Professional Documents
Culture Documents
Dwi Rohman PDF
Dwi Rohman PDF
Dwi Rohman PDF
PENDAHULUAN
Dalam sistem budaya masyarakat Indonesia sebagai masyarakat yang majemuk yang
terdiri beraneka ragam suku bangsa, ritus/upacara, merupakan salah satu unsur budaya yang
mempunyai eksistensi fungsional. Upacara yang kita amati sebagai wujud tradisi masa kini
sebenarnya berakar pada sejarah yang terjadi di masa lampau.
Suwardi Endraswara (2003:194), menggambarkan bagaimana mitos mewarnai kehidupan
orang Jawa, kehidupan orang Jawa banyak dipengaruhi mitos, hal ini tampaknya berkaitan
dengan paham kejawen yang mereka anut. Mitos di Jawa erat kaitannya dengan keyakinan atau
kepercayaan. Menurut sejarahnya, mitos mengikuti dan berkaitan erat dengan ritual. Mitos
adalah bagian ritual yang diucapkan, cerita yang diperagakan oleh ritual. Ritus merupakan
fenomena budaya yang kaya akan lambang-lambang. Dalam ritus, mengendap nilai-nilai,
norma-norma, aturan-aturan sebagai aspek ideal. Lambanglah yang telah mengubah gagasan
manusia menjadi wujud riel kebudayaan. Kebudayaan pada hakekatnya merupakan perangkat
lambang yang bermakna (Geertz, 1989:52).
Ritus sebagai fenomena budaya yang kaya akan lambang pada hakekatnya bermakna
ganda. Di satu sisi merupakan kegiatan yang berfungsi religius dan disisi lain mempunyai
fungsi sosial. Dikatakan bermakna religius karena berkaiatan dengan aspek supranatural dan
dikatakan bermakna sosial karena kegiatan ritus tersebut melibatkan masyarakat pendukung
kebudayaan. Ritus labuh sesaji di Telaga Sarangan sebagai salah satu tradisi masyarakat
Sarangan yang dilaksanakan setahun sekali tepatnya pada hari Jumat Pon bulan Ruwah. Labuh
sesaji ini dilakukan untuk memohon agar penunggu Telaga Sarangan tidak marah sebab, bila
tidak dilakukan labuh sesaji, diyakini oleh masyarakat bahwa penunggu Telaga Sarangan akan
marah sehingga membuat bencana alam di Sarangan khususnya.
Fungsi mitos menurut Mulyono (1989:28) ada tiga yaitu:
1. Fungsi Religius
Sebagai fungsi religius, mitos dianggap dapat memberikan kesadaran kepada manusia
bahwa dalam alam semesta itu ada kekuatan gaib, dalam hal itu
manusia ikut
atau memecahkan berbagai kontradiksi empiris yang tidak terpahami oleh nalar manusia
(deep structure) suatu masyarakat (http://asepyudha. staff.uns.ac.id/2009/05/27/pelapisansosial-dan-kekuasaan-dalam-mitoswatugunung-sebuah-telaah-ringkas-strukturalantropologis-levi-strauss/).
Ritus adalah tata cara dalam upacara keagamaan (Dep.P dan K, 1988:75). Sedangkan
menurut Preusz (dalam Koentjaraningrat, 1985:32) menyatakan bahwa ritus atau upacara
religi bersifat kosong tak bermakna, apabila tingkah laku manusia di dalamnya di dasarkan
pada akal rasional dan logika, tetapi secara naluri manusia memiliki suatu emosi mistikal
yang mendorongnya untuk berbakti kepada kekuatan tinggi yang anehnya tampak kongkret di
sekitarnya dalam kaitan dengan alam.
Menurut Roberston (dalam Koentjaraningrat, 1985:32), ada tiga gagasan penting untuk
menambah pengertian ritus, yaitu mengenai asas-asas dari religi dan agama pada umumnya.
Pertama, bahwa di samping sistem keyakinan dan doktrin, sistem upacara juga penting.
Dalam agama upacaranya itu tetap, walaupun latar belakang, keyakinan, maksud, dan
doktrinnya berubah. Kedua, bahwa upacara religi atau ritus biasanya dilakukan oleh banyak
warga masyarakat pemeluk religi atau agama yang bersangkutan bersama-sama, maupun
fungsi sosial untuk mengintensifkan solidaritaskan masyarakat. Ketiga, fungsi ritus yaitu
pada dasarnya sebagai suatu aktifitas untuk mendorong rasa solidaritas dengan apa yang
diyakini (Smith dalam Koentjaraningrat,1985:24).
Wujud dari ritus biasanya berbentuk aktifitas sebagai wujud adanya emosi keagamaan,
seperti pendapat Koentjaraningrat (1985:44) bahwa sistem ritus dan upacara dalam suatu
religi berwujud aktivitas dan tindakan manusia dalam melaksanakan kebaktiannya terhadap
Tuhan, dewa-dewa, roh nenek moyang, mahkluk halus, dan dalam
usahanya untuk
berkomunikasi dengan Tuhan dan penghuni gaib lainnya. Ritus atau upacara religi biasanya
berlangsung berulang-ulang, baik setiap hari, setiap musim, atau kadang-kadang saja. Jadi
dapat disimpulkan ritus adalah perilaku dan sikap yang bisa berwujud upacara, pemujaan,
ziarah, doktrin, larangan, pantangan, bersujud, berkorban, dan sebagainya dengan tujuan
untuk memperoleh atau mendapatkan sesuatu yang diharapkan dan menghindari sesuatu yang
tidak diinginkan dengan berdasarkan pada kepercayaan atau keyakinan yang ada. Ritus
memiliki sifat turun temurun dari generasi ke generasi berikutnya.
Strukturalisme berasal dari konsep yang dikemukakan oleh antropologi Claude LeviStrauuss (dalam Shri Ahimsa-Putra, 2001:67) memiliki sejumlah asumsi dasar. Pertama,
dalam strukturalisme ada anggapan bahwa aktivitas sosial dan hasil, seperti dongeng,
upacara-upacara, sistem-sistem kekerabatan dan perkawinan, pola tempat tinggal, pakaian,
dan sebagainya, secara formal semuanya dapat dikatakan sebagai bahasa-bahasa, atau lebih
tepatnya merupakan perangkat tanda dan simbol yang menyampaikan pesan-pesan tertentu.
Kedua, para pengamat strukturalisme beranggapan bahwa dalam diri manusia terdapat
kemampuan dasar yang diwariskan secara genetis, sehingga kemampuan ini ada pada semua
manusia yang normal. Adanya kemampuan ini membuat manusia (seolah-olah) melihat
struktur di balik berbagai macam gejala. Gejala dipandang memiliki strukturnya sendirisendiri, yang disebut sebagai surface structure atau struktur permukaan struktur luar. Struktur
yang ada pada sebuah mitos, suatu sistem kekerabatan, sebuah kostum, sebuah ritual, tata
cara memasak, dan sebagainya merupakan struktur-struktur permukaan.
Menurut Shri Ahimsa-Putra (2001-92), analisis struktural Levi-Strauss atas mitos
sebenarnya juga diilhami oleh teori informasi atau lebih tepat teori komunikasi. Dalam
perspektif teori ini mitos bukan hanya dongeng pengantar tidur, tetapi merupakan kisah yang
memuat sejumlah pesan, yang diasumsikan bahwa pengirim pesan adalah orang-orang dari
generasi terdahulu, para nenek moyang, dan penerimanya adalah generasi sekarang. Jadi di
situ ada komunikasi anatara dua generasi, tetapi bersifat satu arah.
Dengan dasar beberapa pandangan di atas, Levi-Strauss (dalam Ahimsa-Putra, 2001:94)
menetapkan landasan analisis struktural terhadap mitos sebagai berikut. Pertama, bahwa jika
mitos dipandang sebagai sesuatu yang bermakna, maka makna ini tidaklah terdapat pada
unsur-unsurnya yang berdiri sendiri, yang terpisah satu dengan yang lain. Cara
mengkombinasikan unsur-unsur mitos inilah yang menjadi tempat bersemayamnya sang
makna. Kedua, walaupun mitos termasuk kategori bahasa, namun mitos bukanlah sekedar
bahasa. Artinya, hanya ciri-ciri tertentu saja dari mitos yang bertemu dengan ciri-ciri bahasa.
Menurut Ahmadi dan Uhbiyati (1991) bahwa nilai dalam sastra dapat menuntun segala
kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota
masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya. Dalam
teori di atas, tersirat pengertian bahwa pendidikan merupakan usaha untuk membentuk nilai
hidup, sikap hidup, kepribadian, dan intelektualitas seseorang. Diyakini bahwa di dalam
cerita rakyat terkandung nilai-nilai pendidikan yang cukup banyak.
Metode
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif deskriptif. Penelitian lebih menekankan
proses dan makna. Dalam penelitian ini informasi yang bersifat kualitatif dideskripsikan
secara teliti dan analitis. Pendeskripsian meliputi struktur mitos, makna mitos, serta unsur
ritus, urutan ritus atau deskripsi ritus, makna ritus, dan nilai edukatif.
Sebagai penelitian kualitatif, penelitian ini memiliki karakteristik seperti yang dikatakan
Bogdan Biklen (dalam Aminudin, 1990:14), yaitu (1) natural setting sebagai sumber data
langsung dan instrumen kuncinya adalah peneliti sendiri, (2) bersifat deskriptif, (3) lebih
mengutamakan proses daripada hasil, (4) analisis data secara induktif, dan (5) makna atau
meaning merupakan perhatian utama.
Sesuai dengan jenis penelitian, yakni penelitian kualitatif, maka penelitian ini
menggunakan metode deskriptif. Penelitian sastra yang menggunakan metode seperti ini
tidak hanya terbatas pada pengumpulan dan penyusunan data, tetapi meliputi analisis dan
interpretasi data (Surakhmad, 1982:139).
Data penelitian ini berupa paparan kebahasaan yang berbentuk informasi verbal lisan
mengenai cerita asal mula terjadinya telaga Sarangan dan asal mula labuh sesaji. Data
penelitian yang berupa tuturan lisan ini ditranskripsikan menjadi paparan/tuturan tertulis.
Data lain berupa hasil observasi dalam bentuk catatan langsung terutama perilaku-perilaku
ritus yang dijalankan.
Informan penelitian yang dipilih dalam penelitian ini adalah seseorang yang dapat
memberikan informasi secara lengkap dan akurat, yaitu sesepuh desa Sarangan, kepala desa,
dan informan dari dinas Pariwisata Kabupaten Magetan.
Lokasi atau tempat yang ditetapkan dalam penelitian ini cerita Kyai Pasir dan Nyai
Pasir di Telaga Sarangan. Penelitian ini pengumpulan data dilakukan langsung ke tempattempat sumber data yang sudah ditentukan.
Perekaman dilakukan untuk merekam semua pernyataan informan. Hal ini dilakukan
pada saat wawancara antara informan dan peneliti. Perekaman digunakan untuk menjaring
data cerita asal mula Labuh Sesaji di Telaga Sarangan dan masyarakat pendukung ritus.
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif.
Analisis data merupakan proses mencari dan mengatur secara sistematis transkrip
wawancara, catatan lapangan dan bahan-bahan dokumentasi untuk tujuan pemahaman bahanbahan tersebut, sehingga memungkinkan dapat dilaporkan hasil penelitian ini pada pihak lain.
1) Alur Awal
Pada cerita legenda Telaga Sarangan ditemukan alur awal yaitu pada bagian
cerita bahwa, hidup sepasang suami istri yang tidak diketahui dari mana asalnya dan
membangun sebuah pondok di lereng timur Gunung Lawu, tepatnya di Ngelo, yaitu
sebelah utara lingkungan Sarangan sekarang. Bertahun-tahun mereka hidup
berdampingan tidak dikaruniai anak, akhirnya mereka bersemedi meminta kepada
Hyang Widhi agar dikaruniai anak dan akhirnya dikaruniai anak laki-laki.
2) Alur Tengah
Cerita selanjutnya ditemukan alur tengah yaitu pada bagian cerita berikut;
Pasangan suami istri yang menyebutkan diri, Kyai dan Kyai Pasir. Kemudian
Kyai Pasir pergi bertapa di tempat yang sepi. Dalam semedinya, Kyai Pasir
mendapat wangsit bahwa cita-citanya akan terwujud bila dapat menemukan dan
memakan telur di dekat ladangnya. Dengan senangnya sebutir telur yang dicari dan
didapatkan tersebut dibawa pulang. Sesampainya di rumah lalu diberitahukan
kepada istrinya, lalu direbus oleh Nyai Pasir. Setelah telur masak kemudian dibagi
menjadi dua, separuh dimakan Kyai Pasir dan separuhnya lagi dimakan Nyai Pasir.
3) Alur Akhir
Di akhir cerita bahwa ditemukan data sebagai berikut;
Melihat niat jahat kedua orang tuanya itu, semedi Djoko Lilung semakin kuat
dengan maksud agar niat jahat Kyai dan Nyai Pasir tidak diteruskan. Semedi
Djaililung diterima dan cekungan yang dibuat Kyai dan Nyai Pasir belum dalam,
sudah timbul kesadarannya/insyaf bahwa niatnya itu buruk, maka diurungkannya niat
jahat tersebut. Mereka berdua akan kembali ke Sarangan malu dan akhirnya murco
(menghilang) di cekungan yang baru tadi.
b. Tokoh Mitos Labuh Sesaji
Dalam mitos labuh sesaji ini digolongkan menjadi dua yaitu tokoh utama dan tokoh
bawahan.
1) Tokoh Utama
Dalam cerita mitos di Telaga Sarangan, tokoh utamanya Kyai Pasir dan Nyai
Pasir.
2) Tokoh Bawahan
Dalam mitos di Telaga Sarangan, tokoh bawahannya adalah Djoko Lilung
anak dari Kyai dan Nyai Pasir.
c. Latar Mitos Labuh Sesaji
Dalam cerita ini latar yang pertama adalah latar tempat, ini dikuatkan dengan
kutipan cerita berikut.
Dalam semedinya, Kyai Pasir mendapat wangsit bahwa cita-citanya akan terwujud
bila dapat menemukan dan memakan telur di dekat ladangnya.
d. Amanat Labuh Sesaji
Dalam cerita mitos Telaga Sarangan tersebut kita dapat menemukan pada cerita
bahwa seorang anak yang mau mendoakan orang tuanya yang mempunyai niat jahat
untuk tidak meneruskan niat jahatnya. Seorang anak dengan tekadnya yang kuat akan
kepercayaan untuk memohon kepada Sang Pencipta agar orang tuanya diberikan
kesadaran akan tindakannya yang salah.
2. Struktur Ritus
a. Alur Labuh Sesaji di Telaga Sarangan
Dalam penelitian ini alur dibagi menjadi alur awal, tengah, dan akhir.
1) Alur Awal
Labuh sesaji dimulai dengan mempersiapkan semua yang diperlukan dalam
labuh sesaji yaitu berupa penyediaan bahan, alat, pakaian atau busana, dan panitia
(pelaku) baik panitia yang membuat sesaji maupun panitia pada waktu pelaksanaan.
2) Alur Tengah
Pada bagian ini labuh sesaji pada kegiatan pelaksanaan atau prosesi. Setelah
semua sesaji siap, lalu dikumpulkan menjadi satu di balai desa kemudian dibawa ke
punden. Sesampainya di punden, sesaji dibacakan doa oleh sesepuh desa yaitu Mbah
Parto Sentono.
3) Alur Akhir
Setelah sesaji dibacakan doa oleh sesepuh desa maka, semua sesaji dibawa ke
tengah telaga dengan perahu untuk dilarungkan.
b. Tokoh Labuh Sesaji di Telaga Sarangan
1) Tokoh Utama
Dalam labuh sesaji di Telaga Sarangan, Kepala Desa digambarkan sebagai
seseorang yang tinggal di sekitar Telaga Sarangan. Mereka tinggal disana dengan
berbagai kesibukan dalam mengatur rumah tangganya sendiri-sendiri maupun rumah
tangga pemerintahan.
2)
Tokoh Bawahan
Dalam labuh sesaji Telaga Sarangan, tokoh prajurit, pengapit sesepuh, dan
pembawa penarung adalah sekelompok orang yang mempunyai tugas membantu
kepala desa untuk mengadakan upacara labuh sesaji.
Sekar telon gondo wangi terdiri dari tiga macam bunga yaitu:
(a) bunga melati, (b) bunga kanthil, (c) bunga kenanga
4) Panggang ayam tulak rojo muko/panggang tumpeng Panggang tumpeng
terdiri dan: (a) panggang ayam 1 buah, (b) nasi tumpeng dengan lauk-pauk
dan sayur-mayur
5) Pisang ayu apupus cindhe
Pisang ayu apupus cindhe terdiri dari 2 macam pisang yaitu:
(a) pisang rojo
(b) pisang ambon hijau
6) Jenang sapto warno
Sesuai dengan namanya jenang ini terdiri dari 7 macam jenis warna yaitu :
(a) jenang merah, (b) jenang putih, (c)
(e) jenang merah yang bagian tengahnya diberi sedikit jenang warna kuning,
(f)
jenang putih yang bagian tengahnya dan beri sedikit jenang warna
hitam, (g) jenang putih yang bagian tengahnya diberi sedikit jenang warna
merah.
7) Arang-arang kambang
Arang-arang kambang berupa dawet ketan yang dilengkapi dengan juruh.
8) Asahan bekti pertiwi
Asahan bekti pertiwi terdiri dari senampan nasi dengan bermacam-macam
lauk pauk.
9) Golong hangesti tunggal
Golong hangesti tunggal berupa nasi golong yang dibuat bulat-bulat, yang
jumlahnya sembilan.
10) Pudak ripih widodari
Pudak ripih widodari terdiri dari 17 macam makanan yaitu;
(a) panggang ayam, (b)u dari minyak tanah (lampu ublek) 2 buah, (c) pisang
godog, (d) pisang yang sudah masak, (e) kelapa tua 2 buah yang sudah
dikupas kulitnya, (f) mayang 2 buah ditaruh diatas piring, (g)jajanan, (h) mie
goreng, (i) kupat-lepet 2 piring, (j) kendi (tempat air dari tanah liat yang
kecil) 2 buah, (k)botok tawon, (1) botok tempe, (m) botok asren, (n) nasi 2
piring, (o) wawa 2 bongkeh yang ditaruh di atas layah, (p) ngantenan (orangorangan yang dibuat dari jenang merah), (q) gorengan
11) Rojo tetukulan
Rojo tetukulan ini semua hasil pertanian yang ada di Desa Sarangan. Semua
sesaji tersebut di atas dijadikan satu, dinamakan Sesaji Agung.
b) Prosesi
Prosesi dimulai dari dari Balai Kelurahan Sarangan. Dari tempat ini prosesi
diawali dengan barisan yang diatur sesuai dengan formasi yang telah dijelaskan di
atas. Prosesi ini dilakukan dengan berjalan kaki kecuali pasukan berkuda yang
berjumlah empat orang naik kuda dengan jarak kurang lebih 0,5 km dan berhenti
di punden sebelah timur telaga.
b. Pakaian / Busana
Dalam acara Labuh Sesaji di Telaga Sarangan, untuk pakaian tidak ada ketentuan
khusus pakaian yang harus dikenakan pada setiap rangkaian kegiatan sejak mulai
persiapan, maupun pelaksanaan. Artinya, bahwa tidak ada keharusan untuk memakai
pakaian tertentu dalam pelaksanaan ritus tersebut. Walaupun demikian, dari tradisi
pelaksanaan ritus yang sudah berjalan dari tahun ke tahun nampaknya memunculkan
kebiasaan mengenai jenis pakaian yang sering digunakan dalam pelaksanaan Ritus
Labuh Sesaji di Telaga Sarangan. Berikut ini diuraikan jenis pakaian yang biasa
dikenakan dalam penyelenggaraan kegiatan tesebut.
a) Sesepuh Desa
Untuk sesepuh desa memakai pakaian Jawa lengkap dengan blangkon, memakai
keris. Pakaian atas berwarna gelap atau hitam sedangkan pakaian bawah
mengenakan jarik.
b) Prajurit Berkuda
Untuk prajurit berkuda dengan jumlah empat orang mengenakan ala penganten
Jawa laki-laki pakai kuluk.
c) Subo Manggolo (Cucuk Laku)
Pakaian Subo Manggolo mengenakan pakaian Jawa lengkap dengan blangkon,
memakai keris, dan berkalungkan bunga melati putih.
d) Pembawa Penarung
Pembawa penarung mengenakan pakaian Jawa lengkap.
e) Pengapit Sesepuh Desa
Pakaian pengapit sesepuh desa mengenakan pakaian Jawa lengkap dengan
blangkon
f) Kepala Kelurahan
Bapak Lurah dan istri mengenakan pakaian ala pengantin Jawa.
yaitu berupa penyediaan bahan, alat, pakaian atau busana, dan panitia (pelaku) baik
panitia yang membuat sesaji maupun panitia pada waktu pelaksanaan. Untuk penentuan
waktu pelaksanaan sudah ditentukan yaitu pada hari Jumat Pon bulan Ruwah.
2) Alur Tengah
Pada bagian ini labuh sesaji pada kegiatan pelaksanaan atau prosesi. Setelah semua
sesaji siap, lalu dikumpulkan menjadi satu di balai desa kemudian dibawa ke punden.
Sesampainya di punden, sesaji dibacakan doa oleh sesepuh desa yaitu Mbah Parto
Sentono.
3) Alur Akhir
Setelah sesaji dibacakan doa oleh sesepuh desa maka, semua sesaji dibawa ke tengah
telaga dengan perahu untuk dilarungkan. Mereka meyakini bahwa dengan melarungkan
di tengah telaga semua sesaji akan dimakan Kyai dan Nyai Pasir yang berada di dasar
telaga.
b. Tokoh Labuh Sesaji
1) Tokoh Utama
Dalam labuh sesaji di Telaga Sarangan, Kepala Desa digambarkan sebagai seseorang
yang tinggal di sekitar Telaga Sarangan. Mereka tinggal disana dengan berbagai
kesibukan dalam mengatur rumah tangganya sendiri-sendiri maupun rumah tangga
pemerintahan. Jadi dapat disimpulkan bahwa tokoh tersebut merupakan tokoh utama
karena tokoh kepala desa banyak berperan dan banyak mengambil tindakan dalam
peristiwa labuh sesaji.
2) Tokoh Bawahan
Dalam labuh sesaji Telaga Sarangan, tokoh prajurit, pengapit sesepuh, dan pembawa
penarung adalah sekelompok orang yang mempunyai tugas membantu kepala desa
untuk mengadakan upacara labuh sesaji.
c. Latar Labuh Sesaji di Telaga Sarangan
Seperti sudah dijelaskan dalam kajian pustaka, latar cerita adalah tempat, waktu,
peristiwa, dan benda-benda tertentu yang berfungsi melogiskan peristiwa. Mengacu pada
pengertian tersebut, latar labuh sesaji di Telaga Sarangan dapat diklasifikasikan menjadi tiga
macam, yaitu (1) latar ruang (tempat), (2) latar waktu, dan (3) latar suasana.
1) Latar ruang (tempat)
Latar ruang (tempat) merupakan keterangan tentang ruang (tempat) terjadinya peristiwa
Telaga Sarangan yang kemudian untuk memperingati peristiwa tersebut diadakannya
labuh sesaji. Pada labuh sesaji di Telaga Sarangan yang paling dominan adalah ruang
alam bebas yakni Telaga Sarangan itu sendiri (tempat menghilangnya Kyai dan Nyai
Pasir).Dari pernyataan di atas, dapat kita simpulkan bahwa gambaran ruang (tempat)
labuh sesaji di Telaga Sarangan terdiri atas tempat nyata.
2) Latar Waktu
Dalam labuh sesaji di Telaga Sarangan, latar waktu labuh sesaji tampak jelas, yakni
dieksplisitkan sama (tidak berubah) dengan labuh sesaji pada waktu dulu yang dilakukan
setiap selapan hari (35 hari), hari Kamis Pahing malam Jumat Pon.
3) Latar Suasana
Latar suasana merupakan keterangan tentang suasana berlangsungnya peristiwa labuh
sesaji di Telaga Sarangan. Adapun latar suasana dalam labuh sesaji di Telaga Sarangan
dapat diuraikan sebagai berikut :
1) Suasana cemas, tergambar pada saat prosesi upacara dilaksanakan, karena sesepuh
desa merasa cemas dan takut apabila sesaji yang dipersembahkan kepada Kyai Pasir
dan Nyai Pasir (diyakini penguasa Telaga Sarangan ) tidak diterima.
2) Suasana sakral, tergambar pada saat upacara berlangsung di punden yang diiringi
dengan pembacaan doa yang ditujukan kepada-Nya dan pelarungan sesaji tengah
telaga, agar warga Sarangan diberi rezeki dan keselamatan dari berbagai bencana
alam yang disebabkan oleh penghuni Telaga Sarangan yang marah.
d. Amanat Labuh Sesaji di Telaga Sarangan
Amanat labuh sesaji di Telaga Sarangan, yang mengandung ajaran budi pekerti
yang patut dicontoh dan dikerjakan, juga mengandung falsafah hidup yang patut
direnungkan dan dilaksanakan.
2. Makna Mitos Labuh Sesaji di Telaga Sarangan
Setiap terjadi bencana alam di Sarangan yang berupa angin topan, hujan lebat, kabut tebal
yang datang secara tiba-tiba dan berlangsung berhari-hari. Kejadian yang mengerikan ini
tidak lain adalah ulah Kyai dan Nyai Pasir yang sedang marah. Oleh sebab itu, sesepuh
desa Sarangan membuat penolak balaknya yaitu dengan membuat sesaji.
3. Ritus Labuh Sesaji di Telaga Sarangan
Dari peristiwa-peristiwa yang melanda keluarga Kyai dan Nyai Pasir, akhirnya masyarakat
sekitar menyakralkan peristiwa tersebut dengan cara membuat sesaji yang diletakkan di
punden yang letaknya di pinggir telaga. Ini dilakukan setiap selapan hari (35 hari) sekali
tepatnya hari Kamis Pahing malam Jumat Pon dan juga dilarungkan ke Telaga Sarangan.
Hal ini biasanya dilakukan setahun sekali, tepatnya hari Jumat Pon bulan Ruwah.
Seperti lambang dalam wujud upacara, yang besar sekali pengaruhnya terhadap tata
Nya.
b. Makna Secara Horisontal
Dengan mengacu pendapat Santoso (dalam Moertjipto dkk, 1997:101) fungsi
upacara tradisional pada masyarakat pendukungnya, mempunyai 4 tujuan yaitu sebagai
: (1) norma sosial, (2) pengendali sosial, (3) media sosial, (4) pengelompokan sosial.
Seperti diketahui bahwa dalam upacara tradisional terdapat simbol-simbol yang
bermakna positif dan mengandung nilai-nilai atau norma-norma sosial.
Ditinjau dari segi horisontal, labuh sesaji di Telaga Sarangan lebih bermakna untuk
membangun solidaritas sosial antara sesama masyarakat Sarangan dan dengan para
pejabat pemerintah. Dalam kondisi seperti ini stratifikasi sosial bukan lagi hal yang
ditonjolkan, maka ini merupakan kesempatan yang baik untuk memupuk semangat
persatuan, menumbuhkan jiwa gotong-royong serta tenggang rasa antara sesama warga
masyarakat.
5. Nilai Edukatif dalam Mitos dan Ritus Labuh Sesaji di Telaga Sarangan
a. Nilai Moral
Dalam mitos dan ritus labuh sesaji ini, ditemukan nilai moral pada cerita Djoko
Lelung melihat bahwa kedua orang tuanya berubah menjadi ular dan ingin membuat
genangan air sebanyak-banyaknya untuk menenggelamkan gunung Lawu.
Mengetahui niat jahat kedua orang tuanya itu, Djoko Lelung bersemedi agar orang
tuanya tidak meneruskan niat jahatnya untuk menenggelamkan gunung Lawu. Di
situlah letak bahwa sikap seorang anak mengingatkan dan mendoakan orang tuanya
yang menyimpang dan berniat jahat akan merugikan orang banyak dan orang tuanya
pun insyaf bahwa niatnya itu buruk.
b. Nilai Adat (Tradisi)
Nilai adat (tradisi) yang terdapat dalam mitos dan ritus labuh sesaji ini adalah
fungsi upacara tradisional pada masyarakat pendukungnya, mempunyai empat
tujuan yaitu sebagai : (1) norma sosial, (2) pengendali sosial, (3) media sosial, (4)
pengelompokan sosial. Ritus labuh sesaji di Telaga Sarangan lebih bermakna untuk
membangun solidaritas sosial antara sesama masyarakat Sarangan dan dengan para
pejabat pemerintah. Dalam kondisi seperti ini stratifikasi sosial bukan lagi hal yang
ditonjolkan, maka ini merupakan kesempatan yang baik untuk memupuk semangat
persatuan, menumbuhkan jiwa gotong-royong serta tenggang rasa antara sesama
warga masyarakat Sarangan khususnya.
c.
Simpulan
Berdasarkan pemaparan data di atas maka, dapat ditarik simpulan:
1. Struktur mitos labuh sesaji di Telaga Sarangan
Alur labuh sesaji di Telaga Sarangan adalah (a) alur awal yang dimulai dimulai
dengan mempersiapkan semua bahan, alat, sesaji, pakaian, dan personalia yang
diperlukan dalam labuh sesaji, (b) alur tengah ini pada pelaksanaan atau prosesi, (c) alur
akhir yaitu saat sesaji dibawa ke tengah telaga untuk dilarungkan.
Tokoh-tokoh labuh sesaji di Telaga Sarangan terdiri dari tokoh utama dan tokoh
bawahan. Tokoh utamanya yaitu Kepala Desa dan sesepuh desa. Sedangkan tokoh
bawahannya adalah prajurit, pembawa penarung, subo manggolo, pengapit sesepuh desa,
pembawa sosong agung, domas putra putri, pembawa tumpeng agung, pembawa sesaji
dan masyarakat sekitarnya.
Latar labuh sesaji yaitu latar ruang (tempat), latar waktu, dan latar suasana. (1)
Latar ruangnya (tempat) adalah ruang alam bebas yakni telaga Sarangan itu sendiri
(tempat menghilangnya Kyai dan Nyai Pasir). (2) Latar waktu labuh sesaji dieksplisitkan
sama labuh sesaji pada waktu dulu yang dilakukan setiap "selapan hari" (35 hari), hari
Kamis Pahing malam Jum'at Pon. (3) Latar suasana dalam labuh sesaji di Telaga
Sarangan. Pertama, suasana cemas yakni pada saat prosesi upacara dilaksanakan. Kedua,
suasana sakral yakni tergambar pada saat upacara berlangsung di punden yang diiringi
dengan pembacaan doa yang dilakukan oleh sesepuh adat. Amanat dalam labuh sesaji di
Telaga Sarangan mengandung ajaran budi pekerti yang patut dicontoh dan dikerjakan,
ditelusuri kembali melalui tradisi memberikan sesaji setiap hari Jumat Pon di Telaga
Sarangan tepatnya tempat yang dipercayai penunggu Telaga Sarangan itu berada.
Melalui cerita mitos dan ritus labuh sesaji setidaknya dapat dirunut kejadian-kejadian
atau peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi masa lampau
Saran
1. Saran untuk penelitian selanjutnya
Penelitian terhadap folklor di masyarakat hendaknya menjadi perhatian yang serius dan
penelitian folklor di Indonesia masih relatif sedikit jumlahnya. Oleh sebab itu penelitian
folklor perlu ditingkatkan kuantitas dan kualitasnya.
2. Saran untuk Departemen Pendidikan Nasional
Departemen Pendidikan Nasional sebagai lembaga pemerintah yang menangani
pendidikan di Indonesia, sudah waktunya untuk memanfaatkan cerita-cerita legenda di
daerah sebagai mata pelajaran di sekolah-sekolah. Hal ini bertujuan agar para siswa lebih
mengenal, memahami budaya sendiri, sehingga tidak mudah kena pengaruh budaya asing
yang bersifat negatif.
DAFTAR PUSTAKA
Ahimsa-Putra, Heddy Shri. 2001. Strukturalisme Levi-Strauss Mitos dan Karya Sastra.
Yogyakarta: Galang Press.
Ardianto, Deny Tri, dan Asep Yudha Wirajaya. 2006. Ritus-Mitos Dhukutan sebagai Aset
Pengembangan Pariwisata di Daerah Lawu, Karanganyar. Surakarta: Laporan
Penelitian - Univeristas Sebelas Maret.
Asep Yudha Wirajaya. 2003. Penggalian Potensi Folklor sebagai Aset Pengembangan
Pariwisata Budaya di Daerah Lawu. Surakarta: Laporan Penelitian - Univeristas
Sebelas Maret.
Clifford Geertz. 1989. Work and Lives: the antropologist as author. Stanford, California:
Stanford University Press.
Depdikbud.1985-1986. Upacara Tradisional Daerah Jawa Timur. Surabaya: Direktorat
Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan
Daerah.
Koentjaraningrat. 1985. Ritus Peralihan di Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka
Moertjipto dkk. 1996. Wujud Arti dan Fungsi Puncak puncak Kebudayaan lama dan asli
bagi Masyarakat Pendukungnya. Semarang: Depdikbud
Suwardi Endraswara. 2003. Falsafah Hidup Jawa. Yogyakarta: Cakrawala