Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 53

DEPOK DAN MASYARAKATNYA HINGGA AWAL ABAD KE-20

ABSTRACT

The purpose of this study entitled Growing in the Shadow of Jakarta:
The History of the City of Depok, 1950s-1999s is to determine the
causative factors from the changes and problems in Depok due to the
government policies and others developments.
This research based on archival sources and other publications held
in the National Archives (Arsip Nasional). Various contemporary
newspapers with recorded social activities in Jakarta and Depok are
used. Magazines such de Bannier, Prisma, Tempo and other journals
articles related to the research theme, are found in various libraries in
Jakarta and Yogyakarta. It also conducting various interviews as
part of oral history methods.
The result showed that City of Depok, was designed as satellite town
along with Bogor, Tangerang and Bekasi, to solve the existing
problems in Jakarta. In fact in its development to become a new
growth center is considered as very slowly though not stagnant. It is
because in its development, Depok as a city developed into a buffer
that serve the needs of Jakarta. While the presence of Universitas
Indonesia in Depok has not helped usher into a new development
center, and grew as the shadows of Jakarta. Jakartas strong
hegemony affected the economic and socio- cultural relations in the
city of Depok. Depok is an examole of metropolitan buffer town
typology in Indonesia.
Research contribution and its findings is to enrich the historiography
of town history in Indonesia, particularly the study of a satellite town.
It also contribute to the decision maker in the development of
metropolitan satellite town in the future.

Keywords: The shadows of Jakarta, Depok, Universitas Indonesia,


satellite tow

Tulisan ini merupakan bagian dari disertasi yang berjudul


Berkembang Dalam Bayang-Bayang Jakarta: Sejarah Depok 1950-an
1990-an, yang disusun oleh Tri Wahyuning M. Irsyam untuk
mencapai gelar Doktor dalam bidang Sejarah, Program Studi IlmuIlmu Humaniora, Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Gadjah Mada. Disertasi ini disusun di bawah bimbingan
Prof. Dr. Djoko Suryo dan Prof. Dr. Bambang Purwanto, M.A.
Kemunculan Depok sebagai kota seringkali dikaitkan dengan
kehadiran Cornelis Chastelein (1657-1714) yang mendapatkan tanah
tersebut pada 1696. Tulisan ini akan menyoroti lebih jauh tentang
tanah partikelir Depok, dan persoalan-persoalan yang muncul di
tanah partikelir tersebut, termasuk terbentuknya komunitas Kristen
Depok, dan bagaimana interaksinya dengan masyarakat Depok
lainnya hingga awal abad ke-20.
A. Berawal dari Tanah Dengan Hak Eigendom
1. Asal Usul Kepemilikan Tanah Depok
Di masa kekuasaan VOC, wilayah di luar tembok kastil Batavia
termasuk bagian yang dalam catatan arsip kolonial disebut sebagai

Jakatrasche Bovenlanden.1

Pada 15 Oktober 1695 Lucas van der

Meur, residen Cirebon, memperoleh sebidang tanah di wilayah


selatan yang jauhnya kira-kira satu hari perjalanan2 dari Batavia.
Tanah tersebut terletak di antara sungai Ciliwung dan sungai
Pasanggrahan. Tidak sampai setahun, tanah Depok3 yang terletak
antara Batavia dan Buitenzorg itu pada 18 Mei 1696 dijual dengan
harga 300 rijksdaalders,4 kepada Cornelis Chastelein, dengan status

1J.

Faes, Geschiedenis van Buitenzorg (Batavia: Albrecht, 1902),

hlm. 6.
2Harga

tanah pada waktu itu ditentukan oleh jaraknya dari


Batavia. Menurut J. Hageman, jarak Depok-Batavia adalah 7 jam.
Lihat Hageman, Overzicht van Java op het Einde der Achtiende
eeuw, dalam TBG, Jilid IX tahun 1960, hlm. 365. Harga tanah pada
saat itu ditentukan sebagai berikut: Tanah yang berjarak 10 jam
perjalanan (35 paal) per morgen dijual seharga , , atau /10
rijkdsdaalder atau antara f 1; 0,50; 0,25, atau 0,24 per bahu. Tanah
yang letaknya antara 4-8 jam (14 sampai 28 paal) per morgen dijual
seharga 1, , , /3, , atau rijkdsdaalder atau f 3,50; f 1; f
0,66, f 0,50 sampai f 0,25 per bahu dan tanah yang berjarak 1-2 jam
perjalanan (3 sampai 7 paal) dilepaskan dengan harga 3, 2; 1,
1, dan rijksdaalder per morgen atau f 6; f 4,50; f 3,50; f 1 per
bahu. (1 morgen = 8.516 m2; 1 bahu = 7.096 m2). Lihat
Geschiedkundig onderzoek naar den oorsprong en den aard van het
partikulier landbezit op Java dalam Tijdschrift voor Nederlandsch
Indie, 1849, I, hlm. 245; lihat juga J. Tromp, Het Partikulier
Landbezit in de Bataviasche Ommelanden tot 1857, dalam Tijdschrift
voor Nederlandsch Indie, 1865, I, hlm. 332.
3Lihat

F. de Haan, Priangan, de Prianger-Regentschappen onder


het Nederlandsch Bestuur tot 1811, Batavia, 1910, deel I, Personalia,
hlm. 236.
4Mata

uang Belanda yang terbuat dari perak. 1 rijksdaalders


setara dengan 1 ringgit (Rp. 2,50,-). S. Wojowasito, Kamus Umum

kepemilikan (eigendom verponding) No. 872.5 Chastelein dapat membeli


tanah tersebut, karena ditopang oleh perkawinannya dengan putri
anggota dewan, Cornelis van Quaelbergt.6 Dari perkawinannya itu ia
hanya

dikaruniai

Chastelein

juga

seorang
mengakui

putra,
bahwa

Anthony
ia

Chastelein.

mempunyai

dua

Namun
anak

perempuan, yaitu Maria Chastelein, yang diadopsi menurut hukum,


hasil

perkawinannya

dengan

Leonara

van

Bali

pada

16817.

Sementara anak perempuannya yang lain, Catharina van Batavia,


hasil perkawinan dengan Cecilia van Bali, tidak diadopsi secara
hukum.
Setelah membeli tanah tersebut, Chastelein (1657-1714) lebih
banyak tinggal di Batavia. Ia baru memberikan perhatian kepada
tanah Depok ini pada tahun 1705.8 Ada dugaan bahwa pada saat itu
Cornelis Chastelein memasuki masa persiapan pensiun dari dinas

Belanda Indonesia (Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 1999), hlm.
544.
5Lihat

Lampiran 2: Peta Kepemilikan tanah Depok.

6Lihat

F. de Haan, Daghregister gehouden in Casteel Batavia


anno 1681 (Batavia, 1919, landsdrukkerij), hlm. 461.
7Lihat

Jan-Karel Kwisthout, Sporen uit het verleden van Depok:


Een Nalatenschap van Cornelis Chastelein (1657-1714) aan Zijn
Vrijgemaakte Christenslaven, (Free Musketeers, Worden, 2007, hlm
103.
8H. Blink, Nederlandsch Oost en West Indi (Leiden: E.J. Brill,
1905), hlm. 475.

VOC, karena usianya mencapai 48 tahun. Ketika pindah ke


Seringsing,9

Chastelein

bukan

hanya

membawa

keluarganya

melainkan juga budak-budaknya. Dari catatan yang dihimpun oleh


Encyclopaedie van Nederlandsch Indie, para budak yang dipindahkan
ke Depok, berasal dari berbagai daerah di Indonesia, antara lain dari
Bali, Sulawesi, dan Timor, yang jumlahnya sekitar 200 orang.10
Mereka adalah para budak yang dipekerjakan di tanah milik Cornelis
Chastelein, di Nordwijk, dan Tugu.11 Pemindahan mereka ke Depok

9Menurut

Cornelis de Bruijn, seorang penulis dan ilustrator


yang membuat laporan perjalanannya ke Seringsing, yang berjarak17
paal dari Batavia, nama Seringsing berasal dari tanaman seringtinh,
yang banyak tumbuh di daerah tersebut. Tanaman itu hidup di
pohon. Orang Belanda menyebut tanaman itu grobiesgras atau alangalang berbatang kasar. Lihat Jan Karel Kwisthout, op.cit., hlm. 44.
10Ada

keragaman jumlah budak yang dipindahkan ke Depok


oleh Cornelis Chastelein. D.G. Stibbe, Encyclopaedie van
Nederlandsch Indie, 2e druk, (s Gravenhage: M. Nijhoff,1917), hlm.
473, misalnya mencatat jumlah budak adalah 200 orang. Sementara
de Vries mencatat 120 orang. Lihat juga J.W. De Vries De
Depokkers: Geschiedenis, Sociale Structuur en Talgebruik van
Geisoleerde Gemeenschap dalam BKI, 1976, deel 132, hlm. 232.
Untuk keperluan dalam disertasi ini digunakan jumlah 200 orang,
karena datanya dianggap lebih akurat, diambil dari sumber yang
diterbitkan pada tahun 1917, sementara data yang lain, merupakan
hasil penelitian yang diterbitkan pada tahun 1976. Menurut Louis
Gottschalk, (terjemahan Nugroho Notosusanto), Mengerti Sejarah.
(Jakarta: UI Press, 1975), dikatakan bahwa semakin dekat antara
peristiwa dan waktu pembuatan laporannya, semakin dapat
dipercaya keakuratan datanya.
11Daerah

Nordwijk terletak di Weltevreden, sementara tanah


Tugu, yang terletak di Tanjung Priok adalah tempat hunian yang

bertujuan untuk mengembangkan daerah Depok sebagai lahan


percobaan perkebunan lada, yang bibitnya diperoleh dari Gubernur
Jenderal Johannes Camphuijs. Tanaman lain yang juga dibudidayakan di kawasan ini adalah indigo, kakao, jeruk sitrun, nangka,
sirsak, dan belimbing.
Menurut Djoko Sukiman, kepemilikan budak dengan jumlah
yang sangat banyak itu dimungkinkan karena penghasilan dan
kekayaannya yang dimiliki para pejabat tinggi VOC dan pemerintah
kolonial, sangat besar. Dengan demikian mereka dapat memiliki
tanah yang luas, yang pada umumnya terletak jauh di luar pusat
kota dan pemerintahan. Di tanah tersebut mereka kemudian
mendirikan bangunan rumah yang sangat besar dengan halaman
luas yang disebut landhuizen.12 Untuk pemeliharaan dan pelayanan
keluarga dalam rumah yang besar inilah diperlukan budak yang
sangat banyak dengan beragam tugas. Jumlah budak yang dimiliki

merupakan hadiah dari Gubernur Jenderal Johannes Camphuijs


(1634-1695) untuk Cornelis Chastelein. Lihat F. de Haan,
Daghregister gehouden in Casteel Batavia anno 1681 (Batavia
landsdrukkerij, 1919), hlm 461.
12Djoko

Sukiman, Kebudayaan Indis dan Gaya Hidup


Masyarakat Pendukungnya di Jawa (Abad XVIII- Medio Abad XX),
(Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya bekerjasama dengan Yayasan
Adikarya IKAPI, dan The Ford Foundation, 2000), hlm. 74.

juga merupakan indikasi kekayaan sipemilik sekaligus sebagai status


simbol.13
Para budak Cornelis Chastelein baik yang tinggal di Depok,
maupun yang tinggal di kediamannya di Seringsing,

hidup dan

bekerja langsung di bawah pengawasan Chastelein. Dalam pergaulan


sehari-hari, hubungan antara Cornelis Chastelein dan mereka tidak
selayaknya seperti hubungan majikan dan budak, melainkan lebih
bersifat patron-client. Hubungan patron-client menurut Pensioen14,
adalah hubungan kerja di antara bapak dan anak. Sistem
hubungan kerja seperti ini, mensyaratkan para client untuk tinggal di
tanah milik patronnya, dalam rumah yang terpisah. Dalam hubungan
kerja ini, para client melayani patron dan keluarganya, sementara
sang patron berperan sebagai pelindung dan memenuhi kebutuhan
makan dan minum client nya. Bentuk hubungan demikian dilakukan
oleh Chastelein karena ia mendasarkan hubungan mereka pada nilainilai agama Kristen Protestan yang dianutnya.

Ibid. Lihat juga Jean Gelman Taylor, Kehidupan Sosial di


Batavia, (Jakarta: Masup, 2009) hlm. 122-123.
13

14J.A.

Pensioen, The Analysis of Social Change Reconsidered: A


Sosiological Study, (The Hague: Mouton & Cos-Gravenhage, 1962),
hlm. 139.

Akibat dari bentuk hubungan yang demikian, Chastelein


kemudian membuat suatu rencana masa depan bagi para budaknya
setelah ia meninggalkan mereka kelak di kemudian hari. Ada dua
prinsip utama yang menjadi rencana Chastelein terhadap para
budaknya. Pertama, memberikan perubahan status dari budak
menjadi orang bebas yang menjadi pemeluk agama Kristen, dan
kedua, memberikan bekal sebagai modal hidup mereka di kemudian
hari dalam bentuk kepemilikan sebagian hartanya yang berupa
tanah. Kedua prinsip tersebut kemudian dicantumkan dalam surat
wasiatnya yang dibuat pada tanggal 13 Maret

1714.15 Di akhir

wasiatnya, Cornelis juga menuliskan bahwa satu copy surat wasiat


ini diserahkan kepada Jarong van Bali, kepala pemerintahan yang
diangkat oleh Cornelis Chastelei, untuk dijadikan pedoman dalam
melaksanakan tugasnya.

15Apa

yang dilakukan Cornelis Chastelein sebenarnya sejalan


dengan hukum Romawi yang dimodifikasi, untuk mengatur
perbudakan di Asia. Pada prinsipnya, hukum tersebut mengatur
orang-orang Eropa yang memiliki budak dapat mengkristenkan para
budaknya dan kemudian membebaskan mereka. Pembebasan
mereka setidaknya dicantumkan dalam surat wasiat. lihat Jean
Gelman Taylor, Kehidupan Sosial di Batavia, (Jakarta: Masup, 2009)
hlm. 123. Surat wasiat tertanggal 13 Maret 1714 itu disahkan oleh
notaris Nicolaas van Haeften di Batavia pada tanggal itu juga. Lihat
Jan-Karel Kwisthout, Jejak-jejak Masa Lalu Depok: Warisan Cornelis
Chastelein (1657-1714) Kepada Para Budaknya yang Dibebaskan,
(terj.) Pdt Hallie dan Corry Longdong, (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
2015), hlm.102.

Ketika Cornelis Chastelein wafat pada 28 Juni 1714, para


mantan budaknya sudah berstatus sebagai orang yang merdeka.
Sesuai dengan apa yang tertera dalam surat wasiatnya, mereka
kemudian menjadi pemilik sah dari tanah Depok. Dari data yang
dihimpun oleh Encyclopaedie van Nederlandsch Indie antara tahun
1696 sampai tahun 1713, kurang lebih 120 orang dari sekitar 200
budak yang diajari etika agama Kristen Protestan mau menerima
Sakramen Pembaptisan,16 dan sekaligus menerima pembebasan.
Dengan demikian sisanya sebanyak 80 orang budak, diduga dari
marga

Zadokh

yang

menolak

untuk

menerima

Sakramen

Pembaptisan, dan kembali kepada agama asalnya. Dalam surat


wasiat dicantumkan bahwa mereka yang tidak mau dibaptis, tidak
boleh tinggal di tanah Depok. Ada dugaan bahwa delapan puluh
budak ini bergabung dengan orang-orang kampung yang hidup di
sekitar tanah partikelir. Adanya silaturahmi di antara mereka
(Belanda Depok dan orang Kampung) pada hari besar Kristen atau

16Diantara

para budak yang mau menerima sakramen


pembabtisan tersebut antara lain adalah Jan van Badinlias, Baten
Pahan (semula keduanya beragama Islam), Samawarin van Bali,
Hazin van Bali, Wiera van Makasar dan Florian van Bengalen.
Disamping itu juga Raima dan istrinya, Mamma; Lukas dan istrinya,
Klara; Sangkat Maligat, Malantas, Hagar dan Soman yang semuanya
berasal dari Bali. Pembebasan mereka disertai dengan keturunanketurunannya. Lihat: Testamen van Cornelis Chastelein.

Islam menunjukkan indikasi bahwa ada mantan marganya yang


bergabung dengan orang kampung.
Namun

di

antara

120

orang

yang

dibebaskan

setelah

menerima sakramen pembabtisan, juga ada yang tidak berhak


mendapat warisan dan dilarang tinggal di Depok oleh Cornelis
Chastelein karena mereka sering membuat onar. Nama-nama mereka
dituliskan didalam surat wasiat sebagai berikut:
maka jang tiada boleh tinggal di Depok dan tiada boleh
dapat bahagian satoe apa poen disana jaitu Leendort dan
istrinja, Elisabet dari Bali, dan anaknja Catje, djoega Otto
dari Makasarsebab ku takoet mereka itoe nanti akan
memboeat huru hara. Dari itoe akoe pesan betoel-betoel
supaja dia orang djangan ke Depok dan djangan diterima
disana.17
Setelah

melakukan

pembebasan

atas

budak-budaknya,

Cornelis Chastelein kemudian mengajukan permohonan kepada


pemerintah agar mereka bisa mendapatkan persetujuan untuk tetap
memiliki tanah itu.18 Namun, pada 24 Juli 1714 Raad van Indie
memutuskan bahwa permohonan Cornelis Chastelein tidak dapat
dikabulkan. Alasan yang dikemukakan Raad van Indie, adalah
karena ketentuan dalam surat wasiat ini bertentangan dengan

17Lihat

Testamen van Cornelis Chastelein.

18Cornelis

Chastelein, Batavia in Het Begin der Achtiende


Eeuw. Dalam Tijdschrijft voor Nederlandsch Indie, 1891, jilid II, hlm.
178.

10

Resolusi tanggal 29 Mei 1705 yang dibuat tentang harta warisan.19


Meskipun demikian, Dewan Hindia tidak sepenuhnya menolak
permohonan Chastelein. Dalam keputusan tertanggal 24 Juli 1714
itu disebutkan bahwa pemerintahan atas Depok dijalankan bukan
di bawah pemerintahan para mantan budak, melainkan di bawah
pimpinan dan pemerintahan Koopman Anthony Chastelein, sebagai
putra dan ahli waris almarhum Cornelis Chastelein.20
Pembebasan para budak merupakan perwujudan dari citacita Chastelein untuk mengembangkan kelompok penduduk asli
yang beragama nasrani,21 dalam suatu perhimpunan Kristen, dan
hidup di tanah miliknya. Lahan itu sekaligus dicitrakan sebagai
pusat penyebaran agama Kristen untuk daerah sekitarnya.
Ketika

Cornelis

Chastelein

wafat,

Anthony

Chastelein

melanjutkan tugas untuk mengawasi umat Kristen Depok sesuai


dengan ketentuan yang ada dalam surat wasiat. Tugas lain yang
harus dilakukan Anthony Chastelein adalah mendaftarkan tanah
milik ayahnya di Depok, atas nama mantan budak-budaknya yang

19Jan-Karel
20Ibid.,

Kwisthout op.cit. hlm.178.

hlm. 222.

21Hendrik

E. Niemeijer, Batavia: Masyarakat Kolonial Abad XVII


(Jakarta: Masup Jakarta, 2012), hlm. 145.

11

berhak. Namun hal itu belum dapat dilaksanakan, karena pada


bulan Februari 1715 ia wafat.
Sepeninggal

Anthony,

Anna

Chastelein

de

Haan,

janda

Anthony, menikah dengan Johan Francois de Witte van Schoten,


seorang anggota Raad van Justice, pada 1717. Sebagai ahli hukum,
dan melalui perkawinannya dengan Anna de Haan, Johan Francois.
de Witte van Schoten menafsirkan salah satu klausul yang terdapat
dalam surat jawaban Raad van Indie terhadap permohonan Cornelis
Chastelein. Dalam penafsirannya, ia berpendapat bahwa para
mantan budak Cornelis Chastelein beserta keturunannya, hanya
mempunyai

hak

menggunakan

tanah

secara

bebas

untuk

selamanya.22 Atas dasar itu, ia kemudian memohon kepada College


van

Schepenen

di

Batavia

kepemilikan tanah Depok

untuk

memberikan

surat-surat

kepadanya. Permohonannya dikabulkan

dan hingga abad ke-19, tanah Depok tercatat atas nama Johan
Francois de Witte van Schoten.23

22Jan-Karel

Kwisthout, op.cit., hlm. 222.

23Apa

yang dilakukan Johan F. de Witte van Schoten, diduga


merupakan strategi hukum untuk menyelamatkan komunitas Depok.
Melalui kepemilikan ini, pemerintah di Batavia tidak dapat seenaknya
mengambilalih tanah Depok, apalagi Johan de Witte termasuk dalam
jajaran aristokrasi Batavia. Kenyataan lain yang ditunjukkan oleh
Johan de Witte van Schoten adalah sebelum pulang ke Belanda pada
1734, ia tidak menjual tanah Depok kepada pihak lain, melainkan

12

Dalam perkembangan kemudian, hingga akhir abad ke-19, hak


guna atas tanah Depok secara resmi terus berlaku, sampai akhirnya
pada 1850, Raad van Indi mengumumkan secara resmi bahwa
tanah Depok sebagai hak milik mantan budak Cornelis Chastelein.24
Pada 1871 Raad van Administratie dibantu oleh ahli-ahli hukum,
Bijstand-Verleeners, di antaranya Mr. H. Kleyn membentuk badan
pengurus yang dikenal dengan Het Gemeente Bestuur van Particuliere
Land Depok.25 Meskipun bentuk pemerintahan di Depok, secara
hukum dikenal sebagai Het Gemeente Bestuur van Particuliere Land
Depok, namun istilah gemeente bestuur dalam kasus tanah partikelir
Depok tidak dapat disejajarkan dengan istilah gemeente (kotapraja)
yang baru dicanangkan pada awal abad ke-20. Istilah gemeente
bestuur di tanah partikelir Depok merujuk pada suatu badan yang

menyerahkan pemeliharaannya kepada para pengguna tanah. Ia


tetap menghormati keinginan Cornelis Chastelein terhadap orangorang Depok. Dengan demikian hak kepemilikan resmi tanah Depok
atas namanya merupakan satu-satunya cara untuk menjamin
keberadaan Depok di masa yang akan datang. Melalui kepemilikan
itu, Johan Francois de Witte van Schoten menawarkan lebih banyak
kepastian, daripada kepastian semu yang mereka miliki dengan
mengandalkan surat wasiat Cornelis Chastelein.
24Jean

Gelman Taylor, op.cit., hlm. 135.

25Mengenai

pembentukan Het Gemeente Bestuur van


Particuliere Land Depok, lihat De Banier, Christelijk Weekblad voor
Nederlandsch-Indi, edisi Jubileum Depok, 1914, VI, Weltevreden, 26
Juni 1914.

13

tugasnya mengurus kepentingan komunitas dari tanah partikelir


itu.26
Penanggungjawab gemeente, oleh warganya disebut presiden.
Dengan demikian jabatan presiden dalam komunitas ini sebenarnya
merupakan wakil dari para mantan budak yang mendapat warisan
dari Cornelis Chastelein. Presiden Depok dipilih secara demokratis
oleh anggota komunitasnya setiap tiga tahun sekali. Ia bukan tuan
tanah melainkan koordinator pengurus (bestuur) dari gemeente.27
Para mantan budak dan keluarganya kemudian tumbuh
menjadi suatu komunitas tersendiri di Depok yang identitasnya
ditentukan

oleh

statusnya

sebagai

umat

Kristen,

yang

membedakannya dengan masyarakat lain di sekitar tempat tinggal


mereka. Keberadaan mereka secara yuridis formal diperkuat oleh
statusnya sebagai pemilik tanah, meskipun dalam hal ini mereka
menguasai dan mengaturnya secara kolektif.
Jean Gelman Taylor, menyatakan bahwa pengakuan terhadap
keanekaragaman tradisi dan perilaku manusia menjadi bagian dari

26Lihat

Reglement van het land Depok dalam Jan-Karel


Kwisthout, op.cit., hlm. 223-227.
presiden dalam hal ini adalah untuk menyebut
ketua pengurus gereja dan komunitas Kristen Depok, yang dipilih
dari 12 marga keturunan dari para budak yang telah dibebaskan.
Istilah Presiden dalam komunitas ini tidak dapat disetarakan dengan
konsep Presiden yang memimpin suatu negara.

27Sebutan

14

kehidupan sehari-hari di Batavia. Berbagai kelompok masyarakat


secara sadar mengadopsi bahasa dan institusi perbudakan Asia.
Sebaliknya,

orang-orang

Asia

menggunakan

nama,

pakaian,

kebiasaan, pekerjaan, dan agama yang sama dengan orang Eropa.


Aliansi-aliansi baru terbentuk diantara berbagai kelompok bukan
berdasarkan

pada

sikap

saling

menghargai,

namun

lebih

berdasarkan pada kesamaan dalam keterikatan pada agama dan


kekuasaan.
Kondisi seperti itu juga terjadi di kalangan para mantan budak
Cornelis Chastelein. Mereka kemudian menggunakan nama-nama
seperti Jonathans, Laurens,
Leander,

Joseph,

Tholense,

Bacas, Loen, Sudira, Isakh, Samuel,


Jacob, dan

Zadokh sebagai nama

keluarga. Ada kemungkinan nama-nama itu di ciptakan oleh para


mantan budak pada tahun 1871, setelah terbentuknya Het Gemeente
Bestuur van

Particuliere Land Depok secara resmi. Dugaan itu

muncul karena hingga Cornelis Chastelein wafat, nama-nama


tersebut belum ada. Cornelis Chastelein menyebut budak-budaknya
dengan menggunakan nama asal daerahnya antara lain seperti Jan
van Bali, Daniel van Makasar, Alexander van Makasar, dan Lambert

15

van Bali.28 Mengenai hal ini Hendrik E. Niemeijer mencatat bahwa


nama-nama dengan toponimi itu menunjukkan latar belakang etnis
dari mana para budak berasal.29
2. Perubahan Status Tanah: dari Hak Eigendom ke Tanah
Partikelir
Hingga pertengahan 1714, status kepemilikan tanah Depok
adalah

hak

milik

(eigendom

verponding).

Kondisi

ideal

yang

dibayangkan Chastelein ternyata tidak berlangsung lama. Tiga puluh


tahun kemudian, pada 1745, Gubernur Jenderal Baron van Imhoff
(1743-1750) membeli tanah Kampung Baru, di Buitenzorg. Kemudian
van Imhoff mengembangkan tanah Kampung Baru menjadi tanah
jabatan

gubernur

jenderal,

dan

menegakkan

institusi

tanah

partikelir30 pada petak-petak tanah lain di daerah Buitenzorg hingga



28Lihat

surat wasiat yang beredar di kalangan komunitas


Belanda Depok, dalam dua bahasa (Belanda dan Melayu). Surat
Wasiat aslinya, yang ditemukan di Arsip Nasional pada 1995 sudah
tidak dapat dibaca lagi, karena tertumpah tinta.
29Hendrik

E. Niemeijer, Komunitas Kristen Asia Merdeka dan


Kemiskinan di Batavia Pramodern, dalam Kees Grijns dan Peter J.M.
Nas (penyunting), Jakarta Batavia Esai Sosio-Kultural (Jakarta:
Banana, KITLV-Jakarta, 2007, hlm. 85.
30Tanah

partikelir adalah tanah yang sangat luas, yang oleh


Kompeni dan pemerintahan yang menggantikannya dialihkan
haknya kepada orang-orang swasta; kepada orang-orang swasta ini
diberikan hak-hak penting terhadap penghuni yang tinggal di tanahtanah ini. Hak-hak tersebut dikenal sebagai hak pertuanan yang

16

sekitar Batavia.31 Tujuannya adalah agar tanah-tanah tersebut


menjadi lebih produktif ketika dimiliki dan dikerjakan oleh para
pemilik tanah partikelir. Sementara itu hak-hak primordial yang
melekat pada kepemilikan ini dimaksudkan untuk menaikkan nilai
dan daya tarik bagi pembelinya, yang umumnya terdiri atas para
pejabat VOC atau orang kaya yang mampu membelinya dari
penguasa VOC.32

antara lain adalah hak untuk mengangkat serta menghentikan


kepala kampung atau desa; hak untuk menuntut kerja paksa atau
memungut uang pengganti kerja paksa dari penduduk; hak untuk
mendirikan pasar, dan memungut biaya pemakaian jalan dan
penyeberangan. Lihat Peratoeran Baroe atas Tanah-Tanah
Particulier di Tanah Djawa Sebelah Koelon Tjimanoek dalam
Staatsblad, No. 422 Tahun 1912 (Batavia: Landsdrukkerij, 1913),
hlm. 24. Dalam Penjelasan Undang-Undang No. 1 Tahun 1958, yang
membedakan tanah partikelir dengan hak eigendom adalah adanya
hak-hak pada pemiliknya yang bersifat hak-hak kenegaraan atau
landheerlijke rechten.

Faes, Geschiedenis van Buitenzorg (Batavia: Albrecht,


1902), hlm. 68-69. Sistem pewarisan tanah jabatan yang dirintis oleh
van Imhoff ini disahkan sebagai suatu sistem resmi berdasarkan
Resolusi tanggal 25 Januari 1760. Dalam dokumen ini, Gubernur
Jenderal van der Parra (1750-1756) memulai membagi tanah-tanah
di sekitar Buitenzorg untuk dijual kepada penawar tertinggi dan
dilengkapi dengan hak-hak jabatan yang mirip dengan tanah
Kampung Baru.

31J.C.

32Nicolaas

Engelhard, Overzigt van den staat Nederlandsch Oost


Indische Bezittingen onder bestuur van den Gouverneur Generaal
Herman Willem Daendels (Amsterdam: De Gebroeders van Cleef,
1816), hlm. 262. Puncaknya terjadi pada tahun 1780-an ketika para
pejabat VOC dari kalangan tertinggi masing-masing berburu tanah
dan menjadikan petak-petak tanah yang dibelinya sebagai hak milik

17

Setelah dibangun, van Imhoff kemudian tinggal di sana.33


Sejak saat itu Buitenzorg diresmikan menjadi kediaman penguasa
tertinggi VOC.

Kepindahan kediaman Gubernur Jenderal Hindia

Belanda ke Buitenzorg tidak mempengaruhi kegiatan di Batavia yang


tetap menjadi sentra pemerintahan di Hindia Belanda.
Jejak van Imhoff diikuti oleh beberapa pejabat tinggi VOC,
dengan membeli petak-petak tanah di sekitar kediaman Gubernur
Jenderal.

Pada tahap selanjutnya Gubernur Jenderal Herman

Willem Daendels (1808-1811) mengambil alternatif untuk menjual


tanah-tanah termasuk milik gubernur jenderal, dalam rangka usaha
mendapatkan dana untuk menopang program pertahanannya di
Jawa.
Kompleks tanah Kampung Baru yang ditetapkan sebagai tanah
milik para Gubernur Jenderal VOC itu, kemudian secara bergantian,
dijadikan

milik

pribadi

gubernur

jenderal.

Daendels

hanya

turun-temurun bagi penerusnya. Lahan yang menjadi objeknya


terutama daerah sekitar Batavia menjadi prioritas tertinggi dan
kemudian menyusul perluasannya ke arah selatan.
33J.

Faes, Geschiedenis van Buitenzorg. (Batavia, 1902,


Albrecht), hlm. 11. Van Imhoff membeli tanah tersebut seharga 50
ribu ringgit dan ia menetapkan kebiasaan bahwa tanah itu menjadi
milik pribadi Gubernur Jenderal, namun setiap pergantian jabatan,
pejabat baru wajib membelinya dari pejabat lama.

18

mengambil lahan di istana Buitenzorg dan lingkungan sekitarnya.


Sisanya

dikapling-kapling

dan

dijual

kepada

individu

swasta

lainnya.34 Taggart melihat gejala pengkaplingan dan pembagian


pemilikan tanah ini sebagai konsekwensi perluasan kota.35
Pada tahap awal dicanangkan kebijakannya, tidak banyak
orang berminat untuk membeli tanah-tanah itu. Daendels kemudian
membuat keputusan yang dianggap bisa menarik dan meningkatkan
penjualannya. Keputusannya adalah memberikan status partikelir
pada tanah-tanah yang dibeli. Langkah ini dimaksudkan agar para
pembeli tanah itu mendapatkan status hak milik mutlak (eigendom)
dan berlaku turun-temurun. Di samping itu status hukum yang
diberikan pada tanah tersebut sebagai tanah partikelir (particuliere
land) memberikan kewenangan kepada pemiliknya otonomi yang
sangat luas karena berhak membuat aturan sendiri di luar intervensi
pemerintah atas kehidupan yang ada di tanahnya, sejauh tidak
bertentangan dengan peraturan negara.


34P.J.

Veth, Java: Geographisch, Ethnologisch,


tweede deel (Haarlem: De Erven F. Boh, 1912), hlm. 291.

Historisch,

W.D. Mc. Taggart, Private Landownership in a Colonial


Town: The Case of Noumea, New Caledonia, dalam Economic
Geography, No 42, 1966, hlm. 189-204.
35

19

Dengan demikian ada fenomena penting yang muncul dari


pemberian kewenangan ini: pemilik tanah menjadi penguasa lokal
yang berstatus tuan tanah (landlord), dan ia bukan hanya berhak
atas tanah melainkan juga berhak atas semua penduduk yang tinggal
di atasnya.36 Sebagai akibat dari keputusan ini, muncul institusi
tanah-tanah partikelir sebagai kompleks-kompleks kehidupan sosial
otonom di pedalaman Jawa. Depok, yang semula berstatus hak
eigendom,

juga

mengalami

perubahan

status

menjadi

tanah

partikelir.
Perubahan struktural teritorial lainnya yang ditimbulkan oleh
kebijakan pemerintah kolonial adalah adanya rencana pembukaan
jalan baru yang menghubungkan Batavia-Buitenzorg. Ketika Gustaf
Willem van Imhoff membeli tanah Kampung Baru, jalan yang
menghubungkan kedua tempat ini hanya ada satu yaitu jalur yaitu
dari Batavia-Kampung Makasar-Cimanggis-Cibinong-Buitenzorg. Ia
kemudian merencanakan untuk membuka jalur baru. Namun


36S.

Pompe, Indonesian law 1949-1989 a bibliography of foreign


language materials with brief commentaries on the law (Dordrecht,
1992, Martinus Nijhoff Publ.), hlm. 187. Institusi ini tidak tersentuh
oleh Regeering Reglement tahun 1854 maupun oleh Agrarische Wet
tahun 1870. Dasar yang mengatur tanah-tanah ini adalah Staatsblad
van Nederlandsch Indi tahun 1836.

20

pembukaan jalan baru ini baru dapat direalisasikan pada masa


kepemimpinan Gubernur Jenderal Jean Chretien Baud.
Pada masa pemerintahan Inggris Thomas Stamford Raffles
(1811-1816) tidak menjual Depok kepada para tuan tanah Eropa
atau Cina. Raffles menjadikan Depok sebagai tempat percobaannya
untuk menerapkan sistem pajak tanahnya (landrent). Sejak itu Depok
menjadi

daerah

yang

langsung

berada

di

bawah

kekuasaan

pemerintah kolonial Inggris.


Pada tahun 1830 ketika pemerintah kolonial menerapkan
kebijakan cultuurstelsel, yang diikuti oleh meningkatnya produksi
tanaman dagang termasuk penyetoran produk kopi oleh tanah-tanah
partikelir, Buitenzorg dan sekitarnya menjadi salah satu sumber
pemasok produk tersebut. Akibatnya transportasi untuk pengiriman
produk mengalami peningkatan, dan memerlukan fasilitas jalan lebih
luas.

Gubernur Jenderal Jean Chretien Baud (1834-1836) kemudian

memutuskan

membuka

jalan

baru

yang

menghubungkan

Buitenzorg-Batavia melalui Depok. Jalan ini kemudian dikenal


sebagai Jalan Barat.37 Pembukaan Jalan Barat ini, secara langsung

37A.J.

van der Aa, Nederlands Oost Indi, derde deel


(Amsterdam, 1851, J.F. Schleijer), hlm. 29. Jalan Barat ini

21

menempatkan Depok pada posisi sebagai bagian dari jaringan


komunikasi

dan

transportasi

komersial

yang

bertumpu

pada

eksploitasi agraris sebagai dampak langsung dari cultuurstelsel.


Pembukaan jalan Barat berpengaruh pada status Depok yaitu
menjadi tempat transit dari dua sentra politik dan ekonomi kolonial.
Dalam
merencanakan

perkembangan
untuk

selanjutnya,

menghapus

pemerintah

institusi

tanah

kolonial
partikelir.

Menanggapi hal itu, Henricus Hubertus van Kol, anggota tweede


kamer (1897-1909), dari partai sosialis Belanda (Social Democratic
Labor Partij), pada tahun 1907 mengajukan rencana undang-undang
untuk menghapuskan institusi tanah partikelir dan mengambil
alihnya. Meskipun rencana ini belum berhasil disahkan oleh
parlemen, namun Henricus Hubertus van Kol berhasil memperluas
campur tangan pemerintah di tanah partikelir.38

membentang dari Buitenzorg ke Batavia melalui Kedung Badak,


Cilebut, Bojong Gede, Depok dan Cinere, merupakan jalan tanah dan
hanya bisa dilalui pada saat musim kemarau, karena pada musim
hujan jalan itu licin dan sulit dilewati, karena tidak diperkeras
dengan kerikil seperti halnya jalan timur. Jalan Barat seringkali
disebut jalan militer. Jalan Timur dari Cililitan, Kampung Makasar,
Pasar Rebo, Cimanggis, Cibinong, dan Buitenzorg, digunakan untuk
kepentingan pengangkutan hasil bumi dari daerah pedalaman
Buitenzorg ke Batavia. Lihat juga Algemeen Verslag van Assistant
Residentie Buitenzorg Over Het Jaar 1823.
38Staatsblad

van Nederlandsch Indi, Nomor 63 Tahun 1907.


22

Apa yang dilakukan oleh Henricus Hubertus van Kol,


menjadi dasar lebih lanjut bagi Menteri Koloni Alexander Willem
Frederic Idenburg (1909-1916) untuk meneruskan desakan bagi
pengambilalihan tanah-tanah partikelir. Pada 5 Januari 1911 Ratu
Wilhelmina menandatangani keputusan yang mengesahkan RUU
tentang pengembalian tanah-tanah partikelir di Jawa yang dijadikan
sebagai tanah negara.39 Dalam peraturan tersebut tuan tanah
sebagai pemilik tanah mendapatkan ganti rugi yang ditentukan oleh
sebuah komisi penilai yang dibentuk oleh pemerintah.
Meskipun peraturan ini tidak bisa langsung diaplikasikan,
namun dalam kenyataannya peraturan ini menjadi dasar hukum
bagi penerbitan sejumlah peraturan lain yang mengarah pada
penebusan tanah-tanah partikelir secara bertahap hingga akhir
pemerintahan Belanda di Indonesia pada tahun 1942. Tanah
partikelir

itu

kemudian

dijadikan

tanah-tanah

negara

dan

digunakan bagi kepentingan pemerintah atau publik.


B. Menjadi Tanah Negara
Setelah Belanda menyerah tanpa syarat, di Kalijati, Subang,
pada

1942,

maka

Indonesia

memasuki


39Staatsblad

babak

baru

dibawah

van Nederlandsch Indi, Nomor 38, Tahun 1911.


23

pemerintahan militer balatentara Jepang. Terbatasnya sumberdaya


manusia

mengakibatkan

Depok

dibiarkan

tanpa

pengawasan

langsung oleh pemerintah balatentara militer Jepang. Kegiatan di


Depok tetap dilakukan oleh Het Gemeente Bestuur van het Particulier
land Depok.
Perubahan besar dialami oleh Depok setelah pergantian rezim
penguasa dari kekuasaan kolonial menjadi pemerintah nasional
sejak tahun 1945. Awal pergantian rezim ini ditandai dengan masa
revolusi yang penuh kekerasan. Menurut Susan Blackburn, masa
dua bulan sebelum akhir 1945 disebut sebagai periode Bersiap,
karena seruan Bersiap diteriakkan tiap kali tentara Sekutu atau
pasukan Belanda melakukan patroli baik di jalan raya maupun di
lorong-lorong kampung.40 Ketika kata Bersiap diserukan, maka
orang-orang yang ada di jalan atau di lorong-lorong kampung harus
berdiri tegak, seperti pandu, dan tidak boleh bicara.41 Masa Bersiap

40Susan

Blackburn, Jakarta: Sejarah 400 Tahun. Terj. Gatot


Triwiria (Jakarta: Masup Jakarta, 2011), hlm. 208.
41H.

Th. Bussemaker, Bersiap!: Opstand in het paradijs. De


Bersiap-Periode op Java en Sumatera 1945-1946. Utrecht: Walburg
Pers, 2005), hlm. i-iv. Bersiap adalah periode pendek dalam sejarah
Indonesia, pada pertengahan September 1945 hingga bulan April
1946.

24

ditandai dengan maraknya tindakan kriminal, dan kekerasan


dengan sasaran orang Belanda dan Indo Belanda. Keadaan ini
terjadi hampir di seluruh Pulau Jawa dan Sumatera.
Depok juga mengalami masa Bersiap. Pada masa ini terjadi
satu peristiwa kriminal dan kekerasan fisik, yang dikenal dengan
peristiwa Gedoran. Peristiwa tersebut mencapai puncaknya pada 11
Oktober 1945. Pada saat yang bersamaan juga terjadi serangan TKR,
dalam upayanya menyingkirkan kekuasaan Belanda di Depok.
Secara kronologis peristiwa Gedoran dapat dikatakan diawali
dengan aksi pemboikotan penduduk, yang ingin membeli kebutuhan
hidup sehari-hari di pasar. Pada 7 Oktober 1945, sejumlah pemuda
Indonesia menghalangi beberapa penjual untuk menjual barang
dagangan mereka kepada orang-orang Eropa. Pada hari itu juga
terjadi kasus perampokan, yang diduga dilakukan para pemuda yang
bekerja pada Asisten Wedana Depok.42
Pada tanggal 8 Oktober, situasi dan kondisi Depok,
tenang, namun pada keesokan harinya

kembali

kembali terjadi peristiwa

perampokan atas lima keluarga. Gerombolan perampok tiba pada


dini hari tanggal 9 Oktober dengan membawa bendera merah putih,

42Lihat

Arsip Polisi Militer No. 530/MP Tentang Kerusuhan di

Depok.

25

dan membawa senjata tajam. Dalam peristiwa perampokan ini tidak


ada korban yang terbunuh. Keesokan harinya para gelandangan
menjarah gudang pangan (lumbung padi) yang ada di Depok.
Peristiwa itu kemudian disusul oleh perampokan yang

terjadi di

mana-mana, pada 11 Oktober 1945. Gerombolan perampok yang


jumlahnya sekitar 4000 orang datang dari segala penjuru, memasuki
Depok. Mereka datang secara bergelombang dengan kereta api, atau
mobil pengangkut dan bahkan dengan gerobak.43 Penduduk Eropa
dan warga Kristen Depok diusir dari rumah, kemudian rumah dan
peralatannya dirusak.44
Pada tanggal 12 dan 13 Oktober 1945 kasus perampokan
masih berlanjut, dengan jumlah anggota gerombolan yang lebih
banyak lagi. Pada hari-hari ini sekitar 10 orang warga Depok
dibunuh. Kekacauan masih terus berlangsung, tanggal 13 Oktober
semua penduduk Eropa diburu oleh para anggota BKR dan Pelopor,
yang dikenal dari ikat lengan mereka. Anggota BKR dan Pelopor ini
bekerjasama dengan gerombolan perampok, mengumpulkan orangorang Eropa dan penduduk pribumi Depok yang beragama Kristen di
sebuah rumah di belakang stasiun Depok.

43Ibid.

44Ibid.

26

Mereka ditawan dan

kemudian diangkut ke Buitenzorg dengan kereta api, bersama


tawanan Sekutu lainnya.
Semua

pria,

wanita

dan

anak-anak

hampir

seluruhnya

ditelanjangi. Kepada kaum pria hanya diberikan sebuah celana atau


kain pembalut pinggang. Banyak yang harus menukarkan pakaian
mereka yang lebih baik dengan makanan dan sandal dari para
perampok. Sisa perhiasan yang masih bisa ditemui seperti cincin
kawin harus diserahkan kepada para perampok.
Kemudian orang-orang Belanda Depok itu diangkut dengan
kereta api ke Buitenzorg. Mereka diperlakukan dengan kasar oleh
para penjaga. Setibanya di Buitenzorg para wanita dan anak-anak
ditampung dalam sebuah kamp di kampung Sempur di bawah
pengawasan BKR. Sementara kaum pria dibawa ke Pledang.
Perjalanan dari stasiun Buitenzorg ke penjara Pledang, merupakan
jalan yang penuh penderitaan. Masyarakat Indonesia dihasut oleh
propaganda anti Kristen dan anti-Belanda. Hasutan tersebut juga
dilakukan kepada para anggota BKR dan Pelopor yang tengah
membawa para tawanan. Akibat hasutan itu, para tawanan yang
berbaris

dalam

deretan

panjang

dalam

formasi

dua-dua,

bertelanjang kaki dan bertelanjang dada, seringkali mendapat


pukulan dari orang-orang yang mungkin menaruh dendam kepada

27

mereka.45 Selama kurang lebih dua tahun mereka menjadi penghuni


Pledang.
Dalam keadaan kacau seperti ini, sukar untuk membedakan
mana yang tentara, dan mana yang penjarah.46 Sekitar awal tahun
1948 orang-orang Depok yang dipenjara di Pledang, dibebaskan dan
mereka kemudian kembali ke Depok. Ketika mereka tiba kembali di
kediaman masing-masing, mereka mendapatkan rumah dalam
keadaan berantakan, dan barang-barang berharga yang pernah
mereka miliki sudah tidak ada lagi. Kondisi rumah Belanda Depok
setelah peristiwa Gedoran dapat dilihat pada Gambar 1.
Setelah kondisi kembali stabil, terjadi perubahan di mana mereka
tidak lagi mampu mempertahankan hak-hak yang mereka miliki di
bawah rezim kolonial meskipun eksistensi mereka sebagai suatu
komunitas khusus masih tetap ada. Kondisi baru yang mereka
alami, berbeda sama sekali, baik sehubungan dengan status hukum


45

Ibid.

46Seperti

yang dituturkan oleh Otto Leander, 7 Juni 2006.


Dikenal dengan nama Gedoran, karena rumah kami digedor
(pintunya diketok dengan keras), setelah dibukakan pintu, kemudian
terjadi kekerasan dan perampasan harta, bantal, guling kasur
diacak-acak, sehingga kapuknya berserakan kemana-mana. Hal itu
dilakukan para penjarah yang menyangka barang-barang perhiasan
disimpan di dalam bantal, guling atau kasur.

28

maupun dalam kaitannya dengan hubungan komunitas sosial


lainnya.

Gambar 1. Kondisi Rumah orang Belanda Depok


Setelah Peristiwa Gedoran (1945)
(koleksi: KITLV)

Pada 8 April 1949 pemerintah mengeluarkan Keputusan


Pemerintah Tentang Penghapusan Tanah-tanah Partikelir di seluruh

Indonesia

dan

Agraria).

Dengan

memberlakukan
dikeluarkannya
29

Landreform
keputusan

(Undang-Undang
tersebut,

maka

berakhir pula pemerintahan tanah partikelir Depok.47 Sejak saat itu


Depok menjadi tanah Negara, dan termasuk dalam Kawedanaan
Parung, kabupaten Buitenzorg. Kawedanaan Parung dibagi menjadi
dua kecamatan yaitu Kecamatan Parung dan Kecamatan Depok.
Pusat kota berada di Pancoran Mas. Pusat kota kecamatan ini
seringkali diidentikkan dengan kota Depok lama.48
Batas-batas wilayah Depok di sebelah utara berbatasan dengan
kecamatan Jagakarsa yang termasuk dalam wilayah DKI Jakarta, di
sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Semplak, di sebelah
timur berbatasan dengan Kecamatan Cimanggis, dan di sebelah
Barat berbatasan dengan Kecamatan Sawangan.49 Kecamatan Depok
saat itu menaungi 21 desa dengan jumlah penduduk 76.874 jiwa.
Pesebaran penduduk di 21 desa itu dapat dilihat pada Tabel 1.

47Lihat

Akte Notaris Soeroyo, nomor 18 Tanggal 4 Agustus


1952. Dalam akte notaris tersebut dikatakan bahwa para pemilik
tanah Partikelir Depok melepaskan haknya secara sukarela kepada
pemerintah.
Sebagai
kompensasi,
pemerintah
kemudian
memberikan uang sebesar Rp. 229.261,28 serta beberapa gedung
dan tanah yang ada kaitannya dengan agama dan pendidikan.
48Sebutan

Depok Lama muncul ketika pada tahun 1976, dalam


rangka mengurangi beban penduduk, pemerintah membangun
Perumnas, pemukiman berskala besar di Depok. Kawasan Perumnas
kemudian dikenal sebagai kawasan Depok Baru.
49Pemda

Tingkat II Kabupaten Bogor, Rencana Kota Depok,


Kompilasi Data I, Kerjasama dengan Direktorat Tata Kota dan Tata
Daerah Dirjen Cipta Karya-Dep. PUTL, Bogor, t.t., hlm. 24.

30

Tabel 1. Penduduk Kecamatan Depok (1961)


Desa

Kecamatan
Depok

Bojonggede
Kedung
Waringin
Tanjong
Tajurkalang
Kalisuren
Cimanggis
Cilodong
Citayam
Kukusan
Rangkepanjaya
Mampang
Cipayung
Pabuaran
Susukan
Ratujaya
Tanah Baru
Sukmajaya
Pancoran Mas
Kemiri Muka
Beji
Pondok Cina

Jumlah
penduduk
Laki-laki

Jumlah
Penduduk
Perempuan

Jumlah

Kategori
BPS
(Desa,
Kota)

2.267
1.498

2.178
1.513

4.445
3.011

D
D

598
1.320
1.129
2.985
2.034
2.396
1.347
1.284
1.226
2.499
2.188
1.471
1.241
1.304
3.230
5.040
916
1.430
1.190

639
1.376
1.125
2.983
1.952
2.380
1.258
1.211
1.289
2.445
2.117
1.406
1.246
1.370
3.240
5.073
908
1.416
1.165

1.237
2.696
2.254
5.968
3.986
4.776
2.605
2.495
2.506
4.944
4.305
2.877
2.487
2.674
6.470
10.113
1.824
2.846
2.355

D
D
D
K
D
D
D
D
D
D
D
D
D
D
K
K
D
D
D

(Sumber: Sensus Penduduk 1961 Penduduk Desa Jawa. Buku I: DKI


Jakarta dan Jawa Barat (Pusat Penelitian dan Studi
Kependudukan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dan Biro
Pusat Statistik 1980), hlm 76-78.

Tabel 1 menunjukkan bahwa pesebaran penduduk di Kecamatan


Depok tidak merata, dan jumlah penduduk terbesar ada di desa
Pancoran Mas.50 Mengenai hal ini, dalam sensus 1961, BPS

Pancoran Mas, merupakan pusat kegiatan pemerintahan dan


keagamaan sejak 1860-an hingga 1950-an.
50

31

mendefinisikan bahwa suatu daerah disebut sebagai kota jika


mempunyai penduduk lebih dari 5.000. Dengan demikian maka pada
tahun 1961, konsentrasi kepadatan penduduk berada di wilayah
Cimanggis, Sukmajaya, dan Pancoran Mas. Sebagai suatu kota,
daerah tersebut mempunyai kepadatan yang cukup tinggi, dan
beberapa fasilitas perkotaan sudah tersedia. Sementara daerah
lainnya

seperti

Rangkapan

Jaya,

Rangkapan

Jaya

Baru

dan

Mampang, adalah daerah yang terletak di sekitar tanah partikelir


Depok, dan merupakan perkampungan dengan tingkat kepadatan
penduduk rendah. Realitas ini menyebabkan pesebaran

penduduk

ke daerah-daerah itu relatif kecil.


C. Masyarakat

Masyarakat di kawasan Depok merupakan masyarakat yang


kompleks, baik dari segi kultural, agama, status, sosial dan ekonomi.
Menurut R.Z. Leirissa, kedudukan seseorang dalam masyarakat
ditentukan oleh jauh dekatnya orang tersebut dari simbol-simbol
kekuasaan
administrasi

kolonial.51

Kekuasaan

pemerintahaan

kolonial

kolonial,

disini

ekonomi

bisa

berupa

kolonial,

para


51R.Z.

Leirissa, Sejarah Masyarakat Indonesia,


Fakultas Ilmu Politik dan Ilmu Sosial, 1981), hlm. 9.

32

Jakarta:

gubernur jenderal dan para pejabat birokrasi. Berdasarkan hal


tersebut, masyarakat Depok dapat digolongkan menjadi tiga golongan
yaitu: (1) Belanda Depok, (2) Orang kampung, dan (3) pendatang.
1. Belanda Depok
Belanda Depok52 adalah sebutan bagi masyarakat yang
tinggal di tanah partikelir Depok, yang terbentuk sekitar abad ke-18
dari berbagai etnis di Indonesia. Dalam pembentukan masyarakat
tersebut terjadi percampuran identitas antar etnis di kalangan budak
yang diperjualbelikan.
Graafland,

pada

1891

mencatat

bahwa

sulit

untuk

menggolongkan kaum Depokkers ini dengan orang pribumi, karena


komposisi mereka sejak awal sudah bercampur dari berbagai suku

52M.

Buys dalam artikelnya yang berjudul Depok, dan dimuat


dalam De Indische Gids, vol. II, 1890, seperti yang dikutip oleh Lance
Castle, mendeskripsikan orang Depok sebagai berikut: Penampilan
para pria kurang menarik, mereka mengenakan pakaian menurut
gaya yang mirip orang Eropa, banyak di antara mereka yang
menghabiskan waktu mereka untuk tidak melakukan apa-apa.
Mereka yakin bahwa para pemilik tanah tidak layak untuk bekerja
mengolah lahan dan secara umum pekerjaan kasar diberikan kepada
orang-orang non Kristen. Kebencian terhadap pekerjaan kasar
inikadangkala didasarkan pada kebanggaan terhadap kepercayaan
Kristen mereka. Mereka sedapat mungkin menempatkan diri mereka
sejajar dengan orang-orang Eropa di Hindia, yang hanya sesekali
melakukan pekerjan kasar yang sesungguhnya. Lihat Lance Castle,
The Ethnic Profile of Djakarta dalam Indonesia, vol. 3, April 1967
(Ithaca: Modern Indonesia Project Cornell University), hlm 204.

33

bangsa, kemudian dengan masuknya wanita-wanita asing seperti


Melayu, Sunda, Jawa, dan Eropa, terjadi perccampuran darah
(perkawinan) diantara mereka.53
Istilah Belanda Depok muncul karena gaya hidup mereka yang
ke-belanda-belandaan. Mereka mendapat persamaan hak dengan
orang Eropa. Mereka bisa sekolah di sekolah yang diperuntukkan
bagi orang Belanda, berbicara memakai bahasa Belanda, dan gaya
hidupnya mengikuti orang Eropa.54 Hal ini terjadi karena, pertama,
orang-orang Belanda Depok tersebut tumbuh bersama dengan
kebiasaan Eropa. Alasan lain mengapa mereka mempunyai gaya
hidup yang demikian karena mereka yang memeluk agama yang
sama dengan pihak penguasa, akan mendapatkan keistimewaan,
seperti kesempatan bersekolah, dan kemungkinan untuk bekerja di
instansi pendidikan sebagai guru agama.55
Untuk mengikis perbedaan antara mereka dan orang Eropa,
mereka mengajukan permohonan untuk menggunakan bahasa

53Graafland,

Land-en Volkenkunde van Nederlandsche IndieDepok: Eene etnografische studie, dalam Mededeelingen van weege
het Nederlandsche Zendelingengenootschap, deel XXXV. (Rotterdam,
1891), hlm. 15.
54J.W.

de Vries, op.cit., hlm. 232.

55Jean

Gelman Taylor, Kehidupan Sosial di Batavia: Orang


Eropa dan Eurosia di Hindia Timur (Jakarta: Masup Jakarta, 2009),
hlm. 86-87.

34

Belanda sebagai bahasa pengantar di sekolah Depok. Motivasi


permohonan itu sebenarnya adalah agar mereka bisa semakin dekat
dengan orang Eropa.
Hasil Penelitian Vries menunjukkan bahwa penggunaan
bahasa Belanda di Depok cukup meluas seperti yang ditunjukkan
dalam Tabel 2 berikut ini:
Tabel 2. Bahasa yang digunakan oleh keturunan Belanda Depok di
rumah, dan dalam pergaulan sehari-hari (dalam %)
Lahir antara
tahun:

Bahasa Belanda

Bahasa
Indonesia56

1896 1915
1916 1935
1936 1955

14
7
0

45
60
70

Bahasa
Campuran (Ind.
+ Bld)
41
33
30

(Sumber: J.W. de Vries. Depokkers: Geschiedenis, Sociale Structuur


en Taalgebruik van Gessoleerde Gemeenschap, dalam
BKI, 1976, deel 132, hlm. 242).
Penggunaan bahasa Belanda dianggap penting oleh pihak
pemerintah kolonial, karena menandakan kesetiaan politik dan
kepercayaan
menunjukkan

terhadap

agama

Kristen.57

bahwa

komunitas


56Bahasa

Belanda

Fenomena
Depok

tersebut

merupakan

Indonesia dalam tabel 2, hendaknya dibaca bahasa


Melayu Pasar, meskipun penelitian ini diterbitkan pada 1976, namun
tidak diketahui pasti kapan data tersebut diperoleh. Jika dilihat dari
tahun lahir maka istilah bahasa Indonesia belum ada.
57Ibid.,

hlm. 43.
35

komunitas yang eksklusif jika dibandingkan dengan komunitas lain


yang berada di sekitar Depok (Betawi Ora). Namun identitas mereka
mulai bergeser pasca kemerdekaan.
Pergeseran ini terus berlanjut, terutama pada 1977 ketika
Perumnas Depok mulai dipenuhi oleh orang Jakarta. Bahasa Belanda
yang semula menjadi status simbol mereka mulai berangsur hilang.
Penggunaan

bahasa

Belanda

di

Depok,

setelah

kemerdekaan

berangsur-angsur menurun, dan hanya digunakan dalam situasi


tertentu.
Amri Marzali menyebut keadaan ini sebagai Krisis Identitas.
Menurut Amri, krisis identitas ini dimulai ketika masyarakat Belanda
Depok sengaja memupuk orientasi mereka kepada kelas penguasa
kolonial Belanda untuk mempertahankan identitas dan status
sosialnya.
Masa penjajahan Jepang dan kemerdekaan Indonesia telah
menghancurkan kejayaan masa lampau komunitas ini.

Arah

orientasi menjadi kabur bersama kepergian penguasa kolonial


Belanda. Runtuhnya status sosial, mental, dan politik melengkapi
kehancuran orientasi mereka. Yang tersisa hanya kebingungan
dalam mempertanyakan diri sendiri, siapa dan di mana tempat
mereka dalam masyarakat Indonesia yang majemuk ini.

36

Kaum Belanda Depok yang pada masa kolonial selalu berusaha


mengidentifikasikan dirinya sebagai orang Belanda, ketika Indonesia
merdeka, mereka mulai mengidentifikasikan dirinya sebagai orang
Indonesia asli. Mereka tidak suka disebut Belanda Depok, dan lebih
senang disebut sebagai orang Depok.58
Sebutan lain untuk mereka yang tergabung dalam komunitas
Kristen Depok adalah orang Depok Asli.59 Istilah ini muncul di
kalangan komunitas Kristen Depok karena mereka adalah pemegang
surat tanah asli Depok. Disamping itu, masih ada sebutan lain
untuk mereka, yaitu orang Depok Dalam. Istilah Depok Dalam
muncul karena permukiman orang-orang Belanda dan para mantan
budak sebagian besar tidak berada di

sepanjang jalan utama

Permukiman mereka berada pada jarak kurang lebih lima kilometer


58Amri

Marzali,Krisis Identitas Pada Orang Depok Asli, dalam


Berita Antropologi, Tahun VII, Nomor 22, Juli 1975, hlm. 55-74. Lihat
juga Boy Loen, Kami Protes Disebut Belanda Depok, dalam Pos
Kota, 10 April 2005.
59Argumentasi

mereka, untuk menyebut dirinya orang Depok


Asli, karena mereka adalah pemilik tanah partikelir. Sementara orang
di sekitar kawasan tanah partikelir disebut orang Depok Asal,
meskipun keberadaan mereka di Depok jauh sebelum kehadiran
orang asing ke Depok, akan tetapi mereka bukan pemegang hak atas
tanah Depok. Wawancara dengan Eduard Loen, 28 Februari 2008.
Hal yang sama juga disampaikan oleh Anton Loen, 9 Maret 2010.

37

dari jalan besar.60 Mengenai letak permukiman mereka dapat dilihat


pada peta 2 dan 3 berikut ini.
Jika peta 2 digabungkan dengan peta 3, maka akan tampak
tata

ruang

di

kecamatan

Pancoran

Mas,

yang

menunjukkan

permukiman di Jl. Dahlia merupakan salah satu permukiman


dengan kategori pedalaman. Permukiman lain yang terletak satu area
dengan permukiman Jl. Dahlia adalah permukiman di Jl. Kamboja
dan permukiman di Jl. Bungur. Kondisi permukiman yang tidak
terletak di jalur jalan utama menjadi salah satu sebab komunitas
Belanda Depok disebut juga sebagai komunitas Depok Dalam.


60 Star Weeklly, 6 Februari 1954.

38

Peta 2. Pola Pemukiman di Kecamatan Pancoran Mas61


(Sumber: Dinas Tata Kota, Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan
Kawasan Depok Lama, Laporan Akhir, 2003, hlm. 43).
Keterangan:

Permukiman pedalaman lainnya terletak di Jl. Kenanga, Jl.


Cempaka, dan Jl. Melati serta kompleks pemukiman di Jl. Pemuda,
yang merupakan pusat kota di Kecamatan Pancoran Mas.

61Lihat

juga Lampiran 10.


39

Peta 3. Permukiman Pedalaman


(Sumber: Dinas Tata Kota, Kota Depok, Rencana Tata Bangunan dan
Lingkungan Kawasan Depok Lama, Laporan Akhir, 2003,
hlm. 38).
2. Orang Kampung
Orang Kampung, adalah sebutan bagi mereka yang tinggal di
kampung-kampung disekitar Depok, yaitu kampung Blimbing,
Malele,

Lion,

Pitara,

Kapupu,

Rawadeno,

Pulow,

Grogol

dan

Parungbingung. Mereka beragama Islam, serta tidak mengenal


40

pendidikan Barat.62 Mereka telah tinggal di kampung-kampung itu


sejak sebelum Depok dibeli oleh Cornelis Chastelein. Mereka
kebanyakan

berasal

etnis

Sunda,

Jawa,

dan

Betawi

Ora

(pinggiran)63, dan tinggal kampung-kampung di sekitar Depok secara


turun temurun. Mata pencaharian orang kampung ini antara lain
adalah sebagai petani sawah, petani buah-buahan, buruh kasar di
Kampung Bandan, Batavia atau di industri gerabah di Kampung
Lio.64

Di antara mereka ada juga yang bekerja pada keluarga

Belanda Depok, sebagai babu (sebutan untuk pembantu rumah


62Istilah

kampung, awalnya dimaksudkan untuk menyebut


tempat tinggal atau kompleks perumahan orang orang pribumi
(inlander) yang dianggap kurang mampu. Lihat Budihartono, Pola
Permukiman di Jakarta, dalam Masyarakat. Jurnal Sosiologi.
Diterbitkan atas kerjasama Jurusan Sosiologi FISIP-UI dengan
Penerbit Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1993). hlm. 26.
63Masyarakat

Betawi, merupakan masyarakat yang tinggal di


kawasan Jakarta. Seiring dengan berjalannya waktu, jumlah mereka
di Jakarta semakin berkurang, karena tergusur ke wilayah sekitar
Jakarta seperti Bogor, Tangerang, dan Bekasi, sebagai akibat dari
pembangunan di pusat kota Jakarta. Kepindahan mereka ke daerah
pinggiran kota Jakarta menjadikan wilayah Botabek sebagai wilayah
baru budaya Betawi. Kepindahan mereka ke daerah pinggiran
menyebabkan terbentuknya stratifikasi sosial antara Betawi
gedongan, dan Betawi pinggiran. Wawancara, Prof Dr. Yasmine
Shahab, Depok, 19 September 2014.
64J.

Tideman, Penduduk Kabupaten-kabupaten Batavia,


Meester Cornelis, dan Buitenzorg, dalam Nalom Siahaan dan J.B.
Soreharsa (ed), Tanah dan Penduduk di Indonesia. (Jakarta: Bhratara,
1985), hlm. 72

41

tangga perempuan), koki (tukang masak) atau jongos (sebutan untuk


pembantu laki-laki).65
Tempat tinggal mereka dibuat menurut model rumah-rumah
kampung yang dijumpai di sekitar Batavia.66 Bentuk rumah itu
adalah rumah panggung, semi permanen, dengan bahan dasar
bambu, dan beratapkan daun kelapa atau rumbia. Sementara
dindingnya terbuat dari anyaman bambu. Berikut ini adalah contoh
rumah orang kampung pada abad ke-19.
Tata cara kehidupan orang kampung, mirip dengan kehidupan
orang Betawi terutama dalam dialek bahasanya.

Meskipun lokasi

tempat tinggalnya berada di Jawa Barat. Komunikasi dengan


komunitasnya dilakukan dengan mempergunakan bahasa Betawi,
campur Sunda, sementara komunikasi dengan

sinyo-sinyo, yang

menjadi majikannya, dipergunakan bahasa Melayu-Jakarta.67


Wawancara dengan Bapak Naam, yang menyebut kerabat


dan orang-orang kampung lainnya sebagai orang Betawi pinggiran,
14 Januari 2004, dan 3 September 2004. Dikatakan bahwa orang
tuanya bekerja sebagai pemelihara hewan pada keluarga Tuan
Richard dan Nyonya Lies, di dekat Rumah Sakit Harapan, ngangon
kebo, demikian istilah yang digunakan untuk menyebut pekerjaan
ayahnya, sebagai penggembala kerbau.
Imbalan ngangon kebo
diberikan setelah 15 tahun bekerja, dalam bentuk satu ekor kerbau
atau sapi yang di-angon-nya.
65

66Graafland,

op.cit., hlm. 11

67Ibid.

42

Gambar:4. Bentuk Rumah orang Kampung di pinggiran Batavia


(abad-19). (Susan Blackburn, Jakarta: Sejarah 400 Tahun, Jakarta:
Masup Jakarta, 2011, hlm. 93).
Orang Kampung biasanya tidak pernah mengenyam bangku
sekolah. Semua urusan yang berkaitan dengan hal-hal yang legal,
digunakan cap jempol sebagai pengganti tanda tangan. Pendidikan
yang mereka peroleh adalah pendidikan agama Islam di langgar atau
surau di sekitar rumahnya, yang bentuknya sangat sederhana dan
dapat dilihat pada Gambar 5 berikut:

43

Gambar 5. Surau, Tempat Belajar Agama Islam (abad 19)


(Sumber: Susan Blacburn, Jakarta: Sejarah 400 Tahun,
Jakarta: Masup Jakarta, 2011, hlm. 91)
Hal-hal tersebut merupakan salah satu ciri khas orang Betawi.
Ciri khas lainnya adalah, pertama, mereka beragama Islam yang
cenderung fanatik. Mereka tidak mau mengikuti pendidikan Barat,
dan lebih mengirimkan anak-anaknya ke pesantren. Kedua, mereka
berbicara dalam bahasa mereka sendiri, sebuah dialek Melayu yang
khas. Meskipun penggunaan bahasa di wilayah tersebut didominasi
oleh bahasa Sunda.68

68Mengenai

etnis Betawi lebih lanjut lihat Budiaman, Folklore


Betawi. (Jakarta: Pustaka Jaya, 1979). Lihat juga Pauline D. Milone,
Queen City of the East: The Methamorphosis of a Colonial Capital,
Unpublished PhD Dissertation University of California, 1966, hlm.
250-263. Wawancara dengan Prof. Dr. Yasmine Shahab, Depok 19
September 2014.

44

J. Tideman menyebut orang kampung ini dengan sebutan


Betawi

Ora,69

yang

sifatnya

berlainan

sekali

dengan

nenek

moyangnya yang berasal dari daerah lain. Bahasa yang digunakan


mendapat pengaruh dari bahasa Cina, Jawa, Sunda dan Betawi
yang nampak pada tabel 3.
Tabel 3. Contoh kata-kata dalam bahasa Betawi Ora

Kata
Doang
Madang
Mingser
Encang
Ora
Embung
Jigo, gocap, cepe,
Tumben
Ngembat
Rombeng

Arti dalam bahasa Indonesia


Saja
Makan
Minggir, bergeser
Saudara dari bapak/ibu
Tidak
Tidak mau
Dua puluh lima rupiah, limapuluh
rupiah, seratus rupiah
Tidak seperti biasa
Mengambil tanpa ijin
Usang

(Sumber: Sriyamto, dkk., Bunga Rampai Kota Depok. Depok: Pandu


Karya, 2002, hlm 43).

69J.

Tideman, op.cit., hlm. 56. Menurut Prof. Dr. Yasmine


Shahab, Antropolog UI, ahli Betawi, istilah Betawi Ora digunakan
untuk menyebut orang Betawi yang tinggal di pinggiran. Lebih lanjut
dikatakan bahwa dari konsep Betawi Ora, menunjukkan ada Betawi
Kota yang seringkali disebut sebagai Betawi Gedongan. Wawancara
dengan Prof Yasmine Shahab, di Departemen Antroplogi FISIP UI,
Depok, 19 September 2014.

45

Contoh

kata-kata

dalam

bahasa

Betawi

Ora

tersebut

menunjukkan terjadi serapan kata antara lain dari bahasa asing


(Cina) untuk menyebut mata uang, dan bahasa daerah (Jawa:
madang; Sunda: embung).
3. Pendatang
Golongan pendatang, dapat dikelompokkan dalam empat
kelompok yaitu: Pertama, orang Eropa, dan Indo Eropa, mereka
biasanya pensiunan pegawai Belanda yang mencari ketentraman dan
kedamaian hidup di masa tuanya. Depok yang terletak di pinggiran
kota Batavia dirasakan cocok untuk mereka, karena jauh dari
kesibukan kota besar. Dengan dibukanya jalur kereta api pada
1868,70 orang-orang Eropa mendapatkan kemudahan untuk pergi ke
Batavia. Permukiman mereka terkonsentrasi di Jl Kenanga, Jl.
Cempaka, Sumur Batu, Jl. Mawar, Jl. Flamboyan, dan Jl. Melati.
Permukiman kolonial kemudian berkembang ke arah Jl. Kartini, dan
sekitar Jl. Citayam.


70ANRI,

Gouvernement Besluit 27 Maret 1868 no. 1, bundle


Algemeen Secretarie. Keputusan ini disahkan dengan Staatsblad van
Nederlandsch Indie over het jaar 1869 nomor 52.

46

Gambar. 6. Bentuk Rumah Bergaya Indo Eropa dengan


pilar-pilar kokoh (Koleksi Pribadi, 2003)
Berbeda dengan rumah milik orang kampung, rumah milik

orang Eropa dan Indo Eropa71 dibangun dengan material yang baik,
dindingnya terbuat dari batu bata, dengan atap genting, dilengkapi
dengan pilar-pilar kokoh dibangun dengan jarak yang agak longgar,
dengan

pekarangan yang cukup luas, yang antara lain ditanami

pohon kenari.

72


71Orang-orang

Indo Eropa adalah mereka yang lahir dari


perkawinan antara orang Eropa, (orang Belanda) dengan orang
pribumi. Hal ini bisa terjadi karena VOC tidak menganjurkan para
pegawainya untuk membawa isteri Eropa mereka. Lihat Susan
Blackburn, op.cit., hlm.27-32. Lihat juga Pradipto Niwandhono, Yang
Ter(di)lupakan: Kaum Indo dan Benih Nasionalisme Indonesia.
(Yogyakarta: Penerbit Djaman Baroe, 2011), hlm. 45-50.
72Depok,

dalam Mededeelingen van wege het Nederlandsche


Zendelinggenootschap, XXXV, 1891, hlm. 4-5. Mengenai hal ini dokter

47

Golongan kedua adalah para pendatang yang berasal dari


daerah-daerah di Indonesia seperti Ambon, Menado, Irian dan lainlain.

Mereka ini adalah para murid dari Sekolah Seminari Depok

yang dibuka pada tahun 1873. Kehadirannya di Depok untuk


mengikuti pendidikan menjadi guru sekolah dan guru injil. Sebagai
penginjil

mereka

diharapkan

menjadi

pendeta

pembantu

bagi

pendeta yang berasal dari Eropa. Seminari di Depok pada tahun 1890
seperti pada tahun sebelumnya menampung 34 orang siswa,
termasuk 5 orang Dayak, 2 orang Jawa, 4 orang Sunda, 12 orang
Batak, 10 orang Sangir dan 1 orang Ambon.73 Gambar 5 berikut ini
menunjukkan

bangunan

sekolah

seminari

yang

merupakan

bangunan permanen, dan para siswanya mengenakan pantalon.


Kondisi ini berbeda jauh dengan bentuk bangunan tempat belajar
agama Islam dan gaya berpakaian orang kampung yang disajikan
dalam gambar 5.

Arman Jonathans menuturkan bahwa rumahnya adalah bekas


rumah orang Indo/Eropa, yang dibangun pada abad ke 19. Tahun
pembangunan rumah tersebut dapat dilihat di tembok bagian atas
rumah, misalnya Anno 1865. Wawancara dengan dokter Arman
Jonathans, Kompleks Pelni, 18 Januari 2001.
73ANRI,

Algemeen Verslag van Residentie Batavia over het jaar


1890, dalam bundle Batavia.

48

Gambar 7. Sekolah Seminari Depok (Abad ke-19),


terletak di Jl. Stasiun Lama (Koleksi Yano Jonathans)

Golongan ketiga, adalah orang Cina. Mereka hadir di Depok


sejak abad ke 18, dan bermukim di daerah Pondok Cina.74 Mereka
adalah pedagang-pedagang di pasar Depok, yang mondok di daerah
tersebut sehubungan dengan adanya larangan bagi orang Cina untuk
tinggal di kota Depok. Orang Cina dilarang tinggal di Depok karena
mereka dianggap sebagai sumber kerusuhan. Mereka juga dikenal

74Pondok

Cina, awalnya merupakan kawasan perkebunan


karet, dan pertanian. Kawasan ini merupakan tempat transit
pedagang Cina yang berdagang di pasar Depok. Lihat Sinergi Online.
Indonesian Chinese Magazine, 27 Januari 2001. www.tripod.com.
Diunggah tanggal 2 Februari 2001, pukul 15.30.

49

sebagai orang yang suka meminjamkan uang dengan bunga tinggi.


Larangan tersebut tercantum dalam surat wasiat yang ditulis oleh
Cornelis Chastelein.
Mereka hanya diizinkan berdagang pada waktu siang hari.
Apabila

matahari

telah

terbenam

mereka

berbondong-bondong

meninggalkan kawasan Depok. Mereka tak mungkin pulang ke


Glodok (permukiman Cina di Batavia). Mereka kemudian tinggal di
Kampung Bojong, disekitar rumah tua Pondok Cina yang letaknya
kurang lebih lima kilometer dari Depok.
Rumah Tua Pondok Cina didirikan dan dimiliki oleh seorang
arsitek Belanda.75

Pada pertengahan abad ke-19 rumah tersebut

dibeli oleh Lauw Tek Tjiong, saudagar Cina yang kemudian


mewariskannya kepada anaknya, Lauw Tjeng Shiang, seorang
Kapiten Cina. Di sekitar rumah tua ini terdapat perkebunan karet
dan persawahan, yang awalnya dihuni lima keluarga yang semuanya
keturunan Cina. Mereka ini selain berdagang ada juga yang bekerja
sebagai petani di sawah milik mereka serta bekerja di ladang kebun
karet milik tuan tanah orang-orang Belanda.

75J.

Hageman, Overzicht van Java op Het Einde der


Achtiende Eeuw, dalam TBG, jilid IX, tahun 1960, hlm. 365.
Selanjutnya, pada pertengahan abad -19, Pondok Cina dijual kepada
Lauw Tek Tjiong.

50

Gambar 8. Rumah Tua Pondok Cina, di Jl. Margonda Raya


(Koleksi Pribadi, 1995)

Tidak semua pedagang Cina mondok di Pondok Cina, diantara


mereka ada juga yang tinggal di Cisalak. Mereka menganut ajaran
Konghuchu, dan mayoritas berasal dari daerah propinsi Fu Jian,
Cina Selatan. Mereka disebut orang Hokian.
Golongan terakhir adalah orang-orang yang datang ke daerah
ini setelah pengakuan kedaulatan. Mereka terdiri dari berbagai suku
bangsa. Pada umumnya kedatangan mereka adalah untuk mencari
nafkah. Termasuk pula ke dalam golongan ini adalah pendatangpendatang baru dari Jakarta ketika Perumnas Depok dibuka pada
tahun 1978.
Ketika
Balatentara

kekuasaan
Jepang

Hindia

menguasai

Belanda

berakhir,

Indonesia.

Pemerintah

Namun

karena

kekurangan tenaga SDM, Tanah Partikelir Depok dibiarkan tanpa


51

pengawasan, dan tetap berada di bawah Het gemeente van Het


Particulir Landrijen Depok. Pengurus gemeente bertindak sebagai tuan
tanah dan memiliki kewenangan seperti yang tercantum dalam
Staatsblad tahun 1836 nomor 19 terhadap mereka yang tinggal di
atas tanahnya.
Pada

tahun

1945,

Jepang

mengakhiri

penjajahannya

di

Indonesia, dan Depok kemudian menjadi bagian dari negara Republik


Indonesia. Dalam perkembangan selanjutnya, pada 1952, tanah
partikelir Depok dikembalikan ke Pemerintah Republik Indonesia.
Meskipun tanah partikelir ini telah dikembalikan, namun Depok
masih menyisakan permasalahan yaitu status penduduk Eropa.
Berdasarkan Konferensi Meja Bundar pada akhir Desember 1949.
Orang Eropa diberi waktu dua tahun untuk memutuskan apakah
mereka menjadi orang Indonesia atau tetap menjadi warga negara
Belanda.76
Sebagian
warganegara

besar

Belanda,

dari
dan

mereka
kemudian

memilih

tetap

meninggalkan

menjadi
Indonesia

dengan bantuan Belanda. Keputusan tersebut diambil karena rasa


takut akan kehilangan status dan pendapatan dalam Republik
Indonesia, ditambah insentif finansial dari Belanda telah ikut

76Susan

Blackburn, op.cit., hlm. 254-256.


52

menentukan nasib mereka. Pada tahun 1956, jumlah penduduk


Eropa di Jakarta ada sekitar 17.000 jiwa. Namun akibat gerakan
anti Belanda yang terus menerus dilakukan oleh rakyat Indonesia,
ditambah dengan penolakan Belanda untuk menyerahkan Irian
Barat pada tahun 1961, maka jumlah penduduk Belanda di Jakarta
hanya tersisa 530 jiwa.77
Sejalan dengan kondisi politik di Jakarta, sebagian besar
Belanda Depok juga ikut hijrah bersama orang Eropa yang masih
tersisa, dan menjadi warganegara Belanda. Sementara sisanya, yang
tergabung dalam 11 keturunan para mardijkers Depok, tetap memilih
untuk tinggal dan menjadi warganegara Indonesia.
Dari

pembahasan

pada

bagian

ini

nampak

bagaimana

keunikan Tanah Partikelir Depok, dengan penduduk yang mayoritas


beragama Kristen, dan letaknya menjadi strategis ketika Buitenzorg
dijadikan tempat tinggal gubernur jenderal. Letaknya yang strategis
ini, dalam perkembangan selanjutnya menyebabkan keberadaan
Depok mulai diperhitungkan oleh Jakarta, antara lain sebagai kota
penunjang bagi Jakarta.


77Ibid.,

hlm. 255-257.
53

You might also like