Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 86

1

JURNAL
EKONOMI, MANAJEMEN DAN AKUNTANSI
ISSN : 2303-0542

Volume: 2 No. 1 Juli 2013

DAFTAR ISI
Sofyan dan Hilmi
Pengaruh Mutasi Terhadap Kepuasan Kerja Pegawai Pada Politeknik Negeri
Lhokseumawe...................................................................................................

1-14

Asnawi dan Aiyub


Model Kebijakan Pengentasan Kemiskinan di Kabupaten Aceh Utara...........

15-24

Abdul Hamid Jaafar, Zainal Abidin Hashim dan Basri Abdul Talib
Market Access For Malaysian Agricultural Products : A Case For Palm
Oil....................................................................................................................

25-40

Nazaina
Pengaruh Partisipasi Penyusunan Anggaran Terhadap Kinerja Manajerial
Dengan Komitmen Organisasi Sebagai Variabel Moderating (Survey Pada
PT.Telkomsel di Medan)................................................................................

41-58

Adnan dan Aiyub


One Village One Product (Ovop) Sebagai Solusi Pemberdayaan Ekonomi
Rakyat : Suatu Kajian Literatur.......................................................................
Rusydi Abubakar dan Afrizal
Pengaruh Kualitas Pelayanan Terhadap Keputusan Konsumen Berkunjung
Ke Cafe Kopi Berbasis Wi-Fi (Studi Kasus di Kota Lhokseumawe).......... ....
Ikramuddin dan Teuku Zulkarnaen
Peranan Koperasi Pertanian Dalam Pemberdayaan Pendapatan Masyarakat
Desa (Studi Pada Petani Kelapa Sawit di Kecamatan Cot Girek Aceh Utara)......
k

59-66

67-73

74-84

ISSN : 2303-0542
PENGARUH MUTASI TERHADAP KEPUASAN KERJA PEGAWAI PADA
POLITEKNIK NEGERI LHOKSAEUMAWE
Sofyan
sofyanyusuf76@gmail.com
STIE Bumi Persada Lhokseumawe Aceh
Hilmi
hilmiassa@yahoo.co.id
STIE Bumi Persada Lhokseumawe Aceh
Abstract
This study aimed to know the influence of the mutation toward job satisfaction of employees
at State Polytechnic of Lhokseumawe. The data used was the primary data by dividing the
questionnaire to the 85 respondents as the research sample. Data analysis was done by
using multiple linear regression equation (Multiple Linear Regression), using SPSS
program. The results showed that the mutation benefits meet the needs (X1), giving
guarantees (X2), did not occur saturation (X3) and the motivation and satisfaction (X4) has
a significant impact on job satisfaction of employees at Lhokseumawe State Polytechnic.
Determination scale on the degree of confidence was 95%, found the value of r was 0.672
or 67.20%. Partial test done by using t-test, results showed that meet the needs of (X1) was
2,404, giving guarantees (X2) was 0.032, did not occur saturation (X3) was 0.125, and the
motivation and satisfaction (X4) was 0.134. This shows that all the counted variabel have tcount is greater than t-table. Four variables counted showed that meet the needs of (X1) has
the highest level of dominance in influencing job satisfaction of employees at Lhokseumawe
State Polytechnic.
Key words : Job satisfaction, Mutation
Latar Belakang
Pemerintah dengan segala perangkatnya sebagai pilar utama penyelenggara Negara semakin
giat dan cermat serta proaktif mengakomodasi segala bentuk perubahan. Kondisi tersebut
sangat memungkinkan karena aparatur berada pada posisi sebagai perumus, penentu
kebijakan serta sebagai pelaksana dari segala peraturan, melalui hirarki yang lebih tinggi
sampai kelebih rendah.
Menyimak dari kenyataan di atas maka pimpinan sebuah lembaga sebagai pelaksana
manajemen sumberdaya manusia harus mampu mengembangkan potensi sumberdaya
manusia agar menjadi lebih kreatif dan inovatif. Memiliki konsistensi dalam menghasilkan
produktifitas kerja yang tinggi tidak cukup hanya mampu melakukan pekerjaanya dengan
baik pada saat ini atau pada saat tertentu saja, melainkan juga harus mampu melakukannya
secara konsisten dalam jangka panjang. Salah satu faktor yang menurunnya produktivitas
kerja pegawai adalah faktor indifidu pegawai dalam masa kejenuhan. Hal ini dikarenakan
pegawai tersebut melakukan pekerjaan yang sama secara terus menerus.
Salah satu upaya yang dilakukan atau yang harus ditempuh adalah melakuan pemindahan
pegawai atau yang lebih dikenal dengan kata mutasi. Mutasi pegawai merupakan
pemindahan pegawai dari tugas yang satu ke tugas lain yang berbada dalam tingkatan
3

sejajar. Tujuan pelaksanaan mutasi adalah untuk mempertahankan serta meningkatkan


produktivitas kerja, karena kekhawatiran menimbulkan kebosanan untuk melakukan
pekerjaan dalam jangka waktu yang lama atau dapat juga sebagi koreksi akibat kesalahan
penempatan.
Mutasi dalam suatu organisasi kerap sekali memiliki tingkat level yang sama dari posisi
pekerjaan sebelum mengalami pemindahan kerja. Mutasi kerapkali dilakukan untuk
menghindari kejenuhan karyawan atau pegawai pada rutinitas pekerjaan yang terkadang
membosankan serta memilki fungsi tujuan lain supaya seseorang dapat menguasai dan
mendalami pekerjaan lain di bidang yang berbeda pada suatu perusahaan atau kantor. Pada
hakekatnya mutasi adalah bentuk perhatian pimpinan terhadap bawahan. Disamping
perhatian internal, upaya peningkatan pelayanan kepada masyarakat adalah bagian
terpenting dalam seluruh pergerakan yang terjadi dalam lingkungan kerja pemerintahan.
Politeknik Negeri Lhokseumawe sebagai penyelenggara pendidikan professional Diploma
Tiga (DIII) dengan lama studi 3 Tahun dan Diploma Empat (DIV) dengan lama studi 4
tahun dengan gelar akademik Ahli Madya (A.Md) untuk DIII dan Sarjana Sain Terapan
(SST) untuk DIV. Sistem pendidikan mengacu pada sistem SKS dengan komposisi 50%
teori dan 50% praktek dengan waktu belajar 38 jam / minggu. Waktu belajar ini disesuaikan
dengan standard jam kerja pada perusahaan atau industri yang merupakan ciri khas
pendidikan di Politeknik, sehingga diharapkan mahasiswa sudah terbiasa dengan suasana
kerja pada saat menempuh pendidikan.
Harapan ini tidak akan terwujud apabila tidak didukung sepenuhnya oleh ketersediaan
sumberdaya manusia yang ada di Politeknik Negeri Lhokseumawe yang meliputi tenaga
akademik, tenaga administrasi dan teknisi dari berbagai bidang disiplin ilmu dan kelulusan
universitas dalam dan luar negeri.
Salah satu upaya yang dilakukan pimpinan Politeknik Negeri Lhokseumawe untuk
menghilangkan kebosanan pegawai dalam melaksanakan tugasnya adalah melakukan
mutasi. Mutasi ini dilakukan setiap tahun baik pada uraian tugas yang sama pada ruang atau
bidang lain bahkan pada ruang yang sama pada bidang tugas yang berbeda.
Disamping itu pula dalam pelaksanaannya mutasi banyak terdapat manfaat yang dirasakan
oleh pegawai baik secara langsung maupun tidak langsung. Banyak program dan kegiatan
yang pada bagian tugas sebelum dan sesudahnya yang dapat dijadikan sebagai pengetahuan
baru dan menambah pengalaman. Dalam pelaksananya, mutasi yang dilakukan kerap sekali
menimbulkan masalah baru, karena tidak sesuai dengan bidang dan latar belakang
pendidikan yang dimiliki pegawai, sehingga banyak pegawai tidak proaktif terhadap
pekerjaan yang menjadi tanggungjawabnya serta tidak tuntas penaganannya. Hal ini
tentunya menjadi salah satu kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan mutasi.
Permasalahan
Berdasarkan uraian latar belakang permasalahan yang telah dikemukakan di atas, maka perumusan
masalah dalam penelitian ini adalah bagaimanakah pengaruh mutasi terhadap kepuasan kerja
pegawai pada Politeknik Negeri Lhokseumawe ?

Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah
untuk mengetahui pengaruh mutasi terhadap kepuasan kerja pegawai pada Politeknik Negeri
Lhokseumawe.
Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian ini dapat penulis sampaikan sebagai berikut :
1. Memberikan masukan kepada Politeknik Negeri Lhokseumawe sehubungan dengan
pelaksanaan mutasi pegawai.
2. Menambah pengetahuan penulis, khususnya mengenai mutasi kerja pegawai.
3. Dapat dijadikan sebagai bahan masukan bagi peneliti lainnya yang akan melakukan penelitian
lebih lanjut mengenai mutasi pegawai.
Teoritis
Pengertian Mutasi
Secara umum mutasi diartikan sebagai perpindahan tugas dan pekerjaan dari bagian yang satu
kebagian lainnya. Untuk lebih jelasnya mengenai pengertian mutasi dapat kita ketahui berbagi
pendapat beberapa ahli. Menurut Hasibuan (2008:102) mutasi merupakan suatu perubahan
posisi/jabatan/tempat/pekerjaan yang dilakukan baik secara horizontal maupun vertical di dalam
suatu organisasi. Pada dasarnya mutasi termasuk dalam fungsi pengembangan karyawan, karena
tujuannya untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas kerja dalam perusahaan (pemerintah)
tersebut.
Selanjutnya menurut Sastrohadiwiryo (2002:247) mendefinisikan mutasi adalah kegiatan ketenaga
kerjaan yang berhubungan denga proses pemindahan fungsi, tanggung jawab, dan status
ketenagakerjaan tenaga kerja ke situasi tertentu dengan tujuan agar tenaga kerja yang bersangkutan
memperoleh kepuasan kerja yang mendalam dan dapat memberikan prestasi kerja yang semaksimal
mungkin kepada perusahaan/lembaga.
Mutasi atau transfer menurut Wahyudi (1995:75) adalah perpindahan pekerjaan seseorang dalam
suatu organisasi yang memiliki tingkat level yang sama dari posisi pekerjaan sebelum mengalami
pindah kerja. Mutasi atau rotasi kerja dilakukan untuk menghindari kejenuhan karyawan atau
pegawai pada rutinitas pekerjaan yang terkadang membosankan serta memiliki fungsi tujuan lain
supaya seseorang dapat menguasai dan mendalami pekerjaan lain di bidang yang berbeda pada suatu
perusahaan.
Menurut Syuhadak (1995:104) menyatakan bahwa mutasi pegawai negeri sipil adalah kegiatan
pimpinan suatu organisasi atau instansi untuk memindahkan pegawai dari jabatan tertentu ke jabatan
yang lain yang sejajar tingkatannya dengan tujuan untuk memperoleh the righ man on the right
place agar instansi tersebut dapat menjalankan fungsinya secara efektif.
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa mutasi diartikan sebagi perubahan
mengenai atau pemindahan kerja/jabatan lain dengan harapan pada jabatan baru itu pegawai akan
lebih dapat berkembang. Hakekatnya mutasi adalah bentuk perhatian pimpinan terhadap bawahan.
Manfaat Mutasi
Pelaksaan mutasi pegawai mempunyai banyak manfaat yang sangat berpengaruh kepada
kemampuan dan kemauan kerja pegawai yang mengakibatkan suatu keuntungan bagi lembaga itu
sendiri.
Menurut Simamora (2000:66) mengemukakan manfaat pelaksanaan mutasi adalah:
1. Memenuhi kebutuhan tenaga kerja di bagian atau unit yang kekurangan tenaga kerja tanpa
merekrut dari luar.
5

2.
3.
4.
5.
6.

Memenuhi keinginan pegawai sesuai dengan pekerjaan.


Memberikan jaminan bagi pegawai sesuai dengan pekerjaan.
Memberikan jaminan bagi pegawai bahwa dia tidak akan diberhentikan.
Tidak terjadi kejenuhan.
Motivasi dan kepuasan kerja yang lebih tinggi, berkat tantangan dan situasi baru yang
dihadapi.

Pendapat lain, menurut Siagian (2001:172) melalui mutasi para pegawai sesungguhnya memperoleh
manfaat yang tidak sedikit, antara lain dalam bentuk :
1. Pengalaman baru
2. Cakrawala pandangan yang lebih luas
3. Tidak terjadinya kejenuhan atau kebosanan
4. Perolehan pengetahuan dari keterampilan baru
5. Perolehan prospektif baru mengenai kehidupan organisasional
6. Persiapan untuk menghadapi tugas baru, misalnya karena promosi.
7. Motivasi dan keputusan kerja yang lebih tinggi berkat tantangan dan situasi baru yang
dihadapi.
Pendapat lain, menurut Siagian (2001 : 172) mengungkapkan manfaat mutasi yaitu :
a. Pengalaman baru,
b. Cakrawala pandangan yang lebih luas,
c. Tidak terjadinya kebosanan atau kejenuhan,
d. Perolehan pengetahuan dan keterampilan baru;
e. Perolehan perspektif baru mengenai kehidupan organisasional,
f. Persiapan untuk menghadapi tugas baru, misalnya karena promosi,
g. Motivasi dan kepuasan kerja yang lebih tinggi berkat tantangan dan situasi baru yang
dihadapi.
Berdasarkan pendapat di atas dapat kita simpulkan betapa bermanfaatnya dilakukan mutasi. Banyak
nilai-nilai positf yang dihasilkan akibat adanya mutasi. Mutasi dapat memberikan pengalaman baru
pegawai, hal ini akan bermanfaat dalam pengembangan pengetahuannya serta pengalamannya.
Selain itu, cakrawala berfikir pegawai dapat ditingkatkan dengan adanya mutasi.
Tujuan Mutasi
Mutasi kadangkala dapat menurunkan kegairahan dalam bekerja karena dianggap sebagai hukuman
dan membentuk produktivitas kerja karena kitedakmampuan kerja karyawan. Bila terjadi kedaan
yang demikian maka mutasi tidak mencapai tujuan yang diharapkan. Ada beberapa tujuan
pelaksanaan mutasi.
Menurut Hasibuan (2008:102) tujuan pelaksanaan mutasi antara lain adalah sebagai berikut :
1. Untuk meningkatkan produktivitas kerja pegawai
2. Untuk menciptakan keseimbangan antara tenaga kerja dengan komposisi pekerjaan atau
jabatan.
3. Untuk memperluas atau menambah pengetahuan pegawai.
4. Untuk menghilangkan rasa bosan/jemu terhadap pekerjaanya.
5. Untuk memberikan perangsang agar karyawan mau berupaya meningkatkan karier yang
lebih tinggi.
6. Untuk menyesuaikan pekerjaan dengan kondisi fisik pegawai.
7. Untuk mengatasi perselisihan antara sesame pegawai.
8. Untuk mengusagakan pelaksanaan prinsip orang tepat pada tempat yang tepat.
Tujuan mutasi menurut Mudjiono (2000:87) adalah sebagai berikut :
1. Untuk meningkatkan produktivitas karyawan.
6

2.
3.
4.
5.
6.
7.

Untuk menciptakan keseimbangan antar tenaga kerja dengan komposisi pekerjaan atau
jabatan.
Untuk memperluas atau menambah pengetahuan karyawan.
Untuk menghilangkan rasa bosan/jenuh terhadap pekerjaannya;
Untuk memberikan perangsang agar karyawan mau berupaya meningkatkan karier yang
lebih tinggi.
Untuk alat pendorong agar spirit kerja meningkat melalui persaingan terbuka.
Untuk menyesuaikan pekerjaan dengan kondisi fisik karyawan.

Sebab-sebab, Alasan dan Macam-macam Mutasi


Dalam pelaksanaanya, mutasi dikarenakan oleh sebab dan alasan tersendiri kenapa timbul atau
munculnya mutasi. Menurut Siswandi (1999: 102) sebab-sebab dan alasan pelaksanaan mutasi dapat
digolongkan sebagai berikut :
a. Permintaan sendiri
Mutasi atas permintaan sendiri adalah mutasi yang dilakukan atas keinginan sendiri dari
karyawan atau pegawai bersangkutan dan dengan mendapat persetujuan pimpinan
organisasinya pemindahan jabatan yang peringkatnya sama baik. Mutasi permintaan sendiri
pada umumnya hanya pemindahan jabatan yang peringkatnya sama baik, antar bagian maupun
pindah ketempat lain.
b. Alih Tugas Produktif (ATP)
Alih tugas produktif adalah mutasi karena kehendak pimpinan perusahaan untuk
meningkatkan produksi dengan menempatkan karyawan yang bersangkutan ke jabatan atau
pekerjaannya yang sesuai dengan kecakapannya.

Pengertian Kepuasan Kerja


Pegawai akan merasa puas dalam bekerja apabila aspek-aspek pekerjaan dan aspek-aspek dirinya
menyokong dan sebaliknya jika aspek-aspek tersebut tidak menyokong, pegawai akan merasa tidak
puas. Untuk lebih jelas mengenai pengertian kepuasan kerja berikut penulis sampaikan pendapat
beberapa ahli.

Menurut Hasibuan (2008:146), mengatakan bahwa : Unsur manusia memegang peranan


penting dalam proses suatu pekerjaan, ia menyatakan bahwa betapapun sempurnanya
rencana-rencana, organisasi, dan pengawasan serta penelitiannya, bila mereka tidak dapat
menjalankan tugasnya dengan minat dan gembira maka suatu perusahaan tidak akan
mencapai hasil sebanyak yang sebenarnya dapat dicapai. Sedangkan menurut Handoko
(1999:193), menyebutkan bahwa : Kepuasan kerja (Job satisfaction) adalah keadaan
emosional yang menyenangkan atau tidak menyenangkan dengan mana karyawan
memandang pekerjaan mereka.
Sastro Hadiwiryo (2002:106), mengatakan bahwa : Karyawan yang tidak mendapatkan
kepuasan kerja tidak akan pernah mencapai kematangan psikologis dan pada gilirannya
akan menjadi frustasi, sebab karyawan seperti ini akan sering melamun, mempunyai
semangat kerja rendah, cepat lelah dan bosan, emosinya tidak stabil, sering mencari dan
melakukan kesibukan yang tidak ada hubungannya dengan pekerjaan yang sering
dilakukannya.
Konsep pemikiran diatas apabila dihubungkan dengan kenyataan yang ada pada Politeknik Negeri
Lhokseumawe, maka pada dasarnya pimpinan selalu berusaha menciptakan keadaan yang bernilai
positif dalam lingkungan kerja para karyawannya, seperti membuat situasi kerja yang menyenangkan
dengan terciptanya hubungan baik antara karyawan dengan pimpinan secara struktural atau
fungsional, juga antara sesama karyawan disamping juga selalu memperhatikan kesejahteraan
karyawan dan sebagainya.
7

Pada dasarnya kepuasan kerja itu menunjukkan kesesuaian antara harapan seseorang yang timbul
dengan apa yang dia harapkan. Harapan tersebut dapat merupakan seperangkat kebutuhan, hasrat,
keinginan dan pengalaman masa lalu yang menyatu dan membentuk harapan kerja. Kepuasan kerja
dapat dijadikan suatu ukuran proses pembangunan iklim yang berkelanjutan dalam suatu organisasi.
Dalam hal ini, kepuasan kerja yang tinggi diinginkan oleh para manajer karena dapat dikaitkan
dengan hasil positif yang mereka harapkan. Dan kepuasan kerja yang tinggi juga merupakan tanda
organisasi yang dikelola dengan baik dan pada dasarnya mencerminkan fungsi manajerial yang
efektif.

Kepuasan kerja menjadi hal penting karena dapat mempengaruhi produktivitas karyawan
sebab karyawan yang memiliki kepuasan yang tinggi akan memandang pekerjaannya sebagi
hal yang menyenangkan, berbeda dengan karyawan yang memiliki kepuasan kerja rendah,
ia akan melihat pekerjaannya sebagai hal yang menjemukan dan membosankan sehingga
karyawan tersebut bekerja dalam keadaan terpaksa.
Karyawan yang bekerja dalam keadaan terpaksa akan memiliki hasil kerja (performance)
yang buruk dibanding dengan karyawan yang bekerja dengan semangat yang tinggi. Apabila
perusahaan memiliki karyawan yang mayoritas kepuasannya rendah, dapat dibayangkan
tingkat produktivitas perusahaan secara keseluruhan, dan ini akan merugikan perusahaan.
Itulah sebabnya perusahaan perlu memperhatikan derajat kepuasan karyawannya dengan
cara mengkaji ulang aspek-aspek yang dapat mempengaruhi kepuasan kerja.
Menurut Siagian (2003:22), ada beberapa faktor yang dapat digunakan oleh manajemen
untuk memuaskan kebutuhan para anggotanya, yaitu :
1. Adanya tujuan yang jelas, baik yang bersifat jangka pendek, sedang, maupun yang
bersifat jangka panjang.
2. Proses perumusan kebijaksanaan yang melibatkan semua unsur dalam organisasi,
paling sedikit sebagai sumber informasi dan input.
3. Proses pengambilan keputusan yang demokratis dengan mendengar pendapat unsur
pelaksana.
4. Proses pelaksanaan yang didasarkan atas pembagian tugas yang jelas.
5. Pendelegasian wewenang yang menggairahkan pengembangan daya inovasi dan
kreasi anggota organisasi.
6. Pengawasan yang bersifat mendidik atau bukan untuk mencari alasan bagi pimpinan
untuk bertindak punitive.
7. Penggunaan sistem umpan balik secara efektif dalam keseluruhan proses manajemen.
Berdasarkan pemikiran tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa kepuasan kerja mengandung arti
yang sangat penting dan luas, baik dari sisi pekerja maupun perusahaan serta bagi masyarakat secara
umum. Oleh karena itu, maka menciptakan keadaan yang bernilai positif dalam lingkungan kerja
suatu perusahaan mutlak merupakan kewajiban dari setiap jajaran pimpinan perusahaan yang
bersangkutan.
Penelitian Sebelumnya
1. Muh. Fadly Syafaat (2009), melalui internet yang melakukan penelitian dengan judul Pengaruh
Mutasi Terhadap Kepuasan Kerja Karyawan pada PT. Bank Mega Tbk. Wilayah Makassar.
Menyatakan bahwa terdapat hubungan yang positif antara mutasi dengan kepuasan kerja, yang
ditunjukkan oleh angka korelasi sebesar 0,768. Tanda positif berarti, jika hasil mutasi seorang
karyawan semakin bagus, maka semakin besar kepuasan yang diperolehnya. Sedangkan hasil
8

Determinasi (R2) sebesar 0,590 menunjukkan bahwa kepuasan kerja PT. Bank Mega Tbk.
Wilayah Makassar sebesar 59% dipengaruhi oleh mutasi kerja dan 41% dipengaruhi faktor lain.
2. Mahesa (2010) melalui internet tentang Analisis Pengaruh Mutasi dan Kepuasan Kerja Terhadap
Kinerja Karyawan dengan lama kerja sebagai variabel moderating (Studi pada PT PLN Persero
APJ Jogjakarta), menghasilkan kesimpulan bahwa kepuasan kerja dan motivasi berpengaruh
positif terhadap kinerja karyawan, Variabel mutasi karyawan dengan lama bekerja sebagai
variabel moderating tidak berpengaruh terhadap kinerja karyawan namun variabel kepuasan
kerja berpengaruh terhadap kinerja dan variabel lama bekerja yang menjadi variabel moderating
mempunyai nilai yang signifikan dan positif.
Hipotesis
Hipotesis penelitian ini adalah sebagai berikut:
Ho : Diduga mutasi tidak berpengaruh terhadap kepuasan kerja Pegawai pada Politeknik
Negeri Lhokseumawe.
Hi : Diduga mutasi berpengaruh terhadap kepuasan kerja pegawai pada Politeknik Negeri
Lhokseumawe.
Subjek dan Lokasi Penelitian
Subjek penelitian ini membahas mengenai mutasi kerja pegawai pada Politeknik Negeri
Lhokseumawe. Politeknik Negeri Lhokseumawe, berlokasi di Jalan Banda Aceh Medan Km.280,3
Buketrata Kota Lhokseumawe.
Populasi dan Sampel
Populasi menurut Boediono (2004:9) adalah suatu keseluruhan pengamatan atau objek yang menjadi
perhatian kita dengan menggambarkan sesuatu yang bersifat ideal atau teoritis. Menurut Kuncoro
(2003:103) menyatakan bahwa Populasi adalah kelompok elemen yang lengkap, dimana kita
tertarik untuk mempelajarinya atau menjadi objek penelitian.
Sementara menurut Arikunto (1998:115) Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian. Apabila
seseorang ingin meneliti semua elemen yang ada dalam wilayah penelitian, maka penelitiannya
merupakan penelitian populasi. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pegawai yang
ditempatkan sebagai pelaksana tugas pengadministrasian pada Politeknik Negeri Lhokseumawe.
Menurut Kuncoro (2003:103) menyatakan bahwa Sampel adalah suatu himpunan bagian dari unit
populasi. Sementara menurut Arikunto (1998:115) Sampel adalah sebagian dari subjek penelitian.
Apabila seseorang ingin meneliti sebahagian dari elemen yang ada dalam wilayah penelitian, maka
penelitiannya merupakan penelitian sampel.
Arikunto (2002:112) dalam bukunya yang lain berpendapat apabila subjeknya kecil atau kurang dari
100 diambil seluruhnya, sedangkan kalau besar atau lebih dari 100 maka untuk menentukan jumlah
sampel dapat diambil antara 10% - 15% atau 20% -25% atau lebih, tergantung setidak-tidaknya dari:
a. Kemampuan peneliti dilihat dari segi waktu, tenaga dan dana.
b. Sempit atau luasnya wilayah pengamatan dari setiap subjek, karena hal ini menyangkut banyak
sedikitnya data.
c. Besar kecilya resiko yang ditanggung oleh peneliti. Untuk peneliti yang resikonya besar, tentu
saja jika sampel besar, hasilnya akan lebih baik.
Dalam penelitian ini penulis menentukan sampel pegawai yang ditempatakan pada pelaksana tugas
pengadministrasian pada Politeknik Negeri Lhokseumawe yang berjumlah 85 orang.

Metode Pengumpulan Data


Penulisan ini bersifat deskriptif yaitu menguraikan data-data yang penulis peroleh di lapangan
sehingga menggambarkan permasaalahan yang dibahas. Pengumpulan data dilakukan dengan cara
sebagai berikut :
1. Telaah kepustakaan ( Library Review )
Cara ini dilakukan dengan mengumpulkan data secara teoritis dari buku-buku yang ada di
perpustakaan dan literatur-literatur lain.
2. Wawancara ( Interview )
Dalam metode ini penulis melakukan wawancara secara langsung dengan pihak-pihak yang
dapat memberikan informasi tentang data yang penulis butuhkan berkaitan dengan judul yang
diajukan.
3. Angket ( Questioner )

Mengajukan sederetan daftar pertanyaan melalui angket yang diberikan kepada pegawai
mengenai mutasi yang berhubungan dengan penelitian yang dilakukan.
Sumber Data
Data primer merupakan sumber data penelitian yang diperoleh secara langsung dari sumber asli
(tidak melalui media perantara). Data primer secara khusus dikumpulkan oleh peneliti untuk
menjawab pertanyaan penelitian. Data primer dapat berupa opini subjek (orang) secara individual
atau kelompok, hasil observasi terhadap suatu benda (fisik), kejadian atau kegiatan, dan hasil
pengujian. Peneliti dengan data primer dapat mengumpulkan data sesuai dengan yang diinginkan,
karena data yang tidak relevan dengan tujuan penelitian dapat dieliminir atau setidaknya dikurangi.
Data sekunder merupakan sumber data penelitian yang diperoleh peneliti secara tidak langsung
melalui media perantara (diperoleh dan dicatat oleh pihak lain). Data sekunder umumnya berupa
bukti, catatan atau laporan histories yang telah disusun dalam arsip (data dokumenter) yang
dipublikasikan dan yang tidak dipublikasikan.
Teknik Analisis Data
Dalam penelitian ini penulis melakukan analisis data secara diskriptif, bentuk analisis yang
dilakukan dengan cara mengumpulkan data mentah dalam jumlah yang besar sehingga hasilnya
dapat dipelajari dan ditafsirkan secara singkat dan penuh makna yang diperoleh dari tinjauan
kepustakaan, dari pendapat para ahli dan Angket ( Questioner ).
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini melalui pengujian hubungan sebab akibat dengan
menggunakan statistik Regresi Linier Berganda (Multiple Linier Regression) maksudnya untuk
mengetahui seberapa besar pengaruhnya terhadap variable indenpenden dan dependen kepusan kerja
pegawai terhadap mutasi pegawai (memenuhi kebutuhan, memberikan jaminan, tidak terjadi
kejenuhan, motivasi dan kepuasan).
Adapun persamaan tersebut sebagaimana dikemukakan Supranto (181:2000) dapat diformulasikan
dalam model berikut :

= a + b1 X1 + b2 X 2 + b3 X3 + b4 X4 + ei
Dimana : = Kepusan kerja
a
= Konstanta
X 1 = Memenuhi Kebutuhan
X 2 = Memberikan Jaminan
X 3 = Tidak Terjadi Kejenuhan
X 4 = Motivasi dan kepuasan
b1 s.d b4 = Koefisien Regresi
ei = Error Term
10

Untuk mengetahui hasil akhir pengolahan data ini, dilakukan dengan menggunakan
perangkap lunak program SPSS. Data dihimpun melalui Angket ( Quistioner ) yang berisi
seperangkat pernyataan yang dirancang sesuai dengan kebutuhan.
Skala Pengukuran
Cara menjawab angket diajukan kepada responden, mengacu kepada skala likert 5 angka
dengan range sangat tidak setuju sangat setuju.
Sangat Tidak Setuju (STS)
diberi bobot : 1
Tidak Setuju (TS)
diberi bobot : 2
Netral (N)
diberi bobot : 3
Setuju (S)
diberi bobot : 4
Sangat Setuju (SS)
diberi bobot : 5
Definisi Operasional Variabel

Tabel III-1
Definisi Operasional Variabel
No

Variabel / Definisi

1.

Kepusan Kerja ( Variabel Y )


Kepusan Kerja adalah keadaan
emosional yang menyenangkan
atau tidak menyenangkan dengan
mana karyawan memandang
pekerjaan mereka.
(Handoko : 1999)

2.

Manfaat Mutasi (X)


1.1 Memenuhi kebutuhan ( X1 )
Tersedianya
sumberdaya
manusia
yang
dapat
menciptakan
kegairahan,
berprestasi dan keinginan
untuk berkembang
(Simamora : 2000)

Pernyataan
1. Timbulnya kebahagian karyawan
dalam melaksanakan kerja serta
kehidupan pribadi-nya.
2. Pegawai
senantiasa
bersema-ngat
dalam melaksanakan pekerjaan yang
menjadi tanggung jawabnya.
3. Pegawai berupaya selalu dapat
mengatasi
kejenuhan
dalam
melaksanakan pekerjaan.
1. Mutasi yang dilakukan menciptakan
kegairahan kerja bagi setiap pegawai.
2. Pegawai yang berprestasi selalu
mendapatkan
penghargaan
dari
pimpinan
3. Pimpinan memberikan duku-ngan
penuh kepada setiap pegawai untuk
berkembang

1. Pegawai selalu berusaha untuk tetap


menjadi bagian dari organisasi ini
dengan jaminan lembaga
1.2 Memberikan Jaminan (X2)
Jaminan pelaksaan peker-jaan 2. Adanya keyakinan yang kuat dan
penerimaan atas tujuan serta nilaidengan memberikan nilai dan
nilai yang dimiliki oleh organisasi
kompensasi
tempat berkerja
(Simamora : 2000)
3. Adanya kepastian kompensasi
terhadap
apa
yang
menjadi
kewajiban dan haknya
1. Rotasi
pekerjaan
dapat
1.3 Tidak Terjadi Kejenuhan (X3)
dilaksanakan sehingga tidak terjadi
Memberikan
kejenuhan
perputaran/rotasi
dengan 2. Menciptakan budaya kerja yang
budaya kerja serta peningharmonis sesama pegawai.
katan
pengetahuan
dan 3. Adanya program pendidikan dan
pelatihan.
pelatihan
singkat
untuk
11

(Simamora : 2000)

menghindari kejenuhan dalam


berkerja.
1. Mutasi
yang
dilakukan
menimbulkan
motivasi
dan
1.4 Motivasi dan Kepuasan (X4)
kepuasan dalam bekerja
Dorongan untuk melaksana-kan 2. Menumbuhkan cakrawala berfikir
pekerjaan dengan berfikir positif
positif
terhadap
pelaksanaan
dan semangat yang tinggi untuk
pekerjaan
mencapai kepuasan
3. Menimbulkan
semangat
dan
(Simamora : 2000)
pengalaman
baru
dalam
pelaksanakan pekerjaan
Sumber : Data Olahan, 2013
Pengujian Hipotesis
Pengujian hipotesis penelitian ini dilakukan dengan menggunakan uji F dan Uji t. Uji Secara
Simultan (Uji-F) dilakukan untuk menguji hasil regresi terhadap hipotesis secara keseluruhan,
pengujian ini dilakukan pada tingkat keyakinan 95% (d= 5 %) dengan perumusan hipotesis sebagai
berikut berikut :

Ho : R=0
Ho : R0

: Artinya seluruh variabel independen secara bersama-sama (simultan) tidak


berpengaruh terhadap variabel yang diteliti.
: Artinya seluruh variabel independen secara bersama-sama (simultan)
berpengaruh terhadap variabel yang diteliti.

Kriteria untuk menerima dan menolak hiptesis nol (Ho) di atas adalah sebagai berikut :
Jika Fhitung > Ftabel, maka menerima Ha dan menolak Ho
Jika Fhitung < Ftabel, maka menerima Ho dan menolak Ha
Untuk menguji secara parsial (masing-masing) variabel digunakan uji-t pada tingkat keyakinan
(Convidence Interval 95%) atau tingkat kesalahannya (alpha) sebesar 0,05. Adapun formulasi
hipotesisnya adalah sebagai berikut :

Ho : bi=0 : Artinya seluruh variabel independen Xi secara parsial tidak berpengaruh


terhadap variabel yang diteliti.
Ho : bi0 : Artinya seluruh variabel independen Xi secara parsial berpengaruh
terhadap variabel yang diteliti.
Kriteria untuk menerima dan menolak hiptesis nol (Ho) di atas adalah sebagai berikut :
Jika nilai thitung > ttabel
.
Jika nilai thitung < ttabel
Hasil Penelitian dan Pembahasan
Kepuasan kerja dipengaruhi oleh mutasi (memenuhi kebutuhan, memberikan jaminan, tidak terjadi
kejenuhan, motivasi dan kepuasan). Kepuasan kerja dipengaruhi secara positif oleh keempat manfaat
tersebut, hal ini dibuktikan dengan penggunaan analisis regresi yang digunakan untuk menguji
pengaruh keempat manfaat tersebut terhadap kepuasan kerja.
Untuk lebih mengetahui pengaruh dari keempat manfaat tersebut yaitu memenuhi kebutuhan,
memberikan jaminan, tidak terjadi kejenuhan, motivasi dan kepuasan terhadap kepuasan kerja dapat
di lihat pada tabel berikut ini :

12

Tabel IV- 7
Hasil Analisis Regresi Linier Berganda
Pengaruh Mutasi Terhadap Kepuasan Kerja Pegawai
Politeknik Negeri Lhokseumawe
Nilai
No

Faktor

1 Constanta
2 Memenuhi Kebutuhan (X1)
3 Memberikan Jaminan (X2)
4 Tidak Terjadi Kejenuhan (X3)
5 Motivasi dan Kepuasan (X4)
Multiple R = 0.820
R square = 0.672

1,305
0,432
0,509
2,404
0,198
0,032
0,291
0,125
0,066
0,134
Nilai F = 17.776
Sign F = 0.000

Sign t
0,000
0,001
0,003
0,002
0,002

Sumber : Hasil penelitian (diolah) 2012


Tabel IV-7 menunjukkan nilai konstanta 1.305; memenuhi kebutuhan 0,509; memberikan jaminan
0,198; tidak terjadi kejenuhan 0,291 serta motivasi dan kepuasan 0,066. Jika hasil olahan ini
digambarkan kedalam bentuk persamaan regresi sebagai berikut :
Y = 1.305 + 50,9X1 + 19,8X2 + 29,1X3 + 6,6X4

Dari hasil persamaan di atas terlihat bahwa memenuhi kebutuhan yang paling kuat
mempengaruhi mutasi. Memberikan jaminan, tidak terjadi kejenuhan serta motivasi dan
kepuasan dengan nilai regresi yang lebih rendah. Ini berarti responden beranggapan bahwa
manfaat mutasi yang digunakan pada Politeknik Negeri berpengaruh terhadap mutasi.
Dari persamaan tersebut di atas dapat didiskripsikan sebagai berikut:
Konstanta sebesar 1,305 berarti tanpa dipengaruhi oleh variabel-variabel manfaat mutasi,
maka kepuasan kerja pegawai Politeknik Negeri Lhokseumawe dapat terjadi dengan
kemungkinan sebesar 13,05%.
Variabel memenuhi kebutuhan (X1) sebesar 0,509 berarti, setiap perubahan 1% pada
memenuhi kebutuhan maka akan memberikan pengaruh terhadap kepuasan kerja pegawai
Politeknik Negeri Lhokseumawe sebesar 5,09% dengan asumsi variabel yang lain dianggap
konstan.
Variabel memberikan jaminan (X2) sebesar 0,198 berarti, setiap perubahan 1% pada
memberikan jaminan maka akan memberikan pengaruh terhadap kepuasan kerja pegawai
Politeknik Negeri Lhokseumawe sebesar 1,98% dengan asumsi variabel yang lain dianggap
konstan.
Variabel tidak terjadi kejenuhan (X3) sebesar 0,291 berarti, setiap perubahan 1% pada tidak
terjadi kejenuhan maka akan memberikan pengaruh terhadap mutasi pegawai Politeknik
Negeri Lhokseumawe sebesar 2,91% dengan asumsi variabel yang lain dianggap konstan.
Variabel terakhir motivasi dan kepuasan (X4) sebesar 0,066 berarti, setiap perubahan 1%
pada motivasi dan kepuasan maka akan memberikan pengaruh terhadap mutasi pegawai

13

Politeknik Negeri Lhokseumawe sebesar 06,6% dengan asumsi variabel yang lain dianggap
konstan.
Secara keseluruhan semua variabel yang digunakan dalam model (memenuhi kebutuhan,
memberikan jaminan, tidak terjadi kejenuhan, motivasi dan kepuasan) berpengaruh positif terhadap
mutasi pegawai Politeknik Negeri Lhokseumawe.
Nilai R = 0,820 dan nilai significant F = 0,000 yang berarti bahwa koefisien korelasi sebesar 82,0 %
menggambarkan adanya hubungan yang signifikan antara kepuasan kerja pegawai Politeknik Negeri
Lhokseumawe dengan manfaat mutasi (memenuhi kebutuhan, memberikan jaminan, tidak terjadi
kejenuhan, motivasi dan kepuasan).
Nilai R Square (R) atau Koefisien Determinasi = 0,672 yang berarti bahwa model yang digunakan
dalam penelitian mampu menjelaskan hasil penelitian sebesar 67,2% sedangkan sisanya sebesar
32,8% ditentukan oleh variabel lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini, misalnya memenuhi
keinginan, situasi barui dan lain-lain.
Pembuktian Hipotesis
Pengujian hipotesis dilakukan dengan menggunakan uji t dan uji F. Melalui hasil uji t (uji secara
parsial) dari keempat manfaat mutasi yang ada, memenuhi kebutuhan nilai t = 0.432 dan significant
= 0,000. Hal ini berarti memenuhi kebutuhan dipilih oleh hampir seluruh responden sebagai manfaat
mutasi yang memberikan pengaruh yang paling besar terhadap kepuasan kerja pegawai Politeknik
Negeri Lhokseumawe.
Hasil uji F pada alpha 0,05 diperoleh nilai F hitung = 17.776 dan nilai signifiqant F sebesar 0,000
menunjukkan ada variabel independent, sekurang-kurangnya satu, memberikan kontribusi untuk
memprediksi nilai variabel dependen kepuasan kerja.
Dari hasil uji t dan uji F dapat disimpulkan bahwa Hi dapat diterima. Karena nilai koefesien regresi
significant, maka persamaan regresi yang dihasilkan dapat digunakan untuk memprediksi atau
mengestimasi nilai kepuasan kerja. Artinya bahwa keempat manfaat mutasi tersebut yaitu memenuhi
kebutuhan, memberikan jaminan, tidak terjadi kejenuhan, serta motivasi dan kepuasan, secara
bersama-sama ataupun parsial mempengaruhi kepuasan kerja secara positif.
Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai
berikut :
1. Manfaat mutasi kerja pegawai Politeknik Negeri Lhokseumawe adalah memenuhi kebutuhan,
memberikan jaminan, tidak terjadi kejenuhan, motivasi dan kepuasan.

2. Besarnya pengaruh untuk masing-masing manfaat mutasi terhadap kepuasan kerja


adalah (X1) sebesar 0,509 poin, untuk memenuhi kebutuhan, (X2) sebesar 0,198 poin,
untuk memberikan jaminan,(X3) sebesar 0,291 poin, untuk tidak terjadi kejenuhan dan
terakhir (X4) sebesar 0,066 poin untuk motivasi dan kepuasan.
3. Mutasi atas dasar kebutuhan memberikan pengaruh yang sangat dominan terhadap kepuasan
kerja pegawai Politeknik Negeri Lhokseumawe jika dibandingkan dengan ketiga manfaat
yang lain, hal ini terlihat dari nilai koefisien terbesar dari persamaan linier yang ada yaitu
sebesar 0,509.
Saran-saran
Adapun saran-saran yang dapat penulis sampaikan sebagai berikut :
1. Hasil Penelitian sebagaimana dituangkan dalam kesimpulan menunjukkan bahwa yang lebih
dominan mempengaruhi mamfaat mutasi terhadap kepuasan kerja adalah memenuhi
14

kebutuhan. Untuk itu penulis menyarankan agar dalam melakukan mutasi hal ini dapat
dijadikan sebagai dasar pertimbangan sehingga mutasi yang dilakukan tepat sasaran.
2. Pimpinan dalam
sebuah lembaga hendaknya dapat memberikan pengayoman serta
mengarahkan setiap bawahan untuk mencapai tujuan perusahaan yang telah ditentukan serta
bermanfaat bagi lembaga dan pegawai bersangkutan.
3. Seorang pimpinan harus bijak dan terarah dalam menentukan mutasi sehingga tidak menjadi
masalah dikemudian hari apalagi menimbulkan konflik.
Daftar Pustaka
Andrew F.Sikula (1997), (online).
Buediono. (1997) Metode Riset Aplikasinya Dalam Pemasaran, Edisi Revisi ke 6, PT. Rineka Cipta,
Jakarta.
Efendi, Marihot Tua (2002) Manajemen Sumberdaya Manusia : Pengadaan, Pengembangan,
Pengkompensasian, dan Peningkatan Produktifitas Pegawai, P.T Garamedia Widiasarana.
Jakarta.
Hasibuan, SP Malayu. (2008) Manajemen Sumber Daya Manusia, Edisi Revisi. Bumi Aksara.
Hasibuan, SP Malayu. (1997) Manajemen Sumber Daya Manusia, PT. Gunung Agung. Jakarta.
Handoko, T.H, (1999) Standar Umum Kepegawaian, Bumi Aksara, Jakarta.
Hasibuan, M.S.P (1997) Manajemen Sumber Daya Manusia, PT. Gunung Agung, Jakarta.
Henry Simamora, ( 2000) Manajemen Sumber Daya Manusia, Edisi Revisi. Bumi Aksara, Jakarta.
Husen, Umar (2003) Evaluasi Kinerja Perusahaan, PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Kuncoro, Mudrajat (2003) Metode Riset untuk bisnis dan Ekonomi. Erlangga, Jakarta.
Mudjiono, (2008) Sistem Kepagawaian Daerah, (online).
Munir, AS, (1995) Manajemen Pelayanan Umum Indonesia, Bumi Aksara. Jakarta.
Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2002 tentang Perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 99
Tahun 2000 tentang kenaikan Pangkat PNS
Sastro Hadiwiryo. (2002) Manajemen Personalia Yogyakarta, BPFE, Yogyakarta.
Siswandi, (1999) Manajemen Sumber Daya Manusia, (online).
Suharsimi Arikunto. (1998) Prosedur Penelitian, Cetakan 11 Edisi Revisi IV, PT. Rineka Cipta,
Jakarta.
Siswandi, (1999) Manajemen Sumber Daya Manusia, (online)
Suratman, (1998) Manajemen Sumber Daya Manusia, (online).
Sondang P.Siagian. (2003), Manajemen Sumberdaya Manusia. Cetakan 10, Bumi Aksara, Jakarta.
Sondang P.Siagian. (2001) Kiat Meningkatkan Produktivitas Kerja. PT. Rineka Cipta, Jakarta.
15

Sondang P.Siagian. (2001) Manajemen Sumber Daya Manusia, Bumi Aksara, Jakarta.
Tanjung, H. dan S. Rahmawati (2003) Pengembangan Sumberdaya Manusia Diktat pada Fakultas
Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Vithzal Rivai (2003), (online).
Wahyudi, (1995) Manajemen Personalia Perusahaan (online).

16

ISSN : 2303-0542
MODEL KEBIJAKAN PENGENTASAN KEMISKINAN
DI KABUPATEN ACEH UTARA
Asnawi
asnawiabd@yahoo.com
Fakultas Ekonomi, Universitas Malikusaleh
Aiyub
aiyubmd 64@yahoo.co.id
Fakultas ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Malikussaleh
Abstract
The research aimed to avaluate the implementation of poverty alleviation programs and produce a
model of poverty alleviation policies in pro North Aceh regency. The research uses a quantitative
approach to the entire population of poor house hold and the sample selected based Slovin. Analysis
of data using multiple regression models. The results of the indicator-based and asset-based income
that govertnment policies (dominant relief, ie 90% and non-govertnment organizations with the
amount of aid by 10 %). Poverty reduction policies by government and non-govertnmen agencies
North Aceh, affect the increase income based namely the dominant variable that appear, is help
Raskin, capital and cash transfers and subsiders. Howover, the influence of dominant variable is
still moving in-elasticity, which help Raskin at 0.062, 0.996 for financial aid and cash transfers and
subsidies amounted to 0.133. While poverty reduction policies are not dominant housing assistance,
with, the value in-elasticity of 0.133. Poverty reduction policies by government and non-govertnmen
agencies North Aceh, affect the increase in asset-based, which is the dominant variable donated
nets, boots, charity and credit facilities. Howeover, the influence of these variables is also engaged
inelastic, that is equal to 0.817. Meanwhile, poverty alleviation policy is not dominant; seeds of 0.007, fertilizer and medicine for 0.010.
Keywords: Model Policy, Poverty
Latar Belakang
Kemiskinan adalah suatu fenomena dan penyakit sosial dalam masyarakat sebuah negara. Dampak
dari kemiskinan adalah dapat membatasi rakyat untuk memperoleh pekerjaan dan hak rakyat untuk
mengakses kebutuhan hidup, selain itu dampak kemiskinan tidak dapat memperoleh pendidikan,
membiayai kesehatan, pengangguran yang semakin meningkat dan kemiskinan menyebabkan
masyarakat tidak mampu memenuhi pangan, sandang dan papan. Maka, usaha pengentasan
kemiskinan seharusnya bertujuan mengurangi jumlah orang miskin dan kesenjangan sosial di dalam
masyarakat (Hasrul Harahap, 2011). Bila ditelaah dari sudut teori, kemiskinan ditimbulkan oleh
kemiskinan natural yaitu, miskin tidak memiliki sumber daya alam. Miskin struktural adalah miskin
yang diciptakan oleh struktural manajemen pengelolaan pemerintahan dalam pembangunan yang
tidak tepat dan miskin warisan merupakan miskin keturunan, sejak dilahirkan sudah miskin (Oscar
Lewis, Selo Sumarjan, 1977). Kabupaten Aceh Utara mempunyai angka kemiskinan tertinggi bila
dibandingkan dengan kabupaten/kota lainnya di Provinsi Aceh, yaitu serbesar 42,5 % dan memiliki
sebanyak 850 gampong (Aceh Utara dalam Angka, 2007-2009).
Kemiskinan di Kabupaten Aceh Utara 80 % berada di daerah pedesaan. Dilematika kemiskinan di
Kabupaten Aceh Utara sampai saat ini masih belum tepat dicari solusi pemecahan, baik oleh
pemerintah, masyarakat ataupun lembaga non pemerintah (NGOs). Dari aspek political will
pemerintah Kabupaten Aceh Utara dan peranan partai politik, termasuk partai politik incumbent, isu
kemiskinan masih kurang mendapat perhatian dan rendahnya komitmen yang tercermin dalam
agenda kebijakan pengentasan kemiskinan, sebagaimana tertuang dalam Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBK), di mana program-program yang disusun oleh pemerintah untuk
mengentasakan kemiskinan belum begitu berpihak kepada rakyat miskin, ini dapat memberi kesan
17

bahwa kemiskinan memang seperti terabaikan. Implementasi dari hal tersebut dapat tergambarkan
dari alokasi belanja aparatur sebesar 60 % dan 40 % untuk belanja publik (PDRB Kabupaten Aceh
Utara, 2011).
Agenda yang mungkin dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut, adalah dengan menawarkan model
kebijakan peningkatan kesejahteraan yang meliputi program income based, berupa bantuan
insidentil (darurat), asset based yang berupa pengadaan kebutuhan dasar bidang pertanian.
Selanjutnya, menciptakan lapangan kerja dan peningkatan produktivitas dalam penggunaan lahan,
dengan usaha peningkatan teknologi, inovasi pertanian serta perluasan pemasaran hasil. Namun,
dalam realita pengentasan kemiskinan di Kabupaten Aceh Utara dengan berbagai kebijakan yang
telah dilaksanakan belum pernah menyentuh aspek-aspek yang telah ditawarkan dan tidak
terintegrasi dalam sebuah kebijakan yang komprehensif.
Permasalahan
Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah dipaparkan diatas maka rumusan masalah
dalam penelitian ini adalah: Apakah kebijakan pengentasan kemiskinan dalam bentuk income based,
asset based, employment based dan productivity based berpengaruh terhadap upaya pengentasan
kemiskinan di Kabupaten Aceh Utara ?
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah mengevaluasi kebijakan pengentasan kemiskinan dan menghasilkan
model kebijakan yang pro masyarakat miskin di Kabupaten Aceh Utara.
Data dan Sumber
Data yang diperlukan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data skunder. Data primer
diperoleh dari hasil penyebaran quesioner kepada responden dengan teknik wawancara terstruktur,
sedangkan data skunder diperoleh dengan cara studi dokumentasi yaitu dengan mempelajari
berbagai dokumen resmi seperti, data Aceh Utara Dalam Angka, Rencana Pembangunan Jangka
Panjang Daerah (RPJP-D) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJM-D), Dokumen
Anggaran (APBK), dan Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) tahunan dan lima
tahunan (2007-2012) Bupati Aceh Utara.
Teori dan Metodologi
Secara umum istilah kebijakan digunakan untuk menunjuk perilaku seseorang aktor atau sejumlah
aktor dalam suatu bidang kegiatan tertentu. Arti dari kebijakan di atas sering digunakan untuk
keperluan biasa saja, namun secara ilmiah dan sistematis memerlukan batasan-batasan atau konsep
kebijakan publik yang lebih tepat.
Pengertian kebijakan publik dalam Muklir,at.al (2008),
mendefinisikan kebijakan publik sebagai berikut: public policy whatever governments choose do or
not to do. (kebijakan publik adalah apa saja pilihan yang di tetapkan oleh pemerintah untuk
dilakukan atau tidak di lakukan.
Carl J. Fredrick dalam J.E. Anderson (1984), menulis definisi: public policy si a proposed course of
action of a person, group or government eithin a given environment providing obstachles and
opportunities which the policy was proposed to utilize and overcome in an effort to reach a goal or
realize an objective or a purpose (kebijakan publik adalah suatu arah tindakan yang di usulkan pada
seseorang, golongan, atau pemerintah dalam suatu lingkungan dengan suatu halangan-halangan dan
kesempatan-kesempatannya, yang diharapkan dapat memenuhai dan mengatasi halangan tersebut
dalam rangka mencapai cita-cita atau mewujudkan suatu kehendak serta suatu tujuan tertentu).
Kebijakan publik dapat dibagi berdasarkan bentuknya menjadi dua kelompok. Kelompok pertama
adalah yang bentuknya penyediaan barang dan jasa. Sementara kelompok kedua adalah yang
bentuknya regulasi. Lebih jauh lagi, kebijakan publik yang bentuknya regulasi juga dikategorikan
menjadi dua, yaitu regulasi yang sifatnya infrastruktur dan yang sifatnya suprastruktur. Sementara
18

yang termasuk kategori suprastruktur misalnya regulasi tentang transparansi, akuntabilitas dan
proses perencanaan. Yang termasuk kategori infrastruktur misalnya regulasi tentang pelayanan
publik dasar, alokasi anggaran (APBD), standar pendidikan dan pengentasan kemiskinan.
Kemiskinan tidak lagi hanya dianggap sebagai dimensi ekonomi melainkan telah meluas hingga
kedimensi sosial, kesehatan, pendidikan dan politik. Kemiskinan merupakan masalah multidimensi
yang sangat kompleks, bukan hanya diukur dari pendapatan, tetapi juga menyangkut kerentanan dan
kerawanan orang atau sekelompok orang baik laki-laki maupun perempuan untuk menjadi miskin.
Cara pandang yang berbeda akan menentukan pemahaman tentang kondisi, sifat dan konteks
kemiskinan, bagaimana sebab-sebab kemiskinan dapat diidentifikasi, dan bagaimana masalah
kemiskinan dapat diatasi. Agar upaya penanggulangan kemiskinan dapat dilakukan secara tepat, hal
pertama yang harus dilakukan adalah elaborasi pengertian kemiskinan secara komprehensif.
Hall Antony dan Midgley (2004), menyatakan kemiskinan dapat didefenisikan sebagai kondisi
deprivasi materi dan sosial yang menyebabkan individu hidup di bawah standar kehidupan yang
layak, atau kondisi di mana individu mengalami deprivasi relatif dibandingkan dengan individu yang
lainnya dalam masyarakat. Kemiskinan didefenisikan sebagai ketidaksamaan kesempatan untuk
mengakumulasikan basis kekuasaan sosial. Basis kekuasaan sosial meliputi (tidak terbatas pada)
modal yang produktif atau assets (misalnya tanah, perumahan, peralatan, kesehatan, dan lainnya)
sumber-sumber keuangan, organisasi sosial danm politik yang dapat digunakan untuk mencapai
kepentingan bersama, jaringan social untuk memperoleh pekerjaan, barang-barang; pengetahuan,
keterampilan yang memadai dan informasi yang berguna (Friedmann, 1979).
Pengertian kemiskinan memiliki dimensi meliputi ekonomi, sosial-budaya dan politik. Dimensi
kemiskinan yang bersifat ekonomi memandang kemiskinan sebagai ketidakmampuan dalam
memenuhi kebutuhan material manusia seperti pangan, sandang, papan dan sebagainya. Dimensi ini
dapat diukur dengan nilai uang meskipun harganya akan selalu berubah tergantung pada tingkat
inflasi yang terjadi. Dimensi sosial dan budaya memandang kemiskinan sebagai pelembagaan dan
pelestarian nilai-nilai apatis, apolitis, fatalistik, ketidakberdayaan dan sebagainya. Dalam kategori
ini,
lapisan
masyarakat
miskin
akan
membentuk
kantong-kantong
kebudayaan
kemiskinan.Sedangkan dimensi politik melihat kemiskinan sebagai ketakmampuan masyarakat
dalam mengakses proses-prosepolitik karena tidak adanya lembaga yang mewakili kepentingan
mereka menyebabkan terhambatnya kelompok masyarakat memperjuangkan aspirasinya. Dimensi
kemiskinan berimplikasi pada upaya untuk mendefinisikan kemiskinan, termasuk ukuran-ukuran
yang digunakan.
Penanggulangan kemiskinan yang selama ini terjadi memperlihatkan beberapa kekeliruan
paradigmatik, antara lain pertama, masih berorientasi pada aspek ekonomi daripada aspek
multidimensional. Penanggulangan kemiskinan dengan fokus perhatian pada aspek ekonomi terbukti
mengalami kegagalan, karena pengentasan kemiskinan yang direduksi dalam soal-soal ekonomi
tidak akan mewakili persoalan kemiskinan yang sebenarnya. Dalam konteks budaya, orang miskin
diindikasikan dengan terlembaganya nilai-nilai seperti apatis, apolitis, fatalistik, ketidakberdayaan,
dan sebagainya. Sementara dalam konteks dimensi struktural atau politik, orang yang mengalami
kemiskinan ekonomi pada hakekatnya karena mengalami kemiskinan struktural dan politis. Kedua,
lebih bernuansa karitatif (kemurahan hati) ketimbang produktivitas.
Kemiskinan merupakan masalah bersama yang harus ditangani secara bersama-sama pula.
Meletakkan permasalahan kemiskinan semata-mata sebagai tugas dan tanggung jawab pemerintah
merupakan hal yang kurang bijak. Pada faktanya, pemerintah yang sudah bergelimang kekuasaan
dan kenyamanan sangat rentan dengan masalah inefesiensi, konflik kepentingan, korupsi, dan
berbagai masalah lain. Sejauh ini, pemerintah masih belum mampu menuntaskan masalah-masalah
tersebut. Namun, hal ini juga tidak berarti pemerintah bebas untuk melepaskan tanggung jawab
dalam menyelesaikan masalah kemiskinan. Konstitusi sudah dengan jelas mengamanatkan tugas
19

pemerintah untuk mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakatnya, demikian juga amanat founding
fathers yang termaktub pembukaan UUD 1945 alinea keempat sebagai visi kebangsaan Indonesia.
Di kebanyakan negara yang sedang membangun, kemiskinan sebagian besar dialami masyarakat di
pedesaan. Hasil pengamatan McQuibria (dalam Hasibuan, 1977) mengemukakan karakteristik
kemiskinan di Asia Tenggara dan Asia Selatan, adalah; (a) kemiskinan lebih banyak ditemui
dipedesaan daripada perkotaan, (b) kemiskinan berkorelasi positif dengan jumlah anggota keluarga
dan berkorelasi negatif dengan jumlah pekerja dalam suatu keluarga, (c) kemiskinan ditandai oleh
rendahnya pemilikan aset keluarga, (d) pertanian menjadi sumber penghasilan utama bagi rumah
tangga miskin, (e) kemiskinan berkaitan dengan masalah sosial budaya yang dinamis.
Oscar Lewis (dalam Antjok, 1995) mengemukakan kemiskinan adalah penderitaan ekonomi dalam
bentuk enam kondisi, yaitu; (1) sistem ekonomi uang, buruh upahan dan sistem produksi untuk
keuntungan, (2). Pengangguran dan pengganguran tenaga skil, (3) upah buruh rendah, (4) tidak
berhasilnya golongan berpenghasilan rendah dalam meningkatkan status sosial, (5) sistem keluarga
bilateral dan (6) masih kuatnya perangkat nilai-nalai kelas dalam masyarakat miskin. Dillon (1993)
berpendapat bahwa kemiskinan adalah suatu proses, sedangkan pendapat lain mengemukakan
kemiskinan adalah fenomena dalam masyarakat. Kemiskinan suatu proses yaitu kegagalan dalam
mengalokasikan sumber daya secara adil atau dapat dipandang kemiskinan sebagai kegagalan
kelembagaan pasar (bebas). Kemudian kemiskinan sebagai fenomena adalah ketidakmampuan
sebagian masyarakat yang tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar.
Ramli (2011) mengemukakan sebab-sebab munculnya kemiskinan, pertama kemiskinan
kebudayaan;biasanya disebabkan oleh kesalahan pada subyeknya, seperti tidak percaya diri, malas
dan tidak memiliki jiwa wiraswasta, kedua, kemiskinan struktural yang disebabkan oleh faktor
eksternal yang melatarbelakangi kemiskinan itu sendiri, seperti pemerintah yang tidak adil, korupsi,
paternalistik, birokrasi yang berbelit dan sebagainya. Isbandi Rukminto Adi di dalam Ramli (2011)
menyebutkan akar kemiskinan; diantaranya, pertama dimensi makro mentalitas materialistic dan
ingin serba cepat, kedua dimensi mezzo lemahnya kepercayaan sosial di dalam suatu komunitas dan
organisasi, ketiga dimensi makro ketidakadilan pembangunan daerah yang minus (desa) dengan
daerah yang surplus (kota), keempat, dimensi global ketidakseimbangan antar negara yang sedang
berkembang dengan negara berkembang.
Upaya pengentasan kemiskinan telah dilakukan di berbagai negara, namun kemiskinan belum
terkikis hingga sekarang. Ini dapat diasumsikan bahwa kebijakan dan keterlibatan dalam upaya
pengentasan kemiskinan masih menggunakan kebijaksanaan yang belum tepat, sesuai dengan
kondisi dan potensi mayarakat di wilayah atau negara yang menderita miskin. Antjok (1995)
mengemukakan strategi pengentasan, adalah; (1) kebijakan yang menguntungkan masyarakat
miskin, tertutama harga produk pertanian yang memadai serta peluang kerja, (2) investasi pelayanan
dalam bidang infrastruktur fisik dan sosial, (3) penyediaan teknologi bagi si miskin, (4) peran
kelembagaan yang efektif, seperti; NGO dan konsultan yang memberi pelayanan untuk
meningkatkan produktivitas kerja dan kualitas hidup.
Dalam upaya pengentasan kemiskinan, sebenarnya pemerintah tidak boleh sendirian sebagi institusi
pelayanan, tetapi harus bersama-sama dengan merangkul NGO,akademisi, pihak swasta dan partai
politik dalam menyusun suatu model kebijakan yang tepat untuk pengentasan kemiskinan agar
mencapai sasaran. Kartasasmita (1996) mengemukakan perubahan pemikiran tentang pengentasan
kemiskinan, yaitu; (1). Bahwa birokrasi harus dapat membangun partisipasi masyarakat yang
berlandaskan kesadaran bukan paksaan, (2) membuat konsep pembangunan yang berpihak pada
yang lemah dan kurang berdaya, karena konsep netral saja tidak cukup, (3) hanya bergesernya peran
aparatur negara dalam mengendalikan, menjadi memberdayakan, (4) mengembangkan keterbukaan
dan tanggung jawab.

20

Lokasi Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Aceh Utara dengan pertimbangan daerah ini memiliki
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) atau disebut dengan APBK lebih besar (Rp 2,3
Triliun, tahun 2009) bila dibandingkan dengan kabupaten/kota lainnya di Provinsi Aceh. Namun
dilematika yang terjadi angka kemiskinan lebih tinggi (42,5%). Hal ini berkaitan dengan model
kebijakan pengentasan kemiskinan melalui alokasi anggaran yang pro rakyat miskin.
Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menganut paradigma positivisme dengan pendekatan kuantitatif yang bersifat
penelitian penjelasan (explanatory research). Logika yang dibangun dalam penelitian ini adalah
logika deduktif yang berangkat dari teori ke fakta empiris berdasarkan pada pengujian teori yang
terdiri dari variabel-variabel, diukur dengan angka dan dianalisis dengan prosedur statistik untuk
melakukan generalisasi terhadap hasil penelitian.
Variabel Penelitian
Variabel merupakan fenomena yang dapat di ukur atau diamati karena memiliki nilai atau kategori
(Silalahi, 2009:132). Penelitian untuk indikator pengentasan kemiskinan Income Based memiliki
empat variabel bebas dan satu variabel terikat. Keempat variabel terikat adalah : Income Based
(INC), Sedangkan variabel bebas adalah bantuan raskin (RAS), bantuan modal (MD), bantuan rumah
(DFA) dan bantuan langsung tunai dan subsudi BBM (BML) Kemudian untuk indikator kemiskinan
Asset Based memiliki satu variabel terikat, yaitu Aset Based (AST), sedangkan variabel bebas adalah
bantuan bibit (BBT), bantuan pupuk dan obat-obatan (PO) dan bantuan lainnya, berupa jaring, boat,
zakat dan fasilitas kredit (SUB). Variabel income based adalah bantuan darurat yang diberikan
kepada masyarakat miskin untuk mengatasi masalah sesaat karena dampak dari kebijakan publik
dan situasi yang tidak menguntungkan untuk membantu meningkatkan pendapatan. Asset based
adalah penyediaan sarana dan prasarana fisik dan non fisik bagi masyarakat miskin untuk
meningkatkan produksi.
Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh rumah tangga miskin (RTM) di Kabupaten Aceh Utara,
yang tersebar di 25 kecamatan dengan jumlah 57431 rumah tangga miskin. Sampel ditentukan
dengan metode Slovin (Husein Umar, 2000), dengan jumlah sampel 610
Pemilihan sampel berdasarkan probability sampling, dimana setiap elemen dari populasi
mendapatkan kesempatan yang sama untuk dipilih sebagai sampel. Sedangkan kriteria sampel
digunakan sampel acak sederhana, karena populasi relatif bersifat homogen, tersedia kerangka
sampling atau kerangka populasi.
Teknik Analisis Data
Untuk mengkaji pengaruh model kebijakan yang ditawarkan, maka analisis data menggunakan
pendekatan statistik regresi berganda, yaitu:
Untuk Income Based, sebagai indikator pengentasan kemiskinan, yaitu:
INC = + 1LnRAS + 2LnMD+ 3LnDFA +4LnBML +e
(1)
di mana;
INC = Income Based
RAS = Bantuan Raskin
MD = Bantuan Modal
DFA = Bantuan Rumah
BML = Bantuan Darurat, berupa Bantuan Langsung Tunai, Subsidi BBM
e = error term
= konstanta
1, 2, 3 dan 4 = koefisien regresi
21

Untuk Aset Based, sebagai indikator pengentasan kemiskinan, yaitu:


AST = + 1LnBBT + 2LnPO+ 3LnSUB +e
di mana;
AST = Aset Based
BBT = Bantuan Bibit
PO = Bantuan Pupuk dan Obat-Obatan
SUB = Bantuan lainnya, berupa jaring, boat, zakat, dan fasilitas kredit
e = error term
= konstanta
1, 2 dan 3 = koefisien regresi

(2)

Analisis dan Kebijakan


Penelitian tentang model kebijakan pengentasan kemiskinan di kabupaten Aceh Utara dilakukan dua
periode (tahun pertama dan tahun ke dua). Untuk tahun pertama hanya dapat diselesaikan dua model
dalam pengentasan kemiskinan, yaitu model Income Based dan Asset Based. Sedangkan tahun kedua
model employment based dan productivity based. Berdasarkan data quesioner yang diolah dengan
program SPSS, hasil dari model income based adalah, sebagai berikut :
Tabel 1
Model Summary
Model

Adjusted
R Square Square

R Std. Error of the


Estimate

1
.914a
.836
.807
.03776
a. Predictors: (Constant), BML, RAS, DFA, MD
Tabel IV-1 dapat dijelaskan, bahwa nilai koefisien diterminasi (R adjust) didapatkan sebesar 0,807
yang berarti besarnya hubungan variabel, bantuan raskin (RAS), bantuan modal (MD), bantuan
rumah (DFA) dan bantuan langsung tunai dan subsidi BBM (BML) terhadap variabel income based
(INC) adalah sebesar 80,7 % dan selebihnya dipengaruhi oleh variabel lain diluar model. Nilai
Fhit0,05=29,289 > Ftab0,05 = 4,11 ini berarti bahwa secara signifikan variabel bantuan raskin
(RAS), bantuan modal (MD), bantuan rumah (DFA) dan bantuan langsung tunai dan subsidi BBM
(BML) secara bersama-sama berpengaruh secara signifikan terhadap income based (INC)
Berdasarkan tabel IV-2 didapati, nilai koefisien bantuan raskin (RAS) sebesar 0,061 artinya faktor
bantuan raskin (RAS) ditingkatkan 1 % dapat meningkatkan Income Based sebesar 6,1 % atau
koefisien bantuaan raskin (RAS) berpengaruh positif dan in-elastis terhadap income based, dimana
thit0,05 =2,114 > ttab 0,05 = 2,052 artinya bahwa secara signifikan variabel bantuan raskin (RAS)
berpengaruh terhadap variabel income based (INC) , dengan asumsi variabel lainnya tetap. Koefisien
variabel bantuan model (MD) sebesar 0, 996 artinya 1 % peningkatan bantuan modal dapat
meningkatkan income based (INC) sebesar 99,6 % atau dengan kata lain bantuan modal berpengaruh
secara elastis terhadap income based, dimana thit0,05 = 8,126 > ttab0,05 = 2,052 artinya secara
signifikan bantuan modal (MD) berpengaruh terhadap income based (INC).
Tabel 2
Coefficientsa
Standardized
Unstandardized Coefficients Coefficients

Std. Error

(Constant)

-2.348

2.016

RAS

.061

.029

Model

Beta
.204

Sig.

-1.164

.256

2.114

.046
22

MD

.996

.123

.959

8.126

.000

DFA

.014

.015

.080

.928

.363

BML
.133
a. Dependent Variable: INC

.048

.307

2.744

.012

Deskrpsi pada tabel IV-2 dapat dijelaskan bahwa koefisien bantuan rumah (DFA) sebesar 0,014
artinya terjadi pengararuh secara in-elastis atau peningkatan bantuan rumah (DFA) sebesar 1 %
hanya dapat meningkatkan peningkatan income based di wilayah penelitian sebesar 1,4 % atau
thit0,05= 0,928 < ttab0,05=2,052 artinya bantuan rumah (DFA) tidak berpengaruh secara signifikan
terhada income based (INC) dan koefisien bantuan langsung tunai dan subsidi BBM (BML) adalah
sebesar 0,133 artinya juga berpengaruh secara in-elastis terhadap peningkatan bantuan langsung
tunai dan subsidi BBM (BML) di wilayah penelitian hanya sebesar 1,33 % terhadap income based
(INC) atau thit0,05= 2,744 < ttab0,05= 2,052 yang berarti pengaruh bantuan tunai dan subsidi BBM
signifikan positif mempengaruhi income based (INC).
Selanjutnya, didapati hasil pengolahan data quesioner dengan SPSS terhadap model aset based
(AST), dimana, pada tabel IV-3 menumjukan hubungan daripada variabel bantuan bibit (BBT),
bantuan pupuk dan obat-obatan (PO) dan bantuan berupa jaring, bot, zakat dan fasilitas kredit (SUB)
terhadap terhadap aset based. Nilai koefisien diterminasi (R adjust) didapatkan sebesar 0,617 yang
berarti bahwa besarnya hubungan variabel bantuan bibit (BBT), bantuan pupuk dan obat-obatan
(PO) dan bantuan berupa jaring, bot, zakat dan fasilitas kredit (SUB) terhadap aset based sebesar
61,7 % dan selebihnya dipengaruhi oleh faktor lain di luar model. Nilai Fhit0,05=15,501 > Ftab =
4,11 ini berarti bahwa secara signifikan variabel bantuan bibit (BBT), bantuan pupuk dan obatobatan (PO), dan bantuan berupa jaring, bot, zakat dan fasilitas kredit (SUB) secara bersama-sama
berpengaruh secara signifikan terhadap aset based (INC).
Tabel 3
Model Summary
Model

R Square

.1
.812a
.660
a. Predictors: (Constant), SUB, BBT, PO

Adjusted R
Square

Std. Error of the


Estimate

.617

.06454

Selanjutnya, pada tabel IV-4 nilai koefisien bantuan bibit sebesar -0,007 artinya jika bantuan bibit
(BBT) berpengaruh negatif yang in-elastis terhadap peningkatan aset based, dimana 1 % kenaikan
bantuan bibit dapat berpengaruh terhadap asset based (AST) sebesar 0,7 % atau thit0,05 = -0,057 <
ttab0,05 = -2,052 artinya bantuan bibit (BBT) tidak berpengaruh secara signifikan terhadap aset
based (AST). Koefisien bantuan pupuk dan obat-obatan (PO) dengan nilai sebesar 0,010 yaitu
pengaruh yang in elastis dan positif terhadap peningkatan aset base di wilayah penelitian, dimana
penambahan bantuan pupuk dan obat-obatan (PO) sebesar 1 % dapat meningkatkan penambahan
aset based (AST) sebesar 1% atau thit0,05= 0,055 < ttab0,05= 2,052 artinya bantuan pupuk dan
obat-obatan (PO) tidak berpengaruh secara signifikan terhadap aset based (AST).
Tabel 4
Coefficientsa
Standardized
Unstandardized Coefficients Coefficients
Model

Std. Error

1 (Constant)

3.353

2.314

-.007

.124

BBT

Beta
-.007

Sig.

1.449

.160

-.057

.955
23

PO

.010

SUB
.817
a. Dependent Variable:
AST

.186

.009

.055

.957

.162

.806

5.058

.000

Berdasarkan tabel IV-4 didapati nilai koefisien bantuan berupa jaring, bot, zakat dan fasilitas kredit
(SUB) sebesar 0,817 ini berarti bahwa jika bantuan berupa jaring, bot, zakat dan fasilitas kredit
(SUB) sebesar 1 % dapat meningkatkan asset based (AST) sebesar 81,7 % atau pengaruh secara
positif dan elastis terhadap peningkatan asset bassee (AST). thit0,05= 5,058 < ttab0,05= 2,052
artinya bantuan berupa jaring, bot, zakat dan fasilitas kredit (SUB) berpengaruh secara positif dan
signifikan terhadap aset based (AST).
Dari hasil penelitian terhadap indikator income based dan aset based bahwa kebijakan pemerintah
(dominan bantuan, yaitu 90 % dan Lembaga non pemerintah dengan jumlah bantuan sebesar 10%).
Namun bantuan rumah tidak begitu berpengaruh atau angka elastisitasnya sangat kecil terhadap
peningkatan pendapatan masyarakat (income based) di kabupaten Aceh Utara, ini karena orientasi
bantuan lebih difokuskan pada masyarakat miskin yang tidak lagi produktif, sehingga bantuan
tersebut hanya menjadi aset tetap yang dapat digunakan sebagai modal untuk peningkatan produksi
dalam meningkatkan pendapatan masyarakat (income based).
Bantuan raskin berpengaruh secara signifikan terhadap peningkatan pendapatan masyarakat di
kabupaten Aceh Utara, ini dikarenakan sehubungan dengan kenaikan harga beras yang terus
meningkat, maka pengadaan bantuan beras raskin akan dapat mengurangi pengeluaran untuk
konsumsi beras yang mutlak harus selalu tersedia sebagai kebutuhan pokok yang rutin. Namun
angka elastisitas lebih kecil terhadap peningkatan income based (pendapatan masyarakat), ini
dikarenakan bantuan raskin tidak diberikan kepada masyarkat miskin secara utuh, disebabkan
adanya uang tebusan (berupa biaya trasportasi dan administrasi proses penyaluran
bantuan).Selanjutnya penyaluruan beras raskin sifatnya dibagi rata, sehingga tidak tepat untuk
masyarakat miskin saja.
Modal usaha signifikan mempengaruhi terhadap peningkatan pendapatan (income based), namun
masih in elastis pengaruhnya terhadap income based, ini dikarenakan, ini dikarenakan barang modal
dari bantuan yang diberikan; (1) kurang pemerliharaan, (2) tidak optimal difungsikan untuk
peningkatan produktivitas, karena diberikan secara berkelompok dan bukan secara individu.
Kemudian bantuan modal yang diberikan kurang tepat sasaran, terhadap usaha yang digeluti oleh
penerima bantuan modal usaha, hal ini dikarenakan, bahwa pemberian bantuan modal tidak
berdasarkan studi kelayakan bisnis dengan tepat. Kemudian bantuan modal yang diberikan tidak ada
monitoring dan evaluasi terhadap kondisi usaha dari modal yang diberikan.
Biaya langsung tunai dan subsidi BBM (BML) signifikan positif mempengaruhi terhadap
peningkatan Income Based (INC), namun peningkatan yang in elastis. Ini dikarenakan bantuan tunai
dan subsidi BBM (BML) kalau diratakan per tahun relatif kecil dan tidak sebanding dengan
pengeluaran terhadap kenaikan harga barang kebutuhan pokok dan kenaikan harga minyak yang
meningkat
Bibit tidak signifikan dan berpengaruh negatif terhadap peningkatan aset based, ini dikeranakan
tidak selektif dalam pemberian bantuan bibit, yaitu bantuan bibit yang diberikan tidak layak untuk
dijadikan bibit unggul, sehingga tumbuh atau tidak bisa pakai sebagai bibit unggul dalam
peningkatan produksi. Kemudian menyangkut dengan prilaku petani yang tidak memanfaatkan bibit
yang diberikan untuk ditanami. Dan kemudian bantuan bibit yang disalurkan kurang tepat kepada
petani yang memiliki lahan pertanian yang cocok. Bantuan bibit yang diterima oleh petani tidak
24

dimanfaatkan sesuai dengan tujuan pemberian bantuan, karena kecendrungan


kepemilikan lain.

bibit dialihkan

Pupuk tidak signifikan mempengaruhi terhadap aset based, dengan pengaruh yang in-elastis. Ini
disebabkan oleh birokarasi penyaluran pupuk yang berbelit, sehingga mempengaruhi kenaikan harga
pupuk yang hampir sama dengan harga pasar. Juga kecendrungan penyaluran pupuk kepada
kelompok tani, yang sayogianya bukan semua orang miskin yang menjadi anggota kelompok tani.
Kemampuan penggunaan dalam pemberian pupuk masih kurang, sehingga berakibat terhadap
penurunan produksi tanaman.
Bantuan berupa jaring, bot, zakat dan fasilitas kredit (SUB) juga didapati signifikan mempengaruhi
kepada peningkatan asset based (AST). Namun pengaruhnya in-elastis terhadap peningkatan aset
based (AST). Ini disebabkan oleh pemberian bantuan jaring kepada nelayan juga diberikan secara
kelompok, dimana satu kelompok 10 orang dibantu satu unit jaring. Dimana manajemen pengelolaan
jaring bantuan belum mampu mengarahkan kepada pemanfaatkan jaring bantuan untuk
meningkatkan produksi nelayan.
Zakat yang diberikan oleh pemerintahan desa, yang jumlahnya lebih kecil, dan sifatnya insidential.
Pemberian zakat bersifat konsumtif yang tidak begitu mampu mendorong peningkatan pendapatan
masyarakat. Fasilitas kredit, yang berupa kredit dalam bentuk dana bergulir (berupa dana bantuan
sosial produktif) dapat meningkatkan usaha masyarakat, tapi dana bantuan tersebut juga diberikan
secara kelompok dan individu, yang mempu mempengaruhi pendapatan masyarakat, karena; (1)
tatakelola pinjaman kredit diurus secara manajemen keuangan yang layak, (2) anggota kelompok
dan individu penerima bantuan diselektif sel.
Kesimpulan dan Saran
Adapun yang menjadi kesimpulan penelitian adalah:
1. Dari hasil penelitian terhadap indikator income based dan aset based bahwa kebijakan pemerintah
(dominan bantuan, yaitu 90 % dan lembaga non pemerintah dengan jumlah bantuan sebesar
10%).
2. Kebijakan pengentasan kemiskinan oleh pemerintah dan lembaga non pemerintah di Kabupaten
Aceh Utara, berpengaruh terhadap peningkatan income, yaitu; variabel dominan yang muncul,
adalah bantuan raskin, modal dan bantuan langsung tunai dan subsidi BBM. Namun pengaruh
dari variabel yang dominan tersebut masih bergerak secara in-elastisitas, yaitu bantuan raskin
sebesar 0,062, bantuan modal sebesar 0,996 dan bantuan langsung tunai dan subsidi BBM adalah
sebesar 0,133. Sedangkan kebijakan pengentasan kemiskinan yang tidak dominan adalah bantuan
rumah, dengan nilai in- elastisitas sebesar 0,133.
3. Kebijakan pengentasan kemiskinan oleh pemerintah dan lembaga non pemerintah di Kabupaten
Aceh Utara, berpengaruh terhadap peningkatan aset based, yaitu variabel yang dominan adalah
bantuan berupa jaring, bot, zakat dan fasilitas kredit. Namun pengaruh dari variabel tersebut
masih juga bergerak secara inelastis, yaitu sebesar 0,817. Sedangkan, kebijakan pengentasan
kemiskinan yang tidak dominan adalah; bibit sebesar -0,007 dan pupuk dan obat-obatan sebesar
0,010.
Berdasarkan kesimpulan penelitian dapat disarankan, sebagai berikut :
1. Untuk menjamin validitas penyediaan data tentang penduduk miskin di kabupaten Aceh Utara
diperlukan data base elektronik yang dapat di up date secara berkala, jika diperlukan untuk
program pengentasan kemiskinan.
2. Program bantuan modal kerja kepada masyarakat miskin harus berorientasi kepada
pemberdayaan, sehingga keberdayaan penduduk miskin dapat mengurangi ketergantungan
terhadap bantuan program kemiskinan atau keberadaan bantuan untuk penduduk miskin bisa
lebih mandiri.
25

3. Untuk mempercepat pelaksanan program pengentasan kemiskinan di kabupaten Aceh Utara


dimasa yang akan datang, perlu membangun kemitraan dengan pihak dunia usaha dalam
penyediaan modal dan skil, pemerintah sebagai pelaksana, akademisi sebagai pencetus konsepkonsep pemikiran tentang pengentasan kemiskinan dan Dewan Perwakilan Rakyat sebagai
lembaga yang memberikan legalitas kebijakan pengentasan kemiskinan.
Daftar Pustaka
Antjok, Jamaluddin, 1995, Pemanfaatan Organisasi Lokal Untuk Mengentaskan Kemiskinan dalam
Kemiskinan dan Kesenjangan di Indonesia, Adytia media, Yogyakarta.
Dillon, HS, 1993, Kemiskinan di Negara Berkembang: Masalah Konseptual dan Global, Prisma No.
3-LP3ES, Jakarta.
Friedman, John, 1979. Urban Poverty In Latin America, Some Theoritical Consideration.
Development Dialoge, Vol 1 Upsala Dag Hommarskjold Fondation
Hall Anthony dan James Midgley, 2004, Social Policy for Development, Sage Publications Ltd,
London
Hasibuan, Nurimansyah, 1997, Kemiskinan Struktural di Indonesia: Menembus Lapisan Bawah,
Dalam Jurnal Studi Indonesia, Vol 7-Januari 1997.
Hasrul Harahap, 2011, Bersama Melawan Kemiskinan, Harian Waspada, Rabu 19 Januari 2011.
Husein Umar, 2000, Riset Pemasaran dan Prilaku Konsumen, Penerbit Gramedia Pusaka Utama
bekerjasama dengan Jakarta Business Research Center (JBRC), Jakarta.
Muklir, at.al, 2008, Analisis Kebijakan Publik, Unimal Press, Lhokseumawe.
Ramli, 2011, Masalah Kemiskinan Indonesia, Harian Waspada, Rabu 19 Januari 2011.
Sumarjan, Selo, 1977, Kemiskinan: Suatu Pandang Sosiologi, Jurnal Sosiologi Indonesia No. 21977, Ikatan Sosiologi Indonesia.

26

ISSN : 2303-0542

MARKET ACCESS FOR MALAYSIAN AGRICULTURAL PRODUCTS:


A CASE FOR PALM OIL
Abdul Hamid Jaafar,
Zainal Abidin Hashim,
Basri Abdul Talib
basri@pkrisc.cc.ukm.my
Fakultas Ekonomi dan Perniagaan, Universitas Kebangsaan Malaysia

Abstract
In spite of global multilateral trade agreement to reduce trade barriers, international agriculture
trade is still subjected to high tariff protection. Commodities within the same category are subjected
to different tariff rates. This situation is reported to be especially acute for palm oil and soybean oil
where higher tariff rates are imposed on palm oil imports than soybean oil. Being the largest
exporter of palm oil, Malaysias attempt to expand market share is especially made difficult by this
situation. The objective of this paper is to determine the extent of difference in tariff imposed on
palm oil and soybean oil. Data sources for this study are from (a) FAS Online WTO Tariff Schedule
and (b) The Agricultural Market Access Database. Results of this study indicate that even though
more countries impose higher bound rate on palm oil than soybean oil, the actual rates are imposed
are quite close. In spite of this, bilateral negotiations to influence these countries to reduce actual
rates at par with soybean oil must be initiated.

Keywords: Market Access, Agricultural Products


I. Introduction
World export of major oils in 2002 totaled 36.18 million metric. Over the period between 1995 and
2002, its average annual growth is 4.1%. Consumption of vegetable oil in 2002 was about 95.4
million metric tons with palm oil and soybean oil comprising 60% of total world consumption. In
international trade, these two commodities make up 80% of world vegetable oil trade. With higher
world income and population, export growth of major oils is expected to continue (Table 1).
Malaysia is the largest exporter of palm oil. In 2000, Malaysia exported 398,352 metric tons of
crude palm oil, valued at RM341.4 million. Processed palm oil export in the same year was
3,682,659 metric tons, valued at RM9,885 million. Its major markets are India, Pakistan, the EU,
China and Egypt. These five destinations account for over 60% of Malaysias total export of palm
oil. As a member of WTO (World Trade Organization or formerly General Agreement on Tariffs
and Trade GATT), Malaysias cross border trade with other member nations enjoys the MFN
(Most-Favored-Nation) status. The MFN is an agreement between countries to extend the same
trading privileges to each other that they extend to any other country. Under the agreement, a
country is obligated to extend to another country the lowest tariff rates it applies to any third country.

Oil type
Soybean oil
Palm oil
Sunflower seed
oil
Rapeseed oil
Cottonseed oil

TABLE 1
Production, trade and consumption of vegetable oil, 2002
(million metric tons)
Production
Export
30.31
32.0%
9.36
25.9%
27.28
28.8%
19.65
54.3%
8.17
8.6%
2.21
6.1%
12.03
3.52

12.7%
3.7%

0.90
0.15

2.5%
0.4%

Consumption
30.19
31.7%
27.67
29.0%
8.02
8.4%
12.15
3.48

12.7%
3.6%
27

Peanut oil
4.52
4.8%
0.16
Coconut oil
3.22
3.4%
1.84
Olive oil
2.39
2.5%
0.49
Palm Kernel oil
3.30
3.5%
1.43
TOTAL
94.74
100.0%
36.18
Source: http://usda.mannlib.cornell.edu/data-sets/crops/89002/

0.4%
5.1%
1.4%
3.9%
100.0%

4.63
3.27
2.60
3.35
95.36

4.9%
3.4%
2.7%
3.5%
100.0%

Tariff rates resulting from WTO (formerly GATT; or General Agreement on Trade and Tariff)
negotiations or accessions that are incorporated as part of a countrys schedule of concessions are
known as bound rates. The implementation period of bound rate (from its base rate, i.e., the
beginning implementation rate as of 1995) is normally six years for developed countries and ten
years for developing countries. As such, the end of implementation period for developed nation is
2000 and 2004 for developing countries.1
Bound rates are enforceable under Article II of the WTO. If a WTO member country raises its tariff
above the bound rate, the affected countries have the right to retaliate against an equivalent value of
the offending countrys exports or receive compensation, usually in the form of reduced tariffs of
other products they export to the offending country.2
In spite of the various WTO trade negotiations, international agriculture trade is still subjected to
high tariff protection. Gibson, et al. (2001) reported that the average tariff on agriculture is about
62% while industrial products are subjected to much lower tariff rates. Not only that, tariff on a
specific agriculture commodity differs widely between countries and commodities within the same
category are subjected to different tariff rates. This situation is reported to be especially
considerable between palm oil and soybean oil, where generally, higher tariff rate is imposed on
palm oil (crude and processed) import than soybean oil which is produced largely by the U.S. and
the EU (see Appendix A). The objective of this study is to document the extent of difference in
tariff imposed on palm oil and soybean oil. In addition, this study will try to identify country groups
that have greater tendency to impose higher tariff. For this purpose, a tariff database is compiled.
Several sources of data will be used for the compilation.
The discussion of this paper will proceed as follows. In the next section, the theoretical aspect of
impact of tariff is discussed. Section III continues with a description of data sources. This is
followed by a summary of findings. Section V concludes the study.

II. Effects of Tariff Barriers


Two of the most common tariffs levied by nations are in the form of fixed percentage of the value of
a commodity or a fixed charge per physical unit of the commodity. The former is called an ad
valorem tariff and the latter is a specific tariff. A tariff can also be imposed as a combination of the
two. Ad valorem and specific tariffs each have their own advantages and disadvantages. One of the
advantages of an ad valorem tariff is that in periods of inflation, the tariff revenue of the country that
imposed such tariff will be appropriately adjusted. On the other hand, the advantage of a specific
tariff is that it is easier to impose because the tariff depends on the physical units imported and not
value of the good that often fluctuates.
Tariff increases the transfer cost of commodity between trading nations, thus raising its price in the
country that impose the tariff. The higher price distorts the market where local farmers respond by
increasing output while consumer demand is dampened. If the nation that imposes the tariff is a
large importer, the tariff will have the indirect effect of lowering world price, thus depriving the

1
2

Generally, the reductions in tariffs to the committed bound rates are in equal yearly increments.
An example of this is the steel import tariff imposed by the U.S. in 1999.

28

exporting nation the opportunity of higher export earnings. Appendix B and C illustrate in greater
details inefficiencies due to imposition of tariff.

III. Data Sources


For the purpose of fulfilling the objective, tariff data, prices and volume of trade data for palm oil
and soybean oil were compiled from three sources. They are:3
1. FAS Online WTO Tariff Schedule at:
http://www.fas.usda.gov/scriptsw/wtopdf/wtopdf_frm.asp;
2. The Agricultural Market Access Database or AMAD at: http://www.amad.org/;
3. MPOB Statistics at: http://www.mpob.gov.my.4
The former two sources mentioned above do not provide tariff information of all WTO member
nations. For countries that are listed in the databases, where available, information on base rates,
bound rates, and actual rates are compiled. Price and trade volume statistics are calculated from
figures available at the MPOB website.
Appendix F provides example of tariff schedule for the Republic of Korea. As shown in the
appendix, the harmonized item codes for palm oil and soybean oil are 1511 and 1507 respectively.
They are further divided into two major categories according to used or degree of processing. For
example, item code for crude palm oil is 1511.10 while modified or processed palm oil is 1511.90.
Similarly, item code for crude soybean oil and modified soybean oil are 1507.10 and 1507.90
respectively.
Depending on the country, the number of tariff lines for each sub-group could be as many as five or
none at all. Following accepted practice, where there are several tariff lines for a particular product
group, a simple average is taken to represent the tariff group.

IV. Average Tariff Rates


Tariff rates on crude soybean oil and palm oil are summarized in Table 2 while those of their
derived products are summarized in Table 3. In Table 2 and 3, applied tariff rate refers to the
actual tariff rate charged at the border by an importing country. Applied rate must be below bound
rate. WTO does not have to be informed of changes in applied rate. Generally, the applied rate of
country varies according to domestic objectives of the nation.5

1
2
3
4*
5
6
7

Angola
Argentina
Australia
Bahrain
Brazil
Bangladesh
Brunei

TABLE 2
Tariff Rates on 1507.10 and 1511.10
1507.10
Bound
Base rate
Actual rate Base rate
rate
10%
13% (1998)
10%
8%
5% (2000)
0%
35%
5% (1999)
55%
35% 13% (2000)
50%
200% 15% (2000)
20%

1511.10
Bound
rate
55%
0%
35%
35%
200%
20%

Actual rate
13% (1998)
0% (2000)
20% (1999)
13% (2000)
15% (2000)

See Appendix D and Appendix E.

FAS is Foreifn Agriculture Service and MPOB is Malaysian Palm Oil Board.
Note that in some cases, the applied rate being higher than bound rate. This merely because the applied
rate quoted was from the year before full implementation is required.

29

8
9
10
11
12

Bulgaria
Bolivia
Canada
Sri Lanka
China

15%
7.5%
66%
160%

10%
40%
4.8%
50%
121.6%

13
14
15
*
16
17
18
19
20

Chile
Colombia
Cyprus

35%
83%
77%

31.5%
75%
58%

Czech Rep
Benin
Dominica
Egypt
Ecuador

1.5%

0%
100%
150%
15%
31.5%

21
22
23
24
25
26

EU
Czech Rep
Fiji
Grenada
Guatemala
Guyana

5%
1.5%

20%
35%

258%

3.2%
0%
40%
35%
232%
100%

40%
10%
66%
30%

25%
40%
6.4%
50%
27%

20% (2000)

35%
332%
78%

31.5%
199%
59%

0.5% (1999)

0%

0%
100%
150%
20%
31.5%

10% (1999)
5.5% (1998)
121.6%
(2001)

22.5%
(1999)

30%
35%
4%
0%

10% (1999)
7.5% (1998)
30% (2001)

20% (2000)

0% (1999)

22.5%
(1999)

0%
0%
40%
100%
231%
100%

40%

8%

6.8%

7.4% (1997)

50%

40%

0% (2000)

30%

21%

257%
40% (1999)

TABLE 2 (continue).
27 Hungary

46%

39.1%

28
*
29
*
30
31
32
33
34
35

Indonesia

40%

35%

Israel

40%

28%

Ivory Coast
Japan
Jamaica
Rep. Korea
Slovak Rep
Latvia

17Ykg
30%
1.5%
10%

36 Madagascar
37 Morocco
38 Malaysia
39 Malta
40 Mexico
41 Mauritania
42 Mozambique

15%
12.05Ykg
100%
5.4%
0%
10%
30%

164.25
%
6%
50%

124.5%
5%
20%
45%
30%
100%

25%
(1997)
0% (2000)

7%
8% (1996)
0.5%
(1997)
10%
(1995)
35.5%
(2000)
5% (1997)
10%
(2000)
7.5%

30%
0%
50%

15%
4%
100%
27%
0%
50%

5.5% (1996)
0.5% (1997)

30%

0% (1995)

178%

135%

12%

10%
40%
45%

160.5%
(2000)
0% (1997)
10% (2000)

30%
100%

7.5% (1997)

50%

30

43 Norway

251%

44 Nigeria
45 Nicaragua
46 New Zealand
47 Pakistan

176%
150%

70%
0%

48 Paraguay

(1997)
2.455Nok/
kg (2000)
30%
(1995)

60%
0% 0% (2000)
100% -1% +
8950
RsMT
(1998)
35%
19%
(1998)

251%

176%
150%

70%
0%

60%
0%
100%

35%

4.88Nok/kg
+0% (2000)
30% (1995)

0% (2000)
-1% + 8250
RsMT
(1998)
19% (1998)

TABLE 2 (continue).
49 Papua New
Guinea
50 Peru
51 Romania
52 Philippines
53 Poland
54 South Africa
55 Singapore
56 Slovenia
57 Sri Lanka

11%
30%
200%
20%

160%
18%

80%

51%

163%

81%

27%
12%
66%

58 St Lucia
59 Switzerland

12% (1999)

7% (2000)

30%
50%
70%

25%
50%

30.5%
(2000)
0% (1999)

30%

25%

163%

81%

10%
7.7%
50%

25% (2000)

27%
2%
66%

10%
2%
50%

100%
108.5Fr1
00kg

45.6CHF10
0kg(2000)

60 Taiwan

100%
112Fr100kg

6% (2000)

61 Thailand
62 Tunisia

162%
25%

146%
17%

63 Turkey
64 Uganda
65 Uruguay

32.5%
25%

25.35%
80%
35%

66 USA

22.5%

19.1%

83%

100%
75%

67 ST Vincent
68 Venezuela

55%

1.32BLT
15% (1998)

159%
100%

143%
75%

32.5%
13% (1998)

15%

25.35%
70%
35%

19.1%
(2000)

0%

0%

20% (2000)

97%

100%
87%

12%
(1999)
15%
(2000)
17.5%
(2000)
12.5R/kg
(1999)

25%
(2000)
43.4CHF
100 kg
(2000)
2.5%
(2000)
1.32BLT
20%
(1998)

13%
(1998)
0%
(2000)
20%
(2000)
31

69 Namibia
70 Swaziland

163%
163%

Base rate
1
2
3
4
5

Angola
Argentina
Australia
Bahrain
Brazil

10%
70%

6 Bangladesh
7
8
9
10
11
12

Brunei
Bulgaria
Bolivia
Canada
Sri Lanka
China

13
14
15
16
17
18
19
20

Chile
Colombia
Cyprus
Czech Rep
Benin
Dominica
Egypt
Ecuador

35%
83%
77%
0.5%

21
22
23
24
25
26

EU
Czech Rep
Fiji
Grenada
Guatemala
Guyana

15%
0.5%

7%
15%
66%
160%

20%
35%

258%

81%
81%

163%
163%

TABLE 3
Tariff Rate on 1507.90 and 1511.90
1507.90
Bound
Actual rate Base rate
rate
10%
15% (1998)
8%
5% (2000) 50.05Ckg
35%
5% (1999)
35%
14.3%
60%
(2000)
200%
37.5%
(2000)
20%
0%
40%
40% 10% (1999)
9.6% 5.5% (1998)
17.5%
50%
66%
13 or
(In) 13 or
30%
121.6%
(out) 121.6
(2001)
31.5%
35%
75% 20% (2000)
332%
58%
78%
0% 0.2% (1999)
7.37%
100%
150%
15%
30%
31.5%
22.5%
35%
(1999)
9.6%
14.75%
0%
0%
40%
35%
232%
257%
100%
40%

81%
81%

1511.90
Bound
rate
55%
3%
35%
35%
200%
20%
25%
40%
11.2%
50%
27%

31.5%
199%
59%
5.5%
100%
150%
20%
31.5%
9.45%
0%
40%
100%
231%
100%

Actual rate
13% (1998)
0% (2000)
20% (1999)
10% (2000)
31.25%
(2000)

10% (1999)
4% (1998)
30% (2001)

20% (2000)
6.5% (1999)

22.5%
(1999)

40%

TABLE 3 (continue).
27
28
29
30
31

Hungary
Indonesia
Israel
Ivory Coast
Japan

46%
40%
40%
20.7Yk
g

39.1%
35%
28%
15%
13.2Ykg

25% (1997)
0% (2000)

8%
50%
30%
6%

6.8%
40%
21%
15%
3.5%

7.4% (1997)
0% (2000)

32

32
33
34
35
36
37

Jamaica
Rep Korea
Slovak Rep
Latvia
Madagascar
Morocco

38 Malaysia
*
39 Malta
40
41
42
43

Mexico
Mauritania
Mozambique
Norway

44
45
46
47

Nigeria
Nicaragua
New Zealand
Pakistan

32.75%
0.5%
10%
30%
204.6%

100%
16.2%
0%
10%
15%
155.2%

5%

30% + 20
Ckg
50%
45%
30%
100%
251%
176%

70%
22.5%

48 Paraguay

150%
60%
5%
100%

35%

TABLE 3 (continue).
49 Papua New
Guinia
50 Peru

30%
200%
35%
80%

160%
29%
51%

54 South Africa

163%

81%

27%
14% +
230
ECT
66%

10%
9% +
195.5ECT

57 Sri Lanka
58 St Lucia
59 Switzerland
60 Taiwan
61 Thailand
62 Tunisia

0.5% (1997)
43.83%
(2000)
5% (1997)

20(% 2000)
3.5% (1997)
4.88Nok/kg
+14.4%
(2000)
30% (1995)
0% (2000)
-1 + 9550
RsMT
(1998)
20% (1998)

30%
7.38%
50%
30%
204.6%
12%

10%

30% + 20
Ckg
50%
45%
30%
100%
251%
176%

70%
22.5%

50%
100%
132Fr
100kg

162%
25%

146%
17%

150%
60%
5%
100%

35%

11%

51 Romania
52 Philippines
53 Poland

55 Singapore
56 Slovenia

8% (1996)

100%
27%
5.5%
50%
15%
155.2%

3% (1998)
0.5% (1997)
204.4%
(2000)
5% (1997)

20% (2000)
3.5% (1997)
4.88Nok/kg
+14.4%+0%
(2000)
30% (1995)
0% (2000)
-1 + 15%

10% (1998)

55%
12%
(1999)
7% (2000)
44.6%
(2000)
33.65Dper
?

25%
(2000)
114.8CHF
100kg
6% (2000)
1.32BLT
43%
(1998)

30%
50%
70%
30%

25%
50%
25%

163%

81%

27%
2%

10%
2%

66%

50%
100%
132Fr
100kg

159%
100%

143%
75%

12% (1999)

15% (2000)
27.5%
(2000)
59Dper?

25% (2000)

114.4CHF
100kg
2.5% (2000)
1.32BLT
43% (1998)
33

63 Turkey
64 Uganda
65 Uruguay

32.5%
25%

25.35%
80%
35%

66 USA

22.5%

19.1%

67 ST Vincent
68 Venezuela

83%

100%
75%

69 Namibia
70 Swaziland

163%
163%

81%
81%

41.67%
15%
(1998)
19.1%
(2000)

15%

32.5%
70%
35%

0%

0%

0% (2000)

20%
(2000)

97%

100%
87%

20% (2000)

163%
163%

81%
81%

13% (1998)

From a total list of seventy countries in the 1507.10 and 1511.10 product lists, 18 countries have
tariff rates that are more favorable to soybean oil than palm oil. Only 12 countries have either bound
rate and/or applied rates that are more favorable to palm oil than soybean oil. The maximum ad
valorem bound rate imposable on crude palm oil is 200%.6 However, the maximum applied tariff
on crude palm oil is much lower, with 30% being the highest.
For processed soybean and palm oil (1507.90 and 1511.90), again 18 countries have tariff rates that
are more favorable to soybean oil than palm oil. Only 10 countries have either bound rate and/or
applied rates that are more favorable to palm oil than soybean oil. The maximum ad valorem bound
rate imposable on crude palm oil is 231%. The maximum applied rate for processed palm oil is
43%.
For another perspective, Table 4 summarizes average tariff by country groups. Overall, figures in
the table give clear indication of tariff escalation situation. This is especially evident among nonproducer countries as shown in row (3) through (6) of Table 4.
Figures in row (1) and (2) indicate that developed countries on average impose high tariffs than
developing countries on vegetable oil imports but tariff imposed on palm oil is lower than soybean
oil. On the other hand, while developing countries on average impose lower tariffs on tariffs on
vegetable oil group, tariffs on crude and modified palm oil is higher than those of the soybean group.
TABLE 4
Average Tariff by Country Group
(percent)
Groups
1507.10
1511.10
1507.90
1511.90
(1) Developed
31.82
25.68
45.69
41.00
(2) Developing
18.13
18.70
22.05
23.27
(3) Soybean producers
22.65
23.90
(4) Non-soybean
producers
17.61
29.74
(5) Oil Palm producers
14.43
15.43
(6) Non-oil palm
producers
22.41
31.35
How damaging is the disparity on Malaysias palm oil export? It is difficult to answer to this
question without knowing the demand for palm oil of a particular country. Problems and issues in
modeling export gain due to lower tariff are outside the discussion of this paper. Table 5 present the
6

Specific rate were converted to its ad valorem equivalent based on the (Pd-Pw)/Pw where Pd is domestic
price and Pw is world price.

34

same figures in slightly different format where the quantity and values of palm oil imported from
Malaysia are added. The light shaded rows are countries where charged on palm oil are lower than
soybean oil while the darker shaded row are the opposite. Although no greater insight is provided by
this table, it does shows areas or country where some urgent action and further research are required
to increase export
TABLE 5
Quantity and Value of Palm Oil Imported from Malaysia in 2000

1
2
3
4
8
10

Angola
Argentina
Australia
Bahrain
Bulgaria
Canada

12
14
15
16

China
Colombia
Cyprus
Czech
Rep
Egypt
EU15
Grenada
Guatemala
Hungary

19
21
24
25
27

28 Indonesia

1511.10
Bound
Actual rate
rate
55%
0%
35%
25%
6.4%
27%
199%
59%

20%
0%
100%
231%
6.8%
40%

0% (2000)
20% (1999)
7.5%
(1998)
30% (2001)
20% (2000)

1511.90
Bound
Actual rate
rate

3%
35%
25%
11.2%
27%
199%
59%
5.5%

13% (1998)
0% (2000)
20% (1999)
4% (1998)
30% (2001)
20% (2000)
6.5%
(1999)

20%
9.45%
100%
7.4%
(1997)
0% (2000)

6.8%
40%

7.4%
(1997)
0% (2000)

Imports from Malaysia


Qtt (MT)
Value
(RM106)
1,229
2.0
20
0.1
105,279
134.6
925
1.6
993
1.6
5,588
5.0
1,021,976
62
1,275
168

1,113.0
0.1
1.5
0.3

434,986
1,037,994
0
3,003
3,047

460.2
1,110.5
0.0
3.3
2.9

4,428

6.1

0
209,279

0.0
230.3

14
3,525

0.0
4.2

324

0.3

3,420

4.9

37
2,225
71
83,857

0.0
3.5
0.2
99.6

TABLE 5 (continue).
29 Israel
33 Rep Korea
34 Slovak Re
35 Latvia
36 Madagascar
37 Morocco
39
49
51
52

Malta
PNG
Romania
Philippine

21%
27%

50%
30%
135%
40%
55%
25%
50%

5.5%
(1996)
0.5%
(1997)
0% (1995)
160.5%
(2000)

15% (2000)

21%
27%
5.5%
50%

155.2%

25%
50%

3% (1998)

0.5%
(1997)

204.4%
(2000)

15% (2000)

35

s
53 Poland
56 Slovenia
59 Switzerlan
d
60 Taiwan
61
62
63
64
65
66
68

Thailand
Tunisia
Turkey
Uganda
Uruguay
USA
Venezuela

25%
2%
112Fr10
0kg

143%
75%

17.5%
(2000)

27.5%
(2000)

2%
43.4CHF10
0 kg (2000)
2.5%
(2000)
1.32BLT
20% (1998)

70%
0%
87%

25%

0% (2000)
20% (2000)

2.5%
(2000)
75%
32.5%
70%
35%
0%
87%

43% (1998)

13% (1998)
0% (2000)
20% (2000)

0.0

137
187

0.2
0.2

82,124

103.4

0
10,300
137,856
4,772
0
181,849
0

0.0
11.9
161.8
5.0
0.0
181.2
0.0

V. Conclusion
Malaysia is the leading producer of palm oil in the world. The main substitute for palm oil is
soybean oil. General observation indicated that in the Uruguay Round Tariff commitments, some
countries impose higher tariff on palm oil than soybean oil. The purpose of this paper is to
determine the extent of the disparity. Tariff information is generally not easily accessible. In this
study, tariff rates were compiled from the FAS Online WTO tariff schedule and The Agricultural
Market Access Database. Not all countries are listed in the databases. In total, tariff information
on palm oil and soybean oil of seventy countries were available. From this list, it was found that
while it is true that there are more countries with higher tariff on palm oil than soybean oil, actual
tariff are quite close with some countries charging exorbitantly high tariff on palm oil. With limited
resources, Malaysia needs to renegotiate with countries that discriminate against palm oil and at the
same time could provide large export gain from lower tariff.
In the nutshell, being a country with limited resources, agencies related to palm oil must identify and
prioritize actions to target countries that discriminate against Malaysian palm oil in favor of soybean
oil that has the greatest impact. While it might be quite impossible to have these countries lower
their palm oil bound rate, bilateral negotiations to have these countries to lower their applied rate is
not impossible. Efforts must be directed towards urging developed countries to lower their tariffs on
palm oil. At the same time, trade related ministries should also direct efforts toward notating with
developing nations to reduce tariff disparity imposed on soybean oil and palm oil.
References
Gibson, Paul, John Wainio, Danial Whitley, and Mary Bohman. 2001. Profiles of Tariff in Global
Agricultural Markets. Economic Research Service, U.S. Department of Agriculture.
Agricultural Economic Report No. 796.
Houck, John P. 1986. Elements of Agricultural Trade Policies. MacMillan Publishing Company

36

Appendix A
NEWS ARTICLE ON TARIFF ON PALM OIL

Page 24 of Utusan Malaysia, August 31, 2004.

37

Appendix B
EFFECTS OF TARIFF: SMALL COUNTRY CASE
The effects of a specific tariff of $t per unit on consumption, production, trade and welfare of a small
country can best be explained with graphs in the figure below. In the figure, P and Q denote price and
quantity, respectively. The S denotes domestic supply and D is domestic demand. Domestic price
before the tariff is Pd and this level is the same as the world price Pw. Domestic production is at point
a and consumption is at point d. Total imports are ad. In the international market (graph on the righ),
since this is a small nation, the excess supply (ES) that this nation faces is horizontal implying that the
country can purchase all its import needs at international price Pw. When a tariff of $t per unit is
imposed on the nations import of a particular agricultural commodity, the excess supply that the
country faces shifts up by the amount of the tariff to ES.7 Domestic price rises by the full amount of
the tariff to Pd+t. Domestic production rises to point b while consumption decreases to point c.
Imports change to bc and government collects the amount t times bc in tariff revenue. In spite of the
decrease in consumption, total consumption expenditures can increase or decrease depending on
elasticity of demand. If elasticity of demand is inelastic, total expenditures will increase. On the
other hand, if demand is elastic, total expenditure by consumers will decrease.
The tariff caused consumer surplus to decrease by the area (W+X+Y+Z). On the other hand, producer
surplus increased by W while government tariff revenue is area Y. The net loss (or deadweight loss)
from tariff for this nation is area (X+Z). Loss of area X can be attributed to inefficiency that came
from misallocation of resources into the production of this commodity due to the artificial increase in
price. Area Z is consumption loss because consumers divert consumption expenditures to other
goods.

P
S

Pd+t

ES

Pw+t
t W

Pd

Pw

ES

ED

D
0

Figure B1: Effects of Tariffs on Domestic and World Supply, Demand, and Price
Source: Houck, 1986.
7

In the case of an ad valorem tariff, the displacement of ES to ES would be a counter clockwise rotation. The
ensuing analysis would be the same.

38

Appendix C
EFFECTS OF TARIFF: LARGE COUNTRY CASE
For a large-country case, the tariff has a price decreasing effect on world export price. In the figure
below, the excess supply (ES) faced by the nation is positively sloped and when a specific tariff of $t
is imposed, the excess supply curve is displaced to ES by the amount of the tariff. The new domestic
price is Pd+t and the new world price is lower at point h.
The tariff caused consumer surplus to decrease by the area (W+X+Y+Z). Producer surplus increased
by W while government tariff revenue is area Y. The net loss from tariff for this nation is area (X+Z).
Loss of area X the inefficiency loss and area Z is consumption loss.
P

P
S
ES

ES
t
X

Pd+t
Pd

D
ED
0

a b

Figure B2: Effects of Tariff, Large-Country Case


Source: Houck, 1986.

39

Appendix D

40

Appendix E

41

Appendix F

42

ISSN : 2303-0542
PENGARUH PARTISIPASI PENYUSUNAN ANGGARAN TERHADAP KINERJA
MANAJERIAL DENGAN KOMITMEN ORGANISASI SEBAGAI
VARIABEL MODERATING (Survey Pada PT.Telkomsel di Medan)

Nazaina
nazaina@fe-unimal.org
Fakultas Ekonomi, Universitas Malikussaleh
Abstract
The purpose of this study is to examine the relation of budgetary participation and managerial
performance. And organizational commitmen is factor that used to moderate that relation. This
study use managers and supervisors of PT.Telkomsel in Medan city as the object by giving
questioner to them of collecting the data. The data used are primary data and processed using
simple regression and multiple regression statistical with software Statistical Product and
Service Solution (SPSS) for window versi 20. First hypotheses that proposed are positive
influence of Budgetary Participation to the Managerial Performance. Second hypotheses that
proposed are positive influence of Organization Commitment to the Budgetary Particiation and
Managerial Performance Relationship. Based on the analysis, this research shows that the effect
of relation between budgetary participation and managerial performance is positive and
significant. The result for interaction of organizational commitment is also positive and
significant affect the relation between budgetary participation and managerial performance. All
result is shown by significance value that is smaller than 0,05. The higher budgetary
participation in an organization, the higher managerial performance can be. And when
organizational commitmen is higher, The relation between budgetary participation and
managerial performance is higher.
Keyword: Budgetary Participation, Managerial Performance, and Organizational Commitment.
Latar Belakang
Pada umumnya perusahaan baik berskala besar maupun kecil menggunakan anggaran sebagai
salah satu langkah awal dalam melaksanakan aktivitas bisnis. Listiawati, dkk,(2009:67)
menjelaskan anggaran merupakan upaya manajer untuk mencapai sasaran, tujuan, visi, dan misi.
Keterlibatan lebih tinggi yang diberikan oleh setiap manajer dalam proses penyusunan anggaran
akan berorientasi pada organisasi sebagai perwujudan kemampuan manajer dalam upaya
mencapai target/tujuan perusahaan. Selanjutnya pencapaian nilai dalam anggaran adalah sebagai
perwujudan nilai atau hubungan dari interaksi indikatorindikator yang digunakan dalam menilai
kinerja manajer. Anggaran tidak saja sebagai alat perencanaan keuangan dan pengendalian,
tetapi juga sebagai alat koordinasi, komunikasi, evaluasi kinerja dan motivasi (Hansen dan
Mowen, 2001).
Dari sisi lain, manajer puncak mempunyai perspektif yang lebih luas atas perubahan secara
keseluruhan yang sangat vital dalam pembuatan anggaran secara umum. Setiap tingkatan
tanggung jawab dalam suatu organisasi harus memberikan masukan terbaik sesuai dengan
bidangnya dalam suatu sistem kerjasama penyusunan anggaran (Garrison dan Noreen,
2000:49).
43

Partisipasi bawahan dalam penyusunan anggaran kemungkinan juga dapat mempengaruhi kinerja
manajerial, karena dengan adanya partisipasi bawahan dalam penyusunan anggaran, maka
bawahan merasa terlibat dan harus bertanggung jawab pada pelaksanaan anggaran. Sehingga
diharapkan bawahan dapat melaksanakan anggaran dengan lebih baik dan pada akhirnya bisa
meningkatkan kinerja manajerialnya. Oleh karena itu, dalam upaya pencapaian tujuannya
diperlukan dukungan yang kuat dari masingmasing individu yang terlibat didalam partisipasi
penyusunan anggaran dan memiliki komitmen organisasi yang tinggi.
Komitmen akan menjadi hal yang penting manakala individu yang terlibat dalam suatu
organisasi memiliki kepedulian yang tinggi atas organisasi sehingga akan selalu berupaya
bagaimana organisasi tersebut mampu mencapai tujuan yang diharapkan. Sebagaimana
dinyatakan oleh Angle & Perry (1981) ; Porter et al, (1974) dalam Hapsari, (2010). Komitmen
organisasi yang kuat di dalam diri individu akan menyebabkan individu berusaha keras mencapai
tujuan organisasi sesuai dengan tujuan dan kepentingan organisasi.
Dalam situs informasi Telkomsel http://www.telkomsel.com, menjelaskan bahwa PT. Telkomsel
adalah salah satu perusahaan operator telekomunikasi seluler terbesar di Indonesia. Telkomsel
memiliki jaringan terluas di Indonesia dengan cakupan 95% wilayah Indonesia. Komposisi
saham Telkomsel saat ini adalah 65% dimiliki oleh PT.Telkom dan 35% oleh Singtel. Pada tahun
2009, keuntungan bersih Telkomsel meningkat dari Rp.11,42 triliun di tahun 2008, menjadi
Rp.13,16 triliun di tahun 2009. Dari segi pelanggan Telkomsel telah menjadi operator
telekomunikasi pertama di Indonesia dengan jumlah 81,64 juta pelanggan di akhir tahun 2009,
yaitu sekitar 49% dari pangsa pasar seluler. Kinerja yang sangat baik ini sejalan dengan
komitmen Telkomsel dalam terus memelihara tingkat kepuasan pelanggannya dan tetap menjadi
yang terdepan di industri seluler Indonesia. Pertumbuhan yang harus ditempuh Telkomsel adalah
pertumbuhan yang berkelanjutan.
Dalam upaya untuk terus bertumbuh secara berkelanjutan, Telkomsel melihat adanya tiga
tantangan besar yang dapat berpengaruh terhadap kinerja dan kelanjutan pertumbuhannya.
Tantangan pertama terkait masalah kebijakan dengan industri seluler. Tantangan kedua adalah
masalah kemajuan teknologi, khususnya yang terkait dengan industri telekomunikasi seluler, dan
tantangan ketiga adalah kompetisi yang semakin ketat dengan operator lainnya.
Pada tahun 2010, kinerja PT.Telkomsel menurun. Dalam situs http://bataviase.co.id menjelaskan
bahwa PT.Telkomsel tak mencapai targetnya yakni meraih target 100 juta pelanggan pada 2010.
Selain itu, penyebab kurang meningkatnya kinerja Telkomsel di tahun lalu karena industri
telekomunikasi Indonesia sudah memasuki fase pertumbuhan yang cenderung menurun. Direktur
Utama Telkomsel Sarwoto Atmosutarno mengakui, sepanjang tahun 2010 itu kinerja Telkomsel
memang tidak berjalan baik. Telkomsel tidak mencapai satu pun target yang ditetapkan, baik dari
sisi pertumbuhan omzet yang harusnya 10% atau target pelanggan sebesar 21,9%. Dari target 100
juta pelanggan, Telkomsel hanya terpatok pada angka 95 juta pelanggan. Sementara
pertumbuhan omset hanya 5%. Padahal, secara biaya operasional terjadi pembengkakan sebesar
5,4% dibanding 2009.
44

Manajer Customer Service Telkomsel menjelaskan bahwa fenomena yang terjadi pada
PT.Telkomsel mengenai penurunan kinerjanya disebabkan adanya persaingan tarif percakapan
antar operator penyedia jasa telekomunikasi selular yang sangat ketat sehingga mempengaruhi
pertumbuhan pendapatan perusahaan.
Tindakan yang dilakukan dalam menghadapi penurunan kinerja pada PT.Telkomsel yaitu dengan
melakukan evaluasi terhadap program kerja yang tepat sasaran dan membuat program alternative
sebagai pengganti untuk tetap bekerja dalam pencapaian target perusahaan.
Dalam penelitian ini, saya melakukan penelitian dengan lokasi yang berbeda yaitu di perusahaan
telekomunikasi yang mengutamakan komitmen organisasi dalam segala hal termasuk
memoderasi hubungan antara partisipasi dalam penyusunan anggaran untuk meningkatkan
kinerja manajerialnya. Alasan dipilihnya komitmen organisasi sebagai variabel moderating
karena dengan manajemen yang memiliki komitmen organisasi yang tinggi akan berusaha
memperbaiki kesalahannya dan memberikan yang terbaik kepada perusahaan dengan
memanfaatkan partisipasi sehingga kinerja yang diharapkan akan tercapai, jadi partisipasi
penyusunan anggaran akan lebih berpengaruh terhadap kinerja manajerial apabila dibarengi
dengan komitmen organisasi yang tinggi. Apabila komitmen organisasi itu rendah maka akan
membuat individu berbuat untuk kepentingan pribadinya. Namun demikian dengan adanya
komitmen organisasi yang tinggi maka secara tidak langsung juga akan meningkatkan kinerja
yang tinggi pula.
Peneliti tertarik untuk melakukan penelitian ini dikarenakan adanya hasil yang inkonsistensi dari
penelitian sebelumnya dan adanya fenomena yang terjadi di PT.Telkomsel mengenai penurunan
kinerjanya yang disebabkan kebutuhan anggaran marketing sebagai sarana promosi dan
penjualan produk dengan terbatasnya pada jumlah anggaran yang telah disusun sejak awal
periode, sehingga tidak tercapai target perusahaan baik dari pelanggan maupun omset perusahaan
pada tahun 2010. Pelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh penyusunan anggaran
terhadap kinerja manajerial dan pengaruh partisipasi anggaran terhadap kinerja manajerial
dengan komitmen organisasisebagai variabel moderating pada PT. Telkomsel Medan.
Landasan Teori
Hubungan Partisipasi Penyusunan Anggaran, Komitmen Organisasi dan Kinerja Manajerial

Kinerja manajer merupakan faktor yang mendukung keefektifan organisasi. Mahoney et. al
(1963) dalam Hapsari (2010) melihat kinerja manajer berdasarkan pada kemampuan manajer
dalam melaksanakan tugas manajerialnya. Kinerja manajer meliputi kemampuan manajer dalam
: perencanaan, investigasi, pengkoordinasian, evaluasi, pengawasan, pemilihan staff, negosiasi,
perwakilan dan kinerja secara menyeluruh.
Menurut Iksan dan Ishak (2005:173) bahwa partisipasi telah menunjukkan dampak positif
terhadap sikap karyawan, meningkatkan kerjasama diantara manajemen yang pada gilirannya
cenderung untuk meningkatkan kinerja manajerial. Partisipasi dianggap sebagai sarana
aktualisasi yang terbaik untuk para pekerja dalam rangka meningkatkan diri mereka kepada
masing-masing tanggung jawab/tugas yang diemban. Adanya partisipasi bawahan dalam
penyusunan anggaran dapat meningkatkan rasa memiliki dan kepercayaan diri dalam
45

melaksanakan anggaran yang telah ditetapkan sehingga pencapaian tujuan organisasi dapat
berjalan dengan efektif serta capaian kinerja yang maksimal. Argyris (1952) dalam Fitri (2004)
menyatakan bahwa kunci dari kinerja yang efektif adalah apabila tujuan dari anggaran tercapai
dan partisipasi dari bawahan memegang peranan penting dalam pencapaian tujuan tersebut.
Menurut Anthony dan Govindarajan (2005:87) penilaian telah menunjukkan bahwa partisipasi
anggaran memiliki dampak positif karena dua alasan, yaitu :
a. Kemungkinan ada penerimaan yang lebih besar atas cita-cita anggaran dipandang berada
dalam kendali pribadi manajer dibandingkan bila secara ekternal.
b. Hasil penyusunan anggaran partisipasi adalah pertukaran informasi yang efektif.
Adanya partisipasi dalam penyusunan anggaran menyebabkan manajer akan mempunyai
pemahaman yang cukup baik mengenai tindakan yang harus diambil guna mencapai anggaran
yang telah ditetapkan. Dengan kata lain manajer tahu benar peran apa yang harus dilakukannya.
Ha1 : Partisipasi penyusunan anggaran berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja manajerial

Penelitian yang dilakukan oleh Kusnadi (2005), menguji pengaruh partsipasi penyusunan
anggaran terhadap kinerja manajerial melalui kecukupan anggaran dan komitmen organisasi
sebagai variabel intervening. Penelitiannya dilakukan pada perusahaan-perusahaan yang sudah
listing di BEJ dan menggunakan sampel perusahaan manufaktur. Hasil penelitian membuktikan,
partisipasi penyusunan anggaran memberi pengaruh terbesar terhadap komitmen organisasi
dibandingkan terhadap kecukupan anggaran dan kinerja manajerial.
Komitmen organisasi merupakan keinginan yang kuat untuk tetap menjadi anggota organisasi
dengan mengerahkan segala upaya atas nama organisasinya dengan suatu keyakinan penerimaan
nilai dan tujuan dari organisasi dan menurut Meyer et al., (1990) dalam Supriyono (2005)
komitmen tersebut merupakan sifat dari komitmen afektif. Oleh sebab itu, dapat dimungkinkan
bahwa partisipasi dalam penyusunan anggaran akan menjadi lebih berpengaruh terhadap kinerja
manajerial, apabila dibarengi dengan komitmen organisasi yang tinggi para manajer baik selaku
manajer pusat pertanggungjawaban maupun sebagai manajer pelaksana kegiatan.
Penelitian Terdahulu
Hafiz (2007) dengan judul Pengaruh Partisipasi Anggaran terhadap Kinerja Manajerial Pada PT
Cakra Compact Alumunium. Hasil penelitian menunjukkan bahwa partisipasi anggaran
berpengaruh terhadap kinerja manajerial. Penelitian ini juga menemukan bahwa partisipasi
anggaran memiliki pengaruh positif terhadap kinerja manajerial.
Noor (2007) dengan judul Desentralisasi dan Gaya Kepemimpinan sebagai Variabel Moderating
dalam Hubungan Antara Partisipasi Penyusunan Anggaran dan Kinerja Manajerial. Hasil
penelitian tersebut menunjukkan bahwa ada pengaruh yang signifikan antara kinerja manajerial
dengan partisipasi penyusunan anggaran.
Adrianto (2008) dengan judul Analisis Pengaruh Partisipasi Penyusunan Anggaran Terhadap
Kinerja Manajerial dengan Kepuasan Kerja, Job Relevant Information dan Motivasi Kerja
sebagai variabel Moderating. Hasil penelitian menunjukkan bukti bahwa parstisipasi penyusunan
46

anggaran dengan kinerja manajerial mempunyai hubungan positif dan signifikan. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa interaksi antara partisipasi penyusunan anggaran dan variabel
moderating kepuasan kerja berpengaruh pada kinerja manajerial. Kemudian interaksi antara
partisipasi penyusunan anggaran dan variabel moderating job relevan information berpengaruh
pada kinerja manajerial. Begitu juga hasil penelitian mengenai interaksi antara partisipasi
penyusunan anggaran dan variabel moderating motivasi kerja berpengaruh pada kinerja
manajerial.
Maisyarah (2008) dengan judul Pengaruh Partisipasi Penyusunan Anggaran terhadap Kinerja
Manajerial dengan Komunikasi dan Komitmen sebagai variabel Moderating Pada PDAM
Provinsi Sumatera Utara. Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa partisipasi dalam
penyusunan anggaran berpengaruh terhadap kinerja manajerial, tetapi interaksi antara partisipasi
dengan komunikasi secara parsial maupun simultan tidak berpengaruh signifikan terhadap
kinerja manajerial dan interaksi antara partisipasi dengan komitmen organisasi secara parsial
maupun simultan juga tidak berpengaruh signifikan terhadap kinerja manajerial, serta interaksi
partisipasi, komunikasi, komitmen organisasi secara parsial maupun simultan menunjukkan
pengaruh negatif terhadap kinerja manajerial.
Ritonga (2008) dengan judul Pengaruh Budaya Paternalistik dan Komitmen Organisasi Terhadap
Hubungan Antara Partisipasi Penyusunan Anggaran dan Kinerja Manajerial pada PDAM
Tirtanadi propinsi Sumatera Utara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa partisipasi penyusunan
anggaran, budaya paternalistik dan komitmen organisasi berpengaruh signifikan terhadap kinerja
manajerial. Budaya paternalistik dapat memoderasi hubungan antara partisipasi penyusunan
anggaran dan kinerja manajerial. Komitmen organisasi dapat memoderasi hubungan antara
partisipasi penyusunan anggaran dan kinerja manajerial. Budaya paternalistik dan komitmen
organisasi secara bersama-sama berpengaruh terhadap kinerja manajerial.
Bangun (2009) dengan judul Pengaruh Partisipasi Penyusunan Anggaran, Kejelasan Sasaran
Anggaran dan Struktur Desentralisasi Terhadap Kinerja Manajerial SKPD dengan Pengawasan
Internal sebagai variabel moderasi. Hasil penelitian membuktikan bahwa secara simultan seluruh
variabel independen berpengaruh terhadap kinerja manajerial. Secara parsial terdapat satu
variabel independen yang tidak berpengaruh terhadap kinerja manajerial yaitu kejelasan sasaran.
Pengawasan internal tidak dapat memoderasi pengaruh partisipasi dalam penyusunan anggaran,
kejelasan sasaran, dan struktur desentralisasi terhadap kinerja manajerial.
Ngatemin (2009) dengan judul Pengaruh Komitmen Organisasi dan Locus Of Control Terhadap
Hubungan Antara Partisipasi Penyusunan Anggaran dan Kinerja Manajerial Pada Badan
Pengembangan Sumber Daya Kebudayaan dan Pariwisata Departemen Kebudayaan dan
Pariwisata Republika Indonesia. Penelitian ini membuktikan bahwa partisipasi anggaran
berpengaruh terhadap kinerja manajerial, komitmen organisasi berpengaruh terhadap hubungan
antara partisipasi penyusunan anggaran dan kinerja manajerial tidak dapat diterima dan tidak
signifikan, locus of control berpengaruh terhadap hubungan antara partisipasi penyusunan
anggaran dan kinerja manajerial tidak dapat diterima dan tidak signifikan.

47

Hapsari (2010) dengan judul Pengaruh Partisipasi Penyusunan Anggaran terhadap Kinerja
Manajerial dengan Komitmen Organisasi dan Locus Of Control sebagai variabel moderating.
Yang menjadi variabel dependen adalah kinerja manajerial dan partisipasi penyusunan anggaran
menjadi variabel independen serta komitmen organisasi dan locus of control menjadi variabel
moderating. Penelitian ini membuktikan bahwa partisipasi penyusunan anggaran berpengaruh
positif dan signifikan terhadap kinerja manajerial. Hasil interaksi komitmen organisasi dan locus
of control juga positif dan signifikan mempengaruhi hubungan partisipasi penyusunan anggaran
dan kinerja manajerial.
Nurcahyani (2010) dengan judul Pengaruh Partisipasi Anggaran Terhadap Kinerja Manajerial
melalui Komitmen Organisasi dan Persepsi Inovasi sebagai Variabel Intervening. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa adanya pengaruh langsung partisipasi penyusunan anggaran
terhadap kinerja manajerial. Partisipasi penyusunan anggaran berpengaruh secara signifikan
terhadap komitmen organisasi dan persepsi inovasi. Namun, partisipasi penyusunan anggaran
tidak berpengaruh secara terhadap kinerja manajerial melalui variabel intervening komitmen
organisasi dan persepsi inovasi.
Kerangka Konseptual
Model penelitian ini menunjukkan pengaruh antara faktor komitmen organisasi sebagai variabel
moderating dalam hubungannya antara partisipasi penyusunan anggaran terhadap kinerja
manajerial. Bahwa manajemen dengan komitmen organisasi yang tinggi akan mempengaruhi
kinerja manajerial. Partisipasi memungkinkan mereka untuk memperbaiki kesalahan yang pada
akhirnya akan mempengaruhi kinerja manajerial. Hapsari (2010) Manajemen dengan komitmen
organisasi yang tinggi memiliki keinginan untuk memperbaiki kesalahannya dan memberikan
yang terbaik bagi perusahaan dengan memanfaatkan partisipasi penyusunan anggaran sehingga
kinerja yang diharapkan dapat tercapai.
Partisipasi
Penyusunan
Anggaran

Kinerja
Komitmen
Organisasi

Manajerial

Gambar 2.1.
Kerangka Konseptual
Hipotesis
Berdasarkan kerangka konseptual diatas, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah :
H01 : Partisipasi dalam penyusunan anggaran tidak berpengaruh positif dan signifikan terhadap
kinerja manajerial.
Ha1 : Partisipasi dalam penyusunan anggaran berpengaruh positif dan signifikan terhadap
kinerja manajerial.
H02 : Partisipasi dalam penyusunan anggaran tidak berpengaruh positif dan signifikan terhadap
kinerja manajerial dengan komitmen organisasi sebagai variabel moderating.
Ha2 : Partisipasi dalam penyusunan anggaran berpengaruh positif dan signifikan terhadap
kinerja manajerial dengan komitmen organisasi sebagai variabel moderating.
48

METODE PENELITIAN
Subjek dan Lokasi Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah semua manager dan supervisor yang berpartisipasi dalam
proses penyusunan anggaran dan merupakan pelaksana keputusan manajemen puncak yang
berjumlah 48 orang. Dengan pertimbangan populasi kecil maka mengambil seluruh populasi
untuk dijadikan sampel (sensus sampling).
Data yang digunakan dalam penelitian in adalah data primer yang diperoleh dari pengisian
kuesioner yang dibagikan kepada responden dan data sekunder berupa dokumentasi dari PT.
Telkomsel dan jurnal-jurnak yang berkaitan dengan penelitian.
Operasionalisasi Variabel
Partisipasi Penyusunan Anggaran (X1)
Partisipasi penyusunan anggaran didefinisikan sebagai tingkat keterlibatan dan pengaruh
seseorang dalam proses penyusunan anggaran diukur dengan menggunakan nstrumen yang
dikembangkan oleh Milani (1975) dalam Ngatemin (2009) yang terdiri dari lima indikator:
(1)Partisipasi manajer dan pengaruhnya dalam menentukan sasaran anggaran, (2) Partisipasi
manajer dalam memformulasikan sasaran anggaran, (3) Partisipasi manajer dalam penetapan
sasaran anggaran secara terkendali, (4)Partisipasi dalam penjabaran opini dan pemikiran atasan
oleh manajer, (5)Partisipasi dalam pengambilan keputusan didasari kepuasan manajer.
Komitmen Organisasi ( X2)
Komitmen organisasi dalam penelitian ini digunakan sebagai variabel moderating. Variabel
komitmen organisasi adalah keyakinan dan dukungan yang kuat terhadap nilai dan sasaran yang
ingin dicapai oleh organisasi diukur dengan menggunakan instrumen yang dikembangkan oleh
Mowday (1979) dalam Ritonga (2008) yang terdiri dari sembilan indikator:
1. Komitmen akan membantu organisasi menjadi sukses.
2. Komitmen akan kebanggaan terhadap organisasi sebagai tempat yang baik untuk bekerja.
3. Komitmen akan menerima setiap penugasan dalam organisasi.
4. Komitmen akan sistem nilai dalam organisasi.
5. Komitmen akan rasa bangga bekerja pada organisasi.
6. Komitmen bahwa organisasi akan memberikan peluang yang terbaik untuk meningkatkan
kinerja.
7. Komitmen atas pilihan yang tepat bekerja di organisasi saat ini dibandingkan organisasi yang
sudah dipertimbangkan.
8. Komitmen akan kepedulian manajer terhadap masa depan organisasi tempat bekerja.
9. Komitmen bahwa organisasi ini adalah pilihan yang terbaik dari semua kemungkinan
organisasi yang dipilih untuk bekerja.
Kinerja Manajerial ( Y )
Kinerja manajerial sebagai variabel dependen adalah kinerja para manajer dalam kegiatankegiatan manajerial diukur dengan menggunakan instrumen yang dikembangkan oleh Mahoney
et .al (1963) dalam Ritonga (2008) yang terdiri dari sembilan indikator pertanyaan dan
pemberian jawaban yang terdiri dari di atas rata-rata, rata-rata, dan dibawah rata-rata,
pertanyaannya berkaitan dengan :
49

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

Kinerja yang berkaitan dengan perencanaan.


Kinerja yang berkaitan dengan investigasi.
Kinerja yang berkaitan dengan pengkoordinasian.
Kinerja yang berkaitan dengan evaluasi.
Kinerja yang berkaitan dengan pengawasan.
Kinerja yang berkaitan dengan pemilihan staf.
Kinerja yang berkaitan dengan negoisasi.
Kinerja yang berkaitan dengan perwakilan.
Pengukuran atas kinerja secara menyeluruh.

Teknik Analisis Data


Alat analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah regresi sederhana (simple
regression) dan regresi berganda (multiple regression). Analisis regresi sederhana digunakan
untuk melihat pengaruh partisipasi penyusunan anggaran terhadap kinerja manajerial dengan
menggunakan bantuan SPSS (Statistical Product and Service Solutions) for windows 20.
Rumus regresi sederhana adalah :
Y= 0 + 1x1 + e
Dimana :
Y
= kinerja manajerial
0
= konstanta
1
= koefesien regresi
X1
= partisipasi penyusunan anggaran
e
= eror term
Penggunaan analisis regresi berganda bertujuan untuk menguji seberapa besar interaksi
antara partisipasi penyusunan anggaran, komitmen organisasi berpengaruh terhadap kinerja
manajerial (Ngatemin : 2009).
Y= 0 + 1x1 + 2x2 + 3[(x1.x2)] + e
Keterangan :
Y
= kinerja manajerial
0
= konstanta
1, 2, 3
= koefisien regresi
X1
= partisipasi penyusunan anggaran
X2
= komitmen organisasi
(X1 . X2)
= interaksi antara partisipasi dengan komitmen organisasi
e
= eror term
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Uji Validitas dan Realibilitas
Menurut Ghozali (2009:49) pengujian validitas digunakan untuk mengukur sah atau valid
tidaknya suatu kuesioner. Suatu kuesioner dikatakan valid jika pertanyaan pada kuesioner
mampu untuk mengungkapkan sesuatu yang akan diukur oleh kuesioner tersebut. Uji validitas
dilakukan dengan menggunakan koefisien korelasi product moment (Pearson), dimana r hitung >
dari r tabel pada tarf signifikansi 5%. Hasil uji validitas untuk masing masing variabel partisipasi
50

penyusunan anggaran, komtmen organisasi dan kinerja manajerial adalah valid karena memiliki
nilai r hitung > r tabel Product momen (0,2403)
Uji reliabilitas dilakukan untuk mengetahui sejauh mana hasil pengukuran tetap konsisten, jika
dilakukan pengukuran dua kali atau lebih terhadap gejala yang sama dengan menggunakan alat
ukur yang sama. Untuk mengukur reliabilitas dalam pengolahan data digunakan Cronbach Alpha
Reability Coefisien dari masingmasing instrumen dalam suatu variabel. Instrumen yang dipakai
dikatakan andal (reliable) jika memiliki nilai cronbach alpha lebih dari 0,6. Berdasarkan hasil
penelitian ditemukan koefisien realibilitas Partisipasi penyusunan anggaranadalah 0,861,
instrumen komitmen organisasi adalah 0,743 dan instrumen kinerja manajerial adalah 0,660.
Dengan demikian disimpulkan bahwa semua variabel penelitian realible.
Uji Asumsi Klasik
Uji Normalitas
Pengujian normalitas dalam penelitian ini menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov. Uji
Kolmogorov-Smirnov dengan nilai signifikansi 0,995 > 0,05 sehingga disimpulkan data
berdistribusi normal.
Pengujian multikolonieritas dapat dilihat dari nilai Tolerance dan lawannya Variance Inflation
Factor (VIF). Jika nilai Tolerance < 0,10 dan nilai VIF > 10 maka telah terjadi korelasi antar
variabel independen, sebaliknya jika nilai Tolerance > 0,10 dan nilai VIF < 10 maka variabel
independen terbebas dari multikolonieritas. Berikut disajikan tabel hasil pengujian
multikolinieritas :
Tabel Hasil Uji Mulitikolinieritas
Coefficientsa
Model
Collinearity
Statistics
Toleranc
VIF
e
Partisipasi Penyusunan
,025 40,492
Anggaran
1
komitmen organisasi
,054 18,508
MRA[X1.X2]
,011 90,957
a. Dependent Variable: Kinerja Manajerial
Sumber :Data diolah, 2012
Pada Tabel diatas menunjukkan bahwa semua variabelmemiliki nilai tolerance < 0,10 dan nilai
VIF > 10 dengan demikian maka variabel bebas yang ada memiliki masalah multikoliniearitas
sehingga harus dilakukan transformasi untuk menghilangkannya.
Menurut Ghozali (2005) variabel yang memiliki masalah multikolinieritas harus dilakukan
transformasi untuk menghilangkannya yaitu dengan melakukan tranformasi dalam bentuk
logaritma natural (ln) agar variabel independen yang tidak dipengaruhi oleh variabel moderating
disisihkan secara otomatis dengan bantuan program SPSS dari model karena variabel tersebut
51

merupakan penyebab terjadinya multikoliniearitas, terutama terhadap hubungan dengan variabel


yang lain.
Setelah dilakukan transformasi berdasarkan hasil pengolahan data hasilnya dapat dilihat pada
Tabel berikut ini :
Tabel Hasil Uji Multikolinieritas
Coefficientsa
Model
Collinearity
Statistics
Toleranc
VIF
e
Ln_Komitmen
,231
4,338
Organisasi
1
Ln_MRA[X1.X2]
,231
4,338
a. Dependent Variable: Ln_Kinerja Manajerial
Sumber :Data diolah, 2012
Dari tabel dengan demikian nilai VIF dan Tolerance untuk masing-masing variabel adalah <10
dan Tolerance >0,1, hal ini membuktikan bahwa model regresi yang digunakan dalam penelitian
ini tidak terdapat gejala multikoliniearitas.
Uji Heterokedastisitas
Uji Heteroskedastisitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi terjadi
ketidaksamaan variance dari residual satu pengamatan ke pengamatan yang lain. Deteksi ada
tidaknya heteroskedastisitas dapat dilakukan dengan melihat ada tidaknya pola tertentu pada
grafik Scatterplot . Hasil uji ini menunjukkan Hasil sebagai berikut:
ini:

Sumber : Data diolah, 2013


Gambar 4.1.
Hasil Uji Heterokedastitas
Dari grafik Scatterplot pada Gambar 4.1 terlihat bahwa tidak terlihat pola tertentu dan titik-titik menyebar
secara acak serta tersebar baik di atas maupun dibawah angka 0 pada sumbu Y. hal ini menunjukkan
bahwa tidak terjadi heteroskedastisitas pada model regres
52

Koefisien Determinasi (R2)


Tabel Koefisien Determinasi
Model Summary
Model
R
R Square
Adjusted R Square
Std. Error of the Estimate
a
1
,755
,570
,561
,07258
a. Predictors: (Constant), Ln_Partisipasi Penyusunan Anggaran
Sumber : Data diolah, 2012
Nilai R square pada Tabel sebesar 0,570. Hal ini menunjukkan bahwa variabel Partisipasi
Penyusunan Anggaran berpengaruh positif terhadap Kinerja Manajerial sebesar 0,570 atau 57%.
Sedangkan sisanya sebesar 43% dipengaruhi variabel lain yang tidak dijelaskan oleh variabel
dalam penelitian ini.
Untuk mengetahui adanya pengaruh antara variabel komitmen organisasi dalam memoderasi
hubungan partisipasi penyusunan anggaran dengan kinerja manajerial, digunakan uji interaksi
atau disebut moderated regretion analysis. Berdasarkan hasil pengujian yang dilakukan
diperoleh nilai-nilai yang tercantum dalam Tabel berikut :
Tabel Koefisien Determinasi
Model Summary
Model
R
R Square
Adjusted R Square
Std. Error of the
Estimate
a
1
,852
,725
,713
,05865
a. Predictors: (Constant), Ln_MRA[X1.X2], Ln_Komitmen Organisasi
Sumber : Data diolah, 2012
Dari hasil output pada tabel 4.11 bahwa nilai uji interaksi (komitmen organisasi sebagai variabel
moderating) menunjukkan Nilai adjusted R Square sebesar 0,713 berarti kinerja manajerial dapat
dijelaskan oleh variabel partisipasi anggaran dan komitmen organisasi sebesar 71,3%, sedangkan
sisanya sebesar 28,7% dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak dijelaskan oleh model penelitian
ini.
Pengujian Hipotesis
a.

Pengaruh Partisipasi Penyusunan Anggaran secara parsial terhadap Kinerja Manajerial

Tabel Uji t Partisipasi Penyusunan Anggaran


Model

Coefficientsa
Unstandardized
Standardized
Coefficients
Coefficients
B
Std. Error
Beta
2,240
,149

(Constant)
Ln_Partisipasi Penyusunan
,399
Anggaran
a. Dependent Variable: Ln_Kinerja Manajerial
1

,051

,755

Sig.

14,995

,000

7,810

,000

Sumber : Data diolah,2012


Hasil uji statistik pada Tabel 4.8 menunjukkan bahwa variabel Partisipasi Penyusunan Anggaran
memberikan nilai koefisiensi regresi 0,399 dengan nilai signifikansi 0,000 ini berarti nilai
53

signifikansinya lebih kecil dari =5% (0,000 < 0,5), bila nilai signifikansi <5% maka H0 ditolak
dan H1 diterima secara signifikan.
Berdasarkan Tabel 4.8 maka model persamaan regresinya yang ditulis sebagai berikut :
Y = 2,240 + 0,339 Ln_PPA(X1) + e
a. Nilai konstanta sebesar 2,240 artinya apabila nilai partisipasi penyusunan anggaran bernilai
nol, maka nilai kinerja manajerial akan sebesar 2,240.
b. Koefisien regresi variabel Ln_partisipasi penyusunan angggaran sebesar 0,339 bermakna jika
variabel Ln_partisipasi penyusunan anggaran meningkat 1% maka akan menaikkan satu
satuan kinerja manajerial sebesar 3,39% dengan asumsi variabel lainnya konstanl.
Hasil pengujian hipotesis menunjukkan bahwa partisipasi penyusunan anggaran berpengaruh
positif dan signifikan terhadap kinerja manajerial di PT.Telkomsel. Dengan demikian, penelitian
ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi manajemen Telkomsel
untuk tetap
mempertahankan kebijakan partisipasi penyusunan anggaran karena terbukti dapat memberikan
pengaruh yang positif terhadap kinerja manajerial di PT.Telkomsel Medan. Dan dengan adanya
partisipasi penyusunan anggaran tersebut akan meningkatkan semangat kerja dan tanggung
jawab moral dari setiap komponen yang ada di PT.Telkomsel untuk menyukseskan setiap
rencana program kerja yang telah disusun. Karena anggaran tersebut merupakan suatu konsep
secara komprehensif yang melibatkan semua komponen yang ada pada perusahaan, maka dalam
penyusunan anggaran dibutuhkan keterlibatan para pimpinan baik secara langsung maupun tidak
langsung memberikan masukan berupa informasi kebutuhan yang ada pada setiap unit kerja
kepada pemegang kuasa anggaran. Dapat dipahami bahwa salah satu usaha yang dapat ditempuh
untuk meningkatkan kinerja manajerial di PT.Telkomsel adalah dengan cara meningkatkan
partisipasi penyusunan anggaran.
Adanya pengaruh positif antara partisipasi penyusunan anggaran terhadap kinerja manajerial
menunjukkan bahwa semakin tinggi partisipasi penyusunan anggaran maka akan semakin
meningkatkan kinerja manajerial. Partisipasi penyusunan anggaran merupakan keterlibatan
seluruh manajer (lini menengah ke bawah) dalam suatu instansi untuk melakukan kegiatan dalam
pencapaian sasaran yang telah ditetapkan dalam anggaran. Dengan adanya keterlibatan tersebut
akan mendorong para manajer dan kepala bagian untuk bertanggung jawab terhadap masingmasing tugas yang diembannya sehingga para manajer dan kepala bagian akan meningkatkan
kinerjanya agar mereka dapat mencapai sasaran atau target yang telah ditetapkan dalam
anggaran. Hal ini mengindikasikan adanya hubungan yang positif antara partisipasi penyusunan
anggaran dengan kinerja manajerial.
Hal ini mendukung penelitian Hapsari (2010) Hasil penelitian ini adalah partisipasi penyusunan
anggaran berpengaruh positif dan secara signifikan terhadap kinerja manajerial, komitmen
organisasi berpengaruh secara signifikan terhadap kinerja manajerial, locus of control
berpengaruh positif dan signifikan terhadap hubungan partisipasi anggaran dan kinerja
manajerial.
b.
Pengaruh Komitmen Organisasi dalam Memoderasi Hubungan antara Partisipasi
Penyusunan Anggaran Terhadap Kinerja Manajerial
54

Tabel Uji t Interaksi Komitmen Organisasi dalam Memoderasi Hubungan antara


Partisipasi Penyusunan Anggaran Terhadap Kinerja Manajerial
Coefficientsa
Model
Unstandardized
Standardize
T
Sig.
Coefficients
d
Coefficient
s
B
Std. Error
Beta
(Constant)
1,281
,225
5,686
,000
Ln_Komitmen
1
,253
,136
,303 1,862
,069
Organisasi
Ln_MRA[X1.X2]
,201
,057
,573 3,523
,001
a. Dependent Variable: Ln_Kinerja Manajerial
Sumber : Data diolah,2012
Hasil perhitungan uji t menunjukkan bahwa variabel Komitmen Organisasi memberikan nilai
koefisien regres sebesar 0,253 dengan tingkat signifikansi 0,069 sedangkan variabel Partisipasi
Penyusunan Anggaran yang diinteraksikan dengan Komitmen Organisasi memberikan nilai
regrsar 0,201 dengan tingkat signifikansi 0,001 yang berarti lebih kecil dari =5% (0,001 < 0,05)
maka H0 ditolak dan H1 diterima. Dengan demikian variabel moderating yang merupakan
interaksi antara Partisipasi Penyusunan Anggaran dan Komitmen Organisasi signifikan sehingga
dapat disimpulkan bahwa Komitmen Organisasi dapat menjadi variabel moderating.
Berdasarkan Tabel diatas maka model persamaan regresi yang dapat ditulis adalah sebagai
berikut :
Ln_KM _Y = 1,281 + 0,253 Ln_KO_X2 + 0,201 Ln_MRA_X1.X2+ e
a. Nilai konstanta sebesar 1.281 artinya apabila interaksi Komitmen Organisasi dengan
Partisipasi Penyusunan Anggaran bernilai nol, maka Kinerja Manajerial akan naik sebesar
1,281
b. Koefisien regresi variabel Ln_Komitmen Organisasi sebesar 0,253 bermakna jika variabel
Ln_Komitmen Organisasi meningkat 1% maka akan menaikkan Kinerja Manajerial sebesar
2,53% dengan asumsi variabel lainnya tetap atau sama dengan nol
c. Koefisien regresi interaksi variabel Ln_Partisipasi Penyusunan Anggaran dengan variabel
Ln_Komitmen Organisasi sebesar 0,201, hal ini berarti apabila terjadi kenaikan interaksi
variabel Ln_Partisipasi Penyusunan Anggaran dengan Ln_Komitmen Organisasi 1% maka
akan menaikkan Kinerja Manajerial sebesar 2,01% dengan asumsi variabel lainnya tetaap
atau sama dengan nol.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi manajemen PT.Telkomsel akan
pentingnya tingkat partisipasi, tingkat komitmen untuk mencapai prestasi kinerja. Komitmen
organisasi merupakan elemen penting dalam bekerja di perusahaan. Dengan adanya komitmen
organisasi yang tinggi maka sumber daya manusia yang kompeten di PT.Telkomsel dapat terjaga
dan terpelihara dengan baik. Untuk dapat meningkatkan kinerja manajerial, PT.Telkomsel harus
55

mampu memenuhi dan meningkatkan komitmen organisasinya. Dengan demikian, salah satu
upaya yang dapat dilakukan PT.Telkomsel dalam meningkatkan kinerja manajerial, dengan
meningkatkan komitmen setiap unit manajerial untuk meningkatkan komitmen organisasinya.
Hasil pengujian hipotesis menunjukkan bahwa komitmen organisasi berpengaruh positif dan
signifikan dalam memoderasi hubungan partisipasi penyusunan anggaran terhadap kinerja
manajerial. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa partisipasi penyusunan anggaran di
PT.Telkomsel akan lebih berpengaruh terhadap kinerja manajerial apabila dibarengi dengan
komitmen organisasi yang tinggi.
Hal ini mendukung penelitian Ritonga (2008), namun penelitian ini kotradiktif dengan hasil yang
dicapai oleh Maisyarah (2008) dimana hasil tersebut menyatakan bahwa interaksi partisipasi dan
komitmen organisasi secara parsial maupun simultan tidak berpengaruh signifikan terhadap
kinerja manajerial.
Kesimpulan
1. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan i Partisipasi Penyusunan Anggaran secara parsial
berpengaruh positif signifikan terhadap Kinerja Manajerial di PT Telkomsel. Semakin tinggi
tingkat partisipasi manajer dalam proses penyusunan anggaran maka semakin baik kinerjanya
2. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa komitmen organisasi sebagai variabel
moderating berpengaruh positif dan signifikan dalam hubungan antara pasrtisipasi
penyusunan anggaran terhadap kinerja manajerial.
Saran
1. Bagi perusahaan, diharapkan dengan adanya partisipasi anggaran dan komitmen organisasi
yang baik maka akan semakin baik pula tingkat atau citra perusahaan tersebut. Dan
diharapkan kinerja manajerial PT Telkomsel Medan bisa lebih efektif lagi. Dan komitmen
organisasi layak menjadi salah satu faktor yang perlu diperhatikan oleh PT Telkomsel dalam
upaya meningkatkan kinerja manajerialnya.
2. Untuk penelitian selanjutnya, disarankan agar dapat memperluas objek penelitian serta
menambahkan beberapa variabel lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini, sehingga dapat
menjadi bahan perbandingan yang signifikan dengan penelitian yang telah dilakukan.
Penelitian selanjutnya juga penting untuk mempertimbangkan kemungkinan pengaruh
variabel moderating, misalnya motivasi, struktur organisasi, locus of control dan kultur
organisasi
Daftar Pustaka
Adrianto, Y. (2008). Analisis Pengaruh Partisipasi Penyusunan Anggaran Terhadap
Kinerja Manajerial dengan Kepuasan kerja, Job Relevant Information dan
Motivasi Kerja sebagai Variabel Moderatig. Universitas Diponegoro, Semarang.
Allen, Natalie J and Meyer, John P.(1991). The Measurement And Antecedents Of Affective,
Countinuance And Normative Commitment To Organization, Journal of
Occupational Psychology, 63, 1-18.
Angle, H.I. dan J.I. Perry.(1981). An Empirical Assesment of Organizatinal Comitment and
Organizational Effectiveness. Administrative Science Quarterly 26, hal 1-14.
56

Anissarahma, D.(2008). Pengaruh Partisipasi Anggaran, Informasi Asimetris, Budget


Empharis dan Komitmen Organisasi terhadap Timbulnya Slack Anggaran.
Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta.
Anthony, R. N. dan V. Govindarajan. (2005). Management Control System. 11 ed, Salemba
Empat, Jakarta.
Argyris, (1952). Organizational Leadership dan Participation Management, The Journal of
Business, Vol. XXVII (January): 1-7.
Armstrong, M. (1998). Manajemen Sumber Daya Manusia. Media Kompetindo, Jakarta.
Bangun, A.(2009). Pengaruh Partisipasi dalam Penyusunan Anggaran, Kejelasan Sasaran
Anggaran dan Struktur Desentralisasi Terhadap Kinerja Manajerial SKPD
dengan Pengawasan Internal sebagai Variabel Pemoderasi. USU, Medan
Erlina dan Sri Mulyani. 2007. Metodologi Penelitian Bisnis. USU Pers, Medan.
Fitri, Y.(2004). Pengaruh Informasi Asimetri, Partisipasi Penganggaran dan Komitmen
Organisasi terhadap Timbulnya Senjangan Anggaran. Simposium Naional
Akuntansi VII, Denpasar Bali.
Garrison & Noreen.(Terjemahan), (2000). Akuntansi Manajerial, Salemba Empat, Jakarta.
Ghozali, Imam. (2001). Aplikasi Analisis Multivariat dengan Program SPSS. Badan PenerbitUndip, Semarang.
____________. (2002). Aplikasi Analisis Multivariat Dengan Program SPSS. Badan
Penerbitan Universitas Diponegoro. Semarang.
____________. (2005). Aplikasi Analisis Multivariat Dengan Program SPSS. Badan
Penerbitan Universitas Diponegoro. Semarang.
____________. (2009). Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS. Badan
Penerbit Universitas Diponegoro. Semarang.
Hafiz, F.W.(2007). Pengaruh Partisipasi Anggaran terhadap Kinerja Manajerial Pada
PT.Cakra Compact Alumunium Industrie. USU, Medan.
Hansen Dan Mowen.(2001). Akuntansi Manajemen. Salemba Empat,Jakarta.
________________.(2004). Management Accounting. 7th edition, South Western College
Publishing.
Hapsari, A.R.N.(2010). Pengaruh Partisipasi Penyusunan Anggaran terhadap Kinerja
Manajerial dengan Komitmen Organisasi dan Locus of Control Sebagai Variabel
Moderating. Universitas Diponegoro.
57

Haryani, S, (2001). Komitmen Karyawan sebagai Keunggulan Bersaing. Telaah Bisnis 2 (2)
:151-160.
http://bataviase.co.id/node/555549, Kinerja Telkomsel Merosot, diakses tanggal 3 Februari
2012.
http://id.wikipedia.org/wiki/komitmen_organsisasi, Employee
Southwestern, diakses tanggal 23 Februari 2012.

turnover,

Cincinnati,

OH:

http://www.telkomsel.com/, Laporan Berkelanjutan Telkomsel 2010, diakses tanggal 22


Desember 2011.
Ikhsan, Arfan dan Ishak.(2005). Akuntansi Keperilakuan. Penerbit: Salemba Empat.
Kenis, I. (1979). Effect Of Budgetary Goal Characteristics On Managerial Attitudes And
Performance. The Accounting Review. Vol. 54, No. 4, Oktober 1979, hal. 707-721.
Kusnadi (Maret 2005). Pengaruh Partisipasi Penyusunan Anggaran Terhadap Kinerja
Manajerial : Peran Kecukupan Anggaran danKomitmen Organisasi sebagai
Variabel Intervening: Studi pada Perusahaan-Perusahaan yang sudahListing di
BEJ. JMK vol 3, no 1
Listiawati, L, dkk. (2009), Analisis Pengaruh Partisipasi Manajer dalam penyusunan
Anggaran dengan Kinerja Manajer di PDAM Tirta Batang Hari. Universitas
Jambi.
Mahoney, T. A., T. H. Jerdee, and S. J. Carrol.(1963). Development of Managerial
Performance: A Research Approach, O. H. Cincinnati, Southwestern Publishing Co.
Maisyarah, R. (2008). Pengaruh Partisipasi Penyusunan Anggaran terhadap Kinerja
Manajerial dengan Komunikasi dan Komitmen Organisasi Sebagai Variabel
Moderating Variabel Pada PDAM Propinsi Sumatera Utara., Tesis USU.
Meyer, J.P., dan Allen, N.J.(1990). A Three Company Conceptualization of Organization
Commitment, Human Resouce Management Review Vol.1,hlm 772-777.
Milani, K. (1975). The Relationship Of Participation In Budget-Setting To Industrial
Supervisor Performance And Attitudes: Afield Study. The Accounting Review. April
1975, hal. 274-284.
Mowday,R.T.,R.M. Steers, dan L.W. Porter (1979), The Measurument of Organizational
Commitment, Journal of Vocational Behavior, Vol. 14 (April), pp. 224-47.

58

Ngatemin, (2009). Pengaruh Komitmen Organisasi dan Locus Of Control terhadap


Hubungan antara Partisipasi Penyusunan Anggaran dan Kinerja Manajerial Pada
Badan Pengembangan Sumber Daya Kebudayaan dan Pariwisata Departemen
Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia. USU, Medan.
Noor, W. (2007). Desentralisasi dan Gaya Kepimpinan Sebagai Variabel Moderating dalam
Hubungan antara Partisipasi Penyusunan Anggaran dan Kinerja Manajerial.
Simposium Nasional Akuntansi X. Makasar.
Nunnally, J. C. (1978). Psychometric Theory. McGraw-Hill, New York.
Nurcahyani, K. (2010). Pengaruh Partisipasi Penyusunan Anggaran Terhadap Kinerja
Manajerial melalui Komitmen Organisasi dan Persepsi Inovasi sebagai Variabel
Intervening. Universitas Diponegoro, Semarang.
Panggabean, S. Mutiara. (2001). Pengaruh Keadilan dalam Penggajian dan Perilaku
Individu terhadap Kinerja Dosen pada Perguruan Tinggi Swasta. Kajian Bisnis,
No. 26. Mei- Agustus.
Porter, L.W., R.M. Steers, R.T. Mowday, dan P.V. Boulian. (1974). Organizational
Commitment, Job Satisfaction, and Turn Over Among Psyatric Technicians. Journal
of Applied Psychology , 59: 603-609.
Ritonga, P. (2008). Pengaruh Budaya Paternalistik dan Komitmen Organisasi terhadap
Hubungan antara Partisipasi Anggaran dan Kinerja Manajerial Pada PDAM
Tirtanadi Propinsi Sumatera Utara. Tesis USU.
Riyadi, S. (2000). Motivasi dan Pelimpahan Wewenang Sebagai Variabel Moderating
dalam Hubungan Antara Partisipasi Penyusunan Anggaran dan Kinerja
Manajerial, Jurnal Riset Akuntansi Indonesia, Vol. 3, No. 2 : 134-150.
Robbins, S.P.(2002). Perilaku Organisasi : konsep, kontroversi, aplikasi, Alih Bahasa oleh
Adyana Pujaas maka, PT.Prenhalindo, Jakarta.
Robinson, et.al. (1997). Development of High performance organizational learning units,
1997, The Learning Organization, Vol.4, No. 5, pp 228-234, MCB university Press.
Santoso, Singgih. (2004). Statistik Parametrik Konsep dan Aplikasi dengan SPSS. PT. Elex
Media Komputindo Kelompok Gramedia. jakarta.
Sardjito, Bambang dan Osmad, M. (2007). Pengaruh Partisipasi Penyusunan Anggaran
Terhadap Kinerja Aparat Pemerintah Daerah : Budaya Organisasi Dan
Komitmen Organisasi Sebagai Variabel Moderating. SNA X. Juli- Agustus. pp 1-24.
Steers, R.M. (1985) . Efektivitas Organisasi Seri Manajemen. Erlangga, Jakarta.
59

Sugiyono. (2007). Metode Penelitian Bisnis. CV. Alfabeta, Bandung.


Supriyono. (1987), Akuntansi Manajemen I; Konsep Dasar Akuntansi Manajemen dan
Proses Perencanaan, edisi 1 BPFE, Yogyakarta.
Zurnali, Cut. (2010). Learning Organization, Competency, Organizational Commitment, dan
Customer Orientation : Knowledge Worker - Kerangka Riset Manajemen Sumber
daya Manusia di Masa Depan. Penerbit Unpad Press, Bandung.

60

ISSN : 2303-0542

ONE VILLAGE ONE PRODUCT (OVOP) SEBAGAI SOLUSI PEMBERDAYAAN


EKONOMI RAKYAT : SUATU KAJIAN LITERATUR
Adnan
adnanberdan@yahoo.co.id
Fakultas Ekonomi, Universitas Malikussaleh
Ai yub
aiyub_unimal@yahoo.com
Fakultas Ekonomi, Universitas Malikussaleh
Abstract
The introduction of strategies to build bridging and bonding social capital stimulate community
capacity development and knowledge creation and sharing and contribute to the increased
ability of communities to successfully introduce higher value-added community policy structures.
This paper explores these processes by looking at the development experience of Oyama-machi,
an inspirational archetype of the One Village, One Product (OVOP) movement of Oita
Prefecture, Japan. These strategies built bonding and/or bridging social capital, impacting upon
community capacity development and knowledge creation and sharing and the subsequent
introduction of higher value-added community policy structures such as new produce,
agricultural processing techniques, and ways of conceptualizing community.
Latar Belakang
Pembangunan merupakan suatu usaha atau rangkaian pertumbuhan dan perubahan yang terencana
yang dilakukan secara sadar oleh suatu bangsa, negara, dan pemerintah menuju pada modernitas
dalam rangka pembinaan bangsa,(Siagian :19 99). Pembangunan yang dilaksanakan di daerahdaerah ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan taraf hidup masyarakat. Hal
ini sesuai dengan tujuan negara Indonesia, sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan Undang
Undang Dasar 1945, yang salah satunya adalah memajukan kesejahteraan umum. Kesejahteraan
umum/rakyat dapat ditingkatkan kalau kemiskinan dapat dikurangi, sehingga untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat/umum dapat dilakukan melalui upaya penanggulangan
kemiskinan.
Upaya penanggulangan kemiskinan yang salah satunya dapat dilakukan dengan menerapkan
gerakan one village one product (OVOP) yang diharapkan mampu meningkatkan kinerja
ekonomi daerah dan kesejahteraan masyarakat daerah khususnya masyarakat perdesaan. OVOP
atau satu desa satu produk atau untuk wilayah Aceh lebih tepatnya OGOP atau one gampong
one product adalah pendekatan pengembangan potensi daerah di satu wilayah untuk
menghasilkan satu produk kelas global yang unik sesuai khas daerah dengan memanfatkan
sumberdaya lokal. OVOP merupakan salah satu pendekatan menuju klasterisasi produk-produk
unggulan yang berskala mikro, kecil, dan menengah (UMKM) agar dapat berkembang dan
mengakses pasar secara lebih luas, baik lokal, nasional, maupun internasional Dengan OVOP,
akan tumbuh penyerapan tenaga kerja, dan mengurangi kemiskinan di desa sehingga mampu
menahan laju urbanisasi dari desa ke kota.
61

Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari kajian literatur ini adalah untuk menjelaskan dan memberikan pemahaman
lebih lanjut tentang program OVOP ( one village one product) sebagai salah satu langkah
dalam mengentaskan kemiskinan serta membawa kemandirian ekonomi dalam masyarakat
melalui pengenalan sektor dan produk unggulan daerah yang memiliki kualitas sehingga mampu
bersaing baik potensi pemasaran secara lokal maupun secara internasional.
Tinjauan Teoritis
Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses di mana pemerintah daerah dan
masyarakatnya mengelola sumberdaya-sumberdaya yang ada dan membentuk suatu pola
kemitraan antara pemerintah daerah dengan sektor swasta untuk menciptakan suatu lapangan
kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi (pertumbuhan ekonomi) dalam
wilayah tersebut. Masalah pokok dalam pembangunan daerah adalah terletak pada penekanan
terhadap kebijakan-kebijakan pembangunan yang didasarkan pada kekhasan daerah yang
bersangkutan (endogenous development) dengan menggunakan potensi sumberdaya manusia,
kelembagaan, dan sumberdaya fisik secara lokal (daerah). Orientasi ini mengarahkan kita kepada
pengambilan inisiatif-inisiatif yang berasal dari daerah dalam proses pembangunan untuk
menciptakan kesempatan kerja baru dan merangsang peningkatan kegiatan ekonomi.
One Tambon One Product (OTOP) atau OVOP pada dasarnya adalah suatu konsep atau program
untuk menghasilkan satu jenis komoditas atau produk unggulan yang berada dalam suatu
kawasan tertentu. Pengertian kawasan dalam hal ini bisa meliputi suatu areal wilayah dengan
luasan tertentu seperti desa,wilayah kecamatan. Pendekatan ini merupakan gerakan masyarakat
yang mengembangkan potensi yang dimiliki daerah secara terintegrasi untuk meningkatkan
pendapatan dan kesejahteraan masyarakat sekaligus meningkatkan rasa percaya diri serta
kebanggaan akan kemampuan sendiri dan daerahnya (Soemarno, 2011).
Pendekatan OVOP pertama kali diperkenalkan dan dimulai oleh masyarakat perdesaan di Oita
Prefecture, Jepang pada tahun 1979. Gerakan masyarakat yang tumbuh dari diri sendiri ini telah
sangat berhasil meningkatkan pendapatan per kapita Jepang menjadi dua kali lipat dalam dua
dekade. Keberhasilan tersebut kemudian menjadi contoh bagi sejumlah negara untuk
mengembangkan potensi daerah dengan pola serupa. Beberapa negara yang sudah berhasil
mengembangkannya adalah Thailand (One Tambon One Product), Taiwan (One Town One
Product), Malaysia (Satu Distrik Satu Industri), Filipina (One Town One Product), dan Kamboja
(One Village One Product) (Triharini et al., 2012).
One Village One Product (OVOP) merupakan upaya pemerintah untuk meningkatkan nilai
tambah produk unggulan daerah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam
wadah koperasi atau UKM. (Inpres Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2007 ). OVOP didesain
dengan mengembangkan desa berdasarkan potensi desa yang unggul pada akhirnya akan
meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi desa yang berkualitas, yaitu pertumbuhan ekonomi
yang mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa. Setiap daerah mempunyai corak
pertumbuhan ekonomi yang berbeda dengan daerah lain.
62

Oleh karena itu, dalam perencanaan pembangunan ekonomi suatu daerah pertama-tama perlu
mengenali karakter ekonomi, sosial, dan fisik daerah itu sendiri, termasuk interaksinya dengan
daerah lain. Dengan demikian, tidak ada strategi pembangunan ekonomi daerah yang dapat
berlaku untuk semua daerah. Namun di pihak lain, dalam menyusun strategi pembangunan
ekonomi daerah, baik jangka pendek maupun jangka panjang, pemahaman mengenai teori
pertumbuhan ekonomi wilayah yang dirangkum dari kajian terhadap pola-pola pertumbuhan
ekonomi dari berbagai wilayah, merupakan satu faktor yang cukup menentukan kualitas rencana
pembangunan ekonomi daerah (Darwanto, 2002). Strategi pengembangan ekonomi daerah
melibatkan berbagai pemahaman mendasar tentang potensi dan peluang daerah dan berhubungan
dengan peningkatan kapasitas para aparat daerah, wakil rakyat, pengusaha, dan warga daerah
secara umum. Potensi leadership para pemimpin daerah dan kemampuan manajerial seorang
pemimpin di birokrasi, parlemen, dan dunia usaha di daerah sampai pada kesiapan para
stakeholders melaksanakan pembangunan daerah menjadi faktor dominan dalam kinerja
pengembangan ekonomi daerah, khususnya pengurangan angka kemiskinan (Muafi et al., 2009).
Menurut Pasaribu et al. (2011), mata rantai pembangunan daerah biasanya dimulai dengan
adanya kebutuhan, ketersediaan sumber daya, dan keahlian yang didukung oleh kemampuan
manajemen di daerah. Sementara perencanaan, pelaksanaan, serta monitoring dan evaluasi
dipandang sebagai bagian lain yang menyatu dalam mata rantai pembangunan itu sendiri. Mata
rantai pembangunan daerah dalam konteks pembangunan perdesaan harus dimulai dengan
memanfaatkan database yang mencakup data seperti pendekatan One Village One Product
(OVOP).
Konsep OVOP mengutamakan produk unik yang ada disetiap daerah dan keunikan tersebut
menyangkut kultur budaya, lingkungan, bahan baku, pengerjaan, dan proses produksinya.
Keberhasilan dan kekurangan pelaksanaan program OVOP, OGOP, dan sebagainya dapat
dipelajari sebagai bahan yang sangat berharga untuk mengadaptasi atau menciptakan program
sejenis di Aceh.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa OVOP adalah suatu gerakan masyarakat yang
secara integratif berupaya meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap potensi dan kekayaan
daerah, meningkatkan pendapatan para pelaku usaha dan masyarakat, dan sekaligus
meningkatkan rasa percaya diri dan kebanggaan terhadap kemampuan yang dimiliki masyarakat
dan daerahnya.
Landasan Hukum Program OVOP
Dalam rangka pengembangan UMKM, maka dilaksanakan program pengembangan UMKM
dengan pendekatan OVOP bagi percepatan pengembangan Sektor Riil dan Pemberdayaan Usaha
Mikro, Kecil dan Menengah, maka yang menjadi landasan hukum pelaksanaan OVOP di
Indonesia adalah ; 1. Undangundang Nomor 25 tahun 1992, Tentang Perkoperasian. Dan
Undang-undang Nomor 20 tahun 2008, Tentang Usaha Mikro, Kecil Dan Menengah. 2. Instruksi
Presiden Nomor 6 Tahun 2007 Tentang Percepatan Sektor Riil dan pembangunan Usaha Mikro
Kecil dan Menengah tanggal 8 Juni 2007 yang pengamanatkan pengembangan sentra melalui
pendekatan One Village One Product (OVOP). 3. Keputusan Rapat Kerja Kementerian Koperasi
63

dan UKM dengan Komisi VI DPR RI tahun 2008 agar program OVOP dapat dikembangkan di
Provinsi lain. 4. Telah diamanatkan dalam Program Kerja 100 hari Kabinet Indonesia Bersatu II.
Prinsip Dasar Pendekatan OVOP
Pendekatan OVOP mulai digagas pada tahun 2006 oleh Kementerian Perindustrian yang
kemudian ditandai dengan terbitnya Inpres No. 6/2007 tentang kebijakan percepatan
pengembangan sektor riil dan pemberdayaan UMKM dan Peraturan Menperin No. 78/MInd/Per/9/2007 tentang peningkatan efektivitas pengembangan IKM melalui pendekatan Satu
Desa Satu Produk (OVOP) yang saling mengkait untuk mendorong produk lokal industri kecil
dan menengah agar mampu bersaing di pasar global (Kementerian Perindustrian, 2011).
Tiga prinsip dasar pendekatan OVOP harus dipahami dan diadopsi. Ketiga prinsip dasar tersebut
mencakup pemilihan produk yang dihasilkan, pengukuran kekuatan sendiri, dan pemanfaatan
sumber daya yang tersedia seperti diuraikan berikut (Kementerian Perindustrian, 2010a):
1. Produksi Lokal di Pasar Global (Local Yet Global)
Mengupayakan pemanfaatan potensi sumber daya lokal untuk menghasilkan produk
tertentu yang mampu mencapai reputasi global. Masing-masing daerah merevitalisasi
potensi sumber daya dan memacu menghasilkan produk yang spesifik/unik, perpaduan
antara potensi, kearifan dan budaya lokal, yang bernilai tambah tinggi, sesuai dengan
standar pasar internasional, dan tetap menjaga kelestarian lingkungan.
2. Kemandirian dan Kreativitas (Self Reliance and Creativity)
Mengandalkan kekuatan masyarakat sendiri dalam gerakan OVOP. Usaha ini dilakukan
secara mandiri dengan kreativitas, inovasi, ketekunan, dan potensi sumber daya, serta
tingkat pengetahuan masyarakat itu sendiri.
3. Berorientasi Sumber Daya Manusia (Human Resource Development)
Pengembangan SDM dilakukan agar mempunyai motivasi tinggi untuk
mentransformasikan tantangan menjadi peluang pada berbagai bidang dan sektor
(pertanian, perindustrian, perdagangan, pariwisata, serta bidang-bidang lainnya yang
potensial dari daerahnya). SDM yang mapan tidak akan pernah menyerah dalam
pencarian dan penggalian inovasi baru, serta dengan ketekunannya tidak pernah putus asa
karena kegagalan, dan dengan resiliensi yang dimiliki selalu siap menghadapi tantangan.
Konsep OVOP melalui Triple Helix sebagai Strategi
OVOP sendiri dapat menjadi bagian dari penjabaran konsep ekonomi kerekyatan, wujud dari
ekonomi kerakyatan ini adalah lahirnya UKM-UKM dan juga koperasi sebagai pilar
pembangunan ekonomi di Indonesia. Penguatan pilar-pilar ini tentu merupakan sebuah
keharusan demi tercapainya tujuan dasar dari prinsip ekonomi kerakyatan. Dan konsep One
Village One Product (OVOP) dapat menjadi kebijakan dalam penguatan pilar ekonomi
kerakyatan ini. Triple Helix merupakan suatu istilah yang digunakan untuk menyebutkan peran
serta dan kerja sama tiga elemen pembangunan yaitu pemerintah, pengusaha, dan intelektual
(Abiyoso, 2008 ). Triple helix, terkesan merupakan sebuah istilah baru, padahal istilah ini sudah
cukup lama berkembang. Konsep Triple Helix ini, dalam menerapkan One Village One Product
(OVOP) merupakan elemen stakeholder yang mencakup semua sektor dan memiliki keterkaitan
yang saling menunjang dalam melaksanakan OVOP. Sebagaimana istilah triple helix dimana
dalam mengembangkan OVOP diperlukan peran tiga pihak yaitu pemerintah, swasta dan
64

intelektual yang wajib menopang usaha kecil menengah (UKM). Setiap potensi yang dimilki
oleh UKM difasilitasi oleh pemerintah, didorong bisnis dan kewirausahaannya oleh pihak swasta
dan diciptakan mekanisme yang lebih baik dalam menghasilkan serta meningkatkan kualitas
produk oleh pihak intelektual sehingga produk-produk lokal Indonesia dapat lebih dikenal,
dipercaya dan dipilih oleh masyarakat (Ayip, 2008). Secara berkesinambungan diperlukan peran
triple helix untuk mendukung perkembangan UKM tersebut.
Efektivitas dan Keberhasilan OVOP
Dalam rangka kampanye OVOP tiga hal yang diperlukan, yaitu selain fulfilling desa-desa
yang potensial sekaligus penduduknya, menyeleksi produk-produk competitive yang berasal dari
bahan-bahan lokal dengan menggunakan kearifan lokal dan keterampilan- ketrampilan kerampil
yang unik untuk menghasilkan produk-produk asli, unik dan bernilai serta komitmen dan
campur tangan pemerintahan lokal dan pusat.
Efektivitas dan keberhasilan One Village One Product (OVOP )tersebut tidak lepas dari 6 kunci
sukses pelaksanaannya (Dahliani.2009), yaitu: Kesadaran dan pemahaman SDM tentang
OVOP, Menggali potensi yang tersembunyi dari masing-masing desa/wilayah, Memperhatikan
produk-produk yang memiliki nilai tambah lebih tinggi, Melanjutkan percobaan-percobaan dan
usaha-usaha yang terus-menerus, Membangun pasar dan saluran distribusi serta Pembinaan bakat
dan kreativitas.
Kriteria Penentuan Produk Unggul
Terdapat beberapa kriteria yang digunakan untuk menentukan apakah suatu komoditas tergolong
unggul atau tidak bagi suatu wilayah. Kriteria-kriteria tersebut, adalah (Alkadri, dkk. 2001 dalam
Daryanto, 2003) :
1. Mampu menjadi penggerak utama (prime mover) pembangunan perekonomian.
2. Mempunyai keterkaitan ke depan dan ke belakang kuat baik sesama komoditas
unggulan maupun komoditas lainnya.
3. Mampu bersaing dengan produk/komoditas sejenis dari wilayah lain di pasar nasional
maupun internasional baik dalam hal harga produk, biaya produksi, maupun kualitas
pelayanan.
4. Memiliki keterkaitan dengan wilayah lain baik dalam hal pasar maupun pasokan
bahan baku.
5. Memiliki status teknologi yang terus meningkat.
6. Mampu menyerap tenaga kerja berkualitas secara optimal sesuai dengan skala
produksinya.
7. Dapat bertahan dalam jangka panjang tertentu,
8. Tidak rentan terhadap gejolak eksternal dan internal
9. Pengembangannya harus mendapatkan berbagai bentuk dukungan (keamanan, sosial,
budaya, informasi dan peluang pasar, kelembagaan, fasilitas insentif/ disinsentif, dan
lainnya.
10. Pengembangannya berorientasi pada kelestarian sumberdaya dan lingkungan.
Pada dasarnya, keberadaan komoditas unggulan pada suatu daerah akan memudahkan upaya
pengembangan agrobisnis. Hanya saja, persepsi dan memposisikan kriteria serta instrumen
65

terhadap komoditas unggulan belum sama. Akibatnya, pengembangan komoditas tersebut


menjadi salah urus bahkan menjadi kontra produktif terhadap kemajuan komoditas unggulan
dimaksud. Berikut adalah pengelompokan komoditas unggulan, sebagai rujukan untuk
menempatkan posisi produk agro dari sisi teori keunggulan komoditas, antara lain :
a. Komoditas unggulan komparatif : komoditas yang diproduksi melalui dominasi
dukungan sumber daya alam, di mana daerah lain tak mampu memproduksi produk
sejenis. Atau pula, komoditas hasil olahan yang memiliki dukungan bahan baku yang
tersedia pada lokasi usaha tersebut.
b. Komoditas unggulan kompetitif : komoditas yang diproduksi dengan cara yang
efisien dan efektif. Komoditas tersebut telah memiliki nilai tambah dan daya saing
usaha, baik dari aspek kualitas, kuantitas, maupun kontinuitas dan harga.
c. Komoditas unggulan spesifik : komoditas yang dihasilkan dari hasil inovasi dan
kompetensi pengusaha. Produk yang dihasilkan memiliki keunggulan karena karakter
spesifiknya.
d. Komoditas unggulan strategis : komoditas yang unggul karena memiliki peran
penting dalam kegiatan sosial dan ekonomi.
Penentuan Produk Unggulan Dengan Menggunakan Metode Weighted Product (WP)
Persaingan produk unggulan daerah semakin ketat seiring dengan terus meningkatnya laju
pertumbuhan industri. Persaingan ini mengakibatkan setiap industri harus lebih jeli dalam
merumuskan strategi kebijakan. Pengambilan keputusan untuk menentukan prioritas produk
unggulan daerah yang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan diperlukan suatu keputusan
yang akurat dan efektif agar tidak salah memilih dan meminimalisir kerugian baik dari segi biaya
maupun waktu.
Metode Weighted Product merupakan bagian dari konsep Multi-Attibut Decision Making
(MADM) dimana diperlukan normalisasi pada perhitungannya. Dengan menggunakan metode
Weighted Product, diharapkan dapat dikembangkan software sistem pendukung keputusan yang
dapat digunakan oleh suatu instansi, karena instansi cukup memilih beberapa barang yang akan
menjadi alternatif pemilihan dan memberikan nilai bobot pada perbandingan alternatif dan
kriterianya, adapun kriteria tersebut adalah omset, tenaga kerja, target pasar, teknologi,
spesifikasi, asal bahan baku, jumlah bahan baku.
MADM adalah suatu metode yang digunakan untuk mencari alternatif paling optimal dari
sejumlah alternatif optimal dengan kriteria tertentu. Inti dari MADM adalah menentukan nilai
bobot untuk setiap atribut, kemudian dilanjutkan dengan proses perangkingan yang akan
menyeleksi alternative yang sudah diberikan. Metode weighted product memerlukan proses
normalisasi karena metode ini mengalikan hasil penilaian setiap atribut. Hasil perkalian tersebut
belum bermakna jika belum dibandingkan (dibagi) dengan nilai standart. Bobot untuk atribut
manfaat berfungsi sebagai pangkat positif dalam proses perkalian, sementara bobot biaya
berfungsi sebagai pangkat negative. Metode weighted product menggunakan perkalian yang
menghubungkan rating atribut, rating setiap atribut harus dipangkatkan dulu dengan bobot yang
bersangkutan.

66

Lingkup Produk
Adapun lingkup dari produk yang dapat dijadikan sebagai salah satu produk didaerah atau
wilayah sebagai produk unggulan yakni bisa berupa ;
1. Produk makanan olahan berbasis hasil pertanian dan perkebunan.
2. Produk aneka minuman dari hasil pengolahan hasil pertanian dan perkebunan.
3. Produk hasil tenun atau konveksi khas masyarakat lokal.
4. Produk kebutuhan rumah tangga termasuk produk dekoratif atau interior.
5. Produk barang seni dan kerajinan termasuk produk cinderamata.
6. Produk herbal dan minyak atsiri khas masyarakat lokal.
Kesimpulan
Pendekatan One Village One Product (OVOP) merupakan gerakan masyarakat yang
mengandalkan kemampuan sendiri melakukan usaha ekonomi dengan memanfaatkan sumber
daya yang tersedia secara lokal. Pendekatan OVOP dapat diaplikasikan diantaranya dengan:
menetapkan produk yang akan dikembangkan, mengidentifikasi potensi pengembangan produk
dan permasalahan terkait, melakukan pembinaan dengan aplikasi teknologi pengolahan,
peningkatan kualitas, perluasan pemasaran, dan peningkatan kemampuan SDM serta dengan
melaksanakan kegiatan monitoring dan evaluasi untuk perbaikan usaha. Pengalaman negara lain
membangun industri perdesaan dengan pendekatan OVOP sangat berhasil meningkatkan
pendapatan dan kesejahteraan masyarakat setempat. Pendekatan ini juga bisa diadopsi dan
diterapkan di Propinsi Aceh mungkin dengan menggunakan nama One Gampong One Product
(OGOP), atau pendekatan -pendekatan yang lainnya dapat diaplikasikan dalam mengentaskan
kemiskinan serta membawa kemandirian ekonomi dalam masyarakat melalui pengenalan sektor
dan produk unggulan daerah yang memiliki kualitas sehingga mampu bersaing baik potensi
pemasaran secara lokal maupun secara internasional.
Daftar Pustaka
Darwanto, Herry, (2002), Prinsip Dasar Pembangunan Ekonomi Daerah, Jakarta.
Dahliani, One Village One Product,Tinjauan dari manajemen Produksi,LPP Com Manajemen
Perkebunan 2009. , download tanggal 20 Maret 2013
Badrudin Rudi, (2012), Model pengembangan usaha mikro kecil menengah dengan One Village
One
Product
Untuk
Mengurangi
Kemiskinan,
download
http://www.stieykpn.ac.id/downloads/journal/JUM/call_for_paper_FEUPN_USM_Rudy_
Badrudin.pdf tanggal 20 Maret 2013
Muafi, Titik Kusmantini, dan Hendri Gusaptono, (2009), Penguatan Ekonomi Lokal Melalui EReadiness Berbasis One Village One Product (OVOP), Ekuitas, Vol. 9, No. 1:16-28.
Pasaribu, Sahat M, (2011), Pengembangan Agro-Industri Perdesaan Dengan Pendekatan One
Village One Product (Ovop), Forum Penelitian Agro Ekonomi, Vol. 29, No.1:1-11.
Download tanggal 20 Maret 2013

67

Soemarno, (2011), Perencanaan Pengembangan Wilayah: Model Pengembangan Kawasan


Agribisnis Cabe Pemberdayaan Potensi Wira-Usaha Petani Kecil melalui
Pendampingan, Surabaya. Download tanggal 20 Maret 2013
Sondang P. Siagian, 1999, Ekonomi Pembangunan suatu Pengantar, Bumi Aksara.Jakarta,

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/27451/4/Chapter%20II.pdf
Riza Alvita, Perancangan Sistem Pendukung Keputusan Penentuan Prioritas Produk Unggulan
Daerah Menggunakan Metode Weighted Product (WP)

68

ISSN : 2303-0542

PENGARUH KUALITAS PELAYANAN TERHADAP KEPUTUSAN KONSUMEN


BERKUNJUNG KE CAFE KOPI BERBASIS WI-FI
(Studi kasus di Kota Lhokseumawe)
Rusydi Abubakar
rusydiabubakar130@yahoo.co.id
Fakultas Ekonomi, Universitas Malikussaleh
Afrizal
Fakultas ekonomi, Universitas Malikussaleh

Abstract
This study uses primary data obtained by spreading the questionnaires to visitors to Cafe Coffee-Based
Wi-Fi In Lhokseumawe. To test the hypothesis, the authors use the test statistic with multiple linear
regression analysis method. Utilization variables are examined, Responsiveness, Reliability and
Emphaty. Based on the results of the analysis can be seen that the test statistic has a value thitung
Utilization variable size (0.062) <ttabel as large as 1,985. Responsiveness variables have values thitung
2,800> 1,985 ttabel size. Variable Reliability has value as large thitung 5,074> 1,985 ttabel size. And
variable size Emphaty have thitung value 0.311 <ttabel size of 1,985. From the test results stastistika two
independent variables explained only that can influence the dependent variable. Reliability variable is
considered to have the most dominant influence on the dependent variable. Please note whole
simultaneous independent variables can influence the dependent variable, where the value obtained
Fhitung> Ftabel or 25.262> 2.47. Adjusted R2 values obtained in this study as large as 0.459, while the
value of R is obtained as large as 0.718.
Keyword : Service Quality, Consumer Decision, Based Coffee Cafe Traveled To Wi-Fi
LATAR BELAKNG MASALAH
Peran Internet sebagai Tekhnologi Industri tidak bisa dipungkiri dalam hal penyediaan informasi global.
Di zaman globalisasi ini, kebutuhan untuk memperoleh informasi yang cepat, mudah dan murah sangat
penting sehingga internet bisa dikatakan menjadi kebutuhan mendasar manusia.
Semakin berkembangnya dunia komunikasi dan komputer, teknologi internet menjadi relatif murah dan
terjangkau bagi konsumen. Tetapi penggunaan internet oleh sebagian besar masyarakat Indonesia masih
dianggap sebagai kegiatan yang mahal. Dari seluruh penduduk Indonesia yang berjumlah 250 juta jiwa,
baru sekitar lima juta yang mengakses Internet. Selain itu mahalnya biaya pulsa telpon menjadikan
masyarakat masih enggan untuk memasang internet sendiri dirumah. Sehingga tidak mengherankan
bahwa sebagian besar pengguna internet lebih memanfaatkan jasa internet melalui fasilitas komputer di
tempat umum. Pada saat ini salah satu tempat yang mayoritas digunakan masyarakat sebagai sarana
mengakses internet adalah Cafe Kopi yang menyediakan fasilitas Wi-Fi. Hal ini terjadi karena bisa
banyaknya konsumen yang ingin bersantai sambil memakai fasilitas internet. Cafe Kopi merupakan
sebuah tempat di mana seseorang bisa beristirahat sejenak melepas kepenatannya dari segala macam
kegiatan yang dilakukannya. Sejak munculnya Cafe Kopi berbasis Wi-Fi di Kota Lhokseumawe,
intensitas berkunjung konsumen diperkirakan semakin banyak, bisnis ini pun menjadi perhatian utama
oleh para pebisnis. Ini ditandai dengan makin berkembangnya bisnis tersebut. Adapun yang menjadi
perhatian konsumen dalam melakukan keputusan berkunjung ke Cafe Kopi berbasis Wi-Fi di Kota
Lhokseumawe yaitu mereka memperhatikan berbagai aspek seperti layanan yang diberikan, fasilitas yang
disediakan, kenyamanan, harga dari semua produk yang tersedia. Setiap pelanggan ingin mendapatkan
kualitas pelayanan yang baik selama mereka menggunakan jasa Wi-Fi tersebut, dengan memberikan
69

kualitas yang baik kepada pelanggan maka pelanggan akan merasa puas terhadap pelayanan yang
diberikan. Pelanggan yang puas terhadap pelayanan yang baik akan melakukan pembelian atau
menggunakan jasa secara berulang-ulang, lebih lanjut mereka akan merekomendasikan kepada orang lain
mengenai keunggulan suatu jasa.
Tingkat persaingan cukup tinggi terutama berkaitan dengan fasilitas yang dimiliki dan harga yang
ditawarkan. Internet menghadirkan perubahan dramatis pada perilaku konsumen dan paradigma
pemasaran konvensional. Saat ini konsumen semakin cerdas, canggih dan kritis, agar warung kopi
berhasil dalam mencapai tujuannya terutama dalam memenuhi kebutuhan konsumen, maka diperlukan
adanya analisis kualitas layanan konsumen sebagai salah satu cara dalam keberhasilan pemasarannya.
PERMASALAHAN
Berdasarkan latar belakang pendahuluan yang telah dikemukakan maka diidentifikasikan masalah sebagai
berikut : Apakah terdapat pengaruh kualitas pelayanan terhadap pengambilan keputusan konsumen
berkunjung dan Variabel mana yang dominan mempengaruhi konsumen dalam pengambilan keputusan
berkunjung ke Cafe kopi berbasis Wi-Fi
LANDASAN TEORITIS
Menurut American Society for Quality Control, kualitas adalah keseluruhan ciri-ciri dan karakteristik dari
suatu produk / jasa dalam hal kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan yang telah ditentukan atau
bersifat laten (Lupiyoadi, 2001:144).
Davis dalam Yamit (2004:8) membuat definisi kualitas yang lebih luas cakupannya yaitu kualitas
merupakan suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, jasa, manusia, proses dan
lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan.
Jadi kualitas dapat disimpulkan sebagai suatu usaha menjaga janji pelayanan agar pihak yang dilayani
merasa puas dan diuntungkan. Meningkatkan kualitas merupakan pekerjaan semua orang adalah
pelanggan. Tanggung jawab untuk kualitas produksi dan pengawasan kualitas tidak dapat didelegasikan
kepada satu orang. Layanan menurut (Tjiptono, 2004:94) adalah kegiatan yang dilakukan perusahaan
kepada pelanggan yang telah membeli produknya. Pada saat sekarang ini, pengertian layanan tidak
terbatas pada distribusi fisik saja, bahkan sudah menjadi bentuk usaha yang sangat banyak ragamnya serta
sangat dibutuhkan pada masyarakat modern ini. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Kotler (1999)
pengertian layanan adalah setiap kegiatan atau manfaat yang ditawarkan oleh suatu pihak pada
pihak lain dan pada dasarnya tidak berwujud, serta tidak menghasilkan kepemilikan sesuatu.
Menurut pendapat Kotler di atas, bentuk pelayanan dapat berbentuk apa saja, yaitu setiap kegiatan
atau manfaat yang ditawarkan kepada pihak lain yang mungkin tidak berkaitan dengan produk fisik.
Pelayanan yang diberikan dengan sebaik-baiknya diharapkan dapat memuaskan pelanggan dalam
menggunakan layanan yang ditawarkan, pada tahap selanjutnya diharapkan dapat meningkatkan
pelanggan pengguna layanan tersebut sebanyak mungkin serta mampu mempertahankan pelanggan
yang sudah ada.
Mowen (2002) mendefinisikan pelayanan sebagai suatu proses pemenuhan kebutuhan melalui aktifitas
orang lain lebih lanjut dikatakan pelayanan umum adalah kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau
kelompok orang dengan landasan faktor material, melalui sistem prosedur, dan metode tertentu dalam
rangka usaha memenui kepentingan orang lain sesuai dengan haknya.
Jadi pelayanan dapat disimpulkan merupakan suatu kegiatan atau urutan kegiatan yang terjadi dalam
interaksi langsung antara seseorang dengan orang lain atau mesin secara fisik, dan menyediakan kepuasan
pelanggan. Dengan demikian, perusahaan harus dapat memberikan rasa nyaman pada konsumen. Dengan
70

demikian suatu perusahaan dalam hal ini adalah Warung Kopi, agar kualitas pelanggan semakin melekat
erat dan pelanggan berpaling pada perusahaan lain, perusahaan perlu menguasai lima unsur yaitu cepat,
tepat, aman, ramah-tamah dan nyaman.
Menurut Kotler, Bowen, Makens (1999:42-44) ada 4 karakteristik layanan :
1. Tidak berwujud (Intangibility)
Tidak seperti barang yang dijual, layanan tidak bisa dilihat, dicicipi, dirasakan, didengar, atau
dicium sebelum dibeli. Untuk mengurangi ketidakpastian yang disebabkan oleh service
intangibility, pelanggan berusaha untuk mencari bukti yang dapat dilihat atau tangible yang dapat
memberikan informasi dan keyakinan mengenai pelayanan tersebut. Contohnya eksterior sebuah
restoran merupakan hal yang pertama dilihat oleh pelanggan pada saat pelanggan tersebut tiba.
Kondisi lantai dan kebersihan dari keseluruhan ruangan mengisyaratkan betapa baiknya bisnis
tersebut dijalankan.
2. Tidak dapat dipisahkan (Inseparability)
Di sebagian besar bisnis layanan, penjual maupun pembeli harus hadir sehingga transaksi dapat
terjadi. Pelanggan menghubungi karyawan merupakan bagian dari produk yang dijual. Makanan di
sebuah restoran bisa saja sangat terkemuka, tetapi jika pelayanan yang diberikan buruk, pelanggan
akan menurunkan nilai keseluruhan pengalaman di restoran tersebut. Pelanggan tidak akan puas
dengan pengalaman itu. Service Inseparability juga mengandung arti bahwa pelanggan merupakan
bagian dari produk. Seorang manajer harus mampu mengatur pelanggan sehingga seorang pelanggan
tidak menciptakan ketidakpuasan terhadap pelanggan lain.
3. Berubah-ubah (Variability)
Layanan sifatnya berubah-ubah, artinya layanan tergantung pada siapa yang menyediakan, kapan dan
di mana serta bagaimana layanan tersebut disediakan.
4. Tidak tahan lama (pershability)
Layanan tidak dapat disimpan. Sebuah hotel dengan 100 kamar yang hanya menjual 60 kamar tidak
dapat menyimpan atau menginventaris 40 kamar yang tidak terjual.
Kualitas Layanan (Service Quality)
Definisi kualitas jasa berpusat pada upaya pemenuhan kebutuhan dan keinginan pelanggan serta ketepatan
penyampaiannya untuk mengimbangi harapan pelanggan. Menurut Wyckof, Lovelock (1988) dalam
Tjiptono (2004:59), kualitas jasa adalah tingkat keunggulan yang diharapkan dan pengendalian atas
tingkat keunggulan tersebut untuk memenuhi keinginan pelanggan. Menurut Parasuraman, et al (1985)
dalam Tjiptono (2004:60) ada dua faktor utama yang mempengaruhi kualitas jasa yaitu sexpected service
(jasa yang diharapkan) dan perceived service (jasa yang diterima). Apabila jasa yang diterima atau yang
dirasakan sesuai dengan yang diharapkan, maka kualitas jasa dipersepsikan baik dan memuaskan. Jika
jasa yang diterima melampaui harapan pelanggan, maka kualitas jasa dipersepsikan sebagai kualitas yang
ideal. Sebaliknya jika jasa yang diterima lebih rendah dari pada yang diharapkan, maka kualitas jasa akan
dipersepsikan buruk atau tidak memuaskan.Dengan demikian baik tidaknya kualitas jasa tergantung pada
kemampuan pada penyediaan jasa dalam memenuhi harapan pemakainya secara konsisten.

71

Kerangka Konseptual
Faktor-faktor Kualitas
Pelayanan (X)
Tangible (X1)
Responsiveness (X2)

Keputusan Berkunjung
(Y)

Reliability (X3)
Emphaty (X4)

METODE PENELITIAN
Lokasi penelitian ini dilakukan di kota Lhokseumawe dan yang menjadi subjek penelitian yaitu
masyarakat kota Lhokseumawe yang mengunjungi Cafe kopi yang berbasis Wi-Fi di Kota Lhokseumawe.
Penentuan sampel digunakan dengan pendekatan slovin sebagai berikut :

N
1 Ne 2

Sampel yang diambil dalam penelitiaan ini 10% dari tiap-tiap responden, Untuk menganalisis pengaruh
variabel bebas (Independent variable) terhadap variabel terikat (dependent variable), digunakan teknik
regresi linear berganda, adapun persamaan regresi linear berganda adalah sebagai berikut:
Y = a + X1 + X2 + X3 + X4 + i
Di mana:
Y
= Dependent variable (Keputusan Berkunjung)
a
= Kostanta

= Koefisien regresi
X1
= Tangible
X2
= Responsiveness
X3
= Reliability
X4
= Emphaty

= Error term

HASIL PEMBAHASAN
Untuk mengetahui apakah terdapat pengaruh antara Kualitas Pelayanan Terhadap Keputusan Berkunjung
Ke Cafe Kopi Berbasis Wi-Fi Di Kota Lhokseumawe, dapat dilihat dengan membandingkan nilai
signifikan hitung. Berikut merupakan pembahasan hasil pengolahan data.
Hasil Analisis Regresi
No.
1.
2.

Variabel
Y
Kualitas Pelayanan
(X)
DF = 100 - 1 4

Penjabaran
Konstanta
Tangible
Responsiveness
Reliability
Emphaty
Adjusted R2 =
0,459

Koefisien
.730
.004
.221
.458
.035
R = 0,718
R2= 0,515

thitung
1.395
.062
2.800
5.074
.311
ttabel = 1,985

Sig.
.166
.951
.006
.000
.756
Ftabel = 2,47
Fhitung = 25,262

Sumber : Hasil Penelitian 2011 (data diolah)


72

Dari hasil pengolahan data di atas digunakan untuk menghitung besarnya nilai antara variabel independen
dan variabel dependen, maka digunakan formula regresi berganda untuk hasil analisa ini adalah :
Y = 0,730 + 0,004 + 0,221 + 0,458 + 0,035 + ei
Berdasarkan perhitungan di atas, konstanta mempunyai nilai koefisien sebesar 0,730 yang berarti bahwa
jika variabel independen yang terdiri dari Tangible (X1), Responsiveness (X2), Reliabilty (X3) dan
Emphaty (X4), memiliki nilai sama dengan konstan, maka Keputusan Berkunjung mempunyai nilai
sebesar (0,730).
Berdasarkan hasil data di atas koefisien variabel Tangible memiliki nilai sebesar (0,004) yang berarti jika
variabel Tangible meningkat satu tingkat, maka akan terjadi peningkatan terhadap Keputusan Berkunjung
sebesar 0,004 (0,4%). Untuk nilai koefisien pada variabel Responsiveness memiliki nilai sebesar 0,221
yang berarti bahwa jika variabel Responsiveness meningkat satu tingkat, maka akan terjadi peningkatan
terhadap Keputusan Berkunjung sebesar 0,221 (22,1%). Untuk nilai koefisien pada variabel Reliability
memiliki nilai sebesar 0,458 yang berarti bahwa jika variabel Reliability meningkat satu tingkat, maka
akan terjadi peningkatan terhadap Keputusan Berkunjung sebesar 0,458 (45,8%). Dan untuk nilai
koefisien pada variabel Emphaty memiliki nilai sebesar 0,035 yang berarti bahwa jika variabel Emphaty
meningkat satu tingkat, maka akan terjadi peningkatan terhadap Keputusan Berkunjung sebesar 0,035
(3,5%).
Berdasarkan uji statistik maka untuk mengetahui besarnya hubungan antara variabel independen terhadap
variabel dependen diperoleh sebesar 0,718. Sedangkan untuk melihat besarnya pengaruh dari Kualitas
Layanan (X) terhadap Keputusan Berkunjung (Y) dapat dilihat pada hasil uji Adjusted R2. Berdasarkan
pengujian maka diproleh nilai Adjusted R2 sebesar 0,459 yang berarti bahwa pengaruh variabel
independen terhadap variabel dependen saling mempengaruhi sebesar 0,459. Sedangkan sisanya sebesar
0,541 dipengaruhi oleh faktor-faktor lain di luar model penelitian ini.
KESIMPULAN
1. Berdasarkan hasil penelitian maka dapat dilihat bahwa variabel Tangible memiliki nilai thitung (0,062) <
ttabel (1,985) dan variabel Emphaty memiliki nilai thitung (0,311) < ttabel (1,985) maka variabel tersebut
tidak berpengaruh signifikan terhadap Keputusan Berkunjung.
2. Berdasarkan hasil penelitian maka dapat dilihat bahwa variabel Responsiveness memiliki nilai thitung
(2,800) > ttabel (1,985) dan variabel Reliability memiliki nilai thitung (5,075) > ttabel (1,985) maka variabel
tersebut berpengaruh signifikan terhadap Keputusan Berkunjung.
3. Berdasarkan hasil penelitian, di mana variabel Reliability memiliki pengaruh (45,8%) dan merupakan
variabel yang paling dominan terhadap variabel dependen Keputusan Berkunjung.

Daftar Pustaka
Armstong, Gary dan Philip, Kotler, (2003), Marketing : An Introduction International Edition, Sixth
Edition, McGraw-Hill, New York.
Boediono, Dr, Dr. Ir. Wayan Koster, M.M. Teori Dan Aplikasi Statistika Dan Probabilitas. Edisi 3.
Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.
Dharmesta, Basu Swasta dan Handoko, T. Hani. (2000). Manajemen pemasaran: Analisa perilaku
konsumen. Edisi pertama. Cetakan kedua. Yogyakarta : Liberty.

73

Dewi Lukasyanti, (2006). Pengaruh Kualitas Pelayanan Terhadap Keputusan Menggunakan Jasa
Pada Rumah Sakit Umum Daerah Kraton Kabupaten Pekalongan. Jurusan Manajemen.
Fakultas Ekonomi. Universitas Negeri Semarang.
Dick dan Basu (2001) Manajemen Pemasaran Jasa: Teori dan Praktek, Edisi Pertama. Salemba Empat,
Jakarta.
st

Egan, J. (2004), Pemasaran relasional exploring relational strategies in marketing, (1 edn), New
Jersey: Prentice Hall.
Fandy Tjiptono, (2001). Total Quality Manajemen. Edisi Revisi. Cetakan IV. Yogyakarta: Penerbit Andi.
Gaspersz, Vincent. 2001. Total Quality Management (TQM), Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.
Ghozali, Imam. (2005). Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS. Semarang: Badan
Penerbit Universitas Diponegoro.
Hanna, Nessim, & Richard Wozniak, (2001), Consumer Behavior: An Applied Approach, Prentice-Hall:
Intenational.
Hasan, Iqbal. (2002). Analisa Data Penelitian Dengan Statistik. Jakarta : Bumi Aksara.
Husein, Umar, 2000. Metodologi Penelitian, Aplikasi dalam Pemasaran, PT. Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta.
Hutabarat, Jemsly. (1997). Visi Kualitas Jasa "Membahagikan Pelanggan" : Kunci Sukses Bisnis
Jasa. Penerbit Gramedia. Jakarta.
Kotler,P., Bowen, J., & Makens, J. (1999). Marketing for hospitality and tourism (2nd ed). New Jersey
: Prentice-Hall.
Kotler Philip. (2000). Manajemen Pemasaran. Edisi Milenium. Jakarta: Prenhallindo.

Kotler dan Armstrong, (terjemahan Alexander Sindoro), (2000), Dasar-dasar Pemasaran,


Prenhallindo, Jakarta.
Kotler, P. (1999). Manajemen pemasaran Jilid 1 (Edisi 6). Jakarta: PT. Prehallindo.
Lupioadi, Rambat, (2001). Manajemen Pemaaran Jasa. Edisi Pertama. Salemba Empat. Jakarta.
Malayu, Hasibuan. (2005). Manajemen Sumber Daya Manusia, Penerbit Bumi Aksara. Jakarta.
Mauludin, Hanif. (2001). Analisi Kualitas Pelayanan Pengaruhnya Terhadap Image (Studi Pada
Rawat Inap RSUD. DR. Koesma Tuhan), Jurnal Penelitian Akuntansi, Bisnis dan Manajemen.
Vol. 7, No. I (April) : 37-51.
Minum kopi bagian gaya hidup. (11 September 2006). Suara Pembaharuan. 12 September 2007.
http://www.suarapembaruan.com/News/2006/09/11.
74

Mowen. H. (2002). Perilaku Konsumen. Jilid I. Penerbit. Andi. Yogyakarta.


Sheth & Mittal. (2004). Perilaku Konsumen, Buku Satu, Penerbit Gramedia, Jakarta.
Schiffman, l.G., & Leslie L.K., (2004). Consumer Behavior. 8th edition. Prentice Hall, New Jersey.
Sudartik, (2005). Pengaruh kualitas pelayanan dan periklanan Terhadap keputusan nasabah dalam
menabung Pada PT. BPR semarang margatama gunadana Di semarang.
Sugiarto, (2001), Teknik Sampling, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Sugiyono. (2005). Statistika untuk Penelitian. Bandung : CV Alfa Beta.
Sugiyono. (2006). Metode Penelitian Bisnis, cetakan kesembilan, CV. Alvabeta: Bandung.
Sugiyono. (2007). Statistika untuk penelitian. Bandung: CV Alfabeta.
Ari Budi Sulistiono. (2003). Penelitiannya Pengaruh kualitas pelayanan, Fasilitas dan lokasi
terhadap Keputusan menginap (Studi Pada Tamu Hotel Srondol Indah Semarang).
Supranto, (2001), Pengukuran Tingkat Kepuasan Pelanggan Untuk Menaikkan Pangsa Pasar,
Rineka Cipta, Jakarta.
Susanto, AB. (2005), Gerbang Pemasaran, Penerbit Gramedia, Jakarta.
Swastha, Basu dan T Hani Handoko. (1999). Manajemen Pemasaran: Analisis Perilaku Konsumen.
Yogyakarta: BPFE.
Tjiptono, F. (2004). Pemasaran jasa. Yogyakarta: Penerbit Andi.
Umar, H. (1999), Metode penelitian untuk pemasaran, Jakarta: Gramedia Pustakan Utama.
Afrizal, (2011),Kualitas Pelayanan Terhadap Keputusan Konsumen berkunjung ke warung kopi
berbasisi internet
Yamit, Zulian, (2003). Manajemen Produksi Dan Operasi, Penerbit Ekonisia, Yogyakarta.

75

ISSN : 2303-0542

PERANAN KOPERASI PERTANIAN DALAM PEMBERDAYAAN PENDAPATAN


MASYARAKAT DESA (Studi Pada Petani Kelapa Sawit di Kecamatan
Cot Girek Aceh Utara)
Ikramuddin
ikramuddin_alueraya@yahoo.com
Fakultas Ekonomi, Universitas Malikussaleh

Teuku Zulkarnaen
teuku_zulkarnaen@yahoo.com
Fakultas Ekonomi, Universitas Malikussaleh
Abstract
This study aimed to determine the role of cooperatives in improving farming community empowerment
in the District of income Girek Cot. Research methods using descriptive qualitative method with the
purpose of obtaining a comprehensive view and understanding of the role of cooperatives. Location
studies done in North Aceh District Girek Cot. Techniques of qualitative data analysis is a technique
with an interactive model. The results showed that the role of cooperatives in improving farming
community empowerment is essential income in the form of capital lending, provision of raw materials
/equipments for agriculture, farming and container management training and marketing of
agricultural products. Constraints or obstacles for the expansion of the cooperative role of
cooperative members own due to lack of participation in the organization that is cooperative, the lack
of public awareness of the venture capital loans to pay bills each month, the lack of good cooperation
between members of the cooperative.
Keywords: cooperative, community empowerment income.
PENDAHULUAN
Dunia koperasi telah terbukti bertahan di tengah badai krisis moneter yang nyaris menghancurkan
perekonomian Indonesia pada era 1997. Hal tersebut menunjukan bukti bahwa koperasi merupakan salah
satu pondasi dan soko guru pembangunan ekonomi kerakyatan. Selain itu, harus diakui pula jika secara
langsung atau tidak langsung pembinaan dan ketangguhan koperasi telah memberi kontribusi luar biasa
dalam pembangunan ketahanan Nasional.
Sektor koperasi sebagai salah satu bentuk usaha ekonomi rakyat perlu memperoleh perhatian dan
kesempatan bagi pengembangan usahanya. Karena secara normativ koperasi merupakan kegiatan bisnis
dengan mendayagunakan potensi ekonomi anggotanya. Jika potensi-pontensi ekonomi anggotanya ini
secara kolektif dikelola dan dengan baik dan profesional akan membentuk kekuatan besar.
Sedikitnya ada dua alasan mengapa masalah koperasi masih relevan untuk dibahas, pertama dengan
adanya koperasi sedikit banyaknya bisa mengurangi angka penganggura. Dimana angka pencari kerja
lebih tinggi pertumbuhannya dibandingkan lapangan kerja yang tersedia. Kedua koperasi dapat berperan
sebagai motor penggerak dalam meningkatkan pendapatan masyarakat pedesaan yang mengandalkan
sektor pertanian, seperti halnya pada masa orde baru telah sukses menghantarkan Indonesia menjadi salah
satu negara swasembada beras, Koperasi itu sendiri ada beberapa bagian yakni koperasi simpan pinjam,
koperasi produksi jasa, dan koperasi serba usaha yang tersebar diberbagai pelosok dalam wilayah Negara
Republik Indonesia.

76

KAJIAN PUSTAKA
Pengertian Koperasi dan Jenis-jenis Koperasi
Koperasi menurut UU Nomor 25 Tahun 1992 pasal (1) Koperasi adalah badan usaha yang
beranggotakan orang-orang atau badan hukum koperasi dengan berlandaskan kegiatannya berdasarkan
perinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasarkan atas azas kekeluargaan.
Sedangkan pasal (2) Perkoperasian adalah Segala sesuatu yang menyangkut kehidupan koperasi, yang
dimaksud dengan kehidupan koperasi adalah aspek yang erat berkaitan dengan pembangunan koperasi,
seperti misalnya falsafah, idiologi, organisasi, manajemen, usaha, pendidikan, pembinaan dan sebagainya.
Menurut Hadikusuma (2001:11) koperasi berasal dari kata-kata Latin yaitu Cum yang berarti dengan, dan
Aperari yang berarti bekerja. Dari dua kata ini, dalam bahasa Inggris dikenal istilah Co dan Operation,
yang dalam bahasa Belanda disebut dengan istilah Cooperatieve Vereneging yang berarti bekerja bersama
dengan orang lain untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Sedangkan Pandji Anoraga, (2002:21)
menjelaskan jenis koperasi di Indonesia Ada dua yaitu sebagai berikut :
a. Koperasi Primer
Koperasi primer adalah koperasi yang anggotanya adalah orang-orang yang memiliki kesamaan
kepentingan ekonomi dan ia melaksanakan kegiatan usahanya dengan langsung melayani para
angotanya. Contoh koperasi primer ini adalah koperasi unit desa.
b. Koperasi Sekunder
Koperasi Sekunder adalah semua Koperasi yang didirikan dan beranggotakan Koperasi Primer dan
atau Koperasi Sekunder. Berdasarkan kesamaan kepentingan dan tujuan efisiensi, Koperasi Sekunder
dapat didirikan oleh Koperasi sejenis maupun berbagai jenis atau tingkatan.
Fauguet (2002:16) menegaskan ada empat prinsip yang harus dipenuhi oleh setiap individu yang
menamakan dirinya sebagai koperasi. Empat prinsip itu adalah:

1. Ketentuan tentang perbandingan yang berimbang dalam hasil yang diperoleh atas
pernanfaatan jasa-jasa oleh setiap pemakai dalam koperasi. Berdasarkan prinsip ini,
pembagian sisa hasil usaha, kewajiban menyertakan uang simpanan untuk membiayai
aktivitas koperasi, keharusan untuk ikut bertanggung jawab atas kerugian yang terjadi, serta
penyertaan cadangan perorangan diatur secara jelas dalam setiap badan hukum koperasi.
2. Persarnaan hak antara para anggota.
3. Keanggotaan yang didasari oleh kesukarelaan.
4. Hak dan kewajiban untuk berpartisipasi dalam pelaksanaan kegiatan koperasi sehari-hari.
Sedangkan prinsip koperasi menurut Rochdale adalah sebagai berikut:

a.
b.
c.
d.

Pengawasan oleh anggota secara demokratis.


Keanggotaannya berlaku secara sukarela dan terbuka.
Adanya pembatasan.
Pembagian sisa hasil usaha kepada anggota sebanding dengan pembelian yang dilakukan
pada koperasi.
e. Penjualan dilakukan sepenuhnya secara, tunai. Penjualan hanya dilakukan terhadap barang
yang benar-benar bermutu dan tidak dipalsukan.
Pengertian Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat
Penggunaan kata empowerment dan to empower diterjemahkan menjadi pemberdayaan dan
memberdayakan. Konsep empowerment (pemberdayaan) yang dirintis oleh Friedmann (1992: 124)
memunculkan adanya 2 (dua) premis mayor, yaitu kegagalan dan harapan dalam memandang
77

konsepkonsep keneysian. Kegagalan yang dimaksud adalah gagalnya model-model pembangunan


ekonomi terdahulu dalam menanggulangi masalah kemiskinan dan menjamin kelestarian lingkungan
yang berkelanjutan. Sedangkan harapan muncul karena adanya model-model pembangunan alternatif
yang memasukkan nilai-nilai demokrasi, persamaan gender, persamaan antar generasi dan
pertumbuhan ekonomi yang memadai.
Kegagalan dan harapan menurut Friedman bukanlah merupakan alat ukur dari hasil kerja ilmu sosial
melainkan lebih merupakan cermin dari nilai18 nilai normatif dan moral yang berkembang dalam
lokalitas. Kegagalan dan harapan akan terasa sangat nyata pada tingkat individu dan masyarakat.
Pada tingkat yang lebih luas, yang dirasakan hanyalah gejala dari kegagalan dan harapan. Dengan
demikian, pemberdayaan masyarakat pada hakekatnya adalah nilai kolektif dari pemberdayaan
individu.
Sementara itu Blanchard (2001: 6) mendefisikan bahwa pemberdayaan sebagai upaya untuk
menguraikan belenggu yang membelit masyarakat terutama yang berkaitan dengan pengetahuan,
pengalaman, motivasinya. The real essence of empowerment comes from releasing the knowledge,
experience, and motivarional power that is already in people but is being severely underutilized.
Memberdayakan masyarakat adalah upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan
masyarakat di mana kondisi sekarang tidak mampu untuk melepaskan diri dari perangkap
kemiskinan dan keterbelakangan. Dengan kata lain, memberdayakan adalah meningkatkan
kemampuan dan meningkatkan kemandirian masyarakat.
Upaya pemberdayaan dapat juga dilakukan melalui 3 (tiga) jurusan (Kartasasmita, 1995: 4) yaitu:

1. Menciptakan iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang. Titik tolaknya


adalah pengenalan bahwa setiap manusia dan masyarakat memiliki potensi (daya) yang
dapat dikembangkan. Pemberdayaan adalah upaya untuk membangun daya itu dengan
mendorong, memberikan motivasi, dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang
dimilikinya serta berupaya untuk mengembangkan.
2. Memperkuat potensi atau daya yang dimiliki masyarakat (empowering). Dalam rangka
ini diperlukan langkah-langkah yang lebih positif dan nyata, penyediaan berbagai
masukan (input), serta pembukaan akses ke berbagai peluang yang akan membuat
masyarakat menjadi makin berdaya dalam memanfaatkan peluang.
3. Memberdayakan mengandung arti melindungi. Dalam proses pemberdayaan harus
dicegah yang lemah menjadi semakin lemah, dan menciptakan kebersamaan serta
kemitraan antara yang sudah maju dan yang belum maju/berkembang. Secara khusus
perhatian harus diberikan dengan keberpihakan melalui pembangunan ekonomi rakyat,
yaitu ekonomi usaha kecil termasuk koperasi, agar tidak makin tertinggal jauh, melainkan
justru dapat memanfaatkan momentum globalisasi bagi pertumbuhannya.
Paradigma pemberdayaan ingin mengubah kondisi yang serba sentralistik ke situasi yang lebih otonom
dengan cara memberi kesempatan pada kelompok orang miskin untuk merencanakan dan kemudian
melaksanakan program pembangunan yang mereka pilih sendiri, kelompok orang miskin ini, juga diberi
kesempatan untuk mengelola pembangunan, baik yang berasal dari pemerintah maupun pihak luar
(Soetrisno, 1995: 80).
Hal senada diberikan oleh Paulo Freire (dalam Soetrisno, 1995: 27) yang menyatakan bahwa
empowerment bukanlah sekedar memberi kesempatan pada rakyat untuk menggunakan sumber-sumber
78

alam dan dana pembangunan saja, akan tetapi lebih dari itu, empowerment merupakan upaya untuk
mendorong masyarakat untuk mencari cara menciptakan kebebasan dari struktur-struktur yang represif
(bersifat menekan). Dengan kata lain, empowerment berarti partisipasi masyarakat dalam politik.
Rumusan lain tentang konsep empowerment ini ditemui dalam pernyataan Schumacher yang kurang
berbau politik dan lebih menekankan pada hal-hal sebagai berikut: Economic development can succed
only if it is carried forward as a broad popular movement reconstruction with the primary emphasis on
the full utilization of the drive, enthusiasm, intelligence and labour power of every one (Schumacher,
1973: 132).
Dengan demikian pemberdayaan masyarakat adalah sebuah konsep pembangunan ekonomi dan politik
yang merangkum berbagai nilai sosial. Konsep ini mencerminkan paradigma baru pembangunan, yakni
bersifat people centered, participatory, empowering, and sustainable (Berpusat pada rakyat,
partisipatoris, memberdayakan dan berkelanjutan) (Chambers, 1983: 290).

Pengertian Pendapatan Masyarakat


Menurut Sukirno (2006) pendapatan adalah jumlah penghasilan yang diterima oleh penduduk atas prestasi
kerjanya selama satu periode tertentu, baik harian, mingguan, bulanan ataupun tahunan. Beberapa
klasifikasi pendapatan antara lain: 1) Pendapatan pribadi, yaitu; semua jenis pendapatan yang diperoleh
tanpa memberikan suatu kegiatan apapun yang diterima penduduk suatu Negara. 2) Pendapatan
disposibel, yaitu; pendapatan pribadi dikurangi pajak yang harus dibayarkan oleh para penerima
pendapatan, sisa pendapatan yang siap dibelanjakan inilah yang dinamakan pendapatan disposibel. 3)
Pendapatan nasional, yaitu; nilai seluruh barang-barang jadi dan jasa-jasa yang diproduksikan oleh suatu
Negara dalam satu tahun.
Dewasa ini sumber pendapatan sebagian besar rumah tangga di pedesaan tidak hanya dari satu sumber,
melainkan dari beberapa sumber atau dapat dikatakan rumah tangga melakukan diversifikasi pekerjaan
atau memiliki aneka ragam sumber pendapatan (Susilowati dkk, 2002).
Bagi rumah tangga pedesaan yang hanya menguasai faktor produksi tenaga kerja, pendapatan mereka
ditentukan oleh besarnya kesempatan kerja yang dapat dimanfaatkan dan tingkat upah yang diterima.
Kedua faktor ini merupakan fenomena dari pasar tenaga kerja pedesaan. Kesempatan kerja pedesaan
ditentukan oleh pola produksi pertanian, produksi barang dan jasa non-pertanian di pedesaan,
pertumbuhan angkatan kerja dan mobilitas tenaga kerja pedesaan. Di sektor pertanian, besarnya
kesempatan kerja dipengaruhi oleh luas lahan pertanian, produktivitas lahan, intensitas dan pola tanam,
serta teknologi yang diterapkan. Disektor non-pertanian kesempatan kerja ditentukan oleh volume
produksi, teknologi dan tingkat harga komoditi (Kasryno, 2000).
Pendapatan rumah tangga pertanian ditentukan oleh tingkat upah sebagai penerimaan faktor produksi
tenaga kerja. Nilai sewa tanah sebagai penerimaan dari penguasaan asset produktif lahan pertanian.
Dengan demikian tingkat pendapatan rumah tangga pedesaan sangat dipengaruhi oleh tingkat penguasaan
faktor produksi.
Menurut Malian dan Siregar (2000) pendapatan rumah petani pinggiran perkotaan juga bersumber dari
tiga kegiatan utama, yaitu kegiatan dalam usaha tani sendiri (on-farm), kegiatan pertanian di luar usaha
tani sendiri (off-farm) dan kegiatan di luar sektor pertanian (non-farm). Untuk petani yang berada di
pedesaan, pendapatan yang bersumber dari kegiatan on-farm dan off-farm umumnya mencapai lebih dari
90 persen.
79

METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif dengan model interaktif yang bermaksud
memperoleh gambaran yang mendalam tentang bagaimana peran koperasi dalam meningkatkan
pendapatan masyarakat. Lokasi penilitian dilakukan di Kecamatan Cot Girek Kabupaten Aceh Utara.
Teknik pengumpulan data dilakukan melalui wawancara dengan para petani anggota koperasi. Dan
analisis data menggunakan teknik kualitatif deskriptif dengan model interaktif.
HASIL PENELITIAN
1. Gambaran Umum Kecamatan Cot Girek
Secara umum lokasi penelitian terletak di Kecamatan Cot Girek Kabupaten Aceh Utara terdiri dari
23 Gampong dalam 3 Kemukiman, yaitu sebagai berikut :
Tabel 1
Jumlah Kemukiman dan Gampong
di Kecamatan Cot Girek Kabupaten Aceh Utara
No. Kemukiman
Nama Gampong
1) Kelurahan Cot Girek
2) Batu XII
3) Alue Leuhob
4) Kampung Tempel
5) Ulee Gampong
1
Kemukiman Bandar Baru
6) Alue Seumambu
7) Kampung Bantan
8) Lhok Meurbo

Kemukiman Alue Rempah

Kemukiman Bereugang

Jumalah

1) U Baro
2) Ceumpedak
3) Matang Teungoh
4) Pucok Alue
5) Alue Drien
1) Ara
2) Jeulikat
3) Lueng Baro
4) Lhok Reuhat
5) Trieng
6) Beurandang Asan
7) Beurandang Dayah
8) Beurandang Krueng
9) BeurandangSepeung
10) Drien II
23 Gampong

Sumber : kantor Camat Cot Girek 2009

Sesuai dengan penjelasan tabel di atas maka dapat disimpulkan bahwa jumlah kemukiman yang ada
dalam kecamatan Cot Girek berjumlah 3 kemukiman dengan jumlah Gampong 23 gampong masingmasing gampong di kepalai oleh seorang geuchik selaku kepala pemerintahan gampong.

80

2.

Peran Koperasi Pertanian Kelapa Sawit Mandiri (KPKSM) dalam meningkatkan pendapatan
masyarakat di Kecamatan Cot Girek
Peranan Koperasi dalam memberdayakan pendapatan masyarakat di Kecamatan Cot Girek
diantaranya adalah meningkatkan pendapatan, menciptakan lapangan kerja, meningkatkan taraf hidup
rakyat dan memeratakan pendapatan.
a. Koperasi meningkatkan pendapatan
Peranan koperasi dalam meningkatkan pendapatan masyarakat, khususnya anggota dapat dilakukan
antara lain melalui pembelian bersama dan penjualan bersama. Melalui pembelian bersama,
maksudnya koperasi dapat menyediakan barang-barang kebutuhan anggota dengan cara melakukan
pembelian langsung pada produsen atau grosir dan dalam jumlah banyak sehingga mendapat
potongan harga. Pada gilirannya para anggota dan masyarakat dilingkungan daerah kerja koperasi
dapat memenuhi barang-barang kebutuhannya dengan harga murah. Penghasilan yang sama
menghadapi harga barang yang serba murah dapat berarti pendapatan riil meningkat.
Melalui penjualan bersama, maksudnya koperasi dapat menampung produk yang dihasilkan anggota
dan mencari pembeli yang sanggup membeli dengan harga lebih tinggi dibandingkan harga penjualan
melalui pedagang tengkulak. Dalam kegiatan ini koperasi bertindak atas nama anggota untuk menjual
secara bersama dengan harga tinggi berarti meningkatkan pendapatannya.
b. Koperasi menciptakan lapangan kerja
Koperasi merupakan wadah kerjasama anggota didalam mencapai tujuan bersama berdasarkan atas
asas kekeluargaan. Melalui kegiatan usahanya koperasi memberikan kesempatan yang seluas-luasnya
kepada para anggota untuk secara bersama-sama bekerja melakukan kegiatan usaha koperasi. Dengan
demikian, bararti koperasi berperan menyediakan lapangan pekerjaan bagi mereka yang belum
bekerja dan sanggup bekerjasama dalam koperasi.
c. Koperasi meningkatkan taraf hidup rakyat
Koperasi berperan dapat meningkatkan pendapatan anggota dan menyediakan lapangan kerja bagi
mereka yang bersedia bergabung dalam koperasi. Meningkatkan pendapatan berarti memungkinkan
mereka untuk lebih banyak dapat mencukupi kebutuhan hidupnya. Semakin tercukupinya kebutuhan
hidup berarti taraf hidup merekapun meningkat.
d. Koperasi memeratakan pendapatan
Melalui koperasi telah banyak diberikan fasilitas dan kemudahan sehingga menimbulkan semangat
kerja anggota. misalnya para petani di gampong lebih bergairah bertani sawit setelah alat-alat dan
bahan banyak disediakan koperasi. Pada gilirannya produksi petani sawitpun meningkat. Pemasaran
semakin baik dan akhirnya pendapatan tanipun ikut meningkat. Meningkatnya pendapatan petani
berarti meningkatnya perekonomian sebagian besar penduduk, berarti pula ada pemerataan
pendapatan. Kecuali itu melalui koperasi sisa hasil usaha yang diperoleh koperasi tidak semua
dibagikan kepada anggota, tetapi juga sebagian untuk pembangunan masyarakat daerah kerja
koperasi.
Seperti penuturan Amiruddin, H Ketua Pengurus Koperasi Pertanian Kelapa Sawit Mentari (KPKSM)
Kecamatan Cot Girek mengutarakan bahwa :
Kami sebagai pengurus Koperasi Pertanian Kelapa Sawit Mentari (KPKSM)
Kecamatan Cot Girek sampai saat ini terus berusaha untuk meningkatkan peran
KPKSM dalam meningkatkan perekonomian masyarakat dengan cara mengajak dan
mensosialisasikan kepada masyarakat segala usaha yang telah kami kelola selama ini
dengan ketentuan-ketentuan yang telah kami tentukan agar terciptanya kerja sama
yang baik dan saling kekeluargaan (wawancara, 16 Juli 2009).
Sedangkan A. Rahman Sekretaris Pengurus Koperasi Pertanian Kelapa Sawit Mentari (KPKSM)
Kecamatan Cot Girek mengutarakan bahwa :
81

Harapan kami, agar koperasi berjalan dengan baik maka diharapkan kepada anggota koperasi
harus menyetor tagihan koperasi setiap bulannya agar terciptanya kesejahteraan masyarakat
seperti yang diharapkan dan jangan hanya mementingkan kepentingan diri sendiri (wawancara,
18 Juli 2009).
Dengan adanya setoran tagihan setiap bulan maka akan menambah pendapatan dan peningkatan usaha
yang seperti diharapkan Koperasi Pertanian Kelapa Sawit Mentari (KPKSM) sendiri. Tetapi jika
pembayaran tersendat akan mengakibatkan tidak berjalannya usaha yang sedang berjalan. Seperti
penuturan Arifin B.Bendahara Pengurus Koperasi Pertanian Kelapa Sawit Mentari (KPKSM) Kecamatan
Cot Girek.
Pendapatan rata-rata perbulan KPKSM ini mencapai Rp.600.000,-, pendapatan sebesar ini
berjalan hanya beberapa bulan saja, sewaktu usaha KPKSM ini pertama-tama dikembangkan dan
selanjutnya pada bulan-bulan seterusnya mulai menurun sedikit demi sedikit, malah terkadang
perbulan saja KPKSM ini tidak menerima setoran dari para anggota, dikarenakan anggota
koperasi sendiri malas membayar, sehingga pengurus koperasi harus mengeluarkan uang pribadi
untuk masyarakat yang hendak masuk menjadi anggota koperasi (wawancara, 21 Juli 2009).
Agar koperasi berjalan dengan baik maka diharapkan kepada anggota koperasi harus menyetor tagihan
koperasi setiap bulannya agar terciptanya kesejahteraan masyarakat seperti yang diharapkan dan jangan
hanya mementingkan kepentingan diri sendiri.
Peran Koperasi Pertanian Kelapa Sawit Mandiri (KPKSM) Kecamatan Cot Girek saat ini berjalan dengan
baik tetapi belum mencapai target yang diharapkan diantaranya masih kurangnya pandangan masyarakat
terhadap KPKSM sendiri. Dan kerjasama yang baik antar masyarakat dengan KPKSM. Seperti yang
diutarakan Edy. S salah seorang anggota KPKSM Kecamatan Cot Girek yang bekerja sebagai seorang
tani sawit.
Peran koperasi untuk saat ini berjalan cukup baik, tetapi masih kurangnya kerja sama dalam
mengembangkan usaha seperti para anggota Koperasi Pertanian Kelapa Sawit Mentari (KPKSM)
sendiri tidak mau menyetor pembayaran pengambilan modal usaha setiap bulannya. Sehingga
membuat macetnya usaha koperasi dalam mengembangkan usahanya kedepan dan masih
kurangnya dana untuk peminjaman modal usaha kepada anggota koperasi yang lain (wawancara,
22 Juli 2009).
Koperasi Pertanian Kelapa Sawit Mentari (KPKSM) Kecamatan Cot Girek sangat berperan bagi
pemberdayaan masyarakat gampong yang mata pencarian sebagai tani sawit, namun dari itu masyarakat
Kecamatan Cot Girek masih perlu pendekatan dalam hal peningkatan perekonomian khususnya dalam
meningkatkan perekonomi an masyarakat dan peralatan-peratalatan yang dibutuhkan. Pengurus Koperasi
Pertanian Kelapa Sawit Mentari (KPKSM) Kecamatan Cot Girek saat ini terus berusaha meningkatkan
perekonomian masyarakat yang ada di kecamatan dengan cara mensosialisasikan segala usaha yang
mereka jalankan. Koperasi Pertanian Kelapa Sawit Mentari (KPKSM) Kecamatan Cot Girek dapat
berperan dengan baik di desa karena dengan adanya KPKSM ikut membantu para anggotanya untuk dapat
meningkatkan penghasilan para anggotanya.
Suryani Abdullah salah seorang anggota KPKSM Kecamatan Cot Girek yang berprofesi sebagai penjual
kue memberi komentar tentang peran KPKSM Kecamatan Cot Girek sebagai berikut :
dengan adanya Pertanian Kelapa Sawit mentari (KPKSM) Kecamatan Cot Girek dapat
membantu masyarakat untuk meningkatkan penghasilan, seperti halnya bagi masyarakat yang
masih pengangguran dengan keahlian yang mereka miliki mereka dapat meminjam modal usaha
ke koperasi dengan menjadi anggota tetap, sehingga mereka dapat mengembangkan usaha mereka
82

menurut keahlian mereka masing-masing, seperti saya yang hanya mempunyai keahlian untuk
membuat kue dengan menjualkannya ke kios-kios terdekat untuk membantu menambah nafkah
sehari-hari (wawancara, 20 Juli 2009).
Dari tahun 2003 sampai dengan tahun 2009 jumlah anggota koperasi pada Koperasi Pertanian Kelapa
Sawit Mandiri (PKSM) Kecamatan Cot Girek terdapat 56 anggota koperasi yang sedang menjalankan
usahanya, dari 56 anggota terdapat 44 orang anggota yang masih terdaftar menjalankan usahanya dengan
mata pencarian mereka masing-masing, Anggota koperasi tidak keseluruhannya mencakup sebagai petani
sawit tetapi sebahagiannya adalah pedagang dan berjualan.
Selama berdirinya KPKSM hanya menguntungkan masyarakat dikarenakan dapat membangkitkan
perekonomian masyarakat tani, walaupun penghasilan yang pas-pasan diakibatkan cuaca alam yang
sering berganti-ganti tetap dapat memberikan kesempatan pada anggota untuk meminjamkan modal
pertama untuk membuka usaha masyarakat (wawancara, 25 Juli 2009).
3.

Kendala dan Hambatan yang dihadapi Koperasi Pertanian Kelapa Sawit Mentari (KPKSM)
Beberapa Kendala-kendala penghambat berkembangnya usaha KPKSM Kecamatan Cot Girek
adalah sebagai berikut :
1. Permodalan Pertanian Kelapa Sawit mentari (KPKSM) sangat terbatas, sehingga sebagian besar
masyarakat Kecamatan Cot Girek meminjam modal usaha kepada koperasi instansi luar dari KPKSM
yang ada di Kecamatan Cot Girek.
2. Para anggota Koperasi Pertanian Kelapa Sawit Mentari (KPKSM) tidak membayar angsuran bulanan
pada KPKSM, sehingga pengurus KPKSM harus mengeluarkan dana sendiri untuk membantu
anggota yang hendak meminjamkan modal.
3. Kurangnya partisipasi anggota Koperasi Pertanian Kelapa Sawit Mentari (KPKSM) yang melakukan
simpan pinjam, sedangkan dorongan dari koperasi sangat kuat demi kepentingan mengejar SHU yang
besar.
Seperti yang diutarakan oleh Usman Baransyah seorang anggota KPKSM Kecamatan Cot Girek tentang
Kendala dan hambatan pengembangan usaha KPKSM adalah Sebagai berikut :
Terhambatnya pengembangan usaha Koperasi Pertanian Kelapa Sawit Mandiri (PKSM)
Kecamatan Cot Girek sangat memprihatinkan bagi para anggota, dengan kurangnya modal
usaha mengakibatkan kurangnya pula peralatan yang kami butuhkan untuk kelaut, karena
kurangnya modal untuk membeli peralatan yang kami butuhkan, jadi kami para petani harus
menggunakan peralatan yang apa adanya dan masih mengharap bantuan peralatan dari pihak
luar (wawancara, 01 Agustus 2009).
Berdirinya Koperasi Pertanian Kelapa Sawit Mandiri (PKSM) untuk mendukung pengembangan
agribisnis hendaknya menjadi perhatian yang sangat serius karena keberadaannya yang menyebar
keseluruh pelosok tanah air menjadikannya sebagai kekuatan distribusi dan komunikasi yang efektif
dalam jaringan pengembangan agribisnis. Dari beberapa faktor penghambat KPKSM diatas pengurus
KPKSM sudah berusaha sekuat tenaga untuk mempertahankan KPKSM yang telah dijalankan dan
pengurus KPKSM pun berharap agar KPKSM Kecamatan Cot Girek jangan sampai hanya tinggal nama
dan kehilangan peranannya. Seperti yang diutarakan Syahrul Majid Seorang warga Kecamatan Cot Girek
yang menjadi anggota KPKSM Kecamatan Cot Girek.
Usaha yang dijalankan oleh KPKSM Kecamatan Cot Girek belum begitu maksimal dikarenakan
masih tersendatnya modal usaha yang diharapkan dan kurangnya bantuan dana dari instansi yang
terkait, serta kurangnya partisipasi para anggota koperasi sendiri dalam mengembalikan pinjaman
modal usaha (wawancara, 27 Juli 2009).
83

Dalam melakukan pemberdayaan masyarakat miskin melalui koperasi unit desa (KPKSM) masalah sering
muncul akibat kurangnya pemahaman masyarakat terhadap kebijakan yang ditempuh KPKSM untuk
membina kepentingan bersama antar anggota KPKSM dan dikarenakan kurangnya sosialisasi yang
dilakukan oleh KPKSM terhadap masyarakat. Hampir semua keberhasilan pemberdayaan masyarakat
miskin sangat ditentukan dari frekuensi partisipasi yang diberikan oleh anggota koperasi terhadap
kebijakan yang ditempuh oleh KPKSM.
Tersendatnya pembayaran tagihan serta kurangnya modal menyebabkan hancur leburnya administrasi
KPKSM hingga saat ini. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Hasan selaku salah seorang warga
Kecamatan Cot Girek yang menjadi anggota KPKSM Kecamatan Cot Girek adalah sebagai berikut :
Tersendatnya pembayaran tagihan disebabkan hilangnya peralatan bertani kami seperti parang,
lembing pembersih pohon Sawit dan peralatan lainnya, yang mengakibatkan mata pencarian
kamipun hilang, hingga sampai saat ini kami harus memulai usaha kami dari awal. Hal ini terjadi
karena pada tahun 2003 Kecamatan Cot Girek dilanda Konflik padahal untuk makan sehari-hari
saja tidak cukup makanya pembayaran tagihan modal usaha tersendat karena tidak cukupnya
penghasilan kami sehari-hari, kami sebagai masyarakat miskin sangat mengharapkan bantuan
bantuan modal usaha dari pemerintah agar mata pencarian kami berjalan dengan baik
(wawancara, 02 Agustus 2009).
Keberhasilan dalam memberdayakan pendapatan ekonomi masyarakat juga tidak terlepas dari keseriusan
Koperasi Pertanian Kelapa Sawit Mandiri (PKSM) untuk selalu konsisten dalam mewujudkan kehidupan
perekonomian para anggotanya.
KESIMPULAN
Peran Koperasi Pertanian Kelapa Sawit Mentari (KPKSM) dalam pemberdayaan masyarakat miskin di
Kecamatan Cot Girek adalah melalui upaya meningkatkan pendapatan, menciptakan lapangan kerja,
meningkatkan taraf hidup rakyat dan memeratakan pendapatan. peran koperasi dalam meningkatkan
pemberdayaan pendapatan masyarakat petani dalam bentuk pemberian pinjaman modal, penyediaan
bahan baku/ alat pertanian, pelatihan pengelolaan pertanian dan penampung dan pemasaran hasil
pertanian.
Kendala-Kendala atau penghambat berkembangnya usaha dikarenakan dari anggota koperasi sendiri yaitu
kurangnya partisipasi masyarakat dalam membayar tagihan pinjaman modal usaha setiap bulan,
kurangnya kerja sama yang baik antar anggota dan kurangnya perhatian pemerintah dalam pembinaan
koperasi, khususnya dalam memberikan pelatihan-pelatihan.
KETERBATASAN
Penelitian ini memiliki keterbatasan, dimana dari penelitian ini belum bisa digeneralisasikan karena
belum teruji secara statistik. Oleh karena itu disarankan kepada para peneliti berikutnya untuk melakukan
analisis melalui pendekatan kuantitatif, sehingga hasilnya dapat digeneralisasikan dengan penggunaan
perangkat statistik.
Daftar Pustaka
Aguste Comte (2005), Sosiologi Suatu Pengatar, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Blanchard, Ken, John P. Carlos, Alan Randolph (2001), Three Keys to Empowerment: Release the Power
within People for Ashtonishing Results, Berret-Koehler Publishers, Inc, San Francisco.
Chambers, Robert (1983), Rural Development: Putting the last First, Longman, London.
84

Davis, Ralph C,(1996), Fundamental Management, Reston Publising, Jakarta.


Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi Kabupaten Aceh Utara Tahun 2009
Friedmann, John (1992), Empowerment: The Politics of Alternative Development, Blacwell Book,
Cambridge Mass.
Hadhikusuma, R.T. Sunantya, Raharja (2001), Hukum Koperasi Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta.
Handoko, T. Hani (2000), Manajemen Personalia dan Sumber Daya Manusia, Liberty, Jakarta.
Kartasasmita, Ginanjar (1995), Pemberdayaan Masyarakat: Sebuah Tinjauan Administrasi, Pidato
Pengukuhan Jabatan Guru Besar Dalam Ilmu Administrasi Pada Fakultas Ilmu Administrasi
Universitas Brawijaya, Malang, 27 Mei 1995.
Kuznest, (1998), Peran Ekonomi dalam Masyarakat, Bandung. CV. Rhineka.
Kasryno, Faisal (2000) Sumberdaya Manusia dan Pengelolaan Lahan Pertanian di Pedesaan Indonesia,
Jurnal FAE, Volume 18 No. 1 dan 2, Desember 2000, hal. 25-51.
Nasikun, (1996), Petani dalam Bingkai Perekonomian Indonesia, Cipta Agung, Jakarta
Nurmasyahyati, (2007), Peran Koperasi Unit Desa dalam Perberdayaan Masyarakat Miskin, Studi di
desa Keude Aceh, Skripsi STIA Nasional Lhokseumawe.
Mac Iver, J.L Gillin, (2005), Sosiologi Suatu Pengantar, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Moekijat, (1999), Manajemen Sumber Daya Manusia (Manajemen Kepegawaian), PT. CV. Mandar
Maju, Bandung.
Mahfudh, (2001), Tentang pengaruh Koperasi Syariah Dalam Mengembangkan Perekonomian di
Nanggroe Aceh Darussalam. Skripsi Universitas Syiah Kuala. Jurusan Ekonomi Pembangunan.
Malian, A. H dan Masdjidin Siregar (2000), Peran Pertanian Pinggiran Perkotaan Dalam Penyediaan
Kesempatan Kerja dan Pendapatan Keluarga, Jurnal FAE, Volume 18 No. 1 dan 2, Desember
2000, hal. 65 -76.
Ralph Linto, (2005), Sosiologi Suatu Pengantar, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Undang-Undang Republik Indonesia, Nomor 25 Tahun 1992, Tentang Perkoperasian, Dewan Koperasi
Indonesia, Jakarta.
Undang-Undang tentang pokok-pokok Pemerintahan Daerah Nomor 18 Tahun 1965. tentang Desa.
Sutomo, (1999), Perekonomian Indonesia, Jakarta Press.
Sukirno, Sadono (2000), Pengantar Teori Makroekonomi, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
85

Singarinbun dan Hart, (2001), Sosial Ekonomi Masyarakat, Jakarta CV. Sindo Rineka.
Suharso, (2002), Kriteria Konsumsi ditinjau dari Segi Ekonomi, Yogyakarta, CV. Aksara.
Surattmajie, (2000), Kapasitas Sumber Daya Manusia, Jakarta Cipta Agung.
Susilowati, S. Hery dkk (2002), Diversifikasi Sumber Pendapatan Rumah Tangga di Pedesaan Jawa
Barat, Jurnal FAE, Volume 20 No. 1, Mei 2002, hal. 85 -109.
Soetrisno, R. (1999), Pengentasan Kemiskinan dan Perubahan Sosial (Studi Kasus di Desa Ngaliman,
Kecamatan Sawahan Kabupaten Daerah Tingkat II Nganjuk), Tesis PPSUB, Malang.

86

You might also like