Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 243

KOMERSIALISASI PRODUKSI DAN ADAPTASI PENERAPAN

TEKNOLOGI ALAT PENANGKAPAN


KE ARAH PENINGKATAN KEHIDUPAN
SOSIAL EKONOMI
(Studi Kasus Komunitas Nelayan Patorani
di Kabupaten Takalar Propinsi Sulawesi Selatan)

COMMERCIALIZATION PRODUCTION AND ADAPTATION OF


TECHNOLOGY APPLICATION
OF FISHING GEARS TOWARD BETTER
SOCIAL ECONOMIC LIVELIHOOD
( A case study Of Patorani Fishermen Community
In Takalar, South Sulawesi Province)

Oleh
Suwaib. A
L3G 03099

DISERTASI
Untuk memperoleh gelar Doktor dalam bidang Ilmu Sosial
pada Universitas Padjadjaran dengan wibawa Rektor Universitas Padjadjaran
Prof.Dr.Ir.Ganjar Kurnia, DEA
Sesuai dengan Keputusan Senat/Guru Besar Universitas Padjadjaran
dipertahankan pada tanggal 11 Januari 2008
di Universitas Padjadjaran

PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG
2008

www.hendratmoko.com 1
ABSTRACT

Patorani fishermen community is a specific of fishermen community who catch


Torani fish. Their existence was believed since the 17th century. Until mid 20th century, they
were known as subsistent fishermen, but it was changed in the last of the same century. The
changing was about catching pattern due to market demand and commercialism of
production. At beginning, the fishermen caught the mothers of the fish, but now they prefer
to catch the eggs. Therefore, they also changed catching device from traditional device into
modern one as an adaptation of technology application.

The research objective is to describe commercialism of production and adaptation of


technology application toward increasing social and economy life of Patorani fishermen
community, in Takalar District, South Sulawesi Province.

It is a qualitative research, using descriptive and analytic study design. The data was
collected from observation and depth-interview on Patorani fishermen and exporters.

Patorani fishermen are classified into three categories, papalele, pinggawa and sawi.

Papalele, capital owners, are people who lend the capital to the workers, they are pinggawa
and sawi. Pinggawa and sawi use the capital in operating catching system, including sail to
the sea to catch Torani eggs. Pinggawa acts as the leader in a sailing; he drives the fishing
boat and knows the sailing directions. While sawi act as people who catch torani eggs in a
sailing. Both pinggawa and sawi must pay back capital to papalele in a certain time, usually
within a season.

The research found market demand and commercialism of Torani egg


production. It causes a change of social relationship pattern among fishermen.
Traditional relationship is changed into functional and contractual one. Besides it also
cause adaptation of technology application in term of the use of modern catching
device. Social relationship’s changing showed in a more structured fishermen
community by three components that play important role in catching system, papalele,
pinggawa and sawi. Papalele increase more benefit and commerce the product to
strengthen capital. Pinggawa and sawi must pay back the capital to them in certain
time, usually within a season, mentioned as contractual relationship. The research also
found a social value; means dignity that believed in community in order to reach
succeeds.

www.hendratmoko.com 2
Abstrak

Nelayan Patorani adalah nelayan khusus menangkap ikan terbang (ikan torani).
Komunitas nelayan Patorani yang keberadaanya sejak abad ke-17, hingga pertengahan abad
ke-20 merupakan nelayan usaha subsistensi. Namun pada akhir abad ke-20 tuntutan pasar
yang menyebabkan komersialisasi produksi mengalami pergeseran pola penangkapan dari
induk ikan ke penangkapan telur ikan torani. Terjadinya pergeseran pola penangkapan
tradisional ke pola penangkapan modern dan pergeseran penerapan tekologi alat
penangkapan. Penelitian ditujukan pada komunitas nelayan patorani dibalik fenomena
aktualisasi pergeseran komersialisasi produksi dan tuntutan pasar yang mengarah pada pola
penangkapan dan adaptasi penerapan teknologi.

Penelitan ini menggunakan pendekatan kualitatif, dan desain penelitian deskriptif analitik,
kaitannya dengan komersialisasi produksi dan adaptasi penerapan teknologi penangkapan
ke arah peningkatan sosial ekonomi. Penelitian dilakukan pada dua kecamatan di
kabupaten Takalar Sulawesi Selatan. Pengumpulan data dilakukan melalui pengamatan
mendalam dan wawancara berkesinambungan pelaku dalam komunitas nelayan patorani
yakni, Papalele (pemilik modal) pinggawa (juragan laut) dan sawi (buruh) serta eksportir.
Hasil penelitian memperlihatkan bahwa masuknya permintaan pasar dan eksportir maka
permintaan telur ikan torani (telur ikan terbang) menjadi hal yang mutlak di penuhi.
Nelayan patorani tradisional beralih pada penerapan teknologi alat tangkap modern untuk
meningkatkan hasil produksi. Kondisi semacam ini, hubungan semakin terpolakan yakni
eksportir- papalele dan demikian pula papalele ke pinggawa. Hubungan itu terkait,
pengadaan teknologi alat dan penguatan modal operasional kepada nelayan patorani.
Kesemua itu dilakukan karena orientasi kuat pada tuntutan pasar dan komersialisasi
produksi, dngan demikian struktur pada komunitas semakin terspesialisasi antara
papalele-pinggawa-sawi. Papalele sebagai pemilik modal mengarah pada komersialisasi
produksi yang terlihat dengan adanya motivasi agar hasil terus ditingkatkan dan mengejar
keuntungan semata. Hubungan tradisonal sudah mulai bergeser kehubungan fungsional
dan kontraktual. Hubungan kontraktual, diberlakukan atas dasar pemberian modal pada
pinggawa, kemudian pinggawa mengembalikan pada papalele dalam jangka waktu
semusim. Internalisasi nilai siri’ (harga diri) secara kultural berhasil membentuk suatu
tujuan untuk mencapai sukses dan peningkatan hasil tangkapan komunitas nelayan
patorani.

www.hendratmoko.com 3
KOMERSIALISASI PRODUKSI DAN ADAPTASI PENERAPAN
TEKNOLOGI ALAT PENANGKAPAN
KE ARAH PENINGKATAN KEHIDUPAN
SOSIAL EKONOMI
(Studi Kasus Komunitas Nelayan Patorani
di Kabupaten Takalar Propinsi Sulawesi Selatan)

COMMERCIALIZATION PRODUCTION AND ADAPTATION OF


TECHNOLOGY APPLICATION
OF FISHING GEARS TOWARD BETTER
SOCIAL ECONOMIC LIVELIHOOD
(case study: Patorani Fishermen Community
In Takalar, South Sulawesi Province)

Oleh
Suwaib. A
L3G 03099

DISERTASI
Untuk memenuhi salah satu syarat ujian
guna memperoleh gelar Doktor dalam bidang Ilmu Sosial ini
telah disetujui oleh Tim Promotor pada tanggal
seperti yang tertera di bawah ini

Bandung, 20 September 2007

Prof. Oekan S. Abdoellah, M.A.,Ph.D


Ketua Tim Promotor

Prof.Soedardja Adwikarta, M.A.,Ph.D Dr. Yugo Sariyun, M.S


Anggota Tim Promotor Anggota Tim Promotor

www.hendratmoko.com 4
KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas segala karunia dan

rahmat-Nya yang diberikan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan penulisan

disertasi ini, dengan berbagai rintangan dan tantangan yang dihadapi oleh penulis.

Penelitian ini mendeskripsikan komunitas nelayan patorani berkaitan dengan proses

terjadinya pergeseran pola penangkapan secara tradisional ke pola penangkapan modern.

Terjadinya pergeseran tersebut, karena adanya tuntutan pasar dan komersialisasi produksi.

Imbas dari adanya tuntutan pasar tersebut, maka nelayan patorani mengalami pergeseran

pola penangkapan dari induk ikan ke penangkapan telur ikan. Untuk mendukung tuntutan

pasar dan komersialisasi produksi, maka penerapan teknologi sebagai alat pendukungnya

ikut pula mengalami pergeseran dari tradisional ke modern. Realitas tersebut, hubungan

sosial dan internalisasi nilai siri’ menjadi motivasi untuk bekerja yang berorientasi ke arah

peningkatan kehidupan sosial ekonomi komunitas nelayan patorani.

Dalam penulisannya, penulis melewati proses yang cukup panjang dimulai dari

proses persiapan, penelitian, dan proses penulisannya sendiri. Tentu saja berbagai kesulitan

danhambatan banyak di temui penulis, baik menyakngkut aspek teoritis, aspek penelitian

ilmiah yang dilakukan, maupun aspek-aspek lainnya yang ikut pula mempengaruhi penulisan

ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa melewati semua hambatan dan kesulitan itu,

serta terselesaikannya disertasi ini adalah berkat bantuan dari berbagai pihak yakni ketua

Tim Promotor Prof. Oekan S. Abdoellah, M.A.,Ph.D, serta anggota Tim Promotor Prof.

Soedardja Adiwikarta,M.A.,Ph.D dan Dr.Yugo Sariyun. Ketiganya telah meluangkan waktu

disela-sela kesibukannya memberikan bimbingan dan arahan sejak pembuatan usulan

penelitian, proses penelitian, dan penulisan disertasi. Tanpa kearifan dan kerja keras dari tim

www.hendratmoko.com 5
promotor dalam menuntun penulis, tentunya terselesaikannya penulisan disertasi ini tidak

mungkin dicapai.

Ucapan terima kasih yang tulus di haturkan pula kepada Tim Oponen Ahli yang amat

terpelajar Prof. H.A. Djadja Saefullah,Drs,M.A.,Ph.D; Prof.H.Kusnaka Adimihardja,M.A.,Ph.D;

Prof.H.Judstira K.Garna,M.A.,Ph.D; Prof.Dr.Haryo Martodirdjo,M.A atas telaahan disertasi

ini.

Selain itu, penulis menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada berbagai

pihak yakni: (1) Rektor Universitas Padjadjaran atas kesempatan belajar dan fasilitas yang

diberkan; (2) Direktur, jajaran pimpinan dan pengajar Program Pascasarjana Universitas

Padjadjaran atas bimbingan dan pembelajaran yang diberikan, serta atas laynan administrasi

yang disediakan; (3) pimpinan dan jajaran pimpinan Pemerintaha Daerah Propinsi Sulawesi

Selatan atas pemberian ijin dan rekomendasi untuk ke lokasi penelitian; (4) pimpinan

Pemerintah Daerah Kabupaten Takalar, pemerintah Kecamatana Galesong Utara dan

Galesong Selatan sebagai lokasi penelitian, dan dinas kelautan dan perikanan kabupaten

Takalar; (5) para eksportir, papalele (pemilik modal), Pinggawa (juragan perahu), sawi (buruh

nelayan) atas kesediaan waktunya untuk menjadi informan dalam kelengkapan data

disertasi ini; (6) para rekan (Jumayar Marbun, Drs.,M.S; Endang Hermawan,Drs.,M.Si; Eben

Sahlan; Drs,M.Si, Opan S, Drs.,M.Si) dan terkhusus kakanda yang selalu memberikan

masukan baik tentang konsep maupun filosofi hidup (kakanda Dr.Iskandar,M.Si; kakanda

Dr.Mansyur Ahmad,M.Si; akang Dr.Gunawan Undang.,M.Si, kakanda Dr.Irianto A Baso

Ence,S.H.,MH dan Kakanda Muhammad Said UR, SE.,M.Si); serta sahabat-sahabat saya,

Syafaruddin,SE,M.Si; Riswan,ST.,MT; Maqbul Halim,S.Sos.,M.Si; dan (7) yang terkasih dr.Roro

Rukmi Windi Perdani, atas dorongan dan semangat yang tidak henti-hentinya pada penulis

untuk menyelesaikan disertasi ini.

www.hendratmoko.com 6
Penghargaan dan terima kasih yang tulus khusus disampaikan kehadapan keluarga

penulis. Ibunda yang tercinta Inrallang Daeng Te’ne dan ayahanda Amiruddin Daeng Sila,

secara tulus dan tiada henti mendoakan, memberikan nasihat dan dorongan semangat agar

penulis terus belajar. Kakakku Sultan Amiruddin Sila, S.H, serta istrinya Jumrah,S.E dan

adikku Hairani Amiruddin, A.Md serta suaminya Faisal Jabbar. Keluarga inilah pula

memberikan dukungan baik moral maupun material. Kemudian terkhusus pula kepada

bapak Sutoto,SH.,MH dan ibu Kingkin Wahyuningdiah, SH.,MH yang selalu setia memberikan

motivasi terhadap penulis.

Demikian disertasi ini diajukan, dengan peuh kesadaran bahwa masih banyak

kekurangan dan ketidaksempurnaan di dalamnya, namun berharap semoga memiliki

manfaat.

Bandung, September 2007

Penulis

www.hendratmoko.com 7
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

HALAMAN PENGESAGHAN

ABSTRAK.......................................................................................................... iii

ABSTRACT......................................................................................................... iv

KATA PENGANTAR......................................................................................... v

DAFTAR ISI....................................................................................................... viii

DAFTAR TABEL............................................................................................... xi

DAFTAR GAMBAR.......................................................................................... xii

DAFTAR LAMPIRAN....................................................................................... xiii

BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Penelitian ...................................................... 1
1.2. Rumusan dan Identifikasi Masalah ........................................ 10
1.3 Maksud Dan Tujuan Penelitian .............................................. 12
1.3.1. Maksud Penelitian ...................................................... 12
1.3.2. Tujuan Penelitian ........................................................ 12
1.4. Kegunaan Penelitian ................................................................ 13
1.4.1. Kegunaan Akademik. .................................................
13
1.4.2. Kegunaan Praktis .......................................................
13

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN


2.1. Kajian Pustaka ....................................................................... 14
2.1.1. Penelitian Yang Mendahului ...................................... 14
2.1.2. Perubahan Sosial dan Modernisasi ............................. 20
2.1.3. Pergeseran Karakteristik Masyarakat ......................... 29

2.1.4. Penerapan Teknologi dan Pertumbuhan Ekonomi ...... 34


2.1.4.1 Penerapan Teknologi dan pergeseran
solidaritas sosial. ........................................................ 42
2.1.4.2. Penerapan Teknologi dan Terbentuknya Pembagian
Kerja.......................................................................... 48

2.1.5. Adaptasi Kearah Kehidupan Sosial Ekonomi .............. 55


2.1.5.1. Adaptasi Internal Nilai dan Etos Kerja ....................... 62
2.1.5.2.. Makna Nilai Siri’ Kaitannya Kehidupan Sosial Ekonomi 70

www.hendratmoko.com 8
2.2. Kerangka Pemikiran .............................................................. 76

2.3. Hipotesis Kerja ...................................................................... 87

BAB III OBYEK DAN METODE PENELITIAN


3.1 Obyek Penelitian ................................................................... 88
3.2 Desain Penelitian ................................................................... 89
3.3 Langkah Penelitian ................................................................ 92
3.4 Penentuan Informan Sumber Data Penelitian ......................... 93
3.5 Teknik Pengumpulan Data ............................................... 94
3.5.1. Tahap Orientasi .................................................... 94
3.5.2. Pengamatan Berperan-serta ......................................... 95
3.5.3. Wawancara Mendalam................................................ 97
3.5.4. Diskusi ....................................................................... 98
3.5.5. Penggunaan Panduan Pertanyaan ............................... 100
3.6 Teknik Analisis Data ............................................................. 100
3.7 Keabsahan Data ..................................................................... 103
3.8 Lokasi Penelitian ................................................................... 105
3.9 Jadual Penelitian .................................................................... 106

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


4.1 Pergeseran Pola Penangkapan Secara Tradisional Ke Pola
Penangkapan Modern ............................................................ 110
4.1.1 Kawasan pantai dan Perkembangan nelayan di
Kabupaten Takalar ...................................................... 110
4.1.2. Karakteristik Umum Kehidupan Sosial Komunitas
Nelayan Patorani ........................................................ 117
4.1.3 Wilayah dan Musim Penangkapan .............................. 126
4.1.4 Pergeseran Karaktersistik Nelayan Patorani Dari
Tradisional ke Modern Kaitannya Kehidupan Sosial
Ekonomi ..................................................................... 133
4.1.4.1 Pengetahuan Pola Penangkapan Dari Induk Ikan
Ke PenangkapanTelur Ikan Akibat Tekanan
Pasar ............................................................. 142
4.1.4.2 Orientasi Penangkapan Dari Induk Ikan Ke Telur
Ikan Torani Kaitannya Komersialisasi Produksi 153
4.1.5. Pergeseran Pola Pranata Sosial Ke Hubungan
Komersialisasi Produksi.............................................. 160
4.1.5.1 Pergeseran Makna Ritual Tentang Kepatoranian 171
4.1.5.2 Pergeseran Nilai-Nilai Religius Tradisional Ke
Arah Rasionalisasi Tindakan ......................... 187
4.2 Pola Penangkapan Ke Arah Komersialisasi Produksi dan
Penerapan Teknologi ............................................................ 193
4.2.1 Masuknya Pola Produksi Kapitalis .............................. 193
4.2.1.1 Komersialisasi Produksi Dan Perkembangan
Investasi ........................................................ 197
4.2.1.2. Masuknya Kapitalisme ke Arah Peningkatan
Penghasilan ................................................... 206
4.2.2. Penggunaan Teknologi Penangkapan ......................... 224

www.hendratmoko.com 9
4.2.2.1 Penerapan Teknologi Penangkapan komunitas
nelayan patorani Ke Arah Komersialisasi
Produksi ........................................................ 228
4.2.2.2 Pola Pengelolaan Hasil Tangkapan Subsistensi
Ke Arah Orientasi Ekspor ............................. 240
4.3 Penerapan Teknologi Dan Pola Hungungan Sosial ................. 252
4.3.1 Hubungan Sosial Tradisional Ke Industrial ................. 252
4.3.1.1 Hubungan Patron Klien Pada Komunitas
Nelayan Patorani ........................................... 264
4.3.1.2 Solidaritas Sosial Kekeluargaan Ke
Hubungan Kontraktual ................................. 279
4.3.2. Hubungan Sosial Dan Pembagian Kerja ...................... 291
4.3.2.1. Pola Pembagian Kerja Pada Komunitas Nelayan
Patorani ......................................................... 294
4.3.2.2 Pembagian Kerja Pada Hubungan Tradisional Ke
Hubungan Industrial .................................... 301
4.3.3. Internalisasi Siri’ Kaitannya Etos Kerja ...................... 313
4.3.3.1 Makna Nilai Siri’ Bagi Masyarakat Bugis-
Makassar Dan Nelayan Patorani..................... 313
4.3.3.2 Makna Internalisasi Siri’ Terkait Adaptasi
Lingkungan Penangkapan .............................. 317
4.3.3.3 Internalisasi Makna Siri Berkaitan Harga Diri
Dan Motivasi Bekerja .................................... 322
4.3.3.4. Internalisasi Nilai-Nilai Siri’ Ke Arah Kehidupan
Sosial Ekonomi .............................................. 332

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN


5.1. Kesimpulan .......................................................................... 348
5.2. Saran .................................................................................... 349
5.2.1. Saran Untuk Pengembangan Ilmu ................................ 349
5.2.2. Saran Untuk Pengambil Kebijakan ............................... 350
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 351
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ......................................................................
LAMPIRAN .................................................................................................
Pedoman Wawancara .....................................................................
Foto-Foto Lokasi Penelitian ...........................................................
Peta Lokasi Penelitian ....................................................................

www.hendratmoko.com 10
DAFTAR LAMPIRAN

1. Pedoman wawancara..................................................................................................

2. Panduan pertanyaan wawancara mendalam..............................................................

3. Pedoman observasi....................................................................................................

4. peta propinsi Slawesi Selatan...................................................................................

5. Pata Kabupaten Takalar............................................................................................

6. Izin-izn penelitian (Pemda propinsi Sulawesi selatan dan

Pemda Kabupaten Takalar.......................................................................................

7. Foto-foto obyek penelitian........................................................................................

8. Daftar Riwayat Hidup Penulis................................................................................

www.hendratmoko.com 11
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Perbedaan unsur solidaritas sosial ……………………................. 44

Table 3.1 Jadual Penelitian …………………………………………….. 108

www.hendratmoko.com 12
DALIL-DALIL

1. Bergesernya pola penangkapan yang dilakukan oleh nelayan patorani merupakan


tuntutan pasar dan komersialisasi produksi sebagai pertanda bahwa adanya
kelompok-kelompok tertentu yang berada di luar kemampuan sebagai nelayan.

2. Untuk meningkatkan produksi maka dibutuhkan teknologi sebagai alat


pendukungnya, akibat itulah sehingga nelayan dituntut untuk bergeser dari nelayan
dengan menggunakan peralatan sederhana (tradisional) ke nelayan mengunakan
teknologi (modern).

3. Terjadinya proses modernisasi dengan menggunakan teknologi, maka secara


otomatis pula menuntut terbentuknya pembagian kerja yang berorientasi pada
kemampuan dan keahlian individu.

4. Bergesernya hubungan sosial dalam masyarakat menumbuhkan suatu goncangan


pola kekerabatan yang bermuara pada terbentuknya kelompok-kelompok
kepentingan sesaat dan keuntungan individu.

5. Pembangunan pada sektor infrastruktur kecenderungan individu hanya mengejar


keuntungan dan mengabaikan rasa kemanusiaan dan faktor lingkungan sehingga
menyebabkan bencana alam.

6. Pemberdayaan sektor ekonomi yang berorientasi pada kesejahteraan masyarakat


dibutuhkan keberpihakan pemerintah pada penguatan kredit usaha kecil menengah
agar dapat memenuhi permintaan pasar dan industri.

7. Untuk mencapai cita-cita individu maka dibutuhkan motivasi penguasaan ilmu


pengetahuan dan teknologi dan perasaan malu (siri’) untuk dapat sejajar dengan
bangsa-bangsa lain di dunia yang lebih dulu maju.

www.hendratmoko.com 13
DATAR GAMBAR

Gambar Halaman

2.1. Keterkaitan komersialisasi produksi dan permintaan pasar menuntut


pergeseran pola penangkapan dari induk ikan ke telur ikan
ke arah peningkatan kehidupan sosial-ekonomi ................................................ 79

2.2. Kaitan penerapan teknologi pada pergeseran hubungan

sosial dan adaptasi nilai budaya kaitannya peningkatan

produksi ke arah peningkatan kehidupan sosial ekonomi ................................... 83

2.3. Alur kerangka pemikiran penelitian …………………………………………..... 86

4.4 Peta kabupaten Takalar dan lokasi penelitian ...................................................... 88


4.5 Peta lokasi pantai Kecamatan Galesong Utara dan Kecamatan Galesong Selatan
dan desa pantai tempat pemukiman nelayan patorani ......................................... 111

www.hendratmoko.com 14
BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Pergeseran Pola Penangkapan Secara Tradisional Ke Pola


Penangkapan Modern

4.1.1 Kawasan pantai dan Perkembangan nelayan di


Kabupaten Takalar

Kabupaten Takalar adalah salah satu kabupaten yang terletak di arah selatan ibukota

propinsi Sulawesi Selatan yaitu Kota Makassar, tepatnya berada sekitar 45 km dari kota

Makassar. Selain itu Kabupaten Takalar juga merupakan salah satu kabupaten yang berada

di Sulawesi Selatan, secara geografis dikenal sebagai daerah kawasan pantai. Hal itu

tercermin di dalamnya terdapat sejumlah penduduk berprofesi sebagai nelayan dan

bermatapencaharian utama sebagai penangkap ikan dan biota laut.

Secara administratif, Kabupaten Takalar memiliki batas-batas wilayah antara lain; (1)

sebelah utara berbatasan dengan Kota Makassar dan kabupaten Gowa; (2) sebelah timur

berbatasan dengan Kabupaten Jeneponto; (3) sebelah selatan berbatasan dengan laut

Flores; (4) sebelah barat berbatasan dengan selat Makassar dan luas wilayah berkisar 566,51

km2. Adapun jumlah kecamatan terdiri atas; Kecamatan Mappakasunggu,

Mangarabombang, Polongbangkeng Utara, Polongbangkeng Selatan, Galesong Selatan dan

Kecamatan Galesong Utara.

Kabupaten Takalar adalah wilayah yang beriklim tropis, sehingga hanya mengenal

dua musim dalam setahunnya, yaitu musim hujan dan musim kemarau. Kedua musim ini,

menjadikan rata-rata temperatur udaranya sepanjang tahun bermain dari tingkat 28 derajat

sampai 32 derajat Celsius. Titik terendah itu


109berada di daerah-daerah ketinggian 100 meter

www.hendratmoko.com 15
di atas permukaan laut yang letaknya sebagian besar di wilayah gugusan pantai (pantai

selatan dan pantai barat), dan titik tertinggi berada di daerah-daerah yang terletak di bawah

kaki gunung. Secara geografis, kabupaten Takalar memiliki enam kecamatan potensi

unggulan untuk dijadikan sebagai sumber penghidupan masyarakatnya. Pemetaan potensi

tersebut secara potensial masyarakatnya tergantung pada kondisi alam yang dimiliki. Untuk

lebih jelasnya Berikut ini gambar peta lokasi pantai pesisir Kabupaten Takalar dan desa

nelayan patorani:

Gambar 4.5

Peta lokasi pantai Kecamatan Galesong Utara dan Kecamatan Galesong Selatan

dan desa pantai tempat pemukiman nelayan patorani

Berdasarkan gambar peta di atas maka Kecamatan Galesong Selatan dan Galesong

Utara merupakan wilayah kecamatan yang berkategori sebagai wilayah pesisir pantai.

www.hendratmoko.com 16
Indikatornya, karena keempat wilayah kecamatan tersebut menempati pada posisi

sepanjang pantai selat Makassar.

Selain indikator itu, maka salah satu indikator yang dapat dijadikan dasar sebagai

kategorisasi sebagai kawasan pantai, karena penduduknya bermata pencaharian nelayan

dibandingkan dengan kecamatan lainnya yang ada di kabupaten Takalar. Jumlah penduduk

berdasarkan data statistik Kabupaten Takalar yakni sebanyak 1149.291 orang (2004) dengan

perincian 608.078 perempuan dan 541.213 laki-laki. Terdiri atas 103.892 rumah tangga.

Rumah tangga diantaranya adalah bermatapencaharian dibidang perikanan yakni berupa

perikanan laut (nelayan) 2.618 rumah tangga, tambak 1.509 rumah tangga. Khususnya pada

perikanan laut, jumlah rumah tangga nelayan terbesar adalah kecamatan Galesong Utara

(902 rumah tangga, kemudian menyusul Kecamatan Galesong Selatan (865 rumah tangga),

kecamatan Mangarabombang (429 rumah tangga) dan kecamatan Mappakasunggu (422

rumah tangga) begitu pula jumlah nelayannya Kecamatan Galesong Utara menempati posisi

tertinggi (4.738 orang), kemudian Kecamatan Galesong Selatan 4.321 orang), Kecamatan

Mappakasunggu (2.695 orang), dan Kecamatan Mangarabombang (2.290 orang).

Berdasarkan data itu, maka dapat disimpulkan bahwa di antara ke enam kecamatan

dalam wilayah kabupaten Takalar, hanya empat kecamatan yang dapat dikategorikan

sebagai kawasan pantai, yakni: kecamatan Mangarabombang, Mappakasunggu, Galesong

Selatan dan Galesong Utara. Dan berdasarkan pemamparan data di atas, maka Galesong

Utara dan Galesong Selatan dijadikan lokasi penelitian atau lokasi kasus dengan fokus pada

komunitas nelayan patorani.

Keempat kecamatan tersebut, terbilang setiap waktu secara kuantitas jumlah

perahu semakin bertambah. Berdasarkan data dari Dinas Perikanan dan kelautan kabupaten

Takalar tercatat dalam dekade terakhir, yakni era tahun 1990-an sebanyak 4.311 buah

perahu hingga pada tahun 2000-an mencapai 7.431 buah perahu. Mulai dari jenis perahu

www.hendratmoko.com 17
tradisional dengan menggunakan peralatan pancing dan jala (jaring) hingga pada komunitas

nelayan modern. Komunitas nelayan tersebut, memiliki karakteristik dan jenis alat

penangkapan sendiri.

Perahu yang broperasi tersebut tersebar di beberapa kecamatan yang berkategori

sebagai wilayah pesisir. Perahu tersebut bervariasi bentuknya, antara lain jakung, parengge

dan perahu khusus papekang. Perkembangan komunitas nelayan dengan menggunakan

perahu jakung ini telah mengalami pasang surut, hingga sekarang komunitas ini kurang lagi

diminati oleh nelayan. Perahu jakung dari awal kehadirannya berfungsi sebagai perahu yang

digunakan untuk menagkap ikan dengan menggunakan teknologi alat tangkap yang

sederhana seperti kail dan jala (pukat) dan kemampuan lokasi penangkapannya hanya

berkisaran di wilayah area pesisir pantai.

Perkembangan selanjutnya, perahu jakung dalam dekade terakhir, walaupun

populasinya menurun, namun komunitas yang masih mempertahankan keberadaannya

telah beralih dengan menggunakan motor tempel sebagai penggerak utama (sebelumnya

dengan tenaga angin/layar). Keberadaan perahu jakung hingga sekarang ini telah mengalami

perubahan dari segi bentuk badan perahu dengan melalui modifikasi, termasuk fungsi dan

wilayah operasionalnya juga mengalami perubahan.

Perahu Jakung tradisional mengalami perubahan ke jenis perahu jakung dengan

mesin tempel yang dulunya hanya menangkap ikan di sekitar areal pesisir, kini telah

mengalami pergeseran lokasi penangkapan dan hasil tangkapan pun mengarah ke pencarian

udang windu. Keberadaan perahu jakung di Galesong pada dekade sebelumnya, dapat di

tarik kesimpulan sementara bahwa mata pencaharian masyarakat Galesong Selatan dan

Galesong Utara merupakan mayoritas sebagai nelayan. Aktivitas kenelayanan di Galesong

pada umumnya merupakan warisan orang tua atau keluarganya, yang dipertahankan hingga

sekarang sebagai sumber mata pencahariannya.

www.hendratmoko.com 18
Komunitas nelayan yang bermata pencaharian sebagai nelayan penangkap ikan yang

disebut sebagai nelayan palanrak, dan nelayan papekang hingga sekarang tetap bertahan.

Komunitas nelayan ini, melakukan aktivitas secara lokal yakni sekitar pesisir pantai Galesong,

dengan hanya berusaha untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dipasar sebagai konsumsi

masyarakat setempat. Kelompok nelayan palanrak dan papekang menggunakan perahu

motor tempel. Hingga sekarang ini, komunitas nelayan palanrak dan papekang salah satu

sumber mata pencaharian masyarakat Galesong. Nelayan ini khusus menanangkap ikan

dengan berbagai jenis ukuran, tergantung pada jenis ikan yang lagi musim.

Pada awalnya perahu papekang dan palanrak dimodifikasi dengan menggunakan

teknologi sederhana (tradisional), mulai dari jenis ukuran dan teknologi yang digunakan.

Namun dalam perkembangannya kemudian perahu-perahu tradisional yang dimodifikasi

dengan menggunakan teknologi sederhana (tradisional) secara pelahan mengalami

pergeseran dan hingga sekarang tidak terlalu diminati lagi. Alasannya karena kondisinya

sudah termakan usia dan orientasi penangkapan komunitas nelayan yang dulunya palanrak

dan papekang sudah mengarah untuk menjadi nelayan patorani. Adanya peralihan tersebut,

maka secara otomatis pengalaman melaut sudah dimiliki untuk beralih menjadi nelayan

patorani. Hal ini terkait informan sawi Jufri (37) yang dulunya adalah nelayan palanrak, dan

kini beralih menjadi sawi patorani. Beliau mengatakan bahwa penguasaan akan tantangan

laut, sudah terbiasa, namun yang perlu di dalami adalah teknologi penangkapannya, karena

menggunakan lanrak (pukat) sangat bereda dengan menggunakan alat penangkapan telur

ikan torani (ballak-ballak), artinya bahwa diperlukan adanya penyesuaian dan keterampilan

khusus.

Peralihan penggunaan perahu terjadi melalui sebuah proses, misalnya, peralihan

dari perahu jakung ke perahu motor tempel sedangkan perahu parengge beralih ke kapal

nelayan patorani. Tuntutan perubahan jenis perahu tersebut, berkaitan orientasi komunitas

www.hendratmoko.com 19
nelayan ke arah peningkatan penghasilan. Demikian halnya pula, pada sektor nelayan

patorani dengan adanya tuntutan perubahan orientasi penangkapan dari induk ikan torani

beralih kepenangkapan khusus pada telur ikan torani. Terjadinya pergeseran itu, karena

adanya tuntutan pasar dan pada muaranya pula kearah peningkatan kehidupan sosial

ekonomi nelayan patorani. Realitas perubahan itu, dapat di ambil suatu kesimpulan bahwa

awal munculnya orintasi pergeseran tersebut, terkait dengan tuntutan pasar dan kehidupan

sosial ekonomi.

Walaupun terjadi pergeseran penangkapan pada komunitas nelayan dengan beralih

menjadi nelayan patorani, namun perahu tradisional pun, dengan jenis perahu palanrak dan

papekang masih tetap ada yang beroperasi di pesisir pantai Galesong, walaupun jumlah dan

komunitasnya sangat kecil. Perahu yang dimaksudkan adalah perahu tradisional yang tidak

merubah bentuk, namun hanya dari segi kekuatan alat bantu berubah menjadi perahu

motor tempel. Populasi perahu motor tempel merupakan jenis perahu yang masih bertahan

populasinya, dan kalau kembali ke darat mesin perahu di lepas dari badan perahu. Mesin

biasanya dipasang kembali, jika nelayan hendak melaut. Mesin tersebut biasanya

berkapasitas 10-12pk di pasang di bagian belakang badan perahu. Demikian pula halnya

dengan perahu nelayan patorani pun mengalami perubahan bentuk. Perubahan jenis dan

bentuk perahu yang berbentuk bulat tanpa mesin, kondisi demikan bertahan ckup lama,

namun karena adanya tuntutan peningkatan produksi maka kapasitas ukuran perahu

ditambah guna untuk menampung beban mesin dan alat penangkapan modern yang

dipergunakan.

Perahu nelayan patorani menempati dua kecamatan yakni kecamatan Galesong

Selatan dan Galesong Utara dan tersebar di hampir semua desa pantai di Sulawesi Selatan.

Jumlah desa di dua kecamatan tersebut sebanyak 12 buah desa. Namun diantara desa-desa

tersebut, terdapat lokasi yang dijadikan sebagai basis terbanyak ditempati oleh nelayan

patorani yakni desa Galesong baru, Paklaklakkang dan Bontosunggu. Tempat ini, sejak dari

www.hendratmoko.com 20
dulu hingga sekarang menjadi tempat menyimpan (parkir) perahu komunitas nelayan

patorani ketika kembali melakukan penangkapan. Tempat ini pula dijadikan sebagai lokasi

untuk bertukar fikiran, sambil memperbaiki perahu yang dianggap ada kerusakan di

sepanjang pesisir pantai Galesong Selatan dan Galesong Utara, terparkir perahu patorani

berjejeran dan tersusun sangat rapi.

Tumbuh dan berkembangnya populasi nelayan patorani di Kabupaten Takalar hingga

sekarang, lebih terfokus di kedua kecamatan yakni kecamatan Galesong Utara dan Galesong

Selatan. Maka lokasi penelitian di fokuskan pada daerah Galesong Selatan dan Galesong

Utara, dengan alasan bahwa lokasi tersebut merupakan daerah pesisir pantai yang meliputi

lima buah desa yakni Tamalate, Aeng Batu-batu, Bontosunggu, Tamasaju, dan Pa’laklakkang;

Sedangkan kecamatan Galesong Utara meliputi enam desa yakni Galesong Kota, Bontoloe,

Bontomangape, Bontokanang, Bontokassi, dan Bontomarannu. Dari pemetaan lokasi itu,

kecamatan Galesong Utara dan kecamatan Galesong Selatan dipilih sebagai unit lokasi

penelitian atau wilayah studi kasus. Pemilihan ini didasarkan atas pertimbangan bahwa

kedua kecamatan ini merupakan wilayah komunitas nelayan patorani yang mengalami

pertumbuhan populasi paling pesat dan menjadi pemukiman secara turun temurun

komunitas nelayan patorani.

4.1.2. Karakteristik Umum Kehidupan Sosial Komunitas Nelayan Patorani

Pada masyarakat Bugis-Makassar, aktivitas kenelayanan hanya merupakan salah satu

dari keseluruhan aktivitas kebaharian atau kemaritiman, diantaranya sebagai jasa

transportasi dan perdagangan antar pulau. Dan pada masa yang lampau pula, perahu

dijadikan sebagai alat transportasi bagi kerajaan untuk berhubungan dengan daerah

kerajan lainnya. Jadi sejak beberapa abad yang lalu masyarakat Bugis Makassar sudah

menjadikan nelayan sebagai bagian alat untuk mata pencaharian. Sebagaiman

www.hendratmoko.com 21
Koentjaraningrat (1992 :33) mengemukakan bahwa Aktivitas kenelayanan diperkirakan

sama usianya dengan aktivitas berburu pada masyarakat pedalaman.

Realitas itu, bahwa keberadaan perahu disamping berfungsi sebagai media untuk

mempertahankan hidup bagi komunitas nelayan, namun juga difungsikan sebagai

transportasi untuk melakukan kontak dengan daerah lainnya. Fungsi ganda perahu bagi

komunitas nelayan, dipergunakan ketika aktivitas pokonya sebagai nelayan (pencari

ikan) sudah terlaksana. Hal demikian pun terjadi pada komunitas nelayan patorani,

sebelum masuk waktu musim patorani maka sebahagian dijadikan sebagai nelayan

pencari ikan pada areal pesisir pantai. Terkait aktivitas penangkapan di luar musim

pattoranian, maka nelayan patorani merasa rugi karena bahan bakar dipersiapkan dalam

jumlah yang besar, sedangkan penghasilan tidak begitu sebanding dengan pengeluaran.

Sepanjang wilayah Galesong Utara dan Galesong Selatan merupakan wilayah

pemukiman yang berada di pesisir pantai. Sebagai daerah pesisir pantai, maka

masyarakatnya pun lebih cenderung melakukan kegiatan sebagai nelayan diantaranya

sebagai nelayan patorani. Keberadaan nelayan patorani di Galesong kabupaten Takalar,

merupakan salah satu komunitas nelayan yang tertua, karena di duga lahir sekitar abad ke-

17. Komunitas nelayan patorani yang menetap di pesisir pantai Galesong Utara dan

Galesong Selatan, merupakan ciri khas tersendiri sebagai satu kesatuan yang terpola

kehidupannya. Hal demikian terjadi, karena masyarakat setempat pada umumnya berprofesi

sebagai nelayan patorani. Masyarakat itu, ada yang menjadi papalele patorani tetapi tidak

pernah melaut dan ikut melakukan penangkapan, sedangkan pinggawa dan sawi adalah

kelompok yang melakukan penangkapan. Pinggawa perahu nelayan patorani pada umumnya

berasal dari daerah Galesong Utara dan Galesong Selatan sendiri, namun para sawi ada

beberapa orang yang berkategori sebagai penduduk musiman. Penduduk tersebut datang

ketika musim patorani telah tiba dan kebanyakan dari daerah Kabupaten Takalar dan di luar

Kabupaten Takalar.

www.hendratmoko.com 22
Selain nelayan patorani, pada masyarakat Sulawesi Selatan, khususnya di Galesong

Selatan dan Galesong Utara Kabupaten Takalar, terdapat pula berbagai kelompok nelayan

berdasarkan alat tangkap yang digunakan atau jenis ikan yang ditangkap. Kelompok-

kelompok nelayan yang dimaksud penamaannya menggunakan awalan “pa” yang berarti

pelaku (orang yang melakukan) dan menunjuk pada paboya (nelayan yang melakukan

aktivitas), seperti palanrak (nelayan yang menggunakan alat tangkap jaring (lanrak) jaring

yang terbuat dari tali dan berukran panjang atau tramel net); patorani (nelayan yang secara

khusus menagkap ikan torani/ikan terbang dan mengumpulkan telurnya); parenggek

(nelayan yang menggunakan jaring renggek); pagaek (nelayan yang menggunakan jaring

gaek atau jaring insang); parerek (nelayan yang menggunakan jaring rerek atau jaring tarik);

papekang (nelayan yang menggunakan kail)

Berbagai kelompok nelayan itu, nelayan Patorani merupakan salah satu kelompok

nelayan yang pada awal keberadaannya sebagai nelayan tradisional dan tertua di Galesong.

Menurut keterangan yang diperoleh melalui cerita-cerita rakyat dan beberapa informan

mengungkapkan bahwa asal usul penangkapan ikan terbang dilakukan oleh orang-orang

pemberani tubarani sisa lasykar Karaeng Galesong (raja Galesong) yang kalah perang

membantu kerajaan Trunojoyo melawan Belanda. Sesudah berkumpul di Pasuruan, Jawa

Timur, mereka ingin kembali ke Makassar. Namun karena perlengkapan perangnya sudah

habis maka mereka mondar-mandir di Selat Makassar dan menyamar sebagai nelayan.

Fakta itu dapat dijadikan sebagai awal keberadaan nelayan patorani, dan bukti-bukti

sejarah mencatat pula bahwa keberadaan nelayan patorani di duga pada abad ke-17. Sejak

abad ke-17 nelayan patorani dikenal sebagai nelayan tradisional sampai paruh pertama abad

ke 20, dan merupakan usaha penangkapan ikan torani yang bersifat subsistensi. Menjelang

paruh abad kedua yakni abad ke-20 usaha penangkapan ikan torani bersifat komersial.

Pergeseran nelayan subsistensi ke arah komersil ditandai dengan adanya aktivitas

www.hendratmoko.com 23
pengiriman induk ikan torani dan jenis ikan lainnya dalam bentuk ikan kering ke Gresik,

Panarukan dan Banyuwangi di Jawa Timur (Munadah, 1991).

Komunitas nelayan patorani, secara tradisional telah lama mengenal suatu sistem

pengetahuan yang mereka sebut pangangasengan. Cakupan konsep ini meliputi dua aspek

utama yang dibedakan oleh masyarakai sendiri dalam bentuk pengetahuan lahir dan

pengetahuan bathin. Apabila sistem pengetahuan ini dijabarkan dalam aspek-aspek

penghidupan tertentu maka biasanya disebutkan dalam bentuk kata majemuk, erang

passimombalang. Contoh ini merupakan pengertian aplikatif dari pangngassengang.

Hasil wawancara dari informan, bahwa awal mula timbulnya suatu pengetahuan

yang berisikan tentang aturan-aturan dan memiliki nilai-nilai kegaiban terkait dengan ilmu

pengetahuan pangangasengan yang dimiliki oleh nelayan patorani. Perilaku nilai-nilai

tersebut, menunjukkan pada suatu perbuatan masyarakat nelayan pada jaman dulu, yang

kemudian menjadi suatu kebiasaan. Selanjutnya, kebiasaan-kebiasaan itu melekat kedalam

suatu harapan-harapan dan sanksi-sanksi sehingga terwujudlah lembaga dan pranata.

Pranata-pranata itu, kemudian berfungsi sebagai pengatur hubungan antara sesama nelayan

terkait dengan kehidupan sehari-hari baik sebagai individu maupun dalam organisasi

kenelayanan.

Struktur kepatoranian terbentuk suatu organisasi yang saling terkait satu sama lain

antara paplele (pinggawa darat), juragan (pinggawa laut) dan sawi (pekerja/buruh) yang

berkisar pada kepentingan-kepentingan untuk saling mendukung dan saling memerlukan

dalam lingkungan untuk beraktivitas sebagai komunitas nelayan patorani. Lama kelamaan

pranata-pranata tersebut di atas semakin teratur dan mapan dalam arti sudah melembaga di

dikalangan patorani, selanjutnya terbentuklah suatu organisasi yang disebut papalele,

pinggawa dan sawi.

www.hendratmoko.com 24
Kehidupan kepatoranian secara struktural telah terbentuk didasarkan melalui

kesepakatan yang di musyawarahkan sejak mulai pemberangkatan menuju ke lokasi

penangkapan. Selama melaksanakan operasonal di laut hingga hasil dipasarkan, nelayan

patorani masih diikat oleh suatu ikatan struktur yang saling mendukung antara pinggawa

dan sawi. Penjabaran kegiatan struktur kepatoranian, sawi (anak buah/buruh) diartikan

sebagai anggota kelompok atau anak buah dari seorang pinggawa dalam melakukan suatu

pekerjaan. Struktur tersebut mulai berlaku sejak melakukan operasionalisasi penangkapan,

dan keseluruhannya merupakan satu kesatuan usaha. Setiap sawi mempunyai peranan

tertentu yang diberikan oleh pinggawa laut (juragan) selama dalam perjalanan. Pekerjaan

dan peranan yang dibebankan oleh pinggawa terhadap sawinya biasanya disesuaikan

dengan usia dan pengalaman yang dimiliki oleh sawi. Sawi yang dipandang paling

berpengalaman, diberikan tugas melayani alat-alat pengumpul telur ikan terbang. Sawi yang

diangap masih relatif lebih rendah pengalamannya dibebankan peran sebagai Juru Batu

(menurunkan jangkar) saat perahu berlabuh. Untuk sawi yang sangat sedikit pengalamannya

biasanya berusia relatif paling muda, diberikan tugas menimba air yang masuk ke dalam

lambung perahu dan juga sekaligus menyiapkan makanan.

Peranan dan tanggungjawab sawi mulai dari persiapan pemberangkatan menuju

kelokasi penangkapan sampai kembali ke darat membawa hasil produksi. Selain peran

tersebut para sawi diharapkan pula harus rajin dan jujur dalam menjalankan tugas dan

kewajibannya, serta patuh pada perintah dan aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh

pingawa. Bilamana ada sawi yang melakukan pelanggaran, maka akan diberikan sanksi-

sanksi sesuai kadar pelanggaran yang sudah diatur dan disepakati walaupun bentuknya tidak

tertulis. Jika seandainya pelanggaran tersebut tidak dapat diselesaikan oleh pinggawa laut

(juragan), maka persoalan itu, diserahkan sepenuhnya pada papalele (pinggawa darat)

sebagai pengambil kebijakan secara umum dalam organisasi kepatoranian. Hal itu, dilakukan

www.hendratmoko.com 25
oleh seorang papalele, tapi dengan syarat bila seorang papalele yang memiliki perahu

tersebut.

Dikembangkannya penangkapan telur ikan torani sebagai komoditi ekspor ke Jepang

pada pertengahan tahun 1990-an, dan merupakan negara yang pertama masuk membeli

telur ikan torani di Galesong Selatan dan Galesong Utara. Masuknya negara Jepang sebagai

eksportir, merupakan salah satu motivasi yang mendorong berkembangnya penerapan

teknologi modern. Sebelum masuknya eksportir pada awal tahun 1970-an penangkapan

telur ikan torani masih relatif menggunakan teknologi alat tangkap sederhana dan bahkan

masih menggunkan alat tangkap pakkaja induk ikan torani. Namun semakin membaiknya

harga telur ikan di pasaran maka perkembangan penggunaan perahu dengan menggunakan

mesin sebagai daya dukung lajunya perahu ke lokasi penangkapan telur ikan torani mulai

difikirkan keberadaannya. Alat tangkap modern dalam penangkapan telur ikan torani mulai

lebih di modifikasi bila dibandingkan dengan teknologi alat tangkap induk ikan torani.

Pada tahun 1990, penangkapan telur ikan torani semakin terbuka dan lebih

menjanjikan untuk menambah penghasilan. Realitas itulah, maka kesempatan dan wawasan

komunitas nelayan patorani semakin dituntut untuk lebih mendalami strategi penangkapan

telur ikan torani. Kesempatan peluang tersebut bukan hanya dimanfaatkan oleh nelayan

saja, akan tetapi orang-orang yang terlibat di dalanya terutama papalele (pemilik modal) ikut

pula memanfaatkan sumber modal yang dimilikinya. Keterbukaan untuk mengalihkan usaha

penangkapan dari induk ikan ke telur ikan torani, karena harganya cukup tinggi yakni dari

harga Rp. 7000/kg pada tahun 1970-an, kemudian dari tahun ketahun semakin meningkat

hingga Rp 60.000. Bahkan pada tahun 2000-an harga telur ikan semakin naik hingga

mencapai harga Rp 300.000 dan bertahan hingga kondisi sekarang. Dengan adanya harga

pasaran yang semakin tahun semakin tinggi, maka peningkatan pendapatan komunitas

www.hendratmoko.com 26
nelayan patorani pun dalam satu musim bertambah. Menurut informan pinggawa P daeng

Jallo (56 tahun) menuturkan:

“Selama saya melakukan penangapan telur ikan torani semakin tahun harganya pun
semakin bagus. Pendapatan saya pun semakin meningkat setiap tahun (per-musim)
pattoranian. Saya sebagai pinggawa merasa senang juga karena kehidupan keluarga
saya juga semakin membaik, dan dapat membeli kebutuhan pokok keluarga saya.
Hasil yang saya peroleh dalam semusim biasanya cukup untuk menutupi kebutuhan
pokok untuk makan keluarga saya”.

Kondisi harga telur ikan secara merata dapat dinikmati oleh komunitas nelayan

patorani baik papalele, pinggawa maupun sawi. Penghasilan hasil tangkapan yang diperoleh,

secara spesifik yang lebih banyak meraup keuntungan adalah kelompok pemilik modal

(papalele) dibandingkan dengan pinggawa dan sawi. Asumsinya bahwa semakin besar modal

yang dikeluarkan, maka semakin besar pula penghasilan yang diperoleh, dengan kata lain

bahwa apabila nelayan patorani binaannya memperoleh hasil yang banyak maka secara

ortomatis bagiannya lebih besar pula.

Implikasi dari realitas itu, maka pengembangan usaha penangkapan telur ikan torani

yang bermukim di Galesong Selatan dan Galesong Utara, membawa keuntungan secara

positif, diakibatkan mencuatnya ekspor telur ikan torani hingga masuk ke pemukiman

nelayan patorani. Seiring dengan pengembangan usaha maka nelayan patorani mengikuti

pula perkembangan penerapan teknologi modern untuk melakukan penangkapan telur ikan

torani, yakni dukungan mulai dari alat tangkap, permodalan, hingga teknologi pendukung

perahu. Dengan daya dukung teknologi alat penangkapan, maka nelayan patorani pula

dalam melakukan pelayaran tidak terlalu menguras tenaga secara operasionalisasi selama

penangkapan berlangsung. Pergeseran tersebut, tentu juga membawa implikasi secara

negatif, diantaranya nelayan patorani sudah mulai mengedepankan komersalisasi produksi

dengan target hasil yang maksimal untuk dikembalikan permodalan ke papalele dan juga

www.hendratmoko.com 27
nelayan paorani sebagai nelayan tradisional mengalami pergeseran dari awal munculnya

pada abad ke-17. kemudian dari segi ritual pula nelayan patorni sudah mulai mengalami

pergeseran, walaupun tetap masih ada bait-bait pengetahuan pangangasengan disampaiakn

untuk memohon keselamatan pada maha pencipta.

Rangkaian pelaksanaan kepatoranian, tidak terlepas dengan masih adanya

penerapan pengetahuan, yakni Perpaduan antara upacara ritual kepatoranian yang

dilaksanakan secara turun temurun dengan unsur pemikiran rasional. Keterpaduan tersebut,

sebenarnya bagian wujud adanya kesadaran untuk tidak sepenuhnya meninggalkan sebagian

ritual (penyerahan sesajen), akan tetapi upacara ritual dilakukan melalui berdoa bersama

meminta perlindungan oleh sang pencipta. Waaupun unsur rasional sudah masuk dalam

komunitas, namun teap tidak merubah karakteristik nelayan patorani yang terfokus pada

penangkapan telur ikan torani yang dijalaninya saat ini. Dan bahkan nelayan patorani yang

bermukim di kabupaten Takalar sudah mulai di kenal sebagai nelayan yang lebih terfokus

untuk menangkap telur ikan torani di bandingkan dengan induk ikan torani.

Seiring dengan perkembangan kebutuhan akan penerapan teknologi alat

penangkapan yang berorientasi pada peningkatan hasil tangkapan (produksi), maka dalam

era tahun 1970-an komunitas nelayan patorani mulai mengalami pergeseran dari teknologi

yang sederhana (tradisional) semakin di tinggalkan dan beralih pada penerapan teknologi

modern. Selain itu, perubahan alat tangkap pun ikut dalam salah satu perubahan tersebut,

karena sasaran utama penangkapan selama melaut bukan lagi induk ikan terbang tetapi

nelayan patorani beralih pada penangkapan telurnya sebagai komoditi yang berorientasi

pada pasar.

Sebagai nelayan yang sudah mengedepankan dan mengadopsi sistem pasar

(kapitalis), dalam struktur kepatoranian pun antara papalele, pinggawa dan sawi terjadi

www.hendratmoko.com 28
pergeseran pula. Kemudian secara struktur pula terbentuk sistem pembagian hasil yang

cenderung mengarah eksploitatif yang berdsarkan pada status sosial yang dimilikinya.

Diberlakukannya bagi hasil yang dirasakan tidak seimbang maka seringkali pula munculnya

konflik tersembunyi dalam hubungan pinggawa-sawi. Menurut informan Tahere Daeng Bella

(60 tahun) bahwa antara pinggawa dan sawi sering terjadi konflik tersembunyi di akibatkan

papalele mengambil dari hasil tangkapan lebih banyak bagiannya, bila dibandingkan dengan

pinggawa dan sawi, yakni papalele mengambil bagian 25 persen sebelum hasil dibagi.

Setelah hasil di bagi, maka untuk bagian sawi di pegang oleh pinggawa, dan kemudian

pinggawa membagikan ke sawi. Dari sinilah biasa memunculkan pertanyaan bagi sawi

apabila bagi hasil sedikit yang diperoleh, padahal hasil tangkapan yang diperoleh jumlahnya

banyak. Hal itu terjadinya, sejak pergeseran sasaran penangkapan induk ikan ke telur ikan

torani, karena adanya desakan dari pemilik modal (papalele) mengejar keuntungan yang

sebesar-besarnya. Perubahan–perubahan tersebut berdampak secara langsung pada

komunitas nelayan patorani dengan mengiasyaratkan bahwa nelayan patorani telah

mengalami suatu pergeseran ke arah mengejar hasil baik papalele maupun pinggawa, dan

kemudian kurang mendapat keuntungan adalah sawi.

Nilai komersial komoditi telur ikan terbang (ikan torani), nampaknya mendorong

peningkatan usaha pada komunitas nelayan patorani, dan orang-orang yang terlibat di

dalamnya diantaranya papalele dan eksportir. Pada era awal tahun 1970-an hingga 1990-an

terdapat kurang lebih 1.000 buah armada perahu patorani dan semuanya hanya

mengandalkan layar (sombala), namun pada era awal tahun 1990-an hingga 2000-an

diperkirakan jumlah armada nelayan patorani berkisar antara 1500 hingga 2000-an buah dan

memiliki mesin. Perkembangan nelayan patorani sangat pesat, karena ditopang dengan

usaha pemerintah untuk meningkatkan dan menggalakkan ekspor komoditi non migas. Sejak

pemerintah pada era orde baru memasuki rancangan pembangunan pada Pelita kelima,

www.hendratmoko.com 29
sasarannya adalah pembangunan sektor perikanan yang diarahkan pada peningkatan

pendapatan nelayan dan peningkatan produksi komoditi ekspor. Terkait sasaran itu, maka

salah satu usaha pemerintah untuk menunjang tujuan pembangunan kesejahteraan nelayan

adalah melalui program kearah perubahan perahu sebagai alat tangkap nelayan yang

sederhana kemudian beralih ke perahu melalui tenaga mesin.

4.1.5. Wilayah dan Strategi Penangkapan Komunitas Nelayan Patorani

Spesis atau jenis ikan yang menjadi sasaran penangkapan bagi komunitas nelayan

patorani yang berdomisili di Galesong Utara dan Galesong Selatan Kabupaten Takalar

dikenal sebagai nelayan khusus ikan torani (ikan terbang). Dalam era tahun 1940-an hingga

akhir 1960-an lebih dominasi pada penangkapan induk ikan torani namun pada era tahun

1970-an mulai bergeser pada penangkapan ke telur ikan torani. Jenis ikan tersebut dalam

bahasa Makassar disebut juku’ tuing-tuing (ikan tuing-tuing) dalam bahasa Bugis di sebut

tawarani adalah jenis ikan yang terdapat dihampir semua perairan tropik dan subtropik.

Menurut Nontji (1993: 212) Perairan Indonesia terdapat 18 jenis spesies ikan terbang (ikan

torani), kebanyakan dari marga (genius) cypsilurus. Biasanya perikanan ikan torani lebih

berkembang di perairan yang mempunyai kadar garam (salinitas) yang lebih tinggi seperti di

selat Makassar, perairan Maluku, Nusa Tenggara, dan Irian Barat.

Strategi penangkapan, setelah sampai ke lokasi penangkapan, maka terlebih dahului

diawali pemasangan pakkaja yang dilakukan oleh pinggawa. kemudian selanjutnya dibantu

oleh para sawi dengan menunggu perintah atau petunjuk tertentu dari pinggawa. Kemudian

semua pakkaja yang di bawa dihanyutkan ke air, diikat dengan tali secara bergandengan

antara satu dengan yang lainnya. Perluya syarat (sarak) untuk memulai penangkapan

sepenuhnya di serahkan ke pinggawa, menurut informan pinggawa M Daeng Masaju (57

tahun) bahwa berkenaan dengan upaya menghindari bahaya-bahaya atau malapetaka yang

www.hendratmoko.com 30
akan timbul sebagai akibat dari pekerjaan ini, maka pemasangan pertama alat pakkaja harus

dilakukan oleh pinggawa. Hal demikian dilakukan, karena pada awal pemasangan ada

semacam mantera-mantera (ilmu untuk berinteraksi dengan alam) yang sengaja diucapakan

oleh pinggawa sebagai ritual. Makna ritual tersebut, sebenarnya berisi tentang permintaan

izin atau perkenaan dari kekuatan gaib.

Selanjutnya, setelah semua pakkaja yang dipasang telah hanyut terbawa arus ke

arah barat. Maka pinggawa dan para sawi bersama-sama mengawasi posisi perahu sambil

menyanyikan lagu-lagu dalam syair bahasa Makassar yang berisikan tentang makna-makna

yang mengandung bahasa yang porno-porno. Bagi pinggawa dan para sawi, telah

menganggap bahwa dengan mendendangkan lagu-lagu porno akan mengundang induk ikan

terbang berdatangan ke alat pakkaja yang dipasang untuk memijah. Syair (lagu) yang

dinyanyikan tersebut, merupakan suatu strategi yang harus mereka lakukan dalam sistem

penangkapan telur ikan torani. Di saat mereka telah melihat ada induk ikan terbang yang

mulai mendekat di sekitar alat pakkaja, maka semua awak perahu harus diam sejenak dan

pinggawa mengungkapkan mantra-mantra (pangasengang) melalui membaca dalam hati

yang diawali dengan tafakkur. Ungkapan mantra-mantra termaksud adalah merupakan bait

terakhir dari erang pakboyaboyang.

Setelah mereka sudah merasa bahwa seluruh pakkaja yang dipasang berisi telur ikan

torani, maka pakkaja di tarik kembali kemudian diangkat naik keperahu, selanjutnya

dipetik keseluruhan telur yang melekat di pakkaja. Setelah hasil sudah selesai dipetik

maka dipindahkan pada tempat yang diperisiapkan sebelumnya, maka pinggawa

bersama para sawi selanjutnya memikirkan untuk tetap melakukan

penangkapan/pengumpulan telur ikan torani di tempat mereka berpijak, dan ataukah

berlayar menuju ke tempat yang diperkirakan lebih banyak induk ikan torani yang mau

www.hendratmoko.com 31
bertelur. Biasanya keputusan berada di tangan pinggawa, namun pinggawa tetap juga

meminta pertimbangan-pertimbangan khusus para sawi.

Selain wilayah itu, Hutomo, (1985: 18) bahwa ikan torani juga terdapat dibeberapa

negara seperti di Flipina, taiwan, Carolina, Tahiti, dan Hawaii. Berdasarkan persebaran

spesies ikan torani di beberapa daerah dan negara tersebut, terdapat pula nelayan yang

khusus menangkap ikan tersebut. Sebagaimana di wilayah perairan Indonesia terdapat

komunitas nelayan yang khusus menangkap telur ikan torani, diantaranya Sulawesi Utara,

Sulawesi Tengah, Maluku, Bali, Nusa Tenggara, dan Sumatera Barat.

Kasus 1
Pelebaran Wilayah Jangakuan Pelayaran

Dg lallo (58) tahun adalah seorang papalele, sejak usia 28 tahun beliau sudah
dipercayakan menjadi pinggawa. Dulunya hanya seorang sawi, dan sebagai nelayan
patorani ditekuninya sejak usia 19 tahun. Ia menikah di usia 19 tahun, dan untuk
menutupi kebutuhan hidup keluarganya, maka beliau ikut dengan kerabatnya menjadi
sawi nelayan patorani.

Sejak menjadi sawi nelayan patorani masih menangkap induk ikan torani, dan hanya
melakukan operasional di wilayah penangkapan selat Makassar meliputi kabupaten
Gowa, Takalar, Jeneponto hingga ke pulau Selayar. Sejak tahun 1979-an beliau menjadi
pinggawa perahu patorani. Waktu itu beliau masih tetap memngkap induk ikan terbang,
namun sejak tahun 1985 beliau beralih ke penangkapan induk ikan torani. Sejak
menangkap induk ikan torani masih mengandalkan lokasi penangkapan di areal kaluk-
kalukuang yang berada di sekitar pulau di selat Makassar. Namun pada tahun 2000-an
beliau melakukan pelebaran penangkapan hingga ke Fak-fak Papua (pulau Irian Jaya).
Hingga sekarang setiap musim pattoranian Dg Lallo tetap melakukan penangkapan ke
wilayah Fakfak. Akibat pelebaran wilayah penangkapan itu, maka jumlah modal yang
dibutuhkan pula antara 21 juta hingga mencapai Rp 25 juta sebagai modal awal
operasional.

www.hendratmoko.com 32
Dari kasus informan tersebut di atas, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan

yaitu: pertama ternyata orientasi penangkapan pada telur ikan, menyebabkan terjadinya

penambahan modal pelayaran bagi komunitas nelayan patorani; kedua permintaan modal

operasional terkait pula semakin dilakukannya perluasan wilayah penangkapan hingga

melintasi beberapa pulau untuk meningkatkan produksi telur ikan torani.

Dari kasus yang ditampilkan di atas (kasus 1) memperlihatkan bahwa penangkapan telur

torani dilakukan di zona penangkapan yakni di perairan Selat Makassar, yakni disekitar

pulau Bankaulung di kepulauan Masalima. Bila lokasi itu tidak ditemukan induk ikan

torani yang mau memijah maka dilanjutkan ke wilayah penangkapan lainnya.

sebagaimana Salle (1995: 76) mengemukakan bahwa penangkapan dilakukan ke pulau

Masalembo atau Kepulauan Kangean, bahkan sering sampai pesisir Pulau Bali. Wilayah

penangkapan semakin diperlebar sejak tahun 1990-an hingga tahun 2000-an. Aktivitas

pelebaran areal wilayah penangkapan telur ikan torani ini dilakukan, terkait adanya

permintaan pasar yang selalu menuntut kuota dan mengejar kualitas. sehingga

pelayaran dan areal lokasi penangkapan pun dilakukan hingga ke pulau Irian Jaya.

Terjadinya pelebaran areal penangkapan tersebut, maka salah satu hal diperhatikan

oleh nelayan patorani adalah membutuhkan adanya inovasi alat penangkapan serta alat

pendukung lainnya yakni perahu yang memiliki mesin yang berkapasitas tinggi. Menurut

informan pinggawa, bahwa dahulu sebelum menggunakan tenaga mesin mereka hanya

mampu bertahan di laut atau daerah penangkapan selama kurang lebih dua minggu dan

jangkauan pelayaran hanya di lakukan sekitar selat Makassar. Dengan adanya mesin, mereka

tahan berada di daerah penangkapan/pengumpulan telur ikan selama satu atau dua bulan

dan tidak pulang ke rumah dan bahkan kampung halamannya selama antara bulan Maret

hingga akhir September. Apabila mereka kekurangan bahan makanan atau bahan bakar,

www.hendratmoko.com 33
maka mereka pergi kepulau-pulau terdekat untuk membeli atau menukar hasil

tangkapannya dengan barang-barang yang dibutuhkan.

Setiap ke lokasi areal penangkapan, papalele menyediakan dana awal sebagai modal

operasional pinggawa binaannya (passisambungan), kalau pelayaran hanya dilakukan di

daerah penagkapan kaluk-kalukung selat Makassar hanya mengeluarkan dana sekitar Rp. 10

juta, sedangkan kalau sampai ke pualu Irian Jaya, maka papalele mengeluarkan modal awal

sebanyak Rp. 25 juta. Lama perjalanan ke lokasi penangkapan. Menurut informan pinggawa

Abd. Karim kebetulan beliau hanya melakukan areal penangkapan di wilayah kalukkalukuang

maka hanya meminta dana pada papalelenya sebanyak Rp 8 juta sampai Rp10 juta rupiah.

Tetapi lain halnya pula dengan seorang pinggawa Daeng Asis melakukan penangkapan

hingga ke wilayah irian Jaya. Beliau meminta pada papalelenya hanya sekitar Rp 20-an juta.

Adanya variasi dana itu, karena berkaitan dengan pengeluaran baik bahan makanan pokok

hingga pada penggunaan bahan bakar mesin berupa solar. Menurut pinggawa Daeng Asis,

bahwa kewilayah Fakfak bisa menghabiskan bahan bakar antara 1.500 hingga 2.000 liter

solar yang dihabiskan.

Untuk menjalankan aktivitas pada musim pattoranian, para anggota patorani

mempersiapkan bekal dan peralatan-peralatan yang dibutuhkan dalam operasi

penangkapan. Peralatan yang dibutuhkan diantaranya, seperti perahu, alat tangkap (balla-

balla). Kesemua peralatan tersebut sebelum pemberangkatan terlebih dahulu diperiksa oleh

pinggawa dan sawi. Kesiapan lainnya pula adalah bahan makanan selama dalam melakukan

operasional dan bahan bakar minyak untuk mesin perahu dan kompor minyak tanah.

Pemberangkatan nelayan patorani yang berdomisili di Galesong Selatan dan Galesong Utara

umumnya ditentukan hari pertama pemberangkatannya. Setelah melakukan upacara (ritual)

secara tradisional dan bersama-sama kemudian pemberangkatan dilakukan, walaupun tidak

serentak. Upacara hari pertama merupakan ketentuan-ketentuan yang harus dilaksanakan

www.hendratmoko.com 34
pada saat musim timur (musim kemarau). Nelayan patorani melakukan pemberangkatan

pada malam hari dengan perkiraan dapat tiba pagi hari pada lokasi yang ingin dituju. Namun

dalam kondisi sekarang, untuk jadwal pemberangkatan tidak selamanya pada malam hari.

Sehubungan realitas tersebut, bahwa terjadinya pergeseran pada wilayah

penangkapan dan pola penangkapan memiliki cara untuk memancing induk-induk ikan

terbang berdatangan dan terjaring masuk dalam alat tangkap (pakkaja). Strategi tersebut

dilakukan dengan menghambur-hamburkan telur ikan yang sempat diperoleh dengan secara

tidak sengaja di taburkan ke air laut. Namun setelah terjadinya pergeseran penangkapan ke

arah telur ikan maka, strategi tersebut sudah tidak dilakukan lagi. Artinya kebiasaan

memancing ikan dengan menggunakan telur ikan akan tetapi sekarang cenderung dedak

halus yang menyerupai juga telur ikan torani, baik warna maupun halusnya. Cara yang

dilakukan juga melalui menaburkan ke air laut di sekitar alat penangkapan (pakkaja)

dipasang.

Selanjutnya wawancara informan seorang sawi Baharuddin (57 th), bahwa hal

tersebut dilakukan penaburan telur ikan torani ketika penangkapan terfokus khusus pada

penangkapan induk ikan torani. Telur ikan belum menjadi prioritas untuk di tangkap,

sehingga apabila nelayan patorani mendapatkan telur ikan torani, maka telur ikan yang

diperoleh dihambur-hamburkan disekitar daerah penangkapan agar induk ikan torani

berdatangan disekitar alat penangkapan pakkaja. Strartegi tersebut dilakukan untuk

memudahkan melakukan penangkapan. Akan tetapi, setelah para nelayan patorani telah

mengetahui tentang nilai ekonomi telur ikan jauh lebih tinggi dari harga induknya, maka

sasaran nelayan patorani lebih cenderung beralih dan lebih mengutamakan pengumpulan

telurnya.

Secara realitas bahwa, sejak penangkapan terfokus khusus pada induk ikan torani,

maka wilayah penangkapan hanya dilakukan disekitar kabupaten Takalar, kabupaten

www.hendratmoko.com 35
Bantaeng, kabupaten Bulukumba, dan kabupaten Selayar. Wilayah jangkauan tersebut,

secara geografis masuk dalam wilayah selat Makassar dan nelayan patorani hanya

mengutamakan penangkapan pada induk ikan terbang. Sedangkan perahu yang digunakan

adalah perahu layar dengan jumlah anggota sawi sebanyak 5-8 orang. Namun sejak

pergeseran penangkapan induk ikan ke telur ikan torani, maka lokasi penangkapan dilakukan

hingga ke sekitar perbatasan Kalimantan, Pulau Jawa dan Nusa Tenggara.

Selain lokasi itu, sejak akhir tahun 1990-an nelayan patorani sudah ada yang

melakukan penangkapan sampai ke Irian Jaya (Papua). Pelebaran lokasi penangkapan itu,

terkait karena sudah berorintasi pada spesifik penangkapan telur ikan torani. Perahu torani

yang digunakan tidak lagi mengandalkan layar seperti ketika masih menangkap induk ikan

torani, tetapi dalam melakukan penangkapan khusus telur ikan torani, sudah beralih ke

perahu mengandalkan mesin (perahu motor) dengan jumlah anggota sawi sebanyak 4-5

orang dan dipimpin satu orang pinggawa. Umumnya patorani menggunakan alat tangkap

pakkaja. Alat tangkap (pakkaja) tersebut, dipasang dengan cara meletakkan di permukaan

laut dan dibiarkan teapung-apung (ammanyu-manyu)

4.1.4 Pergeseran Karaktersistik Nelayan Patorani Dari Tradisional Kaitan Kehidupan


Sosial Ekonomi

Nelayan patorani sejak keberadaannya, yakni abad ke-17 sebagai nelayan tradisonal

yang hanya menangkap khusus induk ikan torani. Di dalam melakukan penangkapan induk

ikan torani (ikan terbang) pada masa itu, nelayan patorani hanya menangkap untuk

memenuhi kebutuhan rumah tangga beserta kerabat dekatnya. Kegiatan penangkapan

berorientasi pada pemunuhan kebutuhan hidup keluarga sendiri (subsistem) itu,

berlangsung dengan waktu yang cukup relatif lama. Tenggang waktu antara abad ke-17

www.hendratmoko.com 36
hingga pertengahan abad ke-20. Hal itu terjadi, karena pada masa abad ke-17 nelayan

patorani belum mengenal pasar sebagai wadah untuk menjual hasil tangkapannya.

Menangkap induk ikan torani sejak abad ke-17 hingga pertengahan abad ke-20,

lebih banyak melakukan penangkapan di wilayah sekitar Selat Makassar. Secara realitas

bahwa dekade itu, nelayan patorani menganggap lokasi tersebut dianggap strategis untuk

melakukan penangkapan induk ikan torani. Selain hal itu pula, dapat memenuhi permintaan

pasar. Dalam dekade itu, penangkapan pun dilakukan dalam waktu relatif singkat yakni

antara 5 hingga 7 hari. Daya dukung teknologi pun hanya mengandalkan tenaga manusia

dan bantuan arah angin. Melakukan penangkapan dalam waktu relatif singkat tersebut,

karena nelayan patorani menangkap induk ikan torani belum berorientasi pada

komersialisasi produksi dan tekanan pasar pun belum begitu ketat. Dengan kondisi tersebut,

maka apabila hasil tangkapan berlebihan, maka nelayan patorani pun memberikan sebagian

pada kerabat dan tetangganya secara sukarela.

Dalam dekade awal abad ke 20-an, nelayan patorani sudah mulai mengenal pasar.

Komoditi induk ikan torani sudah menjadi andalan dan semakin dibutuhkan dengan kuota

yang lebih banyak. Ketersediaan pasar tersebut, memberikan peluang bagi nelayan patorani

untuk menjual hasil tangkapannya dan menjadikan induk ikan torani sebagai komoditi di

pasaran. Permintaan pasar hanya menerima induk ikan torani dalam bentuk sudah

dikeringkan, dan bahkan hasil tangkapan tersebut dipasarkan bukan hanya dalam lokal

Kabupaten Takalar, akan tetapi sudah dipasarkan secara luas khsusnya di Makassar dan

sekitarnya. Pemenuhan pasar di sekitar kawasan Makassar masih dikategorikan sebagai

pemasaran tingkat lokal. Ketersediaan pasar dalam lokal Takalar hingga Makassar sudah

terpenuhi, maka hasil tangkapan yang diperoleh tentu masih membutuhkan pasar yang lebih

luas. Untuk memenuhi keinginannya tersebut, maka nelayan patorani pun secara bertahap

www.hendratmoko.com 37
melakukan hubungan dagang melalui pemasaran hingga ke beberapa daerah di Pulau Jawa

diantaranya Jawa Timur.

Perahu komunitas nelayan patorani, pada masa lalu memiliki karakter dan ciri khas

tersendiri yakni bentuknya bulat, dan dikenal sebagai biseang bula’. Perahu model tersebut,

digunakan sejak awal keberadaannya yakni pada abad ke-17 hingga pertengahan tahun

1990-an. Nelayan patorani pada awalnya sebagai nelayan tradisional dengan hanya

mengandalkan musim dan arah angin, serta jenis tangkapan hanya di fokuskan pada induk

ikan terbang. Kemudian bergeser ke nelayan modern (bertenaga mesin). Akibat perubahan

bentuk perahu bulat menjadi kapal (perahu berbentuk kapal besar), maka secara otomatis

juga mengakibatkan perubahan (modifikasi) mulai dari bentuk lambung perahu beserta

teknologi pendukungnya. Adanya pergeseran tersebut, maka Penggantian dilakukan secara

keseluruhan perahu patorani hingga dalam bentuk kapal. Artinya bahwa perubahan tersebut

mulai dari bentuk perahu hingga kapasitas mesinnya. Hal itu dilakukan untuk menciptakan

keseimbangan. Bukan hanya itu, tetapi perubahan tersebut pula mengakibatkan adanya

penambahan tenaga kerja (sawi). Kebutuhan sawi dulunya hanya antara 3-4 orang sawi, dan

sekarang sudah mempekerjakan antara 4-7 orang.

Pergeseran bentuk perahu bagi komunitas nelayan patorani mulai terjadi sejak era

akhir tahun 1969 atau awal tahun 1970-an. Perahu nelayan patorani lebih besar ukuran

perahunya dibandingkan dengan jenis perahu sebelumnya dan dimodifikasi dalam bentuk

kapal pengangkut barang. Apabila dibandingkan dengan bentuk perahu lainnya yang

beroperasi di Galesong, maka bentuk perahu nelayan patorani jauh lebih sempurna.

Demikian pula dengan kapasitas mesin yang di gunakan memiliki kapasitas lebih besar yakni

antara 140-150pk.

Komunitas nelayan patorani hingga sekarang telah mengalami perkembangan pesat

terutama dari segi pertambahan populasinya. Terkait hal itu, menurut data potensi

www.hendratmoko.com 38
kecamatan dari tahun 2004 hingga tahun 2006 di kecamatan Galesong Utara terdapat 800

buah perahu dan Galesong Selatan terdapat 1.200 buah perahu. Secara akumulatif maka

nelayan patorani tercatat di dua kecamatan tersebut berjumlah 2000 buah perahu. Perahu

yang tercatat tersebut adalah khusus nelayan penangkap telur ikan torani.

Nelayan patorani sejak keberadaannya hingga sekarang lokasi tempat tinggalnya

pada prinsipnya tidak dapat dilepaskan dengan karakteristik geografis dan potensi yang

dimiliki wilayah Galesong Selatan dan Galesong Utara dari populasi nelayan patorani.

Kemudian dari segi penghasilan, terdapat kesesuaian mata pencaharian ekonomi

masyarakat, terutama untuk memperoleh penghasilan di sektor perikanan. sehingga dapat

disimpulkan bahwa karakteristik yang dimilikinya sebagai komunitas nelayan yang berciri

khas khusus menangkap induk ikan pada masa lalu dan sekarang sudah beralih ke

penangkapan telur ikan torani karena tuntutan pasar yang lebih menjanjikan.

Peralihan karakteristk tersebut, bukan hanya pada nelayan patorani akan tetapi

komunitas nelayan lainnya pun yang berdiam di Galesong mulai berubah karakter. Nelayan

tersebut diantaranya nelayan dengan menggunakan kail (pancing) papekang, nelayan

dengan alat pukat/jala palanrak dan nelayan parengge hingga sekarang dikalangan

masyarakat Galesong tidak begitu banyak diminati lagi dan lebih cenderung beralih menjadi

nelayan patorani. Peralihan aktivitas kenelayanan tersebut, terjadi sejak tahun 1960-an dan

puncaknya pada tahun 1970-an. Menurut informan yang dulunya sebagai nelayan palanrak

mengatakan bahwa hal itu terjadi, karena terkait dengan penghasilan yang diperoleh.

Penghasilan sebagai nelayan palanrak lebih kecil bila dibandingkan dengan penghasilan

nelayan patorani. Nelayan patorani lebih menjanjikan walaupun aktivitas berlayar dilakukan

hanya sekali dalam setahun, tetapi penghasilan yang diperoleh jauh lebih nyata. Kemudian

dari segi pekerjaannya pun relatif lebih santai dibandingkan aktivitas nelayan lainnya.

Realitas itulah sehingga populasi perahu dan nelayan patorani secara kuantitas semakin

www.hendratmoko.com 39
tahun semakin bertambah, dan dibarengi pula dengan bertambahnya jumlah pinggawa

patorani yang otomatis merekrut sawi antara 4-5 orang sehingga populasi sawi pada

komunitas nelayan pun semakin bertambah.

Perkembangan secara kuantitas itu, selain disebabkan jumlah perahu bertambah,

maka terjadi pula pergeseran pada sistem penggunaan teknologi, dari teknologi

penangkapan tradisional beralih ke penggunaan teknologi penangkapan modern. Seiring

dengan pergeseran tersebut, maka perubahan sistem dan pola penangkapan serta struktur

kenelayanan pattoranian pun ikut bergeser. Pergeseran sistem dan pola penangkapan

terkait dengan area dan wilayah penangkapan semakin diperluas jangkauannya. Pada

struktur menuntut perubahan kapasitas perahu, termasuk jumlah awak perahu disesuaikan

dengan kebutuhan selama melaut.

Nelayan patorani sejak lahir pada abad ke 17 hingga awal abad ke 20-an masih

mengandalkan layar (sombala) sebagai alat untuk mengantarkan lajunya perahu patorani

untuk menangkap induk ikan torani. Dalam operasionalnya masih mempertahankan

teknologi alat penangkapan sederhana (pakkaja). Namun pada paruh abad ke-20 yakni

tahun 1969, nelayan patorani semakin mengalami perkembangan dari segi penggunaan

teknologi sehingga tidak mampu lagi menutupi biaya operasionalnya. Karena itu, nelayan

patorani di dua kecamatan kasus melakukan perubahan unsur teknologi penangkapan.

Komunitas nelayan patorani dihampir segala segmen telah terjadi pergeseran secara besar-

besaran baik dari unsur teknologi penangkapan hingga pada perilaku individu yang

mengarah pada komersialisasi produksi. Masuknya tuntutan komersialisasi produksi maka

tuntutan kapitalis melakukan investasi tidak terbendung lagi dan berbarengan harga telur

ikan semakin membaik. Pada era akhir tahun 1960-an berangsur-angsur telah terjadi

perubahan dari segi modifikasi alat penangkapan dari induk ikan torani ke penangkapan

telur ikan torani hingga ke penerapan teknologi.

www.hendratmoko.com 40
Secara perhitungan musim, dalam setahun nelayan patorani mengenal musim

penangkapan yakni antara bulan April hingga September. Pada musim ini nelayan patorani

menyebutnya musim pattoranian. Musim pattoranian di mulai ketika musim angin Timur

berhembus, artinya pergantian musim penghujan ke musim kemarau sudah masuk. Di luar

musim pattoranian tersebut, sebagian besar perahu-perahu nelayan patorani

memanfaatkan dengan kegiatan tertentu. Kegiatan tambahan tersebut dilakukan untuk

mencari tambahan penghasilan sebagai sampingan seperti disewakan dalam bentuk carter

terhadap pedagang antar pulau untuk mengantar pedagang perabotan rumah tangga dan

kayu bangunan. Perdagangan tersebut hingga menjangkau Kota Makassar dan Kabupaten

Pangkep Sulawesi Selatan.

Selain kegiatan tersebut, adapun kegiatan lainnya yang dilakukan sendiri oleh

nelayan patorani yakni memancing ikan tertentu, secara ekonomis memiliki nilai tinggi

dipasaran, seperti ikan hiu untuk diambil ekornya, ikan sunu dan sebagainya. kegiatan ini,

bagi nelayan patorani hanya dilakukan di saat mempunyai waktu yang senggang dan perahu

belum memasuki tahapan renovasi. Sebagian besar nelayan patorani memiliki kebiasaan

menjelang musim pattoranian yakni antara bulan November hingga bulan Maret merupakan

bulan renovasi perahu hingga pada tahap persiapan pemberangkatan ke lokasi

penangkapan.

Pada prinsipnya pada abad ke-17 hingga sekarang ini disepanjang pantai kabupaten

Takalar, masyarakatnya bermatapencaharian sebagai nelayan, yang ditandai kehadiran unit

perahu penangkapan dengan berbagai jenis dan alat tangkap yang berbeda-beda pula. Mulai

dari yang sangat sederhana (tradisional) sampai pada nelayan yang paling modern baik yang

dilakukan secara individu maupun secara berkelompok. Setiap kelompok nelayan

beranggotakan minimal 1 orang dan maksimal 8 orang. Banyaknya anggota kelompok sangat

ditentukan oleh jenis perahu dan jenis tangkapan serta penerapan teknologi penangkapan

www.hendratmoko.com 41
yang digunakan. Setiap kelompok penangkapan, dalam tradisi nelayan makassar dalam

pengoperasiannya dipimpin oleh seorang pinggawa laut (juragan). Tradisi ini merupakan

suatu kebiasaan sejak masa lalu terhadap nelayan, bahwa setiap pelayaran di bawah

pimpinan oleh pinggawa. Kelompok nelayan yang beranggotakan 2-3 orang, biasanya

memiliki pemimpin pelayaran (juragan) kemudian anggota kelompoknya dikategorikan

sebagai kelompok yang paling terendah disebut sebagai pekerja/buruh (sawi). Keberadaan

sawi biasanya pinggawa merekrut dari anak atau sanak keluarga pinggawa itu sendiri.

Kelompok nelayan yang beranggotakan lebih dari 3 orang pun, biasanya anggota

kelompoknya juga direkrut dari kerabat keluarga, dan bila tidak mencukupi baru direkrut

dari luar keluarga atau dari daerah lain. Pertimbangan perekrutan pekerja (sawi)

sepenuhnya ditangan pinggawa dan papalele. Hal ini dilakukan oleh kelompok pemilik modal

dan sumberdaya penangkapan di sebut sebagai kelompok papalele, karena disamping

memberdayakan keluarganya juga sekaligus untuk memudahkan komunikasi dan juga

meminimalisasi adanya unsur-unsur penyelewengan hasil. Faktor kekerabatan perekrutan

personil perahu, dikalangan kepapalelean kerap kali masih merupakan faktor utama,

khususnya dalam pengangkatan pinggawa laut (Juragan). Kalaupun pinggawa lautnya bukan

anggota kerabat papalele, namun setidaknya ada seorang sawi dari anggota kerabat

keluarga pinggawa darat (papalele) ataupun minimal ada anggota sawi yang sudah akrab

secara turun temurun. menurut informan papalele Dg Siraju dalam wawancara bahwa

kehadiran kerabat atau orang yang sudah dipercaya dalam pelayaran maka unsur

kepercayaan dan bertanggungjawab untuk memberikan informasi atas kejadian-kejadian

yang dilakukan oleh anggota perahu lainnya. Kejadian yang sering terjadi dalam pelayaran

diantaranya adalah penyelewengan hasil tangkapan dengan menjual ke pembeli yang lain

tanpa memberian informasi pada papalele.

www.hendratmoko.com 42
Seiring tampilnya telur ikan torani sebagai komoditi ekspor dan permintaan pasar

yang menggeser induk ikan torani sebagai komoditi tangkapan nelayan patorani sejak era

keberadaanya hingga pertengahan abad ke-20. Terjadinya pergeseran itu, maka menjadi

bagian kegembiraan tersendiri bagi komunitas nelayan patorani, yakni dapat meningkatkan

penghasilannya. Penghasilan yang diperoleh bila dibandingkan dengan harga induk ikan

torani sekitar awal tahun 1990-an hanya dihargai antara Rp. 1000-Rp 1500 perkilo gram.

Sehingga era tahun 1970-an ketika negara Jepang sebagai negara pengekspor dan pemilik

pasar yang pertama memasuki daerah Galesong, secara otomatis perlahan-lahan nelayan

patorani mengubahr pola tangkapannya. Namun di sisi lain, membawa pula dampak yang

kurang menguntungkan bagi segelintir nelayan patorani. Hal itu, terkait karakteristik nelayan

patorani itu sendiri, mengubah kebiasaan penangkapan dari induk ikan torani yang sudah

digelutinya sejak keberadaannya kemudian beralih ke telur ikan torani.

Selain pergeseran karakteristik itu, maka secara otomatis eksistensi tentang

pengetahuan dan kepercayaan ikut pula mengalami pergeseran. Pergeseran itu, secara

otomatis meliputi aspek-aspek tradisional lainnya cenderung mengalami pergeseran dengan

sistem yang baru ke arah peningkatan produksi dan berorientasi pada kehidupan sosial

ekonomi. Kebiasaan sebagai nelayan subsitensi ke arah komersialisasi produksi dan

kapitalisme menjadi salah satu pola sasaran pula. Indikator yang lain pula antara lain

kuantitas nelayan patorani tradisional semakin menurun dan beralih ke nelayan modern.

Fenomena itu, terjadi sejak tahun 1970-an nelayan patorani tradisional hanya

bertahan di tiga desa yakni Galesong Baru, Palaklakkang, dan Bontosunggu. Setelah awal

tahun 1970-an komunitas nelayan patorani modern terdapat pada hampir seluruh desa

pantai di Galesong. Sementara itu, penerapan pengetahuan kenelayanan dan upacara ritual

kepatoranian secara umum mulai merosot pelaksanaannya. Dalam kondisi demikian nelayan

patorani mulai memiliki kemampuan adaptasi teknologi, walaupun sebagian komunitas

www.hendratmoko.com 43
nelayan patorani belum menggunakan teknologi modern. Namun penggunaan teknologi

modern akan mengarah pada tuntutan untuk mendukung aktivitas penangkapan.

Perubahan alat tangkap (karena sasaran utama bukan lagi induk ikan torani tetapi

telurnya menjadi komoditas) mulai menjadi hal yang difokuskan oleh pemilik modal

(papalele). Kemudian cenderung memunculkan perilaku eksploitatif yang mengarah pada

munculnya konflik tersembunyi dalam hubungan pinggawa-sawi. Hal itu terjadi, karena

adanya kecenderungan ketidakterbukaan dari segi hasil yang diperoleh dan penetapan harga

antara pinggawa dan papalele terhadap sawi. Pada posisi demikian papalele mengejar

keuntungan yang sebesar-besarnya, sedangkan sawi tidak pernah dilibatkan dalam

pengitungan hasil, tetapi kecenderungan yang berhubungan adalah antara pinggawa dan

papalele. Ketidak terlibatan sawi merupakan dampak negatif yang secara langsung atau

tidak langsung mengisyaratkan keberadaan nelayan patorani tradisional mengalami

kemunduran dan beralih ke nelayan patorani modern yang mengarah pada persaingan

untuk memperoleh hasil yang sebesar-besarnya.

Terjadinya pergeseran tersebut, mengakibatkan pula kemunduran karakteristik

komunitas nelayan patorani tradisional di Galesong. Hakikat pergeseran tersebut, dapat

mengancam kebiasaan nelayan patorani terutama dari segi hubungan sosial kekerabatan

dan budaya. Kemunduran budaya tersebut, dapat disaksikan terkait dengan tradisi

kebaharin secara turun temurun yang pada gilirannya dapat menimbulkan terjadinya krisis

budaya. Krisis budaya yang dimaksudkan adalah terkait ritual (accaru-caru) sudah bukan lagi

hal yang sakral. Walaupun pergeseran itu terjadi, namun sebagian nelayan terutama orang

yang dituakan masih tetap mempertahankan ritual tersebut, agar budaya bahari nelayan

patorani sebagai salah satu wadah mata pencaharian masyarakat Galesong Utara dan

Galesong selaan dapat tetap bertahan. Upacara accaru-caru nelayan patorani hingga

sekarang tetap menjalankan dan melaksanakan, walupun tidak sesakral dulu, namun

www.hendratmoko.com 44
pelaksanaan ritual tetap dilaksanakan sebagai bagian budaya kebaharian dengan

menyesuaikan dengan tuntutan perkembangan zaman. Dalam artian bahwa komunitas

nelayan patorani, walaupun terjadi pergeseran fokus penangkapan, namun tradisi dan ciri

khas sebagai nelayan patorani tetap menjadi simbol dengan hanya menangkap induk ikan

torani dan bergeser kepenangkapan telur ikan torani.

Terkait pergeseran itu, diakibatkan oleh tuntutan pasar, maka secara bersamaan

pula terjadi benturan antara kelompok nelayan yang menggunakan teknologi modern

(penggunaan kapal), dengan berkemampuan eksploitasi tinggi dengan nelayan berteknologi

sederhana. Realitas itu terjadi pada era awal tahun 1990-an. Kemudian pada era

pertengahan tahun 1990-an nelayan patorani sudah mulai menggalakkan teknologi yang

mendukung penangkapan khusus pada telur ikan torani. Realitas pergeseran pada

komunitas nelayan patorani melalui penangkapan telur ikan torani hingga dekade sekarang

ini, menjadi andalan penyumbang pada investasi kabupaten Takalar. Setiap tahun populasi

perahu nelayan patorani bertambah hingga sekarang berdasarkan data tahun 2004 hingga

2006 tercatat berkisar 2.000 buah perahu. Kesemua komunitas nelayan tersebut melakukan

aktivitas penangkapan telur ikan torani.

4.1.4.1 Pengetahuan Pola Penangkapan Dari Induk Ikan Ke Penangkapan Telur Ikan
Akibat Tekanan Pasar.

Sejak awal keberadaan nelayan patorani yang diperkirakan sekitar abad ke-17

hingga pertengahan abad ke-20, keadaan teknologi alat pelayaran dan penangkapan yang

digunakan oleh nelayan patorani, masih sangat tergantung pada sumber daya manusia

(human resource) dan sumberdaya yang sifatnya alami (natural resource) dalam suatu

sistem pattoranian. Penggunaan energi melalui tenaga manusia dan energi angin pada era

ini mendominasi pada sistem pelayaran dan penangkapan dengan menfokuskan hanya pada

www.hendratmoko.com 45
induk ikan terbang. Perahu yang digunakan adalah jenis perahu layar yang dikenal dengan

sebutan biseang bulat, jenis perahu ini, berbentuk bulat dengan menyerupai bentuk telur

ayam.

Perahu patorani biseang patorani dari segi bentuk fisik mempunyai ukuran panjang

8-10 m, lebar 2,5-3.5 meter tinggi 1.5-2 m, dan untuk mendukung pelayaran maka biseang

patorani dilengkapi dengan alat antara lain: (1) Sombala (layar) dua buah dari kain karoro

atau balacung yang terpasang di bagian depan dan belakang. Layar dibagian depan

berukuran panjang 11 m, sedang layar pada posisi pada bagian belakang berfungsi sebagai

tenaga penggerak perahu; (2) Tiang layar, terdiri atas 2 batang, masing-masing panjang 12

dan 9 m dan terbuat dari bambu besar (bulo pattung) berdiameter 25 cm. Alat ini berfungsi

sebagai tiang pengikat dan penahan bentangan layar bila berkembang tertiup angin; (3)

Bangkeng salara (kaki tiang layar) sebagai penangkal tiang layar agar dapat terpancang

kokoh dan tiang tidak goyah bila diterpa oleh angin dan ombak; (4) Guling (kemudi) terbuat

dari kayu jati dan tahan air berfungsi sebagai kendali arah perahu. Kemudian ini ada dua

terpasang di sebelah kiri kanan buritan perahu; (5) Gayong (kompas) terbuat dari kayu

sebagai alat bantu informasi arah pelayaran, jumlah 4 buah; (6) Balla-balla (balai-balai)

terbuat nari kayu dan bambu dilengkapi atap nipa, serta berfungsi sebagai tempat tidur atau

istirahat; (7) Onjok-onjokang, terbuat dari bambu dan berfungsi sebagai tumpuan kaki

apabila akan memasang lnyar; (8) Epe-epe, bambu potongan panjang 40 cm, dipergunakan

sebagai pelampung pakkaja, alat ini berjumlah sebanyak 30 buah; (9) kayu sambeta, atau

juga disebut punaga berfungsi sebagai alat bantu dalam menciptakan keseimbangan perahu

dan memperkecil terjadinya olengan (berat sebelah) perahu akibat gempuran obmbak keras;

(10) Tokong, digunakan sebagai alat pendorong perahu, terbuat dari bambu berdiameter

10cm. dengan panjang 4 m. Alat ini digunakan apabila perahu rnemasuki perairan yang

dangkal di mana layar telah dirurunkan; (11) Jangkar, sebagai alat penambat saat perahu

www.hendratmoko.com 46
dihentikan,terutama saat perahu berlabuh; (12) Lampu, alat penerangan di malam hari,

sekaligus berguna sebagai signal pelayaran. Lampu ini memakai bahan bakar minyak tanah.

Komponen-komponen perahu ini dibuat sesuai dengan bentuk dan model yang di

inginkan dan dipasang sendiri oleh pinggawa biseang dan dibantu oleh sawi. Komponen-

komponen tersebut lebih cenderun menggunakan bahan baku lokal. Perahu yang digunakan

oleh nelayan patorani di Galesong lebih banyak didatangan dari luar daerah Galesong dalam

bentuk belum rampung, namun hanya lambung perahu saja. Sebagain besar nelayan

patorani membeli perahu dari Tanah Beru (Kabupaten Bulukumba Sulawesi Selatan).

Kabupaten Bulukumba dikenal sebagai daerah pembuat perahu sehingga daerah tersebut

diberi julukan daerah pembuat perahu panrita lopi. Perahu yang dibeli di daerah Bulukumba,

biasanya masih dalam keadaan setengah jadi atau hanya badan perahu saja. Penyelesaian

perahu dilakukan setelah sampai di Galesong, kemudian penyelesaian disesuaikan dengan

keinginan dan kebutuhan pemilik perahu. Sebelum berlayar menangkap induk ikan terbang,

maka penyempurnaan dilakukan di daerah perkampungan nelayan patorani sendiri.

Menyempurnakan bentuk dan perlengkapan perahu itu mereka tetap

mempertahankan standar pola umum, misalnya ukuran perahu, jumlah guling, layar dan

lainnya, yang sudah tertentu kuantitas dan kualitasnya. Pekerjaan untuk menyempurnakan

perahu tersebut, dilakukan dengan bertumpu pada pengetahuan kelompok, baik pemilik

prahu dan pinggawa. Hal itu dilakukan, untuk mengutamakan kesamaan pandangan dalam

menyelesaiakn perahu. Menciptakan kesamaan pandangan berbagai elemen yang tergabung

dalam kelompok yang akan menggunkan perahu tersebut. Untuk mencapai suatu

kesepakatan terlebih dahulu melakukan diskusi baik dari segi bentuk, bahan-bahan hingga

pada pembiayaan, akan tetapi biasanya keputusan berada ditangan pinggawa.

Pengutamaan bahan lokal didasarkan atas prinsip agar memudahkan menemukan

bahan dan rejeki. Pandangan nelayan patorani bahwa mengunakan bahan lokal diharapkan

www.hendratmoko.com 47
dimudahkan untuk dipertemukan rejeki (assiboyai). Dengan prinsip assiboyai, masyarakat

patorani mempercayai bahwa bahan lokal yang digunakan diibaratkan berasal dari rumpun

keluarga sendiri. Sehingga dengan mudah dapat saling menyesuaikan dan saling

menemukan kemudahan dalam memperoleh rejeki dan senantiasa melindungi dan

memberikan keselamatan selama pelayaran berlangsung.

Selain kelengkapan perahu, nelayan patorani pula melakukan perawatan melalui

cara-cara menutup dan mendempul lobang-lobang bocor yang terdapat di lambung perahu.

Nelayan patoran menggunakan pallepa terbuat dari bahan lokal diantaranya adalah kulit

kayu pohon orang lokal menyebutnya pohon baru, kapur dan minyak kelapa. Bahan-bahan

ini, juga mudah diperoleh, karena tersedia dan sengaja ditanam disekitar pinggir sungai.

Ketika kegiatan pallepa ini dibuat beramai-ramai sambil bergembira mereka menyanyikan

beberapa bait :

Bakra-bakrakko nukebo; (gunakanlah bedak agar kamu kelihatan putih)

kamma biseang nilepa; (seperti perahu sudah didandani)

kamma sombala nibassi. (seperti layar dari kejauhan kelihatan)

Perahu yang sudah direnovasi dan dianggap layak untuk berlayar kemudian langkah

selanjutnya dilengkapi dengan satu unit alat-tangkap pakkaja yaitu bubu hanyut.

Mengoperasikan pakkaja dengan cara dihanyutkan di permukaan laut dan dibiarkan hanyut

sampai diperkirakan sudah mendapatkan hasil. Secara material bahwa pakkaja

dikategorikan sebagai alat tangkap yang sesuai dengan fungsinya sebagai alat yang dipasang

sebagai penangkap induk ikan, sehingga alat ini digolongkan sebagai alat perangkap (trap).

Kegunaan alat perangkap ini dikhususkan pada induk ikan terbang yang akan memijah. Pada

mulut pakkaja dipasang daun kelapa berfungsi untuk menarik perhatian induk ikan torani

meletakkan telurnya.

www.hendratmoko.com 48
Pakkaja dibuat dalam bentuk selinder, bahan pakkaja teridri dari bilah-bilah bambu

dengan ukuran yang bervariasi dalam 2 pola ukuran yaitu ada yang menggunakan pakkaja

dengan ukuran panjang 57 Cm, dan diameter 47 cm; ada juga yang berukuran panjang 80 cm

dan 40 cm. Pakkaja terdiri dari beberapa bagian, yaitu: aro (funnel), daun kelapa. daun

pisang atau rumput laut yang diikatkan pada aro, pelampung (tomba), tempat pegangan

kadangkang, tali nilon berfungsi sebagai tali penghubung antara perahu dengan pakkaja

otere pabbeso (drift line), serta diujung belakang di beri penutup pakjempang berfungsi

untuk menghindari induk ikan terbang lepas sebelum bertelur.

Proses pelaksanaan penangkapan selalu dimulai dengan kekompakan dan kesiapan

masing-masing awak perahu, baik pinggawa maupun sawi. Dalam pelayaran pinggawa

sebagai pemimpin selalu memberikan peringatan tentang kesiapan perahu. Sementara alat

penangkapan pakkaja juga sudah lengkap, maka segera perahu berlayar ke areal sekitar

penangkapan. Pelayaran dari asal tempat parkir ke lokasi penangkapan membutuhkan

waktu antara 3-5 hari. Daerah lokasi penagkapan itu oleh komunitas nelayan patorani

disebut bayangang. Sebelum pemberangkatan, nelayan patorani senantiasa

mengedepankan hari yang ditentukan untuk pemberangkatan perdana. Pemberangkatan

perdana ini, bukan berarti bahwa semua nelayan patorani harus berangkat dalam hari yang

sama, akan tetapi sekedar hanya seremonial pertanda bahwa hari baik ke lokasi

penangkapan sudah dimulai. Selain meyakini berdasarkan pengetahuan tentang

kepatoranian itu, dijadikan pula wadah untuk menentukan bulan tertentu dan atau sekedar

menyampaiakn kepada komunitas nelayan patorani bahwa musim pattoranian sudah

masuk.

Menentukan wilayah atau lokasi ketika nelayan patorani masih fokus pada

penangkapan induk ikan torani dipilih dan ditrntukan oleh seorang pinggawa yang memiliki

pengetahuan spesifik dengan melakukan eksplorasi yaitu mencelupkan tangannya sampai ke

www.hendratmoko.com 49
siku ke dalam air laut. Dengan cara seperti ini pinggawa dapat mengetahui kondisi air yang

terdapat di dalamnya dan juga mengetahui bahwa gerombolan induk ikan torani sudah

dekat atau sudah sampai dilokasi penangkapan. Salah satu indikasi yang dijadikan petunjuk

adalah suhu (rasa hangat) air. Pengukuran suhu air ini semata-mata berdasarkan daya rasa,

dimana pinggawa sendiri mengetahui tingkat dan kondisi air. Indikasi tersebut, sesuai

dengan tradisi penangkapan dan diyakini secara turun temurun sebagai pertanda adanya

induk ikan terbang (ikan torani). Kemudian tanda-tanda lainnya adalah terdapat disekeliling

induk ikan torani beterbangan di sekitar perahu yang ditumpanginya.

Pengalaman dan pengetahuan demikian itu, masih ada hingga sekarang walaupun

sudah beralih jenis penangkapannya dari induk ikan terbang ke telur ikan torani.

Pengetahuan kebaharian dan kepatoranian bagi komunitas nelayan patorani, tetap

merupakan metode untuk menemukan lokasi penangkapan. Dari pengetahuan yang

sederhana tersebut, tetapi tercipta suatu wahana untuk melakukan operasional

penangkapan induk ikan terbang pada dekade abad ke-17 hingga pertengahan abad ke-20.

Pergeseran penankapan hingga sekarang tetap meyakini tanda-tanda akan keberadaan

induk ikan torani yang akan bertelur, yang berupa banyaknya induk ikan yang beterbangan

untuk mencari tempat pemijahan.

Nelayan patorani mampu membaca tanda kebiasaan induk ikan torani dengan

situasi memperhatikan sekelilingnya. Kepekaan itu menunjukkan bahwa ikan torani tiba

waktunya untuk memijah dan akan masuk dalam pakkaja. Menurut informan pinggawa P Dg

Jallo (56 tahun) bahwa untuk mengetahui kondisi itu, dilihat dari perbedaan ketinggian

jangkauan terbangnya. Ikan torani yang akan memijah jangkauan terbangnya sangat rendah

dibandingkan dengan ikan torani yang masih muda (belum memasuki waktu untuk bertelur).

Ada pula tanda lain untuk mengenalinya yakni datangnya gorombolan torani ke sekitar lokasi

penangkapan. Namun dari berbagai cara tersebut, yang lebih efektif diamati adalah melalui

www.hendratmoko.com 50
alat penciuman. Nelayan patorani dapat membedakan dengan jelas antara bau ikan terbang

dengan jenis ikan lainnya dari beberapa puluh meter jauhnya.

Dari cara tersebut, tapak bahwa nelayan patorani sudah melekat pengetahuannya

dan bersahabat dengan lingkungan melalui kepekaan terhadap lautan. Pengetahuan dan

kepekaan nelayan patorani dalam berlayar terakumulasi atau diperoleh berdasarkan

pengalaman. Kemudian di internalisasikan ke dalam suatu pangassengan (pengetahuan)

akan nilai-nilai dan tata aturan kepatoranian. Komunitas nelayan patorani sejak dahulu,

ketika masih menangkap induk ikan torani hingga pada sekarang penangkapan telur ikan

torani masih mengandalkan dasar nilai-nilai pengetahuan kepatoranian. Ilmu kepatoranian

dijadikan alat untuk pengambilan keputusan terutama dalam menentukan lokasi pe-

nangkapan. Penentuan lokasi tersebut berdasarkan pengetahuan pinggawa, yang di bantu

pula oleh seorang sawi yang memiliki keahlian dalam melihat tanda-tanda alam. Penentuan

lokasi penangkapan tersebut sawi ataupun pinggawa melakukan kerjasama berdasarkan

pengetahuan kepatoranian dan pengalaman yang dimiliki masing-masing.

Pengetahuan tentang pattoranian sangat dibutuhkan sebelum pakkaja diturunkan,

yang menurut pinggawa Daeng Laja (63 tahun) bahwa pengetahuan sebelum memulai

penangkapan antara lain memperhatikan arah haluan perahu. Jika angin bertiup dari timur,

maka haluan perahu harus diarahkan ke utara dan pakkaja diturunkan dari sisi sebelah kiri;

hal itu dilakukan untuk mencegah jangan sampai pakkaja masuk di bawah lambung perahu.

Pakkaja diturunkan secara pelan dengan teratur, dan tidak semuanya atau seminimal

mungkin menghindari supaya tidak terjadi benturan antara pakkaja dan lambung perahu.

Untuk menghubungkan lambung perahu dengan pakkaja maka dibutuhkan tali utama, yakni

tali yang berukuran besar.

www.hendratmoko.com 51
Selama pakkaja dioperasikan, jangkar tidak diturunkan agar pakkaja dan perahu

hanyut bersama-sama mengikuti arus dan gelombong. Keadaan ini dibiarkan sampai

pinggawa merasakan bahwa pakkaja telah berisi induk ikan torani yang akan memijah,

sehingga produksi telur pun dapat meningkat. Hal ini diketahui dengan bertambah

kencangnya tali utama yang diakibatkan oleh banyakanya induk ikan torani memijah di

dalam pakkaja. Setelah induk ikan torani dianggap selesai memijah, maka dilakukan

pengangkatan pakkaja dengan cara mendayung perahu ke dekat pakkaja sambil menarik

perlahan dan induk ikan toranipun perlahan-lahan meninggalkan pakkaja.

Langkah selanjutnya pakkaja diangkat ke atas perahu dari arah lambung kiri perahu.

Jika hasil tangkapan yang diperoleh cukup banyak, maka daerah operasi penangkapan tetap

dilakukan pada daerah sekitar penangkapan sebelumnya. Tetapi bilamana induk ikan torani

yang akan melakukan pemijahan untuk bertelur dianggap jumlahnya sedikit terjaring masuk

ke pakkaja, maka operasi dipindahkan ke wilayah penangkapan lainnya. Pemindahan lokasi

penangkapan, maka keputusan sepenuhnya diserahkan oleh pinggawa untuk menentukan

lokasi yang dianggap cukup banyak induk ikan torani yang akan memijah. Dengan demikian,

maka sistem penangkapan komunitas nelayan patorani dilakukan secara berpindah-pindah

dari satu wilayah ke wilayah penangkapan lainnya yang dianggap mampu menghasilkan

produksi telur lebih banyak.

Realitas dari fenomena terjadinya pergeseran pola penangkapan dari induk ikan ke

penangkapan telur ikan, secara otomatis terjadi pula pergeseran tentang pengetahuan

kepatoranian beserta teknologi pendukungnya. Pergeseran ini menuntut nelayan patorani

adalah untuk beradaptasi dari yang berisikan tentang strategi kepatoranian yang dulunya

menangkap induk ikan torani bergeser kepada penangkapan telur ikan torani. Selain hal itu,

www.hendratmoko.com 52
nelayan patorani pula melakukan pergeseran pola penangkapan yang diakibatkan oleh

adanya tekanan pasar yang lebih mengedepankan telur ikan torani sebagai komoditas pasar

secara internasional.

4.1.4.2 Orientasi Penangkapan Dari Induk Ikan Ke Telur Ikan Torani Kaitan dengan
Komersialisasi Produksi dan Hubungan Pasar

Salah satu ciri khas nelayan patorani adalah menangkap ikan terbang (juku torani).

Secara historis penangkapan ikan terbang, melalui cerita rakyat Galesong, diawali dengan

sebuah perjalanan prajurit Karaeng Galesong dari Pulau Jawa pulang ke Makassar. Karena

mereka telah kehabisan alat-alat perang maka dalam perjalanan pulang ke negerinya,

mereka menyamar sebagai nelayan. Penyamaran itu, dimaksudkan untuk menghindari

serangan dari pasukan Belanda yang telah lama berada di Makassar mengawasi pelaksanaan

perjanjian Bongaya. Ditengah perjalanan itu prajurit tidak sengaja menangkap ikan, dan

kebetulan ikan yang ditangkap adalah jenis ikan terbang (juku tuing-tuing), yang terdapat di

sebagian besar permukaan laut Selat Makassar. Sejak ditangkapnya ikan terbang oleh

prajurit Karaeng Galesong itu, maka Karaeng Galesong memberi gelar, yakni ikan pemberani

(juku tubarani), dan kemudian kata itu memperoleh penghalusan kata menjadi ikan torani.

Sebutan itu mendapat pengesahan dalam kepustakaan perikanan nasional dan

internasional, suatu nelayan yang menangkapnya pun di patorani.

Pengalaman penangkapan ikan torani dan perang di negeri seberang itulah,

kemudian dijadikan dasar dalam memulai kontak perdagangan antara pelaut Makassar

dengan beberapa kapitalis keturunan Tionghoa dari Jawa Timur. Rintisan perdagangan ini

dinilai menguntungkan, yang pada tahun 1940-an komintas nelayan patorani semakin

berkembang populasinya. Pada waktu itu nelayan patorani belum mengejar pangsa pasar,

namun hanya menangkap induk ikan torani untuk kebutuhan keluarganya, dan di jual bila

www.hendratmoko.com 53
dianggap ada kelebihan dari hasil tangkapan itu.

Sejak awal tahun 1960-an hampir seluruh hasil tangkapan ikan itu dikonsumsi,

karena nelayan patorani menangkap untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Kalaupun ada

kelebihan ikan biasanya dikeringkan kemudian di jual, dan pasarnya hanya terbatas pada

pasar domestik sekitar Takalar. Ketika memasuki tahun 1970-an, terbentuklah suatu

hubungan pasar dan intervensi negara-negara pengekspor yang semakin memperkuat

jalinan komnitas nelayan dengan pihak yang berada di luar Takalar. Pada kondisi itu, pasar

tidak meminta lagi induk ikan sebagai komoditi tetapi meminta telur ikan torani. Melalui

mekanisme pasar tersebut, maka nelayan patorani dalam melakukan penangkapan pun lebih

terfokus pada telur ikan torani. Permintaan pasar semakin tahun semakin meningkat dan

pelaku investasi semakin memasuki kalangan komunitas nelayan patorani beserta

kelompok-kelompok yang terlibat diantaranya papalele. Akibat tekanan pasar yang kuat

tersebut, akhirnya nelayan patorani lebih terbuka pula untuk bersaing mengejar hasil yang

maksimal.

Seiring dengan itu, akumulasi kapital menjadi faktor penting dalam upaya

memperbesar kemampuan unit penangkapan. Penyedia modal dengan berbagai prakteknya

adalah sekedar mencari keuntungan sebanyak-banyaknya. Pemilik modal (papalele) pun

melakukan perhitungan dengan pinggawa untuk lebih meningkatkan produksinya. Praktek

perhitungan dilakukan melalui pembagian hasil dengan dalih mengembalikan modal awalnya

terlebih dahulu kemudian dilakukan pembagian hasil secara menyeluruh. Secara eksploitatif,

bahwa pinggawa dituntut untuk memperoleh hasil yang maksimal guna mengembalikan

modal operasional yang terlebih dahulu dipinjamkan dari papalele.

Pemberian dana operasional, yang dilakukan papalele agak jarang memberikan

modal dalam bentuk uang nominal (secara kontan) akan tetapi biasanya dalam bentuk

www.hendratmoko.com 54
barang kebutuhan selama nelayan patorani beroperasi melakukan penangkapan telur ikan.

Bentuk barang yang diberikan berupa bahan makanan beserta lauknya, bahan bakar minyak

tanah dan solar. Alasan papalele memberikan modal dalam bentuk barang tersebut, adalah

supaya merasa aman persediaan kebutuhannya selama melaut. Alasan itu juga banyak

benarnya, karena biasanya nelayan patorani tidak mampu menyimpan dana yang sudah

diberikan oleh papalele. Pengalaman sebelumnya kebanyakan pinggawa hanya membeli

barang-barang yang dianggap tidak ada kaitannya dengan kebutuhan melaut.

Aturan itu semakin ketat setelah nelayan patorani bergeser sasaran

penangkapannya, yakni dari induk ikan torani ke telur ikan torani. Sejak pergeseran

penangkapan, maka kebutuhan akan anggaran semakin membengkak dari tahun ke tahun.

Selama tahun 2000-an nelayan patorani terbagi atas dua wilayah lokasi penangkapan yakni

lokasi Kaluk-Kalukuang dan ada yang menangkap sampai ke Fakfak, Papua Barat. Di dua

lokasi wilayah penangkapan ini dilakukan sepanjang masa sejak era awal tahun 1970-an

hingga sekarang, karena informan berpendapat bahwa telur ikan torani jauh lebih baik

kualitasnya dan juga penghasilan lebih banyak yang diperoleh dibandingkan jika hanya

melakukan penangkapan di sekitar daerah Kaluk-Kalukuang.

Masuk dan berkembangnya kapitalisme dikalangan nelayan patorani maka, pemilik

modal pun populasinya semakin meningkat setelah papalele yang semula berperan sebagai

perantara meningkat menjadi pemilik modal. Peningkatan status papalele itu dimungkinkan

oleh perannya sebagai perantara antara pemilik pasar (eksportir) dengan nelayan pekerja

(pinggawa). Kehadiran papalele sebagai pemilik modal dan perantara untuk menjual hasil

tangkapan telur ikan torani, maka papalele tentu berkeinginan memperoleh keuntungan

yang sebesar-besarnya dibalik pekerjaannya tersebut.

Kasus 2
Pergeseran Pola Penangkapan kaitan komersialisasi produksi

www.hendratmoko.com 55
Terjadinya pergeseran pola penangkapan dari induk ikan torani ke telur ikan torani
yakni berawal dari kapitalisme yang telah mengglobal hingga ke perahu-perahu nelayan.
Kehadirannya diperkirakan bermula pada awal abad ke 20, yakni sejak dimulainya
komersialisasi hasil tangkapan nelayan pada masyarakat setempat. Pergeseran terjadi
ketika investor (kapitalis) sudah mulai masuk dilingkungan nelayan patorani. Walaupun
komersialisasi sudah bermula sejak nelayan patorani melakukan kontak dagang dengan
pedagang induk ikan terbang dan jenis ikan lainnya dalam bentuk ikan asin atau ikan
kering. Dalam situasi ini, peran kapitalisme dalam menentukan penangkapan pada
nelayan patorani, secara spsifik sangat dipengaruhi tuntutan produkstivitas hasil yang
diperoleh.

Produktivitas komunitas nelayan patorani banyak ditentukan oleh kehadiran


papalele maupun investor dari luar Galesong. Di satu sisi, kehadiran investor
memberikan kemudahan terhadap nelayan patorani dari segi permodalan.
Namun distribusi pendapatan mereka masih cukup timpang, karena yang
memegang kendali pembagian hasil dan pemasaran hasil tangkapan adalah
papalele. Ketimpangan yang di alami itu, sejak nelayan patorani mulai
bergantung sepenuhnya pada papalele. Ketergantungan terhadap
permodalan, terjadi sejak era awal tahun 1970-an, fokus penangkapan
sepenuhnya sudah mengarah pada telur ikan torani.

Dari kasus pergeseran penangkapan di atas, memperlihatkan bahwa pertama,

pergeseran pola penangkapan berawal dari pemilik modal yang sudah memasuki aktivitas

nelayan patorani dengan menitipkan modalnya pada investor lokal (papalele), realitas itu,

semakin tumbuhnya kekuatan pemilik modal untuk menggeser nelayan ke pola

penangkapan telur ikan torani; kedua, peningkatan produksi dan adaptasi penerapan

teknologi pada komunitas nelayan patorani lebih cenderung di tentukan oleh pemilik modal

(kapitalis); ketiga, kehadiran pemodal di tengah nelayan patorani memberikan keringanan

dalam melakukan aktivitas penangkapannya. Namun sebetulnya menyadari bahwa dari segi

penghasilan antara pemilik modal (investor) dengan nelayan itu sendiri masih mengalami

ketimpangan.

Dari kasus diatas pula dapat memberikan informasi bahwa tampilnya komoditas

www.hendratmoko.com 56
telur ikan torani sebagai andalan hasil perikanan di Sulawesi Selatan membawa pengaruh

positif, terutama peningkatan devisa dan juga peningkatan pendapatan nelayan patorani di

Galesong. Selain itu, mendorong pengembangan teknologi modern di bidang peralatan

tangkap yakni motorisasi perahu. Realitas itu, membuktikan bahwa nelayan patorani

mengubahah hasil tangkapannya dan beradaptasi pada penerapan teknologi penangkapan

yang sesuai dengan peruntukan tangkapan yakni telur ikan torani.

Motorisasi perahu dalam penangkapan ikan torani, terutama telurnya, mendorong

peningkatan produksi dan produktivitas, serta efesiensi yang bermuara pada peningkatan

pendapatan. Namun di sisi lain, pengembangan komoditas ekspor telur ikan torani,

membawa dampak negatif bagi komunitas nelayan patorani, yakni terancamnya nelayan

yang tidak mampu mengikuti perkembangan teknologi, sehingga terbentuklah

ketergantungan yang kuat antara pinggawa terhadap pemilik modal papalele.

Berubahnya sasaran utama penangkapan dari induk ikan torani ke telur ikan torani,

maka secara otomatis hampir sistem yang sudah terbentuk sejak lama antara awal tahun

1940-an hingga akhir tahun 1960-an mengalami perubahan. Kejadian itu, antara lain nelayan

patorani sudah mulai berorientasi pada ketepatan waktu, sehingga layar sebagai pemacu

perahu digantikan dengan mesin berkapasitas tinggi hingga 140 pk, dan bahkan mesin yang

digunakan di gandakan menjadi dua buah mesin untuk keseimbangan lajunya perahu.

Kemudian ilmu pengetahuan pula ikut berubah dari pengetahuan tradisional ke arah

pengetahuan penggunaan teknologi.

Rangkaian perkembangan tersebut menunjukkan pergeseran ruang normatif pada

komunitas nelayan patorani di Galesong Selatan dan Galesong Utara terutama dari segi

komunitas yang mengarah pada komersialisasi produksi dan keinginan investasi dari luar

komunitas nelayan patorani. Investor tersebut adalah negara-negara sasaran eksportir, yang

negara tersebut mendominasi permintaan pasar. Pergeseran ini semakin kuat dengan

www.hendratmoko.com 57
masuknya kekuatan lokal yang berorientasi pada aturan main eksportir, merekrut hasil yang

sebanyak-banyaknya dan mengabaikan kesejahteraan hidup nelayan patorani itu sendiri.

Ketimpangan sosial yang terjadi pada masyarakat nelayan patorani di Galesong itu,

sesungguhnya merupakan kepentingan dan kebiasaan masa lalu, yang diwariskan dari para

pedagang China kepada pedagang lokal (Papalele). Warisan budaya itu adalah berupa

konsep “ikatan kontraktual”, yakni suatu bentuk perjanjian kerjasama berbetuk bagi hasil

dengan mewajibkan nelayan pekerja menyerahkan seluruh hasil tangkapannya kepada

pemilik modal untuk selanjutnya dijual ke pasar. Pada posisi ini, nelayan patorani (pinggawa)

tidak diberikan kesempatan ikut didalam menentukan harga di pasaran, tetapi yang terjadi

adalah pinggawa menerima keputusan harga yang ditentukan itu.

Nelayan patorani dalam pembagian hasil tangkapan menghadapi kendala oleh

kontrak yang tidak tertulis dan berlaku di seluruh komunitas nelayan Sulawesi Selatan.

Persoalan sesungguhnya adalah bukan pada proposisi bagi hasil tetapi cenderung pada cara

bagi hasil. Begitu pula pada penyerahan hasil tangkapan, adalah bukan pada penyerahannya,

tetapi pada penentuan harga yang kerapkali ditentukan secara sepihak. Hal itu, tampak

semakin tidak rasional pembagiannya ketika nelayan patorani beralih pada penangkapan

dari induk ikan ke telur ikan torani. Di segmen ini, pinggawa dikejar dengan kuota

permintaan pasar melalui tekanan papalele, dan disis lain tekanan beban pengembalian

modal pula menjadi prioritas yang harus difikirkan oleh pinggawa.

Masuknya investasi pada komunitas nelayan patorani, memberikan motivasi

cenderung pada komersialisasi produksi yang dapat dilihat dengan semakin ketatnya

persaingan yang lebih fokus pada penangkapan telur ikan torani. Dibandingkan pada era

tahun 1940-an hingga akhir tahun 1960-an, nelayan patorani hanya menangkap di daerah

laut selat Makassar. Pada era akhir tahun 1990-an hingga tahun 2000-an nelayan patorani

sudah menambah area lokasi penangkapannya melewati Laut Buru hingga ke Papua.

www.hendratmoko.com 58
Menurut informan bahwa dorongan motivasi ini dilakukan untuk menambah hasil

tangkapannya, karena semakin jauh melakukan operasi penangkapan ikan maka

kemungkinan besar untuk memperoleh hasil yang lebih banyak.

Sejak terjadinya pergeseran penangkapan dari induk ikan torani ke telur ikan torani

maka secara otomatis pula, tradisi normatif sudah mulai bergeser dintaranya kebiasaan

tradisional bergeser seiring dengan perkembangan permintaan pasar. Tahap tradisional

tergantikan dengan sistem kalkulasi yang lebih modern. Adopsi teknologi mengarah pada

sistem penangkapan telur ikan torani memasuki segmen pasar ekspor. Tahap penangkapan

telur ikan torani, merupakan suatu puncak kemajuan nelayan patorani untuk mengarah

pada kehidupan sosial ekonomi.

4.1.5. Pergeseran Pola Pranata Sosial Ke Hubungan Komersialisasi Produksi

Aktivitas nelayan patorani, sejak mula keberadaannya sebagai komunitas nelayan pun

terutama pemilik modal atau pemilik perahu tetap dominan untuk menjunjung tinggi

nilai-nilai hubungan kekerabatan. Setiap ada papalele atau pemilik perahu yang ingin

membentuk usaha pattoranian, maka sistem kekerabatan dijadikan prioritas dalam

mencari tenaga untuk menjalankan perahu. Papalele atau pemilik modal dan perahu

terlebih dahulu mencari dan merekrut keluarga dari pihak ayahnya dan ibunya.

Umumnya pinggawa laut atau pemimpin perahu yang digunakan oleh pappalele adalah

dari pihak keluarga dekatnya. Begitu pula penggunaan sawi-sawi dalam suatu kelompok.

Bilamana tidak ada dari keluarga atau kerabat dekatnya, maka ia mencari sawi yang

bukan keluarga dan bertempat tinggal dilingkungan sekitarnya. Bila ternyata

dilingkungan sekitarnya juga tidak didapatkan, maka papalele atau pinggawa besar

dibantu oleh juragan atau pinggawa kecil/perahu mencari atau mendatangkan tenaga

kerja atau sawi dari luar daerahnya.

www.hendratmoko.com 59
Kecenderungan seorang papalele untuk memilih sawi, lebih mengedepankan nilai-nilai

kekerabatan. Pemilihan pinggawa maupun sawi didasarkan keluarga dekatnya sebagai

implementasi internalisasi pada prinsip siri’ na pacce” (belas kasihan). Prinsip tersebut

dipandang sebagai alat kontrol dalam perilaku ekonomi nelayan patorani, baik antar

individu dalam suatu kelompok, maupun antar satu kelompok dengan kelompok

patorani lainnya. Semakin dekat tali kekerabatan atau keluarga dari mereka yang

digunakan sebagai tenaga dalam pelayaran, maka lebih muda terbentuk saling

kepercayaan dalam berusaha. Selain hal itu, pada tingkat pengawasan para papalele

terhadap pinggawa dan sawi memudahkan memperoleh informasi atas kendala yang

terjadi selama melakukan penangkapan. Keuntungan dengan pola kekerabatan, akan

mengurangi pula terjadinya saling kecurangan dan saling menjaga hubungan nilai-nilai

kekerabatan dengan baik dan penghasilan pun dapat dibagi dengan merata

Selain sistem nilai-nilai kekerabatan menjadi prioritas, maka nelayan patorani pula

memegang teguh kegiatan upacara dalam setiap memasuki musim, antara musim timur

atau musim penangkapan telur ikan torani. Apabila kegiatan ritual tidak dilakukan maka

sangat dipandang tidak menghargai sumber mata pencaharian leluhurnya. Kegiatan itu

merupakan usaha untuk dapat berinteraksi dengan mahluk gaib agar tercipta

keseimbangan alam. Nelayan patorani meyakini bahwa setiap alam pasti ada

penghuninya, dan interaksi dapat terlaksana terhadap alam gaib melalui wadah upacara.

Melalui wadah ritual tersebut, nelayan berharap agar kekuatan-kekuatan mahluk di

alam gaib yang berada disekelilingnya dapat memberi ijin kepadanya untuk melakukan

penangkapan telur ikan terbang. Nelayan patorani berpendapat pula bahwa situasi

lautan penuh dengan misteri yang tidak diketahui kapan bersahabat dan kapan

memuncukan kemurkaannya. Selain itu, diharapkan dapat memberi kesejahteraan serta

keselamatan selama melaksanakan aktivitas hingga bergabung kembali dengan sanak

keluarganya.

www.hendratmoko.com 60
Bagi nelayan patorani, ikan terbang itu dipandang memiliki karakter yang khas dan

mempunyai berbagai keajaiban yang tidak dimiliki oleh jenis ikan lainnya. Terkait hal itu

informan pinggawa Tahere Daeng Bella (60 th) mengatakan bahwa ikan terbang adalah

ikan yang senang dengan ucapan-ucapan yang berkonteks porno. Keajaiban yang

dimaksudkan tampaknya dari induk ikan torani bermunculan kepermukaan dalam

jumlah yang sangat besar, namun secara tiba-tiba dan seketika pula dapat menghilang

dari permukaan. Karena itu, nelayan patorani dalam melakukan penangkapan memiliki

srategi dan kemampuan membaca tingkah laku induk ikan torani.

Pola penangkapan menurut pinggawa Daeng Muni (61 tahun) dibandingkan

penangkapan jenis ikan lainnya sebenarnya lebih mudah menurut anggapannya

menangkap ikan dengan memasang lanra (pukat) dan pancing maka dengan sendirinya

ikan datang, sedangkan untuk menangkap ikan torani dan mengumpulkan telurnya

membutuhkan strategi tersendiri. Untuk menangkap jenis ikan lainnya, tidak

membutuhkan ritual, karena lokasinya sudah tahu. Menangkap ikan torani, mencermati

kondisi alam atau musim. Ketergantungan terhadap keadaan musim itulah, nelayan

patorani konsentrasi sepenuhnya pada kekuatan dan strategi tertentu. Strategi yang

dilakukan adalah upacara (ritus) yang lengkap mulai dari persiapan pemberangkatan

hingga sampai berada di lautan. Kegiatan upacara mulai dari memilih dan menentukan

batang pohon atau bambu yang akan digunakan sebagai alat perahu, sampai kembali

dari Pulau Sanrobengi (suatu pulau yang dijadikan lokasi berlabuh sebelum melakukan

perjalanan). Setelah perahu sampai dilokasi Pulau Sanrobengi, maka keseluruh awak

perahu kembali kerumah pinggawa untuk melakukan upacara. Upacara persiapan

pemberangkatan dilaksanakan pada tempat dan waktu tertentu yang dianggap hari baik

(allo baji). Kondisi itu, menunjukkan bahwa komunitas nelayan patorani tetap

memegang teguh pranata sosial dan prinsip keseimbangan hidup antara hubungan

sesama manusia dengan kekuatan alam. Nelayan patorani memandang lingkungan

www.hendratmoko.com 61
adalah bagian dari sistem kehidupannya yang patut di pelihara. Prosesi upacara,

tampaknya nalayan patorani meyakini nilai-nilai lingkungan yang di anut iu adalah

sebagai patokan dasar untuk beradaptasi dengan lingkungan hidupnya.

Tidak semua nelayan patorani di daerah Galesong Selatan dan Galesong Utara

melakukan prosesi upacara secara lengkap seperti apa yang biasa dilakukan oleh para

leluhur nelayan patorani dahulu. Perubahan perilaku sebagian komunitas nelayan

patorani, cenderung diakibatkan oleh masuknya unsur-unsur dari luar, seperti

penggunaan teknologi modern, pembangunan prasarana perhubungan, dan

pertambahan penduduk. Selain itu, kenaikan harga telur ikan torani mendorong dan

memberikan motivasi untuk melakukan peningkatan penangkapan. Langkah tersebut

dilakukan untuk meningkatkan produksi telur ikan torani yang berorientasi pada

komersialisasi produksi.

Para pengusaha pribumi dan non pribumi yang bertempat tinggal di Makassar dan

Takalar, berlomba-lomba merekrut papalele dalam memberi modal kerja. Ada juga

beberapa pedagang yang sering berkunjung ke daerah komunitas nelayan patorani.

membeli telur ikan hasil tangkapan nelayan patorani dengan harga yang memadai. Pada

mulanya pengusaha tersebut, hanya menawarkan untuk sekedar membeli hasil produksi

langsung dengan komunitas nelayan patorani. Setelah mereka berulang berhubungan

dengan beberapa nelayan patorani, maka secara perlahan hubungan itu beralih pada

seorang papalele, dan sepakat menjadi pelanggan. Setelah kesepakatan kerjasama itu

terjadi maka hubungan mereka semakin erat, kemudian muncul lagi kesepakatan antara

pengusaha dengan papalele dalam pemberian modal kerja.

Umumnya pengusaha yang memberikan modal kerja kepada papalele adalah berasal

dari kalangan non pribumi (pungusaha Cina, Taiwan dan Jepang). Kelompok eksportir itu

memberikan modal kepada papalele, dan selanjutnya papalele melanjutkan pemberian

www.hendratmoko.com 62
modal tersebut pada pinggawa sebagai modal awal pelayaran. Sedangkan Pinggawa

bertanggungjawab sepenuhnya untuk mengembalikan modal awal pada papalele dan

pinggawa pula mempunyai kewajiban untuk berbagi pada sawi. Modal awal

diperhitungkan mulai dari persiapan pemberangkatan hingga pinggawa dan sawinya

melaksanakan operasi pengumpulan telur ikan terbang. Setelah pingawa kembali melaut

maka seluruh hasil yang diperoleh disepakati untuk dikumpulkan dan dijual kepada

papalele dan pengusaha hubungan kerjanya.

Realitas itu, membuktikan bahwa hubungan kontrak dalam pembelian hasil tangkapan

antara papalele dengan pengusaha sebagai pemberi modal kerja semakin erat. Hal itu, di

tunjukkan pada saat semua telur ikan yang dihasilkan oleh nelayan patorani, selalu

berada dibawah kendali papalele. Melalui kontrak tersebut, secara otomatis pengaturan

pemasarannya pun tergantung pada eksportir dan papalele yang bersentuhan langsung

dengan pinggawa. Sebelum hasil dipasarkan sudah ada harga yang disepakati eksportir

dengan papalele, dan harga itu biasanya berbeda dengan harga yang disampaikan oleh

papalele kepada pingawa. Menurut informan pinggawa bahwa papalele memberi harga

kepada pinggawa seringkali tidak sesuai dengan harga yang eksportir.

Dalam penentuan harga pasaran, pinggawa tidak pernah dilibatkan, yang sepenuhnya

berada ditangan papalele. Sebenarnya pinggawa menyadari bahwa putusan itu

dilakukan secara sepihak dan tidak melibatkan pinggawa dalam pemutusan harga.

Padahal struktur pattoranian bahwa pinggawa dan papalele merupakan dua bagian

dalam satu sistem yang tak dapat dipisahkan. Artinya bahwa ada pranata dan nilai-nilai

yang sebenarnya harus di junjung sebagai perekat kerjasama melalui sistem

kekeluargaan. Namun nilai-nilai tersebut, menurut informan pinggawa bahwa nilai

kekeluargaan sudah bergeser, karena papalele cenderung hanya berorientasi pada

komersialisasi produksi yang mengejar keuntungan semata.

www.hendratmoko.com 63
Terlepas dari kehidupan kepapalelean yang mengejar keuntungan tersebut, hubungan

sosial dalam komunitas nelayan patorani, masih memegang teguh nilai-nilai sosial, yang

menempati posisi lebih tinggi dari nilai ekonomi. Pinggawa Sonda Daeng Tinggi (59

tahun) menyatakan bahwa, nilai sosial yang terpelihara sejak dulu harus dipertahankan

dengan baik, yang menjadi modal utama dalam bekerjasama. Hubungan yang bertahan

adalah prinsip hidup bersama dan saling menutupi kekurangan siri’ na pacce’. Prinsip

tersebut adalah bagian dari nilai-nilai dan pranata sosial yang terakumulasi dalam sistem

sosial pada komunitas nelayan patorani. Pada tingkat kepekaan antara pinggawa dan

sawi yang merasakan suka dan duka dalam kehidupan selama melakukan operasi di

lautan. Nilai ekonomi, bergantung pada beruntung tidaknya perjuangan yang dilakukan

kelompok (tim) selama berada di laut. Demikian pula antara papalele dengan pinggawa,

dalam pemberian modal, apabila pinggawa belum dapat mengembalikan pada musim

pemberangkatan sebelumnya, maka diberikan kesempatan pada pemberangkatan

berikutnya.

Prinsip senasib dan sepenanggungan (siri’ na pacce’) masih merupakan patokan dasar

tingkah laku dalam masyarakat nelayan patorani di daerah Galesong Utara dan Galesong

Selatan. Informan sawi, Bahtiar (45 tahun) menyatakan bahwa seorang sawi yang

melanggar ketentuan-ketentuan yang disepakati antara anggota dalam kelompok, maka

akan diberikan sangsi. Pelanggaran itu, misalnya sawi tersebut sering melakukan

penjualan hasil produksi secara diam-diam tanpa sepengetahuan anggota kelompok

lainnya. Sebaliknya, bila ada anggota sawi yang melaporkan kepada papalele tentang

penjualan sebahagian hasil produksi secara diam-diam oleh kelompoknya, maka sawi

tersebut akan terkucilkan dan tidak akan dipercaya lagi sebagai anggota kelompok pada

musim berikutnya.

Berdasarkan kekuatan ikatan sosial tersebut, maka pranata hubungan sosial

kekerabatan merupakan bahagian dari sistem sosial dalam masyarakat nelayan patorani.

www.hendratmoko.com 64
Implementasi tersebut dijabarkan dalam prinsip senasib dan sepenanggungan (siri’ na

pacce’). Makna dalam prinsip tersebut, memberi arti kebersamaan, kekeluargaan, dan

kesatuan yang harus dijunjung tinggi dalam menanggung rasa suka dan duka yang

dialami oleh kelompok nelayan patorani. Dalam kebersamaan, kekelargaan, dan rasa

kesatuan dalam interaksi sosial nelayan patorani, diharapkan ada keterpaduan secara

harmonis dan berkesinambungan. Baik papalele maupun pinggawa, selalu

mengharapkan agar hubungan kerja mereka dapat berlangsung lama, dalam arti bukan

hanya satu musim saja. Diharapkan dapat berlangsung secara terus menerus pada setiap

musim penangkapan telur ikan terbang antara bulan Maret hingga September.

Sejak beberapa abad lamanya, antara abad ke-17 hingga sekrang nelayan patorani

bermukim di perkampungan Palaklakkang (sekarang sudah menjadi satu desa). Desa

paklaklakkang hingga sekarang diberikan julukan sebagai perkampungan tertua

komunitas nelayan patorani. Daerah ini pula, sebagai kiblat buadaya yang mengatur

tatanan komunitas nelayan patorani secara turun temurun pada khususnya masyarakat

yang bermukim di Galesong. Adat dan budaya serta cikal bakal kepatoranian berawal di

daerah Palaklakkang. Selain sebagai pemukiman nelayan patorani, di lokasi ini pula

terletak Balla’ Lompoa (rumah tempat tinggal raja-raja dan keturunannya) di rumah ini

tersimpan Gaukanga (pranata sosial). Lebih dari itu Gaukanga merupakan simbol

kebersamaan, persatuan dan konsistensi terhadap satu adat istiadat pattoranian.

Konsep Gaukanga terimplementasikan dalam sebuah makna untuk menggambarkan

kesamaan pandangan, aturan dan perilaku dalam kelompok pada berbagai aspek

kesamaan pandangan hidup masyaakat setempat, lebih khusus pada nelayan patorani.

Hal itu, tercermin antara lain dalam sistem usaha penangkapan, pemasaran dan bagi

hasil dahulu diatur oleh gaukanga. Dalam pola hubungan kerja pinggawa-sawi pun

diatur. Pola yang di anut dalam masyarakat yang mengacu pada gaukanga adalah

menjunjung tinggi kebersamaan dan konsistensi dalam membina hubungan kerja

www.hendratmoko.com 65
maupun hubungan kekeluargaan sebagai bentuk penghargaan terhadap sesama

manusia.

Gaukanga, sebuah sistem yang mengatur tatanan komunitas lokal hingga pada aktivitas

ekonomi mengacu pada sistem kekeluargaan. Dengan kata lain, aktivitas ekonomi itu

terkait langsung pada sistem sosial dan pranata budaya setempat yaitu budaya saling

mengasihi. Komunitas lokal terdiri dari papalele, pinggawa biseang (pemimpin perahu),

dan sawi yang saling berinteraksi, bekerjasama dalam mengelolah sumberdaya laut.

Secara tradisional, dalam pengolahan sumberdaya laut tersebut, mempunyai etika

lingkungan berdasarkan budaya yang serasi dengan dinamika kelompok. Lingkungan

budaya yang dimaksud adalah mengacu pada pemeliharaan sistem pengetahuan

tradisional yang telah mewarnai pikiran, perilaku dan alat penangkapannya.

Sistem pengetahuan ini, walaupun tidak menjanjikan tingkat produktivitas yang

tinggi. Tetapi mewujudkan keseimbangan kehidupan masyarakat setempat secara

individu dan kelompok. Dalam hal ini, yang menonjol adalah apresiasi yang tinggi

tehadap lingkungan alam, tumbuhnya solidaritas kelompok, kuatnya keutuhan dalam

adat istiadat, serta kesatuan pandangan kepada Gaukanga. Kesatuan pandangan itulah,

menjadi kekuatan untuk peningkatan ekonomi komunitas yang tahan dari berbagai

masalah karena keadaan musim yang tidak menguntungkan, atau bencana alam yang

bisa muncul secara tiba-tiba. Pranata gaukanga inilah yang mencegah semena-mena

komunias nlayan dalam esploitasi sumberdaya alam.

Eksploitasi komunitas, adalah karena perkembangan komersialisasi telur ikan

terbang telah menggeser pada kesamaan pandangan, aturan dan perilaku. Aktivitas

ekonomi mulai bergeser keluar dari pola budaya lokal, dan mencari bentuknya sendiri.

Dengan demikian muncullah sistem-sistem baru, yang kadangkala menimbulkan konflik-

konflik yang sama sekali sebelumnya pernah terjadi. Konflik yang sering terjadi antara

www.hendratmoko.com 66
papalele dengan pinggawa sebenarnya jarang sekali tampak dipermukaan, akan tetapi

lebih merupakan balas dendam. Terjadinya konflik internal (balas dendam) tersebut,

terkait adanya kesepakatan bahwa pada musim berikutnya seorang pinggawa tidak

berkenan lagi untuk bergabung dengan papalele.

Dalam sistem pemasaran hasil produksi, secara realitas terdapat pula pranata yang

kerap muncul melalui dua sistem usaha dilingkungan penangkapan dan pemasaran telur

ikan terbang. Pranata tersebut yakni papalele dengan eksportir, papalele memberikan

harga telur ikan torani pada pinggawa dengan harganya sendiri. Walaupun berpatokan

pada harga eksportir, tetapi tidak maksimal sebagaimana harga yang ditentukan oleh

pasar atau eksportir dari papalele ke pinggawa. Kemudian eksportir pula memberikan

harga papalele dengan permintaan harga yang berbeda antara eksportir yang satu

dengan eksportir yang lainnya.

Keterikatan papalele, pinggawa dan sawi terhadap aturan main pemasaran,

menunjukkan bahwa adanya keterikatan mereka dengan lingkungannya. Karena itu,

kesejahteraan yang mereka peroleh, kurang memberkan kotribusi terhadap penghasilan

yang diperoleh untuk diperuntukkan pada anggota kelompok lainnya termasuk

diantaranya adalah sawi. Padahal untuk mencapai hal tersebut, idealnya harus konsisten

dengan sistem dan aturan yang telah terpola, agar posisi dalam pembagian hasil

seyogyanya memperhatikan nilai-nilai kekerabatan dan kerjasama. Namun faktanya

bahwa pranata hubungan sosial kekerabatan dan kebersamaan tersebut, kini beralih ke

hubungan komersialisasi produksi yang pada muaranya hanya mengejar keuntungan dan

tuntutan pengembalian modal yang sudah dikeluarkan oleh papalele.

www.hendratmoko.com 67
4.1.5.1 Pergeseran Makna Ritual Tentang Kepatoranian

Berlayar dan menangkap telur ikan torani, maka nelayan patorani mengandalkan

ilmu pengetahuan erang passimombalang dan erang pakboya-boyang serta pengalaman di

laut, disamping itu pula didukung oleh teknologi yang digunakan. Mereka menilai alat

perlengkapan pelayaran, terutama perahu patorani yang digunakan sebenarnya tidak

sebanding dengan tantangan alam yang harus dihadapi. Karena itu setiap nelayan patorani

berkewajiban memiliki erang sebagai kekuatan pengimbang. Kekuatan yang dimiliki oleh

nelayan patorani, bukan ilmu yang akan merusak lingkungan laut, akan tetapi hanya sekedar

ilmu agar mereka memiliki kemampuan untuk menjaga keseimbangan alam.

Kekuatan pengimbang ini dapat dibuktikan fungsinya di lapangan. Mereka percaya

bahwa erang passimombalang dapat melunakkan karang yang kokoh melembutkan angin

yang keras dan menjinakkan ombak yang keras. Pembuktian-pembuktian pengetahuan

bathin itu, biasanya dilakukan apabila pengetahuan lahir tidak bisa lagi menyelesaikan

persoalan yang dihadapi. Namun apabila, keadaan pelayaran dalam kondisi yang normal,

maka pengetahuan lahir lebih cenderung digunakan melalui mobilisasi tenaga sawi lebih

berfungsi ketimbang pengetahuan bathin.

Sejak nelayan patorani menggunaan mesin sebagai tenaga penggerak perahu, dan

menggantikan fungsi layar, telah terjadi pergeseran pandangan terhadap pemilikan

pangngassengang. Pemilikan pangngassengang, khususnva erang passimombalang, dan

erang pakboyaboyang sebagai tradisi kebaharian, tidak lagi menjadi pola umum patorani.

Dengan demikian, dewasa ini, dalam kelompok pinggawa dan sawi, telah ditemukan tiga

kategori pinggawa. Pertama, pinggawa yang memiliki erang, dan menerapkan sepenuhnya

erang tersebut; Kedua, pinggawa yang pernah memiliki, tapi sudah tidak digunakan lagi;

Ketiga, pinggawa yang sama sekali tidak pernah memiliki.

www.hendratmoko.com 68
Pengtahuan erang yang dimaksudkan disini, adalah merupakan bekal kepercayaan

yang dapat memberikan kekuatan secara spontanitas bila mendapatkan kesulitan dalam

perjalanan pelayaran. Informan pinggawa H Daeng Tawang (62 tahun) bahwa seorang

pinggawa sudah menjadi keharusan untuk memegang teguh kekuatan erang

passimombalang dan erang pakboyaboyang ketika melaut. Akan tetapi dalam era sekarang

ini, beliau banyak mendapatkan seorang pinggawa yang tidak memperdulikan lagi kedua

erang tersebut. Dan bahkan Seorang pinggawa menilai bahwa erang sudah tidak menjadi

lagi suatu keyaknan terhadap efektivitas pattoranian. Munculnya pergeseran tersebut,

terkait banyaknya pinggawa patorani tidak memiliki erang tetapi juga mendapatkan hasil.

Sadar atau tidak mereka sebenarnya sudah banyak pula melanggar sarak, kondisi tersebut

dapat dimaklumi bahwa mereka adalah generasi baru yang lahir antara tahun 40-60-an.

Walaupun demikian, kebiasaan ritual (accaru-caru) masih tetap dipertahankan,

cuma caranya sudah bervariasi, dan kebanyakan pinggawa hanya sekedar melaksanakannya.

Pelaksanaan accaru-caru ini hanya sekedar simbol saja, sebagai pertanda bahwa akan

berangkat melakukan penangkapan telur ikan torani. Tidak ada sangkut paut dengan

pemaksaan untuk memperoleh rejeki, apalagi dkonotasikan dengan ritual memanggil roh,

karena disadari bahwa menentukan dalam usaha mengumpul telur ikan terbang adalah

faktor rejeki, namun kekuatan erang perlu karena itu juga sebagai doa untuk mendapatkan

perlindungan selama melaut.

Kasus 3

Makna Erang Bagi Komunitas Nelayan Patorani

Daeng Laja (63 tahun) seorang pinggawa, beliau menjadi pinggawa sudah 32 tahun.
Beliau meyakini bahwa memiliki erang terutama pinggawa patorani itu sangat
penting, karena erang merupakan wadah untuk berinteraksi dengan penjaga lautan.
Namun erang yang dimiliki harus diterapkan secara utuh dan konsisten; harus
diyakini sepenuhnya, dengan mengikuti semua sarak dan menghindari kasipalli.
Dalam sebuah perahu, semua awak, tanpa kecuali harus percaya terhadap

www.hendratmoko.com 69
pembuktian efek erang itu. Tidak boleh ada sebagian di antaranya yang ragu.
Kenyataan yang dihadapi oleh pinggawa yang masih mempercayai dan memiliki
erang, dewasa ini adalah karena sebagian sawi tidak peduli lagi dengan sarak dan
kasipalli, maka menurut kepercayaan bahwa akan berdampak pada erang tidak bisa
berfungsi lagi.

Erang memiliki kekuatan tersendiri bagi nelayan patorani, sebagai keyakinan yang
memperkuat pertahanan terhadap bencana yang akan dihadapinya. Erang sendiri
berisi tentang ilmu penegtahuan tentang kepatoranian dan ilmu tentang
pelayaran.erang sebenarnya tidak berkaitan dengan ilmu gaib dan magik, akan
tetapi lebih cenderung kegunaannya pada penerapan ilmu pengetahuan
kepatoranian dan kepercayaan akan kemampuan bathin untuk mampu
berkomunikasi dengan alam sekitarnya.

Berdasarkan kasus di atas, dapat digambarkan bahwa pertama, makna erang, yang

diyakini nelayan patorani merupakan suatu hal yang tidak terlepas dengan keadaan

untuk memelihara keharmonisan akan hubungan dengan alam, kegaiban dan relegius;

kedua pengetahuan (Erang) merupakan sarana untuk berkomunikasi dalam menjalin

dialog antara manusia dengan alam sekitar. Kegaiban dapat dipandang sebagai usaha

manusia dalam memanfaatkan alam guna memenuhi kebutuhannya melalui cara-cara

gaib berupa mantra-mantra. Sedangkan religius dapat dipandang sebagai usaha manusia

memanfaatkan alam dengan menundukkan dan menyerahkan kepada yang gaib; ketiga

bahwa perpaduan antara agama (religius) dan kepercayaan akan hal-hal gaib sangat tipis

perbedaannya dan menjadi sumber kekuatan dalam menaklukkan lautan bebas.

Gambaran dari makna pengetahuan (erang) di atas, tercakup sebagai bagian dalam

sistem pengetahuan setempat (pribumi) yang secara lokal disebut sistem pengetahuan

kenelayanan pangisengan pa’jukukan. Sistem pengetahuan ini dalam aplikasinya disebut

bawaan/terpaan. Terkait makan tersebut Koentjaraningrat (1982: 290) menyebutnya

pengetahuan alam sekitar, yang artinya bahwa manusia perlu memahami alam

sekitarnya. Makna pengetahuan pencarian hidup (erang pakboyaboyang) adalah

www.hendratmoko.com 70
menunjuk pada pengetahuan yang bertalian dengan sistem penangkapan dilaut. Terkait

pula penggunaan teknologi penangkapan dan aspek-aspek religius yang bertalian

dengan pelayaran dan penangkapan telur ikan torani.

Kepercayaan secara alami tumbuh dalam komunitas nelayan patorani melalui

dengan pengalaman dan kebiasaan untuk menerapkan dan memelihara dua jenis erang.

Erang yang dimaksud disini, merupakan suatu konsep yang dapat memandu dalam

melaksanakan penangkapan yang teridiri atas pertama erang pissimombalang; dan kedua

erang pakboyaboyang. Terkait sistem pengetahuan pelayaran yang mencakup pengetahuan

tentang erang passimombalang yakni tentang: musim, iklim dan arus, tata cara serta

keselamatan pelayaran. Sedangkan erang pakboyaboyang terkait dengan sistem pengetahu-

an tentang organisasi usaha, yang meliputi pergetahuan tentang penangkapan ikan,

pengelolaan hasil tangkapan, bagi hasil sampai pada pemasaran.

Kedua sistem pengetahuan di atas, awal muassal keberadaannya dipengaruhi oleh

dua kondisi lingkungan, masing-masing yakni lingkungan lahir dan lingkungan bathin.

Lingkungan lahir mencakup pengalaman empiris dalam interaksi antara nelayan patorani

dengan kelompok dan dengan alam sekitarnya. Sedang lingkungan bathin mengandung

pengalaman immanensi dalam bentuk kepercayaan, dan pengalaman transendental dalam

bentuk magis. Pemeliharaan kedua pengalaman ini dilaksanakan dalam bentuk ritual.

Pengalaman kepercayaan yang diyakini sebagqai kekuatan dalam melakukan aktivitas

pelayaran ini menyatu ke dalam erang passimombalang dan erang pakboyaboyang untuk

diterapkan sebagai bekal di lapangan. Akan tetapi, proses pemilikannya melalui pendekatan

yang berbeda, tergantung asal muassal gurunya dan peruntukan yang di inginkan terhadap

kepercayaan erang tersebut.

Penerimaan pengalaman dan pengetahuan bathin melalui proses sebagai berikut:

(1) Pengalaman dan pengetahuan diterima secara tertutup dan personal, langsung dari

www.hendratmoko.com 71
seorang guru yang disebut gurunta atau panrita kepada seorang murid; 2) Guru

mengajarkan pengalaman dan pengetahuan itu secara doktriner atau dogmatis, dan murid

menerimanya tanpa riset; (3) Proses belajar mengajar dilakukan dengan menggunakan me-

dia ritus; (4) Sasaran pengajaran adalah pembinaan bathin, yaitu: pengembangan kepekaan

hati dan perasaan; (5) Efektivitas pengalaman dan pengetahuan ini tergantung pada

keyakinan akan kebenaran dan kemujizatannya; pemenuhan terhadap sarak yang

diperlukan, serta pamali atau pantangan yang harus dihindari; (6) Kuantitas pengalaman dan

pengetahuan ini tetan, namun kualitasnya dapat meningkat atau sebaliknya memudar atau

ambaraki, tergantung pada tingkat keyakinan dan pemeliharaannva; (7) Pengalaman dan

pengetahuan bathin tersebut dipelihara dengan ritus, dan bersifat sakral.

Sementara itu proses penerimaan pengalaman dan pengetahuan lahir terjadi

dengan identifikasi sebagai berikut :(1) Pengalaman dan pengetahuan lahir diperoleh dari

kenyataan empiris.akibat interaksi dengan lingkungan, baik dengan lingkungan manusia

sendiri maupun lingkungan alam; (2) Pengetahuan ini jumlahnva tak terbatas, tergantung

besar kecilnya pengalaman dan intensitas interaksi tersebut di atas; (3) Pengetahuan ini

dikembangkan tanpa ritus, diterima dengan ratio atau logika, dipastikan berdasarkan

keteraturan tanda-tanda alaYm, dan divakini kebenarannya dengan mengandalkan kepekaan

ekologis; (4) Pengalaman dan pengetahuan lahir dapat diajarkan dimana saja, ba.ik secara

perorangan maupun dalam kelompok kerja, serta tidak bersifat sakral.

Pengetahuan bathin terdiri dari dua komponen utama, yaitu mantra-mantra baca

dan pesan-pesan pappasang. Baca adalah ungkapan-ungkapan dalam bahasa Makassar yang

di ucapkan pada setiap kegiatan dalam lingkungan pelayaran dan penangkapan. Sedang

pappasang merupakan ungkapan-ungkapan dalam bahasa Makassar yang berbentuk sarak

dan kasipali. Ungkapan-ungkapan tersebut bersifat sakral dan mengandung kekuatan magis

sesuai dengan sasaran peruntukannya.

www.hendratmoko.com 72
Dalam pelayaran dan penangkanan telur ikan torani, setiap tahap kegiatan selalu disertai

dengan ungkapan atau baca. Biasanya baca itu dilafalkan dalam hati dan disertai gerakan

anggota badan tertentu. Pada saat upacara ritual pelepasan pemberangkatan perahu

patorani di ucapkan beberapa bait yang di bacakan

Rammang makdonting irate (awan mengumpal di atas)

Kupailalang sorongan (kumasukkan ke dalam laci)

Naungko mae ( turun kamu kemari)

Pirassianga tangana biseangku (penuhkan tengah (perut) perahuku)

Rassi ipantarang ( penuhkan di luar)

Rassi ilalang (penuhkan di dalam)

Oh…Nabi Karoppo ( oh....Nabi Karoppo)

Sareanga dallekku ri Allah ta’ala (berikan kemari rezekiku dari Allah ta’ala)

Siagang Nabi Muhammad (dan dari Nabi Muhammad)

Oh….Nabi Pakkere, Nabi Hedere (oh....Nabi pakkere, Nabi Hedere)

Sareanga mae dallekku ri Allah Ta’ala (berikan kemari rezekiku dari Allah ta’ala)

Siagang Nabi Muhammad (dan dari Nabi Muhammad)

Makna bait di atas, menggambarkan bahwa komunitas nelayan patorani percaya

bahwa rezeki atau hasil tangkapan telah di tentukan oleh tuhan (Allah Ta’ala) jauh sebelum

mereka melaut. Tetapi rezeki itu tidak secara langsung diberikan kepada manusia melainkan

melalui perantaraan para nabi atau dewa laut, yakni Nabi Karoppo, Nabi Pakkere, dan Nabi

Hedere (Hellere), karena itu nelayan patorani harus memintanya lewat perantaraan para

nabi atau dewa termaksud.

Baca atau mantra di atas, di ucapkan oleh pinggawa biseang sambil berdiri tafakur di

tepi pantai, sebelum mengayunkan langkah pertama yang menyentuh air laut. Dan

apabila pinggawa bisenag sudah berjalan do pinggir laut menuju perahu, pinggawa harus

www.hendratmoko.com 73
berhenti di depan perahu sebelum pinggawa melangkah naik ke atas perahu. Pada saat

itu pinggawa biseang melafalkan lagi beberap bait

Ikau Irumpa (Kau Rumpa adalah nama gelar)

Areng tojennu ri Allah Ta’ala (Nama sesungguhmu dari Allah Ta’ala)

Inakke Bitti Iukkang (Saya Bitti Lukkung adalah nama gelar)

Areng tojengku ri Allah Ta’ala (nama sesungguhku dari Allah Ta’ala)

Rilangi Tumabbuttanu (di langit kehidupan)

Sambil mengambil air laut dengan kedua telapak tangan kemudian pinggawa biseang
menyebut lagi bait-bait berikut :
Ikau irumpa (kamu Rumpa, adalah nama gelar)
Areng tojengnu ri Allah ta’ala (nama sesungguhmu dari Allah Ta’ala)
Allah ta’ala ampa’jariko biseang (Allah Ta’ala menjadikan kamu perahu)
Allah Ta’ala bahupaki (Allah Ta’ala yang melengkapimu)
Bunga intang ri tangngana (bunga intan di engahnya)
Rumpakki dalle’nu ri Allah Ta’ala (temui rezekimu dari Allah Ta’ala)
Siagang Nabi Muhammad (dari Nabi Muhammad)

Setelah bait-bait ini diucankan, berturut-turut sehanyak tiga kali air yang telah diambil

dengan telapak tangan. dihenpashan ke arah butitan perahu. Air itu dianggap sebagai

wudhu bagi perahu, sebagai simbol kesucian dalam setiap kcndisi, baik pada waktu

menghadapi keberuntungan maupun dalam situasi yang berbahaya.

Demikian juga halnya, ketika para patorani sedang dalam pelayaran, sebelum

memasang alat tangkapnya, mereka pun tak lupa menyebut bait-bait tertentu yang diyakini

akan mengundang ikan terbang masuk kedalam pakkaja. Baik-bait itu antara lain:

Pole torani (datang.............!)

Pole torani (datang.............!)

Pole torani ....ee ., (datanglah hai..hai.. ikan torani)

www.hendratmoko.com 74
ri allakna bombang, ri tekona arusu (melalui celah-celah ombak)

ri tekona arusu (melalui aliran arus)

ri balembengna taka (melalui gunung-gunung karang)

Battu asengmako mae (datanglah semua)

Ri pakkarek-karenanna bainennu (ketempat permainan istrimu)

Ipantaranmiantu,Tulolonna satangnga (tempat dimana terdapat gadis cantik)

Lompowa pungkukna (yang besar pinggulnya dan seksi)

Bait-bait di atas di lafalkan sebelum pakkaja di turunkan atau di operasikan.

Selanjutnya setelah selesai pemasangan pakkaja, seluruh awak perahu diinstruksikan oleh

pinggawa untuk mengamati ada tidaknya induk ikan terbang yang mendekati pakkaja. Bila

salah seorang diantara mereka telah melihat ikan torani mendekati pakkaja, maka pinggawa

laut melafalkan lagi bait-bait berikut

Ia riolo (siapa yang datang duluan)

Ia angallei bungasakna (ia yang mengambil perawannya)

Ia riboko (siapa yang datang belakangan)

Ia angallei pallatea (ia yang dapat bekasnya)

Semua contoh bait di atas tergolong sebagai sistem pengetahuan pangassengan

nelayan patorani yang di sebut erang passimombalang maupun erang pakboya-boyang.

Untuk membedakan di antara keduanya, hanya dilihat makna dan tujuannya. tingkatan

pertama, termasuk kategori erang pakboya-boyang; makna dan tujuannya sebagai doa

supaya memperoleh hasil tangkapan yang banyak. Penghasilan yang diperoleh itu,

dipersonifikasikan sebagai kumpulan-kumpulan awan yang mengandung berat dan me-

numpahkan air hujan yang mengisi semua tempat dan ruang dalam perahu tersebut.

Semoga dewa-dewa ikan menyerahkan dirinya dan seluruh pengikutnya menjadi rezeki bagi

www.hendratmoko.com 75
para patorani, seperti yang telah ditentukan oleh Allah Ta’ala dan Nabi Muhammad, (dewa-

dewa ikan disebut dengan Nabbi Karoppo).

Ungkapan kedua termasuk kategori erang passimombalang, yang menceriterakan

tentang eksistensi sebuah perahu yang akan digunakan berlavar. Sebelum perahu itu dipakai

berlayar patorani melakukan dialog imajiner dengan perahu tersebut, masing-masing

memperkenalkan diri dan eksistensinya. Dalam dialog itu, pinggawa mengingatkan nama

perahu yang sebenarnya diberikan oleh Allah, yaitu Irumpa, sedang nama pinggawa sendiri

adalah Bitti Ilukkung. Selain itu, pinggawa juga mengingatkan kejadian perahu itu, yang

sebenarnya berasal dari langit, seperti yang terkandung dalam ungkapan, di langit tempat

tinggalmu ri langi tumabbutanu.

Dialog imajiner adalah satu upaya untuk menjalin hubungan bathin yang akrab.

Dengan demikian, pinggawa biseang akan segera mengetahui apakah perahu tersebut

bersedia dibawa berlayar dan memberi jaminan kesehatan; atau tidak. Dengan

mengingatkan kembali eksistensi perahu itu, diharapkan perahu itu dapat berfungsi seperti

garis hidup Irumpa (bahasa Makassar yang maknanya kurang lebih: sampai pada tujuan)

yang telah ditentukan oleh Allah Ta’ala.

Setelah menjalin hubungan bathin yang akrab, pinggawa biseang mengajak awak

perahu mencari rezki Allah dan Nabi Muhammad. Harapan ini tercermin dalam ungkapan

untuk memanggil ikan torani masuk kedalam pakakaja untuk memijah. Tradisi pemanggilan

ini merupakan suatu syarat yang diyakini nelayan patorani untuk memanggil melalui kontak

batin rombongan induk ikan torani yang ingin memijah untuk masuk dipakkaja. Pakkaja

dipasang terlebih dahulu pada lokasi yang strategis, pemasangan pakkaja biasanya dilakukan

berdasarkan kebiasaan, agar dapat memperoleh hasil telur ikan torani.

www.hendratmoko.com 76
Ungkapan demi ungkapan di ucapkan dalam keadaan ikhlas sebagai suatu kombinasi

erang pakboyaboyang. Kata demi kata yang ducapkan pinggawa memiliki makna untuk

mengundang ikan terbang (torani) masuk ke pakkaja untuk memijah dan bertelur sebanyak-

banyaknya. Pinggawa memanggil semua ikan torani baik dari-celah-celah ombak, dari

pergerakan arus, dan dari gunung-gunung karang. Datanglah semua!, baik yang diarah utara

dan arah selatan maupun yang dari bawah dan atas. Datanglah!, ketempat berkumpul dan

bermain dengan isteri-isterimu".

Dalam pandangan patorani, ikan terbang adalah jenis ikan agresif dan

dipersonifikasikan sebagai tubarani yang telah lama meninggalkan pacar atau isterinya ke

medan perang. Dari kata tubarani yang telah mengalami penghausan, sehingga ikan terbang

itu dinamakan torani. Karena itu, untuk mengundang agar ikan datang di pakkaja, maka

pakkaja itu digambarkan sebagai tempat berkumpul dan bermain para isteri atau pacar

tubarani. Akibat lama meninggaikan isteri atau pacar, patorani menganggap tubarani itu

akan timbul gairah dan nafsunya untuk mendekati tempat isterinya. Dalam bait terakhir

ungkapan disebutkan "datanglah ke tempat berkumpul dan bermain isteri-isterimu. Di

sanalah gadis- gadisnya pulau Satangnga yang besar pinggulnya. Kaimat yang disampaiakn

oleh pinggawa mengandung makna sangat romantis.

Efektivitas baca (mantra) sangat terkait dengan konsistensi terhadap pappasang,

melalui dua komponen sarak dan kasipalli. Dalam konteks demikian, Sarak merupakan

pesan atau nasehat yang harus dilakuakn selama pelayaran dan penangkapan. Kasipalli atau

pamali mengandung larangan dan pantangan yang harus di hindari. Patorani percaya bahwa

penghasilan akan berpihak kepadanya apabila keteguhan akan baca (mantra) tersebut

diefektifkan, kemudian sarak yang beriringan dengan larangan yang terkait kasipalli di

penuhi sebagaimana mestinya. Nelayan patorani sangat meyakini bahwa andaikata

melakukan sesuatu yang tidak melanggar ketentuan sarak selama melakukan penangkapan,

www.hendratmoko.com 77
maka akan mendapatkan hasil yang banyak. Namun sebaliknya bila melaksanakan hal yang

bertentangan dengan ketentuan sarak dan kasipalli, maka baca (mantra) itu akan menjadi

pudar kekuatan magisnya. Untuk menghindari hal-hal kasipalli maka nelayan patorani, baik

pinggawa maupun sawi di berikan peringatan untuk tidak melakukan hal-hal yang dianggap

akan mengusik ketidak datangan ikan torani untuk masuk dipakkaja memijah dan bertelur.

Pappasang (pesan-pesan) utama yang secara turu-temurun diwariskan adalah

keharusan melakukan ritus dan mengikuti adat-istiadat dalam kegiatan pelayaran dan

penangkapan telur ikan torani. Tujuan utama ritual ini, untuk memelihara kelestarian

pembuktian erang passimombalan dan erang pakboyaboyang tersebut di dalam alam nyata.

Menurut informan bahwa nelayan patorani tidak dibenarkan untuk mengabaikan papasang

(pesan-pesan). Bila tidak dilakukan ritual papasang maka terasa ada ketidaksempurnaan dan

ketimpangan dalam melakukan kegiatan pelayaran dan penangkapan. Gangguan psikologis

yang dialami bila tidak dilakukan ritual itu, dihinggapi perasaan cemas, khawatir dan rasa

tidak aman dari ancaman bahwa di darat dan di laut.

Sejak rencana pemberangkatan, patorani sudah terikat oleh keharusan memulai

pelayaran pada hari yang sudah ditetapkan, berdasarkan kalender kepatoranian secara

turun temurun sudah ditentukan allo baji (hari yang baik). Penentuan hari baik (allo baji)

antara lain didasarkan pada perhitungan bulan (kenaikkanna bulanga) atau pergantian hidup

dan mati tallasa matea yang dihitung dengan jari-jari. Dan ketika hari pemeberangkatan

sudah ditentuhan, dan patorani siap berlayar, mereka pun harus memperhatikan pesan

“teako aklampai-punna tena memang nuaggappa oassele”(jangan berangkat, apabila

memang sudah jelas anda tidak akan membawa hasil). Mereka dapat mengetahui apakah

akan memperoleh hasil atau tidak, sebelum berangkat.

Kepekaan nelayan patorani secara psikologis sebelum berangkat sudah membaca

situasi berdasarkan tanda-tanda alam. Tanda-tanda itu, bisa berasal dari dirinya sendiri,

www.hendratmoko.com 78
dapat pula berasal dari lingkungannya. Salah satu kebiasaan patorani atau pinggawa biseang

adalah memeriksa kondisi jiwanya dengan menghayati dan merasakan perjalanan napasnya.

Apabila pada saat akan berangkat, dalam keadaan tafakkur arus keluar napasnya lebih kuat

pada lobang hidung sebelah kanan, mereka yakin pelayaran bisa dimulai. Keprcayaan

melalui tanda-tanda dari dirinya itu, hingga kini masih menjadi patokan untuk mereka mulai

berlayar.

Selain tanda-tanda dari fisik, maka nelayan patorani pula meyakini tanda lain yang

berasal dari lingkungannya antara lain berupa kicauan burung, ucapan orang yang tidak

disengaja. Andaikata, pinggawa biseang sudah bersiap berangkat. tetapi tiba-tiba

mendengar ucapan kata tena (tidak ada), biasanya pemberangkatan itu ditunda. Mereka

yakin tidak akan mendapat hasil. Sebaliknya, patorani juga memegang teguh untuk tidak

melanggar larangan. Selama pelayaran sangat dilarang menyatakan rasa kecil, atau

mengeluh dan semacamnya, misalnya mengatakan: pakrisiki dongkokku (sakit punggungku).

Mereka juga pantang bersikap takbur.

Meskipun patorani, khususnya pinggawa biseang telah menguasai pengetahuan

bathin, tidaklah berarti mereka mengabaikan pengetahuan lahir. Mereka tidak akan

mencapai tingkatan sebagai pinggawa matoa apabila mereka tidak dilengkapi pengetahuan

lahir yang tinggi. Karena itu, untuk mencanai status pinggawa matoa, biasanya seorang

patorani harus memulai dari status sawi. Mereka harus belajar bertahun-tahun, ikut berlayar

dengan pinggawa, sebelum mereka dipercayai memimpin sebuah armada patoraini.

Penguasaan terhadap pengetahuan lahir, sesungguhnya merupakan prasyarat bagi

pemberian pengetahuan bathin. Seorang patorani hanya dapat diberi erang

passimombalang erang pakboyaboyang, apabila secara nyata telah menguasai pengetahuan

palayaran dan penangkapan atau telah melampaui status sawi juru batu. Penjenjangan

www.hendratmoko.com 79
berdasarkan pengalaman yang dimiliki oleh seseorang untuk menjadi juragan, pada masa

lalu sangatlah ketat. Hal itu, terjadi karena semakin seseorang berpengalaman maka tidak

diragukan lagi tanggungjawabnya baik tanggungjawab tentang pelayaran maupun untuk

memperoleh hasil juga menjadi proritas.

Berdasarkan pengalaman berlayar, mereka bisa membedakan angin, hujan atau

ombak yang akan membahayakan atau tidak. Mereka dapat menelusuri jalur pelayaran

tanpa alat bantu penunjuk arah (kompas), tetapi hanya menggunakan tanda-tanda alam.

Mereka juga dapat mengenali lokasi sekitar penangkapan yang potensil tanpa mengetahui

lebih awal pemetaan wilayah secara strategis maupun secara konseptual. Kepekaan indera

Perasaan, mereka dapat memastikan adanya bahaya yang mendekati perahunya dengan

kejauhan radius beberapa ratus meter. Pandangan masyarakat patorani, ikan terbang juga

disebut, juku karewatang. Konsep ini ditafsirkan bahwa ikan tersebut memiliki keajaiban.

Jumlah ikan ini dianggap luar biasa banyaknya, dan dapat terbang beberapa puluh meter

jauhnya. Dalam jumlah yang banyak itu terkadang- ikan ini menghilang dalam waktu hanya

sekejap, dan sebaliknya muncul secara tiba-tiba. Anggapan seperti ini nampaknya

mempengaruhi tata cara penangkapannya, yang berbeda dengan jenis ikan lainnya. Ada

perlakuan khusus dalam menangkap ikan terbang yakni berupa ritus yang diramaikan dan

alat penangkapan pun berbeda bila dibandingkan dengan jenis ikan lainnya. Apalagi setelah

peralihan penangkapan telur ikan torani membutuhkan keterampilan tersendiri.

Palaksanaan ritual dilakukan sejak mulai dari kegiatan perbaikan alat penagkapan

dengan membaca mantra-mantra perbaikan atau modifikasi perahu, dan puncaknya yaitu

pada upacara pemberangkatan. Kegiatan perbaikan perahu diawali dengan penebangan

pohon bambu untuk dijadikan sebagai tiang layar atau untuk kebutuhan pakkaja. Hari

penebangan ditentukan melalui waktu yang dianggap dapat mendatangkan keberuntungan

www.hendratmoko.com 80
atau hari-hari baik allo baji. Sebelum penebangan bambu terlebih dahulu diadakan upacara

makan-makan di sebut ritus assurongmaca (memanggil seseorang untuk berdoa, ritual ini

biasanya dipimpin oleh imam masjid). Acara ini dipersiapkan oleh tuan rumah berupa sajian

kue-kue (umba-umba), sebagai simbol sesajen untuk mendatangkan berkah seperti filosifi

gula dan kelapa yakni manis dan mengandung minyak.

Untuk pengadaan bahan baku sebagai alat bantu dalam proses perbaikan perahu,

sepeti bambu maka terlebih dahulu di pilih yang terbaik, bentuknya yang lurus, dan apabila

ditarik setelah ditebang, tidak akan tersangkut dan merobohkan pohon lainnya. Umba-umba

yang mengandung gula merah dan kelapa diparut merupakan simbolisasi keutuhan dan

kesejahteraan. Sehingga setiap ada ritual yang diadakan, maka sajian kue umba-umba

menjadi kue khas yang paling utama diadakan oleh masyarakat Takalar dan lebih khusus lagi

nelayan patorani. Sedang bambu lurus simbolisasi dari usaha yang berjaan lancar dan jujur.

Apabila perahu sudah selesai direnovasi, maka tahap berikutnya adalah kegiatan

pemberangkatan. Menurut pandangan informan bahwa bagi nelayan patorani, perahu

itu ibarat manusia juga. Perahu memiliki ujung depan dengan ujung belakang. Makna

dari hal itu, terdapat pula pangkal bagian depan dan pangkal bagian belakang, masing-

masing ditafsirkan sebagai simbol laki-laki dan perempuan. Dalam tradisi Bugis makassar

bahwa laki-laki berangkat berjuang di tengah laut dan perempuan tinggal di daratan

menjaga rumah tangga, dan perbedaan status inilah terimplementasikan dalam

kehidupan nelayan patorani.

Realitas anggapan itu, berlaku sejak nelayan patorani masa lalu sejak masih

menangkap induk ikan torani hingga masa kini dengan peralihan penangkapan telur ikan

torani. Upacara di lakukan untuk meminta keselamatan pelayaran terutama juga agar

kondisi perahu sebagai alat utama yang digunakan ke lokasi penangkapan tetap kondisi baik.

www.hendratmoko.com 81
Kondisi agar mendukung semuanya, maka harus dipersiapkan dengan baik dan sempurna

atau niparurui melalui ritus yang disebut appassili atau apparappo. Ritus ini merupakan kli-

maks dari rangkaian persiapan, dan melibatkan seluruh awak (pinggawa dan sawi). Upacara

biasanya mempersiapkan berbagai jenis kue untuk dimakan bersama setelah upacara

selesai. Dan setelah sampai di lokasi penangkapan, maka bait-bait yang disediakan sebagai

rangkaian penangkapan juga selalu di ucapkan agar memperoleh hasil tangkapan yang

diharapkan.

4.1.5.2 Pergeseran Nilai-Nilai Religius Tradisional Ke Arah Rasionalisasi Tindakan

Proses rasionalisasi tindakan pada komunitas nelayan patorani sebagaimana pada

kasus sebelumnya, bahwa kebutuhan akan erang passimombalang dan erang

pakboyaboyang merupakan suatu kebutuhan dimiliki oleh setiap pinggawa. Hal itu, telah

berlangsung pada ruang normatif yang bersumber dari mitos, sistem kepercayaan dan

konstruksi sosial yang terbangun berdasarkan kebiasaan-kebiasaan yang diabadikan dalam

nilai-nilai lokal pelayaran. Fenomena pergeseran ruang normatif yang berlangsung pada

komunitas nelayan patorani. Fenomena pergeseran itu, dibatasi pada tiga ruang normatif

yakni: pertama,ruang normatif yang bersumber dari mitos; kedua ruang normatif yang

bersumber dari konstruksi sosial. Hal di atas, menurut tiryakian (1992) bahwa pergeseran

ruang normatif akan nilai-nilai dalam transformasi penerapan teknologi penangkapan bagi

komunitas merupakan bahagian yang patut di amati secara umum bagi masyarakat yang

bertransformasi.

Dihubungkan dengan pendapat Germani (1981) bahwa peluang tindakan rasional

terpresentasikan lebih besar dibanding peluang tindakan kehidupan tradisional. Bila

rasionalisasi diartika sebagai proses pengosongan dunia dari pengaruh magik dan mistik saja

sebagimana du definisikan Weber (1958), terlihat bahwa pengaruh tersebut masih

www.hendratmoko.com 82
ditemukan pada berbagai aspek industri penangkapan ikan, tetapi dalam intensitas yang

kecil. Secara umum, unsur magik dan mistik tersebut bersinkretisasi dengan unsur Islam.

Prosesi upacara dengan membacakan mantera-mantera dengan memakai bahasa Makassar

sebelum nelayan Patorani menuju ke penangkapan. Mantera itu di padukan dengan ajaran

Agama Islam, mulai dari prosesi berdoa hingga membaca lafadz ayat-ayat alquran di atas

perahu. Doa-doa yang dipanjatkan tidak lain adalah meminta keselamatan dan rezeki yang

banyak dengan dipertemukan ikan-iakan torani yang mau memijah kemudian bertelur di

pakkaja yang di pasang kelak ketika sampai ditempat penangkapan.

Selain prosesi itu, komunitas nelayan patorani juga membawa sesajen ke atas

perahu berupa nasi dari beras ketam warna hitam dan putih kemudian ayam. Sesajen itu

dibacakan mantra oleh ustadz di dampingi oleh para pinggawa. Pada komunitas nelayan

masih sering di temukan hingga sekarang sebagaiman temuan Munadah (1991) dan Arifin

(1991) bahwa fenomena tersebut sudah menjadi tradisi bagi nelayan patorani di Galesong

Selatan dan galeson Utara kabupaten Takalar, dengan tujuan agar perahu yang ditumpangi

selamat dan kembali membawa hasil yang banyak.

Realitas di atas, sebagai tindakan tradisional yang sudah menjadi rutunitas

dipercayai bahwa sesajian dan bacaan doa akan menjunjung kekuatan spritual untuk

berkomunikasi dengan penghuni lautan dan keselamatan awak perahu. Keberhasilan yang

diperoleh tidak terlepas dengan kerjasama patorani dan tidak terlepas pula dengan restu

penghuni laut. Sehingga merasa memiliki kewajiban untuk menjaga dan memberi makan

melalui sesajen. Ritual itu, dilaksanakan agar diberikan keselamatan pada saat melakuakan

penangkapan.

Namun sebaliknya, bila upacara di tinggalkan, maka akan ada konsekuensi yang berada

di luar kemampuan manusia yang mengancam pada kekuatan dan keselamatan nelayan

patorani. Resiko inilah yang menjadi faktor pendorong sehingga upacara berbau magik

dan mistik tetap dilakukan, meskipun kebenaran tentang hubungan antara upacara

www.hendratmoko.com 83
dengan kekuatan dan keselamatan perahu sulit di buktikan secara rasional. Ritual

berbau magik dan mistik bagi komunitas nelayan patorani teap masih dipertahankan dan

merupakan bagian yang tak terpisahkan oleh komunitas nelayan patorani. Sejak awal

keberadaannya sebagai nelayan berinteraksi dengan penjaga laut. Ritual magik dan

mistik masih tetap mendapatkan legitimasi dari lingkungan sekitar sebagai nelayan. Di

satu sisi ada pula nelayan yang tidak melakukan ritual yang sifatnya mistik, akan tetapi

hanya melakukan upacara dengan berdo’a bersama dengan pinggawa dan sawi di atas

perahu.

Ritual sederhana itu, dilakukan untuk memohon keselamatan dan mendapatkan rezeki

yang banyak. Kelompok ini mempercayai bahwa segala sesuatu rezeki maupun

keselamatan ada di tangan sang maha pencipta (allah SWT). Sehingga nelayan patorani

hingga sekarang memiliki dua legitimasi basis, antara legitimasi teknologi-modern dan

legitimasi rirual-magik. Adanya kelompok itu, bagi komunitas nelayan patorani tidak

saling mempermasalahkan, yang pada intinya bermuara pada penghasilanlah yang

menjadi titik temunya. Sebagaian masyarakat Galesong Selatan dan Galesong Utara

masih memegang teguh tradisi, bahwa seorang keturunan yang berdarah biru

(bangsawan) masih dianggap tabu apabila menjadi pinggawa perahu untuk ikut berlayar.

Sehingga pada komunitas nelayan patorani, tidak ditemukan adanya bangsawan yang

menjadi pekerja (sawi).

Kebanyakan bangsawan menjadi papalele (pinggawa darat). Tindakan ini dilatari

pertimbangan bahwa secara askriktif bangsawan tidak patut untuk menjadi pesuruh atau

anak buah terhadap keturunan yang bukan bangsawan (orang biasa) tau biasa yang

silsilahnya bukan masuk dalam kateogori karaeng (sebutan bangsawan bagi suku Makassar).

Tindakan ini mempresentasikan adanya rasionalitas nilai, yang menurut Weber (1978)

bahwa rasionalitas nilai bukanlah tipe ideal masyarakat industri, tipe rasional masyarakat

industri adalah rasionalitas instrumental. Hal ini terkait dengan kaum bangsawan di Takalar

www.hendratmoko.com 84
terutama di Galesong bahwa kaum bangsawan adalah kelompok yang menjadi penghubung

atau penolong untuk kehidupan keseharian masyarakat secara umum, dan secara khusus

komunitas nelayan patorani.

Tindakan tradisional yang berbau magik dan mistik merupakan suatu kegiatan

sekedar meneruskan kebiasaan turun temurun. Tindakan upacara yang sering dilakukan

dalam memulai kativitas penangkapan pada komunitas nelayan patorani, sudah mengalami

reinterpretasi ke arah makna yang lebih instrumental. Tindakan tradisional, yakni praktek

magik dan mistik diperlukan dan dipraktekkan kembali untuk pencapaian tujuan yang

sifatnya rasional. Ini relevan dengan konsep “keterpesonaan kembali” dari Tryakian (1992)

bahwa keterpesonaan kembali pada magik dan mistik.

Tindakan tradisional pula yang muncul pada komunitas nelayan patorani adalah

berkaitan kepemilikan permodalan. Hubungan (sambungan) antara papalele dengan

pinggawa terbentuk melalui suatu kesepakatan secara tidak tertulis. Sebelum berangkat

melaut, papalele menuntut untuk dikembalikan modalnya dan pinggawa harus

mendapatkan hasil yang lebih banyak. Artinya sebelum berangkat, papalele sudah

memberikan beban kontrak yang berat terhadap pinggawa, padahal belum dilakukan

pemberangkatan kewilayah penangkapan. Pesan itu, di sebut kasipalli (mengandung hal

buruk) padahal menurut pinggawa nelayan patorani sebelum berangkat apparuru maka

kalimat-kalimat yang sifatnya tidak membebani yang di butuhkan dari papalele.

Proses rasionalisasi dalam pengertian menghilangkan nuansa magik dan mistik,

terutama terlihat ditinggalkannya penggunaan kekuatan magik dan mistik dalam melakukan

penangkapan dan di gantikan dengan doa dan ibadah yang sesuai dengan ajaran agam Islam.

Memang kekuatan magik masih ada sebagian yang mempertahankan magik apabila ada hal-

hal yang mengganngu dalam perjalanan dan membutuhkan interaksi dengan yang

mengganggu perjalanan tersebut. Pandangan tentang nilai-nilai magik memang dimulai

www.hendratmoko.com 85
dengan kepercayaan bahwa ada suatu tata tertib dalam kehidupan alam ini dan masing-

masing memiliki kehidupan yang tetap. Maka pelanggaran terhadap tata tertib memerlukan

magik untuk meluruskannya pula. Saat ini, meskipun sebagian pinggawa masih memiliki ilmu

yang demikian, tidak pernah lagi dipraktekkan dalam bentuk yang sangat sakral, akan tetapi

pinggawa hanya meyakini bahwa sebagai manusia membutuhkan perlndungan dari sang

Tuhan Maha Pencipta.

Proses rasionalisasi juga terjadi, setelah terjadinya dominasi penerapan teknologi

alat penangkapan, komersialisasi produksi, dan cara kerja. Pengetahuan pelayaran pada

komunitas nelayan patorani pada masa abad ke-17 hingga pertengahan abad ke-20 masih

mengandalkan situasi alam, misalnya kekuatan angin harus dipanggil oleh pinggawa dan

sekarang mengandalkan teknologi mesin untuk menjalankan perahu. Keadaan ini, tentu

mengedepankan efesiensi tenaga yang ditawarkan. Peralatan yang digunakan telah

mengalahkan kebanggaan dengan kekuatan magik dan mistik yang dimiliki pada masa itu.

Perubahan ke arah penggunaan teknologi pada perahu komunitas nelayan patorani,

secara sadar dipilih dengan pertimbangan efesiensi dan efektivitas pekerjaan. Realitas ini,

merupakan suatu gambaran masyarakat yang modern dan masyarakat industri yang identik

dengan penggantian magik dan mistik dengan kalkulasi rasional. Walaupun ciri masyarakat

industri sudah masuk dalam nelayan patorani tidak menutup kemungkinan untuk tetap

mempertahankan tradisi upacara untuk meminta keselamatan selama dalam pelayaran, dan

juga tetap menggunakan mantra-mantara pada saat mau melakukan operasionalisasi

pakkaja. Pelaksanaan ritual tersebut, bukan tujuan untuk meminta pada hal yang gaib,

apalagi mengingkari keberadaan Tuhan Maha Pencipta. Tetapi hanya sekedar ritual turun

temurun bahwa pelayaran akan dimulai secara serentak, maka untuk tetap menghormati

nilai-nilai kebersamaan, maka prosesi melaksanaan upacara sebagai pertanda akan di

mulainya pelayaran.

www.hendratmoko.com 86
4.2. Pola Penangkapan Ke Arah Komersialisasi Produksi dan Penerapan
Teknologi

4.2.1 Masuknya Pola Produksi Kapitalis


Runtuhnya feodalisme, maka produksi-untuk-dijual pelan-pelan mulai
menggantikan peran produksi-untuk-dipakai, sebagai tipe pokok aktivitas ekonomi di
seluruh Eropa Barat. Sistem yang kita sebut kapitalisme ini, muncul pada beberapa hal
pokok dalam masa transisi. Akan tetapi kapan tepatnya kapitalisme lahir, salah seorang
pengkaji sejarah sistem kapitalis yang paling menonjol adalah Karl Marx, sebagaimana
Karl Marx yang dikutip oleh Sanderson (2000: 169) memberikan anggapan bahwa
kapitalisme adalah salah satu sistem ekonomi yang memungkinkan beberapa individu
menguasai sumberdaya produktif vital, yang mereka gunakan untuk meraih keuntungan
maksimal. Marx lebih lanjut lagi bahwa kaum borjuis mempekerjakan sekelompok orang,
yang oleh Marx disebut kaum proletar. Golongan proletar ini memproduksi barang-
barang yang oleh kaum kapitalis kemudian dijual di pasar untuk meraih keuntungan. Jadi
kapitalisme mencakup sesuatu lebih dari sekedar pencarian keuntungan.
Dari pendapat di atas, maka pada komunitas nelayan patorani terbagi atas
adanya kelompok penguasaan modal dan sumberdaya yakni papalele. Kedudukan
papalele pada komunitas nelayan patorani dapat dikategorisasikan sebagai kelompok
kaum borjuis yang mengatur produksi dan penentuan harga kepada pinggawa.
Sedangkan pinggawa dan sawi merupakan satu elemen yang tidak dapat dipisahkan
sebagai pekerja yang menghasilkan produksi telur ikan torani. Kaum pinggawa dan
papalele ini hanya memiliki kemampuan tenaga untuk menghasilkan telur ikan. Hasil dari
produksi pinggawa patorani semuanya di serahkan pada papalele sebagai pemilik modal.
Dan aturan kepatoranian itu sampai sekarang menjadi tradisi yang sebenarnya tidak ada
ketentuan secara tertulis, akan tetapi sudah menjadi kesepakatan dan mentradisi.
Papalele memegang kendali dari segi pemasaran sehingga keuntungan yang lebih besar
secara otomatis kembali pada papalele.
Setiap komunitas mempuunyai sistem ekonomi yang terjalin sangat dekat
dengan pola teknologi subsistensinya. Namun, ada perbedaan krusial antara ekonomi
dan teknologi. Teknologi meliputi alat, teknik dan pengetahuan yang dimiliki para
anggota dalam komunitas itu, dan digunakan dalam proses pemenuhan kebutuhan
hidup. Dalam masyarakat pra kapitalis juga, produksi ekonomi ditentukan oleh keinginan
dan pilihan para pemilik kekuatan-kekuatan produksi.
Dalam konteks itu, Sanderson (2000: 111) membedakan empat pola kepemilikan
dalam masyarakat pra-kapitalis yakni komunisme primitif; kepemilikan oleh keluarga
besar; kepemilikan oleh pemimpin; dan pemilikan segneurial (kepemilikan pribadi
kemudian digunakan oleh sekelompok orang). Aktivitas ekonomi tidak akan mungkin
ada tanpa teknologi, tetapi ekonomi adalah sesuatu yang lebih dari sekedar tingkat
teknologi. Ekonomi berisi hubungan-hubungan sosial yang mengorganisasikan produksi,
distribusi dan pertukaran barang dan jasa dalam satu masyarakat. Produksi adalah
proses yang diorganisasi secara sosial di mana barang dan jasa diciptakan. Distribusi
adalah proses alokasi barang dan jasa yang diproduksi oleh masyarakat artinya siapa

www.hendratmoko.com 87
yang mendapat apa, bagaimana, dan kenapa. Pertanyaan tentang siap yang memiliki
kekuatan-kekuatan produksi dan bagaimana mereka memutuskan penggunaan
kekuatan-kekuatan ini adalah pertanyaan menyangkut produksi.
Komersialisasi produksi salah satu sumber yang memacu berkembangnya
komunitas nelayan patorani. Hal itu, terkait karena perkembangan investasi dan seiring
dengan daya dukungnya penerapan teknologi dan manajemen pada komunitas nelayan
patorani di Galesong utara dan Galesong selatan Kabupaten Takalar. Nelayan patorani
lahir pada abad ke-17, mengalami perkembangan secara terus menerus hingga beralih
pada penerapan teknologi penangkapan sesuai dengan tuntutan produksi dan mengarah
pada kehidupan sosial ekonomi.
Sekitar tahun 1940-an nelayan patorani sudah mengalami perkembangan
penangkapan induk ikan torani. Walaupun pada era tahun ini, belum menguasai pasaran
secara surut. Demikian pula penguasaan pola distribusi masih sangat terbatas hanya
pada pemasaran lokal, walaupun pemasaran hingga dirambah sampai ke pulau Jawa
yakni Jawa Timur, namun belum menjadi prioritas tuntutan komersialisasi produksi
tetapi masih kecenderungan pada subsistensi.
Perkembangan selanjutnya, era tahun 1960-an hingg 1970-an nelayan patorani
mengalami pergeseran dari segi penangkapan induk ikan torani beralih ke penangkapan
telur ikan torani. Perkembangan itu terjadi terkait dengan masuknya investasi dan
kapitalisme. Pola penangkapan yang berubah tersebut, semakin membuka peluang
masuknya eksportir dan mendorong pelembagaan investasi dan penerapan teknologi ke
arah pengelolaan hasil produksi berorientasi ekspor. Setelah masuknya investasi maka
unsur kapitalisme pula mulai lahir pada komunitas nelayan patorani.
Sebagaimana Marx di atas mengatakan bahwa penguasaan asset dimilki oleh
kapitalis dan mempermainkan atas kepentingan untuk mengejar keuntungan. Realitas
itu, maka dapat diasumsikan bahwa masuknya unsur pasar mendominasi hasil produksi
nelayan patorani maka papalele memiliki peluang yang sangat besar untuk mengejar
keuntungan. Permaianan pengejaran keuntungan itu, dilakukan melalui pembagian hasil
yang sebenarnya tidak berimbang. Padahal dari segi tenaga, maka pinggawalah yang
banyak memegang peranan penting suksesnya hasil produksi. Terkait fenomena ini,
maka dapat diasumsikan bahwa pinggawa nelayan patorani hanya mencari produksi
demi kepentingan dan keuntungan bagi papalelenya.
Sejak orientasi kapitalisme menjadi hal yang mutlak dilakukan oleh kalangan
papalele, yakni sekitar awal tahun 1970-an, maka disinilah pula berawal adanya
penguasaan mengenai penentuan pasar yang sepenuhnya berada ditangan papalele.
Adanya kekuatan papalele ini, selain pemilik sumberdaya penangkapan, papalele pula
memiliki hubungan secara langsung dengan eksportir. Sedangkan pinggawa hanya
mempunyai akses secara langsung dengan papalele, dalam artian bahwa setelah kembali
melakukan penangkapan telur ikan torani, maka hasil yang diperoleh semuanya di
masukkan ke dalam lingkungan papalele. Sedangkan sawi juga merupakan bagian
integral proses penangkapan, hampir tidak punya akses terhadap papalele apalagi
sampai ke eksportir. Setelah banyaknya hasil sudah dihitung, maka penentuan harga pun
sepenuhnya berada di tangan papalele.

www.hendratmoko.com 88
4.2.1.1 Komersialisasi Produksi Dan Perkembangan Investasi
Awal keberadaan nelayan patorani memiliki karakteristik sebagai nelayan
tradisional, alat tangkap yang digunakan pun secara kuantitas sangat terbatas
jumlahnya. Periode tahun 1940-an sampai akhir tahun 1970-an, merupakan era bagi
komunitas nelayan patorani mengandalkan peralatan yang sangat sederhana dan
perahu layar serta dominan menggunakan tenaga manusia. Era ini pula, nelayan
patorani melakukan penangkapan masih berorientasi pada induk ikan torani. Model
pemasaran pun masih cenderung terbatas pada wilayah tertentu dan jangkauannya
terbatas pada pasar domestik. Kondisi demikian di akibatkan permintaan hasil
tangkapan induk ikan torani bukanlah komoditas yang diincar kalangan pengusaha
secara merata baik ditingkat lokal maupun pasar regional antar pulau.
Realitas di atas, menunjukkan bahwa investasi dalam industri penangkapan induk
ikan torani masih sangat terbatas sehingga pemasaran maupun pembeli yang berminat
pun untuk berinvestasi terbatas. Teknologi alat tangkap masih sederhana, perahu
tangkap belum bermesin, dan area tangkap terbatas pada lokasi operasional tertentu.
Nelayan hanya menangkap pada lokasi yang sudah biasa di kunjungi untuk menangkap
induk ikan torani. Akibat keterbatasan itu, produksi pun sangat terbatas dan
menyulitkan pemilik modal untuk berinvestasi.
Hal itu terjadi, karena nelayan patorani belum memiliki akses terhadap kapitalis-

kapitalis yang berasal dari negara-negara lain. Masuknya tuntutan pasar yang dimotori oleh

negara-negara lain sebagai sasran eksportir, maka nelayan patorani pun beralih pola

penangkapannya ke penangkapan telur ikan torani. Pergeseran penangkapan itu, secara

otomatis membutuhkan sumberdaya permodalan sebagai penguatan usaha agar semakin di

tingkatkan, kemudian pula dibutuhkan daya dukung teknologi sebagai bagian dari

peningkatan produksi telur ikan torani.

Perkembangan investasi dan komersialisasi produksi salah satu unsur pendorong


yang paling dominan dalam peningkatan pendapatan komunitas nelayan patorani. Selain
itu kehadiran penguasa pasar (eksportir) pula merupakan salah satu aspek yang
mengambil bagian terpenting dalam menentukan komersialisasi produksi. Penguasaan
pasar (eksportir) masuk ke nelayan patorani sekitar akhir tahun 1960-an, sebagai bentuk
peralihan pola dari penangkapan jenis induk ikan terbang ke
penangkapan/pengumpulan telur ikan torani. Adanya keadaan tersebut, menuntut
komersialisasi produksi semakin dikedepankan termasuk aktivitas yang berhubungan
dengan perkembangan industri maritim.
Pada awal tahun 1970-an eksportir sudah mulai memasuki Galesong Selatan yang
merupakan basis nelayan patorani. Kondisi pada era ini, komersialisasi produksi sudah

www.hendratmoko.com 89
menjadi pula salah satu tujuan pembangunan ekonomi yang dicanangkan oleh
pemerintah untuk menjangkau pedesaan termasuk ke kawasan pantai dan masyarakat
maritim. Program tersebut membuka ruang baik secara langsung maupun tidak langsung
menumbuhkembangkan investasi, teknologi dan manajemen, khususnya pada
komunitas nelayan patorani di Galesong Selatan dan Galesong Utara Kabupaten Takalar
Sulawesi Selatan.
Daya dukung pemerintah dapat terimplementasikan melalui investasi pemerintah
dibidang perikanan hingga pada tingkat nelayan patorani. Keinginan pemerintah
tersebut, memberikan insentif pada pendapatan nelayan yang masih sangat terbatas
pada kebutuhan subsistensi ke arah komersialisasi produksi. Keberadaan nelayan
patorani sejak lama sudah menjadi wadah untuk sumber penghidupan sebagian besar
masyarakat Galesong saat itu. Namun, jenis perahu dan alat tangkap (pakkaja) masih
sederhana, dan unit usahanya bersifat individual dan belum melibatkan pasar secara
internasional, tapi lebih cendrung sasaran pemasaran lokal saja.
Keadaan nelayan patorani dari tahun 1940-an hingga akhir tahun 1960-an
merupakan periode dimana belum mengedepankan produksi yang mengejar
keuntungan lebih besar dan hanya sekedar subsitensi dan surplus pun tidak tercipta.
Dari keadaan itu, investasi perahu dan peralatan tangkap (pakkaja) pun dipergunakan
apa yang dimiliki, dengan hanya mengandalkan kondisi alam. Periode ini jika
dihubungkan pentahapan perkembangan masyarakat dari Rostow (1964), disebut
sebagai tahap tradisional. Tahap ini melanda komunitas nelayan patorani, karena perahu
yang digunakan sudah dianggap mampu memenuhi kebutuhan nelayan dengan
menangkap induk ikan torani. Kemudian komersialisasi produksi pun, bukan menjadi
prioritas untuk dikejar.
Perkembangan terjadi ketika komunitas nelayan patorani telah berhubungan
dengan investor untuk membantu permodaalan. Investasi tersebut, untuk pengadaan
pengoperasian teknologi penangkapan. Investasi lokal (papalele) mulai melakukan pada
akhir tahun 1960-an. Walaupun investasi lokal, namun sangat membantu jalannya
penangkapan bagi komunitas nelayan patorani. Sedangkan pinggawa dan sawi hanya
sekedar pekerja dan tidak memiliki modal sepersenpun. Papalele banyak melakukan
pemberian modal pada nelayan patorani dikhususkan pada orang-orang yang memiliki
perahu atau juragan perahu. Posisi papalele membentuk ketergantungan permodalan
pada pemilik perahu atau juragan, karena pengembalianya pun yang bertanggungjawab
adalah pinggawa dan pemilik perahu. Karena itu pula, papalele tidak pernah secara
langsung ikut dalam penangkapan. Namun hasil yang diperoleh pinggawa binaannya
melalui modal secara langsung (pasisambungan), hasil dan harga jualnya pun langsung
ditentukan oleh papalele melalui standar pembelian eksportir.
Kondisi pertumbuhan modal dan masuknya investasi inilah yang pada akhirnya
membentuk stratifikasi komunitas nelayan patorani yang terimplementasikan dalam
stratifikasi papalele dengan penangap (paboya) yang teridi dari pinggawa dan sawi yang
telah mengalami perubahan orientasi penangkapan dengan permintaan pasar. Namun
kelompok paboya tidak mampu mengelola dan juga tidak memiliki akses pasar, sehingga
ketergantunagan pada papalele tercipta kembali. Selain ketergantungan akan pasar,

www.hendratmoko.com 90
pinggawa nelayan patorani pun sangat tergantung pada pengadaan modal operasional.
Kondisi ini melahirkan kepentingan ekonomi maupun kepentingan dalam terciptanya
relasi sosial di dalam komunitasnya, yang secara spesifik dalam komunitas nelayan
patorani antara papalele dan pinggawa bercirikan hubungan patron klien. Hubungan ini
terjadi, selama berlangsungnya transaksi antara papalele dan eksportir yang bukan
hanya berintikan pada relasi ekonomi semata, tetapi didalamnya berlangsung pula
relasi-relasi sosial yang di dalam relasi sosial tersebut dipengaruhi oleh adanya nilai-nilai
atau norma-norma sosial yang membentuk formasi sosial di dalam komunitas nelayan
patorani.
Secara aplikatif konteks di atas, pada periode selanjutnya awal tahun 1970-an
nelayan patorani mengalami pergeseran yang mengarah pada relasi ekonomi dan
pergeseran orientasi penangkapan seiring dengan permintaan pasar. Masuknya
eksportir sebagai pemilik pasar pada awal tahun 1970-an, hanya membutuhkan telur
ikan sebagai bahan ekspor, tetapi induk ikan torani tidak menjadi lagi salah satu
komoditi andalan nelayan patorani yang berada di Galesong Selatan dan Galesong Utara.
Pergeseran pola penangkapan tersebut, membutuhkan suatu perubahan paradigma
penangkapan, dan era tersebut nelayan patorani mengikuti permintaan pasar.
Pergeseran tersebut, tentu membutuhkan adaptasi bagi komunitas nelayan patorani
untuk mengubah mulai dari kapasitas teknologi peralatan perahu, seprti mesin dan alat
penangkapan (pakkaja) yang dulunya menangkap khusus ikan torani kini beralih pada
penangkapan khusus induk ikan torani. Peralihan itu, dilakukan hanya sekedar untuk
mengikuti perkembangan pasar. Kalau mereka tidak mengikuti perkembangan pasar,
dan hanya bertahan pada kebiasaan semula menangkap induk ikan torani, maka
pemasarannya pun tidak akan terpenuhi. Situasi dalam era ini, pasar merupakan salah
satu komponen yang berkuasa dan memaksa nelayan patorani untuk mengubah jenis
tangkapannya. Selain tuntutan pasar, nelayan patorani pun dituntut oleh papalele untuk
meningkatkan produksinya, karena papalele sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan
yang mengarah pada peningkatan produksi. Hasil tangkapan merupakan suatu prioritas
bagi papalele hanya untuk mengejar keuntungan.
Kasus 5
Awal Mula Penerapan Teknologi Alat Penangkapan Berorientasi Komersialisasi
Produksi

H Daeng Tawang (62 tahun) seorang pinggawa yang menekuni sebagai nelayan sejak
usia 23 tahun. Perjalanan hidupnya sebagai nelayan berawal dari menangkap induk
ikan hingga bergeser pada penangkapan telur kan torani. Sejak masuknya investasi
dengan beriringan komersialisasi produksi, maka sistem penangkapan pun juga ikut
berubah. Mulai dari jumlah awak perahu hingga pada penggunaan teknologi,
wilayah penangkapan pun semakin bertambah luas operasionalnya. Sebelum
masuknya eksportir hal itu, belum menjadi prioritas, karena nelayan patorani hanya
menangkap induk ikan untuk dipasarkan secara lokal dalam bentuk ikan kering.
Walaupun ada juga nelayan patorani yang menjangkau pemasarannya hingga ke
pulau jawa, namun kapasitas jumlahnya tidak begitu banyak. Sehingga nelayan

www.hendratmoko.com 91
patorani pada era tahun 1940-an hanya mengandalkan pemasaran hasil
tangkapannya yang sudah dalam bentuk ikan terbang kering dipasarkan secara
lokal.

Realitas di atas, berlangsung cukup lama, namun pada era akhir tahun 1960-an atau
sampai awal tahun 1970-an, investasi nelayan beralih pada penangkapan telur ikan
torani. Usaha memungkinkan nelayan patorani akan meningkat karena telur ikan
torani dilirik oleh eksporti. Sejak awal tahun 1970-an telur ikan terbang sudah
menjadi komoditi yang dibeli oleh eksportir berasal dari negara Jepang. Investasi
dan eksportir inilah mendorong munculnya sistem di dalam kepatoranian secara
struktural dan mengikat diantara komunitas nelayan itu sendiri, sebagai salah satu
unit yang terbentuk sejak masuknya investasi. Walaupun struktur yang sangat
sederhana sebelum investasi masuk sudah ada, namun belum begitu menjadi hal
yang mengikat secara kontraktual.

Kasus di atas menggambarkan bahwa penerapan teknologi dilakukan untuk


kepentingan komersialisasi produksi, yang di tandai bahwa pertama Periode akhir tahun
1970-an merupakan tahap komunitas nelayan patorani mulai melakukan investasi
melalui penanaman modal yang dimotori oleh papalele kepada pemilik perahu atau
juragan perahu pinggawa; Kedua diberlakukannya penerapan teknologi, secara otomatis
produktivitas meningkat, surplus tercipta dan kelas pengumpul dan sambungan
eksportir pun juga mulai bermunculan; Ketiga Keberadaan papalele secara otomatis pula
memberikan kemudahan untuk memperoleh akses permodalan untuk biaya operasional
selama melaut.
Teciptanya hubungan timbal balik antara papalele dengan eksportir (pemilik pasar),
tentu memiliki keuntungan tersendiri bagi papalele untuk mendapatkan akses
permodalan dan sebaliknya pula pinggawa yang selama ini lebih banyak tergantung pada
papalele. Menurut informan beberapa pinggawa mengatakan bahwa “keberadaan
eksportir sangat memudahkan bagi kita sebagi pinggawa untuk mendapatkan modal”.
Andalan bagi papalele untuk mendapatkan modal selain dari eksportir adalah melalui
perbankan dengan agunan sertifikat tanah dan atau sertifikat perahu. Kondisi demikian
tidak semuanya papalele nelayan patorani memiliki kemampuan untuk menembus
perbankan dengan adanya agunan yang dipesyaratkan. Demikian pula dengan pinggawa,
maka jalan satu-satunya para pinggawa bergantung sepenuhnya pada papalele.
Adanya ketergantungan tersebut, maka peningkatan produksi yang mengarah pada
mengejar target permintaan eksportir sering di tekanan papalele pada pinggawa.
Tekanan yang dilakukan berupa pencapaian target pinggawa. Diberlakukannya target
tersebut, maka semakin menambah beratnya beban yang ditanggung oleh pinggawa
patorani. Namun disisi lain, dengan adanya tekanan tersebut menambah semangat
pinggawa patorani untuk melakukan penangkapan dan mengejar target yang ditentukan
sesuai dengan modal yang dikeluarkan berikut keuntungannya. Peningkatan penghasilan
tidak terlepas pula diterapkannya teknologi penangkapan, dan mendorong semakin
banyaknya merekrut sawi untuk bekerja. Demikian pula papalele pun juga bertambah
jumlahnya untuk melakukan investasi pada nelayan patorani melalui hubungan kontrak

www.hendratmoko.com 92
kerja dengan pinggawa. Keadaan itu, semakin menambah pula penghasilan keluarga
nelayan patorani, yang pada akhirnya mengarah pada peningkatan kehidupan sosial
ekonomi.
Periode tahun 1970-an hingga tahun 2000-an, eksportir semakin banyak masuk ke
daerah Galesong Selatan dan Galesong Utara untuk melakukan kontrak dengan para
papalele, untuk pemenuhan kuota permintaan telur ikan torani, diantaranya Jepang,
Korea dan China. Menurut informan eksportir Muh. Gassing (51) bahwa pada musim
pengeksporan telur ikan torani pada tahun 2007 (sekarang ini) akan bertambah lagi satu
negara yaitu Lithuania. Sejak telur ikan torani menjadi komoditi ekspor, maka peletak
dasar eksportir yang pertama masuk yaitu negara Jepang pada awal tahun 1970-an
hingga kini masih tetap menjadi negara sasaran ekspor bagi pelaku eksportir telur ikan
torani yang berasal dari Galesong Utara dan Galesong Selatan.
Setelah eksportir masuk ke komunitas nelayan patorani, merupakan langkah awal
untuk meningkatkan produktivitas. Kemudian diikuti terciptanya surplus dan kelas
pemodal pun mulai bermunculan, baik pemodal lokal maupun pemodal dari luar
Galesong masuk membentuk hubungan tersendiri. Fenomena perkembangan yang
terjadi pada komunitas nelayan patorani tersebut, bila dihubungkan dengan tahap
perkembangan masyarakat Menurut Rostow (1960) bahwa periode ini dianalogikan
sebagai tahap pra tinggal landas, yang berimplikasi pada loncatan dalam perkembangan
tahap yang dipengaruhi oleh masuknya investasi dan perubahan penerapan teknologi
alat penangkapan. Terkait hal itu, sebagaimana dikatakan Poinsoen (1969) bahwa
investasi teknologi sangat menentukan transformasi industri. Dalam konteks nelayan
patorani, telah mengalami perkembangan sejak masuknya investasi sebagai unsur yang
menuntut peningkatan produksi. Adanya tuntutan produksi yang berorientasi pada
ekspor, maka unsur selanjutnya yang ikut berubah pula adalah penerapan teknologi alat
penangkapan.
Realitas di atas, dapat disimpulkan bahwa pada periode akhir tahun 1960-an hingga
awal tahun 1970-an merupakan tahap proses masuknya investor melalui eksportir.
Masuknya eksportir tersebut, secara terbuka memaksa nelayan patorani untuk
mengubah jenis tangkapannya dari induk ikan torani beralih ke penangkapan telur ikan
torani semakin menguat kepermukaan. Selain itu pula, permintaan modal operasional
semakin meningkat, dan kebutuhan keluarga juga semakin menjadi tuntutan. Sehingga
investor jadi obyek bagi nelayan patorani untuk bergantung memperleh permodalan
operasional. Ketergantungan permodalan dilakukan baik investor lokal maupun investor
dari luar Galesong. Tuntutan pada periode ini mengarah pada peningkatan hasil,
sehingga pengembangan teknologi penangkapan pula maju beriringan. Bila di analogikan
dengan teori perkembangan masyarakat dari Rostow (1964), tahap ini disebut sebagai
tahap tinggal landas.
Uraian di atas, dapat dirangkum dalam tiga hal. Pertama, bahwa komunitas nelayan
patorani pernah mengalami era penangkapan dengan subsistensi. Keadaan ini terjadi
pada era tahun 1940-an dengan hanya mengandalkan penangkapan induk ikan torani
sebagai komoditi yang di pasarkan secara lokal dalam bentuk ikan kering. Pada era ini,
investasi eksportir belum menjadi prioritas Kedua Masuknya investasi dan eksportir

www.hendratmoko.com 93
pada komunitas nelayan patorani berlangsung secara bertahap yakni pada era akhir
tahun 1960-an hingga awal tahun 1970-an dengan eksportir dari Jepang sebagai negara
eksportir yang pertama masuk dikomuntas nelayan patorani sejak terjadinya pergeseran
penangkapan dari induk ikan ke telur ikan. Namun dalam era tahun 1990-an hingga
tahun 2000-an, negara eksportir bertambah lagi yakni negara Korea. Ketiga Kontribusi
dari investasi para eksportir mengubah produktivitas dari tradisional ke komersialisasi
produksi sehingga tahap perkembangan yang tradsional hingga ke tinggal landas, sesuai
teori perkembangan dari Rostow (1960), dapat terjadi pada komunitas nelayan patorani.
Hal tersebut ditandai, adanya perubahan orientasi sasaran penangkapan menyebabkan
terjadinya penyesuaian alat tangkap yang dipandang lebih baik dan lebih produktif dari
sebelumnya.

4.2.1.2. Masuknya Kapitalisme ke Arah Peningkatan Penghasilan


Sejarah kelahirannya ekonomi dunia kapitalis berawal dari dunia eropa dari abad ke-15

dan abad ke-16 mengalami ekspansi dan evolusi yang terus menerus. Ekspansi berarti

bahwa kapitalis terus memperluas jangkauan geografisnya dimuka bumi ini sedangkan

evolusi berarti bahwa komponen-komponen ekonomi dunia terus menerus mengubah

strukturnya menjadi satu kesatuan. Perkembangan awal kapitalisme sekitar abad ke-15,

menurut Dobbs (dalam Sanderson, 2000: 171) melalui anlisisnya sangat terkait dengan

ekspansi aktivitas ekonomi dan kekuatan sosial yang dimiliki oleh pedagang urban.

Sepanjang dua abad, kapital pedagang lebih teratur daripada kapital industri. Dengan

demikian, aktivitas ekonomi pada abad-abad tersebut didominasi oleh pedagang-

pedagang kota yang merupakan pelaksana perusahaan niaga, dengan mendapatkan

kekuatan yang terus meningkat di berbagai tempat.

Terkait hal itu, bahwa masuknya kapitalisme pada komunitas nelayan patorani

bermula sejak pertengahan abad ke-20 setelah telur ikan torani dijadikan sebagai komoditi

pasar secara internasional. walaupun sebelumnya nelayan patorani tidak menjadikannya

telur ikan sebagai komoditi komersialisasi, tapi hanya sekedar untuk menutupi kebutuhan

hidup keluarganya (subsistensi). Dan nelayan patorani menjual hasil tangkapannya hanya

untuk sekedar bila ada kelebihan kebutuhan hidupnya, dalam bentuk dikeringkan kemudian

dijual dipasaran untuk dikonsumsi oleh masyarakat lokal.

www.hendratmoko.com 94
Sebagaimana temuan Munadah (1991) bahwa pada abad ke-19 belum ditemukan

bukti-bukti sejarah mengenai usaha penangkapan induk ikan terbang yang hasilnya diperjual

belikan apalagi telur ikan torani. Hal itu, berarti bahwa sebelum abad ke-19 usaha

penangkapan ikan terbang masih bersifat subsistensi. Sedangkan bukti-bukti adanya

komersialisasi dan masuknya kapitalisme baru ditemukan pada sekitar tahun 1938, yakni

dimulainya pengiriman induk ikan terbang ke Jawa Timur tepatnya di daerah Gersik,

Panarukan dan Banyuwangi. Fakta itu, komunitas nelayan patorani hanya sekedar

melakukan pelayaran dan menyinggahi pulau untuk menjual secara langsung hasil

tangkapannya ke pasaran.

Kasus 6

Masuknya Kapitalis Sebagai Pendorong Komersialisasi Produksi

Kehadiran kapitalisme tidak dapat dipungkiri sebagai bagian yang tidak dapat
dilepaskan dengan setiap aktivitas usaha, sehingga kapitalisme penyebarannya
semakin mengglobal hingga ke masyarakat pesisir dan nelayan. Tak terlepas pula
dengan nelayan patorani yang merupakan komunitas yang sangat menjanjikan bagi
kapitalis untuk menanam modalnya. Hal itu, ditanda pada awal abad ke 20-an,
kapitalisme sudah mulai masuk memainkan pasar. Salah satu tuntutannya yaitu
komersialisasi hasil tangkapan nelayan patorani yang mengarah pada fokus
produksi. Komersialisasi bermula dari perdagangan induk ikan terbang yang di
keringkan (menjadi dalam bentuk ikan asin) kemudian di kirim ke pasar lokal
Sulawesi Selatan hingga dikirim ke Pulau Jawa.

Pada sektor peradagangan induk ikan terbang dalam bentuk dikeringkan mengarah pada pemusatan akumulasi kapital.
Pemasarannya banyak dimainkan oleh kapitalis keturunan Tionghoa (cina) yang ada di Makassar maupun yang ada di
Jawa Timur. Era itu, sudah memungkinkan munculnya kapitalis pedagang-pedagang lokal komunitas nelayan patorani itu
sendiri sekaligus menjadi pedagangnya atau pedagang dari luar memasuki nelayan patorani menjadi pelaku ekonomi yang
mendominasi dan mendirikan usaha dagang. Penumpukan keuntungan dilakukan dengan cara menopoli distribusi induk
ikan terbang dalam bentuk sudah dikeringkan. Kondisi ini pula, menghilangkan kekuatan nelayan patorani untuk
memasarkan hasil tangkapannya, karena dominasi pedagang Cina yang berdomisili di Makassar. Untuk melakukan suatu
kekuatan penyeimbang dari monopoli itu, maka sebagian nelayan patorani melakukan kontak dagang dengan pelaku
ekonomi yang berasal dari Jawa Timur.

Kasus di atas menggambarkan bahwa para pedagang membuka peluang berkembangnya

pedagang baik lokal maupun pedagang yang berada di luar Galesong. Masuknya dan

berkembangnya pedagang Cina awalnya masih terfokus pada pemmembelian hasil

www.hendratmoko.com 95
tangkapan berupa induk ikan torani yang dikeringkan. Tuntutan kebutuhan permodalan

sudah menjadi prioritas yang dharapkan oleh komunitas nelayan patorani. Pada masa

ini, pinggawa masih memegang peranan penting dari segi penangkapan dan

permodalan. Persaingan untuk memperoleh hasil, sudah menjadi bagian yang tidak

dapat dipisahkan dengan modal yang banyak sebagai sumberdaya pendukungnya.

Kondisi demikian tergambarkan dalam kasus di atas yakni era awal awal abad 20-an

patorani masih mengandalkan peralatan yang sangat sederhana. Perahu tradisional

masih menjadi alat penangkapan dengan hanya mengandalkan layar (sombala) sebagai

kekuatan untuk menjalankan perahu. Kasus diatas pula menggambarkan, bahwa

kapitalis Cina menguasai segmen permodalan. Ketergantungan tersebut, tidak menjadi

kendala, karena nelayan patorani pun memiliki alternatif untuk menjual hingga ke pulau

Jawa. Untuk mendukung usaha hasil tangkapan, maka nelayan patorani pun berusaha

mencari alternatif lain untuk memperoleh modal.

Adanya tuntutan kebutuhan permodalan itulah maka terbentuk suatu Koperasi Nelayan

Indonesia (KONI) yang berkedudukan di Makassar, sebagai wadah secara organisasional

dapat membantu permodalan bagi komunitas nelayan patorani. Koperasi nelayan ini

didirikan awalnya oleh C daeng Congkeng, salah seorang pelaut Bugis Makassar yang

melakukan kontak dagang dengan pedagang berasal dari Jawa Timur. Koperasi ini

bertujuan untuk memberikan modal usah pada nelayan, dengan simpanan wajib dan

simpanan pokok yang menjamin keuangan dengan anggotanya sebesar 40,5%.

Sebagaimana Amir (1989: 95) bahwa Keberadaan KONI pada tahun pertama berdirinya

sempat menguasi modal usaha kegiatan kenelayanan dari tahap produksi hingga pada

tahap pemasaran.

Namun pada tahun 1948, koperasi ini mengalami masa krisis, karena C Daeng

Congkeng meninggal dunia. Kondisi ini otomatis dana KONI tidak berjalan lagi, dan tidak ada

yang sanggup menjamin keuangan anggota, akhirnya modal KONI habis dan resmi

www.hendratmoko.com 96
dinyatakan bubar pada tahun 1948. Sepeninggalan beliau tidak ada kadernya yang

meneruskan, sehingga masa ini memberi peluang bagi para Kapitalis Cina yang

berkedudukan di Makassar menginvestasikan modalnya. Untuk pertama kalinya peluang ini

dimanfaatkan oleh seorang keturunan Cina yang menetap di Makassar bernama Hai Hong.

Kegiatan awalnya mendirikan usaha dalam bentuk Kongsi Dagang dengan sejumlah nelayan

setempat terutama nelayan patorani di Galesong. Di sini merupakan awal mula masuknya

kapitalis Cina, dan diperkirakan sekitar pertengahan abad ke 20-an. Situasi itu, sistem bagi

hasil antara pemilik modal dengan nelayan pekerja sudah mulai menjadi perioritas.

Peluang bagi kapitalis Cina yang menetap di Makassar, tidak hanya bergerak di

bidang pengadaan modal dalam bentuk tunai tetapi juga dalam bentuk pengadaan kredit

perahu. Pemasaran hasil tangkapan pun dilakukan untuk memperluas jangkauan sektor

usahanya. Sistem pemasaran menjadi kekuasaan kapitalis Cina. Kuota permintaan pasar

semakin meningkat, baik regional (Pulau Jawa) dan domestik (Kotamadya Ujung Pandang

kini menjadi Kota Makassar). Usaha yang terbentuk melalui kongsi dagang itu, sempat

bertahan cukup kuat (dalam arti monopoli) hingga pada akhir tahun 1952. Perkembangan

usaha kaum kapitalis Cina mulai oleh CV. Pantai Mas Panarukan Jawa Timur yang membuka

perwakilan di Makassar. Perusahaan di pimpin oleh seorang direktur bernama Toke Bodo

(nama gelar). Usaha yang sama dilakukan pula oleh Hai Hong, CV. Pantai Mas ini sempat

bertahan cukup kuat sebagai pemilik pasar hingga pada akhir tahun 1956.

Berdasarkan fakta proses jatuh bangunnya kelompok-kelompok kapitalis di atas,

dapat ditarik suatu kesimpulan awal bahwa kapitalis sudah lama masuk di daerah Galesong

Selatan dan Galesong Utara. Hal ini ditandai dengan awal mula pendirian koperasi secara

khusus memberi kredit pada nelayan patorani. Pemberian modal melalui koperasi secara

umum belum besar jumlahnya, tetapi unsur kapitalis sudah mulai berkembang. Pemberian

kredit pada anggota melalui sistem kredit simpanan wajib dan simpanan pokok. Sistem itu,

www.hendratmoko.com 97
nelayan diwajibkan untuk tetap membayar simpanan wajib dan simpanan poko kepada

koperasi. Seiring perjalanan koperasi, pedagang Cina pun masuk pada komunitas nelayan

patorani menjadi kelompok perantara untuk menghubungkan pada pihak pasar dan lebih

mengejar keuntungan.

Perkembangan selanjutnya, pengadaan kredit perahu dan pemasaran hasil

tangkapan tidak lagi dilakukan secara monopoli oleh kapitalis Cina. Pengadaan kredit mulai

ditangani oleh sejumlah pengusaha baru yang bermunculan di sepanjang pantai Kotamadya

Ujung Pandang (kini kota Makassar). Pengusaha- baru itu adalah berasal dari pengusaha

pribumi (non kuturan Cina) dan pengusaha Cina lainnya. Pengusaha itu, mereka bersaing

dalam hal pengadaan modal usaha berupa perangkat peralatan penangkapan (perahu dan

alat tangkap). Persaingan berupa pemberian biaya operasional hingga pada pemasaran hasil

pun menjadi tanggung jawab para pengusaha. Kendati mereka bersaing, namun pengusaha

lokal keturunan Cina tetap masih dominan untuk menjalin hubungan kerja dengan komuitas

nelayan patorani.

Selama fase intervensi, kelompok kapitalis maupun koperasi semakin menguat, dan

secara umum komunitas nelayan patorani tidak mengalami perubahan yang cukup berarti,

khususnya dalam peningkatan tarap hidup mereka. Penghasilan nelayan selalu kehabisan

modal dalam setiap kali mau memulai operasi penangkapan (pada musim pattoranian).

Sebaliknya para kapitalis Cina maupun lokal khusus yang berkedudukan di Ujung Pandang

(sekarang Makassar), tampak jauh lebih maju (sejahtera). Kapitalis Cina kecenderungan lebih

maju usahanya dan memperoleh banyak keuntungan dari komunitas nelayan, karena para

pemilik modal ini, mengikat secara kontraktual hubungan kerjanya. Ikatan kontrak yang

dilakukan berdasarkan dana pinjaman yang diberikan oleh nelayan patorani, kemudian imbal

dari itu hasil tangkapan semuanya dikumpulkan ke pemilik modal. Selain dari itu, kapitalis

Cina memberikan motivasi pada nelayan agar harapan adanya peningkatan produksi setiap

www.hendratmoko.com 98
musim penangkapan.

Selain kontrak di atas, diperkuat pula dalam bentuk perjanjian bagi hasil dengan

syarat seluruh hasil tangkapan diserahkan kepada pemilik modal. Kemudian pengembalian

modal yang sudah dikeluarkan oleh kapitalis, dilakukan melalui pemotongan dari bagian

hasil yang diperoleh nelayan pekerja (pinggawa dan sawi). Tidak ada batas waktu

pengembalian dan besarnya kredit yang harus dibayar pada saat tertentu oleh nelayan

pekerja. Tetapi kapan nelayan pekerja menjual hasil tangkapannya ke tempat lain dan di luar

sepengetahuan pemilik modal, maka perahu yang dioperasionalkan tersebut dapat saja

ditarik kepenguasaanya dari tangan nelayan pinggawa. Kredit yang sudah terlanjur di ambil,

nelayan wajib melunasi dengan diberikan tenggang waktu melalui musim. Realitas itu,

pemberi kredit memegang peranan penting dalam mengikat nelayan pekerja untuk tetap

bekerja pada kapitalis yang bersangkutan.

Secara umum, bahwa kehidupan nelayan patorani dalam kondisi ini, Kurang berubah

kualitas hidupnya. Keprihatinan dari pemerintah setempat pun mulai terusik untuk ikut

membantunya. Pemerintah Kabupaten Takalar Donggeng Dg, Ngasa yang pada waktu itu

pada tahun 1960-an menjabat sebagai bupati Kabupaten Takalar, memiliki jiwa ingin

membangun komunitas nelayan patorani, sehingga terpanggil untuk mendirikan sebuah

lembaga yang dapat menghimpun para nelayan. Lembaga yang dibentuknya adalah bernama

Yayasan Patorani Galesong yang diketuai langsung oleh bupati yang bersangkutan. Yayasan

ini sebagai pemerhati, sekaligus merupakan jawaban atas eksploitasi ikatan kontraktual yang

yang selama ini dilakukan oleh para pemilik modal (kapitalis) yang berkedudukan di

Makassar.

Dalam perkembangnnya kemudian, tenyata pelarangan ini tidak dapat memutuskan

hubungan para kapitalis yang berkedukan di Makassar. Hal itu terjadi, karena program yang

www.hendratmoko.com 99
dicanangkan oleh Yayasan Patorani Galesong, yakni sebagai perantara antara nelayan

pekerja dengan Bank Pemerintah. tidak dapat berjalan yang diharapkan oleh kedua belah

pihak. Kegagalan misi yang diembang oleh yayasan tersebut menjadikan masyarakat nelayan

berada dalam keadaan transisi. Pada akhirnya nelayan setempat tetap menjalin hubungan

kerjasama dengan para kapitalis sebelumya terutama bagi mereka yang masih terikat secara

kontraktual, akan tetapi hubungan kali ini adalah melalui perantara.

Disinilah awal munculaya Papalele, yang diberi kepercayaan dari para kapitalis yang

berkedudukan di Makassar untuk mengkoordinir dan mengumpulkan hasil tangkapan dari

nelayan pekerjaannya. Sebagai perantara yang telah mulai mengidap (ketularan) Gap

(ketularan) penyakit yang berjiwa kapitalis. Papalele memiliki motivasi untuk ingin

memperoleh keuntungan lebih dari komisi yang diperoleh dari pemilik modal. Motivasi inilah

awal melahirkan para papalele dengan dua kekuatan yang terpresentasikan ke dalam

nelayan patorani, yakni pertama berusaha untuk memperoleh keuntungan pada penggunaan

biaya operasional maupun pada penjualan hasil. Kedua Biaya operasional yang diperoleh

dari kapitalis untuk nelayan pekerja tidak diberikan dalam bentuk tunai tetapi dalam bentuk

materi, seningga dimungkinkan papalele perantara memperoleh keuntungan dari materi

tersebut. Begitu pula harga hasil tahapan yang diberitahukan kepada nelayan pekerja, yang

oleh papalele perantara adalah lebih rendah dari yang ditetapkan oleh pemilik modal dan

harga dipasaran.

Masuknya kapitalis negara-negara dari luar (eksportir) melalui perantara papalele maka

secara otomatis orientasi komersialisasi produksi semakin menjadi prioritas. Untuk

mencapai hal itu, maka papalele lokal menempuh jalan satu-satunya adalah kalangan

papalele menambah jumlah populasi armada perahunya. Selain papalele melakukan

penambahan perahu, maka strategi lain pun dilakukan oleh papalele dengan melalui

www.hendratmoko.com 100
jalan menambah jaringan pinggawa yang memiliki perahu tetapi tidak memiliki

sumberdaya permodalan.

Seiring meningkatnya jumlah populasi perahu patorani di Galesong, maka secara

otomatis penghasilan yang diperoleh papalele (pemilik modal) dari hasil eksploitasi dari

nelayan pekerja, juga bertambah banyak pula. Perlakuan pembagian hasil yang

diterapkan oleh papalele pada pinggawa nelayan patorani secra faktual tidak berimbang.

Papalele hanya mengejar keuntungan, dengan dalih menuntut pinggawa nelayan

patorani untuk selalu memperoleh hasil yang lebih banyak, agar pembagian yang

diperoleh juga semakin banyak dan modal yang terlebih dahulu diambil dapat

dikembalikan dalam satu musim itu juga.

Kapitalisme semakin pesat perkembangannya, ketika permintaan pasar internasional

(eksportir) sudah mulai masuk sebagai salah satu komponen yang menguasai produksi hasil

tangkapan nelayan patorani di Galesong selatan dan Galesong Utara. Kelompk kapitalis

eksportir ini, mulai masuk sejak akhir tahun 1960-an yang pada awalnya eksportir paling

pertama menginjakkan di Galesong Selatan dan Galesong Utara adalah negara Jepang dan

kemudian di susul negara lainnya yakni Korea. Pada awalnya kedua negara ini memiliki

masing-masing strategi untuk bersaing, yang cenderung dilakukan dalam persaingan itu

adalah dengan memainkan harga di pasaran.

Kehadiran negara-negara eksportir ini pulalah membuat semakin terbukanya

peluang kredit investasi para papalele, dan semakin memperkuat posisi papalele untuk

tampil mandiri sebagai pemilik sumberdaya permodalan dan fasilitas alat tangkap lainnnya.

Kekuatan papalele itu pulalah sehingga ikut mempermainkan pasar dengan mengesploitasi

pinggawa dan sawinya. Dampak kekuatan papalele itu, menyebabkan semakin tidak adanya

kekuatan pinggawa untuk tidak mempertahankan ketergantungan modal. Papalele dalam

www.hendratmoko.com 101
kondisi terhimpit pun selalu menuntut agar pinggawa memperoleh hasil yang maksimal,

agar modal operasional dapat tetap dikembalikan.

Untuk memperkuat modal usahanya, papalele mempunyai jaringan secara langsung

ke Bank BRI. Peminjaman melalui Bank BRI papalele sudah diberikan kepercayaan untuk

peminjaman kredit. Agunang yang digunakan sebagai jaminan, para papalele menggunakan

sertifikat tanah, rumah dan atau perahunya. Pengembalian atas dana yang sudah dipinjam

tesebut, dibebankan sepenuhnya oleh pinggawa nelayan patorani. Setiap musim torani

(April-September), papalele berlomba untuk memperoleh pinjaman di Bank BRI, kemudian

di sebarkan ke seluruh pinggawa yang mau melakukan hubungan kerja sama

(passisambungan). Kerjasama ini, dilakukan dalam bentuk peminjaman permodalan antara

papalele dengan pinggawa. Kerjasama peminjaman ini, bagi papalele tidak perlu meminta

agunan dari pinggawa-sawi, tetapi lebih cedenerung melalui dengan kontrak kepercayaan.

Selain itu hasil tangkapan harus semuanya di serahkan ke papalele yang memberikan modal

sumberdaya permodalan untuk dihitung hasilnya kemudian pengembalian utang pun di

proses serta pembagian hasil untuk bagian papalele, pinggawa dan sawi.

Setelah masuknya kapitalis eksportir bekerjasama dengan kapitalis lokal (papalele),

maka semakin mendukung menguatnya posisi pemilik pasar dan penerapan teknologi

sebagai sumberdaya pendukungnya pun menjadi sasaran investasi para papalele untuk lebih

ditingkatkan. Sedangkan papalele sendiri semakin memperkuat strategi teknologi alat

penangkapan dan fasilitas yang mendukung berjalannya kerjasama eksportir. Daya dukung

tersebut antara lain wadah penyimpanan hasil produksi seperti gudang. Dan daya dukung

lainnya adalah tempat proses pemarutan telur ikan torani untuk memisahkan serat dengan

telurnya semakin diperbesar sebagai tempat yang terpenting tempat terakhir untuk

memproses telur ikan torani. Kesemua proses ini, membutuhkan teknologi agar telur ikan

dapat bertahan lama hingga menunggu harga dipasaran semakin membaik. Kemenangna

www.hendratmoko.com 102
papalele disini, bisa memainkan negara-negara eksportir berkaitan dengan kuota

permintaan beserta harga dipasaran berdasarkan persaingan harga eksportir

Strategi papalele itu merupakan suatu hal normal sebagai penguasa lokal dan

kelompok yang terkuat posisisinya di komunitas nelayan patorani ikut bermain di pasaran.

Pentingnya penentuan harga jual di pasaran, merupakan hal yang mutlak dilakukan. Apalagi

pasar yang dikuasai oleh eksportir, sangat mudah untuk diberlakukan penguasa-penguasa

tertentu yang pada muaranya akan memunculkan sifat-sifat monopoli harga di pasaran.

Sehingga untuk mengantisipasi hal itu, perlu adanya penyeimbang sebagai kontrol agar tidak

merugikan sebagain pihak. Adanya kontrol pula maka baik eksportir maupun papalele

komunitas nelayan patorani tidak mempermainkan harga telur ikan.

Terkait adanya penguasaan pasar itu, Menurut Polanyi (1998: 152) bahwa sebuah

ekonomi pasar adalah sebuah sistem ekonomi yang dikontrol, diatur, dan di arahkan oleh

pasar itu sendiri. Peraturan dan produksi dan distribusi barang yang dipercayakan kepada

mekanisme mengatur diri sendiri. Peraturan dan produksi dan distribusi barang yang

dipercayakan kepada mekanisme mengatur diri sendiri. Ekonomi jenis ini berasal dari suatu

harapan bahwa umat manusia akan mengambil sikap sedemikian rupa untuk mendapatkan

uang sebanyak-banyaknya. Sistem ekonomi ini menganggap pasar sebagai tempat

penyediaan barang (termasuk jasa) dengan harga tertentu yang berdasarkan harga tertentu

akan memenuhi permintaan.

Kondisi yang berbalik, kenyataannya ternyata produksi malah dikontrol oleh harga,

karena keuntungan dari pihak yang menjalankan produksi akan tergantung padanya serta

distribusi barang juga akan tergantung pada pasar. Distribusi barang juga akan tergantung

pada harga, karena membentuk pendapatan dan dengan bantuan pendapatan. Barang yang

diproduksi di distribusikan di antara para pelaku ekonomi antara papalele dan eksportis.

Berdasarkan pengandaian ini, sebuah aturan dalam peroduksi dan distribusi hanya di jamin

www.hendratmoko.com 103
oleh harga. Atas dasar pengertian tersebut di atas, maka dapatlah dilihat bagaimana

kemampuan usaha papalele dan eksportir dalam memperoleh keuntungan dengan melihat

dari cara dan strategi mereka dalam menetapkan harga.

Penetapan harga telur ikan torani pada komunitas nelayan patorani sepenuhnya

ditentukan oleh papalele dengan pertimbangan dari aspek biaya (biaya tetap maupun biaya

tambahan), tenaga kerja, bunga pinjaman papalele di perbankan ikut pula memainkan

peranan penting dalam penetapan harga. Penetapan harga inilah yang biasanya disebut

dengan harga pokok, yang selanjutnya harga pokok ditambah dengan margin keuntungan

yang diharapkan akan menentukan harga jual yang akan ditanggung oleh eksportir.

Hubungan semacam ini antar papalele dengan eksportir lebih banyak berlangsung dalam

sistem permainan pasar dengan tergantung pada kondisi dan musim penangkapan telur ikan

torani itu sendiri yakni antara bulan Maret hingga bulan September.

Berdasarkan wawancara dengan Muhammad Dg Gassing seorang eksportir

mengatakan bahwa kondisi harga telur ikan dipasaran tidak menentu, tergantung pada

kondisi kebutuhan kuota barang eksportir, bila musim lagi banyak barang maka bisa saja

eksportir memainkan harga dan kuota barang. Posisi eksportir di sini, memiliki kekuatan

dalam hubungan jual beli sebagai unsur bagian pemilik pasar internasional. Namun

sebaliknya, bila eksportir lagi membutuhkan telur ikan yang banyak maka, biasanya

dimainkan oleh pengumpul pada tingkat lokal yaitu papalele. Permaianan yang dilakukan

oleh papalele tentang harga, secara langsung bersentuhan dengan pinggawa. Terkait hal itu,

papalele sebagai agen pengumpul dari pinggawa patorani memberikan keputusan harga

sesuai dengan kemauan dan kehendak papalele. Pada situasi seperti inilah, memunculkan

ketidak terbukaan papalele pada pinggawa sehingga biasa terjadi perbedaan harga di antara

papalele terhadap pinggawanya.

Sejak awal tahun 1970-an menurut informan papalele dan eksportir Muhammad Dg

www.hendratmoko.com 104
Gassing (51 th) bahwa nelayan patorani beralih kepenangkapan dari induk ikan torani ke

penangkapan telur ikan torani. Peralihan ini dilakukan, karena nelayan patorani sudah

mengejar keuntungan berdasarkan permintaan pasar. Kehadiran pasar untuk membeli telur

ikan torani, maka secara otomatis papalele meminta pinggawanya untuk beralih

penangkapan. Peralihan ini pula di lakukan, karena telur ikan torani sudah menjadi komoditi

yang sangat diutuhkan oleh pasar. Sejak awal peralihan penangkapan dari induk ikan torani

ke telur ikan torani, harganya masih relatif rendah, bila dibandingkan dengan biaya

operasional yang dikeluarkan. Menurut informan pinggawa bahwa walaupun tahun itu,

yakni tahun 1970-an harga telur ikan torani dibeli senilai Rp.11.000, namun nelayan patorani

merasa memiliki peningkatan pendapatan bila dibandingkan pada saat menangkap induk

ikan torani. Pembeli saat itu masih dilakukan melalui sambungan antara eksportir dengan

kelompok pengusaha yang berdomisili di kota Makasasar. Situasi itu antara dasawarsa 1970-

an hingga tahun 1980-an pasar masih di dominasi oleh pengusaha yang memiliki akses

negara-negara pengespor telur ikan torani. Dalam situasi penguasaan pasar didominasi oleh

pedagang-pedagang itu, maka papalele lokal tidak mempunyai kemampuan akses untuk

menembus para eksportir, karena kondisi saat itu eksportir belum sampai menembus

langsung ke papalele lokal yang berdomisili di Galesong Selatan maupun di Galesong Utara.

Namun setelah tahun 1980-an sampai tahun 1990-an, eksportir sudah langsung

berhubungan dengan kelompok-kelompok pengumpul yang berada di Galesong, sedangkan

pengumpul langsung berhubungan dengan papalele (pemilik modal) dan peralatan tangkap.

Setelah masuknya eksportir secara langsung, maka harga telur ikan pun semakin menanjak

harganya. Kondisi ini, terjadi seiring permintaan eksportir membutuhkan barang yang

banyak, sehingga harga telur ikan torani pada tahun 1990-an hingga tahun 2000-an

berkisaran antara Rp.100.000,- sampai Rp.300.000,-. Harga komoditi telur ikan torani

semakin menanjak harganya karena eksportir membeli dengan menggunakan perhitungan

standarisasi mata uang dollar. Kemudian peningkatan harga pula terjadi karena masuknya

www.hendratmoko.com 105
negara-negara lain sebagai eksportir, yakni negara Korea sebagai eksportir yang kedua dan

juga ikut memainkan harga pasar, dan bahkan mampu membeli hingga seharga Rp.300.000-

an.

Terkait pernyataan informan eksportir di atas, bahwa penentuan harga telur ikan

tergantung pada situasi bulan-bulan tertentu pengiriman barang. Musim yang dianggap

sebagai situasi bulan pengesporan itu adalah pada bulan Juli hingga September. Pada

pengiriman pertama dilakukan kegiatan pengeksporan pada negara sasaran ekspor

yakni pada bulan Juni. Pada bulan Juni ini harga belum menjadi keputusan mutlak,

artinya tergantung dari kuota permintaan negara eksportir. Namun pada bulan Juli bisa

saja harga bertambah naik lagi hingga pada puncak pengiriman pada bulan September.

Setelah musim pattoranian sudah berakhir dan barang masih ada, maka disimpan dalam

wadah penyimpanan khusus sambil menunggu permintaan negara sasaran ekspor

berikutnya. Pengeksporan di luar musim pattoranian, maka biasanya harga sediit lebih

mahal di bandingkan pada musim pattoranian, tapi menurut informan eksportir dalam

wawancara bahwa “permintaan di luar musim jaran terjadi, karena negara sasaran

eksportir sudah membeli sebanyak-banyaknya pada musim pattoranian dan

kemungkinan sudah memenuhi kuota hingga musim pattoranian berikutnya”.

Terkait pernyataan eksportir tersebut, mengungapkan bahwa kondisi harga telur

ikan torani kadangkala tidak menentu. Kalau hasil yang diperoleh oleh nelayan patorani

memenuhi kuota negara tujuan ekspor, maka harga dapat dimainkan oleh negara tujuan.

Kemudian secara internal papalele dapat mengembalikan dana operasionalnya kepada

eksportir. Metode pengembalian pinjaman modal operasional papalele kepada eksportir

tidak ada resiko atau tuntutan apapun juga. Kondisi itu, sebenarnya jarang terjadi, namun

kalupun terjadi maka penyelesaiannya di berikan sepenuhnya kepada eksportir untuk

menjual hasil tangkapan.

www.hendratmoko.com 106
Terkait tentang pemberian modal pada nelayan patorani, sepenuhnya diberlakukan

kebiasaan saling kepercayaan kedua belah pihak, antara papalele dengan pinggawa.

Pemberian modal tersebut lebih kecenderungan pada kepercayaan untuk memperoleh hasil

tangkapan sebanyak-banyaknya sesuai dengan harapan. Pemberan modal tersebut bukan

tanpa konsekuensi, tapi sebelum berangkat sudah ada beban yang ditanggung bersama.

Artinya bahwa bila nasib tidak berpihak, maka bukan hanya pinggawa yang tidak dapat

mengembalikan modal ke papalele, akan tetapi papalele juga menanggung beban berat

untuk mengembalikan dana dan bunga pinjamannya di bank BRI yang terlebih dahulu

dipinjamnya. Tuntutan komersialisasi produksi pada era penangkapan telur ikan torani,

sangatlah diperlukan dan tuntutan ini pulalah menjadi faktor pendorong utama untuk tetap

eksis baik untuk hubungan eksportir (pemilik pasar) maupun hubungan bantuan permodalan

(perbankan).

Perkembangan ke arah komersialisasi produksi pada telur ikan torani, merupakan

tuntutan permintaan pasar sebagai investor. Untuk mengikuti perkembangan tersebut,

maka jalan satu-satunya oleh nelayan patorani adalah menyerap teknologi penangkapan

modern. Peralatan pendukungnya adalah perahu dengan ukuran yang lebih besar dan

penambahan jumlah tenaga kerja yang lebih profesional. Penyerapan jenis teknologi

penangkapan yang digunakan sekarang yakni kapasitas mesin perahu dinilai paling modern

pada komunitas nelayan patorani. Selain daya tangkapnya yang jauh lebih besar dibanding

dengan jenis teknologi penangkapan pada era tahun 1940-an hingga akhir tahun 1960-an.

Kapitalisme yang berjalan di atas landasan komersialisasi dan modernisasi

teknologi, sebagai cerminan pada komunitas nelayan patorani lebih menggambarkan respon

terhadap pasar dan sisi peningkatan teknologi mekanisasi penangkapan. Posisi ini, hanya

golongan yang memiliki aksesbilitas terhadap pemerintah dan lembaga-lembaga keuangan

yang lebih cepat merspon, sehingga menyebabkan terjadinya ketimpangan kelas antara

www.hendratmoko.com 107
pemilik modal (papalele) dan nelayan pekerja (pinggawa dan sawi). Modernisasi perikanan

dalam perkembangannya hanya bisa diakses oleh segelintir nelayan kaya yang memiliki

modal dan pengetahuan.

Secara realitas, bahwa pemilik modal (papalele) merupakan kelompok yang

pertama memperoleh kesempatan untuk tampil sebagai pelaku ekonomi dominan

(kapiatalisasi biaya operasional). Selain itu, papalele pula memiliki peluang untuk membuka

akses tanpa melalui perantara kepada para eksportir. Adanya kontak secara langsung ini,

tentu saling menguntungkan antara pelaku ekonomi lokal (papalele) dengan para eksportir.

Sehingga para eksportir setelah tahun 1990-an sudah masuk secara langsung ke Galesong

mengambil barangnya melalui papalele yang terlebih dahulu melakukan kontak dagang. Era

kapitalis pada komunitas nelayan patorani, lebih cenderung bersumber pada mengejar

keuntungan.

Asumsi itu terkait Dobb (dalam Sanderson, 2000: 171) yang memberikan penjelasan

bahwa dalam sistem kapitalis terdapat dua lapisan. Lapisan pertama adalah bahwa banyak

perdagangan pada saat itu, terutama perdagangan luar negeri, mengandung kepentingan

politis atau perampokan terselubung; dan lapis kedua kelas pedagang segera setelah

membentuk suatu persekutuan dagang dengan cepat memperoleh hak monopoli yang

melindungi usahanya dari persaingan, dan berdagang hanya untuk keuntungannya sendiri

dalam berhubungan dengan produsen atau konsumen. Analisis Dobb bahwa perdagangan

dua lapis dalam periode kapitalis berkuasa memberikan dasar yang esensial bagi

kemakmuran awal bagi tuan tanah dan akumulasi kapital pedagang.

Dikaitkan dengan asumsi tersebut, bahwa komunitas nelayan patorani dalam era

tahun 1990-an hingga tahun 2000-an terjadi monopoli antara papalele sebagai penguasa

kapitalis lapis pertama memainkan perannya sebagai pemilik modal dan memberikan

ketergantungan sepenuhnya dengan pinggawa. Monopoli yang dilakukan papalele itu,

www.hendratmoko.com 108
hampir tidak memberikan kesempatan pinggawa untuk tampil sebagai salah satu komponen

yang diikutkan ambil andil menentukan harga di pasaran. Kekuatan yang dimiliki papalele

itu, seakan-akan membentuk suatu dinding pemisah demi kepentingannya sendiri.

Sedangkan eksportir yang mempermainkan harga pasaran juga mempunyai kepentingan

untuk memperoleh hasil dalam bentuk barang, karena mengejar kuota permintaan pasar,

sehingga kekuatan yang dimiliki adalah lapis kedua dan bertugas sebagai komponen yang

akan mencarikan muara pemasaran.

Secara realitas, bahwa implikasi dari pergeseran penangkapan dari induk ikan torani

ke penangkapan telur ikan torani dapat disimpulkan bahwa pertama adanya perkembangan

tekanan pasar, dan secara tidak langsung berimplikasi pada percepatan penerapan teknologi

dan penguasaan ilmu pengetahuan tentang kepatoranian; Kedua Dalam kondisi masuknya

kapitalis maka hanya golongan masyarakat yang mendapatkan hasil lebih baik adalah

papalele (pemilik modal) yang sudah berorientasi pada kapitalis; dan ketiga secara umum,

dapat dikatakan bahwa harga pada hampir semua telur ikan hasil tangkapan nelayan

patorani harganya di tentukan oleh papalele yang terpolakan naik turunnya harga di

pasaran. Dengan kondisi demikian nelayan patorani hampir tidak punya kekuatan untuk

mengatur produksi tangkapannya ketika kapitalis masuk, baik kapitalis lokal (papalele)

maupun pasar internasional (kapitalis eksportir).

4.2.2. Perkembangan Penggunaan Teknologi Penangkapan

Awal keberadaan komunitas nelayan, mula-mula menggunakan teknologi yang

sangat sederhana sebagai alat bantu untuk memperoleh penghasilan tangapan. Selain hal

itu, nelayan memiliki kemampuan untuk beradaptasi dengan lingkungannya berdasarkan

www.hendratmoko.com 109
pengetahuan yang dimilikinya. Sebagaimana Kontjaraningrat (1992: 34) bahwa komunitas

nelayan mengawali kegiatan kenelayanannya dengan penggunaan teknologi penangkapan

berupa tombak atau sejenisnya. Terkait hal itu, maka diasumsikan bahwa kehidupan nelayan

pada masa lalu masih mengandalkan teknologi seerhana (alat bantu) yang mudah dijangkau

dan memiliki fungsi untuk melakukan aktivitasnya. Dalam perkembangan selanjutnya

komunitas nelayan mulai mengalami perkembangn hingga menggunakan kail hingga ke

penggunaan jaring dan pukat sesuai dengan jenis ikan yang akan di tangkapnya.

Perkembangan teknologi yang berbasis pada lingkungan kehidupan sekitarnya

membuat komunitas nelayan untuk berfikir melakukan suatu perubahan. Perlahan

menciptakan teknologi sebagai alat bantu walaupun berawal dari hal yang sederhana

kemudian berkembang menjadi teknologi yang lebih sempurna dibandingkan dengan

teknologi sebelumnya. Penciptaan teknologi bagi komunitas nelayan merupakan hal yang

terpenting untuk meudahkan dalam melakukan penangkapan ikan. Pada realitas ii, maka

alam konteks nelayan di Kabupaten takalar Sullawesi Selatan lahir berbagai komunitas

nelayan di antaranya nelayan palanra, nelayan papekang dan nelayan parengge.

Komunitas nelayan tersebut, melakukan operasional berdasarkan dengan alat

tangkap yang dimilikinya. Selain hal itu, maka jenis tangkapannya pun berbeda yang di

hasilkan. Misalnya nelayan palanra, beroperasi pada daerah pesisir pantai dengan

menggunakan perahu tradisional dan mengandalkan layar (sombala) kemudian awaknya

hanya terdiri antara 2-3 orang, dan jenis ikan yang ditangkap adalah ikan berukuran kecil.

Sedangkan nelayan papekang adalah komunits nelayan yang menggunakan perahu

tradisional dengan alat tangkap kail (pancing) dan ikan yang di tangkap adalah ikan jenis

tongkol (cakalang). Sedangkan nelayan parengge adalah nelayan yang memiliki perahu ada

yang menggunakan teknologi mesin dan ada pula nelayan hanya menggunakan layar

(sombala) nelayan parenge ini biasanya perjalanannya menjangkau antar daerah di pesisir

www.hendratmoko.com 110
Sulawesi Selatan, dan ikan yang tangkap dan dihasilkan bermacam-macam jenisnya.

Dikawasan pesisir kabupaten Takalar khususnya komunitas nelayan palanrak,

papekang dan parengge, perlahan sudah mulai berkurang populasinya walaupun hingga

sekarang masih ada beberapa yang bertahan, mungkin diperkirakan sekitar antara puluhan

perahu. Komunitas nelayan di kabupaen Takalar sekitar tahun 1940-an banyak yang beralih

ke nelayan patorani dengan khusus menangkap induk ikan terbang (ikan torani).

Pertumbuhan populasi nelayan patorani hingga sekarang semakin bertambah jumlahnya

seiring bertambahnya pula pengadaan perahu yang di khususkan menangkap ikan torani.

Pengadaan perahu patorani selain di uahakan sendiri oleh komunitas nelayan itu sendiri

secara individu, maupun di adakan oleh oran-orang yang memiliki kemampuan modal,

kemudian di berikan pada nelayan untuk dioperasionalkan.

Komunitas nelayan patoani sejak awal keberadaanya, juga sebagai komunitas

nelayan tradisional dngan memiliki perahu yang berukuran besar bila dibandngkan dengan

nelayan palanrak, papekangdan parengge. Nelayan patoranai pada awalnya juga

mengunakan eknologi sederhana seperti penggunaan alat bantu pelayaran yakni layar

(sombala) namun pada periode selanjutnya antara tahun 1960-an, nelayan patorani suda

menggunakan teknologi mesin sebagai alat bantu pelyaran. Dan hingga pada akhir tahun

1960-an hingga awal tahun 1970-an nelayan patorani sudah beralih pada penangkapan

induk ikan torani ke nelayan penangkap khusus telur ikan torani.

Pergeseran penggunaan teknologi tersebut, bermula masuknya unsur pasar

berbarengan dengan tuntutan kapitalisme pada komonitas nelayan patorani di Galesong.

Orientasi penerapan teknologi sebagai penggerak untuk peningkatan pendapatan secara

ekonomi, dan pemanfaatan teknologi penangkapan yang lebih mutakhir. Kondisi semacam

itu, sudah barang tentu terkait erat dengan upaya memperoleh hasil tangkapan yang lebih

www.hendratmoko.com 111
besar. Persoalan yang timbul kemudian, antara lain adalah para nelayan tangkap umumnya

bersikap bahwa sumber daya laut adalah milik bersama. Sementara itu, secara teoritis

maupun empiris sumber daya laut sifatnya adalah terbatas. Gordon (1986) memperingatkan

bahwa usaha penangkapan komersial di laut akan mempengaruhi stok ikan di laut. Sebagai

konsekuensinya adalah semakin besar usaha penangkapan komersial, terutama yang

menggunakan teknologi tinggi, akan semakin menguras stok ikan di laut.

Perkembangan ekonomi pasar, termasuk atas hasil nelayan patorani membawa

dampak terhadap percepatan modernisasi pada kegiatan nelayan patorani. Hanya saja

golongan masyarakat yang mula-mula bisa memperoleh berkah dari modernisasi nelayan

patorani adalah para pemilik kapital (papalele). Sedangkan dampak terhadap peningkatan

kesejateraan pinggawa dan sawi sebagai pekerja masih belum signifikan dibandingkan

dengan pekerjaan yang dilakukannya selama melaut.

Dalam sistem pemasaran komoditi nelayan patorani, secara umum ditentukan oleh

kekuatan pasar negara pengekspor. Alhasil kondisi tersebut maka nelayan patorani

umumnya diperhadapkan naik turunnya harga pasar dan hargapun tidak dapat diprediksi

dan tidak dapat dipolakan. Dengan kondisi pasar seperti dewasa ini, hampir tidak ada

nelayan yang bisa mengatur produksi dan tangkapannya. Sebaliknya pada tingkat tertentu

karena akumulasi kapital sebagai penggerak ekonomi maka para nelayan berusaha

memperoleh hasil tangkapan sebanyak-banyaknya. Alasannya bahwa semakin besar hasil

tangkapan semakin besar pendapatan bersih yang akan diperoleh.

Pengoperasian alat penangkapan melalui unsur motorisasi yang berkapasitas tinggi

terutama dikalangan nelayan Patorani yang dulunya hanya mengandalkan layar (sombala=

bahasa makassar) dan di bantu dengan arah angin. Namun pada awal tahun 1970-an

komunitas nelayan patorani beralih menggunakan mesin dengan berkekuatan kapasitas

www.hendratmoko.com 112
42pk. Untuk menambah kecepatan dan ketepatan waktu tempuh ke lokasi penangkapan,

maka nelayan menambah 1 (satu) buah mesin lagi dengan kekuatan 42pk. Kekuatan

akumulasi penggunaan mesin tersebut mencapai 84pk.

Perkembangan ke arah pemakaian jenis alat tangkap yang lebih besar dan

berteknologi lebih tinggi, merupakan manivestasi lebih cenderung adanya dorongan kaum

pemilik pasar. Fakta tersebut, mengindikasikan bahwa kegiatan nelayan patorani berproses

menuju modernisasi. Tuntutan selanjutnya adalah penangkapan telur ikan torani bagi

komunitas nelayan patorani merupakan kegiatan lebih rasional untuk meningkatkan

penghasilan. Untuk mencapai hal tersebut, maka dibutuhkan tenaga penunjang dengan

berdasarkan keahlian dalam penangkapan. Pemanfaatan modal lebih banyak dibutuhkan,

berkembangnya bentuk organisasi, dan semakin kompleksitas kepentingan yang mengarah

pada untk memperoleh keuntungan dari berbagai pihak yng terkait pada komunitas nelayan

patorani. Hal itu terpresentasikan apa yang di sebut Adimihardja (1983: 35) sebagai

pandangan formalis yaitu dimana manusia dalam tingkah lakunya selalu mencari untung.

Keadaan ini memperkuat bahwa tarikan pasarlah menuntut peningkatan produksi dan

mendorong timbulnya modernisasi nelayan tangkap, pada komunitas nelayan patorani itu

sendiri.

4.2.2.1 . Penerapan Teknologi Penangkapan komunitas nelayan


patorani Ke Arah Komersialisasi Produksi

Nelayan patorani memiliki ciri khas tersendiri dalam melakukan aktifitasnya, mulai

dari jenis tangkapannya hingga pada penggunaan teknologi alat tangkap yang digunakan.

Pada penggunaan alat penagkapan ikan torani yaitu menggunakan pakkaja yaitu sejenis

www.hendratmoko.com 113
bubu terapung (portable traps). Teknologi penangkaan ini adalah spesifik diciptakan secara

turun temurun untuk menangkap induk ikan terbang (ikan torani) sekaligus di jadikan

sebagai alat untuk menangkap atau menadah telur ikan torani.

Teknologi alat penangkapan pakkaja ini, merupakan teknologi tertua bagi nelayan

patorani dan digunakan secara turun temurun. Penggunaan teknologi alat penangkapan

pakkaja tersebut, sehingga nelayan patorani memiliki ciri khas tersendiri dalam melakukan

aktivitasnya bila dibandingan dengan alat penangkapan komunitas nelayan lainnya yang ada

di Sulawesi Selatan dan tekhusus pada komunitas nelayan yang berada di kabupaten Takalar.

Bahan baku pembuatan pakkaja pun komunitas nelayan patorani semuanya diperoleh dari

bahan-bahan lokal, sehingga kekhasan teknologi alat penangkapan mencerminkan

pembuatan secara lokal, karena diciptakan oleh masyarakat setempat dan bahan-bahannya

pun di peroleh di Kabupaten Takalar sendiri.

Teknologi alat penangkapan pakkaja di modifikasi dan di desain oleh nelayan

patorani itu sendiri berdasarkan kebutuhan. Pakkaja terbuat dari bambu, di anyam

berbentuk silinder dan dihiasi dengan daun kelapa. Sekalipun teknologi ini diciptakan sendiri

secara lokal, terhadapnya dari hari kehari juga mengalami perkembangan ataupun

modifikasi sesuai dengan kebutuan nelayan patorani. Dalam konteks penggunaan teknologi

modern, maka jenis teknologi ini dapat dikateorikan sebaga bubu terapung (portable traps)

atau bubu hanyut. Teknlogi ini disebut bubu hanyut karena dalam pengoperasiannya di

biarkan hanyut (pasif) bersama dengan perahu engikuti dengan terbawa arus. Jenis bubu ini

memiliki satu atau dua pintu masuk dan satu pintu keluar (pintu pengambilan hasil

tangkapan). Bubu berukuran panjang 57-80 cm dengan diameter 40-47 cm. Alat ini

dioperasikan oleh tiga-lima orang dengan sebuah perahu yang berkekuatan (bertonase) 2-5

ton atau dengan ukuran panjang 10-12 meter dan lebar antara 2-3 meter. Pakkaja ini

www.hendratmoko.com 114
dipasang pada seutas tali berselang 25-30 meter untuk setiap pakkaja. Pada ujung terluar

dari tali dipasang sebuah benda terapung yang dapat berfungsi sebagai simbol ujung tali dan

arah arus. Pada ujung lainnya diikatkan pada perahu, dan fungsi pakkaja adalah sebagai

perangkap induk ikan torani, dan bubu diberi daun penghias yang berfungsi sebagai penadah

telur ikan torani.

Perkembangan alat tangkap pakkaja pada komunitas nelayan patorani mengalami

modifikasi ke dalam bentuk alat tangkap yang diberi nama ballak-ballak, menggantikan

pakkaja. Ballak-ballak merupakan bubu hanyut pula, namun alat tangkap ini merupakan

modifikasi alat tangkap sebelumnya dan berukuran lebih besar. Penggunaan daun

kelapa lebih banyak, daya tangkap memiliki kapasitas lebih banyak. Ukuran lebih besar

tentu dapat memancing dan memilik daya tarik terhadap ikan torani untuk masuk

memijah dan bertelur. Kapasitas untuk menampung dan mengoleksi telur ikan torani

ballak-ballak lebih banyak bila dibandingkan dengan pakkaja (bubu hanyut) yang

berukuran lebih kecil.

Peralatan tangkap ballak-ballak merupakan alat yang diciptakan dan dimodifikasi untuk

tidak menangkap induk ikan torani, tapi hanya lebih cenderung diciptakan sebagai

tempat memijah ikan torani sambil menyimpang telurnya. Penggunaan ballak-ballak

sebagai alat penangkapan lebih ramah untuk kelestarian ikan torani. Terkait modifikasi

alat tangkap tersebut, beberapa informan pinggawa mengatakan bahwa ballak-ballak

merupakan alat tangkap yang tidak mengesploitasi induk ikan torani. Hal itu,

dikarenakan alat dimodifikasi lebih lapang. Pembuatan alak-ballak hanya digunakan

untuk tempat memijah ikan torani.

Kalangan nelayan patorani beranggapan bahwa kehadiran alat tangkap ballak-ballak,

sebagai modifikasi alat tangkap sebelumnya lebih cenderung ramah terhadap

lingkungan karena tidak menangkap induk ikan torani. Anggapan itu di perkuat lagi

www.hendratmoko.com 115
melalui pendekatan reproduksi biologis bahwa induk ikan torani di kemudian hari atau

pada musim berikutnya masih memiliki harapan akan kembali memijah. Musim

pemijahan ikan torani yaitu sekitar bulan April sampai September. Pada musim tersebut,

nelayan patorani terkonsentrasi pada wilayah penangkapan yang sudah menjadi lokasi

area penangkapan sejak dahulu hingga sekarang. Adapun wilayah penangkapan antara

lain selat Makassar dan Fakfak Papua, dan lokasi ini dianggap sebagai lokasi yang banyak

produksi telur ikan torani. Bulan April hingga September merupakan kebiasaan ikan

torani melakkan reproduksi. Kondisi ini dimanfaatkan oleh nelayan untuk mengoleksi

telur ikan dengan mengunakan teknologi penangkapan yang dimodifikasi berkuran besar

hingga sekarang penggunaannya sudah merata dikalangan komunitas nelayan patorani.

Alat tangkap ballak-ballak sebenarnya di buat dan di desain sendiri oleh komunitas

nelayan patorani. Pada musim pemijahan ikan torani, tiba maka komunitas nelayan

patorani pun serentak berangkat ke lokasi penagkapan.

II. Kasus 7
Aktivitas kenelayanan seiring perkembangan kebutuhan sosial ekonomi, maka
dituntut pula mengikuti perkembangan itu. Salah satu strategi untuk berjalan
beriringan maka nelayan patorani melakukan perubahan atau inovasi alat
penangkapan. Awal keberadaan nelayan patorani di Galesong hanya sebagai nelayan
tradisional dan sekedar pemunuhan kebutuhan hidup nelayan. Tetapi seiring dengan
masuknya kapitalis baik dari daerah setempat maupun dari luar melakukan investasi
untuk mengembangkan hasil tangkapan menjadi hasil yang layak jual dipasaran.

Perubahan yang mulai terasa menimbulkan dampak peningkatan sosial ekonomi,


berkisar abad ke 20-an. Perubahan itu memberikan sumbangsi pengetahuan pada
komunitas nelayan. Hal itu, pula bermula dari terjadinya perubahan sasaran
penangkapan dan wilayah penangkapan semakin luas wilayahnya. Sejak beberapa
abad lamanya, patorani berfokus bada penangkapan induk ikan terbang saja. Dan
selama itu, tidak terjadi perubahan yang berarti dalam struktur tenaga kerja, sistem
bagi hasil, solidaritas kelompok, dan sebagainya.

Kasus di atas, memberikan suatu gambaran bahwa sebelum abad ke 20, nelayan

patorani hanya hidup dengan subsisten. Pola dengan hanya memeprtahankan pemunuhan

www.hendratmoko.com 116
kebutuhan hidup sehari-harinya. Ciri demikian merupakan suatu komunitas nelayan yang

bercirikan patorani tadisional yang sementara berproses. Berdasarkan kasus tersebut ada

beberapa hal yang menonjol yang perlu diperhatikan lebih lanjut yaitu pertama peralihan

nelayan patorani dari tradisional ke penerapan teknologi modern dilalui suatu proses dan

waktu yang panjang; kedua orientasi mata pencaharian yang lebih menjanjikan dan dijadikan

andalan untuk mencapai status kehidupan sosial yang lebih baik; Ketiga, orientasi untuk

mencapai kehidupan sosial ekonomi yang mapan, maka nelayan patorani memerlukan akses

pasar lebih luas, hingga pada pasar internasional.

Nelayan patorani merupakan suatu komunitas yang sementara mengalami suatu

proses hingga berorientasi pada pencapaian penghasilan produksi. Sebelum tahun 1969,

hasil produksi nelayan patorani hanya mengandalkan induk ikan torani. Kemudian

perkembangan selanjutnya bergeser pada telur ikan torani dan hingga sekarang menjadi

komoditi yang diperhitungkan dan dihargai secara resmi sebagai barang ekspor. Selain itu,

masuknya unsur eksportir maka prioritas selanjutnya, perhitungan bagi hasil didasarkan

pada jumlah produksi yang diperoleh nelayan patorani. Realitas diatas, sangat jauh berbeda

sebelum masuknya eksportir. Perbedaan itu terkait kondisi penangkapan dengan telur ikan

torani hanya menjadi konsumsi patorani sendiri, atau diberikan kepada keluarga dan

kerabat. Lain halnya dalam kondisi sekarang, telur ikan sudah menjadi barang yang mahal,

dan situasi kerabat ikut pula bergeser.

Sesudah tahun 1969, merupakan periode yang penting dalam perubahan sistem dan

pengetahuan patorani. Dan perubahan dibidang ini meluas ke aspek-aspek lain dalam

kehidupan sosial kelompok pinggawa-sawi. Hal itu, telah menimbulkan berbagai dampak

sosial terutama pola penangkapan yang berawal dari induk ikan ke telur ikan torani. Dalam

periode pertama (sebelum tahun 1969), perubahan yang rnenonjol nampak pada unsur-

unsur material, yaitu bagian dari alat penangkapan patorani. Pada perahu patorani telah

www.hendratmoko.com 117
terjadi tiga kali modifikasi. Pada mulanya dikenal perahu padewakang, sejenis perahu pajala

yang dimodifikasi dengan ditambah jarupi (menambah bagian perahu agak lebih tinggi).

Perahu ini berkapasitas muatan 3 alat penangkapan hanya 5-10 buah, jumlah awak 3 - 4

orang. Perahu memiliki Panjangnya tujuh meter, lebar garis tengah 1.5 meter, serta tinggi

1.5 meter. Era ini, nelayan patorani memasuki masa transisi pola tangkapan yakni dari induk

ikan torani ke telur ikan torani. Namun pada masa ini masih tetap ada yang menankap induk

ikan dan ada pula nelayan yang sudah beralih ke telur ikan torani. Kedua komodiri itu, masih

tetap menjadi sasaran permintaan pasar.

Setelah memasuki era awal tahun 1970-an merupakan periode awal pertumbuhan

dalam industri penangkapan telur ikan torani, karena sudah ada negara Jepang yang melirik

telur ikan torani sebagai komoditas ekspor di Galesong. Periode ini, nelayan patorani

berproduksi disamping terarahkan untuk memenuhi kebutuhan subsitensi juga sebagain

untuk kepentingan pemunuhan kebutuhan masyarakat lokal. Periode ini pula surplus belum

tercipta sehingga investasi perahu dan peralatan tangkap masih sederhana. Periode ini, jika

dihubungkan dengan pentahapan perkembangan masyarakat dar Rostow (1964), juga bisa

disebut sebagai tahap awal proses para kondisi untuk tinggal landas.

Perkembangan berikutnya, sudah di kenal perahu patorani dengan model dan

ukurarn yang lebih besar dari perahu jenis pajala. Ukuran panjangnya 11 meter, lebar antara

5-7 meter, dan tinggi 3 meter. dengan kapasitas muat 9 ton, jumlah awak 8 orang. Modifikasi

ini bertujuan untuk meningkatkan daya muat dan produktivitas penangkapan.Walaupun

demikian, perahu itu masih merupakan perahu layar murni, yang digerakkan oleh tenaga

angin dengan alat perlengkapan yang relatif tradisional.

Bertambah besarnya ukuran dan daya muat perahu, maka hal ini disertai pula

dengan peningkatan jumlah alat tangkap, serta lamanya waktu operasi penangkanan.

Dengan perahu yang berukuran 3 ton saja, maka pakkaja yang disiapkan, jumlahnya rata-

www.hendratmoko.com 118
rata 12 buah, dengan lama penangkapan 1 sampai 2 minggu. Sementara itu, dengan

kapasitas perahu 9 ton, jumlah pakkaja yang dibawa 40 sampai 50 buah, dengan lama

pelayaran 1 bulan setiap shift bagi areal lokasi penangkapan kalukkalukuang, tetapi nelayan

patorani yang berlayar hingga ke Fakfak pulau Irian, maka biasanya 3 bulan beroperasi.

Periode kedua (sesudah tahun 1969) ditandai dengan perubahan sasaran

penangkapan, dari induknya ke telur ikan terbang. Perubahan ini didorong oleh terbukanya

pasaran telur terbang di luar negeri. Sehingga usaha penangkapan ini semakin mengarah ke

bentuk usaha padat modal. Sejalan dengan itu, dilakukan berbagai penyesuaian dalam

sistem pengetahuan dan teknologi patorani, khususnya dalam sistem pengetahuan pela-

yaran dan penangkapan. berbagai modifikasi yang lebih sempurna telah dilakukan selama

periode ini, baik bagi perahu itu sendiri, maupun alat tangkap. Di antaranya, sejak tahun

1986 ukuran besar serta model perahu mulai disesuaikarn dengan bentuk kapal, yang

disebut baralo (dilengkapi dengan kamar). Ukuran panjang 9 meter, dan lebar 3 meter,

kapasitas muat 9 ton.

Sebelum tahun 1986 dalam periode kedua ini, jenis perahu yang digunakan adalah,

juga perahu yang digunakan pada akhir periode pertama. Namun demikian dalam periode

kedua ini sudah terjadi penggantian komponen utama perahu, yaitu dari tenaga angin

diganti dengan tenaga mesin. Dengan demikian, penggunaan layar tinggal sekedar, alat

perengkap saja, dimana digunakan bila mesin tidak berfungsi. Perahu ini sudah berbentuk

perahu layar bermesin. Dalam hal itu, penggunaan layar tidak sebanyak semula dan

jumlahnya sudah dikurangi. Dengan adanya mesin, jumlah layar tinggal 1- 2 buah hanya

untuk dipersiapkan bila salah satu mesin ada yang rusak, padahal sebelum menggunkan

mesin setiap perahu memakai 3 layar sebagai alat bantu utama untuk menjalankan perahu

kelokasi penangkapan.

www.hendratmoko.com 119
Perubahan orientasi sasaran penangkapan menyebabkan terjadinya penyesuaian

alat tangkap yang dipandang lebih baik dan lebih produktif dari sebelumnya. Kalau dulu yang

dipikirkan adalah penangkapan induknya, maka setelah investor lokal maupun eksportir

masuk, kemudian yang diutamakan adalah telurnya. Dengan pertimbangan seperti itu, maka

yang diperbanyak bukan lagi alat tangkap pakkaja, tetapi daun-daun kelapa dan gosse

(rumput laut) yang cenderung disukai ikan terbang sebagai tempat memijah. Pakkaja yang

dibawa oleh patorani jumlahnya sisa 12 buah, lebih sedikit dari sebelumnya, kemudian

ditambah dengan alat lain yaitu ballak-ballak sebanyak 20 buah. Ballak-ballak memiliki

ukuran 2x1 meter, fungsinya sebagai tempat memijah ikan torani untuk bertelur, jadi bukan

alat perangkap seperti pakkaja. Penggunaan ballak-ballak di ikatkan daun-daunan seperti

daun kelapa, gosse, dan sebagainya. Modifikasi ballak-ballak induk ikan torani tidak akan

terperankap, namun hanya telurnya yang tertinggal di ballak-ballak tersebut. Menurut

informan bahwa setelah induk ikan terbang sudah memijah biasanya melakukan perjalanan

kembalii dan sesuai kebiasaan bahwa musim tahun berikutnya kemudian bertelur kembali.

Jadi induk ikan torani bertelur hanya sekali dalam semusim yakni antara bulan April sampai

September.

Sejak terjadi perubahan sasaran orientasi penangkapan, muncul berbagai spekulasi

oleh kalangan patorani untuk dapat mengumpul telur ikan toranisebanyak mungkin.

Orientasi ini terkait komersialisasi produksi sudah menjadi prioritas utama unuk merekrut

hasil sebanyak-banyaknya. Diantaranya ada yang membawa dedak yang digunakan sebagai

umpan supaya ikan terbang mendekat ke alat tangkap. Dedak tersebut ditaburkan di semua

alat tangkap. Selain itu ada pula yang memakai lampu pijar (bola lampu neon) dengan aliran

listrik bersumber dari air aki. Penggunaan lampu itu, dilakukan berdasarkan dugaan bahwa

ikan torani memiliki kesenangan bermain ditempat sorotan cahaya sinar lampu di malam

hari.

www.hendratmoko.com 120
Sedikitnya ada tiga hal penting yang dapat digaris bawahi dalam periode selama fase

perkembangan teknologi penangkapan nelayan patorani. Pertama diperkenalkannya

motorisasi secara meluas dikalangan komunitas nelayan patorani; kedua, terciptanya apa

yang disebut polarisasi sistematik, yakni polarisasi kinerja sistem penangkapan kemudia

diimbangi dengan polarisasi struktural; ketiga, terciptanya daur kegiatan usaha kenelayanan

yang relatif tidak lagi dibatasi lagi ruang geraknya ketika memasuki musim mencari telur ikan

torani (pattoranian), dan disatu sisi pula peningkatan frekuensi dan perluasan wilayah area

penangkapan. Ketiga halinilah yang tampak menggejala dan sekaligus menandai fase

perkembangan komunitas nelayan patorani.

Penggunaan motorisasi dikalangan komunitas nelayan patorani adalah sejak

dimulainya pada kegiatan penangkapan dan penadahan telur ikan torani yaitu sekitar

akhir tahun 1960-an hingga era awal tahun 1970-an. Operasi penangkapan dilakukan

berkolompok, produktivitas dan pendapatan meningkat, sehingga investasi untuk

penadahan ikan torani dapat dilakukan. Setelah diperkenalkannya motorisasi ini

adalah terutama karena adanya rangsangan harga pada setiap musim kepatoranian

tiba. Dalam kondisi demikian, persaingan harga telur ikan pun semakin terbuka

dikalangan eksportir.

Dalam kurung waktu tahun 1970-an komunitas nelayan patorani telah megadopsi

dua teknologi baru yang signifikan pengaruhnya. Teknologi tersebut terkait dengan perahu

yang lebih modern dengan kapasitas mesin lebih besar dan alat tangkap ballak-ballak lebih

dimodifikasi. Teknologi tersebut diadopsi oleh komunitas maupun individu dan selanjutnya

mengalami pekembangan dan semakin menyebar. Inovasi tersebut merupakan suatu bentuk

perkembangan teknologi dalam komunitas industri penangkapan telur ikan torani di

Galesong Selatan dan Galesong Utara. Fenomena ini relevan dengan penekanan Rogers

(1962) tentang peranan individu inovatif dalam adopsi teknologi.

www.hendratmoko.com 121
Komitmen ke arah komersialisasi produksi bagi komunitas nelayan patorani

merupakan hal yang tidak dapat ditawar lagi. untuk mendukung hal itu, maka mengadopsi

teknologi alat penangkapan dan modifikasi perahu secara lengkap. Modifikasi tersebut, lebih

cenderung untuk mendorong produktivitas yang bermuara pada peningkatan hasil. Tahun

1940-hingga akhir tahun 1960-an inovasi kelengkapan perahu dan kelengapan penangkapan

(pakkaja) lebih kompleks dan kesemua itu dikembangkan oleh individu tertentu dalam

komunitas.

Mengadopsi teknologi secara eksternal, memiliki keuntungan tersendiri untuk

menunjang keberlanjutan nelayan paorani untuk lebih produktif. Untuk mengadopsi

teknologi, bagi komunitas nelayan dilakukan melalui du cara yakni pola adopsi (adoption)

dengan pola menemukan sendiri (invention). Perkembangan teknologi dari periode akhir

1960-an sampai tahun 2000-an peralatan tangkap lebih cenderung di temukan sendiri.

Antara lain alat penangkapan yang dimodifikasi sendiri adalah ballak-ballak ukurannya lebih

besar. Alat tangkap ballak-ballak, yang dimodifikasi hanya di butuhkan antara 15-20-an

Berdasarkan uraian di atas, ada beberapa inti sari dapat dikemukakan, pertama,

bahwa perkembangan teknologi dalam komunitas nelayan patorani di Galesong Selatan dan

Galesong Utara telah berlangsung secara bertahap berdasarkan periodisasi kebutuhannya.

Pola adopsi teknologi, terkait antara teknologi yang berasal dari luar komunitasnya yang

dikombinasikan dengan temuan sendiri oleh individu inovatif. Kedua, bahwa perkembangan

teknologi tersebut telah mendorong perolehan surplus produksi yang memungkinkan

reinvestasi dan diversifikasi bidang usaha, dengan tetap menempatkan tangkapan pada

telur ikan torani sebagai sentra usaha komunitas nelayan patorani. Ketiga keberadaan

teknologi memberikan kekuatan untuk semakin berpeluang menggeser pola penangkapan.

Hal itu terkait dengan kepemilikan teknologi lebih cenderung berorientasi pada permintaan

pasar.

www.hendratmoko.com 122
4.2.2.2 Pola Pengelolaan Hasil Tangkapan Subsisten Ke Arah
Orientasi Ekspor

Perubahan yang terjadi dalam periode 1940-an hingga awal tahun 1970-an

menimbulkan efek sosiologis yang berbeda. Perkembangan tersebut dapat di gambarkan

atas dua periode. Pada periode pertama perubahan yang terjadi lebih cenderung pada

bagian-bagian sistem pengetahuan. Perubahan tersebut tidak banyak berpengaruh pada

perubahan sosial, terutama pola dan jaringan hubungan dalam kelompok pinggawa sawi.

Pada periode kedua bagian lebih menonjol mengalami perubahan adalah berkaitan alat

penangkapan seperti model dan besar perahu serta jumlah alat tangkap. Perubahan itu lebih

bertumpu pada aspek kuantitatif material terutama dari segi hasil tangkapan difokuskan

pada kondisi pemunuhan kebutuhan hidup sendiri.

Keadaan tersebut di atas, merupakan kondisi sosial yang menonjol pada periode

tahun 1940-an hingga tahun 1960-an, ketika nelayan patorani masih menangkap induk ikan

torani sebagai komoditi andalannya. Namun tidak berarti, bahwa kondisi tersebut hanya

secara spesifik berlaku surut hingga sekarang. Akan tetapi dengan, penggambaran seperti itu

adalah cara untuk melihat terjadinva perubahan sosial, dengan mengangkat kepermukaan

perbedaan-perbedaan yang mencolok pada periode nelayan patorani ketika terjadi

pergeseran penangkapan dan komersialisasi sudah menjadi prioritas sekarang ini.

Kehidupan sosial nelayan patorani, selama kurung waktu tahun 1940-an hingga akhir

tahun 1960-an, komunitas nelayan patorani mengutamakan kesamaan dalam banyak hal,

kesamaan-kesamaan itu antara lain: (1) kesamaan memulai hari H pemberangkatan berlayar

secara perdana dalam menangkap ikan terbang; (2) kesamaan bentuk ritus dan upacara; (3)

kesamaan pola bagi hasil. Komponen tradisi kehidupan tersebut, menjadi pijakan nelayadi

patorani sejak era 1940-an hingga awal 1970-an. Keselarasan hidup itu berlangsung, karena

belum adanya kekuatan-kekuatan dari luar komnunitasnya mampu merubah orientasi

www.hendratmoko.com 123
kehidupan sosialnya. Keselarasan tentang penenentuan hari perdana keberangkatan, masih

menjadi tradisi nelayan patorani dan upacara juga masih menjadi suatu kepercayaan yang

dipertahankan hingga sekarang.

Sesuai kebiasaan yang berlaku, pelayaran perdana harus dimulai di Paklaklakkang

pada hari H yang telah ditentukan. Keharusan ini merupakan bagian yang penting dari tradisi

penangkapan ikan terbang, dimana Paklaklakkang dalam sejarah, dipandang sebagai pusat

Gaukanga patorani di Takalar. Desa itu, merupakan perkampungan tua di mana

terkonsentrasi pemarkiran perahu patorani. Kampung ini pila ada diyakini seorang pinggawa

yang dianggap sebagai pewaris dari tradisi kebaharian yang unik ini. Desa Paklaklakkang

merupakan wilayah bermukin turunan Keraeng Galesong (raja Galesong) yang dianggap

sebagai awal mula kegiatan penangkapan ikan terbang. Dengan demikian semua kelompok

kecil patorani yang tersebar di Takalar tidak akan mendahului berlayar sebelum kelompok

pewaris itu secara resmi memulai aktivitas pelayaran. Permulaan pelayaran ditandai oleh

ritus yang diramaikan oleh kelompok-kelompok kecil lainya. Desa Paklaklakkang hingga kini

dijadikan sebagai kiblat kebersamaan untuk memulai pelayaran dan penangkapan, dan

hingga pada pola bagi hasil diatur oleh aturan pangadakkan (norma adat). Kesamaan

tersebut di atas, dipelihara sebagai satu kesatuan yang mengikat secara bersama-sama pada

komunitas nelayan patorani sejak abad ke-17 hingga awal tahun 1990-an. Adanya ikatan

tersebut, maka sulit ditemukan adanya perubahan-perubahan yang berarti dalam bentuk

inovasi untuk mendorong peningkatan kesejahteraan sosial ekonomi patorani. Namun

demikian, dengan kebersamaan dalam sebuah ikatan, maka partisipasi dan keterlibatan

secara luas anggota keluarga patorani secara khusus dan bahkan nelayan pada umumnya

menjadikan lebih terbina interaksi kekeluargaan.

Terbinanya hubungan kekeluargaan, maka kelompok umur dan jenis kelamin ikut

berperan serta sebagai tenaga kerja. Anak-anak yang belum bisa ikut berlayar, turut

www.hendratmoko.com 124
mewarnai kesibukan persiapan pemberangkatan. Mereka membantu orang tua

mengangkat apa yang mereka mampu, ibu rumah tangga mempersiapkan bekal dan

bahan-bahan konsumsi yang diperlukan. Tetangga datang menyampaikan selamat

berlayar, dengan membawa kue atau makanan. Seterusnya, kebersamaan itu

berlangsung pula ketika para petorani kembali ke darat, sejak hasil tangkapan itu

diangkut dari perahu ke darat, kemudian diolah sampai bagi hasil.

Bila patorani tiba kembali ke darat, yang pertama sekali dikeluarkan dari hasil

tangkapan adalah kaddok-kaddokang (memberikan secara sukarela ikan/telur ikan terbang)

kepada tetangga. Pemberian tersebut diberikan pada kerabat dan keluarga yang datang

menyambut (attimporong). Fenomen ini, terpresentasikan ke dalam sebuah hubungan yang

belum mengedepankan komersialisasi produksi. Nampaknya dukungan tetangga, kerabat

dan keluarga mempunyai koreleasi dengan pemberian kaddok-kaddokang. Hal itu, sudah

menjadi perilaku yang terpola dan perilaku ini adalah bagian dari sistem sosial patorani.

Pengelolaan telur ikan torani di daerah lokal telah memperluas partisipasi

masyarakat dan tumbuhnya kebersamaan dalam kelompok. Kesempatan untuk memperoleh

penghasilan musiman terbuka luas. Musim pattoranian merupakan panen raya, karena

kondisi semusim inilah bertumpu harapan untuk membiayai rencana-rencana peningkatan

hidup, seperti: penyelenggaraan pesta perkawinan, perbaikan atau pembangunan rumah,

dan semacamnya. Aktivitas ini, sekaligus menjadi sarana kontrol untuk mengokohkan

kebersamaan kembali, kehidupan masyarakat yang lebih luas. Setelah beberapa bulan

terpencar-pencar dalam kelompok kecil, kerengganan sosial yang disebabkan oleh kesibukan

masing-masing berlayar dan menangkap ikan selama semusim diperkuat kembali melalui

berbagi pengalaman selama musim torani.

Kasus 8

www.hendratmoko.com 125
Kehidupan Subsistensi Ke Arah Orientasi Ekspor

Nelayan patorani sejak keberadaannya sebagai nelayan tradisional dan aktivitas penangkapan dilakukan pada areal
tertentu. Hal itu, dilakukan karena nelayan patorani hanya mengandalkan untuk mempertahankan hidup secara
subsistensi. Kehidupan dengan sistem subsitensi ini, hanya menjual hasil tangkapannya pada pasar lokal dan penghasilan
hanya berorintasi pada hasil akhir yang diperoleh serta kebutuhan pasar pun permintaannya sangat terbatas.

Selain itu, bahwa pada periode awal keberadaan nelayan patorani, perubahan yang terjadi sangat statis dan alami,
sehingga proses adaptasi budaya juga berjalan secara harmonis. Tanpa adanya loncatan teknologi yang melampaui
kemampuan pengalaman dan kebiasaan kelompok. Dengan kata lain, perubahan itu berlangsung menurut evolusi alami,
yaitu terjadinya transformasi organisasi dan perubahan secara bertahap.

Perubahan yang alami itu, dalam rangka pengembangan dan penyesuaian terhadap suatu lingkungan yang stabil tanpa
menghilangkan karakteristik sendiri. Seperti halnya nelayan patorani sejak keberadaannya pada abad ke-17 sebagai
nelayan yang berkrakter dengan ciri khas menagkap induk ikan terbang. Namun dari segi hal keterpaduan pada
permintaan pasar, maka nelayan patorani melakukan suatu perubahan dari segi kuantitas jumlah tangkapan untuk
memenuhi kuota permintaan.

Kasus di atas menggambarkan bahwa nelayan patorani memiliki suatu karakteristik,

secara perlahan mengalami pergeseran beriringan dengan tuntutan perkembangan zaman

dan lebih cenderung dipengaruhi oleh kondisi secara eksternal. Karakteritik tersebut dapat

dilihat pertama, sejak sistem penangkapan masih menggunakan perahu dan alat

penangkapan secara tradisional, ikatan dan keutuhan kelompok pinggawa-sawi secara lokal

merupakan fenomena yang paling menonjol. Kedua, keterpaduan untuk menanggulangi

berbagai masalah antara papalele, pinggawa dan sawi belum terusik dengan perubahan

komersialisasi produksi yang tajam; Ketiga, naiknya harga telur ikan terbang, di pasaran

membuka jaringan secara sosial dan terpadu melalui jaringan ekonomi yang amat kebal dari

lntervensi kekuatan ekonomi dari luar (out-group).

Pengumpulan hasil tangkapan pada tingkat lokal, tidak dapat dengan mudah

ditembus begitu saja oleh pedagang dari Makassar, kecuali mereka bekerjasama dengan

kelompok-kelompok pengirim yang ada di Takalar. Hal itu terjadi, disebabkan oleh karena

setiap unsur dari kelompok tetap konsisten dengan peranan yang harus dimainkan. Mereka

memelihara kepercayaan sesuai dengan peranan tersebut. Mereka patuh terhadap

kebersamaan dan kesepakatan antara pinggawa darat dengan pinggawa laut (juragan)

www.hendratmoko.com 126
beserta sawi. Papalele memberikan kepercayaan kepada pinggawa biseang (juragan) untuk

mengoperasikan perahu milik papalele dengan kesepakatan lisan bahwa pemasaran

ditangani oleh papalele. Pinggawa memegang amanah tersebut, sehingga tidak akan terjadi

penyelewengan dari pinggawa untuk menjualnya ke papalele lain. Kontrak model pemasaran

itu, dilakukan guna memudahkan mobilisasi pasar dan penentuan harga pun dapat diketahui

secepatnya oleh pinggawa.

Nelayan menjalin kerjasama atas dasar kepercayaan dan kekeluargaan. Pinggawa

senantiasa mencegah timbulnya celaan (paccalla), dari papalele, karena kalau hal itu terjadi,

maka dinilai oleh papalele tidak mempunyai perasaan yang menyatu terhadap barang yang

dititipkan ke pinggawa. Barang tersebut diantaranya perahu, alat tangkap serta modal yang

dipercayakan kepadanya. Apabila timbul celaan, pinggawa itu sendiri menjadi malu. Suasana

akan menjadi lain terutama kredibilitas akan memudar akibat celaan yang tersebar dari

mulut ke mulut. Bagi mereka, menjaga kepercayaan merupakan nilai yang paling utama

dalam menjaga hubungan harmonis antara papalele dengan pinggawa.

Ukuran-ukuran kepercayaan antara mereka tumbuh dan berkembang melalui proses

interaksi, transaksi dan pertukaran sosial, dalam waktu beberapa musim atau tahunan.

Indikasi yang memperkuat saling percaya itu antara lain:(1) Pinggawa sudah dikenal,

diketahui identitas pribadinya dan tempat tinggalnya, Papalele mengenal pinggawa karena

adanya faktor ada hubungan keluarga atau secara geografis berdomisili sekampung/desa; (2)

Pinggawa tinggal menetap di kampung, punya rumah dan keluarga di kampung; kecil

kemungkinan baginya beralih pekerjaan dan pindah ke tempat lain. Papalele selalu bisa

jumpa dengannya, baik karena kepentingan pribadi (keluarga), maunun kepentingan hu-

bungan kerja; (3) Pinggawa belum pernah menipu seseorang. Masyarakat tahu dia jujur; (4)

Pinggawa merawat perahu dan alat tangkap serta memperbaikinya bila rusak, seperti

miliknya sendiri; (5) Pinggawa menyampaikan laporan hasil penangkapan yang sebenarnya.

www.hendratmoko.com 127
Indikasi kepercayaan pinggawa terhadap papalele antara lain (1) Papalele memiliki

modal usaha; makin banyak perahu yang dioperasikan, makin tinggi pula kepercayaan ping-

gawa; (2) Papalele tersebut, memang berasal dari turunan papalele sejak kakeknya: dan

bukan papalele musiman; (3) Papalele menetap, di tengah-tengah masyarakat, mengayomi

para pinggawa, dan menunjukkan solidaritas yang tinggi dalam komunitas; (4) Papalele

dinilai oleh masyarakat sebagai orang jujur dan tidak mengeskploitasi pinggawa biseang dan

sawinya; (5) Papalele mampu memberi bantuan dan pinjaman modal kepada pinggawa dan

hanya menerima bagian dari hasil tangkapan menurut ketentuan yang berlaku.

Ukuran di atas, menjadi pertimbangan utama baik bagi pihak papalele maupun pihak

pinggawa dalam menjalin hubungan kerjasama, yang sekaligus berfungsi sebagai sistem

kontrol dalam membina dan mengembangkan jaringan kerja. Konsistensi mereka terhadap

saling percaya ini menyebabkan terjadinya sistem bagi hasil yang sudah terpola untuk

pinggawa dan sawinya, setelah dikeluarkan biaya operasional. Budaya ini bermula, ketika

papalele sudah berorientasi pada kapitalis untuk mengejar keuntungan semata. Memang di

satu sisi juga memberikan keuntungan bagi pinggawa setelah adanya peralihan bagi hasil

dengan sistem perhitungan demikian. Namun yang menjadi persolanan adalah pekerja

(sawi) hanya memperoleh sisa dari pembagian antara papalele dan pinggawa sebagaimana

pada kasus bagi hasil yang digambarkan terdahulu.

Adanya penyamaan keinginan antara papalele dan pinggawa nelayan patorani untuk

mengejar hasil produksi, maka keutuhan serta konsistensi dalam hubungan sosial

ekonomi menjadi prioritas utama. keterterpaduan secara harmonis dan

berkesinambungan itu, merupakan bahagian karakteristik antara papalele dengan

pinggwa berlangsung dalam waktu yang cukup lama dan bukan hanya satu musim

pattoranian saja. Bahkan bisa menjadi hubungan antar generasi, Sejak pertama seorang

www.hendratmoko.com 128
pinggawa terikat hubungan kerja dengan papalele. Sejak itu pula terjalin hubungan

sosial yang semakin dekat, dan makin lama hubungan itu makin akrab menjadi

hubungan kerabatan berdasarkan dengan adanya kesamaan keinginan untuk

meningkatkan produksi telur ikan torani.

Adopsi teknologi modern terkait penggunaan mesin untuk mengganti tenaga angin

dalam sistem pelayaran. Adopsi ini secara nyata telah menggeser aspek-aspek tradisional

dalam kehidupan komunitas nelayan patorani. Penggunaan mesin sebagai alat bantu

nelayan patorani kecenderungan ini sangat berkaitan dengan perubahan nilai komoditas dan

sasaran penangkapan dari induk ke telur ikan. Tujuan utama adopsi teknologi adalah lebih

cenderung untuk berburu hasil tangkapan atau pengumpulan telur ikan yang lebih banyak.

Adopsi teknologi ini semakin gesit perkembangannya ketika tuntutan pasar (eksportir)

semakin banyak kuota permintaanya. Periode tahun 1990-an hingga 2000-an, nelayan

patorani sudah menjangkau pada lokasi penangkapan lintas pulau.

Penerimaan teknologi modern beserta perangkatnya, terdiri pada penggunaan

mesin perahu dan modifikasi perahu. Kondisi dmikian menggambarkan bahwa kemampuan

dan kemapanan orientasi ekonomi sudah menjadi prioritas. Selain ekonomi, maka

pengetahuan teknis pun perlu dimiliki oleh para patorani sebagai prasyarat untuk menguasai

teknologi yang diadopsi tersebut. Sebagaian informan yang menjadi pinggawa karena

kepercayaan dan pengalamannya sehingga dibebani untuk menahkodai perahu milik

papalele. Selain itu, para pinggawa dan sawi diberikan sepenuhnya menguasai perahu, dan

bila rusak maka layar tetap difungsikan kembali. Mesin yang rusak umumnya diperbaiki oleh

pinggawa dengan bantuan dana papalele yang sudah membina kerjasama pada musim

berikutnya.

www.hendratmoko.com 129
Beralihnya sistem pemasaran dari tangan pengumpul (kolektor) ke tangan papalele,

tidaklah berarti persoalan telah selesai. Kualitas komoditiuntuk sementara waktu memang di

jamin dapat dipertahankan, akan tetapi harga atas komoditi telur ikan torani itu tetap

menjadi rahasia bisnis dikalangan papalele. Jika sebelimnya para kolektor membeli pada

papalelele, sekarang papalele membeli hasil tangkapan patoraninya dengan harga yang

ditentukannya sendiri. Hasil informan para pinggawa menyatakan bahwa ketika mereka

menyetor hasil tangkapannya, maka papalele dengan serta merta memberikan harga yang

disesuaikan dengan keinginan papalele. Atas keinginan papalele itu, tak seorang pun

pinggawa yang pernah membantah ataupun tidak menyetujuinya. Ketidak mampuan

pinggawa untuk melawan dan memprotes atas harga yang sudah ditawarkan oleh papalele,

karena hal itu sangat prinsipil untuk di bahas dan pada akhirnya akan bermuara konflik

antara papalele dan pinggawa.

Setelah telur ikan terbang menjadi komoditi andalan di Sulawesi Selatan, terutama

di Galesong Selatan dan Galesong Utara. Peluang investasi sektor telur ikan torani

mengalami peningkatan hingga mencapai 2189,7 ton pada tahun 2005 ( data BPPMD, 2005).

Telur ikan terbang adalah salah satu komoditas ekspor yang ditangani secara sederhana.

Telur ikan terbang di ekspor ke Jepang, Korea dan Taiwan. Harga telur ikan terbang

berfluktuasi mengikuti perkembangan mata uang dollar AS, harga pada musim 2005-2006

mencapai Rp. 360.000 perkilo gram.

Menurut informan papalele bahwa naik turunnya harga komoditi telur ikan torani,

lebih cenderung pada adanya permaianan pasar atau negara-negara eksportir

memperebutkan hasil yang maksimal. Sekitar tahun 1971 telur ikan torani hanya di beli oleh

pelaku pasar lokal yang berasal dari Kota Makassar dengan harga sekitar Rp. 10.000-

Rp.20.000. namun setelah negara Jepang menjadi negara eksportir pertama, maka harga

relatif sangat rendah pula bila dibandingkan dalam era sekarang ini. tetapi pada tahun akhir

www.hendratmoko.com 130
tahun 1990-an hingga tahun 200-an eksportir sudah mulai masuk bermain di dalamnya

sehingga telur ikan semakin menjadi primadona yang dilirik oleh nelayan patorani dengan

orientasi meningkatkan produksinya.

Dijadikannya telur ikan torani ke dalam salah satu komoditi ekspor, maka papalele

sebagai pemilik modal ikut pula memainkan pasar melalui strategi kebutuhan pasar.

Pemanfaatan modal bagi papalele pada saat bulan masuknya musim torani melakukan

investasi sebanyak-banyaknya. Nelayan yang melaut biasanya membawa pulang minimal 30-

40 kilogram telur ikan terbang (torani) dalam bentuk sudah di keringkan. Bahkan bisa

membawa pulang sekitar 100 kilogram dengan lama melaut membutuhkan waktu 20 hari

hingga satu bulan. Musim telur ikan terbang dimulai awal bulan April sampai bulan

September. Saat musim angin timur, ikan terbang (torani) berada di selat Makassar. Paling

jauh bisa sampai ke Kalimantan, bahlan perairan Papua. Diluar musim angin timur dan atau

sudah memasuki awal musim angin barat, tidak ada satupun ikan terbang (torani) bisa

ditemukan.

Dekade terakhir ini, sejak tahun 1990-an hingga tahun 2000-an, tumbuh dan

berkembang jumlah pinggawa baru, sehingga jumlah perahu pun bertambah banyak

jumlahnya. Lokasi pelabuhan (tempat berlabuh) nelayan patorani di Kecamatan Galesong

Selatan dan Galesong Selatan, kabupaten Takalar berstatus pa’torani berkisar sebanyak

2.000-an perahu. Pencarian telur ikan terbang dilakukan memakai kapal motor sepanjang

10-15 meter dengan mesin berkapasitas 48 pk. Penangkapan torani menggunakan balla-

balla. Diantara balla-balla itu, dipasang rumbai-rumbai daun kelapa yang dipotong

memanjang kecil-kecil, menyerupai semak-semak laut. Sehingga, ikan menitpikan telurnya di

rumbai-rumbai bale-bale tersebut. Selain dengan bale-bale penagkapan torani juga

dilakukan memakai jebakan pakaja. Bentuk pakaja berupa bingkai bambu persegi panjang

berukuran 1x2 meter, yang dipasangi rumbai-rumbai daun kelapa. Puluhan pakaja diikat

dengan tali, dimasukkan ke laut, kemudian ditarik dengan kapal sambil berjalan pelan-pelan.

www.hendratmoko.com 131
Pada saat itulah, ikan yang hendak bertelur meloncat dan hinggap di pakkaja. Ikan torani lalu

bertelur di rumbai-rumbai yang senaja di pasang pada alat tangkkap ballak-ballak apabila

pakkaja terlihat agak tenggelam, itu pertanda telah dipenuhi induk ikan torani yang sedang

memijah.

Telur ikan torani yang dipanen berupa butiran halus berwarna putih keruh sampai

kuning keemasan, berlendir serta melekat dalam satu rangkaian memanjang (20-100 cm).

Untaian telur tersebut dijemur di atas perahu dengan menggunkan penjemur dari tali.

Waktu penjemuran berkisar satu sampai dua hari. Telur yang sudah kering dan berserat ini

kemudian di simpan dalam kantong plastik, untuk kemudian di bawah kedarat. Telur ikan

dapat dijual ke pengumpul atau dijual langsung ke eksportir.

Pada umumnya telur hasil dari laut akan dijemur kembali setelah di darat sambil

diangin-anginkan. Pelepasan telur dari saratnya dilakukan secara manusal dengan

menggunakan parutan yang terbuat dari kawat kasa. Butiran telur yang telah terpisah dari

seratnya kemudian di tampih. Penyortiran akhir dilakukan dengan mengambil telur yang

telah terpisah dengan menggunakan sendok, kemudian butiran telur dibersihkan lagi dari

kotoran maupun serat. Produk telur ikan terbang yang telah bersih disimpan digudang

penyimpanan dalam suhu kamar.

Beralihnya orientasi penjualan telur ikan torani yang pada taun 1970-an hanya di

jual pada pedagang lokal sekitar Sulawesi Selatan, dan era akhir tahun 1970-an hingga pada

awal tahun 2000-an para papalele menyediakan gudang di dekat rumahnya masing-masing

untuk dijadikan sebagai penampungan butiran telur ikan yang sudah dipisahkan antara

serat/ benang dengan telurnya. Pengerjaan yang lebih profesional itu, dilakukan untuk tetap

mengedepankan kualitas telur ikan dan juga akan berimbas pada hubungan dan pencitraan

antara papalele maupun eksportir.

www.hendratmoko.com 132
4.3. Penerapan Teknologi Dan Pola Hungungan Sosial

4.3.2 Hubungan Sosial Tradisional Ke Industrial

Peralihan hubungan tradisional-industrial tercipta sekaitan pemenuhan ekonomi dalam meningkatkan taraf hidup yang
lebih baik, serta fasilitas yang dipergunakan lebih bermanfaat dan memudahkan memperlancar aktivitas. Kemudian
kekuasaan yang mempengaruhi kepatuhan berbasis pada pembagian upah sudah menjadi bagian yang diperhitungkan.
Implementasi tentang itu adalah atas dasar kepatuhan yang berbasis pada kalkulasi bentuk pekerjaan dan hasil kerja
berdasarkan pada kontraktual. Karakteristik masyarakat tersebut, berbeda satu sama lain dalam berbagai hal yakni
mencerminkan sejarah, lingkungan sosial dan fiskal, tetapi ada sejumlah karakteristik penting yang sama dan bisa
membantu guna memahaminya.

Karakteristik komunitas nelayan patorani tradisional masa lalu yakni era abad ke

17 hingga awal abad ke 20-an, sudah muncul tentang pemahaman yang difokuskan bahwa

pengaruh papalele cenderung mendominasi terkait hasil yang diperoleh pinggawa.

Perkembangan itu hingga sekarang masih diperlakukan papalele untuk mendapatkan

kepatuhan pinggawa-sawi serta pertimbangan yang melatari pinggawa-sawi dalam

keterlibatan pada hubungan tersebut. Pengaruh yang diperlakukan patron (papalele) kepada

kliennya (pinggawa-sawi) adalah berbasis pada pemberian upah yang dibarengi dengan

manipulasi normatif. Manipulasi itu, diparaktekkan melalui pemberian bantuan yang

mengikat klien dalam norma resiprositas.

Kombinasi pengaruh yang demikian, memunculkan ketidakpuasan terhadap

pemberian upah dan dinetralisir oleh manipulasi normatif, hingga itu harmoni tetap tercipta.

Papalele melakukan kombinasi ini dengan sadar untuk tercapainya keberlanjutan usaha

dengan kondisi harmoni tetap terjaga. Keharmonisan tradisional itu, terkait antara orang

yang telah menolong, pihak yang ditolong harus membalas pertolongan tersebut, atau

setidaknya harus patuh, tidak melawan dan tidak menyakiti. Prinsip ini lahir sebagai implikasi

adanya unsur utang budi dari sebuah pertukaran tidak seimbang tersebut menyebabkan

kekuasaan berada di tangan yang lebih banyak memberi sehingga berposisi superordinatif,

sedangkan yang lebih banyak menerima kekuasannya minimal sehingga berada di posisi

www.hendratmoko.com 133
subordinatif Scott (1972).

Penghasilan pinggawa dan sawi pada musim torani cukup (enam bulan dalam

setahun) di luar musim torani (paceklik) pendapatan mereka sangat rendah. Oleh karena itu,

seorang papalele mempunyai kewajiban memberikan pinjaman manakala pinggawa

membutuhkan. Hal ini, dilakukan karena ada ketakutan akan berdampak terhadap

menurunnya semangat pinggawa untuk melaut. Semakin pemurah seorang papalele,

semakin ia dipatuhi oleh para pinggawa dan sawinya dan bisa membangun citra yang positif

pada masyarakat terutama pada komunitas nelayan patorani itu sendiri. Sifat inilah yang

selalu dijadikan sebagai pancingan seorang papalele agar selalu di dengar dan di ikuti segala

keinginananya oleh pinggawa dan sawi. Hubungan ini semakin bermakna, apabila tatkala

papalele membuat semakin ketergantungan pinggawa pada papalele melalui pemberian

modal untuk pemunuhan kebutuhan hidup rumah tangga pinggawa.

Kasus 9

Hubungan Kerjasama Nelayan Patorani Tradisional Ke Industrial

Hubungan kerjasam papalele dengan pinggawa terjalin seperti mata rantai yang
tidak dapat dipisahkan. terkait hal-hal menyangkut kebutuhan hidup keluarganya
karena terkait dengan semangat mereka melaut, kalau kita tidak lakukan mereka
(pinggawa sawi) bisa lari kepapalele lain yang mau memberi pinjaman untuk
keperluannya. Tentang seringnya pinggawa sawi meminta pertolongan kepada
papalele, hal itu sudah biasa, makanya seorang papalele, harus mampu
mengayomi pinggawa dan harus pintar melihat situasi. Kalau punggawa-sawi
kesulitan keuangan karena musibah, dan atau menginginkan barang-barang
tertentu berkaitan kebutuhan hidupnya maka secara ortomatis papalele sudah
berkewajiban menolongnya. Bahkan kalau perlu ada dana yang diberukan secara
cuma-cuma dan atau dalam bentuk pinjaman yang tidak mengikat. Karena kalau
mereka minta tolong ke orang lain, nanti juga papalele yang repot untuk
menggantikannya.

Untuk mencukupi kondisi kebutuhan keuangan keluaraga pinggawa, maka


papalele menutupi beragai kebutuhan pinggawa sebagai bentuk kerjasama tidak
mencukupi ongkos pengobatan keluarganya yang tiba-tiba, atau dalam kondisi
pemenuhan kebutuhan sehari-hari tidak bisa mencukupi, kita harus turun tangan

www.hendratmoko.com 134
membantu, karena kalau tidak demikian, maka motivasi untuk melaut para
punggawa dan sawi berkurang. Imbas dari ketidak adaan motivasi dari pinggawa
maka secara otomatis akan beresiko terhadap penghasilan pinggawa dan juga
berkaitan pengembalia modal yang sudah dikeluarkan oleh papalele.

Dari kasus tersebut diatas, tergambarkan bahwa kehadiran papalele, tentu

sangat berarti bagi kehidupan pinggawa nelayan patorani dan sawi. Hal demikian, karena

papalele menyadari bahwa remunerasi yang diberikan tidak cukup bagi pemenuhan

subsistensi ataupun untuk kebutuhan mendadak. Kesadaran papalele untuk mempersiapkan

diri memberi bantuan, ketika pinggawa - sawi terdesak untuk pemenuhan kebutuhan

hidupnya. Dengan kondisi demikian papalele tampil sebagai penolong dalam kondisi

dibutuhkan oleh pinggawa-sawi. Munculnya perasaan pinggawa berhutang budi kepada

papalele itulah memunculkan hubungan dan perasaan kepatuhan, dan beriringan berlaku

norma resiprositas diawal bekerjanya remunerasi dan manipulasi normatif secara

bersamaan.

Kondisi demikian, terdapat pula faktor lain yang menarik, bahwa dibalik

pemberian itu bukan hanya pertimbangan hasrat menolong pihak pappalele saja, tetapi ada

pertimbangan instrumental bahwa bantuan yang diberikan akhirnya akan berefek pada

kelancaran pekerjaan dan citra usaha juga maksimalisasi keuntungan. Jadi hubungan sosial

yang terjalin selama ini, yang sejak awal keberadaan nelayan patorani sudah ada rasa tolong

menolong antara pemilik modal denga nelayan pekerja (pinggawa-sawi). Namun dibalik

hubungan itu tentunya saling memberikan kontribusi antara papalel dan pinggawa.

Fenomena itu, dapat diindikasikan bahwa telah memunculkan terjadinya gejala

pergeseran hubungan pertukaran sosial. Pergeseran dari tradisional yang secara sukarela

papalele pada masa lalu membantu pinggawa dengan tidak memaksakan pengembalian

utang melalui ikatan kontrak. Namun setelah pergeseran penangkapan dan komersialisasi

produksi, nilai sosial pun beralih pada bentuk utang yang harus dikembalikan oleh pinggawa

www.hendratmoko.com 135
dengan tepat waktu melalui ikatan kontrak. Implementasi ikatan kontrak itu, terkait dengan

pinggawa tidak diperbolehkan berpindah pada papalele yang lain. sebagaimana

dimaksudkan Blau (1964) yaitu dari yang bersifat intrinsik dimana relasi sosial sebagai tujuan

utama ke yang bersifat ekstrinsik dengan memanfaatkan relasi yang tercipta sebagai

instrumen untuk memperoleh reward (imbalan).

Dibalik kombinasi pemberian upah dan manipulasi normatif, bukan hanya

kepatuhan yang diperoleh papalele, akan tetapi sejumlah manfaat pula yang diperoleh

untuk menolong keberlangusngan usahanya. Pertolongan yang

diperoleh seorang papalele terhadap usahanya adalah pinggawa selalu merasa mempunyai

tanggungjawab untuk melalut dan memproleh hasil yang banyak.

Proses patron dalam hal ini pappalele memanfaatkan norma resiprositas (harus

patuh) untuk kepentingan dirinya. Ikatan kepatuhan inilah yang mengikat pinggawa seakan-

akan ia penolong sehingga klien (punggawa-sawi) terbebani utang budi, padahal pinggawa-

sawi membutuhkan bantuan karena upah yang diperoleh dari papalele memang tidak cukup

dan tidak seimbang dengan tantangan yang dihadapi selama melaut.

Realitas itu, Menurut Popkin (1979), tidak semua kemurahan patron didasarkan

pada pertimbangan moral kolektivitas, dibaliknya ada pertimbangan individualistik dan

kepentingan pribadi. Secara realitas bahwa papalele terlalu mengedepankan keuntungan

individualistik ketimbang realitas sosialnya. Dengan demikian masyarakat industri bercirikan

suatu tingkat kompleksitas yang tinggi, dan tidak lagi dikendalikan oleh kekuasaan negara.

Pada masyarakat industri setiap orang menetapkan dirinya sendiri, hak menentukan dirinya

sendiri pada berbagai hal kepentingan masyarakat. Kehidupan di masyarakat ini muncul

individualisasi, kebebasan dan toleransi sosial sebagai akibat kurangnya campur tangan

negara (pemerintah), meningkatnya saling ketergantungan, yang mempengaruhi berbagai

www.hendratmoko.com 136
kepentingan untuk selalu kompromi dan adanya kerjasama saling menguntungkan.

Kekuatan papalele, tetap menduduki posisi untuk menentukan nasib pinggawa

patorani. Hal itu terjadi, karena papalele memiliki modal usaha sebagai kebutuhan awal

pemberangkatan patorani. Belum lagi para pinggawa tergantung

ke papalele berkaitan kebutuhan pokok sehari-hari selama meninggalkan keluarga. Akses

untuk permodalan bagi pinggawa tidak ada selain papalele, sehingga jalan satu-satunya

pinggawa meminta pinjaman pada papalele. Pinjaman yang diberikan papalele ke pinggawa

itu, bukan berarti bahwa hanya sekedar mengembalikan uang pokok pinjaman, akan tetapi

lebih pada terbentuk suatu keterikatan pinggawa pada papalele. Pemberian modal, papalele

juga hati-hati, karena pinggawa juga sebagaian ada yang boros atau tidak pintar mengelola

uang, papalele akan berfikir terlebih dahulu untuk memberikan. Kalaupun ditolong, paling-

paling dipinjami, itupun dengan sejumlah ketentuan dana untuk operasi selama

penangkapan.

Kesadaran dari pihak papalele untuk selalu memenuhi kebutuhan pokok

pinggawa dan sawinya, dalam hal pemberian modal tidak semua permintaan bantuan

pinggawa-sawi harus dipenuhi. Kalau sawi kekurangan karena boros papalele berpikir dua

kali untuk membantu, meskipun itu dalam bentuk pinjaman. Hal ini menunjukkan bahwa

kombinasi pembagian upah dan manipulasi normatif dalam menciptakan kepatuhan

pinggawa sawi tidak selalu otomatis terjadi, tapi bisa kombinasi dan berlaku hanya bila

pinggawa sawi terkena musibah atau ada kebutuhan mendesak di luar kebutuhan sehari-

hari.

Pengaruh pemberian upah dan manipulasi normatif telah digunakan oleh patron

(papalele) sekaligus. Pada pihak klien (punggawa-sawi), keterlibatannya berbasis pada

pertimbangan kalkulatif yang dibarengi prinsip moral. Tersadari oleh mereka bahwa imbalan

www.hendratmoko.com 137
kerjanya sering hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan subsistensi, bahkan kurang.

Tetapi karena papalele memudahkan berutang dan sering memberi bantuan, pertimbangan

moral menetralisir ketidakpuasan dalam pertimbangan kalkulatif. Ini menjadikan mereka

tetap patuh kepada patron. Dihubungkan dengan pendapat Etzioni (1961) berarti

keterlibatan punggawa-sawi dalam berhubungan dengan papalele merupakan kombinasi

antara pertimbangan kalkulatif dan moral.

Kombinasi pengaruh remunerasi dan manipulasi normatif serta kombinasi

pertimbangan kalkulatif dan moral, Menurut Etzioni (1961) akan melahirkan kepatuhan yang

berada pada tahap transisi dari kepatuhan normatif ke kepatuhan utilitarian. Artinya

hubungan papalele dengan punggawa-sawi dalam struktur komunitas nelayan berada pada

tahap transisi dari kepatuhan normatif (normatif complience) ke kepatuhan utilitarian

(utilitarian complience). Ini berbeda dengan ikatan patron klien di masa lalu, yang berbasis

pada hubungan bangsawan - budak (Pelras, 1981; Ahiamsa Putra, 1988), yang sepenuhnya

berbasis kepatuhan normatif.

Memperhatikan kecenderungan pergeseran basis kepatuhan dalam hubungan,

pergeseran hubungan patron klien ke hubungan industri pada komunitas nelayan

pertimbangan remuneratif-kalkulatif hadir dalam hubungan, pertimbangan normatif moral

juga tetap ada, sehingga kepatuhan utilitarian sudah muncul dan signifikan dibanding

kepatuhan normatif dengan demikian berdasarkan penggarisan Etzioni (1960) dan Scott

(1972b), fenomena pergeseran dari hubungan patron klien ke hubungan industrial pada

komunitas nelayan sudah berlangsung pada tingkat tinggi.

Pergeseran-pergeseran pertukaran semacam ini jelas akan mengurangi rasa

komitmen emosional dan moralitas yang mengarah untuk kepentingan perolehan

www.hendratmoko.com 138
keuntungan semata (Etzioni, 1961). Terpresentasi apa yang dikatakan Adimihardja (1983)

yakni pergeseran pandangan masyarakat dalam kehidupan ekonomi yang tidak semata-mata

mencari penghasilan untuk kebutuhan sendiri (subsistence) kepandangan selalu mencari

untung (formalists). Dalam fenomena bergantinya hubungan patron klien ke hubungan

kontraktual, tentu saja memungkinkan hubungan dalam struktur sosial komunitas nelayan

mengarah ke hubungan pertukaran asimetris antar pelaku ekonomi yang eksploitatif.

Kedudukan papalele selain sebagai pemilik modal juga bertindak sebagai pelaku

ekonomi lokal, menciptakan hubungan asimetris yang tidak seimbang antara pinggawa.

Hubungan itu terjadi, pada komunitas nelayan patorani berlangsung pada akhir tahun 1960-

an, yaitu sejak masuknya nilai-nilai pasar memunculkan komersialisasi produksi. Tuntutan

hasil tangkapan dalam era ini menjadi prioritas, sehingga tercipta pergeseran hubungan

patron-klien yang dulunya berbasis pada keturunan bangsawan yang mengayomi komunitas

nelayan patorani. Namun kondisi itu bergeser pada kecenderungan lebih mengikat melalui

pencapaian kalkulasi penghasilan dan perhitungan pembagian upah.

Keterikatan pinggawa pada papalele, menciptakan suatu hubungan yang sifatnya

lebih mengarah pada hubungan profesi, sebagai pemilik modal dan kepemilikan teknologi

penangkapan. Terkait kepemilikan teknologi penangkapan, papalele memasukkan sebagai

salah satu yang diperhitungkan untuk memperoleh bagian hasil dari penangkapan.

Hubungan ini, tercermin adanya karakteristik perilaku yang mengarah pada komersialisasi

produksi dan keuntungan semata dan tidak berimbang.

Perilaku ketidakseimbangan tersebut, berlangsung ketika penerapan teknologi,

karena salah satu unsur yang membutuhkan modal besar adalah pengadaan dan

pemeliharaan teknologi alat penangkapan semuanya dibebankan pada papalele. Kalupun

modal yang sudah dikeluarkan tetap akan dikembalikan oleh pinggawa tatkala sudah

kembali dari lokasi penangkapan. Namun papalele patorani memiliki alasan bahwa modal

www.hendratmoko.com 139
yang dikeluarkan merupakan juga pinjaman dari Bank, sehingga beban yang ditanggung juga

agak berat. Jadi pada hubungan ini, papalele memberikan motivasi agar pinggawa dan

sawinya bekerja keras untuk memperoleh hasil tangkapan yang lebih banyak.

Motivasi ini, bukan berarti bahwa tidak memiliki alasan, akan tetapi lebih pada

orientasi agar modal yang sudah dikeluarkan dapat dikembalikan agar biaya operasional

pada musim selanjutnya dapat lagi memperoleh pinjaman. Pinggawa patorani juga sepaham

dengan motivasi tersebut, mengingat bahwa seorang pinggawa memiliki tanggungjawab

untuk mengembalikan modal yang sudah diperoleh dari papalele. Kerjasama antara papalele

dengan pinggawa, sebenarnya lebih mengara pada sebuah kerjasama kontraktual yang di

sepakati sebelum berangkat kelokasi penangkapan.

Kecenderungan pergeseran kerjasama komunitas nelayan patorani dari patron

klien secara sederhana pada era tahun 1940-an hingga akhir tahun 1960-an, yang mana

hanya berkaitan dengan pembagian hasil penjualan berdasar perolehan hasil tangkapan.

Kemudian berubah pada sistem penghitungan pembagian hasil melibatakan seluruh

teknologi penangkapan sebagai unsur yang dimasukkan untuk memperoleh dari penghasilan

tangkapan. Perubahan itu, lebih mengarah pada persoalan ketidak mampuan seorang

pinggawa untuk meyampaikan usulan ketidak setujuannya pada aturan main sepihak itu.

Ketakutan seorang pinggawa, karena pada musim yang akan datang akan menjalin

kerjasama kembali dengan papalele. Terjalinnya kembali pada musim berikutnya antara

papalele dan pinggawa yang masih sama, karena adanya ketergantungan kepemilikan modal

dan utang pinggawa masih tersisa dari papalele yang harus dibayar lunas pada musim

berikutnya.

Dari berbagai realitas diatas, dapat disimpulkan bahwa meskipun ciri hubungan

dari tradisional ke industrial masih ada yang terpresentasikan. Hubungan tradisional disini

adalah hubungan yang tidak mengikat antara papalele dan pinggawa-sawi. Papalele tidak

www.hendratmoko.com 140
memberikan ikatan tentang target hasil dan beban utang tidak sepenuhnya di serahkan

pinggawa, akan tetapi papalele memiliki etika bahwa usaha yang dilakukan merupakan

usaha saling terkait antara papalele dan pinggawa. Sehingga kalu hasil minimal yang

diperoleh dan tidak dapat pinggawa mengembalikan dana opersaional, maka papalele

menuntut agar musim yang akan datang lebih giat lagi bekerja. Namun ikatan ini tetap

memberikan ikatan pada pinggawa untuk tidak berpindah kepapalel lain. Hal itu dapat

dilihat dari basis kepatuhan yang mendasari hubungan papalele dan punggawa- sawi, ciri

hubungan industrial sebenarnya mulai muncul. Terlebih dengan hubungan kerjasama antara

papalele dengan para punggawa-sawi diawali dengan perjanjian dalam bentuk kontraktual.

Dari sini dapat diartikan bahwa komunitas nelayan patorani telah terjadi pergeseran dari

hubungan tradisional-ke hubungan industrial.

4.3.1.1 Hubungan Patron Klien Pada Komunitas Nelayan Patorani

Nelayan patorani di Kabupaten Takalar Sulawesi Selatan, awal

keberadaannya mengenal nilai-nilai tradisi hubungan patron klien. Tradisi ini

sebenarnya berlangsung pada hampir seluruh sektor nelayan dan kehidupan

masyarakat Sulawesi Selatan. Hubungan patron klien tersebut tetap menjadi fenomena

dan bagian kehidupan nelayan patorani beserta aktivitas masyarakat lainnya. Terkait

fenomena tersebut terungkap secara spesifik dalam uraian teori Scott (1972) tentang tiga

ciri utama hubungan patron klien yaitu: pertama adanya sifat luwes dan meluas dari

hubungan (diffuse flexibility); kedua adanya ketidaksamaan dalam pertukaran (inequality of

excange); ketiga adanya sifat tatap muka dan mempribadi dalam hubungan (face to

face and personal character).

Hubungan patron klien pada komunitas nelayan patorani berlangsung sejak

masih difokuskan penangkapan induk ikan torani. Hubungan patron klien sebenarnya

sudah berlangsung sejak sebelum masuknya kapitalis (pemilik modal) yang berasal dari

www.hendratmoko.com 141
luar komunitas nelayan patorani. Perbedaan yang dominan adalah ketika nelayan

patorani masih menangkap induk ikan, kecenderungan yang menjadi patron adalah

pinggawa. Kedudukan pinggawa juga sekaligus sebagai pemimpin dalam operasional

penangkapan sedangkan yang menjadi klien adalah para sawi yang ikut dalam pelayaran

tersebut. Berlangsungnya modernisasi perikanan tangkap melalui intervensi kapitalisasi

terhadap komunitas nelayan patorani telah mengakibatkan terjadinya perubahan jaringan

relasional. Kondisi secara operasional, pinggawa sebagai patron bergeser

menjadi klien tetapi dengan ketergantungan yang lebih sedikit di atas sawi. Posisi pinggawa

sebagai patron digantikan oleh papalele (pemilik modal).

Sebelum papalele ikut terlibat di dalam andil nelayan patorani, maka papalele

hanya sekedar pengumpul hasil tangkapan lalu kemudian di sambungkan ke pembeli yang

masuk di daerah Galesong Utara dan Galesong selatan. Pada era tahun 1940-an hingga akhir

tahun 1960-an papalele pada komunitas nelayan patorani belum banyak mengambil andil di

dalamnya. Hal itu, karena hasil tangkapan induk ikan torani dijual dalam bentuk ikan kering.

Pemasaran ikan kering ini lebih banyak dilakukan sendiri oleh pinggawa nelayan patorani,

karena pinggawa memiliki hubungan langsung terhadap pasar dan tanpa melalui perantara

papalele. Dalam artian bahwa patron papalele pada masa itu dianggap belum begitu penting

keberadaannya, sehingga kecenderungan terjadi bahwa pinggawa merupakan patron yang

tertinggi dalam menentukan modal dan pemasaran.

Pergeseran posisi pinggawa sebagai patron bagi komunitas nelayan patorani,

setelah masuknya unsur pasar dan kelompok yang mendominasi tuntutan peningkatan hasil.

Tuntutan komersialisasi produksi merupakan suatu keharusan yang diharapkan oleh pemilik

modal dan eksportir sebagai pemilik. Terkait keadaan itu, maka nelayan patorani pun

merubah sasaran tangkapannya dari induk ikan torani ke telur ikan torani. Selain faktor

pasar maka hubungan relasional patron klien pada komunitas nelayan oatorani terbentuk

www.hendratmoko.com 142
ketika penerapan teknologi alat penangkapan dan mulailah pula usaha telur ikan torani

menjadi komoditi ekspor yaitu sekitar awal tahun 1970-an.

Kemampuan papalele patorani menguasai sejumlah aset alat produksi

membuat semakin kuat hingga menduduki pada posisi patron. Penguasaan teknologi

penangkapan berawal pada kepemilikan alat penangkapan sederhana, kemudian

berubah menjadi alat penangkapan berteknologi modern. Penguasaan teknologi ada

yang secara individu dan berkelompok dan dikoordinir oleh seorang papalele.

Ketergantungan pinggawa pada papalele semakin menjadi hal yang tidak bisa dipisahkan

lagi, karena pinggawa memperoleh modal dan peralatan setiap mau melakukan

operasional. Dari segi kepemilikan perahu ada dua macam yakni papalele memiliki

armada patorani dan ada pula pinggawa sendiri memiliki perahu, tetapi tidak memiliki

modal, maka jalan yang ditempuh meminjam modal dari seorang papalele.

Perkembangan papalele semakin meningkat ketika unsur-unsur kapitalis

sudah mulai masuk. Kapitalis Cina memasuki komunitas nelayan patorani yang pada

era peralihan pola penangkapan dari induk ikan torani beralih ke telur ikan torani.

Awal kapitalis Cina masuk, nelayan patorani sama sekali tidak memiliki akses ekonomi

dan politik. Situasi itu, lama kelamaan mulai ikut terlibat kerjasama kapitalis cina untuk

memperoleh akses. Kehadiran papalele lokal pada awalnya hanya sekedar

penyambung akses dari para kapitalis Cina sebagai kelas komparador dan meningkat

menjadi pemilik modal. Tampilnya papalele hingga sekarang menjadi pemilik tunggal

atas modal operasional para pinggawa.

Masuknya komersialisasi produksi, merupakan hal mutlak pada komunitas

nelayan patorani, seiring itu, hubungan patron klien antara papalele - pungawa dan

sawi pun semakin kuat pula bentukannya. Ciri khusus

patron-klien dalam hubungan papalele - punggawa sawi tidak sepenuhnya

terpresentasikan dalam asal usul hubungan pertalian darah, pertetanggaan, pertemanan,

www.hendratmoko.com 143
dan kekerabatan. Hubungan patron klien setelah nelayan patorani mengenal pasar dan

papalele sudah semakin kuat, dan hanya tercipta sekedar hubungan kerja. Hubungan

kerja dibuktikan dengan adanya perjanjian dalam bentuk kontrak musiman. Selain itu,

hubungan pinggawa-sawi di luar kerja tidak terlihat lagi hubugan kerjasama, kecuali

menjelang kontrak pemberangkatan melaut. Realitas itu menurut informan bahwa

pinggawa terkait perekrutan sawi bisanya pula banyak berasal dari luar daerah Galesong

Utara dan Galesong Selatan, sehingga interaksi hanya terjalin dalam satu musim. Hal itu

terjadi, karena sawi hanya datang ketika musim pattoranian dan lebih cenderung

berorientasi menjadi pekerja kontrak musiman.

Interaksi yang terjalin antara pinggawa dan sawi selama semusim pattoranian

tetap terjalin hubungan yang erat. Keeratan hubungan itu terkait karena adanya hubungan

kerja, dan bukan sebagai pengikut. Demikian pula persepsi papalele dalam hal menjalin

hubungan dengan sawi di luar hubungan kerja juga tetap terjalin hubungan biasa dan

tidak ada unsur ikatan harus patuh terhadap segala keinginan papalele. Sikap

keterbukaan di luar hubungan kerja itu, menandakan bahwa tejadinya patron klien pada

komunitas nelayan patorani tidak terkait pada hubungan panutan sebagaimana layaknya

seorang rakyat pada pemimpinnya (raja). Kepatuhan akan terbentuk pada komunitas

nelayan patorani, ketika kontrak kerja sementara berlangsung. Sifat keterbukaan

papalele belum begitu meluas, sehingga hubungan patron klien lebih mengarah pada

hubungan sosial lebih spesifik pada hubungan kerja dan bukan pada hubungan sosial

tanpa ikatan.

Terkait hubungan sosial di atas, hasil wawancara dengan pinggawa mengenai

karakteristik sifat keterbukaan dalam hubungan papalele-punggawa- sawi

berpandangan bahwa bahwa papalele yang menjadi patronnya tidak otomatis menjadi

panutan dalam kehidupan sehari-hari. Kemudian hal itu pula di benarkan oleh seorang

sawi dalam wawancara bahwa keterlibatannya bekerja bukan karena telah menjalin

www.hendratmoko.com 144
hubungan sebelumnya dengan papalele, dan bahkan tidak ada hubungan kekerabatan

dengan papalele. Jawaban ini muncul dari pinggawa-sawi diluar kerabat. Pinggawa sawi

yang masih memiliki hubungan kerabat dengan papalele beranggapan sebaliknya.

Dihubungkan pendapat Scott (1972) bahwa sifat keterbukaan dan hubungan secara luwes

dan meluas hanya dipersepsi oleh pinggawa sawi apabila memiliki hubungan berkorelasi

dengan seorang pinggawa dan sawi.

Munculnya pula patron klien pada komunitas nelayan patorani dalam era

akhir tahun 1960-an, dengan mengacu pada pendapat Scott (1972) bahwa salah satu

cirinya adanya pertukaran yang tidak seimbang. Keberadaan pinggawa dan sawi patorani

sebelum melakukan penangkapan terlebih dahulu sudah ada pemberian yang membuat

pinggawa dan sawi berhutang budi dan berhutang modal pada papalele. Pertukaran

yang terjadi sebelum bekerja adalah, adanya pemberian pekerjaan dengan hanya

persyaratan saling mempercayai. Papalele sepenuhnya menaruh kepercayaan pada

pinggawa, dan papalele pula adalah pemiliki semua sumberdaya. Tenaga yang

disumbangkan pinggawa sawi tidak senilai dengan investasi dan resiko ekonomi

papalele. Ketidaksamaan pertukaran ini lebih nyata lagi karena kebutuhan untuk

menjadi pinggawa-sawi dikedepankan adanya tanggungjawab dan harus orang yang

mempunyai pengalaman dalam melakukan penangkapan.

wawancara dengan informan papalele mengenai hal pemberian bantuan dana

dan material kepada punggawa-sawi diluar pembagian hasil tangkapannya. Papalele

mengatakan bahwa bantuan diberikan sebelum berangkat melaut, merupakan modal

operasional di darat, diantaranya memperbaiki perahu dan peralatan lainnya berkaiatan

operasional di laut. Pemberian modal itu dikategorikan dalam bentuk piutang, dan

pembayarannya semua dibebankan pinggawa-sawi untuk bertanggungjawab

menggantikan setelah mereka kembali melaut. Dihubungkan dengan pendapat Scott

www.hendratmoko.com 145
(1972) berarti dari sudut pandang papalele bahwa ciri pertukaran tidak seimbang tidak

terpresentasikan. Akan tetapi lebih mengarah ke hubungan dengan pertimbangan

untung rugi (ciri hubungan kerja kapitalis).

Pinjaman modal meupakan tanggungjawab pinggawa- sawi juga, dan pinjaman

yang dibebankan tersebut terlebih dulu diambil sebelum melakukan penangkapan.

Pembayaran setelah melaut dilakukan berdasrkan penghitungan hasil tangkapan.

Pembayaran yang dilakukan dengan model hasil produksi menurut pinggawa sering melebihi

utang pinjamannya, karena dibayar berdasarkan ketentuan harga papalele dan bukan harga

dipasaran. Dihubungkan dengan teori Scott (1972) bahwa pihak pingawa-sawi terdapat

persepsi tentang adanya pertukaran tidak seimbang dalam bentuk pembagian hasil pun

merasa dirugikan. Adanya ketidak seimbangan pertukaran ini, menurut informan sawi

bahwa banyak dibuktikan dengan perpindahan punggawa-sawi antar papalele karena

merasa tidak dipenuhi permintaannya.

Adanya permasalahan terkait perpindahan hubungan kerja itu terjadi, karena

ketidaksamaan dalam pertukaran yang menggambarkan perbedaan dalam kekuasaan

dan sangat merugikan klien (pinggawa-sawi) terutama dalam penetapan harga hasil

produksi. Pertukaran yang tidak seimbang digariskan oleh Scott (1972)serta Eistandt

(1984) sebagai ciri hubungan patron klien, tidak terpresntasikan sebagai hubungan

kerja, akan tetapi lebih cenderung pada pertukaran yang tidak berimbang dari segi

perlakuan panghasilan yang diperoleh. Disatu sisi papalele merasa mempunyai posisi

berkuasa, karena memiliki modal dan sumberdaya teknologi, sedangkan pinggawa-sawi

merasa memiliki kekuatan tenaga dan etos kerja.

Dalam kaitan hubungan pertukaran itu, menurut Scott (1972) bahwa terpatri

pula hubungan tatap muka dan hubungan mempribadi. Implementasi hubungan ini

terwujud melalui keterlibatan perasaan dan simpati dalam melakukan pekerjaan.

www.hendratmoko.com 146
Implementasi pertukaran itu, terangkum dalam hasrat menolong dan melindungi kaum

patron (papalele).Kepatuhan punggawa sawi yang diberikan. Hal itu terindikasi dalam

hubungan kedekatan melalui pertemuan antara papalele-pinggawa dan sawi.

Pertemuan secara tatap muka antara papalele- pinggawa-sawi pada saat perahu

berencana diberangkatkan dan berlabuh. Demikan hampir setiap shift

pemberangkatan tatap muka selalu berlangsung. Intensitas pertemuan pinggawa-sawi

sering terjadi baik sebelum berangkat maupun dalam lokasi penangkapan hingga kembali

kedarat, sehingga keakraban terjalin dengan baik.

Implementasi hubungan itu, hampir tidak ada batas antara pinggawa dan sawi

secara pergaulan namun secara beban pembagian kerja dan tanggungjawab kepatoranian

tetap ada perbedaan. Begitu pula antara papalele dan pinggawa-sawi terjalin akrab dan

kerjasam tetap menjadi satu ikatan yang utuh. Namun dibalik intensitas pertemuan mereka

lebih mengarah ke hubungan untung rugi, hubungan secara kedekatan pribadi antara papalele

dan pinggawa-sawi, berlangsung hanya semusim kepatoranian saja. Menurut informan

pinggawa bahwa selama ini pinggawa keluar dan pindah kepapalelen, karena merasa tidak

tahan lagi dengan perlakuan terkait dengan harga yang diberikan oleh papalele pada pinggawa.

Dihubungankan dengan teori Scott (1972) ciri intensitas pertemuan secara langsung dan

hubungan mempribadi berlaku. Namun dalam komunitas nelayan patorani sedang

mengalami pergeseran akibat adanya perhitungan untung rugi.

Dari sudut pandang punggawa - sawi intensitas pertemuan mereka dengan papalele

terjadi terkait adanya kepentingan saling membutuhkan. Artinya bahwa papalele memiliki

modal tetapi tidak memiliki skill untuk memangkap, sedangkan pinggawa memiliki skill tetapi

tidak memiliki sumberdaya alat penangkapan dan modal, dan begitu pula dengan sami memiliki

kemampuan tenaga. Maka kalau ditarik garis hubungan teori Scott (1972), berarti dari pihak

punggawa sawi juga terdapat persepsi tatap muka dan mempribadi dengan hubungan mereka

www.hendratmoko.com 147
dengan papalele. Dari seluruh uraian, ketiga ciri hubungan patron klien yang digariskan

Scott (1972), dan Eistandt (1984), tidak berlaku surut lagi, meskipun demikian masih ada yang

signifikan tetapi telah mengalami pergeseran seiring dengan perkembangan orientasi baik

papalele maupun pinggawa-sawi.

Bergesernya hubungan patron klien pada komunitas nelayan patorani pada era tahun

1940-an dan memasuki era awal tahun 1970-an muncul suatu bentuk hubungan baru sebagai

penggantinya, yakni hubungan industrial. Ponsion (1969), Legg (1983) bahwa hubungan

industrial ini, merupakan suatu konsep yang mengedepankan kepatuhan. Konsep

kepatuhan dalam hal ini Etzioni (1961), menyebutnya kepatuhan utilitarian (utilitarian

compliance), yakni sebagai ciri antara majikan dan pekerja. Dalam konteks organisasi industri

dapat dilihat pada dua dimensi. Pertama, dimensi kekuasaan (power) yakni jenis kekuasaan

yang digunakan oleh suatu pihak dalam mempengaruhi pihak lain untuk patuh. Kedua,

dimensi keterlibatan (involvement), yakni pertimbangan apa yang melatari keterlibatan

satu pihak untuk patuh kepada pihak lain. Dalam konteks nelayan patorani hubungan

industri tercipta tatkala kekuasaan papalele sudah mengedepankan kepatuhan

berbasis pada pemberian upah, dan terimplementasikan keterlibatan yang mendasari

berbasis pada kalkulasi dan pembagian hasil antara dimensi papalele dan yang terlibat

yakni pinggawa dan sawi.

Secara spesifik bahwa basis utilitarian muncul, adanya pemahaman yang

difokuskan pada pengaruh perlakuan papalele untuk mendapatkan kepatuhan dari

punggawa sawi serta pertimbangan yang melatari punggawa-sawi dalam keterlibatan

pada hubungan tersebut. Makna kepatuhan pada komunitas nelayan patorani terlihat

adanya perlakuan patron (papalele) kepada kliennya (punggawa-sawi) melalui basis

perhitungan pemberian upah yang dibarengi dengan manipulasi normatif dan tidak

transparan, sedangkan manipulasi normatif diparaktekkan melalui pemberian bantuan

www.hendratmoko.com 148
yang mengikat klien dalam kontrak kerja semusim. Dengan kombinasi pengaruh yang

demikian, ketidak puasan terhadap pemberian remunerasi dinetralisir oleh manipulasi

normatif, hingga itu harmoni tetap tercipta. Papalele melakukan kombinasi ini dengan

sadar untuk tercapainya keberlanjutan usaha dengan kondisi harmoni tetap terjaga.

Keharmonisan sebagai mitra kerja antara patron (papalele) dan klien

(pinggawa-sawi) tetap terjalin suatu hubungan harmoni dengan saling membantu.

Patron sebagai kekuatan yang mengayomi pinggawa-sawi sebagai klien pun terjadi.

Implementasi hubungan itu, terkait kondisi kehidupan keluarga pinggawa sawi hingga

pada ongkos pengobatan keluarganya. Sebagaimana informan papalele dalam

wawancara bahwa pinggawa yang dalam kondisi pemenuhan kebutuhan sehari-hari

tidak bisa mencukupi, maka papalele ikut membantu menutupi kebuthannya tersebut.

Secara implementatif, hal ini dilakukan oleh seorang papalele karena hanya semata-mata

terkait penguatan hubungan kerja untuk terjalin pada musim-musim pattoranian

selanjutnya.

Dari realitas itu, dapat diambil anggapan bahwa terbinanya patron klien pada

komunitas nelayan patorani, terkait adanya ketakutan papalele untuk tidak

mendapatkan pinggawa yang lebih bertanggungjawab atas pengembalian modal yang

sudah dikeluarkan, sehingga dari resiko pun tidak terlalu berat dihadapi oleh papalele.

Sebagaimana wawancara dengan abdul Karim (papalele) menyatakan bahwa "kita harus

selalau membantu pinggawa karena terkait dengan semangat mereka melaut, kalau kita

tidak lakukan mereka (pinggawa sawi) bisa lari kepinggawa lain yang mau memberi

pinjaman untuk keperluannya. Tentang seringnya punggawa dan sawi meminta

pertolongan kepada papalele ia berkata: "kita, para papalele, harus pintar melihat

situasi.

www.hendratmoko.com 149
III. Kasus 10
Hubungan Patron Klien

Mengandalkan penghasilan pada musim torani memiliki keuangan hanya


bertahan cukup (enam bulan dalam setahun) Diluar musim torani (paceklik)
pendapatan mereka sangat rendah. Oleh karena itu beliau meminta bantuan
dalam bentuk pinjaman kepapalele. Beliau memiliki 4 orang anak, jadi dalam
sekeluarga yang membutuhkan makan adalah 6 orang. Pinjaman yang diberikan
oleh papalele dikembalikan dalam bentuk uang juga. Tetapi ada satu hal yang
harus beliau patuhi, walaupun tidak ada dalam bentuk tertulis yakni pinggawa
Daeng Bella harus meberikan kepatuhan untuk mengikuti keinginan papalele
pada musim berikutnya agar memeperoleh hasil yang lebih banyak, supaya
utangnya bisa terbayarkan.

Hubungan patron-klien pada komunitas nelayan patorani telah berlangsung sejak


lama. Sebelum masuknya kapitalis dan sebelum bergesernya pola penangkapan dari
induk telur ke penangkapan/pengumpulan telur ikan torani sudah terbentuk. Patron
pada masa penangkapan induk ikan torani patron lebih cenderung sebagai pimpinan
operasional yang di sebut pinggawa dan klien direpresentasikan seorang pekerja
(sawi). Setelah terjadinya pergeseran penerapan teknologi alat penangkapan dan
masuknya unsur pasar sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan sosial
ekonomi nelayan patorani, maka jaringan rasional. Jaringan ini, pinggawa yang
dulunya sebagai patron (pemimpin perahu) bergeser menjadi klien tetapi dengan
ketergantungan yang lebih sedikit di atas sawi. Posisi pinggawa sebagai patron
digantikan oleh papalele (sebagai pemilik modal). Kehadiran papalele sebagai patron
lebih eksklusif di bandingkan dengan patron (pinggawa) pada masa lalu. Papalele
hanya sekedar pemilik modal dan tidak ikut melakukan kegiatan penangkapan,
tetapi papalele banyak mengatur pinggawa terhadap jalannya operasional.

Dari kasus 10 di atas, tergambar bahwa dengan tampilnya papalele sebagai

penolong dalam kondisi dibutuhkan oleh pinggawa-sawi dan pertukaran pun berlangsung.

Realitas itu, maka pinggawa merasa berhutang budi kepada papalele. Makna pertukaran

itulah kepatuhan muncul karena berlakunya norma dengan prinsip bahwa kepada orang

yang telah menolong, pihak yang ditolong harus membalas pertolongan tersebut

(resiprositas). Tetapi disini juga terdapat faktor lain dibalik pertolongan itu, dan bukan

www.hendratmoko.com 150
hanya pertimbangan hasrat menolong pihak pappalele saja. Bantuan yang diberikan

akhirnya akan berefek pada kelancaran pekerjaan semata, tapi citra usaha ke arah

maksimalisasi keuntungan (pertimbangan instrumental). Strategi itu, adalah ilustrasi

pada pemberian upah lebih pada pinggawa-sawi, tetapi semua kemurahan patron tidak

didasarkan pada pertimbangan moral kolektivitas. Dibalik pertimbangan itu

kecenderungan individual dan kepentingan pribadi semata yang menurut Popkin (1979)

disebut remunerasi dan manipulasi normatif secara bersamaan.

Fenomena itu, mengindikasikan adanya gejala terjadinya pergeseran hubungan

pertukaran. Sebagaimana dimaksudkan Blau (1964) dari yang bersifat intrinsik dimana

relasi sosial sebagai tujuan utama ke yang bersifat ekstrinsik dengan memanfaatkan

relasi yang tercipta sebagai instrumen untuk memperoleh reward (imbalan). Dibalik

kombinasi remunerasi dan manipulasi normatif, bukan hanya kepatuhan yang diperoleh

papalele, tetapi sejumlah manfaat instrumental bagi usahanya.

Wawancara dengan informan papalele bahwa kalau punggawa-sawi

kesulitan keuangan karena musibah, kita harus tolong, cuma-cuma atau pinjaman.

Karena kalau mereka minta tolong ke orang lain, padahal kita papalelenya, maka secara

otomatis papalele memiliki tanggungjawab secara moril untuk membantu atas kesulitan

yang dihadapinya tersebut. Tetapi kalau pinggawa membutuhkan uang karena hanya

untuk kepentingan hura-hura dan tidak terkait dengan kebutuhan hidupkeluarganya

sehari-hari, maka papalele berfikir untuk memberikan, kecuali dengan syarat sebagai

pinjaman yang harus dikembalikan dalam bentuk utuh tanpa menunggu hasil pada musim

pattoranian berikutnya.

Hal di atas, menunjukkan bahwa kombinasi remunerasi dan manipulasi normatif

dalam menciptakan kepatuhan punggawa sawi tidak selalu otomatis terjadi. berdasarkan

www.hendratmoko.com 151
pandangan papalele tersebut di atas, dihubungkan dengan pendapat Etzioni (1961), dari

kekuasaan yang digunakan untuk menciptakan kepatuhan, pengaruh remunerasi dan

manipulasi normatif telah digunakan oleh patron (papalele) sekaligus. Padahal secara

hubungan sosial papaplele sebagai kekuatan yang tertinggi, selayaknya menutupi

keperluan pinggawa atas berbagai kebutuhannya. Berdasarkan fakta diatas, bahwa

papalele setengah hati untuk menolong pinggawanya, dan hanya berorientasi pada

eksploitasi tenaga untuk mengejar keuntungan sebanyak-banyaknya ketika musim

penangkapan telur ikan torani sudah mulai masuk.

Setiap musim pattoranian tiba, maka papalele tidak serta merta mengeluarkan

uang operasional, dengan asumsi untuk memperoleh hasil yang sebanyak-banyaknya.

Tetapi secara tidak sadar bahwa imbalan kerja untuk pinggawa hanya cukup untuk

memenuhi pemenuhan subsistensi, bahkan kurang untuk menutupi kebutuhan

keluarganya, apalagi keluarganya mengutang ketika pinggawa-sawi berangkat melaut.

Budaya mengutang juga diberikan kemudahan oleh papalele, sehingga hasil yang

diperoleh pinggawa-sawi sebagian besar menutupi utangnya pada papalele patorani.

Pertimbangan moral untuk menetralisir perhitungan untung rugi. Etika ini menjadikan

pinggawa-sawi tetap patuh kepada patron (papalele). Dihubungkan dengan pendapat

berarti keterlibatan pinggawa-sawi dalam berhubungan dengan papalele merupakan

kombinasi antara pertimbangan untung rugi dan moral.

Kombinasi pengaruh akan adanya pertolongan dari papalele sebagai patron

merupakan suatu hal yang mutlak dilakukan. Namun di balik itu ada keuntungan yang lebih

besar di harapkan oleh papalele terhadap pinggawa diantaranya terjalinnya kerjasama yang

mengikat pada pinggawa. Sedangkan pinggawa-sawi sebagai unsur yang diberikan ikatan

mengedepankan moralitas sehingga terimplementasikan kedalam bentuk utang budi.

Implementasi pertukaran tersebut, sebenarnya sebuah pertukaran yang tidak seimbang

www.hendratmoko.com 152
karena adanya hubungan kekuasaan tersentralisasi pada papalele. Menurut Etzioni

(1961) akan melahirkan kepatuhan yang berada pada tahap transisi dari kepatuhan

normatif ke kepatuhan utilitarian. Artinya hubungan papalele patorani dengan pinggawa-

sawi patorani berada pada dua bentuk yang saling bersinggungan dari kepatuhan

normatif (normatif complience) ke kepatuhan utilitarian (utilitarian complience). Ini

berbeda dengan ikatan patron klien patorani di masa lalu ketika masih melakukan

penangkapan induk ikan torani. Masa itu, pinggawa merupakan patron yang selalu

hidup bersama dan senasib dengan sawinya. Sehingga nilai-nilai kebersamaan dalam

mengatasi segala bentuk kebutuhan hidupnya mereka tanggung bersama.

Dilihat dari basis kepatuhan yang mendasari hubungan papalele - punggawa

sawi, merupakan suatu ciri hubungan yang sudah mengedepankan, bahwa papalele

memiliki kekuatan sebagai pemilik alat produksi (papalele)-lah yang paling berpeluang

mengatur segala pengeluaran dan investasi atas modal secara ekonomi rumah tangga

pinggawa-sawi. Kemudian dari segi modal operasional pun segalanya di atur oleh

papalele, baik dari segi harga sehingga papalele pula semakin mereakumulasi modal

dan keuntungan. Pinggawa-sawi sebagai pekerja yang mensukseskan pelayaran, hanya

pada posisi tetap dan mampu bertahan sebagai pekerja (klien), dengan hasil kerja

sekedar bertahan di tingkat aman subsistensi.

Hubungan patron klien yang mengarah pada posisi papalele sebagai orang

yang memiliki kekuasaan pada komunitas nelayan patorani, sejak beralihnya

penangkapan dari induk ikan torani ke telur ikan torani sebagai komoditas yang di

butuhkan oleh pasar. Dari sinilah berawal munculnya papalele-papalele lokal dengan

meminjam uang di Bank BRI dengan jaminan sertifikat tanah, rumah dan bahkan

perahu yang dimilikinya. Hubungan kepalelean dengan pinggawa sebelum bergabung

dalam suatu sistem pattoranian terlebih dahulu dibangun kerjasama antara papalele

www.hendratmoko.com 153
dengan para pinggawa-sawi diawali dengan perjanjian dalam bentuk kontraktual.

Berangat dari sini maka dapat diasumsikan bahwa komunitas nelayan patorani telah

terjalin hubungan patron klien antara papalele dan pinggawa-sawi yang saling

mengikat antara pemilik modal dan sumber daya dengan pinggawa-sawi pemilik

tenaga dan skill untuk melakukan penangkapan telur ikan torani.

Memperhatikan kecenderungan pergeseran basis kepatuhan dalam hubungan

patron klien ke hubungan kontrak pada komunitas nelayan patorani termaktub adanya

pertimbangan pemberian upah dengan melalu perhitungan secara menguntungkan

papalele (patron) telah hadir dalam hubungan pertimbangan normatif moral. Sehingga

kepatuhan utilitarian sudah muncul dan signifikan dibanding kepatuhan normatif dengan

demikian berdasarkan penggarisan Etzioni (1960) dan Scott (1972), fenomena pergeseran dari

hubungan patron klien pada saat penangkapan induk ikan torani pada era tahun 1940-an

hingga akhir tahun1960-an merupakan komoditi andalan nelayan patorani hingga beralih

pada penangkapan telur ikan torani telah berlangsung pada awal tahun 1970-an, beriringan

pergeseran itu, maka hubungan patron klien pun juga mengalami pergeseran yang secara

kalkulatif hanya menguntungkan papalele sebagai patron dan pemilik sumber daya

permodalan dan teknologi penangkapan..

Pergeseran pertukaran semacam ini jelas akan mengurangi rasa komitmen

emosional dan moralitas, yang hanya mengarah untuk kepentingan perolehan keuntungan

semata (Etzioni, 1961). Terpresentasi apa yang dikatakan Adimihardja (1983) yakni

pergeseran pandangan masyarakat dalam kehidupan ekonomi yang tidak semata-mata mencari

penghasilan untuk kebutuhan sendiri (subsistence) kepandangan selalu mencari untung

(formalists). Dalam fenomena yang terjadi pada komunitas nelayan patorani di era sekarang

ini ditandai munculnya hubungan kontraktual. Permainan seperti itu, tentu saja

memungkinkan hubungan dalam struktur sosial komunitas nelayan mengarah ke hubungan

www.hendratmoko.com 154
pertukaran asimetris antar pelaku ekonomi yang eksploitatif pada klien (pinggawa-sawi)

sebagai kelompok yang memiliki tenaga dan skill untuk melakukan penangkapan.

Dihubungankan konsep yang ditawarkan oleh Scott (1972) bahwa terdapat

beberapa penjelasan mengenai signifikannya pergeseran patron klien pada komunitas

nelayan patorani. Pertama, pergeseran penangkapan dari induk ikan torani ke

penangkapan telur ikan torani, terjadi pergeseran patron dari pinggawa ke papalele

sebagai patron; Kedua kepemilikan sumberdaya modal dan teknologi penangkapan

komunitas nelayan patorani sepenuhnya dimiliki oleh papalele sehingga pinggawa-sawi

memberi kesempatan lebih besar bagi nelayan pemilik modal dan alat produksi

(papalele) menjadikan mereka kelompok patron. Sementara terdapat pula kelompok

nelayan yang tidak memiliki alat-alat produksi dan subsistensi, kemudian akses modal

dan pasar tidak dimilikinya. Kelompok ini merupakan kelompok yang terbesar dikalangan

komunitas nelayan patorani yakni pinggawa-sawi dengan mengandalkan tenaga dan skill.

Terbentuknya patron klien (pinggawa-sawi), keterlibatannya berbasis pada

pertimbangan kalkulatif yang dibarengi prinsip moral. Tersadari oleh mereka bahwa

imbalan kerjanya sering hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan subsiten dan bahkan

kurang dari pemunuhan kebutuhan subsisten itu. Kehadiran papalele memudahkan

pinggawa berutang, dan bahkan memberikan bantuan dengan pertimbangan moral. Hal

itu dilakukan untuk menetralisir ketidakpuasan dalam pertimbangan kalkulatif dan tetap

menjadikan pinggawa-sawi tetap patuh kepada patron. Dihubungkan dengan pendapat

Etzioni (1961) bahwa keterlibatan pinggawa-sawi dalam berhubungan dengan papalele

merupakan kombinasi antara pertimbangan kalkulatif dan moral.

Patron klien terbentuk di komunitas nelayan patorani, beriringan masuknya unsur

pasar dan komersialisasi produksi. Implementasi itu terjadi sebenarnya sudh berlangsung

lama, namun di akhir tahun 1960-an semakin kuat. Pemanfaatan modal dari pihak papalele

www.hendratmoko.com 155
serta, penerapan teknologi alat penangkapan merupakan salah satu faktor semakin kuatnya

bentukan patron-klien. Kemampuan papalele untuk memiliki sejumlah alat produksi

mengantar mereka berada pada posisi patron. Penangkapan secara individual/unit

penangkapan berubah menjadi penangkapan secara berkelompok yang dikoordinir oleh

seorang papalele. Kekuatan papalele pada komunitas nelayan patorani sangat

diperhitungkan, karena adanya ketergantungan pinggawa untuk permodalan.

4.3.1.2 Solidaritas Sosial Kekeluargaan Ke Hubungan Kontraktual

Berbeda halnya dengan sistem pengetahuan tradisional, pengetahuan modern yang

masuk dalam sistem peralatan patorani menunjukkan rasionalisasi atau wawasan ekonomi

lebih dari kepekaan sosial dan ekologis. Hal itu terjadi, karena lebih mengutamakan

produktivitas yang tinggi serta seefektif dan seefesien mungkin. Kondisi itu, walaupun harus

mengorbankan kepedualian sosial terutama Faktror-faktor non ekonomi resiprositas dan

solidaritas tidak lagi menjadi bagian yang harus diperhitungkan sebagai modal sosial (social

cost). Padahal dalam sistem pengetahuan apapun, faktor-faktor ini, merupakan ketentuan

sosial yang secara ikhlas dipatuhi dan dilaksanakan dalam kelompok. Munculnya sistem bagi

hasil yang sangat menguntungkan kaum kelas atas (patron). Pembagian hasil pula

merupakan salah satu refleksi dari ketidakpedulian sosial antara patron dan klien.

Masuk dan berkembangnya unsur penerapan teknologi, memiliki kekuatan untuk

meningkatkan pendapatan. Namun disisi lain memunculkan pula masalah baru dan

memperlebar kesenjangan sosial. Pemilik modal (papalele)- pengusaha (eksportir) di satu

pihak dan pinggawa biseang (juragan) beserta sawinya dipihak lainnya. Betapa tidak, unsur

teknologi membentuk sistem bagi hasil pada komunitas nelayan patorani. Hasil yang

terkumpul di bagi dengan sistem yakni pemilik modal mengambil dua bagian (mesin dan

perahu), dan dua bagian untuk pinggawa dan sawi.

www.hendratmoko.com 156
Besarnya ketimpangan tersebut di atas, tidaklah diukur dari perbandingan modal

yang ditanamkan oleh pihak papalele. Aktivitas itu berdasar pada besarnya resiko yang

dihadapi oleh masing-masing pihak. Pemilik modal (papalele), resiko yang menghadang ialah

kerugian material. Sedangkan pinggawa dan sawi taruhannnya adalah nyawa. Ketimpangan

dan resiko itu memberi peluang timbulnya konflik sosial yang sifatnya tersembunyi. Konflik

seperti itu, sebenarnya tidak dikehendaki oleh pihak papaele-pinggawa dan sawi. Hal itu

menunjukkan dinamika kelompok. Sebaba konflik semacam ini bukan lahir karena ide-ide

inovatif, tetapi muncul karena sudah mengabaikan nilai-nilai kekeluargaan dan solidaritas.

Dalam hubungan dengan transformasi masyarakat dari ciri tradisional sederhana

menuju ciri modern-kompleks, Durkheim (1964) menghubungkan pembagian kerja dengan

pergeseran solidaritas sosial. Durkheim (1964: 106) menyatakan bahwa pada masyarakat

yang pembagian kerjanya sederhana solidaritas sosial yang mendorong integrasi adalah

solidaritas mekanik, suatu tipe solidaritas sosial yang muncul secara otomatis karena

tingginya homogenitas sosial. Sebaliknya, pada masyarakat yang pembagian kerjanya

terspesialisasi, dikatakan Durkheim (1964: 131) bahwa solidaritas sosial yang mendorong

integrasi adalah solidaritas organik, suatu tipe solidaritas sosial yang muncul karena adanya

saling ketergantungan dalam masyarakat.

Munculnya ketergantungan itu, terkait masuknya unsur-unsur pendorong dari

luar komunitasnya, diantaranya masuknya pasar sebagai pemegang kendali pada hasil yang

diperoleh komunitas nelayan patorani yang menuntut komersialisasi produksi. Maka muncul

pula ketergantungan akan penggunaan teknologi alat penangkapan telur ikan torani.

Pergeseran ini diharapkan dapat mengakibatkan terjadinya perubahan hasil produksi

semakin meningkat. Sistem tradisional ke sistem modern dibarengi oleh peregeseran

hubungan kerja yang saling menguntungkan. Namun hubungan di atas, tidak selamanya

saling menguntungkan dan malah justru berkembang dari segi perolehan hasil adalah

www.hendratmoko.com 157
pemilik modal (papalele) melalui penciptaan mekanisme ketergantungan. Hubungan patron

klien dengan sistem bagi hasil, dari segi pendapatan jauh lebih besar papalele karena

disamping itu pula menguasai akses pasar.

Bergesernya solidaritas mekanik pada komunitas nelayan patorani, terkait

dengan masuknya unsur penggunaan teknologi. Masuknya unsur teknologi, sebagai alat

yang cukup diperhitngkan sebagai suatu hal yang bernilai sehingga setiap nelayan patorani

kembali melaut dan membawa hasil tangkapan. Maka teknologi disepakati dengan

perhitungan bahwa mesin kapal memiliki jatah penghasilan disetarakan nilainya sebanyak

dua orang sawi dan semuanya di serahkan ke papalele. Padahal jenis teknologi peralatan

tersebut merupakan bagian yang tak dapat dipisahkan dengan jenis teknologi peralatan

lainnya pada unit penangkapan yang digunakan nelayan patorani. Pembagian hasil yang

tidak berimbang tersebut secara otomatis sudah menghilangkan perasaan nilai kolektivitas

sebagai bagian yang sudah tersistematis sekian lama antara papalele dengan pinggawa-sawi.

Realitas di atas, terkait pemikiran Durkheim dalam Johnson (1986: 187) menegaskan

bahwa kesadaran kolektif yang mendasari solidaritas mekanik paling kuat perkembangannya

di dalam masyarakat, masyarakat primitif yang sederhana. Dalam masyarakat seperti itu,

semua anggota pada dasarnya memiliki kepercayaan bersama, pandangan, nilai dan

semuanya memiliki gaya hidup yang kira-kira sama. Homogenitas ini mungkin kalau kita lihat

kenyataan bahwa pembagian kerja sangat rendah. Menurut Durkheim bahwa solidaritas itu

terbagi kepada solidaritas mekanik dan solidaritas organik, kemudian solidaritas itu terbagi

lagi kedalam solidaritas positif dan solidaritas negatif.

Hubungan kontraktual yang merupakan ciri pergeseran hubungan patron klien pada

komunitas nelayan yang dituangkan dalam suatu perjanjian kerjasama dengan bentuk bagi

hasil dengan mewajibkan nelayan pekerja menyerahkan seluruh hasil tangkapannya kepada

pemilik modal untukselanjutnya di jual ke pasar. Fenomena ini relevan dengan apa yang

www.hendratmoko.com 158
dimaksudkan Poensioen (1969) bahwa proses industrialisasi hubungan yang bersifat pribadi

(hubungan patron klien) akan bergeser menjadi hubungan yang bercirikan kontraktual.

Popkin (1979) menyebut sebagai pergeseran dari hubungan yang berdasarkan oral ke

hugungan yang berdasarkan rasionalitas. Legg (1983) menamai pergeseran dari iktan multi

kompleks (hubungan kerja yang berlangsung berulang kali sehingga mempribadi) ke ikatan

simlek (hubungan kerja impersonal dengan mekanisme kerja yang mengacu pada sistem

pasar).

Mekanisme ikatan kontraktual dalam struktur komunitas nelayan patorani melalui

sistem dan mekanisme distribusi pendapatan yang kurang proporsional antara papalele

dengan pekerja. Papalele sebagai pemilik modal cenderung sangat mengatur hasil

tangkapan yang diperoleh nelayan, hingga pada penentuan harga pun di tentukan oleh

papalele. Namun distribusi pendapatan ini sudah menjadi pranata sosial ekonomi yang

merupakan manifestasi ikatan kontraktual antara pemilik modal dengan nelayan patorani.

Dari hal di atas, terkait Smith (1937) bahwa peningkatan paling besar dalam

kekuatan produksi yang dimiliki oleh pekerja merupakan efek dari pembagian kerja. Konsep

inipun kemudian di bahas oleh Durkheim (1964: 136) yang menghubungkannya dengan

spesialisasi cara fikir dan kemampuan individu dalam bekerja yang pada gilirannya

mendorong terbaginya pekerjaan. Pendapat itu menunjukkan varian dalam konsep

pembagian kerja. Varian-varian tersebut juga muncul dalam pembahasan tentang fungsi

pembagian kerja. Smith (1937) dan Durkheim (1964) bahwa pembagian kerja berfungsi

positif terhadap perkembangan ekonomi pasar dan pembentukan solidaritas sosial.

Penelitian ini berasumsi bahwa pembagian kerja fungsional dalam integrasi masyarakat.

Dalam hubungan nelayan patorani secara struktural, terjadi pembagian kerja

berdasarkan kegiatan penangkapan, namun secara nilai ekonomi (upah) terjadi perbedaan.

www.hendratmoko.com 159
Rendahnya pendapatan yang diterima oleh nelayan pekerja (sawi) adalh disebabkan oleh

beberapa al antara lain (1) penjualan hasil tangkapan cenderung ditentukan secara sepihak

oleh pemilik modal (papalele); (2) pemilik modal seakan-akan membuat kontrak sebagai

pembeli hasil dari nelayannya sendiri tanpa membuka akses untuk dijual ketempat lain;(3)

biaya operasional dalam bentuk material maupun non material sepenuhnya tanggungjawab

nelayan.

Kesemua cara yang dilakukan pemilik modal di atas, sesungguhnya merupakan suatu

hal pelanggaran terhadap pelanggaran terhadap norma-norma bagi hasil yang eksploitatif.

Pemutusan secara sepihak, menguntungkan papalele, dengan alasan bahwa pemilik modal

lebih dominan dalam pelaksanaan penangkapan. Memang secara nyata, bahwa papalele

memilik andil yang besar dari segi permodalan, akan tetapi dibalik kekuasaanya tersebut

terjadi eksploitasi. Secara etika ekonomi, terutama ajaran agama Islam, hal itu sudah terjadi

pelanggaran karena membebani pada kaum pekerja (pinggawa dan sawi) dengan mencari

keuntumngan maksimal tanpa perduli legal atau illegal atas kontrak yang diputuskan sepihak

tersebut.

Ketertutupan mengenai penentuan harga khususnya komoditi ekspor; telur ikan

torani, sesungguhnya mulai terjadi sejak papalele menjadi perantara antara pemilik modal

yang berkedudukan di Makassar dengan nelayan pekerja. Sekarang dengan berdikarinya

papalele sebagai pemilik modal, penentuan harga berada di bawah kebijakannya (untuk

tidak mengatakan kekuasaan) papalele yang bersangkutan.

Penentuan penggunaan biaya operasional, tampaknya para kapitalis lokal

(papalele) menerima pengaruh yang kuat dari sistem perbankan yang menyebabkan mereka

tak ingin merugi sedikit pun dari usahanya, bahkan mereka tetap untung kendati pun

nelayan pekerjanya tidak memperoleh apa-apa. Sekurang-kurangnya mereka berusaha

www.hendratmoko.com 160
untuk memperoleh kembali modal yang mereka tanamkan (meskipun dalam waktu yang

tertunda) ditambah dengan keuntungan dari setiap material yang dipergunakan dalam

penangkapan.

Kasus 11

Solidaritas Sosial Kekeluargaan Ke Hubungan Kontraktual

Seorang informan berstatus sebagai papalele Dg Se’re setiap musim pattoranian


meminjam unag di bank BRI cabang Takalar. Pinjaman diaambil dengan agunang tanah,
rumah dan perahu yang dimilikinya. Beliau memiliki perahu sebanyak lima buah dan
dipegang oleh pinggawa-pinggawa berasal dari Galesong sendiri. Dalam pemberian
modal pada pinggawanya beliau selalu jauh dari perhitungan pengembalian modalnya
dari pinggawa berbeda dengan cara perbankan. Munciulnya perbedaan ini karena resiko
yang dihadapinya berbeda dilapangan. Bahkan kadangkala beliau merugi bila hasil
tangkapan tidak bagus suasananya. Dengan demikian dapat dipersepsikan bahwa
sebenarnya mereka dalam menjalankan usahanya mengacu pada sistem perbankan
tanpa mereka menyadari bahwa dipihak lain mereka mempergunakan sistem bagi hasil
yang sama sekali berbeda dengan sistem perbankan. Di sinilah kelemahan sistem bagi
hasil bilamana papalele mau mempermainkan hasil yang diperoleh pinggawanya,
dengan menawarkan harga yang rendah sedangkan dipasaran harganya tinggi

Kasus 11 di atas secara otomatis tergambar bahwa keuntungan pemilik modal

diperoleh melalui penghitungan yang tidak berimbang. Solidaritas sosial sudah tercipta ke

hubungan kontraktual. Sistem pembagian hasil dan penentuan harga di tentukan oleh

papalele, yang secara realias tercipta eksploitasi. Penentuan biaya operasional dan teknologi

peralatan dan pemasaran ditentuakan oleh papalele. Implementasi tersebut, sudah

mengedepankan solidaritas organik menurut Durkheim dalam Johnson (1986) salah satu

cirinya adalah kesadaran kolektif lemah dan pembagian kerja tinggi. Hal itu terjadi, karena

papalele hanya berlandaskan pada rasionalitas-eksploitasi, yakni berupa pengejaran

keuntungan maksimal dengan cara merenggut hak-hak pinggawa-sawi. Pengejaran

keuntungan adalah dibenarkan secara rasional, akan tetapi jika hal itu diperoleh melalui

perenggutan (eksploitasi) atas hak orang lain maka tindakan itu menunjukkan keserakahan,

yang mana menurut Durkheim dalam Johnson (1986) merupakan ciri masyarakat bersifat

industrial dan indivudualitas tinggi.

www.hendratmoko.com 161
Unsur-unsur eksploitasi itu, secara realitas mengurangi rasa kekeluargaan

komunitas nelayan patorani. Kaitannya dengan solidaritas sosial yang mana pada era tahun

1940-an hingga akhir tahun 1960-an, komunitas nelayan patorani masih memgang teguh

nilai-nilai atas dasar kesadaran kolektif. Sebagaimana Durkheim dalam Johnson (1986: 183)

bahwa kesadaran mekanik itu adalah kesadaran masyarakat di dasarkan kepada kesadaran

kolektif bersama yang menunjuk pada totalitas kepercayaan-kepercayaan dan sentimen-

sentimen bersama yang rata-rata ada pada warga masyarakat yang sama. Komunitas

nelayan patorani sebelum masuknya unsur pasar dan komersialisasi produksi, nilai-nilai

kebersamaan dan kekeluargaan masih dikedepankan. pergeseran hasil penangkapan di era

tahun 1940-an, ketika induk telur menjadi komoditi penghasilan, maka telur ikan saat itu

dibagi-bagikan ketetangga. Namun sebaliknya ketika akhir tahun 1960-an, telur ikan torani

menjadi komoditi andalan untuk di ekspor, maka kebiasaan untuk membagikan telur itu

sudah tidak ada dan induk ikan pun juga tidak dijadikan lagi salah satu perekat kekeluargaan.

Kaitannya dengan struktur sosial pinggawa-sawi dengan kehadiran rasionalitas-

eksploitasi itu, telah menggeser posisi nilai sosial yang selama ini amat dijunjung tinggi. Nilai

sosial yang dimaksud diantaranya adalah nilai-nilai. Dalam konteks nelayan, nilai-nilai

kejujuran merupakan nilai utama (dasar) bagi terbentuknya struktur sosial pinggawa-sawi.

Seorang papalele dalam mempekerjakan nelayan pekerja adalah percaya bahwa nelayan

pekerjanya tersebut menyerahkan secara jujur seluruh hasil tangkapannya kepada papalele.

Sebaliknya nelayan pekerja juga percaya bahwa papalele menyampaikan secara jujur kepada

mereka mengenai harga dan biaya operasional yang sesungguhnya.

Namun apa yang terjadi belakangan ini, keduanya sudah tidak lagi konsisten

terhadap nilai-nilai kesadaran kolektif itu. Karena nelayan pekerja merasa terlalu dieksploitir

oleh pemilik modal, maka kerap kali nelayan pekerja membalasnya melalui cara

pengambilan secara sembunyi-sembunyi yakni berupa pengambilan beberapa bagian hasil

tangkapan secara illegal untuk selanjutnya di jual ke pasar atau dibagi-bagikan kepada

seluruh sawi. Memudarnya kesadaran kolektif komunitas nelayan patorani karena terkait

www.hendratmoko.com 162
perolehan hasil yang tidak sama. Maka salah satu unsur inilah menyebabkan penyelewengan

pun kerap terjadi. Kemudian ketidak seimbangan pula dari segi pendapatan berdasarkan

pembagian kerja antara pinggawa-sawi terjadi perbedaan, padahal dari segi pekerjaan, maka

sawi (pekerja/buruh) yang lebih banyak menanggung beban kerja.

Terjadinya penyelewengan hasil biasanya dipimpin langsung oleh pinggawa yang

bersangkutan, dengan alasan bahwa jika hal itu tidak dilakukan maka pinggawa yang

bersangkutan akan kehilangan sawi. Disinilah perlunya apa yang dimaksudkan Ritzer (1996),

bahwa rasionalitas instrumental harus dikontrol oleh rasional nilai karena kalau tidak, akan

menimbulkan efek negatif seperti eksploitasi. Nilai sosial termaksud diperkirakan mulai

mengalami pergeseran sejak dimulainya komersialisasi produksi nelayan, kemudian menjadi

berubah secara total pada saat munculnya papalele perantara, dan akhirnya menjadi nilai

sosial tidak menjadi lagi suatu sistem norma, ketika papalele telah menjadi pemilik modal.

Hal inilah yang menyebabkan struktur papalele - punggawa - sawi lebih diwarnai oleh

pertimbangan ekonomi (pengejaran keuntungan semata) daripada pertimbangan sosial

(kemerataan pendapatan) khususnya dari sisi pemilik modal.

Pergeseran hubungan pertukaran dari yang bersifat intrinsik ke ekstrinsik atau

pergeseran pandangan nelayan patorani dan secara umum masyarakat dalam kehidupan

ekonomi yang tidak semata-mata mencari penghasilan untuk kebutuhan sendiri

(subsistence) kepandangan selalu mencari untung (formalists) (Adimiharja, 1983 : 35). Dalam

fenomena pergeseran pandangan seperti ini, tentu saja memungkinkan bahwa dalam

struktur sosial komunitas nelayan patorani terindikasi hubungan yang bersifat eksploitatif.

Fenomena solidaritas sosial yang berorientasi pada nilai kekeluargaan komunitas

nelayan patorani, mengalami pergeseran sejak akhir tahun 1970-an. Penyebab yang lebih

mendasar adalah masuknya unsur pasar dan komersialisasi produksi yang berorientasi pada

ekspor telur ikan torani, sehingga papalele hanya mengejar target pemenuhan permintaan

www.hendratmoko.com 163
eksportir. Dibalik hal itu, pinggawa-sawi menjadi skala prioritas bagi papalele untuk

memenuhi keinginannya itu. Papalele sebagai pemilik modal dan teknologi penangkapan

melakukan eksploitasi pada pekerja dan sudah mulai menghitung berdasarkan karakteristik

masyarakat industri. Struktur pembagian kerja menjadi pula prioritas dalam pembagian

hasil, pinggawa-sawi memiliki kedudukan yang berbeda sehingga pembagian hasil pun juga

berbeda.

Demikian pula pada struktur antara pinggawa dan papalele memiliki hubungan

saling ketergantungan dalam pekerjaan. Sistem itu di implementasikan ke dalam sistem

kontraktual, bahwa seorang patron mengandalkan sumber daya kepemilikan modal dan

teknologi penangkapan. Sedangkan klien mengandalkan keahlian dan keterampilan

penangkapan. Realitas itulah, terjadi suatu hubungan yang lebih profesional yang

terimplementasikan kedalam bentuk pekerjaan. Terciptanya hubungan kerja maka secara

otomatis pinggawa nelayan memperoleh permodalan dari papalele. Sistem pengembalian

modal pada nelayan patorani diberlakukan sistem dan mekanisme pengembalian semusim,

jadi utang dikembalikan pada saat musim torani berlangsung (antara bulan April-

september), bila musim kali ini belum berhasil, maka dikembalikan pada musim berikutnya.

Fenomena di atas, menandakan bahwa nelayan patorani telah mengalami

pergeseran solidaritas sosial kondisi ini menciptakan keterintegrasian yang didasarkan pada

solidaritas organik. Keterintegrasian tetap menjadi suatu prioritas dalam solidaritas organik

karena adanya saling ketergantungan antara papalele dan pinggawa. Kondisi komunitas

nelayan patorani terlihat bahwa, setiap kelokasi penangkapan akan sukses bila papalele

sebagai pemilik modal memberikan modal operasional sesuai apa yang dibutuhkan oleh

pinggawa, demikian pula seorang pinggawa melakukan aktivitasnya sebagai pimpinan kapal

memiliki keterampilan dan mengefektifkan kelebihannya itu, dalam menjalankan tugasnya.

Pada muaranya atas realitas di atas, akan menciptakan ketergantungan fungsional.

www.hendratmoko.com 164
Terciptanya ketergantungan secara fungsional itu, akan sangat membantu untuk

menentukan terciptanya integrasi organisasi produksi antara pinggawa-papalele dan

eksportir, dan ini menandakan pula bergesernya hubungan kultural antara papalele dan

pinggawa berdasrkan hubungan emosional kekeluargaan ke hubungan fungsional

kontraktual. Sesuai teori Durkheim (1964), ini berarti bahwa solidaritas sosial telah bergeser

dari solidaritas mekanik ke solidaritas organik. Pergeseran solidaritas nelayan patorani dari

mekanik ke organik terkait masuknya unsur pasar dan kapitalis menguasai hasil produksi

yang di peroleh nelayan patorani. Terkait hal itu, Weber dalam Sztompka (2004: 83) bahwa

dalam konteks masyarakat kapitalis, maka kepemilikan pasar dimonopoli oleh satu kelas

yang mengatur prinsip distribusi dan konsumsi.

Dalam kasus nelayan patorani di Galesong Selatan dan Galesong Utara bahwa

kapitalis lokal (papalele) memiliki kekuasaan yang mengatur tentang harga jual di pasaran.

Adanya unsurkekuasaan yang dumiliki tekait pada fungsinya sebagai pemilik modal dengan

motivasi utamanya adalah untuk mencapai keuntungan maksimal, sehingga motivasi

perilaku ekonomi untuk mencapai keuntungan tertinggi. Adanya keinginan itu, maka

solidaritas tradisional sejak lahirnya nelayan patorani sudah bergeser ke solidaritas yang

berorientasi kapitalis. Kemudian selanjtnya, mekanisasi pekerjaan dengan memanfaatkan

teknologi sehingga memungkinkan memperhitungkan kapital secara tepat. Proses produksi

berdasarkan prinsip organisasi yang efektif, produktif, dan rasional.

4.3.2. Hubungan Sosial Dan Pembagian Kerja

Hubungan sosial komunitas nelayan umumnya memperlihatkan adanya hubungan

antara kelompok sebagai komunitas yang terdiri atas adanya unsur-unsur pekerjaan yang

kompleks selama berlayar. Sebaliknya setelah sampai di daratan pun komunitas nelayan

www.hendratmoko.com 165
tetap diikat oleh suatu ikatan hubungan sosial yang berlaku dan sudah disepakati secara

turun temurun. Kesepakatan hubungan sosial tidak ada yang tertulis, namun tetap menjadi

ikatan kontrak antara komunitas nelayan baik selama melaut maupun setelah sampai di

darat.

Nelayan patorani sebagai komunitas sosial secara luas, bahwa hubungan masyarakat

bukan saja melingkupi satu kelompok sosial atas pekerjaan semata, disamping faktor lain

seperti tempat tinggal yang secara bersama-sama menempati suatu wilayah tertentu.

Hubungan sosial juga dijalin berdasar pada ikatan-ikatan lain ataas dasar kepentingan saling

membantu dalam bentuk kerjasama untuk keberlanjutan dari komunitas itu.

Hubungan sosial diantara komunitas nelayan patorani diketahui adanya tiga

kelompok strata sosial atau lapisan. Perbedaan sosial atas strata didasarkan pada pemilikan

atau penguasaan secara nyata atas alat tangkap. Atas dasar kepemilikan tersebut, dapat

dikelompokkan dalam tiga strata yaitu pertama, nelayan pemilik alat tangkap dalam kategori

juragan; kedua nelayan pemilik alat tangkap dalam kategori nelayan pemilik kecil (memiliki

alat tangkap/perahu akan tetapi tidak memiliki modal); ketiga nelayan yang termasuk

nelayan buruh atau sawi, yaitu nelayan yang tidak memiliki modal dan alat tangkap.

Gambaran di atas merupakan suatu status yang terbentuk dalam komunitas nelayan

patorani, lain halnya pula dengan spesialisasi pembagian kerja, identik denagn distribusi

status yang diikuti dengan tugaa khusus. Distribusi status terkait dengan keterampilan dan

cara memperoleh keterampilan. Menurut Parker (1985) bahwa distribusi stautus

berdasarkan keterampilan. Lain halnya penekanan Smith (1937) dan Durkheim (1964),

bahwa pembagian kerja identik dengan terspesialisasinya seseorang pada tahap pekerjaan

tertentu. Dalam komunitas nelayan patorani, ketika melakukan operasional penangkapan

telah terjadi spesialisasi, walaupun belum berlaku surut karena hampir pekerjaan di kerjakan

secara bersama-sama.

www.hendratmoko.com 166
Spesialisasi pekerjaan sebelum tahun 1970-an pembagian kerja belum

mendominasi, akan tetapi masih cenderung pada status yang dimiliki seseorang menjadi

tolok ukur dalam posisinya. Hal itu, terkait belum adanya motivasi pada komersialisasi

produksi dan dominasi pasar pun belum menjadi bagian yang diperhitungkan. Dalam era ini

hasil tangkapan masih mengarah pada induk ikan terbang dan pemasaran pun masih

terbatas pada pasaran lokal. Menurut Polanyi (1957) bahwa perkembangan pasar sangat

berpengaruh dalam transformasi ekonomi. Sedangkan nelayan patorani dalam era tahun

1940-an hingga akhir tahun 1960-an belum terjadi apa yang di asumsikan oleh Polanyi pada

komunitas nelayan patorani belum terjadi, walaupun nelayan patorani sudah mengenal

pasar, namun pasar hanya mengandakan induk ikan torani yang nilai ekonomisnya belum

menjadi prioritas permintaan pasar. Tetapi konsumen induk ikan torani sangat terbatas

jumlahnya, yakni pasar lokal Sulwawesi selatan dan sebagian pulau Jawa Timur.

Namun hal itu terjadi, namun pembagian berdasarkan pekerjaan pada komunitas

nelayan patorani, ketika eksportir dan komersialisasi produksi sudah menjadi prioritas.

Sehingga pembagian kerja sudah mulai tercermin, hal ini ditandai dengan adanya pinggawa

yang diberikan beban bertanggungjawab utuk menahkodai perahu dan swai walupun

bagaimana tetap pekerja. Hal itu terkait Smith (1973) bahwa pembagian kerja mendorong

perekonomian bila ia identik dengan spesialisasi pekerjaan, karena dengan itu efesiensi

produkasi tecapai. Durkheim (1964) juga menekankan spesialisasi pekerjaan karena

denganitu integrasi diwujudkan melalui solidaritas organik.

Perubahan pembagiankerja terjadi ketika organisasi produksi semakin besar. Sejak

awal tahun 1970-an pada komunitas nelayan patorani, berkaitan dengansistem imbalan

kerja dan unsur kepapalelelan pula sudah masuk mengatur tentang pola produksi dan

penangkapan. Tradisi pembagian hasil berdasarkan pembagian kerja di komuntas nelayan

patorani, yakni papalele memiliki bagian dua puluh persen, seorang pinggawa memiliki dua

www.hendratmoko.com 167
puluh persen lagi (dengan perhitungan sebagai pemimpin dan gaji selama melakukan

penangkapan). Berkaiatn dengan gaji pinggawa tidak di tenytukan berdasarkan hari dan

lama melakukan penangkapan, akan tetapi tergantung pemebrian papalele. Sedangkan sawi

medapatkan pembagian secara rata ketika kedua elemen (papalele dan pinggawa) sudah

mendapat bagian. Pembagian untuk sawi pun tergantung dari pinggawa. Fenomena

pembagian kerja berdasarkan imbalan kerja di atas, sampai sekarang menjadi patokan bagi

komunitas nelayan patorani.

4.3.2.1.Pola Pembagian Kerja Pada Komunitas Nelayan Patorani

Pembagian kerja pada komunitas industri penangkapan ikan berkembang seiring

dengan masuknya komersialisasi pasar dan penerapan teknologi alat penangkapan. Ketika

nelayan masih mengandalkan peralatan yang sederhana, hanya terbatas pada penggunaan

pancing, jala dan bubu. Keadaan itu, pembagian kerja hampir tidak ada dan belum

membutuhkan keahlian penggunaan teknologi penangkapann.

Dalam konteks itu, nelayan patorani pun hampir tidak ada pembagian kerja, sejak

sejarah awal keberadaanya sebagai nelayan tradisional pada abad ke-17. Pembagian kerja

hanya di dapatkan berdasarkan jenis kelamin antara pria dan wanita. Straus (1971) bahwa

pembagian kerja pria dan wanita memaksakan ketergantungan timbal balik, jenis kelamin

tertentu harus melakukan pekerjaan tertentu, yang berarti jenis kelamin lain dilarang

melakukannya.

Pembagian kerja pada komunitas nelayan patorani diperkirakan mengalami

perubahan antara sebelum dan sesudah awal tahun 1940-an hingga akhir tahun 1960-an.

Sebelum tahun 1940-an, pembagian kerja didasarkan pada status dan kemampuan sesorang.

Hal itu dapat di temukan dalam kepemilikan modal serta kemahiran dalam melaut. Sesorang

www.hendratmoko.com 168
yang diberikan pekerjaan sebagai pinggawa laut (juragan) bisanya dilihat dari segi

pengalaman dan kemahirannya sebagai nahkoda sehingga diberikan kepercayaan untuk

memimpin pelayaran.

Nelayan patorani yang menetap di Galesong Utara dan Galesong Selatan Kabupaten

Takalar terdapat suatu struktur pembagian kerja dalam melakukan aktivitasnya selama

melaut. Struktur tersebut antara lain; pinggawa darat (papalele), pinggawa laut (juragan),

dan anak buah/buruh nelayan (sawi). Struktur pembagian kerja itu, mungkin juga sudah

lazim di berbagai komunitas nelayan yang ada di Indonesia. Hal itu diperkenalkan, sejak

tahun 1940-an pada komunitas nelayan patorani. Namun hal Itu, menjadi suatu hal yang

dipandang perlu diterapkan sejak akhir tahun 1960-an. Munculnya tuntutan profesionalisme

dan komersialisasi produksi menjadi salah satu tujuan serta awal penerapan teknologi

penangkapan sebagai salah satu alat untuk peningkatan produksi. Profesionalisme dan

keahlian individu menjadi prioritas yang diperhitungkan dalam bekerjasam antara papalele

(pemilik modal), pinggawa, dan sawi.

Sejak nelayan patorani mulai mengenal teknologi pada akhir tahun 1960-

an, pembagian kerja secara sederhana pun mulai tercipta. Untuk mengoperasikan

perahu, sudah dikenal adanya divisi kerja dan jenjang kerja. Divisi kerja mencakup

divisi yang melayarkan dan menjaga posisi perahu saat beroperasi, divisi yang

menangani lampu penerang dan dapur untuk menyiapkan makanan, dan divisi khusus

untuk mengoperasikan pakkaja (alat penangkapan). Jenjang kerja terlihat dari adanya

hirarki posisi pinggawa dan sawi. Dikalangan sawi sendiri ada perbedaan status antara

sawi biasa dengan sawi yang bertanggungjawab pada satu devisi kerja.

Saat perahu dioperasikan, pembagian kerja dalam organisasi penangkapan tetap

www.hendratmoko.com 169
berlaku. Anggota organisasi penangkapan tetap berlaku. Anggota organisasi penangkapan

lebih banyak. Sebagaimana dalam pengoperasian alat penangkapan ballak-ballak (rumah-

rumah/pakkaja) nelayan patorani, keterlibatan dan keterikatan sawi dalam sebuah unit

pakkaja relatif dipermanenkan untuk bertanggungjawab penuh atas divisi yang dibebankan.

Kasus 13

Pembagian Kerja Komunitas Nelayan Patorani

Dalam konteks pembagian kerja pada komunitas nelayan patorani,


mempermanenkan pembagian kerja berdasarkan struktur, mulai yang tertinggi
hingga pekerja (sawi). Pinggawa dapat diartikan sebagai pemimpin tertinggi dari
sejumlah anggota kelompok yang ada dalam perahu (sawi-sawi) yang melakukan
kegiatan-kegiatan tertentu, baik yang berlangsung lama, maupun jangka waktu yang
singkat. Pada umumnya di kecamatan Galesong Utara dan Galesong Selatan,
pinggawa daratlah (papalele) sebagai orang yang memiliki modal untuk membiayai
kegiatan kerja mulai dari biaya peralatan produksi hingga pemasarannya. Papalele
memberikan biaya kerja dan biaya kebutuhan kehidupan rumah tangga para
pinggawa. Imbal balik dari itu, pinggawa laut (juragan) melakukan pengumpulan
produksi telur ikan terbang semaksimal mungkin. Selain itu, papalele juga yang
mengawasi dan menetapkan kebijaksanaan umum terhadap pinggawa laut
(juragan). Sedangkan juragan memimpin langsung para sawi dalam operasi
pengumpulan produksi.

Kasus di atas tergambar bahwa pembagian kerja berdasarkan struktur kepemilkan

dan keahlian. Pinggawa laut (juragan) merupakan orang yang dipandang memiliki keahlian

khusus tentang laut yang cenderung, tidak dimiliki oleh para sawi dalam proses kegiatan

kerja. Karena itu, hubungan kerja antar papalele dan pinggawa (juragan) cenderung

berlangsung lama. Dalam arti, hubungan kekerabatan lebih erat dibanding dengan hubungan

antara papalele (pinggawa darat) mempergunakan atau mendatangkan pekerja/buruh

(sawi) dari daerah lainnya seperti dari kabupaten Bantaeng dan Jeneponto.

Secara implisit kasus 13 di atas, menggambarkan pula ketiga struktur yang terbentuk

dalam nelayan patorani yaitu: papalele, pinggawa dan sawi. Struktur itu, merupakan bagian

dari krakteristik nelayan patorani di Galesoang Selatan dan Galesoan Utara. Secara status

www.hendratmoko.com 170
sosial pun, masing-masing karakteristik struktur memiliki kewenangan dan peranan dalam

pengambilan keputusan. Eksportir sebagai pemegang pasar memiliki keterkaitan dengan

papalele sebagai pemilik modal dan bersentuhan langsung nelayan. Papalele pula memiliki

keterkaitan dengan pinggawa, dan pinggawa pula berhubungan langsung dengan pekerja

(sawi).

Pemilik modal (Papalele) secara struktur memiliki peranan yang paling besar dalam

ruang lingkup pekerjaan. Selain sebagai pemilik modal, pemilik alat pengumpul produksi,

juga sebagai orang yang menghubungkan antara pinggawa laut dan sawi. Utamanya sawi

yang didatangkan dari daerah lainnya. Oleh sebab itu, masuk menjadi papalele atau

pinggawa darat harus mampu memiliki kriteria antara lain yaitu: (1) mampu menyediakan

modal untuk biaya pengoperasian pada setiap kegiatan pengumpulan produksi; (2)

mampu menanggung biaya - biaya

tertentu dari keluarga pingga dan sawi yang ditinggalkan selam operasi pengumpulan

produksi; (3) mampu memasarkan hasil pengumpulan produksi; (4) mampu memberikan

biaya-biaya tertentu kepada pinggawa laut (juragan) dan sawi (buruh) pada musim paceklik.

Seringkali pinggawa laut dan sawi terpaksa meninggalkan kelompok dan

pindah pada pada kelompok lain dengan alasan, bahwa papalelenya tidak mau

mengerti tentang kubutahannya yang mendesak dan juga mengenai kebutuha

keluarganya pada musim-musim pengumpulan telur ikan sering di abaikan. Sehingga

hubungan antara pinggawa dan sawi tidak harmonis lagi dan hanya satu musim

bersama-sama.

Keberadaan Papalele, sejak dulu kala berproses mulai dari seorang sawi kemudian

lambat laun mengikuti proses beranjak pada tingkat yang lebih tinggi, yaitu pinggawa laut

atau juragan. Pada akhirnya mencapai tingkat yang paling tinggi yaitu pinggawa darat

(papalele). Pada masa lalu sekurang-kurangnya pernah memiliki pengalaman-pengalaman di

www.hendratmoko.com 171
laut dan keterampilan tertentu dalam hal perdagangan. Mungkin saja tidak semua sawi

dapat beranjak sampai pada tingkat papalele. Tetapi nampaknya, sawi yang sudah memiliki

pengalaman yang banyak dan luas, umumnya mendapat perhatian-perhatian atau jaminan-

jaminan tertentu dari papalele dalam kelompok pinggawa-sawi. Hal itu, dilakukan oleh

papalele bila terbina hubungan yang harmonis baik musim penangkapan maupun disaat

musim patorani berakhir.

Perkembangan pasar dan tuntutan produksi, di era sekarang ini papalele yang

memberikan modal pada pinggawa, hampir tidak melalui lagi penjenjangan mulai dari

sawi hingga menjadi pinggawa dan akhirnya menjadi papalele. Akan tetapi dalam era

sekarang, siapa saja bisa menjadi pinggawa darat (papalele) sepanjang memiliki akses

modal dan akses pasar. Hal itu, menunjukkan bahwa untuk menjadi papalele dalam era

sekarang, hanya didasarkan pada kemampuan menyediakan modal kerja untuk biaya

operasi. Sedang teknis pengumpulan produksi dipercayakan penuh kepada pinggawa

laut (juragan) bersama-sama dengan sawi yang biasanya merupakan keluarga dan

kerabatnya sendiri.

Pinggawa laut (Juragan), adalah orang yang diberikan tanggungjawab oleh seorang

papalele (pinggawa darat) untuk memimpin operasi penagkapan/pengumpulan produksi

tertentu. Untuk menjadi pinggawa laut (juragan) sekrang-kurangnya memenuhi persyaratan

antara lain: (1) memiliki kesehatan jasmani dan rohani yang memadai; (2) memiliki kejujuran

dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab; (3) memiliki pengetahuan yang mendalam

dan luas tentang kenelayanan.

Khusus untuk menyangkut pengetahuan tentang kenelayanan dan atau sering

disebut erang passimombalang dan erang pakboyaboyang, sepatutnya seorang juragan

menguasai. Pengetahuan ini berkaitan pengetahuan tentang musim, perbintangan, iklim,

www.hendratmoko.com 172
tata cara dan keselamatan pelayaran, sistem penangkapan/pengumpulan telur ikan terbang,

manjemen usaha serta teknologi dan sebagainya.

Selain itu, seorang juragan memiliki kewajiban dan persyaratan yang harus dipatuhi

antara lain; (1) membantu papalele untuk mencari dan menentukan sawi-sawi yang dapat

menjadi anggota kelompok; (2) menetapkan sistem pembagian kerja para sawi; (3)

bertanggungjawab terhadap keselamatan para sawi dan setiap alat produksi yang digunakan

selama dilokasi penangkapan/ pengumpulan produksi; (4) mengumpulkan semua hasil

produksi untuk diserahkan kepada papalele (pinggawa darat); (5) membantu papalele dalam

menentukan upah untuk sawi; (6) penyalur aspirasi para sawi untuk keluhan-keluhan

tertentu dalam kelompok.

Gambaran itu menunjukkan bahwa spesialisasi pekerjaan lebih identik dengan

distribusi status yang terstruktur yang diikuti dengan tugas khusus. Distribusi status lebih

terkait dengan keterampilan dan cara memperoleh keterampilan. Hal ini terkait, Smith

(1937) dan Durkheim (1964), bahwa pembagian kerja identik dengan terspesialisasinya

seseorang pada tahap pekerjaan tertentu. Dalam komunitas nelayan Patorani, spesialisasi

demikian berdasarkan klasifikasi pekerja berdasarkan keterampilan dan pengalaman

bekerja.

Spesialisasi pekerjaan dalam era tahun 1940-an, pada komunitas nelayan patorani

belum menjadi suatu hal yang mengikat. Dimungkinkan karena terkait dengan belum

mengarah pada perkembangan investasi, dan penerapan teknologi alat penangkapan yang

mengedepankan manajemen kerja. Pada saat itu, nelayan patorani masih sangat terbatas

pada penggunaan peralatan penangkapan, dan hanya menangkap induk ikan terbang dan

pemasarannya masih bersifat lokal dan terbatas pada kisaran pulau jawa yakni Jawa Timur.

Sehingga permintaan yang didorongnya tidak merangsang perkembangan investasi dan

penerapan teknologi yang membutuhkan manajemen kerja dan juga tidak mendorong pada

www.hendratmoko.com 173
spesialisasi pekerjaan.

4.3.2.2 Pembagian Kerja Pada Hubungan Tradisional Ke


Hubungan Industrial

Perubahan pembagian kerja pada komunitas nelayan patorani terjadi ketika

organisasi produksi semakin besar dan tuntutan pasar berlangsung. Kehadiran pasar

menjadi bagian terpenting untuk dipenuhi permintaannya. Berawal dari realitas ini,

maka komersilaisai produksi mulai masuk dan berkembang pada hampir kelompok

yang terlibat langsung pada komunitas nelayan patorani. Realitas demikian, memaksa

terbentuknya manajemen kerja yang sesuai dengan kebutuhan selama melaut untuk

melakukan penangkapan. Pinggawa darat atau pemilik modal (papalele) pun mulai

terbentuk, seiring masuk dan berkembangnya investor sebagai memberikan modal

pada nelayan. Modal secara langsung diberikan kepada pinggawa laut (juragan)

sebagai bentuk kontrak kerja.

Pembagian kerja, secara turun temurun dikenal pada komunitas nelayan

patorani yang bertumpu pada kemahiran dan pengalaman seseorang. Pengalaman

seseorang ditentukan melalui penguasaan sistem pengetahuan secara khusus pola

penangkapan komunitas nelayan patorani. Dalam bentuk penguasaan ilmu

pengetahuan cenderung bahwa seseorang bertumpu pada kepercayaan yang dimiliki

dan dipelihara melalui ritual. Ritual tersebut bertujuan untuk menumbuhkan kepekaan

sosial dan ekologis bagi kelompok pinggawa-sawi dalam berinteraksi dengan alam.

Komunitas nelayan patorani, masih mempertahankan dasar ilmu pengetahuan

melalui ritual itu untuk dapat didudukkan sebagai pinggawa. Hal itu,

dianggap penting karena seorang pinggawa dianggap sebagai pengayom selama

www.hendratmoko.com 174
dalam perjalanan penangkapan agar memiliki kemampuan untuk menjaga

keseimbangan hidup demi keselamatan anggotanya. kepemilikan pengetahuan itu

disesuaikan dengan kemampuan realitas individu dan lingkungannya. Kemampuan

individu dapat diperoleh dengan melihat riwayat hidup beserta segala tahap

pengalamnannya, baik di darat hubungannya dengan sesama nelayan maupun

masyarakat dan di laut dengan melalui waktu menjadi nelayan patorani.

Indikator melalui kemampuan dan pengalaman serta ilmu pengetahuan


dijadikan suatu hal terpenting, karena seorang pinggawa dapat dijadikan anutan.
Sebagai anutan maka dibutuhkan perilaku seorang pinggawa dan orang yang dituakan
dan dapat berbagi pengalaman dalam hubungan sosial dan melaut. Seorang sawi
(pekerja) mulai belajar dari pekerjaan-pekerjaan praktis yang tidak memerlukan daya
pikir tetapi semata-mata kekuatan fisik. Setelah melalui jangka waktu tertentu,
barulah meningkat ke pekerjaan yang memerlukan inisiatif. Setelah melewati tahap-
tahap tersebut barulah sampai pada pekerjaan yang selain memerlukan inisiatif, juga
yang terpenting adalah kemampuan memimpin dan bertanggungjawab. Dalam praktek
ini, sawi harus melewati tahapan tersebut dengan legitimasi pinggawa, sebelum
menerima pengetahuan pangangasengan dalam bentuk pengetahuan bathin.
Pengetahuan empirik yang diperoleh dengan cara magang, pada puncak prestasinya,
sawi baru dapat diberi pengetahuan bathin, sekaligus sebagai masa untuk beralih dari
sawi menjadi pinggawa.
Kasus 14
Hubungan tradisonal ke kontraktual

Kontrak kerja yang dimaksud, mulai dari persiapan pemberangkatan hingga


kembali dari melaut menangkap/mengumpulkan telur ikan. Kemudian
dipasarkan hasil produksinya, hingga pada pembagian hasil. Penghitunagan
berdasarkan hasil yang diperoleh tetap dikembalikan pada pemilik
modal/pinggawa darat (papalele) sebagai orang yang dipercayakan membagi
hasil yang diperoleh.

Pemberian imbalan pada pinggawa maupun sawi di lihat dari segi beban
pekerjaan dan tanggung jawab yang dibebankan selama melakukan aktivitas
penangkapan/pengumpulan telur ikan torani. Hal seperti itu terjadi, pada akhir
tahun 1960-an, perubahan pembagian kerja berorientasi dengan
mengedepankan tanggung jawab pekerjaan. Beban yang berat ditanggung
adalah pinggawa, karena secara struktur kepatoranian pinggawa
bertanggungjawab penuh dalam mengendalikan perahu dan sekaligus
bertanggungjawab atas keselamatan sawi. Belum lagi pinggawa dituntut atas
utang yang dibebankan oleh papalele sebelum berangkat hingga kembali dari
penangkapan. Beban utang berkaitan dana yang ditipkan untuk kehidupan
keluarga yang ditinggalkan dan kebutuhan pokok selama berlayar.

Kasus di atas tergambar bahwa pegeseran sistem imbalan kerja merupakan

www.hendratmoko.com 175
implementasi hubungan kontraktual. Tahun 1940-an, saat nelayan patorani masih

menangkap khusus induk ikan torani, kontrak kerja belum menjadi permasalahan secara

internal. Hal itu, karena tanggungjawab belum begitu berat terhadap papalele dan

pinggawa. Target penghasilan pun belum menjadi hal yang dituntut dan juga utang yang

diperoleh dari papalele belum begitu besar. Kasus 14 menggambarkan pula bahwa tahun

1960-an, realitas berbalik yakni dominasi komersialisasi produksi dan permintaan pasar

sudah menjadi target sasaran. Secara struktur pada dekade akhir tahun 1960-an terjadi

peralihan untuk memenuhi kuota permintaan pasar, dan kontrak kerja sudah mengarah

pada tanggungjawab pinggawa untuk kepentingan produksi.

Kondisi peralihan itu, berimbas pula pada target pelayaran menuju ke lokasi untuk

menangkap telur ikan terbang. Penangkapan semakin membutuhkan penambahan awak

perahu, dan berbeda ketika penangkapan induk ikan torani hanya berjumlah antara 3-5

orang, dan kini bertambah menjadi antara 5-7 orang awak perahu ketika penangkapan

beralih ke telur ikan. Perahu dipimpin satu orang pinggawa (juragan laut) dan selebihnya

adalah buruh nelayan (sawi). Awak kapal masing-masing memiliki fungsi yang saling

membantu satu sama lain sehingga terintegrasi dalam suatu kekompakan dalam aktivitas

penangkapan. Menciptakan kekompakan tersebut tidaklah mudah untuk dilakuakan bagi

kelompok patorani setiap sift pemberangkatan, karena ada saja sawi yang tidak puas dengan

kegaiatn yang dibebankan oleh pinggawa terhadap sawi.

Sawi sebagai anak buah kapal, memiliki peran yang sangat besar dalam kesuksean

hasil yang diperoleh, sehingga sawi dituntut ketukunannya untuk senantiasa bekerja keras

memasang pakkaja hingga membuahkan hasil yang maksimal. Dalam pembagian peran

pertimbangan usia juga dipertimbangkan, misalnya seorang sawi yang masih relatif muda

usianya, maka beban tanggungjawab pun diberikan relatif ringan. Sesuai aturan

kepatoranian walaupun tidak tertulis, diatur bahwa setiap sift pemeberangkatan, sawi yang

usianya masih relatif muda, di bebankan tugas yang tidak memiliki banyak resiko. Sawi

www.hendratmoko.com 176
tersebut hanya cukup menimbah air (akkerrok) yang masuk kedalam perahu diakibatkan

hempasan ombak. Memang pekerjaanya terbilang santai, tetapi pekerjaan yang paling

dianggap melelahkan adalah menimba air, karena berada di dek perahu yang paling bawah.

Selama pelayaran hubungan kebersamaan tetap terjaga keseimbangannya, jadi seorang sawi

juga cenderung menyampaikan pendapat dari hal-hal yang besar hingga hal-hal yang sepele,

misalnya bahan makanan yang di bawa tidak sesuai apa yang diinginkan.

Pengoperasian perahu untuk menangkap/mengumpulkan telur ikan torani,

keterikatan sawi dalam sebuah unit peralatan yang terkait dengan proses penangkapan

relatif dipermanenkan dalam suatu posisi melalui divisi kerja tertentu. Pekerjaan utama

mencakup pemasangan pakkaja (alat penangkapan) dan pengambilan telur ikan dari

pakkaja. Pembuatan, pemasangan dan perbaikan perahu dan pakkaja melibatkan semua

sawi. Dalam penangkapan, sawi dibagi tiga yakni divisi yang menjalankan perahu, yang

memantau alat penangkapan bila sudah terpasang, dan yang mengoperasikan jaring alat

penangkapan. Imbalan kerja tidak didasarkan pada posisi sawi dalam pembagian kerja, akan

tetapi pembagian hasil disamakan semua sawi yang ada dalam kelompok perahu setelah

dihitung hasil akhirnya tersebut.

Penggunaan teknologi pada perahu patorani, telah mendorong munculnya

pembagian kerja. Pada tahap ini, hubungan spesifik antara divisi kerja dengan sarana

produksi relatif permanen. Pada tingkat nelayan patorani pembagian kerja masih selalu

mengedepankan berdasarkan pengalaman para sawi untuk memegang satu divisi. Hal ini

dilakukan oleh pinggawa terhadap sawinya, mengingat bahwa tantangan dan

tanggungjawab melaut sangatlah berat. Sehingga dibutuhkan keahlian dalam

mengoperasikan setiap peralatan penangkapan.

Setelah pakkaja dioperasikan pada saat penangkapan/pengumpulan berlangsung,

www.hendratmoko.com 177
maka pembagian kerja semakin kompleks. Untuk mengoperasikan pakkaja, pembagian kerja

melibatkan divisi mesin pengoperasian yang mengantarkan pakkaja bisa jauh dari perahu,

penangkapan untuk memeperolah hasil tentu diharapkan keahlian dalam mengoperasikan

alat penangkapan. Jumlah sawi pada sebuah unit perahu berkisar lima-tujuh orang, lama

penangkapan biasanya dilakukan selama sebulan sehari semalam. Bagi hasil disesuaikan

dengan posisi dalam pembagian kerja, posisi yang dimaksud antara pinggawa dan sawi.

Umumnya nelayan patorani dalam pembagian hasil tangkapan antara pinggawa (juragan)

dan sawi berbeda, sedangkan sawi bagiannya sama rata. Adanya perbedaan tersebut,

kaarena berkaitan dengan beban pekerjaan dan tanggungjawab antara pinggawa dan sawi.

Tanggungjawab pinggawa mulai sejak persiapan, pemberangkatan hingga kembali ke darat,

sedangkan sawi hanya setelah beroperasi di laut.

Pada masa lalu, setelah patorani kembali dari melaut menangkap induk ikan torani,

maka peranan sawi masih cukup besar untuk memasarkan hasil tangkapannya situasi ini

diperkirakan di era tahun 1940-an hingga akhir tahun 1960-an. Namun, akhir tahun 1960-an

nelayan patorani sudah mengubah hasil tangkapannya, yang dulunya hanya menangkap

khusus induk ikan torani kemudian dikeringkan dan dipasarkan. Seiring dengan

perkembangan zaman dan masuknya permintaan pasar yang hanya menuntut untuk

memebeli telur ikan torani, maka nelayan beralih penangkapan/pengumpulan khusus telur

ikan torani.

Setelah tuntutan pasar masuk, komersialisasi produksi pun menjadi tuntutan bagi

pemilik modal (papalele) untuk mengubah pemberian modalnya kepada pinggawa yang

dimodalinya selama ini. Pemasaran pun bagi sawi tidak berdaya lagi dan bahkan pun

pinggawa tidak punya andil besar untuk memasarkan hasil tangkapannya. Pembagian kerja

bagi sawi-pinggawa hanya pada saat berada dilaut, sedangkan setelah sampai didarat

pembagian kerja untuk pemasaran hampir lagi tidak ada bagi nelayan patorani. Hal itu

www.hendratmoko.com 178
terjadi, karena di darat sudah ada pembagian pekerjaan lagi yang diciptakan oleh papalele.

Pekerjaan tersebut meliputi pengolahan yang berorientasi pada ekspor, yakni mulai dari

pemarutan (menghilangkan benang/serat telur). Artinya pembagian kerja terbentuk lagi

diluar struktur kepatoranian, padahal pada era tahun 1940-an hingga akhir tahun 1960-an

nelayan patorani, baik sawi-pinggawa tetap terlibat dalam pemasaran.

Permulaan kompleksitas pembagian kerja tercipta pada nelayan patorani pada akhir

tahun 1960-an. Namun pembagian kerja baru hanya terbatas pada mengoperasikan perahu

ke areal penangkapan dan meliibatkan semua sawi yang ikut dalam perahu. Jumlah sawi

biasanya antara 4-6 orang dengan trip operasi yang lebih lama (antara satu bulan- tiga

bulan). Namun setelah awal tahun 1970-an maka pembagian kerja sudah menjadi prioritas

untuk memudahkan dalam menjalankan pekerjaan, dan kegiatan pula tidak hanya tertumpu

pada satu orang. Pembagian kerja dimulai dari devisi khusus untuk penyiapan kebutuhan

makan (khusus untuk memasak), divisi khusus untuk menurunkan alat penangkapan

(pakkaja), divisi khusus memetik telur dari pakkaja kemudian menjemur hasilnya, dan sawi

yang lebih banyak untuk operasi mesin. Kondisi teknis itu, secara khusus yang menyebabkan

lebih terspesialisasinya pembagian kerja dalam penangkapan pada nelayan patorani di era

akhir tahun 1960-an atau mwemasuki awal tahun 1970-an.

Pembagian kerja untuk penangkapan pada nelayan patorani lebih luas lagi terbagi

dalam tujuh divisi kerja yakni: (1) persiapan pemberangkatan; (2) pengoperasian dan

perawatan mesin; (3) pengoperasian dan perawatan alat penangkapan (pakkaja); (4)

pengoperasian perahu dan alat penangkapan (5) divisi memetik, menjemur dan mengemas

hasil tangkapan kedalam tempat yang rapi yang khusus dipersiapkan; (6) konsumsi dan

pembantu umum; (7) pembatu pinggawa dalam mengoperasikan jalannya perahu.

Persiapan keberangkatan melibatkan pinggawa laut dibantu sawi divisi juru masak.

Pekerjaannya adalah penyiapan es-balok, pembelian solar, penyiapan bahan konsumsi,

www.hendratmoko.com 179
pengecekan fungsi mesin dan alat tangkap, serta kerja temporer penyiapan bahan untuk

perbaikan atau pemasangan pakkaja yang baru. Biaya Persiapan dihitung oleh pinggawa-laut

dan disiapkan oleh pinggawa-darat dihitung sebagai biaya produksi awal keberangkatan.

Utang itu, dihitung mulai dari perawatan perahu, kebutuhan bahan pokok selama melaut

dan operasional perahu (termasuk perawatan dan bahan bakar).

Divisi mesin terdiri dari juru mudi dan dua pembantu juru mudi, juru mudi biasanya

dipegang langsung oleh juragan. Sedangkan pembantunya seorang sawi yang mengawasi

kondisi mesin dan kelengkapan alat penangkapan. seorang sawi pada mesin yang

berkekuatan 42 PK+42 PK (doubel mesin). sawi mesin yang membantu perahu bekerja

selama perjalanan pergi-pulang. Sawi mesin dan penarik pakkaja dan otomotif bertugas saat

pakkaja dipenuhi telur ikan torani. Pembantu juru mudi mengkoordinir pengoperasian

mesin, operasi penangkapan, pemuatan dan kondisi fisik perahu selama dalam perjalanan.

Divisi yang menangani alat tangkap (ballak-ballak/pakkaja) terdiri dari sawi yang

bertugas memantau pakkaja selama terpasang dan tentu juga memperhatikan ikan torani

yang masuk memijah. Aktifitas ini dilakukan oleh sawi sebanyak tiga orang, sawi yang lainnya

yakni terdiri satu orang bertugas untuk membuang batu pelampung. Selain tugas tersebut,

sawi juga menarik pakkaja ke atas perahu bila dianggap sudah banyak yang masuk ke dalama

ballak-ballak (pakkaja). Pakkaja ditarik ke dalam perahu biasanya setelah mendapat

persetujuan dari pinggawa perahu, termasuk juga kalau ingin berpindah lokasi penangkapan.

Hasil yang diperoleh dari alat penangkapan ballak-ballak (pakkaja ditarik ke perahu

dan dipetik. Langkah selanjutnya di adakan penjemuran pada tali yang sudah disediakan,

terbentang di sudut sisi perahu. Penjemuran ini dilakukan, seperti menjemur pakaian yang

habis di cuci. Telur ikan yang dijemur masih menyatu dengan benang (serat) sehingga telur

www.hendratmoko.com 180
masih kelihatan seperti pakaian yang teruntai dengan seratnya. Pekerjaan penjemuran ini

dilakukan oleh sawi sebanyak dua orang yang bertanggungjawab.

Divisi pembantu umum adalah juru masak dan satu-dua orang sawi yang masih

muda yang tugasnya menimba air dari lambung perahu. Juru masak bertangung jawab atas

persediaan bahan makanan, untuk memenuhi makan anggota kelompok dengan porsi

sebanyak tiga kali sehari. Selain itu juru masak pun menyediakan minuman dan makanan

ringan misalnya kopi/teh. Perlengkapan makan dibersihkan dan dikembalikan sendiri oleh

sawi. Sawi yang berpengalaman melaut masih kurang juga dari segi penangkapan maka

dianggap sebagai sawi muda. Sawi muda juga melakukan pekerjaan yang diperintahkan oleh

juragan dan atau bahkan sawi yang lebih berpengalaman dengan tujuan untuk

memperkenalkan pekerjaan tertentu kepada sawi muda tersebut.

Divisi penanganan hasil tangkapan setelah sampai di darat bukan lagi bagian dari

organisasi penangkapan. Tetapi, sudah menjadi tanggungjawab papalele dengan eksportir.

Pinggawa dan sawi sudah tidak ada lagi perannya berkaitan aktivitas pemasaran. Setelah

sampai di darat tugas sawi yang menurunkan telur ikan hasil tangkapan dari perahu,

kemudian memasukkan ke gudang papalele untuk ditimbang dalam kondisi masih belum

dipisahkan dengan serat (benangnya). Sawi dibantu oleh buruh khusus yang bekerja di

gudang papalele sebagai tenaga untuk memaruk dengan tujuan menghilangkan serat

(benang) telur ikan torani. Hal itu dilakukan agar telur terpisah dari seratnya hingga tersisa

biji telur yang siap dipasarkan.

Buruh harian itu dibayar berdasarkan hasil parutan yang diperoleh dalam sehari.

Penghitungan hasil dilihat dari berapa kilo gram buruh tersebut sempat dipisahkan telur dari

seratnya. Adapun upah yang diberikan Rp.3.500/kg, tetapi kalau disediakan makan oleh

www.hendratmoko.com 181
pemilik gudang, maka upahnya dipotong Rp.1.000. Buruh harian yang bekerja di gudang

pemarutan, sebagain besar berdomisili di Galesong. Sehingga setelah selesai bekerja kembali

kerumahnya masing-masing. Upahnya diberikan dalam bentuk harian atau juga ada buruh

yang sengaja menyimpang hingga stok digudang habis.

Setelah dilakukan pemisahan telur dari seratnya, maka langkah selanjutnya siap di

pasarkan (diekspor) kenegara yang sudah dikontrak oleh papalele (pemilik modal).

Kehadiran papalele dalam hal ini, menjadi perantara eksportir dengan mengambil barang

secara langsung dari pinggawa atau papalele lainnya. Adapun cara lain dilakukan papalele

dengan menjalin sambungan langsung dengan pinggawa patorani. Kontrak antara pinggawa

patorani dengan papalele, bukan hanya sekedar meminjam uang, tetapi sampai pada tahap

pemasaran hasil. Kedudukan papalele sangat kuat hingga pada pemasaran pun papalele

masih tetap mengatur posisi pinggawa hingga pada pembagian hasil.

Pembagian hasil pada komunitas nelayan patorani memiliki lima macam model

pembagian dantaranya yakni: (1) setelah modal dikeluarkan, mesin 2 bGIn, perahu 2 bagian,

pinggawa 1 bagian, sawi 1 bagian (untuk sejumlah orang); (2) pinggawa, sawi, mesin dan

perahu, masing-masing memperoleh 1 bagian, etapi harga pembayaran ditetapan papalele

dan biasanya di bawah stamdar pemasaran umum; (3) papalelel menerima 25%, setelah

modal dan biaya operasioal di keluarkan. Selebihnya adalah bagian pinggawa dengan sawi;

(4) masing-masing 50% untuk papalele, dan pinggawa dengan sawinya, setelah dikeluarkan

modal dan biaya operasional; (5) setelah dikeluarkan modal dan biaya operasional, 20%

untuk papalele, masing-masing 2 bagian untuk mesin dan perahu. Selebihnya merupakan

bagian pinggawa dengan sawi.

Setelah hasil selesai dipasarkan oleh papalele, maka pembagian hasil mulai

diperhitungkan, dan porsi bagi-hasil disesuaikan posisi dalam pembagian kerja. Keragaman

www.hendratmoko.com 182
sistem bagi hasil menimbulkan berbagai penilaian dan penafsiran yang berbeda-beda

tentang kewajaran bagian yang diterima oleh pinggawa dan sawi. Kesemua orang-orang

yang bekerja dalam kelompok masing-masing mendapatkan bagian setelah semua anggaran

operasional dikeluarkan. Pembagian itu, berdasarkan pada tanggungjawab selama

beroperasi, pembagian dilakukan hanya pada tiga komponen yang terkait dalam

penangkapan yaitu, papalele (pemilik modal), pinggawa (orang yang memimpin secara

langsung pelayaran), dan sawi (sebagai buruh/pekerja). Sawi sebagai pekerja dan pinggawa

selama melaut memiliki tanggungjawab besar terhadap papalele untuk mensukseskan

berhasil atau tidaknya penangkapan.

www.hendratmoko.com 183
Realitas diatas meskipun terdapat divisi kerja, namun

spesialisasi pekerjaan belum sepenuhnya tercipta. Hal itu terkait

operasi penangkapan tetap melibatkan pinggawa dan sawi sebagai

pekerja dan tanggungjawab pada status yang sama. Keadaan

demikian, ketergantungan fungsional antar sawi dan pinggawa

sangat rendah, namun yang terjadi adalah ketergantungan bersama

dalam menyelesaikan pekerjaan. Beban tanggungjawab ada

perbedaan antara sawi dengan pinggawa, namun dalam hal

pekerjaan tetap saling bekerjasama. Wawancara dengan beberapa

informan pinggawa, bahwa segala sesuatu pekerjaan yang berkaitan

penangkapan ketika sudah berada dilautan, maka proses

penangkapan dikerjakan secara bersama-sama, serta melibatkan

secara keseluruhan dan bertanggungjawab bersama-sama atas

suksesnya penangkapan.

www.hendratmoko.com 184
Terkait pembagian kerja, mengacu pada konsep Durkheim

(1964) tentang solidaritas mekanik dan solidaritas organik.

Implementasi konsep itu, ke dalam komunitas nelayan patorani

secara horisontal tercipta solidaritas mekanik, yang artinya

solidaritas antar sesama sawi dikarenakan kesamaan keterlibatan

dalam beban sebagai pekerja. Secara vertikal tercipta solidaritas

organik, yakni solidaritas antara pinggawa dan sawi. Ketergantungan

tercipta sebenarnya lebih dikarenkan adanya hubungan kontrak

dalam melakukan kegiatan pelayaran dan kepemilikan modal dan

teknologi. Demikian halnya pembagian hasil dilakukan sesampainya

di darat, dan diputuskan oleh papalele, hal itu terkait secara langsung

dengan papalele-pinggawa. Kondisi itu nampak terciptanya adanya

pembagian kerja berbasis status. Status kontrak pinggawa dan sawi

memiliki perbedaan dan demikian halnya pembagian hasil.

www.hendratmoko.com 185
Terbentuknya deskripsi kerja pada setiap divisi

memperlihatkan makin terspesialisasinya pekerjaan pada komunitas

nelayan patorani. Hal demikian semakin berperan pada periode

pergeseran penerapan teknologi dan sasaran tangkapan. Dalam

konteks itu, maka spesialisasi pekerjaan yang digambarkan oleh

Durkheim (1964) terimplementasikan dan lebih signifikan pada

komunitas nelayan patorani, bila dihubungkan dengan

perkembangan investasi, teknologi dan manajemen, pada periode

penggunaan teknologi penangkapan dan pergeseran pola

penangkapan dari induk ikan ke telur ikan torani.

www.hendratmoko.com 186
4.3.3. Internalisasi Siri’ Kaitannya Etos Kerja

4.3.3.1 Makna Nilai Siri’ Bagi Masyarakat Bugis-Makassar Dan Nelayan


Patorani

Nilai-nilai budaya siri’ merupakan suatu sistem sosial pada masyarakat suku

Bugis-Makaassar. Nilai-nilai yang membentuk watak dan kepribadian manusia Bugis-

Makassar baik ketika berada di luar komunitasnya apalagi kalau mereka ada di dalam

komunitasnya. Selanjutnya nilai-nilai itu saling terkait dan saling fungsional antara

satu nilai dengan nilai lainnya.

Siri’ bagi masyarakat Bugis-Makassar merupakan suatu anutan untuk menjaga

harkat dan martabatnya lewat adanya rasa saling memanusiakan yang timbul sebagai

akibat dimilikinya "pesse" atau perasaan solidaritas sosial antara sesama manusia

Kemudian siri’ dan pesse ini dijadikan landasan untuk dicapainya prestasi lewat "were

", yang hanya dicapai lewat kerja keras yang tidak mengenal lelah dan pantang

menyerah. Prestasi lewat "were" akan menjaga dan mengangkat siri’ seseorang yang

pada gilirannya akan mempertebal perasaan solidaritas atas sesama manusia. Jadi

ketiga konsep itu - siri, pesse, dan were - adalah tiga buah nilai budaya yang saling

berhubungan dan saling melengkapi di dalam menciptakan keharmonisan dan

kestabilan kehidupan manusia.

Sekalipun nilai-nilai budaya di dalam konsepsimya mengandung nilai-nilai

luhur, tetapi yang paling penting adalah sejauhmana seseorang aktor dapat

menginternalisasi nilai-nilai luhur tersebut yang ada, dan melekat di dalam budaya

komunitasnya. Sebab tanpa proses internalisasi yang benar, kemudian diikuti dengan

proses eksternalisasi dan objektivasi tentu saja nilai-nilai luhur itu akan tinggal

menjadi sejarah kejayaan masa lalu yang terlepas sama sekali dengan dunia kekinian

aktor.

www.hendratmoko.com 187
Proses pemahaman aktor tentang nilai-nilai budaya yang diekstemalisasikan di

dalam kehidupan sehari-hari dipandang sebagai suatu yang dicapai aktor dari hasil

menginternalisasi nilai-nilai budaya yang didukungnya. Karena itulah berikut ini akan

diuraikan bagaimana ketiga nilai itu yakni siri, pesse, dan were, dipahami clan

sekaligus dieksternalisasikan di dalam kehidupannya sehari-hari. Manifestasi siri’

sebagai rasa malu dan harga diri harus dijelmakan ke dalam diri setiap manusia.

Sebab hanya manusia yang memiliki rasa malu dan harga diri (siri’) yang dapat

dipandang sebagai manusia. Tanpa siri’ manusia hanyalah sekedar seekor binatang

yang menyerupai manusia. Kalau agama memandang perbedaan manusia dengan

binatang terletak pada akal manusia, maka budaya Bugis-Makassar melihat perbedaan

manusia dengan binatang adalah dipunyainya siri’ oleh manusia.

Implementasi nilai siri’ dalam kehidupan sehari-hari oleh masyarakat Bugis-

Makassar yakni; Pertama, siri’ adalah rasa malu dan harga diri. Kedua aspek dari siri

ini (malu dan harga diri) menurut nelayan patorani adalah sesuatu yang harus

terintegrasi di dalam setiap manusia. Sebab tidak bisa dibayangkan bagaimana

seseorang bisa hidup dan berada di tengah-tengah masyarakat bila ia tidak memiliki

kedua aspek siri’ tersebut. Kedua, rasa malu dalam siri’ mencerminkan keharusan

adanya perilaku terpuji di dalam berbagai aktivitas kehidupan seseorang. Bukan itu

saja, namun dalam memilih pekerjaan pun mereka berkeyakinan bahwa ada pekerjaan

yang pantas dan terhormat ada pula pekerjaan yang seharusnya dihindari sebab tidak

terpuji (matuna) dan dapat menyebabkan terserangnya nilai siri’ orang yang

mengerjakannya. Ketiga, siri adalah suatu sanksi sosial atas tidak mampunya

seseorang menggapai prestasi minimal sebagaimana rata-rata minimal yang dicapai

oleh orang-orang yang ada di dalam komunitasnya.

www.hendratmoko.com 188
Dalam konsepsi siri sebagai nilai budaya Bugis, bagi komunitas nelayan

patorani terimpelementasikan ke dalam perasaan pesse (perasaan solidaritas) dan

Were (ketentuan nasib). Kedua nilai itu, sebagaimana juga dipahami oleh komunitas

nelayan patorani harus muncul saling melengkapi. Sebab keduanya harus berada

dalam kondisi yang berimbang agar kepribadian seseorang selalu terintegrasi satu

sama lain, dengan tujuan bahwa kedua nilai rasa malu dan harga diri itu bersemayam

tidak mengalami kegoncangan. Bila rasa malu muncul sebagai akibat kesalahan

sendiri dalam bertingkah laku, maka harga diri merasa tergoyahkan. Dan untuk

mengangkat harga diri ke tempatnya semula, maka pribadi yang melakukan perbuatan

tercela harus segera mengadakan pemulihan dengan menyadari diri dan kembali ke

pada perbuatan yang benar. Selanjutnya bila seseorang mengalami penghinaan atau

perbuatan yang menginjak-injak harga dirinya seharusnya orang tersebut merasa

malu. Rasa malu inilah yang menuntut adanya upaya pemulihan harga diri baik lewat

perlawanan maupun lewat pembalasan.

Kasus 15
Makna Siri Komunitas Nelayan Patorani
Komunitas nelayan patorani memaknai siri’ sebagai rasa malu dan harga diri.
Karena itu siri menurutnya adalah sesuatu yang wajib hukumnya dimiliki oleh
setiap orang, sebab hanya dengan siri orang itu bisa disebut tau (orang) kalu
ada orang yang tak punya rasa malu, menurut nelayan patorani maka pantas
dikatakan orang tersebut untuk meminjam adat istiadatnya orang yang berada
di luar dirinya.

Seorang pinggawa nelayan patorani, memaknai siri sebagai rasa malu dan
harga diri. Siri adalah rasa malu kalau kita bertingkah laku kurang terpuji dan
tak berakhlak mulia. Atau kalau kita mengerjakan sesutu yang tak pantas (tau
tuna) seperti ekerja sebagai peminta-minta, menjadi babu atau pembantu
rumah tangga. Sedang sebagai harga diri kalau kita dipermalukan kita harus
melawan atau tidak boleh berdiam diri. Tidak ada lagi gunanya hidup di dunia
ini kalau kita sudah dipermalukan.

Seorang sawi memaknai siri sebagai rasa malu dan harga diri. Rasa malu
menurutnya jika kita berkelakuakn tidak baik. Atau dapat juga terjadi bila kita
tidak berhasil di dalam hidup sebagaimana layaknya orang lain. Sedang harga

www.hendratmoko.com 189
diri menurutnya adalah apabila kita dihina atau tidak dihargai sebagai
layaknya manusia. Bila kita dihina demi harga diri (siri) kita harus berusaha
memulihkan harga diri, agar kita tidak diperlakukan lagi seperti itu.

Kasus di atas memberikan gambaran bahwa nilai budaya siri, sebagaimana

yang dimaknai oleh nelayan patorani dalam penelitian ini sejalan dengan temuan

Rahim (1985), dan Marzuki (1995). Siri’ adalah nilai utama budaya Bugis (Rahim,

1985:100), dalam nilai utama tersebut terkandung dua makna sekaligus, yaitu siri’

sebagai rasa malu dan siri’ sebagai harga diri (Marzuki, 1995:116-132). Kedua aspek

siri’ dimaksud bahwa rasa malu dan harga diri itu, haruslah senantiasa berada pada

kedudukan yang saling berimbang. Artinya bahwa tanpa keberadaan salah satu aspek,

akan menjadikan kepribadian pecah, serta tidak utuh secara totalitas. Manakala aspek

malu mendominasi kepribadian, maka aspek harga diri harus segera mengimbangi.

Sebaliknya manakala aspek harga diri cenderung untuk angkuh, maka aspek malu

harus mengembalikan sikap harga diri kepada kedudukan yang seimbang.

Hanya saja siri harus dipahami secara tidak terlepas dari nilai budaya Bugis-

Makassar lainnya yaitu pesse dan were, sehingga ketiganya antara siri, pesse, dan

were’, merupakan sebuah konsep pandangan hidup orang Bugis (Abidin, 2003).

Manefestasi siri’ sebagai rasa malu dan harga diri harus dijelmakan ke dalam diri

setiap manusia. Sebab hanya manusia yang memiliki rasa malu dan harga diri (siri’)

yang dapat dipandang sebagai manusia. Tanpa siri’ manusia hanyalah sekedar seekor

binatang yang menyerupai manusia.

4.3.3.2. Makna Internalisasi Siri’ Terkait Adaptasi Lingkungan Penangkapan

www.hendratmoko.com 190
Di dalam komunitas nelayan patorani sebagai komunitas suku Makassar,

pengertian siri’, sebagaimana dijelaskan di atas masih menempati tempat yang terjaga

di dalam membimbing pola perilaku warga komunitasnya. Hanya saja kekuatan

pengatur nilai budaya ini hanya berada pada tataran normatif sehingga pelanggaran

akan norma semacam ini hanya akan memperoleh sanksi sosial belaka. Keadaan

seperti itu disebabkan karena siri’ sebagai unsur utama dan sekaligus landasan dari

pangadereng telah bergeser dari pangadereng sebagai norma "pemaksa" lewat hukum

positif yang diakui negara menjadi tata normatif biasa yang hanya mengikat para

aktor lewat relasi sosial semata, baik dengan mereka di dalam komunitas maupun di

luar komunitasnya. Runtuhnya pangadereng (Mattulada, 1985) menyebabkan unsur

"pemaksa" dari pangadereng menjadi melemah dan hanya menimbulkan konsekuensi

atau pun sanksi sosial dari pemangku nilai budaya siri’.

Umumnya pinggawa laut (juragan) patorani memiliki dan menerapkan dua

macam erang yang merupakan penjabaran dari pangasengan (ilmu pengetahuan)

yaitu erang passimombalang dan erang pakboya-boyang. Pengetahuan asli tersebut

di atas, masih merupakan pola yang pasti dalam rangkaian kegiatan patorani. Tahap-

tahap kegiatan dalam sistem pengetaahuan harus dilaksanakan dengan baik, agar tidak

menimbulkan kekhawatiran akan kemarahan bagi dewa-dewa laut. Selanjutnya karena

aturan-aturan itu bersumber dari ketentuan-ketentuan adat, maka ketentuan-ketentuan

kenelayanan yang ada di galesong Selatan dan Galesong Utara adalah ketentuan-

ketentuan adat peikanan atau adat kenelayanan yang selama ini di atur dalam

komunitas nelayan patorani.

Penerapan aturan baik yang bersifat aturan adat kepatoranian maupun aturan

undang-undang tentang lingkungan hidup yang mengatur berkaitan dengan ketentuan

yang akan menggantikan ketentuan-ketentuan adat yang tumbuh secara alamiah di

www.hendratmoko.com 191
dalam masyarakat komunitas patorani. Ketentuan perundang-undangan yang ternyata

belum makasimal diupayakan secara aktif dalam masyarakat nelayan patorani. Hal

itu, terkait bahwa aturan adat akan lingkungan merupakan bagian internalisasi

kehidupan komunitas nelayan untuk tidak melakukan penjarahan spesies induk ikan

torani dan telur ikan torani.

Selama melakuan penangkapan telur ikan torani sejak akhir tahun 1960-an

nelayan patorani selalu berorintasi pada kaidah-kaidah alamiah. Kaidah-kaidah yang

dilakukan adalah tidak pernah melakukan penjarahan apalagi penangkapan melalui

dengan peralatan yang dapat mengancam populasi ikan torani. Menurut informan

bahwa alat yang digunakan dalam menangkap telur ikan torani, adalah peralatan yang

dibuat sendiri tanpa ada maksud lain untuk mengurangi populasinya. Sebenarnya telur

induk ikan yang bertelur di alat penagkapan hanyalah sebagain dari populasi ikan

terbang.

Permasalahan kondisi ekologis merupakan permasalahan lingkungan hidup

yang memiliki dimensi yang sangat luas dan banyak seginya. Permasalah tersebut

selalu timbul dan berkembang ditengah-tengah masyarakat itu sendiri, namun

sebaliknya bahwa masyarakat selalu lebih banyak tahu tentang keadaan lingkungan

hidupnya. Sebelum dan sesudah adanya gejala-gejala perubahan kualitas lingkungan,

apakah itu lingkungan budaya, lingkungan sosial, maupun lingkungan fisik,

masyarakatnya akan lebih dahulu akan merasakan perubahan tersebut. Dan bilamana

terjadi perubahan pada satu sisi, cepat atau lambat akan menuntut perubahan pada sisi

lainnya.

Internalisasi siri’ dalam melakukan penangkapan, terkait akan rasa malu bila

nelayan patorani terlalu serakah dalam mengejar penghasilan. Hal itu merupakan

bagian dari kesadaran nelayan patorani, karena di dalam komunitas nelayan patorani

www.hendratmoko.com 192
terkandung nilai-nilai lingkungan yang bersumber dari ketentuan-ketentuan adatnya.

Nilai-nilai tersebut diperkirakan juga ada atau dimiliki oleh masyarakat di daerah

lainnya terutama pada komunitas nelayan. Selain itu, juga diperkirakan nilai-nilai

akan bergeser dan bahkan akan pudar sebagai akibat masuknya teknologi baru dan

lebih modern, yang selanjutnya disusul dengan perubahan nilai ekonomi yang drastis

menanjak. Karena itu, adat istiadat yang dimiliki oleh nelayan patorani dalam

melakukan aktivitasnya selalu berupaya melestarikan potensi nilai-nilai lingkungan

asli dalam komunitas nelayan patorani.

Komunitas nelayan patorani, memegang teguh nilai-nilai lokal untuk

mempertahankan kehidupannya, sehingga nelayan patorani tidak lagi menangkap

induk ikan torani sebagai komoditas untuk dipasarkan. Dan kalau ada yang

menangkap induk ikan torani yang berlebihan dan dijadikan sebagai komoditas, maka

tidak serta merta akan mendapatkan sanksi sosial dan teguran dari komunitas nelayan

itu sendiri. Dalam komunitas masyarakat Bugis-Makassar apabila mendapatkan

teguran atas pelanggaran sosial yang dilakukan, tentu sebagai manusia akan malu

(perasaan siri’) akan timbul dan tidak akan melakukan lagi kegiatan yang pernah

dilakukannya kemudian melanggar. Selanjutnya keefektifan sanksi sosial melalui

teguran semacam itu, akan tergantung kepada bagaimana seseorang menerima norma

siri’ sebagai tatanan kehidupan sosial yang masih dijaga dan masih dijadikan acuan

normatif di dalam bertingkah laku. Akibat dari itu menurut komunitas nelayan

patorani di dalam komunitasnya ada saja orang-orang yang tidak memiliki rasa malu

(makurang siri) dan ada pula orang yang masih memiliki rasa malu (napaentengi sir’

nai).

Jadi untuk memahami bagaimana nilai malu dan harga diri (siri) diinternalisasi

yang selanjutnya dieksternalisasi di dalam kehidupan komunitas nelayan patorani,

www.hendratmoko.com 193
dapat dengan mudah dilihat pada bagaimana seseorang patorani memberi reaksi

terhadap nilai siri’. Baik yang berkenaan dengan rasa malu (siri masiri), maupun

berkenaan dengan penyerangan harga diri (siri ripakasiri). Berdasar atas wawancara

mendalam terhadap sejumlah informan tentang pola reaktif nalayan patorani terhadap

siri’, dapat dikelompokkan ke dalam dua pola reaktif siri’, yaitu: (1) pola reaktif siri’

ripakasiri’, dan (2) pola reaktif siri’ masiri’. Pola Reaktif Internal "Siri Masiri’ adalah

timbulnya malu atau berkembangnya budaya rasa malu sebagai akibat internal atau

kesalahan sendiri. Seperti perasaan hina karena diri atau pun ada anggota keluarga

yang bertingkah laku kurang terpuji, ketiadaan prestasi.

Secara umum nilai siri-masiri sebagai nilai malu untuk betingkah laku kurang

terpuji yang tidak sesuai dengan norma-norma pengendali di dalam kehidupan

bermasyarakat menjadi bersifat umum. Kondisi nilai siri semacam ini tentunya

merupakan nilai-nilai normatif yang bersifat umum dan ada di dalam setiap budaya

suatu masyarakat. Oleh karena ikatan norma-norma pengendali sosial semacam ini

hanya memiliki konsepsi tata hubungan yang dianggap pantas untuk dilakukan, dan

tidak memiliki sanksi pemaksaan terhadap warga komunitas. Maka kepatuhan dan

ketidakpatuhan seseorang terhadapnya hanya melahirkan sanksi sosial dari warga

komunitas lainnya. Tentu saja sanksi sosial seperti ini efektifitasnya untuk

membentuk perilaku warga menjadi tergantung bagaimana warga memahami dan

peka terhadap celaan warga masyarakat.

Akan tetapi, pada kondisi lain di mana seorang laki-laki yang telah

berkeluarga dan tidak mempunyai pekerjaan. Pemahaman terhadap kondisi ini

menimbulkan rasa malu atau siri-masiri telah mulai melahirkan pemahaman yang

berbeda terhadap konsepsi nilai budaya siri’. Bagi masyarakat Bugis-Makassar

terutama komunitas nelayan patorani menempatkan seorang anak laki-laki sebagai

www.hendratmoko.com 194
tulang punggung setelah berkeluarga. Realitas tersebut menuntut seorang anak laki-

laki memiliki pekerjaan atau setidak-tidaknya telah menjadi pencari nafkah di dalam

keluarga. Terkait hal itu, Mattulada (1985) yang memberi nilai tinggi bagi seorang

laki-laki Bugis, untuk bertanggungjawab dalam hal pencarian nafkah lewat kerja

untuk keluarga. Baik ia harus pergi meninggalkan negeri untuk bermigrasi ke mana

saja untuk mencari pekerjaan.

Ketiadaan prestasi di dalam pekerjaan yang menyebabkan keterpurukan

kehidupan juga mengalami pergeseran-pergeseran nilai siri-masiri. Namun

kepercayaan akan rezeki yang berasal dari Sang Pencipta mendorong mereka untuk

menerima itu sebagai sesuatu yang telah ditentukan oleh Yang Maha Kuasa. Bagi

komunitas nelayan patorani, rezeki tetap yang kuasa menentukan, bekerja merupakan

tugas manusia. Untuk menjaga keseimbangan akan alam itu, nelayan patorani

memiliki kepekaan akan hal memelihara lingkungan. Pemeliharaan lingkungan bukan

hanya pada sekitar lingkungan tempat tinggalnya, akan tetapi terkait dengan lokasi

peanangkapan. Pemeliharaan lokasi penangkapan, merupakan bagian kesadaran untuk

tetap mempertahankan agar populasi induk ikan torani tetap lestari dan dapat bertelur

pada musim-musim pattoranian.

Sekalipun telah mulai muncul pergeseran, namun masih terdapat gejala kuat di

kalangan komunitas nelayan patorani yang menjadikan nilai siri’-masiri’ sebagai

motivasi. Implementasi itu merupakan bentuk dan keinginan untuk meningkatkan

harkat kehidupannya, sehingga ia merasa terbebas dari perasaan malu. Terbebasnya

mereka dari perasaan siri’-masiri’ akan menjadikan komunitas nelayan patorani telah

merasa berhasil menempatkan diri di dalam formasi sosial di dalam komunitasnya.

Temuan seperti ini sejalan dengan apa yang ditemukan oleh Mattulada (1985) yang

menemukan nilai siri’ sebagai faktor pendorong yang membangkitkan tenaga untuk

www.hendratmoko.com 195
bekerja membanting tulang, bekerja mati-matian, untuk suatu pekerjaan atau usaha.

Juga Rahim (1992) tentang nilai usaha (reso), dan Abdullah (1985) tentang siri

sebagai etos kultural.

4.3.3.3 . Internalisasi Makna Siri Berkaitan Harga Diri Dan Motivasi Bekerja

Realitas bahwa nelayan patorani menempatkan siri’ sebagai sumber motivasi

untuk bekerja, hal itu terkait hasil penelitian Mattulada (1975), dan Rahim (1992)

bahwa siri’ adalah sumber motivasi dalam pencapaian persetasi ekonomi individu

bagi masyarakat Bugis-Makassar, terkait hal itu komunitas nelayan patorani dijadikan

sebagai sikap yang mendasar untuk lebih berprestasi. Sebagaimana wawancara

informan sawi Syamsuddin dg Ngada (39 tahun) bahwa dalam tradisi pelayaran kita

tidak boleh bermalas-malasan karena kita sementara bekerja dan kalau malas maka

tidak akan mendapatkan hasil yang banyak. Kemudian kita malu sama pinggawa

kalau nanti di minta bekerja baru kita melaksanakan tugas kita masing-masing.

Kemudian kalau pinggawa menegur, maka suatu kewajaran bila kita lalai dalam

pekerjaan. Teguran yang diterima oleh kita sebagai sawi, maka merasa harga kita

turun dihadapan pinggawa dan sawi-sawi lainnya. Makna dari pernyataan sawi itu,

terkait dengan adanya rasa malu (siri) akan mendapatkan teguran dari seorang

pinggawa. Seorang sawi sudah memiliki masing-masing tugas dan fungsinya selama

pelayaran berlangsung.

Secara teoritis, bahwa etos kerja merupakan sikap mendasar seseorang untuk

bekerja, dari hasil wawancara seorang sawi di atas terungkap bahwa siri merupakan

sumber motivasi utama dalam perestasi kerja. Sikap mendasar mereka tentang kerja

adalah bahwa “bekerja adalah manifestasi dari nilai siri” ini terkait dengan temuan

rahim (1192) bahwa dalam budaya Bugis-Makasar, orang yang malas dan bergantung

www.hendratmoko.com 196
belas kasihan orang lain, dianggap rendah derajat siri’-nya, dan karean itu reso (kerja

atau usaha) adalah upaya agar tidak jatuh siri meskipun pangaderarreng sistem adat)

sumber sebagai nilai siri’ telah mengalami pergeseran, sebagaimana di tekankan

Mattulada (1975), nilai siri’ yang terpencar tetap berpengaruh sebagai sumber

motivasi kerja.

Implementasi nilai-nilai dan makna siri’ bagi nelayan patorani tekait dengan

harga diri dan martabat yang perlu dipertahankan. Konsekuensi atas jatuhnya

martabat yang menyinggung diri pribadi bagi suku Makassar, maka pemulihannya

biasanya mengikutkan makna siri’ dengan berakibat mengorbankan pihak lain di

dalam perkembangannya. Kadang pula terjadi pihak di luar etnik Makassar

memandangnya sebagai sesuatu yang hanya sepele saja, tetapi bagi pelakunya yaitu

orang yang menjadi orang yang dipermalukan (tau masiri’) justeru dianggap sebagai

sesuatu yang mempermalukan (ripakasiri’).

Dari tinjauan historis makna siri’ terkait dengan harga diri atau martabat

sebagai manusia. Konsep siri’ yang demikian dimaknai sebagai "siri-ripakasiri, yaitu

suatu keadaan dimana harkat dan martabat sebagai manusia mendapat serangan atau

gangguan eksternal yang menyebabkan munculnya perasaan teraniaya, perasaan

memperoleh aib (pengucilan). Karena itulah sebagai manusia Bugis-Makassar, la

harus memulihkan harga diri tanpa memperhitungkan harta benda dan bahkan bila

perlu dengan nyawa pun sebagai taruhannya. Akibat dari pemulihan dan martabat

yang demikian ini dapat menyebabkan pembunuhan atau pengorbanan orang lain.

Menurut Hamid (2003:4) pengorbanan orang lain Itu tidak dirasakan sebagai suatu

kesalahan (guilt-culture), tetapi bahkan dirasakan sebagai kebanggaan karena

mengangkat atau memulihkan harga diri.

www.hendratmoko.com 197
Faktor gangguan eksternal apa saja yang menyebabkan terganggunya harga

diri sebagai akibat siri’-ripakasiri’, di kalangan orang Makassar tentunya telah

mengalami dinamika perkembangan dari dulu sampai sekarang. Perubahan atau

pergeseran tentang hal-hal yang dianggap sebagai sesuatu yang melanggar siri’, dalam

hal ini siri’ ripasiri’ tidak dapat terhindarkan sebagai akibat perkembangan

masyarakat suku Makassar itu sendiri. Nilai-nilai baru tentunya telah muncul

menggantikan nilai-nilai lama, atau mungkin juga nilai-nilai lama masih tetap

tertanam dan menyesuaikan diri dengan perkembangan masyarakat yang begitu

kompleks.

Proses eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi yang dialami oleh aktor

manusia suku Makassar, menjadi relevan untuk dicermati bila pengaruh nilai-nilai

siri’-ripakasiri’ ingin ditelusuri didalam aktifitas mereka di dalam kehidupan

sosialnya, terutama sekali yang terkait dengan dunianya sebagai nelayan patorani.

Sebab di dalam aktifitas dan proses penangkapan tidak hanya berlangsung proses

transaksi antara papalele ke eksportir dan juga antara pinggawa ke papalele, tetapi di

dalamnya terlibat interaksi sosial yang cukup intens. Proses interaksi sosial

sebagaimana yang dipahami dapat melahirkan terjadinya kerjasama antara individu,

persaingan, bahkan malah mungkin dapat melahirkan konflik ataupun pertentangan

yang melahirkan permusuhan dan keinginan untuk menghancurkan antara satu pihak

dengan pihak lainnya. Dalam konteks yang demikian inilah pola pemahaman

seseorang terhadap kondisi-kondisi yang dapat menimbulkan perasaan siri’-ripakasiri’

menjadi relevan.

Dalam konteks aktivitas sebagai nelayan yang melakukan kerjasama dengan

papalele, maka penghitungan akan penuntutan hak yang menurut nelayan patorani

diperoleh setelah dipenuhinya. Kewajiban untuk memperoleh hak-hak tersebut,

www.hendratmoko.com 198
dianggapnya sebagai suatu perlakuan yang menyerang diri mereka. Komunitas

nelayan patorani telah terdapat hak-hak yang selama ini menjadi bagian yang tidak

dapat terpisahkan atas aktivitasnya. Sistem yang terbangun atas struktur aktivitas

tersebut, terdiri atas papalele, pinggawa dan sawi. Sistem ini masing-masing

memberikan motivasi untuk memperoleh hasil yang memuaskan dan tentu juga

pinggawa dan sawi berharap mendapatkan hasil yang banyak untuk pemunuhan

kebutuhan keluarganya yang ditinggalkan berbulan-bulan (antara bulan April-

September).

Masuknya unsur komersialisasi produksi dan penguasaan pasar pada

komunitas nelayan patorani, secara signifikan akan keterikatan peningkatan untuk

bekerja, dengan memaknai, bahwa nilai-nilai siri’ memberikan motivasi untuk

meningkatkan prestasi bekerja bagi patorani. Kekuatan internalisasi makna siri’

memang terindikasikan bahwa dalam era sekarang telah bergeser fungsinya, dan

bukan lagi menjadi faktor pendorong untuk berprestasi. Namun, sebagaian patorani

masih menganggap bahwa nilai-nilai siri’ sangat perlu untuk dijadikan sebagai

sumber motivasi untuk bekerja. Ketiadaan nilai siri’ akan mengurangi aktivitas dan

semangat bekerja.

Salah satu motivasi kerja yang bersumber dari nilai-nilai siri’ adalah, bahwa

sebagain besar pinggawa patorani sangat tergantung pada papalele sebagai pemilik

modal yang akan digunakan patorani untuk persiapan hingga pemberangkatan. Sejak

awal pemberangkatan pinggawa sudah memiliki ketergantungan utang pada papalele.

Keterikatan itu, akan memacu patorani untuk melakukan penangkapan dan membawa

penghasilan yang sebanyak-banyaknya untuk menutupi utang dan pemunuhan

kebutuhan hidup keluarganya yang ditinggalkan.

www.hendratmoko.com 199
Imbal balik pengembalian utang operasional pinggawa ke papalele, semakin

menjadi kewajiban yang tidak dapat terelakkan. Hal itu, terjadi karena papalele juga

mengambil dana untuk operasionalisasi pinggawa berasal dari pinjaman melalui

kredit perbankan. Hal itu, dilakukan oleh papalele karena tuntutan peningkatan

produksi dan permintaan pasar maka salah satu faktor pendorong pula adalah

penerapan teknologi.

Sejak akhir tahun 1960-an penerapan teknologi penangkapan telur ikan torani

pada komunitas nelayan patorani semakin berkembang dan menjadi tuntutan yang

tidak terelakkan lagi. Hal demikian dilakukan, karena masuknya kapitalisme yang

pada awalnya hanya berkembang dengan formasi sosial berciri prakapitalisme yaitu

pada era tahun 1940-an. Namun masuknya kapitalisme, maka terjadi pula

transformasi industrial yang mempertemukan formasi sosial prakapitalisme dengan

formasi sosial kapitalisme. Menurut Meillasoux dan rey dalam Blomstrom dan Hetne

(1984), bahwa dalam transformasi industrial demikian terbentuk formasi sosial yang

melibatkan koeksistensi antara cara produksi prakapitalisme dengan cara produksi

kapitalisme, koiksistensi tersebut sangat dipengaruhi oleh unsur formasi sosial asli.

Dalam kaitan itu, nilai siri’ dan etos kerja yang bersumber dari nilai siri’ tersebut,

merupakan unsur asli yang signifikan.

Terbentuknya formasi sosial berbasis industri atau kapitalis tersebut, maka

pembahasan tentang nilai siri’ dan etos kerja adalah pembahasan pada tingkat aktor

dan penerapan teknologi penangkapan telur ikan torani. Karena itu, nilai siri’

dimaknakan oleh aktor dalam situasi tuntutan komersialisasi produksi dan penerapan

teknologi. Selanjutnya nilai-nilai siri’ dijadikan sebagai pendorong bagi prestasi kerja

dan usaha nelayan patorani. Teori McClelland (1987) mengatakan sebuah kebudayaan

www.hendratmoko.com 200
mendorong perkembangan ekonomi bila dalam kebudayaan itu tertanamkan motif

berprestasi yang tinggi.

Berbagai situasi muncul sebagai akibat adanya pergeseran formasi sosial dari
prakapitalis dan masuknya kapitalis pada komunitas nelayan patorani. Makna siri’ tidak
hanya berlangsung di dalam situasi pasar atau suasana pekerjaan yang memang
mempertemukan berbagai kepentingan. Keberlangsungan itu, dipertemukan papalele
(pemilik modal), pinggawa dan sawi, tetapi juga di dalamnya terkait berbagai
kepentingan dari berbagai pihak yang hidup dan mencari kehidupan di dalam proses
transaksi pasar. Karena itu dalam proses interaksi sosial sebagai salah satu bentuk
proses sosial melahirkan dinamika kehidupan bersama, yang dalam perkembangannya
dapat terwujud ke dalam proses kerjasama yang harmonis. Eksportir merupakan pemilik
pasar, ikut andil pula di dalam kepentingan yang sedang berproses.
Kondisi kepentingan itu, nilai siri’ menjadi suatu motivasi untuk bekerja meningkatkan
produksi dan tidak menutup memunculkan persaingan diantara papalele. Persaingan
yang dilakukan kecenderungan pada pencarian jaringan eksportir dengan satu tujuan
untuk memperoleh sambungan baik permodalan maupun pemasaran. Kondisi itu pula,
kadang meningkat menjadi pertentangan ataupun konflik yang melahirkan saling
permusuhan. Permusuhan dan konflik dalam dinamika kehidupan pada papalele (pemilik
modal) pada komunitas nelayan patorani kadangkala mewujud ke dalam bentuk
akomodasi, di mana kedua pihak saling menahan diri untuk tidak terjadinya konflik
terbuka.
Masuknya formasi sosial kapitalis yang penuh dinamika itulah, komunitas

nelayan patorani masih memandang siri’ sebagai nilai-nilai budaya luhur. Di dalam

wawancara dengan informan diperoleh kesan yang kuat bahwa siri’ masih menjadi

pedoman normatif di dalam mengarahkan berlangsungnya persaingan kepentingan.

Hanya saja pada tingkatan apa perbuatan itu dianggap oleh mereka telah menyentuh

harga diri atau siri’. Penekanan tersebut, masih menjadi pertimbangan yang kuat bagi

nelayan patorani. Dinamika kehidupan nelayan patorani antara era tahun 1940-an ke

akhir tahun 1960-an terjadi sebuah persaingan yang berbeda. Hal itu terjadi, karena

adanya perbedaan kepentingan untuk mengikuti perkembangan pasar dan

komersialisasi produksi.

Untuk menjaga berlangsungnya kehidupan sosial di antara sesama nelayan patorani


mengedepankan nilai-nilai siri’ sebagai pedoman untuk bertindak. Terbentuk norma
pengendali siri’ mengatur tata kelakuan yang berhubungan dengan kehidupan bersama
terutama dalam melakoni pekerjaan sebagai nelayan khusus menangkap/pengumpul

www.hendratmoko.com 201
telur ikan torani. Hal itu, pemaknaan siri’ bagi Bugis-Makassar sebagai motivasi
instrumental yang positif untuk dijadikan sebagai acuan untuk bertindak maupun
bekerja. Karena siri’ yang banyak dimaknai oleh masyarakat Bugis-Makassar adalah
ripakasiri’ sama seperti yang ditemukan dalam penelitian Errington (1977: 25)
menyimpulkan bahwa untuk orang bugis tidak ada alasan hidup yang lebih penting
daripada menjaga siri’nya, dan karena mereka tersingggung atau ripakasiri’ mereka lebih
senang mati dengan perkelahian untuk memuliakan siri’ daripada hidup tanpa siri’.
Makna positif siri’ sebagai motivasi untuk berprestasi terimplementasikan kedalam inti
kebudayaan masyarakat Bugus-Makassar, yang menjadi kekuatan pendorong terhadap
peradaban (pangadereng) yang berupa Ade (aturan perilaku yang mengikat); Bicara
(aturan peradilan yang menentukan hal adil dan benar dan sebaliknya curang atau
salah); Wari (ketatalksanaan yang mengatur hubungan kekerabatan; Rapang (aturan
yang menempatkan kejadian masa lalu sebagai tauladan yang patut diikuti masa kini);
Sara (syariat Islam yang menjadi panutan).
Selain itu siri’ menurut Rahim (1992: 174) adalah salah satu dari enam nilai utama
kebudayaan Bugis-Makassar yakni kejujuran (alempureng), kecendekiaan (amaccang),
keteguhan (agettereng), keusahaan (reso), dan siri’ (malu dan harga diri), implementasi
hal di atas akan muncul bila salah satu atau semua nilai utama yang di anut oleh
keanusiaan terlanggar. Dinamika nelayan patorani dengan masuknya unsur
komersialisasi produksi, maka nilai siri’ menjadi motivasi kerja terkait dengan
peningkatan usaha reso.
Kemampuan untuk meningkatkan usaha seiring masuknya tuntutan pasar dan
peningkatan komersialisasi produksi, makna reso merupakan salah satu kekuatan yang
dapat mendukung bagian dari internalisasi makna nilai-nilai budaya siri’ untuk
berprestasi. Untuk menganalisis makna siri’ dan etos kerja yang bersumber dari nilai siri’
komunitas nelayan patorani mengimplementasikan nilai-nilai malu ke dalam makna reso
(keusahaan) sehingga yang dulunya pinggawa beralih menjadi papalele untuk lebih
meningkatkan usahanya. Nelayan patorani pada masa lalu, ketika masih mengandalkan
induk ikan sebagai komoditi yang dipasarkan, penghasilan yang diperoleh hanya sekedar
subsistensi. Namun setelah pola penangkapan berubah ke telur ikan, maka usaha dan
penerapan teknologi penangkapan pun ikut bergeser.
Pergeseran pola penangkapan dan penerapan teknologi, maka komunitas nelayan
patorani pun, memaknai siri’ kedalam amaccang (kecendikiaan) yang
terimplementasikan ke dalam penguasaan teknologi alat penangkapan. Pinggawa
patorani, terlebih dahulu memiliki kemampuan untuk menerapkan teknologi
permesinan kapal. Jadi dalam era ini, pinggawa bukan hanya dituntuk kemampuan
untuk menguasai dan menaklukkan lautan, tetapi dituntut pula mampu mengoperasikan
mesin sebagai alat yang diandalkan untuk mengarungi lautan. Walaupun dalam
pembagian kerja sudah jelas bahwa sawi bagian permesianan yang menangani alat,
tetapi pinggawa diberikan tanggungjawab penuh oleh papalele (pemilik modal dan
peralatan penangkapan) atas pelayaran yang dipimpinnya.
Apabila seorang pinggawa tidak menguasai peralatan yang dibawahnya, maka makna
siri’ akan menjadi suatu kekuatan yang memotivasi pinggawa untuk tampil sebagai

www.hendratmoko.com 202
pemimpin pelayaran. Apabila seorang pinggawa tidak menguasai strategi dan
perlengkapan pelayaran, maka akan mendapatkan teguran dari papalele, atau ada
peralatan yang rusak dan tidak mampu diperbaiki oleh pinggawa beserta awak perahu
(sawi) maka akan memunculkan rasa malu assiri’-siriki’ terhadap papalele. Dan
kemungkinan kegiatan penangkapan musim berikutnya tidak diberikan kesempatan lagi
untuk dipercayakan menahkodai perahu.
Untuk memperoleh hasil yang maksimal, nelayan patorani dituntut pula ada rasa
kejujuran (alempureng), rasa kejujuran ini sangat penting di jadikan suatu modal untuk
saling mempercayai. Kejujuran di harapkan papalele terhadap pinggawa dan sawi,
karena papalele sudah memberikan sepenuhnya pada pinggawa berkaitan dengan hasil
yang diperoleh. Penyelewengan bisa saja dilakukan oleh pinggawa tanpa sepengetahuan
papalele, tetapi mereka sudah sepakat antara pinggawa dan sawi untuk tidak membuka
atas kelakuan yang diperbuatnya. Apabila ada seorang diantara kelompok yang melapor
atas penyelewengan hasil yang diperoleh, maka rasa malu siri’ akan muncul sebagai
suatu kekuatan untuk saling berselisih faham dan bisa saja berakhir pada pembunuhan.
4.3.3.4. Internalisasi Nilai-Nilai Siri’ Ke Arah Kehidupan Sosial Ekonomi
Secara teoritis, memang salah satu dimensi dari terjadinya stratifikasi di dalam suatu
komunitas tidak terlepas dari dimensi ekonomi. Marx (dalam Smelser, 1973)
menempatkan stratifikasi antara kelompok borjuis dengan kelompok proletar yang
saling bertentangan. Sedang Weber (1920) justru melihat bahwa pembagian stratifikasi
yang berdasarkan atas kepentingan ekonomi etrbangun atas dasar adanya persamaan
setiap orang terhadap peluang untuk hidup atau nasib (life chances). Persamaan
terhadap peluang ini juga berlaku bagi terjadinya penguasaan barang daan jasa sehingga
diperoleh penghasilan tertentu. Jadi setiap orang bisa saja memperoleh status yang
lebih tinggi-dari aspek ekonomi-tanpa membangun permusuhan atau konflik dengan
mereka yang tidak atau belum memiliki status sosial ekonomi yang mapan.
Dalam komunitas nelayan patorani memperlihatkan bahwa dimensi ekonomi sebagai
dasar penempatan seseorang kepada status sosial yang lebih tinggi. Kondisi status itu,
tidak ditempatkan secara terpisah dengan dimensi lainnya, terutama yang terkait
intensitas mereka di dalam interaksi sosialnya. Sekalipun seseorang telah memiliki
kemampuan dalam aspek ekonomi tetapi bila aktifitas kegiatan keusahaan mereka tidak
berlangsung secara intens maka kemampuan ekonomi itu tidak atau kurang
pengaruhnya terhadap penempatan seseorang di dalam formasi sosial di komunitasnya.
Keadaan itulah yang menempatkan seorang papalele sebagai stratifikasi yang tinggi
dikalangan komunitas nelayan patorani. Sekalipun kekuatan ekonomi menjadi pilar dari
seorang papalele, tetapi dalam kenyataannya tidak semua peapale dalam struktur
kepatoanian yang telah memiliki modal yang kuat dapat memainkan peran dan diajak
bekerjasama pinggawa patorani. Orientasi kehidupan sosial untuk mencapai posisi
dalam stratifikasi semacam ini memang telah menjadi cita-cita sebagian kecil dari
nelayan patorani (keluarga pinggawa dan sawi). Tetapi dalam lingkup yang lebih meluas
kebanyakan mereka untuk mencapai posisi ini dapat diibaratkan sebagai pilar papalele
untuk kekuatan atau keberdayaan ekonomi. Padahal sebagian besar dari para papalele

www.hendratmoko.com 203
masih mengalami stagnasi dalam pertumbuhan usahanya, karena masih tetap
bergantung pada eksportir yang datang pada saat musim torani berlangsung.
Orientasi kehidupan ekonomi dimaksudkan sebagai cita-cita yang berkaitan dengan
usaha dijadikan sebagai pedoman. Secara rasional dapat diasumsikan bahwa nelayan
patorani baik pinggawa maupun sawi menghendaki terjadinya peningkatan hasil
tangkapan. Orientasi ke arah kehidupan sosial ekonomi tidak selalu bertalian dengan
pertumbuhan ekonomi yang diharapkan, karena nelayan patorani sebagian besar hanya
menggantungkan dengan kondisi alam dan kondisi musiman. Modal sebagai kekuatan
untuk memperoleh penghasilan produksi yang meningkat tidak selamanya menjadi cita-
cita dalam pemanfaatan surplus yang diterima. Namun kadang nelayan patorani masih
meninggalkan utang yang harus dibayar pada musim berikutnya. Utang yang tertinggal
walaupun tidak memiliki bunga harian maupun bulanan, akan tetapi bisa dijadikan
motivasi untuk lebih bekerja keras, karena makna siri’ malu memiliki utang.
Pemaknaan siri’ dalam konteks kehidupan sosial ekonomi bermuatan untuk
memperoleh tempat di dalam formasi stratifikasi sosial yang ada di dalam komunitas
nelayan patorani. Pola reaktif nilai-nilai siri’ bagi komunitas nelayan patorani menjadi
suatu pijakan positif menguatnya sifat-sifat keuletan, orientasi kemasa depan, dan
timbulnya keseimbangan kehidupan dunia dan akhirat. Akan tetapi menguatnya pola
reaktif mereka tidak diarahkan kepada terjadinya pertumbuhan usaha tetapi terjadi
“pembelokan” terhadap keberhasilan yang di inginkan.
Menguatnya dimensi orientasi ke masa depan, keuletan, dan keseimbangan dunia dan
akhirat. Sebagai akibat diutamakannya atau dinomorsatukannya pemulihan harkat dan
martabat diri lewat simbol-simbol materi dan simbol-simbol kesalehan beragama, dan
melupakan dimensi lain dari kualitas karsa yaitu dimensi pertumbuhan dan ketanggapan
dalam berusaha. Terkait penelitian Salman (2000) bahwa siri’ telah berhasil mendorong
orang-orang Bugis berusaha atau bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan hidup
keluarganya, namun dalam perkembangnnya implementasi siri’ (reso dan pajjama) itu
cenderung diorientasikan kepada usaha memperoleh materi yang sebanyak-banyaknya
untuk kebanggan sosial.
Selain hal itu, realitas akan status sosial pun di implementasikan makna nilai-nilai siri’ ke
dalam pengejaran status sosial, dengan ukuran keberhasilan kehidupan sosial ekonomi.
Pertumbuhan pada dasarnya adalah kata kunci dari adanya daya dorong internal
kekuatan usaha nelayan patorani itu sendiri. Jadi tiadanya peningkatan kehidupan
ekonomi di dalam komunitas nelayan patorani di akibatkan ketidak mampuan untuk
berusaha, padahal mereka memiliki kemampuan pada dimensi orientasi ke masa depan,
keuletan, dan keseimbangan dunia dan akhirat. Realitas di atas, terjadi kecenderungan
pada tataran status pinggawa (pemimpin pelayaran) beserta sawi. Akibat itu dirasakan,
karena tidak adanya akses secara langsung baik dari segi hubungan pasar maupun akses
permodalan.
Kondisi stagnasi kehidupan komunitas nelayan patorani dipahami sebagai akibat
melemahnya dan belum terciptanya kemampuan untuk cepat memberi respons
terhadap kondisi aktual yang dapat memberi mereka peluang lebih berhasil dalam
usahanya. Keinginan untuk memiliki status ekonomi yang mapan pada status pinggawa,

www.hendratmoko.com 204
hanya melalui kerja keras selama melaut, begitu pula dengan sawi lebih tertutup dengan
akses pada semua elemen di atas. Karena pinggawa dan sawi hanya sekedar sebagai
pekerja, dimana pinggawa hanya berhubungan dengan papalele dan sawi dan
kecenderungan bekerja pada saat musim pattoranian berlangsung. Kurang dimilikinya
akses pada pinggawa dan sawi dimaknai sebagai kecenderungan terjadinya himpitan
struktural yang melanda pinggawa dan sawi patorani.
Dari aspek rutinitas kehidupan usaha mereka telah lakukan dengan penuh keuletan,
kerajinan, bahkan ketahanan mental untuk pantang menyerah. Sekalipun mereka
menghadapi tantangan yang begitu kerasnya, baik yang bersumber dari faktor masih
kentalnya tata hubungan eksploitatif yang mereka alami, maupun dari dinamika
penangkapan yang penuh dengan persaingan. Meningkatnya dimensi keuletan
memperoleh dorongan atau pengaruh yang kuat dari nilai-nilai budaya siri’ dan pesse.
Nilai siri’ yang mengandung nilai malu dirasakan nelayan patorani sejak akan mulai
merencanakan berangkat melaut, diperhadapkan aturan dan diperhadapkan beban
utang yang harus dibayar ketika kembali melaut. Dengan kuatnya dorongan siri’ untuk
meraih hasil yang maksimal, dan tidak mengenal kata menyerah.
Semangat pemulihan siri’ lewat pola reaktif siri’-masiri’ inilah yang memotivasi mereka
untuk menyimpang sebagain hasil pembagian uang yang diperoleh dari papalele.
Sebagai manifestasi dari adanya cita-cita pemulihan harga diri lewat prestasi dibidang
ekonomi, dimaknai mereka sebagai keberhasilan mengumpulkan uang yang ditandai
dengan pemilikan sejumlah barang-barang berharga dan memperbaiki kondisi bangunan
rumahnya. Hal itu, menjadi indikator kemampanan dari segi ekonomi dan keberhasilan
di dalam kehidupan ekonomi rumah tangga nelayan patorani. Menguatnya dimensi
keuletan, orientasi ke masa depan, dan keseimbangan dunia dan akhirat di kalangan
nelayan patorani tidak terlepas dari pola reaktif siri’ masiri’ yang telah terpadu secara
harmonis dengan nilai-nilai agama Islam yang dianut oleh nelayan patorani.
Keterpaduan nilai-nilai budaya siri’ dan agama Islam yang dianut nelayan patorani tidak
hanya disebabkan karena faktor kesejarahan menganut agama Islam sejak pada masa
kerajaan Gowa. Tetapi juga disebabkan oleh nilai-nilai siri’ mendapat tempat di dalam
nilai agama Islam (Mattulada, 1995); lopa, 1985). Karena itulah pola reaktif siri’ masiri’
sebagai upaya pemulihan rasa malu dan harga diri lewat pencapaian were’ sebagai buah
dari kerja keras, kerajinan, ketahanan, dan pantang menyerah sejalan dengan nilai-nilai
agama islam yang menempatkan kerja sebagai ibadah, kerja sebagai peluang, dan kerja
sebagai orientasi ke masa depan. Kesemua itu mengarah pada peningkatan kehidupan
sosial ekonomi yang berdimensi pada status sosial.
Pengalaman seorang nelayan patorani, bahwa nilai budaya siri’ telah menjadi

faktor yang memotivasi untuk keluar dari keterpurukan kehidupan yang sementara

dihadapi. Memang sikap reaktif siri’ masiri’ menjadi faktor yang memotivasi

seseorang untuk bangkit mengubah nasib buruk yang mereka alami. Adakalanya sikap

reaktif ini menjadi pendorong kepada seseorang untuk meninggalkan desanya untuk

www.hendratmoko.com 205
pergi mengembara ke mana saja untuk mencari penghidupan yang lebih baik.

Memang dalam budaya Bugis konsepsi tentang kerja mengandung makna secara

inklusif maupun eksklusif sebagai nelayan yang ingin memperoleh penghasilan yang

lebih banyak, maka jarak dan waktu pelayaran tidak menjadi kendala sepanjang hal

itu dapat memperoleh hasil yang lebih banyak untuk kesejahteraan kehidupan

ekonominya. Pekerjaan yang ditekuninya dengan pergi meninggalkan rumah untuk

mencari rezeki, dengan kembali membawa hasil. Implementasi ini, maka makna siri’

dijadikannya sebagai motivasi yang berorientasi pada kehidupan sosial ekonomi.

Secara realitas bahwa makna internalisasi siri’ bagi komunitas nelayan

patorani dimaknai sebagai suatu motivasi yang membangkitkan untuk melakukan

reaksi atas kegiatan yang dilakukan yaitu pertama, ketiadaan pencapaian kehidupan

yang memadai di dalam suatu kelompok kekerabatan dapat menimbulkan munculnya

perasaan malu (sir’i-masiri’) bila dalam kelompok kekerabatan tersebut terdapat

sejumlah anggota yang dijadikan sebagai patokan atau takaran keberhasilan dalam

kekerabatan. Perasaan malu tersebut pada gilirannya akan menimbulkan perasaan

rendah diri di dalam tata hubungan kekerabatan. Kedua, rasa malu yang menyebabkan

jatuhnya harga diri secara positif memunculkan pola reaktif untuk meninggalkan

kampung atau menjauh dari komunitas kekerabatan untuk terhindar dari perasaan

malu dan jatuhnya harga diri tersebut. Ketiga, pola reaktif siri dengan bermigrasi

meninggalkan kampung halaman perlu dilanjutkan dengan usaha kerja keras untuk

keluar dari kondisi kehidupan yang memalukan dan sekaligus memulihkan kembali

harga diri yang telah jatuh sebagai akibat kehidupan yang kurang beruntung.

Keempat, kondisi pemulihan rasa malu dan penegakan kembali harga diri terpuaskan

setelah memiliki kekayaan berupa kepemilikan barang-barang berharga telah dimiliki.

www.hendratmoko.com 206
Dalam wawancara dengan informan diduga kuat bahwa pola memunculkan

kembali makna siri’ bagi komunitas nelayan patorani terwujud ke dalam tindakan rela

meninggalkan kampung halaman dan keluarganya berbulan-bulan lamanya (April-

September) untuk melakukan penagkapan/pengumpulan telur ikan torani. Makna siri

dijadikan dasar untuk mempertahankan hidup melalui mencari nafkah, dan siri’

dipegangnya sebagai kekuatan untuk menempatkan suatu pekerjaan ke dalam

pekerjaan yang pantas untuk dilakukan. Menagkap/mengumpulkan telur ikan torani,

bagi nelayan patorani merupakan suatu pekerjaan yang mulia dan tidak mengeluarkan

tenaga yang banyak. Sehingga nelayan patorani merasakan bahwa meninggalkan

kampung halaman dan sanak keluarga selama berbulan-bulan hanya untuk mencari

nafkah.

Pada awal pemberangkatan, nelayan patorani melakukan ritual sebagai

implementasi untuk memperoleh keselamatan selama melaut dan juga sebagai

ungkapan kata mau pamit meninggalkan keluarga dan kampung halamannya. Bagi

nelayan patorani, meninggalkan keluarga merupakan suatu hal yang biasa pada setiap

tahun pada musim torani tiba. Sumber penghidupan pada masyarakat Galesong

Selatan dan Galesong Utara, adalah mengandalkan musim penangkapan/pengumpulan

telur ikan torani. Terkait itu, anak-anak yang berusia remaja antara 17-19 tahun sudah

ikut menjadi sawi patorani. Kegiatan ini dilakoni hanya untuk membantu menghidupi

kebutuhan kehidupan keluarganya. Sawi muda ini didik untuk lebih mahir, karena ada

budaya di komunitas nelayan torani, kalau anak laki-lakinya sudah dewasa tidak dapat

memebantu penghasilan keluarganya. Untuk menutupi rasa malunya tersebut, maka

jalan satu-satunya adalah ikut menjadi sawi nelayan patorani.

Kewajiban bekerja sebagai manifestasi dari siri’-masiri’ di dalam budaya

Bugis-Makassar lebih banyak dibebankan kepada anak laki-laki daripada kepada anak

www.hendratmoko.com 207
perempuan. Anak laki-laki dijuluki sebagai La Massappa (orang yang diberikan

beban untuk mencari rezeki) sedang anak perempuan diberi predikat sebagai I

Mattaro (menjaga rumah tanggga). La Massappa diberikan predikat kepada anak laki-

laki disebabkan karena ia diberi kewajiban untuk memenuhi kebutuhan ekonomi

keluarga sebagai orang yang pergi mencari nafkah. Sedang I Mattaro sebagai predikat

yang diberikan kepada anak perempuan yang dimaknai sebagai kewajiban perempuan

untuk mengelola rumah tangga terutama mengelola nafkah yang dihasilkan oleh laki-

laki dengan prinsip penghematan.

Dalam kaitan kewajiban laki-laki yang berfungsi sebagai pencari rejeki dan

kewajiban anak perempuan sebagai orang yang menyiapkan makan buat keluarganya,

dalam tradisi orang Bugis-Makassar. Setelah kewajiban tersebut, dipenuhi atau

mampu diperankan oleh anak laki-laki dan anak perempuan barulah ia dianggap telah

dewasa dan sudah siap untuk membentuk rumah tangga sendiri. Seorang laki-laki

yang ingin dianggap telah memenuhi kelayakan untuk berumah tangga haruslah ia

mampu (maccenneri dapurengnge wekkapitu siesso) (artinya= ia harus mampu

mengitari dapur/tungku tujuh kali dalam setiap harinya atau dengan kata lain telah

mampu membuat dapur bisa mengepulkan asap.

Sedang untuk anak perempuan barulah dianggap sudah layak untuk berumah

tangga setelah la mencapai tahap mengetahui seluk beluk tentang dapur. Lebih khusus

lagi seorang perempuan telah mengetahui hal-hal tentang pengelolaan dapur,

utamanya sikap pengelolaan dapur melalui manajemen yang rapi dan terkontrol.

Sedangkan dari pihak laki-laki (anak laki-laki) apabila sudah mampu mencari rezeki

telah tiba saatnya untuk berumah tangga dengan gadis yang telah mampu mengelola

dapur dengan prinsip penghematan agar bahtera rumah tangganya dapat hidup dengan

penuh kebahagiaan dan kesejahteraan. Suatu konsep kehidupan keluarga yang

www.hendratmoko.com 208
sempuma. Itulah sebabnya bagi laki-laki yang hidupnya dinikahi oleh isterinya atau

isteri yang bekerja menimbulkan siri’ masiri’ dikalangan laki-laki Bugis Makassar.

Implementasi pada orientasi kehidupan sosial ekonomi, pola reaktif internal

siri’ masiri’ sebagai akibat nasib buruk yang menimpa mereka, baik karena ketiadaan

alat penangkapan maupun kepemilikan modal dan tidak adanya prestasi yang bisa

ditampilkan dan dipahami oleh nelayan patorani sebagai suatu keadaan yang sangat

memalukan. Ungkapan yang banyak diberikan oleh mereka dalam memahami kondisi

ini adalah: dekkua siriku narekko degaga mengkaika, (betapa malunya aku bila aku

tak memiliki apa-apa). Keperihatinan seperti ini memotivasi mereka untuk lebih

bekerja keras agar ia bisa juga mengalami kondisi kehidupan yang lebih baik dan

memiliki stratifikasi sosial dalam lingkungan sekitarnya.

Orientasi kehidupan ekonomi yang lebih baik, merupakan salah satu hal yang

mendorong nelayan patorani untuk meninggalkan kampung halaman untuk pergi

mengarungi berbagai pulau hingga ke Fakfak Papua Barat. Hal ini disebabkan karena

kondisi kehidupan tidak dapat memberi jaminan hidup yang layak dan cukup kalau

hanya pada derah-daerah operasional dekat dengan tempat tinggalnya. Kondisi

demikian dilakukan karena adanya persaan malu (siri-masiri) dengan prinsp lebih

baik ia pergi jauh melaut dengan mendapatkan hasil tangkapan yang lebih layak dan

lebih banyak. Operasi penagkapan telur ikan torani hingga ke Fakfak dimulai sejak

tahun 2000-an hingga sekarang. Keberangkatan ke Fakfak hanya semata-mata untuk

melebarkan lokasi penangkapan dengan asumsi bahwa dengan perjalanan jauh

penangkapan tersebut, maka kondisi penghasilan akan jauh lebih banyak.

Terkait dengan operasi penangkapan sampai ke Fakfak memberikan kenaikan

penghasilan lebih banyak dibandingkan dengan daerah terdekat. Menurut informan

pinggawa bahwa sejak tahun 2002 melakukan pelayaran ke daerah Fakfak, maka

www.hendratmoko.com 209
penghasilan semakin bertambah. Cuma biaya operasional yang semakin bertambah

pula terutama bahan bakar dan cadangan makanan, seperti beras dan lauknya.

Persoalan biaya operasional yang semakin naik, maka semakin pula berhati-hati

dalam penangkapan, karena kalau kembali tanpa membawa hasil yang banyak maka

kita akan malu dengan keluarga apalagi dengan papalele harus dikembalikan modal

yang sudah diberikan terlebih dahulu.

Kondisi semacam itu, sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Lopa

(1985:113-115) bahwa nilai budaya siri’ menyebabkan orang Bugis-Makassar ingin

mendapatkan kehidupan yang lebih baik dan layak. Mereka malu dengan kemiskinan

yang dialami di kampung halaman, dan untuk itu mereka pergi ke negeri orang.

Mereka bekerja keras membanting tulang dan banyak berhasil di perantauan, bahkan

beberapa diantara mereka menetap di negeri perantauan dengan menikmati kehidupan

yang lebih layak. Penelitian Wahyuddin (2003) juga menemukan bahwa siri’ masiri’

berpengaruh positif terhadap pengambilan keputusan migrasi ke luar pada komunitas

pinisi (Bugis) di Sulawesi Selatan. Implementasi makna siri’ terkait temuan dia atas,

bagi nelayan patorani hanya di lakukan dengan waktu yang singkat antara bulan April

hingga september melakukan penangkapan sampai ke daerah Fakfak. Dan setelah

selesai melaksanakan penangkapan, maka kembali berkumpul dengan sanak keluarga

dengan membawa hasil untuk kebutuhan hidupnya.

Realitas di atas, bahwa orientasi dalam kepemilikan nelayan patorani memberi

penjelasan bahwa ternyata terdapat sejumlah cita-cita komunitas nelayan patorani

untuk meraih peningkatan kelayakan hidup secara sosial. Implementasi itu, terkait

melalui kepemilikan fasilitas dalam kehidupan rumah tangganya. Fasilitas yang

dimaksudkan, diantaranya membangun rumah dan bahkan ada pinggawa yang

berkeinginan memiliki perahu sendiri. Dan gambaran orientasi keduanya terkait

www.hendratmoko.com 210
kehidupan sosial ekonomi setidaknya akan memberi gambaran tentang bagaimana

kondisi sosial ekonomi mereka. Sebab orientasi kehidupan sosial ekonomi pada

akhirnya akan menentukan tingkatan kualitas kehidupan sosial mereka di dalam

komunitasnya, yaitu komunitas nelayan patorani, yang tidak hanya memberi penilaian

atas hal-hal yang bersifat materi belaka, tetapi juga memberi penilaian terhadap hal-

hal yang non materi lainnya.

Orientasi kehidupan sosial ekonomi suatu masyarakat atau komunitas lokal

dapat dilihat dengan memperhatikan secara seksama keinginan yang dominan dari

individu-individu, atau cita-cita yang diinginkan untuk mendapatkan tempat di dalam

formasi sosial ekonomi di komunitasnya. Di dalam setiap komunitas senantiasa

terdapat hal-hal yang dianggap sebagai sesuatu yang bernilai sosial tinggi

dibandingkan dengan status sosial yang lainnya. Dari tradisi masa lalu masyarakat

Galesong Utara dan Galesong Selatan, memposisikan keturunan bangswan menjadi

aspek yang dominan untuk menempatkan seseorang dalam formasi sosial yang lebih

tinggi sebagai anutan untuk memutuskan nilai-nilai adat istiadat. Namun di luar dari

itu, maka masyarakat memandang penguasaan materi dan keberanian menyebabkan

individu yang memiliki harta dan keberanian menduduki strata atas dari formasi sosial

yang ada. Akan tetapi, dalam perkembangan masyarakat nilai-nilai tersebut dapat atau

akan bergeser sesuai dengan tingkat perkembangan masyarakat.

Lain halnya dalam komunitas nelayan patorani khususnya di Galesong Selatan

dan Galesong Utara, terdapat sejumlah nilai-nilai yang dianggap lebih tinggi sekaligus

menjadi persyaratan untuk seseorang menduduki tempat yang terpandang yakni

formasi sosial dan ekonami yang dimiliki seseorang. Kecenderungan setiap individu

akan berusaha untuk memperoleh nilai-nilai tersebut sebagai dasar untuk

menempatkan dirinya menjadi orang yang disegani terutama dari segi kepemilikan

www.hendratmoko.com 211
harta kekayaan di dalam komunitasnya. Berdasarkan dinamika itu, papalele memiliki

kekuatan ekonomi yang mapan bila dibandingkan dengan kehidupan pinggawa-sawi.

Sehingga struktur kepatoranian dapat di asumsikan bahwa papalele memiliki posisi

yang tertinggi kedudukannya.

Salah satu cara yang dapat dipakai di dalam mengindentifikasi nilai-niiai yang

dipandang lebih tinggi itu adalah dengan melihat bagaimana orientasi setiap orang

atau individu tersebut di dalam kehidupan sosial ekonominya. Untuk maksud itu,

dapat dilihat bagaimana cita-cita yang akan direalisasikannya untuk memeproleh

surplus di dalam usahanya. Untuk mencapai itu semua, maka papalele sebagai pemilik

modal dibutuhkan adanya kemampuan untuk bersaing dalam sistem pasar yang

bersifat bebas. Tumbuh kembangnya persaingan pasar secara bebas dimana harga

telur ikan torani terjadi fluktuasi. Keadaan itu terjadi adanya campur tangan pihak-

pihak lain dan kecenderungan tergantung dari mekanisme pasar. Adanya pesaing atau

kompetitor menyebabkan harga dipasaran terbentuk dengan sendirinya, tidak terlepas

dengan memperhatikan kekeuatan persaingan secara global. Dalam kondisi sekarang

ini, menurut informan papalele, bahwa masuknya eksportir memunculkan persaingan

dengan posisi tawar menawar. Permaian pasar ini dilakukan antara papalele dan

eksportir karena eksportir ikut menentukan harga jual dari komoditas di pasaran, dan

pada gilirannya akan mengarah pada peningkatan ekonomi papalele. Demkian halnya

pula dengan pinggawa dan sawi, dengan harga yang tinggi dari eksportir secara

otomatis menambah pula penghasilan yang diperoleh.

Pasang surut akan harga komoditi telur ikan torani akan mengubah situasi

pada kondisi stagnasi dalam kehidupan kepatoranian. Hal itu terjadi, diakibatkan

melemhanya orientasi pertumbuhan usaha penangkapan. Seyogyanya kondisi itu

nelayan patorani memunculkan kemampuan secara cepat merespon terhadap kondisi

aktual yang dapat memberi peluang lebih berhasil di dalam peningkatan sosial

www.hendratmoko.com 212
ekonominya. Dari aspek rutinitas kehidupan usaha nelayan patorani mereka telah

melakukan penangkapan secara rutinitas penuh keuletan, kerajinan bahkan ketahanan

mental menghadapi tantangan alam dan tuntutan papalele yang bermuara pada tata

hubungan eksploitatif. Pinggawa-sawi nelayan patorani mengalami adanya eksploitasi

dari segi penghasilan penangkapan, kemudian ditambah lagi dinamika penjualan hasil

yang penuh dengan persaingan dan ketidak jelasan harga yang ditentukan oleh

papalele.

Atas dasar itulah dipegang asumsi bahwa di dalam komunitas nelayan patorani

terdapat sejumlah nilai-nilai yang mengandung aturan main antara pinggawa dan

papalele yang tidak transparan dan adanya ketidakjujuran dalam menentukan harga.

Salah satu cara yang dapat dipakai di dalam mengidentifikasi nilai-nilai yang

dipandang lebih tinggi itu adalah denan melihat bagaimana orientasi setiap papalele

sebagai individu dalam mengejar kehidupan sosial ekonominya. Untuk maksud itu

dapat dilihat bagaimana cita-cita yang direalisasikannya bila keinginan seorang

papalele untuk memiliki surplus di dalam usahanya.

Implementasi makna siri na pacce (perasaan solidaritas sesama manusia)

tidak berlangsung secara surut dalam komunitas nelayan patorani yang mengarah

pada kehidupan sosial ekonomi sebagai bagian komunitas. Papalele memiliki

perasaan solidaritas dalam ketentuan pekerjaan, tetapi dari segi peningkatan

kesejahteraan tidak terjadi secara surut. Kecenderungan yang dilakukan adalah

eksploitasi dari segi pembagian hasil yang tidak berimbang. Padahal terciptanya

makna siri’ harus dibarengi dengan nilai-nilai untuk membangun solidaritas, sebagai

satu kesatuan komunitas yang tercipta saling ketergantungan antara pemilik modal

(papalele) dan pinggawa- sawi (pekerja).

www.hendratmoko.com 213
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

1. Nelayan patorani tradisional beralih pada penerapan peralatan terkait teknologi alat

tangkap sebagai penunjang untuk meningkatkan hasil produksi. Pergeseran teknologi

menggeser pula perilaku nelayan patorani dari segi pola penangkapan dengan

orientasi permintaan pasar. Masuknya unsur teknologi memiliki pula kemampuan

untuk menggeser pengetahuan dan kepercayaan tentang kepatoranian, baik makna-

makna ritual maupun upacara pattoranian hingga sekarang sudah mulai bergeser ke

kondisi rasionalisasi. Walaupun demikian, bekal tentang pengetahuan pelayaran

(erang passimombalang) dan bekal pengetahuan penangkapan dan pengelolaan hasil

(erang pakboya-boyang) tetap dimiliki sebagai bekal untuk melakukan aktivitas

pattoranian. Temuan ini menunjukkan adanya relevansi yang dinyatakan oleh Berger

(1990) tentang penerapan teknologi modern memiliki kekuatan otonom yang

menciptakan pengaruhnya di sekitar konteks kehidupan sosial ekonomi. Maka

memperkenalkan teknologi ke dalam suatu masyarakat akan menyebabkan terjadinya

beberapa perubahan dalam kehidupan baik material maupun non material.

2. Pergeseran pola penangkapan pada nelayan patorani dari induk ikan ke telur ikan

torani. Kondisi demikian didominasi oleh tekanan pasar dan masuknya eksportir yang

memfokuskan permintaan hanya telur ikan torani. Dalam kondisi inilah, maka nelayan

patorani tidak ada pilihan lain serta kelompok-kelompok yang terlibat di dalam

aktivitas kepatoranian mengikuti kekuatan arus permintaan pasar tersebut. Kelompok-

keompok yang terdiri eksportir-papalele-pinggawa terintegrasi dengan berorientasi

www.hendratmoko.com 214
pada peningkatan produksi. Temuan ini menunjukkan relevansi atau memperkuat

konsep Moore tentang Partisipasi pasar mencakup gerakan dari pertanian tradisional

dan subsistensi menuju mekanisasi dan komersialisasi berbagai segmen perekonomian

serta peranan efektif dalam dunia pasar rasional.

3. Pergeseran hubungan sosial, secara internal terkait pada struktur semakin

terspesialisasi antara papalele-pinggawa-sawi. Hubungan tradisonal sudah mulai

bergeser kehubungan fungsional dan kontraktual. Hubungan kontraktual,

diberlakukan atas dasar pemberian modal pada pinggawa kemudian pinggawa

mengembalikan pada papalele dalam jangka waktu perhitungan satu musim.

Kemudian secara kultural Internalisasi nilai siri’ merupakan salah satu dimensi yang

mengarah pada tujuan untuk peningkatan kehidupan sosial ekonomi. Temuan ini

menunjukkan relevansi atau memperkuat konsep McClelland tentang kebudayaan

menghasilkan daya dorong dari perkembangan ekonomi bila dalam kebudayaan itu

tertanamkan kebutuhan berprestasi yang tinggi.

5.2. Saran

5.2.1. Saran Untuk Pengembangan Ilmu

1. Hasil penelitian ini dari segi keilmuan, menyarankan perlunya dilakukan penelitian

lebih lanjut dan mendalam tentang mengapa komersialisasi produksi dan tuntutan

pasar menggeser karakteristik nelayan patorani di Galesong Utara dan Galesong

Selatan. Hasil demikian perlu dilakukan untuk menemukan konsep ilmu sosiologi

tentang perubahan sosial Pada komunitas nelayan.

2. Keterlibatan eksportir terkait tentang penguasaan pasar dan distribusi telur ikan hasil

tangkapan nelayan patorani, memberikan kekuatan papalele berkaitan dengan

penguasaan sumberdaya permodalan dan kepemilikan teknologi. Penelitian

www.hendratmoko.com 215
selanjutnya disarankan untuk fokus pada sejauhmana kondisi eksternal melakukan

eksploitasi.

3. Penelitian tentang hubungan sosial dan pola hubungan kerja mengarah ke kehidupan

sosial ekonomi. Pola pembagian kerja tradisonal ke kontraktual dan aspek internalisasi

siri’ sebagai budaya lokal sebagai motivasi etos kerja. menyarankan perlunya dilakukan

penelitan berkaitan tentang bagaimana nilai-nilai siri’ ketika kondisi nelayan

tradisional kemudian beralih ke nelayan patorani modern. Apakah nilai siri’ secara

internalisasi memberikan kontribusi adanya keinginan untuk meningkatkan kehidupan

sosial ekonomi.

5.2.2. Saran praktis

1. Berkaitan dengan pemberdayaan yang berkaitan aspek struktural kondisi kehidupan

komunitas nelayan patorani, maka dibutuhkan adanya hubungan antara pengambil

kebijakan dengan nelayan patorani untuk melestarikan karaketeristik nelayan

patorani. Terkait hal itu, perlu dilakukan melalui program penguatan secara

kelembagaan untuk membuka akses pemasaran terutama mencarikan hubungan

investasi.

2. Terkait kepemilikan teknologi dan permodalan sepatutnya pengambil kebijakan perlu

memberikan kesempatan dan kemudahan bagi pinggawa untuk membuka akses

sumberdaya permodalan terhadap lembaga-lembaga keuangan pemerintah, sehingga

kedepannya tidak tergantung lagi pada papalele.

3. Dari aspek kelembagaan nelayan patorani dengan berbagai kelemahan yang

dialaminya, terutama hubungan sosial dengan papalele dan pembagian hasil yang

eksploitatif di butuhkan keterlibatan lembaga yang terkait untuk menengahi

pembagian hasil yang sesuai dengan peraturan pemerintah. Hal ini dilakukan untuk

www.hendratmoko.com 216
mengantisipsi adanya ketidak seimbangan antara pembagian papalele-pinggawa dan

sawi.

www.hendratmoko.com 217
Daftar Pustaka
Abdoellah, Oekan. S. 1990. Indonesian Transmigrants and Adaptation: An
Ecological Antropological Prespective. Tesis Ph.D. Berekeley University
of California.

----------1997. Pemahaman Adaptasi Masyarakat Transmigran: Pendekatan


Antropologi Ekologi. Dalam Prisma No.7 Jakarta LP3ES.

Abdullah, Taufik (Ed.). 1993. Agama, Etos Kerja dan Perkembangan Ekonomi.
Jakarta : LP3ES.

Abraham, Francis. 1991. Modernisasi di Dunia Ketiga: Suatu Teor Umum


Pembangunan. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Adimihardja,Kusnaka. 1983. Kerangka Studi Antropologi Sosial dalam


Pembangunan, Bandung: Tarsito.

Ahimsa putra, HS. 1991. Minnawang: Ikatan Patron-Klien di Sulawesi Selatan.


Yogyakarta: UGM Press.

Alf iandan M.G. Tan (Ed.). 1981. Keiniskinan Struktural. Jakarta: Obor.

Aliian, 1986, Tansformasi Sosial Budaya dalam Pembangunan Nasional, Jakarta: UI


Press.

Anshar, 1996/1997. Nilai-Nilai Budaya yang Terkandung Dalam Upacara Patorani


di Kecamatan Galesong Kabupaten Takalar.

Ujungpandang Depdikbud Dirjen Kebudayaan Balai Kajian Sejarah dan Nilai


Tradisional.

Anwar, Soelaiman, dan Budiman.1984. Ekologi Ekosistem Sumatera, Gajah


Maria University, Yogyakarta

Aris, 1997. Analisis Upaya Penangkapan Ikan terbang (Cysilurus spp) di


Perairan Selat Makassar Propinsi Sulawesi Selatan. Tesis. PPS
Universitas Hasanuddin, Ujungpandang.

Arifin, Ansar. 1991, Patorani Sebuah Okupasi Yang Mulai Terkikis, P3MP
Universitas Hasanuddin UjungPandang.

Bachtiar, Wardi. 1995. Pengaruh Etos Kerja terhadap Status Sosial Ekonomi
(Disertasi). Bandung: PPs-Unpad.
Bellah, R.N. 1957. "Tokugawa Religion". Boston: Beacon Press.

Bennet, John W, 1982, Of time And Enterprise North American Famaly Farm
Management in A Context of Resource Marginality, Minneapolis,
University of Minneesota, Press.

Berger, Peter. L. dan Thomas Lukcman. 1990, Tafsir Sosial Atas Kenyataan;
Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan. Jakarta: LP3ES.
www.hendratmoko.com 218
Bertrand. Alvin L. 1980, Sosiologi, Kerangka Acuan, Metode Penelitian,
TeoriTeori Tentang Sosialisasi, Kepribadian dan Kebudayaan,
Surabaya: Bina Ilmu.

Blau, Peter M. 1964. Exchange and Power in Social Life. Chicago: John Wiley and
Sons.

Blumer, Herbert. 1972. "Symbolic Interactions", dalam J.P. Spradley (Ed.), Culture
and Cognition: Rules, Maps and Plans. San Fransisco: Chandler Publ.
Company.

Boeke, J.H 1946. Oosterse Economic. Den Haag: N.Service.


_______ . 1982. "Memperkenalkan Teori Ekonomi Ganda", dalam Sajogyo (Ed.),
Bunga Rampai Perekonomian Desa. Jakarta: Obor.

Boelars, Y. 1985. Kepribadian Indonesia Modern: Suatu Penelitian Antropologi


Budaya, Jakarta: Gramedia.

Bogdan, Robert C. and Biklen. 1982. Qualitative Research For Education: An


Introduction to Theory and Method, Boston: Allyn and Bacon Inc.

BPPT-Wanhankamnas, 1996. Konvensi Benua Maritim Indonesia. BPPT-


Hanhankamnas: Jakarta.

Brannen, Julia. 1997. Memadu Metode Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif:


Jakarta: Pustaka Pelajar.

Budhisantoso, S. 1989. Pembangunan dan Pengaruhnya pada Kegiatan Derep,


Dalam Berita Antropologi No 22 Tahan VII Juli.
Burger H.D. dan Prayudi. 1960. Sejarah Ekonomis dan Sosioiogis Indonesia
(Jilid.1) Jakarta: Pradnya Paramita.

Chabot, H. Th. 1984. "Bontoramba: Sebuah Desa di Gowa, Sulawesi Selatan",


dalam Koentjaraningrat (Ed.), Masyarakat Desa di Indonesia. Jakarta: LPFE-UI.
Cohen, Abner. 1974. Urban Ethnicity. New York: Travis Tock Publication.

Cohen, L. Jonathan. 1983. Modern: Social Theory, New York: Bask, Books.

Coomans, Mikhael. 1987. Manusia Dayak, Dahulu, Sekarang, dan Masa Depan,
Jakarta: Gramedia.

Craib, Ian. 1994. "Teori-Teori Sosial Modern dari Parsons Sampai Habermas".
Jakarta: Rajawali.

Creswell, J. W. 1994. Research Design: Qualitative and Quantitative Approaches.


London: SagePublications.

Daniel, Lehner. 1980. Kebudayaan Masyarakat Tradisional, Yogyakarta:


Gadjahmada University Press.

Demmalino, EB. 1997. Transformasi Sosio-Kultural; Model Pengembangan


www.hendratmoko.com 219
Masyarakat Nelayan (Studi Kasus pada Komunitas Nelayan Makassar di
Dua desa Pantai Kecamatan Galesong Utara Kabupaten Takalar Sulawesi
Selatan) Tesis, PPS Universitas Padjadjaran, Bandung.

Denzin, N.K. dan Y.S. Lincoln (Eds ). 1991. Handbook of Qualitative Research.
Thousnd Oaks: Sage Publications.
Dharmawan, A. 1986. Aspek-Aspek Dalam Sosiologi Industri. Jakarta: Binacipta

Dove, R. Michael. 1985. Peran Kebudayaan Tradisional Indonesia dalam


Modernisasi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Durkheim. Emile. 1964. The Devision of Labor in Society. Terjemahan George


Simpson New Work. The Free Press.

Eder, Klaus. 1992. Contradictions and Social evolution: A Theory of The Social
Evolution and Modernity. dalam H. Haferkamp and N. J. Smelser (Eds),
Social Change and Modernity. California: University of California
Press.

Eisentadt, S.N. dan L. Roniger. 1984. Patrons, Clients and Friends: Interpersonal
Relations and the Structure of Trust in Society. Canbridge: Canbridge
University Press.

Errington, Shelly. 1977. Sirik, Darah dan Kekuasaan Politik dalam Kerajaan
Luwu Zaman Dulu. Bingkisan Kebudayaan Sulawesi Selatan, Tahun I
No.2., Ujung Pandang.
Etzioni, Amitai. 1961. A Comparative Analysis of Complex Organizations: On
Power, Involvement, and Their Correlates. New York: The Free Press.

______ . 1992. Dimensi Moral: Menuju Ekonomi Baru. Bandung: Rosdakarya.

_______ . dan E. Etzioni (Eds.). 1962. Social Change. New York: Basic Books.

Evers, Hans-Dieter. 1997. "Globalisasi dan Kebudayaan Ekonomi Pasar", Prisma,


No.5. Jakarta: LP3ES.

Eyerman, Ron. 1992. Modernity and Social Movements. dalam H. Haferkamp and
N. J. Smelser (Eds), Social Change and Modernity. California: University
of California Press.

Garna K.Iudistira. S. 1984. Sosiologi Pembangunan, Bina Cipta, Jakarta. .1993.


Tradisi Transformasi Modernisasi dan Tantangan masa Depan di
Nusantara, Bandung: Pascasarjana Unpad.

______ .1996, Ilmu-Ilmu Sosial Dasar dan Konsep dan Posisi, Bandung:
Pascasarjana Bandung.

______ .1996. teori-teori Perubahan Sosial, Bandung. Program Pascasarjana


UNPAD.

www.hendratmoko.com 220
Geertz, Clifford 1963. Agricultural Involution: The Process of Ecological Change
in Indonesia. California: University of California Press.

. 1992. Tafsir Kebudayaan (Terjemahan). Yogyakarta: Kanisius.


Giddens, Anthony. 1995. The Constitution of Society, The Outline of The Theory
of Strukturation. Polity Press Cambridge-UK.

_______ .1973, Social Change, Englewood Cliffs: Prentice Hall.

_______.1986. Kapitalisme dan Teori Sosial Modern, Suatu Analisis KaryaKarva


Marx, Durkheim dun Max Weber. Jakarta, UI Press.

Gouldner, Alvin. 1977. "The Norm of Reciprocity: A Preliminary


Statement",dalam S.W. Schmidt (Ed.), Friends, Followers and Factions.
Barkeley: University of California Press.

Habennas, Jurgen. 1983. Modernity: An Incomplete Project, dalam H. Foster (Ed.),


Postmaderri Culture. London: Pluto.
Haferkamp, H. dan N.J Smelser (Eds.). 1992. Social Change and Modernity.
California: California University Press.

______ . 1992. Modernity and Ascription, dalam H. Haferkamp dan N. J.


Smelser (Eds.), Social Change and Modernity. California: California
University Press. Hendropuspito. 1989. Sosiologi Sistematik, Yogyakarta:
Kanisius.
Hetne. 2001. Teori Pembangunan dan Tiga Dunia. Jakarta, Gramedia Pustaka
Utama.

Hoogvelt, Anki M.M. 1985. Sosiologi Masyarakat Sedang Berkembang, Alih


Bahasa Alimandan, Jakarta: Rajawali.

Hutomo, 1985. Sumber Daya Ran Terbang, Jakarta, Proyek Studi Potensi Sumber
Daya Alam Indonesia, Studi Potensi Sumber daya Hayati Ikan, Lembaga
Oceanologi Nasional-LIPI.

Johnson, Paul. Doyle. 1990. Teori Sosiologi Klasik dan Modern I dan II. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.

Kaplan, Manners. 1999. Teori Budaya, Jakarta: Pustaka Pelajar

Karim, Muhammad Rusli. 1994. Seluk Beluk Perubahan Sosial, Surbaya: Usaha
Nasional.

Kern, R.A. 1989. 1 Lagaligo: Cerita Bugis Kuno. Yogyakarta: GM-UP

Koentjaraningrat, 1982. Masalah-Masalah Pembangunan Bunga Rampai Antropologi


Terapan. Jakarta; LP3ES.

.1984. Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

www.hendratmoko.com 221
_____ .1990. Sejarah Teori Antropologi I dan IL Jakarta; UI Press..1993.
Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan, Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.

______ .1997. Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta; Gramedia.

Laacyendecker, 1983. Tata, Perubahan, dan Ketimpangan, suatu PengantarSejurah


Sosiologi. Jakarta, Gramedia.

Lauer H. Robert, 1993, Prespectives on Social Change (terjemah, Alimandan S.U)


Prespektif Tentang Perubahan Sosial, Rineneke Cipta, Jakarta.
Legg, K. R. 1993. Tuan, Hamba dan Politisi. Jakarta- Sinar Harapan.

Lenski, G. E. 1966. Power and Priviledge: A Theory or Social Stratification. New


York-McGraw Hill.

Lincoln, Y.S. and Guba E.G. 1985. Naturalistic Inquiry, Beverley Hill:
Publications.

Linton, Ralph. 1936. The Study of Man, New York: D. Appletopn CenturyCompany,
Inc.

.1984. Antropologi, Studi Penyelidikan Tentang Manusia, Alih Bahasa: Firmansya,


Bandung; Jemmars.

Lipset, S. M., R. Bendix dan H.L. Zetterberg. 1994. "Social Mobillity in Industrial
Society", dalam D.L. Grasky (Ed.), Social Stratification in Sociological
Perspective: Class Race and Gender. Oxford: Westview Press.

Luhn-ian, Niklas. 1992. "The Direction of Evolution", dalam H. Haferkamp dan


N.J. Smelser (Eds.), Social Change and Modernity. California: California
University Press.

Maliki, Zainuddin, 2003, Narasi Agung, Tiga Teori Sosial Hegemonik. Surabaya:
Lembaga Pengkajian Agama dan Masyarakat (LPAM)

Maliowski. Bromslaw. K. 1945. A Scientific Theory of Culture and other Essay,


New York: Oxford University.

Mappawata, Tatjong, 1986. Hubungan Patron Klien Di kalangan nelayan, Studi


Kasus Desa Tamalate Kecamatan Galesong Utara Kabupaten Takalar
Sulawesi Selatan, Jakarta; PPS Ilmu sosial dap Ilmu Politik, Universitas
Indonesia.

Martindale, Dole. 1960. The Nature and Types of Socialogical Theory, Boston:
Houhton Mifflin.
Marzuki, Laica. 1995. Siri' Bagian dan Kesadaran Hukum Rakyat Bugis -
Makassar: Sebuah Telaah Filsafat Hukum. Makassar: HUP.

Mattulada. 1975. Latoa: Satu Lukisan Terhadap Antropologi Politik Orang Bugis
(Disertasi). Jakarta: Universitas Indonesia.

www.hendratmoko.com 222
______ 1986. "Manajemen Tradisional dalam Kalangan Usahawan Orang Bugis-
Makassar", dalam Mukhlis (Ed.), Dinamika Bugis-Makassar. Ujung
Pandang: PLPIIS Unhas-YIIS.
Maxwell, J.A.. 1996. Qualitative Research Design: An Integrative Approach.
London: Sage.
McClelland, D.C. 1987. Memacu Masyarakat Berprestasi. Jakarta: Intermedia.

Miles, Mattew B. dan Hubermen, Michael. 1992. Analisa Data Kualitatif.• Buku
Sumber Tentang Metode Baru, Terjemahan Tjetjep Rohendy, Jakarta: UI
Press.

Moein M.G., Andi. 1990. Menggali Nilai-Nilai Budaya Bugis-Makassar dan Siri"
na Pace. Ujung Pandang: Mapress.

Moleong, J. Lexy. 2004. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung, Remaja


Rosdakarya.

Moore, Wilbert E. 1967. Order And Change; Essays in Comparative Sociology,


New York, John Wiley & Sons.

______ .1973, Social Change, Englewood Cliffs: Prentice Hall.

Mukhlis (ed), 1991, Teknologi dan perubahan Sosial di Kawasan Pantai, P3MP
Universitas Hasanuddin, Ujung Pandang.

______ . 1990. "Perahu Bugis: Industri Kemaritiman di Sulawesi Selatan, dalam


Sayogyo dan M. Tambunan (Eds.). Industrialisasi Pedesaan. Bogor: PSP-
IPB-ISEI.

Munadah, Agussalim, 1991, Sistem Pengetahuan dan Perubahan Sosial Patorani di


Takalar, P3MP Universitas Hasanuddin UjungPandang.

Mustafa, Hasan. 1995. Etos kerja dalam Era Industrialisasi: Studi Kasus di
Kecamatan Pasar Kemis Kabupaten Tangerang Java Barat
(Disertasi).Bandung: FPS-Unpad.

Narwoko, Dwi J. dan Suyanto Bagong. 2004. Sosiologi Teks Pengantar dan
Terapan, Jakarta: Prenada Mulia.

Nugroho, Heru. 1997. Kritik Habermas Terhadap Postmodernisme dan Relevansinya


bagi Pemahaman Pembangunan, dalam UNISIA, No.32/XIUN/1997.
Yogyakarta:UII.

Parker, S.R., R.K. Brown, J. Child, M. A. Smith. 1985. Sosiologi Industri. Jakarta.
Bina Aksara.
______ . 1974. The Structure of Social Action. New Delhi. Ameriand Publishing.
Parsons, Talcott. 1951. The Social System. New York: The Macmillam Company.

Pelly, Usman, 1975, Area dengan Perahu Bugisnya: sebuah Studi Mengenai

www.hendratmoko.com 223
Pewarisan Keahlian Orang Ara Kepada Anak dan Keturunannya;
Ujungpandang, PLPIIS.

Pelras, Cristian. 1984, Hubungan Patron Klien pada Masyarakat Bugis


Makassar,Ujungpandang, PLPIIS-YIIS.

Polanyi. Karl. 1957. The Great Transformation: the Political and conomic
Orirgins of Our Time. New York: Beacon Paperback.

Poloma, M.M, 1992, Sosiologi Kontemporer. Jakarta; Rajawali Press

Ponsioen, J. A. 1969. The Analysis of Change Reconsidered, A Sociological Study


Paris: Mouton &; Co.

Popkin, Samuel, 1979. The Rational Peasant: The Political Economy of Rural
Society in Vietnam. California University press.

Purwanto, Hari. 2000. Kebudu yaan dan Lingkungan dalam Perspektif


Antropologi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Rahim, Rahman. 1992. Nilai-Nilai Utama Kebudayaan Bugis. Ujung


Pandang:Lephas.

Riggs, F. W. 1986. Administrasi di Negara-Negara Berkembang: Teori Masyarakat


Prismatik, Jakarta: Rajwali.

Ritzer, George, dan Goodman J. Douglas, 2004, Modern Sosiologycal Theory,


(terjemah, Alimandan), Frenada Media, Jakarta.

______ ,1992, 1992, Sosialogi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Jakarta


Rajawali Press.

Rogers, E. dan F. Floyd. Schoemaker, 1987. Memasyaraktkan Ide-Ide Baru,


Terjemahan Abdillah Hanafi, Surabaya: Usaha Nasional.

Rousseau, J. 1990. Central Borneo, Ethnic Identity and Social life in Stratified
society, New York: Oxfor University Press.

Rusidi. 1999. Dasar-Dasar Penelitian Dalam Pengembangan Ilmu; Bandung:


Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran.

Sallatang, Arifin, 1982, Pinggawa-Sawi: Suatu Studi Sosiologi Kelompok Kecil.


Jakarta, Depdikbud.

______, 1997, pembangunan Masyarakat pantai di Sulawesi Selatan. Universitas


Hasanuddin, Ujungpandang.

Salle, Kaimuddin, 1995. Aspek Hukum Bagi Hasil Perikanan Laut (Studi
kasus Nelayan Patorani di klabupaten Dati II Takalar),
Ujungpandang: PPS Universitas Hasanuddin.

www.hendratmoko.com 224
Sanderson, K Stephen. 1993. Sosiologi Makro, Sebuah Pendekatan Terhadap
Realitas Sosial, Jakarta: Rajawali Press.

Schoorl, J.W. 1991. Modernisasi, Sosiologi Pembangunan Negara-Negara


Sedang Berkembang, Jakarta: Gramedia.

Scott, James C. 1976. Moral Ekonomi Petani; Pengelolahan dan Subsistensi di


Asia Tenggara. Terjemahan Hasan Basri, Jakarta; LP3ES.

Smelser, N. 1996. Social Structure and Mobility in Economic Development,


Chicago: Aldine.

Smith. I.R 1979. A Research Framework for Traditional Fisheries. Manila:


ICLARM.

Soekanto, Soerjono .1984. Teori Sosiologi Tentang Perubahan Sosial, Jakarta:


Ghalia Indonesia.
Soemardjan, Selo. 1981. "Kemiskinan Struktural", dalam Alfian dan M.G. Tan
(Ed.). Kemiskinan Struktural. Jakarta: Obor.

Soemarwoto, Otto. 1987. Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangunan, Jakarta:


Jembatan.

Soewarsono dan Alvin Y. So. 1991. Perubahan Sosial dan Pembangunan.


Jakarta: LP-ES.

Spradley. J.P. (Ed.). 1972. Culture and Cognition: Rules, Maps and Plans. San
Fransisco: Chandler Publ. Company.

Strauss, A. dan J. Corbin. 1991. Basics of Qualitative Research: Grounded Theory


Procedures and Techniques. London: Sage Publications.

Suwitha, I.P.G. 1991. "Teknologi, Pola Pikir dan Perubahan Sosial Masyarakat
Nelayan Pancana", dalam Mukhlis (Ed.), Teknologi dan Perubahan Sosial Di
Kawasan Pantai. Ujung Pandang: P3MP-Unhas.

Svalastoga, Kaare. 1989. Diferensiasi Sosial. Jakarta: Bina Aksara.


Tiryakian, E.A. 1992. "Dialectics of Modernity: R een ch a n t m en t a nd
Dediferentiation as Counterprocesses", in H. Haferkamp and N.J. Smellser
(Eds. ), Social Change and Modernity. California: University of California
Press.

Todaro, Michael P. 1983. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga, Jakarta:


Ghalia.

Veeger, Karel J. 1992. Sosiologi, buku Panduan Mahasiswa, Jakarta: APTIK


dan Gramedia.

Wallace, Ruth dan A. Wolf. 1980. Contemporary Sociological Theory: Continuing


the Classical Tradition. New Jersey: Prentice Hall Inc.

www.hendratmoko.com 225
Warren. Bill. 1982. Imperialism: Pioner of Capitalism. London: Verso.
. 1985. The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism (Edisi
Counterpoint). Sydney: Unwin Paperbacks.

Weber, Max. 1978. Max Weber: Selections in Translation (Ed.: W.G. Runciman).
Cambridge: Cambridge University Press.

Weiner, Myron. 1994. Modernisasi Dinamika Pertumbuhan, Yogyakarta: Universiti


Gadjah Mada Press.

Wuthrow, Robert. 1992. "Cultural Change and Sociological Theory", dalam


H.Haferkamp and N. J. Smelser (Eds.), Social Change and Modernity.
California: University of California Press.

Zulkifli. 1992. "Pemborong dan Nelayan: Studi Kasus Pola Hubungan PatronKlien
pada Masyarakat Nelayan", dalam P. Tjiptoherijanto (Ed.). Ketenagakerjaan,
Kewirausahaan dan Pembangunan Ekonomi. Jakarta: LP3ES.

www.hendratmoko.com 226
Kasus 1
Pelebaran Wilayah Jangakuan Pelayaran

Dg lallo (58) tahun adalah seorang papalele, sejak usia 28 tahun beliau sudah
dipercayakan menjadi pinggawa. Dulunya hanya seorang sawi, dan sebagai nelayan
patorani ditekuninya sejak usia 19 tahun. Ia menikah di usia 19 tahun, dan untuk
menutupi kebutuhan hidup keluarganya, maka beliau ikut dengan kerabatnya menjadi
sawi nelayan patorani.

Sejak menjadi sawi nelayan patorani masih menangkap induk ikan torani, dan hanya
melakukan operasional di wilayah penangkapan selat Makassar meliputi kabupaten
Gowa, Takalar, Jeneponto hingga ke pulau Selayar. Sejak tahun 1979-an beliau menjadi
pinggawa perahu patorani. Waktu itu beliau masih tetap memngkap induk ikan terbang,
namun sejak tahun 1985 beliau beralih ke penangkapan induk ikan torani. Sejak
menangkap induk ikan torani masih mengandalkan lokasi penangkapan di areal kaluk-
kalukuang yang berada di sekitar pulau di selat Makassar. Namun pada tahun 2000-an
beliau melakukan pelebaran penangkapan hingga ke Fak-fak Papua (pulau Irian Jaya).
Hingga sekarang setiap musim pattoranian Dg Lallo tetap melakukan penangkapan ke
wilayah Fakfak. Akibat pelebaran wilayah penangkapan itu, maka jumlah modal yang
dibutuhkan pula antara 21 juta hingga mencapai Rp 25 juta sebagai modal awal
operasional.

Kasus 2
Pergeseran Pola Penangkapan kaitan komersialisasi produksi

Terjadinya pergeseran pola penangkapan dari induk ikan torani ke telur ikan torani
yakni berawal dari kapitalisme yang telah mengglobal hingga ke perahu-perahu nelayan.
Kehadirannya diperkirakan bermula pada awal abad ke 20, yakni sejak dimulainya
komersialisasi hasil tangkapan nelayan pada masyarakat setempat. Pergeseran terjadi
ketika investor (kapitalis) sudah mulai masuk dilingkungan nelayan patorani. Walaupun
komersialisasi sudah bermula sejak nelayan patorani melakukan kontak dagang dengan
pedagang induk ikan terbang dan jenis ikan lainnya dalam bentuk ikan asin atau ikan
kering. Dalam situasi ini, peran kapitalisme dalam menentukan penangkapan pada
nelayan patorani, secara spsifik sangat dipengaruhi tuntutan produkstivitas hasil yang
diperoleh.

Produktivitas komunitas nelayan patorani banyak ditentukan oleh kehadiran


papalele maupun investor dari luar Galesong. Di satu sisi, kehadiran investor
memberikan kemudahan terhadap nelayan patorani dari segi permodalan.

www.hendratmoko.com 227
Namun distribusi pendapatan mereka masih cukup timpang, karena yang
memegang kendali pembagian hasil dan pemasaran hasil tangkapan adalah
papalele. Ketimpangan yang di alami itu, sejak nelayan patorani mulai
bergantung sepenuhnya pada papalele. Ketergantungan terhadap
permodalan, terjadi sejak era awal tahun 1970-an, fokus penangkapan
sepenuhnya sudah mengarah pada telur ikan torani.
Kasus 3

Makna Erang Bagi Komunitas Nelayan Patorani

Daeng Laja (63 tahun) seorang pinggawa, beliau menjadi pinggawa sudah 32 tahun.
Beliau meyakini bahwa memiliki erang terutama pinggawa patorani itu sangat
penting, karena erang merupakan wadah untuk berinteraksi dengan penjaga lautan.
Namun erang yang dimiliki harus diterapkan secara utuh dan konsisten; harus
diyakini sepenuhnya, dengan mengikuti semua sarak dan menghindari kasipalli.
Dalam sebuah perahu, semua awak, tanpa kecuali harus percaya terhadap
pembuktian efek erang itu. Tidak boleh ada sebagian di antaranya yang ragu.
Kenyataan yang dihadapi oleh pinggawa yang masih mempercayai dan memiliki
erang, dewasa ini adalah karena sebagian sawi tidak peduli lagi dengan sarak dan
kasipalli, maka menurut kepercayaan bahwa akan berdampak pada erang tidak bisa
berfungsi lagi.

Erang memiliki kekuatan tersendiri bagi nelayan patorani, sebagai keyakinan yang
memperkuat pertahanan terhadap bencana yang akan dihadapinya. Erang sendiri
berisi tentang ilmu penegtahuan tentang kepatoranian dan ilmu tentang
pelayaran.erang sebenarnya tidak berkaitan dengan ilmu gaib dan magik, akan
tetapi lebih cenderung kegunaannya pada penerapan ilmu pengetahuan
kepatoranian dan kepercayaan akan kemampuan bathin untuk mampu
berkomunikasi dengan alam sekitarnya.

Kasus 4
Pergeseran Ritual Tradisional Ke Rasionalisasi Tindakan

Ritual berbau magik dan mistik itu, tetap dipertahankan dan merupakan bagian yang
tak terpisahkan oleh komunitas nelayan patorani, karena sejak awal keberadaannya
sebagai nelayan berinteraksi dengan penjaga laut. Ritual magik dan mistik masih
tetap mendapatkan legitimasi dari lingkungan sekitar sebagai nelayan. Di satu sisi
ada pula nelayan yang tidak melakukan ritual yang sifatnya mistik, akan tetapi hanya
melakukan upacara dengan berdo’a bersama dengan pinggawa dan sawi di atas
perahu. Ritual sederhana itu, dilakukan untuk memohon keselamatan dan

www.hendratmoko.com 228
mendapatkan rezeki yang banyak. Kelompok ini mempercayai bahwa segala sesuatu
rezeki maupun keselamatan ada di tangan sang maha pencipta (allah SWT).
Sehingga nelayan patorani hingga sekarang memiliki dua legitimasi basis, antara
legitimasi teknologi-modern dan legitimasi rirual-magik. Adanya kelompok itu, bagi
komunitas nelayan patorani tidak saling mempermasalahkan, yang pada intinya
bermuara pada penghasilanlah yang menjadi titik temunya.
Kasus 5
Awal Mula Penerapan Teknologi Alat Penangkapan Berorientasi Komersialisasi
Produksi

H Daeng Tawang (62 tahun) seorang pinggawa yang menekuni sebagai nelayan sejak
usia 23 tahun. Perjalanan hidupnya sebagai nelayan berawal dari menangkap induk
ikan hingga bergeser pada penangkapan telur kan torani. Sejak masuknya investasi
dengan beriringan komersialisasi produksi, maka sistem penangkapan pun juga ikut
berubah. Mulai dari jumlah awak perahu hingga pada penggunaan teknologi,
wilayah penangkapan pun semakin bertambah luas operasionalnya. Sebelum
masuknya eksportir hal itu, belum menjadi prioritas, karena nelayan patorani hanya
menangkap induk ikan untuk dipasarkan secara lokal dalam bentuk ikan kering.
Walaupun ada juga nelayan patorani yang menjangkau pemasarannya hingga ke
pulau jawa, namun kapasitas jumlahnya tidak begitu banyak. Sehingga nelayan
patorani pada era tahun 1940-an hanya mengandalkan pemasaran hasil
tangkapannya yang sudah dalam bentuk ikan terbang kering dipasarkan secara
lokal.

Realitas di atas, berlangsung cukup lama, namun pada era akhir tahun 1960-an atau
sampai awal tahun 1970-an, investasi nelayan beralih pada penangkapan telur ikan
torani. Usaha memungkinkan nelayan patorani akan meningkat karena telur ikan torani
dilirik oleh eksporti. Sejak awal tahun 1970-an telur ikan terbang sudah menjadi
komoditi yang dibeli oleh eksportir berasal dari negara Jepang. Investasi dan eksportir
inilah mendorong munculnya sistem di dalam kepatoranian secara struktural dan
mengikat diantara komunitas nelayan itu sendiri, sebagai salah satu unit yang terbentuk
sejak masuknya investasi. Walaupun struktur yang sangat sederhana sebelum investasi
masuk sudah ada, namun belum begitu menjadi hal yang mengikat secara kontraktual.

Kasus 6

Masuknya Kapitalis Sebagai Pendorong Komersialisasi Produksi

Kehadiran kapitalisme tidak dapat dipungkiri sebagai bagian yang tidak dapat

www.hendratmoko.com 229
dilepaskan dengan setiap aktivitas usaha, sehingga kapitalisme penyebarannya
semakin mengglobal hingga ke masyarakat pesisir dan nelayan. Tak terlepas pula
dengan nelayan patorani yang merupakan komunitas yang sangat menjanjikan bagi
kapitalis untuk menanam modalnya. Hal itu, ditanda pada awal abad ke 20-an,
kapitalisme sudah mulai masuk memainkan pasar. Salah satu tuntutannya yaitu
komersialisasi hasil tangkapan nelayan patorani yang mengarah pada fokus
produksi. Komersialisasi bermula dari perdagangan induk ikan terbang yang di
keringkan (menjadi dalam bentuk ikan asin) kemudian di kirim ke pasar lokal
Sulawesi Selatan hingga dikirim ke Pulau Jawa.

Pada sektor peradagangan induk ikan terbang dalam bentuk dikeringkan


mengarah pada pemusatan akumulasi kapital. Pemasarannya banyak
dimainkan oleh kapitalis keturunan Tionghoa (cina) yang ada di Makassar
maupun yang ada di Jawa Timur. Era itu, sudah memungkinkan munculnya
kapitalis pedagang-pedagang lokal komunitas nelayan patorani itu sendiri
sekaligus menjadi pedagangnya atau pedagang dari luar memasuki nelayan
patorani menjadi pelaku ekonomi yang mendominasi dan mendirikan usaha
dagang. Penumpukan keuntungan dilakukan dengan cara menopoli distribusi
induk ikan terbang dalam bentuk sudah dikeringkan. Kondisi ini pula,
menghilangkan kekuatan nelayan patorani untuk memasarkan hasil
tangkapannya, karena dominasi pedagang Cina yang berdomisili di Makassar.
Untuk melakukan suatu kekuatan penyeimbang dari monopoli itu, maka
sebagian nelayan patorani melakukan kontak dagang dengan pelaku ekonomi
yang berasal dari Jawa Timur.

IV. Kasus 7
Penggunaan Teknologi Alat Penangkapan Nelayan Patorani

Daeng Laja (51 tahun 36) profesi sebagai seorang pinggawa patorani, beliau
memulai menjadi nelayan berawal dari sawi kecil (masih anak-anak) sekitar usia 15
tahun sudah ikut dengan orang tuanya menjadi sawi nelayan patorani. Waktu
menjadi sawi ketika itu beliau masih menangkap induk ikan torani sebagai sasaran
permintaan pasar. Teknologi yang digunakan adalah alat tangkap pakkaja sebagai
perangkap terhadap induk ikan torani, begitu pula dengan perahu masih
mengandalkan sombala (layar biasa). Sejak tahun 1990 beliau menjadi pinggawa
dengan perahu seorang papalele. Perahu yang di awakinya adalah perahu yang
memiliki mesin dan setiap pemberangkatan membawa sawi 5-7 orang. Sasaran
penngkapan adalah telur ikan torani

www.hendratmoko.com 230
Aktivitas kenelayanan seiring perkembangan kebutuhan sosial ekonomi, maka
dituntut pula mengikuti perkembangan itu. Salah satu strategi untuk berjalan
beriringan maka nelayan patorani melakukan perubahan atau inovasi alat
penangkapan. Awal keberadaan nelayan patorani di Galesong hanya sebagai nelayan
tradisional dan sekedar pemunuhan kebutuhan hidup nelayan. Tetapi seiring dengan
masuknya kapitalis baik dari daerah setempat maupun dari luar melakukan investasi
untuk mengembangkan hasil tangkapan menjadi hasil yang layak jual dipasaran.

Perubahan yang mulai terasa menimbulkan dampak peningkatan sosial ekonomi,


berkisar abad ke 20-an. Perubahan itu memberikan sumbangsi pengetahuan pada
komunitas nelayan. Hal itu, pula bermula dari terjadinya perubahan sasaran
penangkapan dan wilayah penangkapan semakin luas wilayahnya. Sejak beberapa
abad lamanya, patorani berfokus bada penangkapan induk ikan terbang saja. Dan
selama itu, tidak terjadi perubahan yang berarti dalam struktur tenaga kerja, sistem
bagi hasil, solidaritas kelompok, dan sebagainya.

Kasus 8

Kehidupan Subsistensi Ke Arah Orientasi Ekspor

Nelayan patorani sejak keberadaannya sebagai nelayan tradisional dan aktivitas


penangkapan dilakukan pada areal tertentu. Hal itu, dilakukan karena nelayan
patorani hanya mengandalkan untuk mempertahankan hidup secara subsistensi.
Kehidupan dengan sistem subsitensi ini, hanya menjual hasil tangkapannya pada
pasar lokal dan penghasilan hanya berorintasi pada hasil akhir yang diperoleh
serta kebutuhan pasar pun permintaannya sangat terbatas.

Selain itu, bahwa pada periode awal keberadaan nelayan patorani, perubahan
yang terjadi sangat statis dan alami, sehingga proses adaptasi budaya juga
berjalan secara harmonis. Tanpa adanya loncatan teknologi yang melampaui
kemampuan pengalaman dan kebiasaan kelompok. Dengan kata lain, perubahan
itu berlangsung menurut evolusi alami, yaitu terjadinya transformasi organisasi
dan perubahan secara bertahap.

Perubahan yang alami itu, dalam rangka pengembangan dan penyesuaian


terhadap suatu lingkungan yang stabil tanpa menghilangkan karakteristik sendiri.
Seperti halnya nelayan patorani sejak keberadaannya pada abad ke-17 sebagai

www.hendratmoko.com 231
nelayan yang berkrakter dengan ciri khas menagkap induk ikan terbang. Namun
dari segi hal keterpaduan pada permintaan pasar, maka nelayan patorani
melakukan suatu perubahan dari segi kuantitas jumlah tangkapan untuk
memenuhi kuota permintaan.

Kasus 9

Hubungan Kerjasama Nelayan Patorani Tradisional Ke Industrial

Hubungan kerjasam papalele dengan pinggawa terjalin seperti mata rantai yang
tidak dapat dipisahkan. terkait hal-hal menyangkut kebutuhan hidup keluarganya
karena terkait dengan semangat mereka melaut, kalau kita tidak lakukan mereka
(pinggawa sawi) bisa lari kepapalele lain yang mau memberi pinjaman untuk
keperluannya. Tentang seringnya pinggawa sawi meminta pertolongan kepada
papalele, hal itu sudah biasa, makanya seorang papalele, harus mampu
mengayomi pinggawa dan harus pintar melihat situasi. Kalau punggawa-sawi
kesulitan keuangan karena musibah, dan atau menginginkan barang-barang
tertentu berkaitan kebutuhan hidupnya maka secara ortomatis papalele sudah
berkewajiban menolongnya. Bahkan kalau perlu ada dana yang diberukan secara
cuma-cuma dan atau dalam bentuk pinjaman yang tidak mengikat. Karena kalau
mereka minta tolong ke orang lain, nanti juga papalele yang repot untuk
menggantikannya.

Untuk mencukupi kondisi kebutuhan keuangan keluaraga pinggawa, maka


papalele menutupi beragai kebutuhan pinggawa sebagai bentuk kerjasama tidak
mencukupi ongkos pengobatan keluarganya yang tiba-tiba, atau dalam kondisi
pemenuhan kebutuhan sehari-hari tidak bisa mencukupi, kita harus turun tangan
membantu, karena kalau tidak demikian, maka motivasi untuk melaut para
punggawa dan sawi berkurang. Imbas dari ketidak adaan motivasi dari pinggawa
maka secara otomatis akan beresiko terhadap penghasilan pinggawa dan juga
berkaitan pengembalia modal yang sudah dikeluarkan oleh papalele.

V. Kasus 10
Hubungan Patron Klien

Seorang pinggawa Daeng Bella mengandalkan penghasilan pada musim torani


memiliki keuangan hanya bertahan cukup (enam bulan dalam setahun) Diluar
musim torani (paceklik) pendapatan mereka sangat rendah. Oleh karena itu
beliau meminta bantuan dalam benttuk pinjaman kepapalele. Beliau memiliki 4
orang anak, jadi dalam sekeluarga yang membutuhkan makan adalah 6 orang.
Pinjaman yang diberikan oleh papalele terhadapnya, beliau mengembalikan

www.hendratmoko.com 232
dalam bentuk uang juga. Tetapi ada satu hal yang harus beliau patuhi,
walaupun tidak ada daam bentuk tertulis yakni pinggawa Daeng Bella harus
meberikan kepatuhan untuk mengikuti keinginan papalele pada musim
berikutnya agar memeperoleh hasil yang lebih banyak, supaya utangnya bisa
terbayarkan.

Hubungan patron-klien pada komunitas nelayan patorani telah berlangsung sejak


lama. Sebelum masuknya kapitalis dan sebelum bergesernya pola penangkapan dari
induk telur ke penangkapan/pengumpulan telur ikan torani sudah terbentuk. Patron
pada masa penangkapan induk ikan torani patron lebih cenderung sebagai pimpinan
operasional yang di sebut pinggawa dan klien direpresentasikan seorang pekerja
(sawi). Setelah terjadinya pergeseran penerapan teknologi alat penangkapan dan
masuknya unsur pasar sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan sosial
ekonomi nelayan patorani, maka jaringan rasional. Jaringan ini, pinggawa yang
dulunya sebagai patron (pemimpin perahu) bergeser menjadi klien tetapi dengan
ketergantungan yang lebih sedikit di atas sawi. Posisi pinggawa sebagai patron
digantikan oleh papalele (sebagai pemilik modal). Kehadiran papalele sebagai patron
lebih eksklusif di bandingkan dengan patron (pinggawa) pada masa lalu. Papalele
hanya sekedar pemilik modal dan tidak ikut melakukan kegiatan penangkapan,
tetapi papalele banyak mengatur pinggawa terhadap jalannya operasional.

Kasus 11

Solidaritas Sosial Kekeluargaan Ke Hubungan Kontraktual

Seorang informan berstatus sebagai papalele Dg Se’re setiap musim pattoranian


meminjam unag di bank BRI cabang Takalar. Pinjaman diaambil dengan agunang
tanah, rumah dan perahu yang dimilikinya. Beliau memiliki perahu sebanyak
lima buah dan dipegang oleh pinggawa-pinggawa berasal dari Galesong sendiri.
Dalam pemberian modal pada pinggawanya beliau selalu jauh dari perhitungan
pengembalian modalnya dari pinggawa berbeda dengan cara perbankan.
Munciulnya perbedaan ini karena resiko yang dihadapinya berbeda dilapangan.
Bahkan kadangkala beliau merugi bila hasil tangkapan tidak bagus suasananya.
Dengan demikian dapat dipersepsikan bahwa sebenarnya mereka dalam
menjalankan usahanya mengacu pada sistem perbankan tanpa mereka
menyadari bahwa dipihak lain mereka mempergunakan sistem bagi hasil yang
sama sekali berbeda dengan sistem perbankan. Di sinilah kelemahan sistem bagi
hasil bilamana papalele mau mempermainkan hasil yang diperoleh
pinggawanya, dengan menawarkan harga yang rendah sedangkan dipasaran
harganya tinggi

Kasus 13

Pembagian Kerja Komunitas Nelayan Patorani

www.hendratmoko.com 233
Dalam konteks pembagian kerja pada komunitas nelayan patorani,
mempermanenkan pembagian kerja berdasarkan struktur, mulai yang tertinggi
hingga pekerja (sawi). Pinggawa dapat diartikan sebagai pemimpin tertinggi dari
sejumlah anggota kelompok yang ada dalam perahu (sawi-sawi) yang melakukan
kegiatan-kegiatan tertentu, baik yang berlangsung lama, maupun jangka waktu yang
singkat. Pada umumnya di kecamatan Galesong Utara dan Galesong Selatan,
pinggawa daratlah (papalele) sebagai orang yang memiliki modal untuk membiayai
kegiatan kerja mulai dari biaya peralatan produksi hingga pemasarannya. Papalele
memberikan biaya kerja dan biaya kebutuhan kehidupan rumah tangga para
pinggawa. Imbal balik dari itu, pinggawa laut (juragan) melakukan pengumpulan
produksi telur ikan terbang semaksimal mungkin. Selain itu, papalele juga yang
mengawasi dan menetapkan kebijaksanaan umum terhadap pinggawa laut
(juragan). Sedangkan juragan memimpin langsung para sawi dalam operasi
pengumpulan produksi.

Kasus 14
Hubungan tradisonal ke kontraktual

Kontrak kerja yang dimaksud, mulai dari persiapan pemberangkatan hingga


kembali dari melaut menangkap/mengumpulkan telur ikan. Kemudian
dipasarkan hasil produksinya, hingga pada pembagian hasil. Penghitunagan
berdasarkan hasil yang diperoleh tetap dikembalikan pada pemilik
modal/pinggawa darat (papalele) sebagai orang yang dipercayakan membagi
hasil yang diperoleh.

Pemberian imbalan pada pinggawa maupun sawi di lihat dari segi beban
pekerjaan dan tanggung jawab yang dibebankan selama melakukan aktivitas
penangkapan/pengumpulan telur ikan torani. Hal seperti itu terjadi, pada akhir
tahun 1960-an, perubahan pembagian kerja berorientasi dengan
mengedepankan tanggung jawab pekerjaan. Beban yang berat ditanggung
adalah pinggawa, karena secara struktur kepatoranian pinggawa
bertanggungjawab penuh dalam mengendalikan perahu dan sekaligus
bertanggungjawab atas keselamatan sawi. Belum lagi pinggawa dituntut atas
utang yang dibebankan oleh papalele sebelum berangkat hingga kembali dari
penangkapan. Beban utang berkaitan dana yang ditipkan untuk kehidupan
keluarga yang ditinggalkan dan kebutuhan pokok selama berlayar.

Kasus 15
Makna Siri Komunitas Nelayan Patorani

Komunitas nelayan patorani memaknai siri’ sebagai rasa malu dan harga diri. Karena
itu siri menurutnya adalah sesuatu yang wajib hukumnya dimiliki oleh setiap orang,
sebab hanya dengan siri orang itu bisa disebut tau (orang) kalu ada orang yang tak
punya rasa malu, menurut nelayan patorani maka pantas dikatakan orang tersebut
untuk meminjam adat istiadatnya orang yang berada di luar dirinya.

www.hendratmoko.com 234
Seorang pinggawa nelayan patorani, memaknai siri sebagai rasa malu dan harga diri.
Siri adalah rasa malu kalau kita bertingkah laku kurang terpuji dan tak berakhlak
mulia. Atau kalau kita mengerjakan sesutu yang tak pantas (tau tuna) seperti ekerja
sebagai peminta-minta, menjadi babu atau pembantu rumah tangga. Sedang
sebagai harga diri kalau kita dipermalukan kita harus melawan atau tidak boleh
berdiam diri. Tidak ada lagi gunanya hidup di dunia ini kalau kita sudah
dipermalukan.

Seorang sawi memaknai siri sebagai rasa malu dan harga diri. Rasa malu menurutnya
jika kita berkelakuakn tidak baik. Atau dapat juga terjadi bila kita tidak berhasil di
dalam hidup sebagaimana layaknya orang lain. Sedang harga diri menurutnya adalah
apabila kita dihina atau tidak dihargai sebagai layaknya manusia. Bila kita dihina
demi harga diri (siri) kita harus berusaha memulihkan harga diri, agar kita tidak
diperlakukan lagi seperti itu.

www.hendratmoko.com 235
Informan Kelompok Papalele Sekaligus Eksportir
Nama : Muhammad Daeng Gassing
Umur : 51 Tahun
Alamat : Galesong Utara

Nama : H Daeng Tiar


Umur : 61 tahun
Alamat : Galesong Selatan

Nama : H Daeng Erni


Umur : 50 tahun
Alamat : Galesong Utara

Nama : Daeng Ngawin


Umur : 53 tahun
Alamat : Galesong Utara

Informan Kelompok Papalele

Nama : : Abdul Rahman


Umur : 60 tahun
Alamat : Galesong Utara

Nama : H Daeng Tawang


Umur : 62 tahun
Alamat : Galesong Selatan

Nama : Daeng Se’re


Umur : 53 tahun
Alamat : Galesong Selatan

Nama : Daeng Siraju


Umur : 48 tahun
Alamat : Galesong Utara

Nama : Muda Daeng lolo


Umur : 63 tahun
Aalamat : Galesong Selatan

Informan Kelompok Pinggawa


Nama : M Daeng Masaju
Umur : 57 tahun
Alamat : Galesong Utara

Nama : Daeng Laja


Umur : 63 tahun
Alamat : Galesong Selatan
Nama : Sonda Daeng Tinggi

www.hendratmoko.com 236
Umur : 59 tahun
Alamat : Galesong Utara

Nama : Daeng Nompo


Umur : 60 tahun
Alamat : Galesong Utara

Nama : S Daeng Muni


Umur : 61 tahun
Alamat : Galesong Selatan

Nama : P daeng Jallo


Umur : 56 tahun
Alamat : Galesong Selatan

Nama : Tahere daeng Bell


Umur : 60 tahun
Alamat : Galesong Utara

Informan Kelompok Sawi

Nama : Bahtiar
Umur : 45 tahun
Alamat : Galesong Utara

Nama : Syamsuddin Dang Ngada


Umur : 39 tahun
Alamat : Barombong Gowa

Nama : Jufri
Umur : 37 tahun
Alamat : kabupaten Jeneponto

Nama : Turatea Daeng Raja


Umur : 58 tahun
Alamat : Galesong Selatan

Nama : Baharuddin
Umur : 57 tahun
Alamat : Galesong selatan

Nama : Daeng Tutu


Umur : 49 tahun
Alamat : Bbarombong Gowa

www.hendratmoko.com 237
I. PEDOMAN WAWANCARA

Daftar pertanyaan ini hanya merupakan point-point pertanyaan


berdasarkan tema penelitian. Perinciannya dalam bentuk pertanyaan
yang diaajukan kepada informan kemudian dikembangkan di
lapangan

I. IDENTITAS INFORMAN
1. Nama Informan : .................................................
2. Jenis Kelamin : L/P*
3. Status Perkawinan : Kawin/belum kawin*
4. Umur :..............................Tahun
5. Alamat Domisili :..............
6. Pendidikan :formal..............non formal................
7. Pekerjaan :......................................
8. Anggota Keluarga :.............................orang
9. PengalamanKenelayanan :........................................Tahun
10.Status Dalam Kenelayanan
a. Papalele (pemilik modal)
b. Pinggawa
c. Sawi
d. Eksportir

*Coret yang tidak perlu

II. PANDUAN PERTANYAAN WAWANCARA MENDALAM


360

PROSES TERJADINYA PERGESERAN POLA PENANGKAPAN SECARA


TRADISIONAL KE POLA PENANGKAPAN MODERN

1. Bagaimana kondisi nelayan patorani sejak penangkapan dengan cara sederhana


(tradisional) bila dibandingkan setelah mengunakan teknologi modern?
2. Pola penangkapan secara sederhana bermula sejak kapan dan bagaiman metode yang
diterapkan dalam melakukan penangkapan?

www.hendratmoko.com 238
3. Setiap musim penangkapan nelayan patorani memperoleh penghasilan tangkapan bila
dibandingkan pada saat menggunkan alat sederhana kepenangkapan modern?
4. Apakah terjadinya pergeseran pola penangkapan diakibatkan oleh faktor eksternal atau
internal?
5. faktor apa sajakah secara eksternal maupun secara internal tersebut, dan bagaimana
kemampuan nelayan patorani melakukan adaptasi akibat pergeseran yang terjadi?
6. Apakah keterlibatan pasar menuntut bapak untuk mengejar jumlah hasil produksi
tangkapan?
7. bagaimana kondisi pasar sejak penangkapan pergeseran penangkapan?

PERGESERAN PENERAPAN TEKOLOGI DAN POLA PENANGKAPAN DARI INDUK


IKAN KE PENANGKAPAN TELUR IKAN PADA KOMUNITAS NELAYAN PATORANI

1. Apakah penerapan teknologi penangkapan memberikan hasil yang berbeda dahulu


dengan sekarang (sistem manual dengan sistem teknologi)?
2. Sejak kapan nelayan patorani menerapkan teknologi penangkapan?
3. Bagaimana kondisi penangkapan setelah menerapkan teknologi apabila dibandingkan
kondisi sebelum menggunkan teknologi sebagai alat bantu?
4. Secara umum penggunaan alat penangkapan dengan menggunakan teknologi modern
selama melaut? (nama dan fungsi)
5. Apakah masih ada peralatan alat tangkap yang digunakan sejak dahulu hingga sekarang
tanpa menggunakan teknologi? (nama dan fungsinya)
6. Peralatan tangkap apasajakah yang berubah dengan menggunakan teknologi? (nama
dan fungsi)
7. Apakah dengan penerapan teknologi penangkapan dapat memberikan peningkatan
penghasilan?

www.hendratmoko.com 239
HUBUNGAN SOSIAL DAN INTERNALISASI NILAI SIRI’ KOMUNITAS NELAYAN
PATORANI SEJAK PENERAPAN TEKNOLOGI ALAT PENANGKAPAN DAN
KOMERSIALISASI PRODUKSI KE ARAH PENINGKATAN KEHIDUPAN SOSIAL
EKONOMI

1. Bagaimana ketergantung nelayan patorani terutama hubungan antara pinggawa,


papalele, dan eksportir?
2. Bagaimana gambaran hubungan kerja dan hubungan sehari-hari antara sawi dan
pinggawa. Apakah pinggawa sebagai pemimpin/ yang diikuti di tempatkerja juga adalah
pimpinan/yang diikuti dalam kehiduapan sehari-hari? Da1am bentuk apa perluasan
hubungan kerja ke hubungan sehari-hari?
3. Bagaimana gambaran pertukaran sosial-ekonomi antara sawi dan pinggawa. Apakah
selain upah kerja/bagi hasil pinggawa memberi bantuan dalam berbagai bentuk kepada
sawi? Apakah bantuan tersebut lebih besar dari bantuan balasan yang diberikan sawi?
4. Bagaimana gambaran awal keterlibatan sebagai sawi, kriteria-kriteria apa yang
diberlakukan pinggawa saat diterima sebagai sawi?
5. Bagaimanakah makna siri’ dihubungkan dengan pencapaian dalam kehidupan ekonomi,
khususnya dalam pengembangan teknologi dan penerapan alat teknologi?
6. Bagaimana makna sir’i dihubungkan dengan status sosial diri dan keluarga dan oerintasi
masa depan dan kehidupan sosial ekonomi?
7. Bagaiman implementasi makna siri berfungsi sebagai sumber motivas dan etos kerja
yang mengarah pada prestasi?

III. PEDOMAN OBSERVASI

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN


1. Nama Desa/ Kelurahan :
2. Kecamatan :
3. Lingkungan/Jenis Usaha :

www.hendratmoko.com 240
ASPEK-ASPEK YANG DI OBSERVASI

No Aspek yang diobservasi Keadaan Keterangan


1 Keadaan ekonomi masyarakat
2 Jenis kegiatan
3 Status dalam kegiatan
4 Produk yang dihasilkan
5 Lama kegiatan yang digeluti
6 Kondisi kegiatan
7 Alat yang digunakan
8 Perkembangan kegiatan

www.hendratmoko.com 241
PETA KABUPATEN TAKALAR

366

www.hendratmoko.com 242
RIWAYAT HIDUP PROMOVENDUS

Promovendus lahir 1 Mei 1974 dari pasangan suami-istri Amiruddin


Daeng Sila dan Irallang Daeng Te’ne, di Gantarang kabupaten
Jeneponto, yang berjarak kira-kira 90 km dari Makassar ibukota
Propinsi Sulawesi Selatan.

Menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar Gantarang tamat tahun 1987 dan Sekolah
Menegah Pertama Kelara tamat tahun 1990. kemudian promovendus hijrah ke kota
Kabupaten dan melanjutkan Sekolah Menengah Atas Negeri 2 Jeneponto tamat tahun 1993.

Setelah itu promovendus bermigrasi ke kota Makassar ibukota Propinsi Sulawesi


Selatan, untuk melanjutkan pendidikan di Institut Agama Islam Negeri Alauddin Makassar
pada jurusan Sejarah dan Kebudayaan hingga memperoleh gelar sarjana strata satu (S1)
pada tahun 1997. kemudian pada tahun 2000 promovendus melanjutkan pendidikan ke
Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin kajian ilmu Sosiologi dan memperoleh gelar
Magister Sains (S2) pada tahun 2002. kemudian pada tahun 2003 promovendus hijrah ke
pulau Jawa dan melanjutkan pendidikan pada Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran
Bandung kajian Ilmu-Ilmu Sosial (Sosiologi dan Antropologi).

Karya publikasi promovendus antara lain Diferensiasi Sosial pada komunitas nelayan
tradisional di Banten; Interaksi sosial Komunitas Nelayan antar etnik Jawa dan etnik Bugis Di
Banten; partisipasi dalam bidang politik kaum perempuan nelayan di Banten; prasangka
sosial masyarakat tradisional suku baduy terhadap masyarakat luar; taraf pendidikan anak-
anak nelayan di Banten; dan publikasi pada media lokal.

Pengalaman organisasi promovendus pernah aktif di Himpunan Mahasiswa Islam


(HMI) IAIN Alauddin Makassar, Mahasiswa Pantjasila Cabang Makassar dan Wilayah Sulawesi
Selatan, DPD KNPI Kota Makassar dan DPD KNPI Sulawesi Selatan, Ikatan Cendekiawan
Muslim Se-Indonesia dan Forum Mahasiswa Pascasarjana Se-Indnesia dan Organisasi
Keagamaan.

www.hendratmoko.com 243

You might also like