 21.915.674,- pada
tahun 2016, dan selanjutnya mengalami penurunan hingga Rp 19.184.905,- pada
tahun 2019.
Skenario moderat dibuat dengan kondisi dimana terjadi peningkatan kualitas
jalan akses dari diperkeras dengan batu dan pasir menjadi diaspal dengan kualitas
biasa, sedangkan enam variabel kunci lain tetap (sesuai kondisi saat ini). Dari hasil
simulai dapat dilihat bahwa jumlah ekowisatawan TNBT akan meningkat dari 1.535

orang (jumlah pada tahun 2009) menjadi 26.270 orang pada tahun 2019. Demikian
pula pendapatan masyarakat dari kegiatan ekowisata TNBT akan meningkat dari Rp
149.159.361,- (pendapatan pada tahun 2009) menjadi Rp 2.552.755.932,- pada tahun
2019. Sedangkan penerimaan pemerintah dari ekowisata TNBT juga akan mengalami
peningkatan dari Rp 3.546.000,-

(penerimaan pada tahun 2009)

menjadi Rp

53.016.857,- pada tahun 2019.


Skenario optimis dibuat dengan kondisi dimana terjadi peningkatan se4cara
simultan terhadap pelayanan pengunjung (dari 2 menjadi 3 orang petugas), promosi
dengan media cetak (dari 5000 menjadi 10.000 eksemplar), promosi melalui pameran
(dari 2 menjadi 3 kali dalam setahun), promosi dengan media elektronik (dari 20
menjadi 30 kali dalam setahun), jumlah obyek ekowisata naik menjadi 11 lokasi, dan
kualitas jalan akses dari diperkeras dengan batu dan pasir menjadi diaspal dengan
kualitas biasa. Sedangkan tingkat kerusakan hutan tetap (sesuai kondisi saat ini).
Dari hasil simulasi dapat dilihat bahwa jumlah ekowisatawan TNBT akan meningkat
dari 1.535 orang (jumlah pada tahun 2009) menjadi 105.314 orang pada tahun 2019.
Demikian pula pendapatan masyarakat dari kegiatan ekowisata TNBT akan meningkat
dari Rp 149.159.361,- (pendapatan pada tahun 2009) menjadi Rp 10.233.571.053,pada tahun 2019.

Sedangkan penerimaan pemerintah dari ekowisata TNBT juga

akan mengalami peningkatan dari Rp 3.546.000,- (penerimaan pada tahun 2009)


menjadi Rp 211.103.499,- pada tahun 2019.
Dengan skenario optimis daya dukung fisik obyek ekowisata TNBT

akan

menjadi faktor pembatas jumlah ekowisatawan pada tahun ke 26 dimana indeks daya
dukung fisik obyek ekowisata sama dengan nol, artinya kegiatan ekowisata telah
menimbulkan kerusakan fisik lingkungan obyek ekowisata. Pada kondisi tersebut
jumlah ekowisatawan TNBT mencapai optimal yakni 2.229.501 orang per tahun,
pendapatan masyarakat sebesar Rp 216.645.545.796,- per tahun dan penerimaan
pemerintah sebesar Rp 4.459.477.571,- per tahun.
tersebut maka pengembangan ekowisata TNBT

Setelah
perlu

tercapainya kondisi

dilakukan dengan cara

menambah jumlah dan atau luas obyek ekowisata.


Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa pengembangan ekowisata TNBT
yang didasarkan atas azas-azas pengelolaan taman nasional secara terintegrasi akan
mewujudkan tiga tujuan pengelolaan ekowisata berkelanjutan yakni tujuan lingkungan
/ konservasi,, tujuan ekonomi, dan tujuan sosial

Hak Cipta milik IPB, tahun 2011


Hak Cipta dilingdungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau

menyebutkan

sumbernya.

Pengutipan

hanya

untuk

kepentingan

pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan


kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

MODEL PENGEMBANGAN PENGELOLAAN


TAMAN NASIONAL SECARA TERINTEGRASI
Studi Kasus Pengelolaan Berbasis Ekowisata
di Taman Nasional Bukit Tigapuluh Provinsi Riau dan Jambi

MOH. HARYONO

Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor
pada
Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011

Penguji Luar Komisi

Penguji Ujian Tertutup : 1. Dr. Ir. Samedi M.Sc.


2. Dr. Ir. Siti Nurisyah

Penguji Ujian Terbuka : 1. Dr. Ir. Hadi Daryanto, D.E.A.


2. Dr. Ir. Aris Munandar, M.Sc.

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Disertasi

: Model Pengembangan Pengelolaan Taman Nasional


secara Terintegrasi (Studi Kasus Pengelolaan Berbasis
Ekowisata di Taman Nasional Bukit Tigapuluh Provinsi Riau
dan Jambi)

Nama

: Ir. Moh. Haryono, MSi.

NIM

: E 361070031

Disetujui
Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Hadi Sukadi Alikodra, M.S.


Ketua

Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, M.Sc.F


Anggota

Prof. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc.


Anggota

Mengetahui

Ketua Program Studi


Konservasi Biodiversitas Tropika

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Machmud Thohari, DEA

Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.

Tanggal Ujian : 23 Desember 2010

Tanggal Lulus :

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan.

Tema yang dipilih dalam

penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2009 ialah integrasi pengelolaan
taman nasional, dengan judul Model Pengembangan Pengelolaan Taman Nasional
secara Terintegrasi (Studi Kasus Pengelolaan Berbasis

Ekowisata di Taman

Nasional Bukit Tigapuluh Provinsi Riau dan Jambi).


Penghargaan dan ucapan terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan
kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Hadi Sukadi Alikodra, M.S., Dr. Ir. Rinekso Soekmadi,
M.Sc.F, dan Prof. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc. selaku pembimbing. Ucapan
terima kasih juga penulis sampaikan kepada para pihak yang telah banyak
membantu dalam pelaksanaan penelitian ini. Ungkapan terima kasih disampaikan
pula kepada

istri dan anak tercinta, atas segala dukungan, doa dan kasih

sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Januari 2011

Moh. Haryono

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bondowoso Jawa Timur pada tanggal 8 Januari 1964,
merupakan putra keempat dari empat bersaudara dari keluarga Bapak Moh. Hari
(alm) dan Ibu Djohar Insiyah (alm).
Lulus SD Negeri Prajekan Lor Bondowoso pada tahun 1977, SMP Negeri
Prajekan lulus pada tahun 1980, SMA Negeri Situbondo lulus pada tahun 1983,
mendapatkan gelar Sarjana Kehutanan dari Jurusan Manajemen Hutan
Fakultas Kehutanan IPB pada tahun 1987, dan memperoleh gelar Magister Sains
(M.Si.) dari Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Program Pascasarjana IPB pada tahun 1996.
Tahun 2007 penulis masuk program S3 Sekolah Pascasarjana IPB pada
Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika (KVT). Sebagai salah satu
syarat memperoleh gelar Doktor, penulis menyusun Disertasi dengan judul
Model Pengembangan Pengelolaan Taman Nasional Secara Terintegrasi. Studi
Kasus Pengelolaan Berbasis Ekowisata di Taman Nasional Bukit Tigapuluh
Provinsi Riau dan Jambi, dengan Komisi Pembimbing Prof. Dr. Ir. Hadi Sukadi
Alikodra, M.S, sebagai Ketua, Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, M.Sc.F., dan Prof. Dr. Ir.
Lilik Budi Prasetyo, M.Sc. masing-masing sebagai Anggota Komisi Pembimbing.
Penulis mulai bekerja sebagai staf Taman Nasional Ujungkulon pada tahun
1988 1997, sebagai Kepala Seksi pada Direktorat Konservasi Kawasan
Direktorat Jenderal PHPA tahun 1997 - 2002, dan sebagai Kepala Balai Taman
Nasional Bukit Tigapuluh tahun 2002 2007. Penulis menikah dengan Wiwik
Hartiningsih dan dikaruniai putra bernama Ridho Ramadhani (19 tahun) dan putri
bernama Islamiah Nur Insani (14 tahun).

DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR TABEL

xiii

DAFTAR GAMBAR

xv

DAFTAR LAMPIRAN

xviii

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ....

B. Perumusan Masalah ..

C. Tujuan Penelitian

......

D. Manfaat Penelitian ..

E. Novelty .

F. Kerangka Pemikiran .................................................................

II. TINJAUAN PUSTAKA

III.

A. Konservasi Biodiversitas ..................

11

B. Pembangunan Berkelanjutan ... .

12

C. Pembangunan Wilayah ..................

13

D. Pengelolaan Taman Nasional ..................................................

14

E. Pengembangan Daerah Penyangga ........................................

17

F. Pengelolaan Secara Terintegrasi .............................................

18

G. Ekowisata ................................................................................

21

H. Permintaan dan Penawaran Ekowisata ..

27

I. Analisis Kebijakan ...................................................................

31

J. Analisis SWOT ..........................................................................

32

K. AHP (Analitical Hierarchy Process) ..........................................

33

L. Analisis Sistem Dinamik ............................................................

34

METODE PENELITIAN
A. Lokasi dan Waktu Penelitian ....................................................

36

B. Tahapan Kegiatan Penelitian ...................................................

36

C. Bahan dan Alat .........................................................................

38

D. Metode Penelitian
Metode Pengumpulan Data ..................................................

38

Jenis Data yang Dikumpulkan ..............................................

41

Metode Analisis Data ...........................................................

44

xi

IV.

KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN


A. Taman Nasionl Bukit Tigapuluh
Luas, Letak, dan Sejarah Kawasan .......

54

Kondisi Fisik .................................

56

Kondisi Biotik ................. ..

58

Masyarakat Tradisional ..

61

B. Daerah Penyangga TNBT


Letak

.....................................................

63

Keadaan Bio-Fisik ......... .........

64

Demografi ..........................

65

C. Kelembagaan Pengelolaan TNBT

V.

Struktur Organisasi ..............................................................

68

Visi dan Misi .........................................................................

69

Sumber Daya Manusia ........................................................

69

Anggaran .............................................................................

70

Pembangunan Wilayah Kerja ...............................................

70

HASIL DAN PEMBAHASAN


A. Kondisi Pengelolaan Terintegrasi Kawasan TNBT
Integrasi Kebijakan ..............................................................

72

Integrasi Fungsional ............................................................

80

Integrasi Sistem ...................................................................

83

B. Persepsi dan Keterlibatan Masyarakat Dalam Pengelolaan


TNBT
Persepsi dan Keterlibatan Masyarakat Tradisional ..............

85

Persepsi dan Keterlibatan Masyarakat Daerah Penyangga .

88

C. Potensi Pengembangan Pengelolaan TNBT Berbasis


Ekowisata
Kondisi Penawaran Ekowisata TNBT ..................................

91

Kondisi Permintaan Ekowisata TNBT ...................................

101

D. Prioritas Program Pengembangan Pengelolaan TNBT


Berbasis Ekowisata
Faktor-faktor yang Bersifat Strategis ....................................

105

Strategi dan Alternatif Program Pengembangan...................

122

Prioritas Program Pengembangan .......................................

126

xii

E. Model Pengembangan Pengelolaan TNBT Secara


Terintegrasi Berbasis Ekowisata

VI.

Simulasi Model ....................................................................

141

Uji Validasi , Kestabilan dan Uji Sensitivitas Model ...........

152

F. Integrasi Pengelolaan ...............................................................

157

KESIMPULAN DAN SARAN


A. Kesimpulan ..............................................................................

162

B. Saran ....

163

DAFTR PUSTAKA ..................................................................................

164

LAMPIRAN ............................................................................................

173

xiii

xiv

xv

DAFTAR TABEL
Halaman
1.

Daftar Bidang Keahlian dan Asal Pakar Terpilih ..

41

2.

Data Data yang Dikumpulkan ......................................................

42

3.

Matrik SWOT ................................................................................

46

4.

Metode Analisis Data ...................................................................

51

5.

Nama Dusun dan Jumlah Penduduk Masyarakat Tradisional di


Kawasan TNBT ..............................................................................
Penggunaan Lahan per Keluarga Masyarakat Tradisional
pada Masing-masing Dusun di Kawasan TNBT ...........................

62

7.

Jumlah Penduduk di Daerah Penyangga TN. Bukit Tigapuluh ..

66

8.

Keadaan SDM Balai TNBT Berdasarkan Jabatannya

71

9.

Keadaan Anggaran Pengelolaan Balai TNBT ...............................

70

10.

Pembagian Wilayah Kerja Resort .................................................

71

11.

Nilai Pengaruh dari Faktor yang Bersifat Strategis Sebagai


Komponen Kekuatan dalam Pengembangan Pengelolaan TNBT
secara Terintegrasi Berbasis Ekowisata ......................................

106

12.

Nilai Pengaruh dari Faktor yang Bersifat Strategis Sebagai


Komponen Kelemahan dalam Pengembangan Pengelolaan TNBT
secara Terintegrasi Berbasis Ekowisata .......................................

109

13.

Luas Hutan dan Non Hutan di Kawasan TNBT .............................

111

14.

Nilai Pengaruh dari Faktor yang Bersifat Strategis Sebagai


Komponen Peluang dalam Pengembangan Pengelolaan TNBT
secara Terintegrasi Berbasis Ekowisata .....................................

114

6.

15.

16.

17.

18.

19.

Nilai Pengaruh dari Faktor yang Bersifat Strategis Sebagai


Komponen Ancaman dalam Pengembangan Pengelolaan TNBT
secara Terintegrasi Berbasis Ekowisata .......................................
Matrik SWOT Pengembangan Pengelolaan TNBT secara
terintegrasi berbasis ekowisata ......................................................
Penambahan Jumlah Ekowisatawan Akibat Penambahan Volume
Kegiatan Promosi dan Publikasi .....................................................
Penambahan Jumlah Ekowisatawan Akibat Penambahan Jumlah
Obyek Ekowisata ...........................................................................

63

118
123

134

135

Jumlah Ekowisatawan Responden yang Berminat Berkunjung ke


TNBT pada Setiap Kondisi Jalan Akses.........................................

135

20.

Perubahan Tutupan Hutan TNBT .................................................

136

21.

Prediksi Jumlah Ekowisatawan TNBT, Pendapatan Masyarakat


dan Penerimaan Pemerintah dari Kegiatan Ekowisata TNBT pada

xiv

Sepuluh Tahun yang Akan Datang Sesuai Kondisi Saat Ini .........

142

22.

Kondisi Variabel Kunci Pada Masing-masing Skenario Model. ......

144

23.

Prediksi Jumlah Ekowisatawan TNBT, Pendapatan Masyarakat


dan Penerimaan Pemerintah dari Kegiatan Ekowisata TNBT pada
Sepuluh Tahun yang Akan Datang dengan Skenario Pesimis ....

146

Prediksi Jumlah Ekowisatawan TNBT, Pendapatan Masyarakat


dan Penerimaan Pemerintah dari Kegiatan Ekowisata TNBT pada
Sepuluh Tahun yang Akan Datang dengan Skenario Moderat ....

147

Prediksi Jumlah Ekowisatawan TNBT, Pendapatan Masyarakat


dan Penerimaan Pemerintah dari Kegiatan Ekowisata TNBT pada
Sepuluh Tahun yang Akan Datang dengan Skenario Optimis .....

149

Prediksi Indeks Daya Dukung Fisik Obyek Ekowisata, Jumlah


Ekowisatawan, Pendapatan Masyarakat, dan Penerimaan
Pemerintah dengan Skenario Optimis. ...........................................

151

24.

25.

26.

xv

xvi

DAFTAR GAMBAR
Halaman
1.

Perkembangan Luas Taman Nasional di Indonesia

2.

Rumusan Masalah Penelitian

3.

Interaksi Kawasan TN.,


Pembangunan

4.

Kerangka Pemikiran

10

5.

Peta Lokasi Taman Nasional Bukit Tigapuluh

36

6.

Tahapan Pelaksanaan Penelitian

37

7.

Peta Sebaran Lokasi Asal Responden Masyarakat Tradisional


dan Daerah Penyangga

39

8.

Diagram Analisis SWOT

47

9.

Struktur Hirarki dengan Metode Analisis AWOT

49

10.

Diagram Aliran Informasi

53

11.

Peta Rencana Konservasi Bukit Tigapuluh berdasarkan Rencana


Konservasi Nasional Indonesia (UNDP/ FAO 1982)

56

12.

Peta Desa / Dusun di Daerah Penyangga TNBT

64

13.

Struktur Organisasi Balai Taman Nasional Bukit Tigapuluh

68

14.

Peta Zonasi Kawasan TNBT

70

15.

Peta Pembagian Wilayah Kerja Balai TNBT

71

16.

Peta Kawasan TNBT Berdasarkan Draft RTRW Prop. Riau


Tahun 2009

76

17.

Peta Kawasan TNBT Berdasarkan Draft RTRW Prop. Jambi


Tahun 2009

77

18.

Peta Tata Ruang Daerah Penyangga TNBT

82

19.

Tingkat Pengetahuan Responden terhadap Maksud /


Pengelolaan Taman Nasional.

Tujuan

86

20.

Persentase Responden Berdasarkan Keterlibatannya dalam


Kegiatan Ekowisata di TNBT.

88

21.

Tingkat Pendidikan
Penyangga

Daerah

88

22.

Tingkat Pengetahuan Responden terhadap Maksud / Tujuan


Pengelolaan Taman Nasional.

89

23.

Persentase

90

Daerah Penyangga

Responden

dari

Responden Berdasarkan

dan

Masyarakat

Wilayah

Keterlibatannya dalam

xvi

Kegiatan Ekowisata di TNBT.


24.

Panorama Alam Camp Granit

92

25.

Air Terjun Sutan Limbayang

94

26.

Menyusuri Sungai Batang Gansal

95

27.

Peta Lokasi Obyek Ekowisata di Camp Granit

96

28.

Peta Lokasi Obyek Ekowisata di Sungai Batang Gangsal

97

29.

Kondisi Jalan dari Simpang Granit ke Camp Granit

98

30.

Pusat Informasi TNBT

31.

Persentase Jumlah
Pendidikannya

Tingkat

101

32.

Saran Ekowisatawan Terhadap Pengembangan Ekowisata TNBT

103

33.

Profil Masyarakat Tradisional di Kawasan TNBT

107

34.

Papan Interpretasi dan Shelter di Granit TNBT

108

35.

Contoh Hutan yang Diibuka untuk Perladangan Berpindah

111

36.

Perubahan Kondisi Tutupan Hutan TNBT

112

37.

Alokasi Penggunaan Anggaran Balai TNBT

113

38.

Rata-rata Persentase Penggunaan Anggaran Balai TNBT untuk


Masing -masing Program Periode tahun 2005 2009

114

39.

Jumlah Wisatawan Mancanegara yang Berkunjung ke Indonesia


Periode Tahun 1989 2008

116

40.

Hotel Danau Raja di Rengat

118

41.

Peta Penyebaran Hotspot di Kawasan TNBT dan Daerah


Sekitarnya Periode Tahun 2006, 2007, dan 2008

120

42.

Konversi Hutan Penyangga


TNBT Menjadi Kebun Sawit
(Lokasi Desa Siambul Kec. Batang Gansal Kab. INHU)

121

43.

Konversi Hutan Penyangga TNBT Menjadi Tambang Batu Bara


(Lokasi Desa Sungai Akar Kec. Batang Gansal Kab. INHU)

121

44.

Diagram Matrik SPACE

124

45.

Struktur Hierarki Pengembangan Pengelolaan TNBT secara


Terintegrasi Berbasis Ekowisata

128

46.

Prioritas Kebijakan Pengembangan Pengelolaan TNBT secara


Terintegrasi Berbasis Ekowisata

129

47.

Tingkat Peranan Stakeholders Terhadap Pelaksanaan Kebijakan


Pengembangan Pengelolaan TNBT secara Terintegrasi Berbasis
Ekowisata

130

100
Ekowisatawan

Berdasarkan

xvii

48.

Struktur Model Dinamik Pengembangan Pengelolaan TNBT


secara Terintegrasi Berbasis Ekowisata

130

49.

Struktur Model Dinamik Sub Model Ekowisatawan

136

50.

Struktur Model Dinamik Sub Model Pendapatan Masyarakat

138

51.

Struktur Model Dinamik Sub Model Pendapatan Pemerintah

140

52.

Simulasi Model Pengembangan Pengelolaan TNBT Secara

141

Terintegrasi Berbasis Ekowisata Sesuai Kondisi Saat Ini


53.

Simulasi Model Pengembangan Pengelolaan TNBT Secara


Terintegrasi Berbasis Ekowisata dengan Skenario Pesimis

145

54.

Simulasi Model Pengembangan Pengelolaan TNBT Secara


Terintegrasi Berbasis Ekowisata dengan Skenario Moderat

147

55.

Simulasi Model Pengembangan Pengelolaan TNBT Secara


Terintegrasi Berbasis Ekowisata dengan Skenario Optimis

149

56.

Daya Dukung Fisik Obyek Ekowisata Berdasarkan Simulasi


Model dengan Skenario Target Jumlah Ekowisatawan pada
Tahun Kesepuluh Sebanyak 15 Ribu Orang

150

57.

Uji Sensitivitas Variabel Pelayanan Pengunjung terhadap Jumlah


Pengunjung TNBT.

154

58.

Uji Sensitivitas Variabel Promosi Melalui Media Cetak terhadap


Jumlah Pengunjung TNBT.

154

59.

Uji Sensitivitas Variabel Promosi Melalui Pameran terhadap


Jumlah Pengunjung TNBT.

155

60.

Uji Sensitivitas Variabel Promosi Melalui Media Elektronik


terhadap Jumlah Pengunjung TNBT.

155

61.

Uji Sensitivitas Variabel Jumlah Obyek Ekowisata terhadap


Jumlah Pengunjung TNBT.

155

62.

Uji Sensitivitas Variabel Kondisi Jalan Akses terhadap Jumlah


Pengunjung TNBT.

156

63.

Uji Sensitivitas Variabel Tingkat Kerusakan Hutan terhadap


Jumlah Pengunjung TNBT.

156

64.

Prinsip dan Nilai Ekowiisata Berkelanjutan (Weight, 1993)

157

xviii

DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1.

Deklarasi Bersama tentang Pengelolaan Sumberdaya Alam


Terpadu di Taman Nasional Bukit Tigapuluh dan Daerah
Penyangga ....................................................................................

173

2.

Daftar Jumlah Ekowisatawan TN.. Bukit Tigapuluh ......................

177

3.

Deskripsi Masing-masing Penggunaan Lahan di TNBT .

178

4.

Nilai Pengaruh dari Masing-masing Faktor Strategis SWOT


terhadap Pelaksanaan Alternatif Kebijakan .

180

5.

Tingkat Prioritas dari Alternatif Program Berdasarkan Masingmasing Faktor SWOT ...................................................................

182

6.

Persamaan Model Dinamik Pengembangan Pengelolaan TNBT


secara Terintegrasi Berbasis Ekowisata

184

7.

Data Sub Model Ekowisatawan ...

188

8.

Data Sub Model Pendapatan Masyarakat .....................................

191

9.

Data Penerimaan Pemerintah ........................................................

193

10.

Foto Kegiatan Penelitian ................................................................

194

xix

BAB. I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia yang terletak di antara dua benua
dan dua samudera, Indonesia memiliki hutan tropis terluas ketiga setelah Brazil dan
Zaire. Hutan tropis Indonesia mempunyai kekayaan keanekaragaman hayati yang
sangat tinggi (mega biodiversity) baik pada tingkat ekosistem, spesies dan genetik.
Indonesia memiliki sekitar 90 jenis ekosistem khas yang merupakan habitat
tumbuhan alam dan satwa liar yang meliputi spesies tumbuhan berbunga sekitar 10
% dari dunia, spesies mamalia

12 %, spesies reptilia dan amfibia 16 %,

dan

spesies burung 17 %, (BAPPENAS, 2003)


Dua hal yang menyebabkan masalah keanekaragaman hayati (biodiversitas)
menjadi perhatian dunia saat ini, pertama adalah masalah etik tentang pengakuan
bahwa semua mahluk hidup mempunyai hak untuk hidup.
kesadaran bahwa
pembangunan

Kedua, adanya

mahluk hidup merupakan sumberdaya yang diperlukan bagi

berkelanjutan (Alikodra, 1998). Masalah serius yang sedang

dihadapi dalam hal konservasi biodiversitas adalah berlangsungnya proses


degradasi dan kepunahan berbagai spesies di dunia, baik yang disebabkan oleh
faktor alam maupun karena tekanan akibat perkembangan kehidupan manusia.
Dalam rangka konservasi biodiversitas, sejak tahun 1982 Pemerintah
Indonesia menetapkan kebijakan konservasi alam, yang dalam pelaksanaannya
dilakukan melalui pengelolaan kawasan konservasi (taman nasional, taman wisata
alam, taman hutan raya, cagar alam, suaka margasatwa, dan taman buru) maupun
di luar kawasan konservasi (seperti taman margasatwa, kebun binatang, kebun raya,
taman safari, dan lain-lain).
Sampai tahun 2009, Pemerintah Indonesia telah menetapkan 535 unit
kawasan konservasi dengan luas 28.260.150,56 ha yang terdiri dari cagar alam,
suaka margasatwa, taman nasional, taman wisata alam, taman hutan raya, dan
taman buru. Taman nasional (TN) merupakan kategori kawasan konservasi yang
mempunyai persentase luas paling besar yaitu mencapai 57,9 %, atau seluas
16.375.251,31 ha dengan jumlah 50 unit.

Pembangunan TN di Indonesia diawali tahun 1980 dengan dideklarasikannya


5 (lima) kawasan TN pertama, yaitu TN Gunung Gede Pangrango, TN Ujungkulon,
TN Gunung Leuser, TN Baluran, dan TN Komodo. Selanjutnya, pemerintah terus
mengembangkan pembangunan TN dengan menunjuk beberapa lokasi baru.
Perkembangan luas kawasan TN di Indonesia sebagai berikut: pada tahun 1982
seluas

1.394.790 ha, tahun 1985

seluas

1.750.301 ha,

tahun 1990 seluas

1.883.900,7 ha, tahun 1995 seluas 3.679.330,7 ha, tahun 2000 seluas 11.573.793,2
ha,

dan pada tahun 2005 sampai tahun 2009

seluas

16.375.251,31 ha.

Perkembangan luas TN di Indonesia dapat dilihat pada Gambar 1.


18000000
18

Luas (Juta Ha)

16000000
16
14000000
14
12000000
12
10000000
10
8000000
8
6000000
6
4000000
4
2000000
2
00

1982

1985

1990

1995

2000

2009

Tahun

Gambar 1. Perkembangan Luas TN di Indonesia


(Ditjen. PHKA, 2007).
Taman nasional mempunyai fungsi yang sangat penting ditinjau dari aspek
ekologi, sosial dan ekonomi.

Ditinjau dari aspek ekologi TN mempunyai fungsi

sebagai pengendali erosi, pencegah banjir, siklus nutrisi, dan produksi karbon.
Ditinjau dari aspek sosial TN mempunyai fungsi membuka lapangan kerja bagi
masyarakat sekitar, spriritual, kultural, dan estetika. Sedangkan ditinjau dari aspek
ekonomi TN mempunyai fungsi yang sangat penting sebagai sumber pendapatan
bagi masyarakat dan pendapatan asli daerah (PAD).
Pengelolaan TN di Indonesia masih menghadapi berbagai permasalahan yang
mengancam kelestarian biodiversitasnya, seperti perambahan hutan, pemukiman
liar, pembalakan,

perburuan dan kebakaran hutan.

Masyarakat yang tinggal di

daerah penyangga TN pada umumnya masih mempunyai tingkat sosial ekonomi


rendah dan memiliki hubungan ketergantungan segi fisik dengan potensi
sumberdaya alam di kawasan TN.

Mereka memasuki TN untuk memenuhi

kebutuhan sehari-hari akan kayu bakar, daging satwa, ikan, buah-buahan, rotan,
madu, dan sumber daya alam lainnya.

Pengelolaan potensi yang ada,

baik

penawaran (supply) maupun permintaan (demand) belum berkembang secara


optimal. Sedangkan kontribusi pengelolaan TN terhadap pendapatan masyarakat
dan PAD masih rendah.
Hal tersebut terjadi karena pengelolaan TN belum terintegrasi dengan
pengembangan daerah penyangga dan pembangunan wilayah (kawasan budidaya,
permukiman, perkotaan, dan industri) baik secara sistem, kebijakan, maupun
fungsional.

Pengelolaan TN belum menjadi bagian integral dari pembangunan

wilayah secara keseluruhan.

Secara sistem, pembangunan wilayah

dikaitkan dengan peran dan fungsi kawasan taman nasional.

kurang

Secara kebijakan,

konsistensi program dan koordinasi pengembangan taman nasional masih lemah.


Sedangkan secara fungsional, sektor terkait belum terpadu dalam memberikan
dukungan terhadap pengelolaan TN. Kondisi tersebut menyebabkan timbulnya
kesenjangan (gaps) antara penawaran dan permintaan

dalam pengembangan

kawasan TN.
Sesuai Miller and Hamilton (1999) bahwa pengelolaan kawasan konservasi
perlu diintegrasikan dengan lanskap yang lebih luas. Hal tersebut dibuktikan dari
hasil studi kasus pada beberapa kawasan konservasi di Australia, Brazil, Amerika
Utara, dan Bhutan.
Kondisi belum terintegrasinya pengelolaan TN dengan pengembangan daerah
penyangga dan pembangunan wilayah terjadi pada hampir seluruh kawasan TN di
Indonesia, termasuk TN Bukit Tigapuluh (TNBT). Akibat dari belum terintegrasinya
pengelolaan TNBT, kini kawasan TN yang berada di wilayah Propinsi Riau dan
Jambi tersebut menghadapi berbagai permasalahan yang mengancam kelestarian
biodiversitasnya.

Permasalahan serius yang terjadi di kawasan TNBT adalah

perladangan berpindah yang dilakukan oleh masyarakat suku asli, pembalakan liar,
perambahan hutan, dan

perburuan satwa liar.

Berdasarkan data Balai TNBT,

perladangan berpindah yang dilakukan oleh masyarakat suku asli di kawasan TNBT
terus mengalami peningkatan. Perambahan hutan di sekitar enklav Desa Sanglap

diperkirakan telah mencapai luas 2.103 ha.

Dalam kasus perburuan satwa liar,

sebanyak 5 ekor Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) telah terbunuh dalam
periode tahun 1999 sampai tahun 2006. Sedangkan permasalahan yang terjadi di
sekitar kawasan TNBT adalah konversi hutan, eksploitasi sumberdaya alam mineral,
kebakaran hutan, dan perubahan tataguna lahan. Konversi hutan dan eksploitasi
tambang batu bara
TNBT

telah menyebabkan semakin menipisnya hutan penyangga

(Balai TNBT dan FZS,

2009). Akibat lain dari belum terintegrasinya

pengelolaan TNBT adalah belum berkembangnya pemanfaatan potensi kawasan


tersebut

sehingga

kontribusi

pengelolaan

TNBT

terhadap

peningkatan

kesejahteraan masyarakat, pertumbuhan ekonomi daerah dan PAD, masih sangat


rendah.
Penelitian ini difokuskan pada pengelolaan berbasis ekowisata di TNBT.
Ditinjau dari aspek penawaran ekowisata, kawasan TNBT mempunyai potensi
berupa kekayaan biodiversitas yang tinggi (sekitar 1500 spesies flora, 59 jenis
mamalia, 9 jenis primata, 193 jenis burung, dan beberapa tipe ekosistem unik
keindahan lanskap, dan keunikan budaya masyarakat tradisional. Sedangkan
potensi permintaan ekowisata berupa meningkatnya minat masyarakat untuk
menikmati obyek yang masih alami, meningkatnya isu lingkungan, dan semakin
meningkatnya jumlah wisatawan mancanegara yang masuk ke Indonesia.
Menurut UNEP (2003), perencanaan dan pengelolaan ekowisata yang baik
(dalam penelitian ini pengelolaan ekowisata secara terintegrasi) dapat menjadi salah
satu alat yang paling efektif untuk konservasi biodiversitas dalam jangka panjang.
Sebagai alat pembangunan, ekowisata dapat mewujutkan tiga tujuan dasar dari
konservasi biodiversitas yaitu : 1) Melindungi biodiversitas dan budaya masyarakat,
2) Mendukung penggunaan biodiversitas secara berkelanjutan, dan 3) Membagi
keuntungan pengembangan ekowisata dengan masyarakat lokal.
Berdasarkan

latar

belakang

tersebut,

dalam

rangka

pengembangan

pengelolaan TNBT secara terintegrasi diperlukan pendekatan yang logis atas dasar
potensi yang ada (baik supply maupun demand), berupa model pengembangan
pengelolaan TNBT secara terintegrasi.

B. Perumusan Masalah
Penelitian ini akan menjawab permasalahan pokok sebagai berikut :
1. Bagaimana kondisi keintegrasian pengelolaan TNBT dalam suatu wilayah
pembangunan ?
2. Strategi dan program prioritas apa yang perlu dilakukan dalam pengembangan
pengelolaan TNBT secara terintegrasi ?
3. Bagaimana model pengembangan pengelolaan TNBT secara terintegrasi ?
Rumusan masalah penelitian dapat dilihat pada Gambar 2.

Pengelolaan
TNBT

Pengembangan
Daerah
Penyangga .

Pembangunan
Wilayah

KONDISI SAAT INI

AKIBATNYA :

Pengelolaan TNBT
bersifat eksklusif
Pemda tidak
mempunyai
kewenangan dalam
pengelolaan TNBT
Tidak ada sistem
yang secara efektif
memadukan
perencaan ketiga
wilayah tersebut.
Implementasi
kebijakan tentang
pengelolaan daerah
penyangga masih
lemah.
.

Biodiversitas TNBT
terancam kelestariannya
Pengelolaan potensi supply
dan demand belum
berkembang secara optimal.
Kontribusi terhadap
kesejahteraan masyarakat
masih rendah
Kontribusi terhadap
pertumbuhan ekonomi
daerah dan peningkatan
PAD rendah

Pengembangan
pengelolaan TNBT
memerlukan
pendekatan yang
logis atas dasar
potensi yang ada
(suppay dan
demand), berupa
MODEL
PENGEMBANGAN
PENGELOLAAN
TNBT SECARA
TERINTEGRASI

Gambar 2. Rumusan Masalah Penelitian


C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah merumuskan model pengembangan pengelolaan
TNBT secara terintegrasi. Adapun tujuan antara dari penelitian ini adalah :
1. melakukan analisis kondisi keintegrasian pengelolaan TNBT dalam suatu
wilayah pembangunan,
2. merumuskan strategi dan program prioritas pengembangan pengelolaan TNBT
secara terintegrasi,
3. membuat model pengembangan pengelolaan TNBT secara terintegrasi.

D.

Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah :

1. Bagi pengambil kebijakan penelitian ini bermanfaat sebagai dasar dalam


pengembangan pengelolaan TN secara terintegrasi berbasis pada potensi
kawasan.
2. Bagi masyarakat dan dunia usaha penelitian

ini bermanfaat sebagai acuan

untuk meningkatkan keterlibatannya dalam pengelolaan TN.


3. Bagi peneliti

bermanfaat untuk

menambah

pengetahuan dan wawasan di

bidang pengelolaan TN.


E.

Novelty
Nilai kebaruan (novelty) dari penelitian ini adalah integrasi pengelolaan TN

dengan pengembangan daerah penyangga dan pembangunan wilayah melalui


pendekatan sistem, kebijakan, dan fungsional.
F.

Kerangka Pemikiran
WCED (1987) mendefinisikan konservasi biodiversitas adalah pengelolaan

pemanfaatan biosfer oleh manusia sedemikian rupa sehingga bisa dihasilkan


kesinambungan keuntungan/ manfaat terbesar sekaligus memelihara potensinya
untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi generasi mendatang (the management of
human use of the biosphere so that it can yield in greatest sustainability benefit
generations while maintaining its potential to meet the needs and aspiration of future
generations).
Dalam

pelaksanaannya,

konservasi

biodiversitas

dilakukan

melalui

pengelolaan kawasan konservasi (seperti taman nasional, taman wisata alam,


taman hutan raya, cagar alam, suaka margasatwa, dan taman buru) maupun di luar
kawasan konservasi (seperti kebun binatang, kebun raya, taman safari).
Taman nasional merupakan jenis kawasan konservasi yang berdasarkan
IUCN Protected Area Category (1994) termasuk kategori II yakni kawasan
konservasi yang dikelola dengan tujuan utama untuk perlindungan ekosistem dan
rekreasi. Berdasarkan kategori tersebut tujuan pengelolaan TN adalah :

1)

Melindungi wilayah alami dan pemandangan indah yang memiliki nilai tinggi
secara nasional atau internasional untuk tujuan spiritual, ilmu pengetahuan,
pendidikan, rekreasi, dan pariwisata,

2)

Melestarikan sealamiah mungkin perwakilan dari wilayah fisiografi, komunitas


biotik, sumberdaya genetik dan spesies, untuk memelihara keseimbangan
ekologi, dan keanekaragaman hayati.,

3)

Mengelola penggunaan oleh pengunjung untuk kepentingan

inspiratif,

pendidikan, budaya, dan rekreasi dengan tetap mempertahankan areal tersebut


pada kondisi alamiah atau mendekati alamiah,
4)

Menghilangkan dan mencegah eksploitasi atau okupansi yang bertentangan


dengan tujuan penunjukannya,

5)

Memelihara rasa menghargai terhadap ciri ekologi, geomorfologi, kekeramatan,


atau estetika yang menjadi pertimbangan penunjukannya,

6)

Memperdulikan

kebutuhan

masyarakat

lokal,

termasuk

penggunaan

sumberdaya alam secara subsisten, sepanjang tidak menimbulkan pengaruh


negatif terhadap tujuan pengelolaan.
Kerangka teoritis yang mendasari penelitian ini adalah : bahwa

terdapat

interaksi (hubungan timbal baik) antara kawasan TN, daerah penyangga TN, dan
wilayah pembangunan (meliputi kawasan budidaya, permukiman, industri, dan
perkotaan).
wilayah

Kawasan TN memberi pengaruh terhadap daerah penyangga dan

pembangunan,

dan

sebaliknya,

daerah

penyangga

dan

wilayah

pembangunan juga memberi pengaruh terhadap kawasan TN.


Kawasan TN memberi pengaruh terhadap daerah penyangga dan wilayah
pembangunan dalam bentuk fungsi ekologis (seperti pengendali erosi, pencegah
banjir, siklus nutrisi, dan produksi karbon), manfaat konsumtif (penghasil daging,
buah, madu, obat-obatan), dan manfaat non konsumtif (wisata alam, penelitian,
pendidikan, sumber genetik, spriritual, kultural, dan estetika).
Sebaliknya daerah penyangga dan wilayah pembangunan juga memberi
pengaruh terhadap kawasan TN. Pengaruh daerah penyangga terhadap TN dapat
berupa pemanfaatan sumberdaya alam oleh masyarakat dan partisipasi masyarakat
dalam pengelolaan TN. Sedangkan pengaruh wilayah pembangunan terhadap TN
ditentukan oleh kebijakan pembangunan daerah, misalnya dalam hal tataguna
lahan,

eksploitasi

sumber

daya

alam,

pembangunan

sarana

prasarana,

pengembangan pariwisata dan lain-lain. Berdasarkan klasifikasi wilayah, interaksi


tersebut dapat dilihat pada Gambar 3.

Zona 2
Zona 1

Zona 3
Keterangan :
Zona 1 : Kawasan TN
Zona 2 : Daerah Penyangga (Buffer Zone) TN
Zona 3 : Wilayah Pembangunan (kawasan budidaya, pemukiman,
industri dan perkotaan) (Dimodifikasi dari Konsep Alikodra 2008)

Gambar 3. Interaksi Kawasan TN, Daerah Penyangga dan


Pembangunan

Wilayah

Mengingat adanya interaksi dari ketiga wilayah tersebut maka secara teoritis
pengelolaan TN perlu diintegrasikan dengan

pengembangan daerah penyangga

dan pembangunan wilayah. Hal ini sesuai dengan pendapat Miller and Hamilton
(1999), yang menyatakaan bahwa pengelolaan kawasan konservasi perlu
diintegrasikan dengan lanskap yang lebih luas.
Selain itu berdasarkan hasil Kongres WNPC (World National Park Congress)
tahun 1993 di Caracas, Venezuela diamanatkan bahwa pengelolaan kawasan
konservasi tidak bisa hanya dikelola oleh single institution, melainkan harus
melibatkan berbagai pihak yang berkepentingan. Berdasarkan hasil Kongres WNPC
tahun 2003 di Durban, Yordania memandatkan bahwa pengelolaan kawasan
konservasi harus mampu memberikan manfaat ekonomi bagi para pihak yang
berkepentingan, termasuk masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar.
Sesuai dengan kondisi yang ada (baik potensi supply maupun demand),
arah pengelolaan TNBT yang potensial untuk dikembangkan adalah dibidang
ekowisata. Hal ini sesuai dengan UNEP (2003), yang menyatakan bahwa
perencanaan dan pengelolaan ekowisata yang baik

(dalam penelitian ini

pengelolaan ekowisata secara terintegrasi) dapat menjadi salah satu alat yang
paling efektif untuk konservasi keanekaragaman hayati dalam jangka panjang.
Dalam penelitian ini akan dianalisis kondisi pengelolaan terintegrasi
kawasan TNBT dalam suatu wilayah pembangunan dan potensi-potensi yang ada
baik supply maupun demand.

Tiga bentuk integrasi

yang akan dikaji adalah

integrasi sistem, integrasi fungsional dan integrasi kebijakan (Kay dan Alder , 1999).
Berdasarkan hasil analisis akan dirumuskan program prioritas pengembangan
pengelolaan TNBT secara terintegrasi. Sebagai hasil akhir dari penelitian ini akan
dibuat model pengembangan pengelolaan TNBT berbasis pada potensi yang ada
sesuai dengan azas-azas pembangunan kawasan taman nasional secara
terintegrasi. Kerangka pemikiran penelitian dapat dilihat pada Gambar 4.

KONSERVASI BIODIVERSITAS

Di luar
KK

Kawasan
Konservasi (KK)

Kebun raya
Kebun Binatang
Taman Safari
Dll.

KAWASAN KONSERVASI
Taman Nasional
Pengelolaan TN. Secara Terintegrasi

Pengelolaan
Taman Nasional

Pengembangan
Daerah
Penyangga

Pembangunan
Wilayah

Program
Prioritas
pengembangan
pengelolaan
TNBT secara
terintegrasi

O
W
I
S
A
T
A

Sub Model
Ekowisatawan

Sub Model
Pendapatan
Masyarakat

Sub Model
Penerimaan
Pemerintah

Model
Pengembangan
Pengelolaan
TNBT berbasis
Ekowisata
sesuai azas
azas
pembangunan
TN secara
terintegrasi

Model Pengembangan Pengelolaan TN. Berbasis Ekowisata

TUJUAN PENGELOLAAN
TAMAN NASIONAL

Gambar 4. Kerangka Pemikiran

10

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Konservasi Biodiversitas
Program konservasi biodiversitas di Indonesia pertama kali dicanangkan di
Denpasar, Bali pada tahun 1982 yang diawali dengan diimplementasikannya strategi
konservasi biodiversitas pada pengelolaan TN. Strategi ini telah merubah secara
total sistem pengelolaan kawasan konservasi Indonesia, yang sebelumnya hanya
dilaksanakan

atas

dasar

perlindungan

dan

pelestarian

alam,

kemudian

disempurnakan dengan program pemanfaatannya secara lestari. IUCN, UNEP dan


WWF (1991) menyatakan bahwa dasar utama strategi konservasi adalah
perlindungan dan pelestarian biodiversitas dan meningkatkan kondisi sosial dan
ekonomi masyarakat.
Alikodra (1998) menyatakan bahwa srategi konservasi dunia yang disiapkan
oleh empat badan pelestarian dunia terkemuka, yaitu serikat pelestarian alam
internasional (IUCN), dana margasatwa dunia (WWF), organisasi pangan dan
pertanian perserikat bangsa-bangsa (FAO) serta program lingkungan Perserikatan
Bangsa- Bangsa (UNEP), telah ditetapkan pada tahun 1981.

Untuk selanjutnya

pemerintah Indonesia telah menterjemahkannya menjadi Strategi Konservasi


Indonesia. Baik Strategi Konservasi Dunia maupun Strategi Konservasi Indonesia
menunjukkan betapa pentingnya perlindungan dan pelestarian biodiversitas bagi
pembangunan berkelanjutan, yang dapat dicapai melalui :
1)

Menjaga proses penting serta sistem penopang kehidupan yang penting bagi
kelangsungan hidup manusia dan pembangunan;

2)

Melestarikan keanekaragaman plasma nultfah yang penting bagi program


budidaya, agar dapat melindungi dan memperbaiki sifat- sifat tanaman dan
hewan budidaya. Hal ini penting bagi pengembangan ilmu pengetahuan,
inovasi teknologi dan terjaminnya sejumlah besar industri yang menggunakan
biodiversitas; dan

3)

Menjamin kesinambungan pendayagunaan spesies dan ekosistem oleh


manusia, yang mendukung kehidupan jutaan penduduk pedesaan serta dapat
menompang sejumlah besar industri.

11

WCED (1987) mendefinisikan konservasi biodiversitas adalah pengelolaan


pemanfaatan biosfer oleh manusia sedemikian rupa sehingga bisa dihasilkan
kesinambungan keuntungan/ manfaat terbesar sekaligus memelihara potensinya
untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi generasi mendatang (the management of
human use of the biosphere so that it my yield in greatest sustainability benefit
generations while maintaining its potential to meet the needs and aspiration of future
generations). Sedangkan menurut Undang-undang No. 5 tahun 1990, konservasi
biodiversitas adalah pengelolaan sumberdaya alam hayati yang pemanfaatannya
dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan
tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya.
Konservasi biodiversitas dilakukan melalui kegiatan: perlindungan sistem penyangga
kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta
ekosistemnya., dan pemanfaatan secara lestari biodiversitas dan ekosistemnya.
B. Pembangunan Berkelanjutan
Definisi pembangunan berkelanjutan (sustainable development) sebagaimana
yang dikemukakan pada Brundland Report (laporan komisi sedunia untuk
lingkungan dan pembangunan, dengan judul Our Common Future ( WCED, 1987);
yaitu pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa sekarang tanpa mengurangi
kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya (the development
that meets the needs of the present without compromising the ability of future
generations of meet their own needs).
Menurut Keraf (2002), pembangunan berkelanjutan dapat mencapai tujuannya
apabila memperhatikan tiga aspek utama pembangunan berkelanjutan, yaitu aspek
ekonomi, aspek sosial budaya dan aspek lingkungan hidup.

Murdiyarso, (2003)

menambahkan bahwa pembangunan berkelanjutan harus dapat menjamin terjadinya


pertumbuhan ekonomi (economic growth), meningkatkan kesejahteraan sosial
(social welfare)

dan memperhatikan kelestarian

lingkungan

(environtmental

integrity).
Pembangunan berkelanjutan merupakan suatu proses pembangunan yang
mengoptimalkan manfaat sumberdaya alam dan sumberdaya manusia secara
berkelanjutan, dengan cara menyerasikan aktifitas manusia sesuai dengan
kemampuan sumber alam

yang menopangnya dalam suatu ruang wilayah

12

(Sugandhy, 1999). Pembangunan berkelanjutan memerlukan adanya integrasi yang


mantap antara pemanfaatan sumberdaya alam, sumberdaya manusia, dan
sumberdaya buatan dalam suatu kurun waktu dan dimensi ruang

Prinsip ini telah

disadari sejak konferensi lingkungan hidup di Stockholm tahun 1972 dimana salah
satu butir deklarasinya menyatakan bahwa dalam rangka pengelolaan sumberdaya
alam yang lebih rasional untuk meningkatkan kualitas lingkungan, diputuskan suatu
pendekatan

terpadu

dan

terkoordinasi

dalam

perencanaan

pembangunan

berkelanjutan berwawasan lingkungan.


C. Pembangunan Wilayah
Pembangunan wilayah (regional development) pada hakekatnya adalah
pelaksanaan pembangunan nasional di suatu region yang disesuaikan dengan
kemampuan fisik, dan sosial region tersebut serta tetap menghormati peraturan
perundang-undangan yang berlaku (Ditjend Agraria, 1982).
Menurut Sukirno (1985),

tujuan pembangunan adalah : 1). meningkatkan

ketersediaan dan memperluas distribusi barang-barang kebutuhan pokok seperti


pangan, kesehatan, dan perlindungan, 2). meningkatkan taraf hidup, yaitu;
meningkatkan pendapatan, memperluas kesempatan kerja, pendidikan yang lebih
baik, dan juga perhatian yang lebih besar pada nilai-nilai budaya dan kemanusiaan.
Keseluruhannya akan memperbaiki bukan hanya kesejahteraan material tetapi juga
menghasilkan rasa percaya diri sebagai individu maupun sebagai suatu bangsa, 3).
Memperluas pilihan ekonomi dan sosial yang tersedia bagi setiap orang dan setiap
bangsa dengan membebaskan mereka dari perbudakan dan ketergantungan bukan
hanya dalam hubungan dengan orang dan negara tetapi juga terhadap kebodohan
dan kesengsaraan manusia.
Dalam pelaksanaannya pembangunan wilayah dapat dilakukan dengan
menggunakan pendekatan yang berbeda-beda tergantung kondisi fisik, sosial,
ekonomi dan budaya. Tiga pendekatan yang dapat digunakan dalam pembangunan
wilayah yaitu pendekatan pusat-pusat pertumbuhan, pendekatan sektoral, dan
pendekatan wilayah. Pendekatan pusat-pusat pertumbuhan memprioritaskan
pembangunan pada kota-kota atau tempat-tempat strategis yang diharapkan dapat
menarik daerah-daerah pinggiran di sekitarnya. Pendekatan sektoral adalah
pembangunan melalui pemberian prioritas pada sektor-sektor tertentu seperti sektor

13

industri, perikanan, pariwisata, dan lain-lain. Sedangkan pendekatan wilayah


ditekankan pada penanganan langsung pada para stakeholder dan masyarakat yang
berada di wilayah-wilayah yang terisolasi. Pada wilayah yang terisolasi tersebut
dilakukan pencarian dan pengenalan kelompok-kelompok sasaran penduduk
termiskin. Dengan demikian, pendekatan wilayah berorientasi pada pemerataan dan
keadilan yang bertujuan untuk memperkecil bahkan menghilangkan kesenjangan
ekonomi dan sosial, baik antar kelompok dalam masyarakat maupun antar daerah
dapat terwujud (Mubyarto, 2000).
D. Pengelolaan TN
FAO (1982), mendefinisikan TN sebagai kawasan luas dan relatif belum
terganggu yang memiliki nilai alam tinggi, dengan kepentingan konservasi tinggi,
potensi rekreasi tinggi, mudah dikunjungi dan bermanfaat bagi daerah. Sedangkan
dalam IUCN (1994), TN termasuk Kategori II yang didefinisikan sebagai wilayah
alamiah di daratan atau lautan yang ditunjuk untuk :
1)

Melindungi integritas ekologi satu atau lebih untuk kepentingan generasi kini
dan yang akan datang;

2)

Melarang

eksploitasi

dan

okupasi

yang

bertentangan

dengan

tujuan

penunjukannya;
3)

Memberikan landasan untuk pengembangan spiritual, ilmu pengetahuan,


pendidikan, rekreasi, dan kesempatan bagi pengunjung yang ramah secara
ekologi dan budaya.
Dalam sistem hukum Indonesia (UU Nomor 5 Tahun 1990, PP Nomor 68

Tahun1998) TN didefinisikan sebagai kawasan pelestarian alam yang mempunyai


ekosistem asli , dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan
penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan
rekreasi.
Berdasarkan IUCN (1994), tujuan pengelolaan TN adalah :
7)

Melindungi wilayah alami dan pemandangan indah yang memiliki nilai tinggi
secara nasional atau internasional untuk tujuan spiritual, ilmu pengetahuan,
pendidikan, rekreasi, dan pariwisata;

14

8)

Melestarikan sealamiah mungkin perwakilan dari wilayah fisiografi, komunitas


biotik, sumberdaya genetik dan spesies, untuk memelihara keseimbangan
ekologi, dan keanekaragaman hayati;

9)

Mengelola penggunaan oleh pengunjung untuk kepentingan

inspiratif,

pendidikan, budaya, dan rekreasi dengan tetap mempertahankan areal tersebut


pada kondisi alamiah atau mendekati alamiah;
10) Menghilangkan dan mencegah eksploitasi atau okupansi yang bertentangan
dengan tujuan penunjukannya;
11) Memelihara rasa menghargai terhadap ciri ekologi, geomorfologi, kekeramatan,
atau estetika yang menjadi pertimbangan penunjukannya; dan
12) Memperdulikan

kebutuhan

masyarakat

lokal,

termasuk

penggunaan

sumberdaya alam secara subsisten, sepanjang tidak menimbulkan pengaruh


negatif terhadap tujuan pengelolaan.
Menurut Ditjen. PHKA (2007), tujuan pengelolaan TN adalah terjaminnya
keutuhan kawasan; terjaminnya potensi serta keragaman tumbuhan, satwa , dan
ekosistemnya;

dan optimalnya manfaat TN untuk tujuan penelitian, ilmu

pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi.


Pendekatan pengelolaan TN mengalami perkembangan dari waktu ke waktu.
Pada era tahun 1800-an (mengacu pada penetapan TN Pertama di Dunia yaitu TN
Yellow Stone di Amerika Serikat tahun 1872), pembangunan TN merupakan upaya
perlindungan

terhadap spesies

tertentu sebagai prioritas

menyingkirkan kepentingan kehidupan manusia.

pertama

dengan

Pada era tahun 1970-an,

kongres IUCN (International Union for Conservation of Nature and Natural


Resources) di New Delhi (1969) menetapkan bahwa kawasan konservasi harus
dibagi menjadi beberapa kategori menurut kriteria tertentu sehingga pengelolaannya
lebih efektif dan efisien.
Pada era tahun 1980-an, berdasarkan hasil Kongres TN ke 3 di Bali tahun
1982, bahwa setiap kawasan konservasi harus memiliki rencana pengelolaan
sebagai panduan bagi pengelola. Selanjutnya Kongres WNPC (World National Park
Congres) ke 4. tahun 1993 di Caracas, Venezuela 1993 mengamanatkan bahwa
pengelolaan kawasan konservasi tidak bisa hanya dikelola oleh single institution,
melainkan harus melibatkan berbagai pihak yang berkepentingan. Sedangkan
Kongres WNPC ke 5

tahun 2003 di Durban, Yordania memandatkan bahwa

15

pengelolaan kawasan konservasi harus mampu memberikan manfaat ekonomi bagi


para pihak yang berkepentingan, termasuk masyarakat yang tinggal di dalam dan
sekitar.
Menurut Ditjen. PHKA (2007), TN dikelola dengan prinsip dasar sebagai
berikut :
1)

Pendayagunaan potensi TN untuk kegiatan penelitian, ilmu pengetahuan,


pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi, diupayakan agar
tidak mengurangi luas kawasan, tidak menyebabkan berubahnya fungsi, serta
tidak memasukkan jenis tumbuhan dan satwa yang tidak asli;

2)

Dalam upaya pencapaian tujuan pengelolaan, kawasan TN ditata kedalam zona


inti, zona rimba/zona bahari, dan zona pemanfaatan;

3)

Masyarakat sekitar secara aktif diikutsertakan dalam pengelolaan TN sejak


perencanaan, pelaksanaan, hingga pemanfaatannya; dan

4)

Dalam hal dijumpai kerusakan habitat

dan atau penurunan populasi satwa

yang dilindungi, maka setelah melalui pengkajian yang seksama dapat


dilakukan kegiatan: pembinaan habitat, pembinaan populasi, rehabilitasi
dengan jenis tumbuhan asli, reintroduksi dengan jenis satwa asli, pengendalian
dan atau pemusnahan jenis tumbuhan dan atau satwa yang tidak asli yang
diidentifikasi telah dan akan mengganggu ekosistem kawasan.
Menurut Hockings et al (1999) kapasitas pengelolaan kawasan konservasi
terdiri dari tiga dimensi yaitu: 1) sistem pemerintahan ( dukungan politik, legislasi,
dan system desain dari kawasan konservasi) , 2) tingkat sumberdaya ( tenaga, dana
dan sarana-prasarana), dan 3) dukungan masyarakat (kesadaran dan dukungan).
Dalam upaya untuk mewujudkan efektifitas pengelolaan kawasan yang dilindungi,
terpenuhinya kebutuhan kesetaraan, keadilan sosial dan demokrasi dalam
pengelolaan sumberdaya alam, telah terjadi pergeseran cara pandang (paradigm
shift)

dalam pengelolaan kawasan yang dilindungi, antara lain : 1.) perubahan

fungsi kawasan yang dilindungi dari yang semula semata-mata hanya untuk
perlindungan

keanekaragaman

hayati

menjadi

kawasan

perlindungan

keanekaragaman hayati yang juga berfungsi sosial ekonomi jangka panjang untuk
mendukung pembangunan yang berkesinambungan; 2.) beban biaya pengelolaan
dari yang semula ditanggung pemerintah menjadi beban bersama pemerintah dan
penerima manfaat; 3.) kebijakan pengelolaan dari yang semula top-down menjadi

16

bottom-up (participatory);

4.) pengelolaan yang semula berbasis pemerintah

menjadi berbasis multipihak (collaborative management) atau berbasis masyarakat


lokal (local community based);

5.) tata pemerintahan dari sentralistis menjadi

desentralistis,

pemerintah

dan

6.) peran

dari

provider menjadi facilitator.

(Departemen Kehutanan , 2005).


Sejalan dengan pergeseran cara pandang dalam pengelolaan kawasan yang
dilindungi, pemerintah menetapkan Peraturan Menteri Kehutanan No. P.19/Menhut2004 tentang Pengelolaan Kolaboratif. Borrini-Feyerabend et al (2000) memberikan
pengertian konsep ko-manajemen (disebut juga participatory, collaborative, joint,
mixed, multiparty atau round table management) sebagai suatu kondisi dimana 2
(dua) atau lebih aktor sosial bernegosiasi, saling menentukan, dan saling menjamin
pembagian fungsi-fungsi pengelolaan, berbagi hak dan tanggung jawab dari suatu
teritori, daerah atau sumberdaya alam secara adil.
E. Pengembangan Daerah Penyangga
Kawasan TN dikelola dengan sistem zonasi, yang terdiri dari zona inti, zona
pemanfaatan, zona rimba, dan atau zona lain.

Daerah penyangga TN adalah

wilayah yang berada di luar kawasan TN, baik sebagai kawasan hutan lain, tanah
negara bebas maupun tanah yang dibebani hak yang diperlukan dan mampu
menjaga keutuhan kawasan TN. Daerah penyangga TN mempunyai fungsi untuk
menjaga kawasan TN dari segala bentuk tekanan dan gangguan yag berasal dari
luar dan dari dalam kawasan yang dapat mengakibatkan perubahan keutuhan dan
atau perubahan fungsi kawasan (PP. Nomor 68 tahun 1998).
Alikodra (1998) membagi daerah penyangga TN menjadi tiga tipe yaitu :
1)

Daerah penyangga fisik, terletak pada tanah negara bebas ataupun hutan
lainnya di sekitar TN yang dapat difungsikan untuk memenuhi kebutuhan dasar
masyarakat sekitar melalui kegiatan budidaya plasma nutfah yang mempunyai
nilai ekonomi tinggi dimana masyarakat sering memanfaatkannya secara illegal
dari dalam kawasan TN tersebut;

2)

Daerah penyangga sosial, terletak di luar kawasan TN, merupa-

kan wilayah

administratif dimana masyarakatnya mempunyai ketergantungan yang tinggi


terhadap keberadaan sumberdaya yang terdapat di dalam TN; dan

17

3)

Daerah penyangga tradisional, terletak di dalam kawasan TN dimana terjadi


interaksi antara masyarakat dengan sumberdaya alam yang telah berlangsung
lama.

Pada daerah penyangga ini

harus dilakukan pengaturan dan

pengawasan yang ketat terhadap sistem pemungutan sumberdaya.


Tujuan pengelolaan daerah penyangga adalah mengendalikan aktifitas
penggunaan lahan di sekitar dan berbatasan dengan kawasan konservasi agar lebih
kompatibel dengan tujuan konservasi biodiversitas kawasan konservasi (Meffe and
Carroll, 1994).
Untuk membina fungsi daerah penyangga, pemerintah melakukan kegiatan
pengembangan sebagai berikut: 1) Peningkatan pemahaman masyarakat terhadap
konservasi

sumberdaya

alam

hayati

dan

ekosistemnya,

2)

Peningkatan

pengetahuan dan keterampilan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, 3)


Rehabilitasi lahan, 4 ) Peningkatan produktifitas lahan, dan 5 ) Kegiatan lain yang
dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat ( PP. Nomor 68 tahun 1998).
F. Pengelolaan secara Terintegrasi
Berdasarkan Kamus Umum Bahasa Indonesia (Poerwadarminta, 2006),
definisi integrasi adalah penyatuan supaya menjadi bulat atau menjadi utuh.
Ahmadi (2007) mendefinisikan integrasi adalah proses pembauran hingga menjadi
kesatuan yang utuh atau bulat. Integrasi bertujuan untuk menghasilkan suatu pola
kehidupan yang mempunyai fungsi serasi.
Menurut Kay and Alder (1999) terdapat tiga jenis integrasi (keterpaduan), yaitu
integrasi sistem, integrasi fungsional, dan integrasi kebijakan. Integrasi sistem
memasukkan pertimbangan dimensi spasial dan temporal sistem sumberdaya alam
dalam persyaratan fisik, perubahan lingkungan, pola pemanfaatan sumberdaya
alam, dan penataan sosial ekonomi. Integrasi ini menjamin bahwa isu-isu relevan
yang muncul dari hubungan secara fisik-biologi, sosial dan ekonomi ditangani secara
cukup. Integrasi ini membutuhkan berbagai ketersediaan informasi yang dibutuhkan
dalam pengelolaan sumberdaya alam. Integrasi fungsional berkaitan dengan
hubungan antara berbagai kegiatan pengelolaan seperti konfirmasi antara program
dan proyek dengan tujuan dan sasarannya. Integrasi ini juga mengupayakan tidak
terjadinya duplikasi diantara lembaga yang terlibat, tetapi saling melengkapi.
Penyusunan zonasi yang mengalokasikan pemanfaatan sumberdaya alam secara

18

spesifik merupakan salah satu bentuk efektif dari keterpaduan fungsional. Integrasi
kebijakan sangat esensial untuk menjamin konsistensi dari program pengelolaan
sumberdaya alam secara terpadu dalam konteks kebijakan pemerintah pusat dan
daerah serta untuk memelihara koordinasi.
Dua kegiatan atau lebih dapat dintegrasikan apabila memenuhi azas
kompatibilitas. Azas kompatibilitas terdiri dari tiga macam, yaitu complete
compatibility, partial compatibility, dan incompatibility. Complete compability terjadi
apabila dua kegiatan atau lebih dapat berlangsung bersamaan dalam ruang dan
waktu yang sama (misalnya agroforestry). Partial compatibility terjadi apabila dua
kegiatan atau lebih dapat dilakukan secara berurutan dalam ruang yang sama,
namun dalam waktu yang berbeda (misalnya sesudah tanam padi kemudian tanam
kacang. Incompatibility terjadi apabila dua kegiatan atau lebih tidak dapat dilakukan
secara bersamaan atau berurutan dalam ruang yang sama (Nirarita, E. 1996).
Kegiatan-kegiatan yang mudah diintegrasikan adalah kegiatan yang bersifat
jasa (services) seperti pembuatan rencana dan program yang sama. Kegiatan yang
agak sulit diintegrasikan adalah kegiatan untuk membuat atau merumuskan aturan
main bersama (norm creation), sedang yang sulit diintegrasikan adalah kegiatan
yang berkaitan dengan implementasi dari aturan main yang telah disepakati
bersama dan pengawasannya (implementation and rules observance).

Apabila

tingkat kesulitan tersebut diterapkan dalam pengelolaan sumberdaya alam , maka


akan terlihat bahwa perencanaan termasuk kategori mudah, penataan agak sulit,
sedangkan pelaksanaan dan pengawasan adalah yang paling sulit

Untuk

mewujudkan pengelolaan sumberdaya alam yang terintegrasi, lembaga-lembaga


yang terkait

harus mengetahui kegiatan apa saja yang dapat dan tidak dapat

diintegrasikan dan bagaimana cara mengintegrasikannya (Aunuddin, 2001).


Menurut Pomeroy (1994) pengelolaan sumberdaya alam secara terintegrasi
merupakan integrasi dari pengelolaan berbasis sumberdaya (resource based
management), pengelolaan berbasis masyarakat (community based management)
dan pengelolaan berbasis pasar (marketing based management). Reosurce based
management adalah pengelolaan yang didasarkan pada kemampuan sumberdaya
alam, sumberdaya manusia,
management adalah

dan sumberdaya budaya.

Community based

pengelolaan sumberdaya alam yang didasarkan pada

kemampuan masyarakat. Marketing based management adalah pengelolaan yang

19

didasarkan pada kemampuan dalam memanfaatkan basis-basis kompetisi (seperti


sumberdaya, peraturan, kelembagaan, peluang pasar, dan persaingan)
Pendekatan pengelolaan kawasan konservasi secara terintegrasi yang
pernah diimplementasikan di Indonesia adalah Integrated Conservation and
Development Program (ICDP), Integrated Protected Areas System (IPAS), dan
pengelolaan Cagar Biosfer (Biosphere Reserves).
Dalam pendekatan ICDP

yang diperkenalkan oleh Wells et al. (1992)

pemanfaatan sumberdaya alam bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar


merupakan ide sentral, akan tetapi kesinambungan dan kelestarian sumberdaya
alam baik yang ada di dalam maupun sekitar kawasan TN harus tetap terjaga.
Proyek ICDP yang didanai oleh Bank Dunia dirancang menurut empat komponen
inti, yaitu: 1). Pengelolaan TN, yang bertujuan meningkatkan kemampuan pengelola
TN dan mendukung kegiatan penegakan peraturan yang berkaitan dengan taman; 2)
Pengelolaan zona penyanga, yang meliputi pengelolaan area yang berbatasan
dengan TN oleh masyarakat; 3) Pembangunan sosial ekonomi masyarakat lokal,
yang dirancang untuk memperbaiki perencanaan tata guna lahan, hak kepemilikan
lahan, dan pengelolaan sumberdaya oleh masyarakat yang berada di sekitar TN; 4)
Pemantauan dan evaluasi untuk memberikan data tambahan tentang keragaman
hayati dan untuk melakukan penilaian dampak proyek terhadap masyarakat dan
sumberdaya di sekitar TN. Proyek ICDP telah diaplikasikan pada banyak TN di
dunia, meliputi sedikitnya 9 negara di Asia, Afrika, dan Amerika Latin (Wells et al.
1992). Sedangkan di Indonesia , proyek ICDP diaplikasikan antara lain pada TN.
Kerinci Seblat, TN. Dumoga Bone, dan TN. Gunung Leuser.
Sedangkan pendekatan IPAS bertujuan untuk membangun sistem proteksi
kawasan lindung melalui pengelolaan kawasan yang terintegrasi dan representatif
serta mengacu pada nilai-nilai budaya yang dianut oleh masyarakat lokal. Sistem
integrasi dalam konsep IPAS meliputi TN maupun kawasan lindung dan masyarakat
sekitarnya dengan fokus perlindungan keanekaragaman hayati.

Proyek IPAS di

Indonesia didanai oleh Bank Pembangunan Asia (ADB).


Adapun pengelolaan cagar biosfer ditujukan untuk mencapai tiga fungsi
dasar, yaitu: 1) fungsi konservasi, 2) fungsi pembangunan, dan 3) fungsi logistik (
memberikan dukungan untuk penelitian, monitoring, pendidikan, dan informasi).
Beberapa atribut yang membuat Cagar Biosfer menjadi sangat penting dan berguna

20

adalah kontribusi dalam hal : 1) Konservasi biodiversitas, 2) memelihara kesehatan


ekosistem ( menjaga erosi, memelihara kesuburan tanah, mengatur tata air, siklus
nutrisi, dan menyerap polusi), 3) mempelajari sistem alam dan perubahannya, 4)
mempelajari sistem tradisional dalam pemanfaatan lahan (Bridgewater, 2002).
G. Ekowisata
Istilah ekowisata mulai diperkenalkan pada tahun 1987 oleh Hector Ceballos
Lascurian, setelah itu beberapa pakar mendefinisikan ekowisata yang masingmasing meninjau dari sudut pandang berbeda. Menurut Hector Ceballos-Lascurain
definisi dari ecoturism (ekowisata) adalah perjalanan wisata alam yang tidak
mengganggu atau merusak lingkungan alam, dengan tujuan khusus misalnya untuk
mempelajari, mengagumi dan menikmati pemandangan serta tumbuh-tumbuhan dan
satwa liar, seperti setiap perwujudan kebudayaan (baik masa lampau atau sekarang)
yang ada di daerah yang bersangkutan ( Fennell 1999).
Ekowisata umumnya didefinisikan sebagai perjalanan ke daerah yang masih
alami untuk menikmati pemandangan dan hidupan liar (Jacobson 1994), dengan
asumsi bahwa sedikit atau tidak menimbulkan dampak pada lingkungan dan
memberikan manfaat sebagai ekonomi dengan mempertahankan keutuhan budaya
masyarakat setempat (Kinnaird and OBrien 1996; Fandeli 2000a). Ekowisata
merupakan suatu perpaduan dari berbagai minat yang

tumbuh dari keprihatian

terhadap lingkungan, ekonomi dan sosial yang diberi batasan sebagai kegiatan
yang bertumpu pada lingkungan dan bermanfaat secara ekologi, sosial dan ekonomi
bagi masyarakat lokal serta bagi kelestarian sumberdaya dan keberlanjutannya
(Fandeli 2000b). Ekowisata tidak dapat dipisahkan dengan konservasi, oleh karena
itu ekowisata disebut sebagai bentuk perjalanan wisata yang bertanggung jawab
(Fandeli, 2000a). Para konservasionis melihat ekowisata sebagai kegiatan yang
mampu meningkatkan kemampuan finansial dalam kegaitan konservasi dan
meningkatkan kepedulian masyarakat akan pentingnyya upaya-upaya konservasi,
sedangkan para ilmuan melihat ekowisata dapat mendukung dan melindungi
lingkungan alami pada suatu kawasan konservasi serta diharapkan dapat menjaga
kelestarian lingkungan flora dan fauna (Adhikerana, 1999).
Ekowisata merupakan pengelolaan alam dan budaya masyarakat dengan
pendekatan konservasi yang menjamin kelestarian dan kesejahteraan (Nurfatriani

21

dan Efida 2003). Di dalamnya terdapat konsep pengembangan pariwisata yang


mencakup aspek pelestarian terhadap lingkungan alam maupun budaya yang
menjadi andalan pariwisata, aspek edukasi bagi wisatawan, serta partisipasi
masyarkat dengan tetap memberikan peluang keuntungan ekonomi bagi pengusaha
(Gunawan 2003).
Selanjutnya Honey (1999) dalam Drumm and Moore (2005) memberikan
versi yang lebih detail, ekowisata adalah perjalanan ke kawasan yang rentan, murni,
dan biasanya dilindungi, yang berusaha menekan dampak negatif sekecil mungkin
dan biasanya dilakukan dalam sekala kecil. Ekowisata membantu mendidik
wisatawan; menyediakan dana bagi konservasi; manfaat secara langsung berupa
perkembangan ekonomi dan kekuatan politik bagi masyarkat lokal; dan membantu
menghargai perbedaan budaya dan hak asasi manusia
Dari sejumlah defiisi yang diberikan oleh para pakar pariwisata tentang
ecoturism, yang paling banyak diterima umum adalah definisi dari The International
Ecotourism Society (2005) yang mendefinisikan ecoturism atau ekowisata adalah
kegiatan wisata yang bertanggung jawab ke daerah-daerah alami dengan menjaga
kelestarian lingkungan alam dan meningkatkan kesejahteraan penduduk setempat
(responsible travel to natural areas which conserves the environment and improves
the welfare of local people).
Secara

konseptual

ekowisata

adalah

suatu

konsep

pengembangan

pariwisata berkelanjutan yang bertujuan untuk mendukung upaya-upaya pelestarian


lingkungan (alam dan budaya) serta meningkatkan partisipasi masyarakat dalam
pengelolaan, sehingga memberikan manfaat ekonomi kepada masyarakat setempat
(Supriatna et al. 2000).
Prinsip-prinsip ekowisata menurut The International Ecotourism Society
(2005 ) adalah :
1)

Mencegah dan menanggulangi dampak dari kegiatan wisatawan terhadap alam


dan budaya, pencegahan dan penanggulangan disesuaikan dengan sifat dan
karakter alam dan budaya setempat;

2)

Pendidikan konservasi lingkungan yaitu mendidik wisatawan dan masyarakat


lokal akan pentingnya arti konservasi;

22

3)

Pendapatan untuk kawasan, yaitu adanya retribusi dan conservation tax dapat
dipergunakan

secara

langsung

untuk

membina,

melestarikan

dan

meningkatkan kualitas kawasan pelestarian alam;


4)

Partisipasi masyarakat dalam perencanaan, yaitu keterlibatan langsung


masyarakat dalam merencanakan, mengawasi dan mengelola ekowisata; dan

5)

Penghasilan masyarakat, yaitu dengan adanya keuntungan secara aktual.


Sedangkan

Deklarasi

Quebec

secara

spesifik

menyebutkan

bahwa

ekowisata merupakan suatu bentuk wisata yang mengadopsi prinsip-prinsip


pariwisata berkelanjutan yang membedakannya dengan bentuk wisata lain. Sifat
dari ekowisata menyebabkananya menjadi alat yang berharga bagi konservasi.
Implementasinya bisa (Drumm and Moore 2005):
1)

Memberikan nilai ekonomi bagi pengelolaan ekosistem yang terdapat di


kawasan dilindungi;

2)

Secara langsung meningkatkan pendapatan bagi kawasan konservasi;

3)

Meningkatkan pendapatan masyarakat lokal baik secara langsung dan tidak


langsung , menciptakan insentiv bagi kegiatan konservasi yang terdapat di
dalam masyarakat lokal;

4)

Membangun jaringan konservasi lokal, nasional dan internasional;

5)

Mempromosikan penggunaan sumberdaya alam secara berkelanjutan; dan

6)

Mengurangi ancaman bagi keanekaragaman hayati.


Sebagai alat pembangunan, ekowisata dapat mewujutkan tiga tujuan dasar

dari konservasi keanekaragaman hayati (UNEP 2003) , yaitu :


1)

Melindungi keanekaragaman hayati dan budaya dengan penguatan system


manajemen kawasan lindung (umum dan atau privat) dan meningkatkan nilai
ekosistem;

2)

Mendukung penggunaan keanekaragaman hayati secara berkelanjutan dengan


kenaikan pendapatan, pekerjaan dan kesempatan berusaha dalam ekowisata
dan jaringan usaha yang relevan; dan

3)

Membagi keuntungan pengembangan ekowisata dengan masyarakat lokal,


melalui partisipasi aktif dalam perencanaan dan pengelolaan ekowisata.
Harus disadari bahwa walaupun ekowisata dapat menjadi alat berharga

untuk melestarikan keanekaragaman hayati, juga mempunyai dampak negatif yang


lama terhadap lingkungan (ekologis), satwa liar dan masyarakat lokal jika

23

pengelolaannya kurang tepat (Kinnaird and OBrien 1996).

Beberapa bahaya

tertentu dapat timbul dari kegiatan ekowisata yang tidak dibatasi seperti masalah
kesenjangan ekonomi dan perselisihan diantara anggota masyarakat, konflik budaya
antara wisatawan dan masyarakat lokal dan gangguan ekologis yang seringkali tidak
disadari oleh masyarakat.
Tempat tujuan wisata merupakan elemen yang penting kerena tempat tujuan
tersebut umumnya merupakan alasan utama bagi wisatawan untuk berkunjung
(Cooper et al 1993). Dengan demikian keadaan di tempat tujuan wisata seperti
atraksi wisata, fasilitas, aksesibilitas, pelayanan dan keamanan akan sangat
mempengaruhi jumlah pengunjung. World Tourism Organisation (WTO) dan United
Nation Environmental Programme (UNEP) menetapkan kriteria kawasan ekowisata,
sebagai berikut :
1)

Kekhasan atraksi alam (Flagship attraction): tipe hutan, sungai, danau,


keanekaragaman hayati, keunikan spesies tertentu, kemudahan mengamati
flora dan fauna;

2)

Atraksi pendukung/ pelengkap: berenang (air terjun,sungai, pantai), kegiatan


olahraga (jalan kaki, memancing, mendayung), budaya lokal (keseniaan,
kebiasaan - kebiasaan tradisional), peninggalan sejarah;

3)

Aksesibilitas dan infstruktur : jarak kebandara internasional atau pusat-pusat


wisata, akses (jalan raya, jalan kereta api, penerbangan, pelabuhan), fasilitas
kesehatan - komunikasi yang memadai;

4)

Iklim : cuaca yang mendukung kegiatan rekreasi, banyaknya curah hujan dan
distribusinya; dan

5)

Kondisi politik dan sosial : adanya stabilitas sosial politik - terjaminnya


keamanan pengunjung, pengunjung dapat diterima oleh masyarakat lokal.
Dalam pengembangan dan pengelolaan ekowisata sangat penting untuk

mengetahui segmen pasar atau sisi permintaan dari ekowisata. Segmen pasar dari
ekowisata dipengaruhi oleh factor-faktor keadaan sosio-demografi, karakteristik
dalam perjalanan, motivasi dan pengalaman pengunjung. Pengunjung yang memiliki
kebutuhan tertentu, akan memilih tujuan wisata tertentu pula.
Fennell (1999) mengklasifikasikan ekoturis berdasarkan tujuan wisata,
pengalaman yang diinginkan dan dinamika kelompok, sebagai berikut :

24

1)

Ekoturis mandiri adalah orang-orang yang melakukan perjalanan secara


individual, tinggal di berbagai tipe akomodasi yang berbeda-beda dan
mempunyai mobilitas untuk mengunjungi berbagai tujuan wisata. Pengalaman
mereka sangat fleksibel dan merupakan persentase terbesar dari semua
ekoturis;

2)

Ekoturis dalam tur adalah orang-orang yang melakukan perjalanan dalam


kelompok dan mengunjungi objek wisata eksotik; dan

3)

Kelompok ahli atau akademisi adalah orang-orang yang biasanya terlibat dalam
penelitian baik sebagai individu maupun kelompok. Pada umumnya mereka
tinggal di suatu tempat dalam jangka waktu cukup panjang dan lebih bersedia
mengalami kondisi kesusahan dibandingkan ekoturis yang lain.
Sedangkan

Lindberg (1991)

mengklasifikasikan

ekoturis

berdasarkan

dedikasi, waktu, tujuan dari perjalanan, tempat dan cara melakukan perjalanan yang
dibagi dalam empat kelompok, yaitu :
1)

Hard - Core Nature Tourist : para ilmuwan / peneliti;

2)

Dedicated

Nature

Tourist:

ekoturis

yang

mengetahui tentang

budaya

masyarakat atau tempat-tempat yang dilindungi (cagar alam);


3)

Mainstream Nature Tourist: ekoturis yang menghendaki tempat-tempat spesifik


seperti cagar alam; dan

4)

Casual Nature Tourist : ekoturis yang datang ke tempat-tempat yang alami.


Hard-core dan dedicated nature tourist tidak membutuhkan akomodasi yang

lengkap, berbeda dengan mainstream dan casual nature tourist dimana tingkat
pelayanan dan akomodasi harus disiapkan lebih baik.
Keberhasilan pengolahan dan pengembangan ekowisata merupakan hasil
kerja sama antara stakeholder, yaitu pemerintah, swasta dan masyarakat. Menurut
Fennell (1999) ada delapan prinsip untuk membangun kemitraan dalam pengelolaan
ekowisata, yaitu :
1)

Berdasarkan budaya lokal;

2)

Memberikan tanggung jawab kepada masyarakat lokal;

3)

Mempertimbangkan untuk mengembalikan kepemilikan daerah yang dilindungi


kepada penduduk asli;

4)

Memberikan program pembangunan dari pemerintah dengan daerah yang


dilindungi;

25

5)

Mengaitkan program pembangunan dari pemerintah dengan daerah yang


dilindungi;

6)

Memberikan priolitas kepada masyarakat dengan sekala keci;

7)

Melibatkan masyarakat lokal dalam perencanaan; dan

8)

Mempunyai keberanian untuk melakukan pelanggaran


Pengembangan ekowisata melibatkan berbagai pihak seperti pengunjung,

sumberdaya alam, pengelola, masyarakat lokal, kalangan bisnis termasuk biro


perjalanan (tour operator), pemerintah, LSM, dan lain sebagainya. Peranan
masyarakat lokal harus dipertimbangkan karena mereka menjadi bagian tak
terpisahkan dari ekosistem, sekaligus adalah pelaku yang berhak mengambil
keputusan dalam prinsip ekowisata yang telah diterima secara umum, yakni
ekowisata berorientasi lokal dan melibatkan masyarakat lokal (Fennell 1999).
Dalam pengembangan dan pengelolaan ekowisata di TN perlu dilakukan
secara

terpadu

berdasarkan

kriteria-kriteria

pelestarian

lingkungan

yang

berkesinambungan dengan ekowisata. Kriteria-kriteria tersebut sebagai berikut :


1)

Memiliki kepedulian, tanggung jawab dan komitmen terhadap pelestarian


lingkungan;

2)

Pengembangan ekowisata harus didasarkan atas musyawarah dan persetujuan


masyarakat setempat;

3)

Memberikan manfaat kepada masyarakat setempat;

4)

Peka dan menghormati nilai-nilai sosial budaya dan tradisi keagamaan yang
dianut masyarakat setempat; dan

5)

Memperhatikan peraturan lingkungan hidup dan kepariwisataan.


Sedangkan menurut Ridwan (2000), ada empat prinsip yang harus menjadi

pegangan dalam pengembangan hutan untuk ekowisata yaitu konservasi, edukasi,


partisipasi masyarakat dan ekonomi. Perencanaan dan pengelolaan ekowisata yang
baik dapat menjadi salah satu alat yang paling efektif untuk konservasi
keanekaragaman hayati dalam jangka panjang dengan keadaan yang mendukung
seperti kondisi pasar, manajemen di tingkat lokal dan hubungan yang harmonis
antara pengembangan ekowisata dengan konservasi (UNEP 2003).

26

H. Permintaan dan Penawaran Ekowisata


Dari sisi ekonomi, pariwisata muncul dari empat unsur pokok yang saling
terkait erat atau menjalin hubungan dalam suatu sistem, yakni : permintaan atau
kebutuhan, penawaran atau pemenuhan kebutuhan berwisata itu, pasar dan
kelembagaan yang berperan untuk memfasilitasi keduanya dan pelaku atau aktor
yang menggerakkan katiga elemen tersebut (Damanik and Weber 2006). Menurut
Wahab (2003), pada umunya penawaran wisata mencakup yang ditawarkan oleh
destinasi pariwisata kepada wisatawan yang real maupun yang potensial.
Penawaran dalam pariwisata menunjukkan khasanah atraksi wisata alamiah, dan
buatan manusia, jasa-jasa maupun barang-barang yang kira-kira akan menarik
orang-orang untuk mengunjungi suatu negara tertentu.
Marpaung (2002) menyatakan bahwa objek dan daya tarik wisata adalah suatu
bentukan dan/ atau aktivitas dan fasilitas yang berhubungan, yang dapat menarik
minat wisatawan atau pengunjung untuk datang ke suatu daerah/ tempat tertentu.
Waluyo (2007) menyatakan, daya tarik wisata adalah segala sesuatu yang menarik
pada sebuah atau berbagai destinasi pariwisata yang memiliki unsur alam, budaya,
dan/ atau minat khusus yang bersifat unik, khas, dan/ atau langka. Objek dan daya
tarik wisata tersebut yang ditawarkan kepada wisatawan yang disebut dengan
produk (product) dan pelayanan (service) wisata (Damanik and Weber 2006).
Menurut Damanik and Weber (2006),

elemen penawaran wisata sering

disebut sebagai triple As yang terdiri dari atraksi, aksesibilitas, dan amenitas.
Atraksi diartikan sebagai objek wisata (baik yang bersifat tangible maupun
intangible) yang memberikan kenikmatan kepada wisatawan yang terdiri dari alam,
budaya, dan buatan. Unsur lain yang melekat dalam atraksi ini adalah hospitally,
yakni jasa akomodasi atau penginapan, restoran, biro perjalanan, dan sebagainya.
Aksesibilitas mencakup keseluruhan infrastruktur transportasi yang menghubungkan
wisatawan dari, ke dan selama di daerah tujuan wisata

(Damanik and

Weber

2006). Amenitas adalah infrastruktur yang sebenarnya tidak langsung terkait dengan
pariwisata tapi sering menjadi bagian dari kebutuhan wisatawan. Bank, penukaran
uang, telekomonikasi, usaha persewaan (rental), penerbit, dan penjual buku
panduan wisata, seni pertunjukan (teater, bioskop, pub dan lain-lain).

27

Tiga ciri khas utama yang menjadi tanda dari penawaran pariwisata menurut
Wahab (2003) adalah :
1)

Merupakan penawaran jasa-jasa. Artinya sesuatu yang ditawarkan itu tidak


mungkin ditimbun dan harus dimanfaatkan dimana produk itu berada;

2)

Yang ditawarkan itu bersifat kaku (rigit). Artinya suatu produk wisata yang
ditawarkan tidak bisa atau sulit sekali dirubah sasaran penggunaannya di luar
pariwisata; dan

3)

Penawaran pariwisata harus bersaing ketat dengan penawaran barang-barang


dan jasa-jasa yang lain.
Menurut Marpaung (2002) secara garis besar daya tarik wisata dibagi ke

dalam tiga klasifikasi : 1) daya tarik alam, 2) daya tarik budaya, dan 3) daya tarik
buatan manusia. Walaupun demikian ada yang membagi jenis objek dan daya tarik
wisata ke dalam dua kategori saja, yaitu :1) objek dan daya tarik wisata alam dan
2) objek dan daya tarik wisata sosial budaya. Sedangkan Wahab (2003) membagi
unsur-unsur pariwisata berupa alamiah yang terdiri dari sumber-sumber alam dan
hasil karya buatan manusia.
1) Sumber-sumber alam, mencakup :
a. Iklim: udara yang lembut, bersinar matahari, kering dan bersih
b. Tata letak tanah dan pemandangan alam: daratan, pegunungan yang
berpanorama indah, danau, sungai, pantai, bentuk-bentuk yang unik
pemandangan yang indah, air terjun, daerah gunung merapi, gua dll.
c. Unsur rimba: hutan-hutan lebat, pohon-pohon langka, dan sebagainya.
d. Flora dan fauna: tumbuhan aneh, barang-barang beragam jenis dan warna,
kemungkinan memancing, berburu dan bersafari foto binatang buas, TN dan
taman suaka binatang buas, dan sebagainya.
e. Pusat-pusat kesehatan: sumber air mineral alam, kolam lumpur berkhasiat
untuk mandi, sumber air panas untuk penyembuhan penyakit, dll.
2)

Hasil karya buatan manusia, mencakup :


a. Yang berciri sejarah, budaya dan agama: Monumen dan peninggalan
bersejarah masa lalu, tempat-tempat budaya (museum, gedung kesenian,
tugu peringatan), perayaan-perayaan tradisional (karnaval, upacara adat),
bangunan-bangunan raksasa dan biara-biara keagamaan.

28

b. Prasarana-prasarana: prasarana umum (air bersih, listrik, telekomunikasi),


kebutuhan pokok hidup modern (rumah sakit, bank, pusat perbelanjaan),
prasarana wisata (penginapan, hotel, warung, desa wisata, tempat kemah),
tempat rekreasi dan olahraga.
c. Sarana pencapaian dan alat transportasi penunjang: pelabuhan udara dan
laut, kereta api dan alat transportasi darat lainnya, kapal.
d. Sarana pelengkap: umumnya sarana pelengkap ini bersifat rekreasi dan
hiburan misalnya: bioskop, kasino, night club, kedai-kedai dan lain-lain.
e. Pola hidup masyarakat: cara hidup bangsa, sikap, makanan dan sikap
pandangan hidup, kebiasaannya, tradisinya, adat istiadatnya, semua itu
menjadi kekayaan budaya yang menarik wisatawan ke Negara tersebut.
Damanik and Weber (2006) menyatakan kualitas produk yang baik terkait
dengan empat hal, yakni keunikan, otentisitas, originalitas, dan keragaman.
Keunikan diartikan sebagai kombinasi kelangkaan dan daya tarik yang khas melekat
pada suatu objek wisata. Originalitas atau keaslian mencerminkan keaslian dan
kemurnian, yakni seberapa jauh suatu produk tidak terkontaminasi oleh atau tidak
mengadopsi model atau nilai yang berbeda dengan nilai aslinya. Otentisitas mengcu
pada keaslian yang dikaitkan dengan derajat keantikan atau eksotisme budaya
sebagai atraksi wisata (Damanik and Weber 2006). Diversitas produk artinya
keanekaragaman produk dan jasa yang ditawarkan. Tujuannya agar wisatwan dapat
lebih lama tinggal dan menikmati atraksi yang bervariasi serta akhirnya memperoleh
pengalaman wisata yang lengkap.
Unsur yang paling penting yang menjadi daya tarik dari sebuah daerah tujuan
wisata , menurut Setyono (2003) adalah:
1. Kondisi alamnya, contoh hutan hujan tropis atau terumbu karang;
2. Keanekaragaman hayati/ flora-fauna yang unik, langka dan endemik, seperti:
raflesia, badak jawa, komodo dan orang utan;
3. Kondisi fenomena alamnya, seperti: Gunung Krakatau dan Danau Kalimutu; dan
4. Kondisi adat dan budayanya, seperti: Badui, Toraja, Bali dan Sumba.
Di sisi lain yang berpengaruh terhadap perkembangan dunia pariwisata
karena kondisi lingkungan yang semakin rusak, sehingga kondisi lingkungan yang
natural merupakan atraksi utama bagi wisatawan (Marpaung 2002). Unsur penting
lainnya yang mempengaruhi permintaan wisata adalah wisatawan dan penduduk

29

lokal yang menggunakan sumberdaya (produk dan jasa) wisata. Faktor lain yang
turut berperan adalah aksesibilitas yang semakin mudah pada produk dan objek
wisata. Distribusi pendapatan yang lebih merata dan penghasilan yang meningkat
juga ikut andil dalam mendorong semakin banyaknya permintaan perjalanan wisata
(Damanik and Weber 2006).
Pendidikan yang semakin meningkat membuat wawasan seseorang semakin
luas. Keingintahuan dan minat untuk mempelajari sesuatu yang baru ikut meningkat.
Selain itu aspirasi terhadap tempat dan budaya yang berbeda semakin tinggi.
Variabel

lain

adalah

ketersediaan

waktu.

Kebijakan

pemerintah

untuk

menggabungkan hari libur ke akhir atau awal pekan menjadi waktu luang yang bisa
digunakan untuk berlibur (Damanik and Weber 2006).
Suwantoro

(1997)

mengidentifikasi

empat

kelompok

faktor

yang

mempengaruhi penentuan pilihan daerah tujuan wisata seperti:


1)

Fasilitas: akomodasi, atraksi, jalan, tanda-tanda petunjuk arah;

2)

Nilai estetis: pemandangan (panorama), iklim, tempat bersantai, cuaca;

3)

Waktu/ biaya: jarak dari tempat asal (rumah), waktu dan biaya perjalanan,
harga/ tarif pelayanan; dan

4)

Kualitas hidup: keramah tamahan penduduk dan bebas dari pencemaran.


Sedangkan Yoeti (2007), menyatakan bahwa wisatawan cenderung memilih

suatu daerah tujuan karena:


1)

Faktor biaya apakah rendah atau relatif tinggi;

2)

Bagaimana situasi politik didaerah tujuan tersebut;

3)

Bagaimana

kendaraan

menuju

kesana?

Tersedia

setiap

waktu

atau

comfortable; dan
4)

Faktor anganangan (Elimination factor) terhadap tempat yang dikunjungi.


Waktu luang, uang, sarana dan prasarana merupakan permintaan potensial

wisata. Permintaan pootensial ini harus ditransformasikan menjadi permintaan riil,


yakni pengambilan keputusan wisata. Pengambilan keputusan belangsung secara
bertahap, mulai dari tahap munculnya kebutuhan, kesediaan untuk berwisata,
sampai keputusan untuk berwisata itu sendiri. Masing masing fase ini mempunyai
kegiatan yang spesifik (Damanik and Weber 2006).

30

I.

Analisis Kebijakan
Kebijakan publik adalah serangkaian tindakan yang diusulkan seseorang,

kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu dengan ancaman dan
peluang yang ada, dimana kebijakan yang diusulkan tersebut ditujukan untuk
memanfaatkan potensi

sekaligus mengatasi hambatan yang ada dalam rangka

mencapai tujuan tertentu, Friedrick


sederhana

(1963) dalam Dwijowijoto (2004). Secara

Dwijowijoto (2004) mendefinisikan kebijakan publik adalah segala

sesuatu yang dikerjakan dan yang tidak dikerjakan oleh pemerintah.


Kebijakan sebagai dasar dalam pelaksanaan kegiatan atau pengambilan
keputusan, adalah suatu pilihan terhadap berbagai alternatif yang bersaing
mengenai suatu hal. Analisis kebijakan adalah sebuah disiplin ilmu sosial terapan
yang menggunakan berbagai metode penelitian dan argumen untuk menghasilkan
dan memindahkan informasi yang relevan dengan kebijakan sehingga dapat
dimanfaatkan di tingkat politik dalam rangka memecahkan masalah-masalah
kebijakan (Dunn, 1998).
Analisis kebijakan merupakan salah satu diantara sejumlah banyak faktor
lainnya di dalam sistem kebijakan. Suatu sistem kebijakan atau seluruh pola
institusional dimana didalamnya kebijakan dibuat, mencakup hubungan timbal balik
antara tiga unsur, yaitu: kebijakan publik, pelaku kebijakan, dan lingkungan
kebijakan. Sistem kebijakan adalah produk manusia yang subyektif yang diciptakan
melalui pilihan-pilihan yang sadar oleh pelaku kebijakan (Dunn, 1998).
Beberapa prosedur yang biasa digunakan dalam analisis kebijakan (Dunn,
2000), yaitu : 1). perumusan masalah (definisi), menghasilkan informasi mengenai
kondisi-kondisi yang menimbulkan masalah kebijakan, 2). peramalan (prediksi),
menyediakan informasi mengenai konsekwensi di masa mendatang dari penerapan
alternatif kebijakan, termasuk tidak melakukan sesuatu, 3). rekomendasi (preskripsi),
menyediakan informasi mengenai nilai atau kegunaan relatif dari konsekwensi di
masa depan dari suatu pemecahan masalah, 4). pemantauan (deskripsi)
menghasilkan informasi tentang konsekwensi sekarang dan masa lalu dari terapan
alternatif kebijakan, 5). evaluasi, menyediakan informasi mengenai nilai atau
kegunaan dari konsekwensi pemecahan atau pengatasan masalah.
Analisis kebijakan termasuk penelitian kualitatif (qualitative research) atau
interpretative research yang menekankan pada teknik wawancara mendalam pada

31

sejumlah kecil responden yang terseleksi dengan ketat. Mengingat kebijakan publik
adalah pengetahuan yang bersifat multidisipliner, maka untuk menghasilkan sintesa
yang mendalam dan komprehensif tidak cukup hanya menggunakan satu metode
saja tetapi merupakan kombinasi beberapa metode. Menggunakan kombinasi
beberapa metode dapat mempertajam analisis, meningkatkan mutu disain, dan
meminimalisasi bias dalam penelitian (Eriyatno dan Sofyar, 2007).
J. Analisis SWOT
Proses

pengambilan

keputusan

strategis

selalu

berkaitan

pengembangan misi, tujuan, strategi dan kebijakan suatu organisasi.

dengan
Kegiatan

perencanaan strategis harus melibatkan dan menganalisis faktor-faktor strategis


suatu organisasi yang meliputi kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman. Hal ini
disebut dengan analisis situasi. Model yang paling populer untuk analisis situasi
adalah Analisis SWOT (Rangkuti, 1998).
Analisis SWOT banyak diterapkan dalam proses manajemen strategis.
Proses manajemen strategis terdiri atas empat elemen dasar yang saling berkaitan,
yaitu : 1) pengamatan lingkungan, 2) perumusan strategi, 3) implementasi strategi,
dan 4) evaluasi dan pengendalian (Hunger and Wheelen, 2001) Faktor-faktor yang
paling penting untuk masa depan suatu institusi disebut dengan faktor-faktor
strategis yang

terdiri dari;

Strength (kekuatan), Weakness (kelemahan),

Opportunity (peluang) dan Threat (ancaman), atau disingkat dengan SWOT.


Dalam proses manajemen strategis , analisis SWOT termasuk dalam elemen
dasar pertama, yaitu pengenalan lingkungan yang meliputi faktor internal dan
eksternal. Bagi Balai TNBT, lingkungan internal meliputi variabel-variabel kekuatan
dan kelemahan yang ada dalam institusi tetapi biasanya tidak termasuk
pengendalian jangka pendek dari manajemen puncak. Variabel-variabel tersebut
membentuk suasana tempat pekerjaan dilakukan.

Sedangkan

faktor eksternal

terdiri atas variabel-variabel peluang dan ancaman yang berada di luar TNBT dan
tidak secara khusus ada dalam pengendalian. Variabel-variabel tersebut membentuk
keadaan (kondisi) tempat TNBT berada. Faktor eksternal dapat dikelompokkan
menjadi dua, yaitu lingkungan biofisik dan lingkungan sosial.

Lingkungan sosial

merupakan kekuatan umum yang tidak berhubungan dengan aktifitas Balai TNBT

32

tetapi mempengaruhi TNBT, misalnya kekuatan ekonomi, sosiokultural, teknologi,


politik, dan hukum.
Salah satu cara untuk menyimpulkan faktor-faktor strategis adalah dengan
mengkombinasikan faktor strategis internal (IFAS = Internal Strategies Factors
Summary) dengan faktor strategis eksternal (EFAS = External Strategies Factors
Summary) ke dalam sebuah matrik SWOT. Dengan Matrik SWOT selanjutnya dapat
dicocokkan peluang dan ancaman yang dihadapi dengan kekuatan dan kelemahan
untuk menghasilkan empat alternatif
pencerahan (brainstorming)

strategi.

Metode ini mengarah pada

untuk menciptakan strategi-strategi alternatif yang

mungkin sebelumnya tidak terpikirkan oleh pengelola TNBT.


K. AHP (Analytical Hierarchy Process)
Analytical Hierarchy Process (AHP) atau dalam bahasa Indonesia dikenal
dengan Proses Hirarki Analitik (PHA) adalah suatu model yang luwes yang
memberikan kesempatan bagi perorangan atau kelompok untuk membangun
gagasan-gagasan dan mendefinisikan persoalan dengan cara membuat asumsi
mereka masing-masing dan memperoleh pemecahan yang diiginkan darinya. Proses
ini memberi suatu kerangka bagi partisipasi kelompok dalam pengambilan
keputusan atau pemecahan persoalan (Saaty 1993).
Proses ini dapat diterapkan pada banyak persoalan nyata dan terutama
berguna untuk pengalokasian sumber daya, perencanaan, analisis pengaruh
kebijakan, dan penyelesaian konflik. AHP sebagai suatu ancangan baru terhadap
pemecahan persoalan dan pengambilan keputusan memilki keuntungan antara lain :
1)

Kesatuan :

AHP memberi satu model tunggal yang mudah dimengerti, luwes

untuk aneka ragam persoalan;


2)

Pengulangan proses : AHP memungkinkan orang memperluas definisi mereka


dan memperbaiki pertimbangan dan pengertian mereka melalui pengulangan;

3)

Kompleksitas

AHP

memadukan

ancangan

deduktif

dan

ancangan

berdasarkan system dalam memecahkan persoalan kompleks;


4)

Penilaian dan konsensus : AHP tak memaksakan konsensus tapi mensintesis


suatu hasil yang representatif dari berbagai penilaian yang berbeda-beda;

5)

Saling ketergantungan : AHP dapat menangani saling ketergantungan elemenelemen dalam suatu system dan tak memaksakan pemikiran linier;

33

6)

Tawar menawar : AHP

mempertimbangkan prioritas-prioritas relatif dari

berbagai faktor system dan memungkinkan orang memilih alternatif terbaik


berdasarkan tujuan-tujuan mereka;
7)

Penyusunan hierarki : AHP mencerminkan kecenderungan alami pikiran untuk


memilah-milah elemen-elemen suatu sistem dalam berbagai tingkat berlainan
dan mengelompokkan unsur yang serupa dalam setiap tingkat;

8)

Pengukuran : AHP memberi suatu skala untuk mengukur dan suatu metode
untuk menetapkan prioritas;

9)

Konsistensi : AHP melacak konsistensi logis dari pertimbangan-pertimbangan


yang digunakan dalam menetapkan berbagai prioritas; dan

10) Sintesis : AHP menuntut ke suatu taksiran menyeluruh tentang kebaikan setiap
alternatif
Pengambilan keputusan berdasarkan AHP menggunakan bilangan untuk
menggambarkan suatu relatif pentingnya suatu elemen di atas yang lainnya. Nilai itu
memuat skala perbandingan antara 1 sampai 9. pengalaman telah membuktikan
bahwa skala dengan sembilan satuan dapat diterima dan mencerminkan derajat
sampai mana kita mampu membedakan intensitas tata hubungan antar elemen.
L. Analisis Sistem Dinamis
Sistem adalah suatu gugus atau kumpulan dari elemen yang berinteraksi dan
terorganisir untuk mencapai suatu tujuan (Djoyomartono, 2000).

Menurut Ford

(1999), sistem adalah suatu kombinasi dari dua atau lebih elemen-elemen yang
saling terkait. Sedangkan menurut Syamsuddin (2001) sistem adalah setiap
fenomena, baik struktural maupun fungsional yang memiliki paling sedikit dua
komponen yang saling berinteraksi. Pengertian lain, sistem adalah keseluruhan
interaksi antar unsur dari sebuah obyek dalam batas lingkungan tertentu yang
bekerja mencapai tujuan (Muhammadi et al, 2001). Sedangkan menurut Suratmo
(2002) sistem adalah penggambaran bentuk struktur atau bentuk keterkaitan antara
dua komponen atau lebih yang saling berinteraksi secara fungsional.
Analisis sistem adalah serangkaian teknik yang mencoba untuk : (1)
mengidentifikasi sifat-sifat makro dari suatu sistem, yang merupakan perwujudan
karena adanya interkasi di dalam dan di antara sub sistem, (2) menjelaskan interaksi
atau proses-proses yang berpengaruh terhadap sistem secara keseluruhan sebagai

34

akibat adanya berbagai masukan, (3) menduga (meramal) apa yang mungkin terjadi
pada sistem bila beberapa faktor yang ada dalam sistem berubah (Patten, 1972
dalam Darsiharjo, 2004)).

Sedangkan menurut Purnomo (2005), analisis sistem

berguna untuk mendekati masalah yang secara intuitif dapat digolongkan kedalam
organized complexities atau kompleksitas yang terorganisasi.

Analisis sistem

adalah pemahaman yang berbasis pada proses, sehingga sangat penting untuk
berusaha memahami proses-proses yang terjadi.
Pemodelan sistem berawal dari bagaimana kita mencoba memahami dunia
nyata dan menuangkannya menjadi sebuah model dengan beragam metode yang
ada. Model adalah abstraksi atau penyederhanaan dari dunia nyata, yang mampu
menggambarkan struktur dan interaksi elemen serta perilaku keseluruhannya sesuai
dengan sudut pandang dan tujuan yang diinginkan (Purnomo, 2005). Model dapat
dinyatakan baik apabila kesalahan atau simpangan hasil simulasi terhadap gejala
atau proses yang ditirukan kecil (Muhammadi et.al 2001).

Sedangkan menurut

Purnomo (2005) tidak ada model yang benar dan salah. Model dinilai dari sejauh
mana dia dapat berguna. Untuk pemodelan yang lebih fleksibel dan multiguna,
Purnomo (2005) menyarankan dilakukan dengan fase-fase sebagai berikut : (1)
identifikasi isu, tujuan, dan batasan,

(2) konseptualisasi model, (3) spesifikasi

model, (4) evaluasi model, (5) penggunaan model.


Keuntungan penggunaan model dalam penelitian dengan pendekatan sistem
adalah : (1) memungkinkan untuk melakukan penelitian yang lintas sektoral dengan
ruang lingkup yang luas, (2) dapat dipakai untuk melakukan eksperimentasi
terhadap sistem tanpa mengganggu atau memberikan perlakuan tertentu terhadap
sistem, (3) mampu menentukan tujuan aktivitas pengelolaan dan perbaikan terhadap
sistem yang diteliti, (4) dapat dipakai untuk menduga / meramal kelakuan dan
keadaan sistem pada masa yang mendatang (Walter, 1974 dalam Darsiharjo, 2004)
Simulasi adalah kegiatan atau proses percobaan dengan menggunakan
suatu model untuk mengetahui perilaku sistem dan akibat pada komponenkomponen dari suatu perlakuan pada berbagai komponen. Simulasi dapat berfungsi
sebagai pengganti percobaan di lapangan yang akan banyak menggunakan waktu,
tenaga dan biaya (Suratmo, 2002).

35

BAB III. METODE PENELITIAN

A. Lokasi dan Waktu Penelitian


Penelitian dilaksanakan di Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT) Propinsi
Riau dan Propinsi Jambi, dimulai bulan Oktober 2009 sampai dengan Mei 2010.
Alasan pemilihan TNBT sebagai lokasi penelitian adalah: 1) mempunyai potensi
ekowisata berupa keindahan lansekap, kekhasan/ keunikan dan kelangkaan
spesies, ekosistem, dan budaya, 2) lokasinya berada pada lintas kabupaten dan
lintas propinsi, yakni Kab. Indragiri Hulu dan Kab. Indragiri Hilir di Propinsi Riau,
serta Kab. Tebo dan Kab. Tanjung Jabung Barat di Propinsi Jambi, dan 3) terdapat
tiga masyarakat tradisional (Suku Anak Dalam, Talang Mamak, dan Melayu Tua).
Peta lokasi TNBT disajikan pada Gambar 5.

Gambar 5. Peta Lokasi Taman Nasional Bukit Tigapuluh

B. Tahapan Kegiatan Penelitian


Tahapan pelaksanaan penelitian disajikan pada Gambar 6.

36

Gambar 6.

Tahapan pelaksanaan penelitian (file terpisah)

37

C. Bahan dan Alat


Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah peta rupa bumi skala
1 : 5.000, peta RTRW, peta padu serasi, citra landsat TNBT, peta tematik kawasan
TNBT, peta administrasi pemerintahan, pedoman wawancara, dan kuesioner.
Peralatan yang digunakan adalah kamera , GPS, binokuler, dan laptop.
D. Metode Penelitian
Metode penelitian akan didekati dari tujuan-tujuan penelitian. Oleh sebab itu
akan dikelompokkan ke dalam metode pengumpulan data, jenis data yang
dikumpulkan, dan analisis data
1. Metode Pengumpulan Data
Data sekunder diperoleh dari beberapa sumber yaitu dokumen perencanaan,
laporan, statistik, dan jenis dokumen lain yang berisi tentang pengelolaan TNBT,
pengembangan daerah penyangga TNBT, dan pembangunan wilayah.

Untuk

mengetahui kondisi hutan TNBT dan daerah penyangganya secara spasial


digunakan citra landsat tahun 1996, 2002, 2006, dan 2007. Adapun data primer
diperoleh dengan melakukan kegiatan sebagai berikut :
a. Pengamatan Lapangan
Metode pengamatan merupakan suatu alat yang mendasar untuk memperoleh
data dalam studi, yaitu dengan memperhatikan dan mencatat orang / peristiwa
maupun tingkah laku. Penggunaan metode pengamatan ini dimaksudkan untuk
menjaring peristiwa / kegiatan yang sulit dilukiskan atau segan diceriterakan oleh
responden.

Untuk memudahkan pelaksanaan pengamatan, obyek pengamatan

dilaksanakan pada moment / peristiwa tertentu dalam masyarakat, misalnya pada


kegiatan

melakukan

perladangan,

memungut

hasil

hutan,

acara

sosial

kemasyarakatan, dan lain-lain.


b. Wawancara dengan Masyarakat Tradisional
Wawancara (interview) dengan masyarakat tradisional dilakukan untuk
mengetahui kondisi sosial-ekonomi, persepsi dan keterlibatan masyarakat tradisional
dalam pengelolaan ekowisata TNBT. Wawancara ( interview) dilakukan dengan 30

38

orang responden dari Suku Talang Mamak dan 10 orang responden dari Suku
Melayu Tua yang dipilih secara acak yang berada pada dusun-dusun di TNBT.
c. Wawancara dengan Masyarakat Daerah Penyangga
Wawancara

dengan

masyarakat

daerah

penyangga

dilakukan

untuk

mengetahui kondisi sosial-ekonomi, persepsi dan keterlibatan masyarakat daerah


penyangga dalam pengelolaan ekowisata TNBT.

Selain wawancara dilakukan

pengisian kuesioner oleh 60 orang responden yang dipilih secara sengaja


(purposive) dari desa-desa yang merupakan jalur ekowisata TNBT yang berada di
wilayah Kabupaten Indragiri Hulu dan Kabupaten Indragiri Hilir, Propinsi Riau. Peta
sebaran lokasi asal responden masyarakat tradisional dan masyarakat daerah
penyangga dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7. Peta Sebaran Lokasi Asal Responden dari Masyarakat


Tradisional dan Masyarakat Penyangga
d. Wawancara dengan Aparat Pemerintah Daerah
Wawancara dengan aparat pemerintah daerah dilakukan untuk mengetahui
kebijakan pemerintah daerah dalam pengembangan daerah penyangga TNBT dan
pembangunan wilayah yang terkait dengan pengelolaan TNBT.

Wawancara

39

dilakukan dengan lima orang responden dari Pemerintah Kabupaten Indragiri Hulu
dan lima orang responden dari Pemerintah Kabupaten Indragiri Hilir yang dipilih
secara sengaja (purposive).
d. Wawancara dengan Ekowisatawan
Wawancara dengan ekowisatawan dilakukan untuk mengetahui kondisi
demand (permintaan) ekowisata TNBT.

Wawancara difokuskan pada beberapa

aspek yaitu; motivasi ekowisatawan, daya tarik obyek wisata alam, fasilitas dan
layanan ekowisata, serta persepsi dan harapan terhadap pengembangan ekowisata
TNBT.

Jumlah responden yang diwawancara sebanyak

30 orang yang dipilih

secara acak dari ekowisatawan yang berkunjung ke TNBT selama masa penelitian.
e. Focus Group Discussion (FGD)
Focus Group Discussion (FGD) dengan staf Balai TNBT dan mitra kerjanya
dilakukan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mempunyai nilai pengaruh
penting (strategis) terhadap pengembangan pengelolaan TNBT. Faktor yang
diidentifikasi terdiri dari faktor internal yang meliputi kekuatan (strength) dan
kelemahan (weakness) dan faktor eksternal yang meliputi peluang (opportunity) dan
ancaman (threat). Dalam mengidentifikasi faktor-faktor strategis internal dan
eksternal digunakan Thally sheet.
e. Pengisian Kuesioner oleh Pakar Terpilih
Pengisian kuesioner oleh pakar terpilih (expert choise) dimaksudkan untuk
mendapatkan pertimbangan secara profesional dari kepakaran para responden
dalam menentukan tingkat kepentingan dari beberapa variabel dalam merumuskan
program prioritas pengembangan pengelolaan TNBT secara terintegrasi berbasis
ekowisata. Desain kuesioner difokuskan pada faktor-faktor strategis internal dan
eksternal yang berpengaruh

terhadap pengembangan pengelolaan terintegrasi

kawasan TNBT sesuai hasil analisis SWOT. Suatu faktor pengelolaan boleh jadi
secara tingkat pengaruh lebih penting dari pada faktor lainnya. Tingkat besarnya
pengaruh (relative important) suatu faktor yang berpengaruh didasarkan pada
perannya terhadap pengembangan pengelolaan TNBT secara terintegrasi berbasis
ekowisata.

40

Penentuan pakar terpilih dilakukan dengan tahapan sebagai berikut :


1)

Identifikasi para pembuat keputusan (aktor) dari berbagai instansi dan lembaga
pemerintah baik di tingkat pusat, propinsi dan kabupaten; pakar dari lembaga
pendidikan dan penelitian, serta Lembaga Swadaya Masyarakat yang terkait
dengan pengembangan pengelolaan TNBT.

2)

Berdasarkan hasil identifikasi tersebut, selanjutnya dilakukan seleksi pakar


terpilih yang dinilai telah berpengalaman, menguasai dan terlibat dalam
pembuatan keputusan yang terkait dengan pengembangan pengelolaan TNBT.
Jumlah pakar terpilih sebanyak empat belas orang dengan beberapa keahlian

yang berasal dari lembaga/ instansi seperti dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Daftar Bidang Keahlian dan Asal Pakar Terpilih
NO.

Bidang Keahlian

Asal Lembaga / Instansi

1.

Konservasi keanekaragaman hayati

Kementrian Lingkungan Hidup

2.

Pengelolaan Taman Nasional

Direktorat Jenderal PHKA.

3.

Perencanaan pembangunan daerah

4.

Pengelolaan hutan

5.

Pariwisata

6.

Budaya / Antropologi

Bappeda Kabupaten INHU


Bappeda Kabupaten INHIL
Dinas Kehutanan Propinsi Riau,
Dinas Kehutanan Kab. INHU, dan
Dinas Kehutanan Kab. INHIL
Dinas Pariwisata Prop. Riau, Dinas
Pariwisata Kab. INHU dan Dinas
Pariwisata Kab. INHIL
Yayasan Alam Sumatera, Pekanbaru

7.

Konservasi satwa liar

8.

Pemberdayaan masyarakat

Yayasan
Penyelamatan Harimau
Sumatera, Riau
KKI - WARSI Jambi
Jumlah

Jumlah
(orang)
1

1
14

2. Jenis Data yang Dikumpulkan


Data yang dikumpulkan terdiri dari data sekunder dan data primer. Jenis data
yang dikumpulkan dapat dilihat pada Tabel 2.

41

Tabel 2. Jenis Data yang Dikumpulkan


No.

Jenis Data

Variabel

Metode
Pengumpulan

Luas dan letak kawasan TNBT,


kronologis penunjukan dan penetapan
TNBT.
Topografi, tipe iklim, geologi dan jenis
tanah, hidrologi
Jenis flora fauna penting, tipe
ekosistem , etnozologi, kondisi
penutupan hutan
Jumlah dan penyebaran masyarakat
tradisional, sosial-ekonomi dan budaya
Citra landsat, peta wilayah kerja, peta
zonasi, peta obyek wisata alam, peta
penyebaran flora-fauna, peta
penyebaran masyarakat tradisional.
Struktur organisasi Balai TNBT, Visi dan
Misi, SDM, anggaran, pembagian
wilayah kerja
Rencana pengelolaan dan rencana
strategis .
Laporan akuntabilitas dan tahunan
Data kawasan, personil, sarpras,
keuangan, jumlah pengunjung
Jenis, jumlah, lokasi, dan daya tarik
obyek wisata alam

Studi literatur

Data Pengelolaan Taman Nasional


A.
1.

Data Sekunder
Luas, letak dan sejarah
kawasan TNBT.

2.

Kondisi fisik

3.

Kondisi biologi

4.

Sosekbud masyarakat
tradisional
Peta kawasan TNBT

5.

6.

Kelembagaan
pengelolaan TNBT

7.

Perencanaan

8.
9.

Pelaporan
Statistik Balai TNBT.

10.

Obyek wisata alam

B.
1.

Data Primer
Kondisi keintegrasian
pengelolaan TNBT
Tingkat kerusakan
hutan
Persepsi dan
keterlibatan masyarakat
tradisional dalam
pengelolaan ekowisata
TNBT
Kondisi supply
ekowisata TNBT.

2.
3.

4.

5.

Kondisi demad
ekowisata TNBT.

6.
7.

Promosi ekowisata
Kegiatan
pengembangan obyek
wisata alam (OWA)

Studi literatur
Studi literatur

Studi literatur
Studi literatur

Studi literatur

Studi literatur
Studi literatur
Studi literatur
Studi literatur

Keintegrasian secara : spasial,


kebijakan, fungsional, dan sistem
Laju kerusakan hutan per tahun

Studi literatur

Tingkat pengetahuan masyarakat


tradisional terhadap TN., bentuk
keterlibatan masyarakat, jumlah
masyarakat yang terlibat, harapan
masyarakat
Daya tarik obyek ekowisata,fasilitas dan
layanan ekowisata, aksessibilitas, serta
persepsi dan harapan
Motivasi ekowisatawan, daya tarik
terhadap obyek wisata alam, kebutuhan
fasilitas dan layanan ekowisata,
aksessibilitas persepsi dan harapan
Media promosi, frekwensi kegiatan
Jenis, jumlah dan lokasi kegiatan
pengembangan (OWA)

Wawancara,
pengamatan

Analisis spasial

Pengisian
kuesioner oleh
pengelola TNBT
Pengisian
kuesioner oleh
ekowisatawan.
Pengamatan
Pengamatan

42

Tabel 2 (lanjutan)
No.

Jenis Data

Variabel

Metode
Pengumpulan

Data Pengembangan Daerah Penyangga


A.
1.

Data Sekunder
Lokasi daerah
penyangga TNBT.

2.
3.

Lokasi desa-desa yang termasuk


daerah penyangga

Studi literatur

Kondisi bio-fisik
Demografi

Iklim, jenis tanah, flora-fauna penting


Jumlah penduduk, agama, budaya,
tingkat pendidikan, mata pencaharian

Studi literatur
Studi literatur

4.

Tataguna kawasan
hutan

Studi literatur

5.

Sarana-prasarana
umum
Kegiatan pengelolaan
daerah penyangga oleh
Balai TNBT dan
PEMDA.
Obyek wisata alam di
daerah penyangga
Pengelolaan ekowisata
di daerah penyangga

Hutan produksi, hutan lindung, hutan


wisata, konsesi pertambangan,
perkebunan
Jaringan jalan
Jenis dan lokasi kegiatan

Studi literatur

6.

7.
8.

B.
1.

2.

Studi literatur

Jenis, lokasi obyek wisata alam


Jenis dan lokasi kegiatan pengelolaan

Studi literatur

Data Primer
Persepsi dan
keterlibatan masyarakat
dalam pengelolaan
ekowisata TNBT

Tingkat pengetahuan masyarakat


terhadap TN., bentuk keterlibatan
masyarakat, jumlah masyarakat yang
terlibat, harapan masyarakat

Pendapatan
masyarakat dari
kegiatan ekowisata
TNBT

Pendapatan dari : pemilik perahu,


pemilik mobil rental, tukang ojek,
pemandu, pemilik rumah makan, pemilik
penginapan, penjual souvenir.

Wawancara,
pengamatan

Penggunaan lahan

Studi literatur

Jalan raya, bandara, hote/ penginapan

Studi literatur

Jenis kebijakan, implementasi

Studi literatur

Jenis kebijakan, implementasi

Studi literatur

Pengisian
kuesioner,
pengamatan

Data Pembangunan Wilayah


A.
1.
2.
3.

4.

Data Sekunder
RTRW Propinsi dan
Kabupaten
Sarana prasarana
umum
Kebijakan PEMDA yang
terkait dengan
pengelolaan TNBT.
Kebijakan PEMDA di
bidang
pengembangan
ekowisata

43

Tabel 2 (lanjutan)
No.

Jenis Data

B.
1.

Data Primer
Sistem perencanaan

2.

Kebijakan PEMDA yang


terkait dengan
pengelolaan TNBT.
Kebijakan PEMDA di
bidang
pengembangan
ekowisata
Pembangunan saranaprasarana umum yang
terkait dengan
ekowisata TNBT

3.

4.

Variabel

Metode
Pengumpulan

Mekanisme penyusunan rencana


pembangunan daerah
Jenis kebijakan, implementasi

Pengamatan,
wawancara
Pengamatan,
wawancara

Jenis kebijakan, implementasi

Pengamatan,
wawancara

Jenis sarana prasarana

Pengamatan,
wawancara

3. Metode Analisis Data


Sesuai dengan tujuan penelitian yang telah ditetapkan, data yang telah
dikumpulkan selanjutnya diolah dengan beberapa metode analisis, yaitu ; Analisis
Spasial, Analisis Penawaran (supply) dan Permintaan (demand), Analisis SWOT ,
Analisis AWOT (integrasi antara SWOT dan AHP / Analytic Hierarchy Process ), dan
Analisis Sistem Dinamik. Uraian dari masing-masing metode analisis data sebagai
berikut :
a. Analisis Spasial
Terjadinya kerusakan hutan pada beberapa lokasi di kawasan TNBT, telah
menyebabkan terdegradasinya potensi wisata alam baik keanekaragaman jenis,
kelangkaan dan keunikan spesies, maupun keindahan panorama alam. Kerusakan
hutan TNBT tersebut terjadi karena adanya aktifitas perladangan berpindah yang
dilakukan oleh masyarakat tradisional yang sebagian sudah tidak sesuai lagi dengan
budaya asli mereka, misalnya perladangan yang dilakukan dengan tidak
menerapkan sistem rotasi dan perladangan yang dilakukan di sempadan Sungai
Batang Gansal. Analisis spasial dilakukan untuk mengetahui laju kerusakan hutan
TNBT. Analisis spasial dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak ArtView
sedangkan peta tutupan lahan yang dianalisis merupakan hasil pengukuran Balai
TNBT.

44

b. Analisis Penawaran dan Permintaan


Analisis penawaran (supply) dan permintaan (demand)

ekowisata TNBT

dilakukan dengan cara membandingkan antara kondisi penawaran dan permintaan


ekowisata TNBT sesuai hasil pengamatan lapangan, pengisian kuesioner oleh
responden dari pegawai Balai TNBT, dan pengisian kuesioner oleh responden dari
ekowisatawan.
berpengaruh

Variabel
terhadap

yang

dibandingkan

pengembangan

adalah

ekowisata

variabel

TNBT,

utama

yaitu

yang

motivasi

ekowisatawan, daya tarik obyek ekowisata, fasilitas dan layanan ekowisata, serta
persepsi dan harapan terhadap pengembangan ekowisata TNBT. Berdasarkan hasil
pembandingan tersebut

selanjutnya dilakukan analisis terhadap kemungkinan

terjadinya kesenjangan (gaps) antara kondisi penawaran dan permintaan.


c. Analisis SWOT
Analisis faktor strategis meliputi analisis faktor internal dan analisis faktor
eksternal.

Analisis faktor internal dilakukan dengan menggunakan matrik faktor

strategi internal (Internal Strategic Factors Analysis Summary / IFAS), sedangkan


analisis faktor eksternal menggunakan matrik faktor strategi eksternal (Eksternal
Strategic Factors Analysis Summary / EFAS). Tahapan penyusunan matrik IFAS
dan matrik EFAS , serta analisis SWOT sebagai berikut :
Penyusunan Matrik Faktor Strategi Internal (IFAS) :
1)

Menentukan faktor-faktor yang menjadi kekuatan dan kelemahan dalam


pengelolaan TNBT berbasis ekowisata dengan metode diskusi (brainstorming)
atau penelaahan pustaka

2)

Menentukan

peringkat

masing-masing

berdasarkan pendapat responden,

faktor

kekuatan

dan

kelemahan

dengan skala 1 4 (pengaruh kecil

sedang - besar sangat besar)


3)

Memberikan bobot masing-masing faktor tersebut berdasarkan masukan dari


pihak pengelola TNBT, dengan skala mulai dari 1,0 (paling penting) sampai 0,0
(tidak penting), Jumlah bobot dari seluruh faktor tidak boleh melebihi nilai 1,00

4)

Menghitung nilai pengaruh masing-masing faktor dengan cara mengalikan nilai


bobot dengan nilai peringkat untuk masing-masing faktor.

45

Penyusunan Matrik Faktor Strategi Eksternal (EFAS) :


1)

Menentukan

faktor-faktor

yang

menjadi

peluang

dan

ancaman dalam

pengelolaan TNBT berbasis ekowisata dengan metode diskusi (brainstorming)


atau penelaahan pustaka
2)

Menentukan

peringkat

masing-masing

berdasarkan pendapat responden,

faktor

peluang

dan

ancaman

dengan skala 1 4 (pengaruh kecil

sedang - besar sangat besar)


3)

Memberikan bobot masing-masing faktor tersebut berdasarkan masukan dari


pihak pengelola TNBT, dengan skala mulai dari 1,0 (paling penting) sampai 0,0
(tidak penting), Jumlah bobot dari seluruh faktor tidak boleh melebihi nilai 1,00

4)

Menghitung nilai pengaruh masing-masing faktor dengan cara mengalikan nilai


bobot dengan nilai peringkat untuk masing-masing faktor.
Berdasarkan Matriks IFAS dan Matrik EFAS selanjutnya dibuat matrik

SWOT, seperti dapat dilihat pada Tabel 3.

Dari masing-masing unsur

SWOT

diambil lima unsur yang memiliki nilai pengaruh paling tinggi atau yang dianggap
paling strategis.
Tabel 3. Matrik SWOT
FAKTOR INTERNAL

STRENGTHS (S)

WEAKNESSES (W)

Daftar 5-10 faktor-faktor


kekuatan internal

Daftar 5-10 faktor-faktor


kelemahan internal

OPPORTUNITIES (O)

STRATEGI SO

STRATEGI WO

Daftar 5-10 faktor-faktor


peluang eksternal

Strategi yang
menggunakan kekuatan
untuk memanfaatkan
peluang

Strategi yang meminimalkan


kelemahan untuk
memanfaatkan peluang

THREATS (T)

STRATEGI ST
Strategi yang
menggunakan kekuatan
untuk mengatasi ancaman

STRATEGI WT
Strategi yang meminimalkan
kelemahan dan menghindari
ancaman

FAKTOR EKSTERNAL

Daftar 5-10 faktor-faktor


ancaman eksternal

Berdasarkan Matrik SWOT tersebut diperoleh empat alternatif strategi yaitu :


Strategi SO
Strategi ini dibuat dengan memanfaatkan seluruh kekuatan untuk merebut dan
memanfaatkan peluang sebesar-besarnya

46

Strategi ST
Strategi ini dibuat dengan menggunakan kekuatan yang dimiliki untuk mengatasi
ancaman
Strategi WO
Strategi ini diterapkan berdasarkan pemanfaatan peluang yang ada untuk
meminimalkan kelemahan yang ada
Strategi WT
Strategi ini didasarkan pada kegiatan yang bersifat defensif dan berusaha
meminimalkan kelemahan yang ada serta menghindari ancaman
Berdasarkan nilai IFAS dan EFAS tersebut, maka untuk memilih salah satu
dari empat alternatif strategi dibuat diagram Matrik SPACE seperti dapat dilihat
pada Gambar 8.
Berbagai Peluang
3. Mendukung Strategi

1. Mendukung Strategi

Turn Arraound

Agresif

Kelemahan Internal

Kekuatan Internal

4. Mendukung Strategi

2.. Mendukung Strategi

Defensif

Diversifikasi

Berbagai Ancaman
Gambar 8. Diagram Analisis SWOT
d. Analytic Hierarchy Process (AHP)
Untuk menentukan prioritas program pengembangan pengelolaan TNBT,
berdasarkan faktor internal dan eksternal yang mempunyai nilai pengaruh penting,
serta mempertimbangkan preferensi dari aktor yang terlibat, perlu dilakukan analisis
AWOT yang merupakan integrasi antara analisis SWOT dan AHP (Analytic
Hierarchy Process).

47

Analytic Hierarchy Process (AHP), yaitu suatu metode pengambilan keputusan


dengan kriteria majemuk yang dikembangkan oleh Saaty (1993). Pada dasarnya
metode AHP adalah sebuah hierarki fungsional dengan input utamanya persepsi
manusia. Suatu masalah yang kompleks dan tidak terstruktur dipecahkan ke dalam
kelompok-kelompoknya, kemudian kelompok-kelompok tersebut diatur menjadi
suatu bentuk hirarki.
Tahapan analisis dalam penentuan prioritas program dengan metode AWOT
sebagai berikut :
1)

Penyusunan model program pengembangan pengelolaan TNBT secara


terintegrasi berbasis ekowisata. Penyusunan model program ditujukan untuk
menyederhanakan kompleksitas permasalahan pengelolaan ekowisata TNBT
yang dihadapi sehingga dapat dianalisis secara sistematis. Model ini disusun
dengan cara membuat struktur hierarki permasalahan yang terdiri dari lima
tingkatan seperti ditunjukkan pada Gambar 9. Dalam hal ini, model program
disusun berdasarkan hasil analisis SWOT dan pertimbangan dari pakar yang
kompeten.

2)

Penentuan tingkat kepentingan relatif antar elemen model. Tingkat kepentingan


relatif dari elemen-elemen model kebijakan ditentukan melalui perbandingan
berpasangan (painwise comparison). Pada masing-masing tingkatan hierarki,
responden (pakar terpilih) diminta untuk membandingkan tingkat kepentingan
relatif antara satu elemen terhadap elemen lainnya.

3)

Penentuan prioritas dari alternatif-alternatif program.


Untuk menentukan prioritas dari alternatif-alternatif program, bobot kepentingan
dari masing-masing elemen model pada setiap tingkatan hierarki digabungkan
dengan cara penjumlahan terboboti (weighted summation). Dalam penelitian
ini, proses tersebut dilakukan dengan bantuan perangkat lunak ExpertChoice.
Hasil akhir yang diperoleh adalah bobot kepentingan yang menunjukkan
prioritas dari alternatif-alternatif program yang dianalisis.

48

Pengembangan Pengelolaan TNBT secara Terintegrasi


Berbasis Ekowisata

Tujuan

Komponen
SWOT

STRENGHTS
( Kekuatan )

WEAKNES
( Kelemahan )

OPPORTUNITIES
( Peluang )

THREATS
( Ancaman )

Faktor A

Faktor A

Faktor A

Faktor A

Faktor B

Faktor B

Faktor B

Faktor B

Faktor C

Faktor C

Faktor C

Faktor C

Faktor D

Faktor D

Faktor D

Faktor D

Faktor E

Faktor E

Faktor E

Faktor E

Faktor
SWOT

Alternatif
Program

Aktor

Program 1.

Program 2.

Program 3.

. Program 4.

Program 5.

Aktor 1.

Aktor 2.

Aktor 3.

. Aktor 4.

Aktor 5.

Keterangan :
Faktor-faktor SWOT
Alternatif program

: sesuai hasil analisis SWOT


: sesuai hasil penelitian di lapangan

Gambar 9. Struktur Hirarki dengan Metode Analisis AWOT

49

e. Analisis Sistem Dinamis


Untuk membuat

model

pengembangan pengelolaan

TNBT secara

terintegrasi berbasis ekowisata dilakukan analisis sistem dinamis. Sesuai dengan


Purnomo (2005),

analisis sistem dinamis dilakukan dengan

tahapan sebagai

berikut :
1)

Identifikasi isu, tujuan, dan batasan


Dalam penelitian ini isu utamanya adalah pengelolaan TNBT secara
terintegrasi. Tujuannya adalah membuat model pengelolaan TNBT secara
terintegrasi yang berbasis pada pengembangan ekowisata

2)

Konseptualisasi model
Berdasarkan isu yang telah ditetapkan kemudian dilakukan konseptualisasi
model. Berdasarkan model konseptual

selanjutnya dirinci menjadi sebuah

diagram stok atau aliran. Diagram ini dibuat dengan bantuan perangkat lunak
STELLA 9.02. serial number : 90047796426
3)

Spesifikasi model
Pada tahapan ini kuantifikasi dan perumusan hubungan antar komponen
dilakukan sehingga model bisa dijalankan pada komputer.

4)

Evaluasi model
Untuk mengetahui ketepatan model yang dibuat akan dilakukan evaluasi
dengan cara validasi model (evaluasi kelogisan model), uji sensitivitas model
(perilaku model), dan simulasi model (perbandingan dengan dunia nyata).
Validasi model dilakukan dengan uji validasi struktur yang menekankan pada
pemeriksaan kebenaran logika pemikiran. Uji sensitivitas model dilakukan
dengan melihat respon model terhadap suatu stimulus.

5)

Penggunaan model
Model yang telah dievaluasi selanjutnya akan digunakan untuk menguji
hipotesis dan/ atau menentukan skenario-skenario pemecahan masalah.
Secara garis besar, masing-masing metode analisis tersebut disajikan pada
Tabel 4., sedangkan diagram aliran informasi dapat dilihat pada Gambar 10.

50

Tabel 4. Metode Analisis Data


Metode
Analisis

Tahapan Analisis

Analisis Spasial

Tahap persiapan :
pengumpulan
data
(peta
administrasi
lokasi, peta topografi,
peta geologi dan Citra
Landsat
TM),
pengkajian dan studi
pustaka,
dan
mempersiapkan
peralatan survey.
Inventarisasi
awal
dilakukan
dengan
analisis citra landsat
TM dan kelasifikasi
penggunaan lahan
Analsis citra dilakukan
untuk
mendapatkan
kelas penutup lahan.

Analisis
Penawaran
(supply) dan
Permintaan
(demand)

Data yg Dianalisis

Citra landsat
Peta kawasan
TNBT
Peta wilayah kerja
perusahaan di
daerah penyangga
TNBT

Tujuan

Mendapatkan
peta kondisi
tutupan hutan
TNBT dan peta
tata ruang
daerah
penyangga
TNBT
Mengetahui laju
kerusakan hutan
TNBT

Kelasifikasi
penggunaan
lahan
dilakukan
dengan
berdasarkan informasi
yang diekstrak dari
citra
Landsat
TM,
didukung
dengan
informasi
peta
topografi dan informasi
lain digunakan untuk
membuat
peta
penutupan lahan.

Rekapitulasi data hasil


pengamatan lapangan,
pengisian kuesioner
oleh responden
pegawai Balai TNBT
untuk komponen
penawaran, dan
responden
ekowisatawan untuk
komponen permintaan.
Membandingkan
antara kondisi
penawaran dan
permintaan.

Motivasi
ekowisatawan,
Daya tarik obyek
wisata alam,
Fasilitas ekowisata
Layanan
ekowisata,
Persepsi dan
harapan terhadap
pengembangan
ekowisata TNBT.

Mengetahui
kondisi
penawaran
(supply) dan
permintaan
(demand)
ekowisata TNBT
.

51

Tabel 4 (lanjutan)
Metode
Analisis

Tahapan Analisis

Data yg Dianalisis

Tujuan

Menganalisis adanya
kesenjangan antara
kondisi penawaran dan
permintaan.

Menentukan unit
manajemen yang
dianalisis : Balai TN.
FGD untuk
mengidentifikasi
faktor internal dan
eksternal yang
berpengaruh
terhadap ekowisata
TNBT.
Menentukan nilai
pengaruh faktor
Analisis dengan
strategi : SO, ST
WO, dan WT
(Rangkuti, 1998)

Analisis AWOT
(integrasi antara
SWOT dan
AHP )

Menyusun model
kebijakan (struktur
hierarki)
Menentukan tingkat
kepentingan relative
antar elemen model
oleh pakar terpilih
Menentukan prioritas
dari alternatif-alternatif
kebijakan
(Saaty ,1988)

Analisis Sistem
Dinamik

Identifikasi isu, tujuan,


dan batasan
Konseptualisasi model
Spesifikasi model
Evaluasi model
Penggunaan model
(Purnomo, 2005 )

Data sub model


kebijakan
Data sub model
jumlah
ekowisatawan
Data sub model
pendapatan
masyarakat.

Analisis SWOT

Faktor internal :
kekuatan
(strength) dan
kelemahan
(weakness)
Faktor eksternal :
peluang
(opportunity) dan
ancaman (threat).

Menentukan
faktor internal
dan eksternal
yang
mempunyai
nilai pengaruh
penting
(strategis)
terhadap
ekowisata TNBT

Faktor internal dan


eksternal yang
mempunyai nilai
pengaruh penting
(strategis)
terhadap
ekowisata TNBT.

Menentukan
prioritas
kebijakan
pengembangan
pengelolaan
TNBT secara
terintegrasi
berbasis
ekowisata

Membuat
model
pengembangan
pengelolaan
TNBT secara
terintegrasi
berbasis
ekowisata

52

Gambar 10. Diagram Aliran Informasi (file terpisah)

53

BAB IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

Penelitian dilakukan di Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT) dan daerah


penyangganya. Keadaan umum lokasi penelitian sebagai berikut :
A. Taman Nasional Bukit Tigapuluh
1. Luas, Letak, dan Sejarah Kawasan
Taman Nasional Bukit Tigapuluh
Keputusan Menteri Kehutanan

(TNBT) ditunjuk berdasarkan Surat

No. 539/Kpts-II/1995 dengan luas 127.698 ha.

Setelah dilakukan penataan batas di lapangan, TNBT ditetapkan dengan SK Menteri


Kehutanan No.607/KPTS-II/2000 tanggal 21 Juni 2002 dengan luas 144.223 ha.
Secara geografis kawasan TNBT terletak antara koordinat 0,40 1, 25 LS dan
102, 10102, 50 BT. Sedangkan secara administratif pemerintahan, TNBT
termasuk dalam empat wilayah kabupaten, yaitu Kabupaten Indragiri Hulu (seluas
81.223 ha.) dan Kabupaten Indragiri Hilir (seluas 30.000 ha.) di Provinsi Riau, serta
Kabupaten Tebo (seluas 23.000 ha.) dan Kabupaten Tanjung Jabung Barat (seluas
10.000 ha.) di Propinsi Jambi.
Sejarah penunjukan dan penetapan kawasan TNBT sebagai berikut :
1982

Dikeluarkan Rencana Konservasi Nasional Indonesia. Mengakui


penting dan tingginya nilai ekosistem Bukit Tigapuluh, yang terdiri dari
kawasan Suaka Margasatwa Bukit Besar (200.000 ha) dan Cagar
Alam Seberida (120.000 ha).

1988

Dikeluarkan instrumen Perencanaan RePProt (Regional Physical


Planning Programme for Transmigration). Ekosistem Bukit Tigapuluh
terkategori sebagai perbukitan dan pegunungan yang hanya sesuai
untuk kawasan hutan lindung dengan luas yang diusulkan 350.000 ha.

1990

Dikeluarkan Peta Unit Lahan (Land Unit) oleh Pusat Penelitian Tanah
dan Agroklimat Depertemen Pertanian. Berdasarkan peta tersebut,
Ekosistem Bukit Tigapuluh terdiri dari grup pegunungan dan
perbukitan dimana hutan yang terdapat di grup perbukitan tetap
dipertahankan sebagai kawasan hutan.

1991-1992

Penelitian bersama dari para ahli Norwegia dan Indonesia (Norindra)


memperlihatkan arti penting dan fungsi keberadaan ekosistem Bukit

54

Tigapuluh

dan

merekomendasikan

kawasan

tersebut

supaya

ditetapkan sebagai Taman Nasional dengan luas 250.000 ha.


1993

Dirjen Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam (PHPA) bersama


WWF Indonesia mengusulkan program pengelolaan kawasan Bukit
Tigapuluh dalam Bukit Tigapuluh Rain Forest and Resources
Management

(an

Integrated

Conservation

and

Development

Approach).
1994

Pemerintah Daerah Tingkat I Riau mengeluarkan Peraturan Daerah


No 10 tahun 1994 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi
(RTRWP).

1994

Surat Dirjen PHPA kepada Menteri Kehutanan RI No 103/DjVI/Binprog/94 mengusulkan Kawasan Bukit Tigapuluh dan Bukit Besar
sebagai Taman Nasional

1995

Menteri Kehutanan melalui SK No. 539/Kpts-II/1995, menetapkan


ekosistem ini menjadi Taman Nasional Bukit Tigapuluh dengan luas
hanya 127.698 ha. Luas tersebut diambil dari 57.488 Hutan Produksi
Terbatas dan 37.250 ha Hutan Lindung yang ada di Propinsi Riau
serta 33.000 ha Hutan Lindung di Propinsi Jambi. Luas yang
tercantum dalam SK Menteri Kehutanan lebih kecil dari yang
diusulkan oleh instrumen perencanaan di atas (250.000 ha) karena
adanya konflik kepentingan dari pemilik HPH yang ada saat itu.

2002

Badan

Inventarisasi

dan

Pemetaaan

Departemen

Kehutanan

melakukan temu gelang, kawasan TNBT secara defakto seluas


143.143 ha. Namun dalam SK Penetapan oleh Menteri Kehutanan No
607/Kpts-II/2000, tanggal; 21 Juni 2002, kawasan TNBT ditetapkan
dengan luas 144.223 ha.
Peta usulan rencana konservasi Bukit Tigapuluh berdasarkan dokumen
Rencana Konservasi Nasional Indonesia oleh UNDP/ FAO tahun 1982, dapat dilihat
pada Gambar 11.

55

Gambar 11.

Peta Rencana Konservasi Bukit Tigapuluh Berdasarkan


Rencana Konservasi Nasional Indonesia (UNDP/ FAO 1982)

2. Kondisi Fisik
a. Topografi
Taman Nasional Bukit Tigapuluh merupakan kawasan perbukitan dengan
ketinggian berkisar 60 meter sampai 843 meter di atas pemukaan laut. Secara
fisiografis , topografi kawasan ini dapat dibagi menjadi tiga bagian (Wahyunto, 1990
dalam SBKSDA Riau, 1977), yaitu : 1). Pegunungan dengan lereng sangat curam
(> 75%), 2). Pegunungan dengan lereng yang agak curam - sangat curam (2575%), dan 3). Daratan antar pegunungan dan perbukitan kecil (>16%).
Sedangkan berdasarkan peta topografi dari Direktorat Topografi TNI AD tahun
1992, kawasan TNBT dapat dibagi tiga kelas kemiringan (KKI-WARSI, 2007), yaitu:
1). Kelas kemiringan sangat curam (> 40 %), yang meliputi sistem Bukit Pandan dan
Telawi dengan ketinggian > 300 m dpl dan merupakan punggungan gunung yang
sangat terjal serta memanjang, 2).

Kelas kemiringan curam (26 40 %), yang

meliputi sistem Batang Anai dan Air Hitam dengan ketinggian 15 50 m dpl dan
merupakan punggungan bukit panjang dan sangat curam,

dan 3). Kelas

kemiringanlandai (16 25 %), yang meliputi sistem lahan Sungai

Alur dengan

ketinggian 15 50 m dpl dan merupakan bukit-bukit kecil.

56

b. Iklim
Berdasarkan klasifikasi menurut Schmidt dan Fergusson, iklim TNBT termasuk
tipe iklim A dengan ciri-ciri hujannya tinggi (sangat basah), vegetasi hutan hujan
tropis, curah hujan rata-rata 2.577 mm/tahun dengan kelembaban relatifnya antara
50 % dan 90 %. Sedangkan menurut klasifikasi Koppen, iklim TNBT termasuk iklim
basah (AF) yang mempunyai ciri-ciri iklim tropika, rata-rata suhu dari bulan terdingin
lebih dari 18 C, panas sepanjang tahun dan basah sepanjang tahun, serta curah
hujan bulanannya lebih dari 60 mm.
c. Geologi dan Tanah
Kawasan TNBT terbentuk dari batuan induk zaman pretersier (Zaman Plisplistosen dan Pliosen, Miosen Atas, Miosesn Tengah, Miosesn Bawah dan Trias)
yang terdiri dari batuan metamorf dan sedimen. Batuan Metamorf ini terdiri dari
Batuan Sabak Pasiran dan Batu Pasir Kerasitan serta Batu Pasir Kwarsa. Sebagian
besar dari batuan ini telah mengalami metamorfosis kontak dan berubah menjadi
kompleks dan batu-batu sabak yang berbentuk modul-modul.
Sebagian besar tanah di TNBT terdiri dari Podsolik Merah Kuning yang
tersebar di daerah perbukitan sebelah timur dan Latosol Merah di sebelah barat.
Tanah ini mempunyai tingkat kesuburan yang rendah. Hal ini berhubungan dengan
tingkat keasaman tanah, kandungan hara yang rendah, kandungan liat tinggi dan
adanya unsur-unsur beracun dalam tanah. Kedalaman tanah bervariasi dari 40 Cm
sampai lebih dari 150 Cm. Pada daerah sekitar puncak bukit dan lereng atas bukit,
kedalaman solum tanahnya 30 50 Cm, lereng bawah berkisar 50 100.
d. Hidrologi
Taman Nasional Bukit Tigapuluh merupakan kawasan perbukitan yang
mempunyai fungsi penting dari aspek hidroologis bagi pantai timur Pulau Sumatera.
Kawasan TNBT merupakan bagian dari Daerah Aliran Sungai (DAS) dan Sub DAS
berikut : 1). DAS Indragiri (yang terdirii dari Sub DAS Cenaku, Indragragiri Hilir,
Peranap, Umbilin, dan Sinamar), 2). DAS Reteh (yang terdirii dari Sub DAS Gansal
Hulu dan Reteh Hulu), 3). DAS Pengabuhan (Sub DAS Tungkal), dan 4). DAS
Batang Hari (yang terdirii dari Sub DAS Tebo, Tembesi, Batanghari Hulu, Batanghari
Hilir, Merangin, dan Tabir). Terdapat 26 sungai yang mengalir dari kawasan TNBT,

57

diantaranya merupakan sungai-sungai besar yaitu: Sungai Gansal dan Sungai


Cinaku di Propinsi Riau, serta Sungai Tungkal dan Sungai Sumai di Propinsi Jambi.
3. Kondisi Biotik
a. Flora
Kawasan TNBT memiliki kekayaan flora yang tinggi, tidak kurang dari 1500
jenis (spesies) flora terdapat di kawasan tersebut yang sebagian besar adalah jenisjenis penghasil kayu, getah, kulit, buah, dan obat-obatan (SBKSDA Riau, 1997).
Diantara beberapa jenis flora tersebut terdapat jenis-jenis unik dan langka, seperti
cendawan muka rimau (Rafflesia hasseltii), salo (Johannesteijsmannia altifrons),
mapau (Pinanga multiflora), mapau kalui (Iguanura wallichiana), Jelutung (Dyera
costulata), Calamus ciliaris, Calamus exilis, ramin (Gonistylus bancanus), kemenyan
(Styrax benzoin), pasak bumi (Eurycoma longifolia), pinang bacung (Nenga gajah),
kabau tupai (Archidendron bubalinum), akar mendera (Phanera kochiana), shorea
pelatata, keduduk rimba (Baccaurea racemosa), dan silima tahun (Baccaurea
stipulata) (Wiriadinata , H., 1994).
Berdasarkan hasil inventarisasi yang dilakukan oleh NORINDRA bekerjasama
dengan LIPI, terdapat 158 jenis tumbuhan hutan yang dibudidayakan dan 486 jenis
tumbuhan hutan yang dimanfaatkan oleh masyarakat yang tinggal di dalam dan
sekitar kawasan TNBT. Jenis tumbuhan yang telah dimanfaatkan terdiri dari 27 jenis
untuk tumbuhan hias, 16 jenis untuk bumbu masak, 10 jenis untuk sumber
kabohidrat, 5 jenis untuk penghasil lateks dan resin, 26 jenis untuk keperluan ritual
dan magis, 18 jenis untuk papan kayu, 21 jenis untuk tali-temali dan 3 jenis untuk
sumber pewarna. Dari 660 jenis tumbuhan yang dimanfaatkan oleh masyarakat
lokal, diperkirakan 20 % diantaranya diperoleh dari hutan primer, 11 % diperoleh dari
areal bekas tebangan, 29 % dari hutan sekunder, 15 % dari hutan karet, 5 % dari
areal ladang, dan 19 % dari pekarangan ( Schumacer, 1994).
Sedangkan berdasarkan hasil Ekspedisi Biomedika yang dilakukan oleh LIPI
dan Departemen Kesehatan pada tahun 1988 didapatkan data tentang pemanfaatan
tumbuhan untuk keperluan pengobatan oleh masyarakat tradisional yang hidup di
dalam dan sekitar TNBT. Sebanyak 110 jenis tumbuhan dimanfaatkan oleh Suku
Talang Mamak untuk mengobati 56 macam penyakit dan 22 jenis cendawan untuk
mengobati 18 macam penyakit. Sedangkan Suku Melayu memanfaatkan 182 jenis

58

tumbuhan

untuk

mengobati 45 macam penyakit, dan 8 jenis cendawan untuk

mengobati 8 macam penyakit.

Dari kekayaan flora tersebut, terdapat 51 jenis

tumbuhan obat dan 8 jenis cendawan obat yang mempunyai prospek sangat baik
untuk diteliti dan dikembangkan (Ekspedisi Bio-Medika, 1998).
b . Fauna.
Berdasarkan hasil suvey yang dilakukan oleh Danielsen dan Heegaard (1993),
bahwa kawasan TNBT mempunyai keanekaragaman jenis fauna yang tinggi.
Kawasan TNBT merupakan habitat yang ideal bagi beragam jenis satwa terutama
jenis endemic Sumatera.

Diantara jenis satwa liar tersebut terdapat jenis-jenis

terancam punah dan status perlindungan khusus baik menurut undang-undang


Indonesia, CITES, dan IUCN, seperti harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae)
dan gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus).
Mamalia.
Menurut Danielsen dan Heegaard (1993), terdapat sekitar 59 jenis mamalia di
kawasan TNBT.

Diantara jenis-jenis tersebut terdapat 5 jenis

yang termasuk

terancam punah dengan status dilindungi, yaitu berang-berang (Aonyx cinerea),


macan dahan (Neofelis nebulosa), harimau (Panthera tigris sumatrae), gajah
sumatera (Elephas maximus sumatranus) dan tapir (Tapirus indicus).

Di mana

terdapat tiga jenis yang hanya ditemukan di Sumatera, yaitu Siamang (Symphangus
syndactylus), Harimau Sumatera dan Tapir melayu. Selain itu ditemukan 18 jenis
kelelawar yang didominasi oleh jenis pemakan buah dari famili Pteropodidae.
Sedangkan berdasarkan laporan

Program Konservasi Harimau Sumatera

(PKHS) di TNBT, sampai tahun 2007 tercatat tidak kurang dari 32 jenis mamalia
besar dari 14 famili (tidak termasuk kelompok primata) yang mendiami kawasan
TNBT (Yunus, et al. 2008).
Primata
Menurut Yunus, et al. (2008), tercatat 9 jenis primata dari lima famili yang
dijumpai di kawasan TNBT, yaitu simpai (Presbytis melalophos), monyet (Macaca
fascicularis), beruk (Macaca nemestrina), owa (Hylobates agilis), siamang
(Hylobates syndactylus), lutung ( Presbytis cristata), kukang abu-abu (Nycticebus

59

coucang), singapuar (Tarsius tarsius), dan orang utan (Pongo abelii). Orang utan
sumatera yang terdapat di kawasan TNBT merupakan jenis reintroduksi.
Avifauna
Kawasan TNBT memiliki sekitar 193 jenis burung atau sepertiga jenis burung
yang ada di Pulau Sumatera (Danielsen dan Heegaard, 1993).

Dari jenis-jenis

tersebut ditemukan jenis yang tergolong langka, yaitu: bangau storm (Ciconia stormi,
bangau tongtong (Leptoptilos javanicus), pecuk ular (Anhinga melanogaster),
mentok rimba ( Cairina scutulata), puyuh hitam (Melanoperdix nigra), sempidan
merah (Lophura erytrophthalma), sempidan biru (Lophura ignita), paruh kodok besar
(Batrachosstamus auritius), rangkong gading (Buceros vigil), paok delima (Pitta
granatina), dan asi dada kelabu (Melacopteron albogulare).

Sedangkan jenis-jenis

yang tergolong endemik Sumatera adalah : mentok rimba (Cairina scutulata),


rangkong papan (Buceros bicornis), cucak kuning (Pycnonotus melanictrus), pelatuk
(Trichastoma tickelli), dan bondol tunggir putih (Lonchura striata).
Etnozoologi
Selain memanfaatkan kekayaan fauna untuk pangan, masyarakat Suku Anak
Dalam memanfaatkan hewan untuk pengobatan (Etnozoologi), dimana ditemukan 9
jenis yang dimanfaatkan untuk mengobati 54 jenis penyakit (Ekspedisi Bio-Medika,
1998).
c. Ekosistem
Kawasan TNBT mempunyai tipe ekosistem yang unik karena berada pada
suatu kawasan perbukitan yang cukup curam di tengah dataran sebelah timur Pulau
Sumatera yang terpisah dengan gugusan pegunungan Bukit Barisan. Berdasarkan
perbedaan struktur tegakan, komposisi jenis dan fisiognominya, secara umum
ekosistem TNBT dapat dibagi menjadi 4 macam, yaitu (SBKSDA Riau, 1997) :
1)

Hutan alam primer., yaitu hutan hujan tropika yang masih alami belum
terganggu oleh aktifitas pembalakan kayu. Sub ekosistem ini didominasi oleh
jenis-jenis dari suku Dipterocarpaceae misalnya jenis Meranti (Shorea sp.)
diantaranya Shorea abovoidae dan Shorea acuminate.

2)

Hutan alam bekas tebangan, yaitu kawasan hutan yang telah mengalami
penebangan. Sub ekosistem ini didominasi oleh jenis-jenis dari suku
Euphorbiaceae diantaranya Elatriospermum tapos dan Baccaurea rasemosa.

60

3)

Semak belukar, merupakan kawasan hutan yang telah dibuka untuk dijadikan
perladangan dan kemudian ditinggalkan untuk dijadikan ladang pada periode
berikutnya. Jenis-jenis yang mendominasi sub ekosistem ini pada umumnya
merupakan jenis-jenis pionir, seperti Maccaranga gigantea dan Maccaranga
triloba.

4)

Kebun karet, adalah kawasan yang digunakan oleh masyarakat tradisional


yang tinggal dalam kawasan untuk berkebun dengan jenis tanaman utama
karet (Havea brasiliensis) yang tumbuh bersama tanaman hutan lainnya.

4. Masyarakat Tradisional
a. Jumlah Penduduk
Masyarakat tradisional yang tinggal dalam kawasan TNBT terdiri dari 3 suku,
yaitu : Suku Anak Dalam (Suku Kubu atau Orang Rimba), Suku Talang Mamak, dan
Suku Melayu Tua.

Masyarakat dari Suku Anak Dalam tinggal berpindah-pindah

(nomaden) di dalam kawasan TNBT

secara menyebar khususnya pada bagian

barat dan selatan. Sedangkan masyarakat dari Suku Talang Mamak dan Melayu
Tua tinggal secara menetap di sepanjang Sungai Batang Gansal yang membelah
kawasan TNBT.
Terdapat 5 dusun yang tersebar menjadi 15 konsentrasi permukiman yang
dihuni oleh Suku Talang Mamak dan Suku Melayu Tua di sepanjang Sungai Batang
Gansal.,

Secara adiministrasi pemerintahan dusun -dusun tersebut termasuk

wilayah Desa Rantau Langsat Kecamatan Batang Gansal. Nama-nama dusun dan
jumlah penduduk masyarakat tradisional di kawasan TNBT disajikan pada Tabel 5.

61

Tabel 5. Nama Dusun dan Jumlah Penduduk Masyarakat Tradisional


di Kawasan TNBT
No.

1.

2.

3.

4.

5.

Dusun (Permukiman)

Datai
(Permukiman :Datai Tua
dan Datai Atas)
Suit
(Permukiman : Suit)
Air Bomban-Sadan
(Permukiman : Air
Bomban dan Sadan
Nunusan
(Permukiman : Nunusan,
Mengketung, Menyasih,
dan Tanjung Lintang)
Siamang
(Permukiman : Siamang,
Tebat, Rantau Dagang,
Pengayauan, Air Buluh,
dan Air Tabuh)
Jumlah

Jumlah
Jumlah
Keterangan
Penduduk
KK
(Jiwa)
249
58
Didominasi
masyarakat Talang
Mamak
102
19
Didominasi
masyarakat Talang
Mamak
128
29
Didominasi
masyarakat Melayu
Tua
131
34
Didominasi
masyarakat Melayu
Tua
216

53

826

193

Didominasi
masyarakat Talang
Mamak

Sumber : Yunus (2007)


b.

Sosial - Ekonomi
Sumber pendapatan masyarakat tradisional yang tinggal di kawasan TNBT

berasal dari hasil kebun karet (61 % - 86 %), hasil hutan non kayu , terutama jernang
(7 % - 25 %), hasil kegiatan lain seperti berdagang dan wisata alam (3 % - 14 %)
(Santoso, 2008).
Rata-rata

penggunaan

lahan per keluarga masyarakat tradisional pada

masing-masing dusun dalam kawasan TNBT disajikan pada Tabel 6.

62

Tabel 6. Penggunaan Lahan per Keluarga Masyarakat Tradisional


pada Masing-masing Dusun di Kawasan TNBT
Dusun
Karakteristik

Datai Tua

Suit

Air Bomban

Nunusan

4,2

3,5

2,7

3,5

20

11

10

10

2,4

2,9

3,5

2,5

20

16

12

12

1,2

2,0

2,0

1,2

10

10

10

1,8

2,1

2,2

1,8

20

13

10

11

1. Semak belukar bekas perladangan berpindah


a. Rata2 luas penggunaan lahan
per keluarga
b. Jumlah keluarga pengguna lahan
2. Kebun karet
a. Rata2 luas penggunaan lahan
per keluarga
b. Jumlah keluarga pengguna lahan
3. Kebun karet produktif
a. Rata2 luas penggunaan lahan
per keluarga
b. Jumlah keluarga pengguna lahan
4. Kebun karet belum produktif
a. Rata2 luas penggunaan lahan
per keluarga
b. Jumlah keluarga pengguna lahan
Sumber : Santoso (2008)
c. Budaya
Masyarakat tradisional yang tinggal di kawasan TNBT mempunyai peraturan
adat yang mendukung konservasi hutan yang diwujudkan dengan adanya hutanhutan keramat yang tidak boleh dikelola di sekitar permukiman seperti yang terdapat
di permukiman Datai Tua dan Suit

Selain itu masyarakat tradisional mempunyai

kebiasaan gotong royong dalam kegiatan pemanfaatan sumber daya hutan.


B. Daerah Penyangga TNBT
1. Letak
Daerah penyangga TNBT meliputi

22 desa

yang temasuk wilayah 7

kecamatan, 4 kabupaten dan 2 propinsi. Desa-desa tersebut membentuk pola


melingkar mengelilingi kawasan TNBT. Peta desa / dusun di daerah penyangga
TNBT disajikan pada Gambar 12.

63

Gambar 12. Peta Desa / Dusun di Daerah Penyangga TNBT


2. Keadaan Bio-Fisik
Berdasarkan klasifikasi iklim menurut Schmidt-Ferguson, daerah penyangga
TNBT termasuk tipe iklim B dengan rerata curah hujan per tahun mencapai 2577
mm. Sedangkan menurut Oldeman, wilayah ini termasuk zona Agroklimat BI dimana
bulan basah 7-9 bulan dan curah hujan rata-rata 2500-3000 mm/tahun.
Jenis tanah yang terdapat di daerah penyangga TNBT terdiri dari :
1) Tanah Podsolik, kandungan bahan organik sedang dan unsur hara N, P dan K
rendah dan sampai sangat rendah.

Untuk jenis tanah ini perlu pemupukan

serius, cocok untuk pengembangan tanaman keras seperti: karet, kelapa sawit,
kakao dan lain-lain
2) Tanah Latosol, penggunaan tanah ini hampir sama saja dengan jenis tanah
podsolik, yaitu pada pengembangan tanaman keras.
3) Tahah Alluvial, bahan induk tanah ini berupa alluvium yang kesuburannya
sangat tergantung sekali terhadap endapan yang dibawa oleh aliran sungai, bila
sumber endapannya subur, maka hasil endapannya berupa tanah alluvial juga
subur dan sebaliknya.

64

4) Tanah Gley Humus, ciri tanah ini hampir sama dengan tanah alluvial akan tetapi
tanah ini bukan merupakan hasil sedimentasi akibat banjir, kebanyakan tanah
jenis Gley Humus memiliki drainase yang jelek.
Kondisi biologi kawasan penyangga TNBT tidak jauh berbeda dengan dalam
kawasan TNBT di mana kawasan tersebut juga merupakan hutan hujan dataran
rendah yang memiliki keanekaragaman hayati tinggi. Beberapa jenis tumbuhan
langka yang terdapat di daerah penyangga TNBT antara lain: cendawan muka rimau
(Raflesia

haseltii),

bunga

bangkai

(Amorphopallus

sp.),

dan

salo

(Johannestajmannia altifrons). Sedangkan jenis satwa liar yang terdapat di daerah


penyangga TNBT antara lain : harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae), gajah
sumatera (Elephas maximus sumatranus) dan tapir (Tapirus indicus).
3. Demografi
a. Jumlah Penduduk
Jumlah penduduk yang tinggal di daerah penyangga TNBT sebanyak 44.388
jiwa (Balai TNBT dan FZS, 2009). Jumlah penduduk pada masing-masing desa di
daerah penyangga TNBT dapat dilihat pada Tabel 9.
Rata-rata pertambahan penduduk di desa penyangga wilayah Propinsi Riau
dari tahun 2002 sampai tahun 2006 sebesar 241 jiwa, sedangkan untuk wilayah
Propinsi Jambi sebesar 232 jiwa. Pertambahan jumlah penduduk yang relatif tinggi
di desa penyangga wilayah Propinsi Riau

terjadi di desa-desa sepanjang jalan

Lintas Timur Sumatera, yaitu : Desa Talang lakat, Desa Sungai Akar , Desa Kritang,
Desa Batu Ampar dan Desa Selensen. Relatif tingginya pertambahan jumlah
penduduk di daerah tersebut disebabkan oleh adanya arus pendatang / migran dari
daerah lain, khususnya dari Daerah Istimewa Aceh dan Propinsi Sumatera Utara.
Sedangkan rata-rata pertambahan jumlah penduduk di wilayah Propinsi Jambi yang
relatif tinggi terjadi di Desa Lubuk Mandrasah.
b. Agama
Sebagian besar (sekitar 87 %) penduduk yang tinggal di daerah penyangga
TNBT beragrama Islam, sekitar 10 % beragama Kristen yang sebagian besar
merupakan suku pendatang dari Sumatera Utara, dan sekitar 3 % masih memegang
agama adat yang umumnya adalah masyarakat Talang Mamak.

65

Tabel 7. Jumlah Penduduk di Daerah Penyangga TN. Bukit Tigapuluh


Prop/
Kabupaten
Propinsi Riau

Kecamatan

Batang Cinaku

Indragiri Hulu

Batang Gansal

Indragiri Hilir

Kemuning

Desa

Jumlah
Jiwa

1. Sanglap *
2. Lahai Kemuning
3. Sipang
4. Alim
5. Puntianai
6. Aur Cina
7. Pejangki
8. Rantau Langsat **
9. Siambul
10. Usul
11. Talang Lakat
12. Sungai Akar
13. Keritang
14. Batu Ampar
15. Selensen

777
1.228
600
707
567
1.647
300
1.273
1.398
1.261
2.015
6.182
4.172
2.711
2.124

16. Muara Sekalo


17. Suo-suo
18. Semambu
19. Pemayungan
20. Lubuk Mandarsah
21. Lubuk Kambing

520
1.572
822
433
8.748
3.057
2.274

Propinsi Jambi
Tebo

Sumai

Tengah Ilir
Merlung
Tanjung Jabung
Barat

Tungkal Ulu

22. Suban
Jumlah

44.388

Keterangan :
* desa enclave (dalam kawasan TNBT)
** memiliki 5 dusun di dalam kawasan TNBT

c. Budaya
Bagi sebagian masyarakat tradisional, hutan merupakan bagian penting dalam
kehidupan adat maupun dalam menjalankan ritual, karena sebagian besar peralatan
adat tersebut berasal dari hutan. Selain itu, konsepsi hutan sangat penting bagi
masyarakat Melayu dan Talang Mamak karena hutan merupakan bagian kosmologi
yang penting dalam kehidupan alam nyata maupun gaib.
Masyarakat lokal khusunya Melayu dan Talang Mamak masih mengenal
beberapa puaka (hutan keramat) dan juga mengenai cerita-cerita kejadian alam
yang dapat mendukung konservasi. Salah satu kawasan yang dijaga dan dinilai
angker adalah Goa Pintu Tujuh, Bukit Tobat, beberapa daerah puaka di sepanjang
Sungai Gangsal.

66

Masyarakat Melayu dan Talang Mamak masih kental adat, pepatah mereka
menyatakan biar mati anak asal jangan mati adat menunjukkan betapa mereka
mengangungkan adat diatas kepentingan yang lainnya. Mereka juga memiliki cerita
tentang hewan dan legenda alam di sekitar hutan mereka. Misalnya harimau
merupakan anak manusia yang pergi ke hutan untuk menguasai hutan, begitu juga
gajah dikenal sebagai datuk lumahan yang dipersepsikan memiliki kekuatan besar.
dewa babi tunggal merupakan dewa pembawa rejeki dan legenda Pintu tujuh yang
menceritakan kedurhakaan anak terhadap ibunya.
d. Pendidikan
Generasi tua dari penduduk yang tinggal di daerah penyangga TNBT pada
umumnya buta huruf, hanya sebagian kecil dari mereka yang bisa membaca dan
menulis. Namun generasi muda dari mereka pada umumnya sudah mengenal
pendidikan. Rata-rata anak-anak hanya bersekolah hingga jenjang SD, hanya sedikit
dari mereka yang melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.

Sarana

pendidikan yang tersedia di desa-desa daerah penyangga TNBT masih sangat


terbatas, dan pada umumnya hanya Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Tsanawiyah
(MTs). Bagi anak yang ingin melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi
harus meninggalkan desanya dan menetap di ibukota kecamatan atau kabupaten,
hal ini karena jarak ke tempat sekolah yang relatif jauh dan sarana transportasi yang
terbatas.

Keadaan ekonomi keluarga yang pas-pasan dan keterbatasan sarana

pendidikan menyebabkan anak muda tidak bisa melanjutkan ke jenjang pendidikan


yang lebih tinggi.
e. Mata Pencaharian
Sebagian besar (sekitar 82 %), mata pencaharian utama masyarakat di daerah
penyangga TNBT wilayah Kabupaten Indragiri Hulu adalah bertani. Secara umum
aktifitas pertanian penduduk asli adalah membuka hutan eks HPH untuk dijadikan
kebun karet yang dipelihara secara tidak intensif.
pendatang yang pada umumnya memiliki modal

Mata pencaharian penduduk


yang lebih memadai, memilih

usaha membuka kebun sawit. Sedangkan mata pencaharian utama masyarakat di


daerah penyangga TNBT wilayah Kabupaten Indragiri Hilir ( baik penduduk asli
maupun pendatang) adalah berkebun sawit, hanya sebagian kecil penduduk yang
mengelola kebun karet (Anonim, 2006)

67

Mata pencaharian penduduk yang tinggal di desa penyangga TNBT wilayah


Propinsi Jambi sebagian besar (69 %) adalah sebagai petani pemilik dan hanya
sekitar 15 % sebagai petani penggarap.
C. Kelembagaan Pengelolaan TNBT
Berdasarkan Pasal 34 ayat 1 UU Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi
Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, bahwa pengelolaan taman nasional
dilaksanakan oleh pemerintah. Dalam penjelasan pasal tersebut dinyatakan bahwa
pada dasarnya pengelolaan taman nasional merupakan kewajiban dari pemerintah
sebagai konsekwensi penguasaan oleh negara atas sumberdaya alam sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 33 UUD 1945
1. Struktur Organisasi
Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.03/Menhut-II/2007
tanggal 1 Februari 2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Taman Nasional,
Struktur Organisasi Balai TNBT terdiri dari Kepala Balai, Kepala Sub Bagian Tata
Usaha, Kepala Seksi Pengelolaan Taman Nasional dan Kelompok Jabatan
Fungsional yang terdiri dari Polisi Kehutanan (Polhut) dan Pengendali Ekosistem
Hutan (PEH). Struktur organisasi Balai TNBT dapat dilihat pada Gambar 13.

Kepala Balai

Sub Bagian Tata


Usaha

Seksi Pengelolaan TN
Wilayah I Tebo

Seksi Pengelolaan TN
Wilayah II Belilas

Kelompok Jabatan
Fungsional
Gambar 13. Struktur Organisasi Balai Taman Nasional Bukit Tigapuluh

68

2. Visi dan Misi


Visi Balai TNBT adalah Terwujudnya sumberdaya alam dan ekosistem
TNBT yang aman, dikelola secara mantap dan dimanfaatkan secara lestari dan
berkeadilan yang didukung oleh kelembagaan dan kemitraan yang kuat .
Dalam rangka mencapai visi tersebut, upaya atau misi yang dilakukan Balai
TNBT adalah :
1) Meningkatkan efektifitas pengelolaan TNBT
2) Meningkatkan upaya pengawetan jenis tumbuhan, satwa liar dan ekosistemnya
di TNBT.
3) Meningkatkan

perlindungan

hutan,

pengendalian

kebakaran

hutan

dan

penegakan hokum
4) Meningkatkan pemanfaatan obyek wisata alam dan pengembangan bina cinta
alam bagi masyarakat sekitar TNBT
5) Meningkatkan upaya pemanfaatan tumbuhan liar dari dalam kawasan TNBT
6) Meningkatkan kualitas dan kuantitas sumberdaya manusia, sarana dan
prasarana
7) Meningkatkan peran serta masyarakat dan para pihak dalam kemitraan
pengelolaan TNBT.
3. Sumber Daya Manusia
Keadaan sumberdaya manusia (SDM) Balai TNBT berdasarkan jabatannya
dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8. Keadaan SDM Balai TNBT Berdasarkan Jabatannya
No.

Jabatan

Jumlah

1.
2.
3.

Kepala Balai
Kepala Sub Bagian Tata Usaha
Kepala Seksi Pengelolaan Taman
Nasional (SPTN)

1 orang
1 orang
2 orang

4.

Fungsional

54 orang

5.
6.
7.

Fungsional Umum
Honorer
Kontrak

Keterangan

SPTN Wilayah I : Tebo Jambi


SPTN Wilayah II : Belilas
Riau
Polisi Kehutanan : 40 orang
Pengendali Ekosistem Hutan
(PEH) : 14 orang

23 orang
5 orang
4 orang
Jumlah
90 orang
Sumber : Laporan Tahunan Balai TNBT tahun 2009

69

4. Anggaran
Keadaan anggaran pengelolaan Balai TNBT periode lima tahun terakhir
dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9. Keadaan Anggaran Pengelolaan Balai TNBT
Sumber
No.

Tahun Anggaran

DIPA 69 (Rp)

DIPA 29 (Rp)

1.
2005
622.245.000,- 2.262.319.000,2.
2006
693.140.000,- 4.225.056.000,3.
2007
500.390.000,- 4.742.022.000,4.
2008
4.368.370.000,5.
2009
5.374.548.000,Sumber : Laporan Statistik Balai TNBT tahun 2009

Jumlah (Rp)
2.884.564.000,4.918.196.000,5.242.412.000,4.368.370.000,5.374.548.000,-

5. Pembagian Wilayah Kerja


Sesuai dengan kriteria pengelolaan taman nasional, berdasarkan SK Dirjen
PHKA No. 17/Kpts/DJ-V/2001 tanggal 06 Februari 2001, kawasan TNBT dibagi
kedalam beberapa zona, yaitu : Zona Inti (60.000Ha), Zona Rimba (45.958 ha.)
Zona Pemanfaatan Intensif (2.300 ha.), Zona Pemanfaatan Tradisional (9.690 ha.),
Zona Rehabilitasi (8.700 ha.), dan Enclave (1.050 ha.) Peta zonasi kawasan TNBT
dapat dilihat pada Gambar 14.

Gambar 14. Peta Zonasi Kawasan TNBT

70

Dalam pelaksanaan tugas di lapangan, wilayah kerja Seksi Pengelolaan


Taman Nasional (SPTN) diatur sebagai berikut :
1) SPTN Wilayah I Tebo berkedudukan di Jambi meliputi Resort Suo-Suo dan
Resort Lubuk Mandarsah,
2) SPTN Wilayah II Seberida berkedudukan di Belilas Riau meliputi Resort Lahai,
Resort Siambul, Resort Talang Lakat, dan Resort Keritang. Peta pembagian
wilayah kerja Balai TNBT dapat dilihat pada Gambar 15.

Gambar 15. Peta Pembagian Wilayah Kerja Balai TNBT


Kawasan TNBT mempunyai panjang batas 330,76 km yang terdiri dari
197,50 km berada di Propinsi Riau dan 83 km berada di Propinsi Jambi.
Tabel 10. Pembagian Wilayah Kerja Resort
No.

Resort

Luas (ha.)

Panjang Batas (km)

1.

Resort Suo-Suo

18.832

57

2.

Resort Lubuk Mandarsah

14.168

64

3,

Resort Lahai

34.365

46

4.

Resort Siambul

38.417

38

12.370
26.071

28
35

5.
Resort Talang Lakat
6.
Resort Keritang
Sumber : Balai TNBT dan FZS (2008)

71

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Kondisi Keintegrasian Pengelolaan TNBT


Hasil penelitian terhadap kondisi keintegrasian pengelolaan TNBT dalam suatu
wilayah pembangunan diuraikan berdasarkan tiga bentuk keintegrasian, yaitu ;
integrasi kebijakan, integrasi fungsional, dan integrasi sistem (Kay and Alder, 1999).

1. Integrasi Kebijakan
Integrasi kebijakan sangat esensial untuk menjamin konsistensi dari program
pengelolaan sumberdaya alam secara terpadu dalam konteks kebijakan pemerintah
pusat dan daerah serta untuk memelihara koordinasi (Kay dan Alder, 1999).
Integrasi kebijakan pengelolaan TNBT dalam suatu wilayah pembangunan pada
tingkat nasional, propinsi dan kabupaten, sebagai berikut
a. Tingkat Nasional
Pada tingkat nasional terdapat beberapa kebijakan yang terkait dengan
pengelolaan daerah penyangga taman nasional dan ekowisata di kawasan taman
nasional, yaitu :
1)

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam


Hayati dan Ekosistemnya.

2)

Undang-undang Nomor 9 Tahun 1990 tentang Kepariwisataan

3)

Peraturan Pemerintah Nomor. 68 tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam


dan Kawasan Pelestarian Alam.

4)

Paraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1994 tentang Pengusahaan Pariwisata


Alam di Zona Pemanfaatan Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman
Wisata Alam.

5)

Paraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1997 tentang Jenis dan Penyetoran


Penerimaan Negara Bukan Pajak.

6)

Paraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 1998 tentang Perubahan atas


Paraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1997 tentang Jenis dan Penyetoran
Penerimaan Negara Bukan Pajak.

7)

Paraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 1998 tentang Tarif atas Jenis


Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Departemen Kehutanan
dan Perkebunan.

72

8)

Instruksi Menteri Dalam Negeri

Nomor 3 tahun 1997 tentang Koordinasi

Perencanaan dan Pembangunan Kawasan Lindung dan Daerah Sekitarnya


9)

Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 660.1/269/V/ Bangda/1999 tentang


Pengelolaan Daerah Penyangga Taman Nasional.

10)

Keputusan Menteri Keuangan Nomor 656/KMK.06/2001 tentang Tatacara


Pengenaan, Pemungutan, Penyetoran Pungutan dan Iuran Bidang PHKA.

11)

Keputusan Direktur Jenderal PHPA

Nomor

49/Kpts/Dj-VI/1997

tentang

Petunjuk Teknis Pengembangan Daerah Penyangga.


Berdasarkan kebijakan yang terkait dengan pengelolaan daerah penyangga
telah diatur beberapa hal sebagai berikut :
1)

Kriteria penetapan daerah penyangga (PP No. 68/1998),

2)

Proses penunjukan daerah penyangga (PP No. 68/1998, SE Mendagri No.


660.1/269/V/ Bangda/1999),

3)

Proses penetapan daerah penyangga (PP No. 68/1998, SE Mendagri No.


660.1/269/V/ Bangda/1999 ),

4)

Program dan kegiatan pengelolaan daerah penyangga (PP No. 68/1998, SE


Mendagri No. 660.1/269/V/ Bangda/1999 ), dan

5)

Susunan organisasi pengelolaan daerah penyangga (SE Mendagri No.


660.1/269/V/ Bangda/1999)
Berdasarkan hasil pengamatan didapatkan bahwa sampai saat ini kebijakan

yang mengatur tentang pengelolaan daerah penyangga taman nasional tersebut


masih belum diimplementasikan secara efektif. Beberapa hal yang membuktikan
belum efektifnya implementasi kebijakan tersebut adalah :
1)

Daerah penyangga taman nasional belum ditunjuk dan ditetapkan sesuai


dengan ketentuan yang terdapat pada PP. maupun SE. Mendagri tersebut,

2)

Organisasi pengelolaan daerah penyangga taman nasional seperti diatur


dalam SE Mendagri belum ada,

3)

Pemerintah daerah belum melaksanakan kegiatan-kegiatan

pengembangan

daerah penyangga taman nasional.


Beberapa faktor yang diduga menjadi penyebab belum efektifnya implementasi
kebijakan di bidang pengelolaan daerah penyangga taman nasional adalah :
1)

Belum adanya Keputusan Menteri yang merupakan penjabaran lebih lanjut dari
PP, seperti dimaksud Pasal 56 PP No. 68/1998.

73

2)

Instruksi dan Surat Edaran Mendagri tidak ditindak lanjuti dengan penyusunan
peraturan terkait di tingkat daerah.

3)

Kurangnya pemahaman aparat pemerintah daerah terhadap pentingnya


pengelolaan daerah penyangga taman nasional.

4)

Lemahnya koordinasi antara pengelola taman nasional dengan pemerintah


daerah dalam hal pengelolaan daerah penyangga.

5)

Adanya persepsi bahwa pengelolaan daerah penyangga dianggap membatasi


kewenangan pemerintah daerah dalam memanfaatkan sumberdaya alam di
sekitar taman nasional,

hal tersebut tidak sejalan dengan kebijakan

peningkatan pendapatan asli daerah (PAD),


Sedangkan berdasarkan kebijakan yang terkait dengan pengelolaan ekowisata
di kawasan taman nasional dinyatakan bahwa pungutan dari pengelolaan ekowisata
disetor langsung ke kas negara sebagai penerimaan negara bukan pajak dan
dikelola dengan sistem APBN. Dengan demikian pemerintah daerah (propinsi dan
kabupaten) tidak mendapatkan alokasi dari hasil pungutan pengelolaan ekowista
pada taman nasional yang berada di wilayahnya. Kondisi tersebut tidak sejalan
dengan kebijakan pemerintah daerah

dalam peningkatan PAD, padahal pada

periode sebelumnya pemerintah daerah mendapatkan alokasi dari hasil pungutan


PNBP di kawasan taman nasional..
b. Tingkat Propinsi
Berdasarkan hasil penelitian tidak ditemukan adanya kebijakan pada tingkat
propinsi (Riau dan Jambi) yang secara langsung terkait dengan pengelolaan
ekowisata di TNBT. Kebijakan yang berkaitan dengan pengelolaan TNBT dan
daerah penyangganya adalah dalam hal penetapan RTRW propinsi dan penyusunan
dokumen Strategi dan Rencana Aksi Pengelolaan Terpadu Sumberdaya Alam di
Taman Nasional Bukit Tigapuluh dan Daerah Penyangga.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Daerah Tingkat I Riau Nomor 10 Tahun
1994

tentang

Rencana Tata Ruang

Wilayah

(RTRW) Propinsi Riau, dan

Peraturan Pemerintah Daerah Tingkat I Jambi Tentang RTRW Propinsi Jambi,


kawasan TNBT ditetapkan dengan status Arahan Pembangunan Kehutanan. Saat
ini kedua RTRW propinsi tersebut masih dalam proses revisi.

74

Berdasarkan draft RTRW Propinsi Riau tahun 2009 seperti dapat dilihat
pada Gambar 16, kawasan TNBT ditetapkan sesuai SK Menteri Kehutanan
No.607/KPTS-II/2000 tanggal 21 Juni 2002 dengan luas 111.223 ha.

Kawasan

hutan yang berbatasan langsung dengan TNBT ditetapkan sebagai hutan lindung
dan penyangga TNBT. Kawasan yang ditetapkan sebagai hutan lindung adalah
kawasan hutan yang mempunyai topografi berat dan mempunyai fungsi penting dari
aspek hidroorologis, seperti kawasan hutan di Desa Sipang, Desa Alim, Desa
Talang Lakat, Desa Rantau Langsat, Desa Siambul, Desa Usul, Desa Keritang, dan
Desa Batu Ampar. Sedangkan kawasan yang ditetapkan sebagai penyangga TNBT
adalah kawasan hutan yang berdampingan dengan kawasan TNBT yang berada di
wilayah Desa Selensen, Desa Lahai, Desa Sungai Akar, Desa Punti Anai dan
Desa Aur Cina.
Sedangkan berdasarkan draft RTRW Propinsi Jambi tahun 2009 seperti dapat
dilihat pada Gambar 17, kawasan TNBT ditetapkan sesuai SK Menteri Kehutanan
No.607/KPTS-II/2000 tanggal 21 Juni 2002 dengan luas 33.000 ha.

Sedangkan

kawasan hutan yang berbatasan langsung dengan TNBT ditetapkan sebagai hutan
produksi terbatas dan hutan produksi. Kawasan hutan tersebut merupakan bekas
areal konsesi HPH yang masih memiliki potensi tegakan cukup besar, karena
sebagian perusahaan HPH menghentikan aktifitasnya sebelum berakhirnya masa
konsesi.
Berdasarkan hasil

pengamatan didapatkan bahwa implementasi kebijakan

penataan ruang daerah penyangga TNBT masih sering menimbulkan masalah. Hal
tersebut terjadi karena tidak konsistennya implementasi kebijakan penataan ruang
pada tingkat lapangan misalnya adanya tumpang tindih antar sektor.

75

GAMBAR 16. PETA RTRW RIAU (file terpisah)

76

GAMBAR 17. PETA RTRW JAMBI (file terpisah)

77

Bentuk kebijakan lain pada tingkat propinsi yang berkaitan dengan pengelolaan
TNBT dan

daerah penyangganya adalah tersusunnya dokumen Strategi dan

Rencana Aksi Pengelolaan Terpadu Sumberdaya Alam di Taman Nasional Bukit


Tigapuluh dan Daerah Penyangga yang dalam proses penyusunannya melibatkan
empat pemerintah kabupaten yaitu: Kabupaten Indragiri Hulu, Kab. Indragiri Hilir,
Kab. Tebo, dan Kab. Tanjung Jabung Barat
Penyusunan dokumen Strategi dan Rencana Aksi (SRA) tersebut dimaksudkan
untuk mewujudkan tercapainya pengelolaan TNBT dan daerah penyangganya
secara terpadu dan berkelanjutan yang didukung oleh pemangku kepentingan
(stakeholders). Tujuan penyusunan dokumen tersebut adalah :
1) Memberikan acuan dan arahan bagi pemerintah, pemerintah daerah, dan pihak
lainnya dalam pengelolaan (pemanfaatan dan pelestarian) sumberdaya alam
secara terpadu di TNBT dan daerah penyangga bagi peningkatan kesejahteraan
masyarakat dan pembangunan daerah.
2) Memberikan pedoman untuk pelaksanaan program pembangunan pusat dan
daerah, seperti fasilitas fisik ( jalan, gedung, pasar, dan lain-lain) dan
pemanfaatan sumberdaya alam TNBT dan daerah penyangganya.
Sebagai tindak lanjut dari penyusunan SRA tersebut, pada tanggal 7
Desember 2006 dilakukan Deklarasi Bersama tentang Pengelolaan Sumberdaya
Alam Terpadu Di Taman Nasional Bukit Tigapuluh dan Daerah Penyangga.
Deklarasi

bersama

tersebut

ditandatangani

oleh

Direktur

Jenderal

PHKA

Departemen Kehutanan, Deputi Bidang Peningkatan Konservasi Sumberdaya Alam


dan Pengendalian Kerusakan Lingkungan

KLH,

Bupati Indragiri Hulu, Bupati

Indragiri Hilir, Bupati Tebo, dan Bupati Tanjung Jabung Barat

Dokumen deklarasi

bersama dapat dilihat pada Lampiran 1.


Walaupun dokumen perencanaan terpadu tersebut telah ditandatangani oleh
masing-masing bupati, namun pemerintah kabupaten belum menjadikan acuan
dalam penyusunan perencanaan pembangunan daerah penyangga TNBT.
c. Tingkat Kabupaten
Berdasarkan Peraturan Bupati Indragiri Hilir Nomor 27 Tahun 2004 tentang
Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Kabupaten Indragiri Hilir
dinyatakan bahwa salah satu kebijakan pokok

Kabupaten Indragiri Hilir adalah

mengembangkan kepariwisataan yang berbasis pertanian (agrowisata).

Untuk

78

mendukung kebijakan pokok tersebut maka ditetapkan kebijakan khusus yakni


pembangunan ekonomi kerakyatan yang dalam pelaksanaannya antara lain
dilakukan dengan

cara pengembangan sektor-sektor utama yang mempunyai

keterkaitan dengan pengembangan sektor-sektor lain, yaitu ; sektor industri,


pertanian dalam arti luas, transportasi, perdagangan, pariwisata, serta sektor
kelautan sesuai dengan potensi yang ada.
Adapun strategi
adalah

pembangunan sektor pariwisata

Mengembangkan

potensi

wisata

dengan

Kabupaten Indragiri Hilir


melibatkan

stakeholders

(pemerintah, swasta dan masyarakat), kerjasama sistem paket wisata dengan


daerah lain, peningkatan promosi investasi dan jaminan keamanan pada obyekobyek wisata, serta pengembangan agrowisata.
Sedangkan kebijakan Pemerintah Kabupaten Indragiri Hulu sesuai Peraturan
Bupati Indragiri Hulu Nomor 240 tahun 2006 Tentang RPJM Kabupaten Indragiri
Hulu Tahun 2006 2010, kebijakan pembangunan sektor pariwisata tidak
disebutkan secara eksplisit. Namun secara implisit, salah satu misi dari Kabupaten
Indragiri Hulu berkaitan dengan pengembangan ekowisata, yaitu Membangun dan
mengembangkan sarana-prasarana infrastruktur yang mampu membuka isolasi
daerah, mengembangkan potensi daerah, mengembangkan kawasan-kawasan
produktif, meningkatkan aksessibilitas dan mobilitas faktor produksi serta membuka
peluang pasar .
Adapun strategi pembangunan sektor pariwisata Kabupaten Indragiri Hulu
adalah !) Mendorong berkembangnya potensi obyek wisata, memanfaatkan dan
mengembangkan faktor produksi serta mengembangkan kemitraan secara vertikal
maupun horizontal atas dasar saling membutuhkan, saling mendukung dan saling
menguntungkan, 2)

Menggali mengembangkan dan melestarikan kebudayaan

daerah sebagai pendukung terwujudnya suasana kehidupan masyarakat yang


harmonis.

Sedangkan kebijakan

sektor pariwisata

Kabupaten Indragiri Hulu

adalah 1) Menggali dan mengembangkan potensi pariwisata melalui peningkatan


sarana dan prasarana, 2) Meningkatkan pengelolaan pariwisata yang profesional
serta kegiatan dan promosi pariwisata yang dilakukan secara terarah, terencana,
dan terpadu.
Dari hasil penelitian didapatkan bahwa kebijakan pemerintah pusat dan
daerah dalam hal pengelolaan taman nasional belum berjalan secara konsisten,

79

Sebagai salah satu contoh adalah dalam hal penetapan daerah penyangga taman
nasional.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1998,

penyangga taman

nasional ditetapkan

oleh

daerah

menteri setelah mendapatkan

pertimbangan dari Gubernur. Sedangkan berdasarkan Surat Edaran Menteri Dalam


Negeri Nomor 660.1/269/V/Bangda Tahun 1999 daerah penyangga taman nasional
ditetapkan dengan Perda Kabupaten/ Kota jika berada dalam satu kabupaten, Perda
Propinsi jika

berada di lebih satu kabupaten, dan SK Mendagri jika mencakup

beberapa propinsi. Dengan kondisi tersebut maka banyak taman nasional yang
sampai saat ini daerah penyangganya belum ditetapkan secara definitif.
Demikian pula koordinasi antara pemerintah pusat, propinsi dan kabupaten
dalam hal pengelolaan taman nasional dan daerah penyangganya belum berjalan
secara intensif.

Hal tersebut diduga karena tidak jelasnya kelembagaan yang

mengurusi taman nasional dan daerah penyangganya baik pada tingkat pemerintah
kabupaten/ kota maupun pemerintah propinsi. Sebagai salah satu contoh
berdasarkan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 660.1/269/V/Bangda Tahun
1999, Tim Koordinasi Pengelola Daerah Penyangga Kawasan Konservasi diatur
secara berjenjang mulai tingkat desa, tingkat kecamatan, tingkat kabupaten, sampai
tingkat propinsi. Namun dalam implementasinya tim koordinasi tersebut tidak pernah
terbentuk.
Selain belum konsistennya kebijakan dan belum intensifnya koordinasi baik
pada tingkat nasional, propinsi maupun kabupaten, para pihak terkait (stakeholders)
juga

belum memahami tentang kebijakan/ program/ kegiatan yang

perlu

diintegrasikan dalam pengelolaan taman nasional dan daerah penyangganya.


Sesuai dengan pendapat Aunuddin et al. (2001), untuk mewujudkan pengelolaan
sumberdaya alam yang terintegrasi, lembaga-lembaga yang terkait

harus

mengetahui kegiatan apa saja yang dapat dan tidak dapat diintegrasikan dan
bagaimana cara mengintegrasikannya.
2. Integrasi Fungsional
Integrasi fungsional berkaitan dengan hubungan antara berbagai kegiatan
pengelolaan seperti
sasarannya.

konfirmasi antara program dan proyek dengan tujuan dan

Integrasi ini juga mengupayakan tidak terjadinya duplikasi diantara

lembaga yang terlibat, tetapi saling melengkapi. Penyusunan zonasi yang

80

mengalokasikan pemanfaatan sumberdaya alam secara spesifik merupakan salah


satu bentuk efektif dari keterpaduan fungsional (Kay dan Alder, 1999).
Dalam penelitian ini kondisi keintegrasian pengelolaan TNBT secara fungsional
dikaji dari aspek sistem perencanaan, penataan ruang daerah penyangga

dan

pengelolaan ekowisata TNBT.


Dokumen perencanaan pengelolaan taman nasional yang disusun oleh Balai
Taman

Nasional

pada

prinsipnya

terpisah

dengan

sistem

perencanaan

pembangunan daerah yang disusun oleh BAPPEDA kabupaten maupun propinsi.


Terpisahnya sistem perencanaan tersebut terkait dengan sistem penganggaran dan
pertanggung jawaban dimana taman nasional dikelola oleh instansi vertikal dibawah
Departemen Kehutanan. Sementara pemerintah daerah (kabupaten dan propinsi)
walaupun diwilayahnya terdapat kawasan taman nasional tidak mempunyai
kewenangan dalam pengelolaan taman nasional.
taman nasional pemerintah daerah hanya

Dalam konteks pengelolaan

berfungsi serbagai jalur koordinasi,

sementara pengelolaan taman nasional sangat terkait dengan sektor lainnya.


Penataan

ruang

merupakan

salah

satu

cara

dalam

pemanfaatan sumberdaya alam di daerah penyangga TNBT.

mengalokasikan
Berdasarkan Tata

Ruang Daerah Kabupaten Indragiri Hulu dan Kabupaten Indragiri Hilir, status
kawasan TNBT adalah kawasan konservasi, sedangkan kawasan hutan yang
berbatasan langsung dengan TNBT ditetapkan sebagai arahan pembangunan
kehutanan dan perkebunan.

Sedangkan

berdasarkan Tata Ruang Daerah

Kabupaten Tebo dan Kabupaten Tanjung Jabung Barat, kawasan TNBT ditetapkan
sebagai kawasan lindung, sedangkan daerah penyangganya ditetapkan sebagai
kawasan hutan produksi terbatas untuk pembangunan HPH, HTI, pertambangan
skala kecil.
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa dalam pelaksanan penataan
ruang

daerah penyangga TNBT masih sering menghadapi masalah yang

menunjukkan lemahnya integrasi fungsional diantara instansi / lembaga yang terlibat


baik pada tingkat propinsi maupun kabupaten.
Contoh permasalahan penataan ruang di daerah penyangga TNBT yang
menunjukkan lemahnya integrasi fungsional diantara lembaga yang terlibat antara
lain :

81

1)

Areal konsesi tambang batu bara (PT. RBH ) hanya berjarak sekitar 100 meter
dari batas kawasan TNBT, yakni di Desa Rantau Langsat Kec. Batang Gansal
Kab. Indragiri Hulu. Padahal sesuai ketentuan yang berlaku untuk kawasan
konservasi yang telah ditata batas jarak minimal dengan kegiatan non
kehutanan adalah 500 meter.

2)

Adanya tumpang tindih antar sektor, seperti tumpang tindih antara areal
konsesi pertambangan batu bara dengan areal IUPHHK .

3)

Adanya ketidaksesuaian lokasi antara ijin yang diberikan dengan pelaksanaan


di lapangan, seperti IUPHHK atas nama PT. SbMl.

Berdasarkan hasil

investigasi yang dilakukan oleh Balai TNBT, areal IUPHHK tersebut berjarak
sekitar 350 meter dari batas kawasan TNBT, padahal sesuai ijin yang diberikan
seharusnya areal IUPHHK tersebut berada pada jarak yang cukup jauh dengan
batas kawasan TNBT
Peta tata ruang daerah penyangga TNBT dapat dilihat pada Gambar 18.

Gambar 18. Peta Tata Ruang Daerah Penyangga TNBT


(Sumber: Balai TNBT 2009)
Sedangkan dalam hal pengelolaan ekowisata,

walaupun masih sangat

terbatas integrasi secara fungsional terlihat dari adanya

kegiatan pengelolaan

ekowisata yang dilakukan secara bersama oleh Balai TNBT dan Pemerintah
Kabupaten Indragiri Hulu.

Program / kegiatan pengembangan ekowisata TNBT

yang telah dilakukan oleh Dinas Pemuda Olahraga Budaya dan Pariwisata

82

Kabupaten Indragiri Hulu, antara lain: 1) Penyusunan master plan, 2) Pembangunan


sarana prasarana pengunjung, 3) Pelatihan keterampilan pembuatan souvenir bagi
masyarakat sekitar,

4) Pemeliharaan obyek wisata alam, 5) Promosi melalui

melalui media cetak, media elektronik, dan pameran, 6) Pengembangan hutan


wisata di daerah penyangga TNBT, dan lain-lain.
3. Integrasi Sistem
Integrasi sistem

memasukkan pertimbangan dimensi spasial dan temporal

sistem sumberdaya alam dalam persyaratan fisik, perubahan lingkungan, pola


pemanfaatan sumberdaya alam, dan penataan sosial ekonomi.

Integrasi ini

menjamin bahwa isu-isu relevan yang muncul dari hubungan secara fisik-biologi,
sosial dan ekonomi ditangani secara cukup. Integrasi ini membutuhkan berbagai
ketersediaan informasi yang dibutuhkan dalam pengelolaan sumberdaya alam (Kay
dan Alder, 1999). .
Dalam penelitian ini kondisi keintegrasian pengelolaan TNBT secara sistem
dikaji berdasarkan aspek pemanfaatan sumberdaya alam di daerah penyangga
TNBT.

Berdasarkan

hasil

pengamatan

ditemukan

adanya

pemberian

ijin

pemanfaatan sumberdaya alam di daerah penyangga TNBT yang kurang


mempertimbangkan kondisi biofisik kawasan. Hal ini menunjukkan masih lemahnya
integrasi secara sistem dalam pemanfaatan sumberdaya alam di penyangga TNBT.
Sebagai contoh adalah dalam hal pertambangan batu bara, terdapat beberapa
ijin pertambangan batu bara yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah yang wilayah
kerjanya mencakup daerah penyangga TNBT bertopografi berat / curam yang tidak
sesuai untuk kegiatan pertambangan terbuka (open mining).
Lemahnya integrasi pengelolaan taman nasional, pengembangan daerah
penyangga dan pembangunan wilayah tidak terlepas dari aspek kewenangan yang
dimiliki oleh para pihak yang terkait. Sesuai dengan peraturan perundangan,
kewenangan pengelolaan taman nasional berada pada Balai Besar/ Balai Taman
Nasional yang merupakan unit pelaksana teknis Direktorat Jenderal Perlindungan
Hutan dan Pelestarian Alam (PHKA). Pemerintah daerah (propinsi dan kabupaten/
kota) walaupun di wilayahnya terdapat kawasan taman nasional tidak mempunyai
kewenangan dalam pengelolaan taman nasional. Sementara itu pengelolaan taman
nasional mempunyai cakupan luas, yang tidak saja berkaitan langsung dengan

83

kawasan taman nasional tetapi juga dengan kehidupan masyarakat sekitar (sosial
ekonomi dan budaya) dan pembangunan sektor lain. Kondisi tersebut menunjukkan
bahwa pengelolaan taman nasional memerlukan dukungan kuat dari pemerintah
daerah yang mempunyai otoritas pembangunan di daerah.
Tidak adanya kewenangan pemerintah daerah dalam pengelolaan taman
nasional

menyebabkan

lemahnya

integrasi

pengelolaan

taman

nasional,

pengembangan daerah penyangga dan pembangunan wilayah. Pemerintah daerah


belum menjadikan pengembangan taman nasional sebagai salah satu fokus
pembangunan di daerah, sehingga pembangunan sektor lain seperti sektor
kehutanan, perkebunan, pertanian, pariwisata, kimpraswil, dan lain-lain, belum
mendukung secara penuh pengembangan taman nasional.
Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam
Hayati dan Ekosistemnya pada hakekatnya membuka peluang desentralisasi. Pasal
38

ayat

(1)

undang-undang

tersebut

menyatakan

bahwa

Dalam

rangka

pelaksanaan konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya, Pemerintah


dapat menyerahkan sebagian urusan di bidang tersebut kepada Pemerintah Daerah
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang
Pokok-pokok Pemerintah di Daerah.

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 62

Tahun 1998 tentang Penyerahan sebagian Urusan Pemerintahan di Bidang


Kehutanan kepada Daerah,

pengelolaan taman nasional tidak termasuk urusan

yang diserahkan baik kepada Pemerintah Propinsi maupun Kabupaten. Sementara


itu dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Daerah,
tidak diatur adanya kewenangan dan atau kewajiban bagi pemerintah daerah yang
diwilayahnya terdapat kawasan konservasi termasuk taman nasional. Kondisi
tersebut menjadikan pengelolaan taman nasional sulit untuk diintegrasikan dengan
pembangunan daerah.
Dari hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa sampai saat ini
integrasi pengelolaan taman nasional dengan pengembangan daerah penyangga
dan pembangunan wilayah masih lemah.
Hasil penelitian terhadap kondisi keintegrasian pengelolaan TNBT menjadi
input/ masukan dalam mengidentifikasi faktor-faktor strategis pengembangan
pengelolaan TNBT secara terintegrasi berbasis ekowisata pada Sub Bab V. D. dan
membangun model dinamik pada Sub Bab V. E.

84

B. Persepsi dan Keterlibatan Masyarakat Dalam Pengelolaan TNBT


Sesuai pendapat Pomeroy (1994) bahwa pengelolaan sumberdaya alam
secara terintegrasi merupakan integrasi dari pengelolaan berbasis pada sumberdaya
(resource based management), pengelolaan berbasis pada kemampuan masyarakat
(community based management) dan pengelolaan berbasis pada kemampuan
dalam memanfaatkan basis-basis kompetisi (marketing based management).
Untuik mengetahui kemampuan masyarakat tradisional dan masyarakat
penyangga dalam pengelolaan TNBT maka dilakukan penelitian terhadap persepsi
dan keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan TNBT.

Penelitian dilakukan

terhadap masyarakat tradisional yang tinggal di kawasan TNBT dan masyarakat


daerah penyangga yang

bermukim di desa-desa penyangga TNBT. Penelitian

difokuskan pada aspek pengetahuan masyarakat terhadap keberadaan kawasan


TNBT, pengetahuan masyarakat terhadap tujuan pengelolaan TNBT, keterlibatan
masyarakat dalam kegiatan ekowisata TNBT, dan harapan masyarakat terhadap
pengelolaan ekowisata TNBT.
1. Persepsi dan Keterlibatan Masyarakat Tradisional
Berdasarkan

hasil

pengamatan

dan

wawancara

dengan

masyarakat

tradisional yang tinggal di kawasan TNBT didapatkan bahwa 100% responden


menyatakan telah tinggal dikawasan TNBT sejak mereka dilahirkan, atau tidak ada
seorangpun responden yang berasal dari luar kawasan TNBT. Berkaitan dengan
pengetahuan masyarakat tradisional terhadap keberadaan kawasan TNBT, dari
hasil penelitian didapatkan bahwa 70%

responden

mengetahui kalau mereka

tinggal di kawasan TNBT, dan 30% menyatakan tidak mengetahui kalau tinggal di
kawasan TNBT.
Kondisi tersebut menggambarkan bahwa masyarakat yang tinggal di kawasan
TNBT adalah murni masyarakat tradisional yang telah tinggal di kawasan TNBT
secara turun temurun. Namun demikian walaupun mereka telah tinggal di kawasan
TNBT sejak lahir ada sebagian dari mereka yang belum mengetahui kalau mereka
tinggal di kawasan taman nasional.
Berkaitan dengan persepsi masyarakat tradisional terhadap pengelolaan
TNBT, dari hasil penelitian didapatkan bahwa sekitar 22% responden menyatakan

85

mengetahui tujuan pengelolaan taman nasional, dan sebagian besar lainnya (78%)
belum mengetahui maksud dan tujuan pengelolaan taman nasional. Kondisi tersebut
cukup memprihatinkan karena ternyata walaupun masyarakat tradisional telah
tinggal di kawasan TNBT secara turun temurun, namun sebagian besar mereka
masih belum mengetahui maksud / tujuan pengelolaan taman nasional.
Masyarakat tradisional yang mengetahui tujuan pengelolaan taman nasional
menyatakan bahwa taman nasional dikelola dengan tujuan untuk mempertahankan
keberadaan hutan, melindungi binatang buas, melindungi jernang, petai dan jenis
tumbuhan lain yang bermanfaat, dan melindungi masyarakat Suku Talang Mamak.
Tingkat pengetahuan responden terhadap tujuan pengelolaan taman nasional dapat
dilihat pada Gambar 19.
22%

Keterangan :
Tahu
Tidak tahu
78%

Gambar 19.

Tingkat Pengetahuan Responden terhadap Maksud /


Tujuan Pengelolaan Taman Nasional.

Berkaitan dengan persepsi masyarakat tradisional terhadap adanya kegiatan


yang dilarang dilakukan di kawasan taman nasional, dari hasil penelitian didapatkan
bahwa 38% masyarakat tradisional mengetahui adanya kegiatan-kegiatan yang
dilarang dilakukan di kawasan taman nasional, dan sisanya 62% menyatakan tidak
mengetahui. Menurut masyarakat tradisional,

kegiatan-kegiatan yang dilarang

dilakukan di kawasan taman nasional adalah menebang pohon, merusak hutan,


membuka hutan keramat, membunuh binatang buas, membakar lahan, meracun
ikan, menebang pohon sialang, menangkap burung, dan mencari gaharu,
Walaupun sebagian besar masyarakat tradisional tidak mengetahui tentang
kegiatan yang dilarang dilakukan di kawasan taman nasional namun budaya yang
melekat dalam kehidupan mereka telah melarang melakukan
merusak

alam.

kegiatan yang

Pada umumnya masyarakat Suku Melayu dan Talang Mamak

memiliki dasar dan konsep pengelolaan konservasi. Bahkan masyarakat tersebut

86

telah memiliki konsep pengelolaan ruang / wilayah secara tradisional. Batas antara
kampung dengan kampung lainnya diatur dengan baik. Dalam pembatasan wilayah
mereka mengenal pepatah "Cucur Ayik Sinding Pematang" di mana batas antara
batin atau kampung dibatasi oleh sungai dan aliran sungai ke induk sungai.
Selain itu mereka juga mengenal

puaka yaitu hamparan hutan yang

dikeramatkan dan dipercayai adanya roh-roh gaib dari leluhur yang bersemayam di
daerah tersebut. Pada kampung juga terdapat banyak sialang (pohon yang
dihinggapi lebah yang menghasilkan madu). Menebang pohon sialang merupakan
kesalahan kedua setelah membunuh manusia. Jika pohon sialang tertebang maka
masyarakat akan mengadakan upacara menebus kematian pohon kehidupan
dengan memberi sepucuk kain putih. Kalau sialang tertebang akan dilakukan denda
baik bagi masyarakat setempat ataupun pihak luar.
Sialang juga mempunyai fungsi sosial karena dalam pemanfaatan madu
semua unsur dalam masyarakat mendapatkannya, dan fungsi ekonomi, karena satu
pohon sialang bisa menghasilkan madu yang bernilai ekonomis. Dalam pengelolaan
wilayah masyarakat Suku Melayu dan Talang Mamak memiliki pepatah " tindik dabu,
lupak pendanauan, sialang pendulangan, cucur ayik sinding pematang" (sesuatunya
didasarkan pada adat, sungai dilindungi untuk mendapatkan ikan, sialang untuk
mendapatkan madu, batas desa dan kekuasaan didasarkan pada sungai yang
mengalir pada sungai besar (DAS).
Berkaitan dengan keterlibatan masyarakat tradisional dalam kegiatan
ekowisata di TNBT, dari hasil penelitian didapatkan bahwa 66 % masyarakat
tradisional menyatakan terlibat dalam kegiatan ekowisata di TNBT, dan 34
menyatakan tidak terlibat

dalam kegiatan ekowisata

TNBT.

Adapun bentuk

keterlibatan masyarakat tradisional dalam pengelolaan ekowisata di TNBT adalah


sebagai pemandu, penyewaan sarana transportasi air (perahu), penjualan souvenir
(tikar, sumpit), dan jasa pengobatan. Menurut masyarakat tradisional, disamping
mendapatkan manfaat secara ekonomi, manfaat lain keterlibatan mereka dalam
kegiatan

ekowisata

memperbanyak kawan.

adalah

menambah

pengetahuan/

pengalaman

dan

Persentase responden berdasarkan keterlibatan dalam

kegiatan ekowisata TNBT dapat dilihat pada Gambar 20.

87

Keterangan :

34%

Terlibat
Tidak terlibat
66%

. Gambar 20. Persentase Responden Berdasarkan Keterlibatannya


dalam Kegiatan Ekowisata di TNBT.
Kondisi tersebut mencerminkan bahwa pengelolaan ekowisata TNBT secara
langsung telah memberi manfaat bagi kehidupan masyarakat tradisional, namun
mengingat masih berlum berkembangnya pengelolaan ekowisata TNBT maka
jumlah masyarakat tradisional yang mendapatkan manfaat tersebut masih sangat
terbatas. Berkenaan dengan hal tersebut masyarakat tradisional mengharapkan
agar hutan TNBT dapat terus dijaga (tidak dirusak oleh orang luar) dan dimasa
mendatang semakin banyak masyarakat yang dilibatkan dalam kegiatan ekowisata.
2. Persepsi dan Keterlibatan Masyarakat Daerah Penyangga
Hasil penelitian mengenai tingkat pendidikan formal penduduk di daerah
penyangga TNBT menunjukkan bahwa sebagian besar (46%) responden tidak
sekolah/ tidak tamat SD, 9% tamat pendidikan SD, 12% tamat pendidikan SLTP,
33% tamat pendidikan SLTA, dan tidak ada seorang responden yang berpendidikan
Diploma / Sarjana.

Sebaran tingkat pendidikan responden dapat dilihat pada

Gambar 21.
Keterangan :
33%
46%

12%

Tidak tamat SD
SD
SLTP
SMU

9%

Gambar 21. Tingkat Pendidikan Responden dari Masyarakat Daerah


Penyangga
Rendahnya tingkat pendidikan penduduk di daerah penyangga TNBT
disebabkan oleh kurangnya sarana pendidikan terutama sarana pendidikan tingkat
lanjut, minimnya sarana transportasi untuk menjangkau daerah yang ada sarana

88

pendidikan tingkat lanjut, kurangnya biaya sekolah, dan adanya keengganan dari
para orang tua untuk melanjutkan pendidikan anak-anaknya ke jenjang yang lebih
tinggi setelah tamat sekolah dasar.

Para orang tua cenderung memanfaatkan

tenaga anaknya untuk membantu pekerjaan mereka dalam kegiatan sehari-hari.


Berkaitan dengan persepsi masyarakat terhadap pengelolaan TNBT, dari hasil
penelitian didapatkan bahwa 90% responden mengetahui keberadaan TNBT dan 10
%

menyatakan tidak mengetahui adanya TNBT.

Responden yang mengetahui

adanya TNBT menyatakan mendapatkan informasi tentang keberadaan kawasan


TNBT dari petugas Balai TNBT. Responden yang menyatakan mengetahui maksud
/ tujuan pengelolaan taman nasional sebanyak 59% , dan 41% lainnya menyatakan
tidak mengetahui maksud / tujuan pengelolaan taman nasional.

Tingkat

pengetahuan responden terhadap maksud / tujuan pengelolaan taman nasional


seperti pada Gambar 22.

Keterangan :
Tahu
Tidak tahu

41%

59%

Gambar 22. Tingkat Pengetahuan Responden terhadap Maksud / Tujuan


Pengelolaan Taman Nasional.
Masyarakat yang mengetahui tujuan pengelolaan taman nasional menyatakan
bahwa taman nasional dikelola dengan tujuan untuk melindungi hutan TNBT,
mencegah banjir dan erosi, melindungi tempat hidup satwa, sebagai sumber air
bersih, sebagai tempat wisata,

dan memberikan manfaat bagi kehidupan

masyarakat sekitar.
Berkaitan dengan manfaat taman nasional bagi kehidupan masyarakat, dari
hasil penelitian didapatkan bahwa 78% responden menyatakan mendapatkan
manfaat dari kawasan TNBT dan 22% menyatakan tidak mendapatkan manfaat.
Masyarakat yang mendapatkan manfaat menyatakan bahwa kawasan TNBT
bermanfaat bagi kehidupan mereka dalam hal (diurut berdasarkan yang paling
sering disebut): jasa lingkungan (air dan udara bersih), wisata alam, hasil hutan
non kayu (buah, jernang, madu, rotan dll.), dan satwa liar

89

Berkaitan dengan peran serta masyarakat dalam kegiatan ekowisata di TNBT,


dari hasil penelitian didapatkan bahwa hanya 13% responden yang menyatakan
terlibat dalam kegiatan ekowisata di TNBT, dan 87% lainnya menyatakan tidak
terlibat.

Persentase responden berdasarkan keterlibatannya dalam kegiatan

ekowisata di TNBT seperti pada Gambar 23.

Adapun bentuk keterlibatan

masyarakat dalam pengelolaan ekowisata di TNBT adalah sebagai pemandu dan


penyedia jasa transportasi. Kondisi tersebut mencerminkan bahwa hanya sebagian
kecil masyarakat yang berada desa-desa penyangga di jalur ekowisata TNBT yang
terlibat dalam kegiatan ekowisata TNBT.
13%

Keterangan :
Terlibat
Tidak terlibat
87%

Gambar 23.

Persentase Responden Berdasarkan Keterlibatannya


dalam Kegiatan Ekowisata di TNBT.

Harapan masyarakat daerah penyangga terhadap pengelolaan ekowisata di


TNBT adalah perbaikan jalan dan sarana wisata, pengembangan obyek wisata baru
yang menarik, meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam kegiatan ekowisata,
meningkatkan keamanan bagi wisatawan, dan dikembangkannya daerah penyangga
TNBT sebagai daerah tujuan wisata.
Rendahnya tingkat keterlibatan masyarakat daerah penyangga dalam
pengelolaan ekowisata TNBT

tidak sejalan dengan prinsip ekowisata

yang

dikemukakan oleh The International Ecotourism Society (2005 ) dimana masyarakat


dituntut untuk berpartisipasi dalam perencanaan, pengelolaan, dan pengawasan
ekowisata.
Hasil penelitian terhadap persepsi dan keterlibatan masyarakat dalam
pengelolaan TNBT, menjadi input / masukan dalam mengidentifikasi faktor-faktor
strategis pengembangan pengelolaan TNBT secara terintegrasi berbasis ekowisata
pada Sub Bab V. D. dan membangun model dinamik pada Sub Bab V. E.

90

C. Potensi Pengembangan Pengelolaan TNBT Berbasis Ekowisata


Potensi pengembangan pengelolaan TNBT dikaji berdasarkan kondisi
penawaran (supply) dan permintaan (demand) ekowisata sebagai berikut :
1. Kondisi Penawaran Ekowisata TNBT
Menurut Damanik & Weber (2006), elemen penawaran wisata sering disebut
sebagai triple As yang terdiri dari atraksi, aksesibilitas, dan amenitas. Selain ketiga
elemen tersebut juga dikaji kegiatan promosi dan pelayanan kepada ekowisatawan
yang telah dilaksanakan oleh Balai TNBT.
a. Attraksi Ekowisata
Atraksi adalah

objek ekowisata (baik yang bersifat tangible maupun

intangible) yang memberikan kenikmatan kepada ekowisatawan yang terdiri dari


alam, budaya, dan buatan. Unsur lain yang melekat dalam atraksi ini adalah
hospitally / keramah-tamahan (Damanik & Weber, 2006).
1) Sumber daya alam dan budaya
Taman Nasional Bukit Tigapuluh mempunyai potensi sumberdaya alam dan
budaya masyarakat tradisional yang sangat tinggi ditinjau dari aspek ekowisata.
Saat ini terdapat sembilan obyek yang telah dikelola sebagai attraksi ekowisata
TNBT dengan deskripsi masing-masing obyek sebagai berikut :
a) Panorama Alam Camp Granit
Camp

Granit merupakan

lokasi

ekowisata

TNBT

yang

mempunyai

aksessibilitas paling mudah dikunjungi karena berada pada jarak hanya sekitar 13
km dari jalan Lintas Timur Sumatera, tepatnya di Desa Talang Lakat Kecamatan
Batang Gangsal, Kab. Indragiri Hulu. Lokasi tersebut disebut Camp Granit, karena
sebelum ditunjuk sebagai kawasan taman nasional, terdapat camp perusahaan
pertambangan batu granit PT. Isatama Bumi Nusa. Sejak kawasan tersebut ditunjuk
sebagai taman nasional, lokasi tersebut dikembangkan sebagai obyek ekowisata
dan bekas camp tersebut difungsikan sebagai Pusat Pelatihan Pemadam Kebakaran
Hutan sekaligus sebagai sarana pendukung ekowisata (visitor centre, information
centre, dan akomodasi).

91

Kondisi bentuk lahan (land form) Camp Granit dengan topografi berat
memberikan keuntungan tersendiri karena dikelilingi lembah dan bukit sehingga
memungkinkan untuk melihat panorama alam perbukitan. Sambil menikmati
indahnya panorama alam, ekowisatawan dapat mendengarkan suara berbagai jenis
primata seperti owa (Hylobates agilis), siamang (Hylobates syndactylus), dan lutung
( Presbytis cristata), serta dapat melihat beranekaragam jenis burung.
Panorama alam Camp Granit akan semakin menarik di pagi hari atau sore hari
dimana aktifitas jenis-jenis primata dan burung tersebut meningkat, ditambah lagi
oleh indahnya kabut tipis yang menutupi kawasan perbukitan.

Gambar 24. Panorama Alam di Camp Granit


b) Air Terjun Granit
Air terjun Granit dapat ditempuh dari Camp Granit dengan berjalan kaki selama
20 menit dengan jarak tempuh 700 m. Untuk menuju air terjun juga dapat
ditempuh dengan menggunakan kendaraan roda empat.

Air terjun Granit

merupakan air terjun yang jatuh dari puncak bukit batu granit dengan ketinggian
sekitar 20 m. Air terjun tersebut terbentuk akibat proses penambangan batu granit
yang memotong bukit tempat mengalirnya Sungai Akar yang kemudian menyisakan
suatu tebing terjal dan air terjun yang jatuh dari puncak tebing tersebut. Di atas
lokasi air terjun terdapat hamparan tanaman anggrek tanah (Spathoglotis plicata
Blume) sehingga sering disebut dengan kebun anggrek. Pada waktu berbunga akan

92

terlihat satu hamparan kebun anggrek yang mempesona sehingga memberikan


daya tarik tersendiri bagi pengunjung.
c) Keanekaragaman Jenis Flora Bukit Lancang
Keanekaragaman jenis flora dapat ditemukan di jalur trecking Bukit Lancang.
Pada jalur trecking sepanjang sekitar 3,4 km dengan waktu tempuh selama 2- 4
jam dari Pusat Informasi Camp Granit tersebut, ekowisatawan dapat menikimati
keanekaragaman jenis flora hutan hujan dataran rendah khususnya dari suku
Dipterocarpaceae misalnya jenis Meranti (Shorea sp.)

diantaranya

Shorea

abovoidae dan Shorea acuminate. Pada puncak Bukit Lancang ekowisatawan dapat
melihat pohon mersawa dengan ukuran raksasa berdiameter lebih dari dua meter
serta jenis flora langka lainnya seperti pasak bumi (Eurycoma longifolia). Selain
dapat menikmati keanekaragaman jenis flora, dengan melalui jalur trecking tersebut
ekowisatawan akan menikmati tantangan mendaki bukit ber-topografi curam dan
licin.
d) Keanekaragaman Jenis Fauna Bukit Tengkorak
Keanekaragaman jenis fauna dapat ditemukan di jalur Trecking Bukit
Tengkorak. Pada jalur trecking yang terletak di sebelah utara Camp Granit dengan
panjang sekitar 3,5 km dan dengan waktu tempuh selama 2 3 jam tersebut
ekowisatawan dapat mengamati berbagai jenis burung seperti

Cucak kuricang

(Pycnonotus atriceps), Layang-layang api (Hirundo rustica) dan Kirik-kirik biru


(Merops viridis).

Berdasarkan hasil pengamatan Program Konservasi Harimau

Sumatera (PKHS) jalur

tersebut merupakan home range (daerah jelajah) dari

harimau sumatera dan beruang madu.


e) Panorama Alam Anak Sungai Akar
Jalur trecking Anak Sungai Akar mempunyai panjang sekitar 3,3 km yang
terbagi menjadi 3 bagian, yaitu 1,2 km perjalanan menembus hutan hujan tropis, 1,1
km menyusuri anak sungai akar, dan 1 km melalui jalan eks-pertambangan. Waktu
tempuh perjalanan pada jalur ini sekitar 1,5 jam. Jalur trecking ini mempunyai
panorama alam yang indah dan udara perbukitan yang segar. Disamping menikmati
indahnya panorama alam, pada jalur tersebut

ekowisatawan dapat menikmati

93

pengalaman berupa berjalan melalui batu-batu sungai yang besar dan berlapis-lapis.
Beberapa jenis flora yang dapat ditemukan pada jalur tersebut antara lain anggrek,
jernang, rotan, pinang dan liana.

Sedangkan jenis fauna yang menambah

keindahan panorama alam jalur tersebut adalah Rangkong badak (Buceros


rhinoceros) dan Serindit (Loriculus galgulus), serta beberapa jenis primata terutama
dari famili Hylobatidae.
f) Air Terjun Sutan Limbayang
Air terjun Sutan Limbayang berada di aliran Sungai Kuning yang bermuara ke
Sungai Datai. Untuk mencapai lokasi tersebut dari

Dusun Tua Datai ditempuh

dengan jalan kaki selama sekitar 3 jam melewati hutan dan menyusuri Sungai
Kuning. Nama Sutan Limbayang diambil dari nama pendahulu masyarakat Talang
Mamak. Menurut kepercayaan masyarakat setempat konon air terjun ini merupakan
tempat keramat dan kerap dijadikan sebagai tempat bersemedi.
Air terjun Sutan Limbayang memiliki tinggi sekitar 25 meter dan menurut
informasi dari masyarakat airnya tidak pernah kering. Kondisi di sekitarnya masih
sangat alami dengan dikelilingi rimbunnya vegetasi hutan hujan tropis yang masih
asli, ada dua pohon besar jenis pulai dan jelutung yang kokoh berdiri tegak seakanakan menjadi pengawal setia air terjun. Keunikan lain dari air terjun tersebut adalah
tebing air terjun yang nampak seperti tersusun atas empat susunan batuan.

Gambar 25. Air Terjun Sutan Limbayang

94

g) Sungai Batang Gangsal


Sungai Batang Gangsal merupakan sungai terbesar yang terdapat di kawasan
TNBT. Sungai tersebut membelah kawasan TNBT dari arah selatan ke utara yang
melewati beberapa dusun yang dihuni oleh masyarakat tradisional Suku Talang
Mamak dan Melayu Tua, yaitu Dusun Tua Datai, Dusun Suwit, Sadan, Air Bomban,
Nunusan, Dusun Air Tabo, dan Dusun Lemang. Perjalanan dari Dusun Tua Datai
ke

Dusun Lemang dapat ditempuh selama 2 hari.

Menyusuri Sungai Batang

Gangsal dengan menggunakan perahu atau rakit merupakan atraksi ekowisata yang
sangat mengasikkan.

Gambar 26. Menyusuri Sungai Batang Gansal


h) Air Terjun Papunawan
Air Terjun Papunawan

merupakan air terjun bertingkat dengan ketinggian

sekitar 15 m. Lokasi air terjun tersebut dapat ditempuh dengan berjalan kaki selama
sekitar 2 jam dari lokasi pemukiman penduduk di Desa Rantau Langsat. Di sekitar
air terjun terdapat areal untuk berkemah yang biasa digunakan ekowisatawan.
i) Budaya Suku Talang Mamak
Suku Talang Mamak

dapat ditemui pada dusun-dusun yang berada di

sepanjang Sungai Batang Gangsal. Suku tersebut memiliki budaya yang sangat
menarik misalnya pelaksanaan upaca pernikahan, sunatan, kelahiran, pengobatan
dan penghormatan roh yang telah meninggal. Selain itu ekowisatawan dapat melihat
kehidupan sehari-hari Suku Talang Mamak yang sangat dekat dengan alam.

95

Peta lokasi obyek ekowisata yang berada di Camp Granit dan jalur Sungai
Batang Gangsal disajikan pada Gambar 27. dan 28.

Gambar 27.

Peta Lokasi Obyek Ekowisata di Camp Granit

Camping ground

96

Gambar 28. Peta Lokasi Obyek Ekowisata di Sungai Batang Gangsal


2) Hospitality (keramah-tamahan)
Ekowisatawan

TNBT akan dilayani oleh masyarakat penyedia jasa yang

terkait dengan ekowisata (akomodasi, transportasi, pemandu, dll)

dengan penuh

keramah-tamahan sesuai budaya masyarakat Melayu. Sesampaikan di kawasan


TNBT, masyarakat Suku Talang Mamak

juga akan menyambut kedatangan

ekowisatawan dengan akrab dan ramah sesuai dengan adat dan tradisi mereka.
Terhadap pelayanan yang diberikan oleh petugas ekowisata Balai TNBT, 37,5 %
ekowisatawan menyatakan petugas telah melayani dengan ramah, dan 62,5 %
ekowisatawan menyatakan petugas telah melayani dengan cukup ramah.
b. Aksessibilitas
Aksesibilitas

mencakup

keseluruhan

infrastruktur

transportasi

yang

menghubungkan wisatawan dari, ke dan selama di daerah tujuan wisata (Inskeep


1994 dalam Damanik & Weber 2006).
Untuk menuju ke Kantor Balai TNBT yang berlokasi di Rengat Barat, dari Kota
Pekanbaru dapat ditempuh dengan jalan darat dengan jarak 180 Km dengan waktu
tempuh sekitar 4 jam. Sedangkan dari kota Jambi dapat ditempuh dengan jalan
darat sejauh 310 km dengan waktu tempuh sekitar 6 jam. Kondisi jalan dari Kota

97

Pekanbaru ke Rengat Barat lebih baik dibandingkan dengan kondisi jalan dari Kota
Jambi. Demikian pula kondisi jalan dari Kota Jambi ke Rengat Barat disamping
sangat jauh juga berbelolk-belok sehingga sering kurang menyenangkan bagi
ekowisatawan.
Dari Kantor Balai TNBT ke lokasi TNBT ditempuh melalui Jalan Lintas Timur
Sumatera dengan jarak sekitar 60 km dan waktu tempuh sekitar satu jam.
Dari jalan Lintas Timur Sumatera, terdapat tiga jalan masuk ke lokasi ekowisata
TNBT, yakni : 1) Dari Simpang Pendowo Desa Keritang ke Simpang Datai (batas
kawasan TNBT) sepanjang sekitar 20 Km, 2) Dari Simpang Granit Desa Talang
Lakat ke lokasi ekowisata Camp Granit sepanjang 13 Km, dan 3) Dari Simpang
Siberida Desa Siberida ke Desa Rantau Langsat sepanjang 15 Km.

Jalur pertama

merupakan jalan bekas HPH yang berupa jalan tanah dimana pada saat musim
hujan kondisinya berlumpur dan hanya bisa dilalui kendaraan roda empat double
gardan atau kendaraan roda dua. Jalur kedua merupakan jalan bekas perusahaan
tambang batu Granit yang berupa jalan diperkeras. Karena kondisi topografi yang
terjal dan kurangnya perawatan, sebagian besar jalan tersebut sudah rusak, namun
masih bisa dilalui oleh semua jenis kendaraan roda empat dan roda dua. Kedua
jalan tersebut melalui kawasan hutan produksi eks HPH yang sebagian telah
dirambah oleh masyarakat untuk dijadikan kebun sawit.

Sedangkan jalur ketiga

merupakan jalan kabupaten yang kondisinya sebagian sudah diaspal dan sisanya
baru diperkeras. Jalur tersebut melalui beberapa desa penyangga TNBT. Pada
ketiga jalan masuk ke lokasi ekowisata TNBT tersebut belum tersedia sarana
angkutan umum kecuali ojek.

Gambar 29. Kondisi Jalan dari Simpang Granit ke Camp Granit

98

Dengan kondisi aksessibilitas tersebut, 52,5% ekowisatawan menyatakan


mengalami kesulitan untuk mencapai lokasi ekowisata TNBT. Jenis kesulitan yang
dihadapi oleh ekowisatawan untuk mencapai lokasi ekowisata TNBT adalah karena
faktor jalan rusak (55,6%), medan berat (27,8 %), lokasi terpencil (11,1%) dan tidak
adanya papan petunjuk arah (5,6%). Rusaknya jalan dan beratnya medan pada
ketiga ruas jalan yang menghubungkan Jalan Lintas Timur Sumatera dengan lokasi
ekowisata TNBT menyebabkan rendahnya tingkat aksesibilitas ke lokasi ekowisata
TNBT.
c. Amenities
Amenitas adalah infrastruktur yang sebenarnya tidak langsung terkait dengan
pariwisata tapi sering menjadi bagian dari kebutuhan wisatawan seperti Bank,
money changer, sarana telekomonikasi, dan lain-lain. Semua jenis infrastruktur
pendukung ekowisatawan tersebut telah tersedia di Kota Rengat, sehingga
ekowisatawan dapat menyelesaikan segala kebutuhannya sebelum berangkat ke
kawasan TNBT.
d. Promosi
Dalam rangka menarik minat masyarakat untuk berkunjung ke TNBT,

Balai

TNBT telah melakukan beberapa bentuk kegiatan promosi dan publikasi. . Kegiatan
promosi dan publikasi dilakukan dalam bentuk pembangunan

pusat informasi

pemasangan billboard, penerbitan media cetak seperti leaflet, booklet, poster dan
kalender.

Selain itu pada beberapa kesempatan Balai TNBT mengadakan/

mengikuti pameran baik di tingkat kabupaten maupun propinsi.


Berdasarkan

hasil

pengisian

kuesioner

didapatkan

bahwa

36,1%

ekowisatawan menyatakan mendapatkan informasi tentang ekowisata TNBT dari


kegiatan sosialisasi/ kampanye/ pameran yang dilaksanakan oleh Balai TNBT,
26,2% mendapatkan informasi dari teman/ saudara, 22,9% mendapatkan informasi
dari media cetak (leaflet, booklet, majalah, koran), 11,5% mendapatkan informasi
dari media elektronik, dan hanya 3,3% mendapatkan informasi dari sumber lain.
Upaya promosi yang dilakukan oleh Balai TNBT tersebut telah mampu menarik
minat masyarakat untuk berkunjung ke TNBT. Sebanyak 49,2% ekowisatawan yang

99

berkunjung ke TNBT menyatakan terdorong oleh keinginan untuk membuktikan


informasi yang telah diperoleh.

Gambar 30. Pusat Informasi TNBT


e. Pelayanan Pengunjung
Pelayanan terhadap ekowisatawan TNBT dimulai dari tahap pemberian
informasi, pengurusan tiket masuk, pengaturan akomodasi, dan pelayanan jasa
pemandu.

Saat ini terdapat 2 orang pegawai Balai TNBT yang secara khusus

bertugas dibagian pelayanan ekowisawa. Pemberian informasi dilakukan dengan


tiga cara yaitu penjelasan secara lisan dengan alat peraga berupa display yang ada
di Pusat Informasi, pemberian informasi secara tertulis (leaflet dan booklet), dan/
atau pemutaran film di ruang audio visual Pusat Informasi. Pemilihan metode/ cara
pemberian informasi kepada ekowisatawan disesuaikan dengan karakteristik
pengunjung (umur, jenis pekerjaan) dan sifat kunjungan (sendiri, nerkelompok).
Pelayanan tiket masuk ekowisatawan dilakukan sesuai dengan Peraturan
Pemerintah RI Nomor 59 Tahun 1998 tentang Tarif atas Jenis Penerimaan Negara
Bukan Pajak yang Berlaku Pada Departemen Kehutanan dan Perkebunan dan Surat
Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.223/Menhut-II/2004 yang mengatur
tentang pembagian rayon Taman Nasional dalam rangka penerimaan negara bukan
pajak. Berdasarkan ketentuan tersebut harga tiket masuk ekowisatawan
kawasan TNBT (termasuk Rayon III) sebesar Rp
nusantara dan Rp 10.000,-

1.000,-

untuk wisatawan mancanegara.

ke

untuk wisatawan
Harga tiket masuk

kendaraan roda dua sebesar Rp 1.000,- dan roda empat sebesar Rp 2.000,-

100

2. Kondisi Permintaan Ekowisata TNBT


Berdasarkan hasil pengisian kuesioner oleh 60 rersponden yang diambil dari
ekowisatawan TNBT selama periode penelitian didapatkan bahwa 80% ekowisawan
TNBT merupakan ekowisatawan domestik yang berasal dari tiga kabupaten terdekat
dengan kawasan TNBT yaitu Kab.
Pelalawan.

Indragiri Hulu, Kab. Indragiri Hilir dan Kab.

Sedangkan 20% lainnya merupakan ekowisatawan domestik yang

berasal dari luar wilayah tiga kabupaten tersebut, seperti Pekanbaru, Medan, Jambi,
dan Bandar Lampung
Berdasarkan kelas umurnya, 55% ekowisatawan berumur antara 31 40
tahun, 25% berumur antara 41 50 tahun, 13% berumur 20 -30 tahun, dan 7%
berumur lebih dari 51 tahun.

Berdasarkan tingkat pendidikannya, 37,5%

ekowisatawan berpendidikan SLTA, 35% berpendidikan Sarjana, 20% berpendidikan


Diploma,

5% berpendidikan SD, dan 2,5 % berpendidikan

Pasca Sarjana.

Berdasarkan jenis pekerjaannya, 45 % ekowisatawan adalah pegawai negeri sipil


(PNS), 27,5% pegawai swasta, 15% wiraswastawan, 7,5% mahasiswa, dan 5%
mempunyai jenis pekerjaan lain. Sedangkan berdasarkan tingkat penghasilan perbulan,

76% ekowisatawan berpenghasilan 1,5 3,5 juta rupiah, 19%

berpenghasilan 3,5 6,5 juta rupiah, dan 5% berpenghasilan 500 ribu 1, 5 juta
rupiah. Persentase jumlah ekowisatawan berdasarkan tingkat pendidikannya dapat
dilihat pada Gambar 31. Sedangkan daftar jumlah ekowisatawan TNBT mulai
tahun 1999 sampai dengan tahun 2009 dapat dilihat pada Lampiran 2.

2%

Keterangan :

5%

35%
38%

SD
SLTA
Diploma
Sarjana
Pasca Sarjana

20%

Gambar 31. Persentase Jumlah Ekowisatawan Berdasarkan Tingkat


Pendidikannya.

101

Kondisi tersebut menggambarkan bahwa

sebagian besar ekowisatawan

TNBT berasal dari daerah kabupaten di sekitar kawasan TNBT dengan tingkat
pendidikan SLTA dan Sarjana serta bekerja sebagai PNS dan pegawai swasta.
Terhadap besarnya nilai tariff tersebut, 60% ekowisatawan menyatakan tidak
terlalu mahal dan 40% lainnya menyatakan terlalu mahal. Terhadap kondisi
pelayanan secara keseluruhan, 55% ekowisatawan menyatakan bahwa pelayanan
yang diberikan sudah cukup baik, 25% menyatakan baik, dan 20% menyatakan
kurang baik.

Terhadap jumlah petugas yang melayani ekowisata , 65%

ekowisatawan menyatakan kurang memadai, 25 % menyatakan cukup memadai,


dan hanya 10% yang menyatakan sudah memadai.

Sedangkan

ekowisatawan

52,5%

terhadap

kondisi

sarana-prasarana,

tanggapan

ekowisatawan

menyatakan kondisi sarana-prasarana ekowisata TNBT saat ini masih kurang baik,
40% menyatakan sedang atau cukup baik, dan hanya 7,5 % yang menyatakan
sudah baik.
Secara umum, sebagian besar (62,5%) ekowisatawan menyatakan cukup puas
dengan pelayanan yang diberikan oleh pengelola ekowisata TNBT, 35%
menyatakan puas, dan hanya 2,5 % yang menyatakan tidak puas.
Selama melakukan kunjungan ke lokasi ekowisata TNBT,

sebagian besar

(92,5 %) ekowisatawan menyatakan mendapat kesan yang menyenangkan dan


hanya 7,5 % yang menyatakan mendapat kesan yang tidak menyenangkan. Alasan
mereka menyatakan mendapat kesan yang menyenangkan adalah karena dapat
menikmati hutan yang masih asli, panorama alam yang indah, mengenal flora dan
fauna, serta dapat melihat budaya masyarakat tradisional. Sedangkan mereka yang
menyatakan mendapat kesan yang tidak menyenangkan adalah karena jalan
menuju lokasi ekowisata kondisinya rusak. Namun demikian seluruh ekowisatawan
menyatakan berminat untuk berkunjung kembali ke TNBT dengan alasan ingin tahu
lebih banyak TNBT, menyukai hutan yang masih asli, menambah pengalaman, dan
mengetahui lebih banyak budaya masyarakat tradisional.
Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui adanya kesenjangan (gaps) antara
kondisi penawaran dan permintaan ekowisata TNBT, sebagai berikut :
1) Ekowisatawan tertarik mengunjungi obyek ekowisata TNBT namun mengalami
kesulitan mencapai lokasi karena jalan akses rusak,

102

2) Promosi dapat menarik minat ekowisatawan berkunjung

ke TNBT, namun

kegiatan promosi yang dilakukan oleh Balai TNBT belum intensif karena
keterbatasan anggaran,
3) Kondisi hutan TNBT yang masih asli / alami menjadi faktor yang paling menarik
bagi ekowisatawan untuk berkunjung ke TNBT, namun di kawasan TNBT terjadi
perladangan berpindah yang merusak hutan alam.
4) Menurut ekowisatawan, pelayanan oleh petugas Balai TNBT sudah cukup baik
namun jumlah petugas yang melayani ekowisata masih belum memadai
Terhadap kondisi pengelolaan ekowisata TNBT, ekowisatawan memberi saran
sebagai berikut : 1) Perlu adanya peningkatan promosi (28%), 2) Pengembangan
sarana-prasarana termasuk perbaikan jalan akses (27,1%), 3) Pengembangan
atraksi (jumlah / daya tarik) ekowisata (22,9%), dan 4) Peningkatan pelayanan
pengunjung (22%).
Peningkatan promosi
22%

28%

23%
27%

Pengembangan
sarana-prasarana
Pengembangan atraksi
ekowisata
Peningkatan
pelayanan

Gambar 32. Saran Ekowisatawan Terhadap Pengembangan Ekowisata


TNBT
Berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat

didapatkan bahwa

masyarakat tradisional dan masyarakat yang tinggal di daerah penyangga TNBT


berharap pengembangan ekowisata TNBT akan membuka lapangan kerja dan
meningkatkan

pendapatan

masyarakat.

Selain

itu

masyarakat

berharap

ekowisatawan TNBT menghormati adat dan budaya masyarakat setempat dan ikut
menjaga hutan alam TNBT. Selain keterlibatan masyarakat sebagai

pemandu,

penyedia jasa transportasi, penyedia jasa akomodasi, dan penjualan souvenir,


mereka juga berharap dapat dilibatkan dalam proses pengembangan obyek
ekowisata di kawasan TNBT. Hal ini karena masyarakat lebih tahu tentang kondisi
alam TNBT dimana mereka tinggal selama bertahun-tahun.

103

Sedangkan harapan pemerintah daerah terhadap pengembangan ekowisata


TNBT adalah adanya kontribusi langsung pengelolaan ekowisata terhadap
pendapatan asli daerah (PAD)
setempat.

dan peningkatan kesejahteraan masyarakat

Pengelolaan ekowisata TNBT diharapkan dapat dikaitkan dengan

pengelolaan obyek wisata lain yang ada di sekitar TNBT seperti Danau Raja di Kota
Rengat .

Selain itu promosi

ekowisata TNBT

diharapkan

juga dapat

mempromosikan potensi daerah baik pada tingkat nasional maupun internasional.


Hasil penelitian terhadap kondisi penawaran dan permintaan ekowisata TNBT
seperti diuraikan di atas, menjadi input / masukan dalam mengidentifikasi faktorfaktor strategis pengembangan pengelolaan TNBT secara terintegrasi berbasis
ekowisata pada Sub Bab V. D. dan membangun model dinamik pada Sub Bab V E.

104

D. Prioritas Program Pengembangan Pengelolaan TNBT Berbasis


Ekowisata
Proses

pengambilan

keputusan

strategis

selalu

berkaitan

dengan

pengembangan misi, tujuan, strategi dan kebijakan suatu organisasi.

Dengan

demikian kegiatan perencanaan strategis harus melibatkan dan menganalisis faktorfaktor strategis suatu organisasi yang meliputi kekuatan, kelemahan, peluang, dan
ancaman (Rangkuti, 1998).
Faktor-faktor strategis Balai TNBT dalam mengembangkan pengelolaan TNBT
secara terintegrasi berbasis ekowisata dirumuskan berdasarkan analisis SWOT.
Berdasarkan faktor-faktor strategis tersebut dirumuskan strategi dan alternatif
kebijakan dalam pengembangan pengelolaan TNBT secara terintegrasi berbasis
ekowisata. Selanjutnya untuk menentukan prioritas kebijakan yang perlu dilakukan
oleh Balai TNBT dalam

pengembangan pengelolaan TNBT secara terintegrasi

berbasis ekowisata dilakukan analisis AWOT. Hasil analisis faktor-faktor strategis,


perumusan strategi dan alternatif kebijakan, serta penentuan prioritas kebijakan
dalam pengembangan pengelolaan TNBT secara terintegrasi berbasis ekowisata,
sebagai berikut :
1. Faktor- Faktor yang Bersifat Strategis
Untuk

mengidentifikasi

faktor-faktor

strategis

dalam

pengembangan

pengelolaan TNBT secara terintegrasi berbasis ekowisata dilakukan analisis SWOT


dalam forum Focus Group Discussion (FGD) dengan Balai TNBT dan mitra kerjanya.
Sebagai bahan masukan dalam melakukan analisis tersebut adalah data-data hasil
penelitian yang telah dilakukan pada tahapan sebelumnya, yaitu data mengenai : 1)
kondisi keintegrasian pengelolaan TNBT (Sub Bab V.A),

2) persepsi dan

keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan ekowisata TNBT (Sub Bab V.B),


potensi pengembangan ekowisata TNBT (Sub Bab V.C),

dan 4)

3)

peta kondisi

tutupan hutan TNBT, peta tata ruang daerah penyangga TNBT, dan laju kerusakan
hutan TNBT (hasil analisis spasial).
Berdasarkan

hasil

analisis

didapatkan

faktor

Internal

(kekuatan

dan

kelemahan) dan faktor eksternal (peluang dan ancaman) yang bersifat strategis,
sebagai berikut :

105

a. Kekuatan
Nilai pengaruh dari faktor yang bersifat strategis sebagai komponen kekuatan
(strength) dalam pengembangan pengelolaan TNBT secara terintegrasi berbasis
ekowisata dapat dilihat pada Tabel 11.
Tabel 11 . Nilai Pengaruh dari Faktor yang Bersifat Strategis Sebagai
Komponen Kekuatan dalam Pengembangan Pengelolaan TNBT
secara Terintegrasi Berbasis Ekowisata
NILAI
FAKTOR

BOBOT

PERINGKAT

PENGARUH

A.

Hutan alam yang kondisinya masih baik

0,3

1,2

B.

0,3

0,9

C.

Kekhasan dan kelangkaan spesies flora /


fauna
Keunikan budaya masyarakat tradisional

0,2

0,8

D.

Keindahan landscape (panorama alam)

0,1

0,2

E.

Tersedianya sarana-prasarana ekowisata

0,1

0,2

3.30

Jumlah

Uraian masing-masing faktor yang bersifat strategis sebagai komponen kekuatan


sebagai berikut :
1) Hutan alam yang kondisinya masih baik
Ekosistem Bukit Tigapuluh, yang meliputi kawasan TNBT (seluas 144.223 ha.)
dan hutan alam di sekitarnya merupakan hutan hujan tropika dataran rendah yang
didominasi oleh jenis-jenis dari suku Dipterocarpaceae seperti jenis Meranti (Shorea
sp.).

Hutan alam tersebut kondisinya relatif masih baik dan sekarang

keberadaannya di Pulau Sumatera sudah langka.

Hutan alam TNBT memiliki

keanekaragaman hayati (biodiversitas) yang tinggi, baik pada tingkat genetik,


spesies, dan ekosistem.

Tidak kurang dari 1500 jenis (spesies) flora terdapat di

kawasan tersebut (SBKSDA Riau, 1997).

Sedangkan menurut Danielsen dan

Heegaard (1993), di kawasan TNBT terdapat sekitar 59 jenis mamalia dan 193
jenis burung atau sepertiga dari jenis burung yang ada di Pulau Sumatera.
2) Kekhasan dan kelangkaan spesies flora / fauna
Keberadaan spesies flora dan fauna langka menjadi daya tarik tersendiri bagi
ekowisatawan untuk berkunjung ke TNBT. Kawasan TNBT memiliki kekayaan flora
yang tinggi, diantara beberapa jenis flora tersebut terdapat jenis-jenis unik dan

106

langka,

seperti

cendawan

muka

(Johannesteijsmannia altifrons),

rimau

(Rafflesia

hasseltii),

salo

Jelutung (Dyera costulata), ramin (Gonistylus

bancanus), kemenyan (Styrax benzoin), dan pasak bumi (Eurycoma longifolia)


(Wiriadinata et al., 1994).

Sedangkan

berdasarkan hasil suvey Danielsen dan

Heegaard (1993), kawasan TNBT merupakan habitat yang ideal bagi beragam
jenis satwa terutama jenis endemic Sumatera. Diantara jenis satwa liar tersebut
terdapat jenis-jenis terancam punah dan status perlindungan khusus baik menurut
undang-undang Indonesia, CITES, dan IUCN, seperti harimau sumatera (Panthera
tigris sumatrae) dan gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus).
3) Keunikan budaya masyarakat tradisional
Keberadaan tiga suku masyarakat tradisional yang tinggal di kawasan TNBT
dan daerah penyangganya, yaitu: Suku Anak Dalam (Suku Kubu atau Orang
Rimba), Suku Talang Mamak, dan Suku Melayu Tua, merupakan salah satu daya
tarik bagi ekowisatawan untuk berkunjung ke TNBT. Beberapa aspek budaya
masyarakat tradisional di kawasan TNBT yang mampu menarik pengunjung adalah:
kerajinan tangan, bahasa, tradisi, kesenian, sejarah, arsitektur, religius, dan
pakaian. Profil ketiga masyarakat tradisional yang terdapat di kawasan TNBT dapat
dilihat pada Gambar 33.

Suku Anak Dalam

Suku Talang Mamak

Suku Melayu Tua

Gambar 33. Profil Masyarakat Tradisional di Kawasan TNBT


4) Keindahan lanskap (panorama alam)
TNBT merupakan kawasan perbukitan yang berada ditengah-tengah Pulau
Sumatera yang memiliki lanskap yang sangat indah.

Selain itu pada beberapa

lokasi terdapat panorama alam antara lain : panorama hutan alam di Granit, air

107

terjun Batu Granit, air terjun Papunawan, air terjun Sutan Limbayang, , panorama
Sungai Batang Gansal, dan lain-lain.
5) Tersedianya sarana-prasarana ekowisata
Walaupun jumlahnya relatif masih terbatas, kawasan TNBT telah dilengkapi
dengan beberapa jenis sarana- prasarana ekowisata, seperti ; shelter (5 buah),
pusat informasi (1 buah ), papan interpretasi (6 unit), camping ground (2 lokasi),
rumah pohon (1 buah), jalan trail, MCK (2 unit), dan fasilitas akomodasi (9 kamar).
Sebagian besar sarana-prasarana ekowisata tersebut berada di lokasi ekowisata
Granit.

Gambar 34. Papan Interpretasi di Granit TNBT


b. Kelemahan
Nilai pengaruh dari faktor
kelemahan

(weakness)

dalam

yang bersifat strategis sebagai komponen


pengembangan

pengelolaan

TNBT

secara

terintegrasi berbasis ekowisata dapat dilihat pada Tabel 12.

108

Tabel 12. Nilai Pengaruh dari Faktor yang Bersifat Strategis Sebagai
Komponen Kelemahan dalam Pengembangan Pengelolaan TNBT
secara Terintegrasi Berbasis Ekowisata

FAKTOR
A.

Rendahnya aksessibilitas ke lokasi obyek


ekowisata
Belum intensifnya pengembangan daya
tarik obyek ekowisata
Belum intensifnya promosi dan publikasi
ekowisata TNBT
Terjadinya kerusakan hutan akibat perladangan berpindah masyarakat tradisional
Terbatasnya alokasi anggaran dan SDM
dibidang ekowisata
Jumlah

B.
C.
D.
E.

BOBOT

PERINGKAT

NILAI
PENGARUH

0,3

1,2

0,2

0,8

0,2

0,8

0,2

0,6

0,1

0,3

3.70

Uraian masing-masing faktor yang bersifat strategis sebagai komponen kelemahan


sebagai berikut :
1) Rendahnya aksessibilitas ke lokasi obyek ekowisata.
Seperti yang diuraikan pada Sub Bab V C. untuk menuju lokasi ekowisata
TNBT,

dari Kantor Balai TNBT ditempuh melalui Jalan Lintas Timur Sumatera.

Selanjutnya,

dari jalan Lintas Timur Sumatera ekowisatawan dapat melalui tiga

alternatif jalan masuk, yakni : 1) Dari Simpang Pendowo Desa Keritang ke Simpang
Datai,

2)

Dari Simpang Granit

Desa Talang Lakat ke lokasi ekowisata Camp

Granit, dan 3) Dari Simpang Siberida Desa Siberida ke Desa Rantau Langsat. Jalur
pertama dan kedua merupakan jalan
rusak.

tanah diperkeras yang kondisinya sudah

Sedangkan jalur ketiga merupakan jalan kabupaten yang kondisinya

sebagian sudah diaspal dan sisanya baru diperkeras. Dengan kondisi jalan dan
belum tersedia sarana angkutan umum kecuali ojek pada ketiga jalur tersebut
menyebabkan rendahnya tingkat aksesibilitas ke lokasi ekowisata TNBT.
2) Belum intensifnya pengembangan daya tarik obyek ekowisata
Seperti yang diuraikan pada Sub Bab V C. jumlah maupun keragaman jenis
obyek ekowisata TNBT masih terbatas.

Saat ini ekowisatawan cenderung

mengunjungi obyek ekowisata yang lokasinya mudah dijangkau dengan waktu dan

109

biaya yang minimal, seperti yang berada di lokasi ekowisata Camp Granit yang
jaraknya hanya 13 km dari jalan lintas timur Sumatera.

Di lokasi tersebut

ekowisatawan hanya dapat menikmati panorama alam, air terjun, dan melakukan
trecking. Mereka berharap atraksi ekowisata TNBT dapat dikembangkan secara
lebih intensif sehingga menarik minat ekowisatawan untuk berkunjung ke TNBT.
3) Belum intensifnya promosi dan publikasi ekowisata TNBT
Balai TNBT telah melakukan beberapa bentuk kegiatan promosi dan publikasi,
namun karena faktor keterbatasan anggaran, pelaksanaan promosi dan publikasi
tersebut masih belum intensif. Kegiatan promosi dan publikasi yang telah dilakukan
antara lain: membangun pusat informasi (2 unit), pemasangan billboard (2 buah),
penerbitan leaflet (5000 eksemplar per-tahun), booklet (500 eksemplar per-tahun),
poster (500 eksemplar per-tahun) dan kalender (500 eksemplar per-tahun), serta
pembuatan media elektronik berupa film dokumenter ( 1 judul) dan website (1
situs), Selain itu pada beberapa kesempatan Balai TNBT mengadakan penyuluhan
ke masyarakat dan sekolah-sekolah di sekitar kawasan TNBT serta mengikuti
kegiatan pameran (2 kali per-tahun) baik di tingkat kabupaten maupun propinsi.
4) Terjadinya kerusakan hutan akibat perladangan berpindah
Kegiatan perladangan berpindah yang dilakukan oleh masyarakat tradisional di
kawasan TNBT pada dasarnya merupakan budaya asli mereka yang telah
berlangsung secara turun temurun. Mereka melaksanakan perladangan tersebut
dengan norma-norma tertentu sehingga tidak merusak lingkungan, misalnya
dilakukan dengan sistem rotasi, tidak dilakukan pada sempadan sungai dan areal
yang mempunyai tingkat kelerengan tinggi. Namun sejalan dengan perkembangan
keadaan, kini sebagian masyarakat tradisional melakukan perladangan dengan tidak
mempertimbangkan kaidah tersebut, sehingga menyebabkan terjadinya kerusakan
hutan dan keindahan panorama alam.

110

Sumber : Balai TNBT

Gambar 35. Contoh Hutan yang Dibuka untuk Perladangan Berpindah


Berdasarkan Balai TNBT (2009) kawasan TNBT dapat dibagi menjadi enam
kelas penggunaan lahan yaitu: lahan terbuka, belukar jarang, belukar sedang,
belukar rapat, hutan sedang dan hutan lebat.
penggunaan lahan tersebut

Deskripsi masing-masing kelas

disajikan pada Lampiran 3.

Untuk mengetahui laju

kerusakan hutan TNBT dibuat dua klasifikasi yaitu kawasan hutan yang terdiri dari
hutan sedang dan hutan rapat, serta kawasan non hutan yang terdiri dari lahan
terbuka, belukar jarang, belukar sedang, belukar rapat, hutan sedang.
Berdasarkan hasil analisis spasial dengan menggunakan citra landsat,
didapatkan bahwa selama periode tahun 19962007 terjadi peningkatan luas
kawasan non hutan di TNBT seperti disajikan pada Tabel 13.
Tabel 13. Luas Hutan dan Non Hutan di Kawasan TNBT
Tahun

Hutan (Ha.)

Non Hutan (Ha.)

Keterangan

1996

141.976,19

2246,81

2002

138.692,33

5530,67

Luas kawasan TNBT


144.223 Ha.

2007

137.886,22

6336,78

Dari data tersebut dapat dihitung laju kerusakan hutan TNBT antara tahun
1996 sampai tahun 2007 yakni sebesar 371,8 ha per-tahun. Sebagian besar

111

kerusakan hutan tersebut disebabkan karena perladangan berpindah oleh


masyarakat tradisional yang bermukim di dusun-dusun di sepanjang Sungai Batang
Gangsal. Perubahan kondisi tutupan hutan TNBT pada tahun 1996, 2002, dan 2007
dapat dilihat pada Gambar 36.

1996

2002

2007

Gambar 36. Perubahan Kondisi Tutupan Hutan TNBT

112

5) Terbatasnya alokasi anggaran dan SDM dibidang ekowisata


Berdasarkan Laporan Akuntabilitas Balai TNBT, alokasi penggunaan anggaran
Balai TNBT periode 2005 2009 dapat dilihat pada Gambar 37.

Alokasi Anggaran (dalam juta rupiah)

4.500
4.000
3.500
3.000
2.500
2.000
1.500
1.000
500
0
2005

Program A
Program B
Program C
Program D

=
=
=
=

2006

2007

2008

2009

Tahun
Administrasi Umum dan Peningkatan Kapasitas Kelembagaan
Pengamanan Kawasan TN dan Pengendalian Kebakaran Hutan
Pengelolaan Keanekaragaman Hayati
Pengembangan Jasa Lingkungan dan Wisata Alam

Gambar 37. Alokasi Penggunaan Anggaran Balai TNBT


Dari Gambar 37. dapat dilihat bahwa program A meningkat secara signifikan
dari tahun 2005 ke tahun 2009. Hal ini karena anggaran program tersebut
berbanding lurus dengan jumlah pegawai dan kenaikan gaji pegawai, yang pada
kenyataannya terus mengalami peningkatan. Semakin banyak jumlah pegawai dan
semakin tinggi standar gaji pegawai maka anggaran untuk program tersebut akan
semakin meningkat.
Jika dibandingkan dengan tahun 2005, total anggaran pada tahun 2009
mengalami peningkatan sebesar 129 %, sedangkan kenaikan anggaran untuk
masing-masing program sebagai berikut: : program A naik 145 %, program B naik
171 %, program C naik 243 %, dan program D turun 17 %. Dari data tersebut dapat
disimpulkan bahwa semua program mengalami kenaikan anggaran lebih dari 100 %,
kecuali program D yang mengalami penurunan 17 %.

Rata-rata persentase

113

penggunaan anggaran Balai TNBT untuk masing-masing program periode tahun


2005 - 2009 dapat dilihat pada Gambar 38.
2%

8%

16%

Program
Program
Program
Program

A
B
C
D

74%

Gambar 38. Rata-rata Persentase Penggunaan Anggaran Balai TNBT


untuk Masing -masing Program Periode tahun 2005 2009
Dari Gambar 38. dapat dilihat bahwa Program A mempunyai rata-rata alokasi
anggaran terbesar, yakni mencapai 74 % , disusul oleh Program B sebesar 16 %,
Program D sebesar 8 %, dan Program C hanya sebesar 2 %. Dari nilai rata-rata
tersebut terlihat bahwa program A menyerap lebih dari separuh anggaran total,
sedangkan program D hanya mendapatkan alokasi anggran yang sangat kecil, yakni
hanya 8 %.

Masih kecilnya alokasi anggaran untuk pengembangan ekowisata

karena program tersebut belum menjadi prioritas pengelolaan TNBT.


Selain alokasi anggaran yang sangat kecil, jumlah SDM Balai TNBT yang
menangani ekowisata juga masih sangat terbatas. Dari total sembilan puluh orang
pegawai Balai TNBT hanya dua orang pegawai yang secara khusus menangani
bidang ekowisata,
c. Peluang
Nilai pengaruh dari faktor yang bersifat strategis sebagai komponen peluang
(opportunity) dalam pengembangan pengelolaan TNBT secara terintegrasi berbasis
ekowisata dapat dilihat pada Tabel 14.
Tabel 14.

A.
B.
C.

Nilai Pengaruh dari Faktor yang Bersifat Strategis Sebagai


Komponen Peluang dalam Pengembangan Pengelolaan TNBT
secara Terintegrasi Berbasis Ekowisata
NILAI
FAKTOR
BOBOT PERINGKAT PENGARUH

Dukungan pemerintah daerah terhadap


pengembangan ekowisata TNBT
Meningkatnya minat masyarakat perkotaan
terhadap ekowisata (back to nature)
Meningkatnya jumlah wisatawan
mancanegara yang berkunjung ke
Indonesia

0,3

1,2

0,2

0,8

0,2

0,6

114

Tabel 14 (lanjutan)

D.
E.

FAKTOR
Dukungan masyarakat lokal terhadap
ekowisata TNBT
Tersedianya sarana-prasarana pendukung
(hotel, restoran,dll) di sekitar TNBT
Jumlah

BOBOT
0,2

PERINGKAT
2

NILAI
PENGARUH
0,4

0,1

0,4

3,4

Uraian masing-masing faktor yang bersifat strategis sebagai komponen peluang


sebagai berikut :
1) Dukungan pemerintah daerah terhadap pengembangan ekowisata TNBT
Secara administrasi pemerintahan, sebagian besar obyek ekowisata TNBT
berada di wilayah Kabupaten Indragiri Hulu Propinsi Riau. Mengingat besarnya
potensi ekowisata TNBT,

Pemerintah Kabupaten Indragiri Hulu memberikan

dukungan terhadap pengembangan ekowisata TNBT. Hal ini tercermin dari strategi
dan kebijakan pembangunan sektor pariwisata

Pemerintah Kabupaten Indragiri

Hulu.

Pemerintah Kabupaten Indragiri

Strategi pembangunan sektor pariwisata

Hulu, yaitu : a) Mendorong berkembangnya potensi obyek wisata, memanfaatkan


dan mengembangkan faktor produksi serta mengembangkan kemitraan secara
vertikal maupun horizontal atas dasar saling membutuhkan, saling mendukung dan
saling menguntungkan, dan b) Menggali, mengembangkan dan melestarikan
kebudayaan

daerah

sebagai

pendukung

terwujudnya

suasana

kehidupan

masyarakat yang harmonis. Sedangkan kebijakan sektor pariwisata Kabupaten


Indragiri Hulu adalah : a) Menggali dan mengembangkan potensi pariwisata melalui
peningkatan sarana dan prasarana, dan b) Meningkatkan pengelolaan pariwisata
yang profesional serta kegiatan dan promosi pariwisata yang dilakukan secara
terarah, terencana, dan terpadu.
Dalam pelaksanaan strategi dan kebijakan tersebut, Pemerintah Kabupaten
Indragiri Hulu telah memberikan bantuan terhadap pengembangan ekowisata TNBT
dalam bentuk ; pembangunan jembatan dan pengerasan jalan menuju lokasi obyek
ekowisata Camp Granit sepanjang 13 km, promosi ekowisata TNBT melalui media
yang diterbitkan Pemkab. Indragiri Hulu, dan pembangunan fasilitas pengunjung di
obyek ekowisata Granit.

115

2) Meningkatnya minat masyarakat perkotaan terhadap ekowisata (back to nature)


Suasana hidup di perkotaan kini terasa semakin tidak nyaman. Kondisi
perkotaan yang bising, udara kotor akibat polusi, kemacetan, banjir pada musim
penghujan, lingkungan kumuh, merupakan gambaran tentang suasana perkotaan
yang semakin tidak bersahabat dengan kehidupan manusia.

Selain itu, aktifitas

masyarakat kota yang penuh dengan rutinitas, menyebabkan hidup seakan terus
berpacu dengan waktu. Akibatnya waktu luang semakin sulit didapatkan kecuali
pada hari-hari libur. Kondisi tersebut menyebabkan tumbuhnya kecenderungan
masyarakat kota untuk menggunakan waktu luangnya untuk berekreasi di alam
terbuka (back to nature).

Kondisi tersebut juga terlihat dari semakin banyaknya

minat masyarakat perkotaan di Propinsi

Riau, misalnya masyarakat Kota

Pekanbaru, Rengat, Pangkalan Kerinci dan Tembilahan, yang berkunjung ke lokasi


ekowisata TNBT .
3) Meningkatnya jumlah wisatawan mancanegara
Pada Gambar 39. dapat dilihat bahwa jumlah wisatawan mancanegara yang
berkunjung ke Indonesia terus mengalami peningkatan.

Apabila dibandingklan

jumlah wisatawan mancanegara yang berkunjung ke Indonesia pada tahun 2008


(sebesar 6.429.027 orang) dengan pada duapuluh tahun sebelumnya yakni tahun
1989

(sebesar 1.625.965 orang), maka terjadi peningkatan jumlah wisatawan

sebesar 4.803.062 orang (295

%), atau rata-rata terjadi peningkatan jumlah

wisatawan mancanegara yang berkunjung ke Indonesia sebesar 240.153 orang


pada setiap tahunnya.

6000000
5000000
4000000
3000000
2000000
1000000

20
07

20
05

20
03

20
01

19
99

19
97

19
95

19
93

19
91

0
19
89

Jumlah Wisman ( orang)

7000000

Tahun

Gambar 39. Jumlah Wisatawan Mancanegara yang Berkunjung


ke Indonesia Periode Tahun 1989 2008
Sumber : http://www.budpar.go.id/statistik.html, dibuka 15 Mei 2010

116

4) Dukungan masyarakat lokal terhadap ekowisata TNBT


Berdasarkan hasil penelitian terhadap persepsi dan keterlibatan masyarakat
dalam pengelolaan TNBT pada Sub Bab V.A., dapat dilihat bahwa responden dari
kelompok masyarakat tradisional yang menyatakan mengetahui tujuan pengelolaan
TNBT sebanyak 22 %, dan responden dari kelompok masyarakat penyangga yang
menyatakan mengetahui tujuan pengelolaan TNBT sebanyak 59 %. Sedangkan dari
segi keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan ekowisata TNBT, 66 % responden
dari kelompok masyarakat tradisional menyatakan terlibat dan hanya 13 %
responden dari kelompok masyarakat daerah penyangga yang menyatakan terlibat.
Data tersebut mencerminkan bahwa walaupun persepsi masyarakat tradisional
terhadap tujuan pengelolaan TNBT masih rendah, namun
mereka terlibat dalam pengelolaan TNBT.

sebagian besar dari

Sebaliknya, walaupun persepsi

masyarakat daerah penyangga terhadap tujuan pengelolaan TNBT cukup tinggi,


namun sebagian besar dari mereka tidak terlibat dalam pengelolaan TNBT. Namun
demikian kedua kelompok masyarakat tersebut berharap agar ekowisata TNBT
dikembangkan sehingga dapat lebih memberi manfaat bagi kehidupan mereka.
5) Tersedianya sarana-prasarana pendukung
Sebagai sarana pendukung, terdapat beberapa hotel dan penginapan yang
cukup representatif bagi ekowisatawan di sekitar lokasi kantor Balai TNBT di Rengat
Barat. Beberapa hotel dan penginapan yang sering dikunjungi oleh ekowisatawan
TNBT adalah Hotel Danau Raja (Rengat), Wisma Five Boys (Rengat Barat)
Penginapan Ayu (Rengat Barat),

Penginapan Putri Bungsu (Rengat Barat),

Penginapan Irma Bunda (Rengat Barat), Penginapan Cendana (Rengat Barat), dan
penginapan Miki Mutiara (Belilas). Selain hotel / penginapan, ekowisatawan TNBT
juga sering mengunjungi restoran / rumah makan baik yang ada di sekitar Kota
Rengat maupun di sekitar kawasan TNBT yang umumnya menyajikan masakan
melayu dan padang. Sarana pendukung lainya adalah adanya beberapa biro / agen
perjalanan yang melayani jasa transportasi antara Kota Pekanbaru - Rengat
Kawasan TNBT dan Kota Jambi.
Sedangkan di kawasan TNBT, kondisi sarana akomodasi hanya tersedia satu buah
asrama pusat pelatihan pemadam kebakaran (8 kamar) dan satu buah barak

117

petugas (4 kamar) di lokasi Camp Granit yang juga difungsikan sebagai sarana
akomodasi bagi ekowisatawan.

Gambar 40. Hotel Danau Raja di Rengat


d. Ancaman
Nilai pengaruh dari faktor yang bersifat strategis sebagai komponen
ancaman (threats) dalam pengembangan pengelolaan TNBT secara terintegrasi
berbasis ekowisata dapat dilihat pada Tabel 15.
Tabel 15. Nilai Pengaruh dari Faktor yang Bersifat Strategis Sebagai
Komponen Ancaman dalam Pengembangan Pengelolaan TNBT
secara Terintegrasi Berbasis Ekowisata

FAKTOR
A.
B.
C.
D.
E.

Terjadinya gangguan keamanan dan


kenyamanan pengunjung
Terjadinya gangguan hutan (illegal
looging) oleh masyarakat sekitar
Terjadinya kebakaran hutan di kawasan
TNBT dan daerah penyangga
Berubahnya tata ruang di sekitar kawasan
TNBT
Degradasi tata nilai budaya asli
masyarakat tradisional
Jumlah

BOBOT

PERINGKAT

NILAI
PENGARUH

0,3

1,2

0,2

0,6

0,3

0,6

0,1

0,3

0,1

0,3

3,00

Uraian masing-masing peubah yang bersifat strategis sebagai unsur ancaman


sebagai berikut :

118

1) Terjadinya gangguan keamanan dan kenyamanan pengunjung


Faktor keamanan

dan

kenyamanan

merupakan faktor

yang

menjadi

pertimbangan utama bagi wisatawan dalam memilih lokasi yang akan dikunjungi.
Wisawatan tidak akan tertarik untuk berkunjung ke suatu tempat yang dinilainya
tidak nyaman apalagi dapat mengancam keselamatannya, walaupun lokasi tersebut
sangat menarik. Dengan lokasi obyek ekowisata yang relatif terisolir,

wisatawan

yang akan berkunjung ke TNBT perlu lebih serius mempertimbangkan faktor


keamanannya selama dalam perjalanan, misalnya dengan

berkunjung dalam

kelompok atau dengan pemandu. Selain itu masalah asap yang terjadi hampir pada
setiap musim kemarau di wilayah Propinsi Riau, merupakan faktor lain yang sangat
mengganggu kenyamanan pengunjung TNBT.
2) Terjadinya gangguan hutan (illegal logging) oleh masyarakat sekitar
Masih sering terjadinya gangguan hutan, khususnya illegal logging,

oleh

masyarakat sekitar pada beberapa lokasi di kawasan TNBT dan daerah


penyangganya dapat mengancam kelestarian hutan alam dan spesies flora-fauna
langka, dan keindahan panorama alam yang menjadi potensi supply
TNBT.

ekowisata

Walaupun pihak Balai TNBT telah melakukan berbagai upaya untuk

mencegah dan mengurangi tingkat gangguan tersebut, baik secara pre-emtif, preventif maupun re-presif, namun

rendahnya tingkat sosial ekonomi masyarakat

menjadi faktor pemicu tetap berlangsungnya kegiatan tersebut.


3) Terjadinya kebakaran hutan di kawasan TNBT dan daerah penyangga
Kebakaran hutan yang hampir terjadi pada setiap musim kemarau di Propinsi
Riau dan sekitarnya, merupakan faktor lingkungan yang sangat berpengaruh
terhadap kondisi ekowisata TNBT. Terjadinya kebakaran hutan akan berpengaruh
terhadap penerbangan dari dan ke bandara internasional Sultan Syarif Kasim II di
Kota Pekanbaru, kenyamanan ekowisatawan, serta dapat mengancam musnahnya
hutan beserta isinya. Walaupun sampai saat ini jumlah hotspot yang terpantau di
kawasan TNBT

sangat sedikit, namun banyaknya jumlah hotspot

di daerah

penyangga menjadi ancaman tersendiri bagi kelestarian hutan TNBT.

Peta

penyebaran hotspot di kawasan TNBT dan daerah sekitarnya dapat dilihat pada
Gambar 41.

119

Sumber : Balai TNBT

Gambar 41. Peta Penyebaran Hotspot di Kawasan TNBT dan


Daerah Sekitarnya Periode Tahun 2006, 2007, dan 2008

4) Berubahnya tata ruang di sekitar kawasan TNBT


Pengembangan ekowisata memerlukan adanya konsistensi dalam hal tata
ruang wilayah. Perubahan tata ruang wilayah, khususnya pada daerah penyangga
taman nasional, akan berpengaruh terhadap kondisi lingkungan, ekonomi, dan
sosial- budaya masyarakat, yang merupakan elemen penting ekowisata. Sesuai
hasil penelitian terhadap kondisi keintegrasian pengelolaan TNBT pada Sub Bab
V.A, dapat dilihat bahwa penataan ruang di daerah penyangga TNBT masih sering
menghadapi permasalahan, sehingga menimbulkan konflik di antara para pihak.
Bentuk permasalahan yang menunjukkan lemahnya integrasi penataan ruang di
daerah penyangga TNBT adalah tumpang tindih antar sektor dan konversi hutan
penyangga untuk pertambangan dan kebun sawit, seperti dapat dilihat pada Gambar
42 dan Gambar 43.

120

Sumber : Balai TNBT

Gambar 42.

Konversi Hutan Penyangga TNBT Menjadi Tambang Batu Bara


di Desa Sungai Akar Kec. Batang Gansal Kab. INHU

Gambar 43.

Konversi Hutan Penyangga TNBT Menjadi Kebun Sawit


Desa Siambul Kec. Batang Gansal Kab. INHU

Sumber : Balai TNBT

di

5) Degradasi tata nilai budaya asli masyarakat tradisional


Masyarakat tradisional yang tinggal di kawasan TNBT memiliki kearifan
tradisional dalam tata nilai budayanya yang telah dipraktekkan secara turun
temurun. Oleh

sebab itu

mereka

dapat hidup

secara

harmonis

dengan

lingkungannya selama lebih dari seratus tahun yang lalu. Keunikan budaya asli

121

masyarakat tradisional tersebut juga menjadi daya tarik bagi ekowisatawan. Namun
demikian, adanya interaksi antara masyarakat tradisional dengan masyarakat luar
misalnya ketika melakukan kegiatan jual beli hasil hutan seperti jernang dan petai ,
dan interaksi dengan pengunjung TNBT dapat menjadi faktor penyebab perubahan
tata nilai budaya tersebut.
Hal tersebut sesuai pendapat

Liswanti (2004),

yang menyatakan bahwa

kedatangan pihak luar lebih cenderung memisahkan masyarakat lokal dengan hutan
dan sebaliknya melakukan monopoli hutan, hal ini menyebabkan masyarakat
mengalami disintegrasi hubungan dengan hutan yang selama ini telah menghidupi
mereka.
2. Strategi dan Alternatif Program Pengembangan
Hasil analisis terhadap faktor-faktor strategis yang mempengaruhi kondisi
pengelolaan ekowisata TNBT diringkas dalam matrik SWOT yang dapat dilihat pada
Tabel 16. Berdasarkan Tabel 16. tersebut terdapat empat alternatif strategi untuk
mengembangkan pengelolaan TNBT secara terintegrasi berbasis ekowisata, yaitu
:
a). Strategi (SO) : menggunakan kekuatan (S) untuk memanfaatkan peluang

(O).

Strategi ini dapat ditempuh dengan alternatif program yaitu:


1) Menggunakan potensi supply ekowisata TNBT (hutan alam, spesies
langka, keunikan budaya, panorama alam) untuk meningkatkan dukungan
pemerintah daerah dan masyarakat lokal
2) Menggunakan potensi supply ekowisata TNBT

untuk

menarik minat

masyarakat perkotaan berkunjung ke TNBT


3) Menggunakan potensi supply ekowisata TNBT

untuk menarik minat

wisatawan mancanegara berkunjung ke TNBT


b). Strategi (ST) : menggunakan kekuatan (S) untuk mengatasi hambatan/ kendala
(T). Strategi ini dapat ditempuh dengan alternatif program yaitu :
1) Meningkatkan upaya pengamanan hutan
2) Meningkatkan upaya pencegahan kebakaran hutan
3) Meningkatkan upaya pengamanan terhadap ekowisatawan

122

Tabel 16. Matrik SWOT Pengembangan Pengelolaan TNBT secara terintegrasi


berbasis ekowisata
Kekuatan (S)

FAKTOR INTERNAL

S1

S2

S3
S4

FAKTOR EKSTERNAL

S5

Peluang (O)
O1

O2

Meningkatnya minat masyarakat


perkotaan terhadap ekowisata
(back to nature)

O3

Meningkatnya jumlah wisatawan


mancanegara yang berkunjung ke
Indonesia

1.

2.

lokal

O4

O5

3.
Tersedianya
sarana-prasarana
pendukung (hotel, restoran,dll) di
sekitar TNBT

Ancaman (T)
T1
T2

T3
T4

Kekhasan dan kelangkaan


spesies flora / fauna
Keunikan budaya masyarakat
tradisional
Keindahan landscape
(panorama alam)
Tersedianya sarana-prasarana
ekowisata

Kelemahan (W)
W1
W2

W3
W4

W5

Strategi (SO)

Dukungan pemerintah daerah


terhadap pengembangan ekowisata
TNBT

Dukungan
masyarakat
terhadap ekowisata TNBT

Hutan alam yang kondisinya


relatif masih baik

Terjadinya gangguan keamanan


dan kenyamanan pengunjung
Terjadinya gangguan kawasan
hutan
(illegal looging) oleh
masyarakat sekitar
Terjadinya kebakaran hutan di
kawasan TNBT dan daerah
penyangga
Berubahnya tata ruang di sekitar
kawasan TNBT
Degradasi tata nilai budaya asli
masyarakat tradisional

Menggunakan potensi supply


ekowisata TNBT (hutan alam,
spesies
langka,
keunikan
budaya, panorama alam) untuk
meningkatkan
dukungan
pemerintah daerah
dan
masyarakat lokal (S1, S2, S3,
S4, O1, O4)
Menggunakan potensi supply
ekowisata TNBT untuk menarik
minat masyarakat perkotaan
berkunjung ke TNBT (S1, S2,
S3, S4, O2)
Menggunakan potensi supply
ekowisata TNBT untuk menarik
minat wisatawan mancanegara
berkunjung ke TNBT (S1, S2,
S3, S4, O3)

Strategi (WO)
1.

Meningkatkan aksessibilitas
ke lokasi obyek ekowisata
(O1, W1)

2.

Mengintensifkan pengelolaan
ekowisata
dengan
melibatkan dunia usaha (O,
W4)

3.

Mengintensifkan promosi dan


publikasi ekowisata TNBT
(O1,O2, O3, O4, W2)

4.

Mengembangkan daya tarik


obyek ekowisata (O1, O2,
O3, O4, W3)

5.

Menekan tingkat kerusakan


hutan akibat perladangan
berpindah oleh masyarakat
tradisional (O1, O4, W4)

Strategi (ST)
1.

Meningkatkan
upaya
pengamanan hutan (S1, S2, S3,
T2)

2.

Meningkatkan
upaya
pencegahan kebakaran hutan
(S1, S2, S3, T3)

3.

Meningkatkan
upaya
pengamanan
terhadap
ekowisatawan (S3, S5, T1)

4.

Melakukan sosialisasi dan


pendidikan konservasi (O, T)

Rendahnya aksessibilitas ke
lokasi obyek ekowisata
Belum
intensifnya
pengembangan daya tarik
obyek ekowisata
Belum intensifnya promosi
dan publikasi ekowisata
Terjadinya kerusakan hutan
akibat
perladangan
berpindah oleh masyarakat
tradisional
Terbatasnya
alokasi
anggaran dan SDM di bidang
ekowisata

Strategi (WT)
1.

Meningkatkan kualitas SDM,


menyempurnakan rencana
dan
mengoptimalkan
pengelolaan ekowisata.

2.

Melibatkan LSM dalam


pengelolaan ekowisata

T5

123

c).

Strategi (WO) : mengatasi kelemahan (W) untuk memanfaatkan peluang (O).


Strategi ini dapat ditempuh dengan alternatif program yaitu:
1) Meningkatkan aksessibilitas ke lokasi obyek ekowisata
2) Mengintensifkan pengelolaan ekowisata dengan melibatkan dunia usaha
3) Mengintensifkan promosi dan publikasi ekowisata TNBT
4) Mengembangkan daya tarik obyek ekowisata
5) Menekan tingkat kerusakan hutan akibat perladangan berpindah oleh
masyarakat tradisional

d.)

Strategi (WT) : meminimumkan kelemahan (W) dan menghindari ancaman (T).


Strategi ini dapat ditempuh dengan alternatif program yaitu:
1) Meningkatkan

kualitas

SDM,

menyempurnakan

rencana

dan

mengoptimalkan pengelolaan ekowisata.


2) Melibatkan LSM dalam pengelolaan ekowisata
Sesuai Tabel 11., Tabel 12, Tabel 14, dan Tabel 15. dapat dihitung nilai IFAS
yang merupakan selisih total nilai pengaruh faktor internal (kekuatan dan
kelemahan) yakni sebesar

3,30 3,70 = - 0,40,

sedangkan nilai EFAS yang

merupakan selisih total nilai pengaruh faktor eksternal (peluang dan ancaman) yakni
sebesar 3,40 3,00 = 0,40.

Nilai IFAS negatif berarti secara kumulatif faktor

kekuatan lebih kecil dibandingkan faktor kelemahan, sedangkan nilai EFAS positif
berarti

secara kumulatif faktor peluang lebih besar dari faktor ancaman.

Berdasarkan nilai IFAS dan EFAS tersebut dibuat diagram Matrik SPACE seperti
pada Gambar 44.

Peluang
0,5 0,4 -

Kuadran 3.

Kuadran 1.

0,3 0,2 0,1 -

Kelemahan

0,5

0,4

0,3

0,2

0,1

0,1

0,2

0,3

0,4

0,5

Kekuatan

0,1 0,2 -

Kuadran 4.

0,3 -

Kuadran 2.

0,4 -

Ancaman

Gambar 44. Diagram Matrik SPACE

124

Dari Gambar 44. dapat dilihat bahwa situasi pengelolaan ekowisata TNBT
berada pada kuadran 3 dimana untuk menghadapi situasi tersebut perlu diterapkan
strategi konservatif, yakni strategi yang dilakukan dengan cara mengatasi
kelemahan untuk memanfaatkan peluang. Kelemahan yang perlu diatasi adalah: 1)
rendahnya aksessibilitas ke lokasi obyek ekowisata,

2) belum intensifnya

pengembangan daya tarik obyek ekowisata, 3) belum intensifnya promosi dan


publikasi ekowisata, 4) terjadinya kerusakan hutan akibat perladangan berpindah
oleh

masyarakat tradisional, dan 5) terbatasnya alokasi anggaran dan SDM di

bidang

ekowisata.

Sedangkan peluang yang akan dimanfaatkan adalah: 1)

dukungan pemerintah daerah

terhadap pengembangan ekowisata TNBT, 2)

meningkatnya minat masyarakat perkotaan terhadap ekowisata (back to nature), 3)


meningkatnya jumlah wisatawan mancanegara yang berkunjung ke Indonesia, 4)
dukungan masyarakat lokal terhadap ekowisata TNBT, dan 5) tersedianya saranaprasarana pendukung (hotel, restoran,dll) di sekitar TNBT.
Adapun alternatif program yang perlu dilakukan dalam pengembangan
pengelolaan TNBT secara terintegrasi berbasis ekowisata adalah:
Alternatif A.

Meningkatkan aksessibilitas ke lokasi obyek ekowisata

Alternatif B.

Mengintensifkan pengelolaan ekowisata dengan melibatkan


dunia usaha

Alternatif C.

Mengintensifkan promosi dan publikasi ekowisata

Alternatif D.

Mengembangkan daya tarik obyek ekowisata

Alternatif E.

Menekan

tingkat

kerusakan

hutan

akibat

perladangan

berpindah oleh masyarakat tradisional


Program
diprioritaskan

peningkatan aksessibilitas ke lokasi obyek ekowisata


pada dua jalur masuk

TNBT

yang menghubungkan jalan Llintas Timur

Sumatera dengan kawasan TNBT, yaitu jalur dari Simpang Granit ke Camp Granit
dan jalur Simpang Pendowo ke Simpang Datai. Kedua jalur masuk tersebut saat ini
hanya berupa jalan tanah yang diperkeras pasir dan batu sehingga kondisinya
sangat tergantung pada musim. Pada musim kemarau kedua jalur tersebut dapat
dilalui oleh kendaraan roda empat maupun roda dua, sedangkan pada musim hujan
jalur Simpang Pendowo ke Simpang Datai hanya dapat dilalui oleh kendaraan roda
dua.

125

Saat ini sarana akomodasi yang digunakan untuk melayani ekowisatawan


adalah asrama Pusat Pelatihan Pemadam Kebakaran Hutan di Camp Granit dan
rumah masyarakat lokal yang difungsikan sebagai home stay.

Sedangkan sarana

transportasi yang menjadi kendala adalah terbatasnya perahu yang

melayani

ekowisatawan di Sungai Batang Gansal. Terbatasnya alokasi anggaran Balai TNBT


untuk pengelolaan ekowisata (rata-rata hanya 8 %) menyebabkan pembangunan
sarana akomodasi dan penyediaan sarana transportasi belum dapat dilaksanakan
secara memadai. Oleh sebab itu perlu adanya dukungan pendanaan dari dunia
usaha untuk mengintensifkan pengelolaan ekowisata TNBT.
Promosi dan publikasi merupakan program yang sangat penting untuk
memperkenalkan ekowisata TNBT baik pada tingkat
internasional.

lokal, nasional maupun

Balai TNBT telah memiliki beberapa jenis media promosi dan

publikasi seperti pameran, media cetak (leaflet, booklet, poster, dan kalender) dan
media elektronik (pemutaran film dan situs di internet). Karena keterbatasan alokasi
anggaran, promosi dan publikasi ekowisata TNBT belum dapat dilaksanakan secara
intensif. Demikian pula halnya dengan daya tarik obyek ekowisata yang sampai saat
ini belum dikembangkan karena faktor keterbatasan anggaran pengelolaan
ekowisata yang dimiliki Balai TNBT.
Salah satu tujuan ekowisatawan mengunjungi TNBT adalah untuk menikmati
keaslian hutan alam. Kawasan TNBT mempunyai hutan hujan tropis dataran rendah
yang kondisinya masih alami. Terjadinya pergeseran budaya masyarakat tradisional
menyebabkan perubahan pola perlangan berpindah yang mereka lakukan.
Sebelumnya masyarakat tradisional melakukan perladangan berpindah dengan
menerapkan sistem rotasi dan tidak melakukan pada sempadan sungai. Namun
saat ini perladangan yang mereka lakukan sudah merusak keaslian hutan alam
TNBT.

Oleh sebab perlu upaya menekan tingkat kerusakan hutan akibat

perladangan berpindah oleh masyarakat tradisional


3. Prioritas Program Pengembangan
Setelah mengidentifikasi strategi dan alternatif program, langkah selanjutnya
adalah menentukan prioritas program pengembangan pengelolaan TNBT secara
terintegrasi berbasis ekowisata. Hal ini karena tidak mungkin semua alternatif
program tersebut dapat dimplementasikan dalam waktu dan intensitas yang sama

126

karena faktor keterbatasan anggaran, waktu, dan SDM yang dimiliki oleh Balai
TNBT.
Untuk menentukan prioritas program pengembangan pengelolaan TNBT
secara terintegrasi berbasis ekowisata dengan mempertimbangkan preferensi dari
aktor yang terlibat, maka dilakukan analisis AWOT yang merupakan integrasi antara
analisis SWOT dan AHP (Analytic Hierarchy Process).
Analytic Hierarchy Process, yaitu suatu metode pengambilan keputusan
dengan kriteria majemuk yang dikembangkan oleh Thomas L. Saaty (Saaty, 1980;
Saaty, 1986).

Pada dasarnya metode AHP adalah sebuah hierarki fungsional

dengan input utamanya persepsi manusia. Dengan hierarki, suatu masalah yang
kompleks dan tidak terstruktur dipecahkan ke dalam kelompok-kelompoknya,
kemudian kelompok-kelompok tersebut diatur menjadi suatu struktur hierarki yang
terdiri dari lima tingkatan.

Penyusunan struktur hierarki ditujukan untuk

menyederhanakan kompleksitas permasalahan yang dihadapi sehingga dapat


dianalisis secara sistematis. Tingkat kepentingan relatif dari elemen-elemen pada
struktur

hierarki

ditentukan

melalui

perbandingan

berpasangan

(pairwise

comparison).
Pada masing-masing tingkatan hierarki,

pakar terpilih

diminta untuk

membandingkan tingkat kepentingan relatif antara satu elemen terhadap elemen


lainnya. Pakar yang dipilih sebanyak 14 orang yang berasal dari instansi / lembaga
non pemerintah/ perorangan yang selama ini menjadi aktor yang terlibat secara
langsung dalam pengelolaan TNBT dan daerah penyangganya. Daftar pakar terpilih
disajikan pada Lampiran 3. Selanjutnya bobot kepentingan dari masing-masing
elemen pada setiap tingkatan hierarki digabungkan dengan cara penjumlahan
terboboti (weighted summation) dengan bantuan perangkat lunak ExpertChoice.
Berdasarkan hasil analisis tersebut dapat dibuat struktur hierarki seperti dapat
dilihat pada Gambar 45. Dari struktur hierarki tersebut diperoleh bobot kepentingan
yang menunjukkan prioritas dari lima alternatif program dalam pengembangan
pengelolaan TNBT secara terintegrasi berbasis ekowisata. Sedangkan
pengaruh dari masing-masing faktor
alternatif program dan

strategis

tingkat prioritas dari

SWOT terhadap
alternatif

program

nilai

pelaksanaan
berdasarkan

masing-masing faktor SWOT dapat dilihat pada Lampiran 4. dan Lampiran 5.

127

Pengembangan Pengelolaan TNBT secara Terintegrasi


Berbasis Ekowisata

Tujuan

Komponen
SWOT

STRENGHTS
( Kekuatan )

Faktor
SWOT

Alternatif Program
Pengembangan

Aktor

WEAKNES
( Kelemahan )

OPPORTUNITIES
( Peluang )

THREATS
( Ancaman )

Faktor A
0,241

Faktor A
0,151

Faktor A
0,360

Faktor A
0,125

Faktor B
0,189

Faktor B
0,280

Faktor B
0,104

Faktor B
0,243

Faktor C
0,214

Faktor C
0,161

Faktor C
0,273

Faktor C
0,237

Faktor D
0,161

Faktor D
0,157

Faktor D
0,138

Faktor D
0,221

Faktor E
0,195

Faktor E
0,252

Faktor E
0,124

Faktor E
0,175

A.
Meningkatkan
aksessibilitas
ke lokasi obyek
ekowisata

B.
Mengintensifkan
pengelolaan
ekowisata
dengan
melibatkan dunia
usaha

C.
Mengintensifkan
promosi dan
publikasi
ekowisata

D.
Mengembangkan
daya tarik obyek
ekowisata

E.
Menekan tingkat
kerusakan hutan
akibat
perladangan
berpindah oleh
masyarakat
tradisional

0,293

0,119

0,229

0,183

0,176

Pemerintah Pusat /
Balai
Taman Nasional

Pemerintah
Propinsi dan
Kabupaten

Lembaga
Pendidikan dan
Penelitian

Pengusaha /
Swasta

LSM dan
masyarakat

0,272

0,313

0,114

0,123

0,178

Gambar 45. Struktur Hierarki Pengembangan Pengelolaan TNBT secara


Terintegrasi Berbasis Ekowisata

128

Berdasarkan struktur hierarki tersebut, prioritas program pengembangan


pengelolaan TNBT secara terintegrasi berbasis ekowisata dapat digambar sebagai
berikut ;

Program
Program
Program
Program
Program

A
B
C
D
E

Keterangan :
Program A
Program B
Program C
Program D
Program E

:
:
:
:
:

Meningkatkan aksessibilitas ke lokasi obyek ekowisata


Mengintensifkan pengelolaan ekowisata dengan melibatkan dunia usaha
Mengintensifkan promosi dan publikasi ekowisata
Mengembangkan daya tarik obyek ekowisata
Menekan tingkat kerusakan hutan akibat perladangan berpindah oleh masyarakat
tradisional
Nilai inconsistency < 0.10 ( menunjukkan pemberian skor tingkat kepentingan yang konsisten)

Gambar 46.

Prioritas Program Pengembangan Pengelolaan TNBT secara


Terintegrasi Berbasis Ekowisata

Berdasarkan hasil analisis AWOT didapatkan bahwa program meningkatkan


aksessibilitas ke lokasi obyek ekowisata merupakan prioritas pertama dengan nilai
bobot 29,3 % , prioritas ke dua adalah mengintensifkan promosi dan publikasi
ekowisata dengan nilai bobot 22,9 %, prioritas ketiga adalah mengembangkan daya
tarik obyek

ekowisata

dengan nilai bobot 18,3 %, prioritas ke empat adalah

menekan tingkat kerusakan hutan akibat perladangan berpindah oleh masyarakat


tradisional dengan nilai bobot 17,6 %. dan prioritas ke lima adalah mengintensifkan
pengelolaan ekowisata dengan melibatkan dunia usaha dengan nilai bobot 11,9 %.
Sedangkan tingkat peranan stakeholders terhadap pelaksanaan program dapat
dilihat pada Gambar 47.

129

Gambar 47. Tingkat Peranan Stakeholders Terhadap Pelaksanaan Program Pengembangan Pengelolaan
TNBT secara Terintegrasi Berbasis Ekowisata

Dari Gambar 47. dapat dilihat bahwa

Pemerintah Propinsi dan Kabupaten

merupakan aktor yang paling berperan dalam pelaksanaan program pengembangan


pengelolaan TNBT secara terintegrasi berbasis ekowisata dengan nilai bobot
tertinggi yaitu sebesar 31,3 %, dan selanjutnya Pemerintah Pusat / Balai Taman
Nasional dengan nilai 27,2 %, LSM dan masyarakat dengan nilai bobot 17,8 %,
Pengusaha / swasta dengan nilai bobot 12,3 %, dan Lembaga Pendidikan dan
Penelitian dengan nilai bobot 11,4 %..
Dalam rangka pengembangan pengelolaan TNBT secara terintegrasi berbasis
ekowisata diperlukan adanya sinergitas dalam pelaksanaan tugas dan fungsi
masing-masing aktor. Pemerintah pusat dituntut untuk menyiapkan perangkat
peraturan yang membuka peluang lebih luas bagi keterlibatan para pihak dalam
pengembangan ekowisata TNBT.

Balai TNBT sangat berperan dalam menekan

tingkat kerusakan hutan dan mengintensifkan promosi/ publikasi ekowisata TNBT.


Pemerintah daerah sangat berperan dalam peningkatan aksessibilitas dalam bentuk
pembangunan sarana jalan, jembatan, dan penyediaan sarana angkutan umum,
serta pembangunan sarana-prasarana pendukung lainnya. Dunia usaha lebih
berperan dalam penyediaan pemodalan untuk

pembangunan sarana-prasarana

wisata dan pembangunan daya tarik obyek ekowisata. LSM dan masyarakat
berperan dalam pelaksanaan teknis/ operasional di lapangan. Sedangkan lembaga
pendidikan/ penelitian dapat melakukan kajian dalam pengembangan ekowisata
TNBT dimasa mendatang.
Kelima prioritas program pengembangan tersebut menjadi input / masukan
dalam membangun model dinamik pengembangan pengelolaan TNBT secara
terintegrasi berbasis ekowisata pada Sub Bab V. E.

130

E.

Model Pengembangan Pengelolaan TNBT Secara Terintegrasi Berbasis


Ekowisata
Model dinamik pengembangan pengelolaan TNBT secara terintegrasi berbasis

ekowisata dibangun melalui logika hubungan antara komponen yang terkait dan
interaksinya.

Isu utama pembuatan model

adalah bagaimana

program

pengembangan pengelolaan TNBT secara terintegrasi berbasis ekowisata dibangun


dalam suatu model dinamik.

Pembuatan model secara khusus ditujukan untuk

mengetahui bagaimana penerapan program prioritas pengembangan pengelolaan


TNBT secara terintegrasi berbasis ekowisata (sesuai hasil analisis pada Sub Bab
V.D.) berpengaruh terhadap peningkatan jumlah ekowisatawan TNBT, pendapatan
masyarakat setempat dan penerimaan pemerintah.

Hal tersebut sesuai definisi

The International Ecotourism Society (2005) yang menyatakan bahwa ekowisata


adalah kegiatan wisata yang bertanggung jawab ke daerah-daerah alami dengan
menjaga kelestarian lingkungan alam dan meningkatkan kesejahteraan penduduk
setempat.
Konseptual model yang dibangun dapat dijelaskan sebagai berikut ; bahwa
penerapan program pengembangan pengelolaan TNBT secara langsung akan
meningkatkan jumlah ekowisatawan yang berkunjung ke TNBT.

Meningkatnya

jumlah ekowisatawan yang berkunjung ke TNBT akan meningkatkan pendapatan


masyarakat dan penerimaan pemerintah dari kegiatan ekowisata.
Berdasarkan isu, tujuan, dan konseptual tersebut maka dibangun tiga sub
model yaitu: 1). Sub model ekowisatawan, 2). Sub model pendapatan masyarakat,
dan 3). Sub model penerimaan pemerintah. Struktur model dinamik pengembangan
pengelolaan TNBT secara terintegrasi berbasis ekowisata dapat dilihat pada
Gambar 48.

131

Gambar 48 Struktur model dinamik (file terpisah)

132

Analisis dilakukan untuk sepuluh tahun dimulai pada awal tahun 2009 dan
berakhir pada tahun 2019. Beberapa asumsi yang digunakan dalam pemodelan ini
adalah :
1. Ekowisatawan masuk ke kawasan TNBT hanya melalui pintu masuk yang sudah
ditentukan, yaitu: Simpang Siberida, Simpang Granit dan Simpang Pendowo.
2. Setiap ekowisatawan yang datang ke TNBT membeli tiket masuk, dan bagi yang
membawa kendaraan membayar retribusi sesuai ketentuan yang berlaku.
3. Pendapatan masyarakat dihitung berdasarkan pendapatan masyarakat lokal
yang terlibat secara langsung dalam kegiatan ekowisata TNBT yang terdiri dari:
penyewa perahu, penyewa mobil, tukang ojek, pemilik rumah makan, pemilik
hotel/ penginapan/ homestay, pemandu/ porter, dan penjual souvenir.
4. Penerimaan pemerintah dihitung berdasarkan hasil pungutan Penerimaan
Negara Bukan Pajak (PNBP) yang sudah dilaksanakan di TNBT yaitu pungutan
tiket masuk, retribusi kendaraan roda empat, dan retribusi kendaraan roda dua.
Sesuai Peraturan Pemerintah RI Nomor 59 Tahun 1998, seluruh penerimaan
pemerintah dari pengelolaan ekowisata TNBT disetor ke kas negara sebagai
Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
1). Sub Model Ekowisatawan
Sesuai hasil analisis pada Sub Bab V. D terdapat lima prioritas program yang
perlu dilakukan dalam pengembangan pengelolaan TNBT secara terintegrasi
berbasis ekowisata, yaitu : Prioritas 1. Meningkatkan aksessibilitas ke lokasi obyek
ekowisata, Prioritas 2. Mengintensifkan promosi dan publikasi ekowisata, Prioritas
3. Mengembangkan daya tarik obyek ekowisata,

Prioritas 4. Menekan tingkat

kerusakan hutan akibat perladangan berpindah oleh masyarakat tradisional, dan


Prioritas 5.

Mengintensifkan pengelolaan ekowisata dengan melibatkan dunia

usaha.
Penerapan prioritas program pengembangan pengelolaan TNBT tersebut
secara langsung akan berpengaruh terhadap peningkatan jumlah ekowisatawan
yang berkunjung ke TNBT. Beberapa variabel kunci yang digunakan untuk
mengetahui pengaruh penerapan prioritas program terhadap peningkatan jumlah
ekowisatawan TNBT adalah: 1)

pelayanan pengunjung,

2) promosi melalui

133

pameran, 3) promosi dengan media cetak, 4) promosi melalui media elektronik, 5)


jumlah obyek ekowisata, 6) kondisi jalan akses , dan 7) tingkat kerusakan hutan.
Uraian dari masing-masing variabel kunci dan pengaruhnya terhadap jumlah
ekowisatawan TNBT, sebagai berikut :
1). Promosi dan publikasi melalui media cetak, pameran dan elektronik
Dalam rangka pengembangan ekowisata, Balai TNBT bekerjasama dengan
pihak terkait telah melakukan berbagai macam kegiatan promosi dan publikasi ,
dalam bentuk penerbitan media cetak (seperti kalender, poster, brosur, leaflet,
booklet), penyelenggaraan pameran, dan media elektronik (pemutaran film).
Melalui kegiatan promosi dan publikasi diharapkan ekowisata TNBT akan
semakin dikenal oleh masyarakat baik pada tingkat lokal, nasional, maupun
internasional, sehingga akan semakin banyak ekowisatawan yang tertarik untuk
berkunjung ke TNBT.
Sesuai data Balai TNBT, penambahan jumlah ekowisatawan akibat penambahan
volume kegiatan promosi dan publikasi dapat dilihat pada Tabel 17.
Tabel 17.

Penambahan Jumlah Ekowisatawan Akibat Penambahan Volume


Kegiatan Promosi dan Publikasi

Jenis kegiatan
Volume
promosi
(per-tahun)
Media cetak
2.000 eksp.
Media elektronik
10 kali
Pameran
1 kali
Media cetak
5.000 eksp.
Media elektronik
20 kali
Pameran
2 kali (*)
Keterangan (*) = kondisi sekarang

Perkiraan penambahan jumlah


ekowisatawan
200 orang

400 orang

2). Jumlah obyek ekowisata


Untuk meningkatkan daya tarik ekowisatawan berkunjung ke TNBT, Balai TNBT
melakukan upaya pengembangan obyek ekowisata dengan cara membuka jalan
akses ke obyek ekowisata baru. Pengembangan obyek ekowisata dilakukan di
zona pemanfaatan intensif Camp Granit, dengan membuat jalan trail baru ke
arah Bukit Tengkorak dan anak Sungai Akar.
Sesuai data Balai TNBT pengaruh penambahan jumlah obyek ekowisata
terhadap jumlah ekowisatawan yang berkunjung ke TNBT dapat dilihat pada
Tabel 18.

134

Tabel 18.

Penambahan Jumlah Ekowisatawan Akibat Penambahan Jumlah


Obyek Ekowisata

Jumlah Obyek Ekowisata


6 lokasi

Jumlah Eko-wisatawan
516 orang

9 lokasi (*)
Keterangan (*) = kondisi sekarang

1316 orang

3). Kondisi jalan akses ke lokasi ekowisata


Seperti diuraikan pada Sub Bab V C. untuk menuju ke lokasi obyek ekowisata
TNBT, dari jalan Lintas Timur Sumatera dapat ditempuh melalui tiga alternatif
jalan masuk, yakni : 1) Dari Simpang Pendowo Desa Keritang ke Simpang Datai
(batas kawasan TNBT) sepanjang sekitar 20 Km, 2) Dari Simpang Granit Desa
Talang Lakat ke lokasi ekowisata Camp Granit sepanjang 13 Km, dan 3) Dari
Simpang Siberida Desa Siberida ke Desa Rantau Langsat sepanjang 15 Km.
Jalur pertama kondisinya berupa jalan tanah dimana pada saat musim hujan
berlumpur dan hanya bisa dilalui kendaraan roda empat double gardan atau
kendaraan roda dua.

Jalur kedua

kondisinya berupa jalan diperkeras yang

sebagian besar sudah rusak, namun masih bisa dilalui oleh semua jenis
kendaraan roda empat dan roda dua. Sedangkan jalur ketiga merupakan jalan
kabupaten yang kondisinya sebagian sudah diaspal dan sisanya

baru

diperkeras. Kondisi jalur pertama dan kedua yang masih labil dan tergantung
kepada musim sangat berpengaruh terhadap minat

ekowisatawan untuk

berkunjung ke TNBT.
Berdasarkan hasil wawancara dengan ekowisatawan didapatkan data jumlah
ekowisatawan yang berminat berkunjung pada masing-masing kondisi jalan
akses ke lokasi obyek ekowisata TNBT seperti disajikan pada Tabel 19.
Tabel 19.

Jumlah Ekowisatawan Responden yang Berminat Berkunjung ke


TNBT pada Setiap Kondisi Jalan Akses.

Kondisi jalan akses ke lokasi obyek ekowisata


Diperkeras dengan pasir dan batu.
Sebagian besar sudah rusak / berlobang (*)
Diaspal dengan kualitas biasa
Diaspal dengan kualitas hotmix
Keterangan (*) = kondisi sekarang

Jumlah responden yang berminat


berkunjung ke TNBT (%)
50
75
80

135

4). Tingkat kerusakan hutan


Untuk mengetahui hubungan antara tingkat kerusakan hutan dengan jumlah
ekowisatawan yang berkunjung ke TNBT maka digunakan data laju kerusakan
hutan TNBT per tahun. Berdasarkan data Balai TNBT,

perubahan kondisi

tutupan hutan TNBT dapat dilihat pada Tabel 20.


Tabel 20. Perubahan Tutupan Hutan TNBT
Tahun
1996
2002
2006

Hutan (ha.)
141.976,19
138.692,33
137.886,22

Non Hutan (ha.)


2.246,81
5.530,67
6.336,78

Struktur model dinamik sub model ekowisatawan dapat dilihat pada Gambar 49.
SubModel Ekowisatawan

MediaCetak

Faktor Rotasi
KebutuhanAreautk Wisatawan

Elektronik

Pameran

Luas Yang
DigunakanOWA

Ratewisatawankrnpromosi
Promosi

Layanan

Ratewisatawankrn
Kualitas Layanan

DDF DayadukungFisik
JumlahEkowisatawan

Peningkatan

Pengurangan

Luas Hutan

Indeks Persepsi thd


Kerusakanhutan

Kualitas Layanan
PenurunanLuas Hutan
Kualitas OWA

Ratewisatawan
krnKualitas OWA

Luas TN

Luas KerusakanHutan
RateKerusakanHutan
SaranaJalan
Fasilitas JumlahOWA

Gambar 49. Struktur Model Dinamik Sub Model Ekowisatawan


Persamaan yang digunakan pada sub model ekowisatawan diuraikan sebagai
berikut :
(JE) = (IE) (OE)
Keterangan
JE
= Jumlah total ekowisatawan yang datang (orang)
IE
= Peningkatan jumlah ekowisatawan karena kualitas layanan, kualitas
OWA dan promosi (orang)
OE
= Pengurangan jumlah ekowisawatan karena daya dukung fisik dan
Indeks persepsi wisatawan terhadap penurunan luas hutan (orang)

136

sedangkan
IE = (KL+KOWA+P) / 3

atau

IE = 0,333 KL + 0,333 KOWA = 0,333 P


Keterangan
KL
= Peningkatan jumlah ekowisatwan karena kualitas layanan (orang).
Rate ekowisatawan karena kualitas layanan diperoleh dari persentase kenaikan
jumlah ekowisatawan bila kualitas layanan ditingkatkan satu tingkat, untuk
TNBT diperkirakan sebesar 15 % (sumber Balai TNBT).
KOWA = Peningkatan jumlah ekowisatwan karena kualitas obyek wisata(orang)
Rate ekowisatawan karena kualitas obyek wisata diiperoleh dari persentase
kenaikan jumlah ekowisatawan bila jumlah obyek ekowisata ditingkatkan satu
tingkat, untuk TNBT diperkirakan sebesar 20 % (sumber Balai TNBT).
P
= Peningkatan jumlah ekowisatwan karena promosi pameran, media
cetak dan elektronik (orang). Rate ekowisatawan karena promosi diiperoleh
dari persentase kenaikan jumlah ekowisatawan bila promosi ditingkatkan satu
tingkat, untuk TNBT diperkirakan sebesar 20 % (sumber Balai TNBT).
KL, KOWA, dan P adalah tiga variabel yang mempengaruhi peningkatan jumlah
ekowisatawan, Jumlah ketiga variabel tersebut sama dengan 1 atau 100 %.
Karena bobot masing-masing variabel secara aktual tidak diketahui maka
diasumsikan ketiga variabel tersebut mempunyai bobot yang sama.

dan
OE = ((1-DDF) + (1-IPK)/2) x JE

atau

OE = { 0,5 (1-DDF) + 0,5 (1-IPK) } JE


Keterangan
DDF = Indeks daya dukung fisik obyek wisata
DDF = (LOWA)x (1/KAW)x Fr (Douglas 1975 dalam Fandeli, 1999)
LOWA = Luas area yang digunakan untuk wisata. Rata rata luas obyek ekowisata
TNBT sebesar 32,5 Ha.
KAW = Luas area yang dibutuhkan oleh seorang wisatawan dengan tetap
memperoleh kepuasan (56 m2 atau 0.0056 Ha per-orang)
Fr
= faktor rotasi yaitu lamanya ekowisatawan menikmati wisata dibagi lamanya
kawasan wisata dibuka.
Untuk TNBT faktor rotasi harian sebesar 0,75 (hasil bagi rata-rata lama
ekowisatawan menikmati wisata 7 jam per hari dengan lamanya kawasan ekowisata
dibuka 10 jam per hari).
Fr tahunan = jam kunjungan 7,5 jam x 365 hari/ jam buka 10 jam x 365 hari =
2737,5/ 3650 = 0,75. Dengan demikian Fr harian sama dengan Fr tahunan.
IPK = Indeks persepsi ekowisawatan terhadap kerusakan hutan. Persentase laju kerusakan
hutan TNBT sebesar 0,0025 (sumber Balai TNBT)
JE = jumlah total ekowisatawan yang datang (orang) per tahun.
DDF dan IPK adalah dua variabel yang mempengaruhi pengurangan jumlah ekowisatawan,
Jumlah kedua variabel tersebut sama dengan 1 atau 100 %. Karena bobot
masing-masing variabel secara aktual tidak diketahui maka diasumsikan kedua
variabel tersebut mempunyai bobot yang sama.

2). Sub Model Pendapatan Masyarakat


Pendapatan masyarakat pada sub model ini adalah pendapatan anggota
masyarakat yang berasal dari kegiatan ekowisata TNBT,

yaitu pendapatan

137

masyarakat dari hasil penyewaan perahu, penyewaan mobil, jasa ojek, rumah
makan,

penginapan,

pemanduan,

dan

penjualan

souvenir.

Besarnya

nilai

pendapatan tersebut secara langsung dipengaruhi oleh jumlah ekowisatawan yang


berkunjung ke TNBT.
Disamping

mendapatkan

pendapatan

dari kegiatan ekowisata

TNBT,

masyarakat yang terlibat dalam kegiatan ekowisata tersebut juga mempunyai


sumber pendapatan lain. Hal ini karena sampai sekarang kegiatan ekowisata TNBT
masih belum berkembang sehingga belum dapat dijadikan sebagai satu-satunya
sumber mata pencaharian. Dari kedua sumber pendapatan tersebut (ekowisata dan
sumber lain) mereka keluarkan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam model
ini pengeluaran masyarakat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu pengeluaran untuk
kebutuhan hidup sehari-hari, kesehatan, dan pendidikan.
Struktur model dinamik sub model pendapatan masyarakat dapat dilihat pada
Gambar 50.
Sub Model Pendapatan Masy arakat

Pengunjung
Graph 1
Peny ewa Perahu

Peny ewa mobil

Pengguna Ojek

Peny ewa Pemandu

Kelompok

Kelompok 3

Kelompok 2
Lama Sewa perahu

Lama Sewa Pemandu


Keuntungan per ojek

Keuntungan per perahu

Rumah Makan

Upah

Penginapan n hotel

Table 1

Souv enir

Pedagang
Jumlah RM Untung Hotel Jmlh Hotel
Untung Pedagang
per Orang

Untung RM

Keuntungan per mobil


Pendapatan
Perahu

Lama Sewa mobil


Pendapatan
Ojek

Pendapatan
RM

Pendapatan
pemandu

Pendapatan
Souv enir

Pendapatan Hotel

Pendapatan
Sewa mobil

Keb 8
Pendikan 8
Keb Kesehatan
Keb harian 8

Keb 9
Pendikan 9
Keb Kesehatan
Keb harian 9

Penerimaan Ekowisata
Pendapatan Lain
Tukang Ojek
Pengeluaran
P Perahu 2

Pendapatan Lain
Pemilik Mobil

Penerimaan Total

Pendapatan Lain
P Perahu

Keb 10
Pendikan 10
Keb Kesehatan
Keb harian 10

Pengeluaran
P Mobil 2
PengeluaranTotal

Pengeluaran
P Ojek 2

Tabungan
Total Pendapatan Lain

Keb harian 11
Pengeluaran
Pemandu 2

Pendapatan Lain
Pemandu
Pengeluaran
P Souv enir 2

Pendapatan Lain
RM

Pengeluaran
P Hotel 2

Keb Kesehatan 11

Pengeluaran
P RM 2
Keb Pendikan 11

Keb harian 13
Pendapatan Lain
Hotel

Pendapatan Lain
Souv enir

Keb harian 14
Keb 14
Pendikan 14
Keb Kesehatan

Keb 12
Pendikan 12
Keb Kesehatan
Keb 13
Pendikan 13
Keb Kesehatan
Keb harian 12

Gambar 50. Struktur Model Dinamik Sub Model Pendapatan Masyarakat


Persamaan yang digunakan pada sub model pendapatan masyarakat
diuraikan sebagai berikut :

138

TAB = I O
Keterangan
TAB
= Tabungan (Rp) per Tahun
I
= Penerimaan total dari ekowisata dan pendapatan lain per tahun (Rp)
O
= Pengeluaran total per tahun (Rp)

Sedangkan, I = PL + PE
Keterangan
PL
= total pendapatan lain selain dari ekowisatawan per tahun (Rp)
PE
= total pendapatan bersih dari ekowisatawan per tahun (Rp)

Sedangan, PL = PLSP + PLSM + PLJO + PLRM + PLJS + PLSK + PLSPP


Keterangan
PLSP = penerimaan lain pemilik perahu per tahun (Rp)
PLSM = penerimaan lain pemilik mobil per tahun (Rp)
PLJO = penerimaan lain tukang ojek per tahun (Rp)
PLRM = penerimaan lain pemilik rumah makan per tahun (Rp)
PLJS = penerimaan lain penjual souvenir per tahun (Rp)
PLSK = penerimaan lain pemilik hotel per tahun (Rp)
PLSPP = penerimaan lain pemandu dan porter per tahun (Rp)

Sedangkan , PE = PSP + PSM + PJO + PRM + PJS + PSK + PSPP


Keterangan
PSP
= penerimaan bersih penyewaan perahu per tahun (Rp)
PSM = penerimaan bersih penyewaan mobil per tahun (Rp)
PJO
= penerimaan bersih jasa ojek per tahun (Rp)
PRM = penerimaan bersih pemilik rumah makan per tahun (Rp)
PJS
= penerimaan bersih penjual souvenir per tahun (Rp)
PSK
= penerimaan bersih penyewaan kamar hotel per tahun (Rp)
PSPP = penerimaan bersih pemandu dan porter per tahun (Rp)

O = OPSP + OPSM + OPJO + OPRM + OPJS + OPSK + OPSPP


Keterangan
OPSP = pengeluaran pemilik perahu per tahun (Rp)
OPSM = pengeluaran pemilik mobil per tahun (Rp)
OPJO = pengeluaran pemilik ojek per tahun (Rp)
OPRM = pengeluaran pemilik rumah makan per tahun (Rp)
OPJS = pengeluaran penjual souvenir per tahun (Rp)
OPSK = pengeluaran pemilik hotel per tahun (Rp)
OPSPP= pengeluaran pemandu dan porter per tahun (Rp)

3). Sub Model Penerimaan Pemerintah


Jenis penerimaan pemerintah dari kegiatan ekowisata TNBT yang telah
dilakukan

pemungutan

berasal

dari

hasil

penjualan

tiket

masuk

ekowisatawan, retribusi kendaraan roda 4, dan kendaraan roda 2.

kepada

Berdasarkan

Undang-undang Nomor 20 tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak


dan Peraturan Pemerintah RI Nomor 59 Tahun 1998, penerimaan dari kegiatan

139

ekowisata termasuk penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang wajib disetor
langsung ke Kas Negara dan dikelola dalam sistem Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN). Besarnya nilai penerimaan pemerintah tersebut secara
langsung dipengaruhi oleh jumlah ekowisatawan yang berkunjung ke TNBT.
Struktur model dinamik sub model penerimaan pemerintah dapat dilihat pada
Gambar 51.
Sub Model Pendapatan Pem erintah

H arga retribus i
roda 2
H arga retribus i
roda 4

H arga Tik et

J um lah R oda 2

J um lah R oda 4
D ari R etribus i R oda 4

D ari roda2

Penerim aan Pem erintah

D ari Tik et Mas uk


Pem as uk an Pem erintah

Gambar 51. Struktur Model Dinamik Sub Model Penerimaan Pemerintah


Persamaan yang digunakan pada sub model pendapatan masyarakat
diuraikan sebagai berikut :
PP = TM + RMB + RMT
Keterangan
PP
= penerimaan pemerintah per tahun (Rp)
TM
= tiket masuk ekowisatawan per tahun (Rp)
RMB = retribusi masuk mobil per tahun (Rp)
RMT = retribusi masuk motor per tahun (Rp)

140

1. Simulasi Model
Simulasi adalah kegiatan atau proses percobaan dengan menggunakan suatu
model untuk mengetahui perilaku sistem dan akibat pada komponen-komponen dari
suatu perlakuan pada berbagai komponen. Simulasi dapat berfungsi sebagai
pengganti percobaan di lapangan yang akan banyak menggunakan waktu, tenaga
dan biaya (Suratmo, 2002).
a. Simulasi Sesuai Kondisi Saat Ini
Sesuai dengan Sub Bab V A. bahwa kondisi pengelolaan TNBT saat

ini

belum terintegrasi dengan pengembangan daerah penyangga dan pembangunan


wilayah.

Untuk mengetahui kondisi pengelolaan ekowisata TNBT pada sepuluh

tahun yang akan datang sesuai kondisi saat ini (existing condition) dari masingmasing variabel kunci maka dibuat simulasi model seperti

dapat

dilihat pada

Gambar 52.
1: Jumlah Ekowisatawan
1:
2:
3:

2: Penerimaan Ekowisata

3: Pemasukan Pemerintah

30000
3e+009.
60000000

3
1
1:
2:
3:

15000
1.5e+009
30000000

3
1

3
1

1:
2:
3:

0
0
0

1
0.00

Page 1

2.00

4.00

6.00
Years

Gambar 52.

8.00

10.00

11:56 AM Fri, Dec 10, 2010

Simulasi Model Pengembangan Pengelolaan TNBT Secara


Terintegrasi Berbasis Ekowisata Sesuai Kondisi Saat Ini

Berdasarkan simulasi tersebut dapat diprediksi jumlah ekowisatawan TNBT,


pendapatan masyarakat dan penerimaan pemerintah dari kegiatan ekowisata TNBT
pada sepuluh tahun yang akan datang seperti disajikan pada Tabel 21.

141

Tabel 21. Prediksi Jumlah Ekowisatawan TNBT, Pendapatan Masyarakat dan


Penerimaan Pemerintah dari Kegiatan Ekowisata TNBT pada
Sepuluh Tahun yang Akan Datang Sesuai Kondisi Saat Ini
Tahun

Jumlah Ekowisatawan

Pendapatan Pemerintah

Pendapatan Masyarakat

1.535
2.166
3.057
4.313
6.086
8.588
12.119
15.542
18.660
21.502
24.090

3.546.000
4.808.111
6.589.090
9.102.249
12.648.596
17.652.886
24.714.495
31.559.962
37.796.943
43.479.526
48.656.990

149.159.361
210.480.432
297.011.276
419.115.912
591.419.120
834.558.091
1.177.654.195
1.510.248.822
1.813.279.483
2.089.374.084
2.340.926.943

ke0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

Pada Gambar 52. dan Tabel 21. dapat dilihat bahwa apabila tidak ada
perubahan pada variabel kunci pada sepuluh tahun yang akan datang jumlah
ekowisatawan TNBT meningkat dari 1.535 orang (jumlah pada tahun 2009) menjadi
24.090 orang (jumlah pada tahun 2019).

Demikian pula pendapatan masyarakat

dari kegiatan ekowisata TNBT akan meningkat dari Rp 149.159.361,- (pendapatan


pada tahun 2009) menjadi Rp 2,340,926,943,- (pendapatan pada tahun 2019).
Sedangkan penerimaan pemerintah dari ekowisata TNBT akan meningkat dari Rp
3.546.000,- (penerimaan pada tahun 2009) menjadi Rp 48.656.990,- (penerimaan
pada tahun 2019). Dari hasil simulasi tersebut dapat dilihat bahwa apabila tidak ada
perubahan pada variabel kunci sampai sepuluh tahun yang akan datang tidak akan
terjadi peningkatan secara signifikan dari pendapatan masyarakat dan penerimaan
pemerintah dari hasil pengelolaan ekowisata TNBT.
Apabila dibandingkan dengan jumlah ekowisatawan pada taman nasional
lain yang pengelolaan ekowisatanya telah berkembang, jumlah ekowisatawan yang
berkunjung ke TNBT saat ini relatif masih sangat sedikit. Sebagai perbandingan,
pada tahun 2009 jumlah ekowisatawan TNBT hanya sebesar 1.136 orang,
sedangkan jumlah ekowisatawan per tahun TN. Balibarat mencapai sekitar 12.000
orang, TN. Bromo Tengger Semeru sekitar 19.000 orang, dan TN. Gunung Gede
Pangrango sekitar 27.000 orang.
Dengan tingkat kunjungan yang masih rendah tersebut, sampai saat ini tidak
ditemukan adanya dampak negatif nyata dari kunjungan ekowisatawan terhadap

142

kondisi lingkungan TNBT. Namun kontribusi pengelolaan ekowisata terhadap


pendapatan masyarakat lokal dan penerimaan pemerintah juga masih sangat kecil.
Seperti yang dapat dilihat pada Tabel 21, pada tahun 1999 total pendapatan
masyarakat dari kegiatan ekowisata TNBT masih sangat kecil yakni sebesar Rp
149.159.361,-, sedangkan penerimaan pemerintah hanya sebesar Rp 3.546.000,-.
Selain karena masih rendahnya tingkat kunjungan ekowisatawan ke TNBT,
kecilnya pendapatan masyarakat dari ekowisata TNBT juga disebabkan karena
belum dihitungnya multiplier effect dari ekowisata seperti pendapatan perusahaan
angkutan penerbangan, pendapatan toko/ warung dimana ekowisatawan membeli
berbagai macam kebutuhan, pendapatan hotel yang ditempati ekowisatawan di luar
Kota Rengat, dan lain-lain.
Demikian pula, masih kecilnya penerimaan pemerintah dari ekowisata TNBT
disamping karena masih rendahnya tingkat kunjungan ekowisatawan juga
disebabkan karena masih terbatasnya jenis pemungutan PNBP dari pengelolaan
ekowisata yang sudah dilaksanakan oleh Balai TNBT, yakni hanya pemungutan
tiket masuk ekowisatawan dan retribusi kendaraan roda empat dan roda dua.
Sementara berdasarkan Peraturan Pemerintah RI Nomor 59 Tahun 1998 tentang
Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Departemen
Kehutanan dan Perkebunan, terdapat beberapa jenis pungutan lain yang dapat
dilakukan dalam pengelolaan ekowisata pada taman nasional seperti pungutan olah
raga/ rekreasi alam bebas (berkemah, menyelam, snorkling, selancar, dan kano)
dan pengambilan / snapshoot.
Sesuai Paraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1997 tentang Jenis dan
Penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak dan Paraturan Pemerintah Nomor 52
Tahun 1998 tentang Perubahan atas Paraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1997
tentang Jenis dan Penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak, hasil pemungutan
PNBP dari kegiatan ekowisata tersebut oleh Balai TNBT disetor langsung ke Kas
Negara.

Dengan demikian penerimaan daerah (propinsi dan kabupaten) tidak

mendapatkan penerimaan secara langsung dari hasil pengelolaan ekowisata TNBT.


Pemerintah daerah mendapatkan penerimaan tidak langsung dari pengelolaan
ekowisata TNBT berupa pajak hotel, pajak kendaraan, pajak rumah makan, pajak
toko, dan lain-lain.

143

b. Simulasi dengan Skenario Model


Sejalan dengan perubahan waktu, maka akan terjadi perubahan kinerja sistem
sesuai dengan dinamika waktu yang akan terjadi pada masa yang akan datang.
Oleh sebab itu perlu disusun berbagai skenario model sebagai strategi yang dapat
dilakukan untuk mengembangkan pengelolaan TNBT secara terintegrasi berbasis
ekowisata dimasa yang akan datang. Skenario yang dibangun terdiri dari : 1)
skenario pesimis, 2) skenario moderat, dan 3) skenario optimis.
Skenario pesimis diartikan sebagai kondisi dimana variabel-variabel kunci yang
berpengaruh pada kinerja sistem mengalami kemunduran dari kondisi saat ini.
Skenario moderat diartikan sebagai kondisi dimana seluruh atau beberapa variabel
kunci pada kinerja sistem mengalami perubahan ke arah yang lebih baik dari
skenario pesimis. Sedangkan skenario optimis diartikan sebagai kondisi dimana
seluruh atau beberapa variabel kunci pada kinerja sistem mengalami perubahan ke
arah yang lebih baik dari skenario pesimis dan skenario moderat. Skenario model
dibuat dengan mempertimbangkan kapasitas pengelolaan Balai TNBT dan
kemampuan pemerintah daerah dalam melaksanakan pengembangan daerah
penyangga dan pembangunan wilayah.

Kondisi variabel-variabel kunci pada

masing-masing skenario dapat dilihat pada Tabel 22.


Tabel 22. Kondisi Variabel Kunci Pada Masing-masing Skenario Model
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Variabel Kunci
Pelayanan
pengunjung
Promosi
melalui
media cetak
Promosi
melalui
pameran
Promosi
melalui
media elektronik
Jumlah
obyek
ekowisata
Kondisi jalan akses
Tingkat
hutan

kerusakan

Kondisi Sekarang
Tingkat 2.

Skenario Pesimis
Tingkat 2.

Skenario Moderat
Tingkat 2

Skenario Optimis
Tingkat 3

Tingkat 2.

Tingkat 2.

Tingkat 2

Tingkat 3

Tingkat 2.

Tingkat 2.

Tingkat 2.

Tingkat 3

Tingkat 2.

Tingkat 2.

Tingkat 2.

Tingkat 3

Tingkat 2.

Tingkat 2.

Tingkat 2.

Tingkat 4

Tingkat 1.

Tingkat 1.

Tingkat 2.

Tingkat 3.

Tingkat 1.

Tingkat 2.

Tingkat 1.

Tingkat 1.

Keterangan :
Tingkat Pelayanan Pengunjung
Tingkat 1 : 1 orang petugas ekowisata
Tingkat 2 : 2 orang petugas ekowisata
Tingkat 3 : 3 orang petugas ekowisata
Tingkat Promosi
Tingkat 1 :
Tingkat 2 :

Media cetak
2000 eks
5000 eks

Pameran
1 kali
2 kali

Elektronik
10 kali
20 kali

144

Tingkat 3 :
10.000 eks
3 kali
Tingkat Jumlah Obyek Ekowisata
Tingkat 1 : 7 lokasi
Tingkat 2 : 9 lokasi
Tingkat 3 : 11 lokasi
Tingkat 4 : 13 lokasi
Tingkat Kondisi Jalan Akses
Tingkat 1 : Diperkeras dengan batu dan pasir
Tingkat 2 : Diaspal dengan kualitas biasa
Tingkat 3 : Diaspal dengan kualitas baik (hotmix)
Tingkat Kerusakan Hutan
Tingkat 1 : 0 5 % per tahun
Tingkat 2 : 6 10 % per tahun
Tingkat 3 : 11 15 % per tahun
Tingkat 4 :
> 15 % per tahun

30 kali

1). Skenario Pesimis


Sesuai dengan Tabel 23, skenario pesimis dibuat dengan kondisi dimana
kerusakan hutan meningkat dari 0-5% per tahun menjadi 6-10% per tahun
sedangkan enam variabel kunci lain tetap (sesuai kondisi saat ini). Simulasi model
pengembangan pengelolaan TNBT secara terintegrasi berbasis ekowisata dengan
skenario pesimis disajikan pada Gambar 53.
1: Jumlah Ekowisatawan
1:
2:
3:

2: Penerimaan Ekowisata

3: Pemasukan Pemerintah

11500
1.1e+009
30000000

2
1
2
3

1
3

2
3
1:
2:
3:

6500
600000000
15000000

2
3
1:
2:
3:

1500
100000000
0

Gambar 53.

2
1
0.00

Page 1

2.00

4.00

6.00
Years

8.00

10.00

11:58 AM Fri, Dec 10, 2010

Simulasi Model Pengembangan Pengelolaan TNBT Secara


Terintegrasi Berbasis Ekowisata dengan Skenario Pesimis

Berdasarkan simulasi tersebut dapat diprediksi jumlah ekowisatawan TNBT,


pendapatan masyarakat dan penerimaan pemerintah dari kegiatan ekowisata TNBT
pada sepuluh tahun yang akan datang seperti disajikan pada Tabel 23.

145

Tabel 23. Prediksi Jumlah Ekowisatawan TNBT, Pendapatan Masyarakat dan


Penerimaan Pemerintah dari Kegiatan Ekowisata TNBT pada
Sepuluh Tahun yang Akan Datang dengan Skenario Pesimis
Tahun ke-

Jumlah Ekowisatawan

Pendapatan Pemerintah

Pendapatan Masyarakat

0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

1.535
2.166
3.057
4.313
6.086
8.588
10.178
10.720
8.907
9.498
9.354

3.546.000
4.808.111
6.589.090
9.102.249
12.648.596
17.652.886
20.831.830
21.915.674
18.290.088
19.471.683
19.184.905

149.159.361
210.480.432
297.011.276
419.115.912
591.419.120
834.558.091
989.010.627
1.041.670.383
865.517.269
922.926.356
908.992.915

Pada Gambar 53. dan Tabel 23. dapat dilihat bahwa sesuai dengan skenario
pesimis jumlah ekowisatawan TNBT akan mengalami peningkatan sampai tahun
ketujuh dari 1.535 orang (jumlah pada tahun 2009) menjadi 10.720 orang pada
tahun 2016, dan selanjutnya mengalami penurunan hingga 9.354 orang pada tahun
2019. Demikian pula pendapatan masyarakat dari kegiatan ekowisata TNBT akan
mengalami peningkatan sampai tahun ketujuh dari Rp 149.159.361,- (pendapatan
pada tahun 2009) menjadi Rp 1.041.670.383- pada tahun 2016 dan selanjutnya
mengalami penurunan hingga 908.992.915 pada tahun 2019.

Sedangkan

penerimaan pemerintah dari ekowisata TNBT juga mengalami peninmgkatan sampai


tahun ketujuh dari Rp 3.546.000,21.915.674 ,-

(penerimaan pada tahun 2009)

menjadi Rp

pada tahun 2016, dan selanjutnya mengalami penurunan hingga

19.184.905,- pada tahun 2019.


Hasil simulasi dengan skenario pesimis tersebut menunjukkan bahwa
meningkatnya laju kerusakan hutan TNBT dari 0 5% per tahun menjadi 610%
per tahun akan menyebabkan menurunnya jumlah ekowisatawan, pendapatan
masyarakat, dan penerimaan pemerintah setelah tahun ke tujuh. Kondisi tersebut
membuktikan

bahwa

keaslian

hutan

alam

sangat

berpengaruh

dalam

pengembangan ekowisata TNBT.


2). Skenario Moderat
Sesuai dengan Tabel 22, skenario moderat dibuat dengan kondisi dimana
terjadi peningkatan kualitas jalan akses dari diperkeras dengan batu dan pasir

146

menjadi diaspal dengan kualitas biasa, sedangkan enam variabel kunci lain tetap
(sesuai kondisi saat ini). Simulasi model pengembangan pengelolaan TNBT secara
terintegrasi berbasis ekowisata

dengan skenario moderat dapat dilihat pada

Gambar 54.
1: Jumlah Ekowisatawan
1:
2:
3:

2: Penerimaan Ekowisata

3: Pemasukan Pemerintah

30000
3e+009.
60000000

3
1

3
1:
2:
3:

15000
1.5e+009
30000000

3
1

1:
2:
3:

0
0
0

1
0.00

2.00

Page 1

4.00

6.00
Years

Gambar 54.

8.00

10.00

11:37 AM Fri, Dec 10, 2010

Simulasi Model Pengembangan Pengelolaan TNBT Secara


Terintegrasi Berbasis Ekowisata dengan Skenario Moderat

Berdasarkan simulasi tersebut dapat diprediksi jumlah ekowisatawan TNBT,


pendapatan masyarakat dan penerimaan pemerintah dari kegiatan ekowisata TNBT
pada sepuluh tahun yang akan datang seperti disajikan pada Tabel 24.
Tabel 24. Prediksi Jumlah Ekowisatawan TNBT, Pendapatan Masyarakat dan
Penerimaan Pemerintah dari Kegiatan Ekowisata TNBT pada
Sepuluh Tahun yang Akan Datang dengan Skenario Moderat
Tahun ke-

Jumlah Ekowisatawan

Pendapatan Pemerintah

Pendapatan Masyarakat

0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

1.535
2.200
3.154
4.520
6.479
9.286
13.167
16.789
20.170
23.325
26.270

3.546.000
4.876.333
6.783.144
9.516.240
13.433.678
19.048.672
26.810.493
34.054.861
40.816.270
47.126.919
53.016.857

149.159.361
213.795.084
306.439.621
439.230.123
629.563.176
902.373.886
1.279.490.627
1.631.466.252
1.959.976.835
2.266.586.713
2.552.755.932

147

Pada Gambar 54. dan Tabel 24. dapat dilihat bahwa sesuai dengan skenario
moderat jumlah ekowisatawan TNBT akan meningkat dari 1.535 orang (jumlah
pada tahun 2009) menjadi 26.270 orang pada tahun 2019.

Demikian pula

pendapatan masyarakat dari kegiatan ekowisata TNBT akan meningkat dari Rp


149.159.361,- (pendapatan pada tahun 2009) menjadi

Rp 2.552.755.932,- pada

tahun 2019. Sedangkan penerimaan pemerintah dari ekowisata TNBT juga akan
mengalami peningkatan dari Rp 3.546.000,-

(penerimaan pada tahun 2009)

menjadi Rp 53.016.857,- pada tahun 2019.


Hasil simulasi dengan skenario moderat menunjukkan bahwa meningkatnya
kualitas jalan akses dari diperkeras dengan batu dan pasir menjadi diaspal dengan
kualitas biasa, pada sepuluh tahun yang akan datang menyebabkan peningkatan
jumlah ekowisatawan, pendapatan masyarakat , dan penerimaan pemerintah. Data
tersebut menunjukkan bahwa kondisi jalan akses ke lokasi ekowisata mempunyai
pengaruh yang cukup besar terhadap perkembangan ekowisata TNBT. Jika kondisi
jalan akses ditingkatkan maka jumlah ekowisatawan yang berkunjung ke TNBT akan
mengalami peningkatan yang cukup besar. Hal tersebut juga membuktikan
pentingnya dukungan pemerintah daerah dalam pengembangan ekowisata TNBT
khususnya dalam pembangunan sarana-prasarana umum yang dibutuhkan oleh
ekowisatawan baik yang terdapat di daerah penyangga maupun di wilayah
pembangunan di sekitar TNBT.
3). Skenario Optimis
Sesuai dengan Tabel 22, skenario optimis dibuat dengan kondisi dimana
terjadi peningkatan pelayanan pengunjung (dari 2 menjadi 3 orang petugas),
peningkatan promosi dengan media cetak (dari 5000 menjadi 10.000 eksemplar),
peningkatan promosi melalui pameran (dari 2 menjadi 3 kali dalam setahun),
peningkatan promosi dengan media elektronik (dari 20 menjadi 30 kali dalam
setahun), peningkatan jumlah obyek ekowisata alam (dari 9 menjadi 13 lokasi), dan
peningkatan kualitas jalan akses dari diperkeras dengan batu dan pasir menjadi
diaspal dengan kualitas baik (hotmix), sedangkan tingkat kerusakan hutan tetap atau
menurun hingga mendekati nol. Simulasi model pengembangan pengelolaan TNBT
secara terintegrasi berbasis ekowisata dengan skenario optimis dapat dilihat pada
Gambar 55.

148

1: Jumlah Ekowisatawan
1:
2:
3:

200000
2e+010.
300000000

1:
2:
3:

100000
1e+010.
150000000

2: Penerimaan Ekowisata

3: Pemasukan Pemerintah

3
1:
2:
3:

0
0
0

0.00

2.00

Page 1

4.00

6.00

8.00

Years

Gambar 55.

10.00

11:37 AM Fri, Dec 10, 2010

Simulasi Model Pengembangan Pengelolaan TNBT Secara


Terintegrasi Berbasis Ekowisata dengan Skenario Optimis

Berdasarkan simulasi tersebut dapat diprediksi jumlah ekowisatawan TNBT,


pendapatan masyarakat dan penerimaan pemerintah dari kegiatan ekowisata TNBT
pada sepuluh tahun yang akan datang seperti disajikan pada Tabel 25.
Tabel 25. Prediksi Jumlah Ekowisatawan TNBT, Pendapatan Masyarakat dan
Penerimaan Pemerintah dari Kegiatan Ekowisata TNBT pada
Sepuluh Tahun yang Akan Datang dengan Skenario Optimis
Tahun ke-

Jumlah Ekowisatawan

Pendapatan Pemerintah

Pendapatan Masyarakat

0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

1.535
2.618
4.465
7.616
12.989
22.153
33.207
46.533
62.598
81.965
105.314

3.546.000
5.712.056
9.406.384
15.707.265
26.453.769
44.782.529
66.889.982
93.541.745
125.671.926
164.406.644
211.103.499

149.159.361
254.399.577
433.892.612
740.027.955
1.262.158.789
2.152.681.935
3.226.797.111
4.521.702.628
6.082.783.168
7.964.752.486
10.233.571.53

Pada Gambar 55. dan Tabel 25. dapat dilihat bahwa sesuai dengan skenario
optimis jumlah ekowisatawan TNBT akan meningkat dari 1.535 orang (jumlah pada
tahun 2009) menjadi 105.314 orang pada tahun 2019. Demikian pula pendapatan
masyarakat dari kegiatan ekowisata TNBT akan meningkat dari

Rp 149.159.361,-

149

(pendapatan pada tahun 2009) menjadi Rp 10.233.571.053,- pada tahun 2019.


Sedangkan penerimaan pemerintah dari ekowisata TNBT juga akan mengalami
peningkatan dari Rp 3.546.000,- (penerimaan pada tahun 2009)

menjadi Rp

211.103.499,- pada tahun 2019.


Hasil simulasi dengan skenario optimis tersebut menunjukkan bahwa
peningkatan pelayanan pengunjung, promosi, jumlah obyek ekowisata, dan kualitas
jalan akses, pada sepuluh tahun yang akan datang akan menyebabkan peningkatan
secara signifikan terhadap jumlah ekowisatawan, pendapatan masyarakat, dan
penerimaan pemerintah.
Untuk mewujudkan kondisi pengelolaan

sesuai dengan skenario optimis

tersebut sangat diperlukan adanya ketersediaan dana, personil, sarana-prasarana,


dan dukungan kebijakan dari pemerintah daerah setempat khususnya dalam hal
pembangunan sarana jalan, transportasi umum, perhotelan, jaringan komunikasi,
dan fasilitas pendukung lainnya. Kondisi tersebut akan terwujud jika pengelolaan
ekowisata

TNBT diintegrasikan dengan pengembangan daerah penyangga dan

pembangunan wilayah.
2. Daya Dukung Fisik
Untuk mengetahui jumlah ekowistawan maksimal yang dapat ditampung
kawasan TNBT dilakukan perhitungan daya dukung fisik obyek ekowisata sebagai
faktor pembatas. Untuk itu dilakukan simulasi model dengan skenario optimis untuk
tigapuluh tahun yang akan datang seperti pada Gambar 56.
1: Penerimaan Ekowisata
1:
2:
3:
4:

2: Pemasukan Pemerintah

3: DDF Daya dukung Fisik

4: Jumlah ekatawan Absolut

3e+011.
6e+009.
9
3000000

1
1:
2:
3:
4:

1.5e+011
3e+009.
5
1500000

2
3
1:
2:
3:
4:
Page 1

Gambar 56.

0
0
0
0

1
4

1 2
0.00

1
6.00

2
3

12.00

3
18.00

Years

3
24.00

30.00

11:31 AM Fri, Dec 10, 2010

Daya Dukung Fisik Obyek Ekowisata Berdasarkan Hasil Simulasi


Model dengan Skenario Optimis.

150

Berdasarkan simulasi tersebut dapat dhitung indeks daya dukung fisik obyek
ekowisata, jumlah ekowisatawan, pendapatan masyarakat

dan penerimaan

pemerintah selama periode tigapuluh tahun yang akan datang seperti disajikan pada
Tabel 26.
Tabe 26.

Tahun
ke0
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26

Prediksi Indeks Daya Dukung Fisik Obyek Ekowisata, Jumlah


Ekowisatawan, Pendapatan Masyarakat dan Penerimaan
Pemerintah dengan Skenario Optimis.

Indeks Daya Dukung


Fisik Obyek
Ekowisata
8.47
0.03
0.03
0.02
0.02
0.02
0.01
0.01
0.01
0.01
0.01
0

Jumlah
Ekowisatawan
1.535
388.755
475.166
579.339
704.926
856.327
1.038.850
1.258.891
1.524.164
1.843.964
2.229.501
2.694.287

Pendapatan
Pemerintah
3.546.000
777.986.889
950.808.572
1.159.154.712
1.410.327.559
1.713.130.379
2.078.176.001
2.518.258.779
3.048.803.017
3.688.403.571
4.459.477.571
5.389.050.117

Pendapatan
Masyarakat
149.159.361
37.776.230.466
46.172.963.950
56.295.692.651
68.499.204.474
83.211.215.949
100.947.363.117
122.329.273.868
148.106.355.163
179.182.058.725
216.645.545.796
261.809.860.765

Berdasarkan Gambar 56. dan Tabel 26. dapat dilihat bahwa daya dukung fisik
obyek ekowisata TNBT akan menjadi faktor pembatas jumlah ekowisatawan pada
tahun ke 26 dimana indeks daya dukung fisik obyek ekowisata sama dengan nol,
artinya kegiatan ekowisata telah menimbulkan kerusakan fisik lingkungan obyek
ekowisata. Pada kondisi tersebut jumlah ekowisatawan TNBT mencapai optimal
yakni

2.229.501

216.645.545.796,-

orang

per

tahun,

per

tahun

dan

pendapatan
penerimaan

masyarakat

sebesar

Rp

pemerintah

sebesar

Rp

4.459.477.571,- per tahun.


Hal tersebut menunjukkan bahwa sesuai skenario optimis, maka pengelolaan
ekowisata TNBT memungkinkan untuk terus dikembangkan hingga mencapai jumlah
ekowisatawan sebesar 2.229.501 orang pada tahun ke 25. Setelah tercapainya
jumlah ekowisatawan tersebut pengembangan ekowisata masih memungkinkan
untuk terus dilakukan dengan cara

menambah dan atau memperluas obyek

ekowisata sehingga indeks daya dukung fisik meningkat (lebih besar dari nol) atau
kegiatan ekowisata tidak menimbulkan kerusakan fisik terhadap lingkungan obyek
ekowisata.

151

2. Uji Validasi, Kestabilan, dan Sensitivitsas Model


Dalam penelitian ini uji validasi model dilakukan dengan uji validasi struktur. Uji
validasi struktur menekankan pada keyakinan pemeriksaan kebenaran logika
pemikiran atau dengan kata lain apakah struktur model yang dibangun sudah sesuai
dengan teori. Uji validasi struktur bertujuan memperoleh keyakinan sejauh mana
keserupaan struktur model mendekati struktur nyata (Muhammadi, et al, 2001). Uji
validasi struktur Model Pengembangan Pengelolaan TNBT Secara Terintegrasi
Berbasis Ekowisata diuraikan sebagai berikut :

Peningkatan jumlah ekowisatawan yang berkunjung ke TNBT dipengaruhi oleh


pelaksanaan program yang terkait dengan pengembangan promosi (baik dengan
media cetak, pameran maupun, dengan media elektronik) dan daya tarik obyek
ekowisata yang ditawarkan.
dipengaruhi oleh

Daya tarik obyek ekowisata yang ditawarkan

jumlah obyek ekowisata, dan kondisi jalan menuju lokasi

ekowisata.

Secara logika semakin intensif promosi yang dilakukan dan semakin berkualitas
obyek ekowisata yang ditawarkan, maka jumlah ekowisatawan yang berkunjung
ke TNBT akan semakin meningkat.

Sedangkan faktor yang dapat menyebabkan menurunnya jumlah ekowisatawan


yang berkunjung ke TNBT adalah daya dukung fisik (DDF) dan luas hutan.
Daya dukung fisik akan ditentukan oleh kebutuhan area untuk ekowisatawan,
luas yang digunakan untuk obyek ekowisata, dan faktor rotasi ekowisatawan.
Sedangkan luas hutan akan dipengaruhi oleh luas kawasan TNBT dan laju
kerusakan hutan yang terjadi. Secara logika semakin kecil luas hutan alam
TNBT, maka jumlah ekowisatawan yang berkunjung ke TNBT akan semakin
menurun.

Pada struktur model dapat dilihat bahwa ekowisata TNBT akan memberikan
pendapatan kepada masyarakat yang terlibat dalam kegaitan ekowisata, yaitu;
penyewa perahu, penyewa mobil, tukang ojek, pemandu, pemilik rumah makan,
pemilik penginapan/ hotel, dan penjual souvenir.

Disamping mendapatkan

pemasukan dari hasil usaha dibidang ekowisata, kelompok masyarakat tersebut


juga mempunyai sumber pendapatan lain.

152

Sedangkan penerimaan pemerintah dari kegiatan ekowisata TNBT, sesuai


dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 1997 tentang
Penerimaan Negara Bukan Pajak, Peraturan Pemerintah RI Nomor 22 Tahun
1997 tentang Jenis dan Penyetoran PNBP, dan Peraturan Pemerintah RI Nomor
59 Tahun 1998, diperoleh dari tiket masuk ekowisatawan, retribusi kendaraan
roda dua dan retribusi kendaraan roda empat.

Secara logika dapat dinyatakan bahwa semakin banyak jumlah ekowisatawan


yang berkunjung ke TNBT maka pendapatan masyarakat dari hasil usaha
dibidang ekowisata dan penerimaan pemerintah dari sektor ekowisata akan
semakin meningkat.

Dengan demikian sesuai model konseptual yang telah ditentukan pada awal Sub
Bab ini, bahwa penerapan kebijakan pengembangan pengelolaan TNBT secara
langsung akan meningkatkan jumlah ekowisatawan yang berkunjung ke TNBT.
Dengan meningkatnya jumlah ekowisatawan yang berkunjung ke TNBT maka
pendapatan masyarakat dan penerimaan pemerintah dari kegiatan ekowisata
akan meningkat

Dengan melihat hasil simulasi model dinamik berdasarkan struktur model yang
telah dibangun yang sesuai dengan konsep empirik seperti diuraikan di atas,
maka model pengembangan pengelolaan TNBT secara terintegrasi berbasis
ekowisata dapat dikatakan valid secara empirik.
Uji kestabilan model dilakukan untuk melihat kestabilan atau kekuatan

(robustness) model dalam dimensi waktu. Model dikatakan stabil apabila struktur
model agregat dan disagregat memiliki kemiripan. Caranya adalah dengan menguji
struktur model agregat yang diwakili oleh sub-sub model yang ada. Uji kestabilan
model berdasarkan struktur model agregat dan dis-agregat disajikan pada Gambar
48. sampai dengan Gambar 51.

Hasil simulasi pada struktur model dis-agregat

memperlihatkan kemiripan dengan struktur model agregatnya, sehingga dapat


disimpulkan bahwa model tersebut dapat dikatakan stabil.
Sedangkan uji sensitivitas menurut Muhammadi et al (2001) dilakukan untuk
melihat respon model terhadap suatu stimulus.
perubahan perilaku dan/ atau kinerja model.

Respon ini ditunjukkan dengan


Stimulus diberikan dengan

memberikan intervensi tertentu pada unsur atau struktur model. Hasil uji sensitivitas

153

adalah dalam bentuk perubahan perilaku dan/atau kinerja model sehingga dapat
diketahui efek intervensi yang diberikan terhadap satu atau lebih unsur dari model
tersebut.
Uji sensitivitas model dilakukan dengan memberikan intervensi / perubahan
tingkatan 7 (tujuh) variabel kunci (tingkat 1 sampai tingkat 5.), sedangkan respon
akibat adanya intervensi ditunjukkan oleh perubahan jumlah ekowisatawan TNBT
per-tahun.

Hasil uji sensitivitas model dapat dilihat pada Gambar 57. sampai

dengan Gambar 63.

Pada gambar tersebut dapat dilihat bahwa perubahan

tingkatan masing-masing variabel kunci akan menyebabkan perubahan jumlah


ekowisatawan TNBT.

Dengan demikian model yang dibangun sangat sensitif

terhadap intervensi yang diberikan.


Jumlah Ekowisatawan: 1 - 2 - 3 1:

40000

1:

20000

1:

0
0.00

2.50

Page 1

5.00
Years

7.50
10.00
8:59 PM Mon, Jan 03, 2011

Gambar 57. Uji Sensitivitas Variabel Pelayanan terhadap Jumlah Pengunjung


Jumlah Ekowisatawan: 1 - 2 - 3 1:

30000

1:

15000

1:

0
0.00

Page 1

2.75

5.50
Years

8.25
11.00
9:00 PM Mon, Jan 03, 2011

Gambar 58. Uji Sensitivitas Variabel Promosi Melalui Media Cetak terhadap Jumlah
Pengunjung TNBT.

154

Jumlah Ekowisatawan: 1 - 2 - 3 1:

30000

1:

15000

1:

0
0.00

2.75

Page 1

5.50
Years

8.25
11.00
9:02 PM Mon, Jan 03, 2011

Gambar 59. Uji Sensitivitas Variabel Promosi Melalui Pameran terhadap Jumlah
Pengunjung TNBT.
Jumlah Ekowisatawan: 1 - 2 - 3 1:

30000

1:

15000

1:

0
0.00

2.75

Page 1

5.50
Years

8.25
11.00
9:03 PM Mon, Jan 03, 2011

Gambar 60. Uji Sensitivitas Variabel Promosi Melalui Media Elektronik terhadap
Jumlah Pengunjung TNBT.
Jumlah Ekowisatawan: 1 - 2 - 3 1:

50000

1:

25000

1:

0
0.00

Page 1

2.75

5.50
Years

8.25
11.00
9:04 PM Mon, Jan 03, 2011

Gambar 61. Uji Sensitivitas Variabel Jumlah Obyek Ekowisata terhadap Jumlah
Pengunjung TNBT.

155

Jumlah Ekowisatawan: 1 - 2 - 3 1:

40000

1:

20000

1:

0
0.00

2.75

Page 1

5.50
Years

8.25
11.00
9:06 PM Mon, Jan 03, 2011

Gambar 62. Uji Sensitivitas Variabel Kondisi Jalan Akses terhadap Jumlah
Pengunjung TNBT.
Jumlah Ekowisatawan: 1 - 2 - 3 1:

30000

1:

15000

1:

0
0.00

Page 1

Gambar

63.

2.75

5.50
Years

8.25
11.00
9:07 PM Mon, Jan 03, 2011

Uji Sensitivitas Variabel Tingkat Kerusakan Hutan terhadap


Pengunjung (dari 0% sampai 10 Ha)

156

F. Integrasi Pengelolaan
Berdasarkan uraian pada sub bab sebelumnya dapat disimpulkan bahwa
pengembangan ekowisata TNBT yang didasarkan atas azas pengelolaan taman
nasional secara terintegrasi akan mewujudkan tiga tujuan pengelolaan ekowisata
berkelanjutan sesuai pendapat

(Wight, 1993), yakni tujuan ekologi/ konservasi,

tujuan ekonomi, dan tujuan sosial, seperti dapat dilihat pada Gambar 64.

TUJUAN
SOSIAL

TUJUAN
EKONOMI

PEMBERDAYAAN
EKONOMI
MASYARAKAT.

- Manfaat bagi
-

masyarakat
Partisipasi dalam
perencanaan,
pendidikan, dan
tenaga kerja.

KONSERVASI
BERKEADILAN

EKOWISATA
BERKELANJUTAN
Keuntungan Jangka
Panjang
- Etika / Moral
Bertanggung Jawab
- Perilaku Positif

- Manfaat ekonomi lokal


- Industri pariwisata
secara ekonomis
lestari..

INTEGRASI
EKONOMI DAN
LINGKUNGAN

- Manfaat bagi SDA


- Tidak merusak SDA.
- Manajemen berorientasi
penawaran SDA

TUJUAN
LINGKUNGAN

Gambar 64. Prinsip dan Nilai Ekowiisata Berkelanjutan (Weight, 1993)

157

Tujuan ekologi/ konservasi diwujudkan melalui upaya

menekan laju

kerusakan hutan TNBT akibat perladangan berpindah dan pengelolaan ekowisata


yang didasarkan pada daya dukung fisik obyek ekowisata. Tujuan ekonomi
diwujudkan melalui usaha ekonomi di bidang ekowisata yang memberikan
pendapatan bagi masyarakat dan pemungutan retribusi yang menghasilkan
penerimaan bagi pemerintah. Hasil penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari
kegiatan ekowisata sesuai Pasal 8 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20
tahun 1997 pada prinsipnya dapat digunakan kembali untuk membiayai kegiatan
konservasi yang dilakukan oleh Balai TN. Sedangkan tujuan sosial diwujudkan
melalui upaya pembinaan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap masyarakat,
khususnya yang terlibat dalam kegiatan ekowisata, serta adanya interaksi positif
antara ekowisatawan dengan masyarakat lokal.
Berdasarkan hasil simulasi dapat dilihat bahwa peningkatan secara signifikan
jumlah ekowisatawan, pendapatan masyarakat, dan penerimaan pemerintah akan
dapat dicapai jika pengelolaan TNBT diintegrasikan dengan pengembangan daerah
penyangga, dan pembangunan wilayah, baik secara sistem, kebijakan, maupun
fungsional. Integrasi pengelolaan ekowisata TNBT perlu difokuskan pada aspek
pelayanan pengunjung, promosi, pengembangan obyek ekowisata, peningkatan
kondisi jalan akses, dan upaya menekan tingkat kerusakan hutan, dengan
melakukan :
1). Integrasi dalam Promosi
Integrasi Sistem

Balai TNBT menggali materi promosi yang dapat menarik minat


ekowisatawan.

Stakeholders mempromosikan pariwisata daerah dengan ekowisata


TNBT sebagai obyek andalan.

Integrasi Kebijakan

Stakeholders (Pemda, Balai TNBT,

swasta, LSM, dan masyarakat)

mempunyai kebijakan/ komitmen untuk menjadikan TNBT sebagai


andalan pariwisata daerah.
Integrasi Fungsional

Stakeholders secara terpadu mempromosikan ekowisata TNBT sesuai

158

tugas dan fungsinya masing-masing.


2). Integrasi dalam Pelayanan Pengunjung
Integrasi Sistem

Stakeholders memberi pelayanan sesuai kebutuhan

ekowisatawan

(ticketing, pemanduan, jasa transportasi, akomodasi, dll.).


Integrasi Kebijakan

Stakeholders mempunyai kebijakan untuk memberi pelayanan terbaik bagi


ekowisastawan TNBT.

Integrasi Fungsional

Stakeholders

secara

terpadu

memberi

pelayanan

terbaik

bagi

ekowisatawan sesuai tugas dan fungsinya masing-masing.


3). Integrasi dalam Pengembangan Obyek Ekowisata
Integrasi Sistem

Pengembangan obyek ekowisata TNBT dilakukan sesuai dengan zonasi


dan daya dukung kawasan.

Pengelolaan jumlah dan distribusi pengunjung serta periode kunjungan

Pengembangan obyek ekowisata yang lebih bervariatif.

Pengembangan obyek ekowisata di daerah penyangga TNBT dan wilayah


pembangunan.

Integrasi Kebijakan

Stakeholders

mempunyai

kebijakan

untuk

mengembangkan

obyek

ekowisata TNBT

Membangun jejaring kerja (networking) dengan pasar regional, nasional


dan maupun internasional

Integrasi Fungsional

Mengembangkan kerjasama antar sektor dalam pengembangan obyek


ekowisata .

Mengembangkan

kerjasama

dengan

masyarakat

lokal

dalam

pengembangan obyek ekowisata.

Membangun paket-paket perjalanan dengan pengelola ekowisata di Prop


Riau dan Jambi.

159

Stakeholders mengembangkan obyek ekowisata daerah sesuai dengan


tugas dan fungsinya masing-masing

4). Integrasi dalam Peningkatan Kondisi Jalan Akses


Integrasi Sistem

Prioritas utama peningkatan kondisi jalan akses adalah pengaspalan tiga


jalur masuk yang menghubungkan Jalan Lintas Timur Sumatera dengan
kawasan TNBT, yakni dari Simpang Pendowo Desa Keritang ke Simpang
Datai, Simpang Granit Desa Talang Lakat ke Camp Granit, dan Simpang
Siberida Desa Siberida ke Desa Rantau Langsat. Dengan melakukan
pengaspalan diharapkan ketiga jalur tersebut dapat dilalui semua jenis
kendaraan baik pada musim kemarau maupun musim hujan.

Prioritas kedua adalah pemeliharaan Jalan Lintas Timur Sumatera yang


menghubungkan Kota Pekanbaru dan Kota Jambi dengan Kota Rengat
( Kantor Balai TNBT).

Untuk meningkatkan kenyamanan dan memperpendek waktu tempuh,


dalam jangka panjang perlu mengaktifkan kembali Bandar Udara Japura
Rengat yang hanya berjarak sekitar 5 kilometer dari Kantor Balai TNBT.

Integrasi Kebijakan

Pemerintah (Pusat, Propinsi dan Kabupaten) mempunyai kebijakan untuk


meningkatkan kondisi jalan akses ke kawasan TNBT. .

Integrasi Fungsional

Sektor terkait (Dinas PU Kimpraswil dan Dinas Perhubungan) secara


terpadu meningkatkan kondisi jalan akses ke kawasan TNBT sesuai tugas
dan fungsinya masing-masing.

Gambar 65. Bandar Udara Japura Rengat

160

5. Integrasi dalam Upaya Menekan Tingkat Kerusakan Hutan


Integrasi Sistem

Perladangan berpindah yang dilakukan Suku Talang Mamak di kawasan


TNBT perlu dikembalikan sesuai dengan adat dan budaya suku tersebut
sehingga tidak merusak hutan alam TNBT, misalnya dengan menerapkan
sistem rotasi dan tidak melakukan perladangan pada sempadan sungai.

Pemanfaatan sumberdaya alam di daerah penyangga TNBT (seperti


perkebunan dan pertambangan batu bara) perlu dilakukan dengan
mempertimbangkan kelayakan secara fisik, biologi, sosial dan ekonomi.

Perlu adanya law enforcement yang dilakukan secara konsisten. .

Integrasi Kebijakan

Perlu adanya komitmen para pihak untuk menghentikan segala bentuk


kegiatan yang menyebabkan kerusakan hutan alam TNBT.

Mengingat hutan penyangga sangat penting dalam menopang hutan alam


TNBT,

pemerintah

daerah

harus

menghentikan

deforestasi

hutan

penyangga TNBT, baik yang disebabkan oleh perubahan tata ruang,


konversi hutan, perambahan, maupun pembalakan liar.
Integrasi Fungsional

Balai TNBT, Dinas Kehutanan, dan aparat penegak hukum secara terpadu
bekerjasama

dalam rangka perlindungan hutan alam TNBT dan hutan

penyangganya.

161

BAB V. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan
1. Pengelolaan TNBT belum terintegrasi dengan pengembangan daerah
penyangga dan pembangunan wilayah, baik secara kebijakan, fungsional,
maupun sistem.
2. Untuk mengembangkan pengelolaan TNBT perlu integrasi dari pengelolaan
berbasis pada sumberdaya (resource based management), pengelolaan
berbasis pada kemampuan masyarakat (community based management)
dan pengelolaan berbasis pada kemampuan dalam memanfaatkan basisbasis kompetisi (marketing based management).
3. Strategi yang perlu dilakukan untuk mengembangkan pengelolaan TNBT
secara terintegrasi adalah strategi konservatif (strategi WO), yakni mengatasi
kelemahan untuk memanfaatkan peluang (strategi WO).
4. Program prioritas yang perlu dilakukan untuk mengembangkan pengelolaan
TNBT secara terintegrasi berbasis ekowisata adalah ; 1) meningkatkan
aksessibilitas ke lokasi obyek ekowisata, 2) mengintensifkan promosi dan
publikasi ekowisata, 3)

mengembangkan daya tarik obyek ekowisata, 4)

menekan tingkat kerusakan hutan, dan 5) mengintensifkan pengelolaan


ekowisata dengan melibatkan dunia usaha.
5. Hasil simulasi model dengan skenario optimis menunjukkan bahwa
pengembangan pengelolaan TNBT secara terintegrasi berbaisis ekowisata,
pada sepuluh tahun yang akan datang akan meningkatkan jumlah
ekowisatawan sebesar 484%, pendapatan masyarakat sebesar 484,1%,
dan penerimaan pemerintah sebesar 359 % .
6. Pengembangan pengelolaan TNBT secara terintegrasi berbasis ekowisata
akan mewujudkan pengelolaan ekowisata berkelanjutan, yang selanjutnya
menjadi alat

paling efektif untuk konservasi biodiversitas TNBT secara

jangka panjang.

162

B. Saran
Berdasarkan hasil penelitian disarankan sebagai berikut :
1. Perlu disusun model pengembangan pengelolaan secara terintegrasi pada
setiap kawasan taman nasional di Indonesia. yang didasarkan

atas potensi

kawasan.
2. Perlu adanya perangkat yang mampu mendorong terwujudnya integrasi
pengelolaan taman nasional, baik berupa peraturan perundangan, perencanaan,
pengorganisasian/ kelembagaan, dan lain-lain.

163

DAFTAR PUSTAKA

Adhikerana, AS. 1999. Ekowisata di Indonesia, antara angan-angan dan kenyataan.


Bahan seminar pengembangan industri pariwisata di Indonesia. Sekolah
Tinggi Pariwisata. Bandung.
Adriana, Budeanu. 2009. Environmental Supply Chain Management in Tourism:
The Case of Large Tour Operators. Journal of Cleaner Production 17(2009)
1385-1392. Elsevier Ltd.
Ahmadi, Abu. 2007. Psikologi Sosial. PT. Rineka Cipta . Jakarta
Alikodra, H.S. 1998. Konservasi Keanekaragaman Hayati dalam Pembangunan
Nasional Berkelanjutan. Makalah disampaikan pada Sosialisasi Inmendagri
No. 35 tahun 1997 tentang Pembinaan Taman Flora - Fauna di Daerah.
Taman Safari, Cisarua Bogor, 30 31 Juli. 1998.
___________. 1998. Daerah Penyangga Taman Nasional Dalam Satu Sistem
Pengembangan Konsep ICDP. Makalah disampaikan pada Seminar Daerah
Penyangga, 16 Oktober 1998. Taman Safari, Cisarua Bogor.
___________. 2002. Pembangunan Daerah Berintikan Hutan: concept of
ecodevelopment , the movement to ecologically forestry. Makalah Pembahas
Disampaikan pada Seminar Sehari tentang Penyelenggaraan Kehutanan
Daerah. Bogor, 13 Maret 2002. fakultas Kehutanan IPB. Bogor.
____________. 2008. Konsep Pengelolaan Kawasan Dilindungi. Bahan Kuliah
Pada Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika. Sekolah Pasca
Sarjana. Institut Pertanian Bogor.
Anonim, 1994. Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Bahan Kuliah
pada Jurusan Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Program
Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor
______, 1999. Demokrasi Pengelolaan Sumberdaya Alam (Prociding Lokakarya
Reformasi Hukum di Bidang Pengelolaan Sumberdaya Alam). Indonesia
Center for Environmental Law (ICEL). Jakarta.
______. 2000. Agenda 21 Sektoral Buku 1. Seri Panduan Perencanaan
Pembangunan Berkelanjutan; Membuat Pembangunan Berkelanjutan ,
Upaya Mencapai Kehidupan yang Makin Berkualitas. United Nations
Development Programme and Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup.
______. 2006. Laporan Profil Desa di Kecamatan Kemuning. Program Pengelolaan
Terpadu Bukit Tigapuluh. KKI WARSI. Jambi

164

Aunuddin 2001. Penyusunan Kegiatan Investasi. Pembentukan Pokmas, Pelatihan


dan Penguatan Kelembagaan. Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil Departemen Kelautan dan Perikanan Jakarta dan Lembaga Penelitian
Institut Pertanian Bogor.
BAPPENAS (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional). 2003. Strategi dan
Rencana Aksi Keanekeragaman Hayati Indonesia 2003 - 2020
Borrini-Feyerabend G, Farvar MT, Nguinguiri JC, Ndangang VA. 2000. Comanagement of Natural Resources Organising, Negotiating and Learning by
Doing. GTZ and IUCN, Kasparek Verlag, Heidelberg, Germany.
Bridgewater. 2002. Biosphere Reserves a Network for Conservation and
Sustainability. Parks, The International Journal for Protected Area Managers,
Vol. 12 No. 3. 2002. World Commission on Protected Areas (WCPA) of
IUCN. Newbury UK.
BTNBT (Balai Taman Nasional Bukit Tigapuluh). 2004. Rencana Strategis (Renstra)
Taman Nasional Bukit Tigapuluh Periode 2004 2008.
_______________________________________. 2009.
Nasional bukit Tigapuluh Tahun 2009.

Statistik Balai Taman

______________________________________ dan Frankfurt Zoological Society.


2009. Resource Base Inventory. Implementasi Konservasi Ekosistem Bukit
Tigapuluh.
Cooper,C. J Fletcher, D Gilbert, and Wanhill. 1993. Tourism, Principles, and
Practise. Essex Longman Group.
Danamik J, and Weber HF. 2006. Perencanaan Ekowisata dari Teori ke Aplikasi.
Andi. Yokyakarta.
Danielsen, F., M. Heegaard. 1993. The Impact of Logging and Forest Conversion
on Lowland Forest Birdfs and other Wildlife in Siberida, Riau Province,
Sumatera. Proc. Of NORINDRA Seminar. Jakarta 25-26 Mei 1993
Darmawan, A.H. 2003. Ekologi Manusia. Teks Mata Kuliah Program Studi Magister
Profesional Pengembangan Masyarakat. Program Pasca Sarjana, IPB.
Departemen Kehutanan. 2005. Pengelolaan
Kehutanan No. P 19/Menhut-II/2004.

Kolaboratif.

Peraturan

Menteri

_____________________. 2007. Buku Informasi 50 Taman Nasional di Indonesia


Darsiharjo. 2004. Model Pemanfaatan Lahan Berkelanjutan di Daerah Hulu Sungai.
Studi Kasus Daerah Hulu Sungai Cikapundung Bandung Utara. Disertasi.
Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.

165

Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam.


Konservasi Indonesia.

2007.

Kawasan

Dinas Pemuda Olahraga Budaya dan Pariwisata Kabupaten Indragiri Hulu. 2006.
Rencana Strategis dan Rencana Kerja Tahun 2006 2010.
Divino, J.A. and Michael McAleer. 2009. Modelling Sustainable International
Tourism Demand to The Brazillian Amazon. Journal of Environmental
Modelling & Software 24 (2009) 1411-1419. Elsevier Ltd.
Djojomartono, M. 2000. Dasar - Dasar Analisis Sistem Dinamik. Program Pasca
Sarjana Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Institut
Pertanian Bogor. Bogor
Drumm A, Moore A. 2005. An Introduction to Ecotourism Planning, Volume ke-1,
Second Edition. Arlington. The Nature Conservansy
Dunn, W.M. 1998. Analisis Kebijakan Publik, diterjemahkan oleh Muhajir Darwis. PT.
PT. Hanindita Graha Widya. Yogyakarta.
_________. 2000. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Edisi Kedua. Gajah Mada
University Press . Yokyakarta
Dwijowijoto, R.N. 2004. Kebijakan Publik : Formulasi, Implementasi, dan Evaluasi.
PT. Elex Media Komputindo. Yakarta.
Eriyatno dan Fadjar Sofyar. 2007. Riset Kebijakan.
Pascasarjana. IPB Press. Bogor

Metode Penelitian untuk

Fandeli, C. 2000a. Bagian I Konsep dan Pengertian Ekowisata. Pengertian dan


Konsep Dasar Ekowisata Dalam C Fandeli dan Muklison (editor).
Pengusahaan Ekowisata. Fakultas Kehutanan UGM, UKSDA Jogya dan
Pustaka Pelajar Jogyakarta.
_________. 2000b.
Bagian II Kebijakan Pengembangan
Ekowisata:
Pengembangan Ekowisata dengan Paradigma Baru, Pengelolaan Areal
Konservasi.
Dalam C Fandeli dan Muklison (editor).
Pengusahaan
Ekowisata. Fakultas Kehutanan UGM, UKSDA Jogya dan Pustaka Pelajar
Jogyakarta.
FAO. 1982. National Conservation Plan For Indonesia. National Park Development
Project INS/78/061. Bogor.r
Fennell, D.A. 1999. Ecotourism an Introduction. Routledge London.
[Faperta IPB]
Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. 2004. Analisis
Pengembangan Usahatani Tanaman Pangan Terpadu Cianjur Selatan.
(Laporan Akhir). Fakultas Pertanian IPB. Bogor.

166

Ford, A. 1999. Modelling the Environment: An Introduction to System Dinamics


Models of Environmental System. Island Press, California.
Gunawan MP. 2003. Kebijakan Pemerintah Tentang Interpretasi Wisata Alam dan
Ekowisata. Dalam : Pengembangan Interpretasi Wisata Alam dan Ekowisata.
Prosiding; Bogor, 9 Desember 2003. Studio Rekreasi Alam Departemen
Konsevasi Sumberdaya Hutan. Fakultas Kehutanan IPB.
Hockings, Marc and Adrian Philips. 1999. How Well are We Doing ?- Some
Thoughts on the Effectiveness of Protected Areas. Parks, The International
Journal for Protected Area Managers, Vol. 9 No. 2. June 1999. World
Commission on Protected Areas (WCPA) of IUCN. Newbury UK.
Hardjasoemantri K. 1993. Hukum Perlindungan Lingkungan: Konservasi
Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Gajah Madfa Univ Press,
Yogyakarta.
Hardjomartojo, A.S. 1993. Analisis Pembangunan Wilayah Jabotabek.
Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Thesis

Haryono, M. 2006. Pencegahan Kebakaran Hutan di Taman Nasional Bukit


Tigapuluh. Procedding Lokakarya Akhir Proyek Manajemen Pencegahan
Kebakaran Hutan fase 2 PHKA JICA, Jakarta 23 Februari 2006.
__________. Ibram EC, Hisan, dan Yurizal. 2005. Taman Nasional Bukit Tigapuluh.
Balai Taman Nasional Bukit Tigapuluh. Rengat
Hunger, DJ. dan Whelen, TL. 2001. Manajemen Strategis. Penerbit Andi.
Yogyakarta
[IUCN]

International Union for Conservation of Nature and Natural Resources.


1994. Guidelines for Protected Areas Management Categories, IUCN
Commissions on National Parks and Protected Areas (CNPPA) World
Conservation Monitoring Centre (WCMC), Gland Switzerland and
Cambridge, UK.

IUCN, UNEP, WWF. 1991. Caring for the Earth: A Strategy for Sustainable Living.
The World Conservation Union. United Nations Environment Programme,
World Wild Fund For Nature. Gland, Switzerland.
Jacobson, S.K. 1994. Biological Impacts of Ecotourism tourists and nesting turtles
in Tortuguero National Park. Costa Rica Wildlife Society Bulltetin.
Kay R and Jackie Alder. 1999. Coastal Planing and Management. London. E&FN
Spon.
Keraf, A.S. 2002. Etika Lingkungan. Penerbit Buku KOMPAS. Jakarta

167

Khan, Himayatullah. 2006. Willingness to Pay for Margalla Hills National Park;
Evidence from the Travel Cost Method. The Lahore Journal of Economics
11:2 (Winter 2006) pp.43-70
Kinnaird, M.F. and T.G. OBrien. 1996. Ecotourism in the Tangkoko_Duasaudara
Nature Reserve opening pandoras box ? Oryx 30 (1) 65-73
KKI-WARSI. 2007. Justifikasi Rasionalisasi TN. Bukit Tigapuluh. Jambi.
Koutsoyianis, A. 1977. Theory of Econometrics. Macmilan Press Ltd. London.
Lindberg, K. 1991. Policies for Maximizing Nature Tourisms Ecological and
Economic Benefits. World Reources Institute Washington, DC.
Lipsey, G.R. etal. 1996. Pengantar Ilmu Ekonomi Mikro. Jurusan Ilmu-ilmu Sosial
Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor.
Liswanti, N, Indrawan A. Sumardjo, Sheil D. 2004. Persepsi Masyarakat Dayak
Merap dan Punan tentang Pentingnya Hutan di Lansekap Hutan Tropis.
Kabupaten Malinau, Kalimantan Timur. Jurnal Manajemen Hutan Tropika.
Volume X No. 2. Juli Desember 2006.
MacKinnon, J, K MacKinnon. 1986. Review of The Protected Areas System in The
Indo Malayan IUCN, Gland, Switzerrland and Cambridge, UK.
MacKinnon, J, .K, MacKinnon, G Child, J Thorsell. 1990. Managing of Protected
Areas in Tropis. Hari Harsono Amir, penerjemah: Pengelolaan Kawasan
Yang Dilindungi di Daerah Tropika. Gajahmada University Press,
Yogyakarta.
MacNelly, J.A. 1995. Expanding Partnerships in Conservation. Island Press.
Washington, D.C.
Marpaung H. 2002. Pengetahuan Kepariwisataan. Bandung: Alfabeta
Meffe, K.G. and C.R. Carroll.1994. Principles of Conservation Biology. Sinauer
Associates, Inc. Sunderland, Massachusetts.
Miller, KR and LS. Hamilton. 1999. Editorial. Parks, The International Journal for
Protected Area Managers, Vol. 9 No. 3. Oktober 1999. World Commission
on Protected Areas (WCPA) of IUCN. Newbury UK.
Mubyarto . 2000. Pengembangan Wilayah, Pembangunan Pedesaan dan Otonomi
Daerah: Pengembangan Wilayah Pedesaan dan Kawasan Tertentu, Sebuah
Kajian Eksploitatif.
Direktorat Kebijaksanaan Teknologi Untuk
Pengembangan Wilayah Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi.
Jakarta.

168

Muhammadi, E. Aminullah, B. Soesilo. 2001. Analisis Sistem Dinamis: Lingkungan


Hidup, Sosial, Ekonomi, Manajemen. UMJ Press. Jakarta.
Murdiyarso, D. 2003. CDM : Mekanisme Pembangunan Bersih. Penerbit Buku
Kompas. Jakarta
Nirarita E. 1996. Ekosistem Lahan Basah. Wetlands International Indonesia
Programme. Bogor.
Nurfatriani F dan Efida YS. 2003. Pengelolaan Ekowisata Berbasis Masyarakat
Lokal. Buletin Penelitian dan Pengembangan Kehutanan IV(1):31-39.
Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1998. Tentang Kawasan Suaka Alam dan
Kawasan Pelestarian Alam.
Peraturan Pemerintah RI Nomor 59 Tahun 1998 Tentang Tarif atas Jenis
Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku Pada Departemen
Kehutanan dan Perkebunan.
Poerwadarminta, W.J.S. 2006. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Edisi Ke 3. Balai
Pustaka. Jakarta.
Pomeroy RS. 1994. Community Management and Common Property of Coastal
Fisheriers in Asia and The Pasific: Concepts, Methods and Experiences.
Manila International Center For Living Aquatic Resources.
Purnomo, H. 2005. Teori Sistem Komplek, Pemodelan, dan Simulasi. Fakultas
Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.
Rangkuti, F., 1998. Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis. PT. Gramedia
Pustaka Utama . Jakarta
Ridwan, W. 2000. Bagian II Kebijakan Pengembangan Ekowisata. Kebijakan
Pengembangan Hutan untuk Ekowisata Dalam C Fandeli dan Muklison
(editor). Pengusahaan Ekowisata. Fakultas Kehutanan UGM, UKSDA Jogya
dan Pustaka Pelajar Jogyakarta.
Saaty T.L. 1993. Pengambilan Keputusan Bagi Para Pemimpin. Proses Hirarki
Analitik untuk Pengambilan Keputusan dalam Situasi yang Kompleks. Setiono
L, penerjemah; Peniwati K, editor. Jakarta: PT Pustaka Binaman Pressindo.
Terjemahan dari: Decision Making For Leaders. The Analitical Hierarchy
Process for Decision in Complex World
Sandy, I M. 1982. Pembangunan Wilayah, Mimeograf. Bogor.
Santoso, J. 2008. Rubber Production System by Talang Mamak and Melayu Tua
Living in Bukit Tigapuluh National Park, Indonesia: The correlation between
its contributions to household objectives and its pressure on BTNP

169

sustainability. Master Thesis. Graduate School of Science and Technology.


Niigata University. Japan.
Schumacer, 1994. The Useful Plants of Bukit Tigapuluh Hills, Riau, Sumatera and
Their Local and Regional Significance.
Rain Forest and Resource
Management. Proceeding of the Norindra Seminar (Sandbukt, O. Ed). 25
26 May 1993. Indonesian Institute of Science (LIPI). Jakarta.
Setyono D. 2003. Interpretasi Ekowisata di Taman Nasional. Di dalam:
Pengembangan Interpretasi Wisata Alam dan Ekowisata. Prosiding; Bogor, 9
Desember 2003. Bogor: Studio Rekreasi Alam Departemen Konsevasi
Sumberdaya Hutan. Fakultas Kehutanan IPB. Hlm 13-19.
Sherpa , MN and UP. Norbu. 1999. Linking Protected Areas for Ecosystem
Conservation: a Case Study from Bhutan. Parks, The International Journal
for Protected Area Managers, Vol. 9 No. 3. Oktober 1999.
World
Commission on Protected Areas (WCPA) of IUCN. Newbury UK.
Soemarwoto, O. 1994. Ekologi Lingkungan |Hidup dan Pembangunan. Djambatan.
Jakarta
Stecker, B. 1996. Ecotourism: Potential for Concervation and Sustainable Use of
tropical Forest. A Case study on the National Park Taman Negara and
Endau Rompin in Malaysia. Eschbom GTZGmbH.
Sub Balai KSDA Riau. 1997. Rencana Pengelolaan Taman Nasional Bukit
Tigapuluh Tahun 1997 2021.
Sugandhy, A. 1999. Penataan Ruang Wilayah Dalam Pengelolaan Lingkungan
Hidup. PT. Gramedia. Jakarta.
_____________. 2006.
Pengelolaan Taman Nasional dalam Pembangunan
Berkelanjutan. Disertasi. Program Pasca Sarjana. Universitas Indonesia.
_____________ dan R. Hakim. 2007. Prinsip Dasar Kebijakan Pembangunan
Berkelanjutan Berwawasan Lingkungan. PT. Bumi Aksara. Jakarta
Sukirno, S. 1985. Ekonomi Pembangunan: Proses, Masalah, dan Dasar
Kebijaksanaan. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Suratmo, F.G. 2002. Panduan Penelitian Multidisiplin. IPB Press, Bogor.
Supriatna, J, A. Sanjaya, I Setiawati, dan MR Sychrizal 2000. Ekowisata sebagai
usaha pemanfaatan yang berkelanjutan di kawasan lindung. Workshop
Komisi Koordinasi Pemanfaatan Obyek Wisata Alam. Balikpapan.
Suwandi.
2005. Agropolitan, Merentas Jalan Meniti Harapan. Departemen
Pertanian. Jakarta.

170

Suwantoro G. 1997. Dasar-Dasar Pariwisata. Andi. Yogyakarta.


Syamsuddin, 2001. Model Evaluasi Keberhasilan Usaha tani di Lahan Kering (Studi
Kasus Penanaman Jambu Mete di Kabupaten Lombok Barat, Nusa
Tenggara Barat). Disertasi Program Pascasarjana IPB, Bogor.
The International Ecotourism Society . 2005. Fact Sheet: Global Tourism.
Washington. The International Ecotourism Society. www.ecotourism.org [08
Oktober 2009]
Tomek, T.G. and K.L. Robinson, 1990. Agricultural Product
Cornell University Press. Ithaca and London.

Pitces 2nd edition.

Undang-undang Nomor 20 tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak


Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990. Tentang Konservasi Sumberdaya Alam
Hayati dan Ekosistemnya.
UNEP. 2003. About ecotourism. United Nation Environmental Programme.
Wahab S, 2003. Manajemen Kepariwisataan. Gromang F, Penerjemah. Jakarta:
Pradnya Paramita. Terjemahan dari: Tourism Management.
Walkey, M., I. Swingland, S. Russell.
1999.
Integrated Protected Area
Management. Kluwer Academic Publishers. The Netherlands.
Waluyo H. 2007. Pasar Tradisional Sebagai Daya Tarik Wisata www.budpar.go.id [9
Feb 2010]
WCED. 1987. Our Common Future. Oxford Univ. Press. New York.
Wells, M, K. Brandon, and L. Hannah. 1992. People and Parks: Linking Protected
Area Management with Local Communities. The World Bank., The World
Wildlife Fund, and USAID. Washington DC.
Well M, Gutggenheim S, Khan A, Wardoyo W, dan Jepsen P. 1999. Investigating in
Biodiversity: a Review of Indonesias Integrated Conservation and
Development Projects. The World Bank East Asia Region, Washington.
Widada. 2008. Mendukung Pengelolaan Taman Nasional yang Efektif. Ditjen. PHKA
dan JICA.
Wight, PA. 1993. Sustainable Ecotourism: Balancing Economic, Environmental and
Social Goals Within an Ethical Framework. Journal of Tourism Studies. 1993.
4, 2, 54-66.1993.

171

________.1997. Ecotourism Accommodation Spectrum: does supply match the


demand ? Journal of Tourism Management Vol 18 No 4 pp. 209-220.1997.
Elsevier Science Ltd.
Wind, J. 1990. Apa yang dimaksud dengan Daerah Penyangga yang Efektif ? dalam
Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Kawasan Penyangga di Jayapura.
Kanwil Dephut Irian Jaya dan WWF. Jayapura
Wiratno, ID, Syarifudin A, dan Kartikasari A. 2004. Berkaca di Cermin Retak :
Refleksi Konservasi dan Implikasi bagi Pengelola Taman Nasional. FOReST
Press, The Gibbon Foundation Indonesia, Departemen Kehutanan, PILINGO Movement, Jakarta.
Wiriadinata, H.
1994.
Tumbuhan yang Menarik Secara Taksonomi dan
konservasinya di Daerah Siberida, Kabupaten Indragiri Hulu, Riau. Rain
Forest and Resource Management. Proceeding of the Norindra Seminar
(Sandbukt, O. Ed). 25 26 May 1993. Indonesian Institute of Science (LIPI).
Jakarta.
WWF-Indonesia, MFP Dephut DFID. 2006. Kenitraan dalam Pengelolaan Taman
Nasional: Pelajaran untuk Transformasi Kebijakan. Prolog: Merajut
Kesenjangan antara Konservasi Sumberdaya Alam dan Penanggulangan
Kemiskinan di Indonesia. WWF-Indonesia, MFP Dephut DFID, Jakarta.
Yoeti HOA. 1997. Perencanaan dan Pengembangan Pariwisata. Jakarta. Pradnya
Paramita
Yunus, M. 2007. Laporan Kegiatan Identifikasi Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat
di Sepanjang Sungai Gansal dalam Kawasan TNBT. Yayasan Penyelamatan
dan Konservasi Harimau Sumatera.
Yunus, M., Santoso, dan Hisan. 2008. Mamalia di Bukit Tigapuluh: Keberadaan,
Distribusi dan Ancamannya.
Yayasan Penyelamatan dan Konservasi
Harimau Sumatera.

172

173

174

Lampiran 2. Daftar Jumlah Ekowisatawan TN.. Bukit Tigapuluh


Asal Ekowisatawan
Mancanegara
Nusantara

No.

Tahun

Jumlah

1.

1999

212

16

228

2.

2000

79

44

123

3.

2001

104

106

4.

2002

24

492

516

5.

2003

64

73

6.

2004

7.

2005

1130

1130

8.

2006

538

541

9.

2007

1058

1066

10.

2008

2297

2301

11.

2009

1132

1136

Sumber : Statistik Balai TN. Bukit Tigapuluh Tahun 2005 dan 2009

177

Lampiran 3. Deskripsi Masing-masing Penggunaan Lahan di TNBT

KELAS
LAHAN

DESKRIPSI

Lahan
Terbuka

- Tutupan vegetasi berupa


tumbuhan rendah dan jarang
- Ada aktivitas manusia yang
sedang berlangsung (ditemui
pada lokasi-lokasi pemukiman
dan pembukaan lahan baru)
- Ditanami padi dan ubi serta
tanaman pekarangan.
- Perkiraan waktu pembukaan
lahan < 1 tahun

Belukar
Jarang

- Tutupan vegetasi berupa semak


- Tingkat Vegetasi (individu/ha)
S 264.167 296.667
P
3.467 6.000
T
0 100
Ph
- Pada lokasi yang ada pondok
dan ditempati biasanya setelah
tanam padi dilanjutkan dengan
tanam ubi, jagung, pisang dan
tebu.
- Pada lokasi yang tidak ada
pondok dan tidak didiami
ditumbuhi oleh mahang.
- Sebagian ada yang ditanami
karet tapi tidak terawat.
- Perkraan waktu pembukaan
lahan 1 2 tahun

FOTO

178

Belukar
Sedang

- Tutupan vegetasi berupa


semak.
- Tingkat Vegetasi (individu/ha)
S 52.500 98.333
P
6.667 8.267
T
233 833
Ph
08
- Pada lokasi yang ada pondok
dan didiami tanaman pisangnya
masih dirawat
- Pada lokasi yang tidak ada
pondok dan tidak didiami
tanaman pisang pun sudah
ditutupi oleh tumbuhan
merambat dan bersaing dengan
mahang.
- Ada ditemui tanaman karet tapi
tidak teratur dan terawatt
- Perkiraan waktu pembukaan
lahan 2 4 tahun

Belukar
Lebat

- Tutupan vegetasi berupa semak


.
- Tingkat Vegetasi (individu/ha)
S 10.000 20.000
P
4.533 7.600
T
467 - 600
Ph
8 - 67
- Pada kelas ini tidak ditemui lagi
adanya tanaman untuk pangan
seperti pisang.
- Ada ditemui tanaman karet
tetapi belum ditakik
- Perkiraan pembukaan lahan 4
8 tahun.

179

Lampiran 4.

Nilai Pengaruh dari Masing-masing Faktor Strategis SWOT


terhadap Pelaksanaan Alternatif Program

A. Faktor Kekuatan

Keterangan :
Fa k t o r A
: Hutan alam yang kondisinya relatif masih baik
Faktor B
: Kekhasan dan kelangkaan spesies flora / fauna
Fa k t o r C
: Keunikan budaya masyarakat tradisional
Fa k t o r D
: Keindahan landscape (panorama alam)
Fa k t o r E
: Tersedianya sarana-prasarana ekowisata
Nilai inconsistency < 0.10 ( menunjukkan pemberian skor tingkat kepentingan yang konsisten)

B. Faktor Kelemahan

Keterangan :
Fa k t o r A
Faktor B
Fa k t o r C
Fa k t o r D

:
:
:
:

Rendahnya aksessibilitas ke lokasi obyek ekowisata


Belum intensifnya pengembangan daya tarik obyek ekowisata
Belum intensifnya promosi dan publikasi ekowisata TNBT
Terjadinya kerusakan hutan akibat perla-dangan berpindah masyarakat
tradisional
Fa k t o r E
: Terbatasnya alokasi anggaran untuk pengembangan ekowisata
Nilai inconsistency < 0.10 ( menunjukkan pemberian skor tingkat kepentingan yang konsisten)

180

C. Faktor Peluang

Keterangan :
Fa k t o r A
Faktor B
Fa k t o r C
Fa k t o r D
Fa k t o r E
Nilai inconsistency

: Dukungan pemerintah daerah terhadap pengembangan ekowisata TNBT


: Meningkatnya minat masyarakat perkotaan terhadap ekowisata (back to nature)
: Meningkatnya jumlah wisatawan mancanegara yang berkunjung ke Indonesia
: Dukungan masyarakat lokat terhadap ekowisata TNBT
: Tersedianya sarana-prasarana pendukung (hotel, restoran,dll) di sekitar TNBT
< 0.10 ( menunjukkan pemberian skor tingkat kepentingan yang konsisten)

D. Faktor Ancaman

Keterangan :
Fa k t o r A
Faktor B
Fa k t o r C
Fa k t o r D
Fa k t o r E
Nilai inconsistency

: Terjadinya gangguan keamanan dan kenyamanan pengunjung


: Terjadinya gangguan hutan (illegal looging) oleh masyarakat sekitar
: Terjadinya kebakaran hutan di kawasan TNBT dan daerah penyangga
: Berubahnya tata ruang di sekitar kawasan TNBT
: Degradasi tata nilai budaya asli masyarakat tradisional
< 0.10 ( menunjukkan pemberian skor tingkat kepentingan yang konsisten)

181

182

Lampiran 5. Tingkat Prioritas dari Alternatif Program Berdasarkan


Masing-masing Faktor SWOT

A. Berdasarkan Faktor Kekuatan

Program
Program
Program
Program
Program
Keterangan :
Program A
Program B
Program C
Program D
Program E

A
B
C
D
E

:
:
:
:
:

Meningkatkan aksessibilitas ke lokasi obyek ekowisata


Mengintensifkan pengelolaan ekowisata dengan melibatkan dunia usaha
Mengintensifkan promosi dan publikasi ekowisata
Mengembangkan daya tarik obyek ekowisata
Menekan tingkat kerusakan hutan akibat perladangan berpindah oleh masyarakat
tradisional
Nilai inconsistency < 0.10 ( menunjukkan pemberian skor tingkat kepentingan yang konsisten)

B. Berdasarkan Faktor Kelemahan

Program
Program
Program
Program
Program
Keterangan :
Program A
Program B
Program C
Program D
Program E

A
B
C
D
E

:
:
:
:
:

Meningkatkan aksessibilitas ke lokasi obyek ekowisata


Mengintensifkan pengelolaan ekowisata dengan melibatkan dunia usaha
Mengintensifkan promosi dan publikasi ekowisata
Mengembangkan daya tarik obyek ekowisata
Menekan tingkat kerusakan hutan akibat perladangan berpindah oleh masyarakat
tradisional
Nilai inconsistency < 0.10 ( menunjukkan pemberian skor tingkat kepentingan yang konsisten)

182

C. Berdasarkan Faktor Peluang

Program
Program
Program
Program
Program

Keterangan :
Program A
Program B
Program C
Program D
Program E

A
B
C
D
E

:
:
:
:
:

Meningkatkan aksessibilitas ke lokasi obyek ekowisata


Mengintensifkan pengelolaan ekowisata dengan melibatkan dunia usaha
Mengintensifkan promosi dan publikasi ekowisata
Mengembangkan daya tarik obyek ekowisata
Menekan tingkat kerusakan hutan akibat perladangan berpindah oleh masyarakat
tradisional
Nilai inconsistency < 0.10 ( menunjukkan pemberian skor tingkat kepentingan yang konsisten)

D. Berdasarkan Faktor Ancaman

Program
Program
Program
Program
Program

Keterangan :
Program A
Program B
Program C
Program D
Program E

A
B
C
D
E

:
:
:
:
:

Meningkatkan aksessibilitas ke lokasi obyek ekowisata


Mengintensifkan pengelolaan ekowisata dengan melibatkan dunia usaha
Mengintensifkan promosi dan publikasi ekowisata
Mengembangkan daya tarik obyek ekowisata
Menekan tingkat kerusakan hutan akibat perladangan berpindah oleh masyarakat
tradisional
Nilai inconsistency < 0.10 ( menunjukkan pemberian skor tingkat kepentingan yang konsisten)

183

184

Lampiran 6.

Persamaan Model Dinamik Pengembangan Pengelolaan TNBT


secara Terintegrasi Berbasis Ekowisata

Sub Model Ekowisatawan


Jumlah_Ekowisatawan(t) = Jumlah_Ekowisatawan(t - dt) + (Peningkatan Pengurangan) * dtINIT Jumlah_Ekowisatawan = 1535
INFLOWS:
Peningkatan = (Kualitas_Layanan+Kualitas_OWA+Promosi)/3
OUTFLOWS:
Pengurangan = ((1-DDF_Daya_dukung_Fisik)+(1Indeks_Persepsi_thd_Kerusakan_hutan))*0.5*Jumlah_Ekowisatawan
Luas_Hutan(t) = Luas_Hutan(t - dt) + (- Penurunan_Luas_Hutan) * dtINIT
Luas_Hutan = 137886
OUTFLOWS:
Penurunan_Luas_Hutan = Luas_Kerusakan_Hutan
DDF_Daya_dukung_Fisik =
Luas_Yang__DigunakanOWA*1/Kebutuhan_Area_utk_Wisatawan*Faktor_Rota
si
Elektronik = 1
Faktor_Rotasi = 2
Fasilitas = 1
Indeks_Persepsi_thd_Kerusakan_hutan = if Luas_Hutan>0.9*Luas_TN then 1
else if Luas_Hutan>0.8*Luas_TN and Luas_Hutan<0.89*Luas_TN then 0.9 else
if Luas_Hutan>0.7*Luas_TN and Luas_Hutan<0.79*Luas_TN then 0.7 else if
Luas_Hutan>0.6*Luas_TN and Luas_Hutan<0.69*Luas_TN then 0.6 else if
Luas_Hutan>0.5*Luas_TN and Luas_Hutan<0.69*Luas_TN then 0.5 else if
Luas_Hutan>0.4*Luas_TN and Luas_Hutan<0.49*Luas_TN then 0.4 else if
Luas_Hutan>0.3*Luas_TN and Luas_Hutan<0.39*Luas_TN then 0.3 else if
Luas_Hutan>0.2*Luas_TN and Luas_Hutan<0.29*Luas_TN then 0.2 else if
Luas_Hutan>0.1*Luas_TN and Luas_Hutan<0.19*Luas_TN then 0.1 else 0
Jumlah_OWA = 2
Kebutuhan_Area_utk_Wisatawan = Jumlah_Ekowisatawan*0.0065
Kualitas_Layanan =
Jumlah_Ekowisatawan*Rate_wisatawan_krn_Kualitas_Layanan*Layanan
Kualitas_OWA =
(Fasilitas+3*Jumlah_OWA+Sarana_Jalan)/3*Jumlah_Ekowisatawan*Rate_wisata
wan__krn_Kualitas_OWA
Layanan = 1
Luas_Kerusakan_Hutan = (Luas_TN*Rate_Kerusakan_Hutan)/100
Luas_TN = 144223
Luas_Yang__DigunakanOWA = 3.25*Konversi_grade
Media_Cetak = 1
Pameran = 1
Promosi =
(Elektronik+Media_Cetak+Pameran)/3*Rate_wisatawan_krn_promosi*Jumlah_E
kowisatawan
Rate_Kerusakan_Hutan = 0.0025

184

Rate_wisatawan_krn_Kualitas_Layanan = 0.15
Rate_wisatawan_krn_promosi = 0.2
Rate_wisatawan__krn_Kualitas_OWA = 0.2
Sarana_Jalan = 1
Konversi_grade = GRAPH(Jumlah_OWA)
(1.00, 7.00), (2.00, 9.00), (3.00, 11.0), (4.00, 13.0), (5.00, 15.0)
Tabungan(t) = Tabungan(t - dt) + (Penerimaan_Total - PengeluaranTotal) *
dtINIT Tabungan = 0
INFLOWS:
Penerimaan_Total = Penerimaan_Ekowisata+Total_Pendapatan_Lain
OUTFLOWS:
PengeluaranTotal =
Pengeluaran_Pemandu_2+Pengeluaran_P_Hotel_2+Pengeluaran_P_Mobil_2+Pen
geluaran_P_Ojek_2+Pengeluaran_P_Perahu_2+Pengeluaran_P_RM_2+Pengeluar
an_P_Souvenir_2
Jmlh_Hotel = 8
Jumlah_RM = 8
Keb_harian_10 = 12000000
Keb_harian_11 = 12000000
Keb_harian_12 = 30000000
Keb_harian_13 = 100000000
Keb_harian_14 = 10000000
Keb_harian_8 = 20000000
Keb_harian_9 = 25000000
Keb_Kesehatan_10 = 1000000
Keb_Kesehatan_11 = 500000
Keb_Kesehatan_12 = 3000000
Keb_Kesehatan_13 = 5000000
Keb_Kesehatan_14 = 600000
Keb_Kesehatan_8 = 1000000
Keb_Kesehatan_9 = 2000000
Keb_Pendikan_10 = 2000000
Keb_Pendikan_11 = 0
Keb_Pendikan_12 = 3000000
Keb_Pendikan_13 = 4000000
Keb_Pendikan_14 = 500000
Keb_Pendikan_8 = 500000
Keb_Pendikan_9 = 2000000
Kelompok = Penyewa_Perahu/5
Kelompok_2 = Penyewa_mobil/9
Kelompok_3 = Penyewa_Pemandu/10
Keuntungan_per_mobil = 200000
Keuntungan_per_ojek = 100000
Keuntungan_per_perahu = 200000
Lama_Sewa_perahu = 4
Lama_Sewa__mobil = 4
Lama_Sewa__Pemandu = 4

185

Pedagang = 2
Pendapatan_Hotel =
(Jmlh_Hotel*Penginapan_n_hotel*Untung_Hotel_per_Orang)
Pendapatan_Lain_Hotel = 1200000000
Pendapatan_Lain_Pemandu = 12000000
Pendapatan_Lain_P_Perahu = 30000000
Pendapatan_Lain_RM = 180000000
Pendapatan_Lain_Souvenir = 12000000
Pendapatan_Lain_Tukang_Ojek = 9000000
Pendapatan_Lain__Pemilik_Mobil = 36000000
Pendapatan_Perahu = (Kelompok*Keuntungan_per_perahu*Lama_Sewa_perahu)
Pendapatan__Ojek = (Keuntungan_per_ojek*Pengguna_Ojek)
Pendapatan__pemandu = (Kelompok_3*Lama_Sewa__Pemandu*Upah)
Pendapatan__RM = (Jumlah_RM*Rumah_Makan*Untung_RM)
Pendapatan__Sewa_mobil =
(Kelompok_2*Keuntungan_per_mobil*Lama_Sewa__mobil)
Pendapatan__Souvenir = (Pedagang*Souvenir*Untung_Pedagang)
Penerimaan_Ekowisata =
Pendapatan_Hotel+Pendapatan_Perahu+Pendapatan__Ojek+Pendapatan__RM+P
endapatan__Sewa_mobil+Pendapatan__Souvenir+Pendapatan__pemandu
Pengeluaran_Pemandu_2 =
Keb_harian_11+Keb_Kesehatan_11+Keb_Pendikan_11
Pengeluaran_P_Hotel_2 =
Keb_harian_13+Keb_Kesehatan_13+Keb_Pendikan_13
Pengeluaran_P_Mobil_2 = Keb_harian_9+Keb_Kesehatan_9+Keb_Pendikan_9
Pengeluaran_P_Ojek_2 = Keb_harian_10+Keb_Kesehatan_10+Keb_Pendikan_10
Pengeluaran_P_Perahu_2 = Keb_Pendikan_8+Keb_Kesehatan_8+Keb_harian_8
Pengeluaran_P_RM_2 = Keb_harian_12+Keb_Kesehatan_12+Keb_Pendikan_12
Pengeluaran_P_Souvenir_2 =
Keb_harian_14+Keb_Kesehatan_14+Keb_Pendikan_14
Pengguna_Ojek = 0.025*Pengunjung
Penginapan_n_hotel = 0.06*Pengunjung
Pengunjung = Jumlah_Ekowisatawan
Penyewa_mobil = 0.7*Pengunjung
Penyewa_Pemandu = 0.04*Pengunjung
Penyewa_Perahu = 0.027*Pengunjung
Rumah_Makan = 0.075*Pengunjung
Souvenir = Pengunjung*.011
Total_Pendapatan_Lain =
Pendapatan_Lain_Hotel+Pendapatan_Lain_Pemandu+Pendapatan_Lain_P_Perah
u+Pendapatan_Lain_RM+Pendapatan_Lain_Souvenir+Pendapatan_Lain_Tukang
_Ojek+Pendapatan_Lain__Pemilik_Mobil
Untung_Hotel_per_Orang = 50000
Untung_Pedagang = 15000
Untung_RM = 5000
Upah = 50000

186

Penerimaan_Pemerintah(t) = Penerimaan_Pemerintah(t - dt) +


(Pemasukan_Pemerintah) * dtINIT Penerimaan_Pemerintah = 0
INFLOWS:
Pemasukan_Pemerintah =
Dari_Retribusi_Roda_4+Dari_roda2+Dari_Tiket_Masuk
Dari_Retribusi_Roda_4 = Harga_retribusi__roda_4*Jumlah_Roda_4
Dari_roda2 = Harga_retribusi_roda_2*Jumlah_Roda_2
Dari_Tiket_Masuk = Pengunjung*Harga_Tiket
Harga_retribusi_roda_2 = 1000
Harga_retribusi__roda_4 = 2000
Harga_Tiket = 2000
Jumlah_Roda_2 = 422
Jumlah_Roda_4 = 27
Not in a sector

187

Lampiran 7.

Data Sub Model Ekowisatawan

Tabel 27. Data Peningkatan dan Penguranan Jumlah Ekowisatawan


Sesuai Kondisi Saat Ini.
Tahun
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

Jumlah Ekowisatawan
(orang/th)
1535
2166
3057
4313
6086
8588
12119
15542
18660
21502
24091

Peningkatan
(orang/th)
631
890
1257
1773
2502
3531
4982
6389
7672
8840
9904

Pengurangan
(orang/th)
0
0
0
0
0
0
1560
3271
4830
6251
7545

Tabel 28. Data Peningkatan Jumlah Ekowisatawan Akibat Peningkatan Kualitas


Layanan, OWA & Promosi sesuai Kondisi Saat Ini.

Tahun
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

Total Peningkatan
Ekowisatawan
(orang/th)
631
890
1257
1773
2502
3531
4982
6389
7672
8840
9904

Peningkatan (orang/th)
Kualitas Layanan
461
650
917
1294
1826
2577
3636
4663
5598
6451
7227

Kualitas OWA
819
1155
1630
2300
3246
4581
6464
8289
9952
11468
12848

Promosi
614
866
1223
1725
2435
3435
4848
6217
7464
8601
9636

188

Tabel 29. Data Pengurangan Jumlah Ekowisatawan Akibat Indeks Daya Dukung Fisik &
Indeks Persepsi Masyarakat Sesuai Kondisi Saat Ini.
Pengurangan
Ekowisatawan

Tahun
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

0
0
0
0
0
0,00
1.559,62
3.270,99
4.830,24
6.250,88
7.545,25

Indek Daya dukung


fisik
5,86
4,16
2,94
2,09
1,48
1,05
0,74
0,58
0,48
0,42
0,37

Indeks persepsi
masyarakat
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1

Tabel 30. Tabel Penerimaan, Pengeluaran dan Tabungan

Tahun

Tabungan (Rp/Th)
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

0
1.394.059.361
2.849.439.793
4.391.351.069
6.055.366.981
7.891.686.100
9.971.144.192
12.393.698.387
15.148.847.209
18.207.026.692
21.541.300.776

Penerimaan Total
Pengeluaran Total
(Rp/th)
(Rp/th)
1.628.159.361
234.100.000
1.689.480.432
234.100.000
1.776.011.276
234.100.000
1.898.115.912
234.100.000
2.070.419.120
234.100.000
2.313.558.091
234.100.000
2.656.654.195
234.100.000
2.989.248.822
234.100.000
3.292.279.483
234.100.000
3.568.374.084
234.100.000
3.819.926.943
234.100.000

Tabel 31. Data Penerimaan dari Ekowisata dan dari Luar Ekowiata

189

Tahun
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

Penerimaan Total
Penerimaan dari luar
(Rp/Th)
ekowisatawan (Rp/ th)
1.628.159.361,11
1.479.000.000,00
1.689.480.431,79
1.479.000.000,00
1.776.011.275,97
1.479.000.000,00
1.898.115.911,65
1.479.000.000,00
2.070.419.119,77
1.479.000.000,00
2.313.558.091,23
1.479.000.000,00
2.656.654.195,40
1.479.000.000,00
2.989.248.822,48
1.479.000.000,00
3.292.279.482,70
1.479.000.000,00
3.568.374.084,24
1.479.000.000,00
3.819.926.943,42
1.479.000.000,00

Penerimaan dari
Ekowisatawan
(Rp/th)
149.159.361,11
210.480.431,79
297.011.275,97
419.115.911,65
591.419.119,77
834.558.091,23
1.177.654.195,40
1.510.248.822,48
1.813.279.482,70
2.089.374.084,24
2.340.926.943,42

190

Lampiran 8.

Data Sub Model Pendapatan Masyarakat

Tabel 32. Penggunaan Jasa pada Masyarakat Oleh Ekowisatawan

Tahun

Pengguna Jasa (Orang/Th)

Pengunjung/
Ekowisatawan
(Orang/Th)

Penyewa
Mobil

Pengguna
Pemandu

Penyewa
Perahu

Pengunjung
RM

Pengguna
Hotel

Pengguna
Ojek

Pembeli Souvenir

1535

1075

61

41

115

92

38

17

2166

1516

87

58

162

130

54

24

3057

2140

122

83

229

183

76

34

4313

3019

173

116

323

259

108

47

6086

4260

243

164

456

365

152

67

8588

6012

344

232

644

515

215

94

12119

8483

485

327

909

727

303

133

15542

10879

622

420

1166

933

389

171

18660

13062

746

504

1400

1120

467

205

21502

15051

860

581

1613

1290

538

237

10

24091

16863

964

650

1807

1445

602

265

191

Tabel 33.

Tahun

Data Pendapatan Masyarakat

Penerimaan bersih
Total dari
ekowisatawan
(Rp/Th)

149.159.361,11

1
2

Penerimaan bersih( Rp/Th)


Penyewa
Perahu

Pengguna
Pemandu

Pengguna
Ojek

Pengunjung
RM

Penyewa Mobil

6.631.200,00

1.228.000,00

3.837.500,00

4.605.000,00

95.511.111,11

210.480.431,79

9.357.360,00

1.732.844,44

5.415.138,89

6.498.166,67

297.011.275,97

13.204.274,67

2.445.236,05

7.641.362,65

9.169.635,19

419.115.911,65

18.632.698,70

3.450.499,76

10.782.811,75

591.419.119,77

26.292.808,16

4.869.038,55

15.215.745,46

834.558.091,23

37.102.073,74

6.870.754,40

1.177.654.195,40

52.355.148,50

9.695.397,87

1.510.248.822,48

67.141.357,52

1.813.279.482,70

80.613.236,85

2.089.374.084,24

10

2.340.926.943,42

Pembeli
Souvenir

Pengguna Hotel

506.550,00

36.840.000,00

134.776.790,12

714.798,33

51.985.333,33

190.185.026,06

1.008.659,87

73.357.081,48

12.939.374,09

268.372.203,44

1.423.331,15

103.514.992,76

18.258.894,56

378.702.998,19

2.008.478,40

146.071.156,45

21.471.107,49

25.765.328,98

534.392.008,56

2.834.186,19

206.122.631,87

30.298.118,34

36.357.742,01

754.086.500,97

3.999.351,62

290.861.936,09

12.433.584,73

38.854.952,27

46.625.942,72

967.056.589,77

5.128.853,70

373.007.541,77

14.928.377,19

46.651.178,73

55.981.414,48

1.161.096.004,02

6.157.955,59

447.851.315,83

92.887.615,80

17.201.410,33

53.754.407,29

64.505.288,75

1.337.887.470,33

7.095.581,76

516.042.309,98

104.070.938,84

19.272.396,08

60.226.237,75

72.271.485,30

1.498.964.139,63

7.949.863,38

578.171.882,43

192

Lampiran 9. Data Penerimaan Pemerintah

Tabel 34. Data Penerimaan Pemerintah

Tahun
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

Penerimaan
Pemerintah
(Rp/th)
3.546.000
4.808.111
6.589.090
9.102.249
12.648.596
17.652.886
24.714.495
31.559.962
37.796.943
43.479.526
48.656.990

Penerimaan (Rp/Th)
Retribusi Roda 4
54.000
54.000
54.000
54.000
54.000
54.000
54.000
54.000
54.000
54.000
54.000

Retribusi Roda 2
422.000
422.000
422.000
422.000
422.000
422.000
422.000
422.000
422.000
422.000
422.000

Tiket Masuk
3.070.000
4.332.111
6.113.090
8.626.249
12.172.596
17.176.886
24.238.495
31.083.962
37.320.943
43.003.526
48.180.990

193

Lampiran 10. Foto Kegiatan Penelitian

Fokus Group Discussion dengan Balai TNBT dan Mitra Kerjanya


di Kantor Balai TNBT, Rengat.

Diskusi informal dengan Kepala Balai TNBT, Kades Talang


Lakat, staf Balai TNBT di Kantor Camat Batang Gansal

194

Penjelasan tentang perlunya integrasi pengelolaan TNBT pada saat


diskusi di Kantor DPRD Kabupaten Indragiri Hulu, Rengat

Tanggapan oleh Anggota DPRD dan Aparat Pemerintah


Kabupaten Indragiri Hulu, Rengat

195

Penjelasan tentang kondisi kawasan TNBT oleh Kepala Balai TNBT


pada diskusi di Kantor Pemerintah Kabupaten Indragiri Hilir, Tembilahan

Penjelasan oleh Kepala Dinas Pertambangan Energi dan


Lingkungan Hidup Kab. Indragiri Hilir (kanan)

196

Pengamatan lapangan ke lokasi perambahan hutan


di daerah penyangga TNBT di Desa Kritang, Kec. Kemuning.
Kab. Indragiri Hilir, Riau.

Pengamatan lapangan ke lokasi kebakaran di daerah


penyangga TNBT di Desa Talang Lakat Kec. Batang Gansal.
Kab. Indragiri Hulu, Riau.

197

Diskusi informal dengan Anggota DPRD Kab. INHU dan aparat


Kecamatan Batang Gansal di Lokasi Ekowisata Granit, TNBT

Pembuatan souvenir oleh masyarakat lokal

198

Suku Talang Mamak ke luar kawasan TNBT untuk menjual


hasil hutan berupa petai

Jernang (Daemonorps draco) merupakan hasil hutan


yang bernilai ekonomis tinggi

199

Ekowisatawan dengan latar belakang


rumah Suku Talang Mamak di kawasan TNBT

Contoh interaksi antara ekowisatawan dengan


anak-anak Suku Talang Mamak di kawasan TNBT

200

201

202

Pengamatan lapangan
dan studi literatur

Kondisi
keintegrasian
pengelolaan
TNBT.

Wawancara dengan staf Balai


TNBT dan aparat Pemda

Persepsi dan
keterlibatan
masyarakat
dalam
pengelolaan
ekowisata
TNBT.

Wawancara dengan
masyarakat tradisional
Wawancara dengan masyarakat
daerah penyangga

FG D
dengan
pengelola
TNBT dan
mitra
kerjanya

Analisis
SWOT

Struktur
Hierarki
AHP

Wawancara dengan
ekowisatawan
Wawancara dengan staf Balai
TNBT dan aparat Pemda

Citra Landsat
Peta kawasan TNBT
Peta wilayah kerja perusahaan

Faktor-faktor Strategis dan


Alternatif Program
pengembangan pengelolaan
TNBT secara terintegrasi
berbasis ekowisata

Pengisian
kuesioner AHP
oleh pakar
terpilih

( SWOT + AHP )

Tingkat kepentingan
relatif masing-masing
elemen pada setiap
tingkatan hierarki

Analisis
Supply dan
Demand

Analisis
Spasial

AWOT

Prioritas program
pengembangan
pengelolaan
TNBT secara
terintegrasi
berbasis
ekowisata

MODEL
PENGEMBANGAN
PENGELOLAAN
TNBT SECARA
TERINTEGRASI
BERBASIS
EKOWISATA

Analisis
Sistim
Dinamik

Sub Model
Ekowisatawan
Sub Model
Pendapatan
Masyarakat
Sub Model
Penerimaan
Pemerintah

Potensi
pengembangan
ekowisata TNBT
( supply dan demand )

Peta kondisi tutupan hutan TNBT


Peta tata ruang daerah penyangga TNBT
Laju kerusakan hutan TNBT

Gambar 10. Diagram Aliran Informasi

53

S ub Mo d el E k o wis a t a wa n

Media C et ak

S ub Model P endapat an P em erint ah

F ak tor R otas i
K e b u t u h a n A re a u t k W is a t a wa n

E lek t ronik

P am eran

H arga ret ribus i


roda 2

Luas Y ang
D ig u n a k a n O W A

H arga ret ribus i


roda 4

J um lah R oda 2

R at e wis at awan k rn prom os i


P rom os i

D D F D a y a d u k u n g F is ik

R a t e wis at awan k rn
K ualit as Lay anan

Lay anan

H a rg a Tik e t

J um lah E k o wis a t a wa n

J u m lah R oda 4
D ari R et ribus i R oda 4

D ari roda2

P enerim aan P em erint ah


P eningk at an

P e n g u ra n g a n

I n d e k s P e rs e p s i t h d
K e ru s a k a n h u t a n

Luas H utan

D a ri Tik et Mas uk
P em as uk an P em erint ah

K ualit as Lay anan


P e n u ru n a n L u a s H u t a n
K ualit as O W A

L u a s TN

R at e wis at awan
k rn K ualit as O W A
L u a s K e ru s a k a n H u t a n

R a t e K e ru s a k a n H u t a n
S arana J alan
F as ilit as J um lah O W A

S ub Mo d e l P e n d a p a t a n Ma s y a ra k a t

P e n g u n ju n g
G ra p h 1
P eny ewa P erahu

P eny ewa m obil

P engguna O jek

P e n y e wa P e m a n d u

K elom pok

K e lo m p o k 3

K elom pok 2
Lam a S ewa perahu

K eunt ungan per ojek

K eu n t u ngan per perahu

R u m a h Ma k a n

P e n g in a p a n n h o t e l

J u m la h R M

Lam a S ewa P e m a n d u
U pah

U ntung R M

Ta b le 1

S o u v e n ir

Pedagang
U n t u n g H o t e l J m lh H o t e l
U ntung Pedagang
p e r O ra n g

K eunt ungan per m obil


P endapat an
P erahu

Lam a S ewa m obil


P endapat an
O jek

Pendapatan
RM

P en d a p a t a n
pe m a n d u

Ta b le 2

Table 3

Pendapatan
S o u v e n ir

Pendapatan H otel

P endapat an
S ewa m obil

en
b 8
P e n d ik a n 8
K e b K e s e h aKt a
K e b h a ria n 8

en
b 9
P e n d ik a n 9
K e b K e s e h aKt a
K e b h a ria n 9

P enerim aan E k owis a t a


P enda pat an Lain
Tuk an g O jek
P e n g e lu a ra n
P P e ra h u 2

P endapat an Lain
P em ilik Mobil

en
b 1
P0e n d ik a n 1 0
K e b K e s e h aKt a
K e b h a ria n 1 0

P e n g e lu a ra n
P Mo b il 2
P endapat an Lain
P P erahu

P e n g e lu a ra n To t a l

P enerim aan Tot a l

P e n g e lu a ra n
P O je k 2

Ta b u n g a n

Tot al P endapat an Lain


K e b h a ria n 1 1
P e n g e lu a ra n
Pem andu 2

P endapat an Lain
P em andu
P e n g e lu a ra n
P S o u v e n ir 2

P endapat an L ain
RM

P e n g e lu a ra n
P H otel 2

Keb Kes ehatan 11

P e n g e lu a ra n
P RM 2
K e b P e n d ik a n 1 1

K e b h a ria n 1 3
P e ndapat an Lain
H ot el

P endapat an Lain
S ouv enir

K eb ha ria n 1 4
en
b 1
P4e n d ik a n 1 4
K e b K e s e h aKt a

en
b 1
P2e n d ik a n 1 2
K e b K e s e h aKt a
en
b 1
P3e n d ik a n 1 3
K e b K e s e h aKt a
K e b h a ria n 1 2

132
Gambar 48. Struktur Model Dinamik Pengembangan Pengelolaan TNBT Secara Terintegrasi Berbasis Ekowisata

Gambar 17. Peta Kawasan TNBT Berdasarkan Draft RTRW Prop. Jambi Tahun. 2009
77

Gambar 16. Peta Kawasan TNBT Berdasarkan Draft RTRW Prop. Riau Thn. 2009
76

Uji coba Instrument


Penelitian

RANCANGAN PENELITIAN

Menemukan Topik
Penelitian

Pendefinisian Ruang
Lingkup

Pendefinisian
Pertanyaan penelitian

(Tipe, tujuan, kerangka waktu, bidang, lingkungan)

Usulan Penelitian

Rancangan
koleksi data

Ukuran contoh
dan rencana
seleksi
responden

Pengumpulan Data
( sekunder dan primer )

Analisis Data

Penyusunan Disertasi

Penyusunan instrumen penelitian

Gambar 6. Tahapan Pelaksanaan Penelitian


(Dimodifikasi dari Eriyatno dan Fadjar Sofyar, 2007)

37

You might also like