We Are Nearer To Him Than His Jugular Vein (50:16)

You might also like

Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 18

ad-ditionality of existence ( ziyadat-i wujud )

The Haqq (SWT) exists by (mawjud ) by His ownperson (dhat ), not by His existence
(wujud ). That is unlike the others things that exist by existences.So He (SWT) does
not need to exist by His exis-tence.
His attributes and act (like His person) are alsowithout what manner (bi-chuni) and
without how (bi-cheguneh ). They have no correlationwith the attributes and acts
of contingent things
essence (mahiya) haqiqat
We are nearer to Him than his jugular vein[50:16].
ex-ternal existence (wujud-i khariji)
mental existence(wujud-i dhihni)
endlessend(azal va abad ) unied (muttahid ) together
the divinity (ilahi)
Verication (tahqiq)
unveiling,kashf
modi-cation (taghayyur ).
timeless (la-zamani)
ahad that means an absolute or numerical oneness
wahid has been translated as one-in-all.
Unveiled (inkishaf )
indivisible (basit )
subjectively (bi-itibar )
We do not worship a God who comes within the compass of witnessing (shuhud ),
can be seen, or can be known or can be imagined or conceived.Because that what
can be witnessed, seen, known,imagined or conceived (mash-hud, mari,
malum,mawhum, mutakhayyul)-that is a crafted and newly-originated (masnu va
muhdath)thing just like him who witnesses, sees, knows, imagines or conceives[i.e.
man].
Allah is indeed perfect and exalted (kamalahu sub-hanahu). However, He (SWT) is
also beyond these two attributes. Indeed, He (SWT) is beyond all the names and
attributes ( jamiil asma wal-sifat ), beyond all the modes andcrossing

overs( jamiil shuun wal itibarat ), beyond manifestation and non-manifestation


( zuhur wal-butun), beyond com-ing out in the open and becoming hidden (buruz wal kumun), beyond self-disclosures and man-ifestations (tajalliyat wa lzuhurat ), beyond all that where one arrives and where one is made to arrive
(mawsulin wa mafsulin), beyond witness-ings and unveilings (mushadatwalmukashafat ),beyond all sensory things and intelligible things (mahsus wa lmaqul), beyond all illusory things and imaginalized things (mawhumwalmutakhayyal),and He (SWT) is beyond the beyond, then beyond the beyond and still
then beyond the beyond. [A2.1, 3]
( faHuasubhanaHuwaraal-wara thumma wara al-wara thumma waraal-wara
thumma wara al-wara)
Most scholars translate dhat as essence, especially when it refers to God; but I am
using person. In Islamic philosophy,dhat may mean any one of these four things:
1)essence or mahiya, 2) existence or wujud , 3) thatness or an-niya, or 4) substance
or jawhar . Instead of pre occupying our-selves with the meaning of these terms, we
ought to note that while essence or mahiya is a mere concept that does not have
external existence,dhat is externally existent. This is one reason that I have chosen
to translate dhat of God, Who is necessarily externally existent, with the word
person rather than essence.
A Review of Basic Concepts in Ontology
In Aristotelian ontology, the rst thing that we consider is substance. It refers to
the things or objects that the ontologistis concerned about, e.g., John, Robert, man,
tiger, and so on.Primary substance is any individual thing, e.g., a specic and
unique John, Robert, a particular man, a particular tiger,etc. Secondary substance
is what we get after abstracting one level, e.g., the class called man, or the class
called tiger,and so on.Substance is called jawhar is Arabic that originates. The
Arabic word jawhar comes from Persian gawhar , jewel. Itrefers to the idea that the
substance is the most valuable thing,i.e., the primary subject of consideration for
the ontologist.The Arabic philosophical term mahiya , that literally means what-isit-ness, is translated as essence - in keeping with modern English usage. It
means the denition of a thing, i.e.,the concept that denes a thing intrinsically or
the set of at-tributes that make a thing what it is necessarily. It consists of qualities
that are intrinsic to it, which are called essential at-tributes. For example, all roses
have petals. So the attributeof having petals is an essential attribute of rose, and
a part of the essence of rose.Aristotle held that essence is more important than
exis-tence. He reasoned that we ask the question What is it? even before we ask
Does it exist? Muslim philosophers who fol-lowed Aristotle reasoned along the
same lines. Averroes (IbnRushd), who lived in medieval Spain, diverged from this
trendand afrmed the primacy of existence over essence. Mulla Sadra, the
seventeenth-century Muslim Iranian philosopher,broke away from that tradition as
well. Averroes and MullaSadra, they both reasoned that only after we know that it

ex-ists, do we even bother to wonder, What is it?Attribute or sifat refers to


property of a thing.
Sifat maybe an intrinsic part of the thing, i.e., a part of its essence, in which case it
may be called an essential attribute. Or it may bean accidental attribute, i.e.,
something that is not an essential part of the essence but instead something
accidental or addi-tional to it. In the case of an accidental attribute, the thingmay or
may not possess that attribute and even if the thingdoes not have that attribute, it
is still that thing. For example, arose may or may not possess the attribute of being
of the colorred. Here, the color red is an accidental attribute or an ac-cident of
the rose and not a part of the essence of the rose. Onthe other hand, having petals
is an essential attribute or partof the essence of the rose.When we talk about
God, the term attribute or sifat refersto a reied attribute that has external
existence. This is not at all like the human conception of attributes. However, God
does have other subtler forms of attributes that lack external existence and are
more like human attributes in that way. The rst level of subtler attribute is mode
or shan and the second level that is even subtler is crossing-over or itibar .A
particular or juziya is best dened by dening what it is not. It is not an
abstraction; it is something that is concrete.It is also not multiply-instantiated
rather it is one-of-a-kind or unique. For example, Socrates is not an abstraction; in
stead he was concrete. Additionally, he was not multiply-instantiated; rather he
was unique. So Socrates is a particu-lar.A universal or kulliya refers to the
universal essence that is contained in a class, genus, or species of primary substances. That is, the universal is something that is not an indi-vidual, e.g., the class
of beings called man (as opposed to the particular individual named John).

yang-ada (being)

kenyataan/realitas (reality)
eksistensi (existence)
perubahan (change)
tunggal (one)
jamak (many)

DASAR-DASAR ILMU FILSAFAT (Ontologi, Epistimologi, Aksiologi)

DASAR-DASAR ILMU
(Ontologi, Epistimologi, Aksiologi)

A.ONTOLOGI
Ontology merupakan salah satu dari obyek garapan lsafat ilmu yang menetapkan
batas lingkup dan teori tentang hakikat realitas yang ada (Being), baik berupa
wujud sik (al-Thobiah) maupun metasik (ma bada al-Thobiah) selain itu
Ontology merupakan hakikat ilmu itu sendiri dan apa hakikat kebenaran serta
kenyataan yang inheren dengan penetahuan ilmiah tidak terlepas dari persepektif
lsafat tentang apa dan bagaimana yang ada.

Ruang lingkup garapan ontologi itu sendiri meliputi sika dan metasika dan
metasika masih menjadi perdebatan, terutama di kalangan losuf barat, yang
kemudian dibatasi hanya pada obyek-obyek empiris. Maka ilmu hanya membahas
daerah-daerah
yang
berada
dalam
jangkauan
pengalaman
manusia.
Ontology menurut Lois O. kattsoff yang dibagi menmjadi empat bagian yaitu:
ontology bersahaja adalah sesuatu dipandang sewajarnya dan apa adanya, Ontologi
Kuantitatif adalah sesuatu yang dipertanyakan mengenai tunggal atau jamaknya,
Ontologi Kualitatif adalah sesuatu yang berangkat dari pertanyaan apa yang
merupakan jenis pertanyaan itu, Ontologi Moderik adalah jika dikatakan bahwa
kenyataan itu tunggal adanya, keanekaragaman, perbedaan dan perubahan
dianggap semu belaka yang pada akhirnya akan melahirkan ontologi monistik atau
idealisme.
Lorens Bagus memperkenalkan tiga tingkatan abstraksi dalam ontologi, yaitu :
abstraksi sik, abstraksi bentuk, dan abstraksi metaphisik. Abstraksi sik
menampilkan keseluruhan sifat khas sesuatu objek; sedangkan abstraksi bentuk
mendeskripsikan sifat umum yang menjadi ciri semua sesuatu yang sejenis.
Abstraksi metaphisik mengetangahkan prinsip umum yang menjadi dasar dari
semua realitas. Abstraksi yang dijangkau oleh ontologi adalah abstraksi metaphisik.
Sedangkan metode pembuktian dalam ontologi oleh Laurens Bagus di bedakan
menjadi dua, yaitu : pembuktian a priori dan pembuktian a posteriori.
Dalam pemahaman ontology dapat dikemukakan pandangan pokok sebagai berikut:
1.Aliran monoisme, berpendapat bahwa hakikat yang asal dari seluruh kenyataan
itu hanya satu, tidak mungkin dua, masing-masing b bebas berdiri sendiri. Haruslah
salah satunya sumber yang pokok dan domonan yang menentukan perkembangan
lain, aliran ini juga berpendapat bahwa yang ada itu serba sepirit, ideal dan serba

Roh yang kemudian dikelompokan kedalam aliran Monoisme-idealisme. Paham ini


terbagi menjadi dua aliran:
a)Aliran materialisme yang berpendapat bahwa sumber yang asal itu adalah materi
bukan juga rohani atau yang sering disebut naturalisme. Menurutnya zat yang mati
merupakan kenyataan satu-satunya fakta dan jiwa atau ruh tidaklah merupakan
kenyataan yang berdiri sendiri.
b)Aliran Idealisme yang berpendapat serba cita atau sesuatu yang hadir dalam jiwa
yang dinamakan dengan Sepritualiseme, berarti serba ruih dan menyatakan bahwa
hakiakt benda adalah ruhani dan bersifat sepiritual.

2.Aliran dualisme, aliran ini menggabungkan dua hakikat antara dualisme dengan
materialisme, dikatakan bahwa alam wujud ini tyerdiri dari dua hakikat sebagai
sumber yaitu hakikat materi dan hakikat ruhani, benda dan ruh, jasad dan sepirit.
3.Aliran Pluralisme, aliran ini berpandangan bahwa segenap macam bentuk
merupakan kenyataan dan menyatakan ala mini tersusun dari banyak unsure serta
lebih dari satu itentisa. Tokoh aliran ini adalah Anaxsagoras, Danempedcles yang
menyebutkan bahwa subtansi yang ada itu tebentuk dari empat unsure yaitu:
Tanah, Air, Api dan Udara.
4.Aliran Nihilisme merupakan sebuah doktrin yang tidak mengakui Validitas
alternative yang positif. Gorgias berpandangan bahwa ada tiga proposisi tentang
realitas.
Tidak ada satupun yang eksis beranggapan bahwa kontradiksi tidak dapat diterima,
maka
pemikiran
tidak
menyatakan
apa-apa
tentang
realitas.
Bila suatu itu ada, ia tidak dapat diketahui, ini disebabkan penginderaan tidak dapat
dipercaya, pengideraan adalah sunber ilusi. Akal juga tidak mampu meyakinkan kita
tentang bahan alam semesta karena kita telah didukung olh delima subyektif, kita
berkir sesuai dengan kemauan dan ide yang kita terapkan pada fenomena.
Sekalipun realitas itu dapat kita ketahui, ia tidak akan dapat memberikan kepada
orang lain.
5.Aliran Agnotisme, aliran ini merupakan sebuah penyangkalan terhadap
kemampuan Manusia mengetahui hakikat benda, baik materi meupun ruhani, hal ini
mirip dengan skeptisme yang berpendapat bahwa manusia diragukan dalam
mengerahui hakiakt. Tetapi Agnotisme lebih dari itu.

Kattsoff banyak memberikan term dasar mengenai bidang ontologi, misalnya; yang
ada, kenyataan, eksitensi, perubahan, tunggal, dan jamak. Secara ontology ilmu
membatasi lingkup pengalaman keilmuannya yang hanya pada daerah-daerah yang
barbed dalam jangkauan pengalaman manusia. Objek pengalaman yang berada
dalam batas pra-pengalaman dan pasca-pengalaman.
Penetapan lingkup batas penelaahan keilmuan yang bersifat empiris ini adalah
merupakan konsistensi pada batas epistemology keilmuan. Ontology keilmuan juga
merupakan penafsiran tentang hakikat realitas dari objek ontology keilmuan.

B. EPISTIMOLOGI
Manusia dengan latar belakang, kebutuhan-kebutuhan dan kepentingankepentingan yang berbeda mesti akan berhadapan dengan pertanyaan-pertanyaan
seperti, dari manakah saya berasal? Bagaimana terjadinya proses penciptaan alam?
Apa hakikat manusia? Tolok ukur kebaikan dan keburukan bagi manusia? Apa faktor
kesempurnaan jiwa manusia? Mana pemerintahan yang benar dan adil? Mengapa
keadilan itu ialah baik? Pada derajat berapa air mendidih? Apakah bumi mengelilingi
matahari atau sebaliknya? Dan pertanyaan-pertanyaan yang lain. Tuntutan trah
manusia dan rasa ingin tahunya yang mendalam niscaya mencari jawaban dan
solusi atas permasalahan-permasalahan tersebut dan hal-hal yang akan
dihadapinya.
Pada dasarnya, manusia ingin menggapai suatu hakikat dan berupaya mengetahui
sesuatu yang tidak diketahuinya. Manusia sangat memahami dan menyadari
bahwa:
1.
Hakikat itu ada dan nyata;
2.
Kita bisa mengajukan pertanyaan tentang hakikat itu;
3.
Hakikat itu bisa dicapai, diketahui, dan dipahami;
4.
Manusia bisa memiliki ilmu, pengetahuan, dan makrifat atas hakikat itu. Akal
dan pikiran manusia bisa menjawab persoalan-persoalan yang dihadapinya, dan
jalan menuju ilmu dan pengetahuan tidak tertutup bagi manusia.
Apabila manusia melontarkan suatu pertanyaan yang baru, misalnya bagaimana
kita bisa memahami dan meyakini bahwa hakikat itu benar-benar ada? Mungkin
hakikat itu memang tiada dan semuanya hanyalah bersumber dari khayalan kita
belaka? Kalau pun hakikat itu ada, lantas bagaimana kita bisa meyakini bahwa apa
yang kita ketahui tentang hakikat itu bersesuaian dengan hakikat eksternal itu
sebagaimana adanya? Apakah kita yakin bisa menggapai hakikat dan realitas

eksternal itu? Sangat mungkin pikiran kita tidak memiliki kemampuan memadai
untuk mencapai hakikat sebagaimana adanya, keraguan ini akan menguat
khususnya apabila kita mengamati kesalahan-kesalahan yang terjadi pada indra
lahir dan kontradiksi-kontradiksi yang ada di antara para pemikir di sepanjang
sejarah manusia?Persoalan-persoalan terakhir ini berbeda dengan persoalanpersoalan sebelumnya, yakni persoalan-persoalan sebelumnya berpijak pada suatu
asumsi bahwa hakikat itu ada, akan tetapi pada persoalan-persoalan terakhir ini,
keberadaan hakikat itu justru masih menjadi masalah yang diperdebatkan. Untuk
lebih jelasnya perhatikan contoh berikut ini. Seseorang sedang melihat suatu
pemandangan yang jauh dengan teropong dan melihat berbagai benda dengan
bentuk-bentuk dan warna-warna yang berbeda, lantas iameneliti benda-benda
tersebut dengan melontarkan berbagai pertanyaan-pertanyaan tentangnya. Dengan
perantara teropong itu sendiri, ia berupaya menjawab dan menjelaskan tentang
realitas benda-benda yang dilihatnya. Namun, apabila seseorang bertanya
kepadanya: Dari mana Anda yakin bahwa teropong ini memiliki ketepatan dalam
menampilkan warna, bentuk, dan ukuran benda-benda tersebut? Mungkin bendabenda yang ditampakkan oleh teropong itu memiliki ukuran besar atau kecil?.
Keraguan-keraguan ini akan semakin kuat dengan adanya kemungkinan kesalahan
penampakan oleh teropong. ayang dihasilkan oleh teropong. Dengan ungkapan lain,
tidak ditanyakan tentang keberadaan realitas eksternal, akan tetapi, yang
dipersoalkan adalah keabsahan teropong itu sendiri sebagai alat yang digunakan
untuk melihat benda-benda yang jauh.
Keraguan-keraguan tentang hakikat pikiran, persepsi-persepsi pikiran, nilai dan
keabsahan pikiran, kualitas pencerapan pikiran terhdap objek dan realitas eksternal,
tolok ukur kebenaran hasil pikiran, dan sejauh mana kemampuan akal-pikiran dan
indra mencapai hakikat dan mencerap objek eksternal, masih merupakan
persoalan-persoalan aktual dan kekinian bagi manusia. Terkadang kita
mempersoalkan ilmu dan makrifat tentang benda-benda hakiki dan kenyataan
eksternal, dan terkadang kita membahas tentang ilmu dan makrifat yang diperoleh
oleh akal-pikiran dan indra. Semua persoalan ini dibahas dalam bidang ilmu
epistemologi.
Dengan demikian, denisi epistemologi adalah suatu cabang dari lsafat yang
mengkaji dan membahas tentang batasan, dasar dan pondasi, alat, tolok ukur,
keabsahan, validitas, dan kebenaran ilmu, makrifat, dan pengetahuan manusia
Pokok Bahasan Epistemologi
Dengan memperhatikan denisi epistemologi, bisa dikatakan bahwa tema dan
pokok pengkajian epistemologi ialah ilmu, makrifat dan pengetahuan. Dalam hal ini,
dua poin penting akan dijelaskan:
1.Cakupan pokok bahasan, yakni apakah subyek epistemologi adalah ilmu secara
umum atau ilmu dalam pengertian khusus seperti ilmu hushl[4]. Ilmu itu sendiri
memiliki istilah yang berbeda dan setiap istilah menunjukkan batasan dari ilmu itu.
Istilah-istilah ilmu tersebut adalah sebagai berikut:

a. Makna leksikal ilmu adalah sama dengan pengideraan secara umum dan
mencakup segala hal yang hakiki, sains, teknologi, keterampilan, kemahiran, dan
juga meliputi ilmu-ilmu seperti hudhr, hushl, ilmu Tuhan, ilmu para malaikat, dan
ilmu manusia.
b. Ilmu adalah kehadiran (hudhr) dan segala bentuk penyingkapan. Istilah ini
digunakan dalam lsafat Islam. Makna ini mencakup ilmu hushl dan ilmu hudhr.
c. Ilmu yang hanya dimaknakan sebagai ilmu hushl dimana berhubungan dengan
ilmu logika (mantik).
d. Ilmu adalah pembenaran (at-tashdiq) dan hukum yang meliputi kebenaran yang
diyakini dan belum diyakini.
e. Ilmu adalah pembenaran yang diyakini.
f. Ilmu ialah kebenaran dan keyakinan yang bersesuaian dengan kenyataan dan
realitas eksternal.
g. Ilmu adalah keyakinan benar yang bisa dibuktikan. Ilmu ialah kumpulan proposisiproposisi universal yang saling bersesuaian dimana tidak berhubungan dengan
masalah-masalah sejarah dan geogra.
i. Ilmu ialah gabungan proposisi-proposisi universal yang hakiki dimana tidak
termasuk hal-hal yang linguistik.
j. Ilmu ialah kumpulan proposisi-proposisi universal yang bersifat empirik.
2.Sudut pembahasan, yakni apabila subyek epistemologi adalah ilmu dan makrifat,
maka dari sudut mana subyek ini dibahas, karena ilmu dan makrifat juga dikaji
dalam ontologi, logika, dan psikologi. Sudut-sudut yang berbeda bisa menjadi pokok
bahasan dalam ilmu. Terkadang yang menjadi titik tekan adalah dari sisi hakikat
keberadaan ilmu. Sisi ini menjadi salah satu pembahasan dibidang ontologi dan
lsafat. Sisi pengungkapan dan kesesuian ilmu dengan realitas eksternal juga
menjadi pokok kajian epistemologi. Sementara aspek penyingkapan ilmu baru
dengan perantaraan ilmu-ilmu sebelumnya dan faktor riil yang menjadi penyebab
hadirnya pengindraan adalah dibahas dalam ilmu logika. Dan ilmu psikologi
mengkaji subyek ilmu dari aspek pengaruh umur manusia terhadap tingkatan dan
pencapaian suatu ilmu. Sudut pandang pembahasan akan sangat berpengaruh
dalam pemahaman mendalam tentang perbedaan-perbedaan ilmu.
Dalam epistemologi akan dikaji kesesuaian dan probabilitas pengetahuan,
pembagian dan observasi ilmu, dan batasan-batasan pengetahuan. Dan dari sisi ini,
ilmu hushl dan ilmu hudhr juga akan menjadi pokok-pokok pembahasannya.
Dengan demikian, ilmu yang diartikan sebagai keumuman penyingkapan dan
pengindraan adalah bisa dijadikan sebagai subyek dalam epistemologi.
Dengan memperhatikan denisi dan pengertian epistemologi, maka menjadi
jelaslah bahwa metode ilmu ini adalah menggunakan akal dan rasio, karena untuk
menjelaskan pokok-pokok bahasannya memerlukan analisa akal. Yang dimaksud
metode akal di sini adalah meliputi seluruh analisa rasional dalam koridor ilmu-ilmu
hushl dan ilmu hudhr. Dan dari dimensi lain, untuk menguraikan sumber kajian
epistemologi dan perubahan yang terjadi di sepanjang sejarah juga menggunakan
metode analisa sejarah.
3.Hubungan Epistimologi dengan Ilmu-ilmu Lain

a)Hubungan epistimologi dengan ilmu logika


Ilmu logika adalah suatu ilmu yang mengajarkan tentang metode berpikir benar,
yakni metode yang digunakan oleh akal untuk menyelami dan memahami realitas
eksternal sebagaimana adanya dalam penggambaran dan pembenaran. Dengan
memperhatikan denisi ini, bisa dikatakan bahwa epistemologi jika dikaitkan
dengan ilmu logika dikategorikan sebagai pendahuluan dan mukadimah, karena
apabila kemampuan dan validitas akal belum dikaji dan ditegaskan, maka mustahil
kita membahas tentang metode akal untuk mengungkap suatu hakikat dan bahkan
metode-metode yang ditetapkan oleh ilmu logika masih perlu dipertanyakan dan
rekonstruksi, walhasil masih menjadi hal yang diragukan.
b)Hubungan epistimologi dengan lsafat
Pengertian umum lsafat adalah pengenalan terhadap eksistensi (ontologi), realitas
eksternal, dan hakikat keberadaan. Sementara lsafat dalam pengertian khusus
(metasika) adalah membahas kaidah-kaidah umum tentang eksistensi. Dalam dua
pengertian tersebut, telah diasumsikan mengenai kemampuan, kodrat, dan validitas
akal dalam memahami hakikat dan realitas eksternal. Jadi, epistemologi dan ilmu
logika merupakan mukadimah bagi lsafat.
c)Hubungan epistimologi dengan Teologi dan Tafsir
Ilmu kalam (teologi) ialah suatu ilmu yang menjabarkan proposisi-proposisi teks suci
agama dan penyusunan argumentasi demi mempertahankan peran dan posisi
agama. Ilmu tafsir adalah suatu ilmu yang berhubungan dengan metode penafsiran
kitab suci. Jadi, epistemologi berperan sentral sebagai alat penting bagi kedua ilmu
tersebut, khususnya pembahasan yang terkait dengan kontradiksi ilmu dan agama,
atau akal dan agama, atau pengkajian seputar pluralisme dan hermeneutik, karena
akar pembahasan ini terkait langsung dengan pembahasan epistemologi.
4.Urgensi Epistimologi
Jika kita perhatikan denisi epistemologi dan hubungannya dengan ilmu-ilmu
lainnya, maka jelaslah mengenai urgensi kajian epistemologi, terkhusus lagi apabila
kita menyimak ruang pemikiran dan budaya yang ada serta kritikan, keraguan, dan
persoalan inti yang dimunculkan seputar keyakinan agama dan dasar-dasar etika,
qih, penafsiran, dan hak-hak asasi manusia dimana sentral dari semua
pembahasan tersebut berpijak pada epistemologi.
Hubungan epistemologi dengan persoalan politik adalah hal yang juga tak bisa
disangkal dan saling terkait. Plato berkata pada penguasa Yunani ketika itu, Anda
tidak layak memerintah, karena Anda bukan seorang hakim (losof). Dan juga
berkaitan dengan pemerintahan Islam bisa dikatakan bahwa karena manusia tak
bisa memahami hakikat dirinya sendiri sebagaimana yang semestinya, maka
penetapan hukum hanya berada ditangan Tuhan, dan para ulama yang adil adalah
wakil Tuhan yang memiliki hak memerintah. Pada sisi lain, sebagian beranggapan
bahwa makrifat agama adalah bukan bagian dari ilmu, dan untuk memerintah mesti
dibutuhkan ilmu politik dan pemerintahan, sementara kaum ulama tersebut tak
menguasainya, dengan demikian, mereka tidak berhak memerintah.
Pembahasan seperti tersebut di atas membuktikan kepada kita pentingnya
pengkajian epistemologi dan konklusi-konklusinya, dan dari aspek lain, begitu

banyak ayat al-Quran berkaitan dengan argumentasi akal, memotivasi manusia


untuk menggapai ilmu dan makrifat, dan menolak segala bentuk keraguan. Semua
kenyataan ini berarti bahwa pencapaian keyakinan dan kebenaran adalah sangat
mungkin dengan perantaraan akal dan argumentasi rasional, dan jika ada orang
yang ragu atas realitas ini, maka minimalnya iaharus menerimanya untuk
menjawab segala bentuk kritikan.
Perbedaan hakiki manusia dan hewan terletak pada potensi akal-pikiran. Rahasia
kemanusiaan manusia adalah bahwa ia mesti menjadi maujud yang berakal dan
mengaplikasikan kekuatan akal dalam semua segmen kehidupannya serta seluruh
kehendak dan iradahnya terwujud melalui pancaran petunjuk akal. Hal ini berarti
bahwa jika akal dan rasionalitasnya dipisahkan dari kehidupannya, maka yang
tertinggal hanyalah sifat kehewannya, dengan demikian, segala dinamika hidupnya
berasal dari kecenderungan hewaninya.
Manusia ialah maujud yang berakal dan seluruh aktivitasnya dinapasi oleh akal dan
pengetahuan, maka dari itu, suatu rangkaian persoalan yang prinsipil menjadi
terkonstruksi dengan tujuan untuk mencarikan solusi atas segala permasalahan
yang timbul berkaitan dengan pengetahuan dan akal manusia, dimana hal itu
merupakan pembatas substansial antara iadengan hewan.
Yang pasti, jawaban atas segala persoalan mendasar niscaya dengan upaya-upaya
rasional dan losos, karena ilmu-ilmu alam dan matematika tidak mampu
memberikan solusi komprehensif dan universal atasnya. Karena telah jelas urgensi
upaya rasional untuk kehidupan hakiki manusia, maka persoalan yang kemudian
muncul ialah apakah akal manusia mampu menyelesaikan persoalan-persoalan
tersebut? Jika nilai dan validitas pengenalan akal belum ditegaskan, maka tidaklah
berguna pengakuan akal dalam mengajukan solusi atas segala permasalahan yang
dihadapi manusia, dan keraguan akan senantiasa bersama manusia bahwa apakah
akal telah memberikan solusi yang benar atas perkara-perkara tersebut?
Pertanyaan-pertanyaan ini adalah inti pembahasan epistemologi. Dengan begitu,
sebelum melangkah ke arah upaya-upaya rasional dan losos, langkah pertama
yang mesti diambil adalah membedah persoalan-persoalan epistemologi.
Dengan ungkapan lain, apabila kita merujuk kepada daftar isi persoalan-persoalan
yang berkaitan dengan pengetahuan, misalnya persoalan tentang keberadaan
realitas eksternal dan kemungkinan terjalinnya hubungan manusia dengan realitas
eksternal itu, maka akan menjadi jelas bagi kita bahwa epistemologi merupakan
pemberi validitas dan nilai kepada seluruh pemikiran lsafat dan penemuan ilmiah
manusia sedemikian sehingga kalau persoalan-persoalan yang berhubungan
dengan ilmu dan pengetahuan tersebut belumlah menjadi jelas, maka tak satu pun
pemikiran lsafat manusia dan penemuan ilmiah yang akan bernilai, karena semua
aliran lsafat dan ilmu mengaku telah berhasil mengungkap hakikat alam, manusia,
dan rahasia fenomena eksistensial lainnya.
Berkenaan dengan urgensi epistemologi, kami akan kutip ungkapan seorang
pemikir dan losof Islam kontemporer asal Iran , Murthada Muthahhari , ia berkata
Pada era ini kita menyaksikan keberadaan aliran-aliran lsafat sosial dan ideologi
yang berbeda dimana masing-masingnya mengusulkan suatu jalan dan solusi

hidup. Aliran-aliran ini memiliki sandaran pemikiran yang bersaing satu sama lain
untuk merebut pengaruh. Muncul suatu pertanyaan, mengapa aliran-aliran dan
ideologi-ideologi tersebut memiliki perbedaan? Jawabannya, penyebab lahirnya
perbedaan-perbedaan tersebut terletak pada perbedaan pandangan dunianya (word
view) masing-masing. Hal ini karena, semua ideologi berpijak pada pandangan
dunia dan setiap pandangan dunia tertentu akan menghadirkan ideologi dan aliran
sosial tertentu pula. Ideologi menentukan apa yang mesti dilakukan oleh manusia
dan mengajukan bagaimana metode mencapai tujuan itu. Ideologi menyatakan
kepada kita bagaimana hidup semestinya. Mengapa ideologi mengarahkan kita?
Karena pandangan dunia menegaskan suatu hukum yang mesti diterapkan pada
masyarakat dan sekaligus menentukan arah dan tujuan hidup masyarakat. Apa
yang ditentukan oleh pandangan dunia, itu pula yang akan diikuti oleh ideologi.
Ideologi seperti lsafat praktis, sedangkan pandangan dunia menempati lsafat
teoritis. Filsafat praktis bergantung kepada lsafat teoritis. Mengapa suatu ideologi
berpijak pada materialisme dan ideologi lainnya bersandar pada teisme? Perbedaan
pandangan dunia tersebut pada hakikatnya bersumber dari perbedaan dasar-dasar
pengenalan, pengetahuan, dan epistemologi.
Epistemologi pada Zaman Yunani Kuno dan Abad Pertengahan
Perjalanan historis epistemologi dalam lsafat Islam dan Barat memiliki perbedaan
bentuk dan arah. Perjalanan historis epistemologi dalam lsafat barat ke arah
skeptisisme dan relativisme. Skeptisisme diwakili oleh pemikiran David Hume,
sementara relativsime nampak pada pemikiran Immanuel Kant.
Sementara perjalanan sejarah epistemologi di dalam lsafat Islam mengalami suatu
proses yang menyempurna dan berhasil menjawab segala bentuk keraguan dan
kritikan atas epistemologi. Konstruksi pemikiran lsafat Islam sedemikian kuat dan
sistimatis sehingga mampu memberikan solusi universal yang mendasar atas
persoalan yang terkait dengan epistemologi. Pembahasan yang berhubungan
dengan pembagian ilmu, yakni ilmu dibagi menjadi gagasan/konsepsi (attashawwur) dan penegasan (at-tashdiq), atau hushl dan hudhr, macam-macam
ilmu hudhr, dan hal yang terkait dengan kategori-kategori kedua lsafat.
Walaupun masih dibutuhkan langkah-langkah besar untuk menyelesaikan
persoalan-persoalan partikular yang mendetail di dalam epistemologi.
1. Sejarah Epistemologi dalam Filsafat Barat
Apabila kita membagi perjalanan sejarah lsafat Barat dalam tiga zaman tertentu
(Yunani kuno, abad pertengahan, dan modern) dan menempatkan Yunani kuno
sebagai awal dimulainya lsafat Barat, maka secara implisit bisa dikatakan bahwa
pada zaman itu juga lahir epistemologi. Pembahasan-pembahasan yang dilontarkan
oleh kaum Sophis dan losof-losof pada zaman itu mengandung poin-poin kajian
yang penting dalam epistemologi.
Hal yang mesti digaris bawahi ialah pada zaman Yunani kuno dan abad pertengahan
epistemologi merupakan salah satu bagian dari pembahasan lsafat, akan tetapi,
dalam kajian lsafat pasca itu epistemologi menjadi inti kajian lsafat dan hal-hal
yang berkaitan dengan ontologi dikaji secara sekunder. Dan epistemologi setelah
Renaissance dan Descartes mengalami suatu perubahan baru.

2. Epistemologi di Zaman Yunani Kuno


Berdasarkan penulis sejarah lsafat, orang pertama yang membuka lembaran
kajian epistemologi adalah Parmenides. Hal ini karena iamenempatkan dan
menekankan akal itu sebagai tolok ukur hakikat. Pada dasarnya, iamengungkapkan
satu sisi dari sisi-sisi lain dari epistemologi yang merupakan sumber dan alat ilmu,
akal dipandang sebagai yang valid, sementara indra lahir hanya bersifat
penampakan dan bahkan terkadang menipu.
Heraklitus berbeda dengan Parmenides, ia menekankan pada indra lahir. Heraklitus
melontarkan gagasan tentang perubahan yang konstan atas segala sesuatu dan
berkeyakinan bahwa dengan adanya perubahan yang terus menerus pada segala
sesuatu, maka perolehan ilmu menjadi hal yang mustahil, karena ilmu memestikan
kekonstanan dan ketetapan, akan tetapi, dengan keberadaan hal-hal yang
senantiasa berubah itu, maka mustahil terwujud sifat-sifat khusus dari ilmu
tersebut. Oleh karena itu, sebagian peneliti sejarah lsafat menganggap
pemikirannya sebagai dasar Skeptisisme.
Kaum Sophis ialah kelompok pertama yang menolak denisi ilmu yang bermakna
kebenaran yang sesuai dengan realitas hakiki eksternal, hal ini karena terdapat
kontradiksi-kontradiksi pada akal dan kesalahan pengamatan yang dilakukan oleh
indra lahir.
Pythagoras berkata, Manusia merupakan parameter segala sesuatu, tolok ukur
eksistensi segala sesuatu, dan mizan ketiadaan segala sesuatu. Gagasan
Pythagoras ini kelihatannya lebih menyuarakan dimensi relativitas dalam pemikiran.
Gorgias menyatakan bahwa sesuatu itu tiada, apabila ia ada, maka mustahil
diketahui, kalau pun iabisa dipahami, namun tidak bisa dipindahkan.
Socrates ialah losof pertama pasca kaum Sophis yang lantas bangkit mengkritisi
pemikiran-pemikiran mereka, dan dengan cara induksi dan pendenisian, ia
berupaya mengungkap hakikat segala sesuatu. Iamemandang bahwa hakikat itu
tidak relatif dan nisbi.
Democritus beranggapan bahwa indra lahir itu tidak akan pernah mengantarkan
pada pengetahuan benar dan segala sifat sesuatu iabagi menjadi sifat-sifat majasi
dimana dihasilkan dari penetapan pikiran seperti warna dan sifat-sifat hakiki seperti
bentuk dan ukuran. Pembagian sifat ini kemudian menjadi perhatian para losof dan
sumber lahirnya berbagai pembahasan.
Plato, murid Socrates, ialah losof pertama yang secara serius mendalami
epistemologi dan menganggap bahwa permasalahan mendasar pengetahuan
indriawi itu ialah terletak pada perubahan objek indra. Iajuga berkeyakinan, karena
pengetahuan hakiki semestinya bersifat universal, pasti, dan diyakini, maka
objeknya juga harus tetap dan konstan, dan perkara-perkara yang senantiasa
berubah dan partikular tidak bisa dijadikan objek makrifat hakiki. Oleh karena itu,
pengetahuan indriawi bersifat keliru, berubah, dan tidak bisa diyakini, sementara
pengetahuan hakiki (baca: pengetahuan akal) itu yang berhubungan dengan hal-hal
yang konstan dan tak berubah ialah bisa diyakini, universal, tetap, dan bersifat
pasti. Dengan dasar ini, iakemudian melontarkan gagasan tentang mutsul (maujudmaujud non-materi di alam akal).

Pengetahuan hakiki dalam pandangan Plato ialah keyakinan benar yang bisa
diargumentasikan, dimana pengetahuan jenis ini terkait dengan hal-hal yang
konstan. Pengetahuan-pengetahuan selain ini ialah bersifat prasangka, hipotesa,
dan perkiraan belaka. Begitu pula, denisi plato tentang pengetahuan dan makrifat
lantas menjadi perhatian serius para epistemolog kontemporer.
Lebih lanjut ia berkata bahwa panca indra lahir itu tidak melakukan kesalahan,
melainkan kekeliruan itu bersumber dari kesalahan penetapan makna-makna
maujud di ruang memori pikiran atas perkara-perkara indriawi.
Aristoteles, murid Plato, lebih menekankan penjelasan ilmu dan pembuktian asumsiasumsinya daripada menjelaskan persoalan yang berkaitan dengan probabilitas
pengetahuan. Iayakin bahwa setiap ilmu berpijak pada kaidah-kaidah awal dimana
hal itu bisa dibuktikan di dalam ilmu-ilmu lain, akan tetapi, proses pembuktian ini
harus berakhir pada kaidah yang sangat gamblang yang tak lagi membutuhkan
pembuktian rasional. Dalam hal ini, prinsip non-kontradiksi merupakan kaidah
pertama yang sangat gamblang yang diketahui secara trah. Ia menetapkan
penggambaran universal, abstraksi, dan analisa pikiran menggantikan gagasan
mutsul Plato. Iamenyusun ilmu logika dengan tujuan menetapkan suatu metode
berpikir dan berargumentasi secara benar dengan menggunakan kaidah-kaidah
pertama dalam ilmu dan pengetahuan yang bersifat gamblang (badihi), dengan
demikian, pencapaian hakikat dan makrifat hakiki ialah hal yang sangat mungkin
dan tidak mustahil.
Kelompok Rawaqiyun yang yakin pada pengalaman agama dan indra lahir, menolak
pandangan tentang konsepsi universal pikiran dari Aristoteles dan konsep mutsul
Plato tersebut. Mereka beranggapan bahwa pengetahuan itu adalah pengenalan
partikular sesuatu. Disamping meyakini bentuk intuisi batin (asy-syuhud) itu
sebagai tolok ukur kebenaran, juga meyakini penalaran rasionalitas.
Epicure (270-341 M) memandang indra lahir sebagai pondasi dan tolok ukur
kebenaran pengetahuan. Makrifat yang diperoleh lewat indra itu merupakan
makrifat yang paling diyakini kebenarannya, dengan perspektif ini, ilmu matematika
dianggap hal yang tidak valid.
Kaum Skeptis beranggapan bahwa kesalahan indra lahir dan akal itu merupakan
dalil atas ketidakabsahannya. Sebagian dari mereka bahkan menolak secara mutlak
adanya kebenaran dan sebagian lain memandang kemustahilan pencapaiannya.
Perbedaan kaum Skeptis dengan kaum Sophis adalah bahwa argumentasiargumentasi kaum Sophis menjadi pijakan utama kaum Skeptis. Gagasan
Skeptisisme muncul sebelum Masehi hingga abad kedua Masehi yang dipropagandai
oleh Agrippa (di abad pertama) dan kemudian dilanjutkan oleh Saktus Amirikus (di
abad kedua).
Walhasil, epistemologi di zaman Yunani kuno dimulai dengan pertanyaanpertanyaan dan kemudian dibahas dalam bentuk yang berbeda dalam lsafat. Dan
semua persoalan, keraguan, jawaban, dan solusinya hadir dalam bentuk yang
semakin kuat dan sistimatis serta terlontarnya pembahasan seputar probabilitas
pengetahuan, sumber ilmu, dan tolok ukur kesesuaian dengan realitas eksternal.
3. Epistemologi pada Abad Pertengahan (dari Awal Masehi hingga Abad

Kelimabelas)
Inti pembahasan di abad pertengahan adalah persoalan yang terkait dengan
universalitas dan hakikat keberadaannya, disamping itu, juga mengkaji dasar-dasar
pengetahuan dan kebenaran.
Plotinus, penggagas maktab neo platonisme, di abad ketiga masehi melontarkan
gagasan-gagasan penting dalam epistemologi.
Ia membagi tiga tingkatan persepsi (cognition): 1. Persepsi panca indra (sensuous
perception), 2. Pengertian (understanding), 3. Akal (logos, intellect). Tingkatan
pertama berkaitan dengan hal-hal yang lahir, tingkatan kedua adalah argumentasi,
dan akal sebagai tingkatan ketiga, bisa memahami hakikat kesatuan dalam
kejamakan dan kejamakan dalam kesatuan tanpa lewat proses berpikir. Dan
tingkatan di atas akal adalah intuisi (asy-syuhud).[33]
Augustine (354-430 M) beranggapan bahwa ilmu terhadap jiwa dan diri sendiri itu
tidak termasuk dalam ruang lingkup yang bisa diragukan oleh kaum Skeptis dan
Sophis, di samping itu iamemandang bahwa ilmu itu sebagai ilmu yang paling benar
dan proposisi-proposisi matematika adalah bersifat gamblang yang tidak bisa
diragukan lagi. Pengetahuan indriawi itu, karena objeknya senantiasa berubah,
tidak tergolong sebagai makrifat hakiki.
Dalam pandangannya, ilmu dan pengetahuan dimulai dari diri sendiri, karena ilmu
terhadap jiwa tidak bisa diragukan. Salah satu ungkapan beliau adalah Saya ragu,
oleh karena itu, saya ada.
4. Gagasan Tentang Universalia
Salah satu pembahasan inti di abad pertengahan ialah kajian tentang universal dan
sumber kehadirannya, yakni apakah universal itu adalah penyaksian mutsul Plato
itu sendiri ataukah konsep abstraksi akal yang bersifat universal yang sebagaimana
diyakini oleh Aristoteles. Apakah universal itu secara mendasar tidak memiliki
wujud luar. Apakah universal itu hanya sebatas suatu konsep. Apakah universal
itu hanyalah sebuah kata umum yang bisa mencakup beberapa individu-individu
eksternal. Apakah wujud universal itu sendiri sama dengan wujud partikular
yang keberadaannya bukan hanya di alam pikiran, bahkan juga berada di alam
eksternal yang sebagaimana maujud-maujud hakiki yang lain?
Sebagai contoh manusia universal. Apakah manusia universal di sini hanyalah
sebuah konsep universal yang ada di alam pikiran semata, ataukah manusia
universal itu sendiri memiliki realitas eksternal (misalnya ia berada di alam nonmateri) yang hanya bisa disaksikan secara intuitif dan syuhudi, ataukah manusia
universal itu hanyalah sebuah kata umum yang bisa diterapkan pada lebih dari
satu objek individual[35]?.
Upaya-upaya pemikiran di abad pertengahan itu tak lain ialah untuk menjawab
persoalan-persoalan tersebut. Dalam hal ini, ada tiga perspektif dan aliran
pemikiran: 1. Realisme (universalitas itu memiliki wujud eksternal atau mutsul
Plato), 2. Idealisme (universal itu hanya terdapat dalam alam pikiran atau gagasan
Aristoteles), 3. Nominalisme (menetapkan kata-kata umum yang mewakili individuindividu eksternal).
Boethius (470-525 M) ialah orang pertama yang beranggapan bahwa universal itu

hanyalah kata semata, walaupun iaberupaya menyelesaikan persoalan universal itu


lewat gagasan Aristoteles.[36]
Roscelin (1050-1120 M) berkeyakinan bahwa yang hanya ada di alam eksternal
adalah partikular, sementara universal itu tidaklah memiliki wujud hakiki dan hanya
bersifat kata-kata semata.[37]
Peter Abelard (1079-1142 M) memandang bahwa universal itu terdapat di alam
pikiran dan konsep-konsep universal itu adalah konsep-konsep abstraksi yang
diambil dari maujud-maujud luar dengan memperhatikan sifat-sifatnya, dengan kata
lain, universal itu merupakan konsep-konsep yang terdapat dalam pikiran yang
menceritakan tentang realitas-realitas hakiki dan eksternal.[38]
Segala kaidah lsafat dan ilmu berpijak pada penerimaan atas konsep-konsep
universal, yakni jika seseorang beranggapan bahwa universalitas itu hanyalah
sebuah kata semata dan menolak konsep universal itu, maka tidak satu pun kaidah
yang iabisa diterima, karena semua proposisi universal akan menjadi proposisi
partikular yang hanya terkait dengan individu tertentu saja, dengan demikian,
segala proposisi universal yang merupakan pijakan seluruh ilmu dan kaidah-kaidah
ilmiah tidak memiliki individu-individu eksternalnya, begitu pula, seluruh lsafat dan
hukum-hukumnya tak bermanfaat. Dengan alasan ini, pembahasan universalitas
memiliki urgensi.
Roger Bacon (1214-1294 M) ialah orang yang berpijak pada empirisme dan
positivisme. Ia memandang bahwa alat pengetahuan adalah teks suci, argumentasi,
dan experimen. Proposisi matematik yang karena berkaitan langsung dengan
experiman bisa diterima.
Thomas Aquinas (1225-1274 M) yakin bahwa rasionalitas dan pemikiran itu sangat
bergantung pada pengindraan lahiriah, yakni pertama-tama indra lahir kita
berhubungan dengan alam luar, kemudian akan terbentuk konsep-konsep imajinasi,
dari konsep ini akal akan membentuk konsep-konsep universal. Perlu diketahui
bahwa iabanyak bersentuhan dengan pemikiran lsafat Islam.
William of Ockam (1287-1347 M) adalah seorang yang dikenal sebagai pengingkar
konsep-konsep universal. Namun, sebenarnya tidak bisa dikatakan bahwa ia secara
mutlak mengingkari dan menolaknya, karena ia menafsirkan universal itu sebagai
penghubung antara pikiran dan objek-objek luar, dan terkadang ia juga menyebut
penghubung itu sebagai konsep-konsep. [wisdoms4all.com]
C.. AKSIOLOGI
Secara etimologis, aksiologi berasal dari perkataan axios (yunani) yang berarti
nilai dan logos yang berarti teori. Jadi aksiologi adalah teori tentang nilai. Ilmu
sebagai dimensi masyarakat menunjukan adanya kelompok eilt yang dalam
kehidupannya sangat mendambakan inpertives, yakni universalisme, komunalisme
desinterestedness, dan skeptisme yang teratur.1 Teori tentang nilai dapat dibagi
menjadi dua yaitu nilai etika dan nilai estetika.2
a.Etika
Etika sebagai cabang lsafat disebut juga lsafat moral. Secara etimologis etika
berasal dari kata Yunani ethos = watak, sedang moral berasal dari kata latin mos
(tunggal), mores (jamak) = kebiasaan atau kesusilaan. Dalam sejarah lsafat Barat,

etika adalah cabang lsafat yang sangat berpengaruh sejak jaman Sokrates(470399 SM). Etika membahas baik dan buruk atau benar tidaknya tingkah laku dan
tindakan manusia serta sekaligus menyoroti kewajiban- kewajiban manusia.3
b.Estetika
Estetika sebagai cabang lsafat juga disebut lsafat keindahan. Secara etimologi
estetika berasal dari kata Yunani aisthetika = hal-hal yang dicerap dengan indra
atau aisthesis = cerapan indra. Kalau etika digambarkan sebai teori tentang baik
dan jahat, maka estetika digambarkan sebagai kajian lsafati tentang keindahan
dan kejelekan. Istilah estetika diperkenalkan oleh seorang lsuf Jerman Alexander
Gottlieb Baumgarten lewat karyanya Reflections on Poetry. Baumgarten
mengembangkan lsafat estetika yang didenisikan sebagai ilmu pengetahuan
tentang keindahan lewat karyanya yang berjudul aesthetica acromatika(17501758).
Pendapat lain untuk mengenal lebih jelas apa yang dimaksud dengan aksiologi
yakni diantaranya:
1)Aksiologi berasal dari kataperkataan axios (Yunani) yang berarti nilai dan logos
yang berarti teori. Jadi aksiologi adalah teori tentang nilai
2)Sedangkan arti aksiologi adalah sebagai teori nilai yang berkaitan dengan
kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh.4
3)Menurut Bramel , aksiologi terbagi dalam tiga bagian . pertama moral conduct
(tindakan moral), dan melahirkan disiplin khusus (etika). Kedua, esthetic expression
(ekspresi keindahan). Bidang melahirkan keindahan. Ketiga sosio political life,
yaitu kehidupan sosial politik, yang akan melahirkan lsafat sosio politik.
4) Dalam Encyclopedia of Philosophy dijelaskan,aksiologi disamakan dengan Value
and Valuation. Ada tiga bentuk Value and Valuation.
a.Nilai, digunakan sebagai kata benda abstrak. Dalam pengertian yang lebih sempit
seperti baik, menarik, dan bagus. Sedangkan dalam pengertian yang lebih luas
mencakupi sebagai tambahan segala bentuk kewajiban, kebenaran.
b.Nilai sebagai kata benda konkret. Contohnya ketika kita berkata sebuah nilai atau
nilai nilai yang dipakai untuk merujuk kepada sesuatu yang bernilai.seperti nilainya
,nilai dia dan sistem nilai dia.
c.Nilai juga digunakan sebagai kata kerja dalam ekspresi menilai, memberi nilai,
dan nilai. Menilai umumnya sinonim dengan evaluasi ketika hal tersebut secara aktif
digunakan untuk menilai perbuatan.
Dari denisi denisi mengenai aksiologi di atas, terlihat dengan jelas bahwa
permasalahan yang utama adalah mengenai nilai. Nilai yang di maksud adalah
sesuatu yang di miliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang
apa yang di nilai.5
Teori tentang nilai yang dalam lsafat mengacu pada permasalahan etika dan
estetika. Makna etika dipakai dalam dua bentuk arti pertama, etika merupakan
sutu kumpulan pengetahuan mengenai penilaian terhadap perbuatan- perbuatan
manusia. Arti kedua, merupakan suatu predikat yang dipakai untuk membedakan
hal- hal perbuatan perbuatan atau manusia manusia yang lain. Seperti ungkapan
ia bersifat etis atau ia seorang jujur atau pembunuhan merupakan sesuatu yang

tidak susila. Objek formal etika adalah norma norma kesusilaan manusia, dan
dapat dikatakan pula bahwa etika mempelajari tingkah laku manusia ditinjau dari
segi baik dan tidak baik di dalam suatukondisi yang normatif, yaitu suatu kondisi
yang melibatkan norma- norma. Estetiaka berkaitan dengan nilai tentang
pengalaman keindahan yang dimiliki oleh manusia terhadap lingkungan dan
fenomena di sekelilingnya. 6Di hadapkan dengan masalah moral dalam akses ilmu
dan teknologi yang bersifat merusak, para ilmuwan dalam dua golongan
pendapat.Golongan pertama berpendapat bahwa ilmu harus bersifat netral
terhadap nilai nilai baik itu secara ontologis maupun aksiologis.Dalam hal ini
ilmuwan hanyalah menemukan pengetahuan dan terserah kepada orang lain untuk
mempergunakannya, apakah akan di pergunakan untuk tujuan yang baik ataukah ,
untuk tujuan yang buruk. Golongan ini ingin melanjutkan tradisi jenetralan ilmu
secara total, seperti pada waktu era Galileo.Golongan kedua berpendapat bahwa
netralitas ilmu terhadap nilai nilai hanyalah terbatas pada metasik
keilmuwan,sedangkan dalam penggunaannya haruslah berlandaskan nilai nilai
moral. Golongan kedua mendasarkan pendapatnya pada beberapa hal,yakni:
Ilmu secara faktual telah dipergunakan secara destruktif oleh manusia, yang
dibuktikan denga adanya dua perang dunia yang mempergunakan teknologi
teknologi keilmuwan.
Ilmu telah berkembang dengan pesat dan makin esoteric hingga kaum keilmuwan
lebih mengetahui tentang ekses ekses yang mungkin terjadi bila terjadi
penyalahgunaan.
Ilmu telah berkembang sedemikian rupa di mana terdapat kemungkinan bhawa ilmu
dapat mengubah manusia dan kemanusiaan yang paling hakiki seperti pada kasus
revulusi genetika perbuatan sosial .7
Berdasarkan ketiga hal di atas, maka golongan kedua berpendapat bahwa ilmu
secara moral harus dutujukan untuk kebaikan manusia tanpa merendahkan
martabat atau mengubah hakikat kemanusiaan.8 Dari dua pendapat golongan di
atas, kelihatannya netralitas ilmu terletak pada epismotologisnya saja, artinya
tanpa berpihak kepada siapapun, selain kepada kebenaran yang nyata. Sedangkan
secara ontologis dan aksiologis, ilmuwan harus mampu menilai mana yang baik dan
mana yang buruk, yang pada hakikatnya mengharuskan seorang ilmuwan
mempunyai landasan moral yang kuat.9 Nilai dari telaah lsafat, menurut
Damardjati Supadjar mencangkup empat wilayah: keindahan(estetika), kebaikan
(etika), kebenaran(logika) dan kesakralan(agama). 10Aksilogi juga meliputi nilai
nilai(value) yang bersifat normatif dalam pemberian makna terhadap kebenaran
atau kenyataan.Demi kepentingan manusia tersebut maka pengetahuan ilmiah
yang diperoleh dan di susun dipergunakan secara komunal dan universal. Komunal
berarti bahwa ilmu merupakan pengetahuan yang menjadi milik bersama, setiap
orang berhak memanfaatkan menurut kebutuhannya. Universal berarti bahwa ilmu
tidak dapat terbatas pada ras, idiologi,atau agama.11Dengan demikian ilmu tidak
dapat lepas dari nilai, terutama nilai moral, sehingga senantiasa tercipta
kentrentaman dan kadamaian yang di bangun di atas asas kemaslahatan.

Kesimpulan
Filsafat pengetahuan merupakan suatu ilmu yang sangat urgen diketahui dan
dipahami oleh peminat ilmu-ilmu univerasal, apatah lagi ia berguna untuk melacak
kebenaran suatu mazhab dan ideologi, misalnya sophisme, skeptisisme,
rasionalisme, empirisisme, peripatetisme, iluminasi, hikmah mutaaliyah,
materialisme, eksistensialisme, humanisme, dan agama-agama. Untuk itu, mari kita
bersama mengkaji aliran-aliran epistemologi yang ada dan memperdalam
pengetahuan kita terhadap epistemologi yang dikembangkan oleh pemikir-pemikir
Islam kontemporer, seperti Allamah Thaba-tahabai, syahid Sadr, Syahid Muthahari,
Hairi Yazdi, dan lainnya. Mungkin dengan ini kita bisa memperkukuh keberagaman
kita dan tidak terombang ambingkan oleh berbagai isykal dan syubhat yang
ditiupkan tentang masalah eksistensi Tuhan, wahyu, kenabian, Maad, dan ajaranajaran agama Islam lainnya.
lsafat atau ilmu merupakan pencarian yang bersifat perekaan (spekulatif) tentang
seluruh kebenaran

You might also like