Download as doc, pdf, or txt
Download as doc, pdf, or txt
You are on page 1of 5

Majalah Obstetri & Ginekologi, Vol. 17 No.

1 Januari - April 2009 : 34 - 38

Korelasi Kadar Serum Basal AMH dengan Respons Ovarium


terhadap Stimulasi Ovulasi pada Program Fertilisasi In Vitro
Correlation of Basal Serum AMH Level with Ovarian Response to Ovulatory
Stimulation in in vitro Fertilization Program
Putu Doster Mahayasa,1 Samsulhadi,1 Aucky Hinting2
1
Departemen/SMF Obstetri dan Ginekologi
2
Departemen Biomedik
FK UNAIR/RSU Dr. Soetomo Surabaya
ABSTRACT
Anti-Mullerian Hormone (AMH), produced by pre-antral and antral follicular granulosa cells, has a role in limiting
primordial follicular number to develop into primary follicles. Its level can be measured in the serum, which is
relatively not fluctuating along the menstrual cycle and its level is decreasing gradually along with the increasing age
of a woman. The number of developing follicles depends on the number of remaining follicles in the ovary and the
numbers of mature follicles. The number of oocytes obtained in ovarian stimulation depends on the developing
follicular number. Therefore, the examination of serum basal AMH level can indirectly describe ovarian reserve and
predict ovarian response on ovulatory stimulation. The objective of this study was to examine correlation of basal
serum AMH level and ovarian response with ovulatory stimulation in in vitro fertilization program. Population was
women who met the inclusion criteria to participate the in vitro fertilization program in Fertility Clinic, Siloam
Hospital, Surabaya, and Graha Amerta, Surabaya, from Februari 2007. Samples comprised 69 persons. AMH level
was examined on day 3 menstruation along with the examination of other basal hormones. Data were collected during
stimulation process up to ovarian harvesting procedure, which included total gonadothropin ampules, serum E2 level
during hCG, pre-ovulatory folicular count, and oocyte count. Statistical analysis was undertaken using Pearsons
correlation test to identify intervariable correlation. The result of this study revealed significant correlation between
basal serum AMH level and pre-ovulatory follicular count (r = 0.529, p < 0,01), oocyte count (r = 0.535, p < 0.01),
serum E2 level during hCG administration (r = 0.456, p < 0.01), and total gonadothropin ampules per pre-ovulatory
follicle (r = -0.311, p < 0.01).
Keywords: basal serum AMH level, ovarian response, ovulatory stimulation
Correspondence: Putu Doster Mahayasa, Departemen/SMF Obstetri dan Ginekologi, FK UNAIR/RSU Dr. Soetomo
Surabaya
PENDAHULUAN
Infertilitas merupakan salah satu masalah dalam
kesehatan reproduksi dengan angka kejadian 1015%.
Angka ini diperkirakan akan semakin meningkat terkait
dengan pola hidup, pergaulan bebas, dan semakin
banyaknya wanita menunda pernikahan, dan/atau
kehamilan karena berbagai alasan terutama pekerjaan.
Hadirnya teknologi reproduksi berbantu seperti
inseminasi intra uterin dan fertilisasi in vitro
memberikan harapan kepada pasangan infertil untuk
dapat memiliki keturunan. Sementara itu, tidak semua
pasangan infertil dapat memanfaatkan teknologi
reproduksi berbantu karena biaya yang relatif mahal dan
pusat pelayanan tersebut masih terbatas.
Salah satu tahapan dalam program fertilisasi in vitro
adalah stimulasi ovarium untuk mendapatkan jumlah
oosit yang lebih banyak. Sebelum dilakukan stimulasi
ovarium, dilakukan penilaian cadangan ovarium untuk

memprediksi respons ovarium terhadap rangsangan


gonadotropin yang akan diberikan. Cadangan ovarium
mencerminkan jumlah folikel primordial yang masih
tersisa pada ovarium dan juga kualitas oosit.1 Respons
ovarium ditentukan oleh jumlah folikel yang
berkembang, sedangkan jumlah folikel yang berkembang
ditentukan oleh jumlah folikel primordial. Pada wanita
seiring bertambahnya usia terutama tampak semakin
jelas pada usia di atas 35 tahun, maka akan terjadi
penurunan jumlah folikel primordial sehingga jumlah
folikel yang berkembang juga semakin berkurang. Bila
dilakukan stimulasi ovulasi akan didapatkan jumlah
folikel matang lebih sedikit serta diperlukan jumlah
gonadotropin lebih banyak. Penilaian cadangan ovarium
sangatlah penting untuk menentukan strategi stimulasi
dan menentukan prognosis keberhasilan stimulasi.
Selama ini parameter yang digunakan untuk mengetahui
cadangan ovarium adalah pengukuran kadar serum basal
FSH, E2, atau kombinasi FSH dan E2, serta hitung
jumlah folikel antral. Kedua parameter tersebut sangat

34

Majalah Obstetri & Ginekologi, Vol. 17 No. 1 Januari - April 2009 : 34 - 38

berfluktuasi sehingga kurang mencerminkan keadaan


ovarium yang sesungguhnya. Oleh karena itu beberapa
penelitian dilakukan untuk mencari parameter lain yang
dapat menggambarkan cadangan ovarium dengan
akurasi yang lebih baik di antaranya adalah pemeriksaan
kadar serum hormon anti-Mullerian (AMH). AMH
adalah suatu glikoprotein dimerik yang terdiri dari 2
monomer dengan ikatan disulfida, termasuk dalam
golongan Transforming Growth Factor- (TGF-)
menyebabkan
regresi
duktus
Mulleri
selama
perkembangan fetus laki-laki.2 Ekspresi mRNA AMH
didapatkan pada sel granulosa folikel primer anak tikus
dan tikus dewasa, dan kemudian pada folikel preantral
kedua, folikel antral kecil selama perkembangan
pubertas pertama, serta selama siklus estrus.3 Pada
wanita AMH dihasilkan oleh sel granulosa, berfungsi
membatasi jumlah folikel primordial berkembang ke
tahap berikutnya. AMH diduga berperan pada fase
transisi dari folikel primordial inaktif menjadi folikel
yang berkembang karena rangsangan gonadotropin. 4
Oleh karena sampai saat ini belum ada cara untuk
melakukan pengukuran jumlah folikel primordial secara
langsung maka pengukuran kadar serum AMH dapat
memberikan gambaran cadangan ovarium pada seorang
wanita. Serum wanita dewasa mengandung kadar AMH
dalam jumlah yang dapat diukur selama masa
reproduksi.5 Produksi AMH tidak dipengaruhi oleh
mekanisme umpan balik pada poros hipotalamuspituitari-ovarium sehingga kadarnya dalam serum tidak
terlalu berfluktuasi. Kadar AMH akan semakin menurun
seiring bertambahnya usia seorang wanita6 dan
berhubungan dengan respons ovarium yang jelek (poor
response) pada program fertilisasi in vitro meskipun
kadar FSH masih normal.7
Kadar serum basal AMH dapat dipakai untuk
memprediksi respons ovarium terhadap stimulasi
ovulasi. Penelitian yang dilakukan Renato Fanchin, dkk
mendapatkan ada korelasi positif antara kadar serum
basal AMH dengan jumlah estradiol total dan jumlah
folikel antral saat pemberian hCG serta jumlah oosit
yang didapat saat petik ovum. Hal yang sama
ditunjukkan pada penelitian Seifer,dkk bahwa ada
korelasi positif antara kadar serum basal AMH dengan
jumlah oosit pada saat petik ovum pada program
fertilisasi in vitro.7,8
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini menggunakan rancangan cross sectional
untuk mengukur kadar serum basal AMH pada wanita
yang dilakukan stimulasi ovulasi pada program fertilisasi
in vitro (IVF/ICSI).
Sampel penelitian adalah semua wanita yang telah
memenuhi syarat untuk mengikuti program fertilisasi in
vitro di RS Siloam dan RSU Dr. Soetomo Surabaya sejak
bulan Februari 2007 sampai dengan jumlah sampel yang

diperlukan terpenuhi. Besar sampel penelitian adalah 69


sampel. Untuk menilai hubungan antara serum basal
AMH dengan respons stimulasi ovulasi digunakan uji
Pearsons correlation dengan Program SPSS.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tabel 1. Karakteristik subjek
Karakteristik Sampel
Umur (tahun)
25 29
30 34
35 39
> 40
Lama infertilitas (tahun)
15
>5
Faktor penyebab infertilitas
Suami
Obstruksi tuba falopii
Kombinasi (suami + tuba)
Unexplained
SOPK
Endometriosis

Jumlah

17
22
26
4

24,64
31,88
37,68
6,00

34
35

49,28
50,72

25
16
14
6
5
3

36,23
23,89
20,29
8,69
7,25
4,34

Umur sampel penelitian berkisar antara 25 sampai 43


tahun dengan rerata 33,26 4,64 tahun, sebagian besar
sampel (56,52%) termasuk kelompok usia reproduksi
sehat (< 35 tahun). Penyebab infertilitas terbanyak
adalah faktor suami (36,23%), dan bila digabungkan
dengan faktor obstruksi tuba (23,89%) serta kombinasi
kedua faktor yang didapatkan bersama-sama (20,29%)
jumlahnya menjadi 79,7%. Pada tahapan selanjutnya 1
dari 69 sampel tersebut di atas karena kesulitan teknis
tidak bisa dilakukan prosedur petik ovum padahal saat
pemberian hCG didapatkan 4 buah folikel preovulasi,
oleh karena itu diasumsikan tidak didapatkan jumlah
oosit. Sedangkan 3 orang lagi mengalami kegagalan
stimulasi dimana tidak dijumpai adanya folikel
preovulasi (no response), oleh karenanya diberikan nilai
nol pada variabel jumlah folikel preovulasi dan oosit,
tetapi tetap disertakan pada perhitungan statistik.
Didapatkan 21 kehamilan biokimiawi (30,43%) dengan
sebaran lebih banyak pada umur dibawah 35 tahun
sebesar 18 kehamilan (85,7%) dan 3 kehamilan pada
kelompok umur 35 tahun (14,3%). Karena kehamilan
bukan merupakan variabel yang disertakan dalam
penelitian ini, selanjutnya tidak dimasukkan dalam uji
statistik.
Sebelum dilakukan uji statistik untuk membuktikan
korelasi kadar serum basal AMH dengan respons
ovarium terhadap stimulasi terlebih dahulu dilakukan uji
Kolmogorov-Smirnov untuk menguji normalitas
distribusi variabel. Hanya variabel dosis gonadotropin
per folikel preovulasi didapatkan p < 0,005 (p = 0,004),
artinya distribusi variabelnya tidak normal sehingga
untuk perhitungan statistik dipakai uji nonparametrik.
Sedangkan kadar serum AMH, jumlah folikel preovulasi,

35

Mahayasa dkk. : Korelasi Kadar Serum Basal AMH dengan Respons Ovarium terhadap Stimulasi Ovulasi

jumlah oosit, dan kadar estradiol saat hCG didapatkan p


> 0,005, dengan demikian untuk perhitungan statistik
dipakai uji parametrik dengan distribusi normal. Korelasi
dinilai dengan perhitungan komputer (Pearsons
correlation test). Pada penelitian ini didapatkan korelasi
positif antara kadar serum basal AMH dengan jumlah
folikel preovulasi saat pemberian hCG (r = 0,529, r 2 =
0,280, dan p = 0,000) dengan derajat kemaknaan 95%.
Dengan analisis regresi didapatkan persamaan jumlah
folikel preovulasi = 5,87 + 0,53 x AMH. Artinya setiap
peningkatan 1 unit kadar serum basal AMH akan
didapatkan peningkatan jumlah folikel preovulasi 0,53
buah. Bila nilai kadar serum basal AMH = 1 akan
didapatkan 6,4 folikel preovulasi. Didapatkan korelasi
positif antara kadar serum basal AMH dengan kadar
serum E2 saat pemberian hCG pada derajat kemaknaan
95% (r = 0,456, r2 = 0,21, dan p = 0,000). Dengan
analisis regresi didapatkan persamaan kadar E2 serum
saat hCG = 1299,56 + 78,55 x AMH. Setiap peningkatan
1 unit kadar AMH basal akan terjadi peningkatan kadar
E2 saat pemberian hCG sebesar 78,55. Pada derajat
kemaknaan yang sama juga didapatkan korelasi positif
antara kadar serum basal AMH dengan jumlah oosit
yang diperoleh saat prosedur petik ovum dengan
koefisien korelasi (r) = 0,535 dan r2 = 0,287 (p = 0,000).
Dengan analisis regresi didapatkan rumus jumlah oosit =
3,89 + 0,46 x AMH. Akan didapatkan peningkatan
jumlah oosit pada saat petik ovum sebanyak 0,46 buah
pada setiap peningkatan 1 unit kadar serum basal AMH.
Dosis gonadotropin yang dimaksud pada penelitian ini
adalah jumlah total ampul gonadotropin yang dipakai
pada stimulasi per jumlah folikel preovulasi yang
dijumpai saat pemberian hCG. Didapatkan korelasi
negatif antara kadar serum basal AMH dengan ampul
gonadotropin per folikel dengan r = -0,311 dan r 2 = 0,10
(p = 0,009, CI = 95%). Dengan analisis regresi
didapatkan rumus dosis gonadotropin (ampul/folikel) =
5,13 + (-0,27) AMH, artinya pada setiap peningkatan 1
unit kadar serum basal AMH akan terjadi pengurangan
0,27 ampul gonadotropin per folikel preovulasi.
Didapatkan korelasi negatif antara umur dengan kadar
serum basal AMH dengan r = -0,482 , r2 = 0,232 (p =
0,000, CI = 95%). Dengan analisis regresi didapatkan
persamaan untuk memprediksi kadar serum basal AMH
yaitu 19,10 + (-0,44) umur. Artinya setiap peningkatan
umur 1 tahun akan terjadi penurunan kadar serum basal
AMH sebesar 0,44 unit.
Pada penelitian ini didapatkan korelasi yang bermakna
antara kadar serum basal AMH dengan respons ovarium
terhadap stimulasi ovulasi pada program fertilisasi in
vitro. Respon ovarium dinilai dari jumlah folikel
preovulasi dan kadar estradiol saat pemberian hCG,
jumlah ampul gonadotropin eksogen per folikel
preovulasi, serta jumlah oosit saat petik ovum. Terdapat
korelasi yang bermakna antara kadar serum basal AMH
dengan jumlah folikel preovulasi saat pemberian hCG.
Dengan Pearson correlation test didapatkan r = 0,529, r2

= 0,28, dan p = 0,000. Sehingga semakin tinggi kadar


serum basal AMH akan didapatkan semakin banyak
folikel preovulasi. Dengan analisis regresi didapatkan
persamaan jumlah folikel preovulasi = 5,87 + 0,53
AMH. Artinya pada nilai AMH 1 ng/mL akan didapatkan
6,4 folikel preovulasi, atau setiap peningkatan 1 ng/mL
serum basal AMH akan terjadi peningkatan 0,53 folikel
preovulasi. Penelitian Renato Fanchin, 8 dkk terhadap 93
orang wanita yang mengikuti program fertilisasi in vitro
juga mendapatkan korelasi yang bermakna antara kadar
serum basal AMH dengan jumlah folikel preovulasi (r =
0,36 dan p < 0,002).
Terdapat korelasi bermakna antara kadar serum basal
AMH dengan jumlah oosit (r = 0,535 , r2 = 0,29 dan p =
0,000). Pada analisis regresi didapatkan persamaan
jumlah oosit saat petik ovum = 3,89 + 0,46 AMH,
artinya bila nilai kadar serum basal AMH 1 ng/mL akan
didapatkan 4,35 buah oosit saat petik ovum, atau setiap
peningkatan kadar serum basal AMH 1 ng/mL akan
didapatkan peningkatan 0,46 buah oosit. David Randel, 9
dkk juga mendapatkan korelasi bermakna antara kadar
serum basal AMH dengan jumlah oosit dengan r = 0,734,
p = 0,000. Penelitian yang dilakukan Van Rooij, 10 dkk
juga mendapatkan ada korelasi bermakna antara kadar
serum basal AMH dengan jumlah oosit saat petik ovum
(r = 0,57, p < 0,01). Demikian juga penelitian Renato
Fanchin,8 dkk yang mendapatkan korelasi bermakna
kadar serum basal AMH dengan jumlah oosit (r = 0,43, p
< 0,001). Sedangkan dengan jumlah ampul gonadotropin
yang dipakai untuk stimulasi didapatkan korelasi negatif
yang bermakna dengan kadar serum basal AMH (r =
-0,311, r2 = 0,10, dan p = 0,009). Pada analisis regresi
didapatkan persamaan jumlah ampul gonadotropin per
folikel preovulasi yang dipakai untuk stimulasi akan
sama dengan 5,13 + (-0,27) AMH. Setiap peningkatan
kadar serum basal AMH akan semakin sedikit
gonadotropin yang dipakai untuk stimulasi. Pada kadar
AMH 1 ng/mL akan dibutuhkan 4,86 ampul
gonadotropin eksogen untuk menumbuhkan 1 folikel
preovulasi.
Pada penelitian ini didapatkan korelasi bermakna antara
kadar serum basal AMH dengan kadar serum E2 saat
pemberian hCG (r = 0,456, r2 = 0,21, dan p = 0,000).
Pada analisis regresi didapatkan persamaan kadar serum
E2 saat hCG sama dengan 1.299,56 + 78,55 AMH. Bila
kadar serum basal AMH 1 ng/mL maka kadar serum E2
saat hCG sama dengan 1.378,11 pg/mL atau setiap
peningkatan 1 ng/mL kadar serum basal AMH akan
terjadi peningkatan kadar serum E2 sebesar 78,55
pg/mL. Hasil yang sama diperoleh pada penelitian
Renato Fanchin,8 dkk yang mendapatkan korelasi
bermakna antara kadar serum basal AMH dengan kadar
serum E2 saat hCG (r = 0,25, p < 0,04). Pada uji korelasi
didapatkan korelasi negatif bermakna antara umur
dengan kadar serum basal AMH ( r = -0,482, r 2 = 0,23,
dan p = 0,000). Pada analisis regresi didapatkan
persamaan kadar serum basal AMH sama dengan 19,10

36

Majalah Obstetri & Ginekologi, Vol. 17 No. 1 Januari - April 2009 : 34 - 38

+ (-0,44) umur, dimana akan terjadi penurunan kadar


serum basal AMH 0,44 ng/mL setiap penambahan umur
1 tahun. Dengan uji t juga didapatkan rerata kadar serum
AMH pada kelompok umur 35 tahun 5,749 4,554
lebih tinggi dari kelompok umur > 35 tahun 2,131
1,810 (p = 0,001). Sementara itu didapatkan korelasi
yang tidak bermakna antara umur dengan kadar serum
basal FSH (r = 0,163, p = 0,246) maupun umur dengan
kadar serum basal E2 (r = 0,106, p = 0,388). Hal ini
mungkin karena jumlah sampel penelitian tidak
mencukupi untuk uji beda kadar serum basal FSH dan
E2 pada kedua kelompok umur tersebut di atas.
Van Rooij,10 dkk pada penelitian terhadap 119 pasien
yang mengikuti program fertilisasi in vitro melakukan
pemeriksaan kadar serum basal E2, FSH, inhibin, dan
AMH, serta hitung jumlah folikel antral. Pada uji
korelasi hanya kadar serum basal AMH dan hitung
folikel antral yang memiliki korelasi bermakna dengan
umur (r = -0,30, p < 0,005). De Vet, 6 dkk yang
melakukan pemeriksaan serum AMH selama 2 kali
dengan interval 3 tahun mendapatkan bahwa kadar
serum AMH akan menurun secara bermakna dengan
bertambahnya umur wanita sementara belum terjadi
perubahan pada kadar serum FSH, inhibin B, dan jumlah
folikel antral. Van Rooij,10 dkk yang melakukan
penelitian pada wanita dengan ovulasi normal dengan
interval 4 tahun juga mendapatkan bahwa kadar serum
AMH memiliki akurasi terbaik dalam memprediksi
terjadinya menopause (ROCAUC 0,87).
Pada penelitian ini didapatkan 9 sampel dengan SOPK.
Dengan uji t didapatkan rerata kadar serum AMH
kelompok SOPK 9,282 7,821 secara bermakna lebih
tinggi dibandingkan pada non SOPK 3,833 2,866 (p =
0,000). Hal ini sesuai dengan teori bahwa terjadi
gangguan pada seleksi folikel dominan pada pasien
SOPK sehingga jumlah folikel antralnya lebih banyak.
Meskipun folikel pada SOPK masih peka terhadap
rangsangan gonadotropin tetapi rerata jumlah folikel
preovulasi berbeda tidak bermakna antara kelompok
SOPK (n = 9) dan non-SOPK (n = 60) 10,333 4,183
dengan 7,983 4,196 (p = 0,122). Hal ini disebabkan
oleh karena dosis gonadotropin yang dipakai pada
stimulasi biasanya lebih kecil pada pasien SOPK pada
kelompok umur yang sama, untuk mencegah terjadinya
sindroma hiperstimulasi. Pigny P,11 dkk mendapatkan
bahwa kadar serum AMH 23 kali lebih tinggi pada
wanita SOPK dibandingkan wanita normal, peningkatan
kadar serum AMH disebabkan oleh meningkatnya
jumlah folikel antral. Sementara itu Sir Petermann T,12
dkk melakukan penelitian pada bayi usia 23 bulan dan
wanita prepubertas (47 tahun) dari ibu SOPK
dibandingkan dengan bayi dan wanita prepubertas dari
ibu tanpa SOPK. Didapatkan kadar serum AMH secara
bermakna lebih tinggi pada bayi dan wanita prepubertas
dari ibu SOPK dibandingkan kontrol (20,4 15,6 vs
9,16 8,6, p = 0,024, dan 14,8 7,7 vs 9,61 4,4, p =
0,007). Dengan perhitungan yang sama didapatkan

korelasi bermakna antara kadar serum basal FSH dengan


jumlah folikel preovulasi saat pemberian hCG (r = 0,430,
r2 = 0,185, dan p = 0,000), tetapi didapatkan korelasi
tidak bermakna antara kadar serum basal E2 dengan
jumlah folikel preovulasi saat pemberian hCG (r = 0,080,
r2 = 0,006, dan p = 0,511). Koefisien korelasi kadar
serum basal AMH dengan jumlah folikel preovulasi
lebih besar dibandingkan koefisien korelasi kadar serum
basal FSH dengan jumlah folikel preovulasi (r = 0,529, r 2
= 0,28 vs r = 0,430, r2 = 0,185). Dengan memakai
kriteria Chicago (Chicago Fertility Center) jumlah
folikel preovulasi dibagi menjadi 2 kelompok yaitu
kelompok dengan respons jelek bila jumlah folikel
preovulasi kurang dari 5 dan kelompok dengan respons
baik bila jumlah folikel preovulasi minimal 5 buah. Dari
perhitungan statistik didapatkan nilai cut off kadar serum
basal AMH adalah 1,815 ng/mL dengan sensitivitas
83,9% dan spesifisitas 77% (OR = 17,407, p = 0,000).
Tabel 2. Hubungan kadar AMH dan respons ovarium
Kadar serum AMH
1,815
< 1,815
Total

Jumlah Folikel Preovulasi


>5
<5
47 (83,9 %)
3 (23,1 %)
9 (16,1 %)
10 (76,9 %)
56 (100%)
13 (100%)

Total
50
19
69

Pada penelitian retrospektif yang melibatkan 109 wanita


yang mengikuti program fertilisasi in vitro didapatkan
bahwa wanita dengan kadar AMH < 1,1 ng/ml berkaitan
dengan kegagalan program fertilisasi in vitro. 13 Hal ini
telah dikonfirmasi oleh penelitian Tremellen, 14 dkk
dengan sampel lebih besar, 328 orang, dan dengan
memakai batas nilai AMH 1,13 ng/ml mampu
memprediksi cadangan ovarium dengan sensitivitas 80%
dan spesifisitas 85%.
KESIMPULAN
Terdapat korelasi bermakna kadar serum basal AMH
dengan jumlah folikel preovulasi saat pemberian hCG (r
= 0,529, p < 0,01), kadar serum E2 saat pemberian hCG
(r = 0,456, p < 0,01), jumlah oosit saat petik ovum (r =
0,535, p < 0,01), dan jumlah ampul gonadotropin per
folikel preovulasi (r = -0,311, p < 0,01).
DAFTAR PUSTAKA
1. Te Velde ER, Pearson PL. The variability of female
reproductive ageing. Human Reprod Update. 2002; 8:141
54.
2. Josso N, Racine C, di Clemente N, Rey R, Xavier F. The
role of anti-mullerian hormone in gonadal development.
Mol Cell Endocrinol. 198; 145:37.
3. Baarends WM, Uilenbroek JT, Kramer P, Hoogerbrugge JW,
van Leeuwen EC, Themmen AP et al. Anti-mullerian
hormone and anti-mullerian hormone type II receptor
mRNA expression in rat ovaries during postnatal
development, the estrous cycle and gonadotropin-induced

37

Mahayasa dkk. : Korelasi Kadar Serum Basal AMH dengan Respons Ovarium terhadap Stimulasi Ovulasi

follicle growth. Endocrinology. 1995; 136:495162.


4. Durlinger AL, Kramer P, Karels B, de Jong FH, Uilenbroek
JT, Grootegoed A et al. Control of primordial recruitment by
anti-mullerian hormone in the mouse ovary. Endocrinology.
1999; 140:57869.
5. Lee MM, Donahoe PK, Hasegawa T, Silverman B, Crist
GB, Best S, et al. Mullerian inhibiting substance in humans:
normal levels from infancy to adulthood. J Clin Endocrinol
Metab. 1996; 81:5716.
6. DeVet A, Laven JS, de Jong FH, Themmen AP, Fauzer BC.
Anti-mullerian hormone serum levels: a putative marker for
ovarian aging. Fertil Steril. 2002; 77:35762.
7. Seifer DB, MacLaughlin DT, Christian BP, Feng B, Shelden
RM. Early follicular serum mullerian inhibiting substance
levels are associated with ovarian response during assisted
reproductive technology cycles. Fertil Steril. 2002; 77:468
71.
8. Fanchin R, Schonauer LM, Righini C, Frydman N, Frydman
R, Taieb J. Serum anti-mullerian hormone dynamics during
controlled ovarian hyperstimulation. Hum Reprod. 2003;
18:32832.
9. Randel CD, Duddy S, Tono Djuwantono. Hubungan kadar
serum AMH hari ketiga dengan jumlah oosit saat petik
ovum pada wanita yang mendapat hiperstimulasi ovarium

terkontrol dalam program fertilisasi in vitro. Bandung:


Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran; 2007.
10.Van Rooij IAJ, Broekmans FJM, Fauser BCJM, Banesi
LFJMM, de Jong FH, Themmen APN. Serum anti-mullerian
hormone levels: a novel measure of ovarian reserve. Human
Reproduction. 2002; 17:306571.
11.Pigny P, Merlen E, Robert Y, Cortet-Rudelli C, Decanter C,
Jonard S, et al. Elevated serum level of anti-mullerian
hormone in patients with polycystic ovary syndrome:
relationship to the ovarian follicle excess and to the
follicular arrest. J Clin Endocinol Metab. 2003; 88:595762.
12.Petermann TS, Codner E, Maliqueo M, Echiburu B,
Hitschfeld C, Crisosto N, et al. Increase anti-mullerian
hormone serum concentrations in prepubertal daughters of
women with polycystic ovary syndrome. J Clin Endocrinol
Metab. 2006; 91:31059.
13.Hazout A, Bouchard P, Seifer DB, Aussage P, Junca AM,
Cohen-Bacrie P. Serum anti-mullerian hormone/mullerianinhibiting substance appears to be a more discriminatory
marker of assisted reproductive technology outcome than
FSH, inhibin B or estradiol. Fertil Steril. 2004; 82:13239.
14.Tremellen KP, Kolo M, Gilmore A, Lekamge DN. Antimullerian hormone as a marker of ovarian reserve. Aust NZ
J Obstet Gynaecol. 2005; 45:204.

38

You might also like