Pengaruh Domino Pada Krisis Moneter Asia 1997 Terhadap Perpolitikan Di Indonesia

You might also like

Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 14

PENGARUH DOMINO KRISIS MONETER ASIA 1997 TERHADAP

PERPOLITIKAN EKSEKUTIF DI INDONESIA


Komparatif Antara Negara Indonesia dan Thailand pada Krisis Moneter 1997
Paper Ekonomi Politik Internasional 2016

Abdurrohim Nur 071411333029

DEPARTEMEN ILMU POLITIK


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS AIRLANGGA
2016

PENGARUH DOMINO KRISIS MONETER ASIA 1997 TERHADAP


PERPOLITIKAN EKSEKUTIF DI INDONESIA
Komparatif Antara Negara Indonesia dan Thailand pada Krisis Moneter 1997

Abdurrohim Nur
Mahasiswa S1 Departemen Ilmu Politik
Universitas Airlangga

ABSTRACT
The Asian monetary crisis in 1997 is the economic storm that hit most parts of
mainland asia and affect currencies, stock exchanges, and other asset prices in several Asian
countries including Indonesia. The monetary crisis wrong handling and error-diagnosis from
Government pressures the international monetary institutions, the International Monetary
Fund (IMF), Indonesia's monetary crisis developed into economic crisis and eventually gave
birth to the political crisis. In just over two months after being President was sworn in for a
seventh time on 11 March 1998, Suharto finally resigned from Presidency constitutionally fall
into the hands of the Vice President BJ Habiebie on May 21, 1998. The economic crisis that
gave birth to the political crisis in Indonesia is a fascinating phenomenon when dikomparatif
against the State other countries such as Thailand. Indonesia more stable than Thailand
which has low inflation, a trade surplus of more than 900 million dollars, currency supplies
outside the large, more than 20 billion dollars, and a good banking sector. The Asian
monetary crisis but for the existence of State of Thailand did not experience such a perceived
political crisis reign of Indonesia at that time. So in this journal, authors use a descriptive
qualitative comparative on the phenomenon of the economy and the political situation in the
Indonesia and Thailand in 1997.
Keywords: 1997 Asian financial crisis, the International Monetary Fund (IMF), the political
crisis, Indonesia, Thailand.
Krisis moneter Asia pada tahun 1997 merupakan badai ekonomi yang melanda
sebagian daratan asia dan memengaruhi mata uang, bursa saham, dan harga aset lainnya di
beberapa negara Asia termasuk Indonesia. Krisis moneter yang salah dalam penanganan

dan error-diagnosa dari pemerintah atas tekanan lembaga moneter internasional,


International Monetary Fund (IMF), krisis moneter Indonesia berkembang menjadi krisis
ekonomi dan akhirnya melahirkan krisis politik. Hanya dalam waktu dua bulan setelah
disumpah menjadi presiden untuk ketujuh kalinya pada tanggal 11 Maret 1998, Soeharto
akhirnya mengundurkan diri dari jabatan presiden secara konstitusional jatuh ke tangan
Wakil Presiden BJ Habiebie pada tanggal 21 Mei 1998. Krisis ekonomi yang melahirkan
krisis politik di Indonesia tersebut merupakan fenomena menarik ketika dikomparatif
terhadap negara negara lain seperti Thailand. Indonesia lebih stabil daripada Thailand
yang memiliki inflasi yang rendah, perdagangan surplus lebih dari 900 juta dolar,
persediaan mata uang luar yang besar, lebih dari 20 miliar dolar, dan sektor bank yang baik.
Namun krisis moneter asia bagi keberadaan negara Thailand tidak mengalami krisis politik
seperti yang dirasakan pemerintahan Indonesia saat itu. Sehingga didalam jurnal ini,
penulis menggunakan komparatif deskriptif kualitatif pada fenomena perekonomian dan
perpolitikan di Indonesia dan Thailand pada tahun 1997.
Kata Kunci : Krisis Moneter Asia 1997, International Monetary Fund (IMF), Krisis Politik,
Indonesia, Thailand.
Pada periode pertengahan tahun 1960an, Indonesia mengalami krisis ekonomi. Krisis
ekonomi tersebut disebabkan fluktuatif ekonomi menuju kekacauan perpolitikan pada masa
rezim Soekarno, Presiden Republik Indonesia pertama. Permasalahan ekonomi tidak menjadi
blue print national bagi seorang Soekarno yang menghabiskan masa hidupnya untuk
berjuang di arena politik. Beberapa contoh dari kebijakan-kebijakannya yang memberikan
dampak negatif pada perekonomian adalah pemutusan hubungan dengan negara-negara Barat
(dan karenanya mengisolir Indonesia dari ekonomi dunia dan mencegah negara ini dari
menerima bantuan-bantuan asing yang sangat dibutuhkan) dan deficit spending melalui
pencetakan uang, yang menyebabkan hiperinflasi yang berada di luar kendali. Namun, setelah
Suharto mengambil alih kekuasaan dari Soekarno di akhir 1960an, kebijakan-kebijakan
ekonomi mengalami perubahan arah yang mengakar (radikal).
Pembangunan ekonomi Indonesia selama pemerintahan Orde Baru Soeharto bisa
dibagi dalam beberapa periode, setiap periode dikenali dengan kebijakan-kebijakan
spesifiknya yang ditujukan untuk konteks ekonomi, salah satunya pertumbuhan didorong
oleh ekspor dan deregulasi (1983-1996). Dengan pertumbuhan melalui ekspor dan deregulasi
merupakan perkembangan liberalisasi ekonomi Indonesia yang menyebabkan wujud baru

antara kuatnya pembangunan nasional dan krisis moneter Asia secara datang tiba tiba pada
saat itu. Pada saat itu, pemerintah sedang meningkatkan tindakan-tindakan untuk mendukung
pertumbuhan ekonomi yang didorong oleh ekspor (seperti pembebasan bea cukai-bea cukai
impor dan pengulangan devaluasi rupiah). Perubahan kebijakan-kebijakan ini (dikombinasi
dengan paket deregulasi di tahun 1990an) juga mempengaruhi investasi asing di Indonesia.
Investasi asing yang berorientasi pada ekspor disambut secara khusus.
Sektor lain yang juga terpengaruh oleh tindakan-tindakan deregulasi yang mendalam
adalah sektor keuangan Indonesia. Bank-bank swasta baru diizinkan untuk didirikan, bankbank yang sudah ada bisa membuka cabang-cabang di seluruh negeri dan bank-bank asing
bebas beroperasi di luar Jakarta. Reformasi finansial ini kemudian akan menjadi masalah
yang memperkuat krisis di Indonesia pada akhir 1990an.
The Origion Economy of Crisis in Asia 1997
Ketika Beberapa Negara di Asia terutama Indonesia mengalami peningkatan investasi
asing yang menyebabkan pertumbuhan ekonomi yang cenderung tajam sehingga pada
periode tersebut diistilah Asian Economic Miracle countries (Ekonomi Asia yang Ajaib).
(Worl Bank, 1993) menjelaskan bahwa kunci melejitnya pertumbuhan ekonomi di
kawasan Asia Tenggara adalah beberapa negara di Asia Tenggara dapat mencapai
pertumbuhan yang tinggi dengan dasar fondasi yang tepat (getting the basics right).
Sedangkan menurut Campos dan Root (1996) pertumbuhan di kawasan Asia Tenggara yang
sangat cepat itu karena diatur otoritas pimpinan yang berkolaborasi dengan berbagai sector
untuk dapat menciptakan iklim yang kondusif bagi pertumbuhan yang berkesinambungan.
Sejalan dengan pendapat tersebut, Rodrik (1999) menyatakan bahwa keberhasilan negara
negara tersebut atas intervensi pemerintah yang dikuatkan pendapatnya oleh Glick dan
Moreno (1997) sebagai kesuksesan kelompok negara negara Asian Miracle tersebut atas
peran pemerintah yang cukup besar.
Dalam tulisannya yang berjudul From Asian Miracle to Asian Crisis 1999, Corbett
et al menyatakan bahwa kerentanan Asia terhadap krisis adalah merupakan salah satu
konsekuensi dari pengembangan kelembagaan yang kurang memadai di kawasan Asia timur
selama periode Asia Miracle tersebut.
Di Indonesia, Meskipun kawasan Asia menunjukkan tanda-tanda mengkhawatirkan,
para investor asing awalnya tetap percaya pada kemampuan para teknokrat Indonesia untuk

bertahan dalam badai krisis keuangan (seperti yang pernah mereka lakukan sebelumnya pada
tahun 1970-an dan 1980-an). Tapi kali ini tidak dapat lepas dari krisis dengan mudah.
Indonesia menjadi negara yang paling terpukul karena krisis ini tidak hanya berdampak
terhadap ekonomi tetapi juga berdampak signifikan dan menyeluruh terhadap sistem politik
dan keadaan sosial di Indonesia.
Pada saat tekanan terhadap rupiah Indonesia akhirnya terlalu kuat, rupiah diputuskan
untuk diambangkan bebas (float freely) sejak bulan Agustus 1997. Dan sejak saat itu mulailah
terjadi depresiasi yang sangat signifikan. Pada tanggal 1 Januari 1998, nilai nominal rupiah
hanya 30 persen dari nilai yang pernah dicapai pada bulan Juni 1997. Pada tahun-tahun
sebelum tahun 1997 banyak perusahaan swasta di Indonesia yang memperoleh pinjaman luar
negeri jangka pendek yang tidak dilindungi terhadap gejolak nilai tukar (unhedged) dalam
mata uang dolar, dan utang sektor swasta yang sangat besar ini ternyata menjadi bom waktu
yang menunggu untuk meledak. Berlanjutnya depresiasi rupiah hanya memperburuk situasi
secara drastis. Perusahaan-perusahaan di Indonesia berlomba-lomba membeli dolar sehingga
menimbulkan lebih banyak tekanan terhadap rupiah dan memperburuk situasi utang yang
dimiliki oleh para perusahaan. Dapat dipastikan bahwa perusahaan-perusahaan di Indonesia
(termasuk bank-bank, beberapa di antaranya diketahui sangat lemah) akan menderita
kerugian yang amat besar. Persediaan devisa menjadi langka karena pinjaman-pinjaman baru
untuk perusahaan-perusahaan di Indonesia tidak diberikan oleh kreditur asing. Karena tidak
mampu mengatasi krisis ini maka pemerintah Indonesia memutuskan untuk mencari bantuan
keuangan dari Dana Moneter Internasional (IMF) pada bulan Oktober 1997.
Lembaran Konsensus Wangshinton Sebagai Pembenaran
Williamson

mengkopilasi

kebijakan-kebijakan

yang

bertujuan

untuk

menformulasikan kebijakan reformasi ekonomi tersebut, di mana World Bank dan IMF
sebagai subyek utama, dengan sebutan Konsensus Washington (Washington Consensus).
Konsensus Washington ini didasarkan pada upaya stabilisasi ekonomi lewat jalur kebijakan
penyesuaian struktural yang direkomendasikan oleh organisasi Bretton Woods dan pengambil
kebijakan ekonomi pemerintah AS. Konsensus Washington menekankan kepada pembuatan
kebijakan finansial dan makro ekonomi yang hati-hati (prudent), nilai tukar mata uang yang
kompetitif, liberalisasi sektor keuangan dan perdagangan, privatisasi, dan deregulasi.
Dengan Keberadaan kebijakan Konsensus Washington yang notabene bersifat neoliberalisasi struktural pembangunan negara berkembang, menjadikan peluang IMF terbaru

untuk mengatur dan mengontrol negara berkembang yang sedang krisis dan meminjam dana
internasional bagi negara terdampak krisis, salah satunya Indonesia. Negeri yang merupakan
salah satu negara terkena dampak krisis moneter Asia 1997 tersebut harus melakukan
konfirmasi terhadap reformasi ekonomi yang disarankan lembaga moneter internasional, IMF
sebagai langkah penyelematan ekonomi Indonesia yang krisis pada saat itu.
IMF : Dokter Amputasi Ekonomi Atau Pengatur Tagihan Debit ?
Oktober 1997 Presiden Soeharto dalam pidatonya meminta bantuan kepada IMF, dan
sejak saat itu Indonesia resmi menjadi pasien IMF (tribunnews.com, 2013). Indonesia boleh
saja meminjam dana untuk melalui kerisis dari IMF, akan tetapi untuk meminjam dana
tersebut IMF memberikan syarat-syarat kepada Indonesia. Syerat tersebut antara lain
Indonesia wajib melakukan pengenatan belanja fiskal dan mengurangi subsidi, itulah dua
persyaratan yang disepakati oleh IMF dan Indonesia dalam LOI (Letter of Intent) (lfip.org,
2001).
Dengan persyaratan tersebut terjadi perubahan besar dalam kebijakan ekonomi
nasional Indonesia secara perlahan, sistem eknomi Indonesia yang pada awalnya menganut
sistem eknomi terpimpin di era-Presiden Soekarno dan ekonomi Pancasila di era-Presiden
Soeharto bergeser secara derastis ke arah ekonomi liberal. Ini semua terjadi karena campur
tangan IMF dalam melakukan penyesuaian struktur domestik Indonesia yang disesuaikan
dengan ekonomi liberalisme secara global. Ini dilakukan di tiap negara yang menjadi pasien
IMF, dan satu resep dipakai oleh IMF untuk semua negara tanpa ada analisis yang lebih
lanjut.
Hal tersebut dikeritik oleh Jeffrey Sachs yang menyatakan bahwa tiap negara
memiliki permasalahan perekonomian yang berbeda-beda, dan untuk mengetahui
permasalahan ekonomi di suatu negara dibutuhkan analisis yang mendalam. Ia juga
mengeritik resep yang diberikan IMF kepada pasien-pasiennya yakni negara-negara yang
mengalami kerisis ekonomi, karena satu resep yang sama berlaku untuk setiap negara tanpa
melihat secara kongkrit masalah kerisis yang dihadapi oleh negara tersebut.
Sachs berpendapat untuk mengetahui kerisis di suatu negara ada beberapa hal yang
harus diperhatikan, bukan hanya sebarang member resep yang sama bagi tiap negara yang
mengalami kerisis ekonomi. Ia mengibaratkan sebuah negara yang mengalami kerisis
bagaikan manusia yang sedang sakit, dan saat manusia itu ke klinik untuk berobat baiknya
sang dokter memeriksa dengan teliti keadaan dan penyakit si manusia sebelum memberikan

resep. Tiap manusia memiliki penyakit dan kebutuhan resep yang berbeda, IMF juga
harusnya memeriksa kondisi negara yang mengalami kerisis sebelum memberikan resep
untuk menolong negara tersebut keluar dari krisis. Bukan justru malah menjebak negara
tersebut di dalam sebuah seting agenda dengan memberikan hutang kepada negara tersebut.
Sach menyebut teori ini dengan sebutan Clinical Economic (Sachs, 2005).
Strategi Pemerintahan Thailand dalam Mengatasi Krisis Moneter 1997
Pada buan Juli 1997, krisis moneter pertama-tama meletus di Thailand, kemudian
menjalar dengan cepat mempengaruhi sejumlah besar negara dan daerah di Asia. Krisis ini
adalah krisis ekonomi yang melanda di kawasan Asia untuk pertama kalinya. Krisis ini
disulut oleh keputusan pemerintahan PM Chavalith Yongchaiyud untuk mengambangkan
nilai tukar bath Thailand terhadap mata uang dollar AS pada tanggal 2 Juli 1997. Kebijakan
ini adalah refleksi dari ketidakmampuan pemerintahan PM Chavalith dalam mencegah dan
mengatasi krisis ekonomi secara ekonomis dan politis.
Adanya krisis ekonomi dan politik menyebabkan perubahan mendasar. Berbagai
indikator makro ekonomi menunjukkan angka negatif setelah menikmati pertumbuhan pesat
dalam hampir satu dekade. Secara ekonomi, pemerintahan yang sedang berkuasa menjadi
tidak lagi legitimate. Sementara itu legitimasi politik pemerintah harus didasarkan pada
sistem politik demokratis. Banyaknya praktek demokrasi yang masih belum dewasa dapat
memperburuk krisis ekonomi. Akibatnya, pemerintahan semi demokratis PM Chavalit tidak
mampu mengambil kebijakan ekonomi efektif dan tegas dalam rangka memperbaiki
kepercayaan investor yang sudah terlanjur telah menarik keluar investasi asing mereka.
Ketidakmampuan pemerintah yang sedang berkuasa untuk mengambil berbagai langkah
mengatasi krisis ekonomi semakin meningkatkan tuntutan berbagai lapisan masyarakat agar
pemerintahan koalisi PM Chavalith mengundurkan diri.
Pihak yang memiliki pengaruh dan peran dalam menyebabkan krisis ekonomi 1997
secara politik adalah teknokrat atau birokrasi. Para teknokrat bertanggung jawab terhadap
kebijakan-kebijakan makro ekonomi di Thailand. Sebagai aparatur penting dalam
pemerintahan, teknokrat dipandang sebagai pihak yang paling bertanggung jawab dan
dipersalahkan atas terjadinya krisis ekonomi, khususnya mereka yang berada di Bank Sentral
Thailand (BoT). Krisis ekonomi 1997 menunjukkan lemahnya kemampuan Bank Sentral
Thailand (BoT) mengantisipasi apresiasi nilai tukar riil mata uang bath terhadap dollar AS.

Untuk mengatasi krisis ekonomi di Thailand, pemerintah Thailand mengeluarkan


berbagai kebijakan. Pertama, berusaha mengembalikan kepercayaan para investor asing.
Diharapkan para investor asing bersedia membawa modalnya masuk kembali ke Thailand.
Dengan memperbaiki kepercayaan investor asing terutama maka masalah krisis likiuditas
dalam cadangan devisa Thailand dapat semakin teratasi. Pemerintah PM Chuan tetap
mempertahankan kerja sama dengan IMF. Pemerintah PM Chuan mendapatkan kesempatan
besar untuk memperbaiki keadaan ekonomi domestik Thailand dari IMF yakni melalui
bantuan bersifat finansial dan teknis. PM Thailand,Chuan, berusaha mendesak AS supaya
bisa memberi bantuan finansial secara terpisah dari bantuan multilateral IMF.
Sikap yang mendukung dari Presiden AS, Bill Clinton, digunakan sebagai jaminan
atas keseriusan Thailand dalam melakasanakan program reformasi ekonomi dari lembaga
keuangan internasional, IMF. Akhirnya, dukungan tersebut akan memperbaiki dan
meningkatkan kepercayaan lembaga-lembaga internasional dan negara-negara lain terhadap
Thailand. Namun sikap PM Chuan yang begitu patuh terhadap program perbaikan ekonomi
IMF melahirkan opini bahwa PM Chuan adalah a good student of the IMF. Opini tersebut
mempunyai arti positif bagi pemerintahan PM Chuan. Karena melakukan pinjaman dari IMF
maka PM Chuan harus menanggung konsekuensi yakni tidak bisa bersikap lain di luar
program ekonomi IMF. Pendirian ini melahirkan reaksi positif yakni meningkatnya
kepercayaan rakyat Thailand terhadap perkembangan ekonomi domestik negara Thailand.
Kedua, mengadakan reformasi finansial atau keuangan. Reformasi finansial dilakukan
oleh pemerintahan PM Chuan. Di antara reformasi keuangan tersebut adalah penyelesaian
semua aset milik ke-56 perusahaan-perusahaan keuangan yang ditutup itu hingga 31
Desember 1998 melalui the Financial Restructuating Agency (FRA) dan the Asset
Management Corporation (AMC), perusahaan-perusahaan keuangan akan direkapitalisasi
pada 1998 seiring dengan peraturan yang ketat, memperbaiki undang-undang kepailitan
(bankruptcy law), dan pemerintah menjamin tidak akan melakukan penutupan terhadap
perusahaan-perusahaan keuangan lain.
Ketiga, pemerintahan Thailand, PM Chuan memberlakukan pengontrolan lalu lintas
dan perdagangan bath melalui mekanisme two-tier system. Kebijakan ini diharapkan mampu
menjaga terjadinya stabilitas nilai tukar pada level yang lebih rendah. Hal tesebut dapat
menyebabkan industri dapat kembali beroperasi secara normal dan baik. Misalnya, ekspor
produk agroindustri lebih mampu bersaing serta bahan baku industri dapat diimpor dengan

harga lebih murah. Selain itu, diharapkan adanya kebijakan ini mampu mempertahankan
cadangan devisa negara.
Keempat, pemerintah Thailand membuat kebijakan untuk mendorong biaya produksi
dan ekspor. Pelaksanaan kebijakan ini dilaksanakan dalam rangka untuk mengembangkan
proyek-proyek investasi padat karya yang didanai dari pinjaman Bank Dunia dan Miyazawa
Iniatiative, Jepang. Dari kebijakan ini maka diharapkan adanya peningkatan daya beli rakyat
dan merangsang kegiatan produksi. Kebijakan yang dikeluarkan pemerintah (Paket 30 Maret
1999) itu berisi program pembiayaan sebesar 53 milyar bath, pengurangan pajak sebesar 54,7
milyar bath per tahun, serta pengurangan harga energi sebesar 23,8 milyar bath per tahun.
Kelima, dalam sektor-sektor industri yang selama ini sangat terbatas bagi penanaman
modal asing akhirnya disetujui oleh Parlemen Thailand di akhir 1998. Contohnya, produsen
mobil asal Jepang mulai memiliki 100% industri mobil. Tetapi sektor-sektor industri tersebut
tidak termasuk bagian sektor ekspor dan jasa turisme.Thailand tidak hanya mengandalkan
sektor industri namun juga sektor pertanian khususnya teknologi pertanian. Sektor teknologi
pertanian ini sudah lama ditinggalkan oleh sebagian besar rakyat Thailand sewaktu
perekonomian sedang mengalami peningkatan yang besar.
Akhirnya, perekonomian Thailand berangsur-angsur pulih. Hal ini bisa dilihat dari
indikator-indikator ekonomi pada pertengahan 1999. Misalanya, mata uang Bath mulai
terlihat stabil, nilai indeks harga saham SET hampir meningkat dua kali lipat, cadangan
devisa mengalami kenaikan pesat, hutang luar negeri turun, dan angka inflasi mengalami
penurunan.
Strategi Pemerintahan Indonesia dalam Mengatasi Krisis Moneter 1997
Sejak Juli 1997 telah terjadi krisis ekonomi moneter yang menggoncang sendi-sendi
ekonomi dan politik nasional. Bagi perbankan, krisis telah menimbulkan kesulitan likuiditas
yang luar biasa akibat hancurnya Pasar Uang antar Bank (PUAB). Sebagai lender of the last
resort BI harus membantu mempertahankankestabilan sistem perbankan dan pembayaran
untuk mempertahankan kelangsungan ekonomi nasional. Nilai tukar Rupiah terus merosot
tajam, pemerintah melakukan tindakan pengetatan Rupiah melalui kenaikan suku bunga yang
sangat tinggi dan pengalihan dana BUMN/yayasan dari bank-bank ke BI (SBI) serta
pengetatan anggaran Pemerintah.

Ternyata kebijakan tersebut menyebabkan suku bunga pasar uang melambung tinggi
dan likuiditas perbankan menjadi kering yang menimbulkan bank kesulitan likuiditas. Segera
setelah itu masyarakat mengalami kepanikan dan kepercayaan mereka terhadap perbankan
mulai menurun. Maka terjadi penarikan dana perbankan secara besar-besaran yang sekali lagi
menimbulkan kesulitan likuiditas pada seluruh sistem perbankan. Akibatnya sistem
pembayaran terancam macet dan kelangsungan ekonomi nasional tergocang. Untuk itu pada
Oktober 1997, pemerintah mengundang IMF untuk membantu program pemulihan krisis di
Indonesia.
Pada 31 Oktober 1997 disetujui LoI pertama yang merupakan program pemulihan
krisis IMF. Pemerintah antara lain menyatakan akan menjamin pembayaran kembali kepada
para deposan. Memasuki 1998 keadaan ekonomi semakin memburuk, nilai Rupiah terhadap
Dollar tertekan hingga Rp 16.000 hal tersebut disebabkan pasokan barang yang menurun
dengan tajam karena kegitan produksi berkurang dan jalur distribusi terganggu karena
rusaknya sentra-sentra perdagangan karena kerusuhan Mei 1998. Pada 15 Januari 1998
Pemerintah mempercepat program stabilisasi dan reformasi ekonomi dengan LoI kedua. LoI
kedua diikuti dengan LoI ketiga 8 April 1998 yang mencakup program stabilisasi Rupiah,
pembekuan 7 bank dan penempatan nya pada BPPN serta penyelsaian hutang swasta dengan
Pemerintah sebagai mediator.
Kemudian LoI keempat pada 25 Juni 1998 yang mencakup revisi atas target-target
ekonomi dan penyediaan Jaringan Pengaman Sosial (JPS). Selain mengatasi krisis moneter,
pemerintah juga juga membantu menyelesaikan pinjaman luar negeri sektor swasta.
Diantaranya pemerintah membentuk Tim Penyelesaian Utang Luar Negeri Swasta (TPULNS)
yang menghasilkan kesepakatan di Frankfurt pada 4 Juni 1998 tentang penyelesaian utang
luar negeri swasta. Masih dalam upaya yang serupa, pemerintah membentuk INDRA
(Indonesian Restructuring Assets) yang bertugas melindungi debitur Indonesia dari resiko
perubahan nilai tukar pada jumlah hutangnya. Kemudian pada 9 September 1998 pemerintah
membentuk Prakarsa Jakarta untuk menyediakan akses bagi perusahaan agar dapat
mendaptkan modal baru guna menggerakkan kembali usahanya. Langkah tersebut diambil
sebagai bagian dari program restrukturisasi dan rekapitulasi perbankan.
Situasi Politik Thailand, Berbeda Dengan Indonesia 1997
Eksistensi sebuah negara memiliki ciri khas identitasnya masing-masing dimana
kekhasan tersebut menjadi pembeda dari negara yang lain. Thailand dengan simbol

negaranya yang dilambangkan dengan gajah putih ini memiliki ciri khasnya sendiri dari
negara lain terutama di ruang lingkup kawasan Asia Tenggara, yakni satu-satunya negara di
Asia Tenggara yang sama sekali tidak pernah mengalami kolonialisasi atau penajajahan di
negaranya. Selain itu, Berdasarkan analisis Hofstede mengenai dimensi budaya Thailand,
Thailand mempunyai tingkat individualisme yang rendah, hal ini menunjukkan adanya
komitmen dalam sebuah keluarga. Masyarakatnya memupuk hubungan yang kuat dimana
setiap orang bertanggungjawab untuk sesama anggota keluarga mereka (Hofstede 2001 dalam
Pimpa 2012, 36). Kendati demikian hal tersebut tidak menutup kemungkinan akan adanya
kestabilan politik internal Thailand tidak mengalami pasang surut.
Mengamati perpolitikan yang dialami oleh Thailand menjadikan negara ini sebagai
negara yang rentan akan bentuk kudeta, mengingat peran junta militer yang cukup signifikan
dalam kursi pemerintahan. Bagi Thailand, peranan Militer dalam kenegaraan/pemerintahan
merupakan unsur terpenting terhadap konstentasi politik dalam penanganan krisis moneter
asia 1997 tersebut. konstelasi politik dan pemerintahan di Thailand sebagian besar
dipengaruhi oleh rezim militer, dimana dominasi kehidupan politik di Thailand banyak
dimotori oleh militer. Sebut saja pada tahun 1930-1980an. Pada tahun-tahun ini, elite militer
menjadi penentu utama politik luar negeri Thailand (seperti konflik perbatasan, pembelian
sejata, penyusunan anggaran belanja militer dsbnya). Sehingga sejak militer berkuasa di
Thailand, konsepsi keamanan nasional merupakan salah satu produk rezimnya. Boleh jadi
pada akhir tahun 1988, dengan dibentuknya pemerintahan parlementer yang berusaha
menerapkan kebijakan profesionalisme militer, menandakan sikap pemerintahan sipil yang
baru dalam mendefinisikan ulang peranan sebuah militer. Karena dalam demokrasi, fungsi
militer adalah sebagai pertahanan negara, tidak memiliki peranan lebih dari itu, apalagi
melakukan intervensi terhadap jalannya roda pemerintahan suatu negara.
Namun ketika pemimpin yang memiliki tanggung jawab dalam krisis moneter Asia
1997 mampu melakukan kinerja kinerja dalam mengembalikan stabilitas ekonomi nasional
dan internasional melalui kebijakan (1) Berusaha mengembalikan kepercayaan investor asing
dengan memperbaiki likuiditas dan cadangan devisa negara, bekerja sama dengan IMF selaku
lembaga moneter internasional, (2) memperbaiki reformasi finansial atau keuangan, (3)
Pemerintahan Thailand, PM Chuan memberlakukan pengontrolan lalu lintas dan perdagangan
bath melalui mekanisme two-tier system. Dengan perbaikan ekonomi pada krisis Asia
tersebut, maka tidak heran bahwasannya tidak terjadi kudeta eksekutif di pemerintahan
Thailand.

Sedangkan perbaikan ekonomi di Indonesia berbeda dengan Thailand. Krisis politik


di Indonesia yang timbul karena keadaan memburuknya finansial akibat krisis moneter asia
1997 bukan hanya sebagai latar belakang penuh akan terjadi kudeta eksekutif di Indonesia.
Krisis politik di Indonesia timbul pula karena adanya pengaruh mobilisasi massa yang
mengalami pula krisis kepercayaan di dalam pemerintahan Soeharto itu sendiri.
Aksi demonstrasi dan kritik yang ditujukan terhadap pemerintah Suharto semakin
meningkat setelah ia terpilih kembali sebagai presiden dan membentuk kabinet baru pada
bulan Maret 1998. Kabinet baru yang provokatif ini berisi sejumlah anggota yang berasal dari
kelompok kroninya dan oleh karenanya tidak mampu berbuat banyak untuk memulihkan
kepercayaan terhadap pasar Indonesia. Setelah pemerintah memutuskan untuk mengurangi
subsidi BBM pada awal bulan Mei, kerusuhan berskala besar terjadi di Medan, Jakarta dan
Solo. Meskipun IMF telah memberikan waktu kepada Suharto sampai dengan Oktober untuk
mengurangi subsidi secara bertahap, ia memutuskan untuk melakukan semuanya sekaligus,
mungkin karena terlalu meremehkan dampaknya atau terlalu percaya diri dengan
kekuasaannya sendiri. Ketegangan mencapai puncaknya setelah empat orang mahasiswa
Indonesia tewas pada waktu melakukan demonstrasi di sebuah universitas lokal di Jakarta.
Diduga penembakan tersebut dilakukan oleh pasukan tentara khusus ('tragedi Trisakti').
Selain itu, krisis kepercayaan yang ditimbulkan praktik praktik korupsi telah
menjadi unsur terpenting dalam kudeta eksekutif di pemerintahan baru Soeharto. Budaya
patronase dan korupsi yang tidak memiliki model pengawasan yang baik. Bahkan Bank
Indonesia tidak tahu tentang arus uang (sehingga menyebabkan timbulnya utang swasta
jangka pendek yang sangat besar) yang masuk ke Indonesia dan menyebabkan terjadinya
'ekonomi gelembung' ('bubble economy'). Budaya patronase dan korupsi ini (serta kurangnya
kepastian hukum) amat sangat menghambat fungsi ekonomi yang efisien dan merupakan bom
waktu yang bisa meledak setiap saat.
Kesimpulan
Krisis moneter Asia pada tahun 1997 merupakan badai ekonomi yang melanda
sebagian daratan asia dan memengaruhi mata uang, bursa saham, dan harga aset lainnya di
beberapa negara Asia termasuk Indonesia. Krisis moneter yang salah dalam penanganan dan
error-diagnosa dari pemerintah atas tekanan lembaga moneter internasional, International
Monetary Fund (IMF), krisis moneter Indonesia berkembang menjadi krisis ekonomi dan
akhirnya melahirkan krisis politik.

Krisis politik di Indonesia bukan semata mata permasalahan krisis ekonomi ketika
mengalami Krisis Moneter Asia 1997 sebagai faktor utama turunnya Soeharto sebagai
presiden Republik Indonesia. Namun faktor kepercayaan dalam mengemban pemerintahan
selama 32 tahun bagi Soeharto merupakan umur yang lama dalam membangun suatu rezim
politik. Selain itu, permasalahan KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotis) sebagai faktor utama
turunnya soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia. Terakhir, kesalahan dalam
penanganan IMF bagi perbaikan ekonomi Indonesia merupakan faktor utama pula dalam
eksistensi Soeharto sebagai presiden Republik Indonesia.
Bagaimana dengan Thailand? Thailand sebagai negara yang mengalami inflasi lebih
tinggi daripada Indonesia yang dilakukannya perbaikan melalui kebijakan-kebijakan yang di
keluarkan oleh pemerintah Thailand Akhirnya mampu membangun kembali perekonomian
Thailand yang berangsur-angsur pulih. Hal ini bisa dilihat dari indikator-indikator ekonomi
pada pertengahan 1999. Misalanya, mata uang Bath mulai terlihat stabil, nilai indeks harga
saham SET hampir meningkat dua kali lipat, cadangan devisa mengalami kenaikan pesat,
hutang luar negeri turun, dan angka inflasi mengalami penurunan.
Daftar Pustaka
Buku dan Artikel di Buku
Bordo, M. D. (1993). The Bretton Woods International Monetary System: A Historical. In M.
D. Bordo, & B. Eichengreen, A Retrospective on the Bretton Woods System: Lessons for (pp.
3-108). Chicago: University of Chicago Press.
Madu, Ludiro. 2003. Keajaiban Thailand : Analisis Deskriptif Asal Usul dan Pemilihan
Ekonomi
Ibadan, Berlin. 1993. The East Miracle Asian : Economy Growth and Public Policy.
Washington : Oxford University Press

Artikel Jurnal dan Jurnal Elektronik


Chalongphob Sussangkarn, 2010. Economic Crisis and Recovery in Thailand: The Role of
the IMF, Thailand Development Research Institute (TDRI)
Jeffrey Sachs, 1998. The IMF and the Asian Flu, The American Prospect.

Indonesian Economy Quarterly, 2014. Pilihan Sulit : The World Bank Group
Lepi T. Tarmidi. Krisis Moneter Indonesia : Sebab, Dampak, Peran IMF dan Saran, Pusat
Kajian APEC, Universitas Indonesia
IMF Staff, 2000. Recovery from the Asian Crisis and the Role of the IMF, International
Monetary Fund
IMF Staff, 1998. IndonesiaMemorandum of Economic and Financial Policies,
International Monetary Fund

Media Massa Online


Indonesia-Investment, 2015. Krisis Keuangan Asia di Indonesia. [online]. dalam
http://www.indonesia-investments.com/id/budaya/ekonomi/krisis-keuangan-asia/item246
[diakses 10 Februari 2015].
Indoprogress, 2014. Ekonomi-Politik Indonesia Pasca Orde Baru: Transformasi Oligarki dan
Disorganisasi Akar Rumput. [online]. dalam http://indoprogress.com/2014/06/ekonomipolitik-indonesia-pasca-orde-baru-transformasi-oligarki-dan-disorganisasi-akar-rumput/
[diakses 21 Juni 2014].
okezone.com. (2014, Agustus 15). Fiskal & Moneter. Retrieved Juni 21, 2015, from
Economy: http://economy.okezone.com
tribunnews.com. (2013, Mei 21). tribunnews.com. Retrieved Juni 18, 2015, from news:
http://www.tribunnews.com/

You might also like