Download as doc, pdf, or txt
Download as doc, pdf, or txt
You are on page 1of 23

Muqaddimah Qanun Asasi NAHDLOTUL

'ULAMA' (Pidato Rois Akbar Hadratus Syekh


Hasyim Asyari )

Marilah anda semua


dan segenap pengikut anda dari
golongan para fakir miskin, para hartawan, rakyat
jelata dan orang-orang kuat,
berbondong-bondong masuk Jamiyyah yang diberi
nama Jamiyyah Nahdlatul Ulama ini. Masuklah
dengan penuh kecintaan,
kasih sayang, rukun, bersatu
dan dengan ikatan jiwa raga.
Kutipan Seruan Hadratus Syech
KH. Muhammad Hasyim Asyary
dalam Muqaddimah Qanun Asasi,
Surabaya, 1926.
====================================================================

Muqaddimah Qanun Asasi


(Pidato Rois Akbar: Garis Perjuangan NU)
Konsep Kembali ke Khittah
(Keputusan Muktamar XXVII Situbondo 1984)
Sembilan Pedoman Berpolitik NU
(Keputusan Muktamar XXVIII Krapyak 1989)
Istiqamah dalam Khittah NU:
Penguatan Posisi Politik Masyarakat Terhadap Negara
Sumber Tulisan:
Lampiran:
Qaraar Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama'

Keputusan Mustasyar Pengurus Besar


Nahdlatul Ulama'

=============================
===================

Muqaddimah Qanun Asasi


sebagai Garis Perjuangan dan Jati Diri NU:
Pidato Rois Akbar Hadratus Syekh Hasyim Asyari
]pada Saat didirikannya NU pada 16 Rajab 1344 H di Surabaya [1




).( 251 /


).( 269 /
) .(46 -45 /
: .


) .(125/

) .(18-17/



) .(111/

.
).( 153/

.

.


).( 59 /

) (157 /
.

).( 1 /

[1] Diterjemahkan oleh K.H.A. Musthofa Bisri, Rembang, Menjelang Muktamar ke 27 di


Situbondo

==================================================
========


).( 1 3 /

).( 28/

)( 23 /
.


).( 119 /

).( 15/


).( 7/

).( 36/

.
.


). ( 7 /

).( 115 /



).( 25/








) .( 6 /


) .( 21/

) .( 22/

). ( 104 /



).( 2 /


) . ( 200/



) . ( 103/



).( 46/

) .( 10/



).( 68-66/

).( 69/
) .( 10/

( 38 /) .

( 10/) .

( 56 /) .

Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan Al Quran kepada hamba Nya
agar menjadi pemberi peringatan kepada sekalian umat dan menganugerahinya
hikmah serta ilmu tentang sesuatu yang Ia kehendaki. Dan barangsiapa dianugerahi
hikmah, maka benar-benar mendapat keberuntungan yang melimpah.
Allah Taala berfirman (yang artinya): Wahai nabi, Aku utus engkau sebagai
saksi, pemberi kabar gembira dan penyeru kepada (agama) Allah serta sebagai
pelita yang menyinari. (Q.S. Al Ahzab:45-46)
Serulah ke jalan Tuhanmu dengan bijaksana, peringatan yang baik dan
bantahlah mereka dengan yang lebih baik. Sesungguhnya Tuhanmulah yang
mengetahui siapa yang sesat dari jalan Nya dan Dia Maha Mengetahui orang-orang
yang mendapat hidayah. (Q.S. An Naml:125)
Maka berilah kabar gembira hamba-hambaKu yang mendengarkan perkataan
dan mengikuti yang paling baik dari nya. Merekalah orang-orang yang diberi hidayah
oleh Allah dan merekalah orang-orang yang mempunyai akal. (Az Zumar:17-18)
Dan katakanlah: segala puji bagi Allah yang tak beranakkan seorang
anakpun, tak mempunyai sekutu penolong karena ketidak mampuan. Dan
agungkanlah seagung-agungnya. (Q.S. al Kahfi:111)
Dan sesungguhnya inilah jalan Ku (agama Ku) yang lurus, maka ikutilah dia
dan jangan ikuti berbagai jalan (yang lain) nanti akan mencerai-beraikan kamu dari
jalan Nya. Demikianlah Allah memerintahkan agar kamu semua bertagwa. (Q.S. Al
Anam 153)
Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul; serta ulil
amri diantara kamu, kemudian jika kamu berselisih dalam suatu perkara, maka
kembalikanlah perkara itu kepada Allah dan Rasul kalau kamu benar-benar beriman
kepada Allah dan hari Kemudian. Yang demikian itu lebih bagus dan lebih baik
kesudahannya. (Q.S. An Nisa:59)
Maka orang-orang yang beriman kepadanya, mereka itulah orang-orang
yang beruntung. (Q.S. Al Araf: 157). Dan orang-orang yang datang sesudah
mereka (Muhajirin dan Anshar) pada berdoa: Ya Tuhan ampunilah kami dan saudarasaudara kami yang telah mendahului kami beriman dan janganlah Engkau jadikan
dalam hati kami kedengkian terhadap orang-orang yang beriman; Ya Tuhan kami
sesungguhnya Engkau Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. (Q.S. Al Hasyr:10)
Wahai manusia, sesungguhnya Aku telah menciptakan kamu dari seorang
lelaki danseorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersukusuku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi
Allah adalah orang yang paling bertakwa kepada Allah diantara kamu semua. (Q.S.
Al Hujurat:13)
Sesungguhnya yang takut kepada Allah diantara hamba-hamba Nya
hanyalah Ulama. (Q.S. Al Fathir:58) Diantara orang-orang yang mukmin ada orangorang yang menepati apa yang mereka janjikan kepada Allah, lalu diantara mereka
ada yang gugur dan diantara mereka ada yang menunggu, mereka sama sekali tidak
merubah (janjinya). (Q.S. Al Ahzab:23)
Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kamu kepada Allah dan
beradalah kamu bersama orang-orang yang jujur. (Q.S. At Taubah:119) Dan ikutilah
jalan orang yang kembali kepada Ku. (Q.S. Luqman:15) Maka bertanyalah kamu
kepada orang-orang yang berilmu jika kamu tidak mengetahui. (Q.S. Al Anbiya:7)
Adapun orang-orang yang dalam hati mereka terdapat kecenderungan
menyeleweng, maka mereke mengikuti ayat-ayat yang metasyabihat dari padanya
untuk menimbulkan fitnah dan mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang
mengetahui takwilnya kecuali Allah. Sedangkan orang-orang yang mendalam
ilmunya mereka mengatakan, Kami beriman kepada ayat-ayat mutasyabihat itu,
semuanya dari sisi Tuhan kami. Dan orang-orang yang berakal saja yang dapat
mengambil pelajaran (dari padanya). (Q.S. Ali Imron:7)

Barang siapa menentang Rasul setelah petunjuk jelas padanya dan dia
mengikuti selain ajaran-ajaran orang mukmin, maka Aku biarkan ia menguasai
kesesatan yang telah dikuasainya (terus bergelimang dalam kesesatan) dan Aku
masukkan ke neraka jahanam. Dan neraka jahanan itu adalah seburuk-buruk tempat
kembali; (Q.S. An Nisa:115)
Takutlah kamu semua akan fitnah yang benar-benar tidak hanya khusus
menimpa orang-orang dzalim diantara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah sangat
dahsyat siksa Nya. (Q.S. Al Anfal:25) Janganlah kamu bersandar kepada orangorang dzalim, maka kamu akan disentuh api neraka.
Wahai orang-orang yang beriman, jagalah diri-diri kamu dan keluarga kamu
dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, diatasnya berdiri
Malaikat-malaikat yang kasar, keras, tidak pernah mendurhakai Allah terhadap apa
yang diperintahkan Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang
diperintahkan kepada mereka. (Q.S. At Tahrim:6)
Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang mengatakan, Kami
mendengar, padahal mereka tidak mendengar. (Q.S. Al Anfal:21). Sesungguhnya
seburuk-buruk mahluk melata, menurut Allah, ialah mereka yang pekak (tidak mau
mendengar kebenaran) dan bisu (tidak mau bertanya dan menuturkan kebenaran)
yang tidak berpikir. (Q.S. Al Anfal:22)
Dan hendaklah ada diantara kamu, segolongan umat yang menyeru kepada
kebaikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah kemungkaran. Dan mereka
itulah orang-orang yang beruntung. (Q.S. Ali Imron:104). Dan saling tolong
menolong kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa; janganlah tolong
menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Dan bertaqwalah kamu kepada
Allah, sesungguhnya Allah sangat dahsyat siksa Nya. (Q.S. Al Maidah:2)
Wahai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah
kesabaranmu serta berjaga-jagalah (menghadapi serangan musuh diperbatasan).
Dan bertaqwalah kepada Allah agar kamu mendapat keberuntungan. (Q.S. Ali
Imran:200). Dan berpegang teguhlah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah
dan jangan kamu bercerai-berai, dan ingatlah nimat Allah yang dilimpahkan
kepadamu ketika kamu dahulu bermusuhan lalu Allah merukunkan antara hati-hati
kamu, kemudian kamu pun (karena nimatnya) menjadi orang-orang yang
bersaudara. (Q.S. Ali Imron:103)
Dan janganlah kamu saling bertengkar, nanti kamu jadi gentar dan hilang
kekuatanmu dan tabahlah kamu. Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang
tabah. (Q.S. Al Anfal:46). Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu bersaudara,
maka damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertaqwalah kepada Allah, supaya
kamu dirahmati. (Q.S. Alhujurat:10)
Kalau mereka melakukan apa yang dinasehatkan kepada mereka, niscaya
akan lebih baik bagi mereka dan memperkokoh (iman mereka). Dan kalau memang
demikian, niscaya Aku anugerahkan kepada mereka pahala yang agung dan Aku
tunjukkan mereka jalan yang lempang. (Q.S. An Nisa:66-68). Dan orang-orang
yang berjihad dalam (mencari) keridloanku, pasti Aku tunjukkan mereka jalan Ku,
sesungguhnya Allah benar-benar bersama orang-orang yang berbuat baik. (Q.S. Al
Ankabut:69)
Sesungguhnya Allah dan Malaikat-malaikat bersalawat untuk Nabi. Wahai
orang-orang yang beriman bersalawatlah kamu untuknya dan bersalamlah dengan
penuh penghormatan. (Q.S. Al Ahzab:56). Dan orang-orang yang mengikuti jejak
mereka (Muhajirin dan Anshar) dengan baik, Allah ridla kepada mereka.



: .

."

"



.


.






). (
.

:
*

.







.











. " " . . :
*
.
* .
.



:





. .

"
".




.
.

.
.

.
Amma Badu. Sesungguhnya pertemuan dan saling mengenal persatuan dan
kekompakan adalah merupakan hal yang tidak seorangpun tidak mengetahui
manfaatnya. Betapa tidak. Rasulullah SAW benar-benar telah bersabda yang artinya:
Tangan Allah bersama jamaah. Apabila diantara jamaah itu ada yang memencil
sendiri, maka syaitan pun akan menerkamnya seperti halnya serigala menerkam
kambing. Allah ridla kamu sekalian menyembah Nya dan tidak menyekutukan Nya
dengan sesuatu apapun.
Kamu sekalian berpegang teguh kepada tali (agama) Allah seluruhnya dan
jangan bercerai-berai; Kamu saling memperbaiki dengan orang yang dijadikan Allah
;sebagai pemimpin kamu
Dan Allah membenci bagi kamu,
saling membantah,
banyak tanya
dan menyia-nyiakan harta benda.
Jangan kamu saling dengki, saling menjerumuskan, saling bermusuhan,
saling membenci dan jangan sebagian kamu menjual atas kerugian jualan sebagian
)yang lain dan jadilah kamu, hamba-hamba Allah, bersaudara. (H.R. Muslim
Suatu ummat bagai jasad yang satu.
Orang-orangnya ibarat anggota-anggota tubuhnya.
Setiap anggota punya tugas dan perannya.
Seperti dimaklumi, manusia tidak dapat tidak bermasyarakat, bercampur
dengan yang lain; sebab seseorang tak mungkin sendirian memenuhi segala
kebutuhan-kebutuhannya. Dia mau tidak mau dipaksa bermasyarakat, berkumpul

yang membawa kebaikan bagi umatnya dan menolak keburukan dan ancaman
bahaya daripadanya.
Karena itu, persatuan, ikatan batin satu dengan yang lain, saling bantu menangani
satu perkara dan seia sekata adalah merupakan penyebab kebahagiaan yang
terpenting dan factor paling kuat bagi menciptakan persaudaraan dan kasih sayang.
Berapa banyak negara-negara yang menjadi makmur, hamba-hamba menjadi
pemimpin yang berkuasa, pembangunan jalan-jalan menjadi lancar, perhubungan
menjadi ramai dan masih banyak manfaat-manfaat lain dari hasil persatuan
merupakan keutamaan yang paling besar dan merupakan sebab dan sarana paling
ampuh.
Rasulullah SAW telah mempersaudarakan sahabat-sahabatnya sehingga
mereka (saling kasih, saling menyayangi dan saling menjaga hubungan), tidak
ubahnya satu jasad; apabila salah satu anggota tubuh mengeluh sakit, seluruh jasad
ikut merasa demam dan tidak dapat tidur.
Itulah sebabnya mereka menang atas musuh mereka, kendati jumlah mereka
sedikit. Mereka tundukkan raja-raja. Merke ataklukkan negeri-negeri. Mereka buka
kota-kota. Mereka bentangkan payung-payung kemakmuran. Mereka bangun
kerajaan-kerajaan. Dan mereka lancarkan jalan-jalan.
Friman Allah, Wa aatainaahu min kulli syaiin sababa. Dan Aku telah
memberikan kepadanya jalan (untuk mencapai) segala sesuatu. Benarlah kata
penyair yang mengatakan dengan bagusnya:
Berhimpunlah anak-anakku bila
Kegentingan datang melanda
Jangan bercerai-berai sendiri-sendiri
Cawan-cawan enggan pecah bila bersama
Ketika bercerai
Satu-satu pecah berderai.
Sayyidina Ali karramallau wajhah berkata: Dengan perpecahan tak ada satu
kebaikan dikaruniakan Allah kepada seseorang, baik dari orang-orang terdahulu
maupun orang-orang yang belakangan.
Sebab, satu kaum apabila hati-hati mereka berselisih dan hawa nafsu mereka
mempermainkan mereka, maka mereka tidak akan melihat sesuatu tempat pun bagi
kemaslahatan bersama. Mereka bukanlah bangsa bersatu, tapi hanya individuindividu yang berkumpul dalam arti jasmani belaka. Hati dan keinginan-keinginan
bereka saling berselisih. Engkau mengira mereka menjadi satu, padahal hati mereka
berbeda-beda.
Mereka telah menjadi seperti kata orang: Kambing-kambing yang
berpencaran di padang terbuka. Berbagai binatang buas telah mengepungnya. Kalau
sementara mereka tetap selamat, mungkin karena binatang buas belum sampai
kepada mereka (dan pasti suatu saat akan sampai kepada mereka) atau karena
saling berebut, telah menyebabkan binatang-binatang buas itu saling berkelahi
sendiri antara mereka. Lalau sebagian mengalahkan yang lain. Dan yang
menangpun akan menjadi perampas dan yang kalah menjadi pencuri. Si kambingpun
jatuh antara si perampas dan si pencuri.
Perpecahan adalah penyebab kelemahan, kekalahan dan kegagalan di
sepanjang zaman. Bahkan pangkal kehancuran dan kemacetan, sumber keruntuhan
dan kebinasaan, dan penyebab kehinaan dan kenistaan. Betapa banyak keluargakeluarga besar semula hidup dalam keadaan makmur, rumah-rumah penuh dengan
penghuni, sampai suatu ketika kalajengking perpecahan merayapi mereka, bisanya
menjalar meracuni hati mereka dan syaitanpun melakukan perannya, mereka kucarkacir tak keruan. Dan rumah-rumah mereka runtuh berantakan.
Sahabat Ali karramallahu wajhah berkata dengan fasihnya: Kebenaran dapat
menjadi lemah karena perselisihan dan perpecahan dan kebatilan sebaliknya dapat
menjadi kuat dengan persatuan dan kekompakan.

Pendek kata siapa yang melihat pada cermin sejarah, membuka lembaran
yang tidak sedikit dari ikhwal bangsa-bangsa dan pasang surut zaman serta apa saja
yang terjadi pada mereka hingga pada saat-saat kepunahannya, akan mengetahui
bahwa kekayaan yang pernah menggelimang mereka, kebangggan yang pernah
mereka sandang, dan kemuliaan yang pernah menjadi perhiasan mereka tidak lain
adalah karena berkat apa yang secara kukuh mereka pegang, yaitu mereka bersatu
dalam cita-cita, seia sekata, searah setujuan dan pikiran-pikiran mereka seiring.
Maka inilah factor paling kuat yang mengangkat martabat dan kedaulatan mereka,
dan benteng paling kokoh bagi menjaga kekuatan dan keselamatan ajaran mereka.
Musuh-musuh mereka tak dapat berbuat apa-apa terhadap mereka, malahan
menundukkan kepala, menghormati mereka karena wibawa mereka. Dan merekapun
mencapai tujuan-tujuan mereka dengan gemilang.
Itulah bangsa yang mentarinya dijadikan Allah tak pernah terbenam
senantiasa memancar gemilang. Dan musuh-musuh mereka tak dapat mencapai
sinarnya.


!
!



.

.
.
.


"
"


"

".

.
. .

. "


".
" ).( 2/
"

. .
.

: - -




:


).( 17/


).( 99/

). ( 8 /


) . ( 193/



) . ( 194 /
Wahai ulama dan para pemimpin yang bertaqwa di kalangan Ahlus Sunnah
wal Jamaah dan keluarga madzhab imam empat; Anda sekalian telah menimba ilmuilmu dari orang-orang sebelum anda, orang-orang sebelum anda menimba dari
orang-orang sebelum mereka, dengan jalan sanad yang bersambung sampai kepada
anda sekalian, dan anda sekalian selalu meneliti dari siapa anda menimba ilmu
agama anda itu.

Maka dengan demikian, anda sekalian adalah penjaga-penjaga ilmu dan pintu
gerbang ilmu-ilmu itu. Rumah-rumah tidak dimasuki kecuali dari pintu-pintu. Siapa
yang memasukinya tidak melalui pintunya, disebut pencuri.
Sementara itu segolongan orang yang terjun ke dalam lautan fitnah; memilih
bidah dan bukan sunnah-sunnah Rasul dan kebanyakan orang mukmin yang benar
hanya terpaku. Maka para ahli bidah itu seenaknya memutar balikkan kebenaran,
memunkarkan makruf dan memakrufkan kemunkaran.
Mereka mengajak kepada kitab Allah, padahal sedikitpun mereka tidak
bertolak dari sana.
Mereka tidak berhenti sampai di situ, malahan mereka mendirikan
perkumpulan pada perilaku mereka tersebut. Maka kesesatan semakin jauh. Orangorang yang malang pada memasuki perkumpulan itu. Mereka tidak mendengar
sabda Rasulullah SAW:
Fandhuru amman takhudzuuna dienakum. Maka lihat dan telitilah dari
siapa kamu menerima ajaran agamamu itu. Sesungguhnya menjelang hari kiamat,
muncul banyak pendusta.. Janganlah kamu menangisi agama ini bila ia berada
dalam kekuasaan ahlinya. Tangisilah agama ini bila ia berada di dalam kekuasaan
bukan ahlinya.
Tepat sekali sahabat Umar bin Khattab radliyallahu anhu ketika berkata:
Agama Islam hancur oleh perbuatan orang munafiq dengan Al-Quran.
Anda sekalian adalah orang-orang yang lurus yang dapat menghilangkan kepalsuan
ahli kebathilan, penafsiran orang yang bodoh dan penyelewengan orang-orang
yang over acting; dengan hujjah Allah, Tuhan semesta alam, yang diwujudkan
melalui lesan orang yang ia kehendaki.
Dan anda sekalian kelompok yang disebut dalam sabda Rasulullah SAW:
Anda sekelompok dari umatku yang tak pernah bergeser selalu berdiri tegak diatas
kebenaran, tak dapat dicederai oleh orang yang melawan mereka, hingga datang
putusan Allah.
Marilah anda semua dan segenap pengikut anda dari golongan para
fakir miskin, para hartawan, rakyat jelata dan orang-orang kuat,
berbondong-bondong masuk Jamiyyah yang diberi nama Jamiyyah
Nahdlatul Ulama ini. Masuklah dengan penuh kecintaan, kasih sayang,
rukun, bersatu dan dengan ikatan jiwa raga.
Ini adalah jamiyyah yang lurus, bersifat memperbaiki dan menyantuni. Ia
manis terasa di mulut orang-orang yang baik dan bengkal di tenggorokan orangorang yang tidak baik. Dalam hal ini hendaklah anda sekalian saling mengingatkan
dengan kerjasama yang baik, dengan petunjuk yang memuaskan dan ajakan
memikat serta hujjah yang tak terbantah.
Sampaikan secara terang-terangan apa yang diperintahkan Allah kepadamu,
agar bidah-bidah terberantas dari semua orang. Rasulullah SAW bersabda: Apabila
fitnah-fitnah dan bidah-bidah muncul dan sahabat-sahabatku di caci maki, maka
hendaklah orang-orang alim menampilkan ilmunya. Barang siapa tidak berbuat
begitu, maka dia akan terkena laknat Allah, laknat Malaikat dan semua orang.
Allah SWT berfirman: Wa taawanuu alalbirri wattaqwa. Dan saling tolong
menolonglah kamu dalam mengerjakan kebaikan dan taqwa kepada Allah. Sayyidina
Ali karramallahu wajhah berkata: Tak seorang pun (betapapun lama ijtihadnya
dalam amal) mencapai hakikat taat kepada Allah yang semestinya. Namun termasuk
hak-hak Allah yang wajib atas hamba-hamba Nya adalah nasehat dengan sekuat
tenaga dan saling bantu dalam menegakkan kebenaran diantara mereka.
Tak seorangpun (betapapun tinggi kedudukannya dalam kebenaran, dan
betapapun luhur derajat keutamaannya dalam agama) dapat melampaui kondisi
membutuhkan pertolongan untuk memikul hak Allah yang dibebankan kepadanya.
Dan tak seorangpun (betapa kerdil jiwanya dan pandangan-pandangan mata
merendahkannya) melampaui kondisi dibutuhkan bantuannya dan dibantu untuk itu.
(Artinya tak seorangpun betapa tinggi kedudukannya dan hebat dalam
bidang agama dan kebenaran yang dapat lepas tidak membutuhkan bantuan dalam

melaksanakan kewajibannya terhadap Allah, dan tak seorangpun betapa rendahnya,


tidak dibutuhkan bantuannya atau diberi bantuan dalam melaksanakan
kewajibannya itu. Penterjemah).
Tolong menolong atau saling Bantu pangkal keterlibatan umat-umat. Sebab
kalau tidak ada tolong menolong, niscaya semangat dan kemauan akan lumpuh
karena merasa tidak mampu mengejar cita-cita. Barang siapa mau tolong menolong
dalam persoalan dunia dan akhiratnya, maka akan sempurnalah kebahagiaannya,
nyaman dan sentosa hidupnya.
Sayyidia Ahmad bin Abdillah As Saqqaf berkata: Jamiyyah ini adalah
perhimpunan yang telah menampakkan tanda-tanda menggembirakan, daerahdaerah menyatu, bangunan-bangunannya telah berdiri tegak, lalu kemana kamu
akan pergi? Kemana?
Wahai orang-orang yang berpaling, jadilah kamu orang-orang pertama, kalau
tidak orang-orang yang menyusul (masuk jamiyyah ini). Jangan sampai ketinggalan,
nanti suara penggoncang akan menyerumu dengan goncangan-goncangan:
Mereka (orang-orang munafiq itu) puas bahwa mereka ada bersama orang-orang
yang ketinggalan (tidak masuk ikut serta memperjuangkan agama Allah). Hati
mereka telah dikunci mati, maka mereka pun tidak bias mengerti. (Q.S. At
Taubah:17)
Tiada yang merasa aman dari azab Allah kecuali orang-orang yang merugi.
(Q.S. Al Araf:99). Ya Tuhan kami, janganlah Engkau condongkan hati kami kepada
kesesatan setelah Engkau memberi hidayah kepada kami, anugerahkanlah kepada
kami rahmat dari sisi Mu; sesungguhnya Engkau Maha Penganugerah. ((Q.S. Ali
Imron:8)
Ya Tuhan kami, ampunilah bagi kami dosa-dosa kami, hapuskanlah dari diridiri kami kesalahan-kesalahan kami dan wafatkan kami beserta orang-orang yang
berbakti. (Q.S. Ali Imron:193). Ya Tuhan kami, karuniakanlah kami apa yang Engkau
janjikan kepada kami melalui utusan-utusan Mu dan jangan hinakan kami pada hari
kiyamat. Sesungguhnya Engkau tidak pernah menyalahi janji. (Q.S. Ali Imron:194)

Konsep Kembali ke Khittah


1.

2.

3.

4.
5.

NU sebagai jamiyah diniyah adalah wadah para ulama dan pengikut-pengikutnya


yang didirikan, antara lain berdasarkan kesadaran bermasyarakat, pada tanggal 16
Rajab 1344 H bertepatan dengan 31 Januari 1926 dan bertujuan memelihara,
melestarikan dan mengamalkan ajaran Islam Ahlussunnah wal Jamaah, menciptakan
kemaslahatan masyarakat, kemajuan bangsa, dan ketinggian martabat manusia.
Khittah NU adalah landasan berpikir, bersikap dan bertindak warga NU ysng
tercermin dalam tingkah laku perseorangan maupun organisasi dan dalam setiap
proses pengambilan keputusan (decision making), berupa paham Islam Ahlussunnah
wal jamaah dan juga digali dari sejarah khidmahnya dari masa ke masa.
Dasar-dasar paham keagamaan NU bersumber dari Alquran, as-Sunnah, al-Ijma, alQiyas, dan menggunakan jalan pendekatan madzhab yang dipelopori Imam Abul
Hasan al Asyari dan Imam Abu Manshur al-Maturidy di bidang akidah, salah satu
dari madhab, Hanafi, Maliki, Syafii dan hambali dibidang fiqih; dibidang tasawuf
mengikuti antara lain: Imam al-Junaid al-Baghdadi, Imam al-Ghazali dan sebagainya.
Dan NU mengikuti pendirian bahwa islam adalah agama fitri, bersifat
menyempurnakan dan tidak menghapus nilai luhur yang sudah ada.
Dasar-dasar paham keagamaan NU tersebut menumbuhkan sikap kemasyarakatan
yang
bercirikan tawasuth
wal itidal (tengan-tengah
dan
lurus), tasamuh (toleran), tawazun(keseimbangan) dan amar maruf nahi mungkar.
Dasar keagamaan dan sikap kemasyarakatan NU itu membentuk perilaku yang
menjunjung tinggi nilai-nilai keikhlasan, mendahulukan kepentingan bersama,
persaudaraan, persatuan, kasih-mengasihi, ahlaqul karimah, kesetiaan, amal dan

6.

7.

8.

9.

prestasi kerja, ilmu pengetahuan dan para ahlinya, siap menyesuaikan diri dengan
setiap perubahan yang membawa manfaat bagi kemaslahatan manusia. Kepeloporan
dalam usaha mempercepat perkembangan masyarakat, dan kebersamaan di tengah
kehidupan berbangsa dan bernegara.
Ikhtiar-ikhtiar yang dilakukan NU meliputi antara lain, peningkatan silaturrahmi,
peningkatan
di
bidang
keilmuan/pengkajian/pendidikan,
penyiaran
Islam/
pembangunan sarana peribadatan/pelayanan social, dan peningkatan tarap serta
kualitas hidup masyarakat melalui kegiatan yang terarah.
Ulama sebagai mata rantai pembawa paham Islam Ahlussunnah wal Jamaah, selalu
ditempatkan sebagai pengelola, pengendali, pengawas dan pembimbing utama
jalannya
organisasi,
sedangkan
untuk
menangani
kegiatan-kegiatannya,
ditempatkan tenaga-tenaga yang sesuai dengan bidangnya masing-masing.
Sebagai organisasi kemasyarakatan, NU senantiasa menyatukan diri dengan
perjuangan nasional bangsa Indonesia dan aktif mengambil bagian dalam
pembangunan bangsa.
Sebagai organisasi keagamaan, NU merupakan bagian tak terpisahkan dari umat
Islam Indonesia yang senantiasa berusaha memegang teguh prinsip persaudaraan,
toleransi, dan hidup berdampingan dengan baik sesama umat Islam maupun sesama
warga negara yang berbeda agama, untuk mewujudkan cita-cita persatuan dan
kesatuan bangsa yang kokoh dan dinamis.
Sebagai organisasi yang mempunyai fungsi pendidikan, NU senantiasa berusaha
secara sadar menciptakan warga negara yang menyadari hak dan kewajibannya
terhadap bangsa dan negara. Sebagai Jamiyah, NU secara organisatoris tidak terikat
dengan organisasi politik dan organisasi kemasyarakatan manapun.
Dalam hal warga NU menggunakan hak politiknya, harus dilakukan secara
bertanggung jawab, sehingga dapat ditumbuhkan sikap hidup yang demokratis,
konstitusional, taat hukum, mampu mengembangkan mekanisme musyawarahmufakat dalam memecahkan permasalahan yang dihadapi bersama.
Pewujudan khittah NU, dengan seizin Allah, terutama tergantung kepada semangat
pemimpin dan warga NU, cita-cita hanya akan tercapai jika mereka benar-benar
meresapi dan mengamalkan Khittah NU ini.

Penjabaran:
Sebagai Jamiyah Diniyah yang berkewajiban amar maruf nahi munkar
dalam kehidupan bermasyarakat, baik secara pribadi maupun kelompok, NU tidak
dapat mengelak dari tanggung jawab dalam berperan serta membangun kehidupan
politik bangsa Indonesia yang adil, demokratis dan berakhlak mulia di atas landasanlandasan ketaqwaan kepada Allah SWT. Oleh sebab itu, NU telah menetapkan
landasan pembangunan politik bangsa, serta pandangan dan sikap politik
sebagaimana keputusan Muktamar ke-27 di Situbondo.
Secara garis besar, pembangunan politik bangsa yang ingin diupayakan oleh
NU adalah suatu tata kehidupan politik nasional yang memiliki ciri-ciri berikut:
1. Mampu menjamin terwujudnya masyarakat dan bangsa Indonesia yang adil dan
makmur lahir batin, yang menghormati nilai-nilai kemerdekaan yang hakiki dan
demokratis, serta mendidik kedewasaaan seluruh warga masyarakat dalam
mencapai kemasla-hatan bersama.
2. Mampu menjamin terpeliharanya agama dan keya-kinan keislaman, serta larangan
pemaksaan agama, terpeliharanya perkembangan jiwa dan nyawa manusia secara
layak dan terhormat, terpeliharanya akal pikiran dari setiap bentuk perusakan dan
penodaan, terpeliharanya masa depan yang prospektif bagi gene-rasi penerus, serta
terpeliharanya kepemilikan harta benda yang sah.
3. Mampu menjamin terbentuknya jatidiri dan kepribadian manusia sebagai umat
pilihan yang memiliki sifat-sifat: berlaku jujur dan benar, dapat dipercaya dan tepat
janji, melaksanakan kewajiban dan menerima hak secara proporsional serta tolongmenolong dalam kebajikan.

Dalam mewujudkan tata kehidupan politik yang demikian, NU telah


menetapkan pandangan dan sikap politik berikut ini:

Hak berpolitik merupakan salah satu hak asasi setiap warga negara yang
harus dilaksanakan sesuai dengan akhlakul karimah sebagai pelaksanaan ajaran
Islam Ahlussunnah wal jamaah.

Pelaksanaan hak berpolitik harus ditempatkan di dalam kerangka


mengembangkan kebudayaan politik bangsa Indonesia yang sehat dan bertanggung
jawab.

Praktek berpolitik harus berada dalam kerangka integrasi bangsa dan tidak
boleh dilakukan dengan mengorbankan kepentingan bersama dan memecah belah
persatuan.

Praktek berpolitik harus dilakukan dengan kejujuran nurani dan moral agama,
adil sesuai dengan aturan dan norma yang disepakati, serta lebih mengedepan-kan
musyawarah dalam memecahkan masalah ber-sama.

Praktek berpolitik warga negara, khususnya warga NU yang berbeda aspirasi


politiknya harus berjalan dalam suasa persaudaraan, tawadlu dan saling
menghargai.

Potensi organisasi kemasyarakatan yang tumbuh dari, oleh dan untuk


masyarakat sendiri, harus diberi ruang yang cukup dan dipupuk agar memiliki
kekuatan yang semestinya dalam melaksanakan fungsinya sebagai sarana
kebebasan berkumpul dan berserikat, serta menyalurkan aspirasi.

Sebagai organisasi kemasyarakatan yang bergerak di bidang agama, NU tidak


terikat secara organisatoris dan struktural dengan partai/organisasi politik manapun.

Keanggotaan warga NU dalam suatu partai/organisasi politik bersifat


perseorangan dan setiap warga NU dapat menyalurkan aspirasi mereka melalui
partai/ organisasi politik yang mereka kehendaki, sepanjang tidak bertentangan
dengan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku dan peraturan-peraturan
Jamiyah.

Keterpisahan NU secara organisatoris dengan suatu partai/organisasi politik,


diwujudkan antara lain melalui larangan perangkapan jabatan kepengurusan harian
partai/organisasi politik manapun dengan kepengu-rusan harian di lingkungan
Jamiyyah NU.

Sembilan Pedoman Berpolitik NU


MELIHAT kenyataan bahwa Khittah NU hasil Muktamar NU XVII di Situbondo
mengalami banyak hambatan dalam pemasyarakatannya, akibat semangat
berpolitik praktis warga NU yang tidak dibarengi dengan pemahaman yang utuh
tentang politik dan jati diri NU sendiri, maka Muktamar NU XVIII di Krapayak
Yogyakarta tahun 1989 memutuskan Pedoman Berpolitik Warga NU yang terdiri atas
9 butir:

1
Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama mengandung arti keterlibatan warga negara dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara secara menyeluruh sesuai dengan Pancasila
dan UUD 1945;

2.
Politik bagi Nahdlatul Ulama adalah politik yang berwawasan kebangsaan dan
menuju integritas bangsa dengan langkah-langkah yang senantiasa menjunjung
tinggi persatuan dan kesatuan untuk mencapai cita-cita bersama, yaitu terwujudnya
masyarakat yang adil dan makmur lahir dan batin dan dilakukan sebagai amal
ibadah menuju kebahagiaan di dunia dan kehidupan di akhirat;

3.
Politik bagi Nahdlatul Ulama adalah pengembangan nilai-nilai kemerdekaan yang
hakiki dan demokratis, mendidik kedewasaan bangsa untuk menyadari hak,
kewajiban, dan tanggung jawab untuk mencapai kemaslahatan bersama;

4
Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama haruslah dilakukan dengan moral, etika, dan budaya
yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, ber-Kemanusiaan yang adil dan beradab,
menjunjung tinggi Persatuan Indonesia, ber-Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan dan ber-Keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia;

5
Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama haruslah dilakukan dengan kejujuran nurani dan
moral agama, konstitusional, adil, sesuai dengan peraturan dan norma-norma yang
disepakati serta dapat mengembangkan mekanisme musyawarah dalam
memecahkan masalah bersama;

6
Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama dilakukan untuk memperkokoh konsensus-konsensus
nasional dan dilaksanakan sesuai dengan akhlaq al karimah sebagai pengamalan
ajaran Islam Ahlussunah Waljamaah;

7
Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama, dengan dalih apa pun, tidak boleh dilakukan dengan
mengorbankan kepentingan bersama dan memecah belah persatuan;

8
Perbedaan pandangan di antara aspirasi-aspirasi politik warga NU harus tetap
berjalan dalam suasana persaudaraan, tawadlu dan saling menghargai satu sama
lain, sehingga di dalam berpolitik itu tetap terjaga persatuan dan kesatuan di
lingkungan Nahdlatul Ulama;

9
Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama menuntut adanya komunikasi kemasyarakatan
timbal balik dalam pembangunan nasional untuk menciptakan iklim yang
memungkinkan perkembangan organisasi kemasyarakatan yang lebih mandiri dan
mampu melaksanakan fungsinya sebagai sarana masyarakat untuk berserikat,
menyatukan aspirasi serta berpartisipasi dalam pembangunan.

Catatan Gus Mus:

Sembilan butir Pedoman Berpolitik yang begitu indah, ternyata bernasib


hampir sama dengan sembilan butir Khitthah NU. Meskipun dari pihak-pihak di
luar NU kedua keputusan dari dua Muktamar NU itu mendapatkan sambutan dan
sanjungan luar biasa, ternyata di kalangan NU sendiri, sekedar membacanya
saja, seolah-olah enggan dan malas.
Akibatnya, kelakuan politik warga NU yang terjun di politik pun tak bisa
dibedakan dari yang lain. Seperti kelakuan politik mereka yang tidak memiliki
pedoman. Sama seperti sikap dan perilaku umumnya warga NU yang tak bisa
dibedakan dari yang lain. Seperti sikap dan perilaku mereka yang tidak memiliki
Khitthah.
Cobalah singkirkan sebentar saja nafsu dan urusan kepentingan sesaat
yang sedang mengkabuti pikiran dan simaklah butir-butir pedoman politik
tersebut dengan tenang, pastilah Anda akan melihat betapa mulianya. Atau
sekedar baca sajalah seperti membaca koran, insya Allah indahnya pedoman itu
akan tampak.
Kalau awam NU yang melek huruf sekalipun tidak membacanya,
masih bisa dimaklumi; karena mungkin mereka belum terbiasa dengan budaya
baca atau tidak tertarik dengan persoalan politik. Tapi elite NU yang sangat
bersemangat berpolitk kok tidak membaca pedomannya sendiri sama dengan
elite NU yang berjalan tidak di atas Khitthahnya sungguh tak bisa
dimengerti. Jangan-jangan mereka pun sebenarnya awam tentang NU atau
awam tentang politik, atau awam tentang keduanya. Atau memang kepentingan
dunia terlalu perkasa untuk dilawan? Semoga Allah merahmati dan memberi
hidayah kepada kita.

Istiqamah dalam Khittah NU:


Penguatan Posisi Politik Masyarakat Terhadap Negara
Sudah maklum diakui, bahwa munculnya wacana dan gerakan civil society di
Indonesia pada akhir tahun 80-an dan awal 90-an lebih banyak disuarakan oleh
kalangan "tradisionalis" (Nahdlatul Ulama), bukan oleh kalangan "modernis." Hal ini
bisa dipahami karena pada masa tersebut, NU adalah komunitas yang tidak
sepenuhnya terakomodasi dalam negara, bahkan dipinggirkan dalam peran
kenegaraan. Sedangkan kalangan modernis adalah kelompok yang kepentingannya
relatif terakomodasi.
Dalam kondisi semacam ini, wacana civil society yang secara sederhana
dipahami sebagai masyarakat non-negara dan selalu tampil berhadapan dengan
negara, sangat populer dan berkembang di kalangan intelektual NU. Kalangan muda
NU menjadi begitu "keranjingan" dengan wacana civil society dan pada saat yang
sama mereka menjadi kekuatan "antinegara".
Dalam kondisi dimana negara (Orde Baru) begitu kuat (strong state) di satu
pihak, dan rakyat begitu lemah di pihak lain, menjadikan wacana civil society
menemukan momentumnya yang begitu kuat. Munculnya gerakan sosial baru (new
social movement) sebagai pilar civil society pada era 90-an merupakan salah satu
bukti kuatnya momentum tersebut.
Kebangkitan wacana civil society dalam NU diawali dengan momentum
kembali ke Khittah 1926 pada tahun 1984. Peristiwa tersebut telah mengubah
hampir semua tatanan kehidupan komunitas NU, terutama yang berkaitan dengan
orientasi gerakannya. Kembali ke Khittah 1926 bukan semata-mata berarti NU
meninggalkan kehidupan politik, tetapi lebih sebagai perubahan orientasi gerakan
politik. Jika sebelumnya NU menempuh strategi "politik panggung", politik struktural
yang disediakan oleh pemerintah Orba, maka dengan kembali ke Khittah NU
menempuh strategi "politik tanpa panggung", artinya dalam kehidupan politik NU

menciptakan "panggung permainannya" sendiri dan-pada saat yang samamengabaikan panggung yang disediakan Pemerintah Orba.
Strategi politik yang demikian, tidak jarang menempatkan NU dalam posisi
yang tidak mengenakkan karena selalu "berhadapan" dengan pemerintah. Efek dari
strategi ini menjadikan NU semakin terpinggir dari pusat kekuasaan (centre of
power) di satu sisi, namun di sisi yang lain, justru karena keterpinggiran itu peran NU
sebagai embrio tumbuhnya civil society di Indonesia semakin mantap.
Para pengamat menilai, peran NU yang demikian merupakan horison baru
yang cukup menjanjikan serta memiliki ruang gerak yang cukup lebar. Bila ditinjau
dari kepentingan civil society di Indonesia, peran baru yang dilakukan NU
mempunyai relevansi karena beberapa hal. Pertama, lahan garapan NU bukan
semata-mata persoalan internal warga NU, namun menyangkut persoalan
kebangsaan secara keseluruhan, seperti masalah keadilan politik, ekonomi dan
sosial. Kedua, NU mengakui bahwa wilayah esensial bagi sebuah civil society yang
mandiri kini menjadi komitmen perjuangannya melalui pemberdayaan rakyat
(empowering society). Ketiga, NU pasca-Khittah 1926 menitikberatkan gerakannya
pada level masyarakat yang ditujukan untuk memperkuat kemandirian dan
kepercayaan dirinya (self confidence).
Wilayah kerja NU yang baru tersebut, wilayah kultural, memungkinkannya
membuka wacana pemikiran baru sebagai counter discourse terhadap "wacana
resmi" yang hegemonik. NU berhasil merebut dan membuka ruang publik (public
sphere) yang selama ini dikuasai negara, sebagai "zona netral" yang memungkinkan
rakyat untuk berdialektika secara intens dengan negara dalam posisi yang
berimbang (balance). Peran demikian tidak mungkin dapat dilakukan oleh NU jika ia
tidak berani melakukan "reposisi" peran politiknya dengan kembali ke Khittah 1926.
Dalam konteks ini, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) merupakan tokoh
sentral yang sejak tahun 1984 mengawal Khittah NU. Sebagaimana diketahui, Gus
Dur adalah sosok yang selalu gelisah untuk menyikapi realitas sosial yang
mencerminkan adanya involusi dalam kehidupan berbangsa. Apa yang dilakukan NU
di bawah komando Gus Dur, secara nyata merupakan geliat baru ormas yang selama
ini hampir seluruhnya di bawah kooptasi negara.
Tantangan Pertama:
Saat Gus Dur Menjadi Presiden
TERPILIHNYA Gus Dur sebagai presiden sebenarnya menyiratkan sebuah
problem tentang prospek civil society di Indonesia, khususnya di kalangan NU. NU
yang dulu menjadi komunitas non-negara yang selalu menjadi kekuatan
penyeimbang, kini telah menjadi "negara" itu sendiri. Di samping Gus Dur, banyak
tokoh NU yang dulu penyeimbang negara, kini "tersedot" ke dalam poros negara.
Muhammad AS Hikam yang selama ini dikenal sebagai "pendekar" civil society, kini
juga sudah menjadi bagian dari negara, anggota kabinet Gus Dur. Belum lagi banyak
kader NU unggulan yang menjadi anggota parlemen, yang pada tingkat tertentu
merupakan elemen kenegaraan.
Kenyataan tersebut mengisyaratkan bahwa wacana civil society dalam NU
seolah kehilangan momentum. Pertama, NU yang dulu menjadi kekuatan nonnegara, dengan Gus Dur menjadi presiden berarti NU telah terserap menjadi bagian
dari negara itu sendiri. Kedua, secara makro kondisi negara sekarang berbeda sama
sekali dengan ketika wacana civil society mengemuka di Indonesia. Jika pada
awalnya negara begitu kuat dan rakyat lemah, sekarang kondisinya berbalik, negara
lemah dan rakyat cukup kuat, atau paling tidak rakyat dan negara dalam posisi
berimbang.
Permasalahan semakin rumit jika dikaitkan dengan psikologi masyarakat NU
yang sekian lama "memanjakan" Gus Dur karena mewarisi "darah biru", bahkan
dipercaya sebagai "wali". Akibatnya, muncul keengganan di kalangan orang NU
untuk melakukan kritik terhadap Gus Dur. Kondisi demikian tentu saja tidak cukup
sehat untuk menumbuhkan civil society.

Dalam situasi umit ini, muncul pertanyaan bagaimana prospek civil society di
kalangan NU. Peran apa yang akan dilakukan dan bagaimana NU akan memposisikan
diri dalam konstelasi politik nasional. Pertanyaan ini memang cukup problematis,
karena ada kecanggungan kultural bagi warga NU untuk melakukan kritik terhadap
Gus Dur. Oleh karena itu, agak sulit membayangkan NU tetap bertindak sebagai
"oposan" sebagaimana yang diperankan sebelumnya terhadap orde Baru.
Terhadap pertanyaan tersebut, lantas muncul beberapa pilihan yang mungkin
dilakukan NU. Pertama, secara organisatoris NU "memotong" Gus Dur dan elemen
kenegaraan yang lain sebagai entitas lain di luar entitas NU. Bila NU menempuh
langkah ini, maka ia akan tetap menjadi kekuatan civil society dan itu berarti NU
akan tetap menjadi kekuatan penyeimbang di luar negara sebagaimana yang selama
ini dilakukan.
Kedua, NU melakukan "reposisi" atas peran yang selama ini diambil. Hal itu
dilakukan dengan cara mengubah wacana civil society yang hanya dipahami sebagai
kelompok
non-negara
yang
berkepentingan
untuk
membentuk historical
bloc (benteng sejarah) untuk menghadapi hegemoni negara. Di samping fungsi di
atas, civil society sebenarnya dapat juga berperan sebagai komplemen (dan juga
suplemen) terhadap peran yang dilakukan negara.
Jika dulu NU lebih memerankan fungsi civil society yang pertama, maka
pasca-Gus Dur menjadi presiden, NU dapat mengambil fungsi civil society yang lain,
yaitu fungsi komplemen terhadap tugas negara. Dalam hal pendidikan misalnya,
meskipun negara sudah menyelenggarakan pendidikan sendiri, masyarakat tetap
masih bisa melengkapi tugas kependidikan yang tidak dilakukan negara seperti
pengembangan pesantren dan sejenisnya.
Ketiga, NU sepenuhnya mem-back up negara, artinya, apa pun yang
dilakukan oleh Gus Dur sebagai representasi negara harus didukung. Menentang
negara berarti menentang Gus Dur, dan itu berarti pula mencoreng wajah NU
sendiri.
Dri tiga alternatif pilihan tersebut, pilihan ideal yang muncul di kalangan intelektual
dan kaum muda NU adalah pilihan bahwa kekuatan CS masih sangat dibutuhkan di
negeri ini sehingga NU tidak perlu meninggalkan posnya dalam penguatan civil
society di Indonesia, apalagai mabuk dengan kekuasaan politik yang diperolehnya.
Tapi pandangan itu belum menyebar kepada seluruh pemimpin formal dan
informal NU, khususnya di daerah-daerah basis (khususnya daerah Tapal Kuda,
termasuk Pasuruan). Sebab yang terjadi adalah, kecintaan kepada Gus Dur dan
nama baik NU di pentas politik praktis jauh lebih dominan dari pada kecintaan
untuk mempertahankan posisi NU di luar negara sebagai kekuatan masyarakat yang
melakukan kontrol. Perdebatan masih terus berlangsung, sementara kekuasaan Gus
Dur sudah raib menghilang.
Tantangan Kedua:
Era Pemilihan Presiden Secara Langsung
Hal yang sama terulang dalam Pemilu 2004, khususnya dalam pemilihan
presiden seperti terlihat pada fenomena KH Hasyim Muzadi yang kini resmi menjadi
cawapres bagi Megawati serta KH Salahuddin Wahid yang dilirik Partai Golkar untuk
mendampingi Wiranto. Demikian pula pada pemilihan tahap kedua, ketika tinggal
menyisakan Pasangan Megawati-Hasyim Muzadi dengan SBY-Yusuf Kalla.
Terasa berat bagi NU untuk tetap memegang prinsip khittah dalam situasi
politik semacam ini. Sementara tidak dapat dipungkiri, para elit dan pemimpin NU
memiliki syahwat berpolitik praktis yang sangat besar. Memang bila dilihat sejarah
NU, organisasi ini memang hampir-hampir tidak pernah lepas dari politik praktis.
Politik seolah-olah sudah mendarah daging. Tidak berlebihan jika ada yang
mengatakan, jenis kelamin NU memang organisasi sosial keagamaan; tetapi
semangatnya
adalah
semangat
politik.
Bahkan, keputusan kembali ke khittah 1926 sebetulnya juga keputusan
politik. Paling tidak, nuansa politik di balik keputusan itu sangat kental. Sikap Orde

Baru melarang NU menjadi partai politik melalui kebijakan penyederhanaan


partai (1973) jelas sangat mengecewakan warga nahdliyin. Namun ketika
bergabung dengan PPP, NU justru mengalami kekecewaan yang lebih besar dengan
terus tersingkirnya tokoh-tokoh NU dari posisi-posisi strategis di tubuh PPP.
Puncak kekecewaan NU dilampiaskan dengan tekad bulat kembali ke khittah
1926 (1984) yang diwujudkan tidak hanya dalam bentuk talak tiga dengan PPP,
tetapi juga menggembosi partai yang pernah dibesarkannya sehingga perolehan
suara PPP dalam pemilu 1987 turun drastis, khususnya di Jawa Timur. Ini hanya bisa
diartikan satu hal: keputusan kembali ke khittah memang menjadi terobosan
strategis yang sangat visioner, tetapi semangat yang terkandung di dalamnya
adalah semangat politik.
Kentalnya darah politik dalam tubuh NU tentu tidak bisa dilepaskan dari
besarnya massa nahdliyin. Meski NU jelas-jelas organisasi sosial keagamaan dan
bukan organisasi politik, namun besarnya massa NU merupakan kekuatan politik
yang tidak bisa dianggap sepele. Jangankan organisasi sosial, organisasi politik pun
belum tentu memiliki massa sebanyak yang dimiliki NU.
Anehnya, ini baru betul-betul diperhitungkan setelah massa NU
terfragmantasi secara politik. Dalam pemilu-pemilu sebelumnya NU seolah-olah
dianggap angin lalu padahal suara nahdliyin relatif solid dan tidak terpecah-pecah.
Baru pada pemilu 2004, khususnya pemilu presiden 5 Juli mendatang, NU betul-betul
diperhitungkan, padahal suara nahdliyin sudah terpecah-pecah. Kontroversi
pencalonan Gus Dur di satu pihak dan munculnya KH Hasyim Muzadi dan KH
Solahuddin Wahid sebagai cawapres di pihak lain, merupakan bukti yang sangat
telanjang betapa suara NU dianggap sedemikian penting sebagai faktor penentu
kemenangan.
Di tengah persaingan keras perebutan kursi presiden-wakil presiden inilah,
PBNU mengambil keputusan penting di Rembang pertengahan Mei 2004 dengan
menonaktifkan KH Hasyim Muzadi dan KH Solahudin Wahid, melarang pengurus NU
dan badan-badan otonom di tubuh NU mengeluarkan pernyataan maupun fatwa
yang mendukung salah satu capres-cawapres, serta melarang pemanfaatan institusi
maupun fasilitas NU untuk kekepentingan kampanye capres-cawapres. Bahkan
pengurus NU yang menjadi Tim Sukses dari capres-cawapres tertentu juga
diharuskan
non-aktif
sementara.
Keputusan itu mengukuhkan kembali NU sebagai civil society yang sempat
diragukan banyak orang. Dengan tersedotnya berbagai ormas ke dalam orientasi
politik praktis, NU nyaris sendirian sebagai organisasi sosial keagamaan yang
secara tegas bersikap netral dalam masalah pemilihan presiden-wakil presiden 5 Juli
mendatang.
Dengan keputusan itu, NU memikul tanggung jawab lebih besar ketimbang
masa-masa sebelumnya. Tanggung jawab ini terutama menyangkut stagnasi peranperan NU sebagai salah satu kekuatan civil society. Stagnasi civil society dalam era
reformasi memang tidak hanya terjadi pada NU. Sejak Orde Baru tumbang, hampir
semua kekuatan civil society tenggelam oleh arus politik yang demikian besar.
Keputusan yang dihasilkan pertemuan Rembang memang sudah lama
ditunggu banyak pihak, terutama kelompok kultural di NU. Sejak KH Hasyim Muzadi
dan KH Solahuddin Wahid resmi menjadi calon wakil presiden masing-masing
mendampingi Megawati dan Wiranto, bermunculan dukungan dan penolakan.
Untunglah Syuriyah PBNU segera mengambil sikap, sehingga kontroversi
berkepanjangan bisa dihindari dan konflik kepentingan bisa ditekan sekecil mungkin.
Namun Keputusan Rembang memang tidak selalu ditanggapi positif, baik
bagi NU dan nahdliyin maupun bagi pihak-pihak lain. Banyak tokoh NU berpendapat,
apa salahnya mendukung capres-cawapres yang di dalamnya ada tokoh NU,
sebagaimana Muhammadiyah yang secara resmi mendukung Amien Rais, toh
mereka nantinya akan menjadi wakil NU yang diharapkan dapat memperjuangkan
kepentingan NU. Pendapat ini ada benarnya; dan untuk kepentingan jangka pendek,
keputusan
Rembang
jelas
kurang
menguntungkan
NU.

Namun Syuriyah PBNU yang terdiri dari kiai-kiai berpengaruh agaknya lebih berpikir
jauh ke depan. Inilah saatnya NU kembali kepada garis perjuangan sebagai
organisasi sosial keagamaan (jamiyah diniyah) dengan lebih mengutamakan
kepentingan jangka panjang ketimbang kepentingan pragmatis yang sifatnya hanya
sesaat.
Walhasil, tampaknya NU memang tidak perlu ditarik-tarik ke pilihan politik
tertentu dalam pemilihan presiden mendatang. Politik garam harus dikedepankan
dengan asumsi substansiasi nilai-nilai politik yang memajukan keadilan dan
kesetaraan bisa ditawarkan kepada siapapun yang memperoleh amanat selama lima
tahun ke depan. Meminjam bahasa Ketua Pelaksana PBNU, K.H Masdar F. Masudi,
kalangan NU sebaiknya lebih memikirkan lima tahun ke depan daripada
menghabiskan energi untuk lima menit: waktu yang biasa dihabiskan voter untuk
mencoblos
di
dalam
bilik
suara.
Perlunya
Memperioritaskan
Kembali
Agenda
Kultural
Sampai batas-batas tertentu, keterlibatan NU dalam arus kekuasaan bukan
saja akan mengancam keutuhan jamiyah dan jamaah intern NU-karena disadari
atau tidak, fenomena itu akan mempertajam polarisasi di tubuh NU-tetapi juga
mengancam eksistensi NU sebagai civil society. Masuknya tokoh-tokoh puncak NU
dalam bursa pemilihan presiden bisa menjadi preseden buruk di masa datang. NU
akhirnya hanya akan menjadi batu loncatan menuju ke tampuk kekuasaan.
Pilihan untuk kembali ke khittah 1926 sebetulnya merupakan keputusan strategis.
Dengan komitmen ini, NU sebetulnya sudah menentukan langkah untuk
bermain di luar arena kekuasaan. Kenyataan bahwa NU telah "memiliki" PKB justru
membuat NU lebih bisa berkonsentrasi untuk menggarap wilayah-wilayah kultural.
Sebab, wilayah struktural (politik praktis) sudah "diurusi" PKB. Dengan demikian,
hubungan NU dan kekuasaan relatif bisa dibangun secara obyektif, rasional, dan
terbuka, terlepas apakah tokoh-tokoh NU berada di kekuasaan atau tidak. Inilah
agenda kultural yang mesti segera dilakukan oleh NU.
Harapan ini memang tidak mudah karena pengalaman NU selama ini belum
sepenuhnya bisa membuktikan daya tahannya terhadap godaan politik. Namun
demikian, salah satu yang bisa diharapkan untuk terus menjaga eksistensi NU
sebagai civil society adalah kelompok yang tetap konsisten di jalur kultural yang
memainkan peran cukup sentral sejak NU kembali ke khittah 1926. Kelompok ini
memang hanya salah satu dari tiga kelompok dominan di NU . Meminjam analisis
Laode Ida (Prisma, Mei 1995), paling tidak ada tiga faksi dominan yang muncul
dalam
dinamika
internal
NU.
Pertama, faksi politik. Mereka ini terlibat langsung dalam percaturan politik
praktis, baik di PKB maupun partai-partai lainnya, serta saling berebut pengaruh di
basis-basis NU. Kelompok ini, karena keniscayaan harus bermain politik praktis, jelas
sulit untuk bisa bisa diharapkan untuk bisa mendukung NU sebagai kekuatan civil
society, kecuali mereka bisa menjalin komunikasi dan kerjasama strategis dengan
aktivis
civil
society.
Kedua, faksi syuriyah/kiai. Sebagai kiai dan ulama, mereka adalah tokohtokoh sentral NU meski tidak semuanya duduk dalam struktur NU. Faksi ini, dalam
era kembali ke khittah, mencoba merekonstruksi peran NU dalam kehidupan
berbangsa dan bermasyarakat. Mereka berusaha agar NU tetap setia kepada khittah
1926 dan memainkan peran-peran penting sebagai civil society. Sebagian dari
kelompok ini kemudian tergoda orientasi politik, namun sebagian besar kelompok ini
mencoba tetap setia terhadap cita-cita khittah 1926 sehingga dari kelompok terakhir
inilah NU diharapkan akan terus memainkan peran penting sebagai kekuatan civil
society.
Ketiga, faksi cendekia. Mereka ini adalah (1) kecuali memiliki ilmu
pengetahuan agama (Islam) yang mendalam juga disiplin atau keahlian tertentu
yang diperoleh dari lembaga pendidikan umum, atau (2) mereka berasal dari
lembaga pendidikan pesantren dan IAIN yang secara fleksibel membuka diri

mendalami ilmu selain agama, (3) mereka juga memiliki banyak gagasan yang
secara terbuka dipublikasikan untuk kepentingan kalangan nahdliyin maupun
masyarakat
umum,
serta
memiliki
komitmen
sosial
yang
tinggi.
Jika dua faksi terakhir bisa bekerja lebih maksimal dalam menjaga
independensi NU terhadap kekuasaan serta terus berusaha mengawal dan
memantapkan posisi NU sebagai civil society seperti diamanatkan khittah 1926, NU
tidak perlu menghabiskan energi untuk terlibat dalam berbagai tetek bengek politik
praktis. Toh sudah ada PKB yang menjalankan tugas itu. Sebaliknya, NU bisa
mencurahkan segenap energinya dalam gerakan-gerakan kultural untuk
memberikan pelayanan lebih maksimum tidak hanya kepada komunitasnya tetapi
juga kepada bangsa ini.
Namun, menjalankan tekad untuk kembali ke jalan yang benar seperti
salah satunya ditunjukkan dengan sangat elegan dalam keputusan Rembang,
bukannya tanpa kendala. Dalam satu segi, NU telah memberikan contoh yang sangat
bagus bagaimana seharusnya organisasi sosial menempatkan diri sebagai kekuatan
civil society di tengah gelombang politik yang demikian besar. Dengan keputusan
itu, NU diharapkan menjadi kontrol moral tidak hanya terhadap proses perebutan
kekuasaan, tetapi juga terhadap proses-proses politik berikutnya setelah kompetisi
itu selesai.
Dalam segi yang lain, NU harus betul-betul bekerja keras untuk menunjukkan
komitmennya melaksanakan misi kultural di atas. Persoalannya adalah, mesin
organisasi NU seringkali tidak cukup efektif di tingkat akar rumput. Tingkat
pemahaman akan konsep khittah dan wawasan politik yang cukup beragam serta
lemahnya bangunan struktur organisasi (instituional building) merupakan penyebab
penting munculnya permasalahan tersebut. Oleh karena itu, konsolidasi jamiyyah
harus tetap ditumbuhkan. (Disadur dari berbagai sumber).

Sumber Tulisan
"Civil Society" dan NU Pasca-Gus Dur, ditulis oleh Rumadi, staf pada Institute for the
Study and Advancement of Civil Society (ISACS) Jakarta, mahasiswa Pascasarjana
(S3) IAIN Jakarta http://www.incis.or.id/ar_18.htm
Masa Depan NU sebagai "Civil Society" ditulis oleh Agus Muhammad, Peneliti P3M
(Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat), Jakarta, Kompas, 13 Mei
2004
Menggugat Khittah NU, Humaniora Utama Press Bandung
Menilai Kecerdasan Politik NU dalam Pilpres, ditulis oleh Kholilul Rohman
Ahmad, dimuat tanggal 12/7/2004 di
http://www.islamlib.com/id/page.php?page=article&id=618
NU Setelah Pertemuan Rembang, ditulis oleh Agus Muhammad, peneliti pada
Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), Jakarta, Koran
Tempo, 21 Mei 2004
Pedoman Berpolitik Warga NU, ditulis oleh KH A. Mustofa Bisri, Rais Syuriyah
PBNU, Duta Masyarakat, 3 Agustus 2004.

Lampiran:

Qaraar Syuriyah
1.

2.

3.

4.

5.

Pengurus Besar Nahdlatul Ulama


Bismillahirrahmanirrahim
RAPAT Syuriah PBNU tanggal 16 Mei 2004, di Rembang, Jawa Tengah, setelah
mcngamati perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara akhir-akhir ini,
khususnya dalam rangka pemilihan presiden/wakil presiden 2004, dan
mendengarkan amanat rais aam serta pendapat-pendapat para anggota
syuriyah, maka berdasarkan Khittah NU sebagai jam'iyah Diniyah-Ijtima'iyah dan
ketentuan dalam ART-NU Bab XVII pasal 46 dan Bab XVII pasal XVIII, perlu
menegaskan beberapa hal sebagai berikut
Memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT bahwa berbagai komponen
bangsa yang berpikir demi kebaikan bangsa dan negara ternyata tetap dan terus
memperhitungkan NU dalam proses perjuangan dan pembangunan bangsa. Hal
ini antara lain terbukti dengan diajaknya tokoh-tokoh NU oleh partai-partai politik
yang ingin memimpin negeri ini untuk mendampingi calon-calon presiden
mereka; di samping tokoh NU yang oleh partainya dicalonkan sebagai presiden.
Banyaknya tokoh NU yang terlibat dalam pencalonan presiden dan wakil
presiden hendaklah dipandang sebagai rahmat Allah yang perlu disyukuri dan
tidak justru membuat bingung. Sebab hal ini terutama merupakan suatu
pendidikan politik bagi warga NU di dalam menggunakan haknya dan dalam
menentukan pilihannya sesuai nurani masing-masing.
Syuriyah PBNU memandang dengan husnuzhzhan bahwa semua kandidat
capres/cawapres memiliki itikad baik dan kemampuan untuk memimpin dan
membawa negeri ini menuju kehidupan yang lebih baik, maju dan bermartabat.
Karena itu Syuriyah PBNU mendukung mereka semua untuk berkompetisi
dengan sehat, berakhlak dan dengan niat tulus karena Allah dan demi rakyat.
Dalam kaitan itu Syuriyah PBNU mengingatkan kepada semua pihak, khususnya
para kandidat dan para pendukung masing-masing, bahwa semua kandidat yang
kini bersaing adalah sama-sama warga negara Indonesia yang berkeinginan
untuk memperbaiki bangsa dan negaranya. Karena itu, dalam rangka kampanye,
para kandidat dan pendukung-pendukungnya hendaknva menggunakan caracara yang terhormat dan sportif, selalu berlandaskan kepada nilai-nilai
Ketuhanan Yang Maha Esa; Kemanusiaan yang adil dan beradab; Persatuan
Indonesia; Kerakyatan yang dipimpin aleh hikmah kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan; dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Hendaklah, di dalam kampanye, masing-masing kandidat dan pendukungnya
tidak menggunakan cara-cara yang tidak terpuji seperti misalnya menyebarkan
fitnah dan menjelek-jelekkan pihak lain sesama kandidat.
Syuriyah PBNU, sesuai Rapat PBNU tanggal 21 April 2004, menghargai hak
warganya, termasuk tokoh-tokoh NU yang menjabat di PBNU, untuk dicalonkan
atau mencalonkan diri sebagai capres-cawapres, tanpa melibatkan institusi NU.
Untuk menjaga agar hal ini benar-benar bisa dipahami oleh warga NU, Syuriyah
PBNU memutuskan untuk menon-aktifkan sementara KH. Hasyim Muzadi dan Ir.
H. Sholahuddin Wahid masing-masing dari jabatan ketua umum dan ketua PBNU,
sejak secara resmi ditetapkan sebagai calon presiden/wakil presiden sampai
dengan berakhirnva proses pemilihan bagi yang bersangkutan, kecuali bila atas
kehendak sendiri yang bersangkutan menyatakan mengundurkan diri.
Penonaktifan ini juga berlaku bagi segenap pengurus NU di semua tingkatan

6.

7.

8.

9.

yang secara resmi bertindak sebagai tim sukses dan atau sebagai juru
kampanye (Jurkam) bagi masing-masing Capres/Cawapres. Selama dalam status
non-aktif, mereka tidak diperbolehkan menggunakan fasilitas institusi ke-NU-an
untuk kepentingan pemilihan yang dimaksud.
Kepada pengurus NU di seluruh jajaran diamanatkan untuk memberi penjelasan
yang jernih mengenai hal ini kepada warga dan tidak melakukan
tindakantindakan
atau
mengeluarkan
pernyataan-pernyataan
yang
mengesankan pemihakan kepada salah satu pihak yang pada gilirannya dapat
menimbulkan kebingungan dan keresahan di bawah. Sebaliknya, hendaknya
mereka ikut mengupayakan pendewasaan terhadap warga untuk menghindari
adanya keretakan di antara mereka akibat perbedaan pilihan.
Kepada tokoh-tokoh NU yang terlibat dalam pencalonan kepemimpinan negara
itu, syuriyah PBNU berpesan agar mereka semua menata hati dan niat mereka
dengan tekad yang tulus lillahi ta'alaa untuk melakukan yang terbaik bagi
bangsa dan negara Indonesia. Apabila berhasil, hendaklah bersyukur dengan
mewujudkan niat dan tekad mereka itu dan apabila tidak berhasil, dapat
menerima dengan ikhlas dan membantu mereka yang berhasil dalam
mewujudkan cita-cita bersama bangsa ini.
Kepada semua rakyat Indonesia, khususnya warga NU, syuriyah PBNU
menghimbau agar ikut mensukseskan pemilihan capres-cawapres ini dengan
semangat persaudaraan dan dapat mengulangi sikap dewasa seperti yang
ditunjukkan dalam pemilu legislatif yang lalu. Sehingga pemilu kali ini pun dapat
berjalan dengan aman dan damai.
Kepada para kiai di lingkungan NU dimohon untuk senantiasa kompak
membantu NU dalam menjaga Khittahnya dan memberikan arahan kepada
warga dalam menghadapi pemilihan presiden dan wakil presiden mendatang.
termasuk ikut menjelaskan sikap dan qaraar Syuriah PBNU ini dengan kearifan
yang mereka miliki. Kepada seluruh umat beragama, khususnya warga NU
dianjurkan untuk terus melakukan taqarrub dan berdoa memohon kepada Allah
SWT, agar bangsa dan negara Indonesia ini dirahmati-Nya dan diberi pemimpin
yang takut kepada Allah dan memiliki rasa kasih-sayang kepada rakyat.
Rembang, 16 Mei 2004
Ttd.
Ttd.
KH. MA. Sahal Mahfudz
Rais Aam

Masdar F Mas'udi
Katib

Keputusan Mustasyar
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama

Bismillahirrahmanirrahiim
Mencermati dengan seksama perkembangan yang terjadi di dalam tubuh
Jamiyyah Nahdlatul Ulama dan aspirasi yang berkembang di tengah-tengah
warga Nahdlatul Ulama, Mustasyar PBNU perlu mencari penyelesaian sebaikbaiknya, sesuai peran yang diamanatkan oleh Anggaran Dasar/Anggaran Rumah
Tangga Nahdlatul Ulama. Pada BAB XVII, pasal 45 tugas Mustasyar adalah
Menyelenggarakan pertemuan, setiap kali dianggap perlu, untuk secara kolektif
memberikan nasehat kepada Pengurus Nahdlatul Ulama menurut tingkatannya,
dalam rangka menjaga kemurnian Khittah Nahdliyyah dan ishlahu dzatil bain.
Masalah-masalah yang muncul adalah sebagai berikut :
1. Sebagian besar warga Nahdlatul Ulama menyaksikan dan merasakan bahwa
Jamiyyah Nahdlatul Ulama telah dibawa ke dalam praktik politik yang tidak
sesuai dengan Khittah Nahdliyyah. Bahwa keterlibatan Ketua Umum

2.

3.

1.

2.

a.

b.

PBNU, Akhinal karimKH. A Hasyim Muzadi sebagai Calon Wakil Presiden dari
Calon Presiden Megawati, serta keterlibatan Pengurus lainnya, baik dari jajaran
Syuriyah maupun Tanfidziyah di semua tingkatan PBNU, PWNU, PCNU, MWCNU,
hingga Pengurus Ranting NU sebagai pendukung dan tim kampanye (atau sering
disebut sebagai : Tim Sukses) untuk memenangkan pasangan Capres-Cawapres
tersebut, praktis telah membuat jamiyyah Nahdlatul Ulama ditinggalkan
pengurusnya. Akibatnya, sebagian besar warga NU merasakan tidak dilindungi
dan mendukung hak-hak politiknya karena sebagai institusi NU hanya menjadi
pelayan bagi kepentingan politik perorangan
Bahwa keterlibatan sebagian besar anggota Pengurus NU di semua level secara
kolektif di dalam proses politik praktis tersebut, telah membawa Jamiyyah
Nahdlatul Ulama ke dalam praktik politik yang tidak sesuai dengan
Khittahhahdiyyah, serta garis kebijakan yang telah digariskan oleh Muktamar.
Muktamar Lirboyo telah mengamanatkan agar Nahdlatul Ulama sebagai salah
satu komponen penting bangsa Indonesia. Utama sebagai salah satu komponen
penting bangsa Indonesia, seharusnya menjadi pelindung bagi semua aspirasi
yang berkembang, dan berusaha sebaik mungkin menjadi Ummatan Wasathan
litakunu Syuhadaa alan-Nas, yakni menjadi penengah jika terjadi pertikaian dan
saksi yang jujur atas peritiwa yang terjadi
Bahwa keterlibatan sebagian besar anggota pengurus PBNU dan pengurus di
bawahnya dalam politik partisan tersebut, akan mengaburkan fungsi Jamiyyah
Nahdlatul Ulama. Keterlibatan dalam politik praktis itu sudah seharusnya
diabaikan, dengan lebih mementingkan upaya preventif untuk mencegah
disfungsi organisasi yang akan mengakibatkan tercerai-berainya Ulama dan
terlalaikannya kepentingan warga NU, baik dalam bidang pendidikan,
kesejahteraan sosial-ekonomi, dan peningkatan kualitas demokrasi dan
penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia.
Mencermati beberapa langkah yang telah diambil Pengurus Besar
Nahdlatul Ulama dan Pengurus Nahdlatul Ulama secara organisatoris sebagai
berikut :
Syuriyah PBNU telah mengeluarkan Qaraar pada tanggal 16 Mei di Rembang,
untuk menetapkan menonaktifkan Pengurus NU yang terlibat sebagai Calon
Wakil
Presiden
berikut
Tim
Kampanye
masing-masing
pasangan
Capres/Cawapres, mulai dari pusat (PBNU) hingga tingkat Ranting. Pada awalnya
diharapkan Qaraar Syuriyah PBNU akan dapat diberlakukan secara efektif,
sehingga arah perjuangan Khittah Nahdliyyah tetap terjaga. Namun demikian,
sangat disayangkan ketika kemudian sanksi administratif yang menjadi tindak
lanjut dari Qaraar sejauh ini tidak dilaksanakan secara efektif. Akibatnya, para
anggota pengurus yang terlibat di dalam proses dan kerja-kerja politik praktis
tersebut, dengan bebas tetap dan telah menggunakan fasilitas ke-NU-an selama
proses politik tersebut berlangsung
Beberapa kalangan Pengurus Nahdlatul Ulama di berbagai tingkatan yang
memandang pentingnya upaya-upaya kongkrit meluruskan kembali garis
perjuangan Khittah Nahdliyyah, telah melakukan berbagai tindakan, dengan
beragam bentuk diantaranya :
Mengeluarkan Instruksi dan Seruan Moral kepada Pengurus NU untuk tidak
menjadi Tim Sukses atau juru kampanye salah satu Capres-Cawapres manapun,
berpegang teguh pada AD-ART NU. Hal ini misalnya dilakukan oleh PCNU
Kabupaten Tuban Jawa, PCNU Kabupaten Tulungagung Jawa Timur, PWNU Daerah
Istimewa Yogyakarta, dan PCNU Salatiga Jawa Tengah
Desakan kepada PBNU untuk membuat Petunjuk Pelaksanaan/Petunjuk Teknis
untuk menindaklanjuti Qaraar/PBNU di Rembang. Upaya ini misalnya dilakukan
oleh PCNU Pasuruan Jawa Timur, Pertemuan Pengurus dan Ulama NU di Pasir
Bokor, Tasikmalaya tanggal 10 Juni 2004, Musyawarah Alim Ulama NU se wilayah

Cirebon tanggal 12 Juni 2004, Musyawarah tujuh PCNU dan MWC se-Karesidenan
Surakarta tanggal 20 Juni, Halaqah dan Muhasabah yang dilakukan oleh PWNU
Yogyakarta tanggal 13 Juni 2004, Silaturrahim PCNU se-Jawa Tengah dan Alim
Ulama se-Jawa di Salatiga tanggal 20 Juni 2004, dll.
c. Penetapan sanksi administratif untuk menonaktifkan Pengurus NU yang terlibat
sebagai Tim Sukses dan Tim Kampanye sebagaimana yang dilakukan oleh PCNU
Salatiga dan PCNU Klaten
d. Desakan kepada Syuriyah PBNU untuk segera menggelar Muktamar Luar Biasa
atau mempercepat muktamar tersebut sebelum proses Pemilu Presiden/Wakil
Presiden sebagaimana tuntutan dari PCNU Cirebon, PCNU Kota Tasikmalaya serta
PCN Cianjur Jawa Barat. Serta berbagai keprihatinan dan tunututan dari kalangan
muda NU dan beberapa tokoh ulama non struktural di berbagai daerah seperti
Tulungagung, Yogyakarta, Surabaya, Jakarta, Cirebon, Jombang, Banyuwangi,
Madura, Cilacap, Jepara, Mataram, Pontianak, Makassar dan lainnya.
Sejauh ini, prakarsa dan tuntutan dari Pengurus Nahdlatul Ulama maupun warga
Nahdliyyin, baik yang struktur ataupun yang kultur di atas, belum mendapatkan
tanggapan yang positif dari Pengurus Besar Nahdlatul Ulama.
Demi keutuhan Jamiyyah Nahdlatul Ulama dan warga NU serta agar
terdapat kesatuan langkah penyelamatan Khittah Nahdliyyah yang dilakukan
oleh para pengurus NU yang masih bersih dan berpegang teguh pada Khittah
Nahdliyyah, maka diharapkan kepada Mustasyar PBNU untuk mengambil sikap
dan memberikan nasehat serta pertimbangan kepada PBNU agar segera
mengambil langkah tegas demi keutuhan dan keselamatan jamiyyah baik dalam
jangka pendek maupun jangka panjang.
Jangka Pendek: Syuriyah PBNU agar mengambil langkah penyelamatan terhadap
NU secara struktural dengan mengimplementasikan Qaraar, yakni :
- menonaktifkan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama yang telah dan akan
menjadi tim
sukses/juru
kampanye
dalam
pemilihan
presiden
- menghentikan penggunaan Nahdlatul Ulama dan fasilitas ke-NU-an, misalnya
penggunaan simbol-simbol ke-NU-an, penggunaan kantor NU, untuk kepentingan
politk
praktis,
khususnya
dalam
proses
pemilihan
presiden
- membuat petunjuk pelaksanaan yang rinci sehubungan dengan pelaksanaan
Qaraar, guna pelaksanaan disiplin organisasi di tingkat Pengurus Wilayah,
Pengurus Cabang dan level di bawahnya
Jangka Panjang:
1. Syuriyah PBNU menyiapkan amandemen Anggaran Dasar/Anggaran Rumah
Tangga
mengenai
hal-hal
sebagaiberikut:
- aturan yang tegas tentang larangan pengurus NU di semua level terlibat dalam
proses-proses politik praktis baik dalam jabatan legislative maupun eksekutif,
semenjak dari proses pencalonan, maupun ketika menjabat dalam jabatan
politik.
- mekanisme penghentian pengurus NU yang terlibat dalam proses politik praktis
di atas, agar ada kepastian hukum yang mengikat
2. Mengingatkan kembali, bahwa fungsi dan tugas Jamiyyah Nahdlatul Ulama
dalam fungsi diniyyah dan ijtimaiyyah, yang menjadi pemandu ummat dalam
pelaksanaan Ahlusunnah wal Jamaah, mempersatukan ulama ahlusunnah agar
tidak tercerai berai, menjadi payung dan pelindung bagi warga jamiyyah dan
seluruh komponen bangsa dalam proses kehidupan berbangsa dan
bermasyarakat. Khususnya dalam memperjuangkan kehidupan yang demokratis
di masa depan.
Wallahul muwafiq ilaa aqwamit thariq

Cipasung 27 Jumadil Ula 1425


15 Juli 2004
Mustasyar PBNU
KH. M. Ilyas Ruchyat
KH Abdurrahman Wahid
TG. H. Turmudz
KH Abdullah Fakih

You might also like