Professional Documents
Culture Documents
History and Methodlgy of Tafsir Fix
History and Methodlgy of Tafsir Fix
Submitted to the Islamic Education Department of Social Science Faculty Indonesia Uniersity of
Education Partial Fulfillment of the Assignment of Tafsir Method
With tutors Dr. H. Aam Abdussalam, M.Pd. and Cucu Surahman, M.Pd
Written By:
Nani Mulkaramah (1400994)
Rida Nur Maulid (1406940)
Vyanti Rahmani (1404788)
PREFACE
Praise be to God Almighty for the blessings of his grace, and that we were given the
opportunity to be able to compile a working paper entitled " History of The Development of
Tafseer and Methodology of Tafseer " is properly and correctly, and on time.
This paper is structured so that readers can know how was the History and Methodology
of Tafseer from Rasulullah SAW Era, Caliph, and Tabiin Era. This paper was compiled with
help from various parties. Both parties come from outside as well as from parties concerned
itself. And because the aid and help of God Almighty, these papers can be finally resolved.
The compilers also thanked to Dr. H. Aam Abdussalam, M.Pd. and Cucu Surahman,
M.Pd as the teachers/tutors in Tafsir Method subject. who have many professors help compilers
in order to complete this paper.
Hopefully this paper can give a broader insight to the reader. Although this paper has
advantages and disadvantages. For suggestion and please his constituents. Thank you.
Author
26 February 2016
Table of Contents
PREFACE.................................................................................................................. 1
CHAPTER I................................................................................................................ 3
INTRODUCTION........................................................................................................ 3
A.
B.
C.
Problem Formulation............................................................................................... 3
CHAPTER II............................................................................................................... 4
DISCUSION............................................................................................................... 4
A.
B.
C.
D.
CHAPTER III............................................................................................................ 17
CONCLUSION.......................................................................................................... 17
A.
Conclusion......................................................................................................... 17
B.
Suggest.............................................................................................................. 18
BIBLIOGRAPHY....................................................................................................... 18
CHAPTER I
INTRODUCTION
C.
Problem Formulation
a.
b.
c.
d.
CHAPTER II
DISCUSION
A. Tafsir in the Prophet SAW Period
Walaupun bangsa Arab pada waktu itu masih buta huruf, tapi mereka mempunyai ingatan
yang sangat kuat. Pegangan mereka dalam memelihara dan meriwayatkan syair-syair dari para
pujangga, peristiwa-peristiwa yang terjadi dan lain sebagainya adalah dengan hafalan semata.
Karena hal inilah Nabi mengambil suatu cara praktis yang selaras dengan keadaan itu dalam
menyiarkan dan memelihara Al-Qur'an. Setiap ayat yang diturunkan, Nabi menyuruh
menghafalnya, dan menuliskannya di batu, kulit binatang, pelapah kurma, dan apa saja yang bisa
dituliskan. Nabi menerangkan tertib urut ayat-ayat itu. Nabi mengadakan peraturan, yaitu Al
Qur'an saja yang boleh dituliskan, selain dari Al Qur'an, Hadits atau pelajaran-pelajaran yang
mereka dengar dari mulut Nabi dilarang untuk dituliskan. Larangan ini dengan maksud agar Al
Qur'an itu terpelihara, jangan dicampur aduk dengan yang lain-lain yang juga didengar dari Nabi.
Pada masa nabi, masa diturunkannya Al Quran kepadanya dan beliau sendiri berfungsi
sebagai mubayyin, the first enterpreter (pemberi penjelasan) kepada para sahabat-sahabatnya
tentang kandungan dari pada ayat-ayat Al Quran khususnya menyangkut ayat-ayat yang masih
samar dan tidak bisa di fahami oleh mereka, sebagaimana telah di gambarkan dalam Al Quran:
Dan kami turunkan kepadamu Al Quran agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa
yang telah di turunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan. (QS 16:44). Penafsiran
atau pemahaman Rasulullah terhadap al-Quran selalu dibantu wahyu, Siti Aisyah r.a berkata:
Nabi menafsirkan hanya beberapa ayat saja menurut petunjuk-petunjuk yang diberi Jibril.
Sahabat-sahabat yang mulia tidak ada yang berani menafsirkan al-Quran ketika Rasul masih
hidup. Rasul sendirilah yang memikul tugas menafsirkan Al-Quran, memang apabila mereka
tiada mengetahui suatu lafazh Al-Quran atau maksud suatu ayat, segeralah mereka bertanya
pada Rasul sendiri atau kepada sahabat yang dipandang dapat menjelaskannya. Dalam buku Alquran Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki (Munawar, 2005, hal. 65)
1. Sumber Penafsiran
a. Penafsiran Ayat dengan Ayat
Memang dalam satu bagian Al Quran terdapat ayat yang bersifat mujmal, akan tetapi
pada bagian yang lain ditemukan ayat yang bersifat mubayyan , atau suatu ayat diturunkan
4
dalam bentuk mutlaq atau am kemudian diturunkan ayat lain yang berbentuk muqayyad atau
mukhassis, dengan adanya macam-macam sifat dari ayat yang diturunkan dalam Al Quran
tersebut para sahabat menggunakan satu ayat untuk memahami ayat yang lain. Metode
penafsiran ini disebut dengan metode penafsiran Al Quran dengan Al Quran. Rasulullah
Muhammad saw. mendapat tugas untuk menjelaskan maksud firman-firman Allah (QS
16:44). Tugas ini memberi petunjuk bahwa penjelasan-penjelasan beliau pasti benar. Hal ini
didukung oleh bukti-bukti, antara lain, adanya teguran-teguran yang ditemukan dalam Al
Quran menyangkut sikap atau ucapan beliau yang dinilai Allah "kurang tepat", misalnya QS
9:42; 3:128, 80:1, dan sebagainya, yang kesemuanya mengandung arti bahwa beliau
ma'shum (terpelihara dari melakukan suatu kesalahan atau dosa). Dari sini mutlak perlu
untuk memperhatikan penjelasan-penjelasan Nabi tersebut dalam rangka memahami atau
menafsirkan firman-firman Allah, sehingga tidak terjadi penafsiran yang bertentangan
dengannya, walaupun tentunya sebagian dari penafsiran Nabi tersebut ada yang hanya
sekadar merupakan contoh-contoh konkret yang beliau angkat dari masyarakat beliau,
sehingga dapat dikembangkan atau dijabarkan lebih jauh oleh masyarakat-masyarakat
berikutnya. Misalnya ketika menafsirkan al-maghdhub 'alayhim (QS 1:7) sebagai "orangorang Yahudi", atau "quwwah" dalam QS 8:60 yang memerintahkan mempersiapkan
kekuatan untuk menghadapi musuh, sebagai "panah".Ketika menafsirkan shalah al-wustha
dalam QS 2:238 dengan "shalat Ashar", penafsiran itu adalah penafsiran muthabiq dalam arti
sama dan sepadan dengan yang ditafsirkan. Sedangkan ketika menafsirkan QS 40;60, tentang
arti perintah berdoa, beliau menafsirkannya dengan beribadah. Penafsiran ini adalah
penafsiran yang dinamai talazum. Artinya, setiap doa pasti ibadah, dan setiap ibadah
mengandung doa. Berbeda dengan ketika beliau menafsirkan QS 14:27. Di sana beliau
menafsirkan kata akhirat dengan "kubur". Penafsiran semacam ini dinamakan penafsiran
tadhamun, karena kubur adalah sebagian dari akhirat.
b. Al Quran dengan Hadis
Ketika para sahabat mendapat kesulitan dalam memahami isi dari suatu ayat Al
Quran, maka mereka akan mendatangi Nabi Muhammad SAW untuk mendapatkan
penjelasan dari beliau, seperti hadis dari Jabir ibn Abdullah yang menyatakan: Seorang
Yahudi datang kepada Nabi saw. lalu berkata: Wahai Muhammad, beritakan kepadaku
tentang bintang-bintang yang dilihat Yusuf sujud kepadanya, apa saja namanya. Maka Nabi
5
antara
Al
Quran
dengan
wahyu.
Al Quran secara keseluruhan diturunkan dalam bentuk wahyu yang ketiga seperti yang
tertera dalam Al Quran surah al-Syura/42: 51. Artinya, Al Quran tidak mengandung wahyu
lain, sehingga dapat dikatakan bahwa Al Quran adalah bentuk wahyu yang paling tinggi.
Dalam Q.s. al-Syuara/26: 192-196 Dan sesungguhnya Al Quran ini benar-benar
diturunkan oleh Tuhan semesta alam. Dibawa turun al-Ruh al-Amin (Jibril), ke dalam hatimu
(Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi
peringatan, dengan bahasa Arab yang jelas. Dan sesungguhnya Al Quran itu benar-benar
(tersebut) dalam kitab-kitab yang terdahulu. Contoh pada ayat ; Sedang orang-orang yang
mengikuti hawa nafsunya bermaksud supaya kamu berpaling sejau-jauhnya (dari
kebenaran). (QS 4:27). Pengertian dari ayat diatas masih sangat pelik sekali untuk
dimengerti karena kemujmalannya, sehingga masih membutuhkan penjelasan dari ayat yang
lain, oleh karena itu kita bisa mengerti maksud daripada orang-orang yang mengikuti hawa
nafsu pada ayat di atas yaitu, orang-orang Ahli kitab berdasarkan firman Allah yang lain
yaitu: Apakah kamu tidak melihat orang-orang yang telah diberi bagian dari Al Kitab
(Taurat)? Mereka membeli (memilih kesesatan (dengan petunjuk) dan mereka bermaksud
supaya kamu tersesat (menyimpang) dari jalan (yang benar). (QS 4:44). Ketika ada ayat, allazina amanu wa lam yalbisu imanahum bizhulm (orang-orang yang beriman dan tidak
mencampuradukkan iman mereka dan kezaliman. QS. Al-Anam [6]: 82), banyak orang-orang
6
merasa resah. Lalu mereka bertanya kepada Rasulullah saw.: ya Rasulullah, siapakah
diantara kita yang tidak berbuat zalim terhadap dirinya? Nabi menjawab: Kezaliman disini
bukan seperti yang kamu pahami. Tidakkah kamu pernah mendengar apa yang telah
dikatakan oleh seorang hamba Allah yang saleh, inna al-syirk lazhumun azim (sesungguhnya
kemusyrikan adalah benar-benar kezaliman yang besar. QS. Luqman [31]: 13), jadi yang
dimaksud disini adalah kemusyrikan.
B. Tafsir in the Cmpanions Period
1. Kondisi Penafsiran zaman Sahabat
Didalam buku studi-studi ilmu alquran (Mudzakir, 2013, hal. 470) menjelaskan kalau
pada masa Rasul saw, para sahabat menanyakan persoalan-persoalan yang tidak jelas kepada
beliau, maka setelah wafatnya, mereka terpaksa melakukan ijtihad, khususnya mereka yang
mempunyai kemampuan semacam 'Ali bin Abi Thalib, Ibnu 'Abbas, Ubay bin Ka'ab, dan
Ibnu Mas'ud.
Para sahabat yang terkenal banyak menafsirkan Quran adalah Ibn Masud, Ibn Abbas,
Ubai bin Kaab Zaid bin Sabit, Abu Musa Al-Asyari, Abdullah bin Zubair, Anas bin Malik,
Abdullah bin Umar, jabir bin Abdullah, Abdullah bin Amr bin Ash dan Aisyah dan para
mufasir pada jaman sahabat yaitu : Abu Bakar As Shiddiq, Umar Bin Khattab, Usman Bin
Affan, Ali Bin Abi Thalib , Ibnu Abbas, Ibnu Masud, Zaid bin Tsabit, Ubai bin Kaab, Abu
Musa al-Asyari , dan Abdullah bin Zubair
2. Ciri Tafsir zaman Sahabat
a. Mereka tidak menafsirkan Al Quran secara keseluruhan
b. Perbedaan penafsiran Al Quran di kalangan mereka relatif amat sedikit
c. Penafsiran yang dilakukan para sahabat umumnya lebih menekankan pendekatan
d.
e.
f.
g.
Disamping perbedaan tingkatan pengetahuan serta kecerdasan para sahabat itu sendiri.
Sebab-sebab yang lain menyebabkan perbedaan tingkatan para sahabat dalam memahami
ayat-ayat Al Quran ialah:
a. Sekalipun para sahabat orang-orang Arab dan berbahasa Arab, tetapi pengetahuan
mereka tentang bahasa Arab berbeda-beda, seperti berbeda-bedanya pengetahuan para
sahabat tentang sastra Arab, gaya bahasa Arab, adat istiadat dan sastra Arab Jahiliyah,
kata-kata yang terdapat dalam Al Quran dan sebagainya sehingga tingkatan mereka
dalam memahami ayat-ayat Al Quran berbeza-beza pula.
b. Ada sababat yang sering mendampingi Nabi Muhammad saw, sehingga banyak
mengetahui sebab-sebab ayat-ayat Al Quran diturunkan dan ada pula yang jarang
mendampingi beliau. Pengetahuan tentang sebab-sebab Al Quran diturunkan itu,
sangat diperlukan untuk mentafsirkan Al Quran. Karena itu sahabat-sahabat yang
banyak pengetahuan mereka tentang sebab Al Quran diturunkan itu, lebih mampu
mentafsirkan ayat-ayat Al Quran dibandingakan dengan yang lain. Sebagai contoh
dapat dikemukakan sebagai berikut: Diriwayatkan bahwa Khalifah Umar bin
Khaththab telah mengangkat Qudamah sebagai gabernur Bahrain. Dalam suatu
peristiwa datanglah Jarud mengadu kepada Khalifah Umar, bahwa Qudamah telah
meminum khamar dan mabuk. Umar berkata: "Siapakah orang lain yang ikut
menyaksikan perbuatan tersebut?" kata Jarud:"Abu Hurairah telah menyaksikan apa
yang telah kukatakan". Khalifah Umar memanggil Qudamah dan mengatakan: "Ya
Qudamah! Aku akan mendera engkau!". Lalu berkata Qudamah: "Seandainya aku
meminum khamar sebagaimana yang mereka katakan, tidak ada suatu alasan pun bagi
engkau untuk mendera". Umar bertanya: "Kenapa?" jawab Qudamah: Kerana Allah
telah berfirman dalam surat (5) Al Maaidah ayat 93 Tidak ada dosa bagi orang-orang
yang beriman dan rnengerjakan amalan yang saleh, kerana memakan makanan yang
telah mereka makan dahulu, apabila mereka bertakwa serta beriman dan mengerjakan
amalan-amalan yang saleh, kemudian mereka tetap bertakwa dan beriman, kemudian
mereka (tetap juga) bertakwa dan berbuat kebajikan. Dan Allah menyukai orangorang yang berbuat kebajikan. Sedang saya adalah orang yang beriman, mengerjakan
amal saleh, kemudian bertakwa dan beriman, saya ikut bersama Nabi Muhammad
saw. dalam perang Badar, perang Uhud, perang Khandaq dan peperangan yang lain.
Umar berkata: "Apakah tidak ada diantara kamu sekelian yang akan membantah
8
perkataan Qudamah?". Berkata lbnu Abbas: "Sesungguhnya ayat 93 surah (5) Al Maaidah diturunkan sebagai melindungi umat di masa sebelum ayat 90 ini diturunkan,
kerana Allah berfirman: Surat (5) Al Maa-idah ayat 90 (yang bermaksud): "Hal
orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum khamar, berjudi. (berkorban
untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji; termasuk
perbuatan syaitan. Kerana itu jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar mendapat
keberuntungan (kejayaan)". Berkata Umar: "Benarlah lbnu Abbas."Dari keterangan di
atas dapat diambil kesimpulan bahwa lbnu Abbas lebih mengetahui sebab-sebab
dlturunkannya ayat 93 surah (5) Al Maa-idah dibanding dengan Qudamah. Sebab
menurut riwayat Ibnu Abbas, bahwa setelah ayat 90 surat (5) Al Maa'idah diturunkan,
sahabat-sahabat saling menanyakan tentang keadaan para sahabat yang telah
meninggal, padahal mereka dahulu sering meminum khamar seperti Sayidina
Hamzah, bapa saudara Nabi yang gugur sebagai syuhadaa pada perang Uhud. Ada
sahabat yang mengatakan bahawa Hamzah tetap berdosa kerana perbuatannya yang
telah lalu itu. kerana itu turunlah ayat 93 surah (5) Al Maa-idah, yang menyatakan
bahawa umat Islam yang meninggal sebelum turunnya ayat 90 surah (5) Al Maa'idah
tidak berdosa kerana meminum khamar itu, tetapi umat sekarang berdosa
meminumnya.
c. Perbedaan tingkat pengetahuan para sahabat tentang adat istiadat, perkataan dan
perbuatan Arab Jahiliyah. Para sahabat yang mengetahui haji di masa Jahiliyah akan
lebih dapat memahami ayat-ayat Al Quran yang berhubungan dengan haji, dibanding
dengan para sahabat yang kurang tahu.
d. Perbedaan tingkat pengetahuan para sahabat tentang yang dilakukan oleh orang-orang
Yahudi dan Nasrani di Jaziratul Arab, pada waktu suatu ayat Al Quran diturunkan.
Sebab suatu ayat diturunkan ada yang berhubungan dengan penolakan atau sanggahan
terhadap perbuatan-perbuatan orang-orang Yahudi dan Nasrani itu.
4. Sumber Penafsiran zaman Sahabat
Didalam buku Mukadimah Al-Quran dan Tafsirnya (RI D. , 2009, hal. 45-46)
menjelaskan Tafsir di masa para sahabat ini memiliki 4 sumber, yaitu :
a. Periwayatan Rasulullah (Hadis)
Pada saat Al Quran diturunkan, Rasul saw., yang berfungsi sebagai mubayyin
(pemberi penjelasan), menjelaskan kepada sahabat-sahabatnya tentang arti dan
kandungan Al Quran, khususnya menyangkut ayat-ayat yang tidak dipahami atau
9
samar
artinya.
Seperti
yang
dijelaskan
pada
sub
bab
sebelumnya.
c.
sumpah, dan sesuatu yang telah kita yakini tetapi tidak di kerjakan.
Israiliyat
Kata Israiliyat merupakan bentuk jamak dari kata tunggal Israiliyat yang
merupakan kata yang nisbahkan pada kata Israil berasal dari bahasa Ibrani, Isra
berarti hamba danIl berarti Tuhan. Dalam Al Quran nama Israil dipakai
sebagai nama bagi Nabi Yaqub yang kepada beliau bangsa Yahudi dinisbahkan,
dalam hal ini mereka disebut bani Israil.Secara terminologi, Israiliyat
merupakan semua cerita lama yang masuk kedalam tafsir yang bersumber dari
Yahudi dan Nasrani. Bahkan sebagian ulama telah memperluas makna
Israiliyat dengan cerita yang dimasukkan oleh musuh-musuh Islam, baik yang
bersumber dari Yahudi maupun yang bersumber dari orang lain, baik menyangkut
10
penafsiran
dalam
Al-Quran,
serta
tidak
mudah
untuk
mengambilnya dari Rasulullah saw, maka mereka kembali kepada ijtihad dan
pendapat mereka, seperti yang dilakukan oleh Muaz bin Jabal ketika diutus
Rasulullah saw untuk berdakwah di suatu kaum.
11
f.
Ahli kitab dari umat Yahudi dan Nasrani. Hal itu karena Al-Quran al-Karim
sejalan dengan Taurat dalam beberapa masalahnya, khususnya dalam kisah para
Nabi dan hal-hal yang terkait dengan umat-umat di masa lalu, seperti halnya AlQuran mengandung masalah-masalah yang terdapat dalam kitab-kitab injil
seperti kelahiran Isa putra maryam dan mukjizat-mukjizatnya. Hanya saja,
sumber keempat ini tidak banyak diambil mengingat telah terjadi banyak
penyimpangan di dalamnya
mengutamakan tafsir karya mufasir yang berasal di negeri itu. Penduduk Makkah mengambil
dari Ibnu Abbas, penduduk Madinah dari Ubay bin Kaab dan penduduk Iraq dari Ibnu
Masud dan seterusnya.
2. Adanya sekelompok orang Yahudi dan Nasrani yang telah masuk Islam, yang membawa serta
ajaran-ajaran kitab-kitab suci dan kebudayaan mereka, sehingga kemudian sebagian masuk
membaur dalam tafsir al-Quran. Unsur-unsur kebudayaan tersebut tidaklah berkaitan dengan
akidah atau hokum syarI, tetapi dengan hal-hal lain seperti riwayat-riwayat tentang asal
mula kejadian, rahasia-rahasia wujud dan asal-usul semua yang ada.
3. Di masa tabiin ini timbul kontraversi-kontraversi dan perselisihan pendapat seputar tafsir
ayat-ayat yang berkaitan dengan perkara-perkara kaidah. Misalnya Imam Qatadah bin
Dimah as-Suadis, ikut melibatkan dirinya dalam pertikaian mengenai Qadha dan Qadar, dan
dituduh sebagai penganut aliran Qadariyyah. Karena itu, sebagian orang sulit menerima
riwayat dari beliau. Beliau juga mengkafirkan orang yang mendustakan pendapat beliau.
Para ulama berbeda pendapat tentang tafsir yang berasal dari tabiin jika tafsir itu tidak
diriwayatkan sedikitpun dari Rasulullah atau para sahabat. Segolongan ulama berpendapat, tafsir
mereka tidak harus dijadikan pegangan, sebab mereka tidak menyaksikan peristiwa-peristiwa
atau situasi dan kondisi yang berkenaan dengan turunnya ayat-ayat Quran, sehingga mereka bias
saja berbuat kesalahan dalam memahami apa yang dimaksud. Sebaliknya, banyak mufasir
berpendapat, tafsir mereka dapat dipegangi, sebab pada umumnya mereka menerimanya dari
para sahabat.Pendapat yang kuat ialah jika para tabiin sepakat atas sesuatu pendapat, maka bagi
kita wajib menerimanya, tidak boleh meninggalkannya untuk mengambil yang lain.
13
14
Ilmu
ini
sempurna,
semakin
berkembang
cabang-cabangnya
pesat,
bermunculan,
pembukuannya
perbedaan
semakin
pun
terus
fikih,
seperti
Al-Jasshash
dan
Al-Qurtubi.
Sejarawan
hanya
kitab-kitab
tafsir
menjadi
kitab-kitab
yang
didalamnya
bercampur aduk antara yang berguna dengan yang berbahaya, dan yang
baik dengan yang buruk. Masing-masing golongan menafsirkan ayat-ayat AlQuran dengan penafsiran yang tidak bisa diterima oleh ayat itu sendiri demi
mendukung kepentingan mazhabnya atau menolak pihak lawan, sehingga
tafsir kehilangan fungsi utamanya sebagai sarana petunjuk, pembimbing dan
pengetahuan mengenai hukum-hukum agama.
15
tanpa
menyebutkan
orangnya.
Hal
ini
menyulitkan
dalam
membedakan antara sanad yang shahih dan yang dhaif yang menyebabkan
para mufassir berikutnya mengambil tafsir ini tanpa melihat kebenaran atau
kesalahan dari tafsir tersebut.
Periode Keempat
Pembukuan tafsir banyak diwarnai dengan buku-buku terjemahan dari luar
Islam. Sehingga metode penafsiran bil aqly (dengan akal) lebih dominan
dibandingkan dengan metode bin naqly (dengan periwayatan). Pada periode
ini juga terjadi spesialisasi tafsir menurut bidang keilmuan para mufassir.
Pakar fiqih menafsirkan ayat Al-Quran dari segi hukum seperti Al-Qurtuby.
Pakar sejarah melihatnya dari sudut sejarah seperti ats-Tsalaby dan AlKhozin dan seterusnya.
16
Periode Kelima
Tafsir maudhui yaitu membukukan tafsir menurut suatu pembahasan
tertentu sesuai disiplin bidang keilmuan, seperti yang ditulis oleh Ibnul
Qoyyim dalam bukunya At-Tibyan fi Aqsamil Al-Quran, Abu Jafar An-Nahhas
dengan An-Nasikh wal Mansukh, Al-Wahidi dengan Asbabun Nuzul dan AlJasshash dengan Ahkamul Quran-nya.
CHAPTER III
CONCLUSION
A. Conclusion
It is possible to divide the history of tafsir into five periods. The first period is considered to
be the time of the Companions and Successors, and consisted mainly of narrations concerning
those verses over which there was a difference of opinion or misunderstanding, in addition to the
hadeeth of the Prophet SAW dealing with tafseer. Personal reasoning (ijtihaad) from the
Companions and Successors was, in general, only resorted to when absolutely necessary.
The second period is the era of the late Successors, and the generation after them. During this
time, hadeeth literature had begun to be compiled, and tafsir narrations therefore become a part
of hadeeth works. Also during this time, the various hadeeth of the Prophet (SAW) and narrations
from different Companions began to be compiled, whereas in the first period, these narrations
were typically limited to a specific area.
The third stage saw the rise of independent tafsir works, based on the hadeeth works of the
previous generation, and thus tafsir became an independent science among the Islaamic sciences.
This stage, which can be said to begin in the second half of the third century, also produced the
first complete Qur'aanic tafsirs, whose commentary was not limited to only those verses
concerning which narrations existed from previous generations. However, during this stage, the
primary source of tafseer still remained narrations from the previous generation.
It was only during the fourth stage where reliance on narrations decreased, and much greater
emphasis was placed on personal reasoning, and tafsirs were written based on sectarian bias.
The final period of the history of tafsir, which has lasted from the fourth century of the hijrah
until today, saw the culmination of the science of tafsir, and the emergence of various categories
of tafsir, such as tafsir based on narrations, on personal reasoning, topic-wise interpretation,
polemical interpretation, and jurisprudential interpretation (these will be discussed in greater
detail below). Other tafsirs sought to combine all of these topics into one work, thus giving a
broad, all- encompassing approach to interpretation.
17
B. Suggest
We are as the writer want to apology for the shortage of this paper. We know that this
paper is still far from perfect. So that we need the suggest from the reader for the perfection of
this paper. Thank you very much for the reader.
BIBLIOGRAPHY
al-Qattan, M. K. (2014). Studi Ilmu-ilmu Qur'an. (M. Hasanudin, Ed., & M. AS, Trans.)
Jakarta: Litera AntarNusa.
Mudzakir, A. (2013). Studi Ilmu-Ilmu Al-Quran. Bogor: P.T Pustaka Litera Antarnusa.
Munawar, S. A. (2005). Al-Quran Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki. Ciputat: P.T
Ciputat Press.
RI, D. (2009). Mukadimah Al-Quran dan Tafsirnya. Jakarta: Departemen Agama RI.
18