Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 22

KONDISI SOSIAL

MASYARAKAT SUB DAS MERAWU DAN SUB DAS BATANG BUNGO


(Social Condition of Community
at Merawu and Batang Bungo Sub Watersheds)
Oleh/by:
Nana Haryanti, Paimin, dan Sukresno

Abstract
Watershed function as an ecosystem is not merely focus on forest area but
agriculture and residence areas. Hence, watershed management needs to pay attention
on human and their activities as a part of watershed system. The objective of this
research is as follows: 1) describing the social condition of Merawu and Bungo sub
watershed community and, 2) describing on how to manage their natural resources. This
research was undertaken in Merawu and Batang Bungo sub watershed. Observation and
interview methods were used for collect in data. The objective of observation and
interview was exploring the social condition of farmers and constructing the phenomena,
activities, and perception of the research subjects. The data were analyzed descriptively.
The results show that there are differences on social condition of Merawu and Batang
Bungo sub watershed community, which are influenced by interaction between social
condition and natural condition. The upper land of Merawu sub watershed is dry field
and it is utilized for crop farming, and the lower of sub watershed is wet rice field. The
land of Bungo sub watershed is utilized for rubber estate because of the unable natural
condition for crop cultivation intensively. The basic activity of both Merawu and Bungo
sub watersheds is farm system. The education level of respondents is low, resulting of the
low practice of land conservation because of the low land conservation knowledge and
understanding particularly in Bungo sub watershed. While the low conservation practice
at Merawu sub watershed is caused by dry land crop farming. The amount contribution
of farm sector on family income at Merawu sub watershed is more than 95% comes from
dry land, whereas contribution of farm sector to the family income at Bungo sub
watershed more than 68% comes from rubber plantation. The number of big farmer with
more than 1 Ha land ownership at Merawu sub watershed is 33,3%, and the amount of
big farmer with more than 3 Ha land ownership at Bungo sub watershed is 36,2%. The
width of land ownership in Java will influence on the community social status, while in
Sumatra the social status is influenced by personal skill and ability.
Key word : human activities, land utilization, social and natural condition.

Abstrak
Fungsi daerah aliras sungai (DAS) sebagai suatu ekosistem tidak hanya bertumpu
pada kawasan hutan saja, namun juga meliputi kawasan budidaya tanaman dan kawasan
pemukiman. Oleh karena itu pengelolaan DAS perlu memberikan perhatian pada manusia

dan aktivitasnya sebagai bagian dari sistem DAS. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mendeskripsikan kondisi sosial masyarakat di sub DAS Merawu dan Bungo, dan pola
bagaimana mereka mengelola sumber daya alamnya. Penelitian dilakukan di sub DAS
Merawu dan Batang Bungo. Metode observasi dan interview digunakan untuk
mengumpulkan data. Tujuan dari observasi dan interview adalah untuk mengeksplorasi
kondisi sosial dari petani dan mengembangkan kejadian-kejadian, aktivitas, dan persepsi
dari subyek penelitian. Data kemudian dianalisa secara deskriptif. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa terdapat perbedaan kondisi sosial pada masyarakat sub DAS
Merawu dan Batang Bungo, yang dipengaruhi oleh interaksi antara kondisi sosial dan
alam. Hulu sub DAS Merawu adalah lahan kering dan dimanfaatkan untuk pertanian
tanaman semusim, dan lahan di hilir sub DAS Merawu adalah persawahan. Lahan di sub
DAS Bungo dimanfaatkan untuk perkebunan karet, keadaan ini disebabkan lahan tidak
memungkinkan dimanfaatkan untuk pertanian tanaman semusim secara intensif. Kegiatan
dasar wilayah baik di sub DAS Merawu dan Bungo adalah sektor pertanian. Tingkat
pendidikan responden umumnya masih rendah, berakibat pada rendahnya praktek
konservasi tanah karena rendahnya pengetahuan dan pemahaman mengenai konservasi
terutama di sub DAS Bungo. Sementara itu rendahnya praktek konservasi tanah di sub
DAS Merawu lebih disebabkan oleh pertanian lahan kering. Kontribusi pertanian pada
pendapatan rumah tangga di sub DAS Merawu adalah 95% berasal dari pertanian lahan
kering, sedangkan di sub DAS Bungo kontribusi sektor pertanian mencapai 68% berasal
dari perkebunan karet. Jumlah petani besar dengan kepemilikan lahan lebih dari 1 Ha di
Sub DAS Merawu sebesar 33,3%, dan jumlah petani besar dengan kepemilikan lahan
lebih dari 3 Ha di sub DAS Bungo adalah 36,2%. Luas kepemilikan lahan di Jawa akan
berpengaruh pada status sosial dalam masyarakat, sedangkan di Sumatra status sosial
dalam masyarakat lebih dipengaruhi oleh kemampuan dan kecakapan.
Kata kunci: aktivitas manusia, pemanfaatan lahan, kondisi sosial dan alam

I.

PENDAHULUAN

Daerah Aliran Sungai (DAS) dipahami sebagai suatu wilayah yang merupakan satu
kesatuan ekosistem, dengan berbagai komponen di dalamnya yaitu, morfometri, tanah,
geologi, vegetasi, tata guna lahan, dan manusia (Seyhan, 1977). Daerah aliran sungai
tidak hanya bertumpu pada kawasan hutan, namun juga meliputi seluruh kawasan
budidaya tanaman dan kawasan pemukiman (Zaeni, 1987). Karena meliputi kawasan
budidaya tanaman dan pemukiman, pengelolaan DAS juga memberikan perhatian kepada
manusia dan aktivitasnya sebagai bagian dari sistem DAS.
Sebagai suatu kesatuan ekosistem, komponen-komponen di daerah aliran sungai
saling berinteraksi dan saling tergantung satu sama lain (interdependensi). Dinamika
atau perubahan yang terjadi pada salah satu komponennya akan berpengaruh pada
komponen yang lain. Dinamika yang berkembang mengakibatkan terbentuknya

keragaman kondisi sosial, yang juga disebabkan oleh pengaruh kondisi geografis dan
ragam ekosistem yang ada.
Perubahan yang terjadi pada suatu lingkungan DAS akan berpengaruh pada
kondisi alam serta lingkungan sosial dan budaya masyarakatnya. Sebagai contoh
perkembangan jumlah penduduk, perubahan pola pemanfaatan lahan untuk industri dan
perumahan, kegiatan pertanian intensif, pemilihan jenis tanaman yang ditanam, serta
berbagai intervensi kegiatan manusia terhadap lahan, mengakibatkan perubahan keadaan
ekosistem dan mempengaruhi kondisi sosial masyarakatnya. Perkembangan tuntutan
pemenuhan kebutuhan yang berbeda membawa pula perbedaan pola tingkah laku dan
etos kerja.
Kajian ini dilakukan pada masyarakat desa di sepanjang Sub DAS Merawu,
Kabupaten Banjarnegara, Propinsi Jawa Tengah dan Sub DAS Batang Bungo, Kabupaten
Bungo, Propinsi Jambi. Tujuan dari kajian ini adalah memberikan gambaran kondisi
sosial budaya masyarakat ke dua Sub DAS, serta bagaimana mereka mengelola
lingkungannya.

II.

METODE PENELITIAN

A. Pengumpulan Data
Penelitian dilakukan di desa-desa di Sub DAS Merawu, DAS Serayu di
Kabupaten Banjarnegara, Propinsi Jawa Tengah dan Sub DAS Batang Bungo, DAS
Batanghari di Kabupaten Bungo, Propinsi Jambi. Terdapat 5 desa yang masing-masing
mewakili 1 kecamatan sebagai wilayah pengamatan di Sub DAS Merawu yaitu Desa
Penusupan, Kayu Ares, Pakelen, Kasimpar dan Paweden, serta 3 desa yang mewakili 1
kecamatan sebagai wilayah pengamatan di Sub DAS Bungo yaitu Desa Sungai Telang,
Muara Buat dan Rantaupandan. Pemilihan lokasi penelitian didasarkan pada penetapan
zona ekologi yang ditetapkan oleh Departemen Kehutanan bersama UNDP dan FAO,
dimana Jawa mewakili daerah dengan curah hujan tinggi (>1500 mm) dan penduduk
padat (>250 orang per Km2), sedang Sumatera mewakili daerah dengan curah hujan
tinggi (>2000 mm) dan penduduk jarang (<250 orang per Km2) (MOF, 1985).

B. Pengumpulan Data
Guna mendapatkan gambaran kondisi sosial masyarakat dikedua daerah penelitian
dilakukan metode observasi pada Bulan Oktober dan November 2003. Cara observasi
dilakukan melalui serangkaian kunjungan dan pertemuan informal. Guna menjaga
reabilitas studi, observasi dilakukan tidak hanya sekali, sehingga pemantapan pemaknaan
pada suatu peristiwa dan hubungannya dengan peristiwa yang lain dapat dilakukan.
Sedangkan wawancara, dengan responden utama petani dilakukan untuk menggali secara
lebih mendalam terhadap aspek-aspek yang kemungkinan tidak muncul selama proses
observasi berlangsung. Wawancara dilakukan terhadap kurang lebih 15 (1,1%) responden
di masing-masing kecamatan Sub DAS Merawu, dan 15 (2,1%) responden di masingmasing desa Sub DAS Bungo. Tujuan wawancara adalah untuk menyajikan konstruksi
saat itu mengenai suatu peristiwa, aktivitas, persepsi, rekonstruksi beberapa hal, dan
proyeksi kedepan (Sutopo, 2002). Wawancara juga dilakukan kepada tokoh-tokoh
masyarakat, serta dinas dan instansi terkait untuk mendapatkan gambaran yang lebih
menyeluruh.
Subyek penelitian adalah petani yang mewakili daerah hulu, tengah maupun hilir
DAS. Pemilihan tiga wilayah tersebut didasarkan pada perbedaan kondisi biofisik yang
mempengaruhi sistem usaha tani, atau budidaya pertanian yang dikembangkan
masyarakat. Parameter sosial utama yang diamati adalah budaya

pertanian, potensi

sumber daya manusianya, pendapatan petani, pemanfaatan dan pengelolaan lingkungan,


dan stratifikasi sosial, serta hubungan sosial kemasyarakatan secara umum.

C. Analisa Data
Hasil observasi dan interview kemudian ditabulasikan sesuai dengan kategorikategori atau kelompok. Artinya data-data yang mengandung informasi yang sama
disatukan ke dalam satu kelompok seperti, data mengenai kepemilikan lahan, pola tanam
dan jenis tanamannya, hasil pertanian yng dominan, budaya bercocok tanam, dan
sebagainya. Kemudian diuraikan dalam satuan uraian sehingga lebih mudah untuk
diiterpretasikan. Hasil interpretasi dari data dianalisa dan disajikan dalam bentuk
deskriptif. Yaitu berupa penyajian fakta-fakta yang menggambarkan situasi sebenarnya
pada daerah pengamatan.

Untuk mendukung analisa disajikan pula data yang bersifat kuantitatif. Analisa
kuantitatif dilakukan untuk menghitung tekanan penduduk (TP), dan kegiatan dasar
wilayah yaitu koefisien lokasi/Location Quation (LQ) yang digunakan untuk menentukan
sektor ekonomi yang paling berpengaruh terhadap kehidupan penduduk. Nilai koefisien
lokasi difokuskan pada bidang pertanian, dan digunakan untuk melihat seberapa besar
pengaruh sektor pertanian pada kehidupan penduduk. Jika nilai LQ untuk sektor
pertanian pada suatu wilayah pengamatan >1, keadaan ini menunjukkan penduduk
tergantung pada sekor pertanian.
Perhitungan nilai LQ sebagai berikut :
LQi : Mi/M
Ri/R
Keterangan:
LQ : Koefisien lokasi
Mi : Jumlah tenaga kerja yang telibat didalam sektor i pada satu wilayah pengamatan
M : Jumlah tenaga kerja yang ada disatu wilayah pengamatan tersebut
Ri : Jumlah tenaga kerja yang terlibat dalam sektor i pada seluruh wilayah pengamatan
R : Jumlah tenaga kerja yang ada diseluruh wilayah pengamatan

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A.

Deskripsi Daerah Penelitian


Sub DAS Merawu, DAS Serayu terletak di Kabupaten Banjarnegara, Propinsi Jawa

Tengah, dengan luas wilayah dalam satuan pemantauan hidrologis adalah 21.860 Ha
(Puslitbang Pengairan, 1998). Sub DAS Merawu dibagi dalam Sub-sub DAS dan
administrasi yaitu Sub-sub DAS Merawu hulu dengan luas 15.312,6 Ha yang berada di 4
wilayah kecamatan, Sub-sub DAS Merawu hilir luas 1.470,0 Ha pada 3 kecamatan dan,
Sub-sub DAS Urang dengan luas 5.912,6 Ha yang terdiri dari 2 kecamatan. Sedang
dalam satuan pengamatan penelitian sosial masing-masing dipilah menjadi wilayah atas
dan bawah. Keberadaan wilayah tersebut dalam lingkup kecamatan seperti pada Tabel 1.

Tabel 1. Lokasi Penelitian pada Tiap Pengamatan


Table 1. Research Area for Each Sub District
Sub-sub DAS
Kecamatan (Sub district)
Sub-sub Watershed
Atas (Upper Area)
Bawah (Lower Area)
Merawu Hulu
Pejawaran
Pagentan
Merawu Hilir
Madukara
Urang
Wanayasa
Karangkobar
Kondisi geologi Sub DAS Merawu secara umum merupakan zona pegunungan
Serayu Utara bagian tengah, yang terdiri dari formasi Merawu, Panjatan, Bodas, Ligung
dan Jambangan. Curah hujan rata-rata 2.081-4.462 mm, jumlah hari hujan rata-rata 142
hari/tahun, berdasar klasifikasi Schmidt-Ferguson termasuk pada tipe iklim A.
Penggunaan lahan meliputi pekarangan, semak, hutan, kebun teh, rumput, sawah irigasi,
sawah tadah hujan, kebun campuran, sayuran, dan tegalan.
Sedangkan Sub DAS Bungo secara administratif pemerintahan terletak di
Kecamatan Rantau Pandan dan hanya sebagian kecil berada di Kecamatan Sarko
Kabupaten Bungo Tebo, Propinsi Jambi. Luas Sub DAS Bungo dalam satuan
pengamatan hidrologis adalah 41.060 Ha (Puslitbang pengairan, 1998). Secara
administratif wilayah Sub DAS Bungo sebagian besar berada di Kecamatan Rantau
Pandan, sehingga pengamatan hanya dilakukan pada kecamatan tersebut. Unit
pengamatan dilakukan pada desa dibagian hulu, tengah, dan hilir dari wilayah
pengamatan.
Keadaan geologi Sub DAS Bungo terdiri dari batuan gunung api dari formasi
Pelepat dan batuan sedimen dan malihan dari formasi Rantaukil. Pada beberapa tempat
baik disebelah hulu dan tengah Sub DAS Bungo terdapat sesar naik turun. Curah hujan
tahunan rata-rata sebesar 2.251 mm, dan terjadi sepanjang tahun dengan curah hujan
bulanan rata-rata 100 mm/bulan. Berdasar klasifikasi Schmidt-Ferguson Sub DAS Bungo
termasuk tipe iklim A. Penggunaan lahan terluas umumnya berupa lahan hutan dan
semak belukar, sedangkan fungsi lahan untuk tujuan budidaya pertanian seperti tegal,
sawah dan penggunaan untuk pemukiman tidak terlalu luas yaitu kurang lebih 10 %.
Keadaan kedua sub das pada Tabel 2.

Tabel 2. Keadaan Sub DAS Merawu dan Sub DAS Bungo


Table 2. The Condition of Merawu Sub Watershed and Bungo Sub Watershed
Luas
Kondisi geologi

Tanah
Lereng (terluas)
Curah hujan
Iklim
Penggunaan lahan

Merawu

Bungo

22.695,2 Ha
Zona pegunungan Serayu
utara bagian tengah, formasi
Merawu, Panjatan, Bodas,
Ligung, Jambangan
Andisol, Entisol, Inseptisol,
Ultisol, Alfisol
>40%
2.081-4.462 mm
A
Pekarangan, hutan, kebun,
sawah, tegalan

41.060 Ha
Batuan gunung api formasi
pelepat dan batuan
sedimen, malihan formasi
rantaukil
Podsolik, sedikit aluvial
dan mediteran
8-15%
2.251 mm
A
Hutan, semak, tegal

Secara umum kedua sub das memiliki perbedaan dalam penggunaan lahan oleh
masyarakat, yang dipengaruhi oleh keadaan jenis tanah. Pada Masyarakat Sub Das
Merawu pemanfaatan lahan terutama untuk tegalan lahan kering dan kebun campuran,
dan berkembang luas terutama di daerah hulu dengan tanaman sayur sebagai tanaman
utama. Sedangkan di Sub DAS Bungo pemanfaatan untuk perkebunan karet dan
selebihnya dibiarkan ditumbuhi semak tidak dikelola, yang diusahakan didaerah tengah
dan hilir. Daerah hulu dibiarkan sebagai hutan karena secara geografis masih sulit untuk
dijangkau dan dikelola.

B.

Aspek Sumber Daya Manusia

1. Penduduk
Penduduk merupakan unsur sosial yang penting untuk diperhatikan, terutama
karena faktor kependudukan dapat mempengaruhi kondisi suatu DAS. Keadaan
penduduk pada wilayah pengamatan pada Tabel 3.

Tabel 3. Jumlah Penduduk, Kepadatan, dan Rumah Tangga Kecamatan di Sub DAS
Merawu
Table 3. Population, Population Density, and Average Household of Sub District at
Merawu Watershed
Kecamatan
Sub district

Luas Wilayah
(Km2)
Total Area

Pejawaran
Pagentan
Madukara
Wanayasa
Karangkobar

52,25
46,19
48,20
82,01
39,07

Penduduk
(Jiwa)
Population
39.761
35.623
39.858
42.184
27.266

Kepadatan
(Jiwa/Km2)
Population
Density
761
827
771
514
698

Rumah Tangga
(KK)
Average
Household
4.2
4.1
4.0
3.9
4.1

Sumber: Kabupaten Banjarnegara Dalam Angka 2002


Laju pertumbuhan penduduk di Sub DAS Merawu adalah 0.01% (Kabupaten
dalam angka, 2002). Secara umum tekanan penduduk terhadap lahan (TP) di Sub DAS
Merawu <1. Keadaan ini menunjukkan bahwa tekanan terhadap lahan masih dapat
dikatakan ringan. Artinya lahan masih memiliki daya dukung terhadap berbagai kegiatan
penduduk saat ini.
Keadaan kependudukan di Sub DAS Bungo yang dalam wilayah pengamatan
hanya diwakili oleh Kecamatan Rantau Pandan pada Tabel 4. Keadaan ini karena
sebagian besar wilayah DAS secara administratif berada pada kecamatan tersebut.

Tabel 4. Jumlah Penduduk, Kepadatan, dan Rumah Tangga Kecamatan di Sub DAS
Bungo
Table 4. Population, Population Density, and Average Household of Sub District at
Bungo Watershed
Kecamatan
Sub district

Luas Wilayah
(Km2)
Total Area

Rantau Pandan

1.124,26

Penduduk
(Jiwa)
Population

Kepadatan
(Jiwa/Km2)
Population
Density
14.528
13

Rumah Tangga
(KK)
Average
Household
3.652

Sumber: Kabupaten Bungo Dalam Angka 2002


Laju pertumbuhan penduduk di Sub DAS Bungo 0.029% (Kabupaten dalam
angka, 2002). Berdasarkan indikator tekanan penduduk (TP) Sub DAS Bungo
dikategorikan ringan (<1). Hal ini karena aktivitas penduduk terhadap lahan belum
mempengaruhi keadaan lingkungan. Lahan masih dapat menampung lebih banyak
penduduk, meskipun perlu diwaspadai pada lima tahun mendatang tekanan penduduk
akan bertambah tinggi.

Keadaan rendahnya tekanan penduduk baik di Sub DAS Merawu maupun di Sub
Das Bungo disebabkan oleh faktor yang berbeda. Di Sub DAS Merawu keadaan ini
terutama disebabkan karena makin banyaknya penduduk yang mulai bekerja diluar
bidang pertanian (15,6%), sehingga meskipun proporsi petani cukup dominan dalam
populasi (84,4%) secara keseluruhan jumlahnya mulai menurun. Sedangkan rendahnya
angka tekanan penduduk di Sub DAS Bungo lebih disebabkan karena luasnya lahan
pertanian yang dimiliki, dan rendahnya jumlah penduduk meskipun proporsi jumlah
petani dalam populasi cukup banyak.

2. Mata Pencaharian
Mata pencaharian sebagian besar penduduk di Sub DAS Merawu adalah bidang
pertanian, maka tidak semua permintaan akan lahan dapat terpenuhi. Penduduk yang
tidak memiliki lahan pertanian, kemudian bekerja disektor lain, dan bagi yang tidak

Prosentase

memiliki modal dan ketrampilan bekerja sebagai buruh tani.

120
100

100

100

87.5

100
85.7

80
60
40
20

14.3

12.5

0
Merawu

Merawu

Merawu

Hulu Atas

Hulu Bawah

Hilir

Urang Atas

Urang
Bawah

Sub-sub DAS
Pertanian

Non Pertanian

Gambar 1. Mata Pencaharian Responden Sub DAS Merawu


Figure 1. The Livelihood of Respondents at Merawu Sub Watershed

Hasil survey menunjukkan bahwa responden umumnya memiliki pekerjaan pokok


sebagai petani. Pada responden Sub-sub DAS Merawu hulu atas umumnya (83,3%) tidak
memiliki pekerjaan sampingan, sehingga mereka hanya mengandalkan penghasilan dari
lahan pertanian. Sedang pada responden Sub-sub DAS Merawu hulu bagian bawah dan

Sub-sub DAS Merawu hilir, hampir semuanya memiliki pekerjaan sampingan antara lain
sebagai pedagang, peternak, tukang batu dan sebagainya.
Responden Sub-sub DAS Urang atas juga melakukan pekerjaan sampingan
sebagai pedagang dan peternak untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Demikian juga
pada responden Sub-sub DAS Urang bawah, sebanyak 33,3% responden bekerja sebagai
petani dan buruh tani. Pekerjaan sampingan dilakukan untuk mengisi waktu luang diselasela menunggu panen, atau pada saat musim kemarau karena lahan tidak diusahakan
secara maksimal.
Nilai LQ yang digunakan untuk menentukan sektor ekonomi yang berpengaruh
terhadap kegiatan penduduk menunjukkan bahwa di Kecamatan Wanayasa, Pejawaran,
Karangkobar, dan Madukara LQ sektor pertanian 1<. Sedangkan nilai LQ sektor
pertanian di Kecamatan Pagentan <1. Berdasar data tersebut menunjukkan bahwa
kegiatan dasar masyarakat Sub DAS Merawu masih dipengaruhi sektor pertanian,
sehingga kebutuhan lahan pertanian cukup tinggi.
Komposisi mata pencaharian terbesar penduduk Sub DAS Bungo adalah di sektor
pertanian baik sebagai petani pemilik maupun sebagai buruh tani. Berbeda dengan petani
di Sub DAS Merawu yang lebih dominan mengembangkan tanaman semusim, petani di
Sub DAS Bungo, umumnya mengembangkan perkebunan.

Persentasi

100

93.3

88.8

78.6

80
60
40
20

11.2

6.7

21.4

0
Bungo Hulu

Bungo Tengah

Bungo Hilir

Sub-sub DAS
Pertanian

Non Pertanian

Gambar 2. Mata Pencaharian Responden Sub DAS Bungo


Figure 2. The Livelihood of Respondents at Bungo Sub Watershed

10

Pada daerah hulu Sub DAS Bungo, responden yang memiliki mata pencaharian
utama sebagai petani sebanyak 88,8%. Dari responden yang bekerja sebagai petani,
sebanyak 38,9% tidak memiliki lahan yang dapat ditanami dengan tanaman karet oleh
karenanya mereka bekerja sebagai buruh sadap karet. Beberapa petani pemilik kebun
karet masih melakukan pekerjaan sampingan sebagai buruh sadap karet pada lahan milik
orang lain untuk menambah pendapatan keluarga. Sedangkan umumnya bekerja diluar
bidang pertanian seperti pertukangan untuk menambah penghasilan keluarga. Pekerjaan
sampingan diluar sektor pertanian umumnya dilakukan pada saat musim penghujan,
dimana pekerjaan menyadap karet tidak mungkin dilakukan.
Sedang responden bagian tengah Sub DAS Bungo yang memiliki pekerjaan utama
sebagai petani sebanyak 93,3%, selebihnya pada sektor lain seperti perdagangan. Semua
responden memiliki kebun yang ditanami karet, sehingga penghasilan utama berasal dari
hasil tanaman karet.
Sebagian responden daerah hilir mengembangkan pertanian tanaman semusim
dan kurang mengembangkan tanaman karet. Untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga
mereka bekerja sebagai pedagang, tukang kayu, tukang batu, dan buruh sadap karet.
Umumnya petani pemilik kebun karet tetap bekerja sebagai buruh sadap karet untuk
menambah penghasilan keluarga, karena sempitnya luas kebun karet yang dimiliki.
Kegiatan dasar yang paling dominan pada masyarakat Sub DAS Bungo adalah
sektor pertanian seperti ditunjukkan oleh nilai LQ sektor pertanian 1<. Besarnya
ketergantungan pada sektor pertanian belum banyak berpengaruh pada kondisi
lingkungan karena masih dapat diimbangi oleh ketersediaan lahan.

3. Pendidikan
Sebagian besar responden Sub DAS Merawu hanya memiliki pendidikan
setingkat sekolah dasar (86,67 %), terutama pada mereka yang bekerja di sektor
pertanian. Akibat rendahnya pendidikan dan pemahaman, praktek usaha tani yang
dilakukan petani terkadang belum sesuai dengan kaidah konservasi tanah yang benar.
Penterasan yang dilakukan belum sempurna, sehingga masih memungkinkan terjadinya
erosi tanah.

11

Meskipun penduduk yang memiliki pendidikan dasar cukup dominan, tetapi


sudah cukup banyak penduduk yang dapat menikmati pendidikan lebih tinggi terutama di
Kecamatan Wanayasa sebanyak 1,6% penduduknya telah dapat mengenyam pendidikan
hingga perguruan tinggi. Keadaan ini terutama karena dukungan hasil pertanian yang
memililiki nilai ekonomi tinggi seperti kentang, teh, tembakau, dan kopi, dan tanaman
untuk bahan dasar industri pasta gigi yaitu tanaman mint.
Sebagian besar (55,3%) penduduk di Sub DAS Batang Bungo memiliki
pendidikan setingkat sekolah dasar. Dengan pendidikan yang rendah masyarakat tidak
memiliki pilihan lain kecuali menekuni pekerjaan sebagai petani, yang umumnya telah
dilakukan secara turun temurun. Dengan semakin bertambahnya penduduk yang memiliki
mata pencaharian sebagai petani, maka permintaan akan lahan pertanian juga meningkat.
Berdasar survey lapangan jumlah petani Sub DAS Bungo yang memiliki pendidikan
SLTP dan SLTA lebih banyak (42,6%) dari responden petani Sub DAS Merawu yang
hanya 13,3%.

C.

Budaya Pertanian
Pola pemanfaatan lahan di Sub DAS Merawu berbeda untuk bagian atas, bawah,

dan hilir. Pada bagian hulu atas umumnya berupa lahan kering yang dimanfaatkan untuk
budidaya tanaman sayuran. Padi tidak untuk dikembangkan di wilayah atas, sehingga
jagung menjadi makanan pokok masyarakat sehari-hari. Pada bagian bawah Sub-sub
DAS Merawu maupun Sub-sub DAS Urang, masyarakat umumnya mengembangkan
tegalan, kebun campuran, sawah tadah hujan, dan sayuran. Tanaman kayu banyak
ditanam oleh penduduk, selain tanaman buah-buahan. Sedang pada bagian Sub-sub DAS
Merawu hilir, kebun campuran dan sawah irigasi lebih dominan dikembangkan
penduduk. Luas lahan yang dimiliki responden pada Gambar 3.

12

Urang Bawah

Merawu Hulu

(1,6 ha)

Atas (1,6 ha)

Merawu Hulu
Bawah (0,3 ha)

Merawu Hilir

Urang Atas

(1,4 ha)

(3,6 ha)

Gambar 3. Luas Rata-rata Kepemilikan Lahan Responden Sub DAS Merawu


Figure 3. The Everage Area of Land Ownership at Merawu Sub Watershed
Padi masih merupakan tanaman pokok sehingga dari tahun ke tahun diupayakan
peningkatan produksinya, terutama untuk memenuhi kebutuhan setempat. Namun
demikian pada kenyataannya jumlah total produksi padi, baik padi sawah maupun padi
ladang dalam wilayah tersebut terus mengalami penurunan akibat menurunnya luas panen
atau berkurangnya lahan sawah. Pada Kecamatan Wanayasa, Pejawaran, Pegentan,
maupun Karangkobar tidak terdapat saluran irigasi teknis. Oleh karena itu untuk mengairi
sawahnya penduduk membangun saluran irigasi setengah teknis secara swadaya guna
mengalirkan air dari sungai ke sawah.
Pada lahan-lahan

yang hanya mendapatkan

pengairan dari air

hujan

dikembangkan tanaman palawija dan sayuran. Namun demikian karena permintaan


penduduk akan lahan yang semakin meningkat untuk fungsi-fungsi yang lain seperti
perumahan, dan industri terdapat kecenderungan luas lahan pertanian mengalami
penurunan.
Penyebab menurunnya hasil pertanian selain menurunnya luas panen, juga karena
lahan mulai berkurang kesuburannya akibat tingginya intensitas penggunaan lahan.
Lahan yang mulai berkurang kesuburannya kemudian ditanami tanaman ketela pohon dan
tanaman perkebunan. Masyarakat petani Kecamatan Wanayasa dan Pejawaran tidak
memiliki kebiasaan menanam tanaman kayu. Tanaman kayu selain dianggap
mengganggu pertumbuhan tanaman semusim dan tanaman sayur, juga dianggap
mengurangi

bidang olah

sehingga

dapat

mengurangi

produktivitas

pertanian.

Pengetahuan petani mengenai konservasi cukup baik, lahan pertanian telah dibuat teras,
13

meskipun pada beberapa lahan teras yang dibuat belum sempurna. Belum sempurnanya
teras terutama pada lahan yang ditanami tanaman sayur, dilakukan dengan sengaja oleh
petani untuk memperlancar sistem drainase yang lebih cepat guna menghindari
pembusukan tanaman. Petani juga merasa enggan menanam tanaman tampingan teras
seperti rumput dan Glyricideae untuk mencegah erosi karena mengganggu pertumbuhan
tanaman semusim. Petani pada umumnya kurang memiliki analisis mengenai usaha tani
sehingga cenderung menanam satu jenis tanaman secara bersamaan, akibatnya pada saat
panen raya tiba harga produksi pertanian menjadi jatuh dan seringkali keuntungan tidak
sesuai dengan yang diharapkan.
Masyarakat Sub DAS Bungo sangat mengandalkan usaha taninya pada hasil dari
perkebunan karet. Masyarakat juga mengembangkan kegiatan persawahan, namun hanya
dilakukan pada lahan di sepanjang tepian sungai. Hal ini karena saluran irigasi belum
tersedia, sehingga air untuk sawah diperoleh dari sungai dengan membangun kincirkincir sebagai penyalur air. Pertanian tanaman semusim tidak dikembangkan secara
intensif, petani hanya menanam padi satu kali dalam setahun. Bibit padi yang digunakan
adalah padi lokal, dengan umur 6 bulan. Petani hampir tidak pernah melakukan
pemupukan, selain karena keterbatasan modal juga karena alasan kebiasaan. Luasnya
lahan yang dimiliki oleh masing-masing petani dan sedikitnya tenaga kerja yang tersedia
untuk menggarap lahan, menyebabkan beberapa lahan persawahan dibiarkan saja sebagai
semak belukar dan tidak dikelola. Luas lahan rata-rata yang dimiliki petani seperti pada
Gambar 4.
Bungo Hulu
Bungo Hilir

(2,05 ha)

(3,16 ha)

Bungo
Tengah
(2,39 ha)

Gambar 4. Luas Rata-rata Kepemilikan Lahan Responden Sub DAS Bungo (Ha)
Figure 4. The Average Area of Land Ownership at Bungo Sub Watershed

14

Curahan tenaga kerja petani terutama difokuskan untuk mengelola tanaman


perkebunan (karet). Pada tanaman perkebunan juga tidak dilakukan pemeliharaan yang
berarti. Tanaman yang ditanam dibiarkan tumbuh, dan selama menunggu tanaman dapat
dipanen biasanya petani mengerjakan pekerjaan lain seperti buruh, pertukangan, dan
sebagainya. Penyadapan dilakukan pada musim kemarau, sedang pada musim penghujan
petani tidak melakukan kegiatan penyadapan. Pada umumnya penyadapan dilakukan
bersama-sama anggota keluarga karena luasnya lahan kebun. Jika anggota keluarga tidak
memungkinkan biasanya mereka dibantu oleh beberapa tenaga kerja lain. Dari hasil
penyadapan pemilik kebun mendapatkan hasil sepertiganya, sedangkan selebihnya
menjadi hak penyadap.

D.

Pendapatan Petani
Pendapatan petani yang sangat diandalkan untuk memenuhi kebutuhan hidup di

Sub DAS Merawu terutama diperoleh dari hasil lahan pertaniannya mencapai lebih dari
95,2% dari total pendapatan keluarga, meskipun kadang tidak mencukupi. Tingkat
pendapat responden dari hasil pertanian dan lainnya pada seperti Tabel 5.

Tabel 5. Rata-rata Tingkat Pendapatan Responden Sub DAS Merawu


Table 5. The Average Income of respondent at Merawu Sub Watershed
Sumber
pendapatan
(Income
Resource)
Sawah
Pekarangan
Kebun
Tegalan
Hutan
Dagang
Lain-lain
Jumlah

Merawu hulu (Upper Merawu)


Atas (upper
Bawah (lower
course)
course)
%
Juml
%
Juml
(Total)
(Total)
(Rp)
(Rp)
724.884

36,7

1.183.872

0
0
59,9

11.163
56.797

0
0,6
2,9

1.976.756

100

1.37.750
-

6.7
0
0

1.754.813
18.750

88,5
0
0,9

76.250
2.121.000

3,8
100

Merawu hilir
(Lower Merawu)
Juml
(Total)
(Rp)

Urang
Atas (upper
Bawah (lower
course)
course)
Juml
%
Juml
%
(Total)
(Total)
(Rp)
(Rp)

1.047.778

30,6

782.143

4,0

1.047.778

30,6

83.333
105.556
1.642.333

2,4
3,1
48,0

377.143
18.174.286

0
1,9
91,8

83.333
105.556
1.642.333

2,4
3,1
48,0

541.667

0
0
15,8

85.714
373.000

0
0,4
1,9

541.667

0
0
15,8

3.420.667

100

19.792.286

100

3.420.667

100

Pendapatan petani yang tinggi terutama diperoleh dari tanaman sayuran, terutama
tanaman kentang seperti di Sub-sub DAS Urang. Meskipun masyarakat setempat
menyadari bahwa sistem budidaya tanaman kentang yang dipraktekkan mengakibatkan

15

erosi yang tinggi, namun karena nilai ekonominya yang tinggi mereka tetap meneruskan
usaha tani tersebut. Sedang pada daerah bawah hasil dari lahan pertanian lebih rendah,
terutama karena tanaman yang ditanam berupa kebun campuran yang tidak memiliki nilai
ekonomi tinggi.
Sedang pada responden di Sub DAS Bungo sebagian besar pendapatan penduduk
diperoleh dari hasil kebun dan sawah tadah hujannya yang mencapai lebih dari 68,3%
dari total pendapatan keluarga. Pendapatan responden Sub DAS Bungo ditunjukkan pada
Tabel 6.

Tabel 6. Rata-rata Tingkat Pendapatan Responden Sub DAS Bungo


Table 6. The Average Income of Respondent at Bungo Sub Watershed
Sumber
Pendapatan
(Income
Resource)
Sawah
Pekarangan
Kebun
Tegalan
Hutan
Dagang
Lain-lain
Jumlah

Hulu (Upper course)


Juml (Total)
(Rp)
115.882
88.339
899.981
621.194
6.944
733.777
1.844.923

%
4,7
3,6
36,4
25,2
0,3
0
29,8
100

Tengah (Midle
course)
Juml (Total)
%
(Rp)
214.067
6,6
0
2.754.000
84,5
43.467
1,33
0
80.000
2,5
166.667
5,1
3.258.201
100

Hilir (Lower course)


Juml (Total)
(Rp)
471.429
42.857
2.601.200
85.714
1.344.999
4.536.199

%
10,4
1,0
57,3
0
0
1,9
29,4
100

Pendapatan terbesar diperoleh dari hasil kebun yang ditanami karet sebagai tanaman
utama. Pendapatan lain-lain diperoleh dari bekerja sebagai buruh karet, bertukang, dan
usaha lainnya. Pekerjaan ini tidak selalu dilakukan, sehingga hasilnya juga tidak dapat
diharapkan secara pasti.

E.

Pemanfaatan dan Pengelolaan Lingkungan


Komunitas masyarakat desa telah mengalami berbagai kontak budaya dengan

masyarakat luar, sehingga berbagai pengetahuan dan teknologi baru kemudian menjadi
bagian dari sistem kehidupan mereka. Namun setiap masyarakat memiliki interpretasi
yang beragam mengenai bagaimana mereka memperlakukan pengetahuan pada sistem
kehidupan mereka. Secara umum masyarakat desa memiliki ketergantungan yang besar
terhadap sumber daya alam, sebab kebutuhan hidup sehari-hari dipenuhi dari
memanfaatkan hasil alam secara langsung. Kegiatan pertanian tanaman pangan

16

merupakan kegiatan utama masyarakat desa, meskipun setiap komunitas memiliki polapola yang berbeda dalam mengelola sumber daya alamnya.
Berdasarkan tingkat pengetahuan yang dimiliki, masyarakat desa di Sub DAS
Merawu memiliki pengetahuan dan teknologi yang lebih maju daripada masyarakat di
Sub DAS Bungo, meskipun beberapa petani Sub DAS Merawu masih mengembangkan
teknologi tradisional dalam mengolah lahannya. Secara umum petani di Jawa telah
mengembangkan persawahan secara luas dengan cara menetap dan sistem irigasi yang
baik. Namun karena perkembangan penduduk yang pesat, luas rata-rata lahan yang
dimiliki petani sangat sempit. Karena sempitnya lahan yang dimiliki, sementara
ketergantungan terhadap lahan yang sangat tinggi akibat peningkatan akan kebutuhan
hidup, maka lahan di Jawa dikelola dengan lebih intensif. Lahan hampir tidak pernah
dibiarkan menganggur sepanjang tahun. Untuk tetap menjaga kesuburan tanahnya, petani
melakukan pergiliran tanaman dan pemupukan. Walaupun demikian karena intensifnya
pemanfaatan lahan, tanah saat ini cenderung mulai berkurang kesuburannya. Indikator
menurunnya tingkat kesuburan dapat dilihat dari peningkatan penggunaan pupuk pada
tanaman, dan hasil panen yang selalu mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Hasil
dari usaha pertanian terutama untuk tujuan komersial (dijual), jika ada kelebihan baru
untuk konsumsi sendiri.
Tingginya permintaan akan lahan di Sub DAS Merawu khususnya dan di Jawa
pada umumnya, menyebabkan masyarakat mulai melakukan perambahan ke daerahdaerah yang tidak sesuai dengan kemampuan lahannya. Akibat keadaan ini lingkungan
mulai mengalami berbagai kerusakan, dan akibat yang dirasakan penduduk terutama di
desa adalah kekeringan pada saat musim kemarau. Hampir setiap tahun lahan pertanian
mengalami puso dengan luasan yang semakin bertambah, bahkan di beberapa daerah
seperti di daerah Sub-sub DAS Urang atas pada musim kemarau lahan sama sekali tidak
dapat ditanami.
Sedangkan petani di Sub DAS Bungo masih mengembangkan pola perladangan
berpindah. Hal ini dimungkinkan karena lahan yang tersedia masih cukup luas. Saat ini
perladangan berpindah dilakukan pada tanah milik, tetapi dimungkinkan dilakukan pada
lahan yang dianggap tidak bertuan. Perladangan dengan sistem berpindah ini dilakukan
dengan dua cara yaitu, pertama secara tumpang sari dengan tanaman karet sebagai

17

tanaman pokok, ketika tanaman karet sudah mulai tinggi dan menaungi tanaman semusim
perladangan dihentikan dan berpindah pada daerah lain. Kedua, membuka lahan dengan
cara tebang-bakar-tanam, setelah 2-3 kali panen dan dirasa tanah sudah mulai tidak subur
lagi, penanaman tanaman semusim kemudian dilakukan dilokasi lain. Hasil pertanian
tanaman pertanian digunakan untuk kebutuhan sendiri (subsisten).
Subsisten adalah sebutan untuk pangan yang diambil dari sumber daya alam yang
ada, serta lebih ditujukan untuk konsumsi sendiri daripada untuk tujuan perdagangan
(Marzali, 2002). Kegiatan pertanian ini dilakukan dengan teknologi yang sangat
sederhana, sehingga kerusakan lingkungan akibat penggunaan teknologi bisa diabaikan.
Sementara hasil pertanian untuk tujuan subsisten, hasil dari tanaman perkebunan seperti
karet, sawit dan lain-lain digunakan untuk tujuan komersial. Pengelolaan tanaman
perkebunan ini juga dilakukan dengan sederhana tanpa masukan teknologi. Hutan dibuka
untuk perkebunan, kemudian setelah bibit ditanam dibiarkan begitu saja tanpa
pemeliharaan. Kemudian jika memungkinkan beralih membuka daerah lain, begitu
seterusnya. Jika tanaman perkebunan dirasa sudah layak panen, kemudian dilakukan
pemanenan dengan pemeliharaan hanya berupa penyiangan yang dilakukan sewaktuwaktu disela-sela kegiatan pemungutan hasil. Tidak intensifnya pengelolaan lahan
membawa pengaruh positif keadaan lingkungan masih cukup terjaga.
Namun demikian pemanfaatan lahan yang tidak memenuhi kaidah kesesuaian dan
kemampuan lahan lama kelamaan akan membawa dampak buruk yang makin meluas.
Alih fungsi kawasan lindung sebagai daerah budidaya pertanian dapat mengakibatkan
terjadinya bahaya banjir dan tanah longsor pada musim penghujan, dan kekeringan
dimusim kemarau. Oleh sebab itu pengelolaan lahan dalam suatu DAS harus dilakukan
sebijaksana mungkin, dan kondisi ini harus benar-benar ditekankan kepada masyarakat
petani agar mereka mengerti dan memahaminya, serta bersedia melakukan kegiatan
konservasi terutama untuk mengurangi kerusakan lingkungan.

F.

Stratifikasi Sosial dan Hubungan Kemasyarakatan


Studi tentang kehidupan sosial ekonomi petani di pedesaan Jawa mengungkapkan

bahwa struktur agraris di pedesaan Jawa ditandai oleh ketimpangan distribusi penguasaan
tanah yang cukup tajam (Amaludin, 1987). Amaludin membagi struktur petani

18

berdasarkan luas kepemilikan lahan yaitu, petani besar yang menguasai tanah pertanian >
1 Ha, petani menengah menguasai 0.5 Ha-0.99 Ha, petani kecil menguasai 0.25 Ha-0.49
Ha, dan petani gurem menguasai < 0.25 Ha. Struktur penguasaan tanah menjadi faktor
penentu struktur sosial masyarakat petani.
Berdasar luas kepemilikannya terdapat variasi luas kepemilikan lahan berdasar
kondisi geografis. Sebanyak 86% responden Sub-sub DAS Urang atas memiliki lahan >1
Ha, pada responden Sub-sub DAS Urang bawah hanya 33% responden yang memiliki
lahan > 1 Ha, sedang pada responden Sub-sub DAS Merawu hulu atas 25% memiliki
lahan > 1 Ha, responden Sub-sub Das Merawu hulu bawah dan Sub-sub DAS Merawu
hilir hanya memiliki lahan dibawah < 0.5 Ha. Semakin hilir, luas tanah yang dimiliki
petani menjadi semakin sempit. Hal ini karena luas lahan yang semakin tidak sesuai
dengan perkembangan jumlah penduduk, dan harga tanah yang semakin mahal.
Ketimpangan kepemilikan tanah membawa kecenderungan pada hubungan secara sosial
baik pada kedudukan maupun peranan dalam masyarakat. Petani pemilik lahan luas
umumnya memiliki kedudukan relatif lebih tinggi dalam masyarakat dan dikategorikan
sebagai masyarakat elite desa, hal ini sesuai dengan penelitian Amaludin (1987) yang
menyatakan bahwa petani penguasa tanah memegang posisi dominasi dalam struktur
desa.
Struktur sosial masyarakat bersifat komunal, dimana hubungan lebih bersifat
personal kekerabatan berdasar nilai-nilai budaya Jawa. Kerjasama dalam kerangka
hubungan komunal diwujudkan dalam bentuk tindakan kolektif seperti gotong royong.
Konflik-konflik yang muncul sedapat mungkin diredam, dengan cara-cara kekeluargaan.
Hal ini terutama untuk menjaga keharmonisan hubungan sosial dalam masyarakat. Pada
pengambilan keputusan bersama masyarakat desa, solidaritas komunal masih menjadi
dasar pertimbangan pada dampak terhadap kerukunan dan stabilitas sosial.
Struktur petani di luar Jawa berdasar luas kepemilikan lahannya memiliki pola
yang berbeda. Struktur petani diklasifikasikan sebagai petani besar yang menguasai luas
tanah >3 Ha, petani menengah yang menguasai luas tanah 2 Ha-2,99 Ha, petani kecil
menguasai 1 Ha-1,99 Ha, dan petani gurem <1 Ha. Berdasarkan luas kepemilikannya
sebanyak 27,8% responden Sub DAS Bungo Hulu termasuk petani besar dengan luas
lahan >3 Ha, 11,1% responden termasuk petani menengah, 27,8% petani kecil, dan
19

33,3% adalah petani gurem. Pada Sub DAS Bungo tengah 33,3% adalah petani besar,
40% petani menengah, dan 26,7% adalah petani kecil. Sedang pada responden Sub DAS
Bungo hilir 50% merupakan petani besar, 7,1% adalah petani menengah, 28,6%
dikategorikan petani kecil, dan 14,3% adalah petani gurem yang hanya menguasai lahan
<1 Ha. Terdapat perbedaan yang mencolok dimana di daerah hulu jumlah petani gurem
lebih banyak daripada daerah hilir. Keadaan ini disebabkan sulitnya kondisi di hulu
mengakibatkan luas lahan yang dapat dikelola penduduk terbatas, dibanding di hilir yang
secara geografis lebih baik sehingga penduduk lebih bisa mengolah tanah luas.
Struktur masyarakat juga bersifat komunal, masing-masing kelompok masyarakat
berkumpul dan membentuk komunitas desa. Masyarakat memiliki ikatan yang sangat erat
pada pemimpinnya, namun masyarakat tetap memiliki akses untuk menyalurkan
aspirasinya. Tidak selalu elite desa didominasi oleh penguasa tanah, namun lebih
berdasar pada kemampuan seseorang. Berbeda dengan masyarakat Jawa yang selalu
berusaha menjaga keselarasan hidup dengan menghindari konflik, masyarakat di SUB
DAS Bungo lebih terbuka pada konflik. Namun mereka tetap mengembangkan cara
menjaga keselarasan hidup dengan melakukan berbagai dialog sehingga aspirasi dari
setiap kepentingan tersalurkan, dan tidak ada kelompok masyarakat tertentu yang merasa
dirugikan
VI. KESIMPULAN
1. Komposisi mata pencaharian terbesar penduduk di Sub DAS Merawu dan Sub DAS
Bungo adalah pertanian, dan pendapatan utama petani terbesar terutama berasal dari
sektor pertanian yaitu pertanian lahan kering di Sub DAS Merawu dan perkebunan
karet di Sub DAS Bungo. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kegiatan dasar
penduduk dipengaruhi oleh sektor pertanian. Kondisi ini ditunjukkan dengan nilai
LQ>1 yang berarti kebutuhan akan lahan fungsinya sebagai lahan pertanian masih
cukup tinggi.
2. Meskipun ketergantungan penduduk dikedua daerah penelitian pada sektor pertanian
sangat tinggi, tekanan penduduk terhadap lahan (TP) baik di Sub DAS Merawu
maupun di Sub DAS Bungo masih dapat dikategorikan ringan, dalam pengertian
lahan masih memiliki daya dukung terhadap berbagai kegiatan penduduk saat ini.

20

3. Keadaan alam di Jawa yang subur memungkinkan petani mengembangkan tanaman


semusim, dan karena pertumbuhan penduduk yang tinggi permintaan akan hasil
pertanian tanaman pangan sangat tinggi sehingga lahan pertanian di Sub DAS
Merawu

dikelola

dengan

intensif

dengan

menggunakan

teknologi

untuk

meningkatkan hasil pertaniannya, akibatnya lingkungan mulai mengalami kerusakan.


Sedangkan kondisi alam di Sub DAS Bungo lebih cocok bagi pengembangan
tanaman perkebunan terutama karet daripada tanaman semusim, pengelolaan tanaman
dilakukan secara sederhana tanpa masukan teknologi sehingga pengaruhnya pada
kerusakan lingkungan dapat diabaikan.
4. Pendapatan utama petani diperoleh dari lahan pertaniannya. Di Sub DAS Merawu
kontribusi terbesar terutama berasal dari hasil tegalan, hasil pertanian tanaman
semusim ini terutama untuk tujuan komersial. Sedangkan di Sub DAS Batang Bungo
kontribusi terbesar pada pendapatan keluarga terutama dari hasil tanaman
perkebunan, sedang hasil tanaman semusim untuk kebutuhan sendiri.
5. Stratifikasi sosial masyarakat Di Sub DAS Merawu sangat dipengaruhi oleh luas
kepemilikan lahan, dan keadaan ini berpengaruh pada kedudukan seseorang dalam
hubungan sosial kemasyarakatan. Umumnya petani di Sub DAS Merawu memiliki
lahan kurang dari 1 Ha, hanya sebanyak 33,3% dari seluruh responden yang termasuk
sebagai petani berlahan luas. Sedang pada masyarakat Sub DAS Bungo sebanyak
36,2% adalah petani besar dengan luas kepemilikan lahan lebih dari 3 Ha, dan
kedudukan seseorang dalam masyarakat tidak dipengaruhi oleh ketimpangan
kepemilikan tanah, tetapi lebih kepada kemampuan yang dimiliki seseorang.

DAFTAR PUSTAKA

Amaludin, M. 1987. Kemiskinan dan Polarisasi Sosial : Studi Kasus di Desa Bulugede,
Kabupaten Kendal Jawa tengah. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta.
BPS. 2002. Banjarnegara Dalam Angka. BPS Kabupaten Banjarnegara.
BPS. 2002. Bungo Dalam Angka. BPS Kabupaten Bungo.

21

Departemen Kehutanan. 2001. Rencana Teknik Lapangan Rehabilitasi Lahan dan


Konservasi Tanah Sub DAS Merawu DAS Serayu. BRLKT Opak Progo Serayu.
Yogyakarta.
De Vries, E. 1985. Pertanian dan Kemiskinan di Jawa. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
Marzali, A. 2002. Pengelolaan Lingkungan Sosial. Kantor Menteri Negara Lingkungan
Hidup. Jakarta.
MOF, UNDP, FAO. 1985. Assistance to Watershed Management Programs. Indonesia.
Applied Research Needs and Soil Conservation Techniques for Field Trial in The
Outer Islands. Ag: DP/INS. 83/034. Field Doc. Solo.
Paimin. 2003. Kajian Karakteristik Daerah aliran Sungai. Laporan Pengkajian dan
Penerapan Hasil Penelitian Kehutanan. BP2TPDAS-IBB. Departemen Kehutanan.
Surakarta.
Poerwanto. H. 2000. Kebudayaan dan Lingkungan dalam Perspektif Antropologi.
Penerbit Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Puslitbang Pengairan. 1998. Data Tahunan Debit Sungai. Departemen Pekerjaan Umum.
Jakarta.
Seyhan, E. 1977. Fundamentals of Hydrology. Terjemahan. S. Subagyo.1990. DasarDasar Hidrologi. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Sutopo,H.B. 2002. Metode Penelitian Kualitatif. Sebelas Maret University Press.
Surakarta.
Zaeni, W.A. 1987. Konsep-konsep Dasar Sosiologi Dalam Pengelolaan Daerah Aliran
Sungai. Ditjen RRL. Jakarta.

22

You might also like