Professional Documents
Culture Documents
Draft Disertasi
Draft Disertasi
Oleh
Suwaib. A
L3G 03099
DISERTASI
Untuk memperoleh gelar Doktor dalam bidang Ilmu Sosial
pada Universitas Padjadjaran dengan wibawa Rektor Universitas Padjadjaran
Prof.Dr.Ir.Ganjar Kurnia, DEA
Sesuai dengan Keputusan Senat/Guru Besar Universitas Padjadjaran
dipertahankan pada tanggal 11 Januari 2008
di Universitas Padjadjaran
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG
2008
www.hendratmoko.com 1
ABSTRACT
It is a qualitative research, using descriptive and analytic study design. The data was
collected from observation and depth-interview on Patorani fishermen and exporters.
Patorani fishermen are classified into three categories, papalele, pinggawa and sawi.
Papalele, capital owners, are people who lend the capital to the workers, they are pinggawa
and sawi. Pinggawa and sawi use the capital in operating catching system, including sail to
the sea to catch Torani eggs. Pinggawa acts as the leader in a sailing; he drives the fishing
boat and knows the sailing directions. While sawi act as people who catch torani eggs in a
sailing. Both pinggawa and sawi must pay back capital to papalele in a certain time, usually
within a season.
www.hendratmoko.com 2
Abstrak
Nelayan Patorani adalah nelayan khusus menangkap ikan terbang (ikan torani).
Komunitas nelayan Patorani yang keberadaanya sejak abad ke-17, hingga pertengahan abad
ke-20 merupakan nelayan usaha subsistensi. Namun pada akhir abad ke-20 tuntutan pasar
yang menyebabkan komersialisasi produksi mengalami pergeseran pola penangkapan dari
induk ikan ke penangkapan telur ikan torani. Terjadinya pergeseran pola penangkapan
tradisional ke pola penangkapan modern dan pergeseran penerapan tekologi alat
penangkapan. Penelitian ditujukan pada komunitas nelayan patorani dibalik fenomena
aktualisasi pergeseran komersialisasi produksi dan tuntutan pasar yang mengarah pada pola
penangkapan dan adaptasi penerapan teknologi.
Penelitan ini menggunakan pendekatan kualitatif, dan desain penelitian deskriptif analitik,
kaitannya dengan komersialisasi produksi dan adaptasi penerapan teknologi penangkapan
ke arah peningkatan sosial ekonomi. Penelitian dilakukan pada dua kecamatan di
kabupaten Takalar Sulawesi Selatan. Pengumpulan data dilakukan melalui pengamatan
mendalam dan wawancara berkesinambungan pelaku dalam komunitas nelayan patorani
yakni, Papalele (pemilik modal) pinggawa (juragan laut) dan sawi (buruh) serta eksportir.
Hasil penelitian memperlihatkan bahwa masuknya permintaan pasar dan eksportir maka
permintaan telur ikan torani (telur ikan terbang) menjadi hal yang mutlak di penuhi.
Nelayan patorani tradisional beralih pada penerapan teknologi alat tangkap modern untuk
meningkatkan hasil produksi. Kondisi semacam ini, hubungan semakin terpolakan yakni
eksportir- papalele dan demikian pula papalele ke pinggawa. Hubungan itu terkait,
pengadaan teknologi alat dan penguatan modal operasional kepada nelayan patorani.
Kesemua itu dilakukan karena orientasi kuat pada tuntutan pasar dan komersialisasi
produksi, dngan demikian struktur pada komunitas semakin terspesialisasi antara
papalele-pinggawa-sawi. Papalele sebagai pemilik modal mengarah pada komersialisasi
produksi yang terlihat dengan adanya motivasi agar hasil terus ditingkatkan dan mengejar
keuntungan semata. Hubungan tradisonal sudah mulai bergeser kehubungan fungsional
dan kontraktual. Hubungan kontraktual, diberlakukan atas dasar pemberian modal pada
pinggawa, kemudian pinggawa mengembalikan pada papalele dalam jangka waktu
semusim. Internalisasi nilai siri’ (harga diri) secara kultural berhasil membentuk suatu
tujuan untuk mencapai sukses dan peningkatan hasil tangkapan komunitas nelayan
patorani.
www.hendratmoko.com 3
KOMERSIALISASI PRODUKSI DAN ADAPTASI PENERAPAN
TEKNOLOGI ALAT PENANGKAPAN
KE ARAH PENINGKATAN KEHIDUPAN
SOSIAL EKONOMI
(Studi Kasus Komunitas Nelayan Patorani
di Kabupaten Takalar Propinsi Sulawesi Selatan)
Oleh
Suwaib. A
L3G 03099
DISERTASI
Untuk memenuhi salah satu syarat ujian
guna memperoleh gelar Doktor dalam bidang Ilmu Sosial ini
telah disetujui oleh Tim Promotor pada tanggal
seperti yang tertera di bawah ini
www.hendratmoko.com 4
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas segala karunia dan
disertasi ini, dengan berbagai rintangan dan tantangan yang dihadapi oleh penulis.
Terjadinya pergeseran tersebut, karena adanya tuntutan pasar dan komersialisasi produksi.
Imbas dari adanya tuntutan pasar tersebut, maka nelayan patorani mengalami pergeseran
pola penangkapan dari induk ikan ke penangkapan telur ikan. Untuk mendukung tuntutan
pasar dan komersialisasi produksi, maka penerapan teknologi sebagai alat pendukungnya
ikut pula mengalami pergeseran dari tradisional ke modern. Realitas tersebut, hubungan
sosial dan internalisasi nilai siri’ menjadi motivasi untuk bekerja yang berorientasi ke arah
Dalam penulisannya, penulis melewati proses yang cukup panjang dimulai dari
proses persiapan, penelitian, dan proses penulisannya sendiri. Tentu saja berbagai kesulitan
danhambatan banyak di temui penulis, baik menyakngkut aspek teoritis, aspek penelitian
ilmiah yang dilakukan, maupun aspek-aspek lainnya yang ikut pula mempengaruhi penulisan
ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa melewati semua hambatan dan kesulitan itu,
serta terselesaikannya disertasi ini adalah berkat bantuan dari berbagai pihak yakni ketua
Tim Promotor Prof. Oekan S. Abdoellah, M.A.,Ph.D, serta anggota Tim Promotor Prof.
penelitian, proses penelitian, dan penulisan disertasi. Tanpa kearifan dan kerja keras dari tim
www.hendratmoko.com 5
promotor dalam menuntun penulis, tentunya terselesaikannya penulisan disertasi ini tidak
mungkin dicapai.
Ucapan terima kasih yang tulus di haturkan pula kepada Tim Oponen Ahli yang amat
ini.
Selain itu, penulis menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada berbagai
pihak yakni: (1) Rektor Universitas Padjadjaran atas kesempatan belajar dan fasilitas yang
diberkan; (2) Direktur, jajaran pimpinan dan pengajar Program Pascasarjana Universitas
Padjadjaran atas bimbingan dan pembelajaran yang diberikan, serta atas laynan administrasi
yang disediakan; (3) pimpinan dan jajaran pimpinan Pemerintaha Daerah Propinsi Sulawesi
Selatan atas pemberian ijin dan rekomendasi untuk ke lokasi penelitian; (4) pimpinan
Galesong Selatan sebagai lokasi penelitian, dan dinas kelautan dan perikanan kabupaten
Takalar; (5) para eksportir, papalele (pemilik modal), Pinggawa (juragan perahu), sawi (buruh
nelayan) atas kesediaan waktunya untuk menjadi informan dalam kelengkapan data
disertasi ini; (6) para rekan (Jumayar Marbun, Drs.,M.S; Endang Hermawan,Drs.,M.Si; Eben
Sahlan; Drs,M.Si, Opan S, Drs.,M.Si) dan terkhusus kakanda yang selalu memberikan
masukan baik tentang konsep maupun filosofi hidup (kakanda Dr.Iskandar,M.Si; kakanda
Ence,S.H.,MH dan Kakanda Muhammad Said UR, SE.,M.Si); serta sahabat-sahabat saya,
Rukmi Windi Perdani, atas dorongan dan semangat yang tidak henti-hentinya pada penulis
www.hendratmoko.com 6
Penghargaan dan terima kasih yang tulus khusus disampaikan kehadapan keluarga
penulis. Ibunda yang tercinta Inrallang Daeng Te’ne dan ayahanda Amiruddin Daeng Sila,
secara tulus dan tiada henti mendoakan, memberikan nasihat dan dorongan semangat agar
penulis terus belajar. Kakakku Sultan Amiruddin Sila, S.H, serta istrinya Jumrah,S.E dan
adikku Hairani Amiruddin, A.Md serta suaminya Faisal Jabbar. Keluarga inilah pula
memberikan dukungan baik moral maupun material. Kemudian terkhusus pula kepada
bapak Sutoto,SH.,MH dan ibu Kingkin Wahyuningdiah, SH.,MH yang selalu setia memberikan
Demikian disertasi ini diajukan, dengan peuh kesadaran bahwa masih banyak
manfaat.
Penulis
www.hendratmoko.com 7
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
HALAMAN PENGESAGHAN
ABSTRAK.......................................................................................................... iii
ABSTRACT......................................................................................................... iv
KATA PENGANTAR......................................................................................... v
DAFTAR TABEL............................................................................................... xi
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Penelitian ...................................................... 1
1.2. Rumusan dan Identifikasi Masalah ........................................ 10
1.3 Maksud Dan Tujuan Penelitian .............................................. 12
1.3.1. Maksud Penelitian ...................................................... 12
1.3.2. Tujuan Penelitian ........................................................ 12
1.4. Kegunaan Penelitian ................................................................ 13
1.4.1. Kegunaan Akademik. .................................................
13
1.4.2. Kegunaan Praktis .......................................................
13
www.hendratmoko.com 8
2.2. Kerangka Pemikiran .............................................................. 76
www.hendratmoko.com 9
4.2.2.1 Penerapan Teknologi Penangkapan komunitas
nelayan patorani Ke Arah Komersialisasi
Produksi ........................................................ 228
4.2.2.2 Pola Pengelolaan Hasil Tangkapan Subsistensi
Ke Arah Orientasi Ekspor ............................. 240
4.3 Penerapan Teknologi Dan Pola Hungungan Sosial ................. 252
4.3.1 Hubungan Sosial Tradisional Ke Industrial ................. 252
4.3.1.1 Hubungan Patron Klien Pada Komunitas
Nelayan Patorani ........................................... 264
4.3.1.2 Solidaritas Sosial Kekeluargaan Ke
Hubungan Kontraktual ................................. 279
4.3.2. Hubungan Sosial Dan Pembagian Kerja ...................... 291
4.3.2.1. Pola Pembagian Kerja Pada Komunitas Nelayan
Patorani ......................................................... 294
4.3.2.2 Pembagian Kerja Pada Hubungan Tradisional Ke
Hubungan Industrial .................................... 301
4.3.3. Internalisasi Siri’ Kaitannya Etos Kerja ...................... 313
4.3.3.1 Makna Nilai Siri’ Bagi Masyarakat Bugis-
Makassar Dan Nelayan Patorani..................... 313
4.3.3.2 Makna Internalisasi Siri’ Terkait Adaptasi
Lingkungan Penangkapan .............................. 317
4.3.3.3 Internalisasi Makna Siri Berkaitan Harga Diri
Dan Motivasi Bekerja .................................... 322
4.3.3.4. Internalisasi Nilai-Nilai Siri’ Ke Arah Kehidupan
Sosial Ekonomi .............................................. 332
www.hendratmoko.com 10
DAFTAR LAMPIRAN
1. Pedoman wawancara..................................................................................................
3. Pedoman observasi....................................................................................................
www.hendratmoko.com 11
DAFTAR TABEL
www.hendratmoko.com 12
DALIL-DALIL
www.hendratmoko.com 13
DATAR GAMBAR
Gambar Halaman
www.hendratmoko.com 14
BAB IV
Kabupaten Takalar adalah salah satu kabupaten yang terletak di arah selatan ibukota
propinsi Sulawesi Selatan yaitu Kota Makassar, tepatnya berada sekitar 45 km dari kota
Makassar. Selain itu Kabupaten Takalar juga merupakan salah satu kabupaten yang berada
di Sulawesi Selatan, secara geografis dikenal sebagai daerah kawasan pantai. Hal itu
Secara administratif, Kabupaten Takalar memiliki batas-batas wilayah antara lain; (1)
sebelah utara berbatasan dengan Kota Makassar dan kabupaten Gowa; (2) sebelah timur
berbatasan dengan Kabupaten Jeneponto; (3) sebelah selatan berbatasan dengan laut
Flores; (4) sebelah barat berbatasan dengan selat Makassar dan luas wilayah berkisar 566,51
Kabupaten Takalar adalah wilayah yang beriklim tropis, sehingga hanya mengenal
dua musim dalam setahunnya, yaitu musim hujan dan musim kemarau. Kedua musim ini,
menjadikan rata-rata temperatur udaranya sepanjang tahun bermain dari tingkat 28 derajat
www.hendratmoko.com 15
di atas permukaan laut yang letaknya sebagian besar di wilayah gugusan pantai (pantai
selatan dan pantai barat), dan titik tertinggi berada di daerah-daerah yang terletak di bawah
kaki gunung. Secara geografis, kabupaten Takalar memiliki enam kecamatan potensi
tersebut secara potensial masyarakatnya tergantung pada kondisi alam yang dimiliki. Untuk
lebih jelasnya Berikut ini gambar peta lokasi pantai pesisir Kabupaten Takalar dan desa
nelayan patorani:
Gambar 4.5
Peta lokasi pantai Kecamatan Galesong Utara dan Kecamatan Galesong Selatan
Berdasarkan gambar peta di atas maka Kecamatan Galesong Selatan dan Galesong
Utara merupakan wilayah kecamatan yang berkategori sebagai wilayah pesisir pantai.
www.hendratmoko.com 16
Indikatornya, karena keempat wilayah kecamatan tersebut menempati pada posisi
Selain indikator itu, maka salah satu indikator yang dapat dijadikan dasar sebagai
dibandingkan dengan kecamatan lainnya yang ada di kabupaten Takalar. Jumlah penduduk
berdasarkan data statistik Kabupaten Takalar yakni sebanyak 1149.291 orang (2004) dengan
perincian 608.078 perempuan dan 541.213 laki-laki. Terdiri atas 103.892 rumah tangga.
perikanan laut (nelayan) 2.618 rumah tangga, tambak 1.509 rumah tangga. Khususnya pada
perikanan laut, jumlah rumah tangga nelayan terbesar adalah kecamatan Galesong Utara
(902 rumah tangga, kemudian menyusul Kecamatan Galesong Selatan (865 rumah tangga),
rumah tangga) begitu pula jumlah nelayannya Kecamatan Galesong Utara menempati posisi
tertinggi (4.738 orang), kemudian Kecamatan Galesong Selatan 4.321 orang), Kecamatan
Berdasarkan data itu, maka dapat disimpulkan bahwa di antara ke enam kecamatan
dalam wilayah kabupaten Takalar, hanya empat kecamatan yang dapat dikategorikan
Selatan dan Galesong Utara. Dan berdasarkan pemamparan data di atas, maka Galesong
Utara dan Galesong Selatan dijadikan lokasi penelitian atau lokasi kasus dengan fokus pada
perahu semakin bertambah. Berdasarkan data dari Dinas Perikanan dan kelautan kabupaten
Takalar tercatat dalam dekade terakhir, yakni era tahun 1990-an sebanyak 4.311 buah
perahu hingga pada tahun 2000-an mencapai 7.431 buah perahu. Mulai dari jenis perahu
www.hendratmoko.com 17
tradisional dengan menggunakan peralatan pancing dan jala (jaring) hingga pada komunitas
nelayan modern. Komunitas nelayan tersebut, memiliki karakteristik dan jenis alat
penangkapan sendiri.
sebagai wilayah pesisir. Perahu tersebut bervariasi bentuknya, antara lain jakung, parengge
perahu jakung ini telah mengalami pasang surut, hingga sekarang komunitas ini kurang lagi
diminati oleh nelayan. Perahu jakung dari awal kehadirannya berfungsi sebagai perahu yang
digunakan untuk menagkap ikan dengan menggunakan teknologi alat tangkap yang
sederhana seperti kail dan jala (pukat) dan kemampuan lokasi penangkapannya hanya
telah beralih dengan menggunakan motor tempel sebagai penggerak utama (sebelumnya
dengan tenaga angin/layar). Keberadaan perahu jakung hingga sekarang ini telah mengalami
perubahan dari segi bentuk badan perahu dengan melalui modifikasi, termasuk fungsi dan
mesin tempel yang dulunya hanya menangkap ikan di sekitar areal pesisir, kini telah
mengalami pergeseran lokasi penangkapan dan hasil tangkapan pun mengarah ke pencarian
udang windu. Keberadaan perahu jakung di Galesong pada dekade sebelumnya, dapat di
tarik kesimpulan sementara bahwa mata pencaharian masyarakat Galesong Selatan dan
pada umumnya merupakan warisan orang tua atau keluarganya, yang dipertahankan hingga
www.hendratmoko.com 18
Komunitas nelayan yang bermata pencaharian sebagai nelayan penangkap ikan yang
disebut sebagai nelayan palanrak, dan nelayan papekang hingga sekarang tetap bertahan.
Komunitas nelayan ini, melakukan aktivitas secara lokal yakni sekitar pesisir pantai Galesong,
dengan hanya berusaha untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dipasar sebagai konsumsi
motor tempel. Hingga sekarang ini, komunitas nelayan palanrak dan papekang salah satu
sumber mata pencaharian masyarakat Galesong. Nelayan ini khusus menanangkap ikan
dengan berbagai jenis ukuran, tergantung pada jenis ikan yang lagi musim.
teknologi sederhana (tradisional), mulai dari jenis ukuran dan teknologi yang digunakan.
pergeseran dan hingga sekarang tidak terlalu diminati lagi. Alasannya karena kondisinya
sudah termakan usia dan orientasi penangkapan komunitas nelayan yang dulunya palanrak
dan papekang sudah mengarah untuk menjadi nelayan patorani. Adanya peralihan tersebut,
maka secara otomatis pengalaman melaut sudah dimiliki untuk beralih menjadi nelayan
patorani. Hal ini terkait informan sawi Jufri (37) yang dulunya adalah nelayan palanrak, dan
kini beralih menjadi sawi patorani. Beliau mengatakan bahwa penguasaan akan tantangan
laut, sudah terbiasa, namun yang perlu di dalami adalah teknologi penangkapannya, karena
menggunakan lanrak (pukat) sangat bereda dengan menggunakan alat penangkapan telur
ikan torani (ballak-ballak), artinya bahwa diperlukan adanya penyesuaian dan keterampilan
khusus.
dari perahu jakung ke perahu motor tempel sedangkan perahu parengge beralih ke kapal
nelayan patorani. Tuntutan perubahan jenis perahu tersebut, berkaitan orientasi komunitas
www.hendratmoko.com 19
nelayan ke arah peningkatan penghasilan. Demikian halnya pula, pada sektor nelayan
patorani dengan adanya tuntutan perubahan orientasi penangkapan dari induk ikan torani
beralih kepenangkapan khusus pada telur ikan torani. Terjadinya pergeseran itu, karena
adanya tuntutan pasar dan pada muaranya pula kearah peningkatan kehidupan sosial
ekonomi nelayan patorani. Realitas perubahan itu, dapat di ambil suatu kesimpulan bahwa
awal munculnya orintasi pergeseran tersebut, terkait dengan tuntutan pasar dan kehidupan
sosial ekonomi.
menjadi nelayan patorani, namun perahu tradisional pun, dengan jenis perahu palanrak dan
papekang masih tetap ada yang beroperasi di pesisir pantai Galesong, walaupun jumlah dan
komunitasnya sangat kecil. Perahu yang dimaksudkan adalah perahu tradisional yang tidak
merubah bentuk, namun hanya dari segi kekuatan alat bantu berubah menjadi perahu
motor tempel. Populasi perahu motor tempel merupakan jenis perahu yang masih bertahan
populasinya, dan kalau kembali ke darat mesin perahu di lepas dari badan perahu. Mesin
biasanya dipasang kembali, jika nelayan hendak melaut. Mesin tersebut biasanya
berkapasitas 10-12pk di pasang di bagian belakang badan perahu. Demikian pula halnya
dengan perahu nelayan patorani pun mengalami perubahan bentuk. Perubahan jenis dan
bentuk perahu yang berbentuk bulat tanpa mesin, kondisi demikan bertahan ckup lama,
namun karena adanya tuntutan peningkatan produksi maka kapasitas ukuran perahu
ditambah guna untuk menampung beban mesin dan alat penangkapan modern yang
dipergunakan.
Selatan dan Galesong Utara dan tersebar di hampir semua desa pantai di Sulawesi Selatan.
Jumlah desa di dua kecamatan tersebut sebanyak 12 buah desa. Namun diantara desa-desa
tersebut, terdapat lokasi yang dijadikan sebagai basis terbanyak ditempati oleh nelayan
patorani yakni desa Galesong baru, Paklaklakkang dan Bontosunggu. Tempat ini, sejak dari
www.hendratmoko.com 20
dulu hingga sekarang menjadi tempat menyimpan (parkir) perahu komunitas nelayan
patorani ketika kembali melakukan penangkapan. Tempat ini pula dijadikan sebagai lokasi
untuk bertukar fikiran, sambil memperbaiki perahu yang dianggap ada kerusakan di
sepanjang pesisir pantai Galesong Selatan dan Galesong Utara, terparkir perahu patorani
sekarang, lebih terfokus di kedua kecamatan yakni kecamatan Galesong Utara dan Galesong
Selatan. Maka lokasi penelitian di fokuskan pada daerah Galesong Selatan dan Galesong
Utara, dengan alasan bahwa lokasi tersebut merupakan daerah pesisir pantai yang meliputi
lima buah desa yakni Tamalate, Aeng Batu-batu, Bontosunggu, Tamasaju, dan Pa’laklakkang;
Sedangkan kecamatan Galesong Utara meliputi enam desa yakni Galesong Kota, Bontoloe,
kecamatan Galesong Utara dan kecamatan Galesong Selatan dipilih sebagai unit lokasi
penelitian atau wilayah studi kasus. Pemilihan ini didasarkan atas pertimbangan bahwa
kedua kecamatan ini merupakan wilayah komunitas nelayan patorani yang mengalami
pertumbuhan populasi paling pesat dan menjadi pemukiman secara turun temurun
transportasi dan perdagangan antar pulau. Dan pada masa yang lampau pula, perahu
dijadikan sebagai alat transportasi bagi kerajaan untuk berhubungan dengan daerah
kerajan lainnya. Jadi sejak beberapa abad yang lalu masyarakat Bugis Makassar sudah
www.hendratmoko.com 21
Koentjaraningrat (1992 :33) mengemukakan bahwa Aktivitas kenelayanan diperkirakan
Realitas itu, bahwa keberadaan perahu disamping berfungsi sebagai media untuk
transportasi untuk melakukan kontak dengan daerah lainnya. Fungsi ganda perahu bagi
ikan) sudah terlaksana. Hal demikian pun terjadi pada komunitas nelayan patorani,
sebelum masuk waktu musim patorani maka sebahagian dijadikan sebagai nelayan
pencari ikan pada areal pesisir pantai. Terkait aktivitas penangkapan di luar musim
pattoranian, maka nelayan patorani merasa rugi karena bahan bakar dipersiapkan dalam
jumlah yang besar, sedangkan penghasilan tidak begitu sebanding dengan pengeluaran.
pemukiman yang berada di pesisir pantai. Sebagai daerah pesisir pantai, maka
merupakan salah satu komunitas nelayan yang tertua, karena di duga lahir sekitar abad ke-
17. Komunitas nelayan patorani yang menetap di pesisir pantai Galesong Utara dan
Galesong Selatan, merupakan ciri khas tersendiri sebagai satu kesatuan yang terpola
kehidupannya. Hal demikian terjadi, karena masyarakat setempat pada umumnya berprofesi
sebagai nelayan patorani. Masyarakat itu, ada yang menjadi papalele patorani tetapi tidak
pernah melaut dan ikut melakukan penangkapan, sedangkan pinggawa dan sawi adalah
kelompok yang melakukan penangkapan. Pinggawa perahu nelayan patorani pada umumnya
berasal dari daerah Galesong Utara dan Galesong Selatan sendiri, namun para sawi ada
beberapa orang yang berkategori sebagai penduduk musiman. Penduduk tersebut datang
ketika musim patorani telah tiba dan kebanyakan dari daerah Kabupaten Takalar dan di luar
Kabupaten Takalar.
www.hendratmoko.com 22
Selain nelayan patorani, pada masyarakat Sulawesi Selatan, khususnya di Galesong
Selatan dan Galesong Utara Kabupaten Takalar, terdapat pula berbagai kelompok nelayan
berdasarkan alat tangkap yang digunakan atau jenis ikan yang ditangkap. Kelompok-
kelompok nelayan yang dimaksud penamaannya menggunakan awalan “pa” yang berarti
pelaku (orang yang melakukan) dan menunjuk pada paboya (nelayan yang melakukan
aktivitas), seperti palanrak (nelayan yang menggunakan alat tangkap jaring (lanrak) jaring
yang terbuat dari tali dan berukran panjang atau tramel net); patorani (nelayan yang secara
(nelayan yang menggunakan jaring renggek); pagaek (nelayan yang menggunakan jaring
gaek atau jaring insang); parerek (nelayan yang menggunakan jaring rerek atau jaring tarik);
Berbagai kelompok nelayan itu, nelayan Patorani merupakan salah satu kelompok
nelayan yang pada awal keberadaannya sebagai nelayan tradisional dan tertua di Galesong.
Menurut keterangan yang diperoleh melalui cerita-cerita rakyat dan beberapa informan
mengungkapkan bahwa asal usul penangkapan ikan terbang dilakukan oleh orang-orang
pemberani tubarani sisa lasykar Karaeng Galesong (raja Galesong) yang kalah perang
Timur, mereka ingin kembali ke Makassar. Namun karena perlengkapan perangnya sudah
habis maka mereka mondar-mandir di Selat Makassar dan menyamar sebagai nelayan.
Fakta itu dapat dijadikan sebagai awal keberadaan nelayan patorani, dan bukti-bukti
sejarah mencatat pula bahwa keberadaan nelayan patorani di duga pada abad ke-17. Sejak
abad ke-17 nelayan patorani dikenal sebagai nelayan tradisional sampai paruh pertama abad
ke 20, dan merupakan usaha penangkapan ikan torani yang bersifat subsistensi. Menjelang
paruh abad kedua yakni abad ke-20 usaha penangkapan ikan torani bersifat komersial.
www.hendratmoko.com 23
pengiriman induk ikan torani dan jenis ikan lainnya dalam bentuk ikan kering ke Gresik,
Komunitas nelayan patorani, secara tradisional telah lama mengenal suatu sistem
pengetahuan yang mereka sebut pangangasengan. Cakupan konsep ini meliputi dua aspek
utama yang dibedakan oleh masyarakai sendiri dalam bentuk pengetahuan lahir dan
penghidupan tertentu maka biasanya disebutkan dalam bentuk kata majemuk, erang
Hasil wawancara dari informan, bahwa awal mula timbulnya suatu pengetahuan
yang berisikan tentang aturan-aturan dan memiliki nilai-nilai kegaiban terkait dengan ilmu
tersebut, menunjukkan pada suatu perbuatan masyarakat nelayan pada jaman dulu, yang
Pranata-pranata itu, kemudian berfungsi sebagai pengatur hubungan antara sesama nelayan
terkait dengan kehidupan sehari-hari baik sebagai individu maupun dalam organisasi
kenelayanan.
Struktur kepatoranian terbentuk suatu organisasi yang saling terkait satu sama lain
antara paplele (pinggawa darat), juragan (pinggawa laut) dan sawi (pekerja/buruh) yang
dalam lingkungan untuk beraktivitas sebagai komunitas nelayan patorani. Lama kelamaan
pranata-pranata tersebut di atas semakin teratur dan mapan dalam arti sudah melembaga di
www.hendratmoko.com 24
Kehidupan kepatoranian secara struktural telah terbentuk didasarkan melalui
patorani masih diikat oleh suatu ikatan struktur yang saling mendukung antara pinggawa
dan sawi. Penjabaran kegiatan struktur kepatoranian, sawi (anak buah/buruh) diartikan
sebagai anggota kelompok atau anak buah dari seorang pinggawa dalam melakukan suatu
dan keseluruhannya merupakan satu kesatuan usaha. Setiap sawi mempunyai peranan
tertentu yang diberikan oleh pinggawa laut (juragan) selama dalam perjalanan. Pekerjaan
dan peranan yang dibebankan oleh pinggawa terhadap sawinya biasanya disesuaikan
dengan usia dan pengalaman yang dimiliki oleh sawi. Sawi yang dipandang paling
berpengalaman, diberikan tugas melayani alat-alat pengumpul telur ikan terbang. Sawi yang
diangap masih relatif lebih rendah pengalamannya dibebankan peran sebagai Juru Batu
(menurunkan jangkar) saat perahu berlabuh. Untuk sawi yang sangat sedikit pengalamannya
biasanya berusia relatif paling muda, diberikan tugas menimba air yang masuk ke dalam
kelokasi penangkapan sampai kembali ke darat membawa hasil produksi. Selain peran
tersebut para sawi diharapkan pula harus rajin dan jujur dalam menjalankan tugas dan
kewajibannya, serta patuh pada perintah dan aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh
pingawa. Bilamana ada sawi yang melakukan pelanggaran, maka akan diberikan sanksi-
sanksi sesuai kadar pelanggaran yang sudah diatur dan disepakati walaupun bentuknya tidak
tertulis. Jika seandainya pelanggaran tersebut tidak dapat diselesaikan oleh pinggawa laut
(juragan), maka persoalan itu, diserahkan sepenuhnya pada papalele (pinggawa darat)
sebagai pengambil kebijakan secara umum dalam organisasi kepatoranian. Hal itu, dilakukan
www.hendratmoko.com 25
oleh seorang papalele, tapi dengan syarat bila seorang papalele yang memiliki perahu
tersebut.
pada pertengahan tahun 1990-an, dan merupakan negara yang pertama masuk membeli
telur ikan torani di Galesong Selatan dan Galesong Utara. Masuknya negara Jepang sebagai
teknologi modern. Sebelum masuknya eksportir pada awal tahun 1970-an penangkapan
telur ikan torani masih relatif menggunakan teknologi alat tangkap sederhana dan bahkan
masih menggunkan alat tangkap pakkaja induk ikan torani. Namun semakin membaiknya
harga telur ikan di pasaran maka perkembangan penggunaan perahu dengan menggunakan
mesin sebagai daya dukung lajunya perahu ke lokasi penangkapan telur ikan torani mulai
difikirkan keberadaannya. Alat tangkap modern dalam penangkapan telur ikan torani mulai
lebih di modifikasi bila dibandingkan dengan teknologi alat tangkap induk ikan torani.
Pada tahun 1990, penangkapan telur ikan torani semakin terbuka dan lebih
menjanjikan untuk menambah penghasilan. Realitas itulah, maka kesempatan dan wawasan
komunitas nelayan patorani semakin dituntut untuk lebih mendalami strategi penangkapan
telur ikan torani. Kesempatan peluang tersebut bukan hanya dimanfaatkan oleh nelayan
saja, akan tetapi orang-orang yang terlibat di dalanya terutama papalele (pemilik modal) ikut
pula memanfaatkan sumber modal yang dimilikinya. Keterbukaan untuk mengalihkan usaha
penangkapan dari induk ikan ke telur ikan torani, karena harganya cukup tinggi yakni dari
harga Rp. 7000/kg pada tahun 1970-an, kemudian dari tahun ketahun semakin meningkat
hingga Rp 60.000. Bahkan pada tahun 2000-an harga telur ikan semakin naik hingga
mencapai harga Rp 300.000 dan bertahan hingga kondisi sekarang. Dengan adanya harga
pasaran yang semakin tahun semakin tinggi, maka peningkatan pendapatan komunitas
www.hendratmoko.com 26
nelayan patorani pun dalam satu musim bertambah. Menurut informan pinggawa P daeng
“Selama saya melakukan penangapan telur ikan torani semakin tahun harganya pun
semakin bagus. Pendapatan saya pun semakin meningkat setiap tahun (per-musim)
pattoranian. Saya sebagai pinggawa merasa senang juga karena kehidupan keluarga
saya juga semakin membaik, dan dapat membeli kebutuhan pokok keluarga saya.
Hasil yang saya peroleh dalam semusim biasanya cukup untuk menutupi kebutuhan
pokok untuk makan keluarga saya”.
Kondisi harga telur ikan secara merata dapat dinikmati oleh komunitas nelayan
patorani baik papalele, pinggawa maupun sawi. Penghasilan hasil tangkapan yang diperoleh,
secara spesifik yang lebih banyak meraup keuntungan adalah kelompok pemilik modal
(papalele) dibandingkan dengan pinggawa dan sawi. Asumsinya bahwa semakin besar modal
yang dikeluarkan, maka semakin besar pula penghasilan yang diperoleh, dengan kata lain
bahwa apabila nelayan patorani binaannya memperoleh hasil yang banyak maka secara
Implikasi dari realitas itu, maka pengembangan usaha penangkapan telur ikan torani
yang bermukim di Galesong Selatan dan Galesong Utara, membawa keuntungan secara
positif, diakibatkan mencuatnya ekspor telur ikan torani hingga masuk ke pemukiman
nelayan patorani. Seiring dengan pengembangan usaha maka nelayan patorani mengikuti
pula perkembangan penerapan teknologi modern untuk melakukan penangkapan telur ikan
torani, yakni dukungan mulai dari alat tangkap, permodalan, hingga teknologi pendukung
perahu. Dengan daya dukung teknologi alat penangkapan, maka nelayan patorani pula
dalam melakukan pelayaran tidak terlalu menguras tenaga secara operasionalisasi selama
dengan target hasil yang maksimal untuk dikembalikan permodalan ke papalele dan juga
www.hendratmoko.com 27
nelayan paorani sebagai nelayan tradisional mengalami pergeseran dari awal munculnya
pada abad ke-17. kemudian dari segi ritual pula nelayan patorni sudah mulai mengalami
dilaksanakan secara turun temurun dengan unsur pemikiran rasional. Keterpaduan tersebut,
sebenarnya bagian wujud adanya kesadaran untuk tidak sepenuhnya meninggalkan sebagian
ritual (penyerahan sesajen), akan tetapi upacara ritual dilakukan melalui berdoa bersama
meminta perlindungan oleh sang pencipta. Waaupun unsur rasional sudah masuk dalam
komunitas, namun teap tidak merubah karakteristik nelayan patorani yang terfokus pada
penangkapan telur ikan torani yang dijalaninya saat ini. Dan bahkan nelayan patorani yang
bermukim di kabupaten Takalar sudah mulai di kenal sebagai nelayan yang lebih terfokus
untuk menangkap telur ikan torani di bandingkan dengan induk ikan torani.
penangkapan yang berorientasi pada peningkatan hasil tangkapan (produksi), maka dalam
era tahun 1970-an komunitas nelayan patorani mulai mengalami pergeseran dari teknologi
yang sederhana (tradisional) semakin di tinggalkan dan beralih pada penerapan teknologi
modern. Selain itu, perubahan alat tangkap pun ikut dalam salah satu perubahan tersebut,
karena sasaran utama penangkapan selama melaut bukan lagi induk ikan terbang tetapi
nelayan patorani beralih pada penangkapan telurnya sebagai komoditi yang berorientasi
pada pasar.
(kapitalis), dalam struktur kepatoranian pun antara papalele, pinggawa dan sawi terjadi
www.hendratmoko.com 28
pergeseran pula. Kemudian secara struktur pula terbentuk sistem pembagian hasil yang
cenderung mengarah eksploitatif yang berdsarkan pada status sosial yang dimilikinya.
Diberlakukannya bagi hasil yang dirasakan tidak seimbang maka seringkali pula munculnya
konflik tersembunyi dalam hubungan pinggawa-sawi. Menurut informan Tahere Daeng Bella
(60 tahun) bahwa antara pinggawa dan sawi sering terjadi konflik tersembunyi di akibatkan
papalele mengambil dari hasil tangkapan lebih banyak bagiannya, bila dibandingkan dengan
pinggawa dan sawi, yakni papalele mengambil bagian 25 persen sebelum hasil dibagi.
Setelah hasil di bagi, maka untuk bagian sawi di pegang oleh pinggawa, dan kemudian
pinggawa membagikan ke sawi. Dari sinilah biasa memunculkan pertanyaan bagi sawi
apabila bagi hasil sedikit yang diperoleh, padahal hasil tangkapan yang diperoleh jumlahnya
banyak. Hal itu terjadinya, sejak pergeseran sasaran penangkapan induk ikan ke telur ikan
torani, karena adanya desakan dari pemilik modal (papalele) mengejar keuntungan yang
mengalami suatu pergeseran ke arah mengejar hasil baik papalele maupun pinggawa, dan
Nilai komersial komoditi telur ikan terbang (ikan torani), nampaknya mendorong
peningkatan usaha pada komunitas nelayan patorani, dan orang-orang yang terlibat di
dalamnya diantaranya papalele dan eksportir. Pada era awal tahun 1970-an hingga 1990-an
terdapat kurang lebih 1.000 buah armada perahu patorani dan semuanya hanya
mengandalkan layar (sombala), namun pada era awal tahun 1990-an hingga 2000-an
diperkirakan jumlah armada nelayan patorani berkisar antara 1500 hingga 2000-an buah dan
memiliki mesin. Perkembangan nelayan patorani sangat pesat, karena ditopang dengan
usaha pemerintah untuk meningkatkan dan menggalakkan ekspor komoditi non migas. Sejak
pemerintah pada era orde baru memasuki rancangan pembangunan pada Pelita kelima,
www.hendratmoko.com 29
sasarannya adalah pembangunan sektor perikanan yang diarahkan pada peningkatan
pendapatan nelayan dan peningkatan produksi komoditi ekspor. Terkait sasaran itu, maka
salah satu usaha pemerintah untuk menunjang tujuan pembangunan kesejahteraan nelayan
adalah melalui program kearah perubahan perahu sebagai alat tangkap nelayan yang
Spesis atau jenis ikan yang menjadi sasaran penangkapan bagi komunitas nelayan
patorani yang berdomisili di Galesong Utara dan Galesong Selatan Kabupaten Takalar
dikenal sebagai nelayan khusus ikan torani (ikan terbang). Dalam era tahun 1940-an hingga
akhir 1960-an lebih dominasi pada penangkapan induk ikan torani namun pada era tahun
1970-an mulai bergeser pada penangkapan ke telur ikan torani. Jenis ikan tersebut dalam
bahasa Makassar disebut juku’ tuing-tuing (ikan tuing-tuing) dalam bahasa Bugis di sebut
tawarani adalah jenis ikan yang terdapat dihampir semua perairan tropik dan subtropik.
Menurut Nontji (1993: 212) Perairan Indonesia terdapat 18 jenis spesies ikan terbang (ikan
torani), kebanyakan dari marga (genius) cypsilurus. Biasanya perikanan ikan torani lebih
berkembang di perairan yang mempunyai kadar garam (salinitas) yang lebih tinggi seperti di
diawali pemasangan pakkaja yang dilakukan oleh pinggawa. kemudian selanjutnya dibantu
oleh para sawi dengan menunggu perintah atau petunjuk tertentu dari pinggawa. Kemudian
semua pakkaja yang di bawa dihanyutkan ke air, diikat dengan tali secara bergandengan
antara satu dengan yang lainnya. Perluya syarat (sarak) untuk memulai penangkapan
tahun) bahwa berkenaan dengan upaya menghindari bahaya-bahaya atau malapetaka yang
www.hendratmoko.com 30
akan timbul sebagai akibat dari pekerjaan ini, maka pemasangan pertama alat pakkaja harus
dilakukan oleh pinggawa. Hal demikian dilakukan, karena pada awal pemasangan ada
semacam mantera-mantera (ilmu untuk berinteraksi dengan alam) yang sengaja diucapakan
oleh pinggawa sebagai ritual. Makna ritual tersebut, sebenarnya berisi tentang permintaan
Selanjutnya, setelah semua pakkaja yang dipasang telah hanyut terbawa arus ke
arah barat. Maka pinggawa dan para sawi bersama-sama mengawasi posisi perahu sambil
menyanyikan lagu-lagu dalam syair bahasa Makassar yang berisikan tentang makna-makna
yang mengandung bahasa yang porno-porno. Bagi pinggawa dan para sawi, telah
menganggap bahwa dengan mendendangkan lagu-lagu porno akan mengundang induk ikan
terbang berdatangan ke alat pakkaja yang dipasang untuk memijah. Syair (lagu) yang
dinyanyikan tersebut, merupakan suatu strategi yang harus mereka lakukan dalam sistem
penangkapan telur ikan torani. Di saat mereka telah melihat ada induk ikan terbang yang
mulai mendekat di sekitar alat pakkaja, maka semua awak perahu harus diam sejenak dan
yang diawali dengan tafakkur. Ungkapan mantra-mantra termaksud adalah merupakan bait
Setelah mereka sudah merasa bahwa seluruh pakkaja yang dipasang berisi telur ikan
torani, maka pakkaja di tarik kembali kemudian diangkat naik keperahu, selanjutnya
dipetik keseluruhan telur yang melekat di pakkaja. Setelah hasil sudah selesai dipetik
berlayar menuju ke tempat yang diperkirakan lebih banyak induk ikan torani yang mau
www.hendratmoko.com 31
bertelur. Biasanya keputusan berada di tangan pinggawa, namun pinggawa tetap juga
Selain wilayah itu, Hutomo, (1985: 18) bahwa ikan torani juga terdapat dibeberapa
negara seperti di Flipina, taiwan, Carolina, Tahiti, dan Hawaii. Berdasarkan persebaran
spesies ikan torani di beberapa daerah dan negara tersebut, terdapat pula nelayan yang
komunitas nelayan yang khusus menangkap telur ikan torani, diantaranya Sulawesi Utara,
Kasus 1
Pelebaran Wilayah Jangakuan Pelayaran
Dg lallo (58) tahun adalah seorang papalele, sejak usia 28 tahun beliau sudah
dipercayakan menjadi pinggawa. Dulunya hanya seorang sawi, dan sebagai nelayan
patorani ditekuninya sejak usia 19 tahun. Ia menikah di usia 19 tahun, dan untuk
menutupi kebutuhan hidup keluarganya, maka beliau ikut dengan kerabatnya menjadi
sawi nelayan patorani.
Sejak menjadi sawi nelayan patorani masih menangkap induk ikan torani, dan hanya
melakukan operasional di wilayah penangkapan selat Makassar meliputi kabupaten
Gowa, Takalar, Jeneponto hingga ke pulau Selayar. Sejak tahun 1979-an beliau menjadi
pinggawa perahu patorani. Waktu itu beliau masih tetap memngkap induk ikan terbang,
namun sejak tahun 1985 beliau beralih ke penangkapan induk ikan torani. Sejak
menangkap induk ikan torani masih mengandalkan lokasi penangkapan di areal kaluk-
kalukuang yang berada di sekitar pulau di selat Makassar. Namun pada tahun 2000-an
beliau melakukan pelebaran penangkapan hingga ke Fak-fak Papua (pulau Irian Jaya).
Hingga sekarang setiap musim pattoranian Dg Lallo tetap melakukan penangkapan ke
wilayah Fakfak. Akibat pelebaran wilayah penangkapan itu, maka jumlah modal yang
dibutuhkan pula antara 21 juta hingga mencapai Rp 25 juta sebagai modal awal
operasional.
www.hendratmoko.com 32
Dari kasus informan tersebut di atas, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan
yaitu: pertama ternyata orientasi penangkapan pada telur ikan, menyebabkan terjadinya
penambahan modal pelayaran bagi komunitas nelayan patorani; kedua permintaan modal
Dari kasus yang ditampilkan di atas (kasus 1) memperlihatkan bahwa penangkapan telur
torani dilakukan di zona penangkapan yakni di perairan Selat Makassar, yakni disekitar
pulau Bankaulung di kepulauan Masalima. Bila lokasi itu tidak ditemukan induk ikan
Masalembo atau Kepulauan Kangean, bahkan sering sampai pesisir Pulau Bali. Wilayah
penangkapan semakin diperlebar sejak tahun 1990-an hingga tahun 2000-an. Aktivitas
pelebaran areal wilayah penangkapan telur ikan torani ini dilakukan, terkait adanya
permintaan pasar yang selalu menuntut kuota dan mengejar kualitas. sehingga
pelayaran dan areal lokasi penangkapan pun dilakukan hingga ke pulau Irian Jaya.
Terjadinya pelebaran areal penangkapan tersebut, maka salah satu hal diperhatikan
oleh nelayan patorani adalah membutuhkan adanya inovasi alat penangkapan serta alat
pendukung lainnya yakni perahu yang memiliki mesin yang berkapasitas tinggi. Menurut
informan pinggawa, bahwa dahulu sebelum menggunakan tenaga mesin mereka hanya
mampu bertahan di laut atau daerah penangkapan selama kurang lebih dua minggu dan
jangkauan pelayaran hanya di lakukan sekitar selat Makassar. Dengan adanya mesin, mereka
tahan berada di daerah penangkapan/pengumpulan telur ikan selama satu atau dua bulan
dan tidak pulang ke rumah dan bahkan kampung halamannya selama antara bulan Maret
hingga akhir September. Apabila mereka kekurangan bahan makanan atau bahan bakar,
www.hendratmoko.com 33
maka mereka pergi kepulau-pulau terdekat untuk membeli atau menukar hasil
Setiap ke lokasi areal penangkapan, papalele menyediakan dana awal sebagai modal
daerah penagkapan kaluk-kalukung selat Makassar hanya mengeluarkan dana sekitar Rp. 10
juta, sedangkan kalau sampai ke pualu Irian Jaya, maka papalele mengeluarkan modal awal
sebanyak Rp. 25 juta. Lama perjalanan ke lokasi penangkapan. Menurut informan pinggawa
Abd. Karim kebetulan beliau hanya melakukan areal penangkapan di wilayah kalukkalukuang
maka hanya meminta dana pada papalelenya sebanyak Rp 8 juta sampai Rp10 juta rupiah.
Tetapi lain halnya pula dengan seorang pinggawa Daeng Asis melakukan penangkapan
hingga ke wilayah irian Jaya. Beliau meminta pada papalelenya hanya sekitar Rp 20-an juta.
Adanya variasi dana itu, karena berkaitan dengan pengeluaran baik bahan makanan pokok
hingga pada penggunaan bahan bakar mesin berupa solar. Menurut pinggawa Daeng Asis,
bahwa kewilayah Fakfak bisa menghabiskan bahan bakar antara 1.500 hingga 2.000 liter
penangkapan. Peralatan yang dibutuhkan diantaranya, seperti perahu, alat tangkap (balla-
balla). Kesemua peralatan tersebut sebelum pemberangkatan terlebih dahulu diperiksa oleh
pinggawa dan sawi. Kesiapan lainnya pula adalah bahan makanan selama dalam melakukan
operasional dan bahan bakar minyak untuk mesin perahu dan kompor minyak tanah.
Pemberangkatan nelayan patorani yang berdomisili di Galesong Selatan dan Galesong Utara
www.hendratmoko.com 34
pada saat musim timur (musim kemarau). Nelayan patorani melakukan pemberangkatan
pada malam hari dengan perkiraan dapat tiba pagi hari pada lokasi yang ingin dituju. Namun
dalam kondisi sekarang, untuk jadwal pemberangkatan tidak selamanya pada malam hari.
penangkapan dan pola penangkapan memiliki cara untuk memancing induk-induk ikan
terbang berdatangan dan terjaring masuk dalam alat tangkap (pakkaja). Strategi tersebut
dilakukan dengan menghambur-hamburkan telur ikan yang sempat diperoleh dengan secara
tidak sengaja di taburkan ke air laut. Namun setelah terjadinya pergeseran penangkapan ke
arah telur ikan maka, strategi tersebut sudah tidak dilakukan lagi. Artinya kebiasaan
memancing ikan dengan menggunakan telur ikan akan tetapi sekarang cenderung dedak
halus yang menyerupai juga telur ikan torani, baik warna maupun halusnya. Cara yang
dilakukan juga melalui menaburkan ke air laut di sekitar alat penangkapan (pakkaja)
dipasang.
Selanjutnya wawancara informan seorang sawi Baharuddin (57 th), bahwa hal
tersebut dilakukan penaburan telur ikan torani ketika penangkapan terfokus khusus pada
penangkapan induk ikan torani. Telur ikan belum menjadi prioritas untuk di tangkap,
sehingga apabila nelayan patorani mendapatkan telur ikan torani, maka telur ikan yang
memudahkan melakukan penangkapan. Akan tetapi, setelah para nelayan patorani telah
mengetahui tentang nilai ekonomi telur ikan jauh lebih tinggi dari harga induknya, maka
sasaran nelayan patorani lebih cenderung beralih dan lebih mengutamakan pengumpulan
telurnya.
Secara realitas bahwa, sejak penangkapan terfokus khusus pada induk ikan torani,
www.hendratmoko.com 35
Bantaeng, kabupaten Bulukumba, dan kabupaten Selayar. Wilayah jangkauan tersebut,
secara geografis masuk dalam wilayah selat Makassar dan nelayan patorani hanya
mengutamakan penangkapan pada induk ikan terbang. Sedangkan perahu yang digunakan
adalah perahu layar dengan jumlah anggota sawi sebanyak 5-8 orang. Namun sejak
pergeseran penangkapan induk ikan ke telur ikan torani, maka lokasi penangkapan dilakukan
Selain lokasi itu, sejak akhir tahun 1990-an nelayan patorani sudah ada yang
melakukan penangkapan sampai ke Irian Jaya (Papua). Pelebaran lokasi penangkapan itu,
terkait karena sudah berorintasi pada spesifik penangkapan telur ikan torani. Perahu torani
yang digunakan tidak lagi mengandalkan layar seperti ketika masih menangkap induk ikan
torani, tetapi dalam melakukan penangkapan khusus telur ikan torani, sudah beralih ke
perahu mengandalkan mesin (perahu motor) dengan jumlah anggota sawi sebanyak 4-5
orang dan dipimpin satu orang pinggawa. Umumnya patorani menggunakan alat tangkap
pakkaja. Alat tangkap (pakkaja) tersebut, dipasang dengan cara meletakkan di permukaan
Nelayan patorani sejak keberadaannya, yakni abad ke-17 sebagai nelayan tradisonal
yang hanya menangkap khusus induk ikan torani. Di dalam melakukan penangkapan induk
ikan torani (ikan terbang) pada masa itu, nelayan patorani hanya menangkap untuk
berlangsung dengan waktu yang cukup relatif lama. Tenggang waktu antara abad ke-17
www.hendratmoko.com 36
hingga pertengahan abad ke-20. Hal itu terjadi, karena pada masa abad ke-17 nelayan
patorani belum mengenal pasar sebagai wadah untuk menjual hasil tangkapannya.
Menangkap induk ikan torani sejak abad ke-17 hingga pertengahan abad ke-20,
lebih banyak melakukan penangkapan di wilayah sekitar Selat Makassar. Secara realitas
bahwa dekade itu, nelayan patorani menganggap lokasi tersebut dianggap strategis untuk
melakukan penangkapan induk ikan torani. Selain hal itu pula, dapat memenuhi permintaan
pasar. Dalam dekade itu, penangkapan pun dilakukan dalam waktu relatif singkat yakni
antara 5 hingga 7 hari. Daya dukung teknologi pun hanya mengandalkan tenaga manusia
dan bantuan arah angin. Melakukan penangkapan dalam waktu relatif singkat tersebut,
karena nelayan patorani menangkap induk ikan torani belum berorientasi pada
komersialisasi produksi dan tekanan pasar pun belum begitu ketat. Dengan kondisi tersebut,
maka apabila hasil tangkapan berlebihan, maka nelayan patorani pun memberikan sebagian
Dalam dekade awal abad ke 20-an, nelayan patorani sudah mulai mengenal pasar.
Komoditi induk ikan torani sudah menjadi andalan dan semakin dibutuhkan dengan kuota
yang lebih banyak. Ketersediaan pasar tersebut, memberikan peluang bagi nelayan patorani
untuk menjual hasil tangkapannya dan menjadikan induk ikan torani sebagai komoditi di
pasaran. Permintaan pasar hanya menerima induk ikan torani dalam bentuk sudah
dikeringkan, dan bahkan hasil tangkapan tersebut dipasarkan bukan hanya dalam lokal
Kabupaten Takalar, akan tetapi sudah dipasarkan secara luas khsusnya di Makassar dan
pemasaran tingkat lokal. Ketersediaan pasar dalam lokal Takalar hingga Makassar sudah
terpenuhi, maka hasil tangkapan yang diperoleh tentu masih membutuhkan pasar yang lebih
luas. Untuk memenuhi keinginannya tersebut, maka nelayan patorani pun secara bertahap
www.hendratmoko.com 37
melakukan hubungan dagang melalui pemasaran hingga ke beberapa daerah di Pulau Jawa
Perahu komunitas nelayan patorani, pada masa lalu memiliki karakter dan ciri khas
tersendiri yakni bentuknya bulat, dan dikenal sebagai biseang bula’. Perahu model tersebut,
digunakan sejak awal keberadaannya yakni pada abad ke-17 hingga pertengahan tahun
1990-an. Nelayan patorani pada awalnya sebagai nelayan tradisional dengan hanya
mengandalkan musim dan arah angin, serta jenis tangkapan hanya di fokuskan pada induk
ikan terbang. Kemudian bergeser ke nelayan modern (bertenaga mesin). Akibat perubahan
bentuk perahu bulat menjadi kapal (perahu berbentuk kapal besar), maka secara otomatis
juga mengakibatkan perubahan (modifikasi) mulai dari bentuk lambung perahu beserta
keseluruhan perahu patorani hingga dalam bentuk kapal. Artinya bahwa perubahan tersebut
mulai dari bentuk perahu hingga kapasitas mesinnya. Hal itu dilakukan untuk menciptakan
keseimbangan. Bukan hanya itu, tetapi perubahan tersebut pula mengakibatkan adanya
penambahan tenaga kerja (sawi). Kebutuhan sawi dulunya hanya antara 3-4 orang sawi, dan
Pergeseran bentuk perahu bagi komunitas nelayan patorani mulai terjadi sejak era
akhir tahun 1969 atau awal tahun 1970-an. Perahu nelayan patorani lebih besar ukuran
perahunya dibandingkan dengan jenis perahu sebelumnya dan dimodifikasi dalam bentuk
kapal pengangkut barang. Apabila dibandingkan dengan bentuk perahu lainnya yang
beroperasi di Galesong, maka bentuk perahu nelayan patorani jauh lebih sempurna.
Demikian pula dengan kapasitas mesin yang di gunakan memiliki kapasitas lebih besar yakni
antara 140-150pk.
terutama dari segi pertambahan populasinya. Terkait hal itu, menurut data potensi
www.hendratmoko.com 38
kecamatan dari tahun 2004 hingga tahun 2006 di kecamatan Galesong Utara terdapat 800
buah perahu dan Galesong Selatan terdapat 1.200 buah perahu. Secara akumulatif maka
nelayan patorani tercatat di dua kecamatan tersebut berjumlah 2000 buah perahu. Perahu
yang tercatat tersebut adalah khusus nelayan penangkap telur ikan torani.
pada prinsipnya tidak dapat dilepaskan dengan karakteristik geografis dan potensi yang
dimiliki wilayah Galesong Selatan dan Galesong Utara dari populasi nelayan patorani.
disimpulkan bahwa karakteristik yang dimilikinya sebagai komunitas nelayan yang berciri
khas khusus menangkap induk ikan pada masa lalu dan sekarang sudah beralih ke
penangkapan telur ikan torani karena tuntutan pasar yang lebih menjanjikan.
Peralihan karakteristk tersebut, bukan hanya pada nelayan patorani akan tetapi
komunitas nelayan lainnya pun yang berdiam di Galesong mulai berubah karakter. Nelayan
dengan alat pukat/jala palanrak dan nelayan parengge hingga sekarang dikalangan
masyarakat Galesong tidak begitu banyak diminati lagi dan lebih cenderung beralih menjadi
nelayan patorani. Peralihan aktivitas kenelayanan tersebut, terjadi sejak tahun 1960-an dan
puncaknya pada tahun 1970-an. Menurut informan yang dulunya sebagai nelayan palanrak
mengatakan bahwa hal itu terjadi, karena terkait dengan penghasilan yang diperoleh.
Penghasilan sebagai nelayan palanrak lebih kecil bila dibandingkan dengan penghasilan
nelayan patorani. Nelayan patorani lebih menjanjikan walaupun aktivitas berlayar dilakukan
hanya sekali dalam setahun, tetapi penghasilan yang diperoleh jauh lebih nyata. Kemudian
dari segi pekerjaannya pun relatif lebih santai dibandingkan aktivitas nelayan lainnya.
Realitas itulah sehingga populasi perahu dan nelayan patorani secara kuantitas semakin
www.hendratmoko.com 39
tahun semakin bertambah, dan dibarengi pula dengan bertambahnya jumlah pinggawa
patorani yang otomatis merekrut sawi antara 4-5 orang sehingga populasi sawi pada
maka terjadi pula pergeseran pada sistem penggunaan teknologi, dari teknologi
dengan pergeseran tersebut, maka perubahan sistem dan pola penangkapan serta struktur
kenelayanan pattoranian pun ikut bergeser. Pergeseran sistem dan pola penangkapan
terkait dengan area dan wilayah penangkapan semakin diperluas jangkauannya. Pada
struktur menuntut perubahan kapasitas perahu, termasuk jumlah awak perahu disesuaikan
Nelayan patorani sejak lahir pada abad ke 17 hingga awal abad ke 20-an masih
mengandalkan layar (sombala) sebagai alat untuk mengantarkan lajunya perahu patorani
teknologi alat penangkapan sederhana (pakkaja). Namun pada paruh abad ke-20 yakni
tahun 1969, nelayan patorani semakin mengalami perkembangan dari segi penggunaan
teknologi sehingga tidak mampu lagi menutupi biaya operasionalnya. Karena itu, nelayan
Komunitas nelayan patorani dihampir segala segmen telah terjadi pergeseran secara besar-
besaran baik dari unsur teknologi penangkapan hingga pada perilaku individu yang
tuntutan kapitalis melakukan investasi tidak terbendung lagi dan berbarengan harga telur
ikan semakin membaik. Pada era akhir tahun 1960-an berangsur-angsur telah terjadi
perubahan dari segi modifikasi alat penangkapan dari induk ikan torani ke penangkapan
www.hendratmoko.com 40
Secara perhitungan musim, dalam setahun nelayan patorani mengenal musim
penangkapan yakni antara bulan April hingga September. Pada musim ini nelayan patorani
menyebutnya musim pattoranian. Musim pattoranian di mulai ketika musim angin Timur
berhembus, artinya pergantian musim penghujan ke musim kemarau sudah masuk. Di luar
mencari tambahan penghasilan sebagai sampingan seperti disewakan dalam bentuk carter
terhadap pedagang antar pulau untuk mengantar pedagang perabotan rumah tangga dan
kayu bangunan. Perdagangan tersebut hingga menjangkau Kota Makassar dan Kabupaten
Selain kegiatan tersebut, adapun kegiatan lainnya yang dilakukan sendiri oleh
nelayan patorani yakni memancing ikan tertentu, secara ekonomis memiliki nilai tinggi
dipasaran, seperti ikan hiu untuk diambil ekornya, ikan sunu dan sebagainya. kegiatan ini,
bagi nelayan patorani hanya dilakukan di saat mempunyai waktu yang senggang dan perahu
belum memasuki tahapan renovasi. Sebagian besar nelayan patorani memiliki kebiasaan
menjelang musim pattoranian yakni antara bulan November hingga bulan Maret merupakan
penangkapan.
Pada prinsipnya pada abad ke-17 hingga sekarang ini disepanjang pantai kabupaten
perahu penangkapan dengan berbagai jenis dan alat tangkap yang berbeda-beda pula. Mulai
dari yang sangat sederhana (tradisional) sampai pada nelayan yang paling modern baik yang
beranggotakan minimal 1 orang dan maksimal 8 orang. Banyaknya anggota kelompok sangat
ditentukan oleh jenis perahu dan jenis tangkapan serta penerapan teknologi penangkapan
www.hendratmoko.com 41
yang digunakan. Setiap kelompok penangkapan, dalam tradisi nelayan makassar dalam
pengoperasiannya dipimpin oleh seorang pinggawa laut (juragan). Tradisi ini merupakan
suatu kebiasaan sejak masa lalu terhadap nelayan, bahwa setiap pelayaran di bawah
pimpinan oleh pinggawa. Kelompok nelayan yang beranggotakan 2-3 orang, biasanya
sebagai kelompok yang paling terendah disebut sebagai pekerja/buruh (sawi). Keberadaan
sawi biasanya pinggawa merekrut dari anak atau sanak keluarga pinggawa itu sendiri.
Kelompok nelayan yang beranggotakan lebih dari 3 orang pun, biasanya anggota
kelompoknya juga direkrut dari kerabat keluarga, dan bila tidak mencukupi baru direkrut
dari luar keluarga atau dari daerah lain. Pertimbangan perekrutan pekerja (sawi)
sepenuhnya ditangan pinggawa dan papalele. Hal ini dilakukan oleh kelompok pemilik modal
personil perahu, dikalangan kepapalelean kerap kali masih merupakan faktor utama,
khususnya dalam pengangkatan pinggawa laut (Juragan). Kalaupun pinggawa lautnya bukan
anggota kerabat papalele, namun setidaknya ada seorang sawi dari anggota kerabat
keluarga pinggawa darat (papalele) ataupun minimal ada anggota sawi yang sudah akrab
secara turun temurun. menurut informan papalele Dg Siraju dalam wawancara bahwa
kehadiran kerabat atau orang yang sudah dipercaya dalam pelayaran maka unsur
yang dilakukan oleh anggota perahu lainnya. Kejadian yang sering terjadi dalam pelayaran
diantaranya adalah penyelewengan hasil tangkapan dengan menjual ke pembeli yang lain
www.hendratmoko.com 42
Seiring tampilnya telur ikan torani sebagai komoditi ekspor dan permintaan pasar
yang menggeser induk ikan torani sebagai komoditi tangkapan nelayan patorani sejak era
keberadaanya hingga pertengahan abad ke-20. Terjadinya pergeseran itu, maka menjadi
bagian kegembiraan tersendiri bagi komunitas nelayan patorani, yakni dapat meningkatkan
penghasilannya. Penghasilan yang diperoleh bila dibandingkan dengan harga induk ikan
torani sekitar awal tahun 1990-an hanya dihargai antara Rp. 1000-Rp 1500 perkilo gram.
Sehingga era tahun 1970-an ketika negara Jepang sebagai negara pengekspor dan pemilik
pasar yang pertama memasuki daerah Galesong, secara otomatis perlahan-lahan nelayan
patorani mengubahr pola tangkapannya. Namun di sisi lain, membawa pula dampak yang
kurang menguntungkan bagi segelintir nelayan patorani. Hal itu, terkait karakteristik nelayan
patorani itu sendiri, mengubah kebiasaan penangkapan dari induk ikan torani yang sudah
pengetahuan dan kepercayaan ikut pula mengalami pergeseran. Pergeseran itu, secara
sistem yang baru ke arah peningkatan produksi dan berorientasi pada kehidupan sosial
kapitalisme menjadi salah satu pola sasaran pula. Indikator yang lain pula antara lain
kuantitas nelayan patorani tradisional semakin menurun dan beralih ke nelayan modern.
Fenomena itu, terjadi sejak tahun 1970-an nelayan patorani tradisional hanya
bertahan di tiga desa yakni Galesong Baru, Palaklakkang, dan Bontosunggu. Setelah awal
tahun 1970-an komunitas nelayan patorani modern terdapat pada hampir seluruh desa
pantai di Galesong. Sementara itu, penerapan pengetahuan kenelayanan dan upacara ritual
kepatoranian secara umum mulai merosot pelaksanaannya. Dalam kondisi demikian nelayan
www.hendratmoko.com 43
nelayan patorani belum menggunakan teknologi modern. Namun penggunaan teknologi
Perubahan alat tangkap (karena sasaran utama bukan lagi induk ikan torani tetapi
telurnya menjadi komoditas) mulai menjadi hal yang difokuskan oleh pemilik modal
munculnya konflik tersembunyi dalam hubungan pinggawa-sawi. Hal itu terjadi, karena
adanya kecenderungan ketidakterbukaan dari segi hasil yang diperoleh dan penetapan harga
antara pinggawa dan papalele terhadap sawi. Pada posisi demikian papalele mengejar
pengitungan hasil, tetapi kecenderungan yang berhubungan adalah antara pinggawa dan
papalele. Ketidak terlibatan sawi merupakan dampak negatif yang secara langsung atau
kemunduran dan beralih ke nelayan patorani modern yang mengarah pada persaingan
mengancam kebiasaan nelayan patorani terutama dari segi hubungan sosial kekerabatan
dan budaya. Kemunduran budaya tersebut, dapat disaksikan terkait dengan tradisi
kebaharin secara turun temurun yang pada gilirannya dapat menimbulkan terjadinya krisis
budaya. Krisis budaya yang dimaksudkan adalah terkait ritual (accaru-caru) sudah bukan lagi
hal yang sakral. Walaupun pergeseran itu terjadi, namun sebagian nelayan terutama orang
yang dituakan masih tetap mempertahankan ritual tersebut, agar budaya bahari nelayan
patorani sebagai salah satu wadah mata pencaharian masyarakat Galesong Utara dan
Galesong selaan dapat tetap bertahan. Upacara accaru-caru nelayan patorani hingga
sekarang tetap menjalankan dan melaksanakan, walupun tidak sesakral dulu, namun
www.hendratmoko.com 44
pelaksanaan ritual tetap dilaksanakan sebagai bagian budaya kebaharian dengan
nelayan patorani, walaupun terjadi pergeseran fokus penangkapan, namun tradisi dan ciri
khas sebagai nelayan patorani tetap menjadi simbol dengan hanya menangkap induk ikan
Terkait pergeseran itu, diakibatkan oleh tuntutan pasar, maka secara bersamaan
pula terjadi benturan antara kelompok nelayan yang menggunakan teknologi modern
sederhana. Realitas itu terjadi pada era awal tahun 1990-an. Kemudian pada era
pertengahan tahun 1990-an nelayan patorani sudah mulai menggalakkan teknologi yang
mendukung penangkapan khusus pada telur ikan torani. Realitas pergeseran pada
komunitas nelayan patorani melalui penangkapan telur ikan torani hingga dekade sekarang
ini, menjadi andalan penyumbang pada investasi kabupaten Takalar. Setiap tahun populasi
perahu nelayan patorani bertambah hingga sekarang berdasarkan data tahun 2004 hingga
2006 tercatat berkisar 2.000 buah perahu. Kesemua komunitas nelayan tersebut melakukan
4.1.4.1 Pengetahuan Pola Penangkapan Dari Induk Ikan Ke Penangkapan Telur Ikan
Akibat Tekanan Pasar.
Sejak awal keberadaan nelayan patorani yang diperkirakan sekitar abad ke-17
hingga pertengahan abad ke-20, keadaan teknologi alat pelayaran dan penangkapan yang
digunakan oleh nelayan patorani, masih sangat tergantung pada sumber daya manusia
(human resource) dan sumberdaya yang sifatnya alami (natural resource) dalam suatu
sistem pattoranian. Penggunaan energi melalui tenaga manusia dan energi angin pada era
ini mendominasi pada sistem pelayaran dan penangkapan dengan menfokuskan hanya pada
www.hendratmoko.com 45
induk ikan terbang. Perahu yang digunakan adalah jenis perahu layar yang dikenal dengan
sebutan biseang bulat, jenis perahu ini, berbentuk bulat dengan menyerupai bentuk telur
ayam.
Perahu patorani biseang patorani dari segi bentuk fisik mempunyai ukuran panjang
8-10 m, lebar 2,5-3.5 meter tinggi 1.5-2 m, dan untuk mendukung pelayaran maka biseang
patorani dilengkapi dengan alat antara lain: (1) Sombala (layar) dua buah dari kain karoro
atau balacung yang terpasang di bagian depan dan belakang. Layar dibagian depan
berukuran panjang 11 m, sedang layar pada posisi pada bagian belakang berfungsi sebagai
tenaga penggerak perahu; (2) Tiang layar, terdiri atas 2 batang, masing-masing panjang 12
dan 9 m dan terbuat dari bambu besar (bulo pattung) berdiameter 25 cm. Alat ini berfungsi
sebagai tiang pengikat dan penahan bentangan layar bila berkembang tertiup angin; (3)
Bangkeng salara (kaki tiang layar) sebagai penangkal tiang layar agar dapat terpancang
kokoh dan tiang tidak goyah bila diterpa oleh angin dan ombak; (4) Guling (kemudi) terbuat
dari kayu jati dan tahan air berfungsi sebagai kendali arah perahu. Kemudian ini ada dua
terpasang di sebelah kiri kanan buritan perahu; (5) Gayong (kompas) terbuat dari kayu
sebagai alat bantu informasi arah pelayaran, jumlah 4 buah; (6) Balla-balla (balai-balai)
terbuat nari kayu dan bambu dilengkapi atap nipa, serta berfungsi sebagai tempat tidur atau
istirahat; (7) Onjok-onjokang, terbuat dari bambu dan berfungsi sebagai tumpuan kaki
apabila akan memasang lnyar; (8) Epe-epe, bambu potongan panjang 40 cm, dipergunakan
sebagai pelampung pakkaja, alat ini berjumlah sebanyak 30 buah; (9) kayu sambeta, atau
juga disebut punaga berfungsi sebagai alat bantu dalam menciptakan keseimbangan perahu
dan memperkecil terjadinya olengan (berat sebelah) perahu akibat gempuran obmbak keras;
(10) Tokong, digunakan sebagai alat pendorong perahu, terbuat dari bambu berdiameter
10cm. dengan panjang 4 m. Alat ini digunakan apabila perahu rnemasuki perairan yang
dangkal di mana layar telah dirurunkan; (11) Jangkar, sebagai alat penambat saat perahu
www.hendratmoko.com 46
dihentikan,terutama saat perahu berlabuh; (12) Lampu, alat penerangan di malam hari,
sekaligus berguna sebagai signal pelayaran. Lampu ini memakai bahan bakar minyak tanah.
Komponen-komponen perahu ini dibuat sesuai dengan bentuk dan model yang di
inginkan dan dipasang sendiri oleh pinggawa biseang dan dibantu oleh sawi. Komponen-
komponen tersebut lebih cenderun menggunakan bahan baku lokal. Perahu yang digunakan
oleh nelayan patorani di Galesong lebih banyak didatangan dari luar daerah Galesong dalam
bentuk belum rampung, namun hanya lambung perahu saja. Sebagain besar nelayan
patorani membeli perahu dari Tanah Beru (Kabupaten Bulukumba Sulawesi Selatan).
Kabupaten Bulukumba dikenal sebagai daerah pembuat perahu sehingga daerah tersebut
diberi julukan daerah pembuat perahu panrita lopi. Perahu yang dibeli di daerah Bulukumba,
biasanya masih dalam keadaan setengah jadi atau hanya badan perahu saja. Penyelesaian
keinginan dan kebutuhan pemilik perahu. Sebelum berlayar menangkap induk ikan terbang,
mempertahankan standar pola umum, misalnya ukuran perahu, jumlah guling, layar dan
lainnya, yang sudah tertentu kuantitas dan kualitasnya. Pekerjaan untuk menyempurnakan
perahu tersebut, dilakukan dengan bertumpu pada pengetahuan kelompok, baik pemilik
prahu dan pinggawa. Hal itu dilakukan, untuk mengutamakan kesamaan pandangan dalam
dalam kelompok yang akan menggunkan perahu tersebut. Untuk mencapai suatu
kesepakatan terlebih dahulu melakukan diskusi baik dari segi bentuk, bahan-bahan hingga
bahan dan rejeki. Pandangan nelayan patorani bahwa mengunakan bahan lokal diharapkan
www.hendratmoko.com 47
dimudahkan untuk dipertemukan rejeki (assiboyai). Dengan prinsip assiboyai, masyarakat
patorani mempercayai bahwa bahan lokal yang digunakan diibaratkan berasal dari rumpun
keluarga sendiri. Sehingga dengan mudah dapat saling menyesuaikan dan saling
cara-cara menutup dan mendempul lobang-lobang bocor yang terdapat di lambung perahu.
Nelayan patoran menggunakan pallepa terbuat dari bahan lokal diantaranya adalah kulit
kayu pohon orang lokal menyebutnya pohon baru, kapur dan minyak kelapa. Bahan-bahan
ini, juga mudah diperoleh, karena tersedia dan sengaja ditanam disekitar pinggir sungai.
Ketika kegiatan pallepa ini dibuat beramai-ramai sambil bergembira mereka menyanyikan
beberapa bait :
Perahu yang sudah direnovasi dan dianggap layak untuk berlayar kemudian langkah
selanjutnya dilengkapi dengan satu unit alat-tangkap pakkaja yaitu bubu hanyut.
Mengoperasikan pakkaja dengan cara dihanyutkan di permukaan laut dan dibiarkan hanyut
dikategorikan sebagai alat tangkap yang sesuai dengan fungsinya sebagai alat yang dipasang
sebagai penangkap induk ikan, sehingga alat ini digolongkan sebagai alat perangkap (trap).
Kegunaan alat perangkap ini dikhususkan pada induk ikan terbang yang akan memijah. Pada
mulut pakkaja dipasang daun kelapa berfungsi untuk menarik perhatian induk ikan torani
meletakkan telurnya.
www.hendratmoko.com 48
Pakkaja dibuat dalam bentuk selinder, bahan pakkaja teridri dari bilah-bilah bambu
dengan ukuran yang bervariasi dalam 2 pola ukuran yaitu ada yang menggunakan pakkaja
dengan ukuran panjang 57 Cm, dan diameter 47 cm; ada juga yang berukuran panjang 80 cm
dan 40 cm. Pakkaja terdiri dari beberapa bagian, yaitu: aro (funnel), daun kelapa. daun
pisang atau rumput laut yang diikatkan pada aro, pelampung (tomba), tempat pegangan
kadangkang, tali nilon berfungsi sebagai tali penghubung antara perahu dengan pakkaja
otere pabbeso (drift line), serta diujung belakang di beri penutup pakjempang berfungsi
masing-masing awak perahu, baik pinggawa maupun sawi. Dalam pelayaran pinggawa
sebagai pemimpin selalu memberikan peringatan tentang kesiapan perahu. Sementara alat
penangkapan pakkaja juga sudah lengkap, maka segera perahu berlayar ke areal sekitar
waktu antara 3-5 hari. Daerah lokasi penagkapan itu oleh komunitas nelayan patorani
perdana ini, bukan berarti bahwa semua nelayan patorani harus berangkat dalam hari yang
sama, akan tetapi sekedar hanya seremonial pertanda bahwa hari baik ke lokasi
kepatoranian itu, dijadikan pula wadah untuk menentukan bulan tertentu dan atau sekedar
masuk.
Menentukan wilayah atau lokasi ketika nelayan patorani masih fokus pada
penangkapan induk ikan torani dipilih dan ditrntukan oleh seorang pinggawa yang memiliki
www.hendratmoko.com 49
siku ke dalam air laut. Dengan cara seperti ini pinggawa dapat mengetahui kondisi air yang
terdapat di dalamnya dan juga mengetahui bahwa gerombolan induk ikan torani sudah
dekat atau sudah sampai dilokasi penangkapan. Salah satu indikasi yang dijadikan petunjuk
adalah suhu (rasa hangat) air. Pengukuran suhu air ini semata-mata berdasarkan daya rasa,
dimana pinggawa sendiri mengetahui tingkat dan kondisi air. Indikasi tersebut, sesuai
dengan tradisi penangkapan dan diyakini secara turun temurun sebagai pertanda adanya
induk ikan terbang (ikan torani). Kemudian tanda-tanda lainnya adalah terdapat disekeliling
Pengalaman dan pengetahuan demikian itu, masih ada hingga sekarang walaupun
sudah beralih jenis penangkapannya dari induk ikan terbang ke telur ikan torani.
penangkapan induk ikan terbang pada dekade abad ke-17 hingga pertengahan abad ke-20.
induk ikan torani yang akan bertelur, yang berupa banyaknya induk ikan yang beterbangan
Nelayan patorani mampu membaca tanda kebiasaan induk ikan torani dengan
situasi memperhatikan sekelilingnya. Kepekaan itu menunjukkan bahwa ikan torani tiba
waktunya untuk memijah dan akan masuk dalam pakkaja. Menurut informan pinggawa P Dg
Jallo (56 tahun) bahwa untuk mengetahui kondisi itu, dilihat dari perbedaan ketinggian
jangkauan terbangnya. Ikan torani yang akan memijah jangkauan terbangnya sangat rendah
dibandingkan dengan ikan torani yang masih muda (belum memasuki waktu untuk bertelur).
Ada pula tanda lain untuk mengenalinya yakni datangnya gorombolan torani ke sekitar lokasi
penangkapan. Namun dari berbagai cara tersebut, yang lebih efektif diamati adalah melalui
www.hendratmoko.com 50
alat penciuman. Nelayan patorani dapat membedakan dengan jelas antara bau ikan terbang
Dari cara tersebut, tapak bahwa nelayan patorani sudah melekat pengetahuannya
dan bersahabat dengan lingkungan melalui kepekaan terhadap lautan. Pengetahuan dan
akan nilai-nilai dan tata aturan kepatoranian. Komunitas nelayan patorani sejak dahulu,
ketika masih menangkap induk ikan torani hingga pada sekarang penangkapan telur ikan
dijadikan alat untuk pengambilan keputusan terutama dalam menentukan lokasi pe-
pula oleh seorang sawi yang memiliki keahlian dalam melihat tanda-tanda alam. Penentuan
yang menurut pinggawa Daeng Laja (63 tahun) bahwa pengetahuan sebelum memulai
penangkapan antara lain memperhatikan arah haluan perahu. Jika angin bertiup dari timur,
maka haluan perahu harus diarahkan ke utara dan pakkaja diturunkan dari sisi sebelah kiri;
hal itu dilakukan untuk mencegah jangan sampai pakkaja masuk di bawah lambung perahu.
Pakkaja diturunkan secara pelan dengan teratur, dan tidak semuanya atau seminimal
mungkin menghindari supaya tidak terjadi benturan antara pakkaja dan lambung perahu.
Untuk menghubungkan lambung perahu dengan pakkaja maka dibutuhkan tali utama, yakni
www.hendratmoko.com 51
Selama pakkaja dioperasikan, jangkar tidak diturunkan agar pakkaja dan perahu
hanyut bersama-sama mengikuti arus dan gelombong. Keadaan ini dibiarkan sampai
pinggawa merasakan bahwa pakkaja telah berisi induk ikan torani yang akan memijah,
sehingga produksi telur pun dapat meningkat. Hal ini diketahui dengan bertambah
kencangnya tali utama yang diakibatkan oleh banyakanya induk ikan torani memijah di
dalam pakkaja. Setelah induk ikan torani dianggap selesai memijah, maka dilakukan
pengangkatan pakkaja dengan cara mendayung perahu ke dekat pakkaja sambil menarik
Langkah selanjutnya pakkaja diangkat ke atas perahu dari arah lambung kiri perahu.
Jika hasil tangkapan yang diperoleh cukup banyak, maka daerah operasi penangkapan tetap
dilakukan pada daerah sekitar penangkapan sebelumnya. Tetapi bilamana induk ikan torani
yang akan melakukan pemijahan untuk bertelur dianggap jumlahnya sedikit terjaring masuk
lokasi yang dianggap cukup banyak induk ikan torani yang akan memijah. Dengan demikian,
dari satu wilayah ke wilayah penangkapan lainnya yang dianggap mampu menghasilkan
Realitas dari fenomena terjadinya pergeseran pola penangkapan dari induk ikan ke
penangkapan telur ikan, secara otomatis terjadi pula pergeseran tentang pengetahuan
adalah untuk beradaptasi dari yang berisikan tentang strategi kepatoranian yang dulunya
menangkap induk ikan torani bergeser kepada penangkapan telur ikan torani. Selain hal itu,
www.hendratmoko.com 52
nelayan patorani pula melakukan pergeseran pola penangkapan yang diakibatkan oleh
adanya tekanan pasar yang lebih mengedepankan telur ikan torani sebagai komoditas pasar
secara internasional.
4.1.4.2 Orientasi Penangkapan Dari Induk Ikan Ke Telur Ikan Torani Kaitan dengan
Komersialisasi Produksi dan Hubungan Pasar
Salah satu ciri khas nelayan patorani adalah menangkap ikan terbang (juku torani).
Secara historis penangkapan ikan terbang, melalui cerita rakyat Galesong, diawali dengan
sebuah perjalanan prajurit Karaeng Galesong dari Pulau Jawa pulang ke Makassar. Karena
mereka telah kehabisan alat-alat perang maka dalam perjalanan pulang ke negerinya,
serangan dari pasukan Belanda yang telah lama berada di Makassar mengawasi pelaksanaan
perjanjian Bongaya. Ditengah perjalanan itu prajurit tidak sengaja menangkap ikan, dan
kebetulan ikan yang ditangkap adalah jenis ikan terbang (juku tuing-tuing), yang terdapat di
sebagian besar permukaan laut Selat Makassar. Sejak ditangkapnya ikan terbang oleh
prajurit Karaeng Galesong itu, maka Karaeng Galesong memberi gelar, yakni ikan pemberani
(juku tubarani), dan kemudian kata itu memperoleh penghalusan kata menjadi ikan torani.
kemudian dijadikan dasar dalam memulai kontak perdagangan antara pelaut Makassar
dengan beberapa kapitalis keturunan Tionghoa dari Jawa Timur. Rintisan perdagangan ini
dinilai menguntungkan, yang pada tahun 1940-an komintas nelayan patorani semakin
berkembang populasinya. Pada waktu itu nelayan patorani belum mengejar pangsa pasar,
namun hanya menangkap induk ikan torani untuk kebutuhan keluarganya, dan di jual bila
www.hendratmoko.com 53
dianggap ada kelebihan dari hasil tangkapan itu.
Sejak awal tahun 1960-an hampir seluruh hasil tangkapan ikan itu dikonsumsi,
karena nelayan patorani menangkap untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Kalaupun ada
kelebihan ikan biasanya dikeringkan kemudian di jual, dan pasarnya hanya terbatas pada
pasar domestik sekitar Takalar. Ketika memasuki tahun 1970-an, terbentuklah suatu
jalinan komnitas nelayan dengan pihak yang berada di luar Takalar. Pada kondisi itu, pasar
tidak meminta lagi induk ikan sebagai komoditi tetapi meminta telur ikan torani. Melalui
mekanisme pasar tersebut, maka nelayan patorani dalam melakukan penangkapan pun lebih
terfokus pada telur ikan torani. Permintaan pasar semakin tahun semakin meningkat dan
kelompok-kelompok yang terlibat diantaranya papalele. Akibat tekanan pasar yang kuat
tersebut, akhirnya nelayan patorani lebih terbuka pula untuk bersaing mengejar hasil yang
maksimal.
Seiring dengan itu, akumulasi kapital menjadi faktor penting dalam upaya
perhitungan dilakukan melalui pembagian hasil dengan dalih mengembalikan modal awalnya
terlebih dahulu kemudian dilakukan pembagian hasil secara menyeluruh. Secara eksploitatif,
bahwa pinggawa dituntut untuk memperoleh hasil yang maksimal guna mengembalikan
modal dalam bentuk uang nominal (secara kontan) akan tetapi biasanya dalam bentuk
www.hendratmoko.com 54
barang kebutuhan selama nelayan patorani beroperasi melakukan penangkapan telur ikan.
Bentuk barang yang diberikan berupa bahan makanan beserta lauknya, bahan bakar minyak
tanah dan solar. Alasan papalele memberikan modal dalam bentuk barang tersebut, adalah
supaya merasa aman persediaan kebutuhannya selama melaut. Alasan itu juga banyak
benarnya, karena biasanya nelayan patorani tidak mampu menyimpan dana yang sudah
penangkapannya, yakni dari induk ikan torani ke telur ikan torani. Sejak pergeseran
penangkapan, maka kebutuhan akan anggaran semakin membengkak dari tahun ke tahun.
Selama tahun 2000-an nelayan patorani terbagi atas dua wilayah lokasi penangkapan yakni
lokasi Kaluk-Kalukuang dan ada yang menangkap sampai ke Fakfak, Papua Barat. Di dua
lokasi wilayah penangkapan ini dilakukan sepanjang masa sejak era awal tahun 1970-an
hingga sekarang, karena informan berpendapat bahwa telur ikan torani jauh lebih baik
kualitasnya dan juga penghasilan lebih banyak yang diperoleh dibandingkan jika hanya
modal pun populasinya semakin meningkat setelah papalele yang semula berperan sebagai
perantara meningkat menjadi pemilik modal. Peningkatan status papalele itu dimungkinkan
oleh perannya sebagai perantara antara pemilik pasar (eksportir) dengan nelayan pekerja
(pinggawa). Kehadiran papalele sebagai pemilik modal dan perantara untuk menjual hasil
tangkapan telur ikan torani, maka papalele tentu berkeinginan memperoleh keuntungan
Kasus 2
Pergeseran Pola Penangkapan kaitan komersialisasi produksi
www.hendratmoko.com 55
Terjadinya pergeseran pola penangkapan dari induk ikan torani ke telur ikan torani
yakni berawal dari kapitalisme yang telah mengglobal hingga ke perahu-perahu nelayan.
Kehadirannya diperkirakan bermula pada awal abad ke 20, yakni sejak dimulainya
komersialisasi hasil tangkapan nelayan pada masyarakat setempat. Pergeseran terjadi
ketika investor (kapitalis) sudah mulai masuk dilingkungan nelayan patorani. Walaupun
komersialisasi sudah bermula sejak nelayan patorani melakukan kontak dagang dengan
pedagang induk ikan terbang dan jenis ikan lainnya dalam bentuk ikan asin atau ikan
kering. Dalam situasi ini, peran kapitalisme dalam menentukan penangkapan pada
nelayan patorani, secara spsifik sangat dipengaruhi tuntutan produkstivitas hasil yang
diperoleh.
pergeseran pola penangkapan berawal dari pemilik modal yang sudah memasuki aktivitas
nelayan patorani dengan menitipkan modalnya pada investor lokal (papalele), realitas itu,
penangkapan telur ikan torani; kedua, peningkatan produksi dan adaptasi penerapan
teknologi pada komunitas nelayan patorani lebih cenderung di tentukan oleh pemilik modal
dalam melakukan aktivitas penangkapannya. Namun sebetulnya menyadari bahwa dari segi
penghasilan antara pemilik modal (investor) dengan nelayan itu sendiri masih mengalami
ketimpangan.
Dari kasus diatas pula dapat memberikan informasi bahwa tampilnya komoditas
www.hendratmoko.com 56
telur ikan torani sebagai andalan hasil perikanan di Sulawesi Selatan membawa pengaruh
positif, terutama peningkatan devisa dan juga peningkatan pendapatan nelayan patorani di
tangkap yakni motorisasi perahu. Realitas itu, membuktikan bahwa nelayan patorani
peningkatan produksi dan produktivitas, serta efesiensi yang bermuara pada peningkatan
pendapatan. Namun di sisi lain, pengembangan komoditas ekspor telur ikan torani,
membawa dampak negatif bagi komunitas nelayan patorani, yakni terancamnya nelayan
Berubahnya sasaran utama penangkapan dari induk ikan torani ke telur ikan torani,
maka secara otomatis hampir sistem yang sudah terbentuk sejak lama antara awal tahun
1940-an hingga akhir tahun 1960-an mengalami perubahan. Kejadian itu, antara lain nelayan
patorani sudah mulai berorientasi pada ketepatan waktu, sehingga layar sebagai pemacu
perahu digantikan dengan mesin berkapasitas tinggi hingga 140 pk, dan bahkan mesin yang
digunakan di gandakan menjadi dua buah mesin untuk keseimbangan lajunya perahu.
Kemudian ilmu pengetahuan pula ikut berubah dari pengetahuan tradisional ke arah
komunitas nelayan patorani di Galesong Selatan dan Galesong Utara terutama dari segi
komunitas yang mengarah pada komersialisasi produksi dan keinginan investasi dari luar
komunitas nelayan patorani. Investor tersebut adalah negara-negara sasaran eksportir, yang
negara tersebut mendominasi permintaan pasar. Pergeseran ini semakin kuat dengan
www.hendratmoko.com 57
masuknya kekuatan lokal yang berorientasi pada aturan main eksportir, merekrut hasil yang
Ketimpangan sosial yang terjadi pada masyarakat nelayan patorani di Galesong itu,
sesungguhnya merupakan kepentingan dan kebiasaan masa lalu, yang diwariskan dari para
pedagang China kepada pedagang lokal (Papalele). Warisan budaya itu adalah berupa
konsep “ikatan kontraktual”, yakni suatu bentuk perjanjian kerjasama berbetuk bagi hasil
pemilik modal untuk selanjutnya dijual ke pasar. Pada posisi ini, nelayan patorani (pinggawa)
tidak diberikan kesempatan ikut didalam menentukan harga di pasaran, tetapi yang terjadi
kontrak yang tidak tertulis dan berlaku di seluruh komunitas nelayan Sulawesi Selatan.
Persoalan sesungguhnya adalah bukan pada proposisi bagi hasil tetapi cenderung pada cara
bagi hasil. Begitu pula pada penyerahan hasil tangkapan, adalah bukan pada penyerahannya,
tetapi pada penentuan harga yang kerapkali ditentukan secara sepihak. Hal itu, tampak
semakin tidak rasional pembagiannya ketika nelayan patorani beralih pada penangkapan
dari induk ikan ke telur ikan torani. Di segmen ini, pinggawa dikejar dengan kuota
permintaan pasar melalui tekanan papalele, dan disis lain tekanan beban pengembalian
cenderung pada komersialisasi produksi yang dapat dilihat dengan semakin ketatnya
persaingan yang lebih fokus pada penangkapan telur ikan torani. Dibandingkan pada era
tahun 1940-an hingga akhir tahun 1960-an, nelayan patorani hanya menangkap di daerah
laut selat Makassar. Pada era akhir tahun 1990-an hingga tahun 2000-an nelayan patorani
sudah menambah area lokasi penangkapannya melewati Laut Buru hingga ke Papua.
www.hendratmoko.com 58
Menurut informan bahwa dorongan motivasi ini dilakukan untuk menambah hasil
Sejak terjadinya pergeseran penangkapan dari induk ikan torani ke telur ikan torani
maka secara otomatis pula, tradisi normatif sudah mulai bergeser dintaranya kebiasaan
tergantikan dengan sistem kalkulasi yang lebih modern. Adopsi teknologi mengarah pada
sistem penangkapan telur ikan torani memasuki segmen pasar ekspor. Tahap penangkapan
telur ikan torani, merupakan suatu puncak kemajuan nelayan patorani untuk mengarah
Aktivitas nelayan patorani, sejak mula keberadaannya sebagai komunitas nelayan pun
terutama pemilik modal atau pemilik perahu tetap dominan untuk menjunjung tinggi
nilai-nilai hubungan kekerabatan. Setiap ada papalele atau pemilik perahu yang ingin
mencari tenaga untuk menjalankan perahu. Papalele atau pemilik modal dan perahu
terlebih dahulu mencari dan merekrut keluarga dari pihak ayahnya dan ibunya.
Umumnya pinggawa laut atau pemimpin perahu yang digunakan oleh pappalele adalah
dari pihak keluarga dekatnya. Begitu pula penggunaan sawi-sawi dalam suatu kelompok.
Bilamana tidak ada dari keluarga atau kerabat dekatnya, maka ia mencari sawi yang
dilingkungan sekitarnya juga tidak didapatkan, maka papalele atau pinggawa besar
dibantu oleh juragan atau pinggawa kecil/perahu mencari atau mendatangkan tenaga
www.hendratmoko.com 59
Kecenderungan seorang papalele untuk memilih sawi, lebih mengedepankan nilai-nilai
implementasi internalisasi pada prinsip siri’ na pacce” (belas kasihan). Prinsip tersebut
dipandang sebagai alat kontrol dalam perilaku ekonomi nelayan patorani, baik antar
individu dalam suatu kelompok, maupun antar satu kelompok dengan kelompok
patorani lainnya. Semakin dekat tali kekerabatan atau keluarga dari mereka yang
digunakan sebagai tenaga dalam pelayaran, maka lebih muda terbentuk saling
kepercayaan dalam berusaha. Selain hal itu, pada tingkat pengawasan para papalele
terhadap pinggawa dan sawi memudahkan memperoleh informasi atas kendala yang
mengurangi pula terjadinya saling kecurangan dan saling menjaga hubungan nilai-nilai
kekerabatan dengan baik dan penghasilan pun dapat dibagi dengan merata
Selain sistem nilai-nilai kekerabatan menjadi prioritas, maka nelayan patorani pula
memegang teguh kegiatan upacara dalam setiap memasuki musim, antara musim timur
atau musim penangkapan telur ikan torani. Apabila kegiatan ritual tidak dilakukan maka
sangat dipandang tidak menghargai sumber mata pencaharian leluhurnya. Kegiatan itu
merupakan usaha untuk dapat berinteraksi dengan mahluk gaib agar tercipta
keseimbangan alam. Nelayan patorani meyakini bahwa setiap alam pasti ada
penghuninya, dan interaksi dapat terlaksana terhadap alam gaib melalui wadah upacara.
alam gaib yang berada disekelilingnya dapat memberi ijin kepadanya untuk melakukan
penangkapan telur ikan terbang. Nelayan patorani berpendapat pula bahwa situasi
lautan penuh dengan misteri yang tidak diketahui kapan bersahabat dan kapan
keluarganya.
www.hendratmoko.com 60
Bagi nelayan patorani, ikan terbang itu dipandang memiliki karakter yang khas dan
mempunyai berbagai keajaiban yang tidak dimiliki oleh jenis ikan lainnya. Terkait hal itu
informan pinggawa Tahere Daeng Bella (60 th) mengatakan bahwa ikan terbang adalah
ikan yang senang dengan ucapan-ucapan yang berkonteks porno. Keajaiban yang
jumlah yang sangat besar, namun secara tiba-tiba dan seketika pula dapat menghilang
dari permukaan. Karena itu, nelayan patorani dalam melakukan penangkapan memiliki
menangkap ikan dengan memasang lanra (pukat) dan pancing maka dengan sendirinya
ikan datang, sedangkan untuk menangkap ikan torani dan mengumpulkan telurnya
membutuhkan ritual, karena lokasinya sudah tahu. Menangkap ikan torani, mencermati
kondisi alam atau musim. Ketergantungan terhadap keadaan musim itulah, nelayan
patorani konsentrasi sepenuhnya pada kekuatan dan strategi tertentu. Strategi yang
dilakukan adalah upacara (ritus) yang lengkap mulai dari persiapan pemberangkatan
hingga sampai berada di lautan. Kegiatan upacara mulai dari memilih dan menentukan
batang pohon atau bambu yang akan digunakan sebagai alat perahu, sampai kembali
dari Pulau Sanrobengi (suatu pulau yang dijadikan lokasi berlabuh sebelum melakukan
perjalanan). Setelah perahu sampai dilokasi Pulau Sanrobengi, maka keseluruh awak
pemberangkatan dilaksanakan pada tempat dan waktu tertentu yang dianggap hari baik
(allo baji). Kondisi itu, menunjukkan bahwa komunitas nelayan patorani tetap
memegang teguh pranata sosial dan prinsip keseimbangan hidup antara hubungan
www.hendratmoko.com 61
adalah bagian dari sistem kehidupannya yang patut di pelihara. Prosesi upacara,
Tidak semua nelayan patorani di daerah Galesong Selatan dan Galesong Utara
melakukan prosesi upacara secara lengkap seperti apa yang biasa dilakukan oleh para
pertambahan penduduk. Selain itu, kenaikan harga telur ikan torani mendorong dan
dilakukan untuk meningkatkan produksi telur ikan torani yang berorientasi pada
komersialisasi produksi.
Para pengusaha pribumi dan non pribumi yang bertempat tinggal di Makassar dan
Takalar, berlomba-lomba merekrut papalele dalam memberi modal kerja. Ada juga
membeli telur ikan hasil tangkapan nelayan patorani dengan harga yang memadai. Pada
mulanya pengusaha tersebut, hanya menawarkan untuk sekedar membeli hasil produksi
dengan beberapa nelayan patorani, maka secara perlahan hubungan itu beralih pada
seorang papalele, dan sepakat menjadi pelanggan. Setelah kesepakatan kerjasama itu
terjadi maka hubungan mereka semakin erat, kemudian muncul lagi kesepakatan antara
Umumnya pengusaha yang memberikan modal kerja kepada papalele adalah berasal
dari kalangan non pribumi (pungusaha Cina, Taiwan dan Jepang). Kelompok eksportir itu
www.hendratmoko.com 62
modal tersebut pada pinggawa sebagai modal awal pelayaran. Sedangkan Pinggawa
pinggawa pula mempunyai kewajiban untuk berbagi pada sawi. Modal awal
melaksanakan operasi pengumpulan telur ikan terbang. Setelah pingawa kembali melaut
maka seluruh hasil yang diperoleh disepakati untuk dikumpulkan dan dijual kepada
Realitas itu, membuktikan bahwa hubungan kontrak dalam pembelian hasil tangkapan
antara papalele dengan pengusaha sebagai pemberi modal kerja semakin erat. Hal itu, di
tunjukkan pada saat semua telur ikan yang dihasilkan oleh nelayan patorani, selalu
berada dibawah kendali papalele. Melalui kontrak tersebut, secara otomatis pengaturan
pemasarannya pun tergantung pada eksportir dan papalele yang bersentuhan langsung
dengan pinggawa. Sebelum hasil dipasarkan sudah ada harga yang disepakati eksportir
dengan papalele, dan harga itu biasanya berbeda dengan harga yang disampaikan oleh
papalele kepada pingawa. Menurut informan pinggawa bahwa papalele memberi harga
Dalam penentuan harga pasaran, pinggawa tidak pernah dilibatkan, yang sepenuhnya
dilakukan secara sepihak dan tidak melibatkan pinggawa dalam pemutusan harga.
Padahal struktur pattoranian bahwa pinggawa dan papalele merupakan dua bagian
dalam satu sistem yang tak dapat dipisahkan. Artinya bahwa ada pranata dan nilai-nilai
www.hendratmoko.com 63
Terlepas dari kehidupan kepapalelean yang mengejar keuntungan tersebut, hubungan
sosial dalam komunitas nelayan patorani, masih memegang teguh nilai-nilai sosial, yang
menempati posisi lebih tinggi dari nilai ekonomi. Pinggawa Sonda Daeng Tinggi (59
tahun) menyatakan bahwa, nilai sosial yang terpelihara sejak dulu harus dipertahankan
dengan baik, yang menjadi modal utama dalam bekerjasama. Hubungan yang bertahan
adalah prinsip hidup bersama dan saling menutupi kekurangan siri’ na pacce’. Prinsip
tersebut adalah bagian dari nilai-nilai dan pranata sosial yang terakumulasi dalam sistem
sosial pada komunitas nelayan patorani. Pada tingkat kepekaan antara pinggawa dan
sawi yang merasakan suka dan duka dalam kehidupan selama melakukan operasi di
lautan. Nilai ekonomi, bergantung pada beruntung tidaknya perjuangan yang dilakukan
kelompok (tim) selama berada di laut. Demikian pula antara papalele dengan pinggawa,
dalam pemberian modal, apabila pinggawa belum dapat mengembalikan pada musim
berikutnya.
Prinsip senasib dan sepenanggungan (siri’ na pacce’) masih merupakan patokan dasar
tingkah laku dalam masyarakat nelayan patorani di daerah Galesong Utara dan Galesong
Selatan. Informan sawi, Bahtiar (45 tahun) menyatakan bahwa seorang sawi yang
akan diberikan sangsi. Pelanggaran itu, misalnya sawi tersebut sering melakukan
lainnya. Sebaliknya, bila ada anggota sawi yang melaporkan kepada papalele tentang
penjualan sebahagian hasil produksi secara diam-diam oleh kelompoknya, maka sawi
tersebut akan terkucilkan dan tidak akan dipercaya lagi sebagai anggota kelompok pada
musim berikutnya.
kekerabatan merupakan bahagian dari sistem sosial dalam masyarakat nelayan patorani.
www.hendratmoko.com 64
Implementasi tersebut dijabarkan dalam prinsip senasib dan sepenanggungan (siri’ na
pacce’). Makna dalam prinsip tersebut, memberi arti kebersamaan, kekeluargaan, dan
kesatuan yang harus dijunjung tinggi dalam menanggung rasa suka dan duka yang
dialami oleh kelompok nelayan patorani. Dalam kebersamaan, kekelargaan, dan rasa
kesatuan dalam interaksi sosial nelayan patorani, diharapkan ada keterpaduan secara
mengharapkan agar hubungan kerja mereka dapat berlangsung lama, dalam arti bukan
hanya satu musim saja. Diharapkan dapat berlangsung secara terus menerus pada setiap
musim penangkapan telur ikan terbang antara bulan Maret hingga September.
Sejak beberapa abad lamanya, antara abad ke-17 hingga sekrang nelayan patorani
komunitas nelayan patorani. Daerah ini pula, sebagai kiblat buadaya yang mengatur
tatanan komunitas nelayan patorani secara turun temurun pada khususnya masyarakat
yang bermukim di Galesong. Adat dan budaya serta cikal bakal kepatoranian berawal di
daerah Palaklakkang. Selain sebagai pemukiman nelayan patorani, di lokasi ini pula
terletak Balla’ Lompoa (rumah tempat tinggal raja-raja dan keturunannya) di rumah ini
tersimpan Gaukanga (pranata sosial). Lebih dari itu Gaukanga merupakan simbol
kesamaan pandangan, aturan dan perilaku dalam kelompok pada berbagai aspek
kesamaan pandangan hidup masyaakat setempat, lebih khusus pada nelayan patorani.
Hal itu, tercermin antara lain dalam sistem usaha penangkapan, pemasaran dan bagi
hasil dahulu diatur oleh gaukanga. Dalam pola hubungan kerja pinggawa-sawi pun
diatur. Pola yang di anut dalam masyarakat yang mengacu pada gaukanga adalah
www.hendratmoko.com 65
maupun hubungan kekeluargaan sebagai bentuk penghargaan terhadap sesama
manusia.
Gaukanga, sebuah sistem yang mengatur tatanan komunitas lokal hingga pada aktivitas
ekonomi mengacu pada sistem kekeluargaan. Dengan kata lain, aktivitas ekonomi itu
terkait langsung pada sistem sosial dan pranata budaya setempat yaitu budaya saling
mengasihi. Komunitas lokal terdiri dari papalele, pinggawa biseang (pemimpin perahu),
dan sawi yang saling berinteraksi, bekerjasama dalam mengelolah sumberdaya laut.
individu dan kelompok. Dalam hal ini, yang menonjol adalah apresiasi yang tinggi
adat istiadat, serta kesatuan pandangan kepada Gaukanga. Kesatuan pandangan itulah,
menjadi kekuatan untuk peningkatan ekonomi komunitas yang tahan dari berbagai
masalah karena keadaan musim yang tidak menguntungkan, atau bencana alam yang
bisa muncul secara tiba-tiba. Pranata gaukanga inilah yang mencegah semena-mena
terbang telah menggeser pada kesamaan pandangan, aturan dan perilaku. Aktivitas
ekonomi mulai bergeser keluar dari pola budaya lokal, dan mencari bentuknya sendiri.
konflik yang sama sekali sebelumnya pernah terjadi. Konflik yang sering terjadi antara
www.hendratmoko.com 66
papalele dengan pinggawa sebenarnya jarang sekali tampak dipermukaan, akan tetapi
lebih merupakan balas dendam. Terjadinya konflik internal (balas dendam) tersebut,
terkait adanya kesepakatan bahwa pada musim berikutnya seorang pinggawa tidak
Dalam sistem pemasaran hasil produksi, secara realitas terdapat pula pranata yang
kerap muncul melalui dua sistem usaha dilingkungan penangkapan dan pemasaran telur
ikan terbang. Pranata tersebut yakni papalele dengan eksportir, papalele memberikan
harga telur ikan torani pada pinggawa dengan harganya sendiri. Walaupun berpatokan
pada harga eksportir, tetapi tidak maksimal sebagaimana harga yang ditentukan oleh
pasar atau eksportir dari papalele ke pinggawa. Kemudian eksportir pula memberikan
harga papalele dengan permintaan harga yang berbeda antara eksportir yang satu
diantaranya adalah sawi. Padahal untuk mencapai hal tersebut, idealnya harus konsisten
dengan sistem dan aturan yang telah terpola, agar posisi dalam pembagian hasil
bahwa pranata hubungan sosial kekerabatan dan kebersamaan tersebut, kini beralih ke
hubungan komersialisasi produksi yang pada muaranya hanya mengejar keuntungan dan
www.hendratmoko.com 67
4.1.5.1 Pergeseran Makna Ritual Tentang Kepatoranian
Berlayar dan menangkap telur ikan torani, maka nelayan patorani mengandalkan
laut, disamping itu pula didukung oleh teknologi yang digunakan. Mereka menilai alat
sebanding dengan tantangan alam yang harus dihadapi. Karena itu setiap nelayan patorani
berkewajiban memiliki erang sebagai kekuatan pengimbang. Kekuatan yang dimiliki oleh
nelayan patorani, bukan ilmu yang akan merusak lingkungan laut, akan tetapi hanya sekedar
bahwa erang passimombalang dapat melunakkan karang yang kokoh melembutkan angin
bathin itu, biasanya dilakukan apabila pengetahuan lahir tidak bisa lagi menyelesaikan
persoalan yang dihadapi. Namun apabila, keadaan pelayaran dalam kondisi yang normal,
maka pengetahuan lahir lebih cenderung digunakan melalui mobilisasi tenaga sawi lebih
Sejak nelayan patorani menggunaan mesin sebagai tenaga penggerak perahu, dan
erang pakboyaboyang sebagai tradisi kebaharian, tidak lagi menjadi pola umum patorani.
Dengan demikian, dewasa ini, dalam kelompok pinggawa dan sawi, telah ditemukan tiga
kategori pinggawa. Pertama, pinggawa yang memiliki erang, dan menerapkan sepenuhnya
erang tersebut; Kedua, pinggawa yang pernah memiliki, tapi sudah tidak digunakan lagi;
www.hendratmoko.com 68
Pengtahuan erang yang dimaksudkan disini, adalah merupakan bekal kepercayaan
yang dapat memberikan kekuatan secara spontanitas bila mendapatkan kesulitan dalam
perjalanan pelayaran. Informan pinggawa H Daeng Tawang (62 tahun) bahwa seorang
passimombalang dan erang pakboyaboyang ketika melaut. Akan tetapi dalam era sekarang
ini, beliau banyak mendapatkan seorang pinggawa yang tidak memperdulikan lagi kedua
erang tersebut. Dan bahkan Seorang pinggawa menilai bahwa erang sudah tidak menjadi
terkait banyaknya pinggawa patorani tidak memiliki erang tetapi juga mendapatkan hasil.
Sadar atau tidak mereka sebenarnya sudah banyak pula melanggar sarak, kondisi tersebut
dapat dimaklumi bahwa mereka adalah generasi baru yang lahir antara tahun 40-60-an.
cuma caranya sudah bervariasi, dan kebanyakan pinggawa hanya sekedar melaksanakannya.
Pelaksanaan accaru-caru ini hanya sekedar simbol saja, sebagai pertanda bahwa akan
berangkat melakukan penangkapan telur ikan torani. Tidak ada sangkut paut dengan
pemaksaan untuk memperoleh rejeki, apalagi dkonotasikan dengan ritual memanggil roh,
karena disadari bahwa menentukan dalam usaha mengumpul telur ikan terbang adalah
faktor rejeki, namun kekuatan erang perlu karena itu juga sebagai doa untuk mendapatkan
Kasus 3
Daeng Laja (63 tahun) seorang pinggawa, beliau menjadi pinggawa sudah 32 tahun.
Beliau meyakini bahwa memiliki erang terutama pinggawa patorani itu sangat
penting, karena erang merupakan wadah untuk berinteraksi dengan penjaga lautan.
Namun erang yang dimiliki harus diterapkan secara utuh dan konsisten; harus
diyakini sepenuhnya, dengan mengikuti semua sarak dan menghindari kasipalli.
Dalam sebuah perahu, semua awak, tanpa kecuali harus percaya terhadap
www.hendratmoko.com 69
pembuktian efek erang itu. Tidak boleh ada sebagian di antaranya yang ragu.
Kenyataan yang dihadapi oleh pinggawa yang masih mempercayai dan memiliki
erang, dewasa ini adalah karena sebagian sawi tidak peduli lagi dengan sarak dan
kasipalli, maka menurut kepercayaan bahwa akan berdampak pada erang tidak bisa
berfungsi lagi.
Erang memiliki kekuatan tersendiri bagi nelayan patorani, sebagai keyakinan yang
memperkuat pertahanan terhadap bencana yang akan dihadapinya. Erang sendiri
berisi tentang ilmu penegtahuan tentang kepatoranian dan ilmu tentang
pelayaran.erang sebenarnya tidak berkaitan dengan ilmu gaib dan magik, akan
tetapi lebih cenderung kegunaannya pada penerapan ilmu pengetahuan
kepatoranian dan kepercayaan akan kemampuan bathin untuk mampu
berkomunikasi dengan alam sekitarnya.
Berdasarkan kasus di atas, dapat digambarkan bahwa pertama, makna erang, yang
diyakini nelayan patorani merupakan suatu hal yang tidak terlepas dengan keadaan
untuk memelihara keharmonisan akan hubungan dengan alam, kegaiban dan relegius;
dialog antara manusia dengan alam sekitar. Kegaiban dapat dipandang sebagai usaha
gaib berupa mantra-mantra. Sedangkan religius dapat dipandang sebagai usaha manusia
memanfaatkan alam dengan menundukkan dan menyerahkan kepada yang gaib; ketiga
bahwa perpaduan antara agama (religius) dan kepercayaan akan hal-hal gaib sangat tipis
Gambaran dari makna pengetahuan (erang) di atas, tercakup sebagai bagian dalam
sistem pengetahuan setempat (pribumi) yang secara lokal disebut sistem pengetahuan
pengetahuan alam sekitar, yang artinya bahwa manusia perlu memahami alam
www.hendratmoko.com 70
menunjuk pada pengetahuan yang bertalian dengan sistem penangkapan dilaut. Terkait
dengan pengalaman dan kebiasaan untuk menerapkan dan memelihara dua jenis erang.
Erang yang dimaksud disini, merupakan suatu konsep yang dapat memandu dalam
melaksanakan penangkapan yang teridiri atas pertama erang pissimombalang; dan kedua
tentang erang passimombalang yakni tentang: musim, iklim dan arus, tata cara serta
dua kondisi lingkungan, masing-masing yakni lingkungan lahir dan lingkungan bathin.
Lingkungan lahir mencakup pengalaman empiris dalam interaksi antara nelayan patorani
dengan kelompok dan dengan alam sekitarnya. Sedang lingkungan bathin mengandung
bentuk magis. Pemeliharaan kedua pengalaman ini dilaksanakan dalam bentuk ritual.
pelayaran ini menyatu ke dalam erang passimombalang dan erang pakboyaboyang untuk
diterapkan sebagai bekal di lapangan. Akan tetapi, proses pemilikannya melalui pendekatan
yang berbeda, tergantung asal muassal gurunya dan peruntukan yang di inginkan terhadap
(1) Pengalaman dan pengetahuan diterima secara tertutup dan personal, langsung dari
www.hendratmoko.com 71
seorang guru yang disebut gurunta atau panrita kepada seorang murid; 2) Guru
mengajarkan pengalaman dan pengetahuan itu secara doktriner atau dogmatis, dan murid
menerimanya tanpa riset; (3) Proses belajar mengajar dilakukan dengan menggunakan me-
dia ritus; (4) Sasaran pengajaran adalah pembinaan bathin, yaitu: pengembangan kepekaan
hati dan perasaan; (5) Efektivitas pengalaman dan pengetahuan ini tergantung pada
diperlukan, serta pamali atau pantangan yang harus dihindari; (6) Kuantitas pengalaman dan
pengetahuan ini tetan, namun kualitasnya dapat meningkat atau sebaliknya memudar atau
ambaraki, tergantung pada tingkat keyakinan dan pemeliharaannva; (7) Pengalaman dan
dengan identifikasi sebagai berikut :(1) Pengalaman dan pengetahuan lahir diperoleh dari
sendiri maupun lingkungan alam; (2) Pengetahuan ini jumlahnva tak terbatas, tergantung
besar kecilnya pengalaman dan intensitas interaksi tersebut di atas; (3) Pengetahuan ini
dikembangkan tanpa ritus, diterima dengan ratio atau logika, dipastikan berdasarkan
ekologis; (4) Pengalaman dan pengetahuan lahir dapat diajarkan dimana saja, ba.ik secara
Pengetahuan bathin terdiri dari dua komponen utama, yaitu mantra-mantra baca
dan pesan-pesan pappasang. Baca adalah ungkapan-ungkapan dalam bahasa Makassar yang
di ucapkan pada setiap kegiatan dalam lingkungan pelayaran dan penangkapan. Sedang
dan kasipali. Ungkapan-ungkapan tersebut bersifat sakral dan mengandung kekuatan magis
www.hendratmoko.com 72
Dalam pelayaran dan penangkanan telur ikan torani, setiap tahap kegiatan selalu disertai
dengan ungkapan atau baca. Biasanya baca itu dilafalkan dalam hati dan disertai gerakan
anggota badan tertentu. Pada saat upacara ritual pelepasan pemberangkatan perahu
Sareanga dallekku ri Allah ta’ala (berikan kemari rezekiku dari Allah ta’ala)
Sareanga mae dallekku ri Allah Ta’ala (berikan kemari rezekiku dari Allah ta’ala)
bahwa rezeki atau hasil tangkapan telah di tentukan oleh tuhan (Allah Ta’ala) jauh sebelum
mereka melaut. Tetapi rezeki itu tidak secara langsung diberikan kepada manusia melainkan
melalui perantaraan para nabi atau dewa laut, yakni Nabi Karoppo, Nabi Pakkere, dan Nabi
Hedere (Hellere), karena itu nelayan patorani harus memintanya lewat perantaraan para
Baca atau mantra di atas, di ucapkan oleh pinggawa biseang sambil berdiri tafakur di
tepi pantai, sebelum mengayunkan langkah pertama yang menyentuh air laut. Dan
apabila pinggawa bisenag sudah berjalan do pinggir laut menuju perahu, pinggawa harus
www.hendratmoko.com 73
berhenti di depan perahu sebelum pinggawa melangkah naik ke atas perahu. Pada saat
Sambil mengambil air laut dengan kedua telapak tangan kemudian pinggawa biseang
menyebut lagi bait-bait berikut :
Ikau irumpa (kamu Rumpa, adalah nama gelar)
Areng tojengnu ri Allah ta’ala (nama sesungguhmu dari Allah Ta’ala)
Allah ta’ala ampa’jariko biseang (Allah Ta’ala menjadikan kamu perahu)
Allah Ta’ala bahupaki (Allah Ta’ala yang melengkapimu)
Bunga intang ri tangngana (bunga intan di engahnya)
Rumpakki dalle’nu ri Allah Ta’ala (temui rezekimu dari Allah Ta’ala)
Siagang Nabi Muhammad (dari Nabi Muhammad)
Setelah bait-bait ini diucankan, berturut-turut sehanyak tiga kali air yang telah diambil
dengan telapak tangan. dihenpashan ke arah butitan perahu. Air itu dianggap sebagai
wudhu bagi perahu, sebagai simbol kesucian dalam setiap kcndisi, baik pada waktu
Demikian juga halnya, ketika para patorani sedang dalam pelayaran, sebelum
memasang alat tangkapnya, mereka pun tak lupa menyebut bait-bait tertentu yang diyakini
akan mengundang ikan terbang masuk kedalam pakkaja. Baik-bait itu antara lain:
www.hendratmoko.com 74
ri allakna bombang, ri tekona arusu (melalui celah-celah ombak)
Selanjutnya setelah selesai pemasangan pakkaja, seluruh awak perahu diinstruksikan oleh
pinggawa untuk mengamati ada tidaknya induk ikan terbang yang mendekati pakkaja. Bila
salah seorang diantara mereka telah melihat ikan torani mendekati pakkaja, maka pinggawa
Untuk membedakan di antara keduanya, hanya dilihat makna dan tujuannya. tingkatan
pertama, termasuk kategori erang pakboya-boyang; makna dan tujuannya sebagai doa
supaya memperoleh hasil tangkapan yang banyak. Penghasilan yang diperoleh itu,
numpahkan air hujan yang mengisi semua tempat dan ruang dalam perahu tersebut.
Semoga dewa-dewa ikan menyerahkan dirinya dan seluruh pengikutnya menjadi rezeki bagi
www.hendratmoko.com 75
para patorani, seperti yang telah ditentukan oleh Allah Ta’ala dan Nabi Muhammad, (dewa-
tentang eksistensi sebuah perahu yang akan digunakan berlavar. Sebelum perahu itu dipakai
memperkenalkan diri dan eksistensinya. Dalam dialog itu, pinggawa mengingatkan nama
perahu yang sebenarnya diberikan oleh Allah, yaitu Irumpa, sedang nama pinggawa sendiri
adalah Bitti Ilukkung. Selain itu, pinggawa juga mengingatkan kejadian perahu itu, yang
sebenarnya berasal dari langit, seperti yang terkandung dalam ungkapan, di langit tempat
Dialog imajiner adalah satu upaya untuk menjalin hubungan bathin yang akrab.
Dengan demikian, pinggawa biseang akan segera mengetahui apakah perahu tersebut
bersedia dibawa berlayar dan memberi jaminan kesehatan; atau tidak. Dengan
mengingatkan kembali eksistensi perahu itu, diharapkan perahu itu dapat berfungsi seperti
garis hidup Irumpa (bahasa Makassar yang maknanya kurang lebih: sampai pada tujuan)
Setelah menjalin hubungan bathin yang akrab, pinggawa biseang mengajak awak
perahu mencari rezki Allah dan Nabi Muhammad. Harapan ini tercermin dalam ungkapan
untuk memanggil ikan torani masuk kedalam pakakaja untuk memijah. Tradisi pemanggilan
ini merupakan suatu syarat yang diyakini nelayan patorani untuk memanggil melalui kontak
batin rombongan induk ikan torani yang ingin memijah untuk masuk dipakkaja. Pakkaja
dipasang terlebih dahulu pada lokasi yang strategis, pemasangan pakkaja biasanya dilakukan
www.hendratmoko.com 76
Ungkapan demi ungkapan di ucapkan dalam keadaan ikhlas sebagai suatu kombinasi
erang pakboyaboyang. Kata demi kata yang ducapkan pinggawa memiliki makna untuk
mengundang ikan terbang (torani) masuk ke pakkaja untuk memijah dan bertelur sebanyak-
banyaknya. Pinggawa memanggil semua ikan torani baik dari-celah-celah ombak, dari
pergerakan arus, dan dari gunung-gunung karang. Datanglah semua!, baik yang diarah utara
dan arah selatan maupun yang dari bawah dan atas. Datanglah!, ketempat berkumpul dan
Dalam pandangan patorani, ikan terbang adalah jenis ikan agresif dan
dipersonifikasikan sebagai tubarani yang telah lama meninggalkan pacar atau isterinya ke
medan perang. Dari kata tubarani yang telah mengalami penghausan, sehingga ikan terbang
itu dinamakan torani. Karena itu, untuk mengundang agar ikan datang di pakkaja, maka
pakkaja itu digambarkan sebagai tempat berkumpul dan bermain para isteri atau pacar
tubarani. Akibat lama meninggaikan isteri atau pacar, patorani menganggap tubarani itu
akan timbul gairah dan nafsunya untuk mendekati tempat isterinya. Dalam bait terakhir
sanalah gadis- gadisnya pulau Satangnga yang besar pinggulnya. Kaimat yang disampaiakn
melalui dua komponen sarak dan kasipalli. Dalam konteks demikian, Sarak merupakan
pesan atau nasehat yang harus dilakuakn selama pelayaran dan penangkapan. Kasipalli atau
pamali mengandung larangan dan pantangan yang harus di hindari. Patorani percaya bahwa
penghasilan akan berpihak kepadanya apabila keteguhan akan baca (mantra) tersebut
diefektifkan, kemudian sarak yang beriringan dengan larangan yang terkait kasipalli di
melakukan sesuatu yang tidak melanggar ketentuan sarak selama melakukan penangkapan,
www.hendratmoko.com 77
maka akan mendapatkan hasil yang banyak. Namun sebaliknya bila melaksanakan hal yang
bertentangan dengan ketentuan sarak dan kasipalli, maka baca (mantra) itu akan menjadi
pudar kekuatan magisnya. Untuk menghindari hal-hal kasipalli maka nelayan patorani, baik
pinggawa maupun sawi di berikan peringatan untuk tidak melakukan hal-hal yang dianggap
akan mengusik ketidak datangan ikan torani untuk masuk dipakkaja memijah dan bertelur.
keharusan melakukan ritus dan mengikuti adat-istiadat dalam kegiatan pelayaran dan
penangkapan telur ikan torani. Tujuan utama ritual ini, untuk memelihara kelestarian
pembuktian erang passimombalan dan erang pakboyaboyang tersebut di dalam alam nyata.
Menurut informan bahwa nelayan patorani tidak dibenarkan untuk mengabaikan papasang
(pesan-pesan). Bila tidak dilakukan ritual papasang maka terasa ada ketidaksempurnaan dan
yang dialami bila tidak dilakukan ritual itu, dihinggapi perasaan cemas, khawatir dan rasa
pelayaran pada hari yang sudah ditetapkan, berdasarkan kalender kepatoranian secara
turun temurun sudah ditentukan allo baji (hari yang baik). Penentuan hari baik (allo baji)
antara lain didasarkan pada perhitungan bulan (kenaikkanna bulanga) atau pergantian hidup
dan mati tallasa matea yang dihitung dengan jari-jari. Dan ketika hari pemeberangkatan
sudah ditentuhan, dan patorani siap berlayar, mereka pun harus memperhatikan pesan
memang sudah jelas anda tidak akan membawa hasil). Mereka dapat mengetahui apakah
situasi berdasarkan tanda-tanda alam. Tanda-tanda itu, bisa berasal dari dirinya sendiri,
www.hendratmoko.com 78
dapat pula berasal dari lingkungannya. Salah satu kebiasaan patorani atau pinggawa biseang
adalah memeriksa kondisi jiwanya dengan menghayati dan merasakan perjalanan napasnya.
Apabila pada saat akan berangkat, dalam keadaan tafakkur arus keluar napasnya lebih kuat
pada lobang hidung sebelah kanan, mereka yakin pelayaran bisa dimulai. Keprcayaan
melalui tanda-tanda dari dirinya itu, hingga kini masih menjadi patokan untuk mereka mulai
berlayar.
Selain tanda-tanda dari fisik, maka nelayan patorani pula meyakini tanda lain yang
berasal dari lingkungannya antara lain berupa kicauan burung, ucapan orang yang tidak
mendengar ucapan kata tena (tidak ada), biasanya pemberangkatan itu ditunda. Mereka
yakin tidak akan mendapat hasil. Sebaliknya, patorani juga memegang teguh untuk tidak
melanggar larangan. Selama pelayaran sangat dilarang menyatakan rasa kecil, atau
bathin, tidaklah berarti mereka mengabaikan pengetahuan lahir. Mereka tidak akan
mencapai tingkatan sebagai pinggawa matoa apabila mereka tidak dilengkapi pengetahuan
lahir yang tinggi. Karena itu, untuk mencanai status pinggawa matoa, biasanya seorang
patorani harus memulai dari status sawi. Mereka harus belajar bertahun-tahun, ikut berlayar
palayaran dan penangkapan atau telah melampaui status sawi juru batu. Penjenjangan
www.hendratmoko.com 79
berdasarkan pengalaman yang dimiliki oleh seseorang untuk menjadi juragan, pada masa
lalu sangatlah ketat. Hal itu, terjadi karena semakin seseorang berpengalaman maka tidak
ombak yang akan membahayakan atau tidak. Mereka dapat menelusuri jalur pelayaran
tanpa alat bantu penunjuk arah (kompas), tetapi hanya menggunakan tanda-tanda alam.
Mereka juga dapat mengenali lokasi sekitar penangkapan yang potensil tanpa mengetahui
lebih awal pemetaan wilayah secara strategis maupun secara konseptual. Kepekaan indera
Perasaan, mereka dapat memastikan adanya bahaya yang mendekati perahunya dengan
kejauhan radius beberapa ratus meter. Pandangan masyarakat patorani, ikan terbang juga
disebut, juku karewatang. Konsep ini ditafsirkan bahwa ikan tersebut memiliki keajaiban.
Jumlah ikan ini dianggap luar biasa banyaknya, dan dapat terbang beberapa puluh meter
jauhnya. Dalam jumlah yang banyak itu terkadang- ikan ini menghilang dalam waktu hanya
sekejap, dan sebaliknya muncul secara tiba-tiba. Anggapan seperti ini nampaknya
mempengaruhi tata cara penangkapannya, yang berbeda dengan jenis ikan lainnya. Ada
perlakuan khusus dalam menangkap ikan terbang yakni berupa ritus yang diramaikan dan
alat penangkapan pun berbeda bila dibandingkan dengan jenis ikan lainnya. Apalagi setelah
Palaksanaan ritual dilakukan sejak mulai dari kegiatan perbaikan alat penagkapan
dengan membaca mantra-mantra perbaikan atau modifikasi perahu, dan puncaknya yaitu
pohon bambu untuk dijadikan sebagai tiang layar atau untuk kebutuhan pakkaja. Hari
www.hendratmoko.com 80
atau hari-hari baik allo baji. Sebelum penebangan bambu terlebih dahulu diadakan upacara
makan-makan di sebut ritus assurongmaca (memanggil seseorang untuk berdoa, ritual ini
biasanya dipimpin oleh imam masjid). Acara ini dipersiapkan oleh tuan rumah berupa sajian
kue-kue (umba-umba), sebagai simbol sesajen untuk mendatangkan berkah seperti filosifi
Untuk pengadaan bahan baku sebagai alat bantu dalam proses perbaikan perahu,
sepeti bambu maka terlebih dahulu di pilih yang terbaik, bentuknya yang lurus, dan apabila
ditarik setelah ditebang, tidak akan tersangkut dan merobohkan pohon lainnya. Umba-umba
yang mengandung gula merah dan kelapa diparut merupakan simbolisasi keutuhan dan
kesejahteraan. Sehingga setiap ada ritual yang diadakan, maka sajian kue umba-umba
menjadi kue khas yang paling utama diadakan oleh masyarakat Takalar dan lebih khusus lagi
nelayan patorani. Sedang bambu lurus simbolisasi dari usaha yang berjaan lancar dan jujur.
Apabila perahu sudah selesai direnovasi, maka tahap berikutnya adalah kegiatan
itu ibarat manusia juga. Perahu memiliki ujung depan dengan ujung belakang. Makna
dari hal itu, terdapat pula pangkal bagian depan dan pangkal bagian belakang, masing-
masing ditafsirkan sebagai simbol laki-laki dan perempuan. Dalam tradisi Bugis makassar
bahwa laki-laki berangkat berjuang di tengah laut dan perempuan tinggal di daratan
Realitas anggapan itu, berlaku sejak nelayan patorani masa lalu sejak masih
menangkap induk ikan torani hingga masa kini dengan peralihan penangkapan telur ikan
torani. Upacara di lakukan untuk meminta keselamatan pelayaran terutama juga agar
kondisi perahu sebagai alat utama yang digunakan ke lokasi penangkapan tetap kondisi baik.
www.hendratmoko.com 81
Kondisi agar mendukung semuanya, maka harus dipersiapkan dengan baik dan sempurna
atau niparurui melalui ritus yang disebut appassili atau apparappo. Ritus ini merupakan kli-
maks dari rangkaian persiapan, dan melibatkan seluruh awak (pinggawa dan sawi). Upacara
biasanya mempersiapkan berbagai jenis kue untuk dimakan bersama setelah upacara
selesai. Dan setelah sampai di lokasi penangkapan, maka bait-bait yang disediakan sebagai
rangkaian penangkapan juga selalu di ucapkan agar memperoleh hasil tangkapan yang
diharapkan.
pakboyaboyang merupakan suatu kebutuhan dimiliki oleh setiap pinggawa. Hal itu, telah
berlangsung pada ruang normatif yang bersumber dari mitos, sistem kepercayaan dan
nilai-nilai lokal pelayaran. Fenomena pergeseran ruang normatif yang berlangsung pada
komunitas nelayan patorani. Fenomena pergeseran itu, dibatasi pada tiga ruang normatif
yakni: pertama,ruang normatif yang bersumber dari mitos; kedua ruang normatif yang
bersumber dari konstruksi sosial. Hal di atas, menurut tiryakian (1992) bahwa pergeseran
ruang normatif akan nilai-nilai dalam transformasi penerapan teknologi penangkapan bagi
komunitas merupakan bahagian yang patut di amati secara umum bagi masyarakat yang
bertransformasi.
rasionalisasi diartika sebagai proses pengosongan dunia dari pengaruh magik dan mistik saja
www.hendratmoko.com 82
ditemukan pada berbagai aspek industri penangkapan ikan, tetapi dalam intensitas yang
kecil. Secara umum, unsur magik dan mistik tersebut bersinkretisasi dengan unsur Islam.
sebelum nelayan Patorani menuju ke penangkapan. Mantera itu di padukan dengan ajaran
Agama Islam, mulai dari prosesi berdoa hingga membaca lafadz ayat-ayat alquran di atas
perahu. Doa-doa yang dipanjatkan tidak lain adalah meminta keselamatan dan rezeki yang
banyak dengan dipertemukan ikan-iakan torani yang mau memijah kemudian bertelur di
Selain prosesi itu, komunitas nelayan patorani juga membawa sesajen ke atas
perahu berupa nasi dari beras ketam warna hitam dan putih kemudian ayam. Sesajen itu
dibacakan mantra oleh ustadz di dampingi oleh para pinggawa. Pada komunitas nelayan
masih sering di temukan hingga sekarang sebagaiman temuan Munadah (1991) dan Arifin
(1991) bahwa fenomena tersebut sudah menjadi tradisi bagi nelayan patorani di Galesong
Selatan dan galeson Utara kabupaten Takalar, dengan tujuan agar perahu yang ditumpangi
dipercayai bahwa sesajian dan bacaan doa akan menjunjung kekuatan spritual untuk
berkomunikasi dengan penghuni lautan dan keselamatan awak perahu. Keberhasilan yang
diperoleh tidak terlepas dengan kerjasama patorani dan tidak terlepas pula dengan restu
penghuni laut. Sehingga merasa memiliki kewajiban untuk menjaga dan memberi makan
melalui sesajen. Ritual itu, dilaksanakan agar diberikan keselamatan pada saat melakuakan
penangkapan.
Namun sebaliknya, bila upacara di tinggalkan, maka akan ada konsekuensi yang berada
di luar kemampuan manusia yang mengancam pada kekuatan dan keselamatan nelayan
patorani. Resiko inilah yang menjadi faktor pendorong sehingga upacara berbau magik
dan mistik tetap dilakukan, meskipun kebenaran tentang hubungan antara upacara
www.hendratmoko.com 83
dengan kekuatan dan keselamatan perahu sulit di buktikan secara rasional. Ritual
berbau magik dan mistik bagi komunitas nelayan patorani teap masih dipertahankan dan
merupakan bagian yang tak terpisahkan oleh komunitas nelayan patorani. Sejak awal
keberadaannya sebagai nelayan berinteraksi dengan penjaga laut. Ritual magik dan
mistik masih tetap mendapatkan legitimasi dari lingkungan sekitar sebagai nelayan. Di
satu sisi ada pula nelayan yang tidak melakukan ritual yang sifatnya mistik, akan tetapi
hanya melakukan upacara dengan berdo’a bersama dengan pinggawa dan sawi di atas
perahu.
Ritual sederhana itu, dilakukan untuk memohon keselamatan dan mendapatkan rezeki
yang banyak. Kelompok ini mempercayai bahwa segala sesuatu rezeki maupun
keselamatan ada di tangan sang maha pencipta (allah SWT). Sehingga nelayan patorani
hingga sekarang memiliki dua legitimasi basis, antara legitimasi teknologi-modern dan
legitimasi rirual-magik. Adanya kelompok itu, bagi komunitas nelayan patorani tidak
menjadi titik temunya. Sebagaian masyarakat Galesong Selatan dan Galesong Utara
masih memegang teguh tradisi, bahwa seorang keturunan yang berdarah biru
(bangsawan) masih dianggap tabu apabila menjadi pinggawa perahu untuk ikut berlayar.
Sehingga pada komunitas nelayan patorani, tidak ditemukan adanya bangsawan yang
pertimbangan bahwa secara askriktif bangsawan tidak patut untuk menjadi pesuruh atau
anak buah terhadap keturunan yang bukan bangsawan (orang biasa) tau biasa yang
silsilahnya bukan masuk dalam kateogori karaeng (sebutan bangsawan bagi suku Makassar).
Tindakan ini mempresentasikan adanya rasionalitas nilai, yang menurut Weber (1978)
bahwa rasionalitas nilai bukanlah tipe ideal masyarakat industri, tipe rasional masyarakat
industri adalah rasionalitas instrumental. Hal ini terkait dengan kaum bangsawan di Takalar
www.hendratmoko.com 84
terutama di Galesong bahwa kaum bangsawan adalah kelompok yang menjadi penghubung
atau penolong untuk kehidupan keseharian masyarakat secara umum, dan secara khusus
Tindakan tradisional yang berbau magik dan mistik merupakan suatu kegiatan
sekedar meneruskan kebiasaan turun temurun. Tindakan upacara yang sering dilakukan
dalam memulai kativitas penangkapan pada komunitas nelayan patorani, sudah mengalami
reinterpretasi ke arah makna yang lebih instrumental. Tindakan tradisional, yakni praktek
magik dan mistik diperlukan dan dipraktekkan kembali untuk pencapaian tujuan yang
sifatnya rasional. Ini relevan dengan konsep “keterpesonaan kembali” dari Tryakian (1992)
Tindakan tradisional pula yang muncul pada komunitas nelayan patorani adalah
pinggawa terbentuk melalui suatu kesepakatan secara tidak tertulis. Sebelum berangkat
mendapatkan hasil yang lebih banyak. Artinya sebelum berangkat, papalele sudah
memberikan beban kontrak yang berat terhadap pinggawa, padahal belum dilakukan
buruk) padahal menurut pinggawa nelayan patorani sebelum berangkat apparuru maka
terutama terlihat ditinggalkannya penggunaan kekuatan magik dan mistik dalam melakukan
penangkapan dan di gantikan dengan doa dan ibadah yang sesuai dengan ajaran agam Islam.
Memang kekuatan magik masih ada sebagian yang mempertahankan magik apabila ada hal-
hal yang mengganngu dalam perjalanan dan membutuhkan interaksi dengan yang
www.hendratmoko.com 85
dengan kepercayaan bahwa ada suatu tata tertib dalam kehidupan alam ini dan masing-
masing memiliki kehidupan yang tetap. Maka pelanggaran terhadap tata tertib memerlukan
magik untuk meluruskannya pula. Saat ini, meskipun sebagian pinggawa masih memiliki ilmu
yang demikian, tidak pernah lagi dipraktekkan dalam bentuk yang sangat sakral, akan tetapi
pinggawa hanya meyakini bahwa sebagai manusia membutuhkan perlndungan dari sang
alat penangkapan, komersialisasi produksi, dan cara kerja. Pengetahuan pelayaran pada
komunitas nelayan patorani pada masa abad ke-17 hingga pertengahan abad ke-20 masih
mengandalkan situasi alam, misalnya kekuatan angin harus dipanggil oleh pinggawa dan
sekarang mengandalkan teknologi mesin untuk menjalankan perahu. Keadaan ini, tentu
mengalahkan kebanggaan dengan kekuatan magik dan mistik yang dimiliki pada masa itu.
secara sadar dipilih dengan pertimbangan efesiensi dan efektivitas pekerjaan. Realitas ini,
merupakan suatu gambaran masyarakat yang modern dan masyarakat industri yang identik
dengan penggantian magik dan mistik dengan kalkulasi rasional. Walaupun ciri masyarakat
industri sudah masuk dalam nelayan patorani tidak menutup kemungkinan untuk tetap
mempertahankan tradisi upacara untuk meminta keselamatan selama dalam pelayaran, dan
pakkaja. Pelaksanaan ritual tersebut, bukan tujuan untuk meminta pada hal yang gaib,
apalagi mengingkari keberadaan Tuhan Maha Pencipta. Tetapi hanya sekedar ritual turun
temurun bahwa pelayaran akan dimulai secara serentak, maka untuk tetap menghormati
mulainya pelayaran.
www.hendratmoko.com 86
4.2. Pola Penangkapan Ke Arah Komersialisasi Produksi dan Penerapan
Teknologi
www.hendratmoko.com 87
yang mendapat apa, bagaimana, dan kenapa. Pertanyaan tentang siap yang memiliki
kekuatan-kekuatan produksi dan bagaimana mereka memutuskan penggunaan
kekuatan-kekuatan ini adalah pertanyaan menyangkut produksi.
Komersialisasi produksi salah satu sumber yang memacu berkembangnya
komunitas nelayan patorani. Hal itu, terkait karena perkembangan investasi dan seiring
dengan daya dukungnya penerapan teknologi dan manajemen pada komunitas nelayan
patorani di Galesong utara dan Galesong selatan Kabupaten Takalar. Nelayan patorani
lahir pada abad ke-17, mengalami perkembangan secara terus menerus hingga beralih
pada penerapan teknologi penangkapan sesuai dengan tuntutan produksi dan mengarah
pada kehidupan sosial ekonomi.
Sekitar tahun 1940-an nelayan patorani sudah mengalami perkembangan
penangkapan induk ikan torani. Walaupun pada era tahun ini, belum menguasai pasaran
secara surut. Demikian pula penguasaan pola distribusi masih sangat terbatas hanya
pada pemasaran lokal, walaupun pemasaran hingga dirambah sampai ke pulau Jawa
yakni Jawa Timur, namun belum menjadi prioritas tuntutan komersialisasi produksi
tetapi masih kecenderungan pada subsistensi.
Perkembangan selanjutnya, era tahun 1960-an hingg 1970-an nelayan patorani
mengalami pergeseran dari segi penangkapan induk ikan torani beralih ke penangkapan
telur ikan torani. Perkembangan itu terjadi terkait dengan masuknya investasi dan
kapitalisme. Pola penangkapan yang berubah tersebut, semakin membuka peluang
masuknya eksportir dan mendorong pelembagaan investasi dan penerapan teknologi ke
arah pengelolaan hasil produksi berorientasi ekspor. Setelah masuknya investasi maka
unsur kapitalisme pula mulai lahir pada komunitas nelayan patorani.
Sebagaimana Marx di atas mengatakan bahwa penguasaan asset dimilki oleh
kapitalis dan mempermainkan atas kepentingan untuk mengejar keuntungan. Realitas
itu, maka dapat diasumsikan bahwa masuknya unsur pasar mendominasi hasil produksi
nelayan patorani maka papalele memiliki peluang yang sangat besar untuk mengejar
keuntungan. Permaianan pengejaran keuntungan itu, dilakukan melalui pembagian hasil
yang sebenarnya tidak berimbang. Padahal dari segi tenaga, maka pinggawalah yang
banyak memegang peranan penting suksesnya hasil produksi. Terkait fenomena ini,
maka dapat diasumsikan bahwa pinggawa nelayan patorani hanya mencari produksi
demi kepentingan dan keuntungan bagi papalelenya.
Sejak orientasi kapitalisme menjadi hal yang mutlak dilakukan oleh kalangan
papalele, yakni sekitar awal tahun 1970-an, maka disinilah pula berawal adanya
penguasaan mengenai penentuan pasar yang sepenuhnya berada ditangan papalele.
Adanya kekuatan papalele ini, selain pemilik sumberdaya penangkapan, papalele pula
memiliki hubungan secara langsung dengan eksportir. Sedangkan pinggawa hanya
mempunyai akses secara langsung dengan papalele, dalam artian bahwa setelah kembali
melakukan penangkapan telur ikan torani, maka hasil yang diperoleh semuanya di
masukkan ke dalam lingkungan papalele. Sedangkan sawi juga merupakan bagian
integral proses penangkapan, hampir tidak punya akses terhadap papalele apalagi
sampai ke eksportir. Setelah banyaknya hasil sudah dihitung, maka penentuan harga pun
sepenuhnya berada di tangan papalele.
www.hendratmoko.com 88
4.2.1.1 Komersialisasi Produksi Dan Perkembangan Investasi
Awal keberadaan nelayan patorani memiliki karakteristik sebagai nelayan
tradisional, alat tangkap yang digunakan pun secara kuantitas sangat terbatas
jumlahnya. Periode tahun 1940-an sampai akhir tahun 1970-an, merupakan era bagi
komunitas nelayan patorani mengandalkan peralatan yang sangat sederhana dan
perahu layar serta dominan menggunakan tenaga manusia. Era ini pula, nelayan
patorani melakukan penangkapan masih berorientasi pada induk ikan torani. Model
pemasaran pun masih cenderung terbatas pada wilayah tertentu dan jangkauannya
terbatas pada pasar domestik. Kondisi demikian di akibatkan permintaan hasil
tangkapan induk ikan torani bukanlah komoditas yang diincar kalangan pengusaha
secara merata baik ditingkat lokal maupun pasar regional antar pulau.
Realitas di atas, menunjukkan bahwa investasi dalam industri penangkapan induk
ikan torani masih sangat terbatas sehingga pemasaran maupun pembeli yang berminat
pun untuk berinvestasi terbatas. Teknologi alat tangkap masih sederhana, perahu
tangkap belum bermesin, dan area tangkap terbatas pada lokasi operasional tertentu.
Nelayan hanya menangkap pada lokasi yang sudah biasa di kunjungi untuk menangkap
induk ikan torani. Akibat keterbatasan itu, produksi pun sangat terbatas dan
menyulitkan pemilik modal untuk berinvestasi.
Hal itu terjadi, karena nelayan patorani belum memiliki akses terhadap kapitalis-
kapitalis yang berasal dari negara-negara lain. Masuknya tuntutan pasar yang dimotori oleh
negara-negara lain sebagai sasran eksportir, maka nelayan patorani pun beralih pola
tingkatkan, kemudian pula dibutuhkan daya dukung teknologi sebagai bagian dari
www.hendratmoko.com 89
menjadi pula salah satu tujuan pembangunan ekonomi yang dicanangkan oleh
pemerintah untuk menjangkau pedesaan termasuk ke kawasan pantai dan masyarakat
maritim. Program tersebut membuka ruang baik secara langsung maupun tidak langsung
menumbuhkembangkan investasi, teknologi dan manajemen, khususnya pada
komunitas nelayan patorani di Galesong Selatan dan Galesong Utara Kabupaten Takalar
Sulawesi Selatan.
Daya dukung pemerintah dapat terimplementasikan melalui investasi pemerintah
dibidang perikanan hingga pada tingkat nelayan patorani. Keinginan pemerintah
tersebut, memberikan insentif pada pendapatan nelayan yang masih sangat terbatas
pada kebutuhan subsistensi ke arah komersialisasi produksi. Keberadaan nelayan
patorani sejak lama sudah menjadi wadah untuk sumber penghidupan sebagian besar
masyarakat Galesong saat itu. Namun, jenis perahu dan alat tangkap (pakkaja) masih
sederhana, dan unit usahanya bersifat individual dan belum melibatkan pasar secara
internasional, tapi lebih cendrung sasaran pemasaran lokal saja.
Keadaan nelayan patorani dari tahun 1940-an hingga akhir tahun 1960-an
merupakan periode dimana belum mengedepankan produksi yang mengejar
keuntungan lebih besar dan hanya sekedar subsitensi dan surplus pun tidak tercipta.
Dari keadaan itu, investasi perahu dan peralatan tangkap (pakkaja) pun dipergunakan
apa yang dimiliki, dengan hanya mengandalkan kondisi alam. Periode ini jika
dihubungkan pentahapan perkembangan masyarakat dari Rostow (1964), disebut
sebagai tahap tradisional. Tahap ini melanda komunitas nelayan patorani, karena perahu
yang digunakan sudah dianggap mampu memenuhi kebutuhan nelayan dengan
menangkap induk ikan torani. Kemudian komersialisasi produksi pun, bukan menjadi
prioritas untuk dikejar.
Perkembangan terjadi ketika komunitas nelayan patorani telah berhubungan
dengan investor untuk membantu permodaalan. Investasi tersebut, untuk pengadaan
pengoperasian teknologi penangkapan. Investasi lokal (papalele) mulai melakukan pada
akhir tahun 1960-an. Walaupun investasi lokal, namun sangat membantu jalannya
penangkapan bagi komunitas nelayan patorani. Sedangkan pinggawa dan sawi hanya
sekedar pekerja dan tidak memiliki modal sepersenpun. Papalele banyak melakukan
pemberian modal pada nelayan patorani dikhususkan pada orang-orang yang memiliki
perahu atau juragan perahu. Posisi papalele membentuk ketergantungan permodalan
pada pemilik perahu atau juragan, karena pengembalianya pun yang bertanggungjawab
adalah pinggawa dan pemilik perahu. Karena itu pula, papalele tidak pernah secara
langsung ikut dalam penangkapan. Namun hasil yang diperoleh pinggawa binaannya
melalui modal secara langsung (pasisambungan), hasil dan harga jualnya pun langsung
ditentukan oleh papalele melalui standar pembelian eksportir.
Kondisi pertumbuhan modal dan masuknya investasi inilah yang pada akhirnya
membentuk stratifikasi komunitas nelayan patorani yang terimplementasikan dalam
stratifikasi papalele dengan penangap (paboya) yang teridi dari pinggawa dan sawi yang
telah mengalami perubahan orientasi penangkapan dengan permintaan pasar. Namun
kelompok paboya tidak mampu mengelola dan juga tidak memiliki akses pasar, sehingga
ketergantunagan pada papalele tercipta kembali. Selain ketergantungan akan pasar,
www.hendratmoko.com 90
pinggawa nelayan patorani pun sangat tergantung pada pengadaan modal operasional.
Kondisi ini melahirkan kepentingan ekonomi maupun kepentingan dalam terciptanya
relasi sosial di dalam komunitasnya, yang secara spesifik dalam komunitas nelayan
patorani antara papalele dan pinggawa bercirikan hubungan patron klien. Hubungan ini
terjadi, selama berlangsungnya transaksi antara papalele dan eksportir yang bukan
hanya berintikan pada relasi ekonomi semata, tetapi didalamnya berlangsung pula
relasi-relasi sosial yang di dalam relasi sosial tersebut dipengaruhi oleh adanya nilai-nilai
atau norma-norma sosial yang membentuk formasi sosial di dalam komunitas nelayan
patorani.
Secara aplikatif konteks di atas, pada periode selanjutnya awal tahun 1970-an
nelayan patorani mengalami pergeseran yang mengarah pada relasi ekonomi dan
pergeseran orientasi penangkapan seiring dengan permintaan pasar. Masuknya
eksportir sebagai pemilik pasar pada awal tahun 1970-an, hanya membutuhkan telur
ikan sebagai bahan ekspor, tetapi induk ikan torani tidak menjadi lagi salah satu
komoditi andalan nelayan patorani yang berada di Galesong Selatan dan Galesong Utara.
Pergeseran pola penangkapan tersebut, membutuhkan suatu perubahan paradigma
penangkapan, dan era tersebut nelayan patorani mengikuti permintaan pasar.
Pergeseran tersebut, tentu membutuhkan adaptasi bagi komunitas nelayan patorani
untuk mengubah mulai dari kapasitas teknologi peralatan perahu, seprti mesin dan alat
penangkapan (pakkaja) yang dulunya menangkap khusus ikan torani kini beralih pada
penangkapan khusus induk ikan torani. Peralihan itu, dilakukan hanya sekedar untuk
mengikuti perkembangan pasar. Kalau mereka tidak mengikuti perkembangan pasar,
dan hanya bertahan pada kebiasaan semula menangkap induk ikan torani, maka
pemasarannya pun tidak akan terpenuhi. Situasi dalam era ini, pasar merupakan salah
satu komponen yang berkuasa dan memaksa nelayan patorani untuk mengubah jenis
tangkapannya. Selain tuntutan pasar, nelayan patorani pun dituntut oleh papalele untuk
meningkatkan produksinya, karena papalele sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan
yang mengarah pada peningkatan produksi. Hasil tangkapan merupakan suatu prioritas
bagi papalele hanya untuk mengejar keuntungan.
Kasus 5
Awal Mula Penerapan Teknologi Alat Penangkapan Berorientasi Komersialisasi
Produksi
H Daeng Tawang (62 tahun) seorang pinggawa yang menekuni sebagai nelayan sejak
usia 23 tahun. Perjalanan hidupnya sebagai nelayan berawal dari menangkap induk
ikan hingga bergeser pada penangkapan telur kan torani. Sejak masuknya investasi
dengan beriringan komersialisasi produksi, maka sistem penangkapan pun juga ikut
berubah. Mulai dari jumlah awak perahu hingga pada penggunaan teknologi,
wilayah penangkapan pun semakin bertambah luas operasionalnya. Sebelum
masuknya eksportir hal itu, belum menjadi prioritas, karena nelayan patorani hanya
menangkap induk ikan untuk dipasarkan secara lokal dalam bentuk ikan kering.
Walaupun ada juga nelayan patorani yang menjangkau pemasarannya hingga ke
pulau jawa, namun kapasitas jumlahnya tidak begitu banyak. Sehingga nelayan
www.hendratmoko.com 91
patorani pada era tahun 1940-an hanya mengandalkan pemasaran hasil
tangkapannya yang sudah dalam bentuk ikan terbang kering dipasarkan secara
lokal.
Realitas di atas, berlangsung cukup lama, namun pada era akhir tahun 1960-an atau
sampai awal tahun 1970-an, investasi nelayan beralih pada penangkapan telur ikan
torani. Usaha memungkinkan nelayan patorani akan meningkat karena telur ikan
torani dilirik oleh eksporti. Sejak awal tahun 1970-an telur ikan terbang sudah
menjadi komoditi yang dibeli oleh eksportir berasal dari negara Jepang. Investasi
dan eksportir inilah mendorong munculnya sistem di dalam kepatoranian secara
struktural dan mengikat diantara komunitas nelayan itu sendiri, sebagai salah satu
unit yang terbentuk sejak masuknya investasi. Walaupun struktur yang sangat
sederhana sebelum investasi masuk sudah ada, namun belum begitu menjadi hal
yang mengikat secara kontraktual.
www.hendratmoko.com 92
kerja dengan pinggawa. Keadaan itu, semakin menambah pula penghasilan keluarga
nelayan patorani, yang pada akhirnya mengarah pada peningkatan kehidupan sosial
ekonomi.
Periode tahun 1970-an hingga tahun 2000-an, eksportir semakin banyak masuk ke
daerah Galesong Selatan dan Galesong Utara untuk melakukan kontrak dengan para
papalele, untuk pemenuhan kuota permintaan telur ikan torani, diantaranya Jepang,
Korea dan China. Menurut informan eksportir Muh. Gassing (51) bahwa pada musim
pengeksporan telur ikan torani pada tahun 2007 (sekarang ini) akan bertambah lagi satu
negara yaitu Lithuania. Sejak telur ikan torani menjadi komoditi ekspor, maka peletak
dasar eksportir yang pertama masuk yaitu negara Jepang pada awal tahun 1970-an
hingga kini masih tetap menjadi negara sasaran ekspor bagi pelaku eksportir telur ikan
torani yang berasal dari Galesong Utara dan Galesong Selatan.
Setelah eksportir masuk ke komunitas nelayan patorani, merupakan langkah awal
untuk meningkatkan produktivitas. Kemudian diikuti terciptanya surplus dan kelas
pemodal pun mulai bermunculan, baik pemodal lokal maupun pemodal dari luar
Galesong masuk membentuk hubungan tersendiri. Fenomena perkembangan yang
terjadi pada komunitas nelayan patorani tersebut, bila dihubungkan dengan tahap
perkembangan masyarakat Menurut Rostow (1960) bahwa periode ini dianalogikan
sebagai tahap pra tinggal landas, yang berimplikasi pada loncatan dalam perkembangan
tahap yang dipengaruhi oleh masuknya investasi dan perubahan penerapan teknologi
alat penangkapan. Terkait hal itu, sebagaimana dikatakan Poinsoen (1969) bahwa
investasi teknologi sangat menentukan transformasi industri. Dalam konteks nelayan
patorani, telah mengalami perkembangan sejak masuknya investasi sebagai unsur yang
menuntut peningkatan produksi. Adanya tuntutan produksi yang berorientasi pada
ekspor, maka unsur selanjutnya yang ikut berubah pula adalah penerapan teknologi alat
penangkapan.
Realitas di atas, dapat disimpulkan bahwa pada periode akhir tahun 1960-an hingga
awal tahun 1970-an merupakan tahap proses masuknya investor melalui eksportir.
Masuknya eksportir tersebut, secara terbuka memaksa nelayan patorani untuk
mengubah jenis tangkapannya dari induk ikan torani beralih ke penangkapan telur ikan
torani semakin menguat kepermukaan. Selain itu pula, permintaan modal operasional
semakin meningkat, dan kebutuhan keluarga juga semakin menjadi tuntutan. Sehingga
investor jadi obyek bagi nelayan patorani untuk bergantung memperleh permodalan
operasional. Ketergantungan permodalan dilakukan baik investor lokal maupun investor
dari luar Galesong. Tuntutan pada periode ini mengarah pada peningkatan hasil,
sehingga pengembangan teknologi penangkapan pula maju beriringan. Bila di analogikan
dengan teori perkembangan masyarakat dari Rostow (1964), tahap ini disebut sebagai
tahap tinggal landas.
Uraian di atas, dapat dirangkum dalam tiga hal. Pertama, bahwa komunitas nelayan
patorani pernah mengalami era penangkapan dengan subsistensi. Keadaan ini terjadi
pada era tahun 1940-an dengan hanya mengandalkan penangkapan induk ikan torani
sebagai komoditi yang di pasarkan secara lokal dalam bentuk ikan kering. Pada era ini,
investasi eksportir belum menjadi prioritas Kedua Masuknya investasi dan eksportir
www.hendratmoko.com 93
pada komunitas nelayan patorani berlangsung secara bertahap yakni pada era akhir
tahun 1960-an hingga awal tahun 1970-an dengan eksportir dari Jepang sebagai negara
eksportir yang pertama masuk dikomuntas nelayan patorani sejak terjadinya pergeseran
penangkapan dari induk ikan ke telur ikan. Namun dalam era tahun 1990-an hingga
tahun 2000-an, negara eksportir bertambah lagi yakni negara Korea. Ketiga Kontribusi
dari investasi para eksportir mengubah produktivitas dari tradisional ke komersialisasi
produksi sehingga tahap perkembangan yang tradsional hingga ke tinggal landas, sesuai
teori perkembangan dari Rostow (1960), dapat terjadi pada komunitas nelayan patorani.
Hal tersebut ditandai, adanya perubahan orientasi sasaran penangkapan menyebabkan
terjadinya penyesuaian alat tangkap yang dipandang lebih baik dan lebih produktif dari
sebelumnya.
dan abad ke-16 mengalami ekspansi dan evolusi yang terus menerus. Ekspansi berarti
bahwa kapitalis terus memperluas jangkauan geografisnya dimuka bumi ini sedangkan
strukturnya menjadi satu kesatuan. Perkembangan awal kapitalisme sekitar abad ke-15,
menurut Dobbs (dalam Sanderson, 2000: 171) melalui anlisisnya sangat terkait dengan
ekspansi aktivitas ekonomi dan kekuatan sosial yang dimiliki oleh pedagang urban.
Sepanjang dua abad, kapital pedagang lebih teratur daripada kapital industri. Dengan
Terkait hal itu, bahwa masuknya kapitalisme pada komunitas nelayan patorani
bermula sejak pertengahan abad ke-20 setelah telur ikan torani dijadikan sebagai komoditi
telur ikan sebagai komoditi komersialisasi, tapi hanya sekedar untuk menutupi kebutuhan
hidup keluarganya (subsistensi). Dan nelayan patorani menjual hasil tangkapannya hanya
untuk sekedar bila ada kelebihan kebutuhan hidupnya, dalam bentuk dikeringkan kemudian
www.hendratmoko.com 94
Sebagaimana temuan Munadah (1991) bahwa pada abad ke-19 belum ditemukan
bukti-bukti sejarah mengenai usaha penangkapan induk ikan terbang yang hasilnya diperjual
belikan apalagi telur ikan torani. Hal itu, berarti bahwa sebelum abad ke-19 usaha
komersialisasi dan masuknya kapitalisme baru ditemukan pada sekitar tahun 1938, yakni
dimulainya pengiriman induk ikan terbang ke Jawa Timur tepatnya di daerah Gersik,
Panarukan dan Banyuwangi. Fakta itu, komunitas nelayan patorani hanya sekedar
melakukan pelayaran dan menyinggahi pulau untuk menjual secara langsung hasil
tangkapannya ke pasaran.
Kasus 6
Kehadiran kapitalisme tidak dapat dipungkiri sebagai bagian yang tidak dapat
dilepaskan dengan setiap aktivitas usaha, sehingga kapitalisme penyebarannya
semakin mengglobal hingga ke masyarakat pesisir dan nelayan. Tak terlepas pula
dengan nelayan patorani yang merupakan komunitas yang sangat menjanjikan bagi
kapitalis untuk menanam modalnya. Hal itu, ditanda pada awal abad ke 20-an,
kapitalisme sudah mulai masuk memainkan pasar. Salah satu tuntutannya yaitu
komersialisasi hasil tangkapan nelayan patorani yang mengarah pada fokus
produksi. Komersialisasi bermula dari perdagangan induk ikan terbang yang di
keringkan (menjadi dalam bentuk ikan asin) kemudian di kirim ke pasar lokal
Sulawesi Selatan hingga dikirim ke Pulau Jawa.
Pada sektor peradagangan induk ikan terbang dalam bentuk dikeringkan mengarah pada pemusatan akumulasi kapital.
Pemasarannya banyak dimainkan oleh kapitalis keturunan Tionghoa (cina) yang ada di Makassar maupun yang ada di
Jawa Timur. Era itu, sudah memungkinkan munculnya kapitalis pedagang-pedagang lokal komunitas nelayan patorani itu
sendiri sekaligus menjadi pedagangnya atau pedagang dari luar memasuki nelayan patorani menjadi pelaku ekonomi yang
mendominasi dan mendirikan usaha dagang. Penumpukan keuntungan dilakukan dengan cara menopoli distribusi induk
ikan terbang dalam bentuk sudah dikeringkan. Kondisi ini pula, menghilangkan kekuatan nelayan patorani untuk
memasarkan hasil tangkapannya, karena dominasi pedagang Cina yang berdomisili di Makassar. Untuk melakukan suatu
kekuatan penyeimbang dari monopoli itu, maka sebagian nelayan patorani melakukan kontak dagang dengan pelaku
ekonomi yang berasal dari Jawa Timur.
pedagang baik lokal maupun pedagang yang berada di luar Galesong. Masuknya dan
www.hendratmoko.com 95
tangkapan berupa induk ikan torani yang dikeringkan. Tuntutan kebutuhan permodalan
sudah menjadi prioritas yang dharapkan oleh komunitas nelayan patorani. Pada masa
ini, pinggawa masih memegang peranan penting dari segi penangkapan dan
permodalan. Persaingan untuk memperoleh hasil, sudah menjadi bagian yang tidak
Kondisi demikian tergambarkan dalam kasus di atas yakni era awal awal abad 20-an
masih menjadi alat penangkapan dengan hanya mengandalkan layar (sombala) sebagai
kendala, karena nelayan patorani pun memiliki alternatif untuk menjual hingga ke pulau
Jawa. Untuk mendukung usaha hasil tangkapan, maka nelayan patorani pun berusaha
Adanya tuntutan kebutuhan permodalan itulah maka terbentuk suatu Koperasi Nelayan
dapat membantu permodalan bagi komunitas nelayan patorani. Koperasi nelayan ini
didirikan awalnya oleh C daeng Congkeng, salah seorang pelaut Bugis Makassar yang
melakukan kontak dagang dengan pedagang berasal dari Jawa Timur. Koperasi ini
bertujuan untuk memberikan modal usah pada nelayan, dengan simpanan wajib dan
Sebagaimana Amir (1989: 95) bahwa Keberadaan KONI pada tahun pertama berdirinya
sempat menguasi modal usaha kegiatan kenelayanan dari tahap produksi hingga pada
tahap pemasaran.
Namun pada tahun 1948, koperasi ini mengalami masa krisis, karena C Daeng
Congkeng meninggal dunia. Kondisi ini otomatis dana KONI tidak berjalan lagi, dan tidak ada
yang sanggup menjamin keuangan anggota, akhirnya modal KONI habis dan resmi
www.hendratmoko.com 96
dinyatakan bubar pada tahun 1948. Sepeninggalan beliau tidak ada kadernya yang
meneruskan, sehingga masa ini memberi peluang bagi para Kapitalis Cina yang
dimanfaatkan oleh seorang keturunan Cina yang menetap di Makassar bernama Hai Hong.
Kegiatan awalnya mendirikan usaha dalam bentuk Kongsi Dagang dengan sejumlah nelayan
setempat terutama nelayan patorani di Galesong. Di sini merupakan awal mula masuknya
kapitalis Cina, dan diperkirakan sekitar pertengahan abad ke 20-an. Situasi itu, sistem bagi
hasil antara pemilik modal dengan nelayan pekerja sudah mulai menjadi perioritas.
Peluang bagi kapitalis Cina yang menetap di Makassar, tidak hanya bergerak di
bidang pengadaan modal dalam bentuk tunai tetapi juga dalam bentuk pengadaan kredit
perahu. Pemasaran hasil tangkapan pun dilakukan untuk memperluas jangkauan sektor
usahanya. Sistem pemasaran menjadi kekuasaan kapitalis Cina. Kuota permintaan pasar
semakin meningkat, baik regional (Pulau Jawa) dan domestik (Kotamadya Ujung Pandang
kini menjadi Kota Makassar). Usaha yang terbentuk melalui kongsi dagang itu, sempat
bertahan cukup kuat (dalam arti monopoli) hingga pada akhir tahun 1952. Perkembangan
usaha kaum kapitalis Cina mulai oleh CV. Pantai Mas Panarukan Jawa Timur yang membuka
perwakilan di Makassar. Perusahaan di pimpin oleh seorang direktur bernama Toke Bodo
(nama gelar). Usaha yang sama dilakukan pula oleh Hai Hong, CV. Pantai Mas ini sempat
bertahan cukup kuat sebagai pemilik pasar hingga pada akhir tahun 1956.
dapat ditarik suatu kesimpulan awal bahwa kapitalis sudah lama masuk di daerah Galesong
Selatan dan Galesong Utara. Hal ini ditandai dengan awal mula pendirian koperasi secara
khusus memberi kredit pada nelayan patorani. Pemberian modal melalui koperasi secara
umum belum besar jumlahnya, tetapi unsur kapitalis sudah mulai berkembang. Pemberian
kredit pada anggota melalui sistem kredit simpanan wajib dan simpanan pokok. Sistem itu,
www.hendratmoko.com 97
nelayan diwajibkan untuk tetap membayar simpanan wajib dan simpanan poko kepada
koperasi. Seiring perjalanan koperasi, pedagang Cina pun masuk pada komunitas nelayan
patorani menjadi kelompok perantara untuk menghubungkan pada pihak pasar dan lebih
mengejar keuntungan.
tangkapan tidak lagi dilakukan secara monopoli oleh kapitalis Cina. Pengadaan kredit mulai
ditangani oleh sejumlah pengusaha baru yang bermunculan di sepanjang pantai Kotamadya
Ujung Pandang (kini kota Makassar). Pengusaha- baru itu adalah berasal dari pengusaha
pribumi (non kuturan Cina) dan pengusaha Cina lainnya. Pengusaha itu, mereka bersaing
dalam hal pengadaan modal usaha berupa perangkat peralatan penangkapan (perahu dan
alat tangkap). Persaingan berupa pemberian biaya operasional hingga pada pemasaran hasil
pun menjadi tanggung jawab para pengusaha. Kendati mereka bersaing, namun pengusaha
lokal keturunan Cina tetap masih dominan untuk menjalin hubungan kerja dengan komuitas
nelayan patorani.
Selama fase intervensi, kelompok kapitalis maupun koperasi semakin menguat, dan
secara umum komunitas nelayan patorani tidak mengalami perubahan yang cukup berarti,
khususnya dalam peningkatan tarap hidup mereka. Penghasilan nelayan selalu kehabisan
modal dalam setiap kali mau memulai operasi penangkapan (pada musim pattoranian).
Sebaliknya para kapitalis Cina maupun lokal khusus yang berkedudukan di Ujung Pandang
(sekarang Makassar), tampak jauh lebih maju (sejahtera). Kapitalis Cina kecenderungan lebih
maju usahanya dan memperoleh banyak keuntungan dari komunitas nelayan, karena para
pemilik modal ini, mengikat secara kontraktual hubungan kerjanya. Ikatan kontrak yang
dilakukan berdasarkan dana pinjaman yang diberikan oleh nelayan patorani, kemudian imbal
dari itu hasil tangkapan semuanya dikumpulkan ke pemilik modal. Selain dari itu, kapitalis
Cina memberikan motivasi pada nelayan agar harapan adanya peningkatan produksi setiap
www.hendratmoko.com 98
musim penangkapan.
Selain kontrak di atas, diperkuat pula dalam bentuk perjanjian bagi hasil dengan
syarat seluruh hasil tangkapan diserahkan kepada pemilik modal. Kemudian pengembalian
modal yang sudah dikeluarkan oleh kapitalis, dilakukan melalui pemotongan dari bagian
hasil yang diperoleh nelayan pekerja (pinggawa dan sawi). Tidak ada batas waktu
pengembalian dan besarnya kredit yang harus dibayar pada saat tertentu oleh nelayan
pekerja. Tetapi kapan nelayan pekerja menjual hasil tangkapannya ke tempat lain dan di luar
sepengetahuan pemilik modal, maka perahu yang dioperasionalkan tersebut dapat saja
ditarik kepenguasaanya dari tangan nelayan pinggawa. Kredit yang sudah terlanjur di ambil,
nelayan wajib melunasi dengan diberikan tenggang waktu melalui musim. Realitas itu,
pemberi kredit memegang peranan penting dalam mengikat nelayan pekerja untuk tetap
Secara umum, bahwa kehidupan nelayan patorani dalam kondisi ini, Kurang berubah
kualitas hidupnya. Keprihatinan dari pemerintah setempat pun mulai terusik untuk ikut
membantunya. Pemerintah Kabupaten Takalar Donggeng Dg, Ngasa yang pada waktu itu
pada tahun 1960-an menjabat sebagai bupati Kabupaten Takalar, memiliki jiwa ingin
lembaga yang dapat menghimpun para nelayan. Lembaga yang dibentuknya adalah bernama
Yayasan Patorani Galesong yang diketuai langsung oleh bupati yang bersangkutan. Yayasan
ini sebagai pemerhati, sekaligus merupakan jawaban atas eksploitasi ikatan kontraktual yang
yang selama ini dilakukan oleh para pemilik modal (kapitalis) yang berkedudukan di
Makassar.
hubungan para kapitalis yang berkedukan di Makassar. Hal itu terjadi, karena program yang
www.hendratmoko.com 99
dicanangkan oleh Yayasan Patorani Galesong, yakni sebagai perantara antara nelayan
pekerja dengan Bank Pemerintah. tidak dapat berjalan yang diharapkan oleh kedua belah
pihak. Kegagalan misi yang diembang oleh yayasan tersebut menjadikan masyarakat nelayan
berada dalam keadaan transisi. Pada akhirnya nelayan setempat tetap menjalin hubungan
kerjasama dengan para kapitalis sebelumya terutama bagi mereka yang masih terikat secara
Disinilah awal munculaya Papalele, yang diberi kepercayaan dari para kapitalis yang
nelayan pekerjaannya. Sebagai perantara yang telah mulai mengidap (ketularan) Gap
(ketularan) penyakit yang berjiwa kapitalis. Papalele memiliki motivasi untuk ingin
memperoleh keuntungan lebih dari komisi yang diperoleh dari pemilik modal. Motivasi inilah
awal melahirkan para papalele dengan dua kekuatan yang terpresentasikan ke dalam
nelayan patorani, yakni pertama berusaha untuk memperoleh keuntungan pada penggunaan
biaya operasional maupun pada penjualan hasil. Kedua Biaya operasional yang diperoleh
dari kapitalis untuk nelayan pekerja tidak diberikan dalam bentuk tunai tetapi dalam bentuk
tersebut. Begitu pula harga hasil tahapan yang diberitahukan kepada nelayan pekerja, yang
oleh papalele perantara adalah lebih rendah dari yang ditetapkan oleh pemilik modal dan
harga dipasaran.
Masuknya kapitalis negara-negara dari luar (eksportir) melalui perantara papalele maka
mencapai hal itu, maka papalele lokal menempuh jalan satu-satunya adalah kalangan
penambahan perahu, maka strategi lain pun dilakukan oleh papalele dengan melalui
www.hendratmoko.com 100
jalan menambah jaringan pinggawa yang memiliki perahu tetapi tidak memiliki
sumberdaya permodalan.
otomatis penghasilan yang diperoleh papalele (pemilik modal) dari hasil eksploitasi dari
nelayan pekerja, juga bertambah banyak pula. Perlakuan pembagian hasil yang
diterapkan oleh papalele pada pinggawa nelayan patorani secra faktual tidak berimbang.
patorani untuk selalu memperoleh hasil yang lebih banyak, agar pembagian yang
diperoleh juga semakin banyak dan modal yang terlebih dahulu diambil dapat
(eksportir) sudah mulai masuk sebagai salah satu komponen yang menguasai produksi hasil
tangkapan nelayan patorani di Galesong selatan dan Galesong Utara. Kelompk kapitalis
eksportir ini, mulai masuk sejak akhir tahun 1960-an yang pada awalnya eksportir paling
pertama menginjakkan di Galesong Selatan dan Galesong Utara adalah negara Jepang dan
kemudian di susul negara lainnya yakni Korea. Pada awalnya kedua negara ini memiliki
masing-masing strategi untuk bersaing, yang cenderung dilakukan dalam persaingan itu
peluang kredit investasi para papalele, dan semakin memperkuat posisi papalele untuk
tampil mandiri sebagai pemilik sumberdaya permodalan dan fasilitas alat tangkap lainnnya.
Kekuatan papalele itu pulalah sehingga ikut mempermainkan pasar dengan mengesploitasi
pinggawa dan sawinya. Dampak kekuatan papalele itu, menyebabkan semakin tidak adanya
www.hendratmoko.com 101
kondisi terhimpit pun selalu menuntut agar pinggawa memperoleh hasil yang maksimal,
ke Bank BRI. Peminjaman melalui Bank BRI papalele sudah diberikan kepercayaan untuk
peminjaman kredit. Agunang yang digunakan sebagai jaminan, para papalele menggunakan
sertifikat tanah, rumah dan atau perahunya. Pengembalian atas dana yang sudah dipinjam
tesebut, dibebankan sepenuhnya oleh pinggawa nelayan patorani. Setiap musim torani
papalele dengan pinggawa. Kerjasama peminjaman ini, bagi papalele tidak perlu meminta
agunan dari pinggawa-sawi, tetapi lebih cedenerung melalui dengan kontrak kepercayaan.
Selain itu hasil tangkapan harus semuanya di serahkan ke papalele yang memberikan modal
proses serta pembagian hasil untuk bagian papalele, pinggawa dan sawi.
maka semakin mendukung menguatnya posisi pemilik pasar dan penerapan teknologi
sebagai sumberdaya pendukungnya pun menjadi sasaran investasi para papalele untuk lebih
penangkapan dan fasilitas yang mendukung berjalannya kerjasama eksportir. Daya dukung
tersebut antara lain wadah penyimpanan hasil produksi seperti gudang. Dan daya dukung
lainnya adalah tempat proses pemarutan telur ikan torani untuk memisahkan serat dengan
telurnya semakin diperbesar sebagai tempat yang terpenting tempat terakhir untuk
memproses telur ikan torani. Kesemua proses ini, membutuhkan teknologi agar telur ikan
dapat bertahan lama hingga menunggu harga dipasaran semakin membaik. Kemenangna
www.hendratmoko.com 102
papalele disini, bisa memainkan negara-negara eksportir berkaitan dengan kuota
Strategi papalele itu merupakan suatu hal normal sebagai penguasa lokal dan
kelompok yang terkuat posisisinya di komunitas nelayan patorani ikut bermain di pasaran.
Pentingnya penentuan harga jual di pasaran, merupakan hal yang mutlak dilakukan. Apalagi
pasar yang dikuasai oleh eksportir, sangat mudah untuk diberlakukan penguasa-penguasa
tertentu yang pada muaranya akan memunculkan sifat-sifat monopoli harga di pasaran.
Sehingga untuk mengantisipasi hal itu, perlu adanya penyeimbang sebagai kontrol agar tidak
merugikan sebagain pihak. Adanya kontrol pula maka baik eksportir maupun papalele
Terkait adanya penguasaan pasar itu, Menurut Polanyi (1998: 152) bahwa sebuah
ekonomi pasar adalah sebuah sistem ekonomi yang dikontrol, diatur, dan di arahkan oleh
pasar itu sendiri. Peraturan dan produksi dan distribusi barang yang dipercayakan kepada
mekanisme mengatur diri sendiri. Peraturan dan produksi dan distribusi barang yang
dipercayakan kepada mekanisme mengatur diri sendiri. Ekonomi jenis ini berasal dari suatu
harapan bahwa umat manusia akan mengambil sikap sedemikian rupa untuk mendapatkan
penyediaan barang (termasuk jasa) dengan harga tertentu yang berdasarkan harga tertentu
Kondisi yang berbalik, kenyataannya ternyata produksi malah dikontrol oleh harga,
karena keuntungan dari pihak yang menjalankan produksi akan tergantung padanya serta
distribusi barang juga akan tergantung pada pasar. Distribusi barang juga akan tergantung
pada harga, karena membentuk pendapatan dan dengan bantuan pendapatan. Barang yang
diproduksi di distribusikan di antara para pelaku ekonomi antara papalele dan eksportis.
Berdasarkan pengandaian ini, sebuah aturan dalam peroduksi dan distribusi hanya di jamin
www.hendratmoko.com 103
oleh harga. Atas dasar pengertian tersebut di atas, maka dapatlah dilihat bagaimana
kemampuan usaha papalele dan eksportir dalam memperoleh keuntungan dengan melihat
Penetapan harga telur ikan torani pada komunitas nelayan patorani sepenuhnya
ditentukan oleh papalele dengan pertimbangan dari aspek biaya (biaya tetap maupun biaya
tambahan), tenaga kerja, bunga pinjaman papalele di perbankan ikut pula memainkan
peranan penting dalam penetapan harga. Penetapan harga inilah yang biasanya disebut
dengan harga pokok, yang selanjutnya harga pokok ditambah dengan margin keuntungan
yang diharapkan akan menentukan harga jual yang akan ditanggung oleh eksportir.
Hubungan semacam ini antar papalele dengan eksportir lebih banyak berlangsung dalam
sistem permainan pasar dengan tergantung pada kondisi dan musim penangkapan telur ikan
torani itu sendiri yakni antara bulan Maret hingga bulan September.
mengatakan bahwa kondisi harga telur ikan dipasaran tidak menentu, tergantung pada
kondisi kebutuhan kuota barang eksportir, bila musim lagi banyak barang maka bisa saja
eksportir memainkan harga dan kuota barang. Posisi eksportir di sini, memiliki kekuatan
dalam hubungan jual beli sebagai unsur bagian pemilik pasar internasional. Namun
sebaliknya, bila eksportir lagi membutuhkan telur ikan yang banyak maka, biasanya
dimainkan oleh pengumpul pada tingkat lokal yaitu papalele. Permaianan yang dilakukan
oleh papalele tentang harga, secara langsung bersentuhan dengan pinggawa. Terkait hal itu,
papalele sebagai agen pengumpul dari pinggawa patorani memberikan keputusan harga
sesuai dengan kemauan dan kehendak papalele. Pada situasi seperti inilah, memunculkan
ketidak terbukaan papalele pada pinggawa sehingga biasa terjadi perbedaan harga di antara
Sejak awal tahun 1970-an menurut informan papalele dan eksportir Muhammad Dg
www.hendratmoko.com 104
Gassing (51 th) bahwa nelayan patorani beralih kepenangkapan dari induk ikan torani ke
penangkapan telur ikan torani. Peralihan ini dilakukan, karena nelayan patorani sudah
mengejar keuntungan berdasarkan permintaan pasar. Kehadiran pasar untuk membeli telur
ikan torani, maka secara otomatis papalele meminta pinggawanya untuk beralih
penangkapan. Peralihan ini pula di lakukan, karena telur ikan torani sudah menjadi komoditi
yang sangat diutuhkan oleh pasar. Sejak awal peralihan penangkapan dari induk ikan torani
ke telur ikan torani, harganya masih relatif rendah, bila dibandingkan dengan biaya
operasional yang dikeluarkan. Menurut informan pinggawa bahwa walaupun tahun itu,
yakni tahun 1970-an harga telur ikan torani dibeli senilai Rp.11.000, namun nelayan patorani
merasa memiliki peningkatan pendapatan bila dibandingkan pada saat menangkap induk
ikan torani. Pembeli saat itu masih dilakukan melalui sambungan antara eksportir dengan
kelompok pengusaha yang berdomisili di kota Makasasar. Situasi itu antara dasawarsa 1970-
an hingga tahun 1980-an pasar masih di dominasi oleh pengusaha yang memiliki akses
negara-negara pengespor telur ikan torani. Dalam situasi penguasaan pasar didominasi oleh
pedagang-pedagang itu, maka papalele lokal tidak mempunyai kemampuan akses untuk
menembus para eksportir, karena kondisi saat itu eksportir belum sampai menembus
langsung ke papalele lokal yang berdomisili di Galesong Selatan maupun di Galesong Utara.
Namun setelah tahun 1980-an sampai tahun 1990-an, eksportir sudah langsung
pengumpul langsung berhubungan dengan papalele (pemilik modal) dan peralatan tangkap.
Setelah masuknya eksportir secara langsung, maka harga telur ikan pun semakin menanjak
harganya. Kondisi ini, terjadi seiring permintaan eksportir membutuhkan barang yang
banyak, sehingga harga telur ikan torani pada tahun 1990-an hingga tahun 2000-an
berkisaran antara Rp.100.000,- sampai Rp.300.000,-. Harga komoditi telur ikan torani
standarisasi mata uang dollar. Kemudian peningkatan harga pula terjadi karena masuknya
www.hendratmoko.com 105
negara-negara lain sebagai eksportir, yakni negara Korea sebagai eksportir yang kedua dan
juga ikut memainkan harga pasar, dan bahkan mampu membeli hingga seharga Rp.300.000-
an.
Terkait pernyataan informan eksportir di atas, bahwa penentuan harga telur ikan
tergantung pada situasi bulan-bulan tertentu pengiriman barang. Musim yang dianggap
sebagai situasi bulan pengesporan itu adalah pada bulan Juli hingga September. Pada
yakni pada bulan Juni. Pada bulan Juni ini harga belum menjadi keputusan mutlak,
artinya tergantung dari kuota permintaan negara eksportir. Namun pada bulan Juli bisa
saja harga bertambah naik lagi hingga pada puncak pengiriman pada bulan September.
Setelah musim pattoranian sudah berakhir dan barang masih ada, maka disimpan dalam
berikutnya. Pengeksporan di luar musim pattoranian, maka biasanya harga sediit lebih
mahal di bandingkan pada musim pattoranian, tapi menurut informan eksportir dalam
wawancara bahwa “permintaan di luar musim jaran terjadi, karena negara sasaran
ikan torani kadangkala tidak menentu. Kalau hasil yang diperoleh oleh nelayan patorani
memenuhi kuota negara tujuan ekspor, maka harga dapat dimainkan oleh negara tujuan.
tidak ada resiko atau tuntutan apapun juga. Kondisi itu, sebenarnya jarang terjadi, namun
www.hendratmoko.com 106
Terkait tentang pemberian modal pada nelayan patorani, sepenuhnya diberlakukan
kebiasaan saling kepercayaan kedua belah pihak, antara papalele dengan pinggawa.
Pemberian modal tersebut lebih kecenderungan pada kepercayaan untuk memperoleh hasil
tanpa konsekuensi, tapi sebelum berangkat sudah ada beban yang ditanggung bersama.
Artinya bahwa bila nasib tidak berpihak, maka bukan hanya pinggawa yang tidak dapat
mengembalikan modal ke papalele, akan tetapi papalele juga menanggung beban berat
untuk mengembalikan dana dan bunga pinjamannya di bank BRI yang terlebih dahulu
dipinjamnya. Tuntutan komersialisasi produksi pada era penangkapan telur ikan torani,
sangatlah diperlukan dan tuntutan ini pulalah menjadi faktor pendorong utama untuk tetap
eksis baik untuk hubungan eksportir (pemilik pasar) maupun hubungan bantuan permodalan
(perbankan).
maka jalan satu-satunya oleh nelayan patorani adalah menyerap teknologi penangkapan
modern. Peralatan pendukungnya adalah perahu dengan ukuran yang lebih besar dan
penambahan jumlah tenaga kerja yang lebih profesional. Penyerapan jenis teknologi
penangkapan yang digunakan sekarang yakni kapasitas mesin perahu dinilai paling modern
pada komunitas nelayan patorani. Selain daya tangkapnya yang jauh lebih besar dibanding
dengan jenis teknologi penangkapan pada era tahun 1940-an hingga akhir tahun 1960-an.
teknologi, sebagai cerminan pada komunitas nelayan patorani lebih menggambarkan respon
terhadap pasar dan sisi peningkatan teknologi mekanisasi penangkapan. Posisi ini, hanya
yang lebih cepat merspon, sehingga menyebabkan terjadinya ketimpangan kelas antara
www.hendratmoko.com 107
pemilik modal (papalele) dan nelayan pekerja (pinggawa dan sawi). Modernisasi perikanan
dalam perkembangannya hanya bisa diakses oleh segelintir nelayan kaya yang memiliki
(kapiatalisasi biaya operasional). Selain itu, papalele pula memiliki peluang untuk membuka
akses tanpa melalui perantara kepada para eksportir. Adanya kontak secara langsung ini,
tentu saling menguntungkan antara pelaku ekonomi lokal (papalele) dengan para eksportir.
Sehingga para eksportir setelah tahun 1990-an sudah masuk secara langsung ke Galesong
mengambil barangnya melalui papalele yang terlebih dahulu melakukan kontak dagang. Era
kapitalis pada komunitas nelayan patorani, lebih cenderung bersumber pada mengejar
keuntungan.
Asumsi itu terkait Dobb (dalam Sanderson, 2000: 171) yang memberikan penjelasan
bahwa dalam sistem kapitalis terdapat dua lapisan. Lapisan pertama adalah bahwa banyak
perdagangan pada saat itu, terutama perdagangan luar negeri, mengandung kepentingan
politis atau perampokan terselubung; dan lapis kedua kelas pedagang segera setelah
membentuk suatu persekutuan dagang dengan cepat memperoleh hak monopoli yang
melindungi usahanya dari persaingan, dan berdagang hanya untuk keuntungannya sendiri
dalam berhubungan dengan produsen atau konsumen. Analisis Dobb bahwa perdagangan
dua lapis dalam periode kapitalis berkuasa memberikan dasar yang esensial bagi
Dikaitkan dengan asumsi tersebut, bahwa komunitas nelayan patorani dalam era
tahun 1990-an hingga tahun 2000-an terjadi monopoli antara papalele sebagai penguasa
kapitalis lapis pertama memainkan perannya sebagai pemilik modal dan memberikan
www.hendratmoko.com 108
hampir tidak memberikan kesempatan pinggawa untuk tampil sebagai salah satu komponen
yang diikutkan ambil andil menentukan harga di pasaran. Kekuatan yang dimiliki papalele
untuk memperoleh hasil dalam bentuk barang, karena mengejar kuota permintaan pasar,
sehingga kekuatan yang dimiliki adalah lapis kedua dan bertugas sebagai komponen yang
Secara realitas, bahwa implikasi dari pergeseran penangkapan dari induk ikan torani
ke penangkapan telur ikan torani dapat disimpulkan bahwa pertama adanya perkembangan
tekanan pasar, dan secara tidak langsung berimplikasi pada percepatan penerapan teknologi
dan penguasaan ilmu pengetahuan tentang kepatoranian; Kedua Dalam kondisi masuknya
kapitalis maka hanya golongan masyarakat yang mendapatkan hasil lebih baik adalah
papalele (pemilik modal) yang sudah berorientasi pada kapitalis; dan ketiga secara umum,
dapat dikatakan bahwa harga pada hampir semua telur ikan hasil tangkapan nelayan
patorani harganya di tentukan oleh papalele yang terpolakan naik turunnya harga di
pasaran. Dengan kondisi demikian nelayan patorani hampir tidak punya kekuatan untuk
mengatur produksi tangkapannya ketika kapitalis masuk, baik kapitalis lokal (papalele)
sangat sederhana sebagai alat bantu untuk memperoleh penghasilan tangapan. Selain hal
www.hendratmoko.com 109
pengetahuan yang dimilikinya. Sebagaimana Kontjaraningrat (1992: 34) bahwa komunitas
berupa tombak atau sejenisnya. Terkait hal itu, maka diasumsikan bahwa kehidupan nelayan
pada masa lalu masih mengandalkan teknologi seerhana (alat bantu) yang mudah dijangkau
penggunaan jaring dan pukat sesuai dengan jenis ikan yang akan di tangkapnya.
menciptakan teknologi sebagai alat bantu walaupun berawal dari hal yang sederhana
teknologi sebelumnya. Penciptaan teknologi bagi komunitas nelayan merupakan hal yang
terpenting untuk meudahkan dalam melakukan penangkapan ikan. Pada realitas ii, maka
alam konteks nelayan di Kabupaten takalar Sullawesi Selatan lahir berbagai komunitas
tangkap yang dimilikinya. Selain hal itu, maka jenis tangkapannya pun berbeda yang di
hasilkan. Misalnya nelayan palanra, beroperasi pada daerah pesisir pantai dengan
hanya terdiri antara 2-3 orang, dan jenis ikan yang ditangkap adalah ikan berukuran kecil.
tradisional dengan alat tangkap kail (pancing) dan ikan yang di tangkap adalah ikan jenis
tongkol (cakalang). Sedangkan nelayan parengge adalah nelayan yang memiliki perahu ada
yang menggunakan teknologi mesin dan ada pula nelayan hanya menggunakan layar
(sombala) nelayan parenge ini biasanya perjalanannya menjangkau antar daerah di pesisir
www.hendratmoko.com 110
Sulawesi Selatan, dan ikan yang tangkap dan dihasilkan bermacam-macam jenisnya.
papekang dan parengge, perlahan sudah mulai berkurang populasinya walaupun hingga
sekarang masih ada beberapa yang bertahan, mungkin diperkirakan sekitar antara puluhan
perahu. Komunitas nelayan di kabupaen Takalar sekitar tahun 1940-an banyak yang beralih
ke nelayan patorani dengan khusus menangkap induk ikan terbang (ikan torani).
seiring bertambahnya pula pengadaan perahu yang di khususkan menangkap ikan torani.
Pengadaan perahu patorani selain di uahakan sendiri oleh komunitas nelayan itu sendiri
secara individu, maupun di adakan oleh oran-orang yang memiliki kemampuan modal,
nelayan tradisional dngan memiliki perahu yang berukuran besar bila dibandngkan dengan
mengunakan eknologi sederhana seperti penggunaan alat bantu pelayaran yakni layar
(sombala) namun pada periode selanjutnya antara tahun 1960-an, nelayan patorani suda
menggunakan teknologi mesin sebagai alat bantu pelyaran. Dan hingga pada akhir tahun
1960-an hingga awal tahun 1970-an nelayan patorani sudah beralih pada penangkapan
ekonomi, dan pemanfaatan teknologi penangkapan yang lebih mutakhir. Kondisi semacam
itu, sudah barang tentu terkait erat dengan upaya memperoleh hasil tangkapan yang lebih
www.hendratmoko.com 111
besar. Persoalan yang timbul kemudian, antara lain adalah para nelayan tangkap umumnya
bersikap bahwa sumber daya laut adalah milik bersama. Sementara itu, secara teoritis
maupun empiris sumber daya laut sifatnya adalah terbatas. Gordon (1986) memperingatkan
bahwa usaha penangkapan komersial di laut akan mempengaruhi stok ikan di laut. Sebagai
dampak terhadap percepatan modernisasi pada kegiatan nelayan patorani. Hanya saja
golongan masyarakat yang mula-mula bisa memperoleh berkah dari modernisasi nelayan
patorani adalah para pemilik kapital (papalele). Sedangkan dampak terhadap peningkatan
kesejateraan pinggawa dan sawi sebagai pekerja masih belum signifikan dibandingkan
Dalam sistem pemasaran komoditi nelayan patorani, secara umum ditentukan oleh
kekuatan pasar negara pengekspor. Alhasil kondisi tersebut maka nelayan patorani
umumnya diperhadapkan naik turunnya harga pasar dan hargapun tidak dapat diprediksi
dan tidak dapat dipolakan. Dengan kondisi pasar seperti dewasa ini, hampir tidak ada
nelayan yang bisa mengatur produksi dan tangkapannya. Sebaliknya pada tingkat tertentu
karena akumulasi kapital sebagai penggerak ekonomi maka para nelayan berusaha
terutama dikalangan nelayan Patorani yang dulunya hanya mengandalkan layar (sombala=
bahasa makassar) dan di bantu dengan arah angin. Namun pada awal tahun 1970-an
www.hendratmoko.com 112
42pk. Untuk menambah kecepatan dan ketepatan waktu tempuh ke lokasi penangkapan,
maka nelayan menambah 1 (satu) buah mesin lagi dengan kekuatan 42pk. Kekuatan
Perkembangan ke arah pemakaian jenis alat tangkap yang lebih besar dan
berteknologi lebih tinggi, merupakan manivestasi lebih cenderung adanya dorongan kaum
pemilik pasar. Fakta tersebut, mengindikasikan bahwa kegiatan nelayan patorani berproses
menuju modernisasi. Tuntutan selanjutnya adalah penangkapan telur ikan torani bagi
penghasilan. Untuk mencapai hal tersebut, maka dibutuhkan tenaga penunjang dengan
pada untk memperoleh keuntungan dari berbagai pihak yng terkait pada komunitas nelayan
patorani. Hal itu terpresentasikan apa yang di sebut Adimihardja (1983: 35) sebagai
pandangan formalis yaitu dimana manusia dalam tingkah lakunya selalu mencari untung.
Keadaan ini memperkuat bahwa tarikan pasarlah menuntut peningkatan produksi dan
mendorong timbulnya modernisasi nelayan tangkap, pada komunitas nelayan patorani itu
sendiri.
Nelayan patorani memiliki ciri khas tersendiri dalam melakukan aktifitasnya, mulai
dari jenis tangkapannya hingga pada penggunaan teknologi alat tangkap yang digunakan.
Pada penggunaan alat penagkapan ikan torani yaitu menggunakan pakkaja yaitu sejenis
www.hendratmoko.com 113
bubu terapung (portable traps). Teknologi penangkaan ini adalah spesifik diciptakan secara
turun temurun untuk menangkap induk ikan terbang (ikan torani) sekaligus di jadikan
Teknologi alat penangkapan pakkaja ini, merupakan teknologi tertua bagi nelayan
patorani dan digunakan secara turun temurun. Penggunaan teknologi alat penangkapan
pakkaja tersebut, sehingga nelayan patorani memiliki ciri khas tersendiri dalam melakukan
aktivitasnya bila dibandingan dengan alat penangkapan komunitas nelayan lainnya yang ada
di Sulawesi Selatan dan tekhusus pada komunitas nelayan yang berada di kabupaten Takalar.
Bahan baku pembuatan pakkaja pun komunitas nelayan patorani semuanya diperoleh dari
pembuatan secara lokal, karena diciptakan oleh masyarakat setempat dan bahan-bahannya
patorani itu sendiri berdasarkan kebutuhan. Pakkaja terbuat dari bambu, di anyam
berbentuk silinder dan dihiasi dengan daun kelapa. Sekalipun teknologi ini diciptakan sendiri
secara lokal, terhadapnya dari hari kehari juga mengalami perkembangan ataupun
modifikasi sesuai dengan kebutuan nelayan patorani. Dalam konteks penggunaan teknologi
modern, maka jenis teknologi ini dapat dikateorikan sebaga bubu terapung (portable traps)
atau bubu hanyut. Teknlogi ini disebut bubu hanyut karena dalam pengoperasiannya di
biarkan hanyut (pasif) bersama dengan perahu engikuti dengan terbawa arus. Jenis bubu ini
memiliki satu atau dua pintu masuk dan satu pintu keluar (pintu pengambilan hasil
tangkapan). Bubu berukuran panjang 57-80 cm dengan diameter 40-47 cm. Alat ini
dioperasikan oleh tiga-lima orang dengan sebuah perahu yang berkekuatan (bertonase) 2-5
ton atau dengan ukuran panjang 10-12 meter dan lebar antara 2-3 meter. Pakkaja ini
www.hendratmoko.com 114
dipasang pada seutas tali berselang 25-30 meter untuk setiap pakkaja. Pada ujung terluar
dari tali dipasang sebuah benda terapung yang dapat berfungsi sebagai simbol ujung tali dan
arah arus. Pada ujung lainnya diikatkan pada perahu, dan fungsi pakkaja adalah sebagai
perangkap induk ikan torani, dan bubu diberi daun penghias yang berfungsi sebagai penadah
modifikasi ke dalam bentuk alat tangkap yang diberi nama ballak-ballak, menggantikan
pakkaja. Ballak-ballak merupakan bubu hanyut pula, namun alat tangkap ini merupakan
modifikasi alat tangkap sebelumnya dan berukuran lebih besar. Penggunaan daun
kelapa lebih banyak, daya tangkap memiliki kapasitas lebih banyak. Ukuran lebih besar
tentu dapat memancing dan memilik daya tarik terhadap ikan torani untuk masuk
memijah dan bertelur. Kapasitas untuk menampung dan mengoleksi telur ikan torani
ballak-ballak lebih banyak bila dibandingkan dengan pakkaja (bubu hanyut) yang
Peralatan tangkap ballak-ballak merupakan alat yang diciptakan dan dimodifikasi untuk
tidak menangkap induk ikan torani, tapi hanya lebih cenderung diciptakan sebagai
sebagai alat penangkapan lebih ramah untuk kelestarian ikan torani. Terkait modifikasi
merupakan alat tangkap yang tidak mengesploitasi induk ikan torani. Hal itu,
lingkungan karena tidak menangkap induk ikan torani. Anggapan itu di perkuat lagi
www.hendratmoko.com 115
melalui pendekatan reproduksi biologis bahwa induk ikan torani di kemudian hari atau
pada musim berikutnya masih memiliki harapan akan kembali memijah. Musim
pemijahan ikan torani yaitu sekitar bulan April sampai September. Pada musim tersebut,
nelayan patorani terkonsentrasi pada wilayah penangkapan yang sudah menjadi lokasi
area penangkapan sejak dahulu hingga sekarang. Adapun wilayah penangkapan antara
lain selat Makassar dan Fakfak Papua, dan lokasi ini dianggap sebagai lokasi yang banyak
produksi telur ikan torani. Bulan April hingga September merupakan kebiasaan ikan
torani melakkan reproduksi. Kondisi ini dimanfaatkan oleh nelayan untuk mengoleksi
telur ikan dengan mengunakan teknologi penangkapan yang dimodifikasi berkuran besar
Alat tangkap ballak-ballak sebenarnya di buat dan di desain sendiri oleh komunitas
nelayan patorani. Pada musim pemijahan ikan torani, tiba maka komunitas nelayan
II. Kasus 7
Aktivitas kenelayanan seiring perkembangan kebutuhan sosial ekonomi, maka
dituntut pula mengikuti perkembangan itu. Salah satu strategi untuk berjalan
beriringan maka nelayan patorani melakukan perubahan atau inovasi alat
penangkapan. Awal keberadaan nelayan patorani di Galesong hanya sebagai nelayan
tradisional dan sekedar pemunuhan kebutuhan hidup nelayan. Tetapi seiring dengan
masuknya kapitalis baik dari daerah setempat maupun dari luar melakukan investasi
untuk mengembangkan hasil tangkapan menjadi hasil yang layak jual dipasaran.
Kasus di atas, memberikan suatu gambaran bahwa sebelum abad ke 20, nelayan
patorani hanya hidup dengan subsisten. Pola dengan hanya memeprtahankan pemunuhan
www.hendratmoko.com 116
kebutuhan hidup sehari-harinya. Ciri demikian merupakan suatu komunitas nelayan yang
bercirikan patorani tadisional yang sementara berproses. Berdasarkan kasus tersebut ada
beberapa hal yang menonjol yang perlu diperhatikan lebih lanjut yaitu pertama peralihan
nelayan patorani dari tradisional ke penerapan teknologi modern dilalui suatu proses dan
waktu yang panjang; kedua orientasi mata pencaharian yang lebih menjanjikan dan dijadikan
andalan untuk mencapai status kehidupan sosial yang lebih baik; Ketiga, orientasi untuk
mencapai kehidupan sosial ekonomi yang mapan, maka nelayan patorani memerlukan akses
proses hingga berorientasi pada pencapaian penghasilan produksi. Sebelum tahun 1969,
hasil produksi nelayan patorani hanya mengandalkan induk ikan torani. Kemudian
perkembangan selanjutnya bergeser pada telur ikan torani dan hingga sekarang menjadi
komoditi yang diperhitungkan dan dihargai secara resmi sebagai barang ekspor. Selain itu,
masuknya unsur eksportir maka prioritas selanjutnya, perhitungan bagi hasil didasarkan
pada jumlah produksi yang diperoleh nelayan patorani. Realitas diatas, sangat jauh berbeda
sebelum masuknya eksportir. Perbedaan itu terkait kondisi penangkapan dengan telur ikan
torani hanya menjadi konsumsi patorani sendiri, atau diberikan kepada keluarga dan
kerabat. Lain halnya dalam kondisi sekarang, telur ikan sudah menjadi barang yang mahal,
Sesudah tahun 1969, merupakan periode yang penting dalam perubahan sistem dan
pengetahuan patorani. Dan perubahan dibidang ini meluas ke aspek-aspek lain dalam
kehidupan sosial kelompok pinggawa-sawi. Hal itu, telah menimbulkan berbagai dampak
sosial terutama pola penangkapan yang berawal dari induk ikan ke telur ikan torani. Dalam
periode pertama (sebelum tahun 1969), perubahan yang rnenonjol nampak pada unsur-
unsur material, yaitu bagian dari alat penangkapan patorani. Pada perahu patorani telah
www.hendratmoko.com 117
terjadi tiga kali modifikasi. Pada mulanya dikenal perahu padewakang, sejenis perahu pajala
yang dimodifikasi dengan ditambah jarupi (menambah bagian perahu agak lebih tinggi).
Perahu ini berkapasitas muatan 3 alat penangkapan hanya 5-10 buah, jumlah awak 3 - 4
orang. Perahu memiliki Panjangnya tujuh meter, lebar garis tengah 1.5 meter, serta tinggi
1.5 meter. Era ini, nelayan patorani memasuki masa transisi pola tangkapan yakni dari induk
ikan torani ke telur ikan torani. Namun pada masa ini masih tetap ada yang menankap induk
ikan dan ada pula nelayan yang sudah beralih ke telur ikan torani. Kedua komodiri itu, masih
Setelah memasuki era awal tahun 1970-an merupakan periode awal pertumbuhan
dalam industri penangkapan telur ikan torani, karena sudah ada negara Jepang yang melirik
telur ikan torani sebagai komoditas ekspor di Galesong. Periode ini, nelayan patorani
untuk kepentingan pemunuhan kebutuhan masyarakat lokal. Periode ini pula surplus belum
tercipta sehingga investasi perahu dan peralatan tangkap masih sederhana. Periode ini, jika
dihubungkan dengan pentahapan perkembangan masyarakat dar Rostow (1964), juga bisa
disebut sebagai tahap awal proses para kondisi untuk tinggal landas.
ukurarn yang lebih besar dari perahu jenis pajala. Ukuran panjangnya 11 meter, lebar antara
5-7 meter, dan tinggi 3 meter. dengan kapasitas muat 9 ton, jumlah awak 8 orang. Modifikasi
demikian, perahu itu masih merupakan perahu layar murni, yang digerakkan oleh tenaga
Bertambah besarnya ukuran dan daya muat perahu, maka hal ini disertai pula
dengan peningkatan jumlah alat tangkap, serta lamanya waktu operasi penangkanan.
Dengan perahu yang berukuran 3 ton saja, maka pakkaja yang disiapkan, jumlahnya rata-
www.hendratmoko.com 118
rata 12 buah, dengan lama penangkapan 1 sampai 2 minggu. Sementara itu, dengan
kapasitas perahu 9 ton, jumlah pakkaja yang dibawa 40 sampai 50 buah, dengan lama
pelayaran 1 bulan setiap shift bagi areal lokasi penangkapan kalukkalukuang, tetapi nelayan
patorani yang berlayar hingga ke Fakfak pulau Irian, maka biasanya 3 bulan beroperasi.
penangkapan, dari induknya ke telur ikan terbang. Perubahan ini didorong oleh terbukanya
pasaran telur terbang di luar negeri. Sehingga usaha penangkapan ini semakin mengarah ke
bentuk usaha padat modal. Sejalan dengan itu, dilakukan berbagai penyesuaian dalam
sistem pengetahuan dan teknologi patorani, khususnya dalam sistem pengetahuan pela-
yaran dan penangkapan. berbagai modifikasi yang lebih sempurna telah dilakukan selama
periode ini, baik bagi perahu itu sendiri, maupun alat tangkap. Di antaranya, sejak tahun
1986 ukuran besar serta model perahu mulai disesuaikarn dengan bentuk kapal, yang
disebut baralo (dilengkapi dengan kamar). Ukuran panjang 9 meter, dan lebar 3 meter,
Sebelum tahun 1986 dalam periode kedua ini, jenis perahu yang digunakan adalah,
juga perahu yang digunakan pada akhir periode pertama. Namun demikian dalam periode
kedua ini sudah terjadi penggantian komponen utama perahu, yaitu dari tenaga angin
diganti dengan tenaga mesin. Dengan demikian, penggunaan layar tinggal sekedar, alat
perengkap saja, dimana digunakan bila mesin tidak berfungsi. Perahu ini sudah berbentuk
perahu layar bermesin. Dalam hal itu, penggunaan layar tidak sebanyak semula dan
jumlahnya sudah dikurangi. Dengan adanya mesin, jumlah layar tinggal 1- 2 buah hanya
untuk dipersiapkan bila salah satu mesin ada yang rusak, padahal sebelum menggunkan
mesin setiap perahu memakai 3 layar sebagai alat bantu utama untuk menjalankan perahu
kelokasi penangkapan.
www.hendratmoko.com 119
Perubahan orientasi sasaran penangkapan menyebabkan terjadinya penyesuaian
alat tangkap yang dipandang lebih baik dan lebih produktif dari sebelumnya. Kalau dulu yang
dipikirkan adalah penangkapan induknya, maka setelah investor lokal maupun eksportir
masuk, kemudian yang diutamakan adalah telurnya. Dengan pertimbangan seperti itu, maka
yang diperbanyak bukan lagi alat tangkap pakkaja, tetapi daun-daun kelapa dan gosse
(rumput laut) yang cenderung disukai ikan terbang sebagai tempat memijah. Pakkaja yang
dibawa oleh patorani jumlahnya sisa 12 buah, lebih sedikit dari sebelumnya, kemudian
ditambah dengan alat lain yaitu ballak-ballak sebanyak 20 buah. Ballak-ballak memiliki
ukuran 2x1 meter, fungsinya sebagai tempat memijah ikan torani untuk bertelur, jadi bukan
daun kelapa, gosse, dan sebagainya. Modifikasi ballak-ballak induk ikan torani tidak akan
informan bahwa setelah induk ikan terbang sudah memijah biasanya melakukan perjalanan
kembalii dan sesuai kebiasaan bahwa musim tahun berikutnya kemudian bertelur kembali.
Jadi induk ikan torani bertelur hanya sekali dalam semusim yakni antara bulan April sampai
September.
oleh kalangan patorani untuk dapat mengumpul telur ikan toranisebanyak mungkin.
Orientasi ini terkait komersialisasi produksi sudah menjadi prioritas utama unuk merekrut
hasil sebanyak-banyaknya. Diantaranya ada yang membawa dedak yang digunakan sebagai
umpan supaya ikan terbang mendekat ke alat tangkap. Dedak tersebut ditaburkan di semua
alat tangkap. Selain itu ada pula yang memakai lampu pijar (bola lampu neon) dengan aliran
listrik bersumber dari air aki. Penggunaan lampu itu, dilakukan berdasarkan dugaan bahwa
ikan torani memiliki kesenangan bermain ditempat sorotan cahaya sinar lampu di malam
hari.
www.hendratmoko.com 120
Sedikitnya ada tiga hal penting yang dapat digaris bawahi dalam periode selama fase
motorisasi secara meluas dikalangan komunitas nelayan patorani; kedua, terciptanya apa
yang disebut polarisasi sistematik, yakni polarisasi kinerja sistem penangkapan kemudia
diimbangi dengan polarisasi struktural; ketiga, terciptanya daur kegiatan usaha kenelayanan
yang relatif tidak lagi dibatasi lagi ruang geraknya ketika memasuki musim mencari telur ikan
torani (pattoranian), dan disatu sisi pula peningkatan frekuensi dan perluasan wilayah area
penangkapan. Ketiga halinilah yang tampak menggejala dan sekaligus menandai fase
dimulainya pada kegiatan penangkapan dan penadahan telur ikan torani yaitu sekitar
akhir tahun 1960-an hingga era awal tahun 1970-an. Operasi penangkapan dilakukan
adalah terutama karena adanya rangsangan harga pada setiap musim kepatoranian
tiba. Dalam kondisi demikian, persaingan harga telur ikan pun semakin terbuka
dikalangan eksportir.
Dalam kurung waktu tahun 1970-an komunitas nelayan patorani telah megadopsi
dua teknologi baru yang signifikan pengaruhnya. Teknologi tersebut terkait dengan perahu
yang lebih modern dengan kapasitas mesin lebih besar dan alat tangkap ballak-ballak lebih
dimodifikasi. Teknologi tersebut diadopsi oleh komunitas maupun individu dan selanjutnya
mengalami pekembangan dan semakin menyebar. Inovasi tersebut merupakan suatu bentuk
Galesong Selatan dan Galesong Utara. Fenomena ini relevan dengan penekanan Rogers
www.hendratmoko.com 121
Komitmen ke arah komersialisasi produksi bagi komunitas nelayan patorani
merupakan hal yang tidak dapat ditawar lagi. untuk mendukung hal itu, maka mengadopsi
teknologi alat penangkapan dan modifikasi perahu secara lengkap. Modifikasi tersebut, lebih
cenderung untuk mendorong produktivitas yang bermuara pada peningkatan hasil. Tahun
1940-hingga akhir tahun 1960-an inovasi kelengkapan perahu dan kelengapan penangkapan
(pakkaja) lebih kompleks dan kesemua itu dikembangkan oleh individu tertentu dalam
komunitas.
teknologi, bagi komunitas nelayan dilakukan melalui du cara yakni pola adopsi (adoption)
dengan pola menemukan sendiri (invention). Perkembangan teknologi dari periode akhir
1960-an sampai tahun 2000-an peralatan tangkap lebih cenderung di temukan sendiri.
Antara lain alat penangkapan yang dimodifikasi sendiri adalah ballak-ballak ukurannya lebih
besar. Alat tangkap ballak-ballak, yang dimodifikasi hanya di butuhkan antara 15-20-an
Berdasarkan uraian di atas, ada beberapa inti sari dapat dikemukakan, pertama,
bahwa perkembangan teknologi dalam komunitas nelayan patorani di Galesong Selatan dan
Pola adopsi teknologi, terkait antara teknologi yang berasal dari luar komunitasnya yang
dikombinasikan dengan temuan sendiri oleh individu inovatif. Kedua, bahwa perkembangan
reinvestasi dan diversifikasi bidang usaha, dengan tetap menempatkan tangkapan pada
telur ikan torani sebagai sentra usaha komunitas nelayan patorani. Ketiga keberadaan
Hal itu terkait dengan kepemilikan teknologi lebih cenderung berorientasi pada permintaan
pasar.
www.hendratmoko.com 122
4.2.2.2 Pola Pengelolaan Hasil Tangkapan Subsisten Ke Arah
Orientasi Ekspor
Perubahan yang terjadi dalam periode 1940-an hingga awal tahun 1970-an
atas dua periode. Pada periode pertama perubahan yang terjadi lebih cenderung pada
perubahan sosial, terutama pola dan jaringan hubungan dalam kelompok pinggawa sawi.
Pada periode kedua bagian lebih menonjol mengalami perubahan adalah berkaitan alat
penangkapan seperti model dan besar perahu serta jumlah alat tangkap. Perubahan itu lebih
bertumpu pada aspek kuantitatif material terutama dari segi hasil tangkapan difokuskan
Keadaan tersebut di atas, merupakan kondisi sosial yang menonjol pada periode
tahun 1940-an hingga tahun 1960-an, ketika nelayan patorani masih menangkap induk ikan
torani sebagai komoditi andalannya. Namun tidak berarti, bahwa kondisi tersebut hanya
secara spesifik berlaku surut hingga sekarang. Akan tetapi dengan, penggambaran seperti itu
adalah cara untuk melihat terjadinva perubahan sosial, dengan mengangkat kepermukaan
Kehidupan sosial nelayan patorani, selama kurung waktu tahun 1940-an hingga akhir
tahun 1960-an, komunitas nelayan patorani mengutamakan kesamaan dalam banyak hal,
kesamaan-kesamaan itu antara lain: (1) kesamaan memulai hari H pemberangkatan berlayar
secara perdana dalam menangkap ikan terbang; (2) kesamaan bentuk ritus dan upacara; (3)
kesamaan pola bagi hasil. Komponen tradisi kehidupan tersebut, menjadi pijakan nelayadi
patorani sejak era 1940-an hingga awal 1970-an. Keselarasan hidup itu berlangsung, karena
www.hendratmoko.com 123
kehidupan sosialnya. Keselarasan tentang penenentuan hari perdana keberangkatan, masih
menjadi tradisi nelayan patorani dan upacara juga masih menjadi suatu kepercayaan yang
pada hari H yang telah ditentukan. Keharusan ini merupakan bagian yang penting dari tradisi
penangkapan ikan terbang, dimana Paklaklakkang dalam sejarah, dipandang sebagai pusat
terkonsentrasi pemarkiran perahu patorani. Kampung ini pila ada diyakini seorang pinggawa
yang dianggap sebagai pewaris dari tradisi kebaharian yang unik ini. Desa Paklaklakkang
merupakan wilayah bermukin turunan Keraeng Galesong (raja Galesong) yang dianggap
sebagai awal mula kegiatan penangkapan ikan terbang. Dengan demikian semua kelompok
kecil patorani yang tersebar di Takalar tidak akan mendahului berlayar sebelum kelompok
pewaris itu secara resmi memulai aktivitas pelayaran. Permulaan pelayaran ditandai oleh
ritus yang diramaikan oleh kelompok-kelompok kecil lainya. Desa Paklaklakkang hingga kini
dijadikan sebagai kiblat kebersamaan untuk memulai pelayaran dan penangkapan, dan
hingga pada pola bagi hasil diatur oleh aturan pangadakkan (norma adat). Kesamaan
tersebut di atas, dipelihara sebagai satu kesatuan yang mengikat secara bersama-sama pada
komunitas nelayan patorani sejak abad ke-17 hingga awal tahun 1990-an. Adanya ikatan
tersebut, maka sulit ditemukan adanya perubahan-perubahan yang berarti dalam bentuk
demikian, dengan kebersamaan dalam sebuah ikatan, maka partisipasi dan keterlibatan
secara luas anggota keluarga patorani secara khusus dan bahkan nelayan pada umumnya
Terbinanya hubungan kekeluargaan, maka kelompok umur dan jenis kelamin ikut
berperan serta sebagai tenaga kerja. Anak-anak yang belum bisa ikut berlayar, turut
www.hendratmoko.com 124
mewarnai kesibukan persiapan pemberangkatan. Mereka membantu orang tua
mengangkat apa yang mereka mampu, ibu rumah tangga mempersiapkan bekal dan
berlangsung pula ketika para petorani kembali ke darat, sejak hasil tangkapan itu
Bila patorani tiba kembali ke darat, yang pertama sekali dikeluarkan dari hasil
kepada tetangga. Pemberian tersebut diberikan pada kerabat dan keluarga yang datang
dan keluarga mempunyai koreleasi dengan pemberian kaddok-kaddokang. Hal itu, sudah
menjadi perilaku yang terpola dan perilaku ini adalah bagian dari sistem sosial patorani.
penghasilan musiman terbuka luas. Musim pattoranian merupakan panen raya, karena
dan semacamnya. Aktivitas ini, sekaligus menjadi sarana kontrol untuk mengokohkan
kebersamaan kembali, kehidupan masyarakat yang lebih luas. Setelah beberapa bulan
terpencar-pencar dalam kelompok kecil, kerengganan sosial yang disebabkan oleh kesibukan
masing-masing berlayar dan menangkap ikan selama semusim diperkuat kembali melalui
Kasus 8
www.hendratmoko.com 125
Kehidupan Subsistensi Ke Arah Orientasi Ekspor
Nelayan patorani sejak keberadaannya sebagai nelayan tradisional dan aktivitas penangkapan dilakukan pada areal
tertentu. Hal itu, dilakukan karena nelayan patorani hanya mengandalkan untuk mempertahankan hidup secara
subsistensi. Kehidupan dengan sistem subsitensi ini, hanya menjual hasil tangkapannya pada pasar lokal dan penghasilan
hanya berorintasi pada hasil akhir yang diperoleh serta kebutuhan pasar pun permintaannya sangat terbatas.
Selain itu, bahwa pada periode awal keberadaan nelayan patorani, perubahan yang terjadi sangat statis dan alami,
sehingga proses adaptasi budaya juga berjalan secara harmonis. Tanpa adanya loncatan teknologi yang melampaui
kemampuan pengalaman dan kebiasaan kelompok. Dengan kata lain, perubahan itu berlangsung menurut evolusi alami,
yaitu terjadinya transformasi organisasi dan perubahan secara bertahap.
Perubahan yang alami itu, dalam rangka pengembangan dan penyesuaian terhadap suatu lingkungan yang stabil tanpa
menghilangkan karakteristik sendiri. Seperti halnya nelayan patorani sejak keberadaannya pada abad ke-17 sebagai
nelayan yang berkrakter dengan ciri khas menagkap induk ikan terbang. Namun dari segi hal keterpaduan pada
permintaan pasar, maka nelayan patorani melakukan suatu perubahan dari segi kuantitas jumlah tangkapan untuk
memenuhi kuota permintaan.
dan lebih cenderung dipengaruhi oleh kondisi secara eksternal. Karakteritik tersebut dapat
dilihat pertama, sejak sistem penangkapan masih menggunakan perahu dan alat
penangkapan secara tradisional, ikatan dan keutuhan kelompok pinggawa-sawi secara lokal
berbagai masalah antara papalele, pinggawa dan sawi belum terusik dengan perubahan
komersialisasi produksi yang tajam; Ketiga, naiknya harga telur ikan terbang, di pasaran
membuka jaringan secara sosial dan terpadu melalui jaringan ekonomi yang amat kebal dari
Pengumpulan hasil tangkapan pada tingkat lokal, tidak dapat dengan mudah
ditembus begitu saja oleh pedagang dari Makassar, kecuali mereka bekerjasama dengan
kelompok-kelompok pengirim yang ada di Takalar. Hal itu terjadi, disebabkan oleh karena
setiap unsur dari kelompok tetap konsisten dengan peranan yang harus dimainkan. Mereka
kebersamaan dan kesepakatan antara pinggawa darat dengan pinggawa laut (juragan)
www.hendratmoko.com 126
beserta sawi. Papalele memberikan kepercayaan kepada pinggawa biseang (juragan) untuk
ditangani oleh papalele. Pinggawa memegang amanah tersebut, sehingga tidak akan terjadi
penyelewengan dari pinggawa untuk menjualnya ke papalele lain. Kontrak model pemasaran
itu, dilakukan guna memudahkan mobilisasi pasar dan penentuan harga pun dapat diketahui
senantiasa mencegah timbulnya celaan (paccalla), dari papalele, karena kalau hal itu terjadi,
maka dinilai oleh papalele tidak mempunyai perasaan yang menyatu terhadap barang yang
dititipkan ke pinggawa. Barang tersebut diantaranya perahu, alat tangkap serta modal yang
dipercayakan kepadanya. Apabila timbul celaan, pinggawa itu sendiri menjadi malu. Suasana
akan menjadi lain terutama kredibilitas akan memudar akibat celaan yang tersebar dari
mulut ke mulut. Bagi mereka, menjaga kepercayaan merupakan nilai yang paling utama
interaksi, transaksi dan pertukaran sosial, dalam waktu beberapa musim atau tahunan.
Indikasi yang memperkuat saling percaya itu antara lain:(1) Pinggawa sudah dikenal,
diketahui identitas pribadinya dan tempat tinggalnya, Papalele mengenal pinggawa karena
adanya faktor ada hubungan keluarga atau secara geografis berdomisili sekampung/desa; (2)
Pinggawa tinggal menetap di kampung, punya rumah dan keluarga di kampung; kecil
kemungkinan baginya beralih pekerjaan dan pindah ke tempat lain. Papalele selalu bisa
jumpa dengannya, baik karena kepentingan pribadi (keluarga), maunun kepentingan hu-
bungan kerja; (3) Pinggawa belum pernah menipu seseorang. Masyarakat tahu dia jujur; (4)
Pinggawa merawat perahu dan alat tangkap serta memperbaikinya bila rusak, seperti
miliknya sendiri; (5) Pinggawa menyampaikan laporan hasil penangkapan yang sebenarnya.
www.hendratmoko.com 127
Indikasi kepercayaan pinggawa terhadap papalele antara lain (1) Papalele memiliki
modal usaha; makin banyak perahu yang dioperasikan, makin tinggi pula kepercayaan ping-
gawa; (2) Papalele tersebut, memang berasal dari turunan papalele sejak kakeknya: dan
para pinggawa, dan menunjukkan solidaritas yang tinggi dalam komunitas; (4) Papalele
dinilai oleh masyarakat sebagai orang jujur dan tidak mengeskploitasi pinggawa biseang dan
sawinya; (5) Papalele mampu memberi bantuan dan pinjaman modal kepada pinggawa dan
hanya menerima bagian dari hasil tangkapan menurut ketentuan yang berlaku.
Ukuran di atas, menjadi pertimbangan utama baik bagi pihak papalele maupun pihak
pinggawa dalam menjalin hubungan kerjasama, yang sekaligus berfungsi sebagai sistem
kontrol dalam membina dan mengembangkan jaringan kerja. Konsistensi mereka terhadap
saling percaya ini menyebabkan terjadinya sistem bagi hasil yang sudah terpola untuk
pinggawa dan sawinya, setelah dikeluarkan biaya operasional. Budaya ini bermula, ketika
papalele sudah berorientasi pada kapitalis untuk mengejar keuntungan semata. Memang di
satu sisi juga memberikan keuntungan bagi pinggawa setelah adanya peralihan bagi hasil
dengan sistem perhitungan demikian. Namun yang menjadi persolanan adalah pekerja
(sawi) hanya memperoleh sisa dari pembagian antara papalele dan pinggawa sebagaimana
Adanya penyamaan keinginan antara papalele dan pinggawa nelayan patorani untuk
mengejar hasil produksi, maka keutuhan serta konsistensi dalam hubungan sosial
pinggwa berlangsung dalam waktu yang cukup lama dan bukan hanya satu musim
pattoranian saja. Bahkan bisa menjadi hubungan antar generasi, Sejak pertama seorang
www.hendratmoko.com 128
pinggawa terikat hubungan kerja dengan papalele. Sejak itu pula terjalin hubungan
sosial yang semakin dekat, dan makin lama hubungan itu makin akrab menjadi
Adopsi teknologi modern terkait penggunaan mesin untuk mengganti tenaga angin
dalam sistem pelayaran. Adopsi ini secara nyata telah menggeser aspek-aspek tradisional
dalam kehidupan komunitas nelayan patorani. Penggunaan mesin sebagai alat bantu
nelayan patorani kecenderungan ini sangat berkaitan dengan perubahan nilai komoditas dan
sasaran penangkapan dari induk ke telur ikan. Tujuan utama adopsi teknologi adalah lebih
cenderung untuk berburu hasil tangkapan atau pengumpulan telur ikan yang lebih banyak.
Adopsi teknologi ini semakin gesit perkembangannya ketika tuntutan pasar (eksportir)
semakin banyak kuota permintaanya. Periode tahun 1990-an hingga 2000-an, nelayan
mesin perahu dan modifikasi perahu. Kondisi dmikian menggambarkan bahwa kemampuan
dan kemapanan orientasi ekonomi sudah menjadi prioritas. Selain ekonomi, maka
pengetahuan teknis pun perlu dimiliki oleh para patorani sebagai prasyarat untuk menguasai
teknologi yang diadopsi tersebut. Sebagaian informan yang menjadi pinggawa karena
papalele. Selain itu, para pinggawa dan sawi diberikan sepenuhnya menguasai perahu, dan
bila rusak maka layar tetap difungsikan kembali. Mesin yang rusak umumnya diperbaiki oleh
pinggawa dengan bantuan dana papalele yang sudah membina kerjasama pada musim
berikutnya.
www.hendratmoko.com 129
Beralihnya sistem pemasaran dari tangan pengumpul (kolektor) ke tangan papalele,
tidaklah berarti persoalan telah selesai. Kualitas komoditiuntuk sementara waktu memang di
jamin dapat dipertahankan, akan tetapi harga atas komoditi telur ikan torani itu tetap
menjadi rahasia bisnis dikalangan papalele. Jika sebelimnya para kolektor membeli pada
papalelele, sekarang papalele membeli hasil tangkapan patoraninya dengan harga yang
ditentukannya sendiri. Hasil informan para pinggawa menyatakan bahwa ketika mereka
menyetor hasil tangkapannya, maka papalele dengan serta merta memberikan harga yang
disesuaikan dengan keinginan papalele. Atas keinginan papalele itu, tak seorang pun
pinggawa untuk melawan dan memprotes atas harga yang sudah ditawarkan oleh papalele,
karena hal itu sangat prinsipil untuk di bahas dan pada akhirnya akan bermuara konflik
Setelah telur ikan terbang menjadi komoditi andalan di Sulawesi Selatan, terutama
di Galesong Selatan dan Galesong Utara. Peluang investasi sektor telur ikan torani
mengalami peningkatan hingga mencapai 2189,7 ton pada tahun 2005 ( data BPPMD, 2005).
Telur ikan terbang adalah salah satu komoditas ekspor yang ditangani secara sederhana.
Telur ikan terbang di ekspor ke Jepang, Korea dan Taiwan. Harga telur ikan terbang
berfluktuasi mengikuti perkembangan mata uang dollar AS, harga pada musim 2005-2006
Menurut informan papalele bahwa naik turunnya harga komoditi telur ikan torani,
memperebutkan hasil yang maksimal. Sekitar tahun 1971 telur ikan torani hanya di beli oleh
pelaku pasar lokal yang berasal dari Kota Makassar dengan harga sekitar Rp. 10.000-
Rp.20.000. namun setelah negara Jepang menjadi negara eksportir pertama, maka harga
relatif sangat rendah pula bila dibandingkan dalam era sekarang ini. tetapi pada tahun akhir
www.hendratmoko.com 130
tahun 1990-an hingga tahun 200-an eksportir sudah mulai masuk bermain di dalamnya
sehingga telur ikan semakin menjadi primadona yang dilirik oleh nelayan patorani dengan
Dijadikannya telur ikan torani ke dalam salah satu komoditi ekspor, maka papalele
sebagai pemilik modal ikut pula memainkan pasar melalui strategi kebutuhan pasar.
Pemanfaatan modal bagi papalele pada saat bulan masuknya musim torani melakukan
investasi sebanyak-banyaknya. Nelayan yang melaut biasanya membawa pulang minimal 30-
40 kilogram telur ikan terbang (torani) dalam bentuk sudah di keringkan. Bahkan bisa
membawa pulang sekitar 100 kilogram dengan lama melaut membutuhkan waktu 20 hari
hingga satu bulan. Musim telur ikan terbang dimulai awal bulan April sampai bulan
September. Saat musim angin timur, ikan terbang (torani) berada di selat Makassar. Paling
jauh bisa sampai ke Kalimantan, bahlan perairan Papua. Diluar musim angin timur dan atau
sudah memasuki awal musim angin barat, tidak ada satupun ikan terbang (torani) bisa
ditemukan.
Dekade terakhir ini, sejak tahun 1990-an hingga tahun 2000-an, tumbuh dan
berkembang jumlah pinggawa baru, sehingga jumlah perahu pun bertambah banyak
Selatan dan Galesong Selatan, kabupaten Takalar berstatus pa’torani berkisar sebanyak
2.000-an perahu. Pencarian telur ikan terbang dilakukan memakai kapal motor sepanjang
10-15 meter dengan mesin berkapasitas 48 pk. Penangkapan torani menggunakan balla-
balla. Diantara balla-balla itu, dipasang rumbai-rumbai daun kelapa yang dipotong
dilakukan memakai jebakan pakaja. Bentuk pakaja berupa bingkai bambu persegi panjang
berukuran 1x2 meter, yang dipasangi rumbai-rumbai daun kelapa. Puluhan pakaja diikat
dengan tali, dimasukkan ke laut, kemudian ditarik dengan kapal sambil berjalan pelan-pelan.
www.hendratmoko.com 131
Pada saat itulah, ikan yang hendak bertelur meloncat dan hinggap di pakkaja. Ikan torani lalu
bertelur di rumbai-rumbai yang senaja di pasang pada alat tangkkap ballak-ballak apabila
pakkaja terlihat agak tenggelam, itu pertanda telah dipenuhi induk ikan torani yang sedang
memijah.
Telur ikan torani yang dipanen berupa butiran halus berwarna putih keruh sampai
kuning keemasan, berlendir serta melekat dalam satu rangkaian memanjang (20-100 cm).
Untaian telur tersebut dijemur di atas perahu dengan menggunkan penjemur dari tali.
Waktu penjemuran berkisar satu sampai dua hari. Telur yang sudah kering dan berserat ini
kemudian di simpan dalam kantong plastik, untuk kemudian di bawah kedarat. Telur ikan
Pada umumnya telur hasil dari laut akan dijemur kembali setelah di darat sambil
menggunakan parutan yang terbuat dari kawat kasa. Butiran telur yang telah terpisah dari
seratnya kemudian di tampih. Penyortiran akhir dilakukan dengan mengambil telur yang
telah terpisah dengan menggunakan sendok, kemudian butiran telur dibersihkan lagi dari
kotoran maupun serat. Produk telur ikan terbang yang telah bersih disimpan digudang
Beralihnya orientasi penjualan telur ikan torani yang pada taun 1970-an hanya di
jual pada pedagang lokal sekitar Sulawesi Selatan, dan era akhir tahun 1970-an hingga pada
awal tahun 2000-an para papalele menyediakan gudang di dekat rumahnya masing-masing
untuk dijadikan sebagai penampungan butiran telur ikan yang sudah dipisahkan antara
serat/ benang dengan telurnya. Pengerjaan yang lebih profesional itu, dilakukan untuk tetap
mengedepankan kualitas telur ikan dan juga akan berimbas pada hubungan dan pencitraan
www.hendratmoko.com 132
4.3. Penerapan Teknologi Dan Pola Hungungan Sosial
Peralihan hubungan tradisional-industrial tercipta sekaitan pemenuhan ekonomi dalam meningkatkan taraf hidup yang
lebih baik, serta fasilitas yang dipergunakan lebih bermanfaat dan memudahkan memperlancar aktivitas. Kemudian
kekuasaan yang mempengaruhi kepatuhan berbasis pada pembagian upah sudah menjadi bagian yang diperhitungkan.
Implementasi tentang itu adalah atas dasar kepatuhan yang berbasis pada kalkulasi bentuk pekerjaan dan hasil kerja
berdasarkan pada kontraktual. Karakteristik masyarakat tersebut, berbeda satu sama lain dalam berbagai hal yakni
mencerminkan sejarah, lingkungan sosial dan fiskal, tetapi ada sejumlah karakteristik penting yang sama dan bisa
membantu guna memahaminya.
Karakteristik komunitas nelayan patorani tradisional masa lalu yakni era abad ke
17 hingga awal abad ke 20-an, sudah muncul tentang pemahaman yang difokuskan bahwa
keterlibatan pada hubungan tersebut. Pengaruh yang diperlakukan patron (papalele) kepada
kliennya (pinggawa-sawi) adalah berbasis pada pemberian upah yang dibarengi dengan
pemberian upah dan dinetralisir oleh manipulasi normatif, hingga itu harmoni tetap tercipta.
Papalele melakukan kombinasi ini dengan sadar untuk tercapainya keberlanjutan usaha
dengan kondisi harmoni tetap terjaga. Keharmonisan tradisional itu, terkait antara orang
yang telah menolong, pihak yang ditolong harus membalas pertolongan tersebut, atau
setidaknya harus patuh, tidak melawan dan tidak menyakiti. Prinsip ini lahir sebagai implikasi
adanya unsur utang budi dari sebuah pertukaran tidak seimbang tersebut menyebabkan
kekuasaan berada di tangan yang lebih banyak memberi sehingga berposisi superordinatif,
sedangkan yang lebih banyak menerima kekuasannya minimal sehingga berada di posisi
www.hendratmoko.com 133
subordinatif Scott (1972).
Penghasilan pinggawa dan sawi pada musim torani cukup (enam bulan dalam
setahun) di luar musim torani (paceklik) pendapatan mereka sangat rendah. Oleh karena itu,
membutuhkan. Hal ini, dilakukan karena ada ketakutan akan berdampak terhadap
semakin ia dipatuhi oleh para pinggawa dan sawinya dan bisa membangun citra yang positif
pada masyarakat terutama pada komunitas nelayan patorani itu sendiri. Sifat inilah yang
selalu dijadikan sebagai pancingan seorang papalele agar selalu di dengar dan di ikuti segala
keinginananya oleh pinggawa dan sawi. Hubungan ini semakin bermakna, apabila tatkala
Kasus 9
Hubungan kerjasam papalele dengan pinggawa terjalin seperti mata rantai yang
tidak dapat dipisahkan. terkait hal-hal menyangkut kebutuhan hidup keluarganya
karena terkait dengan semangat mereka melaut, kalau kita tidak lakukan mereka
(pinggawa sawi) bisa lari kepapalele lain yang mau memberi pinjaman untuk
keperluannya. Tentang seringnya pinggawa sawi meminta pertolongan kepada
papalele, hal itu sudah biasa, makanya seorang papalele, harus mampu
mengayomi pinggawa dan harus pintar melihat situasi. Kalau punggawa-sawi
kesulitan keuangan karena musibah, dan atau menginginkan barang-barang
tertentu berkaitan kebutuhan hidupnya maka secara ortomatis papalele sudah
berkewajiban menolongnya. Bahkan kalau perlu ada dana yang diberukan secara
cuma-cuma dan atau dalam bentuk pinjaman yang tidak mengikat. Karena kalau
mereka minta tolong ke orang lain, nanti juga papalele yang repot untuk
menggantikannya.
www.hendratmoko.com 134
membantu, karena kalau tidak demikian, maka motivasi untuk melaut para
punggawa dan sawi berkurang. Imbas dari ketidak adaan motivasi dari pinggawa
maka secara otomatis akan beresiko terhadap penghasilan pinggawa dan juga
berkaitan pengembalia modal yang sudah dikeluarkan oleh papalele.
sangat berarti bagi kehidupan pinggawa nelayan patorani dan sawi. Hal demikian, karena
papalele menyadari bahwa remunerasi yang diberikan tidak cukup bagi pemenuhan
diri memberi bantuan, ketika pinggawa - sawi terdesak untuk pemenuhan kebutuhan
hidupnya. Dengan kondisi demikian papalele tampil sebagai penolong dalam kondisi
papalele itulah memunculkan hubungan dan perasaan kepatuhan, dan beriringan berlaku
bersamaan.
Kondisi demikian, terdapat pula faktor lain yang menarik, bahwa dibalik
pemberian itu bukan hanya pertimbangan hasrat menolong pihak pappalele saja, tetapi ada
pertimbangan instrumental bahwa bantuan yang diberikan akhirnya akan berefek pada
kelancaran pekerjaan dan citra usaha juga maksimalisasi keuntungan. Jadi hubungan sosial
yang terjalin selama ini, yang sejak awal keberadaan nelayan patorani sudah ada rasa tolong
menolong antara pemilik modal denga nelayan pekerja (pinggawa-sawi). Namun dibalik
hubungan itu tentunya saling memberikan kontribusi antara papalel dan pinggawa.
pergeseran hubungan pertukaran sosial. Pergeseran dari tradisional yang secara sukarela
papalele pada masa lalu membantu pinggawa dengan tidak memaksakan pengembalian
utang melalui ikatan kontrak. Namun setelah pergeseran penangkapan dan komersialisasi
produksi, nilai sosial pun beralih pada bentuk utang yang harus dikembalikan oleh pinggawa
www.hendratmoko.com 135
dengan tepat waktu melalui ikatan kontrak. Implementasi ikatan kontrak itu, terkait dengan
dimaksudkan Blau (1964) yaitu dari yang bersifat intrinsik dimana relasi sosial sebagai tujuan
utama ke yang bersifat ekstrinsik dengan memanfaatkan relasi yang tercipta sebagai
kepatuhan yang diperoleh papalele, akan tetapi sejumlah manfaat pula yang diperoleh
diperoleh seorang papalele terhadap usahanya adalah pinggawa selalu merasa mempunyai
Proses patron dalam hal ini pappalele memanfaatkan norma resiprositas (harus
patuh) untuk kepentingan dirinya. Ikatan kepatuhan inilah yang mengikat pinggawa seakan-
akan ia penolong sehingga klien (punggawa-sawi) terbebani utang budi, padahal pinggawa-
sawi membutuhkan bantuan karena upah yang diperoleh dari papalele memang tidak cukup
Realitas itu, Menurut Popkin (1979), tidak semua kemurahan patron didasarkan
suatu tingkat kompleksitas yang tinggi, dan tidak lagi dikendalikan oleh kekuasaan negara.
Pada masyarakat industri setiap orang menetapkan dirinya sendiri, hak menentukan dirinya
sendiri pada berbagai hal kepentingan masyarakat. Kehidupan di masyarakat ini muncul
individualisasi, kebebasan dan toleransi sosial sebagai akibat kurangnya campur tangan
www.hendratmoko.com 136
kepentingan untuk selalu kompromi dan adanya kerjasama saling menguntungkan.
patorani. Hal itu terjadi, karena papalele memiliki modal usaha sebagai kebutuhan awal
untuk permodalan bagi pinggawa tidak ada selain papalele, sehingga jalan satu-satunya
pinggawa meminta pinjaman pada papalele. Pinjaman yang diberikan papalele ke pinggawa
itu, bukan berarti bahwa hanya sekedar mengembalikan uang pokok pinjaman, akan tetapi
lebih pada terbentuk suatu keterikatan pinggawa pada papalele. Pemberian modal, papalele
juga hati-hati, karena pinggawa juga sebagaian ada yang boros atau tidak pintar mengelola
uang, papalele akan berfikir terlebih dahulu untuk memberikan. Kalaupun ditolong, paling-
paling dipinjami, itupun dengan sejumlah ketentuan dana untuk operasi selama
penangkapan.
pinggawa dan sawinya, dalam hal pemberian modal tidak semua permintaan bantuan
pinggawa-sawi harus dipenuhi. Kalau sawi kekurangan karena boros papalele berpikir dua
kali untuk membantu, meskipun itu dalam bentuk pinjaman. Hal ini menunjukkan bahwa
pinggawa sawi tidak selalu otomatis terjadi, tapi bisa kombinasi dan berlaku hanya bila
pinggawa sawi terkena musibah atau ada kebutuhan mendesak di luar kebutuhan sehari-
hari.
Pengaruh pemberian upah dan manipulasi normatif telah digunakan oleh patron
pertimbangan kalkulatif yang dibarengi prinsip moral. Tersadari oleh mereka bahwa imbalan
www.hendratmoko.com 137
kerjanya sering hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan subsistensi, bahkan kurang.
Tetapi karena papalele memudahkan berutang dan sering memberi bantuan, pertimbangan
tetap patuh kepada patron. Dihubungkan dengan pendapat Etzioni (1961) berarti
pertimbangan kalkulatif dan moral, Menurut Etzioni (1961) akan melahirkan kepatuhan yang
berada pada tahap transisi dari kepatuhan normatif ke kepatuhan utilitarian. Artinya
hubungan papalele dengan punggawa-sawi dalam struktur komunitas nelayan berada pada
(utilitarian complience). Ini berbeda dengan ikatan patron klien di masa lalu, yang berbasis
pada hubungan bangsawan - budak (Pelras, 1981; Ahiamsa Putra, 1988), yang sepenuhnya
juga tetap ada, sehingga kepatuhan utilitarian sudah muncul dan signifikan dibanding
kepatuhan normatif dengan demikian berdasarkan penggarisan Etzioni (1960) dan Scott
(1972b), fenomena pergeseran dari hubungan patron klien ke hubungan industrial pada
www.hendratmoko.com 138
keuntungan semata (Etzioni, 1961). Terpresentasi apa yang dikatakan Adimihardja (1983)
yakni pergeseran pandangan masyarakat dalam kehidupan ekonomi yang tidak semata-mata
kontraktual, tentu saja memungkinkan hubungan dalam struktur sosial komunitas nelayan
Kedudukan papalele selain sebagai pemilik modal juga bertindak sebagai pelaku
ekonomi lokal, menciptakan hubungan asimetris yang tidak seimbang antara pinggawa.
Hubungan itu terjadi, pada komunitas nelayan patorani berlangsung pada akhir tahun 1960-
an, yaitu sejak masuknya nilai-nilai pasar memunculkan komersialisasi produksi. Tuntutan
hasil tangkapan dalam era ini menjadi prioritas, sehingga tercipta pergeseran hubungan
patron-klien yang dulunya berbasis pada keturunan bangsawan yang mengayomi komunitas
nelayan patorani. Namun kondisi itu bergeser pada kecenderungan lebih mengikat melalui
lebih mengarah pada hubungan profesi, sebagai pemilik modal dan kepemilikan teknologi
salah satu yang diperhitungkan untuk memperoleh bagian hasil dari penangkapan.
Hubungan ini, tercermin adanya karakteristik perilaku yang mengarah pada komersialisasi
karena salah satu unsur yang membutuhkan modal besar adalah pengadaan dan
modal yang sudah dikeluarkan tetap akan dikembalikan oleh pinggawa tatkala sudah
kembali dari lokasi penangkapan. Namun papalele patorani memiliki alasan bahwa modal
www.hendratmoko.com 139
yang dikeluarkan merupakan juga pinjaman dari Bank, sehingga beban yang ditanggung juga
agak berat. Jadi pada hubungan ini, papalele memberikan motivasi agar pinggawa dan
sawinya bekerja keras untuk memperoleh hasil tangkapan yang lebih banyak.
Motivasi ini, bukan berarti bahwa tidak memiliki alasan, akan tetapi lebih pada
orientasi agar modal yang sudah dikeluarkan dapat dikembalikan agar biaya operasional
pada musim selanjutnya dapat lagi memperoleh pinjaman. Pinggawa patorani juga sepaham
untuk mengembalikan modal yang sudah diperoleh dari papalele. Kerjasama antara papalele
dengan pinggawa, sebenarnya lebih mengara pada sebuah kerjasama kontraktual yang di
klien secara sederhana pada era tahun 1940-an hingga akhir tahun 1960-an, yang mana
hanya berkaitan dengan pembagian hasil penjualan berdasar perolehan hasil tangkapan.
teknologi penangkapan sebagai unsur yang dimasukkan untuk memperoleh dari penghasilan
tangkapan. Perubahan itu, lebih mengarah pada persoalan ketidak mampuan seorang
pinggawa untuk meyampaikan usulan ketidak setujuannya pada aturan main sepihak itu.
Ketakutan seorang pinggawa, karena pada musim yang akan datang akan menjalin
kerjasama kembali dengan papalele. Terjalinnya kembali pada musim berikutnya antara
papalele dan pinggawa yang masih sama, karena adanya ketergantungan kepemilikan modal
dan utang pinggawa masih tersisa dari papalele yang harus dibayar lunas pada musim
berikutnya.
Dari berbagai realitas diatas, dapat disimpulkan bahwa meskipun ciri hubungan
dari tradisional ke industrial masih ada yang terpresentasikan. Hubungan tradisional disini
adalah hubungan yang tidak mengikat antara papalele dan pinggawa-sawi. Papalele tidak
www.hendratmoko.com 140
memberikan ikatan tentang target hasil dan beban utang tidak sepenuhnya di serahkan
pinggawa, akan tetapi papalele memiliki etika bahwa usaha yang dilakukan merupakan
usaha saling terkait antara papalele dan pinggawa. Sehingga kalu hasil minimal yang
diperoleh dan tidak dapat pinggawa mengembalikan dana opersaional, maka papalele
menuntut agar musim yang akan datang lebih giat lagi bekerja. Namun ikatan ini tetap
memberikan ikatan pada pinggawa untuk tidak berpindah kepapalel lain. Hal itu dapat
dilihat dari basis kepatuhan yang mendasari hubungan papalele dan punggawa- sawi, ciri
hubungan industrial sebenarnya mulai muncul. Terlebih dengan hubungan kerjasama antara
papalele dengan para punggawa-sawi diawali dengan perjanjian dalam bentuk kontraktual.
Dari sini dapat diartikan bahwa komunitas nelayan patorani telah terjadi pergeseran dari
masyarakat Sulawesi Selatan. Hubungan patron klien tersebut tetap menjadi fenomena
dan bagian kehidupan nelayan patorani beserta aktivitas masyarakat lainnya. Terkait
fenomena tersebut terungkap secara spesifik dalam uraian teori Scott (1972) tentang tiga
ciri utama hubungan patron klien yaitu: pertama adanya sifat luwes dan meluas dari
excange); ketiga adanya sifat tatap muka dan mempribadi dalam hubungan (face to
masih difokuskan penangkapan induk ikan torani. Hubungan patron klien sebenarnya
sudah berlangsung sejak sebelum masuknya kapitalis (pemilik modal) yang berasal dari
www.hendratmoko.com 141
luar komunitas nelayan patorani. Perbedaan yang dominan adalah ketika nelayan
patorani masih menangkap induk ikan, kecenderungan yang menjadi patron adalah
penangkapan sedangkan yang menjadi klien adalah para sawi yang ikut dalam pelayaran
menjadi klien tetapi dengan ketergantungan yang lebih sedikit di atas sawi. Posisi pinggawa
Sebelum papalele ikut terlibat di dalam andil nelayan patorani, maka papalele
hanya sekedar pengumpul hasil tangkapan lalu kemudian di sambungkan ke pembeli yang
masuk di daerah Galesong Utara dan Galesong selatan. Pada era tahun 1940-an hingga akhir
tahun 1960-an papalele pada komunitas nelayan patorani belum banyak mengambil andil di
dalamnya. Hal itu, karena hasil tangkapan induk ikan torani dijual dalam bentuk ikan kering.
Pemasaran ikan kering ini lebih banyak dilakukan sendiri oleh pinggawa nelayan patorani,
karena pinggawa memiliki hubungan langsung terhadap pasar dan tanpa melalui perantara
papalele. Dalam artian bahwa patron papalele pada masa itu dianggap belum begitu penting
setelah masuknya unsur pasar dan kelompok yang mendominasi tuntutan peningkatan hasil.
Tuntutan komersialisasi produksi merupakan suatu keharusan yang diharapkan oleh pemilik
modal dan eksportir sebagai pemilik. Terkait keadaan itu, maka nelayan patorani pun
merubah sasaran tangkapannya dari induk ikan torani ke telur ikan torani. Selain faktor
pasar maka hubungan relasional patron klien pada komunitas nelayan oatorani terbentuk
www.hendratmoko.com 142
ketika penerapan teknologi alat penangkapan dan mulailah pula usaha telur ikan torani
membuat semakin kuat hingga menduduki pada posisi patron. Penguasaan teknologi
yang secara individu dan berkelompok dan dikoordinir oleh seorang papalele.
Ketergantungan pinggawa pada papalele semakin menjadi hal yang tidak bisa dipisahkan
lagi, karena pinggawa memperoleh modal dan peralatan setiap mau melakukan
operasional. Dari segi kepemilikan perahu ada dua macam yakni papalele memiliki
armada patorani dan ada pula pinggawa sendiri memiliki perahu, tetapi tidak memiliki
modal, maka jalan yang ditempuh meminjam modal dari seorang papalele.
sudah mulai masuk. Kapitalis Cina memasuki komunitas nelayan patorani yang pada
era peralihan pola penangkapan dari induk ikan torani beralih ke telur ikan torani.
Awal kapitalis Cina masuk, nelayan patorani sama sekali tidak memiliki akses ekonomi
dan politik. Situasi itu, lama kelamaan mulai ikut terlibat kerjasama kapitalis cina untuk
penyambung akses dari para kapitalis Cina sebagai kelas komparador dan meningkat
menjadi pemilik modal. Tampilnya papalele hingga sekarang menjadi pemilik tunggal
nelayan patorani, seiring itu, hubungan patron klien antara papalele - pungawa dan
www.hendratmoko.com 143
dan kekerabatan. Hubungan patron klien setelah nelayan patorani mengenal pasar dan
papalele sudah semakin kuat, dan hanya tercipta sekedar hubungan kerja. Hubungan
kerja dibuktikan dengan adanya perjanjian dalam bentuk kontrak musiman. Selain itu,
hubungan pinggawa-sawi di luar kerja tidak terlihat lagi hubugan kerjasama, kecuali
pinggawa terkait perekrutan sawi bisanya pula banyak berasal dari luar daerah Galesong
Utara dan Galesong Selatan, sehingga interaksi hanya terjalin dalam satu musim. Hal itu
terjadi, karena sawi hanya datang ketika musim pattoranian dan lebih cenderung
Interaksi yang terjalin antara pinggawa dan sawi selama semusim pattoranian
tetap terjalin hubungan yang erat. Keeratan hubungan itu terkait karena adanya hubungan
kerja, dan bukan sebagai pengikut. Demikian pula persepsi papalele dalam hal menjalin
hubungan dengan sawi di luar hubungan kerja juga tetap terjalin hubungan biasa dan
tidak ada unsur ikatan harus patuh terhadap segala keinginan papalele. Sikap
keterbukaan di luar hubungan kerja itu, menandakan bahwa tejadinya patron klien pada
komunitas nelayan patorani tidak terkait pada hubungan panutan sebagaimana layaknya
seorang rakyat pada pemimpinnya (raja). Kepatuhan akan terbentuk pada komunitas
papalele belum begitu meluas, sehingga hubungan patron klien lebih mengarah pada
hubungan sosial lebih spesifik pada hubungan kerja dan bukan pada hubungan sosial
tanpa ikatan.
berpandangan bahwa bahwa papalele yang menjadi patronnya tidak otomatis menjadi
panutan dalam kehidupan sehari-hari. Kemudian hal itu pula di benarkan oleh seorang
sawi dalam wawancara bahwa keterlibatannya bekerja bukan karena telah menjalin
www.hendratmoko.com 144
hubungan sebelumnya dengan papalele, dan bahkan tidak ada hubungan kekerabatan
dengan papalele. Jawaban ini muncul dari pinggawa-sawi diluar kerabat. Pinggawa sawi
Dihubungkan pendapat Scott (1972) bahwa sifat keterbukaan dan hubungan secara luwes
dan meluas hanya dipersepsi oleh pinggawa sawi apabila memiliki hubungan berkorelasi
Munculnya pula patron klien pada komunitas nelayan patorani dalam era
akhir tahun 1960-an, dengan mengacu pada pendapat Scott (1972) bahwa salah satu
cirinya adanya pertukaran yang tidak seimbang. Keberadaan pinggawa dan sawi patorani
sebelum melakukan penangkapan terlebih dahulu sudah ada pemberian yang membuat
pinggawa dan sawi berhutang budi dan berhutang modal pada papalele. Pertukaran
yang terjadi sebelum bekerja adalah, adanya pemberian pekerjaan dengan hanya
pinggawa, dan papalele pula adalah pemiliki semua sumberdaya. Tenaga yang
disumbangkan pinggawa sawi tidak senilai dengan investasi dan resiko ekonomi
papalele. Ketidaksamaan pertukaran ini lebih nyata lagi karena kebutuhan untuk
operasional di laut. Pemberian modal itu dikategorikan dalam bentuk piutang, dan
www.hendratmoko.com 145
(1972) berarti dari sudut pandang papalele bahwa ciri pertukaran tidak seimbang tidak
Pembayaran yang dilakukan dengan model hasil produksi menurut pinggawa sering melebihi
utang pinjamannya, karena dibayar berdasarkan ketentuan harga papalele dan bukan harga
dipasaran. Dihubungkan dengan teori Scott (1972) bahwa pihak pingawa-sawi terdapat
persepsi tentang adanya pertukaran tidak seimbang dalam bentuk pembagian hasil pun
merasa dirugikan. Adanya ketidak seimbangan pertukaran ini, menurut informan sawi
dan sangat merugikan klien (pinggawa-sawi) terutama dalam penetapan harga hasil
produksi. Pertukaran yang tidak seimbang digariskan oleh Scott (1972)serta Eistandt
(1984) sebagai ciri hubungan patron klien, tidak terpresntasikan sebagai hubungan
kerja, akan tetapi lebih cenderung pada pertukaran yang tidak berimbang dari segi
perlakuan panghasilan yang diperoleh. Disatu sisi papalele merasa mempunyai posisi
Dalam kaitan hubungan pertukaran itu, menurut Scott (1972) bahwa terpatri
pula hubungan tatap muka dan hubungan mempribadi. Implementasi hubungan ini
www.hendratmoko.com 146
Implementasi pertukaran itu, terangkum dalam hasrat menolong dan melindungi kaum
patron (papalele).Kepatuhan punggawa sawi yang diberikan. Hal itu terindikasi dalam
Pertemuan secara tatap muka antara papalele- pinggawa-sawi pada saat perahu
sering terjadi baik sebelum berangkat maupun dalam lokasi penangkapan hingga kembali
Implementasi hubungan itu, hampir tidak ada batas antara pinggawa dan sawi
secara pergaulan namun secara beban pembagian kerja dan tanggungjawab kepatoranian
tetap ada perbedaan. Begitu pula antara papalele dan pinggawa-sawi terjalin akrab dan
kerjasam tetap menjadi satu ikatan yang utuh. Namun dibalik intensitas pertemuan mereka
lebih mengarah ke hubungan untung rugi, hubungan secara kedekatan pribadi antara papalele
pinggawa bahwa selama ini pinggawa keluar dan pindah kepapalelen, karena merasa tidak
tahan lagi dengan perlakuan terkait dengan harga yang diberikan oleh papalele pada pinggawa.
Dihubungankan dengan teori Scott (1972) ciri intensitas pertemuan secara langsung dan
Dari sudut pandang punggawa - sawi intensitas pertemuan mereka dengan papalele
terjadi terkait adanya kepentingan saling membutuhkan. Artinya bahwa papalele memiliki
modal tetapi tidak memiliki skill untuk memangkap, sedangkan pinggawa memiliki skill tetapi
tidak memiliki sumberdaya alat penangkapan dan modal, dan begitu pula dengan sami memiliki
kemampuan tenaga. Maka kalau ditarik garis hubungan teori Scott (1972), berarti dari pihak
punggawa sawi juga terdapat persepsi tatap muka dan mempribadi dengan hubungan mereka
www.hendratmoko.com 147
dengan papalele. Dari seluruh uraian, ketiga ciri hubungan patron klien yang digariskan
Scott (1972), dan Eistandt (1984), tidak berlaku surut lagi, meskipun demikian masih ada yang
signifikan tetapi telah mengalami pergeseran seiring dengan perkembangan orientasi baik
Bergesernya hubungan patron klien pada komunitas nelayan patorani pada era tahun
1940-an dan memasuki era awal tahun 1970-an muncul suatu bentuk hubungan baru sebagai
penggantinya, yakni hubungan industrial. Ponsion (1969), Legg (1983) bahwa hubungan
kepatuhan dalam hal ini Etzioni (1961), menyebutnya kepatuhan utilitarian (utilitarian
compliance), yakni sebagai ciri antara majikan dan pekerja. Dalam konteks organisasi industri
dapat dilihat pada dua dimensi. Pertama, dimensi kekuasaan (power) yakni jenis kekuasaan
yang digunakan oleh suatu pihak dalam mempengaruhi pihak lain untuk patuh. Kedua,
satu pihak untuk patuh kepada pihak lain. Dalam konteks nelayan patorani hubungan
berbasis pada kalkulasi dan pembagian hasil antara dimensi papalele dan yang terlibat
pada hubungan tersebut. Makna kepatuhan pada komunitas nelayan patorani terlihat
perhitungan pemberian upah yang dibarengi dengan manipulasi normatif dan tidak
www.hendratmoko.com 148
yang mengikat klien dalam kontrak kerja semusim. Dengan kombinasi pengaruh yang
normatif, hingga itu harmoni tetap tercipta. Papalele melakukan kombinasi ini dengan
sadar untuk tercapainya keberlanjutan usaha dengan kondisi harmoni tetap terjaga.
Patron sebagai kekuatan yang mengayomi pinggawa-sawi sebagai klien pun terjadi.
Implementasi hubungan itu, terkait kondisi kehidupan keluarga pinggawa sawi hingga
tidak bisa mencukupi, maka papalele ikut membantu menutupi kebuthannya tersebut.
Secara implementatif, hal ini dilakukan oleh seorang papalele karena hanya semata-mata
selanjutnya.
Dari realitas itu, dapat diambil anggapan bahwa terbinanya patron klien pada
sudah dikeluarkan, sehingga dari resiko pun tidak terlalu berat dihadapi oleh papalele.
Sebagaimana wawancara dengan abdul Karim (papalele) menyatakan bahwa "kita harus
selalau membantu pinggawa karena terkait dengan semangat mereka melaut, kalau kita
tidak lakukan mereka (pinggawa sawi) bisa lari kepinggawa lain yang mau memberi
pertolongan kepada papalele ia berkata: "kita, para papalele, harus pintar melihat
situasi.
www.hendratmoko.com 149
III. Kasus 10
Hubungan Patron Klien
penolong dalam kondisi dibutuhkan oleh pinggawa-sawi dan pertukaran pun berlangsung.
Realitas itu, maka pinggawa merasa berhutang budi kepada papalele. Makna pertukaran
itulah kepatuhan muncul karena berlakunya norma dengan prinsip bahwa kepada orang
yang telah menolong, pihak yang ditolong harus membalas pertolongan tersebut
(resiprositas). Tetapi disini juga terdapat faktor lain dibalik pertolongan itu, dan bukan
www.hendratmoko.com 150
hanya pertimbangan hasrat menolong pihak pappalele saja. Bantuan yang diberikan
akhirnya akan berefek pada kelancaran pekerjaan semata, tapi citra usaha ke arah
pada pemberian upah lebih pada pinggawa-sawi, tetapi semua kemurahan patron tidak
kecenderungan individual dan kepentingan pribadi semata yang menurut Popkin (1979)
pertukaran. Sebagaimana dimaksudkan Blau (1964) dari yang bersifat intrinsik dimana
relasi sosial sebagai tujuan utama ke yang bersifat ekstrinsik dengan memanfaatkan
relasi yang tercipta sebagai instrumen untuk memperoleh reward (imbalan). Dibalik
kombinasi remunerasi dan manipulasi normatif, bukan hanya kepatuhan yang diperoleh
kesulitan keuangan karena musibah, kita harus tolong, cuma-cuma atau pinjaman.
Karena kalau mereka minta tolong ke orang lain, padahal kita papalelenya, maka secara
otomatis papalele memiliki tanggungjawab secara moril untuk membantu atas kesulitan
yang dihadapinya tersebut. Tetapi kalau pinggawa membutuhkan uang karena hanya
sehari-hari, maka papalele berfikir untuk memberikan, kecuali dengan syarat sebagai
pinjaman yang harus dikembalikan dalam bentuk utuh tanpa menunggu hasil pada musim
pattoranian berikutnya.
dalam menciptakan kepatuhan punggawa sawi tidak selalu otomatis terjadi. berdasarkan
www.hendratmoko.com 151
pandangan papalele tersebut di atas, dihubungkan dengan pendapat Etzioni (1961), dari
manipulasi normatif telah digunakan oleh patron (papalele) sekaligus. Padahal secara
papalele setengah hati untuk menolong pinggawanya, dan hanya berorientasi pada
Setiap musim pattoranian tiba, maka papalele tidak serta merta mengeluarkan
Tetapi secara tidak sadar bahwa imbalan kerja untuk pinggawa hanya cukup untuk
Budaya mengutang juga diberikan kemudahan oleh papalele, sehingga hasil yang
Pertimbangan moral untuk menetralisir perhitungan untung rugi. Etika ini menjadikan
merupakan suatu hal yang mutlak dilakukan. Namun di balik itu ada keuntungan yang lebih
besar di harapkan oleh papalele terhadap pinggawa diantaranya terjalinnya kerjasama yang
mengikat pada pinggawa. Sedangkan pinggawa-sawi sebagai unsur yang diberikan ikatan
www.hendratmoko.com 152
karena adanya hubungan kekuasaan tersentralisasi pada papalele. Menurut Etzioni
(1961) akan melahirkan kepatuhan yang berada pada tahap transisi dari kepatuhan
sawi patorani berada pada dua bentuk yang saling bersinggungan dari kepatuhan
berbeda dengan ikatan patron klien patorani di masa lalu ketika masih melakukan
penangkapan induk ikan torani. Masa itu, pinggawa merupakan patron yang selalu
hidup bersama dan senasib dengan sawinya. Sehingga nilai-nilai kebersamaan dalam
sawi, merupakan suatu ciri hubungan yang sudah mengedepankan, bahwa papalele
memiliki kekuatan sebagai pemilik alat produksi (papalele)-lah yang paling berpeluang
mengatur segala pengeluaran dan investasi atas modal secara ekonomi rumah tangga
pinggawa-sawi. Kemudian dari segi modal operasional pun segalanya di atur oleh
papalele, baik dari segi harga sehingga papalele pula semakin mereakumulasi modal
pada posisi tetap dan mampu bertahan sebagai pekerja (klien), dengan hasil kerja
Hubungan patron klien yang mengarah pada posisi papalele sebagai orang
penangkapan dari induk ikan torani ke telur ikan torani sebagai komoditas yang di
butuhkan oleh pasar. Dari sinilah berawal munculnya papalele-papalele lokal dengan
meminjam uang di Bank BRI dengan jaminan sertifikat tanah, rumah dan bahkan
dalam suatu sistem pattoranian terlebih dahulu dibangun kerjasama antara papalele
www.hendratmoko.com 153
dengan para pinggawa-sawi diawali dengan perjanjian dalam bentuk kontraktual.
Berangat dari sini maka dapat diasumsikan bahwa komunitas nelayan patorani telah
terjalin hubungan patron klien antara papalele dan pinggawa-sawi yang saling
mengikat antara pemilik modal dan sumber daya dengan pinggawa-sawi pemilik
patron klien ke hubungan kontrak pada komunitas nelayan patorani termaktub adanya
papalele (patron) telah hadir dalam hubungan pertimbangan normatif moral. Sehingga
kepatuhan utilitarian sudah muncul dan signifikan dibanding kepatuhan normatif dengan
demikian berdasarkan penggarisan Etzioni (1960) dan Scott (1972), fenomena pergeseran dari
hubungan patron klien pada saat penangkapan induk ikan torani pada era tahun 1940-an
hingga akhir tahun1960-an merupakan komoditi andalan nelayan patorani hingga beralih
pada penangkapan telur ikan torani telah berlangsung pada awal tahun 1970-an, beriringan
pergeseran itu, maka hubungan patron klien pun juga mengalami pergeseran yang secara
kalkulatif hanya menguntungkan papalele sebagai patron dan pemilik sumber daya
emosional dan moralitas, yang hanya mengarah untuk kepentingan perolehan keuntungan
semata (Etzioni, 1961). Terpresentasi apa yang dikatakan Adimihardja (1983) yakni
pergeseran pandangan masyarakat dalam kehidupan ekonomi yang tidak semata-mata mencari
(formalists). Dalam fenomena yang terjadi pada komunitas nelayan patorani di era sekarang
ini ditandai munculnya hubungan kontraktual. Permainan seperti itu, tentu saja
www.hendratmoko.com 154
pertukaran asimetris antar pelaku ekonomi yang eksploitatif pada klien (pinggawa-sawi)
sebagai kelompok yang memiliki tenaga dan skill untuk melakukan penangkapan.
penangkapan telur ikan torani, terjadi pergeseran patron dari pinggawa ke papalele
memberi kesempatan lebih besar bagi nelayan pemilik modal dan alat produksi
nelayan yang tidak memiliki alat-alat produksi dan subsistensi, kemudian akses modal
dan pasar tidak dimilikinya. Kelompok ini merupakan kelompok yang terbesar dikalangan
komunitas nelayan patorani yakni pinggawa-sawi dengan mengandalkan tenaga dan skill.
pertimbangan kalkulatif yang dibarengi prinsip moral. Tersadari oleh mereka bahwa
imbalan kerjanya sering hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan subsiten dan bahkan
pinggawa berutang, dan bahkan memberikan bantuan dengan pertimbangan moral. Hal
itu dilakukan untuk menetralisir ketidakpuasan dalam pertimbangan kalkulatif dan tetap
pasar dan komersialisasi produksi. Implementasi itu terjadi sebenarnya sudh berlangsung
lama, namun di akhir tahun 1960-an semakin kuat. Pemanfaatan modal dari pihak papalele
www.hendratmoko.com 155
serta, penerapan teknologi alat penangkapan merupakan salah satu faktor semakin kuatnya
masuk dalam sistem peralatan patorani menunjukkan rasionalisasi atau wawasan ekonomi
lebih dari kepekaan sosial dan ekologis. Hal itu terjadi, karena lebih mengutamakan
produktivitas yang tinggi serta seefektif dan seefesien mungkin. Kondisi itu, walaupun harus
solidaritas tidak lagi menjadi bagian yang harus diperhitungkan sebagai modal sosial (social
cost). Padahal dalam sistem pengetahuan apapun, faktor-faktor ini, merupakan ketentuan
sosial yang secara ikhlas dipatuhi dan dilaksanakan dalam kelompok. Munculnya sistem bagi
hasil yang sangat menguntungkan kaum kelas atas (patron). Pembagian hasil pula
merupakan salah satu refleksi dari ketidakpedulian sosial antara patron dan klien.
meningkatkan pendapatan. Namun disisi lain memunculkan pula masalah baru dan
pihak dan pinggawa biseang (juragan) beserta sawinya dipihak lainnya. Betapa tidak, unsur
teknologi membentuk sistem bagi hasil pada komunitas nelayan patorani. Hasil yang
terkumpul di bagi dengan sistem yakni pemilik modal mengambil dua bagian (mesin dan
www.hendratmoko.com 156
Besarnya ketimpangan tersebut di atas, tidaklah diukur dari perbandingan modal
yang ditanamkan oleh pihak papalele. Aktivitas itu berdasar pada besarnya resiko yang
dihadapi oleh masing-masing pihak. Pemilik modal (papalele), resiko yang menghadang ialah
kerugian material. Sedangkan pinggawa dan sawi taruhannnya adalah nyawa. Ketimpangan
dan resiko itu memberi peluang timbulnya konflik sosial yang sifatnya tersembunyi. Konflik
seperti itu, sebenarnya tidak dikehendaki oleh pihak papaele-pinggawa dan sawi. Hal itu
menunjukkan dinamika kelompok. Sebaba konflik semacam ini bukan lahir karena ide-ide
inovatif, tetapi muncul karena sudah mengabaikan nilai-nilai kekeluargaan dan solidaritas.
pergeseran solidaritas sosial. Durkheim (1964: 106) menyatakan bahwa pada masyarakat
yang pembagian kerjanya sederhana solidaritas sosial yang mendorong integrasi adalah
solidaritas mekanik, suatu tipe solidaritas sosial yang muncul secara otomatis karena
terspesialisasi, dikatakan Durkheim (1964: 131) bahwa solidaritas sosial yang mendorong
integrasi adalah solidaritas organik, suatu tipe solidaritas sosial yang muncul karena adanya
luar komunitasnya, diantaranya masuknya pasar sebagai pemegang kendali pada hasil yang
diperoleh komunitas nelayan patorani yang menuntut komersialisasi produksi. Maka muncul
pula ketergantungan akan penggunaan teknologi alat penangkapan telur ikan torani.
hubungan kerja yang saling menguntungkan. Namun hubungan di atas, tidak selamanya
saling menguntungkan dan malah justru berkembang dari segi perolehan hasil adalah
www.hendratmoko.com 157
pemilik modal (papalele) melalui penciptaan mekanisme ketergantungan. Hubungan patron
klien dengan sistem bagi hasil, dari segi pendapatan jauh lebih besar papalele karena
dengan masuknya unsur penggunaan teknologi. Masuknya unsur teknologi, sebagai alat
yang cukup diperhitngkan sebagai suatu hal yang bernilai sehingga setiap nelayan patorani
kembali melaut dan membawa hasil tangkapan. Maka teknologi disepakati dengan
perhitungan bahwa mesin kapal memiliki jatah penghasilan disetarakan nilainya sebanyak
dua orang sawi dan semuanya di serahkan ke papalele. Padahal jenis teknologi peralatan
tersebut merupakan bagian yang tak dapat dipisahkan dengan jenis teknologi peralatan
lainnya pada unit penangkapan yang digunakan nelayan patorani. Pembagian hasil yang
tidak berimbang tersebut secara otomatis sudah menghilangkan perasaan nilai kolektivitas
sebagai bagian yang sudah tersistematis sekian lama antara papalele dengan pinggawa-sawi.
Realitas di atas, terkait pemikiran Durkheim dalam Johnson (1986: 187) menegaskan
bahwa kesadaran kolektif yang mendasari solidaritas mekanik paling kuat perkembangannya
di dalam masyarakat, masyarakat primitif yang sederhana. Dalam masyarakat seperti itu,
semua anggota pada dasarnya memiliki kepercayaan bersama, pandangan, nilai dan
semuanya memiliki gaya hidup yang kira-kira sama. Homogenitas ini mungkin kalau kita lihat
kenyataan bahwa pembagian kerja sangat rendah. Menurut Durkheim bahwa solidaritas itu
terbagi kepada solidaritas mekanik dan solidaritas organik, kemudian solidaritas itu terbagi
Hubungan kontraktual yang merupakan ciri pergeseran hubungan patron klien pada
komunitas nelayan yang dituangkan dalam suatu perjanjian kerjasama dengan bentuk bagi
hasil dengan mewajibkan nelayan pekerja menyerahkan seluruh hasil tangkapannya kepada
pemilik modal untukselanjutnya di jual ke pasar. Fenomena ini relevan dengan apa yang
www.hendratmoko.com 158
dimaksudkan Poensioen (1969) bahwa proses industrialisasi hubungan yang bersifat pribadi
(hubungan patron klien) akan bergeser menjadi hubungan yang bercirikan kontraktual.
Popkin (1979) menyebut sebagai pergeseran dari hubungan yang berdasarkan oral ke
hugungan yang berdasarkan rasionalitas. Legg (1983) menamai pergeseran dari iktan multi
kompleks (hubungan kerja yang berlangsung berulang kali sehingga mempribadi) ke ikatan
simlek (hubungan kerja impersonal dengan mekanisme kerja yang mengacu pada sistem
pasar).
sistem dan mekanisme distribusi pendapatan yang kurang proporsional antara papalele
dengan pekerja. Papalele sebagai pemilik modal cenderung sangat mengatur hasil
tangkapan yang diperoleh nelayan, hingga pada penentuan harga pun di tentukan oleh
papalele. Namun distribusi pendapatan ini sudah menjadi pranata sosial ekonomi yang
merupakan manifestasi ikatan kontraktual antara pemilik modal dengan nelayan patorani.
Dari hal di atas, terkait Smith (1937) bahwa peningkatan paling besar dalam
kekuatan produksi yang dimiliki oleh pekerja merupakan efek dari pembagian kerja. Konsep
inipun kemudian di bahas oleh Durkheim (1964: 136) yang menghubungkannya dengan
spesialisasi cara fikir dan kemampuan individu dalam bekerja yang pada gilirannya
pembagian kerja. Varian-varian tersebut juga muncul dalam pembahasan tentang fungsi
pembagian kerja. Smith (1937) dan Durkheim (1964) bahwa pembagian kerja berfungsi
Penelitian ini berasumsi bahwa pembagian kerja fungsional dalam integrasi masyarakat.
berdasarkan kegiatan penangkapan, namun secara nilai ekonomi (upah) terjadi perbedaan.
www.hendratmoko.com 159
Rendahnya pendapatan yang diterima oleh nelayan pekerja (sawi) adalh disebabkan oleh
beberapa al antara lain (1) penjualan hasil tangkapan cenderung ditentukan secara sepihak
oleh pemilik modal (papalele); (2) pemilik modal seakan-akan membuat kontrak sebagai
pembeli hasil dari nelayannya sendiri tanpa membuka akses untuk dijual ketempat lain;(3)
biaya operasional dalam bentuk material maupun non material sepenuhnya tanggungjawab
nelayan.
Kesemua cara yang dilakukan pemilik modal di atas, sesungguhnya merupakan suatu
hal pelanggaran terhadap pelanggaran terhadap norma-norma bagi hasil yang eksploitatif.
Pemutusan secara sepihak, menguntungkan papalele, dengan alasan bahwa pemilik modal
lebih dominan dalam pelaksanaan penangkapan. Memang secara nyata, bahwa papalele
memilik andil yang besar dari segi permodalan, akan tetapi dibalik kekuasaanya tersebut
terjadi eksploitasi. Secara etika ekonomi, terutama ajaran agama Islam, hal itu sudah terjadi
pelanggaran karena membebani pada kaum pekerja (pinggawa dan sawi) dengan mencari
keuntumngan maksimal tanpa perduli legal atau illegal atas kontrak yang diputuskan sepihak
tersebut.
torani, sesungguhnya mulai terjadi sejak papalele menjadi perantara antara pemilik modal
papalele sebagai pemilik modal, penentuan harga berada di bawah kebijakannya (untuk
(papalele) menerima pengaruh yang kuat dari sistem perbankan yang menyebabkan mereka
tak ingin merugi sedikit pun dari usahanya, bahkan mereka tetap untung kendati pun
www.hendratmoko.com 160
untuk memperoleh kembali modal yang mereka tanamkan (meskipun dalam waktu yang
tertunda) ditambah dengan keuntungan dari setiap material yang dipergunakan dalam
penangkapan.
Kasus 11
diperoleh melalui penghitungan yang tidak berimbang. Solidaritas sosial sudah tercipta ke
hubungan kontraktual. Sistem pembagian hasil dan penentuan harga di tentukan oleh
papalele, yang secara realias tercipta eksploitasi. Penentuan biaya operasional dan teknologi
mengedepankan solidaritas organik menurut Durkheim dalam Johnson (1986) salah satu
cirinya adalah kesadaran kolektif lemah dan pembagian kerja tinggi. Hal itu terjadi, karena
keuntungan adalah dibenarkan secara rasional, akan tetapi jika hal itu diperoleh melalui
perenggutan (eksploitasi) atas hak orang lain maka tindakan itu menunjukkan keserakahan,
yang mana menurut Durkheim dalam Johnson (1986) merupakan ciri masyarakat bersifat
www.hendratmoko.com 161
Unsur-unsur eksploitasi itu, secara realitas mengurangi rasa kekeluargaan
komunitas nelayan patorani. Kaitannya dengan solidaritas sosial yang mana pada era tahun
1940-an hingga akhir tahun 1960-an, komunitas nelayan patorani masih memgang teguh
nilai-nilai atas dasar kesadaran kolektif. Sebagaimana Durkheim dalam Johnson (1986: 183)
bahwa kesadaran mekanik itu adalah kesadaran masyarakat di dasarkan kepada kesadaran
sentimen bersama yang rata-rata ada pada warga masyarakat yang sama. Komunitas
nelayan patorani sebelum masuknya unsur pasar dan komersialisasi produksi, nilai-nilai
tahun 1940-an, ketika induk telur menjadi komoditi penghasilan, maka telur ikan saat itu
dibagi-bagikan ketetangga. Namun sebaliknya ketika akhir tahun 1960-an, telur ikan torani
menjadi komoditi andalan untuk di ekspor, maka kebiasaan untuk membagikan telur itu
sudah tidak ada dan induk ikan pun juga tidak dijadikan lagi salah satu perekat kekeluargaan.
eksploitasi itu, telah menggeser posisi nilai sosial yang selama ini amat dijunjung tinggi. Nilai
sosial yang dimaksud diantaranya adalah nilai-nilai. Dalam konteks nelayan, nilai-nilai
kejujuran merupakan nilai utama (dasar) bagi terbentuknya struktur sosial pinggawa-sawi.
Seorang papalele dalam mempekerjakan nelayan pekerja adalah percaya bahwa nelayan
pekerjanya tersebut menyerahkan secara jujur seluruh hasil tangkapannya kepada papalele.
Sebaliknya nelayan pekerja juga percaya bahwa papalele menyampaikan secara jujur kepada
Namun apa yang terjadi belakangan ini, keduanya sudah tidak lagi konsisten
terhadap nilai-nilai kesadaran kolektif itu. Karena nelayan pekerja merasa terlalu dieksploitir
oleh pemilik modal, maka kerap kali nelayan pekerja membalasnya melalui cara
tangkapan secara illegal untuk selanjutnya di jual ke pasar atau dibagi-bagikan kepada
seluruh sawi. Memudarnya kesadaran kolektif komunitas nelayan patorani karena terkait
www.hendratmoko.com 162
perolehan hasil yang tidak sama. Maka salah satu unsur inilah menyebabkan penyelewengan
pun kerap terjadi. Kemudian ketidak seimbangan pula dari segi pendapatan berdasarkan
pembagian kerja antara pinggawa-sawi terjadi perbedaan, padahal dari segi pekerjaan, maka
bersangkutan, dengan alasan bahwa jika hal itu tidak dilakukan maka pinggawa yang
bersangkutan akan kehilangan sawi. Disinilah perlunya apa yang dimaksudkan Ritzer (1996),
bahwa rasionalitas instrumental harus dikontrol oleh rasional nilai karena kalau tidak, akan
menimbulkan efek negatif seperti eksploitasi. Nilai sosial termaksud diperkirakan mulai
berubah secara total pada saat munculnya papalele perantara, dan akhirnya menjadi nilai
sosial tidak menjadi lagi suatu sistem norma, ketika papalele telah menjadi pemilik modal.
Hal inilah yang menyebabkan struktur papalele - punggawa - sawi lebih diwarnai oleh
pergeseran pandangan nelayan patorani dan secara umum masyarakat dalam kehidupan
(subsistence) kepandangan selalu mencari untung (formalists) (Adimiharja, 1983 : 35). Dalam
fenomena pergeseran pandangan seperti ini, tentu saja memungkinkan bahwa dalam
struktur sosial komunitas nelayan patorani terindikasi hubungan yang bersifat eksploitatif.
nelayan patorani, mengalami pergeseran sejak akhir tahun 1970-an. Penyebab yang lebih
mendasar adalah masuknya unsur pasar dan komersialisasi produksi yang berorientasi pada
ekspor telur ikan torani, sehingga papalele hanya mengejar target pemenuhan permintaan
www.hendratmoko.com 163
eksportir. Dibalik hal itu, pinggawa-sawi menjadi skala prioritas bagi papalele untuk
memenuhi keinginannya itu. Papalele sebagai pemilik modal dan teknologi penangkapan
melakukan eksploitasi pada pekerja dan sudah mulai menghitung berdasarkan karakteristik
masyarakat industri. Struktur pembagian kerja menjadi pula prioritas dalam pembagian
hasil, pinggawa-sawi memiliki kedudukan yang berbeda sehingga pembagian hasil pun juga
berbeda.
Demikian pula pada struktur antara pinggawa dan papalele memiliki hubungan
kontraktual, bahwa seorang patron mengandalkan sumber daya kepemilikan modal dan
penangkapan. Realitas itulah, terjadi suatu hubungan yang lebih profesional yang
modal pada nelayan patorani diberlakukan sistem dan mekanisme pengembalian semusim,
jadi utang dikembalikan pada saat musim torani berlangsung (antara bulan April-
september), bila musim kali ini belum berhasil, maka dikembalikan pada musim berikutnya.
pergeseran solidaritas sosial kondisi ini menciptakan keterintegrasian yang didasarkan pada
solidaritas organik. Keterintegrasian tetap menjadi suatu prioritas dalam solidaritas organik
karena adanya saling ketergantungan antara papalele dan pinggawa. Kondisi komunitas
nelayan patorani terlihat bahwa, setiap kelokasi penangkapan akan sukses bila papalele
sebagai pemilik modal memberikan modal operasional sesuai apa yang dibutuhkan oleh
pinggawa, demikian pula seorang pinggawa melakukan aktivitasnya sebagai pimpinan kapal
www.hendratmoko.com 164
Terciptanya ketergantungan secara fungsional itu, akan sangat membantu untuk
eksportir, dan ini menandakan pula bergesernya hubungan kultural antara papalele dan
kontraktual. Sesuai teori Durkheim (1964), ini berarti bahwa solidaritas sosial telah bergeser
dari solidaritas mekanik ke solidaritas organik. Pergeseran solidaritas nelayan patorani dari
mekanik ke organik terkait masuknya unsur pasar dan kapitalis menguasai hasil produksi
yang di peroleh nelayan patorani. Terkait hal itu, Weber dalam Sztompka (2004: 83) bahwa
dalam konteks masyarakat kapitalis, maka kepemilikan pasar dimonopoli oleh satu kelas
Dalam kasus nelayan patorani di Galesong Selatan dan Galesong Utara bahwa
kapitalis lokal (papalele) memiliki kekuasaan yang mengatur tentang harga jual di pasaran.
Adanya unsurkekuasaan yang dumiliki tekait pada fungsinya sebagai pemilik modal dengan
perilaku ekonomi untuk mencapai keuntungan tertinggi. Adanya keinginan itu, maka
solidaritas tradisional sejak lahirnya nelayan patorani sudah bergeser ke solidaritas yang
antara kelompok sebagai komunitas yang terdiri atas adanya unsur-unsur pekerjaan yang
kompleks selama berlayar. Sebaliknya setelah sampai di daratan pun komunitas nelayan
www.hendratmoko.com 165
tetap diikat oleh suatu ikatan hubungan sosial yang berlaku dan sudah disepakati secara
turun temurun. Kesepakatan hubungan sosial tidak ada yang tertulis, namun tetap menjadi
ikatan kontrak antara komunitas nelayan baik selama melaut maupun setelah sampai di
darat.
Nelayan patorani sebagai komunitas sosial secara luas, bahwa hubungan masyarakat
bukan saja melingkupi satu kelompok sosial atas pekerjaan semata, disamping faktor lain
seperti tempat tinggal yang secara bersama-sama menempati suatu wilayah tertentu.
Hubungan sosial juga dijalin berdasar pada ikatan-ikatan lain ataas dasar kepentingan saling
kelompok strata sosial atau lapisan. Perbedaan sosial atas strata didasarkan pada pemilikan
atau penguasaan secara nyata atas alat tangkap. Atas dasar kepemilikan tersebut, dapat
dikelompokkan dalam tiga strata yaitu pertama, nelayan pemilik alat tangkap dalam kategori
juragan; kedua nelayan pemilik alat tangkap dalam kategori nelayan pemilik kecil (memiliki
alat tangkap/perahu akan tetapi tidak memiliki modal); ketiga nelayan yang termasuk
nelayan buruh atau sawi, yaitu nelayan yang tidak memiliki modal dan alat tangkap.
Gambaran di atas merupakan suatu status yang terbentuk dalam komunitas nelayan
patorani, lain halnya pula dengan spesialisasi pembagian kerja, identik denagn distribusi
status yang diikuti dengan tugaa khusus. Distribusi status terkait dengan keterampilan dan
berdasarkan keterampilan. Lain halnya penekanan Smith (1937) dan Durkheim (1964),
bahwa pembagian kerja identik dengan terspesialisasinya seseorang pada tahap pekerjaan
telah terjadi spesialisasi, walaupun belum berlaku surut karena hampir pekerjaan di kerjakan
secara bersama-sama.
www.hendratmoko.com 166
Spesialisasi pekerjaan sebelum tahun 1970-an pembagian kerja belum
mendominasi, akan tetapi masih cenderung pada status yang dimiliki seseorang menjadi
tolok ukur dalam posisinya. Hal itu, terkait belum adanya motivasi pada komersialisasi
produksi dan dominasi pasar pun belum menjadi bagian yang diperhitungkan. Dalam era ini
hasil tangkapan masih mengarah pada induk ikan terbang dan pemasaran pun masih
terbatas pada pasaran lokal. Menurut Polanyi (1957) bahwa perkembangan pasar sangat
berpengaruh dalam transformasi ekonomi. Sedangkan nelayan patorani dalam era tahun
1940-an hingga akhir tahun 1960-an belum terjadi apa yang di asumsikan oleh Polanyi pada
komunitas nelayan patorani belum terjadi, walaupun nelayan patorani sudah mengenal
pasar, namun pasar hanya mengandakan induk ikan torani yang nilai ekonomisnya belum
menjadi prioritas permintaan pasar. Tetapi konsumen induk ikan torani sangat terbatas
jumlahnya, yakni pasar lokal Sulwawesi selatan dan sebagian pulau Jawa Timur.
Namun hal itu terjadi, namun pembagian berdasarkan pekerjaan pada komunitas
nelayan patorani, ketika eksportir dan komersialisasi produksi sudah menjadi prioritas.
Sehingga pembagian kerja sudah mulai tercermin, hal ini ditandai dengan adanya pinggawa
yang diberikan beban bertanggungjawab utuk menahkodai perahu dan swai walupun
bagaimana tetap pekerja. Hal itu terkait Smith (1973) bahwa pembagian kerja mendorong
perekonomian bila ia identik dengan spesialisasi pekerjaan, karena dengan itu efesiensi
awal tahun 1970-an pada komunitas nelayan patorani, berkaitan dengansistem imbalan
kerja dan unsur kepapalelelan pula sudah masuk mengatur tentang pola produksi dan
patorani, yakni papalele memiliki bagian dua puluh persen, seorang pinggawa memiliki dua
www.hendratmoko.com 167
puluh persen lagi (dengan perhitungan sebagai pemimpin dan gaji selama melakukan
penangkapan). Berkaiatn dengan gaji pinggawa tidak di tenytukan berdasarkan hari dan
lama melakukan penangkapan, akan tetapi tergantung pemebrian papalele. Sedangkan sawi
medapatkan pembagian secara rata ketika kedua elemen (papalele dan pinggawa) sudah
mendapat bagian. Pembagian untuk sawi pun tergantung dari pinggawa. Fenomena
pembagian kerja berdasarkan imbalan kerja di atas, sampai sekarang menjadi patokan bagi
dengan masuknya komersialisasi pasar dan penerapan teknologi alat penangkapan. Ketika
nelayan masih mengandalkan peralatan yang sederhana, hanya terbatas pada penggunaan
pancing, jala dan bubu. Keadaan itu, pembagian kerja hampir tidak ada dan belum
Dalam konteks itu, nelayan patorani pun hampir tidak ada pembagian kerja, sejak
sejarah awal keberadaanya sebagai nelayan tradisional pada abad ke-17. Pembagian kerja
hanya di dapatkan berdasarkan jenis kelamin antara pria dan wanita. Straus (1971) bahwa
pembagian kerja pria dan wanita memaksakan ketergantungan timbal balik, jenis kelamin
tertentu harus melakukan pekerjaan tertentu, yang berarti jenis kelamin lain dilarang
melakukannya.
perubahan antara sebelum dan sesudah awal tahun 1940-an hingga akhir tahun 1960-an.
Sebelum tahun 1940-an, pembagian kerja didasarkan pada status dan kemampuan sesorang.
Hal itu dapat di temukan dalam kepemilikan modal serta kemahiran dalam melaut. Sesorang
www.hendratmoko.com 168
yang diberikan pekerjaan sebagai pinggawa laut (juragan) bisanya dilihat dari segi
memimpin pelayaran.
Nelayan patorani yang menetap di Galesong Utara dan Galesong Selatan Kabupaten
Takalar terdapat suatu struktur pembagian kerja dalam melakukan aktivitasnya selama
melaut. Struktur tersebut antara lain; pinggawa darat (papalele), pinggawa laut (juragan),
dan anak buah/buruh nelayan (sawi). Struktur pembagian kerja itu, mungkin juga sudah
lazim di berbagai komunitas nelayan yang ada di Indonesia. Hal itu diperkenalkan, sejak
tahun 1940-an pada komunitas nelayan patorani. Namun hal Itu, menjadi suatu hal yang
dipandang perlu diterapkan sejak akhir tahun 1960-an. Munculnya tuntutan profesionalisme
dan komersialisasi produksi menjadi salah satu tujuan serta awal penerapan teknologi
penangkapan sebagai salah satu alat untuk peningkatan produksi. Profesionalisme dan
keahlian individu menjadi prioritas yang diperhitungkan dalam bekerjasam antara papalele
Sejak nelayan patorani mulai mengenal teknologi pada akhir tahun 1960-
an, pembagian kerja secara sederhana pun mulai tercipta. Untuk mengoperasikan
perahu, sudah dikenal adanya divisi kerja dan jenjang kerja. Divisi kerja mencakup
divisi yang melayarkan dan menjaga posisi perahu saat beroperasi, divisi yang
menangani lampu penerang dan dapur untuk menyiapkan makanan, dan divisi khusus
untuk mengoperasikan pakkaja (alat penangkapan). Jenjang kerja terlihat dari adanya
hirarki posisi pinggawa dan sawi. Dikalangan sawi sendiri ada perbedaan status antara
sawi biasa dengan sawi yang bertanggungjawab pada satu devisi kerja.
www.hendratmoko.com 169
berlaku. Anggota organisasi penangkapan tetap berlaku. Anggota organisasi penangkapan
rumah/pakkaja) nelayan patorani, keterlibatan dan keterikatan sawi dalam sebuah unit
pakkaja relatif dipermanenkan untuk bertanggungjawab penuh atas divisi yang dibebankan.
Kasus 13
dan keahlian. Pinggawa laut (juragan) merupakan orang yang dipandang memiliki keahlian
khusus tentang laut yang cenderung, tidak dimiliki oleh para sawi dalam proses kegiatan
kerja. Karena itu, hubungan kerja antar papalele dan pinggawa (juragan) cenderung
berlangsung lama. Dalam arti, hubungan kekerabatan lebih erat dibanding dengan hubungan
(sawi) dari daerah lainnya seperti dari kabupaten Bantaeng dan Jeneponto.
Secara implisit kasus 13 di atas, menggambarkan pula ketiga struktur yang terbentuk
dalam nelayan patorani yaitu: papalele, pinggawa dan sawi. Struktur itu, merupakan bagian
dari krakteristik nelayan patorani di Galesoang Selatan dan Galesoan Utara. Secara status
www.hendratmoko.com 170
sosial pun, masing-masing karakteristik struktur memiliki kewenangan dan peranan dalam
papalele sebagai pemilik modal dan bersentuhan langsung nelayan. Papalele pula memiliki
keterkaitan dengan pinggawa, dan pinggawa pula berhubungan langsung dengan pekerja
(sawi).
Pemilik modal (Papalele) secara struktur memiliki peranan yang paling besar dalam
ruang lingkup pekerjaan. Selain sebagai pemilik modal, pemilik alat pengumpul produksi,
juga sebagai orang yang menghubungkan antara pinggawa laut dan sawi. Utamanya sawi
yang didatangkan dari daerah lainnya. Oleh sebab itu, masuk menjadi papalele atau
pinggawa darat harus mampu memiliki kriteria antara lain yaitu: (1) mampu menyediakan
modal untuk biaya pengoperasian pada setiap kegiatan pengumpulan produksi; (2)
tertentu dari keluarga pingga dan sawi yang ditinggalkan selam operasi pengumpulan
produksi; (3) mampu memasarkan hasil pengumpulan produksi; (4) mampu memberikan
biaya-biaya tertentu kepada pinggawa laut (juragan) dan sawi (buruh) pada musim paceklik.
pindah pada pada kelompok lain dengan alasan, bahwa papalelenya tidak mau
hubungan antara pinggawa dan sawi tidak harmonis lagi dan hanya satu musim
bersama-sama.
Keberadaan Papalele, sejak dulu kala berproses mulai dari seorang sawi kemudian
lambat laun mengikuti proses beranjak pada tingkat yang lebih tinggi, yaitu pinggawa laut
atau juragan. Pada akhirnya mencapai tingkat yang paling tinggi yaitu pinggawa darat
www.hendratmoko.com 171
laut dan keterampilan tertentu dalam hal perdagangan. Mungkin saja tidak semua sawi
dapat beranjak sampai pada tingkat papalele. Tetapi nampaknya, sawi yang sudah memiliki
pengalaman yang banyak dan luas, umumnya mendapat perhatian-perhatian atau jaminan-
jaminan tertentu dari papalele dalam kelompok pinggawa-sawi. Hal itu, dilakukan oleh
papalele bila terbina hubungan yang harmonis baik musim penangkapan maupun disaat
Perkembangan pasar dan tuntutan produksi, di era sekarang ini papalele yang
memberikan modal pada pinggawa, hampir tidak melalui lagi penjenjangan mulai dari
sawi hingga menjadi pinggawa dan akhirnya menjadi papalele. Akan tetapi dalam era
sekarang, siapa saja bisa menjadi pinggawa darat (papalele) sepanjang memiliki akses
modal dan akses pasar. Hal itu, menunjukkan bahwa untuk menjadi papalele dalam era
sekarang, hanya didasarkan pada kemampuan menyediakan modal kerja untuk biaya
laut (juragan) bersama-sama dengan sawi yang biasanya merupakan keluarga dan
kerabatnya sendiri.
Pinggawa laut (Juragan), adalah orang yang diberikan tanggungjawab oleh seorang
antara lain: (1) memiliki kesehatan jasmani dan rohani yang memadai; (2) memiliki kejujuran
dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab; (3) memiliki pengetahuan yang mendalam
www.hendratmoko.com 172
tata cara dan keselamatan pelayaran, sistem penangkapan/pengumpulan telur ikan terbang,
Selain itu, seorang juragan memiliki kewajiban dan persyaratan yang harus dipatuhi
antara lain; (1) membantu papalele untuk mencari dan menentukan sawi-sawi yang dapat
menjadi anggota kelompok; (2) menetapkan sistem pembagian kerja para sawi; (3)
bertanggungjawab terhadap keselamatan para sawi dan setiap alat produksi yang digunakan
produksi untuk diserahkan kepada papalele (pinggawa darat); (5) membantu papalele dalam
menentukan upah untuk sawi; (6) penyalur aspirasi para sawi untuk keluhan-keluhan
distribusi status yang terstruktur yang diikuti dengan tugas khusus. Distribusi status lebih
terkait dengan keterampilan dan cara memperoleh keterampilan. Hal ini terkait, Smith
(1937) dan Durkheim (1964), bahwa pembagian kerja identik dengan terspesialisasinya
seseorang pada tahap pekerjaan tertentu. Dalam komunitas nelayan Patorani, spesialisasi
bekerja.
Spesialisasi pekerjaan dalam era tahun 1940-an, pada komunitas nelayan patorani
belum menjadi suatu hal yang mengikat. Dimungkinkan karena terkait dengan belum
mengarah pada perkembangan investasi, dan penerapan teknologi alat penangkapan yang
mengedepankan manajemen kerja. Pada saat itu, nelayan patorani masih sangat terbatas
pada penggunaan peralatan penangkapan, dan hanya menangkap induk ikan terbang dan
pemasarannya masih bersifat lokal dan terbatas pada kisaran pulau jawa yakni Jawa Timur.
penerapan teknologi yang membutuhkan manajemen kerja dan juga tidak mendorong pada
www.hendratmoko.com 173
spesialisasi pekerjaan.
organisasi produksi semakin besar dan tuntutan pasar berlangsung. Kehadiran pasar
menjadi bagian terpenting untuk dipenuhi permintaannya. Berawal dari realitas ini,
maka komersilaisai produksi mulai masuk dan berkembang pada hampir kelompok
yang terlibat langsung pada komunitas nelayan patorani. Realitas demikian, memaksa
terbentuknya manajemen kerja yang sesuai dengan kebutuhan selama melaut untuk
melakukan penangkapan. Pinggawa darat atau pemilik modal (papalele) pun mulai
pada nelayan. Modal secara langsung diberikan kepada pinggawa laut (juragan)
dan dipelihara melalui ritual. Ritual tersebut bertujuan untuk menumbuhkan kepekaan
sosial dan ekologis bagi kelompok pinggawa-sawi dalam berinteraksi dengan alam.
melalui ritual itu untuk dapat didudukkan sebagai pinggawa. Hal itu,
www.hendratmoko.com 174
dalam perjalanan penangkapan agar memiliki kemampuan untuk menjaga
individu dapat diperoleh dengan melihat riwayat hidup beserta segala tahap
Pemberian imbalan pada pinggawa maupun sawi di lihat dari segi beban
pekerjaan dan tanggung jawab yang dibebankan selama melakukan aktivitas
penangkapan/pengumpulan telur ikan torani. Hal seperti itu terjadi, pada akhir
tahun 1960-an, perubahan pembagian kerja berorientasi dengan
mengedepankan tanggung jawab pekerjaan. Beban yang berat ditanggung
adalah pinggawa, karena secara struktur kepatoranian pinggawa
bertanggungjawab penuh dalam mengendalikan perahu dan sekaligus
bertanggungjawab atas keselamatan sawi. Belum lagi pinggawa dituntut atas
utang yang dibebankan oleh papalele sebelum berangkat hingga kembali dari
penangkapan. Beban utang berkaitan dana yang ditipkan untuk kehidupan
keluarga yang ditinggalkan dan kebutuhan pokok selama berlayar.
www.hendratmoko.com 175
implementasi hubungan kontraktual. Tahun 1940-an, saat nelayan patorani masih
menangkap khusus induk ikan torani, kontrak kerja belum menjadi permasalahan secara
internal. Hal itu, karena tanggungjawab belum begitu berat terhadap papalele dan
pinggawa. Target penghasilan pun belum menjadi hal yang dituntut dan juga utang yang
diperoleh dari papalele belum begitu besar. Kasus 14 menggambarkan pula bahwa tahun
1960-an, realitas berbalik yakni dominasi komersialisasi produksi dan permintaan pasar
sudah menjadi target sasaran. Secara struktur pada dekade akhir tahun 1960-an terjadi
peralihan untuk memenuhi kuota permintaan pasar, dan kontrak kerja sudah mengarah
Kondisi peralihan itu, berimbas pula pada target pelayaran menuju ke lokasi untuk
perahu, dan berbeda ketika penangkapan induk ikan torani hanya berjumlah antara 3-5
orang, dan kini bertambah menjadi antara 5-7 orang awak perahu ketika penangkapan
beralih ke telur ikan. Perahu dipimpin satu orang pinggawa (juragan laut) dan selebihnya
adalah buruh nelayan (sawi). Awak kapal masing-masing memiliki fungsi yang saling
membantu satu sama lain sehingga terintegrasi dalam suatu kekompakan dalam aktivitas
kelompok patorani setiap sift pemberangkatan, karena ada saja sawi yang tidak puas dengan
Sawi sebagai anak buah kapal, memiliki peran yang sangat besar dalam kesuksean
hasil yang diperoleh, sehingga sawi dituntut ketukunannya untuk senantiasa bekerja keras
memasang pakkaja hingga membuahkan hasil yang maksimal. Dalam pembagian peran
pertimbangan usia juga dipertimbangkan, misalnya seorang sawi yang masih relatif muda
usianya, maka beban tanggungjawab pun diberikan relatif ringan. Sesuai aturan
kepatoranian walaupun tidak tertulis, diatur bahwa setiap sift pemeberangkatan, sawi yang
usianya masih relatif muda, di bebankan tugas yang tidak memiliki banyak resiko. Sawi
www.hendratmoko.com 176
tersebut hanya cukup menimbah air (akkerrok) yang masuk kedalam perahu diakibatkan
hempasan ombak. Memang pekerjaanya terbilang santai, tetapi pekerjaan yang paling
dianggap melelahkan adalah menimba air, karena berada di dek perahu yang paling bawah.
Selama pelayaran hubungan kebersamaan tetap terjaga keseimbangannya, jadi seorang sawi
juga cenderung menyampaikan pendapat dari hal-hal yang besar hingga hal-hal yang sepele,
misalnya bahan makanan yang di bawa tidak sesuai apa yang diinginkan.
keterikatan sawi dalam sebuah unit peralatan yang terkait dengan proses penangkapan
relatif dipermanenkan dalam suatu posisi melalui divisi kerja tertentu. Pekerjaan utama
mencakup pemasangan pakkaja (alat penangkapan) dan pengambilan telur ikan dari
pakkaja. Pembuatan, pemasangan dan perbaikan perahu dan pakkaja melibatkan semua
sawi. Dalam penangkapan, sawi dibagi tiga yakni divisi yang menjalankan perahu, yang
memantau alat penangkapan bila sudah terpasang, dan yang mengoperasikan jaring alat
penangkapan. Imbalan kerja tidak didasarkan pada posisi sawi dalam pembagian kerja, akan
tetapi pembagian hasil disamakan semua sawi yang ada dalam kelompok perahu setelah
pembagian kerja. Pada tahap ini, hubungan spesifik antara divisi kerja dengan sarana
produksi relatif permanen. Pada tingkat nelayan patorani pembagian kerja masih selalu
mengedepankan berdasarkan pengalaman para sawi untuk memegang satu divisi. Hal ini
www.hendratmoko.com 177
maka pembagian kerja semakin kompleks. Untuk mengoperasikan pakkaja, pembagian kerja
melibatkan divisi mesin pengoperasian yang mengantarkan pakkaja bisa jauh dari perahu,
alat penangkapan. Jumlah sawi pada sebuah unit perahu berkisar lima-tujuh orang, lama
penangkapan biasanya dilakukan selama sebulan sehari semalam. Bagi hasil disesuaikan
dengan posisi dalam pembagian kerja, posisi yang dimaksud antara pinggawa dan sawi.
Umumnya nelayan patorani dalam pembagian hasil tangkapan antara pinggawa (juragan)
dan sawi berbeda, sedangkan sawi bagiannya sama rata. Adanya perbedaan tersebut,
kaarena berkaitan dengan beban pekerjaan dan tanggungjawab antara pinggawa dan sawi.
Pada masa lalu, setelah patorani kembali dari melaut menangkap induk ikan torani,
maka peranan sawi masih cukup besar untuk memasarkan hasil tangkapannya situasi ini
diperkirakan di era tahun 1940-an hingga akhir tahun 1960-an. Namun, akhir tahun 1960-an
nelayan patorani sudah mengubah hasil tangkapannya, yang dulunya hanya menangkap
khusus induk ikan torani kemudian dikeringkan dan dipasarkan. Seiring dengan
perkembangan zaman dan masuknya permintaan pasar yang hanya menuntut untuk
memebeli telur ikan torani, maka nelayan beralih penangkapan/pengumpulan khusus telur
ikan torani.
Setelah tuntutan pasar masuk, komersialisasi produksi pun menjadi tuntutan bagi
pemilik modal (papalele) untuk mengubah pemberian modalnya kepada pinggawa yang
dimodalinya selama ini. Pemasaran pun bagi sawi tidak berdaya lagi dan bahkan pun
pinggawa tidak punya andil besar untuk memasarkan hasil tangkapannya. Pembagian kerja
bagi sawi-pinggawa hanya pada saat berada dilaut, sedangkan setelah sampai didarat
pembagian kerja untuk pemasaran hampir lagi tidak ada bagi nelayan patorani. Hal itu
www.hendratmoko.com 178
terjadi, karena di darat sudah ada pembagian pekerjaan lagi yang diciptakan oleh papalele.
Pekerjaan tersebut meliputi pengolahan yang berorientasi pada ekspor, yakni mulai dari
diluar struktur kepatoranian, padahal pada era tahun 1940-an hingga akhir tahun 1960-an
Permulaan kompleksitas pembagian kerja tercipta pada nelayan patorani pada akhir
tahun 1960-an. Namun pembagian kerja baru hanya terbatas pada mengoperasikan perahu
ke areal penangkapan dan meliibatkan semua sawi yang ikut dalam perahu. Jumlah sawi
biasanya antara 4-6 orang dengan trip operasi yang lebih lama (antara satu bulan- tiga
bulan). Namun setelah awal tahun 1970-an maka pembagian kerja sudah menjadi prioritas
untuk memudahkan dalam menjalankan pekerjaan, dan kegiatan pula tidak hanya tertumpu
pada satu orang. Pembagian kerja dimulai dari devisi khusus untuk penyiapan kebutuhan
makan (khusus untuk memasak), divisi khusus untuk menurunkan alat penangkapan
(pakkaja), divisi khusus memetik telur dari pakkaja kemudian menjemur hasilnya, dan sawi
yang lebih banyak untuk operasi mesin. Kondisi teknis itu, secara khusus yang menyebabkan
lebih terspesialisasinya pembagian kerja dalam penangkapan pada nelayan patorani di era
Pembagian kerja untuk penangkapan pada nelayan patorani lebih luas lagi terbagi
dalam tujuh divisi kerja yakni: (1) persiapan pemberangkatan; (2) pengoperasian dan
perawatan mesin; (3) pengoperasian dan perawatan alat penangkapan (pakkaja); (4)
pengoperasian perahu dan alat penangkapan (5) divisi memetik, menjemur dan mengemas
hasil tangkapan kedalam tempat yang rapi yang khusus dipersiapkan; (6) konsumsi dan
Persiapan keberangkatan melibatkan pinggawa laut dibantu sawi divisi juru masak.
www.hendratmoko.com 179
pengecekan fungsi mesin dan alat tangkap, serta kerja temporer penyiapan bahan untuk
perbaikan atau pemasangan pakkaja yang baru. Biaya Persiapan dihitung oleh pinggawa-laut
dan disiapkan oleh pinggawa-darat dihitung sebagai biaya produksi awal keberangkatan.
Utang itu, dihitung mulai dari perawatan perahu, kebutuhan bahan pokok selama melaut
Divisi mesin terdiri dari juru mudi dan dua pembantu juru mudi, juru mudi biasanya
dipegang langsung oleh juragan. Sedangkan pembantunya seorang sawi yang mengawasi
kondisi mesin dan kelengkapan alat penangkapan. seorang sawi pada mesin yang
berkekuatan 42 PK+42 PK (doubel mesin). sawi mesin yang membantu perahu bekerja
selama perjalanan pergi-pulang. Sawi mesin dan penarik pakkaja dan otomotif bertugas saat
pakkaja dipenuhi telur ikan torani. Pembantu juru mudi mengkoordinir pengoperasian
mesin, operasi penangkapan, pemuatan dan kondisi fisik perahu selama dalam perjalanan.
Divisi yang menangani alat tangkap (ballak-ballak/pakkaja) terdiri dari sawi yang
bertugas memantau pakkaja selama terpasang dan tentu juga memperhatikan ikan torani
yang masuk memijah. Aktifitas ini dilakukan oleh sawi sebanyak tiga orang, sawi yang lainnya
yakni terdiri satu orang bertugas untuk membuang batu pelampung. Selain tugas tersebut,
sawi juga menarik pakkaja ke atas perahu bila dianggap sudah banyak yang masuk ke dalama
persetujuan dari pinggawa perahu, termasuk juga kalau ingin berpindah lokasi penangkapan.
Hasil yang diperoleh dari alat penangkapan ballak-ballak (pakkaja ditarik ke perahu
dan dipetik. Langkah selanjutnya di adakan penjemuran pada tali yang sudah disediakan,
terbentang di sudut sisi perahu. Penjemuran ini dilakukan, seperti menjemur pakaian yang
habis di cuci. Telur ikan yang dijemur masih menyatu dengan benang (serat) sehingga telur
www.hendratmoko.com 180
masih kelihatan seperti pakaian yang teruntai dengan seratnya. Pekerjaan penjemuran ini
Divisi pembantu umum adalah juru masak dan satu-dua orang sawi yang masih
muda yang tugasnya menimba air dari lambung perahu. Juru masak bertangung jawab atas
persediaan bahan makanan, untuk memenuhi makan anggota kelompok dengan porsi
sebanyak tiga kali sehari. Selain itu juru masak pun menyediakan minuman dan makanan
ringan misalnya kopi/teh. Perlengkapan makan dibersihkan dan dikembalikan sendiri oleh
sawi. Sawi yang berpengalaman melaut masih kurang juga dari segi penangkapan maka
dianggap sebagai sawi muda. Sawi muda juga melakukan pekerjaan yang diperintahkan oleh
juragan dan atau bahkan sawi yang lebih berpengalaman dengan tujuan untuk
Divisi penanganan hasil tangkapan setelah sampai di darat bukan lagi bagian dari
Pinggawa dan sawi sudah tidak ada lagi perannya berkaitan aktivitas pemasaran. Setelah
sampai di darat tugas sawi yang menurunkan telur ikan hasil tangkapan dari perahu,
kemudian memasukkan ke gudang papalele untuk ditimbang dalam kondisi masih belum
dipisahkan dengan serat (benangnya). Sawi dibantu oleh buruh khusus yang bekerja di
gudang papalele sebagai tenaga untuk memaruk dengan tujuan menghilangkan serat
(benang) telur ikan torani. Hal itu dilakukan agar telur terpisah dari seratnya hingga tersisa
Buruh harian itu dibayar berdasarkan hasil parutan yang diperoleh dalam sehari.
Penghitungan hasil dilihat dari berapa kilo gram buruh tersebut sempat dipisahkan telur dari
seratnya. Adapun upah yang diberikan Rp.3.500/kg, tetapi kalau disediakan makan oleh
www.hendratmoko.com 181
pemilik gudang, maka upahnya dipotong Rp.1.000. Buruh harian yang bekerja di gudang
pemarutan, sebagain besar berdomisili di Galesong. Sehingga setelah selesai bekerja kembali
kerumahnya masing-masing. Upahnya diberikan dalam bentuk harian atau juga ada buruh
Setelah dilakukan pemisahan telur dari seratnya, maka langkah selanjutnya siap di
pasarkan (diekspor) kenegara yang sudah dikontrak oleh papalele (pemilik modal).
Kehadiran papalele dalam hal ini, menjadi perantara eksportir dengan mengambil barang
secara langsung dari pinggawa atau papalele lainnya. Adapun cara lain dilakukan papalele
dengan menjalin sambungan langsung dengan pinggawa patorani. Kontrak antara pinggawa
patorani dengan papalele, bukan hanya sekedar meminjam uang, tetapi sampai pada tahap
pemasaran hasil. Kedudukan papalele sangat kuat hingga pada pemasaran pun papalele
Pembagian hasil pada komunitas nelayan patorani memiliki lima macam model
pembagian dantaranya yakni: (1) setelah modal dikeluarkan, mesin 2 bGIn, perahu 2 bagian,
pinggawa 1 bagian, sawi 1 bagian (untuk sejumlah orang); (2) pinggawa, sawi, mesin dan
dan biasanya di bawah stamdar pemasaran umum; (3) papalelel menerima 25%, setelah
modal dan biaya operasioal di keluarkan. Selebihnya adalah bagian pinggawa dengan sawi;
(4) masing-masing 50% untuk papalele, dan pinggawa dengan sawinya, setelah dikeluarkan
modal dan biaya operasional; (5) setelah dikeluarkan modal dan biaya operasional, 20%
untuk papalele, masing-masing 2 bagian untuk mesin dan perahu. Selebihnya merupakan
Setelah hasil selesai dipasarkan oleh papalele, maka pembagian hasil mulai
diperhitungkan, dan porsi bagi-hasil disesuaikan posisi dalam pembagian kerja. Keragaman
www.hendratmoko.com 182
sistem bagi hasil menimbulkan berbagai penilaian dan penafsiran yang berbeda-beda
tentang kewajaran bagian yang diterima oleh pinggawa dan sawi. Kesemua orang-orang
yang bekerja dalam kelompok masing-masing mendapatkan bagian setelah semua anggaran
beroperasi, pembagian dilakukan hanya pada tiga komponen yang terkait dalam
penangkapan yaitu, papalele (pemilik modal), pinggawa (orang yang memimpin secara
langsung pelayaran), dan sawi (sebagai buruh/pekerja). Sawi sebagai pekerja dan pinggawa
www.hendratmoko.com 183
Realitas diatas meskipun terdapat divisi kerja, namun
suksesnya penangkapan.
www.hendratmoko.com 184
Terkait pembagian kerja, mengacu pada konsep Durkheim
di darat, dan diputuskan oleh papalele, hal itu terkait secara langsung
www.hendratmoko.com 185
Terbentuknya deskripsi kerja pada setiap divisi
www.hendratmoko.com 186
4.3.3. Internalisasi Siri’ Kaitannya Etos Kerja
Nilai-nilai budaya siri’ merupakan suatu sistem sosial pada masyarakat suku
Makassar baik ketika berada di luar komunitasnya apalagi kalau mereka ada di dalam
komunitasnya. Selanjutnya nilai-nilai itu saling terkait dan saling fungsional antara
harkat dan martabatnya lewat adanya rasa saling memanusiakan yang timbul sebagai
akibat dimilikinya "pesse" atau perasaan solidaritas sosial antara sesama manusia
Kemudian siri’ dan pesse ini dijadikan landasan untuk dicapainya prestasi lewat "were
", yang hanya dicapai lewat kerja keras yang tidak mengenal lelah dan pantang
menyerah. Prestasi lewat "were" akan menjaga dan mengangkat siri’ seseorang yang
pada gilirannya akan mempertebal perasaan solidaritas atas sesama manusia. Jadi
ketiga konsep itu - siri, pesse, dan were - adalah tiga buah nilai budaya yang saling
luhur, tetapi yang paling penting adalah sejauhmana seseorang aktor dapat
menginternalisasi nilai-nilai luhur tersebut yang ada, dan melekat di dalam budaya
komunitasnya. Sebab tanpa proses internalisasi yang benar, kemudian diikuti dengan
proses eksternalisasi dan objektivasi tentu saja nilai-nilai luhur itu akan tinggal
menjadi sejarah kejayaan masa lalu yang terlepas sama sekali dengan dunia kekinian
aktor.
www.hendratmoko.com 187
Proses pemahaman aktor tentang nilai-nilai budaya yang diekstemalisasikan di
dalam kehidupan sehari-hari dipandang sebagai suatu yang dicapai aktor dari hasil
menginternalisasi nilai-nilai budaya yang didukungnya. Karena itulah berikut ini akan
diuraikan bagaimana ketiga nilai itu yakni siri, pesse, dan were, dipahami clan
sebagai rasa malu dan harga diri harus dijelmakan ke dalam diri setiap manusia.
Sebab hanya manusia yang memiliki rasa malu dan harga diri (siri’) yang dapat
dipandang sebagai manusia. Tanpa siri’ manusia hanyalah sekedar seekor binatang
binatang terletak pada akal manusia, maka budaya Bugis-Makassar melihat perbedaan
Makassar yakni; Pertama, siri’ adalah rasa malu dan harga diri. Kedua aspek dari siri
ini (malu dan harga diri) menurut nelayan patorani adalah sesuatu yang harus
seseorang bisa hidup dan berada di tengah-tengah masyarakat bila ia tidak memiliki
kedua aspek siri’ tersebut. Kedua, rasa malu dalam siri’ mencerminkan keharusan
adanya perilaku terpuji di dalam berbagai aktivitas kehidupan seseorang. Bukan itu
saja, namun dalam memilih pekerjaan pun mereka berkeyakinan bahwa ada pekerjaan
yang pantas dan terhormat ada pula pekerjaan yang seharusnya dihindari sebab tidak
terpuji (matuna) dan dapat menyebabkan terserangnya nilai siri’ orang yang
mengerjakannya. Ketiga, siri adalah suatu sanksi sosial atas tidak mampunya
www.hendratmoko.com 188
Dalam konsepsi siri sebagai nilai budaya Bugis, bagi komunitas nelayan
Were (ketentuan nasib). Kedua nilai itu, sebagaimana juga dipahami oleh komunitas
nelayan patorani harus muncul saling melengkapi. Sebab keduanya harus berada
dalam kondisi yang berimbang agar kepribadian seseorang selalu terintegrasi satu
sama lain, dengan tujuan bahwa kedua nilai rasa malu dan harga diri itu bersemayam
tidak mengalami kegoncangan. Bila rasa malu muncul sebagai akibat kesalahan
sendiri dalam bertingkah laku, maka harga diri merasa tergoyahkan. Dan untuk
mengangkat harga diri ke tempatnya semula, maka pribadi yang melakukan perbuatan
tercela harus segera mengadakan pemulihan dengan menyadari diri dan kembali ke
pada perbuatan yang benar. Selanjutnya bila seseorang mengalami penghinaan atau
malu. Rasa malu inilah yang menuntut adanya upaya pemulihan harga diri baik lewat
Kasus 15
Makna Siri Komunitas Nelayan Patorani
Komunitas nelayan patorani memaknai siri’ sebagai rasa malu dan harga diri.
Karena itu siri menurutnya adalah sesuatu yang wajib hukumnya dimiliki oleh
setiap orang, sebab hanya dengan siri orang itu bisa disebut tau (orang) kalu
ada orang yang tak punya rasa malu, menurut nelayan patorani maka pantas
dikatakan orang tersebut untuk meminjam adat istiadatnya orang yang berada
di luar dirinya.
Seorang pinggawa nelayan patorani, memaknai siri sebagai rasa malu dan
harga diri. Siri adalah rasa malu kalau kita bertingkah laku kurang terpuji dan
tak berakhlak mulia. Atau kalau kita mengerjakan sesutu yang tak pantas (tau
tuna) seperti ekerja sebagai peminta-minta, menjadi babu atau pembantu
rumah tangga. Sedang sebagai harga diri kalau kita dipermalukan kita harus
melawan atau tidak boleh berdiam diri. Tidak ada lagi gunanya hidup di dunia
ini kalau kita sudah dipermalukan.
Seorang sawi memaknai siri sebagai rasa malu dan harga diri. Rasa malu
menurutnya jika kita berkelakuakn tidak baik. Atau dapat juga terjadi bila kita
tidak berhasil di dalam hidup sebagaimana layaknya orang lain. Sedang harga
www.hendratmoko.com 189
diri menurutnya adalah apabila kita dihina atau tidak dihargai sebagai
layaknya manusia. Bila kita dihina demi harga diri (siri) kita harus berusaha
memulihkan harga diri, agar kita tidak diperlakukan lagi seperti itu.
yang dimaknai oleh nelayan patorani dalam penelitian ini sejalan dengan temuan
Rahim (1985), dan Marzuki (1995). Siri’ adalah nilai utama budaya Bugis (Rahim,
1985:100), dalam nilai utama tersebut terkandung dua makna sekaligus, yaitu siri’
sebagai rasa malu dan siri’ sebagai harga diri (Marzuki, 1995:116-132). Kedua aspek
siri’ dimaksud bahwa rasa malu dan harga diri itu, haruslah senantiasa berada pada
kedudukan yang saling berimbang. Artinya bahwa tanpa keberadaan salah satu aspek,
akan menjadikan kepribadian pecah, serta tidak utuh secara totalitas. Manakala aspek
malu mendominasi kepribadian, maka aspek harga diri harus segera mengimbangi.
Sebaliknya manakala aspek harga diri cenderung untuk angkuh, maka aspek malu
Hanya saja siri harus dipahami secara tidak terlepas dari nilai budaya Bugis-
Makassar lainnya yaitu pesse dan were, sehingga ketiganya antara siri, pesse, dan
were’, merupakan sebuah konsep pandangan hidup orang Bugis (Abidin, 2003).
Manefestasi siri’ sebagai rasa malu dan harga diri harus dijelmakan ke dalam diri
setiap manusia. Sebab hanya manusia yang memiliki rasa malu dan harga diri (siri’)
yang dapat dipandang sebagai manusia. Tanpa siri’ manusia hanyalah sekedar seekor
www.hendratmoko.com 190
Di dalam komunitas nelayan patorani sebagai komunitas suku Makassar,
pengertian siri’, sebagaimana dijelaskan di atas masih menempati tempat yang terjaga
pengatur nilai budaya ini hanya berada pada tataran normatif sehingga pelanggaran
akan norma semacam ini hanya akan memperoleh sanksi sosial belaka. Keadaan
seperti itu disebabkan karena siri’ sebagai unsur utama dan sekaligus landasan dari
pangadereng telah bergeser dari pangadereng sebagai norma "pemaksa" lewat hukum
positif yang diakui negara menjadi tata normatif biasa yang hanya mengikat para
aktor lewat relasi sosial semata, baik dengan mereka di dalam komunitas maupun di
di atas, masih merupakan pola yang pasti dalam rangkaian kegiatan patorani. Tahap-
tahap kegiatan dalam sistem pengetaahuan harus dilaksanakan dengan baik, agar tidak
kenelayanan yang ada di galesong Selatan dan Galesong Utara adalah ketentuan-
ketentuan adat peikanan atau adat kenelayanan yang selama ini di atur dalam
Penerapan aturan baik yang bersifat aturan adat kepatoranian maupun aturan
www.hendratmoko.com 191
dalam masyarakat komunitas patorani. Ketentuan perundang-undangan yang ternyata
belum makasimal diupayakan secara aktif dalam masyarakat nelayan patorani. Hal
itu, terkait bahwa aturan adat akan lingkungan merupakan bagian internalisasi
kehidupan komunitas nelayan untuk tidak melakukan penjarahan spesies induk ikan
Selama melakuan penangkapan telur ikan torani sejak akhir tahun 1960-an
dengan peralatan yang dapat mengancam populasi ikan torani. Menurut informan
bahwa alat yang digunakan dalam menangkap telur ikan torani, adalah peralatan yang
dibuat sendiri tanpa ada maksud lain untuk mengurangi populasinya. Sebenarnya telur
induk ikan yang bertelur di alat penagkapan hanyalah sebagain dari populasi ikan
terbang.
yang memiliki dimensi yang sangat luas dan banyak seginya. Permasalah tersebut
sebaliknya bahwa masyarakat selalu lebih banyak tahu tentang keadaan lingkungan
masyarakatnya akan lebih dahulu akan merasakan perubahan tersebut. Dan bilamana
terjadi perubahan pada satu sisi, cepat atau lambat akan menuntut perubahan pada sisi
lainnya.
Internalisasi siri’ dalam melakukan penangkapan, terkait akan rasa malu bila
nelayan patorani terlalu serakah dalam mengejar penghasilan. Hal itu merupakan
bagian dari kesadaran nelayan patorani, karena di dalam komunitas nelayan patorani
www.hendratmoko.com 192
terkandung nilai-nilai lingkungan yang bersumber dari ketentuan-ketentuan adatnya.
Nilai-nilai tersebut diperkirakan juga ada atau dimiliki oleh masyarakat di daerah
lainnya terutama pada komunitas nelayan. Selain itu, juga diperkirakan nilai-nilai
akan bergeser dan bahkan akan pudar sebagai akibat masuknya teknologi baru dan
lebih modern, yang selanjutnya disusul dengan perubahan nilai ekonomi yang drastis
menanjak. Karena itu, adat istiadat yang dimiliki oleh nelayan patorani dalam
induk ikan torani sebagai komoditas untuk dipasarkan. Dan kalau ada yang
menangkap induk ikan torani yang berlebihan dan dijadikan sebagai komoditas, maka
tidak serta merta akan mendapatkan sanksi sosial dan teguran dari komunitas nelayan
teguran atas pelanggaran sosial yang dilakukan, tentu sebagai manusia akan malu
(perasaan siri’) akan timbul dan tidak akan melakukan lagi kegiatan yang pernah
teguran semacam itu, akan tergantung kepada bagaimana seseorang menerima norma
siri’ sebagai tatanan kehidupan sosial yang masih dijaga dan masih dijadikan acuan
normatif di dalam bertingkah laku. Akibat dari itu menurut komunitas nelayan
patorani di dalam komunitasnya ada saja orang-orang yang tidak memiliki rasa malu
(makurang siri) dan ada pula orang yang masih memiliki rasa malu (napaentengi sir’
nai).
Jadi untuk memahami bagaimana nilai malu dan harga diri (siri) diinternalisasi
www.hendratmoko.com 193
dapat dengan mudah dilihat pada bagaimana seseorang patorani memberi reaksi
terhadap nilai siri’. Baik yang berkenaan dengan rasa malu (siri masiri), maupun
berkenaan dengan penyerangan harga diri (siri ripakasiri). Berdasar atas wawancara
mendalam terhadap sejumlah informan tentang pola reaktif nalayan patorani terhadap
siri’, dapat dikelompokkan ke dalam dua pola reaktif siri’, yaitu: (1) pola reaktif siri’
ripakasiri’, dan (2) pola reaktif siri’ masiri’. Pola Reaktif Internal "Siri Masiri’ adalah
timbulnya malu atau berkembangnya budaya rasa malu sebagai akibat internal atau
kesalahan sendiri. Seperti perasaan hina karena diri atau pun ada anggota keluarga
Secara umum nilai siri-masiri sebagai nilai malu untuk betingkah laku kurang
bermasyarakat menjadi bersifat umum. Kondisi nilai siri semacam ini tentunya
merupakan nilai-nilai normatif yang bersifat umum dan ada di dalam setiap budaya
suatu masyarakat. Oleh karena ikatan norma-norma pengendali sosial semacam ini
hanya memiliki konsepsi tata hubungan yang dianggap pantas untuk dilakukan, dan
tidak memiliki sanksi pemaksaan terhadap warga komunitas. Maka kepatuhan dan
komunitas lainnya. Tentu saja sanksi sosial seperti ini efektifitasnya untuk
Akan tetapi, pada kondisi lain di mana seorang laki-laki yang telah
menimbulkan rasa malu atau siri-masiri telah mulai melahirkan pemahaman yang
www.hendratmoko.com 194
tulang punggung setelah berkeluarga. Realitas tersebut menuntut seorang anak laki-
laki memiliki pekerjaan atau setidak-tidaknya telah menjadi pencari nafkah di dalam
keluarga. Terkait hal itu, Mattulada (1985) yang memberi nilai tinggi bagi seorang
laki-laki Bugis, untuk bertanggungjawab dalam hal pencarian nafkah lewat kerja
untuk keluarga. Baik ia harus pergi meninggalkan negeri untuk bermigrasi ke mana
kepercayaan akan rezeki yang berasal dari Sang Pencipta mendorong mereka untuk
menerima itu sebagai sesuatu yang telah ditentukan oleh Yang Maha Kuasa. Bagi
komunitas nelayan patorani, rezeki tetap yang kuasa menentukan, bekerja merupakan
tugas manusia. Untuk menjaga keseimbangan akan alam itu, nelayan patorani
hanya pada sekitar lingkungan tempat tinggalnya, akan tetapi terkait dengan lokasi
tetap mempertahankan agar populasi induk ikan torani tetap lestari dan dapat bertelur
Sekalipun telah mulai muncul pergeseran, namun masih terdapat gejala kuat di
mereka dari perasaan siri’-masiri’ akan menjadikan komunitas nelayan patorani telah
Temuan seperti ini sejalan dengan apa yang ditemukan oleh Mattulada (1985) yang
menemukan nilai siri’ sebagai faktor pendorong yang membangkitkan tenaga untuk
www.hendratmoko.com 195
bekerja membanting tulang, bekerja mati-matian, untuk suatu pekerjaan atau usaha.
Juga Rahim (1992) tentang nilai usaha (reso), dan Abdullah (1985) tentang siri
4.3.3.3 . Internalisasi Makna Siri Berkaitan Harga Diri Dan Motivasi Bekerja
untuk bekerja, hal itu terkait hasil penelitian Mattulada (1975), dan Rahim (1992)
bahwa siri’ adalah sumber motivasi dalam pencapaian persetasi ekonomi individu
bagi masyarakat Bugis-Makassar, terkait hal itu komunitas nelayan patorani dijadikan
informan sawi Syamsuddin dg Ngada (39 tahun) bahwa dalam tradisi pelayaran kita
tidak boleh bermalas-malasan karena kita sementara bekerja dan kalau malas maka
tidak akan mendapatkan hasil yang banyak. Kemudian kita malu sama pinggawa
kalau nanti di minta bekerja baru kita melaksanakan tugas kita masing-masing.
Kemudian kalau pinggawa menegur, maka suatu kewajaran bila kita lalai dalam
pekerjaan. Teguran yang diterima oleh kita sebagai sawi, maka merasa harga kita
turun dihadapan pinggawa dan sawi-sawi lainnya. Makna dari pernyataan sawi itu,
terkait dengan adanya rasa malu (siri) akan mendapatkan teguran dari seorang
pinggawa. Seorang sawi sudah memiliki masing-masing tugas dan fungsinya selama
pelayaran berlangsung.
Secara teoritis, bahwa etos kerja merupakan sikap mendasar seseorang untuk
bekerja, dari hasil wawancara seorang sawi di atas terungkap bahwa siri merupakan
sumber motivasi utama dalam perestasi kerja. Sikap mendasar mereka tentang kerja
adalah bahwa “bekerja adalah manifestasi dari nilai siri” ini terkait dengan temuan
rahim (1192) bahwa dalam budaya Bugis-Makasar, orang yang malas dan bergantung
www.hendratmoko.com 196
belas kasihan orang lain, dianggap rendah derajat siri’-nya, dan karean itu reso (kerja
atau usaha) adalah upaya agar tidak jatuh siri meskipun pangaderarreng sistem adat)
Mattulada (1975), nilai siri’ yang terpencar tetap berpengaruh sebagai sumber
motivasi kerja.
Implementasi nilai-nilai dan makna siri’ bagi nelayan patorani tekait dengan
harga diri dan martabat yang perlu dipertahankan. Konsekuensi atas jatuhnya
martabat yang menyinggung diri pribadi bagi suku Makassar, maka pemulihannya
memandangnya sebagai sesuatu yang hanya sepele saja, tetapi bagi pelakunya yaitu
orang yang menjadi orang yang dipermalukan (tau masiri’) justeru dianggap sebagai
Dari tinjauan historis makna siri’ terkait dengan harga diri atau martabat
sebagai manusia. Konsep siri’ yang demikian dimaknai sebagai "siri-ripakasiri, yaitu
suatu keadaan dimana harkat dan martabat sebagai manusia mendapat serangan atau
harus memulihkan harga diri tanpa memperhitungkan harta benda dan bahkan bila
perlu dengan nyawa pun sebagai taruhannya. Akibat dari pemulihan dan martabat
yang demikian ini dapat menyebabkan pembunuhan atau pengorbanan orang lain.
Menurut Hamid (2003:4) pengorbanan orang lain Itu tidak dirasakan sebagai suatu
www.hendratmoko.com 197
Faktor gangguan eksternal apa saja yang menyebabkan terganggunya harga
pergeseran tentang hal-hal yang dianggap sebagai sesuatu yang melanggar siri’, dalam
hal ini siri’ ripasiri’ tidak dapat terhindarkan sebagai akibat perkembangan
masyarakat suku Makassar itu sendiri. Nilai-nilai baru tentunya telah muncul
menggantikan nilai-nilai lama, atau mungkin juga nilai-nilai lama masih tetap
kompleks.
manusia suku Makassar, menjadi relevan untuk dicermati bila pengaruh nilai-nilai
sosialnya, terutama sekali yang terkait dengan dunianya sebagai nelayan patorani.
Sebab di dalam aktifitas dan proses penangkapan tidak hanya berlangsung proses
transaksi antara papalele ke eksportir dan juga antara pinggawa ke papalele, tetapi di
dalamnya terlibat interaksi sosial yang cukup intens. Proses interaksi sosial
yang melahirkan permusuhan dan keinginan untuk menghancurkan antara satu pihak
dengan pihak lainnya. Dalam konteks yang demikian inilah pola pemahaman
menjadi relevan.
papalele, maka penghitungan akan penuntutan hak yang menurut nelayan patorani
www.hendratmoko.com 198
dianggapnya sebagai suatu perlakuan yang menyerang diri mereka. Komunitas
nelayan patorani telah terdapat hak-hak yang selama ini menjadi bagian yang tidak
dapat terpisahkan atas aktivitasnya. Sistem yang terbangun atas struktur aktivitas
tersebut, terdiri atas papalele, pinggawa dan sawi. Sistem ini masing-masing
memberikan motivasi untuk memperoleh hasil yang memuaskan dan tentu juga
pinggawa dan sawi berharap mendapatkan hasil yang banyak untuk pemunuhan
September).
memang terindikasikan bahwa dalam era sekarang telah bergeser fungsinya, dan
bukan lagi menjadi faktor pendorong untuk berprestasi. Namun, sebagaian patorani
masih menganggap bahwa nilai-nilai siri’ sangat perlu untuk dijadikan sebagai
sumber motivasi untuk bekerja. Ketiadaan nilai siri’ akan mengurangi aktivitas dan
semangat bekerja.
Salah satu motivasi kerja yang bersumber dari nilai-nilai siri’ adalah, bahwa
sebagain besar pinggawa patorani sangat tergantung pada papalele sebagai pemilik
modal yang akan digunakan patorani untuk persiapan hingga pemberangkatan. Sejak
Keterikatan itu, akan memacu patorani untuk melakukan penangkapan dan membawa
www.hendratmoko.com 199
Imbal balik pengembalian utang operasional pinggawa ke papalele, semakin
menjadi kewajiban yang tidak dapat terelakkan. Hal itu, terjadi karena papalele juga
kredit perbankan. Hal itu, dilakukan oleh papalele karena tuntutan peningkatan
produksi dan permintaan pasar maka salah satu faktor pendorong pula adalah
penerapan teknologi.
Sejak akhir tahun 1960-an penerapan teknologi penangkapan telur ikan torani
pada komunitas nelayan patorani semakin berkembang dan menjadi tuntutan yang
tidak terelakkan lagi. Hal demikian dilakukan, karena masuknya kapitalisme yang
pada awalnya hanya berkembang dengan formasi sosial berciri prakapitalisme yaitu
pada era tahun 1940-an. Namun masuknya kapitalisme, maka terjadi pula
formasi sosial kapitalisme. Menurut Meillasoux dan rey dalam Blomstrom dan Hetne
(1984), bahwa dalam transformasi industrial demikian terbentuk formasi sosial yang
kapitalisme, koiksistensi tersebut sangat dipengaruhi oleh unsur formasi sosial asli.
Dalam kaitan itu, nilai siri’ dan etos kerja yang bersumber dari nilai siri’ tersebut,
pembahasan tentang nilai siri’ dan etos kerja adalah pembahasan pada tingkat aktor
dan penerapan teknologi penangkapan telur ikan torani. Karena itu, nilai siri’
dimaknakan oleh aktor dalam situasi tuntutan komersialisasi produksi dan penerapan
teknologi. Selanjutnya nilai-nilai siri’ dijadikan sebagai pendorong bagi prestasi kerja
dan usaha nelayan patorani. Teori McClelland (1987) mengatakan sebuah kebudayaan
www.hendratmoko.com 200
mendorong perkembangan ekonomi bila dalam kebudayaan itu tertanamkan motif
Berbagai situasi muncul sebagai akibat adanya pergeseran formasi sosial dari
prakapitalis dan masuknya kapitalis pada komunitas nelayan patorani. Makna siri’ tidak
hanya berlangsung di dalam situasi pasar atau suasana pekerjaan yang memang
mempertemukan berbagai kepentingan. Keberlangsungan itu, dipertemukan papalele
(pemilik modal), pinggawa dan sawi, tetapi juga di dalamnya terkait berbagai
kepentingan dari berbagai pihak yang hidup dan mencari kehidupan di dalam proses
transaksi pasar. Karena itu dalam proses interaksi sosial sebagai salah satu bentuk
proses sosial melahirkan dinamika kehidupan bersama, yang dalam perkembangannya
dapat terwujud ke dalam proses kerjasama yang harmonis. Eksportir merupakan pemilik
pasar, ikut andil pula di dalam kepentingan yang sedang berproses.
Kondisi kepentingan itu, nilai siri’ menjadi suatu motivasi untuk bekerja meningkatkan
produksi dan tidak menutup memunculkan persaingan diantara papalele. Persaingan
yang dilakukan kecenderungan pada pencarian jaringan eksportir dengan satu tujuan
untuk memperoleh sambungan baik permodalan maupun pemasaran. Kondisi itu pula,
kadang meningkat menjadi pertentangan ataupun konflik yang melahirkan saling
permusuhan. Permusuhan dan konflik dalam dinamika kehidupan pada papalele (pemilik
modal) pada komunitas nelayan patorani kadangkala mewujud ke dalam bentuk
akomodasi, di mana kedua pihak saling menahan diri untuk tidak terjadinya konflik
terbuka.
Masuknya formasi sosial kapitalis yang penuh dinamika itulah, komunitas
nelayan patorani masih memandang siri’ sebagai nilai-nilai budaya luhur. Di dalam
wawancara dengan informan diperoleh kesan yang kuat bahwa siri’ masih menjadi
Hanya saja pada tingkatan apa perbuatan itu dianggap oleh mereka telah menyentuh
harga diri atau siri’. Penekanan tersebut, masih menjadi pertimbangan yang kuat bagi
nelayan patorani. Dinamika kehidupan nelayan patorani antara era tahun 1940-an ke
akhir tahun 1960-an terjadi sebuah persaingan yang berbeda. Hal itu terjadi, karena
komersialisasi produksi.
www.hendratmoko.com 201
telur ikan torani. Hal itu, pemaknaan siri’ bagi Bugis-Makassar sebagai motivasi
instrumental yang positif untuk dijadikan sebagai acuan untuk bertindak maupun
bekerja. Karena siri’ yang banyak dimaknai oleh masyarakat Bugis-Makassar adalah
ripakasiri’ sama seperti yang ditemukan dalam penelitian Errington (1977: 25)
menyimpulkan bahwa untuk orang bugis tidak ada alasan hidup yang lebih penting
daripada menjaga siri’nya, dan karena mereka tersingggung atau ripakasiri’ mereka lebih
senang mati dengan perkelahian untuk memuliakan siri’ daripada hidup tanpa siri’.
Makna positif siri’ sebagai motivasi untuk berprestasi terimplementasikan kedalam inti
kebudayaan masyarakat Bugus-Makassar, yang menjadi kekuatan pendorong terhadap
peradaban (pangadereng) yang berupa Ade (aturan perilaku yang mengikat); Bicara
(aturan peradilan yang menentukan hal adil dan benar dan sebaliknya curang atau
salah); Wari (ketatalksanaan yang mengatur hubungan kekerabatan; Rapang (aturan
yang menempatkan kejadian masa lalu sebagai tauladan yang patut diikuti masa kini);
Sara (syariat Islam yang menjadi panutan).
Selain itu siri’ menurut Rahim (1992: 174) adalah salah satu dari enam nilai utama
kebudayaan Bugis-Makassar yakni kejujuran (alempureng), kecendekiaan (amaccang),
keteguhan (agettereng), keusahaan (reso), dan siri’ (malu dan harga diri), implementasi
hal di atas akan muncul bila salah satu atau semua nilai utama yang di anut oleh
keanusiaan terlanggar. Dinamika nelayan patorani dengan masuknya unsur
komersialisasi produksi, maka nilai siri’ menjadi motivasi kerja terkait dengan
peningkatan usaha reso.
Kemampuan untuk meningkatkan usaha seiring masuknya tuntutan pasar dan
peningkatan komersialisasi produksi, makna reso merupakan salah satu kekuatan yang
dapat mendukung bagian dari internalisasi makna nilai-nilai budaya siri’ untuk
berprestasi. Untuk menganalisis makna siri’ dan etos kerja yang bersumber dari nilai siri’
komunitas nelayan patorani mengimplementasikan nilai-nilai malu ke dalam makna reso
(keusahaan) sehingga yang dulunya pinggawa beralih menjadi papalele untuk lebih
meningkatkan usahanya. Nelayan patorani pada masa lalu, ketika masih mengandalkan
induk ikan sebagai komoditi yang dipasarkan, penghasilan yang diperoleh hanya sekedar
subsistensi. Namun setelah pola penangkapan berubah ke telur ikan, maka usaha dan
penerapan teknologi penangkapan pun ikut bergeser.
Pergeseran pola penangkapan dan penerapan teknologi, maka komunitas nelayan
patorani pun, memaknai siri’ kedalam amaccang (kecendikiaan) yang
terimplementasikan ke dalam penguasaan teknologi alat penangkapan. Pinggawa
patorani, terlebih dahulu memiliki kemampuan untuk menerapkan teknologi
permesinan kapal. Jadi dalam era ini, pinggawa bukan hanya dituntuk kemampuan
untuk menguasai dan menaklukkan lautan, tetapi dituntut pula mampu mengoperasikan
mesin sebagai alat yang diandalkan untuk mengarungi lautan. Walaupun dalam
pembagian kerja sudah jelas bahwa sawi bagian permesianan yang menangani alat,
tetapi pinggawa diberikan tanggungjawab penuh oleh papalele (pemilik modal dan
peralatan penangkapan) atas pelayaran yang dipimpinnya.
Apabila seorang pinggawa tidak menguasai peralatan yang dibawahnya, maka makna
siri’ akan menjadi suatu kekuatan yang memotivasi pinggawa untuk tampil sebagai
www.hendratmoko.com 202
pemimpin pelayaran. Apabila seorang pinggawa tidak menguasai strategi dan
perlengkapan pelayaran, maka akan mendapatkan teguran dari papalele, atau ada
peralatan yang rusak dan tidak mampu diperbaiki oleh pinggawa beserta awak perahu
(sawi) maka akan memunculkan rasa malu assiri’-siriki’ terhadap papalele. Dan
kemungkinan kegiatan penangkapan musim berikutnya tidak diberikan kesempatan lagi
untuk dipercayakan menahkodai perahu.
Untuk memperoleh hasil yang maksimal, nelayan patorani dituntut pula ada rasa
kejujuran (alempureng), rasa kejujuran ini sangat penting di jadikan suatu modal untuk
saling mempercayai. Kejujuran di harapkan papalele terhadap pinggawa dan sawi,
karena papalele sudah memberikan sepenuhnya pada pinggawa berkaitan dengan hasil
yang diperoleh. Penyelewengan bisa saja dilakukan oleh pinggawa tanpa sepengetahuan
papalele, tetapi mereka sudah sepakat antara pinggawa dan sawi untuk tidak membuka
atas kelakuan yang diperbuatnya. Apabila ada seorang diantara kelompok yang melapor
atas penyelewengan hasil yang diperoleh, maka rasa malu siri’ akan muncul sebagai
suatu kekuatan untuk saling berselisih faham dan bisa saja berakhir pada pembunuhan.
4.3.3.4. Internalisasi Nilai-Nilai Siri’ Ke Arah Kehidupan Sosial Ekonomi
Secara teoritis, memang salah satu dimensi dari terjadinya stratifikasi di dalam suatu
komunitas tidak terlepas dari dimensi ekonomi. Marx (dalam Smelser, 1973)
menempatkan stratifikasi antara kelompok borjuis dengan kelompok proletar yang
saling bertentangan. Sedang Weber (1920) justru melihat bahwa pembagian stratifikasi
yang berdasarkan atas kepentingan ekonomi etrbangun atas dasar adanya persamaan
setiap orang terhadap peluang untuk hidup atau nasib (life chances). Persamaan
terhadap peluang ini juga berlaku bagi terjadinya penguasaan barang daan jasa sehingga
diperoleh penghasilan tertentu. Jadi setiap orang bisa saja memperoleh status yang
lebih tinggi-dari aspek ekonomi-tanpa membangun permusuhan atau konflik dengan
mereka yang tidak atau belum memiliki status sosial ekonomi yang mapan.
Dalam komunitas nelayan patorani memperlihatkan bahwa dimensi ekonomi sebagai
dasar penempatan seseorang kepada status sosial yang lebih tinggi. Kondisi status itu,
tidak ditempatkan secara terpisah dengan dimensi lainnya, terutama yang terkait
intensitas mereka di dalam interaksi sosialnya. Sekalipun seseorang telah memiliki
kemampuan dalam aspek ekonomi tetapi bila aktifitas kegiatan keusahaan mereka tidak
berlangsung secara intens maka kemampuan ekonomi itu tidak atau kurang
pengaruhnya terhadap penempatan seseorang di dalam formasi sosial di komunitasnya.
Keadaan itulah yang menempatkan seorang papalele sebagai stratifikasi yang tinggi
dikalangan komunitas nelayan patorani. Sekalipun kekuatan ekonomi menjadi pilar dari
seorang papalele, tetapi dalam kenyataannya tidak semua peapale dalam struktur
kepatoanian yang telah memiliki modal yang kuat dapat memainkan peran dan diajak
bekerjasama pinggawa patorani. Orientasi kehidupan sosial untuk mencapai posisi
dalam stratifikasi semacam ini memang telah menjadi cita-cita sebagian kecil dari
nelayan patorani (keluarga pinggawa dan sawi). Tetapi dalam lingkup yang lebih meluas
kebanyakan mereka untuk mencapai posisi ini dapat diibaratkan sebagai pilar papalele
untuk kekuatan atau keberdayaan ekonomi. Padahal sebagian besar dari para papalele
www.hendratmoko.com 203
masih mengalami stagnasi dalam pertumbuhan usahanya, karena masih tetap
bergantung pada eksportir yang datang pada saat musim torani berlangsung.
Orientasi kehidupan ekonomi dimaksudkan sebagai cita-cita yang berkaitan dengan
usaha dijadikan sebagai pedoman. Secara rasional dapat diasumsikan bahwa nelayan
patorani baik pinggawa maupun sawi menghendaki terjadinya peningkatan hasil
tangkapan. Orientasi ke arah kehidupan sosial ekonomi tidak selalu bertalian dengan
pertumbuhan ekonomi yang diharapkan, karena nelayan patorani sebagian besar hanya
menggantungkan dengan kondisi alam dan kondisi musiman. Modal sebagai kekuatan
untuk memperoleh penghasilan produksi yang meningkat tidak selamanya menjadi cita-
cita dalam pemanfaatan surplus yang diterima. Namun kadang nelayan patorani masih
meninggalkan utang yang harus dibayar pada musim berikutnya. Utang yang tertinggal
walaupun tidak memiliki bunga harian maupun bulanan, akan tetapi bisa dijadikan
motivasi untuk lebih bekerja keras, karena makna siri’ malu memiliki utang.
Pemaknaan siri’ dalam konteks kehidupan sosial ekonomi bermuatan untuk
memperoleh tempat di dalam formasi stratifikasi sosial yang ada di dalam komunitas
nelayan patorani. Pola reaktif nilai-nilai siri’ bagi komunitas nelayan patorani menjadi
suatu pijakan positif menguatnya sifat-sifat keuletan, orientasi kemasa depan, dan
timbulnya keseimbangan kehidupan dunia dan akhirat. Akan tetapi menguatnya pola
reaktif mereka tidak diarahkan kepada terjadinya pertumbuhan usaha tetapi terjadi
“pembelokan” terhadap keberhasilan yang di inginkan.
Menguatnya dimensi orientasi ke masa depan, keuletan, dan keseimbangan dunia dan
akhirat. Sebagai akibat diutamakannya atau dinomorsatukannya pemulihan harkat dan
martabat diri lewat simbol-simbol materi dan simbol-simbol kesalehan beragama, dan
melupakan dimensi lain dari kualitas karsa yaitu dimensi pertumbuhan dan ketanggapan
dalam berusaha. Terkait penelitian Salman (2000) bahwa siri’ telah berhasil mendorong
orang-orang Bugis berusaha atau bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan hidup
keluarganya, namun dalam perkembangnnya implementasi siri’ (reso dan pajjama) itu
cenderung diorientasikan kepada usaha memperoleh materi yang sebanyak-banyaknya
untuk kebanggan sosial.
Selain hal itu, realitas akan status sosial pun di implementasikan makna nilai-nilai siri’ ke
dalam pengejaran status sosial, dengan ukuran keberhasilan kehidupan sosial ekonomi.
Pertumbuhan pada dasarnya adalah kata kunci dari adanya daya dorong internal
kekuatan usaha nelayan patorani itu sendiri. Jadi tiadanya peningkatan kehidupan
ekonomi di dalam komunitas nelayan patorani di akibatkan ketidak mampuan untuk
berusaha, padahal mereka memiliki kemampuan pada dimensi orientasi ke masa depan,
keuletan, dan keseimbangan dunia dan akhirat. Realitas di atas, terjadi kecenderungan
pada tataran status pinggawa (pemimpin pelayaran) beserta sawi. Akibat itu dirasakan,
karena tidak adanya akses secara langsung baik dari segi hubungan pasar maupun akses
permodalan.
Kondisi stagnasi kehidupan komunitas nelayan patorani dipahami sebagai akibat
melemahnya dan belum terciptanya kemampuan untuk cepat memberi respons
terhadap kondisi aktual yang dapat memberi mereka peluang lebih berhasil dalam
usahanya. Keinginan untuk memiliki status ekonomi yang mapan pada status pinggawa,
www.hendratmoko.com 204
hanya melalui kerja keras selama melaut, begitu pula dengan sawi lebih tertutup dengan
akses pada semua elemen di atas. Karena pinggawa dan sawi hanya sekedar sebagai
pekerja, dimana pinggawa hanya berhubungan dengan papalele dan sawi dan
kecenderungan bekerja pada saat musim pattoranian berlangsung. Kurang dimilikinya
akses pada pinggawa dan sawi dimaknai sebagai kecenderungan terjadinya himpitan
struktural yang melanda pinggawa dan sawi patorani.
Dari aspek rutinitas kehidupan usaha mereka telah lakukan dengan penuh keuletan,
kerajinan, bahkan ketahanan mental untuk pantang menyerah. Sekalipun mereka
menghadapi tantangan yang begitu kerasnya, baik yang bersumber dari faktor masih
kentalnya tata hubungan eksploitatif yang mereka alami, maupun dari dinamika
penangkapan yang penuh dengan persaingan. Meningkatnya dimensi keuletan
memperoleh dorongan atau pengaruh yang kuat dari nilai-nilai budaya siri’ dan pesse.
Nilai siri’ yang mengandung nilai malu dirasakan nelayan patorani sejak akan mulai
merencanakan berangkat melaut, diperhadapkan aturan dan diperhadapkan beban
utang yang harus dibayar ketika kembali melaut. Dengan kuatnya dorongan siri’ untuk
meraih hasil yang maksimal, dan tidak mengenal kata menyerah.
Semangat pemulihan siri’ lewat pola reaktif siri’-masiri’ inilah yang memotivasi mereka
untuk menyimpang sebagain hasil pembagian uang yang diperoleh dari papalele.
Sebagai manifestasi dari adanya cita-cita pemulihan harga diri lewat prestasi dibidang
ekonomi, dimaknai mereka sebagai keberhasilan mengumpulkan uang yang ditandai
dengan pemilikan sejumlah barang-barang berharga dan memperbaiki kondisi bangunan
rumahnya. Hal itu, menjadi indikator kemampanan dari segi ekonomi dan keberhasilan
di dalam kehidupan ekonomi rumah tangga nelayan patorani. Menguatnya dimensi
keuletan, orientasi ke masa depan, dan keseimbangan dunia dan akhirat di kalangan
nelayan patorani tidak terlepas dari pola reaktif siri’ masiri’ yang telah terpadu secara
harmonis dengan nilai-nilai agama Islam yang dianut oleh nelayan patorani.
Keterpaduan nilai-nilai budaya siri’ dan agama Islam yang dianut nelayan patorani tidak
hanya disebabkan karena faktor kesejarahan menganut agama Islam sejak pada masa
kerajaan Gowa. Tetapi juga disebabkan oleh nilai-nilai siri’ mendapat tempat di dalam
nilai agama Islam (Mattulada, 1995); lopa, 1985). Karena itulah pola reaktif siri’ masiri’
sebagai upaya pemulihan rasa malu dan harga diri lewat pencapaian were’ sebagai buah
dari kerja keras, kerajinan, ketahanan, dan pantang menyerah sejalan dengan nilai-nilai
agama islam yang menempatkan kerja sebagai ibadah, kerja sebagai peluang, dan kerja
sebagai orientasi ke masa depan. Kesemua itu mengarah pada peningkatan kehidupan
sosial ekonomi yang berdimensi pada status sosial.
Pengalaman seorang nelayan patorani, bahwa nilai budaya siri’ telah menjadi
faktor yang memotivasi untuk keluar dari keterpurukan kehidupan yang sementara
dihadapi. Memang sikap reaktif siri’ masiri’ menjadi faktor yang memotivasi
seseorang untuk bangkit mengubah nasib buruk yang mereka alami. Adakalanya sikap
reaktif ini menjadi pendorong kepada seseorang untuk meninggalkan desanya untuk
www.hendratmoko.com 205
pergi mengembara ke mana saja untuk mencari penghidupan yang lebih baik.
Memang dalam budaya Bugis konsepsi tentang kerja mengandung makna secara
inklusif maupun eksklusif sebagai nelayan yang ingin memperoleh penghasilan yang
lebih banyak, maka jarak dan waktu pelayaran tidak menjadi kendala sepanjang hal
itu dapat memperoleh hasil yang lebih banyak untuk kesejahteraan kehidupan
mencari rezeki, dengan kembali membawa hasil. Implementasi ini, maka makna siri’
reaksi atas kegiatan yang dilakukan yaitu pertama, ketiadaan pencapaian kehidupan
sejumlah anggota yang dijadikan sebagai patokan atau takaran keberhasilan dalam
rendah diri di dalam tata hubungan kekerabatan. Kedua, rasa malu yang menyebabkan
jatuhnya harga diri secara positif memunculkan pola reaktif untuk meninggalkan
kampung atau menjauh dari komunitas kekerabatan untuk terhindar dari perasaan
malu dan jatuhnya harga diri tersebut. Ketiga, pola reaktif siri dengan bermigrasi
meninggalkan kampung halaman perlu dilanjutkan dengan usaha kerja keras untuk
keluar dari kondisi kehidupan yang memalukan dan sekaligus memulihkan kembali
harga diri yang telah jatuh sebagai akibat kehidupan yang kurang beruntung.
Keempat, kondisi pemulihan rasa malu dan penegakan kembali harga diri terpuaskan
www.hendratmoko.com 206
Dalam wawancara dengan informan diduga kuat bahwa pola memunculkan
kembali makna siri’ bagi komunitas nelayan patorani terwujud ke dalam tindakan rela
dijadikan dasar untuk mempertahankan hidup melalui mencari nafkah, dan siri’
bagi nelayan patorani merupakan suatu pekerjaan yang mulia dan tidak mengeluarkan
kampung halaman dan sanak keluarga selama berbulan-bulan hanya untuk mencari
nafkah.
ungkapan kata mau pamit meninggalkan keluarga dan kampung halamannya. Bagi
nelayan patorani, meninggalkan keluarga merupakan suatu hal yang biasa pada setiap
tahun pada musim torani tiba. Sumber penghidupan pada masyarakat Galesong
telur ikan torani. Terkait itu, anak-anak yang berusia remaja antara 17-19 tahun sudah
ikut menjadi sawi patorani. Kegiatan ini dilakoni hanya untuk membantu menghidupi
kebutuhan kehidupan keluarganya. Sawi muda ini didik untuk lebih mahir, karena ada
budaya di komunitas nelayan torani, kalau anak laki-lakinya sudah dewasa tidak dapat
Bugis-Makassar lebih banyak dibebankan kepada anak laki-laki daripada kepada anak
www.hendratmoko.com 207
perempuan. Anak laki-laki dijuluki sebagai La Massappa (orang yang diberikan
beban untuk mencari rezeki) sedang anak perempuan diberi predikat sebagai I
Mattaro (menjaga rumah tanggga). La Massappa diberikan predikat kepada anak laki-
keluarga sebagai orang yang pergi mencari nafkah. Sedang I Mattaro sebagai predikat
yang diberikan kepada anak perempuan yang dimaknai sebagai kewajiban perempuan
untuk mengelola rumah tangga terutama mengelola nafkah yang dihasilkan oleh laki-
Dalam kaitan kewajiban laki-laki yang berfungsi sebagai pencari rejeki dan
kewajiban anak perempuan sebagai orang yang menyiapkan makan buat keluarganya,
mampu diperankan oleh anak laki-laki dan anak perempuan barulah ia dianggap telah
dewasa dan sudah siap untuk membentuk rumah tangga sendiri. Seorang laki-laki
yang ingin dianggap telah memenuhi kelayakan untuk berumah tangga haruslah ia
mengitari dapur/tungku tujuh kali dalam setiap harinya atau dengan kata lain telah
Sedang untuk anak perempuan barulah dianggap sudah layak untuk berumah
tangga setelah la mencapai tahap mengetahui seluk beluk tentang dapur. Lebih khusus
utamanya sikap pengelolaan dapur melalui manajemen yang rapi dan terkontrol.
Sedangkan dari pihak laki-laki (anak laki-laki) apabila sudah mampu mencari rezeki
telah tiba saatnya untuk berumah tangga dengan gadis yang telah mampu mengelola
dapur dengan prinsip penghematan agar bahtera rumah tangganya dapat hidup dengan
www.hendratmoko.com 208
sempuma. Itulah sebabnya bagi laki-laki yang hidupnya dinikahi oleh isterinya atau
isteri yang bekerja menimbulkan siri’ masiri’ dikalangan laki-laki Bugis Makassar.
siri’ masiri’ sebagai akibat nasib buruk yang menimpa mereka, baik karena ketiadaan
alat penangkapan maupun kepemilikan modal dan tidak adanya prestasi yang bisa
ditampilkan dan dipahami oleh nelayan patorani sebagai suatu keadaan yang sangat
memalukan. Ungkapan yang banyak diberikan oleh mereka dalam memahami kondisi
ini adalah: dekkua siriku narekko degaga mengkaika, (betapa malunya aku bila aku
tak memiliki apa-apa). Keperihatinan seperti ini memotivasi mereka untuk lebih
bekerja keras agar ia bisa juga mengalami kondisi kehidupan yang lebih baik dan
Orientasi kehidupan ekonomi yang lebih baik, merupakan salah satu hal yang
mengarungi berbagai pulau hingga ke Fakfak Papua Barat. Hal ini disebabkan karena
kondisi kehidupan tidak dapat memberi jaminan hidup yang layak dan cukup kalau
demikian dilakukan karena adanya persaan malu (siri-masiri) dengan prinsp lebih
baik ia pergi jauh melaut dengan mendapatkan hasil tangkapan yang lebih layak dan
lebih banyak. Operasi penagkapan telur ikan torani hingga ke Fakfak dimulai sejak
pinggawa bahwa sejak tahun 2002 melakukan pelayaran ke daerah Fakfak, maka
www.hendratmoko.com 209
penghasilan semakin bertambah. Cuma biaya operasional yang semakin bertambah
pula terutama bahan bakar dan cadangan makanan, seperti beras dan lauknya.
Persoalan biaya operasional yang semakin naik, maka semakin pula berhati-hati
dalam penangkapan, karena kalau kembali tanpa membawa hasil yang banyak maka
kita akan malu dengan keluarga apalagi dengan papalele harus dikembalikan modal
Kondisi semacam itu, sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Lopa
mendapatkan kehidupan yang lebih baik dan layak. Mereka malu dengan kemiskinan
yang dialami di kampung halaman, dan untuk itu mereka pergi ke negeri orang.
Mereka bekerja keras membanting tulang dan banyak berhasil di perantauan, bahkan
yang lebih layak. Penelitian Wahyuddin (2003) juga menemukan bahwa siri’ masiri’
pinisi (Bugis) di Sulawesi Selatan. Implementasi makna siri’ terkait temuan dia atas,
bagi nelayan patorani hanya di lakukan dengan waktu yang singkat antara bulan April
untuk meraih peningkatan kelayakan hidup secara sosial. Implementasi itu, terkait
www.hendratmoko.com 210
kehidupan sosial ekonomi setidaknya akan memberi gambaran tentang bagaimana
kondisi sosial ekonomi mereka. Sebab orientasi kehidupan sosial ekonomi pada
komunitasnya, yaitu komunitas nelayan patorani, yang tidak hanya memberi penilaian
atas hal-hal yang bersifat materi belaka, tetapi juga memberi penilaian terhadap hal-
dapat dilihat dengan memperhatikan secara seksama keinginan yang dominan dari
terdapat hal-hal yang dianggap sebagai sesuatu yang bernilai sosial tinggi
dibandingkan dengan status sosial yang lainnya. Dari tradisi masa lalu masyarakat
aspek yang dominan untuk menempatkan seseorang dalam formasi sosial yang lebih
tinggi sebagai anutan untuk memutuskan nilai-nilai adat istiadat. Namun di luar dari
individu yang memiliki harta dan keberanian menduduki strata atas dari formasi sosial
yang ada. Akan tetapi, dalam perkembangan masyarakat nilai-nilai tersebut dapat atau
dan Galesong Utara, terdapat sejumlah nilai-nilai yang dianggap lebih tinggi sekaligus
formasi sosial dan ekonami yang dimiliki seseorang. Kecenderungan setiap individu
menempatkan dirinya menjadi orang yang disegani terutama dari segi kepemilikan
www.hendratmoko.com 211
harta kekayaan di dalam komunitasnya. Berdasarkan dinamika itu, papalele memiliki
Salah satu cara yang dapat dipakai di dalam mengindentifikasi nilai-niiai yang
dipandang lebih tinggi itu adalah dengan melihat bagaimana orientasi setiap orang
atau individu tersebut di dalam kehidupan sosial ekonominya. Untuk maksud itu,
surplus di dalam usahanya. Untuk mencapai itu semua, maka papalele sebagai pemilik
modal dibutuhkan adanya kemampuan untuk bersaing dalam sistem pasar yang
bersifat bebas. Tumbuh kembangnya persaingan pasar secara bebas dimana harga
telur ikan torani terjadi fluktuasi. Keadaan itu terjadi adanya campur tangan pihak-
pihak lain dan kecenderungan tergantung dari mekanisme pasar. Adanya pesaing atau
dengan posisi tawar menawar. Permaian pasar ini dilakukan antara papalele dan
eksportir karena eksportir ikut menentukan harga jual dari komoditas di pasaran, dan
pada gilirannya akan mengarah pada peningkatan ekonomi papalele. Demkian halnya
pula dengan pinggawa dan sawi, dengan harga yang tinggi dari eksportir secara
Pasang surut akan harga komoditi telur ikan torani akan mengubah situasi
pada kondisi stagnasi dalam kehidupan kepatoranian. Hal itu terjadi, diakibatkan
aktual yang dapat memberi peluang lebih berhasil di dalam peningkatan sosial
www.hendratmoko.com 212
ekonominya. Dari aspek rutinitas kehidupan usaha nelayan patorani mereka telah
mental menghadapi tantangan alam dan tuntutan papalele yang bermuara pada tata
dari segi penghasilan penangkapan, kemudian ditambah lagi dinamika penjualan hasil
yang penuh dengan persaingan dan ketidak jelasan harga yang ditentukan oleh
papalele.
Atas dasar itulah dipegang asumsi bahwa di dalam komunitas nelayan patorani
terdapat sejumlah nilai-nilai yang mengandung aturan main antara pinggawa dan
papalele yang tidak transparan dan adanya ketidakjujuran dalam menentukan harga.
Salah satu cara yang dapat dipakai di dalam mengidentifikasi nilai-nilai yang
dipandang lebih tinggi itu adalah denan melihat bagaimana orientasi setiap papalele
sebagai individu dalam mengejar kehidupan sosial ekonominya. Untuk maksud itu
tidak berlangsung secara surut dalam komunitas nelayan patorani yang mengarah
eksploitasi dari segi pembagian hasil yang tidak berimbang. Padahal terciptanya
makna siri’ harus dibarengi dengan nilai-nilai untuk membangun solidaritas, sebagai
satu kesatuan komunitas yang tercipta saling ketergantungan antara pemilik modal
www.hendratmoko.com 213
BAB V
5.1. Kesimpulan
1. Nelayan patorani tradisional beralih pada penerapan peralatan terkait teknologi alat
menggeser pula perilaku nelayan patorani dari segi pola penangkapan dengan
makna ritual maupun upacara pattoranian hingga sekarang sudah mulai bergeser ke
pattoranian. Temuan ini menunjukkan adanya relevansi yang dinyatakan oleh Berger
2. Pergeseran pola penangkapan pada nelayan patorani dari induk ikan ke telur ikan
torani. Kondisi demikian didominasi oleh tekanan pasar dan masuknya eksportir yang
memfokuskan permintaan hanya telur ikan torani. Dalam kondisi inilah, maka nelayan
patorani tidak ada pilihan lain serta kelompok-kelompok yang terlibat di dalam
www.hendratmoko.com 214
pada peningkatan produksi. Temuan ini menunjukkan relevansi atau memperkuat
konsep Moore tentang Partisipasi pasar mencakup gerakan dari pertanian tradisional
Kemudian secara kultural Internalisasi nilai siri’ merupakan salah satu dimensi yang
mengarah pada tujuan untuk peningkatan kehidupan sosial ekonomi. Temuan ini
menghasilkan daya dorong dari perkembangan ekonomi bila dalam kebudayaan itu
5.2. Saran
1. Hasil penelitian ini dari segi keilmuan, menyarankan perlunya dilakukan penelitian
lebih lanjut dan mendalam tentang mengapa komersialisasi produksi dan tuntutan
Selatan. Hasil demikian perlu dilakukan untuk menemukan konsep ilmu sosiologi
2. Keterlibatan eksportir terkait tentang penguasaan pasar dan distribusi telur ikan hasil
www.hendratmoko.com 215
selanjutnya disarankan untuk fokus pada sejauhmana kondisi eksternal melakukan
eksploitasi.
3. Penelitian tentang hubungan sosial dan pola hubungan kerja mengarah ke kehidupan
sosial ekonomi. Pola pembagian kerja tradisonal ke kontraktual dan aspek internalisasi
siri’ sebagai budaya lokal sebagai motivasi etos kerja. menyarankan perlunya dilakukan
tradisional kemudian beralih ke nelayan patorani modern. Apakah nilai siri’ secara
sosial ekonomi.
patorani. Terkait hal itu, perlu dilakukan melalui program penguatan secara
investasi.
dialaminya, terutama hubungan sosial dengan papalele dan pembagian hasil yang
pembagian hasil yang sesuai dengan peraturan pemerintah. Hal ini dilakukan untuk
www.hendratmoko.com 216
mengantisipsi adanya ketidak seimbangan antara pembagian papalele-pinggawa dan
sawi.
www.hendratmoko.com 217
Daftar Pustaka
Abdoellah, Oekan. S. 1990. Indonesian Transmigrants and Adaptation: An
Ecological Antropological Prespective. Tesis Ph.D. Berekeley University
of California.
Abdullah, Taufik (Ed.). 1993. Agama, Etos Kerja dan Perkembangan Ekonomi.
Jakarta : LP3ES.
Alf iandan M.G. Tan (Ed.). 1981. Keiniskinan Struktural. Jakarta: Obor.
Arifin, Ansar. 1991, Patorani Sebuah Okupasi Yang Mulai Terkikis, P3MP
Universitas Hasanuddin UjungPandang.
Bachtiar, Wardi. 1995. Pengaruh Etos Kerja terhadap Status Sosial Ekonomi
(Disertasi). Bandung: PPs-Unpad.
Bellah, R.N. 1957. "Tokugawa Religion". Boston: Beacon Press.
Bennet, John W, 1982, Of time And Enterprise North American Famaly Farm
Management in A Context of Resource Marginality, Minneapolis,
University of Minneesota, Press.
Berger, Peter. L. dan Thomas Lukcman. 1990, Tafsir Sosial Atas Kenyataan;
Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan. Jakarta: LP3ES.
www.hendratmoko.com 218
Bertrand. Alvin L. 1980, Sosiologi, Kerangka Acuan, Metode Penelitian,
TeoriTeori Tentang Sosialisasi, Kepribadian dan Kebudayaan,
Surabaya: Bina Ilmu.
Blau, Peter M. 1964. Exchange and Power in Social Life. Chicago: John Wiley and
Sons.
Blumer, Herbert. 1972. "Symbolic Interactions", dalam J.P. Spradley (Ed.), Culture
and Cognition: Rules, Maps and Plans. San Fransisco: Chandler Publ.
Company.
Cohen, L. Jonathan. 1983. Modern: Social Theory, New York: Bask, Books.
Coomans, Mikhael. 1987. Manusia Dayak, Dahulu, Sekarang, dan Masa Depan,
Jakarta: Gramedia.
Craib, Ian. 1994. "Teori-Teori Sosial Modern dari Parsons Sampai Habermas".
Jakarta: Rajawali.
Denzin, N.K. dan Y.S. Lincoln (Eds ). 1991. Handbook of Qualitative Research.
Thousnd Oaks: Sage Publications.
Dharmawan, A. 1986. Aspek-Aspek Dalam Sosiologi Industri. Jakarta: Binacipta
Eder, Klaus. 1992. Contradictions and Social evolution: A Theory of The Social
Evolution and Modernity. dalam H. Haferkamp and N. J. Smelser (Eds),
Social Change and Modernity. California: University of California
Press.
Eisentadt, S.N. dan L. Roniger. 1984. Patrons, Clients and Friends: Interpersonal
Relations and the Structure of Trust in Society. Canbridge: Canbridge
University Press.
Errington, Shelly. 1977. Sirik, Darah dan Kekuasaan Politik dalam Kerajaan
Luwu Zaman Dulu. Bingkisan Kebudayaan Sulawesi Selatan, Tahun I
No.2., Ujung Pandang.
Etzioni, Amitai. 1961. A Comparative Analysis of Complex Organizations: On
Power, Involvement, and Their Correlates. New York: The Free Press.
_______ . dan E. Etzioni (Eds.). 1962. Social Change. New York: Basic Books.
Eyerman, Ron. 1992. Modernity and Social Movements. dalam H. Haferkamp and
N. J. Smelser (Eds), Social Change and Modernity. California: University
of California Press.
______ .1996, Ilmu-Ilmu Sosial Dasar dan Konsep dan Posisi, Bandung:
Pascasarjana Bandung.
www.hendratmoko.com 220
Geertz, Clifford 1963. Agricultural Involution: The Process of Ecological Change
in Indonesia. California: University of California Press.
Hutomo, 1985. Sumber Daya Ran Terbang, Jakarta, Proyek Studi Potensi Sumber
Daya Alam Indonesia, Studi Potensi Sumber daya Hayati Ikan, Lembaga
Oceanologi Nasional-LIPI.
Johnson, Paul. Doyle. 1990. Teori Sosiologi Klasik dan Modern I dan II. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Karim, Muhammad Rusli. 1994. Seluk Beluk Perubahan Sosial, Surbaya: Usaha
Nasional.
www.hendratmoko.com 221
_____ .1990. Sejarah Teori Antropologi I dan IL Jakarta; UI Press..1993.
Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan, Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
Lincoln, Y.S. and Guba E.G. 1985. Naturalistic Inquiry, Beverley Hill:
Publications.
Linton, Ralph. 1936. The Study of Man, New York: D. Appletopn CenturyCompany,
Inc.
Lipset, S. M., R. Bendix dan H.L. Zetterberg. 1994. "Social Mobillity in Industrial
Society", dalam D.L. Grasky (Ed.), Social Stratification in Sociological
Perspective: Class Race and Gender. Oxford: Westview Press.
Maliki, Zainuddin, 2003, Narasi Agung, Tiga Teori Sosial Hegemonik. Surabaya:
Lembaga Pengkajian Agama dan Masyarakat (LPAM)
Martindale, Dole. 1960. The Nature and Types of Socialogical Theory, Boston:
Houhton Mifflin.
Marzuki, Laica. 1995. Siri' Bagian dan Kesadaran Hukum Rakyat Bugis -
Makassar: Sebuah Telaah Filsafat Hukum. Makassar: HUP.
Mattulada. 1975. Latoa: Satu Lukisan Terhadap Antropologi Politik Orang Bugis
(Disertasi). Jakarta: Universitas Indonesia.
www.hendratmoko.com 222
______ 1986. "Manajemen Tradisional dalam Kalangan Usahawan Orang Bugis-
Makassar", dalam Mukhlis (Ed.), Dinamika Bugis-Makassar. Ujung
Pandang: PLPIIS Unhas-YIIS.
Maxwell, J.A.. 1996. Qualitative Research Design: An Integrative Approach.
London: Sage.
McClelland, D.C. 1987. Memacu Masyarakat Berprestasi. Jakarta: Intermedia.
Miles, Mattew B. dan Hubermen, Michael. 1992. Analisa Data Kualitatif.• Buku
Sumber Tentang Metode Baru, Terjemahan Tjetjep Rohendy, Jakarta: UI
Press.
Moein M.G., Andi. 1990. Menggali Nilai-Nilai Budaya Bugis-Makassar dan Siri"
na Pace. Ujung Pandang: Mapress.
Mukhlis (ed), 1991, Teknologi dan perubahan Sosial di Kawasan Pantai, P3MP
Universitas Hasanuddin, Ujung Pandang.
Mustafa, Hasan. 1995. Etos kerja dalam Era Industrialisasi: Studi Kasus di
Kecamatan Pasar Kemis Kabupaten Tangerang Java Barat
(Disertasi).Bandung: FPS-Unpad.
Narwoko, Dwi J. dan Suyanto Bagong. 2004. Sosiologi Teks Pengantar dan
Terapan, Jakarta: Prenada Mulia.
Parker, S.R., R.K. Brown, J. Child, M. A. Smith. 1985. Sosiologi Industri. Jakarta.
Bina Aksara.
______ . 1974. The Structure of Social Action. New Delhi. Ameriand Publishing.
Parsons, Talcott. 1951. The Social System. New York: The Macmillam Company.
Pelly, Usman, 1975, Area dengan Perahu Bugisnya: sebuah Studi Mengenai
www.hendratmoko.com 223
Pewarisan Keahlian Orang Ara Kepada Anak dan Keturunannya;
Ujungpandang, PLPIIS.
Polanyi. Karl. 1957. The Great Transformation: the Political and conomic
Orirgins of Our Time. New York: Beacon Paperback.
Popkin, Samuel, 1979. The Rational Peasant: The Political Economy of Rural
Society in Vietnam. California University press.
Rousseau, J. 1990. Central Borneo, Ethnic Identity and Social life in Stratified
society, New York: Oxfor University Press.
Salle, Kaimuddin, 1995. Aspek Hukum Bagi Hasil Perikanan Laut (Studi
kasus Nelayan Patorani di klabupaten Dati II Takalar),
Ujungpandang: PPS Universitas Hasanuddin.
www.hendratmoko.com 224
Sanderson, K Stephen. 1993. Sosiologi Makro, Sebuah Pendekatan Terhadap
Realitas Sosial, Jakarta: Rajawali Press.
Spradley. J.P. (Ed.). 1972. Culture and Cognition: Rules, Maps and Plans. San
Fransisco: Chandler Publ. Company.
Suwitha, I.P.G. 1991. "Teknologi, Pola Pikir dan Perubahan Sosial Masyarakat
Nelayan Pancana", dalam Mukhlis (Ed.), Teknologi dan Perubahan Sosial Di
Kawasan Pantai. Ujung Pandang: P3MP-Unhas.
www.hendratmoko.com 225
Warren. Bill. 1982. Imperialism: Pioner of Capitalism. London: Verso.
. 1985. The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism (Edisi
Counterpoint). Sydney: Unwin Paperbacks.
Weber, Max. 1978. Max Weber: Selections in Translation (Ed.: W.G. Runciman).
Cambridge: Cambridge University Press.
Zulkifli. 1992. "Pemborong dan Nelayan: Studi Kasus Pola Hubungan PatronKlien
pada Masyarakat Nelayan", dalam P. Tjiptoherijanto (Ed.). Ketenagakerjaan,
Kewirausahaan dan Pembangunan Ekonomi. Jakarta: LP3ES.
www.hendratmoko.com 226
Kasus 1
Pelebaran Wilayah Jangakuan Pelayaran
Dg lallo (58) tahun adalah seorang papalele, sejak usia 28 tahun beliau sudah
dipercayakan menjadi pinggawa. Dulunya hanya seorang sawi, dan sebagai nelayan
patorani ditekuninya sejak usia 19 tahun. Ia menikah di usia 19 tahun, dan untuk
menutupi kebutuhan hidup keluarganya, maka beliau ikut dengan kerabatnya menjadi
sawi nelayan patorani.
Sejak menjadi sawi nelayan patorani masih menangkap induk ikan torani, dan hanya
melakukan operasional di wilayah penangkapan selat Makassar meliputi kabupaten
Gowa, Takalar, Jeneponto hingga ke pulau Selayar. Sejak tahun 1979-an beliau menjadi
pinggawa perahu patorani. Waktu itu beliau masih tetap memngkap induk ikan terbang,
namun sejak tahun 1985 beliau beralih ke penangkapan induk ikan torani. Sejak
menangkap induk ikan torani masih mengandalkan lokasi penangkapan di areal kaluk-
kalukuang yang berada di sekitar pulau di selat Makassar. Namun pada tahun 2000-an
beliau melakukan pelebaran penangkapan hingga ke Fak-fak Papua (pulau Irian Jaya).
Hingga sekarang setiap musim pattoranian Dg Lallo tetap melakukan penangkapan ke
wilayah Fakfak. Akibat pelebaran wilayah penangkapan itu, maka jumlah modal yang
dibutuhkan pula antara 21 juta hingga mencapai Rp 25 juta sebagai modal awal
operasional.
Kasus 2
Pergeseran Pola Penangkapan kaitan komersialisasi produksi
Terjadinya pergeseran pola penangkapan dari induk ikan torani ke telur ikan torani
yakni berawal dari kapitalisme yang telah mengglobal hingga ke perahu-perahu nelayan.
Kehadirannya diperkirakan bermula pada awal abad ke 20, yakni sejak dimulainya
komersialisasi hasil tangkapan nelayan pada masyarakat setempat. Pergeseran terjadi
ketika investor (kapitalis) sudah mulai masuk dilingkungan nelayan patorani. Walaupun
komersialisasi sudah bermula sejak nelayan patorani melakukan kontak dagang dengan
pedagang induk ikan terbang dan jenis ikan lainnya dalam bentuk ikan asin atau ikan
kering. Dalam situasi ini, peran kapitalisme dalam menentukan penangkapan pada
nelayan patorani, secara spsifik sangat dipengaruhi tuntutan produkstivitas hasil yang
diperoleh.
www.hendratmoko.com 227
Namun distribusi pendapatan mereka masih cukup timpang, karena yang
memegang kendali pembagian hasil dan pemasaran hasil tangkapan adalah
papalele. Ketimpangan yang di alami itu, sejak nelayan patorani mulai
bergantung sepenuhnya pada papalele. Ketergantungan terhadap
permodalan, terjadi sejak era awal tahun 1970-an, fokus penangkapan
sepenuhnya sudah mengarah pada telur ikan torani.
Kasus 3
Daeng Laja (63 tahun) seorang pinggawa, beliau menjadi pinggawa sudah 32 tahun.
Beliau meyakini bahwa memiliki erang terutama pinggawa patorani itu sangat
penting, karena erang merupakan wadah untuk berinteraksi dengan penjaga lautan.
Namun erang yang dimiliki harus diterapkan secara utuh dan konsisten; harus
diyakini sepenuhnya, dengan mengikuti semua sarak dan menghindari kasipalli.
Dalam sebuah perahu, semua awak, tanpa kecuali harus percaya terhadap
pembuktian efek erang itu. Tidak boleh ada sebagian di antaranya yang ragu.
Kenyataan yang dihadapi oleh pinggawa yang masih mempercayai dan memiliki
erang, dewasa ini adalah karena sebagian sawi tidak peduli lagi dengan sarak dan
kasipalli, maka menurut kepercayaan bahwa akan berdampak pada erang tidak bisa
berfungsi lagi.
Erang memiliki kekuatan tersendiri bagi nelayan patorani, sebagai keyakinan yang
memperkuat pertahanan terhadap bencana yang akan dihadapinya. Erang sendiri
berisi tentang ilmu penegtahuan tentang kepatoranian dan ilmu tentang
pelayaran.erang sebenarnya tidak berkaitan dengan ilmu gaib dan magik, akan
tetapi lebih cenderung kegunaannya pada penerapan ilmu pengetahuan
kepatoranian dan kepercayaan akan kemampuan bathin untuk mampu
berkomunikasi dengan alam sekitarnya.
Kasus 4
Pergeseran Ritual Tradisional Ke Rasionalisasi Tindakan
Ritual berbau magik dan mistik itu, tetap dipertahankan dan merupakan bagian yang
tak terpisahkan oleh komunitas nelayan patorani, karena sejak awal keberadaannya
sebagai nelayan berinteraksi dengan penjaga laut. Ritual magik dan mistik masih
tetap mendapatkan legitimasi dari lingkungan sekitar sebagai nelayan. Di satu sisi
ada pula nelayan yang tidak melakukan ritual yang sifatnya mistik, akan tetapi hanya
melakukan upacara dengan berdo’a bersama dengan pinggawa dan sawi di atas
perahu. Ritual sederhana itu, dilakukan untuk memohon keselamatan dan
www.hendratmoko.com 228
mendapatkan rezeki yang banyak. Kelompok ini mempercayai bahwa segala sesuatu
rezeki maupun keselamatan ada di tangan sang maha pencipta (allah SWT).
Sehingga nelayan patorani hingga sekarang memiliki dua legitimasi basis, antara
legitimasi teknologi-modern dan legitimasi rirual-magik. Adanya kelompok itu, bagi
komunitas nelayan patorani tidak saling mempermasalahkan, yang pada intinya
bermuara pada penghasilanlah yang menjadi titik temunya.
Kasus 5
Awal Mula Penerapan Teknologi Alat Penangkapan Berorientasi Komersialisasi
Produksi
H Daeng Tawang (62 tahun) seorang pinggawa yang menekuni sebagai nelayan sejak
usia 23 tahun. Perjalanan hidupnya sebagai nelayan berawal dari menangkap induk
ikan hingga bergeser pada penangkapan telur kan torani. Sejak masuknya investasi
dengan beriringan komersialisasi produksi, maka sistem penangkapan pun juga ikut
berubah. Mulai dari jumlah awak perahu hingga pada penggunaan teknologi,
wilayah penangkapan pun semakin bertambah luas operasionalnya. Sebelum
masuknya eksportir hal itu, belum menjadi prioritas, karena nelayan patorani hanya
menangkap induk ikan untuk dipasarkan secara lokal dalam bentuk ikan kering.
Walaupun ada juga nelayan patorani yang menjangkau pemasarannya hingga ke
pulau jawa, namun kapasitas jumlahnya tidak begitu banyak. Sehingga nelayan
patorani pada era tahun 1940-an hanya mengandalkan pemasaran hasil
tangkapannya yang sudah dalam bentuk ikan terbang kering dipasarkan secara
lokal.
Realitas di atas, berlangsung cukup lama, namun pada era akhir tahun 1960-an atau
sampai awal tahun 1970-an, investasi nelayan beralih pada penangkapan telur ikan
torani. Usaha memungkinkan nelayan patorani akan meningkat karena telur ikan torani
dilirik oleh eksporti. Sejak awal tahun 1970-an telur ikan terbang sudah menjadi
komoditi yang dibeli oleh eksportir berasal dari negara Jepang. Investasi dan eksportir
inilah mendorong munculnya sistem di dalam kepatoranian secara struktural dan
mengikat diantara komunitas nelayan itu sendiri, sebagai salah satu unit yang terbentuk
sejak masuknya investasi. Walaupun struktur yang sangat sederhana sebelum investasi
masuk sudah ada, namun belum begitu menjadi hal yang mengikat secara kontraktual.
Kasus 6
Kehadiran kapitalisme tidak dapat dipungkiri sebagai bagian yang tidak dapat
www.hendratmoko.com 229
dilepaskan dengan setiap aktivitas usaha, sehingga kapitalisme penyebarannya
semakin mengglobal hingga ke masyarakat pesisir dan nelayan. Tak terlepas pula
dengan nelayan patorani yang merupakan komunitas yang sangat menjanjikan bagi
kapitalis untuk menanam modalnya. Hal itu, ditanda pada awal abad ke 20-an,
kapitalisme sudah mulai masuk memainkan pasar. Salah satu tuntutannya yaitu
komersialisasi hasil tangkapan nelayan patorani yang mengarah pada fokus
produksi. Komersialisasi bermula dari perdagangan induk ikan terbang yang di
keringkan (menjadi dalam bentuk ikan asin) kemudian di kirim ke pasar lokal
Sulawesi Selatan hingga dikirim ke Pulau Jawa.
IV. Kasus 7
Penggunaan Teknologi Alat Penangkapan Nelayan Patorani
Daeng Laja (51 tahun 36) profesi sebagai seorang pinggawa patorani, beliau
memulai menjadi nelayan berawal dari sawi kecil (masih anak-anak) sekitar usia 15
tahun sudah ikut dengan orang tuanya menjadi sawi nelayan patorani. Waktu
menjadi sawi ketika itu beliau masih menangkap induk ikan torani sebagai sasaran
permintaan pasar. Teknologi yang digunakan adalah alat tangkap pakkaja sebagai
perangkap terhadap induk ikan torani, begitu pula dengan perahu masih
mengandalkan sombala (layar biasa). Sejak tahun 1990 beliau menjadi pinggawa
dengan perahu seorang papalele. Perahu yang di awakinya adalah perahu yang
memiliki mesin dan setiap pemberangkatan membawa sawi 5-7 orang. Sasaran
penngkapan adalah telur ikan torani
www.hendratmoko.com 230
Aktivitas kenelayanan seiring perkembangan kebutuhan sosial ekonomi, maka
dituntut pula mengikuti perkembangan itu. Salah satu strategi untuk berjalan
beriringan maka nelayan patorani melakukan perubahan atau inovasi alat
penangkapan. Awal keberadaan nelayan patorani di Galesong hanya sebagai nelayan
tradisional dan sekedar pemunuhan kebutuhan hidup nelayan. Tetapi seiring dengan
masuknya kapitalis baik dari daerah setempat maupun dari luar melakukan investasi
untuk mengembangkan hasil tangkapan menjadi hasil yang layak jual dipasaran.
Kasus 8
Selain itu, bahwa pada periode awal keberadaan nelayan patorani, perubahan
yang terjadi sangat statis dan alami, sehingga proses adaptasi budaya juga
berjalan secara harmonis. Tanpa adanya loncatan teknologi yang melampaui
kemampuan pengalaman dan kebiasaan kelompok. Dengan kata lain, perubahan
itu berlangsung menurut evolusi alami, yaitu terjadinya transformasi organisasi
dan perubahan secara bertahap.
www.hendratmoko.com 231
nelayan yang berkrakter dengan ciri khas menagkap induk ikan terbang. Namun
dari segi hal keterpaduan pada permintaan pasar, maka nelayan patorani
melakukan suatu perubahan dari segi kuantitas jumlah tangkapan untuk
memenuhi kuota permintaan.
Kasus 9
Hubungan kerjasam papalele dengan pinggawa terjalin seperti mata rantai yang
tidak dapat dipisahkan. terkait hal-hal menyangkut kebutuhan hidup keluarganya
karena terkait dengan semangat mereka melaut, kalau kita tidak lakukan mereka
(pinggawa sawi) bisa lari kepapalele lain yang mau memberi pinjaman untuk
keperluannya. Tentang seringnya pinggawa sawi meminta pertolongan kepada
papalele, hal itu sudah biasa, makanya seorang papalele, harus mampu
mengayomi pinggawa dan harus pintar melihat situasi. Kalau punggawa-sawi
kesulitan keuangan karena musibah, dan atau menginginkan barang-barang
tertentu berkaitan kebutuhan hidupnya maka secara ortomatis papalele sudah
berkewajiban menolongnya. Bahkan kalau perlu ada dana yang diberukan secara
cuma-cuma dan atau dalam bentuk pinjaman yang tidak mengikat. Karena kalau
mereka minta tolong ke orang lain, nanti juga papalele yang repot untuk
menggantikannya.
V. Kasus 10
Hubungan Patron Klien
www.hendratmoko.com 232
dalam bentuk uang juga. Tetapi ada satu hal yang harus beliau patuhi,
walaupun tidak ada daam bentuk tertulis yakni pinggawa Daeng Bella harus
meberikan kepatuhan untuk mengikuti keinginan papalele pada musim
berikutnya agar memeperoleh hasil yang lebih banyak, supaya utangnya bisa
terbayarkan.
Kasus 11
Kasus 13
www.hendratmoko.com 233
Dalam konteks pembagian kerja pada komunitas nelayan patorani,
mempermanenkan pembagian kerja berdasarkan struktur, mulai yang tertinggi
hingga pekerja (sawi). Pinggawa dapat diartikan sebagai pemimpin tertinggi dari
sejumlah anggota kelompok yang ada dalam perahu (sawi-sawi) yang melakukan
kegiatan-kegiatan tertentu, baik yang berlangsung lama, maupun jangka waktu yang
singkat. Pada umumnya di kecamatan Galesong Utara dan Galesong Selatan,
pinggawa daratlah (papalele) sebagai orang yang memiliki modal untuk membiayai
kegiatan kerja mulai dari biaya peralatan produksi hingga pemasarannya. Papalele
memberikan biaya kerja dan biaya kebutuhan kehidupan rumah tangga para
pinggawa. Imbal balik dari itu, pinggawa laut (juragan) melakukan pengumpulan
produksi telur ikan terbang semaksimal mungkin. Selain itu, papalele juga yang
mengawasi dan menetapkan kebijaksanaan umum terhadap pinggawa laut
(juragan). Sedangkan juragan memimpin langsung para sawi dalam operasi
pengumpulan produksi.
Kasus 14
Hubungan tradisonal ke kontraktual
Pemberian imbalan pada pinggawa maupun sawi di lihat dari segi beban
pekerjaan dan tanggung jawab yang dibebankan selama melakukan aktivitas
penangkapan/pengumpulan telur ikan torani. Hal seperti itu terjadi, pada akhir
tahun 1960-an, perubahan pembagian kerja berorientasi dengan
mengedepankan tanggung jawab pekerjaan. Beban yang berat ditanggung
adalah pinggawa, karena secara struktur kepatoranian pinggawa
bertanggungjawab penuh dalam mengendalikan perahu dan sekaligus
bertanggungjawab atas keselamatan sawi. Belum lagi pinggawa dituntut atas
utang yang dibebankan oleh papalele sebelum berangkat hingga kembali dari
penangkapan. Beban utang berkaitan dana yang ditipkan untuk kehidupan
keluarga yang ditinggalkan dan kebutuhan pokok selama berlayar.
Kasus 15
Makna Siri Komunitas Nelayan Patorani
Komunitas nelayan patorani memaknai siri’ sebagai rasa malu dan harga diri. Karena
itu siri menurutnya adalah sesuatu yang wajib hukumnya dimiliki oleh setiap orang,
sebab hanya dengan siri orang itu bisa disebut tau (orang) kalu ada orang yang tak
punya rasa malu, menurut nelayan patorani maka pantas dikatakan orang tersebut
untuk meminjam adat istiadatnya orang yang berada di luar dirinya.
www.hendratmoko.com 234
Seorang pinggawa nelayan patorani, memaknai siri sebagai rasa malu dan harga diri.
Siri adalah rasa malu kalau kita bertingkah laku kurang terpuji dan tak berakhlak
mulia. Atau kalau kita mengerjakan sesutu yang tak pantas (tau tuna) seperti ekerja
sebagai peminta-minta, menjadi babu atau pembantu rumah tangga. Sedang
sebagai harga diri kalau kita dipermalukan kita harus melawan atau tidak boleh
berdiam diri. Tidak ada lagi gunanya hidup di dunia ini kalau kita sudah
dipermalukan.
Seorang sawi memaknai siri sebagai rasa malu dan harga diri. Rasa malu menurutnya
jika kita berkelakuakn tidak baik. Atau dapat juga terjadi bila kita tidak berhasil di
dalam hidup sebagaimana layaknya orang lain. Sedang harga diri menurutnya adalah
apabila kita dihina atau tidak dihargai sebagai layaknya manusia. Bila kita dihina
demi harga diri (siri) kita harus berusaha memulihkan harga diri, agar kita tidak
diperlakukan lagi seperti itu.
www.hendratmoko.com 235
Informan Kelompok Papalele Sekaligus Eksportir
Nama : Muhammad Daeng Gassing
Umur : 51 Tahun
Alamat : Galesong Utara
www.hendratmoko.com 236
Umur : 59 tahun
Alamat : Galesong Utara
Nama : Bahtiar
Umur : 45 tahun
Alamat : Galesong Utara
Nama : Jufri
Umur : 37 tahun
Alamat : kabupaten Jeneponto
Nama : Baharuddin
Umur : 57 tahun
Alamat : Galesong selatan
www.hendratmoko.com 237
I. PEDOMAN WAWANCARA
I. IDENTITAS INFORMAN
1. Nama Informan : .................................................
2. Jenis Kelamin : L/P*
3. Status Perkawinan : Kawin/belum kawin*
4. Umur :..............................Tahun
5. Alamat Domisili :..............
6. Pendidikan :formal..............non formal................
7. Pekerjaan :......................................
8. Anggota Keluarga :.............................orang
9. PengalamanKenelayanan :........................................Tahun
10.Status Dalam Kenelayanan
a. Papalele (pemilik modal)
b. Pinggawa
c. Sawi
d. Eksportir
www.hendratmoko.com 238
3. Setiap musim penangkapan nelayan patorani memperoleh penghasilan tangkapan bila
dibandingkan pada saat menggunkan alat sederhana kepenangkapan modern?
4. Apakah terjadinya pergeseran pola penangkapan diakibatkan oleh faktor eksternal atau
internal?
5. faktor apa sajakah secara eksternal maupun secara internal tersebut, dan bagaimana
kemampuan nelayan patorani melakukan adaptasi akibat pergeseran yang terjadi?
6. Apakah keterlibatan pasar menuntut bapak untuk mengejar jumlah hasil produksi
tangkapan?
7. bagaimana kondisi pasar sejak penangkapan pergeseran penangkapan?
www.hendratmoko.com 239
HUBUNGAN SOSIAL DAN INTERNALISASI NILAI SIRI’ KOMUNITAS NELAYAN
PATORANI SEJAK PENERAPAN TEKNOLOGI ALAT PENANGKAPAN DAN
KOMERSIALISASI PRODUKSI KE ARAH PENINGKATAN KEHIDUPAN SOSIAL
EKONOMI
www.hendratmoko.com 240
ASPEK-ASPEK YANG DI OBSERVASI
www.hendratmoko.com 241
PETA KABUPATEN TAKALAR
366
www.hendratmoko.com 242
RIWAYAT HIDUP PROMOVENDUS
Menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar Gantarang tamat tahun 1987 dan Sekolah
Menegah Pertama Kelara tamat tahun 1990. kemudian promovendus hijrah ke kota
Kabupaten dan melanjutkan Sekolah Menengah Atas Negeri 2 Jeneponto tamat tahun 1993.
Karya publikasi promovendus antara lain Diferensiasi Sosial pada komunitas nelayan
tradisional di Banten; Interaksi sosial Komunitas Nelayan antar etnik Jawa dan etnik Bugis Di
Banten; partisipasi dalam bidang politik kaum perempuan nelayan di Banten; prasangka
sosial masyarakat tradisional suku baduy terhadap masyarakat luar; taraf pendidikan anak-
anak nelayan di Banten; dan publikasi pada media lokal.
www.hendratmoko.com 243