Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 20

Cardiovascular Department

Case Report

Medical Faculty

August 2014

Hasanuddin University

EXTENSIVE ANTERIOR STEMI ONSET < 12 HOURS KILLIP II

Presented by :
Juliarwon Putra
C 111 09 284

Supervisor :
Prof. dr. Peter Kabo, Ph.D, Sp.FK, Sp.JP (K), FIHA, FAsCC

PRESENTED FOR CLERKSHIP


CARDIOVASCULAR DEPARTMENT
MEDICAL FACULTY
HASANUDDIN UNIVERSITY
MAKASSAR
2014

LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa :

Nama

: Juliarwon Putra

NIM

: C 111 09 284

Judul Referat :
EXTENSIVE ANTERIOR STEMI ONSET < 12 HOURS KILLIP II

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka tugas kepaniteraan klinik pada


Departemen Cardiovaskular Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.

Makassar,

Agustus 2014

Supervisor

Prof. dr. Peter Kabo, Ph.D, Sp.FK, Sp.JP (K), FIHA, FAsCC

ii

CASE REPORT

I.

PATIENTS IDENTITY
Medical Record

: 673070

Name

: Mr. J

Gender

: Male

Date of Birth / Age : 26-09-1951 / 62 years old


Date of Admission : 23-07-2014

II.

HISTORY TAKING
Chief Complaint : Pain on left chest

Present disease history : Chest pain felt approximately 2 days ago and
worsened since 9 hours prior to hospitalization. The pain was felt suddenly
like being pressed and radiated to the back of the body, and lasted for more
than 5 minutes. Cold sweat (+), nausea (+), vomiting (+). Syncope (-).
Shortness of breath also felt during the pain. DOE (+). PND (-). Orthopneu
(-). Cough (+) for 1 year. Defecation and urination is normal.

Risk Factor : Smoking (+) 1 pack / day. Alcoholism (-)

Past disease history : Diabetes mellitus (+) 20 years, not controlled.


Hypertension (-). Stroke (-). History of tuberculosis treatment (-)

III.

PHYSICAL EXAMINATION

General status : Moderate illness / under nutrition / consciousness GCS


15 (E4M6V5)

Vital sign
Blood Pressure

: 100/60 mmHg

Respiratory Rate

: 24 x/mnt

Pulse Rate

: 75 x/mnt

Body Temperature : 36.8 OC


1

Head and neck Examination


Eye

: Conjunctiva anemic (-), Sclera icteric (-)

Lip

: Cyanosis (-)

Neck : No mass, no tenderness, JVP R +3 cmH2O

Chest Examination
Inspection

: Symetric left = right

Palpation

: No mass, no tenderness, focal phremitus left = right

Percussion : Sonor left = right, lung-liver border on ICS VI right


anterior
Auscultation : Breath sound vesicular
Additional sound : Ronchi

Wheezing -/-

Cardiac Examination
Inspection

: Ictus cordis not visible

Palpation

: Ictus cordis not palpable

Percussion : Right heart border on right parasternal line, left heart


border on two finger from left midclavicular line ICS VI
Auscultation : Heart sound S I/II regular, no murmur

Abdominal Examination
Inspection

: Flat, follow breath movement

Auscultation : Peristaltic sound (+), normal


Palpation

: No mass, no tenderness, liver and spleen not palpable

Percussion : Tympani (+)

Extremity Examination
Edema pretibial minimal

IV. ELECTROCARDIOGRAPHY

Interpretation :
Sinus rhythm, heart rate 75 x/mnt
Axis 45O
Elevation of ST segmen on lead I, aVL, V1-V6

Conclusion :
Sinus rhythm, normo axis
Extensive anterior STEMI

V.

CHEST X-RAY

Interpretation :
Active tuberculosis minimal lession
Dilatatio et elongatio aortae

VI. ECHOCARDIOGRAPHY

Conclusion :
LV systolic and diastolic dysfunction
EF 35%
MR mild
Akinetic anterior, hipokinetic on other segment

VII. LABORATORY EXAMINATION


Examination
GDS
CK
CK-MB
Troponin T

Result
330
1131
72.9
0.51

Normal Value
140
< 190
< 25
< 0.05

Unit
mg/dL
U/L
U/L
Ng/mL

VIII. DIAGNOSIS
Extensive anterior STEMI onset < 12 jam KILLIP II
DM Type II non-obese
Suspect active tuberculosis

IX. PLANNING
Check laboratory FPG, FPG2PP, HbA1C, Lipid profile
Sputum Examination
ECG control
Coronary angiography

X.

TREATMENT
Oxygenation  O2 2-4 Lpm via nasal canule
Fluid  NaCl 0.9% 500 cc/24 hours/IV
Antiplatelet  Aspirin 160 mg/24 hours/oral (loading dose)
Antiplatelet  Clopidogrel 300 mg/24 hours/oral (loading dose)
Anticoagulan  Enoxaparin 0.6 cc/12 hours/SC
ACE Inhibitor  Captopril 6.25 mg/8 hours/oral
Oral hypolipidemic agent  Simvastatin 40 mg/24 hours/oral
Vasodilator  Isosorbid dinitrat long acting 10 mg/8 hours/oral
Diuretic  Furosemide 20 mg/8 hours/oral
Anxiolytic  Alprazolam 0.5 mg/24 hours/oral
Laxantive  Laxadyn syrup 10 cc/24 hours/oral
Insulin Injection :

Insulin aspartat  Novorapid 2-3-3 IU

Insulin detemir  Levemir 0-0-12 IU

DISCUSSION

I.

PENDAHULUAN

Acute coronary syndrome diklasifikasikan berdasarkan ada atau


tidak adanya ST elevasi. ST elevasi biasanya menggambarkan sumbatan
akut pada arteri koroner oleh trombus. Terapi yang paling efekstif antara
lain adalah rekanalisasi arteri yang tersumbat secepat mungkin dengan

percutaneous coronary intervention (PCI) atau dengan terapi thrombolitik.


(1)

. Di seluruh dunia, coronary artery disease (CAD) merupakan penyebab

kematian tersering. Lebih dari 7 juta orang meninggal setiap tahunnya


karena CAD, terhitung sekitar 12.8% dari semua kematian. Setiap 6 pria dan
7 wanita di Eropa akan meninggal karena infark myocard. (2)
STEMI yang merupakan singkatan dari ST Elevated myocardial

infarction merupakan sebuah tipe serangan jantung. Infark myocard


(serangan jantung) terjadi ketika sebuah arteri koroner terblok parsial oleh
bekuan darah, yang menyebabkan beberapa otot jantung yang disuplai oleh
arteri tersebut mengalami infark (mati). STEMI merupakan bagian dari
kelompok kelainan pada jantung yang disebut sebagai acute coronary

syndromes yang terdiri atas angina pektoris tak stabil, IMA tanpa elevasi
segmen ST, dan IMA dengan elevasi ST. (3-5) Insidens STEMI telah menurun
selama 20 tahun terakhir. Mortalitas di rumah sakit akibat acute coronary

syndrome telah menurun dari sekitar 20% menjadi sekitar 5%, karena
perbaikan terapi dan cepatnya didapatkan terapi yang efektif. (4)
Pada STEMI, arteri koroner hampir tertutup sempurna oleh bekuan
darah, sehingga menyebabkan hampir semua bagian otot jantung yang
disuplai oleh arteri tersebut mulai mengalami kematian. Tipe gagal jantung
yang berat ini memiliki karakteristik pada EKG yaitu peningkatan segmen
ST. (3)

II.

PATOFISIOLOGI
Faktor resiko biologis infark miokard yang tidak dapat diubah yaitu
usia, jenis kelamin, ras, dan riwayat keluarga. Sedangkan faktor resiko yang

masih dapat diubah sehingga berpotensi dapat memperlambat proses


aterogenik, antara lain kadar serum lipid, hipertensi, merokok, gangguan
toleransi glukosa, dan diet yang tinggi lemak jenuh, kolesterol, serta kalori.
(6)

Mekanisme utama terjadinya acute coronary syndrome adalah proses


thrombosis akut akibat rupturnya plak aterosklerosis yang menyebabkan
sumbatan mendadak aliran darah koroner. Penyebab non-aterosklerotik
lainnya

seperti arteritis,

trauma,

diseksi,

thromboemboli,

kelainan

kongenital, kokain, serta komplikasi tindakan kateterisasi jantung. (7)


Kejadian infark myocard diawali dengan terbentuknya aterosklerosis
yang kemudian ruptur dan menyumbat pembuluh darah. Penyakit
aterosklerosis ditandai dengan pembentukan bertahap fatty plaque di dalam
dinding arteri. Lama-kelamaan plak ini terus tumbuh ke dalam lumen,
sehingga diameter lumen menyempit. Penyempitan lumen mengganggu
aliran darah ke distal dari tempat penyumbatan terjadi. (8)
Faktor-faktor seperti usia, genetik, diet, merokok, diabetes mellitus
tipe II, hipertensi, reactive oxygen species, dan inflamasi menyebabkan
disfungsi dan aktivasi endotelial. Pemaparan terhadap faktor-faktor di atas
menimbulkan injury bagi sel endotel. Akibat disfungsi endotel, sel-sel tidak
dapat lagi memproduksi molekul-molekul vasoaktif seperti nitric oxide,
yang bekerja sebagai vasodilator, anti-thrombotik dan anti-proliferasi.
Sebaliknya, disfungsi endotel justru meningkatkan produksi vasokonstriktor,
endotelin-1, dan angiotensin II yang berperan dalam migrasi dan
pertumbuhan sel. (8)
Ketika aliran darah menurun tiba-tiba akibat oklusi thrombus di
arteri koroner, maka terjadi infark myocard tipe elevasi segmen ST
(STEMI). Perkembangan perlahan dari stenosis koroner tidak menimbulkan
STEMI karena dalam rentang waktu tersebut dapat terbentuk pembuluh
darah kolateral. Dengan kata lain STEMI hanya terjadi jika arteri koroner
tersumbat dengan cepat. (9)

III.

DIAGNOSIS
Diagnosis infark myocard bergantung kepada hasil anamnesis dan
pemeriksaan fisis, pengukuran marker biokimia kerusakan otot jantung
(khususnya Troponin), dan hasil pemeriksaan EKG.

(10)

Dari anamnesis,

diagnosis infark myocard biasanya didasarkan pada riwayat nyeri dada


selama 20 menit atau lebih di daerah substernal, tidak hilang dengan
istirahat dan tidak berespon terhadap nitrogliserin. Ciri khas lain adalah
nyeri yang menjalar ke leher, rahang bawah, atau tangan kiri. Nyerinya tidak
berat. Beberapa pasien datang dengan gejala yang lebih ringan, seperti
mual/muntah, sesak nafas, kelelahan, palpitasi, atau pingsan. (2, 7) Pasien juga
sering mengalami keringat malam. Pada sebagian kecil pasien (20% sampai
30%) IMA tidak menimbulkan nyeri dada. Silent AMI ini terutama terjadi
pada pasien dengan diabetes mellitus dan hipertensi serta pada pasien
berusia lanjut. (5, 11)
Dari pemeriksaan fisis, didapatkan pasien tampak cemas dan tidak
bisa beristirahat (gelisah) dengan ekstremitas pucat disertai keringat dingin.
Kombinasi nyeri dada substernal > 30 menit dan banyak keringat merupakan
kecurigaan kuat adanya STEMI. (5)
Pemeriksaan laboratorium harus dilakukan sebagai bagian dalam
tatalaksana pasien STEMI tetapi tidak boleh menghambat implementasi
terapi reperfusi. Pemeriksaan penanda kerusakan jantung yang dianjurkan
adalah creatinin kinase (CK)MB dan Troponin T atau I yang merupakan
biomarker pilihan karena sensitifitas dan spesifitas yang tinggi untuk
nekrosis myocard. Peningkatan kadar Troponin I atau Troponin T pada
pasien dengan riwayat kemungkinan infark myocard berarti bahwa telah
terjadi infark. (2, 5, 10)

Terjadinya Perubahan EKG pada Infark Myocard


Alur perubahan karakteristik infark myocard adalah sebagai berikut : (10)

EKG normal

Elevasi segmen ST

Pembentukan gelombang Q

Segmen ST kembali ke baseline

Gelombang T menjadi inverted


Lead EKG yang menunjukkan perubahan tipikal dari infark myocard

tergantung dari bagian jantung yang mengalami gangguan. (10)


ST elevasi pada infark myocard akut yang diukur dari J point harus
ditemukan pada 2 lead yang sama dan harus 0.25 mV pada pria berusia <
40 tahun, 0.2 mV pada pria berusia > 40 tahun, atau 0.15 mV pada
wanita di lead V2-V3 dan/atau 0.1 mV pada lead lainnya. (2)

Tabel 1 Penentuan Lokasi Infark Myocard (7)

Lokasi IMA

Lokasi Elevasi Segmen ST

Anterior

V3, V4

Anteroseptal

V1, V2, V3, V4

Anterior ekstensif

I, aVL, V2-V6

Anterolateral

I, aVL, V3, V4, V5, V6

Inferior

II, III, aVF

Lateral

I, aVL, V5, V6

Septum

V1, V2

Posterior

V7, V8, V9

Ventrikel Kanan

V3R - V4R

Arteri Koroner
Arteri koroner kiri cabang LADdiagonal
Arteri koroner kiri cabang LADdiagonal, cabang LAD-septal
Arteri koroner kiri-proksimal
LAD
Arteri koroner kiri cabang LADdiagonal dan/atau cabang
sirkumfleks
Arteri koroner kanan (paling
sering) cabang desenden
posterior dan/ cabang arteri
koroner kiri-sirkumfleks
Arteri koroner kiri cabang LADdiagonal dan/cabang
sirkumfleks
Arteri koroner kiri cabang LADseptal
Arteri koroner
kanan/sirkumfleks
Arteri koroner kanan bagian
proksimal

Infark myocard anterior jarang memiliki aliran darah kolateral yang


adekuat dan sering mengalami iskemik yang besar serta stress dinding
myocard yang tinggi. ST elevasi persisten pada infark myocard fase akut

10

dianggap sebagai penanda iskemik yang masih terus berlangsung. ST elevasi


persisten juga sering diikuti oleh gelombang T inverted persisten. (1)
Diagnosis STEMI yang cepat merupakan kunci keberhasilan terapi.
Monitoring EKG harus dimulai secepat mungkin pada pasien yang dicurigai
menderita

STEMI

untuk

mendeteksi

adanya

aritmia

yang

dapat

membahayakan jiwa. (2)

Gambar 1 Alur diagnosis dan terapi acute coronary syndrome (7)

IV. DIFERENSIAL DIAGNOSIS


Beberapa diagnosis banding STEMI adalah sebagai berikut : (7)

Diseksi aorta

Emboli paru

Perforasi ulkus

Tension pneumothorax

Ruptur esofagus mediastinitis

Pericarditis

Angina atipikal

11

V.

Myocarditis

Kardiomyopati hipertrofi

Gatroesophageal reflux (GERD).

Serangan panik

Somatisasi dan gangguan psikogenik

TERAPI
Tujuan utama penatalaksanaan IMA adalah mendiagnosis secara
cepat, menghilangkan nyeri dada, menilai dan mengimplementasikan
strategi reperfusi yang mungkin dilakukan, memberi antithrombotik dan anti
platelet, serta memberi obat penunjang. Terdapat beberapa pedoman
(guideline) penatalaksanaan STEMI yaitu dari ACC/AHA dan ESC, tetapi
perlu disesuaikan dengan kondisi sarana / fasilitas di masing-masing tempat
dan kemampuan ahli yang ada. (12)

Tatalaksana awal di ruang emergensi (10 menit pertama setelah pasien


datang) (7)

Tirah baring (bed rest total)

Oksigen 4 L/menit (saturasi O2 dipertahankan > 90%)

Aspirin 160-325 mg (dikunyah) dilanjutkan dengan 75-162 mg per hari

Nitrat 5 mg sublingual (dapat diulang 3 kali) lalu drips bila masih nyeri

Clopidogrel 300 mg per oral (jika belum pernah diberikan)

Morfin IV bila nyeri tidak teratasi dengan nitrat

Tentukan pilihan revaskularisasi (memperbaiki aliran darah koroner) dan


reperfusi myocard harus dilakukan pada pasien STEMI akut dengan
presentasi 12 jam.

Tatalaksana umum
Oksigen (sungkup atau nasal canule) harus diberikan pada pasien
yang sesak nafas, hipoksik, atau yang juga menderita gagal jantung, serta
pada pasien yang saturasi oksigennya < 90%. Pertanyaan mengenai apakah

12

oksigen juga harus diberikan kepada pasien tanpa sesak nafas atau gagal
jantung masih belum jelas. Monitoring saturasi oksigen dapat sangat
membantu untuk memutuskan apakah pasien membutuhkan bantuan oksigen
atau ventilator. Semua pasien STEMI tanpa komplikasi dapat diberikan
oksigen selama 6 jam pertama. (2, 13)
Mengurangi nyeri sangat penting karena nyeri berhubungan dengan
aktivasi simpatik yang menyebabkan vasokonstriksi dan peningkatan beban
kerja jantung. Titrasi opioid IV (seperti morfin) merupakan obat yang paling
sering digunakan. Morfin dapat diberikan dengan dosis 2-4 mg dan dapat
diulang dengan interval 5-15 menit sampai dosis total 20 mg. Tidak boleh
diberikan dalam bentuk injeksi IM. Efek sampingnya dapat berupa mual dan
muntah, hipotensi dengan bradikardi, dan depresi pernafasan. Obat
antiemetik dapat diberikan bersamaan dengan opioid untuk mengurangi
mual. (2, 13)

Percutaneous Coronary Intervention


Intervensi koroner perkutan (angioplasti atau stenting) tanpa
didahului fibrinolitik disebut PCI primer (primary PCI). PCI efektif dalam
mengembalikan perfusi pada STEMI jika dilakukan pada beberapa jam
pertama infark miokard akut. PCI primer lebih efektif dari fibrinolitik dalam
membuka arteri koroner yang tersumbat dan memiliki outcome klinis jangka
pendek dan jangka panjang yang lebih baik. PCI primer lebih dipilih jika
terdapat syok kardiogenik (terutama pada pasien < 75 tahun), resiko
perdarahan meningkat, atau gejala sudah ada sekurang-kurangnya 2 atau 3
jam jika bekuan darah lebih matur dan kurang mudah hancur dengan obat
fibrinolitik. Namun, PCI lebih mahal dalam hal personil dan fasilitas, dan
aplikasinya terbatas berdasarkan tersedianya sarana, hanya pada beberapa
rumah sakit. (2, 14)

Fibrinolitik
Terapi fibrinolitik lebih baik diberikan dalam 30 menit sejak masuk
(door to needle time < 30 menit) bila tidak terdapat kontraindikasi. Tujuan
13

utamanya adalah merestorasi patensi arteri koroner dengan cepat. Terdapat


beberapa macam obat fibrinolitik antara lain tissue plasminogen activator
(tPA), streptokinase, tenekteplase (TNK), reteplase (rPA), yang bekerja
dengan memicu konversi plasminogen menjadi plasmin yang akan
melisiskan trombus fibrin. (14)
Fibrinolitik dianggap berhasil jika terdapat resolusi nyeri dada dan
penurunan elevasi segmen ST > 50% dalam 90 menit pemberian fibrinolitik.
Fibrinolitik tidak menunjukkan hasil pada graft vena, sehingga pada pasien
pasca CABG yang datang dengan IMA, cara reperfusi yang lebih disukai
adalah PCI. (14)

Kontraindikasi terapi fibrinolitik : (7, 14)


A. Kontraindikasi absolut
1. Setiap riwayat perdarahan intraserebral
2. Terdapat lesi vaskular serebral struktural (contoh : malformasi AV)
3. Terdapat neoplasma ganas intrakranial
4. Stroke iskemik dalam 3 bulan kecuali stroke iskemik akut dalam 3
jam
5. Dicurigai adanya diseksi aorta
6. Perdarahan aktif atau diastasis berdarah (kecuali menstruasi)
7. Trauma muka atau kepala tertutup yang bermakna dalam 3 bulan
B. Kontraindikasi relatif
1. Riwayat hipertensi kronik berat, tak terkendali
2. Hipertensi berat tak terkendali saat masuk (TDS > 180 mmHg atau
TDD > 110 mmHg)
3. Riwayat stroke iskemik sebelumnya > 3 bulan, demensia, atau
diketahui

ada

patologi

intrakranial

yang

tidak

termasuk

kontraindikasi
4. Resusitasi jantung paru traumatik atau lama (> 10menit) atau operasi
besar (< 3 minggu)
5. Perdarahan internal baru dalam 2-4 minggu
14

6. Pungsi vaskular yang tak terkompresi


7. Untuk streptase / anisreplase : riwayat penggunaan > 5 hari
sebelumnya atau reaksi alergi sebelumnya terhadap obat ini
8. Kehamilan
9. Ulkus peptikum aktif

Obat fibrinolitik :
1) Streptokinase : Merupakan fibrinolitik non-spesifik fibrin. Pasien yang
pernah terpajan dengan SK tidak boleh diberikan pajanan selanjutnya
karena telah terbentuknya antibodi. Reaksi alergi tidak jarang
ditemukan. Manfaat mencakup harganya yang murah dan insidens
perdarahan intrakranial yang rendah. (15)
2) Tissue Plasminogen Activator (tPA, alteplase) : Penelitian oleh Global

Use of Strategies to Open Coronary Arteries (GUSTO-1) menunjukkan


penurunan mortalitas 30 hari sebesar 15% pada pasien yang
mendapatkan tPA dibandingkan SK. Namun, tPA harganya lebih mahal
dibanding SK dan resiko perdarahan intrakranial sedikit lebih tinggi. (16)
3) Reteplase (retevase) : Penelitian INJECT menunjukkan efikasi dan
keamanan sebanding SK dan sebanding tPA pada penelitian GUSTO III
dengan dosis bolus lebih mudah karena waktu paruh yang lebih panjang.
(17)

4) Tenekteplase (TNKase) : Keuntungannya mencakup memperbaiki


spesifisitas fibrin dan resistensi tinggi terhadap plasminogen activator

inhibitor (PAI-1). Laporan awal dari TIMI 1-B menunjukkan


tenekteplase mempunyai laju TIMI 3 flow dan komplikasi perdarahan
yang sama jika dibandingkan dengan tPA.

15

VI. PROGNOSIS
Mortalitas rata-rata STEMI adalah sebesar 30%, dengan 25 hingga
30% dari pasien yang meninggal tersebut meninggal sebelum sampai di
rumah sakit (umumnya karena fibrilasi ventrikel). (18)

Tabel 2 Klasifikasi KILLIP (18)

16

DAFTAR PUSTAKA
1.

Pierard LA. ST elevation after myocardial infarction: what does it mean?


Heart Journal. November 2007;93(11):132930.

2.

Steg PG, James SK, Atar D, Badano LP, Blomstrom-Lundqvist C, Borger


MA, et al. ESC Guidelines for the management of acute myocardial
infarction in patients presenting with ST-segment elevation. European Heart
Journal. 24 August 2012;33(20):2569-619.

3.

STEMI - ST Segment Elevation Myocardial Infarction [Internet]. 2014 [cited


29 July 2014]. Available from:
http://heartdisease.about.com/od/heartattack/g/STEMI.htm.

4.

NICE. Myocardial infarction with ST-segment elevation : The acute


management of myocardial infarction with ST-segment elevation. NICE
Clinical Guideline. July 2013;167.

5.

Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II
Edisi V. Jakarta: Interna Publishing; 2010.

6.

Santoso M, Setiawan T. Penyakit Jantung Koroner. 147 ed: Cermin Dunia


Kedokteran; 2005.

7.

Dharma S. Pedoman Praktis Sistematika Interpretasi EKG. Jakarta: Penerbit


Buku Kedokteran ECG; 2009.

8.

Ramrakha P, Moore K. Oxford Handbook of Acute Medicine 2nd Edition.


Oxford, England: Oxford University Press; 26 October 2006.

9.

Antman EM, Braunwald E. ST-Segment Elevation Myocardial Infarction.


In: Kasper DL, Fauci AS, Longo DL, Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL.
Harrisons Principles of Internal Medicine 16th Ed. USA: McGraw-Hill;
2005. p. 1449-50.

10.

Hampton JR. The ECG in Practice, 4th Edition. London: Elsevier Science
Limited - CHURCHILL LIVINGSTONE; 2003.

11.

Guyton AC, Hall JE. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran ECG; 2007.

12.

Longo D, Fauci A, Kasper D, Hauser S, Jameson J, Loscalzo J. Harrison's


Principles of Internal Medicine, 18th Edition: McGraw-Hill; July 2011.

13.

Antman EM, Hand M, Armstrong PW. Focused update of the ACC/AHA


2004 guidelines for the management of the patients with ST- elevation
myocardial infarction : A report of the American College of Cardiology
American Heart Association Task Force on Practice Guidelines. AHA
Journal. 2008;51:21047.

14.

Libby P, Bonow RO, Mann DL, Zipes DP. Braunwalds Heart Diseases: A
Textbook of Cardiovascular Medicine. Philadelphia: Elsevier; 2008.

17

15.

Fesmire FM, Bardy WJ, Hahn S. Clinical policy: indications for reperfusion
therapy in emergency department patients with suspected acute myocardial
infarction. Journal of Emergency Medicine. 2006(48):35883.

16.

Rieves D, Wright G, Gupta G. Clinical Trial (GUSTO-1 and INJECT)


Evidence of Earlier Death for Men thanWomen after Acute Myocardial
Infarction. American Journal of Cardiology. 2000(85):147-53.

17.

International Joint Efficacy Comparison of Thrombolytics. Randomized,


Double-blind Comparison of Reteplase Doublebolus Administration with
Streptokinase in Acute Myocardial Infarction. Lancet. 1995(346):329-36.

18.

Acute Coronary Syndromes (ACS) [Internet]. The MERCK Manual. May


2013 [cited 03 August 2014]. Available from:
http://www.merckmanuals.com/professional/cardiovascular_disorders/coron
ary_artery_disease/acute_coronary_syndromes_acs.html.

18

You might also like