Professional Documents
Culture Documents
Referat Airway Management
Referat Airway Management
Airway Management
Oleh :
LULU NURSYIFA
NADIA ANISHA
1102011146
1102011186
Dokter Pembimbing:
Dr. Hj. Hayati Usman, Sp.An
Dr. Dadi Ginanjar Sp.An
DAFTAR ISI............................................................................................................1
BAB I.......................................................................................................................2
PENDAHULUAN...................................................................................................2
BAB II......................................................................................................................2
PEMBAHASAN......................................................................................................2
2.1.
Anatomi.....................................................................................................2
2.2.
Airway Management..................................................................................4
2.2.1.
Airway Assesment..............................................................................4
2.2.2.
2.2.3.
Posisi Pasien.......................................................................................7
2.2.4.
Preoksigenasi.....................................................................................7
2.2.5.
2.2.6.
Intubasi...............................................................................................7
2.2.6.1.
2.2.6.2.
Intubasi Endotrakeal.......................................................................8
2.2.7.
2.2.8.
2.2.9.
Extubasi..............................................................................................9
2.2.10.
2.3.
Komplikasi.....................................................................................9
2.3.1.
2.3.2.
BAB III..................................................................................................................10
KESIMPULAN......................................................................................................10
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................10
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.Anatomi
Saluran nafas bagian atas terdiri dari hidung, mulut, faring, laring, trakea,
dan percabangan bronkus. Mulut dan faring juga merupakan bagian dari
saluran pencernaan bagian atas. Struktur laring merupakan bagian yang
berperan dalam mencegah aspirasi ke dalam trakea.
Terdapat dua pintu pernafasan pada manusia, yaitu hidung yang
melanjutkan ke dalam nasofaring dan mulut yang menghubungkan ke
1
2.2.Airway Management
2.2.1. Airway Assesment
2) Face Mask
2.2.3.
2.2.4.
2.2.5.
2.2.6.
Posisi Pasien
Preoksigenasi
Bag and Mask Ventilation
Intubasi
Sebuah Laryngeal Mask Airway (LMA) terdiri dari tabung bore lebar yang ujung
proksimalnya dapat terhubung ke sirkuit pernafasan dengan konektor berukuran
15-mm standar, dan pada ujung distal terdapat cuff elips yang dapat
digelembungkan melalui tabung kendali. Cuff yang masih kempis dilumasi dan
dimasukkan ke hipofaring sehingga, sekali meningkat, cuff dengan tekanan
rendah menutup sekitar pintu masuk laring. Ini membutuhkan anestesi yang dalam
dan relaksasi otot yang sedikit lebih besar dari yang dibutuhkan untuk insersi jalan
napas oral. Meskipun insersi relatif sederhana, perhatian terhadap detail akan
meningkatkan tingkat keberhasilan. Sebuah cuff idealnya diposisikan berbatasan
dengan dasar lidah superior, piriformis yang sinus lateral, dan sfingter esofagus
bagian atas inferior. Jika kerongkongan terletak dalam tepi cuff, distensi lambung
dan regurgitasi dapat terjadi. Variasi anatomi dapat menghambat fungsi dari
terpasangnya LMA untuk beberapa pasien. Namun, jika LMA tidak berfungsi
dengan baik setelah ukuran dari LMA telah dicocokan, sebagian besar praktisi
akan mencoba LMA lain yang satu ukuran lebih besar atau lebih kecil. Setelah
sesuai dan dapat berfungsi dengan baik, LMA dapat difiksasi menggunakan
plester. LMA melindungi laring dari sekresi faring (tapi tidak untuk regurgitasi
lambung), dan harus tetap di tempat sampai refleks jalan napas pasien kembali
normal. Hal ini biasanya ditandai dengan batuk dan membuka mulut dengan
perintah. LMA tersedia dalam berbagai ukuran.
LMA merupakan alternatif untuk ventilasi dari face mask atau TT. Kontraindikasi
relatif untuk LMA adalah pasien dengan faring patologis (misalnya, abses),
obstruksi faring, perut penuh (misalnya, kehamilan, hernia hiatus), atau penyakit
paru (misalnya, penyakit saluran napas restriktif) membutuhkan tekanan inspirasi
puncak lebih besar dari 30 cm H2O . Secara tradisional, LMA tidak disarakan
pada pasien dengan bronkospasme atau resistensi jalan nafas tinggi, namun bukti
terbaru menunjukkan bahwa karena LMA tidak ditempatkan di trakea,
penggunaan LMA tidak begitu berkaitan dengan bronkospasme dibandingkan
dengan TT. Meskipun LMA jelas bukan pengganti dari intubasi trakea, LMA telah
terbukti sangat bermanfaat sebagai alternative yang dapat menyelamatkan jiwa
pada pasien dengan saluran pernapasan yang sulit (mereka yang tidak dapat
ventilasi atau diintubasi) karena kemudahan insersi dan tingkat keberhasilan yang
relatif tinggi ( 95% sampai 99%). Telah digunakan sebagai saluran untuk stylet
intubasi (misalnya, karet elastis bougie), ventilasi jet stylet, FOB fleksibel, atau
TT dengan diameter kecil (6,0 mm). Beberapa LMA yang tersedia yang telah
dimodifikasi untuk memfasilitasi penempatan TT yang lebih besar, dengan atau
tanpa menggunakan FOB a. Insersi dapat dilakukan dengan anestesi topikal dan
memblok saraf laring bilateral atas, jika jalan nafas harus diamankan saat pasien
terjaga.
Variasi dalam desain LMA meliputi:
The ProSeal LMA, yang memungkinkan bagian dari tabung lambung untuk
dekompresi lambung
The I-Gel, yang menggunakan occluder gel daripada cuff karet
A. Indikasi
1.
2.
3.
Laringoskop
Sebuah laringoskop adalah alat yang digunakan untuk memeriksa laring dan untuk
memfasilitasi intubasi trakea. Pegangan biasanya berisi baterai untuk menyalakan
bohlam di ujung pisau, atau, secara bergantian, untuk daya bundel serat optik yang
berakhir di ujung pisau. Cahaya dari bundel serat optik cenderung lebih tepat
diarahkan dan kurang menyebar. Juga, laryngoscopes dengan bundel cahaya serat
optik di pisau mereka dapat dibuat pencitraan resonansi magnetik yang
kompatibel. Pisau Macintosh dan Miller adalah desain melengkung dan lurus
paling populer, masing-masing, di Amerika Serikat. Pilihan pisau tergantung pada
preferensi pribadi dan anatomi pasien. Karena tidak ada pisau yang sempurna
11
untuk semua situasi, klinisi harus menjadi akrab dan mahir dengan berbagai
desain pisau.
Video atau laryngoscopes berbasis optik memiliki sebuah chip video (sistem DCI,
GlideScope, McGrath, Airway) atau lensa / cermin (Airtraq) di ujung pisau
intubasi untuk mengirimkan pandangan glotis ke operator. Perangkat ini berbeda
dalam angulasi pisau, kehadiran saluran untuk memandu tabung untuk glotis, dan
penggunaan tunggal atau sifat serbaguna dari perangkat. Selain itu, digunakan
pada manejemen pasien dengan jalan nafas yan tidak rumit, lebih mudah
digunakan pada saat laringoskopi langsung tidak memungkinkan.
Flexible Fiberoptic Bronchoscopes
Dalam beberapa situasi, misalnya, pasien dengan cervical yang tidak stabil,
keterbatasan gerak sendi temporomandibular, atau bawaan tertentu. Tabung insersi
berisi dua bundel serat, masing-masing terdiri dari 10.000 sampai 15.000 serat.
Satu bundel mentransmisikan cahaya dari sumber cahaya (sumber cahaya atau
bundel koheren), yang baik eksternal ke perangkat atau terkandung dalam
pegangan, sedangkan yang lain menyediakan gambar resolusi tinggi (gambar atau
bundel koheren). Manipulasi directional dari tabung insersi dilakukan dengan
kabel angulasi. Saluran aspirasi memungkinkan pengisapan sekresi, insuflasi
oksigen, atau berangsur-angsur dari anestesi lokal. Saluran aspirasi bisa sulit
untuk dibersihkan, dan, jika tidak dibersihkan dengan benar dan disterilkan
setelah digunakan, dapat memberikan celah untuk infeksi.
Teknik Intubasi
Sebelum melakukan intubasi, perlu dipersiapkan alat-alat yang diperlukan dan
diperiksa keadaannya, misalkan apakah kaf pada intubasi tidak bocor, nyala lampu
pada laringoskop, dan lain-lain.
Keberhasilan intubasi tergantung dari
posisi pasien yang benar. Kepala pasien
harus sejajar atau lebih tinggi dengan
pinggang dokter anestesi untuk mencegah
ketegangan bagian belakang yang tidak
perlu selama laringoskopi. Elevasi kepala
sedang (sekitar 5-10 cm diatas meja
operasi) dan ekstensi dari atlantoocipito
join membuat pasien berada pada posisi
sniffing yang diinginkan. Bagian bawah
dari tulang leher dibuat fleksi dengan
menempatkan kepala diatas bantal.
Persiapan untuk induksi dan intubasi juga
Sniffing position
meliputi preoksigenasi rutin. Setelah
induksi anestesi umum, mata rutin direkat
dengan plester karena anestesi umum menghilangkan refleks proteksi kornea.
a. Intubasi Orotrakeal
12
Laringoskop dipegang oleh tangan kiri. Dengan mulut pasien terbuka lebar, blade
dimasukan pada sisi kanan dari orofaring dengan hati-hati untuk menghindari
gigi. Geserkan lidah ke kiri dan masuk menuju dasar dari faring dengan pinggir
blade. Puncak dari lengkung blade biasanya dimasukkan ke dalam vallecula dan
ujung blade lurus menutupi epiglotis. Handle diangkat dan jauh dari pasien secara
tegak lurus dari mandibula pasien untuk melihat pita suara. Terperangkapnya lidah
antara gigi dan blade serta pengungkitan dari gigi harus dihindari. Orotracheal
tube (OTT) diambil dengan tangan kanan dan ujungnya dilewatkan melalui pita
suara yang terbuka (abduksi). Balon OTT harus berada dalam trakea bagian atas
tapi diluar laring. Lanringoskop ditarik dengan hati-hati untuk menghindari
kerusakan gigi. Balon dikembungkan dengan minimal udara yang dibutuhkan
untuk meminimalkan tekanan yang ditransmisikan pada mukosa trakea.
13
14
A. Indikasi
Indikasi intubasi trakea sangat bervariasi dan umumnya digolongkan menjadi
beberapa hal sebagai berikut:
a. Menjaga patensi jalan napas oleh sebab apapun. Misalnya akibat kelainan
anatomi, bedah khusus, bedah posisi khusus, pembersihan sekret jalan napas,
dan lain-lainnya.
b. Mempermudah ventilasi positif dan oksigenasi. Misalnya saat resusitasi dan
ventilasi jangka panjang.
c. Pencegahan terhadap aspirasi dan regurgitasi.
15
Berdasarkan sumber lain, indikasi intubasi dibagi menjadi dua, yaitu indikasi
bedah dan anestesi serta indikasi penyakit kritis.
Tabel 3. Indikasi Intubasi Trakea
B. Kontraindikasi
Intubasi endotrakea tidak bisa dilakukan jika pada pasien ditemukan hal-hal
sebagai berikut
a. Trauma servikal yang memerlukan keadaan imobilisasi tulang vertebra
servical sehingga sangat sulit untuk dilakukan intubasi.
b. Keadaan trauma / obstruksi jalan nafas atas.
Penyulit Intubasi Trakea
Kesulitan memasukkan pipa trakea berhubungan dengan variasi anatomi yang
dijumpai. Klasifikasi tampakan faring pada saat mulut terbuka masimal dan lidah
dijulurkan maksimal menurut Mallampati dibagi menjadi empat kelas. Sedangkan
menurut Cormack dan Lehanne kesulitan intubasi juga dibagi menjadi 4 gradasi.
Kesulitan intubasi umumnya ditemui pada kondisi-kondisi sebagai berikut
a. Leher pendek dan berotot
b. Mandibula menonjol
c. Maksila/gigi depan menonjol
d. Uvula tidak terlihat (Mallampati 3 atau 4)
e. Gerak sendi temporo-mandibular terbatas
f. Gerak verteba servikal terbatas.
17
18
Tanpa membedakan apakah ekstubasi dilakukan saat pasien dalam anestesi dalam
atau sudah sadar, faring pasien harus dibersihkan sebelum ekstubasi untuk
mengurangi resiko terjadinya aspirasi atau spasme laring. Pasien harus diventilasi
dengan O2 100% pada kasus dimana jalan nafas sulit dikendalikan setelah
ekstubasi. Tepat sebelum ekstubasi, ETT dilepaskan dari iktana atau plester dan
balon dikemperskan. Apakah ETT diangkat pada akhir ekspirasi atau inspirasi
tidak terlalau pentng. ETT diangkat dalam sekalai narik dengan gerakan yang
halus dan kemudian diberikan O2 100% melalui face mask sampai pasien stabil
untuk transportasi ke ruang pemulihan. Di beberapa pusat pendidikan, oksigen
melalui face mask tetap diberikan selama transportasi.
2.2.9. Komplikasi
Komplikasi Penggunaan LMA
1.
a.
b.
c.
2.
a.
b.
c.
2
a.
b.
c.
d.
19
1) Komplikasi sering terjadi pada bayi, anak dan wanita dewasa karena memiliki
laring dan trakea yang kecil serta cenderung terjadinya edema pada jalan
napas.
2) Pasien yang memiliki jalan napas yang sulit cenderung mengalami trauma.
3) Pasien dengan variasi kongenital seperti penyakit kronik yang didapat
menimbulkan kesulitan saat dilakukan intubasi atau cenderung mendapatkan
trauma fisik atau fisiologis selama intubasi.
4) Komplikasi sering terjadi saat situasi emergensi.
b. Faktor yang berhubungan dengan anestesia
1) Ilmu pengetahuan, teknik keterampilan, dan kemampuan menangani situasi
krisis yang dimiliki anestesiologis memiliki peranan penting terjadinya
komplikasi selama tatalaksana jalan napas.
2) Intubasi yang terburu-buru tanpa evaluasi jalan napas atau persiapan pasien
dan peralatan yang adekuat dapat menimbulkan kegagalan dalam intubasi.
c. Faktor yang berhubungan dengan peralatan
1) Bentuk standar dari endotracheal tube (ETT) akan memberikan tekanan yang
maksimal pada bagian posterior laring. Oleh sebab itu, kerusakan yang terjadi
pada bagian tersebut tergantung dari ukuran tube dan durasi pemakaian tube
tersebut.
2) Pemakaian stilet dan bougie merupakan faktor predisposisi terjadinya trauma.
3) Bahan tambahan berupa plastik dapat menimbulkan iritasi jaringan.
4) Sterilisasi tube plastik dengan etilen oksida dapat menghasilkan bahan toksik
berupa etilen glikol jika waktu pengeringan inadekuat.
5) Tekanan yang tinggi pada kaf dapat menimbulkan cedera atau kaf dengan
tekanan yang rendah dapat pula menimbulkan cedera jika ditempatkan di
bagian yang tidak tepat.
Kesulitan menjaga jalan napas dan kegagalan intubasi mencakup kesulitan
ventilasi dengan sungkup, kesulitan saat menggunakan laringoskopi, kesulitan
melakukan intubasi dan kegagalan intubasi. Situasi yang paling ditakuti adalah
tidak dapat dilakukannya ventilasi maupun intubasi pada pasien apnoe karena
proses anestesi. Kegagalan dalam oksigenasi dapat menyebabkan kematian atau
hipoksia otak.
Krikotirotomi (bukan trakeostomi) merupakan metode yang dipilih ketika
dalam keadaan emergensi seperti pada kasus cannot-ventilation-cannot-intubation
(CVCI).
20
Setelah Intubasi
Suara mendengkur
Edema laring
Suara serak
Cedera saraf
Ulkus pada permukaan laring
Granuloma laring
Jaringan granulasi pada glotis dan subglotis
Sinekiae laring
Paralisis dan aspirasi korda vokal
Membran laringotrakeal
Stenosis trakea
Trakeomalacia
Fistula trakeo-esofageal
Fistula trakeo-innominata
21
BAB III
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
There are no sources in the current document.
22