Penggunaan School Well Being Pada Sekolah Menengah Atas Sma Bertaraf Internasional Sebagai Barometer Evaluasi Sekolah Jati Nantiasa Ahmad PDF

You might also like

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 13

Volume 1, Desember 2010

100

PENGGUNAAN SCHOOL WELL-BEING PADA SEKOLAH


MENENGAH ATAS (SMA) BERTARAF INTERNASIONAL
SEBAGAI BAROMETER EVALUASI SEKOLAH
JATI NANTIASA AHMAD

Jati Nantiasa Ahmad adalah seorang mahasiswa dari Fakultas Psikologi, peminatan
Psikologi Sosial dan Psikologi Pendidikan, Universitas Indonesia. Penulis lahir pada
tanggal 21 Maret 1987 di kota Denpasar, Bali. Ia memulai studinya di Fakultas Psikologi UI
pada tahun 2006. Salah satu tulisannya adalah Mengintip kebudayaan Indonesia lewat
celah Psikologi. Tulisan ini menjadi finalis terbaik dalam lomba yang diselenggarakan
oleh Tempo-Institute pada tahun 2009 yang diikuti oleh 998 mahasiswa dari 207 perguruan
tinggi yang tersebar 65 kota di Indonesia. Untuk berkorespodensi dengan penulis, dapat
melalui alamat email jati_nantiasa@yahoo.com

Jurnal UI Untuk Bangsa Seri Sosial dan Humaniora

101

PENGGUNAAN SCHOOL WELL-BEING PADA


SEKOLAH MENENGAH ATAS (SMA) BERTARAF INTERNASIONAL
SEBAGAI BAROMETER EVALUASI SEKOLAH
JATI NANTIASA AHMAD
Abstract

Nowadays there are three criterias of Senior High School in Indonesia. They are Sekolah Bertaraf
Internasional (SBI), Sekolah dengan Kategori Mandiri (SKM), dan Sekolah Biasa (SB). In order
to be Sekolah Bertaraf Internasional, the school needs to complete the requirement which is held
by ministry of national education. School Well-Being that is proposed in this journal has similar
dimension with the requirement of Sekolah Bertaraf Internasional. School Well-Being consists of
four dimensions namely Having, Loving, Being, and Health. In correlating with that dimension, the
requirements of Sekolah Bertaraf Internasional consist of 1) Completing the national standard
education, 2) There are at least 30% teacher who have Master degree and Doctoral degree, 3)
The culture of school give assurance that the learning process in school is based on character
education, democratic, participate, and free of bullying, and 4) The infrastructure is based on TIK.
The measurement that is used to measure School Well Being was created by Konu & Rimpel
(2002). Then some researcher from Faculty of Psychology University of Indonesia has adapted
that measurement in order to adjust to Indonesian context. However, the validity and reliability
testing is needed to create this measurement become the barometer of school evaluation. This
study is a literature study that applies the data from previous empiric study.

Keywords: Sekolah bertaraf Internasional (School Well-Being); studi literatur (Literature


Study)

102

PENDAHULUAN
Indonesia sebagai sebuah negara
yang berdaulat, memberikan hak atas
pendidikan bagi warga negaranya.
Hal ini tercantum di dalam UUD 45
Bab XIII pasal 31 ayat 1 dan 2, yakni
setiap warga negara berhak mendapat
pengajaran dan pemerintah mengatur
bentuk pendidikan di Indonesia melalui
undang-undang. Hal ini mengindikasikan
bahwa segala bentuk pendidikan
yang diselenggarakan di Indonesia
merupakan kewenangan pemerintah dan
warga negara hanya mengikuti bentuk
pendidikan yang diselenggarakan oleh
pemerintah tersebut.
Menurut UU Sisdiknas no 20 tahun
2003, jalur pendidikan di Indonesia dapat
dibagi menjadi tiga, yaitu formal, informal
dan non-formal. Jalur pendidikan formal
adalah pendidikan yang diselenggarakan
oleh institusi sekolah. Jalur pendidikan
informal diselenggarakan oleh keluarga
dan lingkungan sekitar. Misalnya,
penanaman moral yang dianut oleh
masyarakat. Jalur pendidikan nonformal diselenggarakan oleh lembaga
atau institusi selain sekolah, misalnya
lembaga kursus. Institusi sekolah
merupakan jalur pendidikan yang paling
banyak dipilih oleh masyarakat karena
institusi sekolah memberikan legitimasi
bagi peserta didik berupa pengakuan
dalam bentuk tertulis, yakni ijazah serta
adanya tahapan pendidikan yang jelas
bagi peserta didik.
Sekolah
merupakan
sarana
bagi kelompok individu untuk saling
berinteraksi. Kelompok individu itu
sendiri merupakan sarana pembelajaran
mengenai pengetahuan tentang peran
sosial dan batasan norma (Holander
dalam Bachrie, 2009). Davis dan Tolan

Volume 1, Desember 2010

(1993) menjelaskan bahwa sekolah


merupakan konteks lingkungan sosial
yang kuat dan potensial sebagai sarana
atau tempat perkembangan sosial
remaja (Bachrie, 2009). Lebih lanjut
lagi, sekolah merupakan sarana yang
potensial dalam membentuk kepribadian
individu, mengingat dampaknya bagi
perkembangan remaja pada sejumlah
aspek kehidupan, seperti identitas
diri, keyakinan akan kemampuan
diri, gambaran mengenai kehidupan,
hubungan antar pribadi, batasan
norma antara yang baik dan buruk,
serta konsep akan sistem sosial selain
keluarga sehingga keberadaan sekolah
merupakan aspek yang penting bagi
setiap individu.
Pada masa remaja, sekolah
merupakan elemen yang penting dalam
proses perkembangan individu. Pada
masa sekarang, pendidikan merupakan
aspek yang penting karena pendidikan
menyiapkan remaja dalam pemilihan
karir di masa depan (Papalia, Olds, dan
Feldman, 2009). Di Indonesia, anak usia
remaja umumnya berada pada Sekolah
Menengah Atas (SMA) dan Sekolah
Menengah Kejuruan.
Sekolah Menengah Atas (SMA)
adalah sebuah institusi yang memberikan
pendidikan sekunder yang merupakan
lanjutan dari pendidikan dasar 9 tahun
(Depdikbud,1997). Dalam undangundang tentang pendidikan pasal 1 ayat 2
PP No.29 tahun 1990 dinyatakan bahwa
SMA merupakan salah satu bentuk
pendidikan menengah, yaitu pendidikan
yang diselenggarakan bagi lulusan dasar.
Tujuan dari SMA, seperti yang tertera
dalam pasal 2 ayat 1 PP No 29 tahun 1990
adalah 1) adalah untuk meningkatkan
pengetahuan siswa dalam melanjutkan

Jurnal UI Untuk Bangsa Seri Sosial dan Humaniora

pendidikan pada jenjang yang lebih


tinggi dan untuk mengembangkan diri
sejalan dengan perkembangan ilmu
pengetahuan, teknologi dan kesenian
dan 2) meningkatkan kemampuan siswa
sebagai anggota masyarakat dalam
mengadakan hubungan timbal balik
dengan lingkungan sosial, budaya, dan
alam sekitarnya sdangkan Sekolah
Menengah Kejuruan (SMK) adalah
pendidikan pada jenjang pendidikan
menengah
yang
mengutamakan
pengembangan kemampuan siswa untuk
melaksanakan jenis pekerjaan tertentu.
Yang menjadi tujuan SMK, seperti yang
tertera dalam pasal 3 ayat 2 PP No
29 tahun 1990, yakni untuk persiapan
siswa memasuki lapangan kerja serta
mengembangkan sikap professional.
Saat ini, menurut UU Sisdiknas
no 20 tahun 2003, terdapat klasifikasi
sekolah pada tingkatan pendidikan
menengah
negeri.
Sekolah
itu
antara lain disebut Sekolah Bertaraf
Internasional (SBI), Sekolah dengan
Kategori Mandiri (SKM), dan kelompok
Sekolah Biasa (SB). Dari ketiga
klasifikasi tersebut, Sekolah Bertaraf
Internasional merupakan klasifikasi
tertinggi karena untuk menjadi sebuah
Sekolah
Berstandar
Internasional,
sekolah tersebut telah melalui tahap
Sekolah Biasa (SB) dan Sekolah dengan
Kategori Mandiri (SKM).
Dibentuknya sekolah bertaraf
internasional di Indonesia didasari oleh
beberapa alasan, yakni sebagai berikut:
(1) Pada tahun 90-an banyak sekolahsekolah yang didirikan oleh suatu
yayasan dengan menggunakan identitas
internasional tetapi tidak jelas kualitas
dan standarnya. Hal ini dapat merugikan
masyarakat yang menggunakan jasa

103

sekolah internasional tersebut, (2)


Banyaknya yayasan yang mendirikan
sekolah dengan identitas internasional
karena belum adanya payung hukum
yang
mengatur
penyelenggaraan
sekolah internasional, (3) Karena belum
adanya sekolah internasional yang
berstandar, maka banyak orang tua yang
menyekolahkan anaknya ke luar negeri
guna mendapatkan pendidikan dengan
standar internasional, (4) Pemerintah
merasa perlu membangun sekolah
berkualitas sebagai pusat unggulan
(center of excellence) pendidikan.
Berdasarkan hal tersebut, maka Sekolah
Bertaraf Internasional mulai dirintis
(mandikdasmen.depdiknas.go.id).
Untuk menjadi sebuah sekolah
bertaraf internasional, maka sebuah SMA
harus memenuhi beberapa persyaratan,
diantaranya: 1) Sudah memenuhi
Standar Nasional Pendidikan, 2) Guru
memiliki pendidikan S2/S3 minimal
berjumlah 30%, 3) Kultur sekolah
menjamin pendidikan karakter, bebas
bullying, demokratis dan partisipatif, dan
4) Sarana prasarana berbasiskan TIK.
Adapun Standar Nasional Pendidikan
(SNP) pada poin 1 meliputi hal-hal berikut:
standar isi, standar proses, standar
kompetensi lulusan, standar pendidik
dan tenaga pendidik, standar sarana
dan prasarana, standar pengelolaan,
standar pembiayaan, standar penilaian
pendidikan (mandikdasmen.go.id).
Pemerintah melalui peraturan
menteri pendidikan nasional republik
Indonesia no. 78 tahun 2009 tentang
penyelenggaraan
sekolah
bertaraf
internasional pada jenjang pendidikan
dasar dan menengah menyebutkan,
bahwa penilaian terhadap sekolah
bertaraf internasional didasarkan kepada

104

hal berikut ini: 1) Sekolah bertaraf


internasional
menerapkan
standar
penilaian yang diperkaya dengan sistem
penilaian pendidikan sekolah unggul
di negara anggota OECD atau negara
maju lainnya, 2) Sekolah bertaraf
internasional
menerapkan
model
penilaian otentik dan mengembangkan
model penilaian berbasis teknologi
informasi dan komunikasi, 3) Sekolah
bertaraf internasional melaksanakan
ujian sekolah yang mengacu pada
kurikulum satuan pendidikan yang
bersangkutan, 4) Sekolah bertaraf
internasional
melaksanakan ujian
sekolah yang mengacu pada kurikulum
satuan pendidikan yang bersangkutan,
5) Dapat melaksanakan ujian sekolah
dalam bahasa Inggris atau bahasa
asing lainnya, 6) Peserta didik sekolah
bertaraf internasional wajib mengikuti
ujian nasional, 7) Sekolah bertaraf
internasional memfasilitasi peserta
didiknya untuk mengakses sertifikasi
yang diakui secara internasional atau
mengikuti ujian akhir sekolah yang
sederajat dari negara anggota OECD
atau negara maju lainnya.
Berdasarkan hal di atas, pada poin
ke 1 disebutkan bahwa sekolah bertaraf
internasional
menerapkan
standar
penilaian yang diperkaya dengan sistem
penilaian pendidikan sekolah unggul di
negara anggota OECD atau negara maju
lainnya. OECD merupakan singkatan
Organisation for Economic Co-operation
and Development. OECD adalah sebuah
forum yang didalamnya terdiri dari 30
negara demokrasi yang bekerjasama
untuk menghadapi tantangan ekonomi,
sosial dan tata kelola globalisasi, serta
memanfaatkan peluang yang terdapat
di dalamnya. Di dalam organisasi

Volume 1, Desember 2010

ini, para anggotanya dapat bertukar


pengalaman
mengenai
kebijakan,
mencari penyelesaian atas masalahmasalah yang umum terjadi di masingmasing negara, dan mengidentifikasi
sejauh mana kebijakan domestik dan
internasional dijalankan dengan baik
kemudian
mengkordinasikannya.
OECD juga membantu pemerintah
untuk
meningkatkan
kemakmuran
dan memerangi kemiskinan melalui
pertumbuhan
ekonomi,
stabilitas
keuangan, perdagangan dan investasi,
teknologi,
inovasi,
kewirausahaan,
dan pengembangan kerjasama. Hal ini
membantu untuk memastikan bahwa
implikasi lingkungan dari pembangunan
ekonomi dan sosial diperhitungkan
di dalam pemerintahan, termasuk
menciptakan pekerjaan bagi semua
orang, keadilan sosial, dan mencapai
tata pemerintahan yang bersih dan
efektif, serta pengembangan pendidikan
(oecd.org).
Berdasarkan kajian OECD melalui
School evaluation: current practices in
OECD countries and literature review,
didapatkan bahwa terdapat empat
domain di dalam evaluasi sekolah,
yakni evaluasi lulusan sekolah, evaluasi
tingkat kelas, evaluasi tingkat sekolah,
dan evaluasi lingkungan sekolah. Lebih
lanjut lagi, evaluasi lulusan sekolah
terkait dengan prestasi akademik,
perkembangan diri dan sosial, serta
tujuan siswa setelah lulus sekolah.
Kemudian, evaluasi tingkat kelas
berhubungan dengan kualitas kegiatan
belajar mengajar sedangkan evaluasi
tingkat sekolah berhubungan dengan
sekolah sebagai tempat pembelajaran,
sosialisasi dan profesionalisasi. Evaluasi
lingkungan
sekolah
memfokuskan

Jurnal UI Untuk Bangsa Seri Sosial dan Humaniora

kepada hubungan antara orang tua


dan sekolah, sebaik hubungan antara
sekolah dan lingkungan sekitar (Faubert,
2009).
OECD kemudian menganjurkan
adanya parameter kualitatif dalam
evaluasi seperti di negara Inggirs dan
Wales, yaitu berupa aspek spiritual,
moral, sosial budaya, dan kontribusi
sekolah dalam pengembangan wellbeing siswa (Faubert, 2009). Lebih
lanjut lagi, diperlukan adanya penilaian
siswa terhadap sekolahnya. Hal ini
bertujuan untuk melihat penilaian secara
kualitatif terhadap sekolah serta untuk
pemerintah dalam membuat kebijakan
pendidikan (Faubert, 2009).
Berdasarkan hal tersebut, maka di
Indonesia perlu juga diadakan penilaian
secara subjektif oleh siswa terhadap
sekolahnya pada sekolah bertaraf
internasional.
Salah satu penilaian
subjektif yang dapat dilakukan oleh
siswa adalah school well-being. School
well-being adalah penilaian subjektif
siswa terhadap keadaan sekolahnya
yang meliputi having, loving, being,
dan health (Konu & Rimpel, 2002).
School well-being merupakan sebuah
model yang berdasar pada well-being
yang dikembangkan oleh Allardt (dalam
Konu & Rimpel, 2002). Konsep wellbeing itu sendiri berasal dari khasanah
tradisi sosiologi (Allardt dalam Alanen,et
al., 2002). Allardt mendefinisikan wellbeing sebagai sebuah keadaan yang
memungkinkan individu untuk memenuhi
kebutuhan dasarnya (dalam Konu &
Rimpel, 2002). Pemenuhan kebutuhan
dasar memiliki empat kategori, yakni
having, loving, being dan health. Having
mengacu kepada keadaan material
dan non-material, misalnya keadaan

105

bangunan dan lingkungan sekolah


atau bentuk punishment yang diberikan
kepada siswa. Loving mengacu kepada
kebutuhan untuk menjalin hubungan
dengan orang lain dan membentuk
identitas sosial, misalnya bagaimana
keadaan iklim sekolah, hubungan siswa
dengan guru, dan hubungan siswa dengan
siswa. Kemudian, being merupakan
kebutuhan untuk pertumbuhan sosial,
misalnya kemungkinan siswa untuk
berkreativitas, penghargaan siswa di
sekolah, bimbingan dan dorongan yang
diberikan pada siswa. Yang terakhir,
health merupakan simtom fisik dan
mental yang mencakup flu, pilek biasa
hingga penyakit kronis (Konu & Rimpel,
2002).
Penggunaan school well-being
sebagai barometer evaluasi ditujukan
agar Sekolah Bertaraf Internasional
dapat mengikuti perkembangan dunia
pendidikan. Dengan menggunakan
school
well-being,
diharapkan
Sekolah Bertaraf Internasional dapat
meningkatkan kapasitas daya saingnya.
Pada jurnal ini penjelasan mengenai
school well-being dilakukan melalui studi
literatur dengan menggunakan data-data
empiris dari hasil penelitian terdahulu.
School well-being
School well-being merupakan
sebuah model yang dikembangkan oleh
Konu dan Rimpel (2002). School wellbeing merujuk kepada model konseptual
well-being yang dikemukakan oleh
Allardt, (Konu & Rimpel, 2002). Allardt
mengemukakan bahwa dalam tradisi
sosiologis, well-being juga merupakan
konsep welfare yang mencakup level
of living and quality of life, (Konu &
Rimpel, 2002). Selanjutnya, Allardt

Volume 1, Desember 2010

106

mendefinisikan
well-being
sebagai
keadaan yang memungkinkan individu
memuaskan
kebutuhan-kebutuhan
dasarnya yang mencakup kebutuhan
material maupun non-material (Allardt
dalam Konu & Rimpel, 2002). Kebutuhan
tersebut oleh Allardt dibagi menjadi
kategori having, loving, dan being.
Kemudian, dalam perkembangannya, ia
menambahkan aspek health ke dalam
kategory having (Allardt dalam Konu &
Rimpel, 2002). Well-being dapat dilhat
Kategori
Having

Loving

Being

dari dua indikator, yakni indikator objektif


dan indikator subjektif. Indikator objektif
didasarkan pada observasi eksternal
dan indikator subjektif didasarkan pada
ekspresi orang terhadap sikap mereka
dan persepsi mereka terhadap kondisi
lingkungannya (Konu & Rimpel, 2002).
Allardt kemudian membuat tabulasi wellbeing berdasarkan indikator objektif dan
subjektif (Konu & Rimpel, 2002), yakni
sebagai berikut

Indikator objektif
Indikator subjektif
Pengukuran objektif dari puas-tidak puas; perasaan
tingkat
kehidupan
subjektif
atas
dan
kondisi
ketidakpuasan

lingkungan
kepuasan terhadap
kondisi kehidupan
yang dialami
Pengukuran objektif dari Bahagia-tidak
bahagia;
hubungan dengan
perasaan subjektif
orang lain
mengenai hubungan
sosial
Pengukuran objektif dari Perasaan
subjektif
hubungan individu
m e n g e n a i
dengan masyarakat
pengasingandan alam
pertumbuhan
personal
Tabel 8.1

Berdasarkan tabel tersebut, maka


penelitian ini menggunakan indikator
subjektif yang lebih menenkankan
kepada perasaan subjektif seseorang
terhadap kondisi kehidupannya.
Definisi school well-being
Berdasarkan
konsep
wellbeing yang dikemukakan Allardt,
Konu dan Rimpel (2002) kemudian
mengembangkan well-being dalam
konteks sekolah yang dinamakan school
well-being. Dalam kajiannya, Konu
dan Rimpel (2002) mengembangkan
konsep tersebut melalui kajian terhadap

berbagai literatur sosiologis, pendidikan,


psikologis, dan peningkatan kesehatan,
hingga pada akhirnya menghasilkan
model school well-being. Di dalamnya
ditambahkan aspek health sehingga
kebutuhan dasar yang harus dipenuhi
adalah having, loving, being, dan
health
(Konu & Lintonen, 2005).
Konu dan Rimpel (2002) kemudian
mendefinisikan
school
well-being
sebagai sebuah keadaan sekolah yang
memungkinkan individu memuaskan
kebutuhan dasarnya, yang meliputi
having, loving, being, dan health.
Pada penelitian ini, definisi school

Jurnal UI Untuk Bangsa Seri Sosial dan Humaniora

well-being yang digunakan adalah


penilaian subjektif siswa terhadap
keadaan sekolahnya yang meliputi
having, loving, being, dan health.
Model school well-being
Dalam model school well-being
yang dikembangkan oleh Konu dan
Rimpel (2002), terdapat hubungan

107

antara pengajaran atau pendidikan dan


pembelajaran dalam kaitannya dengan
school well-being. Selain itu, keadaan
rumah siswa dan lingkungan sekitarnya
juga berpengaruh terhadap sekolah
siswa tersebut sehingga dibentuklah
sebuah model school well-being sebagai
berikut:

Model 8.2

Model school well-being di atas


ditampilkan dari sudut pandang siswa
yang terdiri dari empat aspek yakni having
(kondisi sekolah), loving (hubungan
sosial), being (pemenuhan diri), dan
health (status kesehatan). Berdasarkan
empat aspek tersebut, dapat dilihat
bahwa school well-being merupakan
suatu konsep yang multidimensional
(Konu, dkk., 2002). Untuk mengetahui
lebih mendalam mengenai ke empat
aspek, maka akan dibahas lebih lanjut.

Having (kondisi sekolah)


Having
(kondisi
sekolah)
mencakup aspek material dan nonmaterial meliputi lingkungan fisik, mata
pelajaran dan jadwal, hukuman, dan
pelayanan di sekolah (Konu & Rimpel,
2002). Berikut penjelasan aspek kondisi
sekolah.
1. Lingkungan
Papalia, Olds, dan Feldman (2009)
mengemukakan bahwa lingkungan
sekolah (meliputi kualitas udara,
temperatur, kelembaban, pencahayaan,

Volume 1, Desember 2010

108

dan tingkat kebisingan) yang sesuai


dapat meningkatkan performa siswa.
Dalam school well-being, lingkungan
fisik terdiri dari lingkungan, kenyamanan,
kebisingan, ventilasi, temperatur. Menurut
Page dan Tana (2007), lingkungan fisik
meliputi bangunan sekolah dan area
sekitarnya, bahan-bahan biologis dan
kimiawi yang mengganggu kesehatan,
dan kondisi fisik seperti temperatur,
kebisingan, dan pencahayaan.
2. Mata pelajaran
Pemberian tugas kepada siswa
harus dilakukan secara seimbang
antara tugas sekolah dan tugas di
rumah. Tugas yang diberikan secara
berlebihan menimbulkan ketidakpuasan
siswa di sekolah (Larson, dalam Gilman
& Huebner, 2003).
3. Hukuman
Hukuman adalah konsekuensi yang
diberikan untuk menurunkan frekuensi
munculnya suatu tingkah laku (Santrock,
2008). Tujuan diberikannya hukuman
adalah untuk mengajarkan kedisiplinan
bagi siswa. Oleh karena itu, pemberian
hukuman harus dilakukan dengan tepat
agar siswa mampu memahami tujuan
dari hukuman tersebut.
Omrod (2006) mengidentifikasi
beberapa hukuman ringan yang efektif
dalam mengurangi tingkah laku yang
berpotensi mengganggu kegiatan belajar
di kelas yakni sebagai berikut:
a)

b)

verbal reprimand (scolding), yakni


memberikan teguran secara verbal
ketika siswa menunjukkan perilaku
yang tidak sesuai.
response cost, yakni memberikan
reinforcement
dalam
bentuk

c)

d)

e)

token ketika siswa menunjukkan


perilaku yang diharapkan dan
mengambil kembali token tersebut
ketika siswa menunjukkan perilaku
yang tidak diharapkan sebagai
konsekuensinya.
logical
consequences,
yakni
memberikan konsekuensi yang
alamiah dan logis ketika siswa
menunjukkan perilaku yang tidak
diharapkan.
time-out, yakni siswa ditempatkan
pada situasi yang membosankan,
seperti di sudut kelas atau di
sebuah ruangan kecil dengan
tidak adanya kesempatan untuk
memperoleh reinforcement atau
interaksi sosial. Jangka waktu
yang diberikan untuk menjalani
hukuman ini cukup singkat, yaitu
antara dua hingga sepuluh menit
tergantung pada usia siswa.
in-school suspension, yakni bentuk
hukuman yang tidak jauh berbeda
dengan time-out. Dalam hal ini,
siswa ditempatkan di tempat yang
tenang atau membosankan untuk
melakukan pekerjaan sekolah.
Hukuman ini berlangsung selama
satu hari atau lebih dengan
pengawasan orang dewasa.

4. Pelayanan
Pelayan sekolah ditujukan untuk
menunjang kegiatan siswa selama
berada di sekolah. Pelayanan sekolah
meliputi layanan makan siang (kantin),
pelayanan kesehatan, dan konseling
(Konu & Rimpel, 2002).
Loving (hubungan sosial)
Loving (hubungan sosial) merujuk
kepada
lingkungan
pembelajaran

Jurnal UI Untuk Bangsa Seri Sosial dan Humaniora

sosial, hubungan antara guru dan


murid, hubungan dengan teman
sekelas, dinamisasi kelompok, bullying,
kerjasama antara sekolah dan rumah,
pengambilan keputusan di sekolah, dan
keselurahan atmosfir sekolah (Konu &
Rimpel, 2002).
Being (pemenuhan diri)
Mengacu kepada Allardt (dalam
Konu & Rimpel, 2002) being
merupakan terdapatnya penghormatan
terhadap individu sebagai seseorang
yang bernilai di dalam masyarakat.
Dalam konteks sekolah, being dilihat
sebagai cara sekolah memberikan
kesempatan siswa untuk mendapatkan
pemenuhan diri. Hal tersebut dapat
berupa adanya kesempatan yang sama
bagi semua siswa untuk menjadi bagian
dari masyarakat sekolah, siswa dapat
melakukan pengambilan keputusan
terkait dengan keberadaannya di
sekolah, serta adanya kesempatan
untuk mengembangkan pengetahuan
dan keterampilan berdasarkan minat
siswa (Konu & Rimpel, 2002).
Health (status kesehatan)
Health (status kesehatan) dilihat dalam
bentuk yang sederhana, yakni tidak
adanya sumber penyakit dan siswa yang
sakit. Status kesehatan siswa ini meliputi
aspek fisik dan mental berupa simtom
psikosomatis, penyakit kronis, penyakit
ringan (seperti flu), dan penghayatan
akan keadaan diri (illnesess) (Konu &
Rimpel, 2002).
Empat Alat ukur School Well-Being
Alat ukur school well-being diciptakan
oleh Konu & Rimpel (2002). kemudian
diadaptasi oleh Kurniasari (2005) yang

109

ketika itu menggunakan partisipan


siswa di pesantren dan mengalami
penyesuaian untuk siswa yang lebih
umum
oleh
Simatupang
(2008).
Selanjutnya, diperbaharui oleh Fauzia
(2010) sehingga saat ini alat ukur School
Well Being telah valid untuk mengukur
school well-being partisipan siswa SMA
dengan konteks Indonesia. Namun
demikian, ketika alat ukur ini ditujukan
untuk evaluasi sekolah maka uji validitas
dan reabilitas harus kembali dilakukan
(Fauzia, 2010).
Dalam penelitian Fauzia (2010)
didapatkan bahwa alat ukur school wellbeing terdiri dari 25 item yang disajikan
dalam skala Likert (sangat tidak setuju
sampai sangat setuju dengan 5 range).
Berikut ini adalah contoh indikator dan
item dari 3 indikator school well-being:
Tabel 8.3.
Indikator school well-being

Menurut Konu & Rimpel ( 2002),


aspek health terdiri dari indikator
simtom psikosomatis, penyakit flu yang
umumnya terjadi, dan penyakit kronis.
Contoh item favorablenya adalah: ketika
kegiatan belajar mengajar berlangsung
saya merasa cemas sedangkan item

110

non-favorablenya adalah toilet di


sekolah saya tidak menyediakan air
yang cukup.
Alat ukur ini nantinya akan
berbentuk kuesioner. Kuesioner adalah
sejumlah pernyataan tertulis yang
jawabannya ditulis sendiri oleh partisipan
(Kumar, 2005). Penyebarannya dilakukan
dengan cara collective administration.
Dengan cara ini, memungkinkan untuk
menjelaskan tujuan, keterkaitan, dan
pentingnya alat ukur ini kepada siswa.
Pengolahan data dilakukan dengan
menggunakan metode analisis statistik
deskriptif. Statistik deskritif digunakan
untuk melihat frekuensi, nilai ratarata (mean), dan juga data terbanyak
(modus).
KESIMPULAN
School well-being merupakan
sebuah konsep turunan dari domain
sosiologi sehingga aspek kesehatan
(health) masuk didalamnya. Namun,
jika kita hanya ingin melihat aspek
psikologisnya saja, kita bisa hanya
mengeluarkan aspek health dari alat
ukur school well-being seperti yang
dilakukan oleh Fauzia (2010).
SARAN
Dengan menggunakan kuesioner,
alat ukur school well-being menjadi
memungkinkan untuk digunakan secara
masif. Namun, perlu diingat bahwa
ketika
pelaksanaanya,
penjelasan
tentang alat ukur ini dari pihak yang
berwenang (dalam hal ini guru) harus
tetap dilakukan. Hal ini untuk mencegah
kesalahan interpretasi dari siswa yang
bersangkutan.
Pada akhirnya, diharapkan school
well-being dapat menjadi sebuah

Volume 1, Desember 2010

terobosan pengembangan evaluasi


Sekolah Bertaraf Internasional karena
dari pengamatan penulis, Sekolah
Bertaraf Internasional masih belum
mencapai target yang telah ditentukan
sehingga
pengembangan
proses
evaluasi masih layak untuk dilakukan.

Jurnal UI Untuk Bangsa Seri Sosial dan Humaniora

111

DAFTAR ACUAN

Bachrie, S.N. 2009. Hubungan Jenis Sekolah dan Identifikasi Nilai Moral Individualisme
terhadap Kesadaran Sosial Siswa SMA di Jakarta. Skripsi. Depok: Fakultas
Psikologi Universitas Indonesia.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Nasional. 1996. Lima puluh tahun
perkembangan pendidikan Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Nasional.
Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian
Pendidikan Nasional. 2010. Sekolah Bertaraf Internasional. Jakarta: Direktorat
Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan
Nasional
Faubert, Violaine. 2009. School Evaluation: Currrent practices in OECD countries and
literature review. OECD Education Working Papers, No. 42
Fauzia, R. 2010. Hubungan antara School Well-being dengan Study Habits pada siswa
SMA kelas XI di Jakarta. Skripsi. Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
Gilman, R., & Huebner, S. 2003 . A Review of Life Satisfaction research with Children and
Adolescents. School Psychology Quarterly, Vol. 18 (2), 192- 205.
Kementerian Pendidikan Nasional. 2010. Laporan Ujian Nasional (UN) Utama SMA +
Aliyah (Madrasah Aliyah) tahun 2010. Jakarta: Kementerian Pendidikan Nasional
Kurniasari, F. P. 2005. Gambaran School Well-being pada Siswa Islamic Boarding School.
Skripsi. Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.
Konu, AI, & Rimpel, T. P. 2002. Well-being in School: A Conceptual Model. Health
Promotion International, Vol 17(1), 79-87.
Konu, A.I; Lintonen, T. P, & Rimpel, M. K. 2002. Factors Associated with Childrens
General School Well-being. Health Education Research, Vol 17 (2), 155-165.
Konu, A.I, & Lintonen, T.P. 2006. School Well-being Grades 4-12. Health Education
Research, Vol 21, 633-642.
Kumar, R. 2005. Research Methodology: A Step-by-Step Guide for Beginners. London:
SAGE Publications.

112

Volume 1, Desember 2010

Mariati. 2007. Menyoal Profil Sekolah Bertaraf Internasional.Jurnal Pendidikan dan


Kebudayaan. No 067 tahun ke 13
Ormrod, J. E. 2006. Educational Psychology Developing Learners (5th edition). New
Jersey: Pearson Education Inc.
Page, R. M., & Tana, S. P. 2007. Promoting Health and Emotional Well-being in Your
Clasroom (4th edition). New York: Jones & Barlett Publishers.
Papalia, Olds, dan Feldman. 2009. Human Development (11th edition). New York:
McGraw-Hill.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik No 78 Tahun 2009 Tentang
Penyelenggaraan Sekolah Bertaraf Internasional pada Jenjang Pendidikan Dasar
dan Menengah
Santrock, J. W. 2008. Educational Psychology (3rd edition). New York: McGraw-Hill,
Inc.
Simatupang, R. L. M. 2008. Perbedaan School Well-being antara Siswa Sekolah
Konvensional dan Siswa Sekolah Alam: Studi pada Jenjang Pendidikan Dasar.
Skripsi. Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.
Slamet,S. 2008. Pengembangan Sekolah Bertaraf Internasional Melalui Organisasi
Belajar:Konsep dan Implementasi. Cakrawala Pendidikan, tahun XXVII No 3
Undang-Undang Negara Republik Indonesia No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem
Pendidikan Nasional.
About OECD. 2010, Oktober 29. diunduh Oktober 29, 2010, dari Organization for
Economic Co-operation and development: http://www.oecd.org/pages/0,3417,en_
36734052_36734103_1_1_1_1_1,00.html
Mandikdasmen. 2010. Sekolah Bertaraf Internasional.

http://www.mandikdasmen.depdiknas.go.id/docs/ dok_34.pdf. (7 Juli 2010)

You might also like