Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 41

Pertemuan Ilmiah Tahunan Nasional II Dokter Pelayanan Primer

IDI WILAYAH
DKI JAKARTA

PITNAS II DPP
Tatalaksana terkini penyakit infeksi dan non-infeksi Dokter
Pelayanan Primer dalam menunjang sistem rujukan
Jakarta, 10-12 Mei 2012

Pertemuan Ilmiah Tahunan Nasional II Dokter Pelayanan Primer

Antibiotics Usage in Elderly


Herdiman T.Pohan,Sudirman Katu
Division of tropical Medicine and infectious disease
Departemen of internal Medicine
Faculty of Medicine University of Indonesia
Faculty of medicine university of Hasanudin

The quantitative growth of elderly people now become the important factor that should be attended in
worldwide.Indonesian elderly people Ws predicted reach more than 212% growth in 2025.Elderly known has any
specific.personality and problem which should be differed from regular adult.The degenerative process influence the
organ and immunology clearance when face the infection problem,that show any unspecific.infection symptom .All of
these problem will cause infection misdiagnostic and delay treatment.
Antibiotic management is the core of the infection treatment in elderly.Clinicians should have full knowledge
about antibiotics pharmacokinetics and pharmacodynamic(PK/PD)for determining the antibiotics usage in
elderly,Difference in drugs distribution and clearance in elderly should be considered.Liver and kidney function are the
primary organ that should be watched when performing antibiotics treatment .
Cephalosporins and macrolide are two kinds that could be administered safety in elderly.Antibitics can be given
both orally or intravenously which based on the problem.Dose adjusted should be done wisely in the case of liver or
kidney impairment.Infection eradication in elderly usually more difficult than in regular adult,and clinicians antibiotic and
disease phatophysiology knowledge is the most important thing that influence the infection eradication
Keywords : antibiotics Elderly.

Current update on the management of parasitic anti


fungal infection
Retno Wahyuningsih
Bagian Parasitologi FKUKI, Departemen Parasitologi FKUI, Jakarta

Perubahan besar yang mempengaruhi perkembangan penyakit parasitik dan penyakit jamur adalah munculnya
pandemi AIDS. AIDS yang disebabkan oleh infeksi HIV mengakibatkan runtuhnya sistim kekebalan penderita namun disisi
lain membuka cakrawala baru dalam pemahaman kita tentang penyakit infeksi. Berbagai mikro-organisme yang tadinya
jarang atau tidak menyebabkan penyakit telah muncul sebagai penyebab infeksi. Beberapa jamur dan parasit yang
penting adalah Candida yang menyebabkan kandidosis oro farings, Cryptococcus yang menyebabkan meningitis,
Toxoplasma yang menginfeksi otak dan beberapa protozoa penyebab diare.
Semua organisme tersebut kecuali Candida dapat menyebabkan infeksi yang berakhir fatal. Penngenalan pasien
dilini pertama pelayanan kesehatan akan membantu mencegah kematian dan kecacacatan akibat infeksi di atas.
Kata kunci : Toksoplasmosis, kandidosis, kriptokokosis, diare
2

Pertemuan Ilmiah Tahunan Nasional II Dokter Pelayanan Primer

Penatalaksanaan dan permasalahan


Diabetes tipe 2
Sidartawan Soegondo

Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia, Jakarta.

Sebagian besar penyandang DMT2 tidak dapat mencapai target glikemik. Hanya sebagian yang dapat mencapai Hba1c
yang direkomendasikan organisasi profesi bidang diabetes baik nasional maupun mancanegara, yang berkisar antara
6,5% - 7 %. Walaupun akhir-akhir ini keadaan menjadi lebih baik tetapi tetap sebagian besar masih saja mengalami
kesukaran untuk mencapai target yang ditentukan agar dapat mencegah terjadinya komplikasi. Angka ini mungkin
bertambah karena banyaknya penyandang baru yang kurang mendapat pengobatan dengan baik setelah diagnosis
ditegakkan. Hal ini dapat terjadi karena ditemukannya patofisiologi diabetes baru dan sifat penyakitnya yang progresif
serta makin kompleksnya pengobatan diabetes dengan banyaknya diketemukan cara dan obat-obat baru. Diantaranya
terdapat obat bagi gangguan sekresi insulin, produksi glukosa hati yang berlebihan, reabsorbsi glukosa oleh ginjal,
gangguan sekresi glucagon dll. Secara epidemiologik telah dibuktikan adanya hubungan antara buruknya kontrol
glikemik dan komplikasi mikro dan makrovaskular. Dan penelitian juga menemukan bahwa terapi yang agresif terhadap
peningkatan glukosa dapat menurunkan akibat jangka panjang DMT2 ini. United Kingdom Prospective Diabetes Study
(UKPDS) mendapatkan bahwa penurunan Hba1c sebesar 1% berhubungan dengan berkurangnya komplikasi risiko
kematian akibat diabetes, infark miokard dan komplikasi mikrovaskular.
Melihat hasil-hasil pengobatan diabetes yang kurang memuaskan ini maka beberapa organisasi profesi mancanegara
berusaha untuk menciptakan dan memperbaiki pedoman petunjuk penatalaksanaan untuk DMT2. Makin banyak terapi
kombinasi yang digunakan dan target pengobatan di bagi kelompok-kelompok dengan memperhatikan, lamanya
menderita diabetes, penyakit penyerta. Umur, risiko kardiovaskular, sisa umur yang relatif dan kondisi sosial, ekonomi
dan psikologik. Dalam praktek sehari-hari dokter pelayanan primer yang merupakan unjung tombak penatalaksanaan
diabetes, lebih mengetahui kondisi individual masing-masing orang dengan diabetes, sehingga dengan memperhatikan
dan menyesuaikan pengobatan individu tersebut serta memperhatikan petunjuk atau pedoman penatalaksanaan
diabetes yang ada dan kelompok mana individu tersebut berada; dapat membantu orang-orang dengan diabetes
tersebut mendapatkan kualitas hidup yang memadai dengan baik.
3

Pertemuan Ilmiah Tahunan Nasional II Dokter Pelayanan Primer

Komplikasikronik diabetes yang


seringditemukandiprakteksehari-hari
Tri Juli Edi T
Menurut data riset kesehatan dasar 2007, diabetes merupakan penyebab kematian kedua setelah stroke pada usia 55-64
tahun. Tentunya kematian akibat diabetes, maksud utamanya adalah kematian akibat komplikasi kronik diabetes yang
sangat menakutkan dan memerlukan biaya besar untuk pengelolaannya. Dengan demikian semua tujuan pengelolaan
diabetes seharusnya adalah untuk pencegahan komplikasikronik tersebut.
Komplikasi kronik diabetes biasanya dibagi atas komplikasi mikro vascular dan makro vaskular. Untuk komunitas diabetisi
di Indonesia, komplikasi mikro vascular biasanya lebih sering ditemukan dibandingkan dengan makro vascular ( data
poliklinik diabetes RSCM ). Dari komplikasi mikro vaskular, neuropati menempati posisi tersering, lalu campuran dari
beberapa komplikasi menempati urutan kedua, serta retin opati dan nefropati menempati urutan selanjutnya.
Komplikasi makro vascular diantaranya adalah penyakit jantung koroner, strok, dan penyakit pembuluh darah tepi.
Sekitar 75% pengidap diabetes meninggal karena penyakit kardiovaskular, pengidap diabetes juga memiliki risiko
serangan strok 1,5 kali lipat dibandingkan dengan bukan diabetes. Data di RSCM juga didapatkan bahwa penyakit
jantung koroner menempati angka 46% dari total komplikasi makro vaskular yang ditemukan.
Sering kali dokter sulit mengerem progresi komplikasi kronik jika sudah mulai terlihat. Dengan demikian pencegahan
merupakan usaha utama dan terpenting dibandingkan dengan mengobatinya. Usaha pencegahan dimulai dengan
pencegahan diabetes itu sendiri melalui serangkaian program hidup sehat berkesinambungan. Pada orang yang memiliki
factor risiko, usaha diagnosis dinidenganpenapisansecarateratur, merupakan program yang harus selalu diingatkan
kepada para calon diabetisi. Jika sudah terdiagnosis diabetes maka pengobatan dini, cepat mengkombinasi dan cepat
memberikan insulin jika target tidak terkontrol, merupakan usaha berikutnya agar diabetisi tidak cepat jatuh
kekomplikasi kronik.
Hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah mengelola semua factor risiko kejadian kardio vascular secara serentak dan
simultan karena diabetes bukanlah satu-satunya biangkerok yang harus dikelola, dan jangan lupa untuk selalu
melibatkan disiplin ilmu terkait sebagai anggota tim terpadu dalam mengelola komplikasi kronik tersebut.

Pertemuan Ilmiah Tahunan Nasional II Dokter Pelayanan Primer

Manajemen Pasca Stroke pada


Pasien Rawat Jalan
5

Pertemuan Ilmiah Tahunan Nasional II Dokter Pelayanan Primer

Rosiana Pradanasari Wirawan SpKFR-K


Rehabilitasi Medik RS Fatmawati-Jakarta
Pendahuluan
Stroke menjadi penyebab utama disabilitas bagi populasi usia dewasa dan menimbulkan beban psikososial serta biaya
yang tinggi bagi keluarga dan negara. Oleh karena itu meminimalkan disabilitas serta mengembalikan kemandirian
penderita stroke merupakan tujuan penanganan rehabilitasi pasien pasca stroke. Penanganan khusus di Rumah Sakit
pada fase akut seharusnya dilengkapi dengan proses rehabilitasi medik pada fase pemulihan.
Gejala sisa yang ditimbulkan akibat stroke bervariasi dan komplex tergantung pada letak dan luas lesi di otak. Sebagian
kecil pasien setelah serangan stroke yang cukup berat tidak akan mencapai pemulihan dan tetap memerlukan perawatan
orang lain sepenuhnya atau sebagian besar. Namun sebagian besar lainnya menjadi disabel hanya karena ketidak
tahuan atau kurangnya kemampuan mendapat proses rehabilitasi medik secara maksimal. Banyak hal yang
menyebabkan pasien tidak mempunyai kesempatan melanjutkan program rehabilitasi setelah pulang dari perawatan.
Tidak adanya keluarga yang mengantar, kesulitan transportasi atau tidak adanya biaya untuk membawa pasien rawat
jalan merupakan beberapa alasan yang menyebabkan pasien akhirnya menetap pada ketidak mampuannya dan menjadi
beban bagi keluarganya.
Prinsip rehabilitasi pasca Stroke
Secara umum rehabilitasi stroke fase subakut dapat ditangani melalui tatalaksana rehabilitasi medis sederhana yang
tidak memerlukan peralatan canggih. Berfokus pada upaya untuk mengembalikan kemandirian dalam aktivitas seharihari serta mencegah komplikasi immobilisasi yang dapat membawa dampak kepada perburukan kondisi diharapkan
pasien dapat mencapai hidup yang lebih berkualitas. Pelayanan Kesehatan Primer disini mempunyai peran penting.
Pada fase subakut pasien diharapkan mulai kembali untuk belajar melakukan aktivitas dasar merawat diri dan berjalan
walau dengan keterbatasannya. Sistem saraf otak juga melakukan re-organisasi melalui plastisitas otak sesuai dengan
perilaku dan kebiasaan pasien. Reorganisasi otak yang terbentuk tergantung sirkuit jaras otak mana yang paling sering
digunakan atau tidak digunakan. Artinya apabila pasien menjadi pasif, tidak banyak bergerak maka representasinya di
otak akan berkurang atau mengecil dan sistim saraf otak akan belajar untuk menjadi tidak digunakan (learned nonuse), program bergerak akan hilang terlupakan. Melalui rehabilitasi medik, reorganisasi otak diarahkan untuk mencegah
terjadinya learned non use dan membentuk program gerak fungsional yang lebih terarah serta menggunakan energi /
tenaga se-efisien mungkin. Hal tersebut dapat tercapai melalui training terapi latihan yang terstruktur secara kontinyu,
melakukan repetisi sebanyak mungkin dengan memperhatikan kinesiologi dan biomekanik gerak.
Beberapa prinsip dalam penanganan rehabilitasi medik pasca stroke:
1.

Bergerak merupakan obat yang paling mujarab. Bila anggota gerak sisi paresis terlalu lemah untuk mampu
bergerak sendiri, anjurkan pasien untuk bergerak /beraktifitas menggunakan sisi yang sehat, dan sedapat
mungkin juga mengikut sertakan sisi yang sakit.

2.

Persiapkan pasien dalam kondisi prima untuk melakukan aktivitas. Pemulihan kemampuan fungsional akan
memberikan hasil maksimal apabila pasien siap secara fisik dan mental. Secara fisik harus diperhatikan
kelenturan otot-otot, lingkup gerak semua persendian tidak ada yang kaku dan tidak ada nyeri pada pergerakan.
Secara mental pasien mempunyai motivasi serta pemahaman akan tujuan dan hasil yang akan dicapai dengan
terapi latihan tersebut.

3.

Kondisi medis juga harus selalu dimonitor. Tekanan darah dan denyut nadi sebelum dan sesudah latihan perlu
diperiksa. Lama latihan tergantung pada endurans pasien. Terapi latihan yang sebaiknya adalah latihan yang
tidak sangat melelahkan, durasi tidak terlalu lama (umumnya paling lama sekitar 30-60 menit), namun lakukan
pengulangan sebanyak mungkin.

4.

Terapi latihan gerak yang diberikan sebaiknya adalah gerak yang mempunyai tujuan atau target dibandingkan
hanya sekedar bergerak, misalnya meraih gelas, memegang gelas dan membawa gelas ke mulut. Gerak
fungsional mengikut sertakan dan mengaktifkan banyak bagianbagian otak, baik area lesi maupun area otak
normal lainnya, menstimulasi sirkuit baru yang dibutuhkan.

5.

Hasil terapi latihan yang diharapkan akan optimal bila fungsi kognitif, persepsi dan semua modalitas sensoris
pasien tidak terganggu. Pemulihan fisik dan rehabilitasi fungsi kognitif tidak dapat dipisah-pisahkan.
Mengembalikan kemampuan fisik seseorang harus melalui kemampuan kognitif, karena rehabilitasi pada
6

Pertemuan Ilmiah Tahunan Nasional II Dokter Pelayanan Primer

prinsipnya adalah suatu proses belajar, yaitu belajar untuk mampu kembali melakukan suatu gerak bertujuan
(aktivitas fungsional) dengan segala keterbatasan yang ada.
Kesimpulan
Walaupun rehabilitasi medik pasien pasca stroke memerlukan pelayanan rehabilitasi spesialistik, banyak hal yang masih
dapat dilakukan untuk membantu pasien mencapai pemulihan yang lebih optimal. Mencegah komplikasi sekunder dan
mengembalikan kemandirian pasien dapat sekaligus meringankan beban psikososial dan ekonomi keluarga. Dokter
Pelayanan Kesehatan Primer yang menjadi ujung tombak di masyarakat menjadi sangat penting perannya.

Tatalaksana HIV pada anak


Dr. Dana Nur Prihadi, SpA, MKes
Jumlah HIV yang semakin meningkat dari tahun ke tahun, mengakibatkan peningkatan pula jumlah bayi dan anak
yang menderita HIV-AIDS. Kalangan tenaga medis terutama dokter yang bertugas di pelayanan primer dituntut untuk
lebih waspada dan meningkatkan pengetahuan tentang penyakit HIV pada anak.
7

Pertemuan Ilmiah Tahunan Nasional II Dokter Pelayanan Primer

Dokter yang bertugas di pelayanan primer diharapkan mampu mendiagnosis, melakukan terapi, merujuk dan
memberikan informasi kepada keluarga yang mempunyai anak dengan HIV positif. Anak dengan HIV positif diharapkan
dapat tumbuh dan berkembang optimal sesuai usianya.
Informasi yang jelas tentang penyakit HIV-AIDS pada anak diharapkan keluarga dapat diajak kerjasama dalam
mencegah penularan dan meningkatkan kualitas hidup anak.

Tatalaksana rasional batuk dan pilek


pada anak
Darmawan B Setyanto
Batuk dan pilek merupakan keluhan klinis yang paling banyak dijumpai sehari-hari, dan merupakan masalah yang universal. Keluhan
ini dialami oleh semua orang, tanpa memandang usia, jenis kelamin, tingkat sosial ekonomi, tingkat pendidikan dan berbagai
parameter lain. Banyak sekali penyebab timbulnya keluhan batuk dan pilek. Iritan seperti asap terutama asap rokok, dapat menjadi
penyebab tunggal keluhan batuk yang bahkan dapat berlangsung kronik dan berulang. Pada orang yang berbakat alergi lebih banyak
lagi hal yang dapat menimbulkan batuk dan atau pilek. Debu rumah, bulu binatang, kapuk dan lain-lain dapat menjadi pencetus batuk
pilek.
Di antara berbagai penyebab, infeksi akut saluran respiratori atas merupakan penyebab tersering timbulnya batuk pilek baik pada
orang dewasa maupun anak. Diagnosis medisnya adalah rinitis atau rinofaringitis atau nasofaringitis. Saking seringnya dijumpai
sehari-hari orang Inggris menyebutnya sebagai common cold. Sebagai padanan dari common cold, dalam bahasa Indonesia dikenal
istilah selesma, suatu istilah lama yang banyak dilupakan. Orang awam dan sebagian kalangan medis kerapkali keliru menyebutnya
sebagai flu, kependekan dari influenza. Orang awam juga sering menggunakan kata flu sebagai pengganti kata pilek. Jadi flu
dikelirukan dalam penyebutan diagnosis medis maupun maupun gejala klinis. Selesma dapat disertai atau tanpa demam.
Selesma disebabkan oleh lebih dari 100 virus respiratori, yaitu virus yang gemar menyerang sistem respiratori kita, termasuk di
dalamnya virus influenza. Berbeda dengan virus respiratori lain, influenza selain menyebabkan common cold juga dapat menyebabkan
infeksi respiratori yang berat bahkan dapat mengancam nyawa seperti pneumonia. Dalam praktek sehari-hari kita tidak melakukan

Pertemuan Ilmiah Tahunan Nasional II Dokter Pelayanan Primer


pemeriksaan diagnostik penentuan etiologi selesma, sehingga umumnya kita tidak menegakkan diagnosis influenza, cukup dengan
common cold.
Penyebab selesma adalah virus, sehingga dalam tatalaksananya tidak memerlukan pemberian antibiotik, dan akan membaik dengan
sendirinya (self limiting). Tatalaksana utamanya adalah dengan istirahat yang cukup serta asupan cairan dan nutrisi yang memadai
yang akan memfasilitasi sistem imun kita. Jika diperlukan terapi medikamentosa maka bersifat sebagai terapi simtomatik. Jika pasien
mengalami demam dapat diberikan antipiretik yang sekaligus berfungsi sebagai analgetik, karena infeksi virus dapat juga
meyebabkan myalgia. Pada anak kecil yang belum mampu bertutur, jika mengalami rasa tidak enak badan akan terlihat gejalanya
sebagai rewel dan lesu.
Di pasaran banyak sekali tersedia obat batuk pilek dalam bentuk kombinasi yang dikenal dengan sebutan over the counter (OTC)
drugs atau obat bebas. Berbagai lembaga di bidang kesehatan seperti WHO dan CDC sudah melakukan banyak kajian ilmiah dan
menyimpulkan bahwa obat OTC tidak memberikan hasil lebih baik dibanding plasebo dalam terapi selesma. Bahkan untuk anak di
bawah 12 tahun tidak dianjurkan pemakaiannya. Semakin muda umur anak makin kuat rekomendasi yang melarang penggunaan obat
OTC karena risiko berbagai efek samping yang makin banyak ditemukan pada anak yang makin muda usianya.

Gangguan Psikosomatik : Pendekatan Diagnosis dan Tata


Laksana
Di Pelayanan Primer
andri@ukrida.ac.id
Bagian Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana (UKRIDA)
Academy of Psychosomatic Medicine

Terminologi psikosomatik dalam dunia kedokteran walaupun sudah cukup dikenal tapi masih kadang membuat beberapa
sejawat bertanya apa yang dimaksud dengan psikosomatik. Kata psikosomatik sendiri bisa merujuk kepada suatu
keluhan atau suatu keilmuan dalam bidang kedokteran. Secara umum psikosomatik adalah suatu keluhan fisik yang
didasari adanya keluhan psikis. Gangguan psikosomatik di dalam praktek umum sering dijumpai dalam kehidupan
praktek dokter umum sehari-hari. Hal ini disebabkan karena pasien yang mengeluh gangguan fisik akan pertama kali
datang ke dokter di pelayanan primer. Penelitian yang dilakukan Hidayat dkk (2010) mengatakan bahwa sebesar 31.8%
dari 1052 pasien yang berkunjung ke puskesmas dengan keluhan fisik mengalami gangguan kejiwaan. Dua puluh
delapan koma lima persen (28.5%) di antara 1052 pasien tersebut mengalami gangguan kejiwaan depresi,cemas dan
psikosomatik. Gangguan psikosomatik sangat terkait gangguan kejiwaan. Beberapa diagnosis gangguan kejiwaan yang
juga mengalami keluhan psikosomatik adalah gangguan depresi, gangguan kecemasan, gangguan somatoform,
demensia, penyalahgunaan zat, demensia dan skizofrenia. Dasar diagnosis gangguan jiwa perlu ditegakkan terlebih
dahulu untuk menentukan pengobatan dan tata laksana yang tepat.

Gangguan Psikosomatik : Tata Laksana Farmakologi


Rasional
Di Pelayanan Primer
andri@ukrida.ac.id
9

Pertemuan Ilmiah Tahunan Nasional II Dokter Pelayanan Primer

Bagian Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana (UKRIDA)


Academy of Psychosomatic Medicine (APM)

Gangguan psikosomatik sebagai suatu gangguan yang melibatkan banyak keluhan fisik adalah suatu kondisi yang rentan
pengobatan irasional. Dokter yang menangani kasus-kasus gangguan psikosomatik sering kali memberikan pengobatan
yang berlebihan, tidak sesuai dasar diagnosis dan hanya merujuk pada keluhan pasien. Penggunaan obat rasional pada
pasien dengan gangguan psikosomatik diperlukan agar mendapatkan suatu hasil pengobatan yang memuaskan pasien
juga dokternya. Prinsip yang diutamakan dalam pengobatan gangguan psikosomatik adalah sesuai dengan EBM
(Evidence Based Medicine), paham prinsip farmakodinamik dan farmakokinetik obat yang diberikan, sesuai diagnosis
pasien serta sesuai dengan pedoman pengobatan pada gangguan yang dimaksud. Pengalaman klinis dokter sehari-hari
menempatkan obat anticemas dan antidepresan sebagai obat yang paling banyak diresepkan untuk mengatasi
gangguan psikosomatik. Hal ini juga didukung oleh penelitian yang mengatakan bahwa kebanyakan kasus-kasus
gangguan psikosomatik mempunyai dasar gangguan cemas dan depresi. Selain itu juga dokter yang menangani kasus
gangguan psikosomatik perlu memahami terapi non-farmakologis yang mendasarkan pada hubungan dokter pasien yang
kuat serta pemberian informasi yang cukup akan penyakit yang diderita pasien.

Diagnosis dan Tatalaksana Gangguan Imsomnia, Anxiety


dan Depresi
Pada Pasien Rawat Jalan
Dr. Bagus Sulistyo Budhi, SpKJ, MKes
Departemen kesehatan Jiwa RSPAD Gatot Soebroto-Ditkesad Jakarta

A. Pendahuluan
Insomnia adalah gejala kelainan dalam tidur berupa kesulitan berulang untuk tidur atau mempertahankan
tidur walaupun ada kesempatan untuk itu. 1 Gejala tersebut biasanya diikuti gangguan fungsional saat bangun
dan beraktivitas di siang hari. Sekitar sepertiga orang dewasa mengalami kesulitan memulai tidur dan/atau
mempertahankan tidur dalam setahun, dengan 17% di antaranya mengakibatkan gangguan kualitas hidup.2
Sebanyak 95% orang Amerika telah melaporkan sebuah episode dari insomnia pada beberapa waktu selama
hidup mereka.1 Di Indonesia, pada tahun 2010 terdapat 11,7% penduduk mengalami insomnia. Insomnia umumnya merupakan
kondisi sementara atau jangka pendek.. Dalam beberapa kasus, insomnia dapat menjadi kronis. Hal ini sering disebut sebagai gangguan
penyesuaian tidur karena paling sering terjadi dalam konteks situasional stres akut, seperti pekerjaan baru atau
menjelang ujian. Insomnia ini biasanya hilang ketika stressor hilang atau individu telah beradaptasi dengan stresor.
Namun, insomnia sementara sering berulang ketika ketegangan baru atau serupa muncul dalam kehidupan pasien.3
Insomnia jangka pendek berlangsung selama 1-6 bulan. Hal ini biasanya berhubungan dengan faktor-faktor stres yang persisten,
dapat situasional (seperti kematian atau penyakit) atau lingkungan (seperti kebisingan). Insomnia kronis adalah setiap
insomnia yang berlangsung lebih dari 6 bulan. Hal ini dapat dikaitkan dengan berbagai kondisi medis dan psikiatri biasanya pada
pasien dengan predisposisi yang mendasari untuk insomnia.3
Meskipun kurang tidur, banyak pasien dengan insomnia tidak mengeluh mengantuk di siang hari. Namun, mereka
mengeluhkan rasa lelah dan letih, dengan konsentrasi yang buruk. Hal ini mungkin berkaitan dengan keadaan fisiologis
hyperarousal. Bahkan, meskipun tidak mendapatkan tidur cukup, pasien dengan insomnia seringkali mengalami
kesulitan tidur bahkan untuk tidur siang.2
10

Pertemuan Ilmiah Tahunan Nasional II Dokter Pelayanan Primer

Insomnia kronis juga memiliki banyak konsekuensi kesehatan seperti berkurangnya kualitas hidup, sebanding
dengan yang dialami oleh pasiendengan kondisi seperti diabetes, arthritis, dan penyakit jantung. Kualitas hidup
meningkat dengan pengobatan tetapi masih tidak mencapai tingkat yang terlihat pada populasi umum. Selain itu,
insomnia kronis dikaitkan dengan terganggunya kinerja pekerjaan dan sosial.2
Insomnia merupakan salah satu faktor risiko depresi dan cemas. Merupakan gejala dari sejumlah gangguan
medis, psikiatris, dan tidur. Bahkan, insomnia tampaknya menjadi prediksi sejumlah gangguan, termasuk depresi,
kecemasan, ketergantungan alkohol, ketergantungan obat, dan bunuh diri.2
Insomnia sering menetap meskipun telah dilakukan pengobatan kondisi medis atau kejiwaan yang mendasari,
bahkan insomnia dapat meningkatkan resiko kekambuhan penyakit primernya. Dalam hal ini, dokter perlu
memahami bahwa insomnia adalah suatu kondisi tersendiri yang membutuhkan pengakuan dan pengobatan untuk
mencegah morbiditas dan meningkatkan kualitas hidup bagi pasien mereka.3,4
B. INSOMNIA.
Insomnia atau gangguan sulit tidur merupakan suatu keadaan seseorang dengan kuantitas dan kualitas tidur
yang kurang. (Lanywati, 2001).
Tidur merupakan keadaan hilangnya kesadaran secara normal dan periodik.
Dengan tidur, maka akan diperoleh kesempatan untuk beristirahat dan memulihkan kondisi tubuh baik secara
fisiologis maupun psikis. Tidur dapat dianggap sebagai suatu perlindungan bagi tubuh untuk menghindarkan
pengaruh-pengaruh yang merugikan kesehatan akibat kurang tidur (Lanywati, 2001). Tidur mempunyai fungsi
restoratif pada penyakit akut. Hormon pertumbuhan akan disekresi selama tidur. Oleh karena itu, sangat penting
untuk pemeliharaan dan penyembuhan tubuh (Banks, & Dinges, 2007)
Menurut Hartman kebutuhan akan tidur terbagi dalam 2 kelompok, yaitu :
a. Short sleepers
Adalah kelompok orang yang dapat berfungsi adekuat walaupun tidurnya kurang kurang dari 6 jam
setiap malamnya. Kelompok ini biasanya termasuk orang-orang yang efisien, penuh semangat, ambisius,
mempunyai kemampuan adaptasi, sosial serta merasa puas dengan kehidupannya dan relatif bebas dari
psikopatologi. (Lumbantobing, 2008).
b. Long sleepers
Adalah kelompok orang yang berfungsi adekuat jika lama tidurnya lebih dari 9 jam sehari. Kelompok ini
biasanya menunjukkan berbagai psikopatologi ringan, seperti depresi ringan, ansietas, dan pemalu. Kelompok
ini sering mengeluh rasa khawatir terhadap kehidupannya dan segala sesuatu disekitarnya.
Kebutuhan tidur setiap orang tidak sama, baik jumlah maupun waktu tidur setiap orang berbeda-beda
(Rafknowledge, 2004). Setiap manusia tiap hari akan tidur selama 6-8 jam. Waktu yang diperlukan untuk tidur
bagi bagi anak-anak lebih banyak jika dibandingkan dengan orang tua. Jika bayi memerlukan tidur selama 16
jam, maka orang dewasa memerlukan waktu 8 jam, dan orang yang sudah tua (berusia 50 tahun)
memerlukan waktu rata-rata 5-6 jam untuk tidur (Lanywati, 2001). Jika tidur kurang dari 6 jam semalam,
umumnya mengakibatkan gejala deprivasi (kurang) tidur. Sedangkan tidur yang berlebihan dapat
mengakibatkan tidur yang tidak menyegarkan dan rasa letih (fatigue) di siang hari (Lumbantobing, 2008).
I.

Tidur Normal dan Pola Tidur


Tidur normal dipengaruhi oleh banyak faktor, sebagai contoh, orang muda memiliki kecenderungan untuk
tidur lebih lama dari orang yang sudah tua, karena orang yang sudah tua mengalami penurunan kebutuhan
jam tidur yang disebabkan proses penuaan, selanjutnya semakin lama orang terjaga maka semakin cepat dia
akan tertidur (Ford, Kamerow, 2004)
Dari hasil rekaman EEG didapatkan dua fase normal tahap tidur yaitu tidur REM dan tidur non-REM
(NREM) yang saling bergantian dalam siklusnya yang bertahan antara 70-120 menit. Secara umum 4-6 siklus
NREM-REM terjadi tiap malam.
1. NREM (Non Rapid Eye Movement)
Disebut juga fase tidur singkat. Merupakan keadaan tidur dengann gerakan mata tidak cepat.
Sebagian besar fungsi fisiologis jelas menurun. Dalam keadaan tidur NREM terjadi perubahan fisioligis
tubuh, diantaranya respirasi lebih teratur, kecepatan denyut jantung lebih lambat 5-10 denyut permenit
dibawah tingkat terjaga penuh dan sangat teratur, tekanan darah cenderung rendah dengan sedikit variasi
dari menit ke manit, resting membran potensial dari otot menjadi lebih rendah, dan terjadi penurunan
tonus otot (Kaplan&Sadock, 1997). Jika pada fase tidur ini dibangunkan maka sering mengalami
disorientasi, somnambulisme, eneuresis, dan mimpi buruk (Tun Kurniasih, 1998)
2. REM (Rapid Eye Movement)
Disebut juga sebagai fase tidur disinkronisasi atau nama lainnya fase tidur paradoksikal. Selama tidur
fase ini terjadi 4-5 kali dan jika dijumlahkan lamanya berkisar antara 1,5 jam atau sekitar 20% dari waktu
tidur seluruhnya (Tun Kurniasih, 1988). Fase ini ditandai dengan gerakan mata yang cepat. Seiring
berjalannya malam periode REM cenderung untuk menjadi lebih lama dan mendekat bersama dan
menunjukkan peningkatan banyaknya jumlah dari gerakan mata cepat (Ford, Kamerow, 2004)
11

Pertemuan Ilmiah Tahunan Nasional II Dokter Pelayanan Primer

Tidur REM berbeda secara kualitatif yang ditandai dengan tingkat aktifitas otak dan fisiologis yang
aktif, hampir mirip dengan keadaan terjaga (Kaplan&Sadock, 1997). Perubahan fisiologis yang terjadi pada
fase ini berupa pernafasan tidak teratur sehingga timbul vasokonstriksi pembuluh darah, peningkatan
denyut nadi dan tekanan darah sistemik, tonus otot dalam kondisi relaksasi (pengendoran). Proses
relaksasi ini sangat berguna bagi pemulihan tenaga dan penghilangan semua rasa lelah. Fase tidur REM
(fase tidur nyenyak) sering timbul mimpi-mimpi, mengigau, bahkan mendengkur (Lanywati, 2001)
Tahap tidur normal pada orang normal dibagi kedalam 5 tahap yang berbeda. Tahap 1-4 dikenal
sebagai NREM, dan tahap ke 5 dikenal sebagai REM. Siklus otak melalui 5 tahap ini dan kurang lebih 5-6
kali tiap malam (Hirshkowitz, Smith, 2004).
Rata-rata, dream sleep atau tidur lelap meliputi sekitar 25% hingga 30% dari seluruh tidur orang
dewasa. Pada anak-anak, dream sleep bisa mencapai 50% dari seluruh tidur malamnya. Penelitian
mengenai aktivitas metabolisme otak selama fase tidur dan terjaga menunjukkan bahwa selama fase
dream sleep aktivitas metabolisme pada sebagian besar otak meningkat dibandingkan pada fase nondream sleep atau bahkan fase terjaga. (Hirshkowitz, Smith, 2004).
Pembagian tahap tidur mengacu kepada 3 variabel fisiologis, yaitu Elektroencephalografi (EEG),
elektromyografi (EMG), Elektroocculografi (EOG) (lumbantobing, 2008)
Tahap 0 adalah periode kesadaran penuh dengan mata tertutup, yang terjadi sesaat sebelum
permulaan tidur, pada EEG menunjukkan gelombang alpha dengan frekuensi 8-12 siklus/detik. Tonus
otot cenderung meningkat, aktivitas alpha menurun dengan peningkatan rasa kantuk (Ford, Kamerow,
2004).
Tahap 1 disebut tahap permulaan tidur, menunjukkan transisi singkat dari periode sadar menuju tidur.
EEG menunjukkan aktivitas alpha berkurang menjadi kurang dari 50%. Terdiri atas aktivitas beta dan
theta yang lebih lambat (4-7 siklus/detik). Tahap 1 merupakan 5% dari total periode waktu tidur. Otak
dan tubuh menjadi relax, pernafasan teratur, aktivitas otot secara perlahan menurun. Seseorang dapat
terbangun cepat dan mudah. Kebanyakan orang tidur secara normal berada pada tahap 1 ini selama 5
menit atau kurang, tetapi pada individu insomnia lebih lama. (Hirshkowitz, Smith, 2004).
Tahap 2 tidur, didominasi oleh aktivitas theta dan dicirikan dengan penampakan dari sleep spindles
dan komplek K. Sleep spindles adalah ritme gelombang ledakan singkat (12-14 siklus perdetik) dengan
durasi 500-1500 milidetik. Komplek K berbentuk tajam, negatif, gelombang EEG tegangan tinggi,
diikuti oleh yang lebih lambat, aktifitas positif, durasi 500 milidetik. Gelombang ini merupakan
gambaran dari respon CNS terhadap stimulus dari dalam tubuh, bisa juga ditimbulkan selama tidur
dengan stimulus seperti suara keras. (Ford, Kamerow, 2004). Ditandai denyut jantung dan pernapasan
lambat dan menjadi sangat teratur, tubuh relaksasi lebih dalam, masih dapat dibangunkan tetapi tidak
mudah. Merupakan 45-55% dari periode total tidur. Kebanyakan orang menghabiskan 30 menit pada
tahap 1 dan 2 sebelum masuk tahap 3, tidur dalam. Tahap 1 dan 2 disebut juga tahap tidur dangkal
(Hirshkowitz, Smith, 2004).
Tahap 3 dan 4, slow wave sleep, delta sleep, deep sleep (tidur gelombang delta, gelombang lambat).
Merupakan tingkat tidur yang paling dalam, ditandai oleh imobilitas dan lebih sulit dibangunkan,
terdapat gelombang lambat rekaman EEG. Transisi tahap 2 ke tahap tidur gelombang lambat sulit
ditentukan. Spindles dapat berlanjut walaupun tidur gelombang lambat sudah muncul, dan K kompleks
(yang juga merupakan gelombang lambat voltase tinggi) bergabung menjadi gelombang lambat.
Tahap ini bervariasi berkaitan dengan usia, orang yang berusia lebih dari 60 tahun dapat tanpa tidur
gelombang lambat, dan anak yang sangat muda dapat mempunyai banyak gelombang lambat voltase
tinggi walaupun ia masih tidur ringan. Tahap 3 dan 4 umumnya dianggap satu, sebagai stadium tidur
gelombang lambat dan merupakan 15-20% dari total tidur (Hirshkowitz, Smith, 2004, Lumbantobing,
2008)
REM sleep, waktu dimana seseorang banyak bermimpi. Ditandai gerakan konjugasi mata yang cepat
dan penurunan tonus otot. Selama tahap ini untuk sementara lumpuh, brain blood flow meningkat,
denyut jantung meningkat, pernafasan meningkat. Tahap ini merupakan 20-25% dari waktu tidur total
dan sering dikenal dengan tidur desynchronized (Hirshkowitz, Smith, 2004).
Fase tidur NREM, ini biasanya berlangsung antara 70 menit sampai 100 menit, setelah itu akan
masuk ke fase REM. Pada waktu REM jam pertama prosesnya berlangsung lebih cepat dan menjadi lebih
insten dan panjang saat menjelang pagi atau bangun. Pola tidur REM ditandai adanya gerakan bola mata
yang cepat, tonus otot yang sangat rendah, apabila dibangunkan hampir semua organ akan dapat
menceritakan mimpinya, denyut nadi bertambah dan pada laki-laki terjadi eraksi penis, tonus otot
menunjukkan relaksasi yang dalam. Pola tidur REM berubah sepanjang kehidupan seseorang seperti
periode neonatal bahwa tidur REM mewakili 50% dari waktu total tidur. Periode neonatal ini pada EEG-nya
masuk ke fase REM tanpa melalui stadium 1 sampai 4. Pada usia 4 bulan pola berubah sehingga persentasi
total tidur REM berkurang sampai 40% hal ini sesuai dengan kematangan sel-sel otak, kemudian akan
12

Pertemuan Ilmiah Tahunan Nasional II Dokter Pelayanan Primer

masuk keperiode awal tidur yang didahului oleh fase NREM kemudian fase REM pada dewasa muda
dengan distribusi fase tidur sebagai berikut:
- NREM (75%), stadium 1: 5%; stadium 2 : 45%; stadium 3 : 12%; stadium 4 : 13%
- REM; 25 %. (Ford, Kamerow, 2004)
II.

Siklus tidur-bangun
Siklus tidur (antara waktu REM dengan REM berikutnya) lebih pendek pada bayi dari pada dewasa.
Periode REM muncul setiap 50-60 menit selama waktu tidur bayi dan secara bertahap meningkat sampai
dewasa dengan panjang siklus 70-100 menit selama masa dewasa. Saat lahir, periode REM dan NREM tersebar
sama sepanjang waktu tidurnya, tergantung dari umur setiap individu, periode REM biasa terjadi pada paruh
ketiga terakhir pada malam hari. Gambar (Reynolds, Kupfer., 1994)
Nukleus yang mengandung serotonin dan jalurnya memainkan peran yang penting dalam pengaturan
tidur NREM. Sistem noradrenergik terutama terlibat dalam pengontrolan tidur REM. Neuron yang mengandung
serotonin terutama terletak dalam kelompok nukleus di bawah otak tengah dan di atas pons, yang sering
disebut sebagai nukleus rephe. Aktivasi neuron ini akan meregulasi tidur NREM. Pengetahuan ini di dasarkan
pada model binatang dengan nukleus raphe yang mengalami kerusakan akan menginduksi insomnia total dan
pada model lain dimana binatang disuntik dengan paraklorofenilalanin, yang merupakan suatu penghambat
sintesis serotonin. (Reynolds, Kupfer., 1994)
Neuron adrenergik juga ditemukan di sepanjang batang otak. Konsentrasi tertinggi terutama terletak di
lokus coeruleus di pons, yang dipercaya berfungsi sebagai pengatur tidur REM. Kesimpulan ini dibuktikan
berdasarkan penelitian pada binatang dengan lesi pada neuron di lokus coeruleus yang mana akan mengakhiri
tidur REM dan mengaktifkan perilaku hiperaktif. Penekanan REM dapat dilakukan dengan menyuntikkan methylparatyrosine, suatu substansi yang mampu menghambat sintesis norepinefrin. (Reynolds, Kupfer., 1994)
Asetilkolin juga berperan besar dalam tidur, dan hubungan timbal balik antara sistem serotonergik dan
sistem noradrenergik di satu pihak dan sistem kolinergik di pihak lain mungkin adalah penyebab terjadinya
osilasi dasar dari siklus NREM-REM. (Reynolds, Kupfer., 1994)

III.

Gangguan tidur
Gangguan tidur yang termasuk gangguan tidur non organik adalah :
a. Dissomnia
Merupakan kondisi psikogenik primer dimana gangguan utamanya adalah jumlah, kualitas, atau
waktu tidur yang disebabkan oleh faktor-faktor emosi. Termasuk dalam gangguan ini adalah insomnia,
hipersomnia, narkolepsi, dan gangguan jadwal tidur jaga (Nestler, et al., 2001)
b. Parasomnia
Merupakan peristiwa episodik abnormal yang terjadi selama tidur. Pada anak-anak, hal ini terkait
terutama dengan perkembangan anak, sedangkan pada orang dewasa terutama karena pengaruh
psikogenik. Parasomnia ini dapat berupa somnambulisme /sleep walking, teror tidur / night terroris, dan
mimpi buruk/ nightmares (Nestler, et al., 2001)
Namun demikian, insomnia adalah gangguan tidur yang paling sering terjadi dan paling dikenal
(Kaplan&Sadock, 1997).

IV.

Insomnia
1. Definisi
a. Menurut WHO (1992)
Insomnia adalah suatu kondisi ketidakpuasan seseorang dalam kuantitas atau kualitas tidurnya dan
berlangsung selama beberapa waktu. Digolongkan dalam Disorder of Initiating and Mainting Sleep
(DIMS)
b. Menurut Ibrahim
Insomnia adalah gangguan tidur atau perubahan nyata yang dapat dilihat pada pola tidur.
c. Menurut Lumbantobing (2004)
Insomnia adalah tidur yang tidak adekuat atau tidur yang tidak menyegarkan
d. Menurut Goldman (1955)
Insomnia adalah kesulitan untuk tidur baik itu kesulitan untuk memulai tidur, atau kesulitan untuk tidur
kembali setelah terbangun di tengah malam, maupun terbangun lebih awal dan tidak dapat tidur lagi.

13

Pertemuan Ilmiah Tahunan Nasional II Dokter Pelayanan Primer

Insomnia biasanya timbul sebagai gejala lain yang mendasarinya, seperti kecemasan, depresi, atau
gangguan lain yang terjadi dalam hidup manusia (Maramis, 1997).
2. Macam-macam insomnia
Berdasar etiologi ada 2 macam insomnia (Turana, 2007) yaitu :
a. Insomnia primer
Pada insomnia primer, terjadi hyperarousal state dimana terjadi aktivitas ascending reticular
activating system yang berlebihan. Pasien bisa tidur tapi tidak merasa tidur. Masa tidur REM sangat
kurang, sedangkan masa tidur NREM cukup. Periode tidur berkurang dan terbangun lebih sering.
Insomnia primer ini tidak berhubungan dengan kondisi kejiwaan, masalah neurologi, masalah medis
lain, ataupun penggunaan obat-obat tertentu.
b. Insomnia sekunder
Disebabkan karena gangguan irama sirkadian, kejiwaan, masalah neurologi atau masalah medis
lainnya, atau reaksi obat. Insomnia ini sangat sering terjadi pada orang tua. Insomnia ini bisa terjadi
karena psikoneurotik dan penyakit organik. Pada orang dengan insomnia karena psikoneurosis, sering
didapatkan keluhan-keluhan non organik seperti sakit kepala, kembung, badan pegal yang
mengganggu tidur. Keadaan ini akan lebih parah jika orang tersebut mengalami ketegangan karena
persoalan hidup. Pada insomnia karena penyakit organik, pasien tidak bisa tidur atau kontinuitas
tidurnya terganggu karena nyeri organik, misalnya penderita arthritis yang mudah terbangun karena
nyeri yang timbul karena perubahan sikap tubuh.
Berdasarkan waktu terjadinya insomnia (Ibrahim, 2001) dibagi menjadi :
a. Initial insomnia
Merupakan salah satu jenis insomnia dimana penderita kesulitan untuk memulai tidur. Biasanya
terdapat pada pasien gangguan jiwa dengan anxietas.
b. Middle insomnia
Penderita sering terbangun di tengah malam dan mengalami kesulitan untuk tidur kembali. Kondisi ini
biasanya terdapat pada pasien depresi.
c. Late insomnia (terminal insomnia)
Penderita sering bangun terlalu pagi dan tidak dapat tidur kembali. Biasanya ditemukan pada pasien
depresi.
Berdasarkan lamanya insomnia dibagi dalam 3 golongan besar yaitu :
a. Transient insomnia/ insomnia sekilas
Adalah mereka yang termasuk tidur secara normal, tetapi mengalami kesulitan tertidur karena suatu
stress yang berlangsung tidak terlalu lama, misalnya pada perjalanan jauh dengan kapal terbang yang
melampaui zona waktu hospitalisasi (Rudi. 1988)
b. Short term insomnia
Periode singkat insomnia yang paling sering berhubungan dengan kecemasan, misalnya akan
menghadapi ujian atau wawancara pekerjaan. Insomnia jenis ini berhubungan dengan stress
situasional seperti duka cita, kehilangan orang yang dicintai, atau hampir semua perubahan dalam
kehidupan (Kaplan&Sadock,1997).
c. Long term insomnia / insomnia kronik
Merupakan insomnia jangka panjang, yang dapat berlangsung dalam waktu berbulan-bulan sampai
bertahun-tahun sehingga perlu pengobatan (Rudi,1988). Bisa disebabkan karena gangguan medis,
penyakit neurologis, gangguan psikiatri, gangguan cemas, dan penggunaan obat-obatan simultan,
alkohol, atau hipnotik sedatif dalam dosis tinggi (Rowley, 2005)
3. Faktor penyebab
Faktor penyebab insomnia menurut Ibrahim N (2001) :
a. Problem situasi seperti adanya stress, tekanan pekerjaan, ketidakselarasan perkawinan
b. Umur
c. Gangguan medik yang tidak bisa dielakkan umpamanya rasa sakit dan ketidakenakan fisik
d. Serangan yang berhubungan dengan pemakaian obat, umpamanya gejala lepas obat, alkohol, atau
sedatif.
e. Kondisis psikologis terutama gangguan jiwa berat seperti schizophren dan gangguan afektif
Faktor risiko insomnia, Turana Y (2007) menjelaskan ada beberapa, yaitu :
a. Emosi (faktor psikologik)
b. Transient dan recurrent insomnia biasanya disebabkan oleh gangguan emosi, memendam kemarahan,
cemas, ataupun depresi bisa menyebabkan insomnia.
c. Kebiasaan
14

Pertemuan Ilmiah Tahunan Nasional II Dokter Pelayanan Primer

d. Perubahan lingkungan seperti bising, suhu yang ekstrim


e. Usia diatas 50 tahun
f. Jenis kelamin, wanita lebih banyak menyerang wanita sekitar 20-50% lebih tinggi dari pada pria.
Faktor penyebab insomnia, menurut Rafknowledge (2004) antara lain :
a. Depresi
b. Stress atau kecemasan
c. Kelainan kronis seperti diabetes melitus, sakit ginjal, dan lain-lain
d. Efek samping obat
e. Pola makan yang buruk
f. Kurang olah raga
4. Akibat Insomnia
Akibat gangguan tidur, deprivasi tidur, dan merasa mengantuk yaitu penurunan produktivitas,
penurunan performa kognitif, peningkatan kemungkinan kecelakaan, risiko morbiditas dan mortalitas lebih
tinggi, penurunan kualitas hidup (Rafknowledge, 2004)
Menurut Turana (2007), insomnia akan mengakibatkan hal-hal sebagai berikut :
a. Efek fisiologis
Karena kebanyakan insomnia diakibatkan oleh stress, terdapat peningkatan noradrenalin serum,
peningkatan adrenocorticotropic hormon (ACTH) dan kortisol, juga penurunan produksi melatonin
b. Efek psikologis
Dapat berupa gangguan memori, gangguan berkonsentrasi, kehilangan motivasi, depresi dan
sebagainya.
c. Efek somatik
Dapat berupa kelelahan, nyeri otot, hipertensi, dan sebagainya.
d. Efek sosial
Dapat berupa kualitas hidup yang terganggu, seperti susah mendapat promosi pada lingkungan
kerjanya, kurang bisa menikmati hubungan sosial dan keluarga.
e. Kematian
Orang yang tidur kurang dari 5 jam semalam memiliki angka harapan hidup lebih sedikit dari orang
yang tidur 7-8 jam semalam. Hal ini mungkin disebabkan karena penyakit yang menginduksi insomnia
yang memperpendek angka harapan hidup atau karena high araousal state yang terdapat pada
insomnia mempertinggi angka mortalitas atau mengurangi kemungkinan sembuh dari penyakit. Selain
itu orang yang menderita insomnia memiliki kemungkinan 2 kali lebih besar mengalami kecelakaan
lalu lintas dibanding orang normal.

5. Epidemiologi
Menurut data WHO tahun 1993, 18% penduduk dunia pernah mengalami gangguan sulit tidur,
dengan keluhan yang sedemikian beratnya sehingga menyebabkan tekanan jiwa bagi penderitanya
(Lanywati, 2001).
Menurut hasil, prevalensi tahunan satu bulan insomnia meningkat secara bertahap, dengan tingkat
prevalensi kumulatif 20 persen dan lebih dari dua kali lipat risiko di kalangan wanita (Buysse, et al.,2008)
atau prevalensi masalah tidur mencapai 30% pada anak dan dewasa (Lumbantobing, 2008).
Lebih dari 60 juta orang amerika memiliki keluhan yang berhubungan dengan tidur. Insomnia
merupakan gangguan tidur yang paling sering ditemukan. Setiap tahun diperkirakan sekitar 20%-50%
orang dewasa melaporkan adanya gangguan tidur dan sekitar 17% mengalami gangguan tidur yang serius
(Nurmiati Amir,2004).
C. HUBUNGAN INSOMNIA DENGAN DEPRESI
Sekitar 30% orang dewasa mengalami gejala insomnia. Insomnia pada dewasa muda yang menetap selama 2
minggu atau lebih memprediksi episode depresi mayor. 17%-50% subyek dewasa muda dengan insomnia menetap 2
minggu atau lebih berkembang menjadi episode depresi mayor. Insomnia komorbid dengan depresi secara
longitudinal keduanya berhubungan. (Buysse, et al.,2008).
Insomnia bukan hanya sebagai gejala depresi, semakin banyak bukti menunjukkan bahwa insomnia bukan
hanya gejala depresi, tetapi bahwa mungkin sebenarnya mendahului depresi. Dengan kata lain, orang-orang yang
insomnia tetapi tidak depresi terjadi peningkatan risiko untuk berkembang menjadi depresi. Studi ini menambah
pengetahuan kita dengan memasukkan lebih panjang periode tindak lanjut dari pada kebanyakan studi sebelumnya,
"kata Daniel J. Buysse, MD, dari University of Pittsburgh. Secara terpisah insomnia maupun depresi, dan
15

Pertemuan Ilmiah Tahunan Nasional II Dokter Pelayanan Primer

dikombinasikan insomnia-depresi, hasil penelitian menunjukkan bahwa insomnia tampaknya akan diikuti oleh
depresi lebih konsisten daripada sebaliknya. Selain itu insomnia cenderung masalah kronis dari waktu ke waktu,
sedangkan depresi adalah masalah yang lebih berselang. "
D. GANGGUAN DEPRESI
Depresi merupakan gangguan mood atau afek yang ditandai dengan adanya perasaan sedih, murung dan
iritabilitas. Pasien mengalami distorsi kognitif seperti mengritik diri sendiri, timbul rasa bersalah, perasaan tidak
berharga, kepercayaan diri menurun. Pesimis dan mudah putus asa. Terdapat rasa malas, tidak bertenaga, retardasi
psikomotor dan menarik diri dari lingkungan sosial. Pasien mengalami gangguan tidur yaitu sulit masuk tidur atau
terbangun tidur dini. Orang yang depresi adalah orang yang amat menderita. Depresi adalah penyebab utama
tindakan bunuh diri, tindakan ini menduduki urutan ke-6 dari penyebab kematian utama di Amerika Serikat (Nurmiati
Amir, 2004).
1. Epidemiologi
Gangguan depresi merupakan kelainan yang umum dengan prevalensi semua umur sekitar 35%,
mengenai sekitar 20% wanita dan 12% pada laki-laki. Perbedaan prevalensi pada wanita dan kali laki-laki ini
dihipotesis akibat keterlibatan hormonal, pengaruh melahirkan, stresor psikososial yang berbeda antara laki-laki
dan wanita serta model prilaku yang tidak berdaya pada wanita. Usia rata-rata gangguan depresi berat sekitar
40 tahun, 50% adalah pada 20-50 tahun. Gangguan ini juga terjadi pada orang tanpa hubungan interpersonal
yang dekat atau pada mereka yang dipisahkan situasi. Tidak terdapat korelasi antara status sosioekononomi
dengan gangguan depresi berat (Sadock & Sadock, 2003; Nurmiati Amir, 2005).
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), 1974, menyebutkan angka 17% pasien-pasien yang berobat ke
dokter adalah pasien dengan depresi dan selanjutnya diperkirakan angka ini semakin bertambah untuk masamasa mendatang yang disebabkan karena beberapa hal,antara lain : (1) usia harapan hidup samakin
bertambah, (2) stressor biopsikososial smakin berat, (3) berbagai penyakit kronis semakin bertambah dan (4)
kehidupan beragama semakin ditinggalkan (Nurmiati Amir, 2005)
2. Etiologi
Etiologi dasar untuk gangguan depresi tidak diketahui. Banyak usaha untuk mengenali suatu penyebab
biologis dan psikososisl tetapi dibatasi oleh faktor heterogenitas populasi pasien (Sadock & Sadock, 2003).
Sampai saat ini masih diyakini merupakan hasil interaksi antara faktor psikogenik, sosiogenik dan
biogenik. Dikatakan hasil interaksi karena suatu faktor bisa mempengaruhi faktor lainnya,sebagai contoh faktor
psikogenik mempengaruhi biogenik (paparan stressor akan merangsang sekresi neurotransmiter tertentu),
faktor psikogenik atau sosiogenik dapat mempengaruhi biogenik (dalam ekspresi genetik) faktor biogenik dapat
mempengaruhi respon seseorang terhadap stressor psikososisl (kecacatan fisik akan mengarah pada prilaku
menarik diri) dan seterusnya (Nurmiati Amir, 2005; Sadock & Sadock, 2003).
Patofisiologi terjadinya depresi diduga kuat karena peran neuroendokrin, karena peningkatan aktivasi
aksis hypotalamic pituaitary adrenal (HPA Aksis). Hoelboer et al (1995) dalam penelitiannya menemukan pada
orang yang sehat namun berisiko tinggi terhadap penderita efektif ditemukan adanya kelainan pada reseptor
kortisol pada pasien depresi. Dinan (1994) menemukan sekitar 70% resisten terhadap tes deksametason (DXT)
pada pasien depresi. Kombinasi peningkatan kadar kortisol dalam plasma dengan resistensi DXT akan
memperbesar respon terhadap ACTH dan seterusnya CRH (Purba YS, 2007; Takahashi LK, Hutcher SE, 2006)
3. Diagnosis
Menurut ICD-10(international Classification of Disease 10 th edition), DSM !V (Diagnostic and Statistic
Manual of Mental Disorder 4th edition) dan PPDGJ III (Pedoman dan Penggolongan dan Diagnotis Gangguan Jiwa
Indonesia edisi 3), gangguan depresi adalah termasuk dalam gangguan mood (gangguan afektif) (WHO, 1992;
Depkes RI, 1993).
Berdasarkan PPDGJ III untuk mendiagnosis episode depresi didasarkan pada gejala sebagai berikut :
Gejala utama:
a. Afek depresif.
b. Kehilangan minat dan kegembiraan.
c. Berkurangnya energi sehingga mudah lelah dan hipoaktif.
Gejala lainnya:
a. Kosentrasi dan perhatian berkurang.
b. Harga diri dan kepercayaan diri berkurang.
c. Gagasan merasa bersalah dan tak berguna.
d. Pandangan masa depan yang suram dan pesimis.
e. Gagasan atau perbuatan membahayakan atau bunuh diri.
f. Tidur terganggu.
g. Nafsu makan terganggu.
16

Pertemuan Ilmiah Tahunan Nasional II Dokter Pelayanan Primer

Dari kreteria diagnosis di atas episode depresif dibagi menjadi episode depresi ringan, sedang dan berat
(Maslim, 2003).
Sedangkan menurut DSM IV kreteria diagnosis untuk Episode Depresi Berat (Mayor) adalah sebagai
berikut : (APA, 2000)
a. Lima atau lebih gejala berikut selama periode dua minggu yang sama dan menunjukan suatu perubahan
dari fungsi sebelumnya :
1. Mood depresif sepanjang hari dan setiap hari.
2. Kehilangan minat atau kesenangan sepanjang hari dan setiap hari,
3. Penurunan berat badan yang bermakna jika tidak melakukan diet atau
4. penambahan berat badan atau peningkatan atau penurunan nafsu makan setiaphari.
5. Insomnia atau hipersomnia hampir setiap hari.
6. Agitasi atau retardasi psikomotor hampir setiap hari.
7. Kelelahan atau kehilangan tenaga hampir setiap hari.
8. Perasaan tidak berharga atau bersalah berlebihan hampir setiap hari.
9. Penurunan kemampuan untuk berfikir atau berkosentrasi,keraguan hampir setiap hari.
b. Pikiran tentang kematian dan bunuh diri yang berulang.
c. Gejala tidak memenuhi kreteria campuran.
d. Gejala menyebabkan penderitaan secara klinis yang bermakna atau gangguan pada fungsi sosial, pekerjaan
atau fungsi bidang lainnya.
e. Gejala bukan karena efek biologis langsung dari zat atau suatu kondisi umum medis.
f. Gejala tidak lebih baik dijelaskan oleh berduka yaitu setelah kehilangan orang yang dicintai,gejala menetap
lebih lama dari dua bulan,atau ditandai gangguan bunuh diri,gejala psikotik atau retardasi psikomotor.
4. Perjalanan Penyakit dan Prognosis
Pasien cenderung memiliki perjalana penyakit yang panjang dan mengalami kekambuhan. Stressor
biopsikososial mungkin memainkan peranan dalam penyebab awal gangguan mood. Episode pertama dapat
sembuh, perubahan yang berlangsung lama di dalam biologi otak menempatkan pasien pada risiko besar untuk
mengalami episode selanjutnya (Kaplan dkk, 2003)
Insomnia pada Penderita Cemas dan Depresi1
Tabel 3. Insomnia pada ansietas dan depresi5

E. GANGGUAN CEMAS
a.
Definisi15
Menurut Sadock dan Virginia (2007) gangguan cemas adalah keadaan seseorang mengalami perasaan
gelisah atau cemas dengan aktivitas saraf otonom dalam berespon terhadap suatu ancaman tertentu.
Selain itu, menurut Miraz L (2010) gangguan cemas merupakan keadaan yang ditandai dengan perasaan
ketakutan yang disertai dengan keluhan somatik yang diperlihatkan dengan hiperaktivitas sistem saraf otonom.

17

Pertemuan Ilmiah Tahunan Nasional II Dokter Pelayanan Primer

Kecemasan merupakan gejala yang tidak spesifik yang sering ditemukan dan seringkali merupakan respons
emosi yang normal.
b.

Epidemiologi
Survei terkini di Amerika (1996) melaporkan bahwa 15 - 33% pasien yang datang berobat ke dokter non
psikiater merupakan pasien dengan gangguan mental. Dari jumlah tersebut minimal sepertiganya menderita
gangguan kecemasan. (Mubarak H). Djatmiko, Prianto (2009) menjelaskan bahwa berdasarkan hasil survey yang
dilakukan oleh Direktorat Kesehatan Jiwa pada tahun 1996 di Indonesia diperkirakan 6 juta penduduknya
mengalami gangguan cemas. Ditemukan setiap 20 orang per 1000 anggota keluarga mengalami gangguan
cemas.15
Diperkirakan jumlah mereka yang menderita gangguan kecemasan ini baik akut maupun kronik mencapai
5% dari jumlah penduduk, dengan perbandingan antara wanita dan pria 2 banding 1. Tidak semua orang yang
mengalami stresor psikososial akan menderita gangguan cemas, hal ini tergantung pada struktur
kepribadiannya. Orang yang kepribadian pencemas resiko untuk menderita gangguan cemas lebih besar dari
orang yang tidak berkepribadian pencemas.16
Etiologi1, 17

c.

d.

1.

Teori Psikologis
Teori psikoanalitik. Freud menyatakan bahwa kecemasan sebagai sinyal, kecemasan menyadarkan ego
untuk mengambil tindakan defensif terhadap tekanan dari dalam diri. Misalnya dengan menggunakan
mekanisme represi, bila berhasil maka terjadi pemulihan keseimbangan psikologis tanpa adanya gejala
ansietas. Jika represi tidak berhasil sebagai suatu pertahanan, maka dipakai mekanisme pertahanan yang
lain misalnya konvensi, regresi, ini menimbulkan gejala.
Teori perilaku. Teori perilaku menyatakan bahwa kecemasan adalah suatu respon yang dibiasakan
terhadap stimuli lingkungan spesifik. Contoh: seorang dapat belajar untuk memiliki respon kecemasan
internal dengan meniru respon kecemasan orang tuanya.
Teori eksistensial. Konsep dari teori ini adalah, bahwa seseorang menjadi menyadari adanya
kehampaan yang menonjol di dalam dirinya. Perasaan ini lebih mengganggu daripada penerimaan tentang
kenyataan kehilangan/kematian seseorang yang tidak dapat dihindari. Kecemasan adalah respon seseorang
terhadap kehampaan eksistensi tersebut.

2.

Teori Biologis
Sistem saraf otonom. Stimuli sistem saraf otonom menyebabkan gejala tertentu. Sistem kardiovaskular
takikardi, muskular nyeri kepala, gastrointestinal diare dan sebagainya.
Neurotransmiter. Tiga neurotrasmiter utama yang berhubungan dengan kecemasan berdasarkan
penelitian pada binatang dan respon terhadap terapi obat yaitu : norepinefrin, serotonin dan gammaaminobutyric acid (GABA). Norepinefrin di lokus seruleus di pons rostral yang mengeluarkan aksonnya ke
korteks serebral, sistem limbik, batang otak, dan medula spinalis, dapat memberikan respons atas perasaan
nyeri dan situasi yang berbahaya. Serotonin berhubungan dengan perasaan cemas dan depresi. Peranan
GABA dalam gangguan kecemasan didukung paling kuat oleh manfaat Benzodiazepin yang meningkatkan
aktivitas GABA pada reseptor GABA di dalam pengobatan berbagai jenis gangguan kecemasan. Data
tersebut menyebabkan beberapa peneliti menghipotesiskan bahwa beberapa pasien dengan gangguan
kecemasan memiliki reseptor GABA yang abnormal.
Penelitian genetika. Penelitian ini mendapatkan, hampir separuh dan semua pasien dengan gangguan
panik memiliki sekurangnya satu sanak saudara yang juga menderita gangguan.
Penelitian pencitraan otak. Contoh: pada gangguan ansietas didapati kelainan di korteks frontalis,
oksipital, dan temporalis. Pada gangguan panik didapati kelainan pada girus parahipokampus.

Gejala dan Tanda15


Menurut Aris, Sudiyanto (2000) gejala dan tanda dari gangguan cemas dibedakan menjadi:
1.
Keluhan Kognitif dan Psikologis
Perasaan cemas, khawatir
Ragu-ragu untuk bertindak atau memutuskan sesuatu
Takut mati, takut menjadi gila
Insomnia, sulit untuk memulai tidur (early insomnia)
Mudah marah (irritable)
2.
Keluhan Fisik
Neurologik dan vaskuler: sakit kepala, pusing, dizziness, pandangan kabur
Kardiovaskuler: palpitasi, nyeri dada
Respirasi: napas pendek, dispneu, hiperventilasi (frekuensi napas meningkat)
Gastrointestinal: mulut kering, nausea, vomitus, diare
18

Pertemuan Ilmiah Tahunan Nasional II Dokter Pelayanan Primer

e.

Genitourinarius: sering berkemih, nyeri saat berkemih


Sistem muskuloskeletal: nyeri otot leher
Kulit: keringat berlebihan, telapak tangan dan kaki basah dan terasa dingin

Tingkat Kecemasan16
Peplau (1963) mengidentifikasi ansietas (cemas) dalam 4 tingkatan. Setiap tingkatan memiliki karakteristik
dalam persepsi yang berbeda, tergantung kemampuan individu yang ada dan dari dalam dan luarnya maupun
dari lingkungannya, tingkat kecemasan atau pun ansietas yaitu :
1.
Cemas ringan: cemas yang normal menjadi bagian sehari-hari dan menyebabkan seseorang
menjadi waspada dan meningkatkan lahan persepsinya. Ansietas ini dapat memotivasi belajar dan
menghasilkan pertumbuhan dan kreativitas.
2.
Cemas sedang: cemas yang memungkinkan sesorang untuk memusatkan pada hal yang
penting dan mengesampingkan yang tidak penting.
3.
Cemas berat: cemas ini sangat mengurangi lahan persepsi individu cenderung untuk
memusatkan pada sesuatu yang terinci dan spesifik dan tidak dapat berpikir pada hal yang lain. Semua
perilaku ditunjukkan untuk mengurangi tegangan individu memerlukan banyak pengesahan untuk dapat
memusatkan pada suatu area lain.
4.
Panik: tingkat panik dari suatu ansietas berhubungan dengan ketakutan dan teror, karena
mengalami kehilangan kendali. Orang yang mengalami panik tidak mampu melakukan suatu walaupun
dengan pengarahan, panik mengakibatkan disorganisasi kepribadian, dengan panik terjadi peningkatan
aktivitas motorik, menurunnya kemampuan untuk berhubungan dengan orang lain, persepsi yang
menyimpang dan kehilangan pemikiran yang rasional. Tingkat ansietas ini tidak sejalan dengan kehidupan
dan jika berlangsung terus dalam waktu yang lama dapat terjadi kelelahan yang sangat bahkan kematian
(Stuart & Sundent, 2000).

Pada tingkat ansietas ringan dan sedang, individu dapat memproses informasi belajar dan menyelesaikan
masalah. Keterampilan kognitif mendominasi tingkat ansietas ini.
Ketika individu mengalami ansietas berat dan panik, keterampilan bertahan yang lebih sederhana
mengambil alih, respon defensif terjadi, dan keterampilan kognitif menurun signifikan. Individu yang mengalami
ansietas berat sulit berpikir dan melakukan pertimbangan, otot-ototnya menjadi tegang, tanda-tanda vital
meningkat, mondar-mandir, memperlihatkan kegelisahan, iriabilitas dan kemarahan atau menggunakan cara
psikomotor emosional. Lonjakan adrenalin menyebabkan tanda-tanda vital meningkat, pupil membesar, untuk
memungkinkan lebih banyak cahaya yang masuk, dan satu-satunya proses kognifikan berfokus pada ketahanan
individu tersebut.
Sisi negatif ansietas (kecemasan) atau sisi yang membahayakan ialah rasa khawatir yang berlebihan
tentang masalah yang nyata atau potensial. Hal ini menghabiskan tenaga, menimbulkan rasa takut dan individu
melakukan fungsinya dengan adekuat dalam situasi interpersonal, situasi kerja, dan situasi sosial. Diagnosis
gangguan ansietas ditegakkan ketika ansietas tidak lagi berfungsi sebagai tanda bahaya, melainkan menjadi
kronis dan mempengaruhi sebagian besar kehidupan individu sehingga mengakibatkan perilaku maladatif dan
distabilitas emosional.
f.

Hubungan Insomnia dengan Gangguan Cemas1,5,18


Gangguan panik mungkin berhubungan dengan terbangun paroksismal atau memasuki tidur stadium 3
dan 4. Gejala emosional dan kognitif serangan panik ditemukan, dan juga takikardia dan peningkatan kecepatan
pernapasan.1
Pada penderita ansietas, dan hipnogram ditemukan Sleep Latency yang memanjang. Sedangkan REM
Latency dapat normal atau lebih panjang dari pada sukarelawan normal. Berbeda dengan penderita depresi,
pada penderita ansietas, tidur delta biasanya normal (20-30%), sedangkan tidur REM menjadi bertambah,
terutama pada fase akhir dari tidur (di dini hari).5

Hipotesis terjadinya kecemasan yaitu menurunnya sensitivitas terhadap reseptor 5HT 1A, 5HT2A/2C,
meningkatnya sensitivitas discharge dari reseptor adrenergik pada saraf pusat, terutama reseptor alfa-2
katekolamin, meningkatnya aktivitas locus coereleus yang mengakibatkan teraktivasinya aksis hipotalamuspituitari-adrenal (biasanya berespons abnormal terhadap klonidin pada pasien dengan panic disorder),
meningkatnya aktivitas metabolik sehingga terjadi peningkatan laktat (biasanya sodium laktat yang kemudian
diubah menjadi CO2 (hipersensitivitas batang otak terhadap CO 2), menurunnya sensitivitas reseptor GABA-A
sehingga menyebabkan efek eksitatorik melalui amigdala dari thalamus melalui nucleus intraamygdaloid
circuitries, model neuroanatomik memprediksikan panic attack dimediasi oleh fear network pada otak yang
melibatkan amigdala, hipothalamus, dan pusat batang otak.18

19

Pertemuan Ilmiah Tahunan Nasional II Dokter Pelayanan Primer

Sehingga, terapi yang diberikan pada kecemasan yaitu anxiolitik atau antianxietas yang bekerja pada
reseptor GABA dengan memperkuat aksi inhibitor GABA-ergic neuron sehingga hiperaktivitas mereda.
Golongan benzodiazepin merupakan drug of choice dari semua obat yang memiliki efek anti-anxietas,
disebabkan spesifisitas, potensi dan keamanannya. Spektrum klinis benzodiazepin meliputi efek anti-anxietas,
anti-konvulsan, anti-insomnia, dan premedikasi tindakan preoperatif.18

F. GANGGUAN DEPRESI
a. Definisi1,19
Depresi merupakan satu masa terganggunya fungsi manusia yang berkaitan dengan alam perasaan yang
sedih dan gejala penyertanya, termasuk perubahan pada pola tidur dan nafsu makan, psikomotor, konsentrasi,
anhedonia, kelelahan, rasa putus asa dan tidak berdaya, serta bunuh diri. 19
Menurut Kaplan, depresi merupakan salah satu gangguan mood yang ditandai oleh hilangnya perasaan
kendali dan pengalaman subjektif adanya penderitaan berat. Mood adalah keadaan emosional internal yang
meresap dari seseorang, dan bukan afek, yaitu ekspresi dari isi emosional saat itu. 1
b. Epidemiologi1
Gangguan depresif berat merupakan suatu gangguan yang sering, dengan prevalensi seumur hidup sekitar
15%, kemungkinan setinggi 25% pada wanita. Insidensi gangguan depresif berat juga lebih tinggi daripada
biasanya pada pasien perawatan primer (10%), dan pada pasien medis rawat inap (15%).
Gangguan depresif berat terjadi 2 kali lebih besar pada wanita dibandingkan laki-laki. Sedangkan rata-rata
usia onset untuk gangguan depresif berat kira-kira 40 tahun; 50% dari semua pasien mempunyai onset antara
usia 20-50 tahun. Gangguan depresif juga mungkin memiliki onset selama masa anak-anak atau pada lanjut usia,
walaupun hal tersebut jarang terjadi. Beberapa data epidemiologis menyatakan mungkin terjadi peningkatan
pada orang yang berusia kurang dari 20 tahun, yang dihubungkan dengan meningkatnya penggunaan alkohol
dan zat lain pada kelompok usia tersebut.
Pada umumnya, gangguan depresif berat terjadi paling sering pada orang yang tidak memiliki hubungan
interpersonal yang erat atau yang bercerai atau berpisah. Selain itu, tidak ditemukan adanya korelasi antara
status sosioekonomi dan gangguan depresif berat.

c. Etiologi1, 19
Maslim berpendapat bahwa depresi adalah suatu kondisi yang dapat disebabkan oleh defisiensi relatif salah
satu atau beberapa aminergik neurotransmiter (noradrenalin, serotonin, dopamin) pada sinaps neuron di SSP
(terutama pada sistem limbik).20
Kaplan menyatakan bahwa faktor penyebab depresi dapat secara buatan dibagi menjadi faktor biologi,
faktor genetik, dan faktor psikososial.1
1) Faktor biologi
Neurotransmiter yang terkait dengan patologi depresi adalah serotonin dan epinefrin. Penurunan
serotonin dapat mencetuskan depresi, dan pada pasien bunuh diri, beberapa pasien memiliki serotonin yang
rendah. Pada terapi despiran mendukung teori bahwa norepinefrin berperan dalam patofisiologi depresi.
Selain itu aktivitas dopamin pada depresi adalah menurun. Hal tersebut tampak pada pengobatan yang
menurunkan konsentrasi dopamin seperti Respirin, dan penyakit dimana konsentrasi dopamin menurun
seperti parkinson, adalah disertai gejala depresi. Obat yang meningkatkan konsentrasi dopamin, seperti
tyrosin, amphetamine, dan bupropion, menurunkan gejala depresi.
Disregulasi neuroendokrin. Hipotalamus merupakan pusat pengaturan aksis neuroendokrin, menerima
input neuron yang mengandung neurotransmiter amin biogenik. Pada pasien depresi ditemukan adanya
disregulasi neuroendokrin. Disregulasi ini terjadi akibat kelainan fungsi neuron yang mengandung amin
biogenik. Sebaliknya, stres kronik yang mengaktivasi aksis Hypothalamic-Pituitary-Adrenal (HPA) dapat
menimbulkan perubahan pada amin biogenik sentral. Aksis neuroendokrin yang paling sering terganggu yaitu
adrenal, tiroid, dan aksis hormon pertumbuhan. Aksis HPA merupakan aksis yang paling banyak diteliti
(Landefeld et al, 2004). Hipersekresi CRH merupakan gangguan aksis HPA yang sangat fundamental pada
pasien depresi. Hipersekresi yang terjadi diduga akibat adanya defek pada sistem umpan balik kortisol di
sistem limbik atau adanya kelainan pada sistem monoaminogenik dan neuromodulator yang mengatur CRH.
Sekresi CRH dipengaruhi oleh emosi. Emosi seperti perasaan takut dan marah berhubungan dengan
Paraventriculer Nucleus (PVN), yang merupakan organ utama pada sistem endokrin dan fungsinya diatur oleh
sistem limbik. Emosi mempengaruhi CRH di PVN, yang menyebabkan peningkatan sekresi CRH (Landefeld,
2004).
Kehilangan saraf atau penurunan neurotransmiter. Sistem saraf pusat mengalami kehilangan secara
selektif pada sel-sel saraf selama proses menua. Walaupun ada kehilangan sel saraf yang konstan pada
seluruh otak selama rentang hidup, degenerasi neuronal korteks dan kehilangan yang lebih besar pada sel-sel
20

Pertemuan Ilmiah Tahunan Nasional II Dokter Pelayanan Primer

di dalam lokus seroleus, substansia nigra, serebelum dan bulbus olfaktorius (Lesler, 2001). Bukti
menunjukkan bahwa ada ketergantungan dengan umur tentang penurunan aktivitas dari noradrenergik,
serotonergik, dan dopaminergik di dalam otak. Khususnya untuk fungsi aktivitas menurun menjadi setengah
pada umur 80-an tahun dibandingkan dengan umur 60-an tahun (Kane dkk, 1999).
2) Faktor genetik
Penelitian genetik dan keluarga menunjukkan bahwa angka resiko di antara anggota keluarga tingkat
pertama dari individu yang menderita depresi berat (unipolar) diperkirakan 2 sampai 3 kali dibandingkan
dengan populasi umum. Angka keselarasan sekitar 11% pada kembar dizigot dan 40% pada kembar
monozigot (Davies, 1999).
Oleh Lesler (2001), Pengaruh genetik terhadap depresi tidak disebutkan secara khusus, hanya
disebutkan bahwa terdapat penurunan dalam ketahanan dan kemampuan dalam menanggapi stres. Proses
menua bersifat individual, sehingga dipikirkan kepekaan seseorang terhadap penyakit adalah genetik.
3) Faktor psikososial
Menurut Freud dalam teori psikodinamikanya, penyebab depresi adalah kehilangan objek yang dicintai.
Ada sejumlah faktor psikososial yang diprediksi sebagai penyebab gangguan mental pada lanjut usia yang
pada umumnya berhubungan dengan kehilangan. Faktor psikososial tersebut adalah hilangnya peranan
sosial, hilangnya otonomi, kematian teman atau sanak saudara, penurunan kesehatan, peningkatan isolasi
diri, keterbatasan finansial, dan penurunan fungsi kognitif.
Sedangkan menurut Kane, faktor psikososial meliputi penurunan percaya diri, kemampuan untuk
mengadakan hubungan intim, penurunan jaringan sosial, kesepian, perpisahan, kemiskinan dan penyakit fisik
(Kane, 1999). Faktor psikososial yang mempengaruhi depresi meliputi: peristiwa kehidupan dan stressor
lingkungan, kepribadian, psikodinamika, kegagalan yang berulang, teori kognitif dan dukungan sosial.
Peristiwa kehidupan dan stresor lingkungan. Peristiwa kehidupan yang menyebabkan stres, lebih sering
mendahului episode pertama gangguan mood dari episode selanjutnya. Para klinisi mempercayai bahwa
peristiwa kehidupan memegang peranan utama dalam depresi, klinisi lain menyatakan bahwa peristiwa
kehidupan hanya memiliki peranan terbatas dalam onset depresi. Stresor lingkungan yang paling
berhubungan dengan onset suatu episode depresi adalah kehilangan pasangan. Stresor psikososial yang
bersifat akut, seperti kehilangan orang yang dicintai, atau stressor kronis misalnya kekurangan finansial yang
berlangsung lama, kesulitan hubungan interpersonal, ancaman keamanan dapat menimbulkan depresi
(Hardywinoto, 1999).
Faktor kepribadian. Beberapa ciri kepribadian tertentu yang terdapat pada individu, seperti
kepribadian dependen, anankastik, histrionik, diduga mempunyai risiko tinggi untuk terjadinya depresi.
Sedangkan kepribadian antisosial dan paranoid (kepribadian yang memakai proyeksi sebagai mekanisme
defensif) mempunyai risiko yang rendah.
Faktor psikodinamika. Berdasarkan teori psikodinamika Freud, dinyatakan bahwa kehilangan objek
yang dicintai dapat menimbulkan depresi. Dalam upaya untuk mengerti depresi, Sigmund Freud sebagaimana
dikutip Kaplan (2010) mendalilkan suatu hubungan antara kehilangan objek dan melankolia. Ia menyatakan
bahwa kekerasan yang dilakukan pasien depresi diarahkan secara internal karena identifikasi dengan objek
yang hilang. Freud percaya bahwa introjeksi mungkin merupakan cara satu-satunya bagi ego untuk
melepaskan suatu objek, ia membedakan melankolia atau depresi dari duka cita atas dasar bahwa pasien
terdepresi merasakan penurunan harga diri yang melanda dalam hubungan dengan perasaan bersalah dan
mencela diri sendiri, sedangkan orang yang berkabung tidak demikian.
Kegagalan yang berulang. Dalam percobaan binatang yang dipapari kejutan listrik yang tidak bisa
dihindari, secara berulang-ulang, binatang akhirnya menyerah tidak melakukan usaha lagi untuk
menghindari. Disini terjadi proses belajar bahwa mereka tidak berdaya. Pada manusia yang menderita depresi
juga ditemukan ketidakberdayaan yang mirip.
Faktor kognitif. Adanya interpretasi yang keliru terhadap sesuatu, menyebabkan distorsi pikiran
menjadi negatif tentang pengalaman hidup, penilaian diri yang negatif, pesimisme dan keputusasaan.
Pandangan yang negatif tersebut menyebabkan perasaan depresi.
d. Gejala dan Tanda21
Pada semua dari tiga variasi dari episode depresif khas yang tercantum di bawah ini (ringan, sedang, dan
berat), individu biasanya menderita gejala utama yang berupa:
1. Suasana perasaan (mood) yang depresif,
2. Kehilangan minat dan kegembiraan, dan
3. Berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah dan berkurangnya aktivitas. Biasanya
ada rasa lelah yang nyata sesudah kerja sedikit saja.
Gejala lazim lainnya adalah:
21

Pertemuan Ilmiah Tahunan Nasional II Dokter Pelayanan Primer

1)
2)
3)
4)
5)
6)
7)
8)

Konsentrasi dan perhatian berkurang;


Harga diri dan kepercayaan diri berkurang;
Gagasan tentang perasaan bersalah dan tidak berguna;
Pandangan masa depan yang suram dan pesimistis;
Gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri;
Tidur terganggu;
Nafsu makan berkurang;
Menurunnya libido

e. Hubungan Insomnia dengan Gangguan Depresi1,5


Insomnia yang berhubungan dengan gangguan depresif berat berupa onset tidur yang relatif normal tetapi
sering terbangun pada setengah bagian kedua malam hari dan terbangun di pagi hari sebelum waktunya,
biasanya dengan mood yang tidak enak di pagi hari. Pagi hari adalah waktu terburuk bagi banyak pasien dengan
gangguan depresif berat. Polisomnografi menunjukkan penurunan tidur stadium 3 dan 4, sering kali suatu latensi
REM (gerakan mata cepat) yang singkat, dan periode REM pertama yang panjang. Pengurangan tidur parsial atau
total dapat mempercepat respons terhadap medikasi antidepresan. 1
Pada penderita depresi, ditemukan adanya Sleep Latency yang bertambah atau dapat juga normal.
Sedangkan REM Latency jelas menjadi lebih pendek. Tidur Delta yang pada orang normal ditemukan sejumlah 2030%, pada penderita depresi menjadi jauh berkurang. Hal ini yang menyebabkan penderita depresi mengeluh
tidurnya kurang pulas.5
Penelitian dari Zung menunjukkan bahwa pada sukarelawan normal yang diberi rangsang suara-suara pada
stadium Delta, tidak terbangun oleh hal itu. Tetapi pada penderita depresi sangat mudah terbangun. Karena itu
penderita depresi mudah sekali terbangun oleh adanya perubahan suhu di dini hari, perubahan sinar dan suarasuara hewan di pagi hari.5
Pada fase awal penyakit, penderita. depresi akan mengalami penurunan dari Tidur REM nya sebanyak 10%.
REM menunjukkan bahwa orang itu sedang bermimpi. Di laboratorium tidur, 85% dan mereka yang dibangunkan
pada waktu tidur REM, mengaku sedang bermimpi. Penderita depresi biasanya mengalami mimpi-mimpi yang
tidak menyenangkan sehingga mereka terbangun karenanya. Dengan demikian tidur REM pun berkurang karena
seringnya terbangun di malam hari. Di samping itu, telah diterangkan bahwa pada mereka yang menderita
depresi, tidur REM lebih cepat datangnya. 5
Secara fisiologik kekurangan tidur REM itu harus dibayar kembali. Dengan begitu, selang beberapa waktu,
penderita depresi akan mengalami tidur REM yang berlebihan, dan penderita akan lebih sering terbangun dan
bermimpi buruk. Jadi jelaslah mengapa di laboratorium tidur, ditemukan gambaran hipnogram yang acakacakan atau iregular dari perpindahan satu stadium ke stadium yang lain pada penderita depresi; dan sering
terbangun di malam hari.5
G. GANGGUAN CAMPURAN CEMAS DAN DEPRESI
1. Definisi
Gangguan tersebut melingkupi pasien yang memiliki gejala kecemasan dan depresif tetapi tidak memenuhi
kriteria diagnostik untuk suatu gangguan kecemasan maupun suatu gangguan mood. Kombinasi gejala depresif
dan kecemasan menyebabkan gangguan fungsional yang bermakna pada orang yang terkena. Peneliti
menyatakan bahwa gangguan berada pada sisi normalitas dan tidak memerlukan klasifikasi sebagai suatu
gangguan mental.
2. Epidemiologi
Sebanyak dua per tiga dari semua pasien dengan gejala depresif memiliki gejala kecemasan yang menonjol,
dan sepertiga mungkin memenuhi kriteria diagnostik untuk gangguan panik. 20-90 persen dari semua pasien
dengan gangguan panic memiliki episode gangguan depresif berat. Data tersebut menyatakan bahwa adanya
gejala depresif dan kecemasan yang bersama-sama, keduanya tidak memenuhi kriteria diagnostik untuk
gangguan depresif maupun kecemasan lain. Data epidemiologis resmi tentang gagguan kecemasan depresif
campuran tidak tersedia. Diperkirakan prevalensi gangguan pada populasi umum adalah setinggi 10% dan pada
klinik layanan primer setinggi 50%, walaupun perkiraan konservatif menyatakan suatu prevalensi kira-kira 1 %
pada populasi umum.

3. Etiologi
Gejala kecemasan dan gejala depresif adalah berhubungan sebab akibat pada beberapa pasien yang
terkena. Pertama, peneliti melaporkan temuan neuroendokrin yang sama pada gangguan depresif dan gangguan
kecemasan, khususnya gangguan panik, termasuk penumpulan respon kortisol terhadap hormon
adrenokortikotropik (ACTH), penumpulan respon hormone pertumbuhan terhadap clonidine dan penumpulan
respon thyroid-stimulating hormone (TSH) dan prolaktin terhadap thyrotropin-releasing hormone (TRH). Kedua,
peneliti melaporkan hiperaktivitas sistem noradrenergik adalah relevan sebab menyebab pada pasien dengan
22

Pertemuan Ilmiah Tahunan Nasional II Dokter Pelayanan Primer

gangguan depresif dan pada pasien dengan gangguan panik. Penelitian menemukan peninggian konsentrasi
metabolit norepinefrin, 3-methoxy-4-hydroxy-phenylethyleneglycol (MPHG) di dalam urin, plasma atau cairan
serebrospinalis pasien terdepresi dan gangguan panik yang secara aktif mengalami suatu serangan panik. Seperti
pada ganguan kecemasan dan depresif lain, serotonin dan gamma-aminobutyric acid (GABA) mungkin juga
terlibat sebab menyebab pada gangguan kecemasan-depresif campuran. Ketiga, banyak penelitian menemukan
obat serotonergik, seperti fluoxetine (Prozac) dan clorimipramine (Anafranil) berguna mengobati gangguan
depresif maupun kecemasan. Keempat, gejala kecemasan dan depresif berhubungan secara genetik pada
sekurangnya beberapa keluarga.
4. Gejala dan Tanda
Kombinasi beberapa gejala gangguan kecemasan dan beberapa gejala gangguan depresif. Gejala
hipersensitivitas sistem saraf otonom, seperti keluhan gastrointestinal sering ditemukan.
5. Diagnostik
Kriteria diagnostik DSM-IV serupa kriteria ICD-10 untuk gangguan kecemasan-depresif campuran, yang
mengharuskan adanya gejala subsindromal baik kecemasan maupun depresi dan beberapa gejala otonomik,
seperti tremor, palpitasi, mulut kering dan sensasi lambung yang teraduk-aduk.
6. Diagnosis Banding
Gangguan kecemasan dan depresif lain dan gangguan kepribadian. Gangguan kecemasan sering tumpang
tindih dengan gangguan kecemasan- depresif campuran. Di antara gangguan mood, gangguan distimik dan
gangguan depresif ringan adalah yang paling sering tumpang tindih dengan gangguan kecemasan depresif
campuran. Di antara gangguan kepribadian, obsesif-kompulsif memiliki gejala yang menyerupai. Gangguan
somatoform harus dipertimbangkan juga. Hanya riwayat psikiatrik, pemeriksaan status mental, dan pengetahuan
tentang kriteria DSM-IV spesifik dapat membantu klinisi membedakan kondisi tersebut.
7. Perjalanan Penyakit dan Prognosis
Pasien tampaknya sama-sama mungkin dimulai dengan gejala kecemasan yang menonjol, gejala depresif
yang menonjol, campuran yang seimbang dari kedua gejala. Selama perjalanan penyakit, gejala kecemasan atau
depresif mungkin berganti-gantian muncul. Prognosis tidak diketahui saat ini.
8. Penatalaksanaan
Cara pengobatan untuk gangguan kecemasan-depresif campuran saat ini belum tersedia, klinisi
kemungkinan besar mengobati pasien atas dasar gejala yang tampak, keparahan, tingkat kesenangan dan
pengalaman klinisi. Pendekatan psikoterapeutik melibatkan pendekatan yang terbatas waktu, terapi kognitif atau
modifikasi perilaku.
Farmakoterapi termasuk obat antiansietas atau obat antidepresan atau keduanya. Penggunaan
triazolobenzodiazepines (contoh alparazolam) mungkin diindikasikan karena efektivitas obat tersebut dalam
mengobati depresi yang disertai dengan kecemasan. Obat yang mempengaruhi reseptor serotonin tipe 1A
(5HT1A0 seperti buspirone) mungkin diindikasikan. Di antara antidepresan, walaupun teori noradrenergik
menghubungkan gangguan kecemasan dan gangguan depresif, antidepresan serotonergik (contoh, fluoxetine)
mungkin yang paling efektif di dalam mengobati gangguan kecemasan depresif campuran.

KESIMPULAN
Insomnia merupalan kesulitan untuk masuk tidur, kesulitan dalam mempertahankan tidur, atau tidak cukup tidur. Insomnia
merupakan gangguan fisiologis yang cukup serius, dimana apabila tidak ditangani dengan baik dapat mempengaruhi
kinerja dan kehidupan sehari-hari. Insomnia dapat disebabkan oleh berbagai faktor seperti stres, kecemasan berlebihan,
pengaruh makanan dan obat-obatan, perubahan lingkungan, dan kondisi medis.
Hubungan gangguan panik dengan insomnia mungkin adanya terbangun paroksismal atau memasuki tidur stadium
3 dan 4. Gejala emosional dan kognitif serangan panik ditemukan, dan juga takikardia dan peningkatan kecepatan
pernapasan. Sedangkan insomnia yang berhubungan dengan gangguan depresif berat berupa onset tidur yang relatif
normal tetapi sering terbangun pada setengah bagian kedua malam hari dan terbangun di pagi hari sebelum waktunya,
biasanya dengan mood yang tidak enak di pagi hari. Polisomnografi menunjukkan penurunan tidur stadium 3 dan 4,
sering kali suatu latensi REM (gerakan mata cepat) yang singkat, dan periode REM pertama yang panjang.
Insomnia dapat ditatalaksana dengan cara farmakologi dan nonfarmakologi, bergantung pada jenis dan penyebab
insomnia. Obat-obatan yang biasanya digunakan untuk mengatasi insomnia dapat berupa golongan benzodiazepin (Nitrazepam,
Trizolam, dan Estazolam), dan non-benzodiazepine (Chloral-hydrate, Phenobarbital). Tatalaksana insomnia secara
nonfarmakologis dapat berupa terapi tingkah laku dan pengaturan gaya hidup dan pengobatan di rumah seperti mengatur jadwal tidur.

DAFTAR PUSTAKA

23

Pertemuan Ilmiah Tahunan Nasional II Dokter Pelayanan Primer


1.

Kaplan H, Sadock B, Grebb J. Sinopsis Psikiatri Jilid 1 & 2. 2010. Tangerang: Binarupsa Aksara.

2.

Destriyanah D, Mustika R, Meiliana W. Insomnia. Diunduh: 7 April 2012. Diakses dari: http://www.scribd.com/doc/76125606/Insomnia

3.

Zeidler, M.R. Insomnia. 2011. Editor: Selim Benbadis. Diunduh: 7 April 2012. Diakses dari: http://www.emedicina.medscape.com/article/1187829.com

4.

Tomb, DavidA. Buku Saku Psikiatri Ed 6. 2004. Jakarta: EGC

5.

Musadik K. Patofisiologi Gangguan Tidur. Cermin Dunia Kedokteran. 1988. Diunduh: 7 April 2012. Diakses dari:
http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/53_04_PatofisiologiGangguanTidur.pdf/53_04_PatofisiologiGangguanTidur.pdf

6.

Nisa N. Efek Hipnotik Ekstrak Valerian pada Mencit BALB/C. 2009. Diunduh: 17 April 2012. Diakses dari: http://eprints.undip.ac.id/8078/

7.

Anonim. Brain Serotonin. Diunduh: 17 April 2012. Diakses dari: http://grgind.wordpress.com/category/medical-information/brain-serotonin/

8.

Arifin AR, Ratnawati, Burhan E. Fisiologi Tidur dan Pernafasan. Diunduh: 17 April 2012. Diakses dari: http://jurnalrespirologi.org/

9.

Japardi I. Gangguan Tidur. Diunduh: 17 April 2012. Diakses dari: http://library.usu.ac.id/download/fk/bedah-iskandar%20japardi12.pdf

10. Insomnia. 2011. Diunduh: 7 April 2012. Diakses dari: http://www.mayoclinic.com/health/insomnia/DS00187/DSECTION=alternative-medicine


11. Maslim R. Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikotropik Edisi Ketiga. 2001. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atmajaya.
12. Anggraini D. Farmakologi Obat-obatan Opioid dan Hipnotik-Sedarif. 2010. Diunduh: 17 April 2012. Diakses dari:http://www.scribd.com/doc/82427127/RefratOpioid-dan-Hipnotik-Sedatif-2-1
13. Kongres Asosiasi Psikogeriatri III. Jurus Baru Menidurkan Lansia yang Menderita Insomnia. Diunduh: 17 April 2012. Diakses dari: http://www.majalahfarmacia.com/rubrik/one_news.asp?IDNews=918
14. Anonim. Insomnia dan Penatalaksanaannya. Diunduh: 17 April 2012. Diakses dari: http://www.majalah-farmacia.com/rubrik/one_news.asp?IDNews=1187
15. Anonim. Gangguan Cemas. Diunduh: 7 April 2012. Diakses dari: http://www.library.upnvj.ac.id/pdf/4s1kedokteran/207311120/BAB%202.pdf.pdf
16. Anonim. Gangguan Cemas. Diunduh: 7 April 2012. Diakses dari: http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/27216/4/Chapter%20II.pdf
17. Anonim. Gangguan Cemas. Diunduh: 7 April 2012. Diakses dari: http://www.scribd.com/doc/59908167/refrat-GANGGUAN-CEMAS
18. Fatimah DN. Pemberian Alprazolam pada Pasien dengan Gangguan Anxietas Menyeluruh. 2010. Diunduh: 17 April 2012. Diakses dari:
http://www.fkumyecase.net/wiki/index.php?page=PEMBERIAN+ALPRAZOLAM+PADA+PASIEN+DENGAN+GANGGUAN+ANXIETAS+MENYELURUH
19. Anonim. Depresi pada Lanjut Usia. Diunduh: 7 April 2012. Diakses dari: http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/21410/4/Chapter%20II.pdf

24

Pertemuan Ilmiah Tahunan Nasional II Dokter Pelayanan Primer

Penggunaan obat rasional


penyakit insomnia, anxiety, dan depresi
pada pasien rawat jalan
Dr. Tribowo Tuahta Ginting, SpKJ
Melakukan pengobatan rasional berarti mempertimbangkan banyak aspek seperti ketepatan diagnosis, indikasi,
pemilihan terapi, dan penilaian kondisi pasien serta tindak lanjutnya Untuk insomnia, penilaian dan penanganan kondisi
dasar penyebab insomnia penting dilakukan. Demikian juga dengan gangguan cemas dan depresi, perlu dikaji terlebih
dahulu faktor-faktor penyebab dasar (hirarki lebih tinggi) sebelum pemberian pengobatan. Penggunaan farmakoterapi
(benzodiazepin atau antidepresan) memerlukan pengkajian sebelum digunakan dan selama penggunaan dengan tetap
mempertimbangkan keamanan, tolerabilitas, kemanjuran pengobatan, harga dan ketersediaan di pasaran. Pengobatan
dianjurkan dilakukan bersamaan dengan pemberian psikoterapi untuk mendapatkan hasil yang maksimal.
Kata kunci : pengobatan rasional, insomnia, cemas, depresi

The role of infant feedimg practice to reduce the underfive child mortality rate
Dr dr Damayanti Rusli Sjarif SpA(K)
Div Pediatric Nutrition and Metabolic Diseases
Dept of Child Health - Faculty of Medicine Universitas Indonesia
25

Pertemuan Ilmiah Tahunan Nasional II Dokter Pelayanan Primer

Jakarta Indonesia
The reduction of the under-five child mortality rate by two-thirds by 2015 is one of the Millennium Development Goals
(MDG4). According to WHO (2002), 60% of the 10.9 million under-five children deaths annually directly or indirectly
caused by malnutrition. More than two-thirds of these deaths are often associated with inappropriate feeding practices
during the first year of life. Only one-third of infants are exclusively breastfed during the first four months of life, untimely
introduction of complementary feeding, and foods are often nutritionally inadequate and unsafe. Moreover, malnourished
children who survive are more frequently sick and suffer the life-long consequences of impaired development. Rising
incidences of overweight and obesity in children are also a matter of serious concern. Inadequate knowledge about
appropriate foods and feeding practices is often a greater determinant of malnutrition than the lack of food. Thus, to
solve the problems, caregivers should have access to objective, consistent and complete information about appropriate
feeding practices, free from commercial influence. In particular, they need to know about the recommended period of
exclusive and continued breastfeeding; the timing of the introduction of complementary foods; what types of food to
give, how much and how often; and how to feed these foods safely. How to meet the nutritional needs of infants who
have to be fed on breast milk substitutes, including the International Code of Marketing of Breast-milk Substitutes. All of
this information should be given by health professionals especially in the primary care. Therefore health professionals
bodies including medical faculties, schools of public health, public and private institutions for training health workers
(including midwives, nurses, nutritionists and dietitians), and professional associations have responsibilities through basic
education and training ensuring that all health workers should have skilled to perform counseling on good infant and
young children feeding practices. Hopefully these approaches will be contributed to reduce child mortality rates in
Indonesia as well as increased the quality of life Indonesian children,

Imunisasi yang tepat dan benar


Hartono Gunardi
Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM

Imunisasi merupakan salah satu cara yang paling efektif untuk mencegah penyakit infeksi yang dapat dicegah dengan
imunisasi. Untuk mendapatkan respons imun yang baik, imunisasi harus dilakukan sesuai dengan jadwal yang
dianjurkan. Salah satu jadwal imunisasi untuk anak adalah jadwal imunisasi yang direkomendasikan oleh Ikatan Dokter
Anak Indonesia. Selain itu, untuk menimbulkan respons imun yang optimal, imunisasi harus dilakukan dengan prosedur
yang benar, antara lain penyimpanan dalam lemari es dalam suhu yang benar, rantai vaksin yang benar, vaksin yang
tidak kedaluwarsa atau pernah beku untuk vaksin tertentu atau terpapar di atas 8 0C, teknik penyuntikan yang aman dan
benar, pencatatan yang lengkap. Jangka waktu penggunaan sisa vaksin yang telah dilarutkan atau dibuka juga perlu
diperhatikan, karena berbeda untuk tiap vaksin. Penyuntikan yang aman (safe injection) perlu mendapat perhatian
karena hal ini penting untuk penyuntik, yang disuntik maupun untuk lingkungan. Imunisasi yang dilakukan dengan tepat
dan benar, akan menimbulkan respons imun yang optimal dan kejadian ikutan pasca imunisasi yang minimal. Dengan
demikian diharapkan cakupan imunisasi akan meningkat dan morbiditas serta mortalitas akibat penyakit infeksi yang
dapat dicegah dengan imunisasi akan menurun.

26

Pertemuan Ilmiah Tahunan Nasional II Dokter Pelayanan Primer

Kejang pada bayi dan anak


Keadaan emergensi yang perlu dicermati
Irawan Mangunatmadja
Departemen Ilmiu Kesehatan Anak FKUI-RSCM Jakarta
Kejang pada bayi dan anak merupakan kegawatan neurologis yang sering dijumpai dalam praktek sehari-hari. Kejang
merupakan lepasnya muatan listrik berlebihan di otak. Makin lama kejang berlangsung akan terjadi kerusakan jaringan
otak dan akan merangsang kejang selanjutnya. Tujuan utama tatalaksana kejang adalah menghentikan kejang
secepatnya dan tatalaksana penyebabnya. Tatalaksana kejang dikerjakan sesuai dengan tempat terjadinya kejang dan
fasilitas yang tersedia. Tatalaksana kejang dimulai dengan membedakan kejang atau bukan kejang. Bila tidak jelas
kejang atau bukan kejang, selanjutnya pasien akan diobservasi dalam tatalaksana lebih lanjut. Algoritma tatalaksana
kejang pada bayi dan anak terbagi saat di rumah, Instalasi Gawat Darurat dan Ruang Rawat Intensif. Obat yang harus
disediakan adalah: diazepam rektal, diazepam intravena, fenobarbital intravena, fenitoin intravena, dan midazolam
intravena. Setelah kejang berhenti di IGD, kejang dapat terjadi di ruang rawat. Tatalaksana kejang yang tepat akan
memperbaiki prognosis pasien di kemudian hari.
Kata kunci: kejang, diazepam, fenitoin, fenobarbital

Alergi obat dan anafilaksis


Iris Rengganis
DIVISI ALERGI IMUNOLOGI KLINIK
Departemen Ilmu Penyakit Dalam, FKUI/RSCM

Alergi obat merupakan masalah bukan hanya pada Dokter Umum saja, tetapi juga pada Dokter Ahli Alergi
Imunologi. Hal tersebut disebabkan oleh berbagai hal antara lain obat dapat menimbulkan berbagai jenis reaksi,
mekanisme beberapa reaksinya belum jelas serta semakin bertambahnya jumlah obat-obatan di pasaran. Penemuan-

27

Pertemuan Ilmiah Tahunan Nasional II Dokter Pelayanan Primer

penemuan baru dan penggunaan bahan biologis ternyata juga menimbulkan banyak efek yang tidak diinginkan. Diduga
bahwa 10-30% dari semua pasien yang mendapat obat akan mengalami suatu jenis reaksi obat, sekitar 15% orang
menjalani pemeriksaan kesehatan mempunyai riwayat alergi obat dan 3-5% dari masyarakat pernah mengalami alergi
obat dalam hidupnya. Obat yang sangat berguna bagi banyak orang, dapat berupa racun pada sebagian orang. Hal
tersebut sudah lama diketahui. Manusia mempergunakan obat sejak ribuan tahun yang lalu. Mula-mula obat dihasilkan
dari daun, kulit, akar tanaman yang dikeringkan atau dari air tanaman yang disadap. Cara pemberiannya ialah melalui
mulut atau ditempelkan melalui kulit. Ilmu pengetahuan dan industri yang maju dengan pesat telah menghasilkan
ratusan, bahkan ribuan obat dari bahan kimia. Dengan jumlah obat yang meningkat, berbagai gejala akibat reaksi obat
makin sering tampak.
Obat adalah semua bahan yang digunakan untuk mengobati penyakit pada manusia termasuk vitamin, hormon,
serum dan bahan kimia untuk diagnostik. Reaksi alergi obat dapat terjadi pada setiap orang berbeda dengan alergi lain
seperti rinitis (alergi hidung), asma, urtikaria, eksim, bahkan yang mengancam nyawa yang disebut anafilaksis.
Anafilaksis adalah suatu reaksi alergi yang bersifat akut, menyeluruh dan bisa menjadi berat. Anafilaksis terjadi pada
seseorang yang sebelumnya telah mengalami sensitisasi akibat pemaparan terhadap suatu alergen. Anafilaksis tidak
terjadi pada kontak pertama dengan alergen. Pada pemaparan kedua atau pada pemaparan berikutnya, terjadi suatu
reaksi alergi. Reaksi ini terjadi secara tiba-tiba, berat dan melibatkan seluruh tubuh. Anafilaksis merupakan keadaan
darurat yang memerlukan penanganan segera. Bila perlu, segera lakukan resusitasi kardiopulmonal, intubasi endotrakeal
(pemasangan selang melalui hidung atau mulut ke saluran pernafasan) atau trakeostomi/krikotirotomi (pembuatan
lubang di trakea untuk membantu pernafasan). Epinefrin diberikan dalam bentuk suntikan guna untuk membuka saluran
pernafasan dan meningkatkan tekanan darah. Untuk mengatasi syok, diberikan cairan melalui infus dan obat-obatan
untuk menyokong fungsi jantung dan peredaran darah. Obat yang sering menimbulkan alergi tidak selalu mudah dikenal,
karena untuk obat yang sama pada berbagai orang dalam waktu yang berlainan dalam menimbulkan berbagai bentuk
reaksi. Pada orang yang sudah rentan terhadap obat, dosis yang kecil dapat menimbulkan reaksi hebat dan
membahayakan. Kejadian reaksi alergi meningkat kalau dosis perhari meningkat, waktu pengobatan lebih lama, atau
pengobatan yang sama diulang. Tidak adanya reaksi terhadap suatu obat sebelumnya, bukanlah jaminan bahwa reaksi
alergi tidak akan terjadi.
Berat reaksi tergantung pada beberapa faktor seperti jumlah, cara dan kekerapan pemberian obat serta kondisi
penderita. Reaksi dapat terjadi setelah pemberian obat melalui mulut, suntikan, infus, tetes (mata dan hidung),
supositoria (dimasukkan kedalam dubur atau vagina) dan yang dioleskan pada kulit. Pemberian melalui suntikan lebih
sering menimbulkan alergi dibanding pemberian melalui kulit (salep, olesan). Sedangkan pemberian melalui kulit lebih
sering menimbulkan reaksi alergi dibanding melalui mulut. Karena itu, pemberian salep mengandung penisilin dan sulfa
dibanyak negara sudah dilarang karena sering menimbulkan reaksi alergi.
Kriteria
1.
2.
3.
4.
5.

alergi obat
Hanya timbul pada sebagian kecil masyarakat
Klinis tidak sama dengan efek farmakologi
Terjadi setelah pemberian kedua kali atau lebih
Reaksi berupa gejala alergi yang diketahui; syok anafilaksis, asma dan urtikaria
Gejala dapat dicetuskan dosis kecil obat lain dengan struktur kimia yang sama atau obat sejenis yang
menunjukkan reaksi silang
6. Biasanya reaksi menghilang dalam beberapa hari setelah obat dihentikan

Pencegahan alergi obat


1. Pertimbangan obat
1.a. Berikan obat yang perlu saja
1.b. Sedapatnya hindari obat yang sering menimbulkan alergi
2. Pertimbangan pasien
2.a. Tanyakan pengalaman tentang reaksi obat
2.b. Orang atopi (cenderung alergi) tidak menunjukkan risiko yang lebih besar
dibanding orang non-atopi dalam terjadinya alergi obat
3. Rute pemberian obat
Sebaiknya oral, mengingat risiko sensitisasi melalui rute oral yang kurang
dibanding parenteral (suntikan)

28

Pertemuan Ilmiah Tahunan Nasional II Dokter Pelayanan Primer

Obat-obat dan bahan yang sering menimbulkan alergi


Antibiotika (penisilin, sulfa, tetrasiklin, sefalosporin, quinolon, dll)

Analgetika (pirazolon, antalgin, parasetamol, ibuprofen, dll)


Pelemas otot dan hipnotik
Antiepilepsi
Aspirin dan obat non-steroid lain
Media kontras
Anestesi lokal

Follow-up setelah terjadi reaksi


Setelah terjadi reaksi obat, kepada pasien harus dijelaskan mengenai hal-hal yang perlu diwaspadai. Perlu dicatat dalam
catatan medis. Sebaiknya setiap kita akan memberikan obat, tanyakan kepada pasien apakah ada riwayat alergi obat
sebelumnya. Jika terjadi reaksi alergi yang hebat seperti syok anafilaktik, maka pasien harus dirawat. Untuk selanjutnya
pasien perlu diberitahu untuk mencatat semua jenis obat yang pernah menimbulkan reaksi alergi berdasarkan
pengalaman dan dinasehati agar tidak meminum obat yang sama untuk seumur hidup, karena dapat menimbulkan
reaksi yang lebih fatal.

Diagnosis dan Tata Laksana


serta Isu MDR TB pada Anak
Nastiti Kaswandani

Diagnosis TB pada anak sulit ditegakkan karena gejalanya tidak khas, untuk itu perlu pemeriksaan yang sangat
seksama. Jika diagnosis TB pada anak ditegakkan dengan tidak seksama, kemungkinan besar terjadi overdiagnosis.
Namun demikian bisa juga terjadi underdiagnosis (terlewatkan, tidak terdiagnosis) karena gejala dan tanda klinis yang
dijumpai pada TB Anak dapat juga merupakan gejala penyakit lain. Diagnosis TB Anak ditegakkan berdasarkan
anamnesis yang cermat dan teliti (termasuk riwayat kontak dengan pasien TB dewasa), pemeriksaan fisis (termasuk
analisis terhadap kurva pertumbuhan) serta hasil pemeriksaan penunjang uji tuberkulin, radiologi serta pemeriksaan
sputum BTA bila memungkinkan.

29

Pertemuan Ilmiah Tahunan Nasional II Dokter Pelayanan Primer

Spesimen dahak pada anak biasanya sulit diperoleh karena anak kecil umumnya belum mampu
mengekspektorasikan dahaknya. Pada anak yang sudah mampu mengeluarkan dahak, dilakukan pemeriksaan
mikrobiologik dahak. Pemeriksaan mikrobiologik dahak dan bilasan lambung biasanya hanya memberikan hasil BTA
positif yang kecil yaitu sekitar 10-20% kasus TB Anak. Ini karena jumlah kuman TB pada anak dengan TB jumlahnya
sedikit (paucy-bacillary) sehingga sulit ditemukan dengan pemeriksaan mikrobiologik langsung. Walaupun jumlah kuman
TB sedikit tetapi sudah dapat menimbulkan gejala sakit TB pada anak. Bila dilakukan pemeriksaan biakan, kemungkinan
untuk mendapatkan hasil positif lebih besar. Secara praktis klinis, konfirmasi bakteriologis tidak selalu diperlukan. Karena
itu diagnosis TB pada anak hampir selalu ditegakkan secara presumtif berdasarkan gejala-gejala dan atau tanda-tanda
klinis.

Gejala dan tanda TB pada anak sangat bervariasi.


1. Nafsu makan tidak ada atau kurang (anoreksia);
2. Masalah Berat Badan (BB), berupa:
a. BB turun tanpa sebab yang jelas, atau
b. BB tidak naik dalam 1 bulan dengan tatalaksana gizi yang ade kuat, atau
c. BB naik tapi tidak sesuai dengan grafik tumbuh.
3. Malaise, letargi, anak tampak lemah dan lesu, tidak bergairah seperti anak sehat
4. Demam lama (2 minggu) dan atau berulang tanpa sebab yang jelas; dapat disertai keringat malam dengan
demam yang umumnya tidak tinggi (subfebris);
5. Pembesaran kelenjar limfe superfisialis yang biasanya multipel, saling melekat dan tidak nyeri tekan; biasanya di
daerah kolli
6. Batuk menetap 3 minggu dan sebab lain telah disingkirkan;
7. Diare persisten yang tidak sembuh dengan tatalaksana diare yang baku.
Pendekatan Diagnosis TB Anak

Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) telah membuat Pedoman Nasional Tuberkulosis Anakyang berisipedoman diagnosis
dantatalaksana TB Anak. Salah satupendekatan diagnosis TB Anak adalah dengan menggunakan sistem skoring (scoring
system), yaitu pembobotan terhadap gejala atau tanda klinis yang dijumpai. Sistem tersebut secara resmi digunakan
oleh program nasional TB untuk diagnosis TB pada anak di fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes) dengan fasilitas
terbatas.
Untuk mendiagnosis TB di DPSpesialis, sistem skoring TB Anak berikut dapat digunakan.

30

Tabel 1.Sistem skoring TB Anak


Parameter

Kontak TB

Tidak jelas

Ujituberkulin

Negatif

2
Lap keluarga, BTA
negatif atau tidak
tahu, atau BTA tidak
jelas

Bawahgarismerah (KMS)
atau BB/U <80%

Demamtanpasebabjelas

> 2 minggu

Batuk *

3 minggu

Pembesarankelenjarlimfekoli, aksila, inguinal

>1 cm,

Klinisgiziburuk (BB/U
<60%)

jumlah>1,
tidaknyeri
Fototoraks

Ada pembengkakan
Normal/
tidakjelas

BTA positif

Positif ( 10 mm, atau 5 mm


pada keadaanimunosupresif)

Beratbadan/ keadaangizi

Pembengkakantulang/sendipanggul, lutut, falang

Kesan TB

Jumlah
Diagnosis TB ditegakkan bila dicapi scoring 6 atau lebih.

Jumlah

Tata Laksana TB Anak


Prinsip dasar pengobatan TB adalah minimal 3 macam obat pada faseintensif (faseawal) selama 2 bulan, kemudian
2 macam obat pada fase lanjutan selama 4 bulan sehingga total waktu pemberian adalah 6 bulan. OAT anak
diberikan setiap hari, baik pada tahap awal maupun tahap lanjutan, dengan tujuan untuk meningkatkan keteraturan
(adherence) terapi OAT.
Pada anak, dosisobattermasuk OAT memerlukan perhitungan yang tepat sesuai dengan berat badan. Idealnya, untuk
tiap pasien dosis obat diberikan secara individu sesuai dengan berat badan saat itu. Bila dijumpai penyakit penyerta atau
kelainan fungsi hati, anak dirujuk ke RS.
Obat anti TB untuk anak dapat diberikan dalam bentuk :
a. Obat lepas masing-masing jenis obat
b. Kombipak Anak
c. Obat Kombinasi Dosis Tetap (KDT)

Obat KDT (kombinasi dosis tetap) atau FDC (fixed dose combination) adalah obat anti TB yang dalam 1 tabletnya sudah
tergabung 2 atau 3 macam obat anti TB. Walau lebih dari satu obat terdapat dalam 1 tablet, namun bioavailabiltas obat
KDT sudah diteliti dan terbukti baik.
Tabel 2. Dosis OAT anak dalam bentuk KDT (R75, H50, Z150 dan R75, H50)
2 bulan tiap hari
4 bulan tiap hari
Berat Badan (kg)
R75, H50, Z150
R75, H50
5-9
1 tablet
1 tablet
10-14
2 tablet
2 tablet
15-19
3 tablet
3 tablet
20-32
4 tablet
4 tablet
Selain memberikan terapi obat pada anak TB, yang perlu mendapat perhatian adalah mencari sumber penularan TB.
Pada umumnya anak dengan TB tidak infeksiuskarenalesi TB biasanya tidak luas dengan jumlah kuman TB yang sedikit
(paucy-bacillary) dan letak lokasilesi di parenkim paru yang tidak berhubungan langsung dengan saluran respiratori.
Dengan demikian yang menjadi sumber penularan pasien TB dewasa, terlebih yang sputum BTA-nya positif. Sumber
penularan adalah orang dewasa yang kontakerat, biasanya tinggal serumah atau sering bertemu. Pelacakan sumber
diutamakan dilakukan terhadap orang dewasa yang serumah dengan pasien TB Anak, terutama yang orang dewasa yang
menunjukkan gejala TB. Namun demikian, anak dengan adult-type TB (BTA positif, kavitasdanbatuk darah) juga
berpotensi sebagai sumber penularan.
Kemoprofilaksis TB untuk anak
Balita yang tinggal serumah dengan pasien dewasa TB Paru BTA positif yang baru terdiagnosis, sekitar 50-60% di
antaranya kan terinfeksi TB. Kira-kira 10% dari yang terinfeksi tersebut akan mengalami sakit TB. Infeksi TB pada balita
berisiko tinggi menjadi TB berat (misalnya meningitis TB atau TB milier) sehingga diperlukan pemberian kemoprofilaksis
atau terapi pencegahan.

Semua anak, terutama balita yang tinggal serumah atau kontak erat dengan pasien TB BTA positif, perlu dievaluasi
sebagai berikut:
1. Bila anak mempunyai gejala-gejala sesuai TB harus dilakukan pemeriksaan lebih lanjut menurut sistem skoring TB
anak
2. Bila anak balita sehat kontak erat dengan penderita BTA positif, harus diberikan pengobatan pencegahan dengan
isoniasid (INH) dengan dosis 10 mg per kg berat badan per hari selama 6 bulan. Setiap bulan anak harus dievaluasi
kemungkinan timbulnya gejala sakit TB.
3. Semua anak dengan HIV positif yang kontak erat dengan penderita BTA positif harus diberikan pengobatan
pencegahan dengan isoniasid (INH) dengan dosis 10 mg per kg berat badan per hari selama 6 bulan. Setiap bulan
anak harus dievaluasi kemungkinan timbulnya gejala sakit TB.
Isu MDR TB padaAnak
INH dan Rifampicin merupakan obat utama pada kemoterapi TB, oleh sebab itu adanya resistensi terhadap INH dan /atau
Rifampicin merupakan masalah yang penting. Mono resistenterhadap INH diatasi dengan menambah Etambutol pada
fase intensif RHZ menjadi RHZE. Beberapa ahli juga menganjurkan penambahan Etambutol pada fase lanjutan 6-9 bulan.
Monoresisten terhadap Rifampicin diatasi dengan INH, Etambutol, dan fluorokuinolon selama 12-18 bulan, dengan
penambahan pirazinamid pada sedikitnya 2 bulan pertama.
MDR TB adalah resistensi terhadap INH dan Rifampicin, dengan atau tanpa disertai resistensi terhadap obat anti TB
lainnya.MDR TB pada anak terutama terjadi sebagai hasil transmisi dari strain M tb yang juga MDR dari orang dewasa
sebagai sumber penularan. Tata laksana sulit, sebaiknya pasien TB Anak dengan MDR dirujuk ke RS yang telah mampu
menangani kasus-kasus MDR.

Prinsip dasar tatalaksana MDR :


1. Jangan menggunakan regimen yang gagal
2. Terapi berdasarkan pola kerentanan kuman, jika tidak ada maka menggunakan pola dari sumber penularan (orang
dewasa)
3. Gunakan sedikitnya 4 macam obat
4. Pilih terapi harian, prinsip DOTS tetap dijalankan
5. Konseling terhadap orangtua sangat penting, berikan support dan saran tentang efek samping obat yang timbul
6. Follow-up sangat penting
7. Durasi pengobatan tergantung derajat beratnya penyakit, minimal 12 bulan
8. Perhatikan dosis untuk menghindari efek samping
KESIMPULAN
a. Penegakan diagnosis TB pada Anak sulit, sehingga diperlukan anamnesis dan pemeriksaan fisis yang cermat
serta pemeriksaan penunjang seperti uji tuberkulin dan foto Rontgen dada yang akurat.
b. Kesulitan penegakan diagnosis TB anak di fasyankes yang terbatas dapat disiasati dengan menggunakan
skoring TB Anak.
c. Prinsip pengobatan TB Anak hampir sama dengan dewasa, terdiri dari fase intensif dan lanjutan dengan lama
pengobatan 6-12 bulan.
d. Obat TB dapat berupa obat lepas, kombipak anak, dan FDC (KDT)
e. MDR TB pada anak dicurigai apabila sumber penularan juga merupakan pasien MDR TB dan apabila respons
pengobatan tidak membaik dengan terapi yang adekuat.

Permasalahan Serta Pemilihan Obat


Secara Rasional pada Penyakit PPOK & Asma
Wiwien Heru Wiyono
Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi , Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia / RS Persahabatan, Jakarta

Prevalens asma dilaporkan terus meningkat akibat berbagai faktor seperti tingkat sosioekonomi yang rendah,
pajanan alergen yang makin meningkat, faktor genetik dan infeksi berulang. Prevalens PPOK seperti juga asma akan
meningkat sejalan dengan semakin banyaknya orang yang mengkonsumsi rokok, industrialisasi, faktor sosioekonomi dan
pajanan polutan baik outdoor maupun indoor. Keadaan ini akan mempengaruhi kesehatan masyarakat pada
umumnya bahkan akan menjadi masalah nasional karena bila dihitung secara ekonomi akan menyebabkan pengeluaran
yang cukup signifikan untuk mengatasi penyakit dengan komplikasinya. Penatalaksanaan asma dan PPOK termasuk
pemilihan obat yang rasional sebaiknya didasarkan kepada pedoman penatalaksanaan yang sudah baku dibuat oleh
organisasi profesi atau institusi baik yang mengutip dari organisasi profesi dunia maupun disusun sendiri oleh institusi
berdasarkan bukti klinis dan pengalaman yang teruji. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) telah menyusun dan
merevisi pedoman penatalaksanaan asma mengacu pedoman yang dikeluarkan oleh Global Initiative for Asthma
(GINA) sedangkan untuk PPOK mengacu pada Global Initiative for chronic Obstructive Lung Disease (GOLD). Namun
sekalipun telah tersedia pedoman tersebut masih saja dirasakan outcomenya belum seoptimal dari target yang
diharapkan.
Beberapa masalah yang timbul pada penatalaksanaan asma dan PPOK dapat berhubungan dengan pasien
maupun dokter yang menanganinya. Masalah yang sering timbul berhubungan dengan pasien antara lain kepatuhan
menggunakan obat, ketepatan penggunaan obat , pengetahuan tentang penyakit serta derajat penyakitnya sendiri.
Sedangkan masalah yang berhubungan dengan dokter antara lain under / overdiagnosed sehingga berakibat under /
overtreatment , minimnya waktu konsultasi yang diberikan kepada pasien , kurang optimalnya dokter memberikan
upaya promotif , kuratif dan rehabilitatif disamping faktor ketersediaan obat dan kemampuan pasien membeli obat yang
dianjurkan dokter sesuai derajat penyakitnya dan pedoman penatalaksanaan yang ada. Sehingga dianjurkan untuk terus
melakukan upaya pe pasien dalam mengobati penyakitnya serta peningkatan kompetensi dokter menatalaksana
penyakit asma dan PPOK. Yang juga tidak kalah penting adalah upaya mengusahakan obat-obat yang dianjurkan dapat
terjangkau oleh masyarakat.
Keyword : Masalah, penatalaksanaan, asma, PPOK

Upaya penanganan dan rujukan neonatus dengan gawat


napas secara aman
Lily Rundjan
Gawat napas merupakan kondisi yang sering terjadi pada bayi baru lahir, terutama bayi kurang bulan. Hal ini
ditandai dengan takipneu, retraksi, merintih, dan sianosis sentral pada udara kamar. Distres napas pada bayi dapat
dievaluasi dengan skor Downe. Penyebab terjadinya gawat napas pada bayi antara lain kelainan sistem pernapasan,
kelainan jantung, kelainan neurologik, dan sebagainya. Bayi baru lahir harus ditangani dengan baik terutama dalam 1
jam pertama paska kelahiran untuk mencegah kecacatan/kematian. Saat ini terdapat beberapa rekomendasi baru dalam
resusitasi bayi baru lahir seperti penggunaan plastik pada bayi berat lahir sangat rendah (BBLSR) dan oksigen 21%
dalam ventilasi. Pada kasus-kasus gawat napas seringkali perlu dilakukan upaya rujukan, baik dari ruang bersalin atau
unit gawat darurat ke ruang perawatan bahkan rumah sakit lain. Hal yang penting untuk diperhatikan adalah rujukan
dilakukan setelah kondisi bayi stabil dan oleh tim khusus dengan perlengkapan yang memadai. Transpor bayi dapat
dilakukan menggunakan inkubator transpor atau metode Kangaroo Mother Care tergantung ketersediaan fasilitas di
rumah sakit.

Tata Laksana BBLR di Fasilitas Terbatas


Dr. Rosalina Dewi Roeslani, Sp.A
Divisi Perinatologi RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo
Setiap tahun di indonesia sekitar 44 bayi per 1.000 kelahiran hidup terenggut nyawanya dalam rentang waktu 0-28
hari pasca kelahiran(Riskesdas 2007). Tiga Penyebab kematian pada bayi baru lahir di Indonesia seusai Riskesdas tahun
2007 adalah Asfiksia 36,9, BBLR 32,4%, dan infeksi 12%. Prevalensi BBLR di dunia menurut data dari WHO 15%,
sedangkan di Indonesia 11,1 %(Riskesdas 2010).
BBLR memerlukan perawatan dengan tekhnologi tinggi dan jangka waktu yang lama. Perawatan metode Kangguru
(PMK) adalah salah satu cara perawatan untuk BBLR yang mudah, aman dan murah. Definisi PMK adalah perawatan
untuk bayi baru lahir yang mudah yaitu menggunakan badan ibu untuk menghangatkan bayinya terutama untuk BBLR
( BL<2500g). Penelitian Cochrane pada maret 2011, PMK terbukti menurunkan angka kematian, infeksi
nosokomial/sepsis, hipotermia, dan LOS (Long of stay) perbedaan lama rawat 2,4 hari.
Indonesia sebagai Negara berkembang telah menerapkan PMK sejak tahun 1998 di beberapa daerah seperti Jakarta,
Yogyakarta, NTB, Surabaya, dan Makassar. Penelitian terbaru membuktikan PMK tidak hanya meningkatkan angka
kesintasan saja tetapi juga menunjang tumbuhkembang anak.

Permasalahan dan Tatalaksana Terkini


Nyeri Sendi dan Otot
Bobby Natanel
Nyeri Otot dan Persendian merupakan mekenisme pertahanan tubuh yang menyatakan adanya kelainan yang sedang
terjadi di otot atau sendi tersebut. Berbagai penyebab seperti Trauma, Infeksi dan degeneratif merupakan hal yang

tersering. Atas dasar itulah diberikan terapi dengan harapan maka nyeri yang muncul akan hilang dengan sendirinya
sejalan dengan hilangnya penyebab rasa nyeri tersebut. Dikenal berbagai tindakan yang non invasif, invasif, atau invasif
minimal.
Penanganan yang sesuai akan menghasilkan kesembuhan pasien yang ditandai dengan hilangnya nyeri otot dan sendi.

Penggunaan Obat Secara Rasional Penyakit Nyeri Otot


dan Sendi
Pada Pasien Rawat Jalan
Dr. Jursal Harun,SpOT
Letnan Kolonel Ckm Nrp 1920016910666
Pemakaian obat yang rasional adalah pemakaian obat yang aman dan efektif.
Kriteria Pemakaian Obat Secara Rasional Menurut WHO :
Sesuai dengan indikasi penyakit
b) Tersedia setiap saat dengan harga yang terjangkau
c) Diberikan dengan dosis yang tepat
d) Cara pemberian dengan interval waktu yang tepat
e) Lama pemberian yang tepat
f) Obat yang diberikan harus efektif, dengan mutu yang terjamin dan aman.
Langkah-langkah Menerapkan Penggunaan Obat Secara Rasional Menurut WHO :
1. Menentukan masalah pasien
2. Menetapkan tujuan pengobatan
3. Memeriksa kerasionalan penggunaan obat yang dipilih serta meneliti efektivitas dan keamanannya
4. Membuat resep

5. Memberi informasi, instruksi, hal-hal yang perlu diwaspadai


6. Melakukan monitoring
Beberapa Pertimbangan Dalam Pemilihan Obat :
Manfaat ( Efecacy )
Kemanfaatan dan Keamanan Obat sudah terbukti (safety)
Resiko pengobatan yang paling kecil dan seimbang dengan manfaat dan keamanan yang sama dan terjangkau oleh
pasien ( affordable )
Kesesuaian / suittability ( cost )
Peresepan Yang Rasional Jika Memenuhi Beberapa Persyaratan Yang Mencakup :

Appropriate Cost
( Tepat Biaya)

Osteoarthritis

Osteoarthritis adalah penyakit yang merupakan bagian dari arthritis, penyakit ini menyerang sendi terutama pada
tangan, lutut dan pinggul. Orang yang terserang osteoarthritis biasanya susah menggerakkan sendi-sendinya dan
pergerakannya menjadi terbatas karena turunnya fungsi tulang rawan untuk menopang badan.
Ciri-ciri penyakit Osteoarthritis ini yaitu :
1. Kehilangan progresif kartilago artikular

2. Formasi tulang baru (kista subkondral, sclerotic, osteophyt)


3. Fibrosis kapsular
Jenis Osteoarthritis Ada dua macam Osteoarthritis :
1. Osteoarthritis Primer : dialami setelah usia 45 tahun, sebagai akibat dari proses penuaan alami, tidak diketahui
penyebab pastinya, menyerang secara perlahan tapi progresif, dan dapat mengenai lebih dari satu persendian.
Biasanya menyerang sendi yang menanggung berat badan seperti lutut dan panggul, bisa juga menyerang punggung,
leher, dan jari-jari.
2. Osteoarthritis Sekunder : dialami sebelum usia 45 tahun, biasanya disebabkan oleh trauma (instabilitas) yang
menyebabkan luka pada sendi (misalnya patah tulang atau permukaan sendi tidak sejajar), akibat sendi yang longgar,
dan pembedahan pada sendi. Penyebab lainnya adalah faktor genetik dan penyakit metabolik.
Penyebab Osteoarthritis yaitu :
Adanya peradangan kronis pada persendian ditandai dengan pembengkakan pada jari-jari
tangan, siku, dan lutut. Biasanya daerah yang mengalami pembengkakan, berwarna
kemerah-merahan.
Pernah mengalami trauma dan radang pada sendi.
Karena faktor usia kebanyakan orang yang terkena osteoarthritis adalah orang dengan usia
diatas 50 tahun.
Keturunan ada beberapa orang yang mengalami osteoarthritis karena faktor keturunan.
Berat badan yang berlebihan, dapat memberatkan sendi dalam menopang tubuh.
Stres pada sendi, biasanya stres pada sendi ini terjadi pada olahragawan.
Neurophaty perifer (patologi dari saraf tepi).

Tanda-tanda Osteoarthritis
Untuk mengetahui apakah kita terserang penyakit ini, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan sebagai berikut :
Biasanya, osteoarthritis terjadi secara perlahan, dimulai dari rasa sakit pada sendi setelah
melakukan aktivitas, seperti olahraga, kemudian lama-kelamaan akan terasa lebih sakit
dan kaku.
Pada tangan : Jari-jari membesar, terasa sakit, kaku bahkan mati rasa.
Pada lutut : Lutut terasa sakit dan kaku. Susah digunakan untuk berjalan dan dapat
menyebabkan cacat.
Pada pinggul : Terasa sakit dan kaku pada kunci paha dan dapat membatasi pergerakan.
Pada punggung/tulang belakang : Terasa sakit dan kaku pada leher.
Persendian yang sakit berwarna kemerah-merahan.
Kelelahan yang menyertai rasa sakit pada persendian.
Kesulitan menggunakan persendian.
Bunyi pada setiap persendian (crepitus). Gejala ini tidak menimbulkan rasa sakit, hanya rasa tidak nyaman pada
setiap persendian (umumnya lutut).
Perubahan bentuk tulang, Ini akibat jaringan tulang rawan yang semakin rusak, tulang mulai
berubah bentuk dan meradang, menimbulkan rasa sakit yang amat sangat.
Beberapa cara untuk mencegah osteoarthritis :
Menjaga berat badan
Berolahraga rigan
Menghindari luka di persendian
Mengonsumsi suplemen
Mengonsumsi makanan sehat
Tujuan pengobatan osteoarthritis adalah :
1. Membantu penderita agar mengerti penyakitnya.
2. Memberi bantuan psikologis.
3. Menghilangkan rasa sakit.
4. Menekan proses inflamasi (peradangan).
5. Mempertahankan fungsi sendi dan mencegah perubahan sendi dengan mempertahankan
aktivitas fisik.
6. Melakukan koreksi terhadap kelainan yang sudah terjadi.
7. Memperbaiki fungsi sendi.
8. Memperkuat otot-otot yang lemah.

DAFTAR

ISI

1.

Kewenangan dan kompetensi


Dokter Pelayanan Primer

Ketua Kolegium Dokter


Indonesia
(Prof. dr. Irawan Jusuf, PhD)

2.

Current Update in Antibiotics


Therapy for Children

dr. Mulya Rahma Karyanti,


SpA (K), IBCLC

3.

Current Update in Antibiotics


Therapy for Adults and the
Elderly

Prof. Dr. Hardiman Pohan,


SpPD-KPTI

4.

Current Update in Antiparasitic


and Antifungal Therapy

Prof Dr. dr. Retno


Wahyuningsih, SpParK

5.

Penatalaksanaan dan
pencegahan sindrom metabolik
terkini

Prof. Dr. dr. Sarwono


Waspadji, SpPD, KEMD

6.

Penatalaksanaan serta
Permasalahan Diabetes Melitus

Prof. Dr. dr. H. Sidartawan


Soegondo, Sp.PD, KEMD,
FACE

7.

Pemilihan obat rasional peyakit


Diabetes pada pasien rawat jalan

dr. Wismandari Wisnu,


SpPD

8.

Manajemen komplikasi Diabetes


yang sering dijumpai pada
pasien rawat jalan

dr. Tri Juli Edi Tarigan, SpPD

9.

Permasalahan dan
Penatalaksanaan Hipertensi

Dr. dr. Bambang Budi


Siswanto, SpJP (K), FAPSC

10
.

Pemilihan obat rasional pada


Hipertensi pada pasien rawat
jalan

Dr. med. Frans Santosa,


MD, SpJP, EFMA. FFACA,
FICA, FASA, FIHA, SFGISA

11
.

Manajemen pasca stroke dan


ACS pada pasien rawat jalan

Dr. Rosiana Pradanasari


Wirawan, Sp.KFR

12
.

Tatalaksana kehamilan dengan


HIV

dr. Bintari Puspasari, Sp.OG

13
.

Tatalaksana HIV pada bayi dan


anak

dr. Dana Nur


Prihadi,Sp.A,M.Kes.

14
.

Penanganan pelanggaran etika

Prof. Dr. dr. Agus


Purwadianto, DFM., SH.,
M.Si, Sp.F (K)

15
.

Permasalahan dan pemilihan


obat rasional penyakit batukpilek pada pasien anak rawat
jalan

dr. Darmawan Budi


Setyanto, Sp.A (K)

10
-

11

16
.

Permasalahan dan pemilihan


obat rasional penyakit batukpilek pada pasien dewasa rawat
jalan

dr. dr. Ratna Dwi Restuti,


Sp.THT-KL (K)

17
.

Diagnosis dan penatalaksanaan


Penyakit Psychosomatik

dr. Andri Andri, SpKJ

12

18
.

Pemilihan obat rasional penyakit


Psychosomatik pada pasien
rawat jalan

dr. Andri Andri, SpKJ

13

19
.

Diagnosis dan tata laksana


penyakit insomnia, anxiety dan
depresi pada pasien rawat jalan

dr. Bagus Sulistyo Budhi,


Sp.KJ, M.Kes

14

20
.

Penggunaan obat rasional


penyakit insomia, anxiety dan
depresi pada pasien rawat jalan

Dr. Tribowo Tuahta Ginting,


SpKJ

41

21
.

Prinsip pemberian makan pada


bayi dan balita yang benar

dr. Damajanti R. Sjarif,


PhD, Sp.A (K)

42

22
.

Imunisasi yang tepat dan benar

Dr.dr. Hartono Gunardi,


Sp.A (K)

43

23
.

Kegawat daruratan pada bayi


dan balita : Tata laksana kejang
yang terkini

dr. Irawan Mangunatmadja,


Sp.A (K)

44

24
.

Penatalaksanaan terkini syok


anafilaktik

Dr. dr. Iris Rengganis,


Sp.PD, K-AI, FINASIM

45

25
.

Diagnosis dan tatalaksana


Thalasemia pada orang dewasa

Dr. dr. Djumhana


Atmakusuma, Sp.PD,
KHOM

26
.

Indikasi pemberian transfusi


darah dan efek samping

Dr. dr. Djumhana


Atmakusuma, Sp.PD,
KHOM

27
.

Sengketa medik dan alternatif


penyelesaiannya

dr.Eddi Junaidi Sp.OG,


M.Kes., SH.

28
.

Penatalaksanaan TB dan
pencegahan TB MDR

Dr. Fathiyah Isbaniah, SpP,


M.Pd.Ked

29
.

Diagnosis dan penatalaksanaan


terkini TBC anak pada program
dots dan issue TB MDR

dr. Nastiti Kaswandani,


Sp.A (K)

48

30
.

Permasalahan serta pemilihan


obat secara rasional penyakit
PPOK dan ASMA

Prof. dr. Wiwien Heru


Wiyono, PhD, Sp.P (K)

54

31
.

Upaya penanganan dan merujuk


neonatus gawat napas dengan
aman

dr. Lily Rundjan, SpA (K)

55

32
.

Tata laksana BBLR di fasilitas


terbatas

Dr. Rosalina Dewi Roeslani,


SpA

56

33
.

Initial Steps in Managing


Prolonged Fever on Outpatient
Setting

Dr. Khie Chen, Sp.PD-KPTI

34
.

Diagnosis and Management of


Dengue Hemorrhagic Fever

dr. Widayat Djoko Santoso,


SpPD-KPTI

35
.

Permasalahan dan tata laksana


terkini nyeri sendi dan otot

dr. Bobby Natanel Nelwan,


Sp.OT

57

36
.

Penggunaan obat secara rasional


penyakit nyeri otot dan sendi
pada pasien rawat jalan

dr. Yursal, Sp.OT

58

37
.

Indikasi pemberian korticosteroid


intra artikuler

Dr. Ign. Febri Siswanto,


Sp.OT

38
.

Patofisiologi dan terapi


mendengkur terkini

Prof. Dr. Bambang


Hermani, SpTHT-KL (K)

39
.

Kegawat daruratan pada


penyakit kulit

dr. Abraham Arimuko,


Sp.KK

40
.

Patient safety di tempat praktik

Prof. dr. Julianto


Witjaksono, Sp.OG (K)

You might also like