Professional Documents
Culture Documents
Isu Dan Pengelolaan Lingkungan
Isu Dan Pengelolaan Lingkungan
ABSTRACT
ABSTRAK
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan
Makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas yang diberikan oleh Dosen
Pengajar Pengelolaan Kualitas Lingkungan agar memahami konsep dalam mengelola
kualitas lingkungan agar kualitas lingkungannya tetap dapat berfungsi sebagaimana
peruntukannya dan dapat menerapkannya dikehidupan nyata.
Metode Penulisan
TINJAUAN PUSTAKA
Ada tiga dampak utama akibat kegiatan manusia, yaitu: 1) dampak penggunaan
sarana input produksi terhadap produksi pertanian dan lingkungan, 2) dampak sistem
pertanian terhadap emisi gas rumah kaca, dan 3) dampak kegiatan industri dan
perluasan perkotaan di lahan pertanian.
Penggunaan pupuk yang berlebihan terutama pupuk nitrogen, pestisida, dan sisa
bahan kimia dari industri merupakan faktor utama yang menyebabkan terjadinya
penurunan kualitas lingkungan di lahan sawah beririgasi. Residu nitrat di dalam air
(termasuk air irigasi) di 85% lahan sawah beririgasi telah mencapai 5,40 ppm
(maksimum nilai yang diperbolehkan 4,50 ppm). Penggunaan pestisida menyebabkan
meningkatnya resistensi organisme pengganggu tanaman, ketidakseimbangan
keragaman hayati, keracunan pada manusia, dan menurunnya kualitas produk
pertanian. Di Indonesia, lahan sawah (sekitar 8 juta ha atau 6,50% dari luas lahan
sawah dunia) merupakan sumber emisi gas rumah kaca terutama metana (CH4), N2O,
dan CO2. Logam berat seperti Hg, Fe, Cd, Cu, Zn, dan Mn merupakan bahan-bahan
utama yang dihasilkan industri yang telah mencemari lahan pertanian.
Isu lingkungan mendapat perhatian yang serius dari Pemerintah karena kerusakan
lingkungan yang makin mengkhawatirkan. Banyak masalah lingkungan, khususnya
lingkungan pertanian, yang saat ini menjadi masalah nasional diangkat menjadi
masalah internasional.
The Earth Summit (KTT Bumi) 1992 di Rio de Janeiro merupakan indicator
utama semakin besarnya perhatian dan kepedulian dunia internasional terhadap
masalah lingkungan serta semakin mencuatkan pentingnya pembangunan
berkelanjutan. Isu lingkungan di sektor pertanian sudah menjadi topik pembicaraan
setelah Revolusi Hijau digulirkan pada akhir 1960- an. Selain karena perhatian dan
kepedulian masyarakat dunia semakin besar, disadari pula bahwa beberapa inovasi
teknologi muatan dari Revolusi Hijau berpotensi merusak atau mengganggu
lingkungan.
Tujuan utama Revolusi Hijau adalah untuk menghasilkan bahan pangan yang
cukup untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang jumlahnya terus meningkat.
Revolusi Hijau di Indonesia ditandai oleh introduksi varietas unggul padi yang
responsif terhadap pemupukan dan irigasi. Pengendalian hama dan penyakit tanaman
diupayakan dengan aplikasi pestisida. Di satu sisi, Revolusi Hijau terbukti mampu
meningkatkan produksi pangan nasional, namun di sisi lain telah menyebabkan
munculnya permasalahan lingkungan sebagai dampak dari kesalahan aplikasi pupuk
dan pestisida kimia. Di sektor pertanian, ada tiga isu penting yang sangat terkait
dengan upaya pelestarian sumber daya alam dan lingkungan, yaitu: 1) dampak
penggunaan berbagai input pertanian terhadap produk, lahan, dan lingkungan, 2)
dampak system usaha tani, terutama padi sawah dan padi lahan rawa pasang surut,
terhadap emisi gas rumah kaca (GRK), dan 3) dampak industri, permukiman, dan
perkotaan terhadap produktivitas lahan dan kelestarian lingkungan pertanian.
Pencemaran Residu Input Agrokimia
Isu lingkungan lain yang perlu mendapat perhatian serius adalah dampak
kegiatan atau sektor lain terhadap sumber daya pertanian dan lingkungan, yang
berasal dari limbah industri, pertambangan,pemukiman, dan perkotaan. Beberapa
senyawa beracun (B3) yang berdampak buruk terhadap keberlanjutan system
produksi pertanian antara lain adalah logam berat, seperti Hg, Fe, Cd, Cu, Zn, Mn,
dan bahan kimia seperti detergen. Walaupun belum terlalu serius, terdapat indikasi
bahwa di banyak lokasi pertanian, terutama di lahan sawah, perairan, dan kolam ikan,
senyawa kimia limbah tersebut telah mulai mencemari lahan dan air irigasi, bahkan
juga produk pertanian seperti padi dan ikan. Sebagai contoh, hasil penelitian Kurnia
et al. (2004) menunjukkan bahwa kandungan berbagai jenis logam berat dalam tanah
pada lahan yang terpolusi limbah pabrik di beberapa lokasi di Jawa Barat meningkat
sekitar 1898% dibanding lahan yang belum terkena polusi. Polusi logam berat
tersebut, selain menyebabkan kontaminasi pada produk (terutama gabah/beras) juga
menurunkan produktivitas tanaman (Suganda et al. 2002; Munarso dan Setyorini
2004). Remediasi tanah terpolusi logam berat di lahan pertanian dapat dilakukan
dengan meningkatkan pH melalui aplikasi kapur dan bahan organik. Peningkatan pH
tanah akan mengurangi kelarutan logam berat, sedangkan penambahan bahan organik
bermanfaat untuk mengimobilisasi logam berat di dalam tanah. Asam humik dan
fulvik (rasio 1:1) dapat menyerap logam berat seperti Pb, Fe, Mn, Cu, Ni, Zn,
dan Cd.
Pada tahun 1992, Departemen Pertanian mencatat lebih dari 18 juta ha lahan
di Indonesia telah terdegradasi, meliputi 7,50 juta ha lahan potensial kritis, 6 juta
ha lahan semikritis, dan 4,90 juta ha lahan kritis. Sementara itu Departemen
Kehutanan mencatat 13,20 juta ha lahan yang terdegradasi, 5,90 juta ha terdapat di
dalam kawasan hutan dan 7,30 juta ha di luar kawasan hutan. Badan Pusat Statistik
(2002) bahkan mencatat luas lahan yang terdegradasi mencapai 38,60 juta ha.
Perbedaan data ini terjadi karena criteria yang digunakan untuk mendelineasi
lahantidak sama antara ketiga institusi tersebut. Selain itu, penelitian Badan Litbang
Pertanian bekerja sama dengan IRRI menyimpulkan bahwa banyak lahan sawah
intensif terutama di Jawa mengalami degradasi kesuburan (kimiawi) terutama
penurunan kandungan Corganik, atau kadang disebut sebagai lahan sakit (soil
sickness).
Sebagai salah satu negara anggota KTT Bumi, Indonesia yang ikut meratifikasi
hasil konferensi tersebut mempunyai komitmen yang kuat untuk mengatasi masalah
lingkungan, termasuk di sector pertanian. Terkait dengan ketiga isu utama lingkungan
di sektor pertanian, pemerintah melalui Departemen Pertanian telah menetapkan
beberapa kebijakan, yang dibedakan atas dua pilihan utama.Pertama, kebijakan dalam
pembangunan atau pengembangan pertanian. Kedua, kebijakan yang bersifat regulasi,
pengawasan, dan pengendalian melalui peraturan dan perundang-undangan.
Di Indonesia, sebagai negara agraris yang beriklim tropis basah dengan sumber
daya bahan organik yang melimpah, pengembangan sistem pertanian organik sangat
potensial dan dimungkinkan. Oleh karena itu, Departemen Pertanian telah
mencanangkan dan memprogramkan pengembangan pertanian organik. Program
tersebut sejalan dengan revitalisasi pertanian, di mana aspek peningkatan mutu, nilai
tambah, efisiensi system produksi, serta kelestarian sumber daya alam dan
lingkungan merupakan isu yang menjadi sasaran utama.
Fungsi biologi pupuk organik adalah sebagai sumber energi dan makanan bagi
mikro dan mesofauna tanah. Dengan ketersediaan bahan organik yang cukup,
aktivitas organisme tanah yang juga mempengaruhi ketersediaan hara, siklus hara,
dan pembentukan pori mikro dan makro tanah menjadi lebih baik.Pupuk kimia buatan
hanya mampu menyediakan satu (pupuk tunggal) sampai beberapa jenis (pupuk
majemuk) hara tanaman, namun tidak menyediakan senyawa karbon yang berfungsi
memperbaiki sifat fisik dan biologi tanah, serta (kecuali untuk pupuk buatan tertentu)
tidak menyediakan unsur hara mikro. Dengan demikian, penggunaan pupuk buatan
yang tidak diimbangi dengan pemberian pupuk organik dapat merusak struktur tanah
dan mengurangi aktivitas biologi tanah (Setyorini 2004).
Sistem budi daya pertanian ekologis (SBPE) adalah sistem pertanian yang
memanfaatkan segala komponen, baik fisik, kimia maupun biologi yang ada dalam
suatu ekosistem, baik di dalam tanah, udara maupun air untuk mencapai produktivitas
yang optimal, sehat, dan berkelanjutan. Pertanian dan pendekatan SBPE ini dianggap
sebagai resultan dinamis dari kegiatan makhluk hidup yang kompleks (manusia-tanah
dan hara, air, tanaman, mikroorganisme) dalam memanfaatkan sumber daya alam
seoptimal mungkin untuk memenuhi kebutuhan manusia (Dilts dalam Kasryno 2006).
Dalam kaitan ini, tanah diibaratkan sebagai makhluk hidup dalam suatu
ekosistem yang dinamis. Tanah yang sehat dicirikan oleh kekayaannya akan
organisme tanah yang berfungsi untuk mengubah sisa tanaman atau hewan menjadi
unsur hara bagi tanaman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan prinsip-
prinsip utama dari SPBE pada tanaman padi mampu meningkatkan kandungan bahan
organik tanah serta ketersediaan hara fosfat dan nitrogen. Demikian juga kandungan
mikroba tanah yang menguntungkan seperti Actinomycetes dan Azotobacter sebagai
organisme pelarut P, dan Rhizobium jauh lebih tinggi dibandingkan dengan sistem
pertanian biasa (Setyorini 2004).
Kebijakan Kekarantinaan
Berbagai penelitian yang berkaitan dengan residu pupuk dan emisi GRK pada
pertanaman padi juga dikembangkan melalui kerja sama dengan IRRI sejak 1990-an.
Bahkan pada tahun 1995 dibentuk institusi khusus yang bertugas meneliti
pencemaran lingkungan pertanian, yaitu Loka Penelitian Lingkungan Pertanian
(Lolingtan) di Jakenan, Pati Jawa Tengah. Berdasarkan pertimbangan bahwa isu
lingkungan akan makin penting dan strategis di sektor pertanian, kini Loka tersebut
ditingkatkan statusnya menjadi Balai Penelitian Lingkungan Pertanian (Balingtan).
Balai ini bertugas melakukan penelitian pencemaran tanah, air, lingkungan dan
produk pertanian, emisi GRK dari lahan pertanian, serta pengembangan pertanian
ramah lingkungan. Selain itu, sejak tahun 1990-an Departemen Pertanian melalui
Badan Litbang Pertanian juga memberikan perhatian khusus terhadap perubahan
iklim global atau pemanasan bumi, serta anomali iklim. Bahkan sejak tahun 1992,
tugas pokok dan fungsi Pusat Penelitian Tanah dikembangkan menjadi Pusat
Penelitian Tanah dan Agroklimat, dan selanjutnya pada tahun 2002 dibentuk Balai
Penelitian Agroklimat dan Hidrologi (Balitklimat). Selain melakukan penelitian dan
kajian terhadap dinamika iklim dalam konteks pertanian, Balitklimat juga melakukan
berbagai penelitian dan kajian terhadap kekeringan dan banjir, serta pendekatan dan
teknologi mitigasinya. Beberapa teknologi yang dihasilkan melalui penelitian dapat
dikembangkan seperti teknologi insinerasi, pemadatan, penyimpanan (containment),
dan bioremediasi. Penggunaan karbon aktif memberi harapan dikembangkan untuk
mengatasi pencemaran tanah oleh pencemar organik dan anorganik (Cunningham
et al. 1995). Karbon aktif dapat menjerap insektisida di dalam air hingga 99,90% dari
konsentrasi awal sebesar 2.250 mg/l (Anonim 1991). Karbon aktif dapat
dikombinasikan dengan pupuk sehingga menghasilkan pupuk dwifungsi, yaitu pupuk
lambat urai (slow release) dan pengendali bahan pencemar di lahan pertanian. Oleh
karena itu, selain melakukan pemantauan dan pengamatan terhadap pencemaran
agrokimia dan kimia industri, serta mencari dan merakit teknologi mitigasi GRK dari
lahan pertanian, penelitian lingkungan pertanian ke depan juga diarahkan untuk
menghasilkan teknologi yang dapat mengurangi atau mengendalikan dampak residu
tersebut.
KESIMPULAN
Dampak pembangunan pertanian terhadap lingkungan telah teridentifikasi,
dan pencemaran lingkungan oleh bahan agrokimia (pupuk dan pestisida) merupakan
salah satu dampak yang nyata. Selain itu, kesalahan pengelolaan lahan di masa
lampau telah menyebabkan rusaknya sebagian lahan pertanian, yang berdampak pula
terhadap penurunan produktivitas dan mutu produk pertanian, dan pada akhirnya
berujung pula pada pencapaian revitalisasi pertanian Identifikasi dan pemantauan,
serta inovasi teknologi mitigasi dan penanggulangan masalah lingkungan pertanian
sangat diperlukan untuk mendukung pembangunan pertanian berkelanjutan. Dalam
hal ini, Badan Litbang Pertanian melalui Balai Besar Penelitian dan Pengembangan
Sumberdaya Lahan Pertanian beserta jajarannya, terutama Balai Penelitian Tanah,
Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi, dan Balai Penelitian Lingkungan
Pertanian, mempunyai peran yang sangat strategis untuk menjadi trendsetter dalam
pengelolaan lingkungan pertanian.
DAFTAR PUSTAKA
Ardiwinata, A.N., S.Y. Jatmiko, and E.S. Harsanti.1999. Monitoring residue at West
Java.Proceedings of Greenhouse Gases Emission Research and Increasing Rice
Productivity in Lowland Rice. Research Station for Agricultural Environment
Preservation,Jakenan.