Cabot Age

You might also like

Download as pdf
Download as pdf
You are on page 1of 9
URGENSI DAN KENDALA PENERAPAN ASAS CABOTAGE DALAM PELAYARAN DOMESTIK INDONESIA DI ERA PERDAGANGAN BEBAS M. Syamsudin* Abstract This objectives of this paper are to study the urgency of the application of the cabotage principle for domestic shipping and to find out obstacles for its implementation faced by Indonesia as a maritime country. This principle determines that a country has a right to prohibit foreign vessels to conduct commercial matter using its seashore of its territorial water. The result of this analysis suggests that Indonesia has not consistenly implemented the cabotage principle in domestic shipping. For the domestic transport of goods, Indonesian ships can only be able to carry out 56,4 percent, while foreign ships carry out the rest. Another problem is that the cabotage principle has not been fully supported by appropriate laws, government police Indonesia shipping is left behind banking and investment. Therefore, Kata kunci: Cabotage, Pelayaran Domestik. Perdagangan Bebas A. Pendahuluan ‘Asas cabotage merupakan salah satu dari asas yang terdapat dalam hukum laut (Maritim Law), terutama hukum pengang- kutan laut.' Asas ini mengandung arti bahwa penyelenggaraan pelayaran dalam negeri adalah sepenuhnya hak negara pantai. Negara pantai berhak melarang kapal-kapal laut asing berlayar dan berda- gang sepanjang pantai dalam wilayah perairan negara pantai yang bersangkut- an. Asas ini sering diartikan juga sebagai pelayaran niaga nasional dari satu pelabuh- an ke pelabuhan yang lain dalam wilayah suatu negara.’ Penerapan asas caborage ini didu- kung oleh ketentuan Hukum Laut Interna- sional, berkaitan dengan kedaulatan dan yurisdiksi yang dimiliki oleh suatu negara pantai atas wilayah lautnya. Oleh karena itu, kapal asing tidak boleh berada atau memasuki wilayah perairan suatu negara tanpa ijin dan alasan yang sah, misalnya untuk lintas damai, lintas alur laut kepu- Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UI) Yogyakarta Asas lain yang juga dikenal adalah asas Fair Share (asas pembagian mustan sceara Wajar) yaitu bahwa kapal: kapal dalam negeri atau kapal-kapal yang dioperasionalkan olch perusshaan-perusahaan dalam negeri mem- punya) hak untuk mengangkut bagian yang wajar dari muatan-muatan yang dianekut ke atau dani luar negert M. Hussen Umar. 2001. Hukum Maritim dan MasalaheMasalah Pelavaran di Indonesia, Buku 2, Pusataka ‘Sinar Harapan, Jakarta, him.13 8 MIMBAR HUKUM Volume 19, Nomor 1, Februari 2007, Halaman 117 - 133 an, lintas transil selat yang digunakan tuk pelayaran internasional, pemberian yntuan keselamatan jiwa manusia, serta san yang sah dan dilakukan dengan cara sng benar tanpa melakukan tindakan yang ngganggu stabilitas keamanan dan ke- tiban negara pantai Pada saat ini, terutama menghadapi perdagangan bebas, di kalangan para aku usaha di bidang pelayaran masih ‘dapat anggapan keliru yang memandang hwa penerapan asas cabotage dalam layaran domestik bertentangan dengan insip liberalisasi perdagangan. Pada- 1, asas ini berlaku global dan diterapkan eh negara-negara maju, seperti Amerika rikat yang dikenal sebagai pelopor li- ralisasi perdagangan. Anggapan yang liru itu membuat pelaku usaha pelayaran mestik sering mendapat perlakuan yang rang adil, terutama dari perusahaan-per- ahaan pelayaran asing.” Pada saat ini kondisi pelayaran na- nal Indonesia mengalami keterpurukan. terpurukan itu telah lama menjadi keri- lan para pelaku usaha pelayaran domes- Indonesia. Sampai saat ini pemerintah aku regulator belum sepenuhnya meng- bil langkah-langkah mendasar dan tegas tuk memperbaiki kondisi pelayaran na- nal. Padahal, sektor pelayaran memiliki tensi ekonomi yang sangat besar. Sektor merupakan bagian dari infrastruktur dan peran sebagai industri jasa yang strate- , Serta mampu menghasilkan devisa bagi zara, Namun, seluruh potensi itu belum termanfaatkan dengan baik. Perkembangan transportasi laut di Indonesia sampai saat ini masih banyak dikuasai oleh pihak asing. Di bidang transportasi laut, Indonesia ternyata belum memiliki armada kapal yang memadai dani segi jumlah maupun kapasitasnya. Data tahun 200] menunjukkan, kapasitas share armada nasional terhadap angkutan luar negeri yang mencapai 345 juta ton hanya mencapai 5,6 persen, selebihnya dikuasai asing (94,4 persen). Di sisi lain share arma- da nasional terhadap angkutan dalam negeri yang mencapai 170 juta ton hanya meneapai 56,4 persen, dan selebihnya juga dikuasai oleh kapal-kapal asing (43,6 persen).* Semenjak adanya kebijakan deregulasi yang dituangkan dalam Inpres No. 4/1985 yang kemudian disusul dengan adanya Paket Kebijakan Bulan November 1988 (Paknov) telah melahirkan relaksasi kebijakan secara total, yang tercermin dan mempunyai dam- pak seperti digambarkan berikut 1 Terlalu mudabnya prosedur dan persya- ratan untuk memperoleh izin pelayaran. Hal ini menyebabkan jumlah perusa- haan-perusahaan pelayaran membeng- kak tanpa kontrol. Sebagai contoh, pada bulan September 1993 terdapat 1045 perusahaan pelayaran dan 389 perusahaan non pelayaran. Pertambah- an jumlah perusahaan pelayaran yang demikian cepat tidak seimbang dengan pertambahan jumlah tonase kapal-ka- pal niaga. Sampai tahun 2001, tercatat ada 1.762 perusahaan pelayaran. Dari jumlah tersebut, perusahaan pelayaran Gatot Widakdo, “Perbankan Acuih, Industri Pelayaran Membangun Kapal di Luar Negeri”. Kompas, 12 Agustus 2004 , ; v Syamsudin, Urgensi dan Kendale Penerapan Asas Cabotage 119 yang memiliki kapal berbobot sampai 174 Gross Ton (GT) ada 126 perusa- haan, yang memiliki 175 GT - 4.999 GT ada 697 perusahaan, dan 5.000 GT ada 129 perusahaan. Sisanya sebanyak 809 perusahaan pelayaran yang kondi- sinya tidak memiliki kapal atau hanya men - carter. Perusahaan pelayaran yang mempunyai kapal antara lain : PT PELNI dengan 44 kapal, Pertamina 35 kapal, Meratus 19 kapal, PT Arpeni 18 kapal, Berlian Laju Tanker 9 kapal, dan PT Pusri dan Bahtera Adiguna masing- masing 7 kapal. Anehnya, perusahaan yang memiliki kapal bukan perusahaan yang, benar-benar memiliki core busi- ness dalam angkutan laut, tetapi mereka. mengoperasikan kapal tersebut sebagai sarana penunjang kegiatan industrinya. Dominasi pelayaran asing terlihat dari muatan (freight) kapal asing yang meng- angkut muatan Ivar negeri (ekspor/ impor), yakni menguasai muatan se- banyak 92,5 persen (322,5 juta M/T) Adapun muatan dalam negeri, kapal asing menguasai 50 persen dari seluruh angkutan total barang (89,8 juta M/T). Hal ini berarti perusahaan pelayaran nasional kebanyakan hanya menjadi agen dari kapal-kapal pelayaran asing Dampaknya adalah bangsa Indonesia tidak memiliki otoritas untuk menekan sumber in-efisiensi dalam transportasi Jaut* Dibukanya sejumlah kurang lebih 137 pelabuhan untuk perdagangan atau pelayaran ke atau dari luar negeri mem- ‘Tridoyo Kusumastanto MS, “‘Kcbijakan ‘Transportas; Laut di Neccr) Bahar 3, buat kapal-kapal asing bebas memasuki pelabuhan-pelabuhan tersebut untuk ‘memuat dan membongkar barang, yang berarti menyaingi kapal-kapal nasional yang memang mempunyai kemampuan terbatas dalam jumlah dan jenis kapal serta frekuensi pelayaran yang dapat dilakukan Kebebasan yang diberikan kepada per- usahaan-perusahaan pelayaran nasional untuk menyewa kapal asing, menye- babkan penggunaan kapal-kapal asing yang disewa untuk angkutan laut dalam negeri mencapai _kurang lebih 50%, Carter tersebut dilakukan baik menye- wa yang sesungguhnya maupun me- nyewa semu (back fo back charter) di mana dalam kenyataannya kapal yang bersangkutan dioperasikan oleh pe- miliknya, Di antara kapal-kapal asing tersebut terdapat kapal-kapal berben- dera asing yang dimiliki oleh perusa- haan-perusahaan pelayaran Indonesia. Hal terakhir ini terpaksa dilakukan de- ngan alasan memiliki kapal berbendera asing lebih menguntungkan daripada memiliki kapal-kapal dengan registrasi Indonesia (dan segi biaya registrasi dan beban-beban pajak). Di samping it tindakan tersebut dilakukan pula untuk menghindar dari larangan pemerintah Indonesia untuk membeli dari Juar ne- geri kapal-kapal yang berukuran kurang dari 5.000 ton dalam rangka proteksi industri galangan Indonesia.’ Daya saing perusahaan pelayaran na- sional dibanding dengan kapal-kapal asing ee aaeine anosese ae 120 MIMBAR HUKUM Volume 19, Nomor 1, Februari 2007, Halaman 117 - 133 berada dalam posisi yang tidak seimbang. Hal ini terutama disebabkan adanya beban- beban biaya yang harus dipikul oleh per- usahaan pelayaran Indonesia yang terutama disebabkan beban-beban pajak yang berla- | pis-lapis dan relatif tinggi. Hal ini tidak di- | alami oleh kapal-kapal asing di negaranya masing-masing, sehingga persaingan antara | kapal-kapal Indonesia dengan kapal-kapal | asing tersebut pada hakekatnya menjadi ti- | dak “fair”. Dengan demikian potensi muatan ‘untuk kapal-kapal nasional pada hakekat- nya besar, namun perusahaan-perusahaan pelayaran nasional tidak dapat turut meng- ambil manfaat daripadanya Kondisi tragis seperti yang dialami sckarang ini justru merupakan akibat dari kebijakan pemerintah yang walaupun meng- untungkan pengembangan _perdagangan, Khususnya ekspor non-migas secara makro, namun berdampak negatifterhadap pelayaran nasional. Betapapun pemerintah tidak dapat melepas tanggung jawab, karena Pasal 5 ayat (1) UUP/1992 menentukan bahwa pelayaran dikuasai oleh negara dan pembinaannya di- lakukan oleh pemerintah,’ Industri pelayaran nasional beserta armada kapal-kapalnya pada hakekatnya merupakan asset nasional, baik secara ekonomis maupun strategis. Kondisi tersebut di atas merupakan suatu tragedi dan sekaligus risike yang sewaktu-waktu mung- kin harus dibayar mahal oleh negara dan Bangsa Indonesia, karena mengurangi kadar ketahanan nasional, khususnya jika terjadi Keadaan darurat nasional atau intemasional apabila kapal-kapal asing baik secara cko- ‘nomis ataupun politis tidak dapat dijadikan ? Lihat pula ketentwan tentang arah pembinaan seperti dikemukakan dalam ayat (2) andalan. Berdasarkan paparan pendahuluan di atas dapat dikemukakan_pertanyaan-per- tanyaan akademik yang perlu dibahas yaitu : (1) Apa urgensi penerapan asas cabotage dalam pelayaran Indonesia di era perda- gangan bebas?; (2) Faktor-faktor apa yang menjadi kendala dalam penerapan asas cabotage secara penuh di pelayaran do- mestik Indonesia? B. Urgensi Penerapan asas Cabotage Penerapan asas cabotage secara penuh sangatlah penting bagi sektor pelayaran In- donesia. Hal ini disebabkan transportasi laut dalam negeri mempunyai peranan sangat strategis dan signifikan dalam pembangunan nasional, baik di bidang ekonomi, sosial bu- daya, politik, pertahanan dan keamanan na- sional Indonesia. Selain berperan dalam bi- dang ekonomi, armada niaga nasional dapat pula meningkatkan mobilitas dan interaksi sosial dan budaya antar warga bangsa Indo- nesia, mendukung pelaksanaan administrasi pemerintahan seluruh wilayah Indonesia dan sebagai penjembatan penghubung dan sarana integrasi wilayah Indonesia sebagai perwujudan konsep Wawasan Nusantara. Armada niaga nasional dapat pula menjadi Komponen pertahanan Negara Kesatuan Re- publik Indonesia dan dapat dimobilisasikan sebagai pendukung pertahanan Negara di laut apabila negara dalam keadaan bahaya, seperti tercantum dalam UU No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara dan UU No. 27 Tahun 1997 tentang Mobilisasi dan Demobilisasi. Oleh karena itu, pelayaran na- Pasal 5 Ayat (1) Syamsudin, Urgensi dan Kendala Penerapan Asas Cabotage 121 sional harus dipegang oleh bangsa dan kapal Indonesia sendiri dengan mengimplementa- sikan asas cabotage secara utuh. Dasar dan kepentingan utama penerap- an asas cabotage adalah : (1) Untuk men- jamin dan melindungi infrastruktur_pem- bangunan kelautan nasional terutama pada saat negara dalam keadaan darurat, diban- dingkan jika infrastruktur itu dimiliki negara asing yang sewaktu-waktu dapat ditarik: (2) Untuk membangun armada niaga yang kuat dan memadai, mengisi kebutuhan angkutan laut dalam negeri, dan mendukung kegiatan ekonomi kelautan lainnya; (3) Untuk men- dukung kepentingan keamanan, pertahanan, dan ekonomi nasional; (4) Armada pelayaran niaga menjadi bagian dari sistem pertahanan negara yang siap dimobilisasi ketika negara dalam keadaan darurat.* Tujuan penerapan asas cabotage adalah: (1) Mencegah atau mengurangi ketergan- tungan kepada pelayaran kapal-kapal asing; (2) Memperlancar arus barang atau jasa dan manusia ke seluruh wilayah nusantara se- cara luas dengan pelayanan maksimal akan tetapi dengan harga yang wajar, termasuk ke daerah-dacrah terpencil; (3) Salah satu upa- ya penyedia kesempatan kerja bagi warga negara; (4) Sebagai andalan dan penunjang sistem Pertahanan dan Keamanan Nasional (Hankamnas).? Arti penting penerapan asas cabotage secara utuh juga didasarkan pada potensi dan kondisi angkutan laut nasional Indone- sia. Negara Indonesia adalah negara yang memiliki wilayah laut lebih luas dibanding- kan dengan luas daratannya. Luas daratan yang lebih kecil dibandingkan dengan luas Jautnya yang terdiri dari ribuan pulaw. Untuk menghubungkan antar pulau tersebut dapat digunakan angkutan udara dan angkutan laut. Untuk saat ini angkutan dengan meng- gunakan angkutan udara, yaitu pesawat ter- bang masih relatif lebih mahal dibandingkan dengan angkutan laut. Untuk mengangkut barang-barang yang memiliki volume besar dan berat, maka pilihan dengan menggu- nakan angkutan laut yang berupa kapal Jaut lebih ekonomis dibandingkan dengan meng- gunakan pesawat terbang. Negara kepulauan seperti Indonesia, kepemilikan jumlah kapal laut yang cukup, kualitas yang baik, jenis kapal yang sesuai dengan kebutuhan, teknologi yang muta- Khir dan manajemen operasional yang baik, merupakan hal yang strategis. Kebijakan yang mendukung pengembangan angkutan laut memang dirasakan menjadi kebutuhan mendesak yang harus selalu dievaluasi, di- revisi dan diperbaiki dalam rangka menja- dikan negeri ini memiliki kualitas terbaik di bidang angkutan lautnya, Akan tetapi, suatu kenyataan yang sckarang dihadapi oleh Negara Indonesia, bahwa di kawasan Asia Tenggara Indonesia tertinggal dibandingkan dengan Singapura dan Malaysia. Ketertinggalan tersebut tidak hanya dari segi fisik jumlah kecukupan dan teknologi kapalnya, akan tetapi juga dari segi manajerialnya. Hal tersebut sudah seha- rusnya menjadi perhatian bagi pihak-pihak yang terkait untuk selalu memperbaiki dan *“— Balitbang Dephub RI, 2004, “Studi Pencrapan Asas Cabotage dalam Pelayaran Nasional”. Laporan Akhir Penelitian, blm. 8. 122 MIMBAR HUKUM Volume 19, Nomor 1, Februari 2007, Halaman 117 - 133 meningkatkan berbagai aspek agar dimasa- ‘masa yang akan datang negeri yang me- ‘miliki Jautan luas ini dapat lebih banyak berbicara dan berbuat di bidang angkutan lautnya. Perkembangan potensi armada nasional jika dilihat dari segi kapasitas kapal seperti ditunjukkan pada tabel | di bawah, menun- jukkan bahwa kapasitas kapal-kapal nasio- nal jauh lebih rendah dibandingkan dengan kapal asing, baik untuk DWT, GT maupun HP. Selama lima tahun, yaitu 1999-2003 dapat dikatakan hampir tidak ada perubah- an pada kapasitas kapal-kapal nasional, sedangkan kapal-kapal asing-mengalami peningkatan kapasitas yang besar. Jika pada tahun 1999 kapasitas DWT kapal nasional sebesar 5.568.213, maka pada tahun 2003 hanya tinggal 4.257.630, sedangkan kapal asing justru mengalami peningkatan dari 125.199.189 menjadi 164.683.712. Lihat tabel | berikut ini. Tabel 1 Perkembangan Potensi Armada Laut Nasional, Tahun 1999-2003 ‘Syamsudin, Urgensi dan Kendala Penerapan Asas Cabotage 1 Demikian halnya jika dilihat dari segi umur kapal, kurang lebih 44,8 % kapal na- sional Indonesia telah berumur lebih dari 10 tahun, Jelas ini merupakan suatu kondisi yang sangat memerlukan peremajaan kapal yang serius. Hanya sekitar 14 % saja kapal yang memiliki umur kurang dari $ tahun. Ini berarti bahwa dalam waktu lima tahun hanya ada tambahan kapal rata-rata tiap tahun sebe- sar 2,8 % dari jumlah kapal yang ada. Hal in dapat dilihat pada tabel 2 berikut ini. Demikian halnya untuk kapal-kapai angkutan khusus dalam lima tahun terakhii hanya ada pertambahan kapal sebesar 2 % saja, sedangkan kenaikan pangsa pasat yang masih dimiliki oleh kapal-kapal asing mencapai lebih dari 40 % dari total muat- an. Lihat tabel 3 berikut ini. Tabel 2 Sebaran Armada Milik Perusah: aan Angkutan Laut Nasional Berdasarkan Umur Kapal, Tahun 2004 Uniur Kapal Jumlah Kapal (unit) Prosentase <5 521 14,02 5 25 774 20,82 Total 3.17 100 Sumber: Data Sekunder Ditjen Hubla Dephub RI, 2004. Tabel 3 Sebaran Armada Milik Perusahaan Angki utan Laut Khusus Berdasarkan Umur Kapal, Tahun 2004 Tahun Sat Nasional Asing Unit Kapasitas Unit Kapasitas 1999 DWT 5.405 5.568.213 6.644 125.199.189 GT 2.635 726.175 1.162 972.205 HP 1.328 905.126 219 211.791 2000 DWT 5.404 6.658.213 7.802 209.412.119 GT 3.791 956.021 1.162 972.05 HP 1.328 905.126 219 211.791 2001 DWT 5.416 6.573.013 7.735 226.372.071 GT 3.906 1.046.723 1419 2.371.693 HP 1.334 911.476 740 1.013.604 2002 DWT 3.510 4.257.630 5.935 164.683.712 GT 2.499 669.678 14ll 2.904.655 HP 310 818.818 837 940.408 2003 DWT 3.510 4.257.630 5.935 164,683,712 GT 2.499 * 669.678 L411 2.904.655 HP 310 818.818 837 940.408 Sumber: Data Sekunder Ditjen Hubla Dephub RI, 2004. Umur Kapal Jumlah Kapal (anit) Prosentase <5 | 13s 10,75 S

You might also like