Professional Documents
Culture Documents
Pro06 18
Pro06 18
ABSTRACT
Bali cattle meat demand, both in Bali region and other province is being increase by the years. Most of
farmers in Bali have used supplement forage (concentrate) in their keeping, such as rice and wheat bran. But,
those supplements has had expensive price caused have competition forage using with pig keeping.
Meanwhile, in cacao farming, its eggshell waste has 72% from the total of cacao pods and it was most
wasting. The research about processed cacao waste as a supplement feed use for Bali cattle fattening was
carried out at desa Wanagiri, kecamatan Selemadeg, kabupaten Tabanan. Before used, the eggshell of cacao
was cut up, fermented by Aspergillus niger, and then dried and rolled until to be powder. The research use 24
Bali cattle for fattening (bull) that have initial weight between 259 264 kg divided to be 3 treatment group
with 8 replication for each treatment that is P0 ( the farmers existing keeping that the cattle was gave by
legume and grass), P1 ( P0 + processed cacao powder by 2 kg/head/day and P3 (P1 + Bio-Cas probiotic 5
cc/head/day. The result of proximate analysis test shown that by processing of cacao waste, the protein
content of eggshell cacao was increase from 8,11% to 16,61% in average, while the crude fiber content was
decrease. Within 12 weeks treatment, the body weight gain shown that the P0 achieved 292 g and P2 521 g; it
was increase 71, 4% and had significant effect statically (P < 0,05). For the cattle that has P2 treatment, the
body weight gain was 636 g/head/day; it was have significant effect statically (P < 0,05) compared with P0
and P1. It was that using processed cacao waste as a supplement fodder is effective and the cattle weight gain
will be better because Bio-Cas has growth stimulus content when combined with Bio-Cas probiotic.
Key Words: Cacao Waste, Bali Cattle, Weight Gain
ABSTRAK
Permintaan daging sapi Bali baik di Bali maupun di luar Bali makin meningkat. Dalam usaha
penggemukan sebagian petani di Bali telah menggunakan pakan penguat (konsentrat) antara lain berupa
dedak padi atau dedak gandum. Namun kedua bahan tersebut harganya relatif mahal karena juga banyak
digunakan untuk pakan babi. Dipihak lain dalam usaha tani kakao, limbahnya berupa cangkang (72% dari
total buah gelondongan) banyak terbuang. Sebuah penelitian telah dilakukan di Desa Wanagiri, Kecamatan
Selemadeg Tabanan untuk memanfaatkan limbah (cangkang) kakao olahan sebagai pakan penguat sapi Bali
yang digemukkan. Sebelum digunakan cangkang kakao dicacah, kemudian difermentasi dengan Aspergillus
niger, selanjutnya dikeringkan dan digiling hingga berbentuk tepung. Penelitian menggunakan 24 ekor sapi
Bali jantan dengan berat awal antara 259 264 kg yang dibagi dalam 3 kelompok perlakuan (masing-masing
8 ekor sebagai ulangan) yaitu: (1) P0: Sapi diberi pakan hijauan (HMT) sesuai cara petani tradisional (2) P1:
sapi diberi pakan seperti pada P0 + tepung limbah kakao olahan 2 kg per ekor per hari dan (3) P2: Sapi diberi
pakan seperti P1 + probiotik Bio Cas 5 cc/ekor/hari. Hasil proximate analysis menunjukkan bahwa
melalui proses pengolahan, kandungan protein cangkang kakao meningkat dari rata-rata 8,11% menjadi
16,61% sedangkan kandungan serat kasar menurun. Dalam perlakuan selama 12 minggu pertambahan berat
badan (PBB) rata-rata sapi P0 = 292 gram, dan P2 = 521 gram, atau meningkat 71,4% yang secara statistik
berbeda nyata (P < 0,05). Sedangkan pada sapi P2 rata-rata PBB mencapai 636 g/ekor/hari, yang berbeda
nyata (P < 0,05) dibandingkan P0 maupun P1. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan limbah kakao olahan
sebagai pakan penguat cukup efektif dan bila dikombinasikan dengan pemberian probiotik Bio Cas, prestasi
pertumbuhan sapi akan lebih baik mengingat Bio Cas juga mengandung zat perangsang pertumbuhan.
Kata Kunci: Limbah Kakao, Sapi Bali, Pertumbuhan
116
PENDAHULUAN
Di daerah Bali, populasi sapi Bali sebanyak
590.949 ekor, dan 92.025 ekor diantaranya
adalah sapi jantan muda (ANONIMUS, 2005).
Permintaan daging sapi Bali dari tahun ke
tahun cenderung meningkat, baik untuk
konsumsi lokal, bahan baku industri maupun
permintaan dari luar daerah (DKI, Jabar),
sehingga mendorong berkembangnya usaha
penggemukan (fattening).
Dalam usaha penggemukan, disamping
pakan hijauan, juga diperlukan pakan
konsentrat yang bahannya berupa dedak padi,
dedak gandum, bungkil kelapa, ubi kayu atau
campuran dari bahan-bahan tersebut dan bahan
lain. Namun harga bahan-bahan konsentrat di
Bali relatif mahal, karena banyak diperlukan
untuk pakan babi, sehingga hal ini sering
menjadi kendala dalam usaha penggemukan
sapi (GUNTORO et al., 2003). Disisi lain,
sebenarnya terdapat bahan pakan yang
jumlahnya cukup besar namun bahan tersebut
umumnya masih terbuang, yakni limbah
(cangkang) kakao.
Tanaman kakao, merupakan tanaman
industri dengan produk utama berupa biji yang
memiliki nilai ekonomis penting. Disamping
menghasilkan biji, dalam proses penanganan
hasil juga diperoleh produk ikutan (limbah)
berupa cangkang atau kulit buah kakao. Dalam
keadaan segar, secara fisik cangkang kakao
komposisinya mencapai 73,77% dari berat
buah secara kesulurahan (HARYATI dan
HARJOSUWITO, 1984). Karena itu potensi
limbah ini cukup besar dan terus meningkat
sejalan dengan program pengembangan kakao
di tanah air.
Di daerah Bali luas areal perkebunan kakao
9.339 ha dengan produksi biji kakao 7.034 ton
(ANONIMUS, 2006) sehingga diperkirakan
terdapat produksi cangkang kakao sekitar
21.000 ton per tahun.
Berdasarkan analisa kimia, limbah kakao
mengandung zat-zat makanan yang dapat
dimanfaatkan
untuk
pakan.
Menurut
ZAINUDDIN et al. (1995) kulit buah kakao
mengandung 16,5% protein, 16,5 MJ/kg dan
9,8% lemak dan setelah dilakukan fermentasi
kandungan protein meningkat menjadi 21,9%.
Penggunaan pada ayam pedaging hingga 5%
tidak
berpengaruh
negatif
terhadap
pertumbuhan, namun penggunaan di atas level
masing
perlakuan
menggunakan 8 ekor sapi Bali jantan dengan
bobot awal rata-rata 259 264 kg (kisaran =
210 298 kg) sebagai ulangan. Ketiga
perlakukan tersebut adalah sebagai berikut:
P0 : Kelompok sapi diberi pakan hijauan
(HMT) ad libitum, sebagaimana lazimnya
dilakukan petani.
P1 : Kelompok sapi diberikan pakan seperti
pada P0 + tepung limbah kakao
2 kg/ekor/hari.
P2 : Kelompok sapi diberikan pakan seperti
pada P1 + probiotik BioCas
5 cc/ekor/hari.
Limbah kakao berupa cangkang setelah
dipisahkan dari bijinya di cacah hingga
berbentuk serpihan kecil kemudian difermentasi
dengan Aspergillus niger selama 5 hari.
Selanjutnya dikeringkan dengan sinar matahari
selama 3 hari, kemudian digiling hingga
117
Berat
akhir (kg)
Pertumbuhan
(g/ekor/hari)
P0
259,70
284,23
292a
P1
264,34
308,10
521b
P2
261,66
315,11
636c
Perlakuan
Tabel 1. Kandungan nutrisi limbah (cangkang) kakao sebelum dan sesudah difermentasi
Kandungan nutrisi
Perlakuan limbah
Non-fermentasi
CP
CF
Fat
Ca
8,11
16,42
2,11
0,08
0,12
Fermentasi konvensional
11,04
12,44
2,02
0,13
0,14
16,61
10,15
2,03
0,11
0,10
118
Tabel 3. Analisa ekonomi penggunaan tepung limbah kakao untuk penggemukan sapi (per ekor per 12
minggu)
Parameter
Pengeluaran
Pengadaan sapi bakalan (bobot awal 260 @ Rp. 15.000.000
Pembelian HMT
P0 (10% BH/HR) = 27,2 x 84 x Rp. 60
P1 = (10% x BH/hari) = 28,1 x 84 x Rp. 60
P2 = 28,7 x 84 x Rp. 60
Pakan penguat
P0 = 0
P1 = 2 kg x 84 x Rp. 600.
P2 = 2 kg x 84 x Rp. 600
Probiotik (Bio-Cas)
P3 = 0,005 x 84 x Rp. 20.000
Penyusutan kandang
Upah pemeliharaan = 84 x 2.500
Total pengeluaran
Penerimaan
Hasil penjualan ternak
P0 = 284, 5 x Rp. 16.000
P1 = 303,8 x Rp. 16.000
P2 = 314,4 x Rp. 16.000
Keuntungan
R/C Ratio
P1
Perlakuan
P2
P3
3.900.000
3.900.000
3.900.000
137.088
141.624
145.152
100.800
100.800
30.000
210.000
4.277.088
30.000
210.000
4.382.424
8.400
30.000
210.000
4.394.352
4.552.000
4.860.800
5.014.400
274.912
1,06
478.376
1,11
620.048
1,14
119
120
DAFTAR PUSTAKA
ANONIMUS. 2005. Laporan Cacah Jiwa Ternak
Propinsi Bali Tahun 2005. Dinas Peternakan
Propinsi Bali, Denpasar.
ANONIMUS. 2006. Statistik Perkebunan Propinsi Bali
Tahun 2005. Dinas Perkebunan Propinsi Bali,
Denpasar.
GUNTORO, S. dan I-M. RAI YASA. 2005. Penggunaan
Limbah Kakao Terfermentasi Untuk Pakan
Ayam Buras Petelur. Puslitbang Sosial
Ekonomi Pertanian, Bogor. J. Pengkajian dan
Pengembangan Teknologi Pertanian. Juli
2005. 8(2).
GUNTORO, S., I-M. RAI Yasa dan I. M. Londra. 2003.
Laporan Hasil Pengkajian Penggunaan
Sampah Organik untuk Pakan Sapi Potong.
Kerjasama Bappeda Propinsi Bali dengan
BPTP Bali.
HARJATI, T. dan B. HARDJOSUWITO. 1984.
Pemanfatan Coklat sebagai Bahan Dasar
Pembuatan Pektin. J. Menara Perkebunan,
Balai Penelitian Perkebunan, Bogor.
JAMES BLAKELY and DAVID H. BADE. 1998. The
Science of Animal Husbandry. Fourth Edition.
Gajah Mada University Press, Yogyakarta.
KOMPIANG, I-P. 2000. Peningkatan Mutu Bahan
Baku Pakan. Makalah Seminar Pengembangan
Teknologi Pertanian Ramah Lingkungan.
Instalasi Penelitian dan Pengkajian Teknologi
Pertanian (IP2TP) Denpasar. Denpasar 8 9
Maret 2000.
ZAINUDDIN, D., SUTIKNO, T. HARYADI dan
HERNOMOADI.
1995.
Kecernaan
dan
Fermentasi
Limbah
Kakao
serta
Pemanfaatannya
pada
Ternak
Ayam.
Kumpulan Hasil-Hasil Penelitian APBN
TA 94/95. Balai Penelitian Ternak, Ciawi,
Bogor.