Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 5

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006

PENGARUH PEMBERIAN LIMBAH KAKAO OLAHAN


TERHADAP PERTUMBUHAN SAPI BALI
(Feeding of Processed Cacao by-Product to Growing Bali Cattle)
SUPRIO GUNTORO, SRIYANTO, NYOMAN SUYASA dan MADE RAI YASA
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali, Jl. Bypass Ngurahrai, Denpasar

ABSTRACT
Bali cattle meat demand, both in Bali region and other province is being increase by the years. Most of
farmers in Bali have used supplement forage (concentrate) in their keeping, such as rice and wheat bran. But,
those supplements has had expensive price caused have competition forage using with pig keeping.
Meanwhile, in cacao farming, its eggshell waste has 72% from the total of cacao pods and it was most
wasting. The research about processed cacao waste as a supplement feed use for Bali cattle fattening was
carried out at desa Wanagiri, kecamatan Selemadeg, kabupaten Tabanan. Before used, the eggshell of cacao
was cut up, fermented by Aspergillus niger, and then dried and rolled until to be powder. The research use 24
Bali cattle for fattening (bull) that have initial weight between 259 264 kg divided to be 3 treatment group
with 8 replication for each treatment that is P0 ( the farmers existing keeping that the cattle was gave by
legume and grass), P1 ( P0 + processed cacao powder by 2 kg/head/day and P3 (P1 + Bio-Cas probiotic 5
cc/head/day. The result of proximate analysis test shown that by processing of cacao waste, the protein
content of eggshell cacao was increase from 8,11% to 16,61% in average, while the crude fiber content was
decrease. Within 12 weeks treatment, the body weight gain shown that the P0 achieved 292 g and P2 521 g; it
was increase 71, 4% and had significant effect statically (P < 0,05). For the cattle that has P2 treatment, the
body weight gain was 636 g/head/day; it was have significant effect statically (P < 0,05) compared with P0
and P1. It was that using processed cacao waste as a supplement fodder is effective and the cattle weight gain
will be better because Bio-Cas has growth stimulus content when combined with Bio-Cas probiotic.
Key Words: Cacao Waste, Bali Cattle, Weight Gain
ABSTRAK
Permintaan daging sapi Bali baik di Bali maupun di luar Bali makin meningkat. Dalam usaha
penggemukan sebagian petani di Bali telah menggunakan pakan penguat (konsentrat) antara lain berupa
dedak padi atau dedak gandum. Namun kedua bahan tersebut harganya relatif mahal karena juga banyak
digunakan untuk pakan babi. Dipihak lain dalam usaha tani kakao, limbahnya berupa cangkang (72% dari
total buah gelondongan) banyak terbuang. Sebuah penelitian telah dilakukan di Desa Wanagiri, Kecamatan
Selemadeg Tabanan untuk memanfaatkan limbah (cangkang) kakao olahan sebagai pakan penguat sapi Bali
yang digemukkan. Sebelum digunakan cangkang kakao dicacah, kemudian difermentasi dengan Aspergillus
niger, selanjutnya dikeringkan dan digiling hingga berbentuk tepung. Penelitian menggunakan 24 ekor sapi
Bali jantan dengan berat awal antara 259 264 kg yang dibagi dalam 3 kelompok perlakuan (masing-masing
8 ekor sebagai ulangan) yaitu: (1) P0: Sapi diberi pakan hijauan (HMT) sesuai cara petani tradisional (2) P1:
sapi diberi pakan seperti pada P0 + tepung limbah kakao olahan 2 kg per ekor per hari dan (3) P2: Sapi diberi
pakan seperti P1 + probiotik Bio Cas 5 cc/ekor/hari. Hasil proximate analysis menunjukkan bahwa
melalui proses pengolahan, kandungan protein cangkang kakao meningkat dari rata-rata 8,11% menjadi
16,61% sedangkan kandungan serat kasar menurun. Dalam perlakuan selama 12 minggu pertambahan berat
badan (PBB) rata-rata sapi P0 = 292 gram, dan P2 = 521 gram, atau meningkat 71,4% yang secara statistik
berbeda nyata (P < 0,05). Sedangkan pada sapi P2 rata-rata PBB mencapai 636 g/ekor/hari, yang berbeda
nyata (P < 0,05) dibandingkan P0 maupun P1. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan limbah kakao olahan
sebagai pakan penguat cukup efektif dan bila dikombinasikan dengan pemberian probiotik Bio Cas, prestasi
pertumbuhan sapi akan lebih baik mengingat Bio Cas juga mengandung zat perangsang pertumbuhan.
Kata Kunci: Limbah Kakao, Sapi Bali, Pertumbuhan

116

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006

PENDAHULUAN
Di daerah Bali, populasi sapi Bali sebanyak
590.949 ekor, dan 92.025 ekor diantaranya
adalah sapi jantan muda (ANONIMUS, 2005).
Permintaan daging sapi Bali dari tahun ke
tahun cenderung meningkat, baik untuk
konsumsi lokal, bahan baku industri maupun
permintaan dari luar daerah (DKI, Jabar),
sehingga mendorong berkembangnya usaha
penggemukan (fattening).
Dalam usaha penggemukan, disamping
pakan hijauan, juga diperlukan pakan
konsentrat yang bahannya berupa dedak padi,
dedak gandum, bungkil kelapa, ubi kayu atau
campuran dari bahan-bahan tersebut dan bahan
lain. Namun harga bahan-bahan konsentrat di
Bali relatif mahal, karena banyak diperlukan
untuk pakan babi, sehingga hal ini sering
menjadi kendala dalam usaha penggemukan
sapi (GUNTORO et al., 2003). Disisi lain,
sebenarnya terdapat bahan pakan yang
jumlahnya cukup besar namun bahan tersebut
umumnya masih terbuang, yakni limbah
(cangkang) kakao.
Tanaman kakao, merupakan tanaman
industri dengan produk utama berupa biji yang
memiliki nilai ekonomis penting. Disamping
menghasilkan biji, dalam proses penanganan
hasil juga diperoleh produk ikutan (limbah)
berupa cangkang atau kulit buah kakao. Dalam
keadaan segar, secara fisik cangkang kakao
komposisinya mencapai 73,77% dari berat
buah secara kesulurahan (HARYATI dan
HARJOSUWITO, 1984). Karena itu potensi
limbah ini cukup besar dan terus meningkat
sejalan dengan program pengembangan kakao
di tanah air.
Di daerah Bali luas areal perkebunan kakao
9.339 ha dengan produksi biji kakao 7.034 ton
(ANONIMUS, 2006) sehingga diperkirakan
terdapat produksi cangkang kakao sekitar
21.000 ton per tahun.
Berdasarkan analisa kimia, limbah kakao
mengandung zat-zat makanan yang dapat
dimanfaatkan
untuk
pakan.
Menurut
ZAINUDDIN et al. (1995) kulit buah kakao
mengandung 16,5% protein, 16,5 MJ/kg dan
9,8% lemak dan setelah dilakukan fermentasi
kandungan protein meningkat menjadi 21,9%.
Penggunaan pada ayam pedaging hingga 5%
tidak
berpengaruh
negatif
terhadap
pertumbuhan, namun penggunaan di atas level

tersebut akan menyebabkan turunnya laju


pertumbuhan ayam (ZAINUDDIN et al., 1995).
Hal ini kemungkinan disebabkan karena
adanya theobromin yakni senyawa heterosiklik
yang dapat menghambat pencernaan (Sutardi,
dikutip ZAINUDDIN et al., 1995).
Melalui
proses
fermentasi
dengan
Aspergillus niger, kandungan gizi berbagai
limbah, termasuk limbah perkebunan dapat
ditingkatkan dan kandungan serat kasarnya
dapat diturunkan (KOMPIANG, 2000). Hasil
penelitian GUNTORO dan RAI YASA (2005),
penggunaan limbah kakao hasil fermentasi,
pada ayam Buras petelur hingga 22%, tidak
menyebabkan penurunan produktivitas telur,
bahkan memberikan peningkatan produktivitas.
Melalui proses pengolahan diharapkan
pemberian limbah kakao pada sapi akan
menghasilkan respon pertumbuhan yang lebih
baik, sehingga dapat dimanfaatkan sebagai
bahan pakan penguat alternatif dan tersedia
sepanjang tahun.
MATERI DAN METODE
Penelitian dilaksanakan di desa Wanagiri
Kab. Tabanan yang merupakan sentra produksi
kakao di Bali, selama 12 minggu (84 hari) dari
bulan November 2005 s/d Januari 2006.
Penelitian menggunakan Rancangan Acak
Kelompok (RAK) dengan 3 macam perlakukan
pakan,
masing

masing
perlakuan
menggunakan 8 ekor sapi Bali jantan dengan
bobot awal rata-rata 259 264 kg (kisaran =
210 298 kg) sebagai ulangan. Ketiga
perlakukan tersebut adalah sebagai berikut:
P0 : Kelompok sapi diberi pakan hijauan
(HMT) ad libitum, sebagaimana lazimnya
dilakukan petani.
P1 : Kelompok sapi diberikan pakan seperti
pada P0 + tepung limbah kakao
2 kg/ekor/hari.
P2 : Kelompok sapi diberikan pakan seperti
pada P1 + probiotik BioCas
5 cc/ekor/hari.
Limbah kakao berupa cangkang setelah
dipisahkan dari bijinya di cacah hingga
berbentuk serpihan kecil kemudian difermentasi
dengan Aspergillus niger selama 5 hari.
Selanjutnya dikeringkan dengan sinar matahari
selama 3 hari, kemudian digiling hingga

117

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006

berbentuk tepung yang siap diberikan pada


ternak.
Parameter yang diamati adalah (1)
komposisi kimia cangkang kakao olahan (2)
pertambahan bobot badan (PBB) sapi dan (3)
nilai ekonomis.
Untuk memperoleh data pertambahan bobot
badan dilakukan penimbangan pada awal
penelitian dan diulangi setiap 4 (empat)
minggu. Data pertumbuhan ternak yang
diperoleh diolah dengan Duncant Multiple
Test dengan tingkat kepercayaan 5% (P <
0,05). Analisa ekonomi dilakukan dengan
analisa input output.

konvensional (tanpa Aspergillus niger), kadar


protein yang diperoleh 11,04%. Disamping itu,
fermentasi dapat menurunkan kandungan serat
kasar, (CF) dari 16,42% menjadi 10,15%
dengan Aspergillus niger dan 12,44% bila tanpa
menggunakan Aspergillus niger (Tabel 1). Hal
ini
menunjukkan
bahwa
penggunaan
Aspergilus
niger
dapat
meningkatkan
efektivitas fermentasi bahan pakan.
Dalam penelitian ini tidak dilakukan
analisa terhadap kadar theobromin, namun
melalui proses fermentasi dan pengeringan
diharapkan
dapat
menurunkan
kadar
theobromin cangkang kakao.
Pengaruh pemberian limbah kakao olahan
terhadap pertumbuhan sapi

HASIL DAN PEMBAHASAN


Komposisi fisik dan kimia limbah kakao
olahan
Berdasarkan hasil evaluasi fisik, diperoleh
produksi limbah berupa cangkang rata-rata
72,4% dari berat total buah kakao basah,
sedangkan bagian biji dan kulit biji rata-rata
27,6% dari berat total buah.
Setelah dilakukan proses fermentasi,
limbah dikeringkan pada sinar matahari hingga
siap giling, memerlukan waktu 2 3 x 8 jam
pada intensitas sinar matahari yang normal
(tidak mendung atau hujan). Dari limbah
(cangkang) segar, setelah difermentasi,
dikeringkan dan digiling diperoleh hasil
gilingan berupa tepung dengan rendemen 15
16%.
Fermentasi dengan Aspergillus niger
menyebabkan
meningkatnya
kandungan
protein cangkang kakao. Hasil analisis
proksimat,
menunjukkan
peningkatan
kandungan protein kasar (CP) dari 8,11% pada
kakao mentah (sebelum difermentasi) menjadi
16,16%. Sedangkan jika fermentasi secara

Pada penimbangan pertama diperoleh bobot


awal sapi rata-rata, untuk P0: 259,70 kg, P1:
264,34 .kg dan P2: 261,66 kg. Pada
penimbangan akhir minggu12, (84 hari)
diperoleh bobot hidup masing-masing P0:
284,23 kg, P1: 308,10 kg dan P2: 315,11 kg.
Dengan demikian diperoleh angka PBB masing
masing pada P0: 292 g, P1: 521 g dan P2: 636
g/ekor/hari. Terjadi perbedaan yang nyata (p <
0,05) antara P1 dengan P0, demikian pula antara
P2 dengan P0 maupun P1 (Tabel 2).
Tabel 2. Pengaruh penggunaan limbah kakao
olahan untuk pakan sapi (12 minggu)
Berat
awal (kg)

Berat
akhir (kg)

Pertumbuhan
(g/ekor/hari)

P0

259,70

284,23

292a

P1

264,34

308,10

521b

P2

261,66

315,11

636c

Perlakuan

Huruf yang berbeda pada kolom yang sama adalah


berbeda nyata (P < 0,05)

Tabel 1. Kandungan nutrisi limbah (cangkang) kakao sebelum dan sesudah difermentasi
Kandungan nutrisi

Perlakuan limbah
Non-fermentasi

CP

CF

Fat

Ca

8,11

16,42

2,11

0,08

0,12

Fermentasi konvensional

11,04

12,44

2,02

0,13

0,14

Fermentasi dengan Aspergilus niger

16,61

10,15

2,03

0,11

0,10

118

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006

Data tersebut menunjukkan bahwa


pemberian limbah kakao olahan mampu
meningkatkan pertumbuhan sapi Bali. Respon
pertumbuhan sapi akan semakin tinggi pada
kombinasi pemberian limbah kakao dengan
Bio-Cas.
Meningkatnya pertumbuhan sapi yang
mendapat limbah kakao olahan disebabkan
limbah kakao olahan memiliki kandungan gizi
yang lebih baik dibandingkan hijauan sehingga
pemberiannya
dalam
ransum
akan
meningkatkan jumlah zat-zat makanan yang
terserap oleh saluran pencernaan (JAMES dan
DAVID, 1998).
Hal ini didukung oleh data hasil
Proximate analysis, dimana kandungan
protein limbah kakao yang terolah meningkat
dari 8,11% menjadi 16,61%, sedangkan kadar
serat kasar turun dari 16,42% turun menjadi
10,15% (Tabel 1).
Disamping itu, fermentasi dan pengeringan
dapat mengurangi kandungan theobromin

yakni senyawa heterosiklik yang diduga dapat


menghambat pencernaan. Hasil penelitian
ZAENUDDIN et al. (1995), menunjukkan,
melalui proses fermentasi dan pengeringan,
kadar theobromin kulit biji kakao dapat ditekan
dari 3,62% menjadi 1,68%. Sehingga
pemberian limbah kakao olahan secara terus
menerus pada sapi tidak berpengaruh negatif,
tapi justru dapat mempercepat pertumbuhan.
Analisa ekonomi
Untuk mengetahui nilai tambah pemberian
limbah kakao pada usaha penggemukan sapi
dapat dilihat dari analisis input-out put
(Tabel 3). Dari hasil analisa tersebut
menunjukkan bahwa penggunaan limbah
(cangkang) kakao olahan sebagai pakan
tambahan dapat meningkatkan keuntungan
usaha.

Tabel 3. Analisa ekonomi penggunaan tepung limbah kakao untuk penggemukan sapi (per ekor per 12
minggu)
Parameter
Pengeluaran
Pengadaan sapi bakalan (bobot awal 260 @ Rp. 15.000.000
Pembelian HMT
P0 (10% BH/HR) = 27,2 x 84 x Rp. 60
P1 = (10% x BH/hari) = 28,1 x 84 x Rp. 60
P2 = 28,7 x 84 x Rp. 60
Pakan penguat
P0 = 0
P1 = 2 kg x 84 x Rp. 600.
P2 = 2 kg x 84 x Rp. 600
Probiotik (Bio-Cas)
P3 = 0,005 x 84 x Rp. 20.000
Penyusutan kandang
Upah pemeliharaan = 84 x 2.500
Total pengeluaran
Penerimaan
Hasil penjualan ternak
P0 = 284, 5 x Rp. 16.000
P1 = 303,8 x Rp. 16.000
P2 = 314,4 x Rp. 16.000
Keuntungan
R/C Ratio

P1

Perlakuan
P2

P3

3.900.000

3.900.000

3.900.000

137.088

141.624

145.152

100.800

100.800

30.000
210.000
4.277.088

30.000
210.000
4.382.424

8.400
30.000
210.000
4.394.352

4.552.000

4.860.800

5.014.400

274.912
1,06

478.376
1,11

620.048
1,14

P0 : Pakan HMT; P 1: Pakan P0 + tepung limbah kakao 2 kg/ekor/hari; P2 : P1 + Bio-Cas 5cc/ekor/hari


- Input berupa tepung limbah kakao sebesar Rp. 600, terdiri dari biaya pembelian bahan baku Rp. 350
(7 kg x Rp. 50), serta biaya prosessing sebesar Rp. 250/kg

119

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006

Hasil analisa ekonomi menunjukkan bahwa


pemberian limbah kakao terfermentasi dapat
meningkatkan nilai keuntungan sebesar
Rp. 203.464 selama 12 minggu yakni dari
Rp. 274.912 menjadi Rp 478.376 atau
meningkat sebesar 74% dibandingkan dengan
pola pemberian pakan secara tradisional.
Dimana biaya bahan baku dan biaya proses
pengolahan limbah kakao telah diperhitungkan
dalam nilai (harga) pakan penguat.
Nilai keuntungan tersebut akan semakin
tinggi bila pemberian cangkang kakao olahan
dikombinasikan dengan pemberian probiotik
(Bio-Cas), yakni menjadi Rp. 620.048 per ekor
per 12 minggu, atau meningkat: Rp. 345.136
(125,5%) dibandingkan dengan pemberian
pakan konvensional (hijauan) saja.
Meningkatknya
keuntungan,
tersebut
disebabkan karena meningkatnya out put
sebagai akibat peningkatan PBB sapi.
Meskipun pada P1 dan P2 terjadi peningkatan
in put, namun tambahan biaya tersebut relatif
kecil dibandingkan out put yang diterima,
sehingga R/C ratio meningkat.
KESIMPULAN
Melalui proses pengolahan (fermentasi)
nilai gizi limbah (cangkang) kakao sebagai
bahan pakan dapat ditingkatkan.
Pemberian limbah kakao olahan untuk
pakan sapi yang digemukkan (fattening)
memberikan pengaruh yang nyata terhadap
pertumbuhan. Bila pemberian limbah kakao
tersebut dikombinasikan dengan pemberian
Bio-Cas akan menghasilkan PBB yang lebih
tinggi lagi.
Penggunaan limbah kakao olahan sebagai
pakan penguat dapat meningkatkan keuntungan
usaha dan keuntungan tersebut akan lebih
tinggi bila penggunaan limbah kakao
dikombinasikan dengan pemberian Bio-Cas.

120

DAFTAR PUSTAKA
ANONIMUS. 2005. Laporan Cacah Jiwa Ternak
Propinsi Bali Tahun 2005. Dinas Peternakan
Propinsi Bali, Denpasar.
ANONIMUS. 2006. Statistik Perkebunan Propinsi Bali
Tahun 2005. Dinas Perkebunan Propinsi Bali,
Denpasar.
GUNTORO, S. dan I-M. RAI YASA. 2005. Penggunaan
Limbah Kakao Terfermentasi Untuk Pakan
Ayam Buras Petelur. Puslitbang Sosial
Ekonomi Pertanian, Bogor. J. Pengkajian dan
Pengembangan Teknologi Pertanian. Juli
2005. 8(2).
GUNTORO, S., I-M. RAI Yasa dan I. M. Londra. 2003.
Laporan Hasil Pengkajian Penggunaan
Sampah Organik untuk Pakan Sapi Potong.
Kerjasama Bappeda Propinsi Bali dengan
BPTP Bali.
HARJATI, T. dan B. HARDJOSUWITO. 1984.
Pemanfatan Coklat sebagai Bahan Dasar
Pembuatan Pektin. J. Menara Perkebunan,
Balai Penelitian Perkebunan, Bogor.
JAMES BLAKELY and DAVID H. BADE. 1998. The
Science of Animal Husbandry. Fourth Edition.
Gajah Mada University Press, Yogyakarta.
KOMPIANG, I-P. 2000. Peningkatan Mutu Bahan
Baku Pakan. Makalah Seminar Pengembangan
Teknologi Pertanian Ramah Lingkungan.
Instalasi Penelitian dan Pengkajian Teknologi
Pertanian (IP2TP) Denpasar. Denpasar 8 9
Maret 2000.
ZAINUDDIN, D., SUTIKNO, T. HARYADI dan
HERNOMOADI.
1995.
Kecernaan
dan
Fermentasi
Limbah
Kakao
serta
Pemanfaatannya
pada
Ternak
Ayam.
Kumpulan Hasil-Hasil Penelitian APBN
TA 94/95. Balai Penelitian Ternak, Ciawi,
Bogor.

You might also like