Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 20

Kata kunci: penyakit jantung rematik,

demam rematik, faringitis streptococcus,


penyakit infeksi, pediatrik, pencegahan
Abstract:
Primary prevention of acute rheumatic fever
is accomplished by proper identification and
adequate antibiotic treatment of group A hemolytic
streptococcal
(GAS)
tonsillopharyngitis. Diagnosis of GAS
pharyngitis is best accomplished by
combining clinical judgment with diagnostic
test results, the criterion standard of which is
the throat culture. Penicillin (either oral
penicillin V or injectable benzathine
penicillin) is the treatment of choice,
because it is cost-effective, has a narrow
spectrum of activity, and has long-standing
proven efficacy, and GAS resistant to
penicillin have not been documented. For
penicillin-allergic individuals, acceptable
alternatives include a narrow-spectrum oral
cephalosporin, oral clindamycin, or various
oral macrolides or azalides. The individual
who has had an attack of rheumatic fever is
at very high risk of developing recurrences
after subsequent GAS pharyngitis and needs
continuous antimicrobial prophylaxis to
prevent such recurrences (secondary
prevention). The recommended duration of
prophylaxis depends on the number of
previous attacks, the time elapsed since the
last attack, the risk of exposure to GAS
infections, the age of the patient, and the
presence or absence of cardiac involvement.
Penicillin is again the agent of choice for
secondary prophylaxis, but sulfadiazine or a
macrolide or azalide are acceptable
alternatives in penicillin-allergic individuals.
This scientific paper will explain about
prevention and therapy of rheumatic fever
and acute pharyngitis caused Group A
hemolytic Streptococcal (GAS).
Keyword:
rheumatic
heart
disease,
rheumatic fever, streptococcal pharyngitis,
infectious disease, pediatrics, prevention.
Pendahuluan
Pencegahan serangan awal dan
serangan kambuhan demam rematik
tergantung pada kontrol tonsilofaringitis
Streptococcus hemolitikus Grup A
(GAS). Pencegahan serangan pertama
1

Pencegahan Demam Rematik dan


Diagnosis serta
Penatalaksanaan Faringitis Akut et
causa Streptococcus
KELOMPOK 7
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida
Wacana
Jl. Arjuna Utara No.6, Jakarta Barat 11510
2016

Abstrak:
Pencegahan primer dari demam rematik akut
dilakukan dengan identifikasi yang adekuat
dan
pengobatan
antibiotik
pada
tonsilofaringitis yang disebabkan oleh
Streptococcus hemolitikus Grup A
(GAS). Diagnosis paling baik faringitis yang
disebabkan oleh GAS adalah dari gejala
klinis dan pemeriksaan kultur swab
tenggorokan. Penisilin (baik Penisilin V oral
atau Benzatin Penisilin injeksi) adalah
pengobatan pilihan, karena harganya yang
terjangkau, spektrum aktivitas yang sempit,
keberhasilan terapi yang berlangsung lama,
dan belum ditemukannya resisten GAS
terhadap penisilin. Untuk individu yang
memiliki alergi terhadap penisilin dapat
menggunakan sefalosporin, klindamisin,
makrolid atau azalides (golongan makrolid)
secara oral. Individu yang telah mendapat
serangan demam rematik memiliki resiko
tinggi terjadinya kekambuhan setelah
faringitis karena GAS dan memerlukan
profilaksis berupa antibiotik secara terus
menerus untuk mencegah kambuhan
(pencegahan
sekunder).
Lamanya
pengobatan profilaksis yang dianjurkan
tergantung kepada berapa banyak serangan,
jarak waktu sejak serangan terakhir, paparan
infeksi GAS, usia pasien, dan adanya
kelainan jantung. Penisilin adalah obat
pilihan untuk pencegahan sekunder, tetapi
sulfadiazine atau makrolid atau azalide
dapat menjadi alternatif bagi individu yang
memiliki alergi penisilin. Pada karya ilmiah
ini akan dijelaskan mengenai pencegahan
dan terapi dari demam rematik dan faringitis
akut akibat Streptococcus hemolitikus
Grup A (GAS).

Primer)
Infeksi GAS di faring adalah pencetus dari
demam rematik. Selama epidemi pada lebih
dari setengah abad yang lalu, 3% sakit
tenggorokan akibat Streptococcus yang tidak
mendapatkan terapi, berkembang menjadi
demam rematik; pada infeksi endemik,
insidens demam rematik banyak sekali
berkurang. Terapi antibiotik yang tepat pada
faringitis karena Streptococcus dapat
mencegah munculnya demam rematik pada
sebagian besar kasus. Sayangnya, sepertiga
kasus demam rematik episode akut
merupakan hasil perkembangan dari infeksi
streptococcus yang tidak memiliki gejala.
Sebagai tambahan, beberapa pasien yang
memiliki gejala klinis, tidak mencari
perawatan
medis
untuk
mengobati
penyakitnya. Dalam kasus ini, demam
rematik tidak dapat dicegah.
Diagnosis Infeksi Streptococcus
Pencegahan serangan awal demam
rematik membutuhkan pengenalan yang
akurat dan terapi antibiotik yang tepat untuk
mengobati faringitis karena infeksi GAS.
Infeksi streptococcus pada kulit (impetigo
atau pioderma) belum dapat dibuktikan
dapat berkembang menjadi demam rematik.
Faringitis akut lebih banyak disebabkan oleh
virus dibandingkan bakteri. Virus yang
umumnya menyebabkan faringitis adalah
virus influenza, virus parainfluenza, virus
Epstein-Barr, enterovirus, dan virus herpes.
Penyebab lain faringitis akut adalah Grup C
dan
G
streptococcus,
Neisseria
gonorrhoeae, Mycoplasma pneumonia,
Chlamydia pneumonia, Arcanobacterium
hemolyticum, dan Human Immunodeficiency
Virus (HIV).
Faringitis GAS merupakan penyakit
pada anak berusia 5-15 tahun dan tinggal di
daerah beriklim sedang, biasanya terjadi
pada musim dingin dan awal musim semi.
Faringitis GAS tidak umum pada anak-anak
prasekolah, tetapi terjadinya outbreak di
perawatan anak telah dilaporkan. Namun,
demam rematik jarang terjadi pada anak
yang lebih muda dari 3 tahun di Amerika
Serikat. Serangan awal demam rematik juga
jarang terjadi pada dewasa, tetapi kejadian
2

(pencegahan primer) dengan melakukan


identifikasi yang adekuat dan pengobatan
antibiotik untuk infeksi Streptococcus.
Individu yang telah mendapat serangan
demam rematik memiliki resiko tinggi
terjadinya kekambuhan setelah faringitis
karena GAS dan memerlukan profilaksis
berupa antibiotik secara terus menerus untuk
mencegah
kambuhan
(pencegahan
sekunder).
Di Negara berkembang, demam
rematik akut dan penyakit jantung rematik
diperkirakan telah mengenai 20 juta orang
dan merupakan salah satu penyebab
kematian kardiovaskular selama 5 dekade
pertama kehidupan. Sebaliknya, kejadian
demam rematik akut telah menurun secara
dramatis di negara maju. Pada beberapa
bagian di Amerika Serikat, terdapat wabah
di masyarakat dan petugas militer di tahun
1980. Kemunculan kejadian ini berfungsi
sebagai
pengingat
kepada
seberapa
pentingnya pencegahan demam rematik di
negara maju dan berkembang. Namun, saat
ini, insiden demam rematik akut masih
sangat rendah di beberapa daerah di
Amerika Serikat.
Klasifikasi Rekomendasi:
Kelas I: Kondisi terbukti bahwa terapi
berguna atau efektif
Kelas II: Masih ada perdebatan atau
perbedaan pendapat baik kegunaan atau
efektivitas dari terapi
Kelas IIa: Bukti menunjukkan bahwa lebih
efektif
Kelas IIb: Bukti menunjukkan bahwa
kurang efektif
Kelas III: Kondisi terbukti bahwa terapi
tidak berguna atau tidak efektif
Level Pembuktian:
Level A: data didapatkan dari multiple
random sampling atau meta-analyses
Level B: data didapatkan dari single random
sampling atau penelitian non random
Level C: hanya berdasarkan konsensus atau
opini dari para ahli, studi kasus, atau standar
perawatan.
Pencegahan Serangan Awal (Pencegahan

kambuhan terdokumentasi dengan baik.


Nyeri saat menelan
Demam
Gejala klinis pada faringitis akut
Ruam scarlet
(Tabel 1) termasuk sakit tenggorokan
Sakit kepala
(muncul tiba-tiba), nyeri saat menelan,
Mual, muntah, dan sakit perut
demam dengan bermacam-macam derajat
Tonislofaringeal eritema
(38,3o C 40o C) dan sakit kepala; sakit
Tonsilofaringeal eksudat
Petechiae palatum molle (doughnut lesions)
perut, mual, muntah juga terjadi terutama
Uvula bengkak dan kemerahan
pada anak. Gejala klinis tambahan yang
Pembesaran KGB leher: nodular, lembut
dapat ditemukan termasuk tonsilofaringeal
Usia 5-15 tahun
eksudat,
Musim dingin atau awal musim semi (di daerah beriklimeritema
sedang) dengan atau tanpa
limfadenitis
cervical
anterior,
petechiae
Riwayat paparan

Gejala klinis akibat infeksi virus


Konjungtivitis
Coryza
Suara serak
Batuk
Diare
Eksantema
Enantema

Baik kultur agar darah maupun RADT


(Rapid Antigen Detection Test / Test deteksi
antigen cepat) tidak dapat dipercaya untuk
membedakan orang dengan pembawa
faringitis GAS (carrier) dengan faringitis
karena virus. Namun, mereka memfasilitasi
resistensi antibiotik dari sebagian besar
pasien sakit tenggorokan, yang hasil kultur
dan RADTnya negatif, dan ini sangatlah
penting. penderita carrier sering ditemukan
terutama pada anak-anak usia sekolah. Pada
musim dingin dan awal musim semi,
sebanyak 15% anak usia sekolah mungkin
penderita carrier asimtomatik.18
Pada saat menentukan kapan melakukan test
mikrobiologi pada pasien faringitis akut,
gejala klinis, dan penemuan epidemiologi
pada tabel 1 perlu dipertimbangkan (Class I,
LOE B). Apabila hasilnya sugestif faringitis
GAS, maka harus dilakukan pemeriksaan
kultur tenggorok dan RADT untuk
mendiagnosis.
Lebih
mudah
untuk
menyingkirkan diagnosis faringitis GAS
dibandingkan menegakkan diagnosis secara
akurat. Maka dari itu, pasien dengan sugestif
3

palatum molle, uvula radang dan bengkak,


dan rash scarlatiniform. Tidak ada satupun
gejala
klinis
yang
spesifik
untuk
mendiagnosa faringitis akibat infeksi GAS,
tanda-tanda dan gejala klinis dapat terjadi
dengan infeksi saluran pernapasan atas
lainnya. Gejala klinis ini umumnya
ditemukan pada pasien yang berusia lebih
dari 3 tahun dan dewasa. Gejala klinis yang
ditemukan pada anak kecil yang lebih muda
bisa berbeda dan kurang spesifik.
Contohnya, bayi dengan infeksi saluran
pernapasan atas akibat GAS dapat memiliki
gejala ekskoriasi nares atau terdapat sekret
purulent pada hidung. Riwayat kontak
dengan penderita faringitis GAS sangat
membantu dalam menegakkan diagnosis,
dan juga untuk meningkatkan kesadaran
akan tingginya prevalensi infeksi GAS di
masyarakat.. Gejala klinis yang ditemukan
pada pasien infeksi virus adalah faringitis
episode akut dengan coryza, suara serak,
batuk, diare, konjungtivitis, dan karakteristik
enantema dan eksantema (Tabel 1).
Pada kenyataannya, sangat sulit
untuk menentukan perbedaan yang akurat
antara faringitis GAS dan akibat patogen
lain, berdasarkan gejala klinis dan riwayat
perjalanan penyakit pasien, bahkan untuk
dokter yang berpengalaman. Oleh karena
itu,
perlu
dilakukan
pemeriksaan
mikrobiologi dari kultur swab tenggorokan
atau Rapid Antigen Detection Test (RADT),
untuk mengetahui diagnosis pasti faringitis
GAS.
Tabel 1: Gejala Klinis dan Epidemiologi
pada Diagnosis Faringitis GAS
Gejala klinis akibat infeksi GAS

berkaitan dengan infeksi. Dokter boleh tidak


memberikan terapi antibiotik kepada orang
dengan sakit tenggorok namun menunjukkan
hasil kultur negatif.
Test Deteksi Antigen (RADT / Rapid
Antigen Detection Test)
Banyak test deteksi antigen GAS yang
tersedia dengan berbagai macam metode.
Sebagian besar memiliki spesifisitas yang
tinggi, namun sensitivitas yang sangat
rendah. Oleh karena itu, pengobatan
diindikasikan kepada pasien faringitis akut
dengan hasil RADT positif (Class I, LOE
B). Sama halnya dengan kultur tenggorok,
hasil RADT yang positif dapat menandakan
kolonisasi GAS kronik dan gejala klinik
akut dapat disebabkan oleh agent lain.
Sebagian besar RADT, hasil yang negatif
tidak meniadakan kemungkinan adanya
GAS, dan harus dilanjutkan dengan
pemeriksaan kultur tenggorok (Class I,
LOE B).17,22 Beberapat test yang telah
dikembangkan
mungkin
memiliki
sensitivitas yang lebih tinggi dari RADT dan
mungkin sesensitif kultur agar darah.23,24
Bagaimanapun, belum ada penelitian untuk
membuktikan apakah RADT lebih sensitif
dari test lainnya, serta cukup sensitif untuk
dilakukan secara rutin pada anak tanpa
konfirmasi kultur tenggorok apabila
didapatkan hasil negatif. Para ahli merasa
jika dokter melakukan RADT tanpa kultur
pada
anak
dan
remaja
harus
membandingkan hasil test RADT dengan
kultur agar darah untuk memastikan
sesitivitasnya (Class IIa, LOE C).
Dikarenakan gambaran epidemiologi dari
faringitis akut pada dewasa (insidensi
infeksi GAS rendah dan risiko demam
reumatik akut yang sangat rendah),
diagnosis faringitis GAS pada sebagian
besar orang dewasa hanya berdasarkan hasil
RADT, tidak perlu pembuktian hasil negatif
RADT dengan hasil negatif dari kultur
tenggorok, dapat diterima sebagai alternatif
untuk mendiagnosis selain dari hasil kultur
tenggorok (Class IIa, LOE C).19
Test Antibodi Streptococcal
4

faringitis viral, kemungkinan hasil test dari


GAS rendah, dan biasanya tidak dilakukan
(Class IIb, LOE B). Penggunaan selektif
test diagnostik GAS bukan hanya
meningkatkan proporsi hasil test positif,
namun juga proporsi kasus dimana pasien
dengan hasil test positif benar-benar
terinfeksi dan bukan hanya carrier GAS
dengan faringitis viral. Walaupun pengujian
GAS untuk orang-orang yang tinggal
bersama anak yang terkena faringitis GAS
tidak dilakukan secara rutin, hapus
tenggorok harus diambil dari semua orang
serumah yang melakukan kontak dengan
anak yang terkena demam reumatik. Dan
jika hasilnya positif, maka orang tersebut
harus diberikan terapi.
Orang dewasa dengan faringitis akut
memiliki insidens infeksi GAS lebih rendah
dibandingkan dengan anak-anak. Risiko
dewasa terkena serangan demam reumatik
akut sangatlah rendah walaupun episode
faringitis GAS tidak terdiagnosis dan tidak
diberikan terapi. Karena itu, tanpa
konfirmasi
pemeriksaan
mikrobiologi,
penggunaan
algoritma
klinis
telah
direkomendasikan oleh beberapa penulis
untuk mendiagnosis faringitis GAS pada
dewasa
dan
bukan
untuk
anak.19
Bagaimanapun, penggunaan pendekatan
klinis ini tidak direkomendasi karenadapat
mengakibatkan
pemberian
terapi
antimikroba yang tidak sesuai pada banyak
orang
dewasa
dengan
faringitis
nonstreptococcal.
Kultur Tenggorok
Kultur tenggorok merupakan metode yang
biasa dilakukan untuk mendiagnosis
faringitis GAS dan merupakan gold standar.
Pada pasien faringitis GAS yang tidak
diterapi, pengambilan swab dengan benar
(swab kuat pada kedua tonsil dan faring
posterior), hasil kultur hampir selalu positif.
Bagaimanapun, kultur tenggorok yang
positif dapat menandakan kolonisasi GAS
kronik, dan gejala akut dapat disebabkan
karena agentI lain. Jumlah hitung GAS pada
kultur tenggorok tidak membedakan
pembawa dengan orang yg terinfeksi, karena
pertumbuhan yang tersebar mungkin

Pencegahan
demam
rematik
memerlukan terapi yang mencukupi untuk
faringitis GAS. Dalam memilih regimen
untuk pengobatan faringitis GAS, dokter
harus mempertimbangkan berbagai faktor,
termasuk bakteriologis dan keberhasilan
klinis, kepatuhan terhadap regimen yang
direkomendasikan (frekuensi pemberian
harian, durasi terapi, dan palatabilitas),
biaya, spektrum aktivitas agen yang dipilih,
dan potensi efek samping. Tidak ada
regimen yang dapat mengeradikasi 100%
GAS dari faring dari pasien yang diobati,
meskipun 100% dari GAS menunjukkan
kerentanan in vitro terhadap semua agen laktam (penisilin dan sefalosporin)

Titer antibodi streptococcal menandakan


reaksi imunologi terdahulu dan bukan
sekarang sehingga tidak dapat digunakan
untuk memastikan seseorang terinfeksi
faringitis GAS atau hanya carrier.
Peningkatan titier antibodi antistreptococcal
mampu memastikan infeksi GAS dan
bermakna untuk mengidentifikasi infeksi
GAS yang sedang berlangsung pada pasien
suspek demam reumatik. Yang paling sering
digunakan adalah antistreptolysin O dan
antideoxyribonuclease B. Test-test ini
bermakna pada pasien yang mungkin
mempunyai komplikasi nonsupuratif dari
infeksi GAS (demam reumatik akut dan
glomerulonefritis akut). Biasanya test
antistreptolysin O dilakukan terlebih dahulu,
dan jika hasilnya tidak meningkat, test
antideoxyribonuclease B baru dilakukan.
Titer antistreptolysin O mulai meningkat
sekitar 1 minggu dan memuncak 3 sampai 6
minggu
setelah
infeksi.
Titer
antideoxyribonuclease B mulai meningkat 1
sampai 2 minggu dan memuncak 6 sampai 8
minggu setelah infeksi. Kenaikan titer pada
kedua test dapat bertahan untuk beberapa
bulan bahkan setelah infeksi GAS tanpa
komplikasi.
Tidak jarang laboran dan dokter salah
menginterpretasi titer antibodi streptococcal
karena tidak memahami bahwa kadar
normal antibodi ini lebih tinggi pada anak
sekolah dibandingkan pada dewasa.25 Baik
test
antistreptolysin
O
maupun
antideoxyribonuclease B merupakan uji
netralisasi.
Uji
yang
lebih
baru
menggunakan aglutinasi latex atau uji
dengan nephelometer.26 Dokter harus lebih
berhati-hati dalam menginterpretasikan hasil
uji serologi streptoccocal pada pasien.
Uji aglutinasi untuk mendeteksi antibodi
terhadap antigen streptococcal adalah uji
Streptozyme
(Wampole
Laboratories,
Stamford, Conn). Uji ini kurang baik jika
dibandingkan dengan uji antibodi lainnya,
dan tidak seharusnya digunakan untuk
membuktikan adanya infeksi GAS (Class
III, LOE B).27,28
Jadwal Pengobatan yang Dianjurkan

Tabel 2. Pencegahan primer demam rematik (Pengobatan tonsilofaringitis streptokokus)


Agen

Dosis

Pemberian

Durasi

Tingkat

Penicillin V
(phenoxymethyl
penicillin)

anak: 2-3 x 250mg / hari (27kg) dan 2-3


x 500mg / hari (anak >27kg, remaja, dan
dewasa)

oral

10 hari

IB

Amoxicillin

50mg/kg per hari (max.1gr)

oral

10 hari

IB

Benzathine penicillin G

600.000 U (27kg); 1.200.000 U (>27kg)

Intramuskular

1x

IB

Sefalosporin narrow
spectrum (Cephalexin,
cefadroxil)

Variabel

oral

10 hari

IB

Clindamycin

20mg/kg per hari dibagi 3 dosis (max.


1.8gr/hari)

oral

10 hari

IIaB

Azithromycin

12mg/kg sehari sekali (max. 500mg)

oral

5 hari

IIaB

Clarithromycin

15mg/kg 2x sehari (max. 250mg)

oral

10 hari

IIaB

Penicillin:

Jika alergi Penicillin:

tenggorokan sebelum terapi antibiotik


dimulai tidak meningkatkan risiko demam
rematik. Namun, diagnosis dini (misalnya,
dengan uji antigen cepat) dan terapi dapat
mengurangi periode infektivitas dan
morbiditas, yang akan memungkinkan
pasien untuk kembali beraktivitas seperti
biasa dengan lebih cepat. Pasien dianggap
tidak lagi menular setelah 24 jam terapi.32
Penisilin Oral
Antibiotik oral pilihan adalah
penisilin V dan amoksisilin (Tabel 2). Uji
klinis komparatif dengan menggunakan
penisilin V dosis 40 mg/kg (tidak melebihi
750 mg untuk orang dengan berat <27 kg)
per 24 jam, diberikan dalam 3 dosis.
Umumnya, 250 mg 2 kali sehari dianjurkan
untuk anak-anak (Kelas I, LOE B).33,34
Hanya sedikit informasi yang tersedia
tentang dosis penisilin untuk orang dewasa.
Dosis 500 mg 2 sampai 3 kali sehari
dianjurkan untuk remaja dan dewasa (Kelas
I, LOE B). Semua pasien harus terus
mengkonsumsi penisilin secara teratur untuk
periode 10 hari, meskipun mereka
kemungkinan akan menjadi asimtomatik
setelah beberapa hari pertama (Kelas I,
LOE A). Penisilin V lebih disukai dari
penisilin G karena lebih tahan terhadap asam
lambung. Akhir-akhir ini, amoksisilin oral
dengan formulasi time-released telah
6

Intramuskular penisilin benzatin G


dan oral penisilin V adalah obat antimikroba
yang direkomendasikan untuk pengobatan
GAS, kecuali pada individu dengan riwayat
alergi penisilin (Kelas I, LOE B; Tabel 2).
Satu-satunya terapi antimikroba yang
direkomendasi yang telah diteliti dalam
studi terkontrol dan menunjukkan dapat
mencegah serangan awal demam rematik
akut adalah terapi intramuskular terapi
repositori-penisilin.29,30 Studi ini dilakukan
dengan prokain penisilin G di dalam minyak
yang mengandung monostearat aluminium,
sediaan ini kemudian telah digantikan
dengan penisilin benzatin G. Oleh karena
itu, tidak ada dari regimen tersebut
tercantum dalam Tabel 2 telah diberikan
peringkat kelas I, LOE A. Penisilin memiliki
aktivitas
spektrum
yang
sempit,
keberhasilan yang terbukti lama, dan
regimen yang murah. GAS yang resisten
terhadap
penisilin
tidak
pernah
didokumentasikan. Penisilin dapat diberikan
intramuskular atau oral tergantung pada
penilaian dokter terhadap pasien apakah bisa
mematuhi regimen secara oral dan risiko
demam rematik dalam populasi tertentu.
Walaupun ketika mulai saat 9 hari setelah
timbulnya penyakit akut, penisilin masih
efektif mencegah serangan utama demam
rematik.31 Oleh karena itu, penundaan 24
hingga 48 jam untuk memproses kultur swab

dibandingkan pada anak-anak. Reaksi ini


terjadi hanya pada sebagian kecil pasien,
yang paling sering setelah injeksi, termasuk
urtikaria dan edema angioneurotic. Reaksi
serum sickness-like ditandai dengan demam
dan nyeri sendi yang dapat dikelirukan
dengan demam rematik akut. Anafilaksis
jarang terjadi, terutama pada anak-anak.
Anamnesis yang teliti mengenai reaksi alergi
terhadap penisilin harus diperoleh.
Agen Antimikroba yang lain
Sefalosporin Oral
Terapi selama 10 hari dengan
spektrum
sempit
sefalosporin
oral
direkomendasikan untuk sebagian besar
individu yang alergi penisilin (Kelas I, LOE
B). Beberapa laporan menunjukkan bahwa
terapi selama 10 hari dengan sefalosporin
oral lebih unggul dibanding dengan 10 hari
penisilin oral dalam mengeradikasi GAS
dari
faring.44-47
Analisis
data
ini
menunjukkan bahwa terjadinya perbedaan
dalam mengeradikasi GAS dari faring
adalah karena terjadi eradikasi tingkat yang
lebih tinggi terhadap carrier yang berlaku
secara tidak sengaja di uji klinis.
Sefalosporin spektrum sempit seperti
cefadroxil atau cephalexin jauh lebih disukai
dibanding sefalosporin spektrum luas seperti
cefaclor, cefuroxime, cefixime, cefdinir, dan
cefpodoxime. Beberapa orang yang alergi
terhadap penisilin (hingga 10%) juga alergi
terhadap sefalosporin, dan agen ini
seharusnya tidak digunakan pada pasien
dengan reaksi hipersensitivitas tipe cepat
terhadap penisilin.48
Kebanyakan
sefalosporin
oral
spektrum luas jauh lebih mahal daripada
penisilin atau amoksisilin, dan cenderung
lebih dipilih untuk antibiotik resisten flora.
Laporan lain menunjukkan bahwa terapi 5
hari dengan sefalosporin oral spektrum luas
yang terpilih sebanding dengan terapi 10
hari penisilin oral dalam mengeradikasi
GAS dari faring.49-52 Beberapa regimen ini
saat ini tidak disetujui oleh Food and Drug
Administration, dan studi lebih lanjut
diperlukan
untuk
memperluas
dan
mengkonfirmasi pengamatan ini sebelum
terapi
pendek
regimen
ini
dapat
direkomendasikan.
7

mendapat persetujuan dari US Food and


Drug Administration sebagai terapi sehari
sekali untuk faringitis GAS pada mereka
yang berusia 12 tahun dan lebih tua. Dalam
uji klinis komparatif, amoksisilin sekali
sehari (50 mg/kg, maksimum 1000 mg)
selama 10 hari telah terbukti efektif untuk
faringitis GAS (Kelas I, LOE B).35-38 Agen
dengan spektrum luas ini memiliki
keuntungan pada dosis sekali sehari di mana
dapat meningkatkan kepatuhan, relatif
murah, dan suspensi amoksisilin jauh lebih
enak daripada suspensi penisilin V.

Intamuskular Benzatin Penisilin G


Benzatin
penisilin
G
harus
dipertimbangkan terutama pada pasien yang
tidak mungkin untuk menyelesaikan terapi
oral selama 10 hari dan untuk pasien dengan
riwayat pribadi atau keluarga dengan demam
rematik atau penyakit jantung rematik atau
faktor
lingkungan
(seperti
kondisi
lingkungan yang padat atau status sosial
ekonomi rendah) yang menempatkan
mereka pada risiko demam rematik yang
tinggi (Kelas IIa, LOE B).39-42 Benzatin
penisilin G diberikan secara injeksi tunggal
ke dalam massa otot yang besar. Cara ini
menyakitkan;
namun
suntikan
yang
mengandung prokain penisilin sebagai
tambahan kepada benzatin penisilin G
(Bicillin
C-R) kurang menyakitkan.
Ketidaknyamanan
pemberian
secara
intramuscular benzatin penisilin G dapat
dikurangi dengan penghangatan sampai suhu
kamar sebelum disuntikan.
Dosis yang dianjurkan penisilin G
adalah 600 000 U IM untuk pasien dengan
berat 27 kg (60 pon) atau kurang dan 1 200
000 U untuk pasien yang berat lebih dari 27
kg. Kombinasi 900 000 U benzatin penisilin
G dan 300 000 U prokain penisilin G
(Bicillin C-R 900/300) adalah terapi yang
efektif bagi anak yang lebih kecil.43
Keberhasilan kombinasi ini untuk pasien
yang lebih berat seperti remaja atau orang
dewasa membutuhkan studi lebih lanjut.
Reaksi alergi terhadap penisilin lebih
sering terjadi pada orang dewasa

pernapasan atas grup A streptokokus.


Tetrasiklin tidak boleh digunakan karena
tingginya prevalensi strain resisten (Kelas
III, LOE B). Sulfonamid dan trimetoprimsulfametoksazol tidak mengeradikasi GAS
pada pasien dengan faringitis dan tidak
boleh digunakan untuk mengobati infeksi
aktif
(Kelas
III,
LOE
B).58
Fluoroquinolones yang lama (misalnya,
ciprofloxacin) memiliki aktivitas yang
terbatas terhadap GAS dan tidak boleh
digunakan untuk mengobati GAS faringits
(Kelas III, LOE B). Fluoroquinolones yang
baru
(misalnya,
levofloxacin,
moksifloksasin) aktif in vitro terhadap GAS
tapi mahal dan memiliki aktivitas spektrum
luas yang tidak diperlukan, dan karena itu,
golongan ini tidak direkomendasikan untuk
pengobatan rutin GAS faringitis (Kelas III,
LOE B).60
Pengobatan Lain yang direkomendasikan
Tindak Lanjut dari Kultur Tenggorokan
Sebagian besar pasien dengan GAS
faringitis memberi respon secara klinis
terhadap terapi antimikroba, dan GAS dapat
dieradikasi dari faring.61 Kultur swab
tenggorokan pasca rawatan, 2 sampai 7 hari
setelah selesai terapi hanya diindikasikan
untuk pasien yang tetap bergejala, yang
gejalanya kambuh, atau yang memiliki
demam rematik dan karena itu berisiko
sangat tinggi untuk kambuh (Kelas 1, LOE
C).
Kegagalan Terapi
Kegagalan untuk mengeradikasi
GAS dari tenggorokan lebih sering terjadi
setelah pemberian penisilin secara oral
dibandingkan
setelah
pemberian
intramuskular penisilin benzatin G.62
Pengulangan program terapi antibiotik
jarang diindikasikan pada pasien tanpa
gejala yang masih ada GAS setelah terapi
yang tepat dilakukan (Kelas IIb, LOE C).
Kebanyakan pasien yang gagal adalah
pembawa kronis yang telah lama berlakunya
kolonisasi GAS di daerah tersebut. Program
kedua terapi pada individu asimtomatik
harus dipertimbangkan hanya untuk mereka
dengan riwayat demam rematik sebelumnya
yang di alami sendiri atau di alami oleh
8

Klindamisin Oral
Resistensi klindamisin terhadap GAS
yang diisolat di Amerika Serikat adalah
1%, dan ini merupakan agen yang wajar
untuk mengobati pasien yang alergi pada
penisilin (Kelas IIa, LOE B; Tabel 2)
Makrolid
Penggunaan suatu makrolid oral
(eritromisin atau klaritromisin) atau azalid
(azitromisin) adalah wajar untuk pasien
yang alergi terhadap penisilin (Kelas IIa,
LOE B). Sepuluh hari terapi diindikasikan,
kecuali untuk azitromisin, yang diberikan
selama 5 hari (Tabel 2) Makrolid
(eritromisin dan klaritromisin), dan untuk
azalid tingkat yang jauh lebih rendah
(azitromisin),
dapat
menyebabkan
perpanjangan interval QT, namun ini
tergantung pada dosisnya. Karena makrolid
dimetabolisme secara luas oleh sitokrom P450 3A, ia tidak harus diambil bersamaan
dengan inhibitor sitokrom P-450 3A seperti
agen antijamur azole, protease inhibitor HIV
dan beberapa selektif serotonin reuptake
inhibitor antidepressents.53-54 Eritromisin
mungkin dapat dipertimbangkan tetapi
dikaitkan dengan tingkat yang jauh lebih
tinggi dari efek samping gastrointestinal
dibanding degan agen lain (Kelas IIb, LOE
B). Strain GAS yang resisten terhadap agen
ini telah tersebar merata di beberapa wilayah
di dunia, yang telah mengakibatkan
kegagalan pengobatan.55 Dalam beberapa
tahun terakhir, tingkat resistensi makrolid
terhadap isolasi dari faring di sebagian besar
wilayah Amerika Serikat sekitar 5% sampai
8%.56
Pertimbangan Lain
Studi menunjukkan bahwa flora di
saluran
pernapasan
bagian
atas
menghasilkan -laktamase yang dapat
mengganggu penisilin dalam pengobatan
GAS faringitis belum terbukti.57 Terapi
antibiotik ditujukan langsung terhadap
organisme ini masih kontroversial dan tidak
diindikasikan pada pasien dengan faringitis
akut (Kelas III, LOE B).
Antimikroba
tertentu
tidak
dianjurkan untuk pengobatan infeksi saluran

dan orang dewasa yang mendapatkan


rawatan di instalasi gawat darurat. Demam
rematik akut belum dinyatakan sebagai
komplikasi dari kedua kelompok C atau
kelompok G faringitis streptokokus. Karena
itu, alasan utama untuk mengidentifikasi
kedua kelompok C atau kelompok G
streptococcus apakah sebagai penyebab
faringitis akut adalah dengan memulai terapi
antimikroba yang dapat mengurangi
perjalanan klinis infeksi. Namun, tidak ada
bukti yang meyakinkan dari studi terkontrol
respon klinis terhadap terapi antimikroba
pada pasien dengan faringitis akut dan kedua
kelompok C atau kelompok G streptococcus
diisolasi dari faring mereka.
Pencegahan Serangan Rekurensi Demam
Rematik (Pencegahan Sekunder)
Pertimbangan Umum
Seseorang yang telah mendapat
serangan demam rematik yang juga
pengidap Faringitis GAS mempunyai resiko
tinggi untuk mendapat serangan rekuren
demam rematik. Serangan rekuren dapat
diasosiasikan dengan gejala demam rematik
yang lebih berat dibandingkan serangan
pertama atau tidak jarang seseorang
mendapatkan serangan demam rematik
dengan penyakit jantung rematik yang tidak
ada pada serangan pertama. Pencegahan
serangan rekuren Faringitis GAS merupakan
metode yang paling efektif untuk mencegah
perkembangan Demam Rematik Berat.
Infeksi GAS tidak memerlukan gejala untuk
memulai sebuah rekurensi. Selanjutnya,
rekurensi demam rematik juga dapat timbul
meskipun infeksi yang ada sudah diatasi
dengan optimal. Oleh karena itu,
pencegahan
sekunder
membutuhkan
profilaksis antimikroba secara terus menerus
dibanding pengobatan episode akut faringitis
streptococcus. Profilaksis yang terus
menerus direkomendasikan untuk pasien
dengan riwayat penyakit demam rematik
(termasuk kasus Sydenham chorea) dan
yang terbukti penyakit jantung rematik.
Profilaksis tersebut harus segera dimulai
setelah didiagnosis demam rematik atau
penyakit jantung rematik. Terapi dengan
penicillin harus diberikan kepada pasien
demam rematik akut untuk mengeradikasi
9

anggota keluarga mereka. Individu yang


simpatomatik yang masih ada GAS di faring
walaupun setelah menyelesaikan program
terapi dapat dirawat dengan agen
antimikroba yang sama, dimana diberikan
secara
oral
atau
diberikan
secara
intramuskular benzatin penisilin G, terutama
jika pasien sulit untuk patuh terhadap terapi
oral. Namun, pendapat mereka yang ahli
berbeda tentang terapi yang paling tepat
dalam situasi ini (Kelas II, LOE C). Agen
seperti spektrum sempit sefalosporin,
klindamisin, atau amoksisilin- asam
klavulanat, atau kombinasi penisilin dengan
rifampisin, dilihat lebih wajar dalam
pengobatan pasien dengan GAS faringitis
yang telah gagal dalam pengobatan awal
dengan penisilin (Kelas IIa, LOE B).
Pembawa
Pembawa
kronik
streptokokus
(didefinisikan sebagai individu dengan
kultur swab tenggorokan positif bagi GAS
tanpa temuan klinis atau respon kekebalan
terhadap antigen GAS) biasanya tidak perlu
diidentifikasi
atau
diobati
dengan
antibiotik.18 Pembawaan streptokokus dapat
bertahan selama berbulan-bulan, dan
masalah diagnostik muncul ketika gejala
infeksi saluran pernapasan atas berkembang
pada pembawa tersebut. Oleh karena tidak
mungkin untuk membedakan pembawa
dengan orang yang terinfeksi, maka satu
rangkaian terapi antibiotik yang tepat harus
diberikan kepada setiap pasien yang
mengalami faringitis akut dan terbukti GAS
dari kultur swab tenggorokan atau dengan
tes deteksi antigen (Kelas I, LOE C).
Pembawa streptokokus tampak memberi
risiko yang sedikit dalam pengembangan
demam rematik. Secara umum, pembawa
kronis dianggap tidak penting dalam
penyebaran GAS untuk individu yang hidup
dan bekerja di sekitar mereka.18
Non-GAS Faringitis
Kedua kelompok C dan kelompok G
-hemolitik
streptokokus
dapat
menyebabkan faringitis akut dengan gejala
klinis mirip dengan GAS faringitis. Grup C
streptokokus.lo penyebab yang relatif umum
dari faringitis akut di kalangan mahasiswa

10

11

Demam
rematiktanpa
karditis

5tahunatau
sampaiusia21
tahun
(tergantungyang
manayanglebih
lama)

1C

Rating
mengindikasikan
klasifikasi
rekomendasi dan LOE (contohnya IC
indikasi Kelas I, LOE C)
*Bukti klinis atau ekoradidiografi
Pilihan Aturan Pengobatan untuk
Mencegah Demam Rematik Serangan
Rekuren
Benzathine Penicillin G (Bicillin L-A)
Intramuskular
Penyuntikan 1 200 000 U dari
penisilin sediaan reaksi lambat (long-acting)
setiap empat minggu merupakan aturan
pengobatan yang direkomendasikan untuk
pencegahan sekunder pada sebagian besar
keadaan di Amerika Serikat (Tabel 4).
Dalam populasi yang memiliki insidensi
demam rematik yang tinggi, administrasi
benzathine penicillin G setiap tiga minggu
telah dibenarkan dan direkomendsikan
karena kadar obat dalam serum dapat jatuh
dibawah kadar aman sebelum minggu
keempat setelah dosis penisilin ini
diadministrasikan.
Di Amerika Serikat, administrasi
benzathine penicillin G setiap tiga minggu
hanya direkomendasikan untuk yang
mengalami demam rematik akut serangan
rekuren meskipun ketaatan pada aturan
pengobatan dilakukan setiap empat minggu.
Penisilin jenis reaksi lambat merupakan hal
khusus pada pasien dengan resiko tinggi
demam rematik rekuren, terutama bagi yang
memiliki penyakit jantung rematik dimana
rekurensinya
dapat
menjadi
serius.
Keuntungan dari benzathine penicillin G
harus dibandingkan dengan kesulitan dan
kesakitan pasien dalam penyuntikan, yang
dapat mengakibatkan beberapa individu
berhenti melakukan profilaksis. Walaupun
ada beberapa kekhawatiran mengenai resiko
serius dari reaksi alergi pada pasien yang
menerima
benzathine
penicillin
G
12

mempertimbangkan penggantian profilaksis


oral pada pasien ketika mereka mencapai
usia remaja lanjut atau dewasa muda dan
bebas serangan rematik selama lima tahun
terakhir.
Penicillin V
Agen oral yang direkomendasikan
adalah penicillin V. Dosis untuk anak dan
dewasa adalah 250mg dua kali sehari (Tabel
4). Tidak ada data yang dipublikasikan
mengenai penggunaan penisilin, macrolide,
azalide atau sefalosporin lain untuk
pencegahan sekunder demam rematik.
Sulfadiazine
Untuk pasien yang alergi terhadap
penisilin direkomendasikan menggunakan
sulfadiazine. Walaupun sulfonamides bukan
pemberantas efektif GAS namun mencegah
infeksi. Dosis yang direkomendasikan untuk
sulfadiazine adalah 0.5 g sekali setiap hari
untuk pasien dengan berat badan kurang dari
27 kg dan 1 g setiap hari untuk pasien lebih
dari 27 kg. Sulfadiazine setara dengan
sulfisoxazole, maka dari itu penggunaan
sulfisoxazole
diperbolehkan
pada
perhitungan dasar dari data yang
mendemonstrasikan bahwa sulfadiazine
terbukti efektif dalam profilaksis sekunder.
Dosis yang direkomendasikan untuk
sulfisoxazole sama dengan sulfadiazine.
Profilaksis
sulfonamide
merupakan
kontraindikasi pada kehamilan lanjut karena
dapat melewati plasenta dan berpotensi
berkompetisi dengan bilirubin pada tempat
berlekatan albumin.
Macrolide
Untuk pasien yang alergi terhadap
penisilin
dan
sulfisoxazole
direkomendasikan menggunakan makrolide
oral (erythromycin/clarithromycin) atau
azalide
(azithromycin).
Makrolide
(erythromycin dan clarithromycin), dan pada
beberapa azalides (azithromycin), dapat
menyebabkan perpanjangan interval QT
pada perlakuan dosis tertentu. Makrolide
tidak boleh diberikan bersamaan dengan
inhibitor sitokrom P-450 3A seberti azole,
agen antifungal, inhibitor protease HIV dan
beberapa antidepresan SSRI karena sebagian
13

intramuscular jangka panjang untuk demam


rematik, suatu studi besar internasional
dengan metode prospektif menyatakan
bahwa reaksi alergi yang mengancam hidup
jarang terjadi pada pasien-pasien ini. Telah
dibuktikan bahwa keuntungan jangka
panjang dari profilaksis seperti ini lebih
banyak daripada resiko alergi serius.
Agen

Dosis

Cara

Rating

Penisilin
600 000U
IM
Bezantin G untuk anak
27 kg,
1 200 000
U untuk >
27 kg setiap
4 minggu

1A

Penisilin V 250 mg dua Oral


kali sehari

1B

Sulfadiazin 0,5 g satu


Oral
e
kali sehari
untuk
pasien 27
kg,
1.0 g satu
kali sehari
>27 kg

1B

Macrolide
atau
Azalide

1C

Bervariasi

Oral

Agen Oral
Keberhasilan
profilaksis
oral
bergantung pada ketaatan pasien pada
pengobatan. Pasien butuh instruksi secara
hati- hati dan berulang mengenai pentingnya
melanjutkan profilaksis. Sebagian besar
kegagalan profilaksis terjadi pada pasien
yang tidak taat pada pengobatan. Bahkan
dengan ketaatan optimal pada pasien, resiko
kejadian berulang lebih tinggi pada individu
dengan profilaksis oral dibandingkan yang
menerima benzathine penicillin G secara
intramuskular. Agen oral lebih cocok
diberikan pada pasien dengan resiko rendah
mengalami serangan demam rematik
berulang.
Beberapa
dokter
dapat

pada pasien yang memiliki arthritis


setelah sebuah episode dari GAS
faringitis tetapi tidak memiliki
kriteria utama lainnya dari Pasien
demam rematik akut 74 dengan
PSRA dan dengan demam rematik
akut memiliki arthritis yang terjadi
setelah interval bebas
gejala
setelah episode GAS faringitis.
Namun, arthritis dari demam
rematik terjadi 14 sampai 21 hari
setelah episode GAS faringitis dan
merespon dengan cepat menjadi
asam
asetilsalisilat,
sedangkan
PSRA terjadi 10 hari setelah
faringitis GAS dan tidak merespon
mudah untuk asam asetilsalisilat.
Selain itu, artritis demam rematik
bermigrasi dan sementara dan
biasanya hanya melibatkan sendisendi besar, sedangkan artritis
PSRA adalah kumulatif dan gigih
dan dapat melibatkan sendi-sendi
besar, sendi kecil, atau aksial
kerangka. Walaupun semua pasien
dengan PSRA memiliki serologis
bukti infeksi GAS baru-baru ini,
tidak lebih dari setengah pasien ini
yang memiliki budaya tenggorokan
dilakukan memiliki GAS terisolasi.
Karena sebagian kecil pasien
dengan PSRA telah dilaporkan
kemudian mengembangkan katup
penyakit jantung, 74,75 pasien ini
harus diamati hati-hati selama
beberapa bulan untuk bukti klinis
karditis.
Beberapa
ahli
merekomendasikan bahwa pasien
tersebut
menerima
profilaksis
sekunder hingga 1 tahun setelah
onset
gejala
mereka,
tetapi
efektivitasnya tidak baik didirikan
(Class IIb, LOE C). Jika bukti klinis
karditis tidak diamati, profilaksis
dapat dihentikan. Jika penyakit
katup terdeteksi, pasien harus
diklasifikasikan
sebagai
telah
memiliki demam rematik akut dan
harus terus menerima profilaksis
sekunder (Class I, LOE C). The PSRA
jangka selanjutnya telah digunakan
secara tidak konsisten dalam
14

besar dimetabolisme oleh sitokrom P-450


3A.
Profilaksis Endokarditis Bakterial
AHA
mempublikasikan
pembaharuan pada rekomendasi penggunaan
antibiotic profilaksis untuk mencegah
endokarditis infektif. Karena kurangnya
publikasi bukti yang menunjukan bahwa
prinsip profilaksis adalah valid secara
definitif sebagaimana telah diterapkan untuk
pencegahan endokarditis, nilai profilaksis
endocarditis infektif telah dipertanyakan
oleh AHA, begitu juga oleh beberapa badan
ilmiah international. Akan tetapi, AHA dan
yang lainnya tetap mengakui beberapa
kondisi seperti pasien dengan katup
prostetik,
pasien
dengan
riwayat
endocarditis, penerima transplantasi jantung,
pasien yang mengalami valvulopati jantung,
dan bentuk- bentuk spesifik penyakit
jantung bawaan, yang berhubungan dengan
resiko merugikan tertinggi dari endocarditis;
dimana dengan diketahuinya resiko tinggi
tersebut, profilaksis masih diindikasikan.
Rekomendasi
AHA
terkini
tidak
mengusulkan profilaksis untuk pasien
dengan penyakit jantung rematik. Akan
tetapi, pemeliharaan kesehatan oral yang
optimal tetap menjadi komponen penting
dari keseluruhan program perawatan
kesehatan. Untuk beberapa pasien dengan
penyakit
jantung
rematik
yang
direkomendasikan melakukan profilaksis
endocarditis infektif, seperti pasien dengan
katup prostetik atau yang menggunakan
materi prostetik pada perbaikan katup,
rekomendasi AHA yang terkini harus diikuti.
Rekomendasi ini menyarankan penggunaan
agen selain penisilin untuk mencegah
endocarditis infektif pada yang menerima
profilaksis penisilin untuk demam rematik,
karena streptococcus -hemolitik lebih
rentan mengalami resisntensi pada penisilin.
Poststreptococcal
Reaktif

Arthritis

Istilah "poststreptococcal arthritis


reaktif" (PSRA) adalah pertama kali
digunakan pada tahun 1959 untuk
menggambarkan
suatu
entitas

gangguan tic pada pasien ini.


Karena mekanisme autoimun yang
diusulkan, juga telah menyarankan
bahwa
pasien
ini
mungkin
mendapat
manfaat
dari
immunoregulatory terapi seperti
pertukaran plasma atau intravena
infus immunoglobulin. Hipotesis
PANDAS telah dirangsang cukup
penelitian,
serta
kontroversi.
Sekarang keadaan pengetahuan
menyatakan
bahwa
konsep
PANDAS harus dipertimbangkan
hanya sebagai hypothesis.78,79 Jika
belum terbukti dengan penelitian
hubungan sebab akibat antara
PANDAS dan infeksi GAS, panitia
tidak
merekomendasikan
uji
laboratorium rutin GAS untuk
mendiagnosa,
jangka
panjang
antistreptococcal profilaksis untuk
mencegah,
atau
terapi
immunoregulatory
(misalnya,
imunoglobulin
intravena,
pertukaran
plasma)
untuk
mengobati eksaserbasi gangguan
ini (Class III, LOE B).
Daftar Pustaka
1. Dajani A, Taubert K, Ferrieri P, Peter G,
Shulman S; Committee on Rheumatic
Fever, Endocarditis, and Kawasaki
Disease
of
the
Council
on
Cardiovascular Disease in the Young,
the American Heart Association.
Treatment of acute streptococcal
pharyngitis and prevention of rheumatic
fever:
a
statement
for
health
professionals. Pediatrics. 1995;96:758
764.
2. Rammelkamp CH, Wannamaker LW,
Denny FW. The epidemiology and
prevention of rheumatic fever. Bull N Y
Acad Med. 1952;28:321334.
3. 3. Stollerman GH. Factors that
predispose to rheumatic fever. Med Clin
North Am. 1960;44:1728.
4. Bland EF, Duckett Jones T. Rheumatic
fever and rheumatic heart disease: a
twenty year report on 1000 patients
followed since childhood. Circulation.
1951;4:836 843.

15

literatur untuk merujuk ke berbagai


konstelasi tanda-tanda dan gejala.
Sebagian besar informasi tentang
PSRA didasarkan laporan kasus
atau series kecil76 Meskipun kriteria
telah
diusulkan
untuk
mendefinisikan sindrom homogen,
75
kasus laporan PSRA telah cukup
heterogen. Hal ini masih belum
jelas apakah entitas ini merupakan
sindrom
yang
berbeda
atau
manifestasi
Investigasi
demam
rematik akut76 diperlukan untuk
menentukan apakah ada hubungan
yang benar antara arthritis reaktif
setelah GAS faringitis dan akut
demam
rematik
dan
apakah
profilaksis
antimikroba
adalah
dibutuhkan setelah PSRA.
Gangguan
autoimun
pada
Pediatrik Neuropsiatrik dengan
Infeksi Streptococcus
Pada
tahun
1998,
peneliti
mengusulkan
hipotesis
bahwa
masa
kanak-kanak
gangguan
obsesif-kompulsif dan / atau tics
mungkin timbul sebagai hasil dari
proses autoimun poststreptococcal
dan menyarankan PANDAS akronim
(autoimun
pediatrik
gangguan
neuropsikiatri
terkait
dengan
77
streptokokus
infeksi).
Mereka
mengusulkan bahwa subset dari
pasien dengan gangguan obsesifkompulsif dan tic menghasilkan
autoimun tanggapan yang bereaksi
silang dengan jaringan otak dalam
menanggapi untuk infeksi GAS,
mirip dengan autoimun yang
tanggapan diyakini bertanggung
jawab
atas
manifestasi
dari
Sydenham
chorea
(manifestasi
utama akut demam rematik). Jika
ini benar, profilaksis sekunder yang
mencegah
kekambuhan
dari
Sydenham chorea kekuatan juga
efektif
dalam
mencegah
kekambuhan
dari
obsessivecompulsive
dan

respiratory tract infections in a day-care


center. Pediatrics. 1989;83:380384.
16. Falck G, Kjellander J. Outbreak of group
A streptococcal infection in a day-care
center. Pediatr Infect Dis J. 1992;11:914
919.
17. Bisno AL, Gerber MA, Gwaltney JM Jr,
Kaplan EL, Schwartz RH; Infectious
Diseases Society of America. Practice
guidelines for the diagnosis and
management of group A streptococcal
pharyngitis.
Clin
Infect
Dis.
2002;35:113125.
18. Kaplan EL. The group A streptococcal
upper respiratory tract carrier state: an
enigma. J Pediatr. 1980;97:337345.
19. Cooper JR, Hoffman JR, Bartlett JG,
Besser RE, Gonzales R, Hickner JM,
Sande MA; American Academy of
Family Physicians; American College of
Physicians-American Society of Internal
Medicine; Centers for Disease Control.
Principles of appropriate antibiotic use
for acute pharyngitis in adults:
background.
Ann
Intern
Med.
2001;134:509 517.
20. McIsaac WJ, Kellner JD, Aufricht P,
Vanjaka A, Low DE. Empirical
validation of guidelines for the
management of pharyngitis in children
and adults [published correction appears
in JAMA. 2005;294:2700]. JAMA.
2004;291:15871595.
21. Humair JP, Revaz A, Bovier P, Stalder
H. Management of acute pharyngitis in
adults: reliability of rapid streptococcal
tests and clinical findings. Arch Intern
Med. 2006;166:640 644.
22. American Academy of Pediatrics,
Committee on Infectious Diseases. Red
Book: Report of the Committee on
Infectious Diseases. 27th ed. Elk Grove
Village, Ill: American Academy of
Pediatrics; 2006.
23. Webb KH. Does culture confirmation of
high-sensitivity rapid streptococcal tests
make sense? A medical decision
analysis. Pediatrics. 1998;101:E2.
24. Gerber MA, Tanz RR, Kabat W, Dennis
E, Bell GL, Kaplan EL, Shulman ST.
Optical immunoassay test for group A
beta-hemolytic
streptococcal
pharyngitis: an office-based, multicenter
investigation. JAMA. 1997;277:899
903.

16

5. Majeed HA, Yousof AM, Khuffash FA,


Yusuf AR, Farwana S, Khan N. The
natural history of acute rheumatic fever
in Kuwait: a prospective six year
follow-up report. J Chronic Dis.
1986;39:361369.
6. Taranta A, Kleinberg E, Feinstein AR,
Wood HF, Tursky E, Simpson R.
Rheumatic fever in children and
adolescents: a long-term epidemiologic
study of subsequent prophylaxis,
streptococcal infections, and clinical
sequelae, V: relation of the rheumatic
fever recurrence rate per streptococcal
infection to pre-existing clinical features
of the patients. Ann Intern Med.
1964;60(suppl 5):5867.
7. Carapetis JR, Steer AC, Mulholland EK,
Weber M. The global burden of group A
streptococcal disease. Lancet Infect Dis.
2005;5:685 694.
8. Lee GM, Wessels MR. Changing
epidemiology of acute rheumatic fever
in the United States. Clin Infect Dis.
2006;42:448 450.
9. Carapetis JR, McDonald M, Wilson NJ.
Acute
rheumatic
fever.
Lancet.
2005;366:155168.
10. Miyake CY, Gauvreau K, Tani LY,
Sundel
RB,
Newburger
JW.
Characteristics of children discharged
from hospitals in the United States in
2000 with the diagnosis of acute
rheumatic
fever.
Pediatrics.
2007;120:503508.
11. Taubert KA, Rowley AH, Shulman ST.
Seven-year national survey of Kawasaki
disease and acute rheumatic fever.
Pediatr Infect Dis J. 1994; 13:704 708.
12. Siegel AC, Johnson EE, Stollerman GH.
Controlled studies of streptococcal
pharyngitis in a pediatric population, 1:
factors related to the attack rate of
rheumatic fever. N Engl J Med.
1961;265:559 565.
13. Denny FW, Wannamaker LW, Brink
WR, Rammelkamp CH Jr, Custer EA.
Prevention of rheumatic fever: treatment
of the preceding streptococcal infection.
JAMA. 1950;143:151153.
14. Dajani AS. Current status of
nonsuppurative complications of group
A streptococci. Pediatr Infect Dis J.
1991;10(suppl):S25S27.
15. Smith TD, Wilkinson V, Kaplan EL.
Group A streptococcus-associated upper

17

35. Shvartzman P, Tabenkin H, Rosentzwaig

25. Kaplan EL, Rothermel CD, Johnson DR.

A,
Dolginov F. Treatment
of
streptococcal
pharyngitis
with
amoxycillin once a day. BMJ.
1993;306:11701172.
36. Feder HM Jr, Gerber MA, Randolph MF,
Stelmach PS, Kaplan EL. Once-daily
therapy for streptococcal pharyngitis
with
amoxicillin.
Pediatrics.
1999;103:4751.
37. Clegg HW, Ryan AG, Dallas SD, Kaplan
EL, Johnson DR, Norton HJ, Roddey
OF, Martin ES, Swetenburg RL, Koonce
EW, Felkner MM, Giftos PM. Treatment
of streptococcal pharyngitis with oncedaily compared with twice-daily
amoxicillin: a noninferiority trial.
Pediatr Infect Dis J. 2006;25:761767.
38. Lennon DR, Farrell E, Martin DR,
Stewart JM. Once-daily amoxicillin
versus twice-daily penicillin V in group
A
beta-hemolytic
streptococcal
pharyngitis.
Arch
Dis
Child.
2008;93:474 478.
39. Griffiths SP, Gersony WM. Acute
rheumatic fever in New York City (1969
to 1988): a comparative study of two
decades. J Pediatr. 1990;116:882887.
40. Gordis L, Lilienfeld A, Rodriguez R.
Studies in the epidemiology and
preventability of rheumatic fever, II:
socio-economic
factors
and
the
incidence of acute attacks. J Chronic
Dis. 1969;21:655 666.
41. Ferguson GW, Shultz JM, Bisno AL.
Epidemiology of acute rheumatic fever
in a multiethnic, multiracial urban
community: the Miami-Dade County
experience. J Infect Dis. 1991;164:720
725.
42. Chun LT, Reddy DV, Yamamoto LG.
Rheumatic fever in children and
adolescents in Hawaii. Pediatrics.
1987;79:549 552.
43. Bass JW, Crast FW, Knowles CR,
Onufer CN. Streptococcal pharyngitis in
children: a comparison of four treatment
schedules with intramuscular penicillin
G benzathine. JAMA. 1976;235:1112
1116.
44. Pichichero ME, Margolis PA. A
comparison of cephalosporins and
penicillin in the treatment of group A
beta-hemolytic
streptococcal
pharyngitis: a meta-analysis supporting
the
concept
of
microbial

Antistreptolysin
O
and
antideoxyribonuclease B titers: normal
values for children ages 2 to 12 in the
United States. Pediatrics. 1998;101:86
88.
26. Shet A, Kaplan EL. Clinical use and
interpretation of group A streptococcal
antibody tests: a practical approach for
the pediatrician or primary care
physician. Pediatr Infect Dis J.
2002;21:420 426.
27. Kaplan EL, Huew BB. The sensitivity
and specificity of an agglutination test
for
antibodies
to
streptococcal
extracellular antigens: a quantitative
analysis and comparison of the
Streptozyme test with anti-streptolysin
O and anti-deoxyribonuclease B tests. J
Pediatr. 1980;96:367373.
28. Gerber MA, Wright LL, Randolph MF.
Streptozyme test for antibodies to group
A streptococcal antigens. Pediatr Infect
Dis J. 1987;6:36 40.
29. Denny FW, Wannamaker LW, Brink
WR, Rammelkamp CH Jr, Custer EA.
Prevention of rheumatic fever: treatment
of the preceding streptococcic infection.
J Am Med Assoc. 1950;143:151153.
30. Wannamaker LW, Rammelkamp CH Jr,
Denny FW, Brink WR, Houser HB,
Hahn EO, Dingle JH. Prophylaxis of
acute rheumatic fever by treatment of
preceding streptococcal infection with
various amounts of depot penicillin. Am
J Med. 1951;10:673 695.
31. Catanzaro FJ, Stetson CA, Morris AJ,
Chamovitz R, Rammelkamp CH Jr,
Stolzer BL, Perry WD. The role of the
streptococcus in the pathogenesis of
rheumatic
fever.
Am
J
Med.
1954;17:749 756.
32. Snellman LW, Stang HJ, Stang JM,
Johnson DR, Kaplan EL. Duration of
positive throat cultures for group A
streptococci after initiation of antibiotic
therapy. Pediatrics. 1993;91:1166 1170.
33. Gerber MA, Spadaccini LJ, Wright LL,
Deutsch L, Kaplan EL. Twice-daily
penicillin in the
treatment
of
streptococcal pharyngitis. Am J Dis
Child. 1985;139: 11451148.
34. Bass JW, Person DA, Chan DS. Twicedaily oral penicillin for treatment of
streptococcal pharyngitis: less is best.
Pediatrics. 2000;105:423 424.

53. Ray WA, Murray KT, Meredith S,


Narasimhulu SS, Hall K, Stein CM. Oral
erythromycin and the risk of sudden
death from cardiac causes. N Engl J
Med. 2004;351:1089 1096.
54. Huang BH, Wu CH, Hsia CP, Yin Chen
C. Azithromycin-induced torsade de
pointes. Pacing Clin Electrophysiol.
2007;30:1579 1582.
55. Seppl H, Nissinen A, Jrvinen H,
Huovinen S, Henriksson T, Herva E,
Holm SE, Jahkola M, Katila ML,
Klaukka T, Kontiainen S, Liimatainen
O, Oinonen S, Passi-Metsomaa L,
Huovinen P. Resistance to erythromycin
in group A streptococci. N Engl J Med.
1992;326:292297.
56. Tanz RR, Shulman ST, Shortridge VD,
Kabat W, Kabat K, Cederlund E, Rippe
J, Beyer J, Doktor S, Beall BW; North
American Streptococcal Pharyngitis
Surveillance Group. Community-based
surveillance in the United States of
macrolide-resistant pediatric pharyngeal
group A streptococci during 3
respiratory disease seasons. Clin Infect
Dis. 2004;39:1794 1801.
57. Gerber MA. Antibiotic resistance:
relationship to persistence of group A
streptococci in the upper respiratory
tract. Pediatrics. 1996;97(pt 2):971975.
58. Gerber MA. Antibiotic resistance in
group A streptococci. Pediatr Clin North
Am. 1995;42:539 551.
59. Coonan KM, Kaplan EL. In vitro
susceptibility of recent North American
group A streptococcal isolates to eleven
oral antibiotics. Pediatr Infect Dis J.
1994;13:630 635.
60. Wickman PA, Black JA, Moland ES,
Thomson KS. In vitro activities of DX619 and other comparison quinolones
against Gram-positive cocci. Antimicrob
Agents Chemother. 2006;50:22552257.
61. Gerber MA. Treatment failures and
carriers: perception or problems? Pediatr
Infect Dis J. 1994;13:576 579.
62. Feinstein AR, Wood HF, Epstein JA,
Taranta A, Simpson R, Tursky E. A
controlled study of three methods of
prophylaxis
against
streptococcal
infection in a population of rheumatic
children, II: results of the first three
years of the study, including methods for
evaluating the maintenance of oral

18

copathogenicity. Pediatr Infect Dis J.


1991;10:275281.
45. Block SL, Hedrick JA, Tyler RD.
Comparative study of the effectiveness
of cefixime and penicillin V for the
treatment of streptococcal pharyngitis in
children and adolescents. Pediatr Infect
Dis J. 1992;11:919 925.
46. Gooch WM III, McLinn SE, Aronovitz
GH, Pichichero ME, Kumar A, Kaplan
EL, Ossi MJ. Efficacy of cefuroxime
axetil suspension compared with that of
penicillin V suspension in children with
group A streptococcal pharyngitis.
Antimicrob
Agents
Chemother.
1993;37:159 163.
47. Dajani AS, Kessler SL, Mendelson R,
Uden DL, Todd WM. Cefpodoxime
proxetil vs penicillin V in pediatric
streptococcal pharyngitis/ tonsillitis.
Pediatr Infect Dis J. 1993;12:275279.
48. Pichichero ME. A review of evidence
supporting the American Academy of
Pediatrics
recommendation
for
prescribing cephalosporin antibiotics for
penicillin-allergic patients. Pediatrics.
2005;115:1048 1057.
49. Tack KJ, Hedrick JA, Rothstein E,
Nemeth MA, Keyserling C, Pichichero
ME; Cefdinir Pediatric Pharyngitis
Study Group. A study of 5-day cefdinir
treatment for streptococcal pharyngitis
in children. Arch Pediatr Adolesc Med.
1997;151:45 49.
50. Pichichero ME, Gooch WM, Rodriguez
W, Blumer JL, Aronoff SC, Jacobs RF,
Musser JM. Effective short-course
treatment of acute group A betahemolytic
streptococcal
tonsillopharyngitis:
ten
days
of
penicillin V vs 5 days or 10 days of
cefpodoxime therapy in children. Arch
Pediatr Adolesc Med. 1994;148:1053
1060.
51. Aujard Y, Boucot I, Brahimi N, Chiche
D, Bingen E. Comparative efficacy and
safety of four-day cefuroxime axetil and
ten-day penicillin treatment of group A
beta-hemolytic streptococcal pharyngitis
in children. Pediatr Infect Dis J.
1995;14:295300.
52. Dajani
AS.
Pharyngitis/tonsillitis:
European and United States experience
with cefpodoxime proxetil. Pediatr
Infect Dis J. 1995;14(suppl):S7S11.

Baltimore RS, Newburger JW, Strom


BL, Tani LY, Gerber M, Bonow RO,
Pallasch T, Shulman ST, Rowley AH,
Burns JC, Ferrieri P, Gardner T, Goff D,
Durack DT; American Heart Association
Rheumatic Fever, Endocarditis, and
Kawasaki
Disease
Committee;
American Heart Association Council on
Cardiovascular Disease in the Young;
American Heart Association Council on
Clinical Cardiology; American Heart
Association Council on Cardiovascular
Surgery and Anesthesia; Quality of Care
and
Outcomes
Research
Interdisciplinary
Working
Group.
Prevention of infective endocarditis:
guidelines from the American Heart
Association: a guideline from the
American Heart Association Rheumatic
Fever, Endocarditis, and Kawasaki
Disease Committee, Council on
Cardiovascular Disease in the Young,
and the Council on Clinical Cardiology,
Council on Cardiovascular Surgery and
Anesthesia, and the Quality of Care and
Outcomes Research Interdisciplinary
Working Group [published correction
appears in Circulation. 2007;116: e376
e377]. Circulation. 2007;116:1736
1754.
73. Gould FK, Elliott TS, Foweraker J,
Fulford M, Perry JD, Roberts GJ,
Sandoe JA, Watkin RW; Working Party
of the British Society for Antimicrobial
Chemotherapy. Guidelines for the
prevention of endocarditis: report of the
Working Party of the British Society for
Antimicrobial
Chemotherapy.
J
Antimicrob Chemother. 2006;57:1035
1042.
74. Crea MA, Mortimer EA Jr. The nature of
scarlatinal
arthritis.
Pediatrics.
1959;23:879 884.
75. Ahmed S, Ayoub EM, Scornik JC, Wang
CY, She JX. Poststreptococcal reactive
arthritis: clinical characteristics and
association with HLA-DR alleles.
Arthritis Rheum. 1998;41:1096 1102.
76. Mackie SL, Keat A. Poststreptococcal
reactive arthritis: what is it and how to
we know? Rheumatology. 2004;43:949
954.
77. Swedo SE, Leonard HL, Garvey M,
Mittleman B, Allen AJ, Perlmutter S,
Lougee L, Dow S, Zamkoff J, Dubbert
BK.
Pediatric
autoimmune
neuropsychiatric disorders associated

19

prophylaxis.
N
Engl
J
Med.
1959;260:697702.
63. Markowitz M, Gerber MA, Kaplan EL.
Treatment
of
streptococcal
pharyngotonsillitis:
reports
of
penicillins demise are premature. J
Pediatr. 1993;123:679 685.
64. Meier FA, Centor RM, Graham L Jr,
Dalton HP. Clinical and microbiological
evidence for endemic pharyngitis among
adults due to group C streptococci. Arch
Intern Med. 1990;150:825 829.
65. Turner JC, Hayden FG, Lobo MC,
Ramirez CE, Murren D. Epidemiologic
evidence for Lancefield group C betahemolytic streptococci as a cause of
exudative pharyngitis in college
students. J Clin Microbiol. 1997;35:14.
66. Wilson MG, Lubschez R. Recurrence
rates in rheumatic fever: evaluation of
etiologic concepts and consequent
preventive therapy. JAMA. 1944;
126:477 480.
67. Gordis L, Lilienfeld A, Rodriguez R.
Studies in the epidemiology and
preventability of rheumatic fever, I:
demographic factors and the incidence
of acute attacks. J Chronic Dis.
1969;21:645 654.
68. Kuttner AG, Mayer FE. Carditis during
second attacks of rheumatic fever: its
incidence in patients without clinical
evidence of cardiac involvement in their
initial rheumatic episode. N Engl J Med.
1963;268:12591261.
69. Lue HC, Wu MH, Hsieh KH, Lin GJ,
Hsieh RP, Chiou JF. Rheumatic fever
recurrences: controlled study of a 3week versus 4-week benzathine
penicillin prevention programs. J
Pediatr. 1986;108:299 304.
70. Lue HC, Wu MH, Wang JK, Wu FF, Wu
YN. Long-term outcome of patients
with
rheumatic
fever
receiving
benzathine penicillin G prophylaxis
every three weeks versus every four
weeks. J Pediatr. 1994; 125(pt 1):812
816.
71. International Rheumatic Fever Study
Group. Allergic reactions to long-term
benzathine penicillin prophylaxis for
rheumatic fever. Lancet. 1991;337:1308
1310.
72. Wilson W, Taubert KA, Gewitz M,
Lockhart PB, Baddour LM, Levison M,
Bolger A, Cabell CH, Takahashi M,

hypothesis
or
entity?
Practical
considerations
for
the
clinician.
Pediatrics. 2004;113:883 886.
79. Kurlan R, Johnson D, Kaplan EL;
Tourette Syndrome Study Group.
Streptococcal
infection
and
exacerbations of childhood tics and
obsessive- compulsive symptoms: a
prospective blinded cohort study.
Pediatrics. 2008;121:1188 1197.

20

with streptococcal infections: clinical


description of the first 50 cases
[published correction appears in Am J
Psychiatry. 1998;155:578]. Am J
Psychiatry. 1998;155:264 271.
78. Kurlan R, Kaplan EL. The pediatric
autoimmune neuropsychiatric disorders
associated with streptococcal infections
(PANDAS) etiology for tics and
obsessive-compulsive
symptoms:

You might also like