Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 19

History of The Development and Methodology of Tafsir

Submitted to the Islamic Education Department of Social Science Faculty Indonesia Uniersity of
Education Partial Fulfillment of the Assignment of Tafsir Method
With tutors Dr. H. Aam Abdussalam, M.Pd. and Cucu Surahman, M.Pd

Written By:
Nani Mulkaramah (1400994)
Rida Nur Maulid (1406940)
Vyanti Rahmani (1404788)

EDUCATION SCIENCE OF ISLAM RELIGION


SOCIAL SCIENCE EDUCATION FACULTY
INDONESIA UNIVERSITY OF EDUCATION
2016
0

PREFACE
Praise be to God Almighty for the blessings of his grace, and that we were given the
opportunity to be able to compile a working paper entitled " History of The Development of
Tafseer and Methodology of Tafseer " is properly and correctly, and on time.
This paper is structured so that readers can know how was the History and Methodology
of Tafseer from Rasulullah SAW Era, Caliph, and Tabiin Era. This paper was compiled with
help from various parties. Both parties come from outside as well as from parties concerned
itself. And because the aid and help of God Almighty, these papers can be finally resolved.
The compilers also thanked to Dr. H. Aam Abdussalam, M.Pd. and Cucu Surahman,
M.Pd as the teachers/tutors in Tafsir Method subject. who have many professors help compilers
in order to complete this paper.
Hopefully this paper can give a broader insight to the reader. Although this paper has
advantages and disadvantages. For suggestion and please his constituents. Thank you.

Author

26 February 2016

Table of Contents
PREFACE.................................................................................................................. 1
CHAPTER I................................................................................................................ 3
INTRODUCTION........................................................................................................ 3
A.

Background of the Paper.......................................................................................... 3

B.

Purpose of the Paper................................................................................................ 3

C.

Problem Formulation............................................................................................... 3

CHAPTER II............................................................................................................... 4
DISCUSION............................................................................................................... 4
A.

Tafsir in the Prophet SAW Period............................................................................... 4

B.

Tafsir in the Cmpanions Period..................................................................................7

C.

Tafsir in the Tabiin Period...................................................................................... 12

D.

Tafsir in the Tadwin Period..................................................................................... 14

CHAPTER III............................................................................................................ 17
CONCLUSION.......................................................................................................... 17
A.

Conclusion......................................................................................................... 17

B.

Suggest.............................................................................................................. 18

BIBLIOGRAPHY....................................................................................................... 18

CHAPTER I
INTRODUCTION

A. Background of the Paper


at the time allah sent Al-Quran to the earth, The prophet function was as a
mubayyin (explanation) explain to companions about the meaning and the content of AlQuran, in particular relate to the verses that difficult to understand or it have vague
meaning. This situation was continue until Rasulullah Saw passed away. Although it must be
avowed that we dont know all of the explanation because of the narrative didnt arrive or
The prophet Muhammad didnt explained all of the meaning in the Al-Quran. When in the
prophet Muhammad period, the companions asked the problems that they didnt understand.
So, after the prophet Muhammad was died, they were perforce to know it by individual
interpretation and judgement, specially for the person who have skills like Ali bin Abi
Thalib, Ibnu Abbas, Ubay bin Kaab, dan Ibnu Masud.
B.

Purpose of the Paper


a.
b.
c.
d.

C.

Knowing the Tafsir in the Prophet SAW Period


Knowing the Tafsir in the Rasulullah Companions Period
Knowing the Tafsir in the Tabiin Period
Knowing the Tafsir in the Tadwin Period

Problem Formulation
a.
b.
c.
d.

How was the Tafsir in the Rasulullah Period?


How was the Tafsir in the Rasulullah Companions Period?
How was the Tafsir in the Tabiin Period?
How was the Tafsir in the Tadwin Period?

CHAPTER II
DISCUSION
A. Tafsir in the Prophet SAW Period
Walaupun bangsa Arab pada waktu itu masih buta huruf, tapi mereka mempunyai ingatan
yang sangat kuat. Pegangan mereka dalam memelihara dan meriwayatkan syair-syair dari para
pujangga, peristiwa-peristiwa yang terjadi dan lain sebagainya adalah dengan hafalan semata.
Karena hal inilah Nabi mengambil suatu cara praktis yang selaras dengan keadaan itu dalam
menyiarkan dan memelihara Al-Qur'an. Setiap ayat yang diturunkan, Nabi menyuruh
menghafalnya, dan menuliskannya di batu, kulit binatang, pelapah kurma, dan apa saja yang bisa
dituliskan. Nabi menerangkan tertib urut ayat-ayat itu. Nabi mengadakan peraturan, yaitu Al
Qur'an saja yang boleh dituliskan, selain dari Al Qur'an, Hadits atau pelajaran-pelajaran yang
mereka dengar dari mulut Nabi dilarang untuk dituliskan. Larangan ini dengan maksud agar Al
Qur'an itu terpelihara, jangan dicampur aduk dengan yang lain-lain yang juga didengar dari Nabi.
Pada masa nabi, masa diturunkannya Al Quran kepadanya dan beliau sendiri berfungsi
sebagai mubayyin, the first enterpreter (pemberi penjelasan) kepada para sahabat-sahabatnya
tentang kandungan dari pada ayat-ayat Al Quran khususnya menyangkut ayat-ayat yang masih
samar dan tidak bisa di fahami oleh mereka, sebagaimana telah di gambarkan dalam Al Quran:
Dan kami turunkan kepadamu Al Quran agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa
yang telah di turunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan. (QS 16:44). Penafsiran
atau pemahaman Rasulullah terhadap al-Quran selalu dibantu wahyu, Siti Aisyah r.a berkata:
Nabi menafsirkan hanya beberapa ayat saja menurut petunjuk-petunjuk yang diberi Jibril.
Sahabat-sahabat yang mulia tidak ada yang berani menafsirkan al-Quran ketika Rasul masih
hidup. Rasul sendirilah yang memikul tugas menafsirkan Al-Quran, memang apabila mereka
tiada mengetahui suatu lafazh Al-Quran atau maksud suatu ayat, segeralah mereka bertanya
pada Rasul sendiri atau kepada sahabat yang dipandang dapat menjelaskannya. Dalam buku Alquran Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki (Munawar, 2005, hal. 65)
1. Sumber Penafsiran
a. Penafsiran Ayat dengan Ayat
Memang dalam satu bagian Al Quran terdapat ayat yang bersifat mujmal, akan tetapi
pada bagian yang lain ditemukan ayat yang bersifat mubayyan , atau suatu ayat diturunkan
4

dalam bentuk mutlaq atau am kemudian diturunkan ayat lain yang berbentuk muqayyad atau
mukhassis, dengan adanya macam-macam sifat dari ayat yang diturunkan dalam Al Quran
tersebut para sahabat menggunakan satu ayat untuk memahami ayat yang lain. Metode
penafsiran ini disebut dengan metode penafsiran Al Quran dengan Al Quran. Rasulullah
Muhammad saw. mendapat tugas untuk menjelaskan maksud firman-firman Allah (QS
16:44). Tugas ini memberi petunjuk bahwa penjelasan-penjelasan beliau pasti benar. Hal ini
didukung oleh bukti-bukti, antara lain, adanya teguran-teguran yang ditemukan dalam Al
Quran menyangkut sikap atau ucapan beliau yang dinilai Allah "kurang tepat", misalnya QS
9:42; 3:128, 80:1, dan sebagainya, yang kesemuanya mengandung arti bahwa beliau
ma'shum (terpelihara dari melakukan suatu kesalahan atau dosa). Dari sini mutlak perlu
untuk memperhatikan penjelasan-penjelasan Nabi tersebut dalam rangka memahami atau
menafsirkan firman-firman Allah, sehingga tidak terjadi penafsiran yang bertentangan
dengannya, walaupun tentunya sebagian dari penafsiran Nabi tersebut ada yang hanya
sekadar merupakan contoh-contoh konkret yang beliau angkat dari masyarakat beliau,
sehingga dapat dikembangkan atau dijabarkan lebih jauh oleh masyarakat-masyarakat
berikutnya. Misalnya ketika menafsirkan al-maghdhub 'alayhim (QS 1:7) sebagai "orangorang Yahudi", atau "quwwah" dalam QS 8:60 yang memerintahkan mempersiapkan
kekuatan untuk menghadapi musuh, sebagai "panah".Ketika menafsirkan shalah al-wustha
dalam QS 2:238 dengan "shalat Ashar", penafsiran itu adalah penafsiran muthabiq dalam arti
sama dan sepadan dengan yang ditafsirkan. Sedangkan ketika menafsirkan QS 40;60, tentang
arti perintah berdoa, beliau menafsirkannya dengan beribadah. Penafsiran ini adalah
penafsiran yang dinamai talazum. Artinya, setiap doa pasti ibadah, dan setiap ibadah
mengandung doa. Berbeda dengan ketika beliau menafsirkan QS 14:27. Di sana beliau
menafsirkan kata akhirat dengan "kubur". Penafsiran semacam ini dinamakan penafsiran
tadhamun, karena kubur adalah sebagian dari akhirat.
b. Al Quran dengan Hadis
Ketika para sahabat mendapat kesulitan dalam memahami isi dari suatu ayat Al
Quran, maka mereka akan mendatangi Nabi Muhammad SAW untuk mendapatkan
penjelasan dari beliau, seperti hadis dari Jabir ibn Abdullah yang menyatakan: Seorang
Yahudi datang kepada Nabi saw. lalu berkata: Wahai Muhammad, beritakan kepadaku
tentang bintang-bintang yang dilihat Yusuf sujud kepadanya, apa saja namanya. Maka Nabi
5

tidak menjawab sedikitpun sampai Jibril datang kepadanya, lalu ia memberitahukan


kepadanya, kemudian Nabi mengirim utusan kepada orang Yahudi itu kemudian bertanya:
Apakah engkau beriman jika aku memberitahukkan kepadamu? ia menjawab:
ya.Hadis dari Jabir tersebut, jelas berkaitan dengan firman Allah yang menyatakan:
Wahai ayahanda, sesungguhnya aku melihat sebelas bintang, matahari dan bulan dalam
mimpi, mereka bersujud kepadaku. Hadis pertama menunjukkan bahwa Rasulullah saw.
menfsirkan QS. Al-Anam (6): 82 dengan QS. Luqman (31): 13, atau dengan kata lain
Rasulullah saw. telah menafsirkan Al Quran itu sendiri. Hadis kedua menunjukkan bahwa
Rasulullah saw. menafsirkan QS. Yusuf (12): 4 dengan wahyu yang dibawa Jibril kepadanya
berkenaan dengan nama-nama bintang yang ditanyakan orang Yahudi itu; artinya Rasulullah
saw. telah menafsirkan Al Quran dengan wahyu yang hakekatnya secara makna memang
dari Allah tetapi memakai bahasa Nabi sendiri. Dari sini sudah dapat dipahami adanya
perbedaan

antara

Al

Quran

dengan

wahyu.

Al Quran secara keseluruhan diturunkan dalam bentuk wahyu yang ketiga seperti yang
tertera dalam Al Quran surah al-Syura/42: 51. Artinya, Al Quran tidak mengandung wahyu
lain, sehingga dapat dikatakan bahwa Al Quran adalah bentuk wahyu yang paling tinggi.
Dalam Q.s. al-Syuara/26: 192-196 Dan sesungguhnya Al Quran ini benar-benar
diturunkan oleh Tuhan semesta alam. Dibawa turun al-Ruh al-Amin (Jibril), ke dalam hatimu
(Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi
peringatan, dengan bahasa Arab yang jelas. Dan sesungguhnya Al Quran itu benar-benar
(tersebut) dalam kitab-kitab yang terdahulu. Contoh pada ayat ; Sedang orang-orang yang
mengikuti hawa nafsunya bermaksud supaya kamu berpaling sejau-jauhnya (dari
kebenaran). (QS 4:27). Pengertian dari ayat diatas masih sangat pelik sekali untuk
dimengerti karena kemujmalannya, sehingga masih membutuhkan penjelasan dari ayat yang
lain, oleh karena itu kita bisa mengerti maksud daripada orang-orang yang mengikuti hawa
nafsu pada ayat di atas yaitu, orang-orang Ahli kitab berdasarkan firman Allah yang lain
yaitu: Apakah kamu tidak melihat orang-orang yang telah diberi bagian dari Al Kitab
(Taurat)? Mereka membeli (memilih kesesatan (dengan petunjuk) dan mereka bermaksud
supaya kamu tersesat (menyimpang) dari jalan (yang benar). (QS 4:44). Ketika ada ayat, allazina amanu wa lam yalbisu imanahum bizhulm (orang-orang yang beriman dan tidak
mencampuradukkan iman mereka dan kezaliman. QS. Al-Anam [6]: 82), banyak orang-orang
6

merasa resah. Lalu mereka bertanya kepada Rasulullah saw.: ya Rasulullah, siapakah
diantara kita yang tidak berbuat zalim terhadap dirinya? Nabi menjawab: Kezaliman disini
bukan seperti yang kamu pahami. Tidakkah kamu pernah mendengar apa yang telah
dikatakan oleh seorang hamba Allah yang saleh, inna al-syirk lazhumun azim (sesungguhnya
kemusyrikan adalah benar-benar kezaliman yang besar. QS. Luqman [31]: 13), jadi yang
dimaksud disini adalah kemusyrikan.
B. Tafsir in the Cmpanions Period
1. Kondisi Penafsiran zaman Sahabat
Didalam buku studi-studi ilmu alquran (Mudzakir, 2013, hal. 470) menjelaskan kalau
pada masa Rasul saw, para sahabat menanyakan persoalan-persoalan yang tidak jelas kepada
beliau, maka setelah wafatnya, mereka terpaksa melakukan ijtihad, khususnya mereka yang
mempunyai kemampuan semacam 'Ali bin Abi Thalib, Ibnu 'Abbas, Ubay bin Ka'ab, dan
Ibnu Mas'ud.
Para sahabat yang terkenal banyak menafsirkan Quran adalah Ibn Masud, Ibn Abbas,
Ubai bin Kaab Zaid bin Sabit, Abu Musa Al-Asyari, Abdullah bin Zubair, Anas bin Malik,
Abdullah bin Umar, jabir bin Abdullah, Abdullah bin Amr bin Ash dan Aisyah dan para
mufasir pada jaman sahabat yaitu : Abu Bakar As Shiddiq, Umar Bin Khattab, Usman Bin
Affan, Ali Bin Abi Thalib , Ibnu Abbas, Ibnu Masud, Zaid bin Tsabit, Ubai bin Kaab, Abu
Musa al-Asyari , dan Abdullah bin Zubair
2. Ciri Tafsir zaman Sahabat
a. Mereka tidak menafsirkan Al Quran secara keseluruhan
b. Perbedaan penafsiran Al Quran di kalangan mereka relatif amat sedikit
c. Penafsiran yang dilakukan para sahabat umumnya lebih menekankan pendekatan
d.
e.
f.
g.

pada al-mana al-ijmali (pengertian kosa kata secara global).


Membatasi diri pada penjelasan makna-makna lughah (etimologis)
Jarang menginstinbathkan hukum-hukum fiqhiyah dari ayat-ayat Al Quran
Tafsir Al Quran sama sekali belum dibukukan
Pada masa sahabat, penafsiran umumnya dilakukan dengan menguraikan hadist

3. Sebab-sebab Perbedaan Penafsiran zaman Sahabat.

Disamping perbedaan tingkatan pengetahuan serta kecerdasan para sahabat itu sendiri.
Sebab-sebab yang lain menyebabkan perbedaan tingkatan para sahabat dalam memahami
ayat-ayat Al Quran ialah:
a. Sekalipun para sahabat orang-orang Arab dan berbahasa Arab, tetapi pengetahuan
mereka tentang bahasa Arab berbeda-beda, seperti berbeda-bedanya pengetahuan para
sahabat tentang sastra Arab, gaya bahasa Arab, adat istiadat dan sastra Arab Jahiliyah,
kata-kata yang terdapat dalam Al Quran dan sebagainya sehingga tingkatan mereka
dalam memahami ayat-ayat Al Quran berbeza-beza pula.
b. Ada sababat yang sering mendampingi Nabi Muhammad saw, sehingga banyak
mengetahui sebab-sebab ayat-ayat Al Quran diturunkan dan ada pula yang jarang
mendampingi beliau. Pengetahuan tentang sebab-sebab Al Quran diturunkan itu,
sangat diperlukan untuk mentafsirkan Al Quran. Karena itu sahabat-sahabat yang
banyak pengetahuan mereka tentang sebab Al Quran diturunkan itu, lebih mampu
mentafsirkan ayat-ayat Al Quran dibandingakan dengan yang lain. Sebagai contoh
dapat dikemukakan sebagai berikut: Diriwayatkan bahwa Khalifah Umar bin
Khaththab telah mengangkat Qudamah sebagai gabernur Bahrain. Dalam suatu
peristiwa datanglah Jarud mengadu kepada Khalifah Umar, bahwa Qudamah telah
meminum khamar dan mabuk. Umar berkata: "Siapakah orang lain yang ikut
menyaksikan perbuatan tersebut?" kata Jarud:"Abu Hurairah telah menyaksikan apa
yang telah kukatakan". Khalifah Umar memanggil Qudamah dan mengatakan: "Ya
Qudamah! Aku akan mendera engkau!". Lalu berkata Qudamah: "Seandainya aku
meminum khamar sebagaimana yang mereka katakan, tidak ada suatu alasan pun bagi
engkau untuk mendera". Umar bertanya: "Kenapa?" jawab Qudamah: Kerana Allah
telah berfirman dalam surat (5) Al Maaidah ayat 93 Tidak ada dosa bagi orang-orang
yang beriman dan rnengerjakan amalan yang saleh, kerana memakan makanan yang
telah mereka makan dahulu, apabila mereka bertakwa serta beriman dan mengerjakan
amalan-amalan yang saleh, kemudian mereka tetap bertakwa dan beriman, kemudian
mereka (tetap juga) bertakwa dan berbuat kebajikan. Dan Allah menyukai orangorang yang berbuat kebajikan. Sedang saya adalah orang yang beriman, mengerjakan
amal saleh, kemudian bertakwa dan beriman, saya ikut bersama Nabi Muhammad
saw. dalam perang Badar, perang Uhud, perang Khandaq dan peperangan yang lain.
Umar berkata: "Apakah tidak ada diantara kamu sekelian yang akan membantah
8

perkataan Qudamah?". Berkata lbnu Abbas: "Sesungguhnya ayat 93 surah (5) Al Maaidah diturunkan sebagai melindungi umat di masa sebelum ayat 90 ini diturunkan,
kerana Allah berfirman: Surat (5) Al Maa-idah ayat 90 (yang bermaksud): "Hal
orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum khamar, berjudi. (berkorban
untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji; termasuk
perbuatan syaitan. Kerana itu jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar mendapat
keberuntungan (kejayaan)". Berkata Umar: "Benarlah lbnu Abbas."Dari keterangan di
atas dapat diambil kesimpulan bahwa lbnu Abbas lebih mengetahui sebab-sebab
dlturunkannya ayat 93 surah (5) Al Maa-idah dibanding dengan Qudamah. Sebab
menurut riwayat Ibnu Abbas, bahwa setelah ayat 90 surat (5) Al Maa'idah diturunkan,
sahabat-sahabat saling menanyakan tentang keadaan para sahabat yang telah
meninggal, padahal mereka dahulu sering meminum khamar seperti Sayidina
Hamzah, bapa saudara Nabi yang gugur sebagai syuhadaa pada perang Uhud. Ada
sahabat yang mengatakan bahawa Hamzah tetap berdosa kerana perbuatannya yang
telah lalu itu. kerana itu turunlah ayat 93 surah (5) Al Maa-idah, yang menyatakan
bahawa umat Islam yang meninggal sebelum turunnya ayat 90 surah (5) Al Maa'idah
tidak berdosa kerana meminum khamar itu, tetapi umat sekarang berdosa
meminumnya.
c. Perbedaan tingkat pengetahuan para sahabat tentang adat istiadat, perkataan dan
perbuatan Arab Jahiliyah. Para sahabat yang mengetahui haji di masa Jahiliyah akan
lebih dapat memahami ayat-ayat Al Quran yang berhubungan dengan haji, dibanding
dengan para sahabat yang kurang tahu.
d. Perbedaan tingkat pengetahuan para sahabat tentang yang dilakukan oleh orang-orang
Yahudi dan Nasrani di Jaziratul Arab, pada waktu suatu ayat Al Quran diturunkan.
Sebab suatu ayat diturunkan ada yang berhubungan dengan penolakan atau sanggahan
terhadap perbuatan-perbuatan orang-orang Yahudi dan Nasrani itu.
4. Sumber Penafsiran zaman Sahabat
Didalam buku Mukadimah Al-Quran dan Tafsirnya (RI D. , 2009, hal. 45-46)
menjelaskan Tafsir di masa para sahabat ini memiliki 4 sumber, yaitu :
a. Periwayatan Rasulullah (Hadis)
Pada saat Al Quran diturunkan, Rasul saw., yang berfungsi sebagai mubayyin
(pemberi penjelasan), menjelaskan kepada sahabat-sahabatnya tentang arti dan
kandungan Al Quran, khususnya menyangkut ayat-ayat yang tidak dipahami atau
9

samar

artinya.

Seperti

yang

dijelaskan

pada

sub

bab

sebelumnya.

Penjelasan Rasul tersebut terus dijadikan pedoman untuk menafsirkan Al Quran,


baik yang bersumber dari penjelasan Al Quran itu sendiri maupun dari
b.

keterangan dalam Hadis


Ijtihad Sahabat
Metode penafsiran sahabat-sahabat Nabi saw., ditemukan bahwa pada dasarnya
mereka merujuk kepada penggunaan bahasa dan syair-syair Arab. Cukup banyak
contoh yang dapat dikemukakan tentang hal ini. Misalnya, Umar ibn AlKhaththab, pernah bertanya tentang arti takhawwuf dalam firman Allah: Auw
ya'khuzahum 'ala takhawwuf (QS 16:47). Seorang Arab dari kabilah Huzail
menjelaskan bahwa artinya adalah "pengurangan". Arti ini berdasarkan
penggunaan bahasa yang dibuktikan dengan syair pra-Islam. Umar ketika itu puas
dan menganjurkan untuk mempelajari syair-syair tersebut dalam rangka
memahami Al Quran. Contoh lain, ijtihad yang dilakukan oleh sahabat Ibnu
Abbas dalam menafsiri ayat Al Quran:Dialah yang menurunkan Al Kitab
kepada kamu. Di antara nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, itulah pokok-pokok
isi Al qur'an dan yang lain mu-tasyaabihaat. (QS 3:7). Menurut Ibnu Abbas
bahwa yang di maksud dengan ayat muhkamat adalah nasikh, halal dan haram,
denda-denda, kewajiban, apa yang kita yakini dan kita laksanakan, yang terdapat
dalam Al Quran. Adapun mutasyabihat yaitu mansukh dalam Al Quran, lafadz
yang harus didahulukan,dan lafadz yang harus di akhirkan, Itibar(contoh-contoh),

c.

sumpah, dan sesuatu yang telah kita yakini tetapi tidak di kerjakan.
Israiliyat
Kata Israiliyat merupakan bentuk jamak dari kata tunggal Israiliyat yang
merupakan kata yang nisbahkan pada kata Israil berasal dari bahasa Ibrani, Isra
berarti hamba danIl berarti Tuhan. Dalam Al Quran nama Israil dipakai
sebagai nama bagi Nabi Yaqub yang kepada beliau bangsa Yahudi dinisbahkan,
dalam hal ini mereka disebut bani Israil.Secara terminologi, Israiliyat
merupakan semua cerita lama yang masuk kedalam tafsir yang bersumber dari
Yahudi dan Nasrani. Bahkan sebagian ulama telah memperluas makna
Israiliyat dengan cerita yang dimasukkan oleh musuh-musuh Islam, baik yang
bersumber dari Yahudi maupun yang bersumber dari orang lain, baik menyangkut

10

agama mereka maupun tidak.Dari beberapa pendapat para mufassir, tidaklah


mengisyaratkan adanya larangan atau keharusan dalam mempergunakan
keterangan-keterangan Israiliat sebagai sumber tafsir. Artinya, boleh bila tidak
bertentangan dengan Al Quran, sunnah dan rayu (logika). Ibnu Abbas, misalnya
meriwayatkan dari Kaab al-Ahbar, tafsir al-raqim dalam Q.s Al-Kahfi (18) : 9
dan tafsir sidrah al-muntaha dalam Qs. Al-Najm (53): 14. Demikian pula
Abdullah Ibn Amr diriwayatkan mengemukakan naskah-naskah dari ahli kitab
dalam perang Yarmuk dan mengambil riwayat dari naskah tersebut dalam
menafsirkan Al Quran.
d. Al-quran al-karim,
yang dalam implementasinya disebut Tafsir Al-Quran bil-Quran. Diantara
bentuk penafsiran model ini adalah kompromi diantara kalimat-kalimat yang
secara garis sekilas tampak berbeda. Seperti firman Allah dalam surat al-fatihah :
jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepadanya. Yang dimaksud
dengan orang-orang yang diberi nikmat oleh allah itu dijelaskan dalan surat annisa : dan barangsiapa menaati Allah dan Rasul (muhammad), maka mereka itu
akan bersam-sama dengan orang yang dierikan nikmat oleh Allah, (yaitu) para
nabi, para pecinta kebenaran, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang
saleh. Mereka itulah teman yang sebaik-baiknya (an-nisa/4:69)
d. Nabi saw yang dalam implementasinya disebut Tafsir Al-Quran bis-sunnah.
Jika merujuk ke kitab-kitab sunnah, maka kita menemukan banyak bab tafsir di
dalamnya. Di antaranya adalah yang diriwayatkan oleh Tirmizi dan perawi lain
dari Adi bin Hibban. Ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, sesungguhnya
orang-orang yang dimurkai oleh Allah (dalam surat al fatihah) adalah yahudi,
e.

dan orang yang sesat adalah orang-orang nasrani.


Tafsir Al-Quran dengan pendapat sahabat. Apabila para sahabat tidak
menemukan

penafsiran

dalam

Al-Quran,

serta

tidak

mudah

untuk

mengambilnya dari Rasulullah saw, maka mereka kembali kepada ijtihad dan
pendapat mereka, seperti yang dilakukan oleh Muaz bin Jabal ketika diutus
Rasulullah saw untuk berdakwah di suatu kaum.

11

f.

Ahli kitab dari umat Yahudi dan Nasrani. Hal itu karena Al-Quran al-Karim
sejalan dengan Taurat dalam beberapa masalahnya, khususnya dalam kisah para
Nabi dan hal-hal yang terkait dengan umat-umat di masa lalu, seperti halnya AlQuran mengandung masalah-masalah yang terdapat dalam kitab-kitab injil
seperti kelahiran Isa putra maryam dan mukjizat-mukjizatnya. Hanya saja,
sumber keempat ini tidak banyak diambil mengingat telah terjadi banyak
penyimpangan di dalamnya

C. Tafsir in the Tabiin Period


Setelah generasi para sahabat berakhir, para murid mereka pun atau bias disebut para Tabiin
mengambil peran sebagai pengganti mereka untuk menafsirkan Al-Quran. Dalam hal sumber
tafsir sebagaimana Manna Khalil al-Qattan (Studi Ilmu-ilmu Qur'an, 2014, p. 473) para tabiin
berpegang pada sumber-sumber yang ada pada masa pendahulunya yaitu penjelasan dari ayat
Al-Quran sendiri, dari riwayat sahabat yang diterima dari Nabi SAW, tafsir dari sahabat-sahabat,
penjelasan dari para Ahli Kitab, dan tafsir dengan jalan ijtihad.
Ketika daerah islma telah berkembang luas, maka para ulama tafsir banyak yang pindah ke
daerah-daerah baru dengan masing-masing dari mereka membawa ilmu. Bersamaan dengan itu
tersebar pula madrasah-madrasah di beberapa kota, sehingga selanjutnya tumbuhlah berbagai
mazhab dan perguruan tafsir. Sebagaimana (Pengantar Ilmu Tafsir, ****,p.108) kota tersebut
diantaranya yaitu:
1. Makkah (Ibnu Abbas) muridnya yaitu Said bin Jubair, Mujahid Ikrimah, Thawus bin Kaisan
Al-Yamani, dan Atha bin Abi Rabah.
2. Madinah (Ubay bin Kaab) muridnya yaitu Zaid bin Aslam, Abu Aliyah, dan Muhammad bin
Kaab Al Qurdhy
3. Iraq (Ibnu Masud) muridnya yaitu Al-Qamah bin Qais, Al-Hasan Bishri, dan Qatadah bin
Diamah As-Sadusy.
Ada pula ciri-ciri khas Tafsir pada masa Tabiin, yaitu:
1. Pada saat itu tafsir dipengaruhi oleh kajian-kajian ilmu dan riwayat-riwayat menurut corak
khusus identitas perguruan dimana mereka belajar. Penduduk masing-masing negeri
12

mengutamakan tafsir karya mufasir yang berasal di negeri itu. Penduduk Makkah mengambil
dari Ibnu Abbas, penduduk Madinah dari Ubay bin Kaab dan penduduk Iraq dari Ibnu
Masud dan seterusnya.
2. Adanya sekelompok orang Yahudi dan Nasrani yang telah masuk Islam, yang membawa serta
ajaran-ajaran kitab-kitab suci dan kebudayaan mereka, sehingga kemudian sebagian masuk
membaur dalam tafsir al-Quran. Unsur-unsur kebudayaan tersebut tidaklah berkaitan dengan
akidah atau hokum syarI, tetapi dengan hal-hal lain seperti riwayat-riwayat tentang asal
mula kejadian, rahasia-rahasia wujud dan asal-usul semua yang ada.
3. Di masa tabiin ini timbul kontraversi-kontraversi dan perselisihan pendapat seputar tafsir
ayat-ayat yang berkaitan dengan perkara-perkara kaidah. Misalnya Imam Qatadah bin
Dimah as-Suadis, ikut melibatkan dirinya dalam pertikaian mengenai Qadha dan Qadar, dan
dituduh sebagai penganut aliran Qadariyyah. Karena itu, sebagian orang sulit menerima
riwayat dari beliau. Beliau juga mengkafirkan orang yang mendustakan pendapat beliau.
Para ulama berbeda pendapat tentang tafsir yang berasal dari tabiin jika tafsir itu tidak
diriwayatkan sedikitpun dari Rasulullah atau para sahabat. Segolongan ulama berpendapat, tafsir
mereka tidak harus dijadikan pegangan, sebab mereka tidak menyaksikan peristiwa-peristiwa
atau situasi dan kondisi yang berkenaan dengan turunnya ayat-ayat Quran, sehingga mereka bias
saja berbuat kesalahan dalam memahami apa yang dimaksud. Sebaliknya, banyak mufasir
berpendapat, tafsir mereka dapat dipegangi, sebab pada umumnya mereka menerimanya dari
para sahabat.Pendapat yang kuat ialah jika para tabiin sepakat atas sesuatu pendapat, maka bagi
kita wajib menerimanya, tidak boleh meninggalkannya untuk mengambil yang lain.

D. Tafsir in the Tadwin Period


Masa pembukuan dimulai pada akhir dinasti Bani Umayyah dan awal
dinasti Bani Abbasiyah. Periode ini pembukuan hadits mendapat prioritas
utama dengan mencakup berbagai bab. Tafsir hanya merupakan salah satu
bab dari sekian banyak bab yang dicakupnya. Pada masa ini tafsir hanya
memuat tafsir Al-Quran, surat demi surat dan ayat demi ayat, dari awal AlQ uran sampai akhir. Memang belum dipisahkan secara khusus dari bab-bab
hadits Perhatian segolongan ulama terhadap periwayatan tafsir yang

13

dinisbatkan kepada Nabi, sahabat dan tabiin sangat besar disamping


perhatian pengumpulan hadits.
Tokoh terkemuka diantara mereka dalam bidang ini adalah Yazid bin
Harun As-Sulami (w. 117 H), Syubah bin Al-Hajjaj (w. 160 H), Waki bin Jarrah
(w. 197 H), Sufyan bin Uyainah (w. 198 H), Rauh bin Ubadah Al-Basri (w. 205
H), Abdurrazzaq bin Hammam (w 211 H), Adam bin Abu Iyas (w. 220 H) dan
Abd bin Humaid (w. 249 H). tetapi tafsir pada periode ini sedikit pun tidak
ada yang sampai kepada kita. Yang kita terima hanyalah nukila-nukilan yang
dinisbahkan kepada mereka sebagaimana termuat dalam kitab-kitab tafsir
bil-matsur.
Kemudian datang generasi berikutnya yang menulis tafsir secara
khusus dan independen serta menjadikannya sebagai disiplin ilmu yang
berdiri sendiri, terpisah dari hadits. Al-Quran mereka tafsirkan secara
sistematis sesuai sistematika mushaf. Mereka adalah Ibnu Majah (w. 273 H),
Ibnu Jarir Ath-Thabari (w. 310 H), Abu Bakar bin Al-Mundzir An-Naisaburi (w.
318 H), Ibn Abi Hatim (w. 327 H), Abu Asy-Syaikh bin Hibban (w. 369 H), AlHakim (w 405 H), Abu Bakar bin Mardawaih (w. 410 H)
Tafsir generasi ini memuat riwayat-riwayat yang disandarkan kepada
Rasulullah, sahabat, tabiin dan tabiit tabiin, dan terkadang disertai
pentarjihan terhadap pendapat-pendapat yang diriwayatkan dan melakukan
istinbath sejumlah hukum serta penjelasan kedudukan Irab-nya jika
diperlukan, sebagaimana dilakukan Ibnu Jarir Ath-Thabari.
Kemudian muncul sejumlah mufassir yang pada dasarnya tidak lebih
dari tafsir bil-matsur. Perbedaannya mereka hanya meringkas sanad-sanad
yang berkaitan dengan tafsir dan menghimpun berbagai pendapat tanpa
menyebut pemiliknya. Karena itu persoalannya menjadi kabur dan riwayatriwayat yang shahih bercampur dengan yang tidak shahih.

14

Ilmu

ini

sempurna,

semakin

berkembang

cabang-cabangnya

pesat,

bermunculan,

pembukuannya
perbedaan

semakin

pun

terus

meningkat. Permasalahan kalam semakin memanas, fanatisme mazhab


pun semakin serius, dan ilmu-ilmu filsafat bercampur aduk dengan ilmu-ilmu
naqli, serta setiap golongan hanya membela kepentingan mazhabnya
masing-masing. Akibatnya disiplin ilmu tafsir khususnya, tercemar polusi
tidak sehat. Sehingga para mufassir dalam menafsirkan Al-Quran berpegang
pada pemahaman pribadi dan mengarah ke berbagai kecendrungan, baik
kecendrungan ilmiah, pandangan mazhab maupun falsafi. Masing-masing
mufassir memenuhi tafsirnya hanya dengan ilmu yang paling dikuasainya
tanpa memperhatikan ilmu-ilmu yang lain.
Ahli ilmu rasional hanya memperhatikan dalam tafsirnya kata-kata
pujangga dan filosof seperti Fakhruddin Ar-Razi. Ahli fikih hanya membahas
soal-soal

fikih,

seperti

Al-Jasshash

dan

Al-Qurtubi.

Sejarawan

hanya

mementingkan kisah dan berita, seperti Ats-Tsalabi dan Al-Khazin. Demikian


pula golongan ahli bidah berupaya menawilkan Kalamullah menurut selera
mazhabnya yang rusak itu, seperti Ar-Rummani, Al-Jubbai, Qadhi Abdul
Jabbar dan Az-Zamakhsyari dari kaum Muktazilah, juga Muhsin Al-Kasyi dari
golongan Syiah Imamiyah Al-Itsna Asyariyah, dan golongan ahli tasawwuf
hanya mengemukakan makna-makna isyari (tersirat) seperti Ibnu Arabi.
Di samping tafsir dengan corak tersebut juga banyak tafsir yang
menitikberatkan pada pembahasan ilmu Nahwu, Sharaf dan Balaghah.
Demikianlah,

kitab-kitab

tafsir

menjadi

kitab-kitab

yang

didalamnya

bercampur aduk antara yang berguna dengan yang berbahaya, dan yang
baik dengan yang buruk. Masing-masing golongan menafsirkan ayat-ayat AlQuran dengan penafsiran yang tidak bisa diterima oleh ayat itu sendiri demi
mendukung kepentingan mazhabnya atau menolak pihak lawan, sehingga
tafsir kehilangan fungsi utamanya sebagai sarana petunjuk, pembimbing dan
pengetahuan mengenai hukum-hukum agama.

15

Pembukuan tafsir dilakukan dalam lima periode yaitu :


Periode Pertama
Pada zaman dinasti Bani Umayyah dan permulaan zaman dinasti Abbasiyah
yang masih memasukkan tafsir ke dalam sub bagian dari hadits yang telah
dibukukan sebelumnya.
Periode Kedua
Pemisahan tafsir dari hadits dan dibukukan secara terpisah menjadi satu
buku tersendiri. Dengan meletakkan setiap penafsiran ayat dibawah ayat
tersebut, seperti yang dilakukan oleh Ibnu Jarir Ath-Thabary, Abu Bakar AnNaisabury, Ibnu Abi Hatim dan Al-Hakim dalam tafsirannya, dengan
mencantumkan sanad masing-masing penafsiran sampai kepada Rasulullah,
sahabat dan para tabiin.
Periode Ketiga
Membukukan tafsir dengan meringkas sanadnya dan menukil pendapat para
ulama

tanpa

menyebutkan

orangnya.

Hal

ini

menyulitkan

dalam

membedakan antara sanad yang shahih dan yang dhaif yang menyebabkan
para mufassir berikutnya mengambil tafsir ini tanpa melihat kebenaran atau
kesalahan dari tafsir tersebut.
Periode Keempat
Pembukuan tafsir banyak diwarnai dengan buku-buku terjemahan dari luar
Islam. Sehingga metode penafsiran bil aqly (dengan akal) lebih dominan
dibandingkan dengan metode bin naqly (dengan periwayatan). Pada periode
ini juga terjadi spesialisasi tafsir menurut bidang keilmuan para mufassir.
Pakar fiqih menafsirkan ayat Al-Quran dari segi hukum seperti Al-Qurtuby.
Pakar sejarah melihatnya dari sudut sejarah seperti ats-Tsalaby dan AlKhozin dan seterusnya.

16

Periode Kelima
Tafsir maudhui yaitu membukukan tafsir menurut suatu pembahasan
tertentu sesuai disiplin bidang keilmuan, seperti yang ditulis oleh Ibnul
Qoyyim dalam bukunya At-Tibyan fi Aqsamil Al-Quran, Abu Jafar An-Nahhas
dengan An-Nasikh wal Mansukh, Al-Wahidi dengan Asbabun Nuzul dan AlJasshash dengan Ahkamul Quran-nya.

CHAPTER III
CONCLUSION
A. Conclusion
It is possible to divide the history of tafsir into five periods. The first period is considered to
be the time of the Companions and Successors, and consisted mainly of narrations concerning
those verses over which there was a difference of opinion or misunderstanding, in addition to the
hadeeth of the Prophet SAW dealing with tafseer. Personal reasoning (ijtihaad) from the
Companions and Successors was, in general, only resorted to when absolutely necessary.
The second period is the era of the late Successors, and the generation after them. During this
time, hadeeth literature had begun to be compiled, and tafsir narrations therefore become a part
of hadeeth works. Also during this time, the various hadeeth of the Prophet (SAW) and narrations
from different Companions began to be compiled, whereas in the first period, these narrations
were typically limited to a specific area.
The third stage saw the rise of independent tafsir works, based on the hadeeth works of the
previous generation, and thus tafsir became an independent science among the Islaamic sciences.
This stage, which can be said to begin in the second half of the third century, also produced the
first complete Qur'aanic tafsirs, whose commentary was not limited to only those verses
concerning which narrations existed from previous generations. However, during this stage, the
primary source of tafseer still remained narrations from the previous generation.
It was only during the fourth stage where reliance on narrations decreased, and much greater
emphasis was placed on personal reasoning, and tafsirs were written based on sectarian bias.
The final period of the history of tafsir, which has lasted from the fourth century of the hijrah
until today, saw the culmination of the science of tafsir, and the emergence of various categories
of tafsir, such as tafsir based on narrations, on personal reasoning, topic-wise interpretation,
polemical interpretation, and jurisprudential interpretation (these will be discussed in greater
detail below). Other tafsirs sought to combine all of these topics into one work, thus giving a
broad, all- encompassing approach to interpretation.
17

B. Suggest
We are as the writer want to apology for the shortage of this paper. We know that this
paper is still far from perfect. So that we need the suggest from the reader for the perfection of
this paper. Thank you very much for the reader.

BIBLIOGRAPHY

al-Qattan, M. K. (2014). Studi Ilmu-ilmu Qur'an. (M. Hasanudin, Ed., & M. AS, Trans.)
Jakarta: Litera AntarNusa.
Mudzakir, A. (2013). Studi Ilmu-Ilmu Al-Quran. Bogor: P.T Pustaka Litera Antarnusa.
Munawar, S. A. (2005). Al-Quran Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki. Ciputat: P.T
Ciputat Press.
RI, D. (2009). Mukadimah Al-Quran dan Tafsirnya. Jakarta: Departemen Agama RI.

18

You might also like