Download as doc, pdf, or txt
Download as doc, pdf, or txt
You are on page 1of 18

ISU DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN

DALAM REVITALISASI PERTANIAN


Muhammad Rizky Wiguna (H1E108015)
Jurusan Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik, Universitas Lambung Mangkurat
Jln. A. Yani Km. 36, Banjarbaru, Kalimantan Selatan, 70714, Telepon: (0511)
4773868
Pembimbing: Nopi Stiyati, S.Si, MT.

ABSTRACT

Environmental issues and management in agricultural revitalization


Environmental problems in agricultural areas have been raised since the Green
Revolution was introduced to fulfill the need of increasing rice production in 1960’s.
Since the agriculture, fisheries and forestry revitalization was declared by the
Government of Indonesia, environmental problem is a critical issue to be raised up
with correct management. Among various environmental problems in agricultural
areas, there are three major impacts of human activities on agricultural environment,
including: 1) impact of the use of agro-input onagricultural production and
environment, 2) impact of agricultural system on greenhouse gas emission, and
3)impact of industrial activity and the extend of urban areas on agriculture land.
Overuse of fertilizers especially nitrogen fertilizer, pesticide, and residual of
chemical materials from industrial sector have been identified to be the major factors
deteriorating the environmental condition of irrigated rice areas. Nitrate residue in
water (including irrigation water) in more than 85% of rice fields has reached 5.40
ppm (the maximum level is 4.50 ppm). The use of pesticide has caused an increase of
resistance of crop disturbance organisms, imbalance of biodiversity, toxicity, and
declining of agricultural product quality. In Indonesia, rice fields (approximately 8
million ha or 6.50% of the world rice fields) have been claimed as a source of
greenhouse gas emission especially methane (CH4), N2O, and CO2. Heavy metals
such as Hg, Fe, Cd, Cu, Zn, and Mn are the major materials resulted from industry
that have entered to agricultural areas. Other major biophysical factors causing
damage of environmental condition in agricultural areas are those caused by land
degradation which can be due to acidificationsalinization, alkalinization/sodification,
erosion, desertification, nutrient depletion, loss of organic matter, compaction,
subsidence, water shortage, and flood. The Government of Indonesia has come up
with policy to face the environmental problems in agricultural areas by introducing
regulations of fertilizer and pesticide utilization, quarantine, and the policy in
handling the problems through research and development programs.

Keywords: Environmental degradation, environmental management, agricultural


development

ABSTRAK

Isu lingkungan di sektor pertanian menjadi topik pembicaraan setelah Revolusi


Hijau digulirkan pada akhir 1960-an. Sejak program Revitalisasi Pertanian,
Perikanan, dan Kehutanan (RPPK) dideklarasikan oleh pemerintah, masalah
lingkungan merupakan isu yang perlu diangkat dengan pengelolaan yang tepat. Di
antara masalah-masalah lingkungan yang dominan di lahan pertanian, ada tiga
dampak utama akibat kegiatan manusia, yaitu: 1) dampak penggunaan sarana input
produksi terhadap produksi pertanian dan lingkungan, 2) dampak sistem pertanian
terhadap emisi gas rumah kaca, dan 3) dampak kegiatan industri dan perluasan
perkotaan di
lahan pertanian. Penggunaan pupuk yang berlebihan terutama pupuk nitrogen,
pestisida, dan sisa bahan kimia dari industri merupakan faktor utama yang
menyebabkan terjadinya penurunan kualitas lingkungan di lahan sawah beririgasi.
Residu nitrat di dalam air (termasuk air irigasi) di 85% lahan sawah beririgasi telah
mencapai 5,40 ppm (maksimum nilai yang diperbolehkan 4,50 ppm). Penggunaan
pestisida menyebabkan meningkatnya resistensi organisme pengganggu tanaman,
ketidakseimbangan keragaman hayati, keracunan pada manusia, dan menurunnya
kualitas produk pertanian. Di Indonesia, lahan sawah (sekitar 8 juta ha atau 6,50%
dari luas lahan sawah dunia) merupakan sumber emisi gas rumah kaca terutama
metana (CH4), N2O, dan CO2. Logam berat seperti Hg, Fe, Cd, Cu, Zn, dan Mn
merupakan bahan-bahan utama yang dihasilkan industri yang telah mencemari
lahan pertanian. Faktor biofisik lain yang menyebabkan rusaknya kondisi
lingkungan pertanian adalah degradasi lahan, yang meliputi pemasaman,
kegaraman (salinization), alkalinitas/sodisitas (alkalinization/sodification), erosi,
penggurunan (desertification), penurunan jumlah hara, hilangnya bahan organik,
pemadatan, penurunan muka tanah, kekeringan, dan banjir. Pemerintah telah
menetapkan kebijakan untuk mengatasi masalah lingkungan di lahan pertanian
dengan mempublikasi peraturan penggunaan pupuk dan pestisida, karantina
tumbuhan dan
hewan, serta kebijakan untuk mengatasi masalah lingkungan melalui program
penelitian dan pengembangan.
Kata kunci: Degradasi lingkungan, pengelolaan lingkungan, pembangunan
pertanian

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Revolusi hijau merupakan awal dari munculnya gangguan terhadap


keseimbangan lingkungan pertanian akibat penggunaan bahan agrokimia yang tinggi
untuk meningkatkan produksi pertanian. Revolusi hijau yang terjadi pada tahun 1500-
1800 merupakan upaya untuk memenuhi kebutuhanakan bahan makanan, seperti
gandum, padi, jagung, dan kentang yang meningkat tajam akibat penduduk yang
bertambah dengan cepat. Proses ini berlangsung terus-menerus di Eropa dan Amerika
Utara pada tahun 1850-1950. Pada saat itu,produksi pangan dari tanaman maupun
hewan dipacu dengan menggunakan pupuk secara besar-besaran dan ditunjang
dengan pengembangan irigasi. Demikian pula penggunaan bahan mencemari
lingkungan.
Kualitas lingkungan pertanian juga makin menurun akibat pencemaran limbah
industri dan pertambangan, khususnya unsur logam bahan beracun berbahaya (B3),
seperti merkuri (Hg), timbal (Pb), kadmium (Cd), krom (Cr), arsen (As), nikel (Ni),
dan kobalt (Co). Unsur logam B3 yang terlarut dalam limbah selanjutnya mengalir ke
lahan pertanian dan akan terakumulasi dan terendapkan dalam daerah perakaran
tanaman dan terbawa panen. Revolusi industri juga mengakibatkan terjadinya
peningkatan konsentrasi karbon dioksida (CO2) karena pemakaian batu bara sebagai
bahan bakar. Pengembangan industry yang menggunakan mesin berbahan bakar fosil
akan memacu peningkatan suhu permukaan bumi. Konsentrasi CO2 meningkat dua
kali dibanding era sebelum revolusi industri sehingga meningkatkan suhu permukaan
bumi.
Batasan Masalah

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh lingkungan terhadap


pertanian dan pengelolaan terhadap kasus yang terjadi.

Tujuan

Makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas yang diberikan oleh Dosen
Pengajar Pengelolaan Kualitas Lingkungan agar memahami konsep dalam mengelola
kualitas lingkungan agar kualitas lingkungannya tetap dapat berfungsi sebagaimana
peruntukannya dan dapat menerapkannya dikehidupan nyata.

Metode Penulisan

Dalam pembuatan tulisan ini, metode yang digunakan adalah metode


kepustakaan, yaitu dengan mengumpulkan data-data dari literatur-literatur dan jurnal
penelitian yang bersangkutan

TINJAUAN PUSTAKA

Isu lingkungan di sektor pertanian menjadi topik pembicaraan setelah Revolusi


Hijau digulirkan pada akhir 1960-an. Sejak program Revitalisasi Pertanian,
Perikanan, dan Kehutanan (RPPK) dideklarasikan oleh pemerintah, masalah
lingkungan merupakan isu yang perlu diangkat dengan pengelolaan yang tepat. Di
antara masalah-masalah lingkungan yang dominan di lahan pertanian.

Ada tiga dampak utama akibat kegiatan manusia, yaitu: 1) dampak penggunaan
sarana input produksi terhadap produksi pertanian dan lingkungan, 2) dampak sistem
pertanian terhadap emisi gas rumah kaca, dan 3) dampak kegiatan industri dan
perluasan perkotaan di lahan pertanian.

Penggunaan pupuk yang berlebihan terutama pupuk nitrogen, pestisida, dan sisa
bahan kimia dari industri merupakan faktor utama yang menyebabkan terjadinya
penurunan kualitas lingkungan di lahan sawah beririgasi. Residu nitrat di dalam air
(termasuk air irigasi) di 85% lahan sawah beririgasi telah mencapai 5,40 ppm
(maksimum nilai yang diperbolehkan 4,50 ppm). Penggunaan pestisida menyebabkan
meningkatnya resistensi organisme pengganggu tanaman, ketidakseimbangan
keragaman hayati, keracunan pada manusia, dan menurunnya kualitas produk
pertanian. Di Indonesia, lahan sawah (sekitar 8 juta ha atau 6,50% dari luas lahan
sawah dunia) merupakan sumber emisi gas rumah kaca terutama metana (CH4), N2O,
dan CO2. Logam berat seperti Hg, Fe, Cd, Cu, Zn, dan Mn merupakan bahan-bahan
utama yang dihasilkan industri yang telah mencemari lahan pertanian.

Faktor biofisik lain yang menyebabkan rusaknya kondisi lingkungan pertanian


adalah degradasi lahan, yang meliputi pemasaman, kegaraman (salinization),
alkalinitas/sodisitas (alkalinization/sodification), erosi, penggurunan (desertification),
penurunan jumlah hara, hilangnya bahan organik, pemadatan, penurunan muka tanah,
kekeringan, dan banjir. Pemerintah telah menetapkan kebijakan untuk mengatasi
masalah lingkungan di lahan pertanian dengan mempublikasi peraturan penggunaan
pupuk dan pestisida, karantina tumbuhan dan hewan, serta kebijakan untuk mengatasi
masalah lingkungan melalui program penelitian dan pengembangan Isu lingkungan
pertanian dan penurunan produktivitas lahan mendapat perhatian yang serius dari
pemerintah.
Pengelolaan lingkungan pertanian merupakan suatu keharusan karena kerusakan
dan dampak buruk yang ditimbulkannya. Pelaksanaannya dituangkan dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional. Dalam RPJM disebutkan bahwa
meningkatnya pencemaran tanah,air dan udara, serta rendahnya produktivitas lahan
dan mutu komoditas pertanian disebabkan oleh adanya kegiatan industri, rumah
tangga, pertambangan, dan pertanian.

Antisipasi dan penanggulangannya dikemukakan secara jelas dalam Revitalisasi


Pertanian, bahwa peningkatan iptek pertanian dan pengembangan riset pertanian
dilakukan melalui pengembangan dan pemanfaatan teknologi yang tepat, spesifik
lokasi, dan ramah lingkungan.

Isu lingkungan mendapat perhatian yang serius dari Pemerintah karena kerusakan
lingkungan yang makin mengkhawatirkan. Banyak masalah lingkungan, khususnya
lingkungan pertanian, yang saat ini menjadi masalah nasional diangkat menjadi
masalah internasional.

Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (RPPK) yang dicanangkan


pada 11 Juni 2005 mempunyai enam sasaran utama, yakni: 1) peningkatan
kesejahteraan dan pengentasan kemiskinan, 2) perluasan kesempatan kerja dan
berusaha, 3) ketahanan pangan, 4) peningkatan daya saing pertanian, 5) pelestarian
sumber daya alam dan lingkungan, dan 6) pembangunan daerah. Keenam sasaran
tersebut pada dasarnya dapat disarikan sebagai upaya untuk mengurangi kemiskinan,
meningkatkan pendapatan, menjamin ketahanan pangan nasional, serta
mengonservasi, merehabilitasi, dan melestarikan sumber daya alam.

Peningkatan kebutuhan pangan nasional dengan laju 1−2%/tahun terutama


disebabkan oleh pertambahan penduduk yang saat ini sudah berjumlah lebih dari 220
juta jiwa. Oleh karena itu, selain sebagai salah satu sasaran utama, ketahanan pangan
juga merupakan basis utama RPPK. Upaya peningkatan produksi harus diimbangi
dengan peningkatan pendapatan petani, kemudahan aksesibilitas konsumen, dan
aktualisasi keamanan pangan. Sebaliknya, komoditas nonpangan yang umumnya
lebih bersifat komersial dituntut untuk memiliki daya saing yang tinggi agar mampu
meraih pangsa pasar global secara optimal. Oleh karena itu, produktivitas tinggi,
efisiensi sistem produksi, serta peningkatan mutu dan nilai tambah produk menjadi
tumpuan utama revitalisasi pertanian. Akhir-akhir ini dan untuk masa yang akan
datang.
Ketahanan pangan sebagai salah satu pilar dan tujuan utama RPPK, khususnya
dalam revitalisasi pertanian, menghadapi empat ancaman utama, yaitu: 1) stagnasi
dan pelandaian produktivitas akibat kendala teknologi dan input produksi, 2)
instabilitas produksi akibat serangan hama-penyakit dan cekaman iklim, 3) penurunan
produktivitas akibat degradasi sumber daya lahan dan air serta penurunan kualitas
lingkungan, dan 4) penciutan lahan, khususnya lahan sawah beririgasi akibat
dikonversi menjadi lahan nonpertanian.

Dalam pembangunan pertanian nasional, ketahanan pangan mempunyai peran


yang sangat strategis karena: 1) akses terhadap pangan dan gizi yang cukup
merupakan hak yang paling azasi bagi manusia, 2) kecukupan pangan berperan
penting dalam pembentukan sumber daya manusia yang berkualitas, dan 3) ketahanan
pangan menjadi salah satu pilar utama dalam menopang ketahanan ekonomi dan
ketahanan nasional yang berkelanjutan. Untuk mewujudkan ketahanan pangan
nasional, ketersediaan pangan yang cukup dari segi kuantitas,kualitas, mutu, gizi,
keamanan maupun keragaman, dengan harga yang terjangkau oleh seluruh lapisan
masyarakat harus dipenuhi. Hal ini diatur dalam UU No. 7/1996 tentang pangan
dan PP No 68/2002 tentang ketahanan pangan.

ISU LINGKUNGAN PERTANIAN

The Earth Summit (KTT Bumi) 1992 di Rio de Janeiro merupakan indicator
utama semakin besarnya perhatian dan kepedulian dunia internasional terhadap
masalah lingkungan serta semakin mencuatkan pentingnya pembangunan
berkelanjutan. Isu lingkungan di sektor pertanian sudah menjadi topik pembicaraan
setelah Revolusi Hijau digulirkan pada akhir 1960- an. Selain karena perhatian dan
kepedulian masyarakat dunia semakin besar, disadari pula bahwa beberapa inovasi
teknologi muatan dari Revolusi Hijau berpotensi merusak atau mengganggu
lingkungan.

Tujuan utama Revolusi Hijau adalah untuk menghasilkan bahan pangan yang
cukup untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang jumlahnya terus meningkat.
Revolusi Hijau di Indonesia ditandai oleh introduksi varietas unggul padi yang
responsif terhadap pemupukan dan irigasi. Pengendalian hama dan penyakit tanaman
diupayakan dengan aplikasi pestisida. Di satu sisi, Revolusi Hijau terbukti mampu
meningkatkan produksi pangan nasional, namun di sisi lain telah menyebabkan
munculnya permasalahan lingkungan sebagai dampak dari kesalahan aplikasi pupuk
dan pestisida kimia. Di sektor pertanian, ada tiga isu penting yang sangat terkait
dengan upaya pelestarian sumber daya alam dan lingkungan, yaitu: 1) dampak
penggunaan berbagai input pertanian terhadap produk, lahan, dan lingkungan, 2)
dampak system usaha tani, terutama padi sawah dan padi lahan rawa pasang surut,
terhadap emisi gas rumah kaca (GRK), dan 3) dampak industri, permukiman, dan
perkotaan terhadap produktivitas lahan dan kelestarian lingkungan pertanian.
Pencemaran Residu Input Agrokimia

Indonesia dengan jumlah penduduk yang banyak dan terus bertambah


memerlukan produk pangan dalam jumlah yang terus meningkat. Dikaitkan dengan
ketahanan pangan, hal ini menuntut perlunya upaya peningkatan produksi pangan
dengan laju yang tinggi dan berkelanjutan. Mengandalkan pangan impor untuk
ketahanan pangan nasional tentu riskan terhadap berbagai aspek kehidupan, termasuk
ekonomi, sosial, dan politik nasional.Untuk memenuhi kebutuhan pangan, penerapan
teknologi Revolusi Hijau berdampak positif terhadap peningkatan produksi padi
nasional, dari 18 juta ton pada tahun 1970 menjadi 54 juta ton pada tahun 2004, atau
meningkat tiga kali lipat. Dalam periode yang sama, produktivitas padi meningkat
dari 2,25 t/ha menjadi 4,58 t/ha, atau meningkat dua kali lipat. Setelah swasembada
beras berhasil diraih pada tahun 1984, disadari bahwa penerapan Revolusi Hijau juga
memilikibeberapa dampak negatif, antara lain kecenderungan penggunaan input yang
tinggi, terutama pupuk dan pestisida. Di satu sisi, penggunaan pupuk dan pestisida
kimia memang sangat penting artinya dalam meningkatkan produksi padi. Di sisi lain,
penggunaan kedua agroinput ini ternyata telah mencemari sebagian sumber daya
lahan, air, dan lingkungan.Pengembangan varietas unggul modern, khususnya padi,
telah mendorong penggunaan pupuk anorganik secara nyata.

Varietas unggul padi umumnya sangat responsif terhadap pupuk N, P, dan K.


Kenyataan di lapangan pun menunjukkan bahwa perkembangan teknologi dan usaha
pertanian, baik dalam program intensifikasi maupun ekstensifikasi, diikuti oleh
perkembangan hama dan penyakit, baik jenis maupun intensitas serangan. Hal ini
telah mendorong peningkatan penggunaan pestisida untuk pengendaliannya.Dalam
implementasi program intensifikasi dan ekstensifikasi padi berbasis teknologi
Revolusi Hijau, penggunaan pupuk kimia meningkat hampir enam kali lipat, dari 635
ribu ton pada tahun 1970 menjadi 4,42 juta ton pada tahun 2003. Saat ini kebutuhan
pupuk kimia untuk pertanaman padi mencapai 4,50 juta ton/ tahun. Berbagai hasil
penelitian menunjukkan bahwa penggunaan pupuk oleh petani cenderung berlebihan,
terutama pada tanaman padi. Kisaran penggunaan pupuk urea (N) dewasa ini adalah
100−800 kg/ha, serta pupuk P dan K masingmasing 0−300 kg dan 0−250 kg/ha (Las
etal. 2006). Bahkan menurut Kasryno (2006), dibanding dengan beberapa negara
penghasil padi di Asia, penggunaan pupuk di Indonesia relatif tinggi, yaitu 105, 22,
14 kg/ha masing-masing untuk N, P2O5, dan K2O, dibandingkan 95, 40, 35 kg/ha di
Malaysia, 90, 33, 17 kg/ha di Thailand, dan 51, 15, 11 kg/ha di Filipina. Selain
pemborosan, penggunaan pupuk secara berlebihan juga tidak menguntungkan bagi
kelestarian lahan dan lingkungan. Residu pupuk N berupa nitrat (NO3) telah
mencemari sebagian sumber daya air, baik air irigasi maupun air tanah (sumur),
bahkan produk pertanian. Batas maksimum kandungan nitrat dalam air hanya 4,50
ppm. Sekitar 85% air yang mengairi sebagian besar lahan sawah di Jawa mengandung
nitrat rata-rata 5,40 ppm atau 20% lebih tinggi dari batas toleransi.Penggunaan pupuk
N, P, dan K secara terus-menerus dengan takaran tinggi tanpa pengembalian sisa
panen akan mempercepat pengurasan hara lain seperti S, Ca, Mg serta unsur mikro
Zn dan Cu. Di sisi lain, penambahan secara khusus unsur-unsur mikro tersebut sangat
jarang bahkan tidak pernah dilakukan oleh petani, padahal untuk mendukung
produksi tanaman yang efisien dan lestari diperlukan keseimbangan ketersediaan hara
makro maupun mikro di dalam tanah. Penanaman padi yang sangat intensif dengan
pemupukan yang terusmenerus tidak saja menyebabkan tingginya residu pupuk,
tetapi juga meningkatkan kandungan logam berat tertutama Pb (plumbun) dan Cd
(cadmium). Ardiwinata et al. (1999) dan Kasno et al. (2003) mengidentifikasi
21−40% lahan sawah di jalur Pantura, Jawa Barat, dikategorikan terpolusi atau
terkontaminasi oleh kedua jenis logam berat tersebut, bahkan 4−7% di antaranya
dikategorikan terkontaminasi berat (> 1,0 dan > 0,24 ppm). Mirip dengan pupuk,
penggunaan pestisida juga mengalami peningkatan yang signifikan selama Revolusi
Hijau digulirkan, yaitu dari 5.234 ton pada tahun 1978 menjadi lebih dari 18.000 ton
pada tahun 1986. Kecenderungan serupa juga terjadi pada tanaman sayuran,
perkebunan, dan tanaman lain dengan alokasi penggunaan sekitar 10% dan 24,40%
(Harsanti et al. 1999; Jatmiko et al. 1999; Nurjaya 2003). Pada tahun 2002 terdapat
813 formulasi dan 341 bahan aktif pestisida yang telah dan pernah beredar, 40% di
antaranya adalah insektisida, 29% herbisida, dan 19% fungisida (DirektoratPupuk dan
Pestisida 2002). Dampak negatif penggunaan pestisida antara lain adalah: 1)
meningkatnya resistensi dan resurjensi organisme pengganggu tumbuhan (OPT), 2)
terganggunya keseimbangan biodiversitas, termasuk musuh alami (predator) dan
organisme penting lainnya, 3) terganggunya kesehatan manusia dan hewan, dan 4)
tercemarnya produk tanaman, air, tanah, dan udara.

Di beberapa daerah di Jawa, residu pestisida pada beberapa produk pangan


termasuk kedelai telah mendekati batas maksimum residu (BMR), terutama senyawa
organofosfat, karbamat,dan organokhlorin. Kecenderungan yang sama juga terjadi di
tanah, air irigasi, dan ikan (Tabel Lampiran 1).Residu pestisida berdampak negatif
pula terhadap metabolisme steroid, fungsi tiroid dan spermatogenesis, serta system
reproduksi atau dikenal dengan istilah endocrine pesticides disrupted (EDs).
Meskipun pengendalian hama terpadu dengan menggunakan pestisida telah
memberikan hasil yang nyata dalam menekan serangan hama dan penyakit tanaman,
dampak yang ditimbulkan sangat berbahaya. Oleh karena itu, penggunaan pestisida
perlu dikurangi atau dirasionalisasi, baik melalui penerapan PHT secara tegas
maupun pengembangan sistem pertanian organik yang lebih mengutamakan
penggunaan musuh alami dan pestisida hayati. Keuntungan dari rasionalisasi
pemakaian pestisida antara lain adalah: 1) mengurangi kerusakan sumber daya lahan,
air, lingkungan, dan produk, 2) mengurangi risiko kesehatan bagi manusia, dan 3)
meningkatkan keuntungan usaha tani (efisiensi produksi).

Emisi Gas Rumah Kaca dari Lahan Pertanian


Meski pernah menjadi pengimpor beras terbesar di dunia dengan luas panen
padi lebih dari 11 juta ha/tahun, Indonesia merupakan negara penghasil beras ketiga
terbesar setelah Cina dan India. Hingga kini, padi masih merupakan komoditas
strategis di Indonesia, karena selain sebagai sumber utama ketahanan pangan juga
merupakan sumber ekonomi bagi lebih dari 30 juta petani.Di sisi lain, usaha tani padi
merupakan sumber pencemaran lahan, air, dan lingkungan dari residu pupuk dan
pestisida yang diaplikasikan secara berlebihan, serta sebagai penghasil gas rumah
kaca (GRK), terutama gas metana (CH4), N2O, dan CO2, khususnya di lahan sawah
dan lahan rawa pasang surut yang saat ini luasnya sekitar 8,50 juta ha atau 6,50% dari
luas total sawah dunia.

Walaupun proporsinya tidak sebesar di sektor industri, GRK yang terbentuk di


lahan sawah dilaporkan ikut menyumbang terhadap pemanasan global yang berujung
pada perubahan iklim. Berbagai penelitian memperkirakan emisi gas metana berkisar
antara 3,20− 5,80 Tg/ tahun (Taylor et al. 1993), bahkan sumber lain menyebutkan
9,80 Tg/tahun (Bachelet dan Neue 1992; Husin 1994). Melalui penelitian jangka
panjang, Lembaga Penelitian Padi Internasional (IRRI) dan Badan Litbang Pertanian
memperkirakan emisi gas metana dari lahan sawah sekitar 12% dari total emisi
metana (Makarim et al. 1996). Pengelolaan air berperan penting dalam mengurangi
emisi gas metana. Sebagai contoh, sistem drainase diperlukan untuk meningkatkan
konsentrasi oksigen, oksidasi metana, redoks potensial (Eh) tanah, bakteri
metanotrofik, dan mengurangi metanogens dan emisi gas metana. Namun emisi N2O
akan meningkat jika lahan digenangi kembali, karena pada saat itu terjadi
peningkatan denitrifikasi. Penelitian di Balai Penelitian Pencemaran Lingkungan
Pertanian, Jakenan (Jawa Tengah), menunjukkan bahwa emisi metana dapat
dikurangi hingga 58,90% dengan menerapkan irigasi secara berkala dibanding jika
lahan digenangi terusmenerus.

Pencemaran Residu Limbah Industri, Pertambangan, dan Perkotaan

Isu lingkungan lain yang perlu mendapat perhatian serius adalah dampak
kegiatan atau sektor lain terhadap sumber daya pertanian dan lingkungan, yang
berasal dari limbah industri, pertambangan,pemukiman, dan perkotaan. Beberapa
senyawa beracun (B3) yang berdampak buruk terhadap keberlanjutan system
produksi pertanian antara lain adalah logam berat, seperti Hg, Fe, Cd, Cu, Zn, Mn,
dan bahan kimia seperti detergen. Walaupun belum terlalu serius, terdapat indikasi
bahwa di banyak lokasi pertanian, terutama di lahan sawah, perairan, dan kolam ikan,
senyawa kimia limbah tersebut telah mulai mencemari lahan dan air irigasi, bahkan
juga produk pertanian seperti padi dan ikan. Sebagai contoh, hasil penelitian Kurnia
et al. (2004) menunjukkan bahwa kandungan berbagai jenis logam berat dalam tanah
pada lahan yang terpolusi limbah pabrik di beberapa lokasi di Jawa Barat meningkat
sekitar 1898% dibanding lahan yang belum terkena polusi. Polusi logam berat
tersebut, selain menyebabkan kontaminasi pada produk (terutama gabah/beras) juga
menurunkan produktivitas tanaman (Suganda et al. 2002; Munarso dan Setyorini
2004). Remediasi tanah terpolusi logam berat di lahan pertanian dapat dilakukan
dengan meningkatkan pH melalui aplikasi kapur dan bahan organik. Peningkatan pH
tanah akan mengurangi kelarutan logam berat, sedangkan penambahan bahan organik
bermanfaat untuk mengimobilisasi logam berat di dalam tanah. Asam humik dan
fulvik (rasio 1:1) dapat menyerap logam berat seperti Pb, Fe, Mn, Cu, Ni, Zn,
dan Cd.

Kerusakan dan Degradasi Lahan

Degradasi lahan ditandai oleh penurunan atau kehilangan produktivitas lahan,


baik secara fisik, kimia, dan biologi maupun ekonomi. Degradasi lahan diakibatkan
oleh kesalahan dalam pengelolaan dan penggunaan lahan. Pengelolaan dan
penggunaan lahan meliputi pembukaan lahan (land clearing), penebangan hutan
(deforestation), konversi untuk nonpertanian, dan irigasi. Kesalahan dalam
pengelolaan dan penggunaan lahan akan menimbulkan polusi, erosi, kehilangan unsur
hara, pemasaman, penggaraman (salinization), sodifikasi dan alkalinasi (sodification
and alkalinization), pemadatan (compaction), hilangnya bahan organik, penurunan
permukaan, kerusakan struktur tanah, penggurunan (desertification), dan kehilangan
vegetasi alami dalam jangka panjang (Agus 2002). Memburuknya kondisi lahan
menyebabkan masyarakat yang tinggal di kawasan yang mengalami degradasi
menghadapi berbagai ancaman seperti kekurangan sumber air, kelaparan, dan
munculnya berbagai penyakit. Selain itu, degradasi lahan secara global akan
mengancam kelestarian keanekaragaman hayati dan menaikkan suhu permukaan
bumi.

Pada tahun 1992, Departemen Pertanian mencatat lebih dari 18 juta ha lahan
di Indonesia telah terdegradasi, meliputi 7,50 juta ha lahan potensial kritis, 6 juta
ha lahan semikritis, dan 4,90 juta ha lahan kritis. Sementara itu Departemen
Kehutanan mencatat 13,20 juta ha lahan yang terdegradasi, 5,90 juta ha terdapat di
dalam kawasan hutan dan 7,30 juta ha di luar kawasan hutan. Badan Pusat Statistik
(2002) bahkan mencatat luas lahan yang terdegradasi mencapai 38,60 juta ha.
Perbedaan data ini terjadi karena criteria yang digunakan untuk mendelineasi
lahantidak sama antara ketiga institusi tersebut. Selain itu, penelitian Badan Litbang
Pertanian bekerja sama dengan IRRI menyimpulkan bahwa banyak lahan sawah
intensif terutama di Jawa mengalami degradasi kesuburan (kimiawi) terutama
penurunan kandungan Corganik, atau kadang disebut sebagai lahan sakit (soil
sickness).

Hal ini merupakan tantangan dalam menetapkan kriteria baku lahan


terdegradasi sehingga dapat digunakan secara nasional dan perbedaan data yang
mencolok dapat dihindarkan.Untuk program rehabilitasi lahan terdegradasi, luasan
hasil delinease lahan secara nasional berperan sangat penting dalam perencanaan dan
pencapaian target rehabilitasi. Untuk perbaikan lahan terdegradasi secara kimiawi
dikembangkan sistem pertanian dan teknologi ramah lingkungan, termasuk pertanian
organic dan pengelolaan tanaman terpadu.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Inovasi Teknologi Dan Pengelolaan


Lingkungan Pertanian

Sebagai salah satu negara anggota KTT Bumi, Indonesia yang ikut meratifikasi
hasil konferensi tersebut mempunyai komitmen yang kuat untuk mengatasi masalah
lingkungan, termasuk di sector pertanian. Terkait dengan ketiga isu utama lingkungan
di sektor pertanian, pemerintah melalui Departemen Pertanian telah menetapkan
beberapa kebijakan, yang dibedakan atas dua pilihan utama.Pertama, kebijakan dalam
pembangunan atau pengembangan pertanian. Kedua, kebijakan yang bersifat regulasi,
pengawasan, dan pengendalian melalui peraturan dan perundang-undangan.

Pengembangan Sistem Pertanian Berkelanjutan

Brown dan Hock (1999) mengemukakan bahwa selain produktivitas,


setidaknyaada enam komponen yang menjadi tolok ukur dari pembangunan pertanian
berkelanjutan, yaitu: 1) kepunahan spesies,2) kerusakan hutan, 3) erosi tanah, 4)
emisikarbon, 5) jumlah ikan yang ditangkap, dan 6) laju kelahiran manusia
disbanding laju kematian. Oleh karena itu, keenam tolok ukur tersebut juga dijadikan
acuan pengelolaan lingkungan terutama dalam konteks pengelolaan pembangunan
yang bersih (clean development management), seperti isu keragaman hayati
(biodiversity),ecolabelling dan penebangan hutan, mitigasi gas rumah kaca, dan
polusi.Mengacu kepada pengalaman penerapan.

Revolusi Hijau I, pembangunan pertanian ke depan memerlukan reorientasi


pendekatan, terutama dalam pengembangan sistem produksi padi dan tanaman
pangan pada umumnya. Beberapa komponen dan pendekatan Revolusi Hijau I masih
cukup relevan, namun ada beberapa aspek yang perlu diperbaiki dan disem110
Jurnal Litbang Pertanian, 25(3), 2006 purnakan, seperti: 1) penggunaan teknologi
tinggi berbasis sumber daya (knowledge and resources approach), 2) penggunaan
input yang rasional melalui pengembangan sistem pertanian modern (Good
Agricultural Practices, GAP), 3) pemanfaatan sumber daya, teknologi (indigenous
technology), dan kearifan lokal (local wisdom), dan 4) perhatian yang lebih serius
terhadap aspek kesehatan, lingkungan, serta potensi dan kelestarian sumber daya
pedesaan. Keempat pendekatan tersebut telah dikemas dalam konsep Revolusi Hijau
Lestari (RHL) atau Evergreen Revolution. Meningkatnya perhatian dan kesadaran
masyarakat terhadap kesehatan, lingkungan, dan gizi telah mendorong peningkatan
permintaan terhadap produk pertanian organik, terutama pangan. Di berbagai negara
maju, produk pangan organik sudah menjadi agribisnis yang berkembang pesat.
Dilaporkan, nilai penjualan pangan organik pada tahun 2003 mencapai US$ 23 miliar
atau lebih dari Rp 230 triliun. Selaras dengan RHL dan semakin mengemukanya isu
lingkungan serta kesehatan maka pembangunan pertanian berkelanjutan adalah
pembangunan pertanian yang mengombinasikan teknologi tradisional dengan
teknologi modern. Jika penggunaan pupuk organic dianggap sebagai teknologi
tradisional dan penggunaan pupuk anorganik sebagai teknologi modern maka konsep
pengelolaan hara terpadu yang mengombinasikan pemupukan organik dengan
anorganik sudah memenuhi kriteria pertanian berkelanjutan.Consultative Group on
International Agricultural Research (CGIAR) sebagai induk organisasi
lembagalembaga penelitian internasional mendukung gagasan pertanian
berkelanjutan, tetapi tidak sepakat dengan pengertian pertanian berkelanjutan yang
diidentikkan dengan pertanian organik. CIMMYT mengartikan sustainable dengan
supportable, yaitu memacu kenaikan produksidengan tetap menjaga kelestarian
lingkungan.

Pengembangan Pertanian Organik

Di Indonesia, sebagai negara agraris yang beriklim tropis basah dengan sumber
daya bahan organik yang melimpah, pengembangan sistem pertanian organik sangat
potensial dan dimungkinkan. Oleh karena itu, Departemen Pertanian telah
mencanangkan dan memprogramkan pengembangan pertanian organik. Program
tersebut sejalan dengan revitalisasi pertanian, di mana aspek peningkatan mutu, nilai
tambah, efisiensi system produksi, serta kelestarian sumber daya alam dan
lingkungan merupakan isu yang menjadi sasaran utama.

Dengan moto Go Organic 2010, Indonesia memiliki obsesi sebagai produsen


pangan organik utama dunia. Kedepan, permintaan pangan organic diperkirakan akan
terus meningkat. Hal yang tidak kalah pentingnya dari program ini adalah
peningkatan pendapatan petani dan pelestarian sumber daya alam dan
lingkungan.Pengertian dan persepsi berbagai pihak tentang pertanian organik
memang masih beragam. Banyak batasan yang dikemukakan, namun secara
sederhana,pertanian organik adalah cara dan system budi daya tanaman yang hanya
atau mengutamakan penggunaan bahanbahan alami (organik) dan tidak menggunakan
atau membatasi penggunaan input kimia (anorganik) berupa pupuk danpestisida
kimia.

Secara umum, ada dua pemikiran yang melatari pengembangan pertanian


organik di Indonesia. Pertama, pemikiran yang merujuk kepada keprihatinan berbagai
kalangan, baik nasional maupun internasional terhadap keamanan pangan, kondisi
lingkungan, kesehatan, dan kesejahteraan petani. Kedua, pemikiran yang dilatari oleh
degradasi fisik dan kimia sebagian lahan, terutama lahan sawah serta lingkungan,
namun tetap peduli terhadap ketahanan pangan nasional yang harus bertumpu pada
produktivitas tinggi dan stabil, khususnya untuk komoditas padi. Berdasarkan kedua
pemikiran tersebut, pengembangan pertanian organik (dan penggunaan pupuk
organik) dibedakan atas dua pemahaman umum, yang keduanya samasama penting
dan patut dikembangkan (Fagi dan Las 2006). Pertama, pertanian organik
”absolut”(POA) sebagai sistem pertanian yang sama sekali tidak menggunakan input
kimia anorganik, hanya menggunakan bahan alami berupa bahan organik atau pupuk
organik. Sistem ini adakalanya dikaitkan dengan konsep pertanian berkelanjutan
rendah input (Low Input Sustainable Agriculture, LISA). Sasaran utamanya adalah
menghasilkan produk dan lingkungan (tanah dan air) yang bersih dan sehat
(ecolabelling attributes). Sistem ini lebih mengutamakan nilai gizi (nutritional
attributes), kesehatan,dan ekonomi produk, yang konsumennya adalah kalangan
tertentu (eksklusif), dan kurang mengutamakan produktivitas. Kedua, pertanian
organik ”rasional” (POR) atau pertanian semiorganik sebagai sistem pertanian yang
menggunakan bahan organik sebagai salah satu masukan yang berfungsi sebagai
pembenah tanah dan suplemen pupuk buatan (kimia anorganik).

Pestisida dan herbisida digunakan secara selektif dan terbatas, atau


menggunakan biopestisida. Landasan utamanya adalah sistem pertanian modern
(GAP) yang mengutamakan produktivitas,efisiensi sistem produksi, keamanan, serta
kelestarian sumber daya alam dan lingkungan. Berbeda dengan pupuk kimia
buatan(anorganik) yang hanya menyediakan satu sampai beberapa jenis hara saja,
pupuk organik mempunyai peran penting dalam memperbaiki sifat fisik, kimia, dan
biologi tanah. Meskipun kadar hara yang dikandung pupuk organik relatif rendah,
fungsi kimianya jauh melebihi pupuk kimia buatan. Fungsi kimia tersebut antara
lain adalah: 1) menyediakan hara makro (N, P, K, Ca, Mg, dan S) dan mikro (Zn,
Cu, Mo, Co, B, Mn, dan Fe), 2) mencegah kahat unsur hara mikro pada tanah
marginal atau tanah yang telah diusahakan secara intensif dengan pemupukan yang
kurang seimbang, 3) meningkatkan kapasitas tukar kation (KTK) tanah, dan 4)
membentuk senyawa kompleks dengan ion logam beracun seperti Al, Fe, dan Mn
sehingga logamlogam tersebut tidak meracuni tanaman. Fungsi fisika pupuk organik
antara lain adalah: 1) memperbaiki struktur tanah, karena bahan organik dapat
mengikat partikel tanah menjadi agregat yang mantap, 2) memperbaiki distribusi
ukuran pori tanah sehingga daya pegang air (water holding capacity) tanah meningkat
dan pergerakan udara (aerasi) di dalam tanah menjadi lebih baik, dan 3) mengurangi
(bufer) fluktuasi suhu tanah.

Fungsi biologi pupuk organik adalah sebagai sumber energi dan makanan bagi
mikro dan mesofauna tanah. Dengan ketersediaan bahan organik yang cukup,
aktivitas organisme tanah yang juga mempengaruhi ketersediaan hara, siklus hara,
dan pembentukan pori mikro dan makro tanah menjadi lebih baik.Pupuk kimia buatan
hanya mampu menyediakan satu (pupuk tunggal) sampai beberapa jenis (pupuk
majemuk) hara tanaman, namun tidak menyediakan senyawa karbon yang berfungsi
memperbaiki sifat fisik dan biologi tanah, serta (kecuali untuk pupuk buatan tertentu)
tidak menyediakan unsur hara mikro. Dengan demikian, penggunaan pupuk buatan
yang tidak diimbangi dengan pemberian pupuk organik dapat merusak struktur tanah
dan mengurangi aktivitas biologi tanah (Setyorini 2004).

Sistem Budi Daya Pertanian


Ekologis

Sistem budi daya pertanian ekologis (SBPE) adalah sistem pertanian yang
memanfaatkan segala komponen, baik fisik, kimia maupun biologi yang ada dalam
suatu ekosistem, baik di dalam tanah, udara maupun air untuk mencapai produktivitas
yang optimal, sehat, dan berkelanjutan. Pertanian dan pendekatan SBPE ini dianggap
sebagai resultan dinamis dari kegiatan makhluk hidup yang kompleks (manusia-tanah
dan hara, air, tanaman, mikroorganisme) dalam memanfaatkan sumber daya alam
seoptimal mungkin untuk memenuhi kebutuhan manusia (Dilts dalam Kasryno 2006).

Dalam kaitan ini, tanah diibaratkan sebagai makhluk hidup dalam suatu
ekosistem yang dinamis. Tanah yang sehat dicirikan oleh kekayaannya akan
organisme tanah yang berfungsi untuk mengubah sisa tanaman atau hewan menjadi
unsur hara bagi tanaman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan prinsip-
prinsip utama dari SPBE pada tanaman padi mampu meningkatkan kandungan bahan
organik tanah serta ketersediaan hara fosfat dan nitrogen. Demikian juga kandungan
mikroba tanah yang menguntungkan seperti Actinomycetes dan Azotobacter sebagai
organisme pelarut P, dan Rhizobium jauh lebih tinggi dibandingkan dengan sistem
pertanian biasa (Setyorini 2004).

Pengelolaan Tanaman Terpadu

Untuk tanaman pangan, khususnya padi, pengembangan pertanian organic


absolut secara luas berisiko tinggi dan mengancam revitalisasi pertanian,khususnya
ketahanan pangan. Namun, dalam luasan terbatas dan bersifat eksklusif, terutama
untuk menghasilkan beras fungsional dengan karakteristik dan mutu tertentu,
pengembangan padi organik dinilai prospektif. Berbagai hasil penelitian
menunjukkan penerapan pertanian organic absolut pada tanaman padi tidak mampu
menjamin produktivitas yang tinggi, bahkan cenderung menurun. Hal ini terkait
dengan lambatnya penyediaan hara makro yang perlu tersedia bagi tanaman dalam
waktu yang cepat dan dalam jumlah yang cukup, sebagaimana yang dibutuhkan oleh
varietas unggul modern yang berpotensi hasil tinggi (> 6,50 t/ha), yang biasanya
tercukupi dari pemberian pupuk anorganik seperti urea, TSP, dan KCl. Departemen
Pertanian melalui Badan Litbang Pertanian, IRRI, dan FAO sejak 2001/2002 telah
mengembangkan konsep Integrated Crop and Resource Management (ICM) atau
lebih popular disebut Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT), dan Sistem Integrasi
Padi-Ternak (SIPT). Model PTT/SIPT merupakan pendekatan dalam sistem usaha
tani padi yang berlandaskan pada aspek sinergisme dan keterpaduan antara sumber
daya dan pengelolaan tanaman, yang salah satu komponen teknologinya adalah
sinergi pemupukan anorganik dan organik, sesuai dengan konsep GAP dan POR.
Dalam PTT/SIPT, pemberian pupuk atau bahan organik merupakan salah satu syarat
utama (compulsory technology), yang berfungsi sebagai pembenah tanah dan
sekaligus sebagai suplemen untuk mengurangi penggunaan pupuk anorganik.
Aplikasi pupuk anorganik didasarkan pada konsep pengelolaan hara spesifik lokasi
yang menganut prinsip feed what the crop need. Pupuk diberikan secara proporsional
dan rasional sesuai dengan kebutuhan tanaman. Dengan demikian, aplikasi pupuk
organic (terutama pupuk kandang dan jerami) dan pupuk anorganik sama-sama
menjadi andalan dalam peningkatan produktivitas, efisiensi input, sekaligus untuk
perbaikan dan kelestarian sumber daya lahan dan lingkungan. Dengan PTT dan SIPT,
produktivitas padi dapat ditingkatkan 16− 36% dan penggunaan pupuk anorganik
berkurang hingga 35% (Las et al. 2004).

Inovasi Teknologi Mitigasi GRK Lahan Pertanian

Sejak lebih dari 10 tahun terakhir, Departemen Pertanian melalui Badan


Litbang Pertanian makin intensif melakukan penelitian dan pengkajian terhadap
aspek lingkungan pertanian. Selain informasi tentang emisi GRK di lahan pertanian,
telah dihasilkan pula informasi tentang residu agrokimia dan dampaknya terhadap
lingkungan. Beberapa inovasi, baik pendekatan maupun teknologi mitigasi, juga telah
dihasilkan. Untuk menekan emisi GRK dari lahan sawah, ada empat pendekatan yang
dapat dikembangkan, yaitu 1) pengelolaan air dan sistem irigasi, 2) pengelolaan dan
pengolahan tanah, 3) teknik budi daya, dan 4) perakitan atau pemilihan varietas
unggul. Pengelolaan air dan sistem irigasi (penggenangan dan drainase) sangat
mempengaruhi proses fisio-fisiko-kimia tanaman-tanah-air, seperti pH, Eh, dan
sirkulasi udara yang sangat berperan dalam proses, reaksi kimia, dan aktivitas
mikroba tanah yang terkait dengan emisi GRK, terutama gas metana dan N2O
(Wihardjaka et al. 1998). Irigasi tetes dan rigasi berselang (intermitten irrigation) di
lahan sawah dapat menekan emisi GRK lebih dari 40% dibandingkan dengan
penggenangan terus-menerus, sebagaimana yang masih dipraktekkan oleh sebagian
besar petani padi hingga kini (Setyanto et al. 2000; 2003; 2004). Makin terbatas
pengolahan tanah, makin besar pengurangan emisi GRK dari lahan sawah. Teknik
budi daya, terutama sistem tanam yang terkait dengan umur tanaman di lapang dan
penyiangan, sangat berpengaruh terhadap emisi GRK. Pengaruh varietas unggul
terhadap emisi GRK terkait dengan perakaran, jumlah anakan, dan jaringan
aerenkhim tanaman.

Pengendalian Hama Terpadu


Tidak dapat dipungkiri bahwa pestisida merupakan salah satu komponen
penting dalam mendukung keberhasilan peningkatan produksi pertanian, terutama
pangan. Namun kenyataan menunjukkan bahwa pestisida juga menimbulkan dampak
negatif terhadap kesehatan manusia dan lingkungan. Untuk itu, sejak lebih dari 20
tahun yang lalu, pemerintah telah menetapkan kebijakan untuk mene rapkan konsep
Pengendalian Hama Terpadu (PHT) dalam sistem produksi pertanian, terutama
tanaman pangan.

KELEMBAGAAN DAN PERANGKAT KEBIJAKAN

Kebijakan Kekarantinaan

Dalam upaya melindungi keseimbangan ekologis serta kemungkinan masuknya


organisme asing dan produk yang tidak higienis (bebas pestisida) ke dalam negeri,
Departemen Pertanian telah sejak lama menerapkan sistem karantina pertanian yang
diselenggarakan oleh Badan Karantina Pertanian. Badan tersebut tidak hanya
mengawasi pemasukan tanaman dan benih pertanian, tetapi juga produkproduk
pertanian seperti buah-buahan, sayuran, dan ternak. Dalam Permentan No.
299/Kpts/OT.140/7/2005 pasal 153

Regulasi Penggunaan Pestisida dan Pupuk

Beberapa peraturan dan perundangundangan yang berkaitan dengan regulasi


penggunaan agroinput adalah: 1) Permentan No. 7/1973 tentang peredaran,
penyimpanan dan penggunaan pestisida, 2) Kepmentan No. 280/1973 tentang
pendaftaran, aplikasi dan lisensi pestisida, 3) Permentan No. 429/1973 tentang
pengepakan dan pelabelan pestisida, 4) Kepmentan No. 944/1984 tentang pembatasan
pestisida, 5) Kepmentan No. 536/ 1985 tentang pengawasan pestisida, 6) UU No.
12/1992 tentang budi daya pertanian, 7) Kepmentan No. 6/1995 tentang perlindungan
tanaman, dan 8) Kepmentan No. 01/2006 tentang rekomendasi pemupukan dan
penghematan pupuk. Selain sebagai pejabat pengawas yang bersifat struktural di
Departemen Pertanian, Departemen Perindustrian, Departemen Perdagangan dan
Departemen Kesehatan, Menteri Pertanian juga telah membentuk Komisi Pestisida
untuk mengefektifkan penerapan berbagai Kepmentan dan Permentan dalam regulasi
penggunaan pestisida. Komisi yang beranggotakan perwakilan dari berbagai
departemen serta para pakar lembaga penelitian dan perguruan tinggi tersebut,
bertugas membantu Menteri Pertanian dalam mengendalikan, mengawasi, dan
mengevaluasi penggunaan pestisida di Indonesia.
Kebijakan Penelitian dan Pengembangan

Sesuai dengan perubahan lingkungan strategis, terutama yang berkaitan dengan


dampak yang disebabkan oleh pesatnya penggunaan input agrokimia, sejak 1978
Badan Litbang Pertanian merintis berbagai penelitian yang berkaitan dengan isu
lingkungan di sektor pertanian. Penelitian mencakup pengaruh residu pestisida
terhadap tanah, air, tanaman, ternak, ikan, dan fauna yang hidup di lingkungan
pertanian seperti burung dan katak.

Berbagai penelitian yang berkaitan dengan residu pupuk dan emisi GRK pada
pertanaman padi juga dikembangkan melalui kerja sama dengan IRRI sejak 1990-an.
Bahkan pada tahun 1995 dibentuk institusi khusus yang bertugas meneliti
pencemaran lingkungan pertanian, yaitu Loka Penelitian Lingkungan Pertanian
(Lolingtan) di Jakenan, Pati Jawa Tengah. Berdasarkan pertimbangan bahwa isu
lingkungan akan makin penting dan strategis di sektor pertanian, kini Loka tersebut
ditingkatkan statusnya menjadi Balai Penelitian Lingkungan Pertanian (Balingtan).
Balai ini bertugas melakukan penelitian pencemaran tanah, air, lingkungan dan
produk pertanian, emisi GRK dari lahan pertanian, serta pengembangan pertanian
ramah lingkungan. Selain itu, sejak tahun 1990-an Departemen Pertanian melalui
Badan Litbang Pertanian juga memberikan perhatian khusus terhadap perubahan
iklim global atau pemanasan bumi, serta anomali iklim. Bahkan sejak tahun 1992,
tugas pokok dan fungsi Pusat Penelitian Tanah dikembangkan menjadi Pusat
Penelitian Tanah dan Agroklimat, dan selanjutnya pada tahun 2002 dibentuk Balai
Penelitian Agroklimat dan Hidrologi (Balitklimat). Selain melakukan penelitian dan
kajian terhadap dinamika iklim dalam konteks pertanian, Balitklimat juga melakukan
berbagai penelitian dan kajian terhadap kekeringan dan banjir, serta pendekatan dan
teknologi mitigasinya. Beberapa teknologi yang dihasilkan melalui penelitian dapat
dikembangkan seperti teknologi insinerasi, pemadatan, penyimpanan (containment),
dan bioremediasi. Penggunaan karbon aktif memberi harapan dikembangkan untuk
mengatasi pencemaran tanah oleh pencemar organik dan anorganik (Cunningham
et al. 1995). Karbon aktif dapat menjerap insektisida di dalam air hingga 99,90% dari
konsentrasi awal sebesar 2.250 mg/l (Anonim 1991). Karbon aktif dapat
dikombinasikan dengan pupuk sehingga menghasilkan pupuk dwifungsi, yaitu pupuk
lambat urai (slow release) dan pengendali bahan pencemar di lahan pertanian. Oleh
karena itu, selain melakukan pemantauan dan pengamatan terhadap pencemaran
agrokimia dan kimia industri, serta mencari dan merakit teknologi mitigasi GRK dari
lahan pertanian, penelitian lingkungan pertanian ke depan juga diarahkan untuk
menghasilkan teknologi yang dapat mengurangi atau mengendalikan dampak residu
tersebut.

KESIMPULAN
Dampak pembangunan pertanian terhadap lingkungan telah teridentifikasi,
dan pencemaran lingkungan oleh bahan agrokimia (pupuk dan pestisida) merupakan
salah satu dampak yang nyata. Selain itu, kesalahan pengelolaan lahan di masa
lampau telah menyebabkan rusaknya sebagian lahan pertanian, yang berdampak pula
terhadap penurunan produktivitas dan mutu produk pertanian, dan pada akhirnya
berujung pula pada pencapaian revitalisasi pertanian Identifikasi dan pemantauan,
serta inovasi teknologi mitigasi dan penanggulangan masalah lingkungan pertanian
sangat diperlukan untuk mendukung pembangunan pertanian berkelanjutan. Dalam
hal ini, Badan Litbang Pertanian melalui Balai Besar Penelitian dan Pengembangan
Sumberdaya Lahan Pertanian beserta jajarannya, terutama Balai Penelitian Tanah,
Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi, dan Balai Penelitian Lingkungan
Pertanian, mempunyai peran yang sangat strategis untuk menjadi trendsetter dalam
pengelolaan lingkungan pertanian.

DAFTAR PUSTAKA

Agus, F. 2002. Multifunctionality and sustainability of paddy fields in Citarum river


basin,West Java. Paper presented in Seminar Nasional Multifungsi dan Konversi
Lahan Sawah, Jakarta 25 Oktober 2002.

Anonim. 1991. Carbofuran. (http://www.hcsc. gc.ca/ehp/ehd/catalogue/bhc_pubs/


dwgsup.doc/carbofur.pdf).

Ardiwinata, A.N., S.Y. Jatmiko, and E.S. Harsanti.1999. Monitoring residue at West
Java.Proceedings of Greenhouse Gases Emission Research and Increasing Rice
Productivity in Lowland Rice. Research Station for Agricultural Environment
Preservation,Jakenan.

You might also like