Download as doc, pdf, or txt
Download as doc, pdf, or txt
You are on page 1of 3

PENATALAKSANAAN FIBROMA PADA PASIEN DM TIPE 2: LAPORAN KASUS

Endah Dewi Putri Kumala1, Adinda Yoko Prihartami1, Riska Nurprilaely1, Agung Prabowo Dhartono1, Dini Ayu
Setyowati1, Rizky Fazwi Mahardika1
1

Mahasiswa Kedokteran Gigi, Fakultas Kedokteran, Universitas Jenderal Soedirman,


Purwokerto, Indonesia, 53122
Email : agung.dhartono24@gmail.com

ABSTRACT
Background. Diabetus mellitus (DM) is an endocrine disorder of increased blood glucose levels by
abnormalities in the beta cells of the pancreas gland Langerhans islands. Type 2 diabetes mellitus is the most
common type which is characterized by hyperglycemia. It may causes a negative impact on the patient, such as
impaired wound healing and increased susceptibility of infection. Therefore, patient with diabetes needed some
consideration before, during, and after treatment. Purpose. The aims of this case report is to recite procedure
fibroma management of patient with type 2 diabetes mellitus, either before, during, and after dental treatment.
Case Report. 56-year-old female patient came to the hospital dental poly Rajavit, Thailand with complaints
contained buccal gingival enlargement in the upper right area of the canines and first premolars were hurt when
chewing and bleed while brushing. The patient had a history of type 2 diabetic, but do not have an allergy to the
drug. Complete blood examination showed normal CBC results, but at 213 mg% FBS. Intraoral examination
showed that the patient had poor oral hygiene, calculus, and periodontitis. Case Management. Patient
concerned to control diabetes. After normal blood sugar levels, patient was given a scaling and oral hygiene
education. On the second visit, the mass removed by excision and extraction of upper right canine and first
premolar, then irrigated and sutured. Postoperatively the patient was given antibiotics. Conclusions.
Management for patients with type 2 diabetes mellitus were done by evaluating blood glucose levels before,
during, and after dental treatment.
Keyword: Fibroma, type 2 diabetes mellitus, extraction
Pendahuluan
Diabetes Melitus (DM) merupakan suatu kelainan
endokrin berupa peningkatan kadar glukosa darah
oleh adanya kelainan pada sel beta pulau
langerhans kelenjar pankreas.1 Kelainan ini ditandai
penurunan absolut atau relatif dari kadar insulin
yang
dihasilkan
oleh
pankreas. 2
DM
diklasifikasikan menjadi DM tipe 1, tipe 2,
gestasional, dan tipe lain. Jenis DM yang paling
banyak dijumpai, khususnya di Indonesia adalah
DM tipe 2. Hampir 90% dari kasus DM yang ada
merupakan DM tipe 2.3
DM tipe 2 atau non-insulin dependent DM terjadi
karena kelainan dalam pengikatan insulin dengan
reseptor.
Kelainan
ini
disebabkan
oleh
berkurangnya jumlah tempat reseptor pada
membran sel yang selnya responsif terhadap
insulin, sehingga terjadi penggabungan abnormal
antara kompleks reseptor insulin dengan sistem
transport glukosa. Tidak memadai dan beredarnya
insulin
dalam
darah
menyebabkan
ketidakmampuan darah mempertahankan kadar
glukosa dalam darah.4 Keberadaan glukosa dalam
darah yang berlebih dapat berdampak buruk pada
sesorang, seperti gagalnya proses penyembuhan
infeksi serta menyebabkan manifestasi di berbagai
organ termasuk rongga mulut.2 Pasien dengan DM
memiliki tanda dalam rongga mulutnya seperti
xerostomia dan bau mulut yang khas. Xerostomia
atau penurunan jumlah sekresi saliva yang
berlangsung lama dapat menimbulkan berbagai
komplikasi rongga mulut, seperti gingivitis

diabetika, periodontitis, gigi goyah, kandidiasis,


angular cheilitis, dan karies gigi.5
Pada bidang kedokteran gigi, hal-hal yang
dilakukan hampir seluruhnya bersifat invasif. Hal
ini dapat berpengaruh pada seseorang dengan DM.
Jika pasien dengan DM yang tidak terdiagnosa atau
tidak terkontrol melakukan proses tindakan bedah
dapat menyebabkan komplikasi metabolik akut
seperti Keto Asidosis Diabetik (KAD). Hal ini
ditandai dengan cemas, takut, penurunan kesadaran
sampai koma. Hal ini juga dapat membuat proses
penyembuhan menjadi lebih lama dan daya tahan
terhadap infeksi menjadi rentan.6 Fibroma
merupakan neoplasma jinak yang terdiri dari
fibrosis, timbul dari jaringan ikat gingiva atau
ligamen periodontal. Fibroma biasanya bertangkai,
serta pada pemeriksaan histopatologi banyak
ditemui sel fibroblas. Pada kasus ini, perlu adanya
penatalaksanaan yang tepat pada pasien fibroma
dengan kelainan berupa DM tipe 2, baik tindakan
sebelum, saat, dan sesudah prosedur bedah yang
akan dilakukan.7
Laporan Kasus
Pasien wanita berusia 56 tahun datang ke poli gigi
Rumah Sakit Rajavithi, Bangkok Thailand untuk
melakukan pemeriksaan karena terjadi pembesaran
gingiva bukal pada area gigi kaninus kanan atas
dan premolar pertama yang terasa sakit saat
mengunyah dan berdarah saat menyikat gigi.
Pasien memiliki riwayat DM,
namun tidak
memiliki alergi terhadap obat. Pada pemeriksaan
rongga mulut, pasien memiliki kebersihan rongga

mulut yang buruk, terdapat banyak kalkulus pada


area supra dan subgingiva serta penyakit
periodontitis yang meluas. Pada area gigi kaninus
kanan atas, premolar pertama kanan atas, insisivus
kiri dan tengah terdapat periodontitis dengan
mobilitas derajat 3. Terdapat pula area edontulus
pada gigi premolar kanan atas dan molar pertama
atas. Pada gigi molar kedua kanan atas dan ketiga
terdapat pula sisa akar yang masih dipertahankan.
Pada area gingiva pasien terdapat masa berukuran
1,5x2 cm di sisi bukal dan berukuran 1x1cm di sisi
palatal dari gigi kaninus kanan atas dan premolar
pertama yang mudah berdarah. Diagnosa awal
menyatakan pasien mengalami epulis fibromatosa.
Pasien telah melakukan pemeriksaan darah lengkap
dan gula darah puasa yang menunjukkan hasil CBC
normal, tetapi GDP = 213 mg %.
Penatalaksanaan Kasus
Penatalaksaan yang diberikan pada pasien adalah
merujuk pasien ke dokter yang bersangkutan untuk
melakukan kontrol diabetes. Setelah kadar gula
darah menjadi normal, pada kunjungan pertama
pasien diberikan tindakan scaling dan edukasi
tentang kebersihan rongga mulut. Pemeriksaan
ekstraoral pada kunjungan kedua, terlihat rongga
mulut pasien jauh lebih bersih dan terjadi
pengecilan pada area inflamasi gingiva. Kemudian
dilakukan pengangkatan massa dengan eksisi dan
ekstraksi pada kaninus kanan atas dan premolar
pertama. Area yang di eksisi kemudian diirigasi dan
dijahit. Pasca operasi pasien diberikan antibiotik
berupa penisilin V untuk mencegah dan
mengendalikan infeksi yang dapat terjadi pasca
operasi. Pelepasan jahitan dilakukan setelah hari
ketujuh pasca operasi dan diamati luka telah
sembuh dengan baik. Perawatan lebih lanjut
dilakukan untuk penanganan penyakit periodontal
yang ditindak lanjuti secara berkala, scaling,
perencanaan penyabutan sisa akar dan setelah 3
bulan akan dilihat perkembangan dari area yang
dieksisi.
Diskusi
Kriteria seseorang dikatakan DM jika kadar (GDS)
Gula Darah Sewaktu 200mg/dl, kadar Gula
Darah Puasa (GDP) 126 mg/dl, dan kadar gula
darah pada 2 jam setelah beban glukosa 75 gram
pada test toleransi (GD2JPP) 200mg/dl.8 Pasien
dengan DM tipe 2 yang tidak terkontrol dengan
oral hygiene yang buruk mempunyai resiko tinggi
terhadap xerostomia, gingivitis, dan penyakit
periodontal, dibuktikan pada pasien memiliki
periodontitis pada area gigi kaninus kanan atas,
premolar pertama kanan atas, insisivus kiri dan
tengah. Tata pelaksanaan yang dilakukan adalah
bedah eksisi dan pada beberapa kasus diperlukan
ekstraksi gigi. Tindakan pre-operatif harus
dilakukan dengan tujuan untuk mengontrol kadar
gula darah. Pasien sebaiknya dirujuk ke dokter

yang menangani untuk mengontrol kadar gula


darah. Kadar gula darah yang perlu diperhatikan
adalah GDP dan GD2JPP.9 Hal ini dikarenakan
GDP dan GD2JPP tidak terpengaruh oleh konsumsi
makanan sehingga lebih akurat dibandingkan
dengan GDS yang dapat dipengaruhi oleh
makanan. Tindakan perawatan gigi yang invasif
dan menimbulkan perlukaan dapat dilakukan jika
gula darah pasien sudah dalam kondisi terkontrol.
Setelah pasien dalam kondisi baik, perawatan
sebaiknya dilakukan dengan durasi yang relatif
singkat dan pada pagi hari untuk menghindari
stress.10 Pada kondisi stress, tubuh akan merespon
dengan melepaskan epinefrin. Hal ini akan
menimbulkan efek yang berlawanan terhadap
insulin melalui peningkatan reaksi pemecahan
glikogen oleh Alpa pankreas mengakibatkan
kondisi hiperglikemi.11 Apabila pasien mulai
terlihat cemas, sebaiknya tindakan pembedahan
ditunda dan dilakukan pada pertemuan berikutnya.
Pada pasien DM tipe 2, penggunaan anestesi lokal
dapat menggunakan lidokain 2% dengan epinefrin
1:80.000 sama dengan perlakuan pada pasien
umumnya tanpa gangguan apapun.10 Pasca
ekstraksi pasien diberikan antibiotik seperti
penisilin untuk mencegah terjadinya infeksi pasca
bedah.2 Pasien juga diinstruksikan untuk tetap
menjaga oral hygiene dengan pemakaian obat
kumur dengan penambahan floride dan tidak
mengandung alkohol.12 Selain itu, medikasi
analgesik antiinflmasi dapat diberikan dengan
menghindari pemakaian golongan NSAID dan
kortikosteroid.13 Pengontrolan kadar gula darah
tetap diperhatikan setelah dilakukan tindakan, agar
proses pemulihan berlangsung dengan baik tanpa
adanya infeksi.7 Keadaan darurat yang dapat terjadi
saat tindakan operatif ialah syok insulin dan KAD.
Reaksi syok insulin akibat dari hipoglikemi
ditandai dengan tremor, takikardi, dengan gula
darah <60mg/dl dan dapat timbul dengan segera
apabila terjadi kekurangan insulin.14 Sedangkan
kondisi KAD akibat hiperglikemi timbul beberapa
hari setelah tindakan, namun jika tidak ditangani
dapat berakibat pada kejang, koma, hingga
kematian.
Kasus ini dapat diatasi dengan
pemberian glukosa atau insulin bergantung reaksi
yang terjadi oleh dokter ahli dan sebaiknya pasien
di rawat di rumah sakit.2
Kesimpulan
Pentalaksanaan pada pasien DM tipe 2 dilakukan
dengan melihat keadaan glukosa pasien dalam
keadaan terkontrol baik sebelum, saat, dan sesudah
tindakan.
Ucapan terima kasih
1. drg Fitri Diah Oktadewi selaku pembimbing.
Referensi
1. Suyono S. Masalah diabetes di Indonesia.
Jakarta: FKUI; 2006.

2.
3.

4.
5.
6.
7.
8.
9.

10.
11.
12.

13.
14.

Pedersen GW. Buku ajar praktis bedah mulut.


Jakarta: EGC; 1996.
Darmono T., Suhatono TGD. Naskah lengkap
diabetes melitus ditinjau dari berbagai aspek
pernyakit. Semarang: Universitas Diponegoro;
2007.
Price SA, Wilson LM. Patofisiologi konsep
klinis proses-proses penyakit. Edisi 6. Jakarta:
EGC; 2005.
Soegondo S, Soewondo P, Subekti I,
Penatalksanaan diabetes melitus terpadu.
Jakarta: FKUI; 2009.
Rini TH. Faktor-faktor risiko ulkus diabetik
pada penderita diabetes melitus. Tesis.
Semarang: Universitas Diponegoro; 2008.
Chanchareonsook P. Fibroma in diabetic
patient: a case report. KDJ. 1998;1(2): 69-72.
Laskin DM. Clinicians handbook of oral and
maxillofacial surgery. 1st ed. United States of
America: Quintessence Publishing Co; 2010.
Ranakusuma, A. B. S., 1997, Diabetes Melitus
dalam Pembedahan, Jilid I Edisi 3, Balai
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, Jakarta.
Bundenz, AW. Local Anesthetics and
medically complex patients. CDA Journal.
2000:1-13.
Vernilo AT. Dental considerations for
treatment of patients with diabetes mellitus.
JADA. 2003; 134: 24-33.
Nareswari A. Perbedaan efektivitas obat
kumur
chlorhexidine
tanpa
alkohol
dibandingkan
dengan
chlorhexidine
beralkohol dalam menurunkan kuantitas
koloni bakteri rongga mulut. Tesis. Solo:
Universitas Sebelas Maret; 2010.
Hass, DA. An Update on Analgesics for the
Management of Acute Post Operative Dental
Pain. 2002. J Can Dent Assoc. 68(8):476-482.
Alamo, SM, Soriano, YJ, Perez, MGS. Dental
considerations for the patient with diabetes. J
Clin Exp Dent. 2011;3 (1): 24-30.

You might also like