Professional Documents
Culture Documents
Puisi Sebelum Maut Itu Datang Ya Allah Karya Hamid Jabar
Puisi Sebelum Maut Itu Datang Ya Allah Karya Hamid Jabar
Puisi Sebelum Maut Itu Datang Ya Allah Karya Hamid Jabar
Hamid Jabbar
(1949-2004)
Foto: Gatra
The literary magazine Horison, July 2004 edition, published a special report “In
Memoriam Hamid Jabbar”. His colleagues and close friends like Taufiq Ismail, Emha
Ainun Nadjib, Cecep Syamsul Hari, Rahman Arge, Berthold Damshauser, Wilson
Nadeak, and Slamet Sukirnanto wrote their notes on the obituary of the late poet who was
born in Koto Gadang, Bukittinggi, West Sumatra, on July 27, 1949. It is a bit strange that
his poems were not included nor discussed in Harry Aveling’s Rahasia Membutuhkan
Kata: Puisi Indonesia 1966-1998 (2003) [Secret Needs Words: Indonesian Poetries
1966-1998] or in Sapardi Djoko Damono’s Sihir Rendra: Permainan Makna (1999) [The
Magic of Rendra: Playing with Meanings]. However, his works had been published in
Horison Sastra Indonesia: Kitab Puisi (2003) [The Horizon of Indonesian Poetries] and
Ketika Kata Ketika Warna (1995) [When Words When Colors] which he edited together
with Taufiq Ismail and other poets.
I don’t really know why Hamid Jabbar’s poems were not discussed by Harry
Aveling, who analyzed Indonesian poetries in the New Order era with political
perspective. Yet, in 1998 Hamid Jabbar published an anthology called Super Hilang:
Segerobak Sajak [Super Disappearing: A Bunch of Poems], which had won awards from
Yayasan Buku Utama and Pusat Bahasa. The social criticism loaded in that anthology is
relatively sharp, like in “Proklamasi 2” or “Indonesiaku”. There are two possibilities why
Harry Aveling did not discuss Hamid Jabbar’s works. First, he didn’t have access to
Hamid Jabbar’s poems. Second, the poems did not fulfill his literary taste.
Was Hamid Jabbar not an important poet? Was he just an ordinary poet? If we ask
that kind of question to K.H. A. Mustofa Bisri, perhaps he will not pay any attention,
since he never cares for such a question. But, if we consider Hamid Jabbar’s intensity and
totality in writing poetry, we will see that for this “Bola Bekel” writing poetry was a
choice of life. Just like when he and Rendra enjoyed their meals in a restaurant by the
river in Palangkaraya, in April 2004. When his diabetes relapsed, and worried his
colleagues, he simply said, “Jangan khawatirkan kesehatanku. Cita-citaku, kalau tidak
mati di depan Ka’bah di Mekkah, ya mati di atas panggung” [“Don’t worry about my
health. If I have to die, I want to die either in front of Ka’bah in Mecca or on the stage
reading poetry’].
Forty five days later, he died on the stage while reading his poetry at Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta. God heard his words and fulfilled his
wish. On Saturday night, May 29, 2004, Hamid Jabbar, Jamal D. Rahman, Franz Magnis-
Suseno, Putu Wijaya, and Franky Sahilatua performed together having orations, reading
poetries and singing songs at UIN. When Franky’s turn to sing came, Hamid Jabbar
asked the program committee to be allowed to read his poetries first. “I promise, after
reading poetries I will really go home,” said Hamid Jabbar as reported by Agus R.
Sarjono to Berthold Damshauser. And while reading poetries, he really “went home’. He
died reading his poetries, one of which said, “Walau Indonesia menangis, mari kita
bernyanyi” [Though Indonesia cries, let us just sing].
Siapa pun yang mendengar akhir hayat seorang penyair seperti itu, pasti akan
takjub. Sudah pasti sebagai sahabat kita akan merasakan kehilangan, namun sebagai
seniman, kematian semacam itu adalah kematian yang indah, kematian yang heroik,
bahkan dapat dikatakan mati syahid, karena meninggal di saat sedang menunaikan tugas
mulia sebagai seorang penyair. “Betapa dahsyat! Betapa dramatis! Betapa puitis! Betapa
mulia bagi seorang penyair. Mengalami saat yang mungkin merupakan saat yang paling
bermakna bagi manusia—saat meninggalkan dunia fana menuju dunia yang baru—dalam
melakukan sesuatu yang dicintai: berpuisi! Bukankah itu suatu karunia yang sangat luar
biasa?” tulis Damshauser.
Sementara Sutardji Calzoum Bachri mengatakan kepada Slamet Sukirnanto, “Kir,
teman kita ini meninggal dengan indah. Seorang penyair meninggal ketika sedang tampil
di atas panggung dalam pergelaran membaca puisi. Mungkin dalam sejarah sastra, dalam
sejarah pembacaan puisi, mungkin baru sekarang ini, yang pertama kali seorang penyair
meninggal ketika membaca puisi. Pahlawan puisi!” Julukan Sutardji kepada Hamid
Jabbar itu menunjukkan penghargaan yang demikian besar kepada seorang sahabat.
Seorang sahabat yang pada 30 Maret 1973 telah mengetikkan Kredo Puisinya yang
menghebohkan dunia sastra Indonesia itu. Di harian Republika, Sutardji menegaskan,
dalam sejarah pembacaan puisi sejak Empu Tanakung, Ronggowarsito, Abdul Kadir
Munsyi, hingga Chairil Anwar, belum pernah ada penyair yang meninggal saat
membacakan puisinya di panggung.
Ketika saya masih mahasiswa, sekitar 1992, saya sempat satu panggung di
Auditorium Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB UI) dengan
Hamid Jabbar, Ikranagara, Sapardi Djoko Damono, dan Purwadi Djunaedi. Kami
membacakan puisi kami masing-masing. Yang saya ingat, Hamid Jabbar membacakan
puisi “Proklamasi 2” dan mendapat sambutan yang meriah dari mahasiswa UI. Puisi itu
kemudian dimuat di majalah kampus Suara Mahasiswa UI edisi perdana. Hingga akhir
hayatnya, kalau kita perhatikan dengan seksama, ada kesadaran dalam diri Hamid Jabbar
ketika menciptakan puisi. Bahwa puisi yang ditulisnya itu nantinya akan dibacakan di
depan publik. Puisi semacam ini, menurut A. Teeuw, merupakan puisi oral, puisi yang
memerlukan pengucapan atau kelisanan. Karenanya, saya sependapat dengan Cecep
Syamsul Hari, bahwa puisi-puisi Hamid Jabbar sangat memperhitungkan bunyi. Ada
unsur musikal dalam puisi-puisi Hamid Jabbar.
Berthold Damshauser keberatan jika Hamid Jabbar hanya dianggap sebagai
penyair parodi. Anggapan seperti itu tidak saja salah, melainkan juga membatasi
kekayaan kepenyairannya. Menurut Damshauser, tema utama puisi-puisi Hamid Jabbar
adalah tentang Tuhan. Selain itu, ciri yang menonjol dalam puisinya adalah adanya
kontras yang tajam. Di satu sisi ia seorang manusia yang riang, di sisi lain ia menderita.
Menderita karena dunia yang ganas membuat sesamanya menderita. Namun, dalam
segala kesedihan yang disebabkan oleh keadaan di sekelilingnya, ia tetap merasa perlu
meriangkan dunia, meriangkan sesamanya. Itulah jalan yang dipilihnya. Dan, menurut
Damshauser, pilihan itu sangat bijaksana dan arif.
Ada sebuah puisi Hamid Jabbar yang memperlihatkan keseriusannya
memperhatikan persoalan bangsa, yakni puisi berjudul “Astagfirullah”. Meskipun
menggarap tema-tema sosial, Hamid Jabbar senantiasa mengaitkannya dengan Tuhan
sebagai sang Maha Pencipta. Hubungan antara sesama manusia berikut berbagai
persoalan yang menggayutinya tak pernah lepas dari Sang Maha Melihat itu. Dalam
pengucapannya, Hamid Jabbar sangat mempedulikan irama, yang enak untuk dibacakan
atau dideklamasikan. Meskipun tampaknya ia mempermainkan kata, namun yang terjadi
kemudian adalah permainan makna dari kata-kata tersebut. Ini sekaligus memperlihatkan
kepiawaian Hamid Jabbar dalam berpuisi.
Astagfirullah
astagfirullah
laa haula wa laa quwwata illa billahil aliyil aziim
Aroma Maut
Acuan
Aveling, Harry. 2003. Rahasia Membutuhkan Kata. Magelang: Indonesiatera.
Damono, Sapardi Djoko. 1999. Sihir Rendra: Permainan Makna. Jakarta: Pustaka
Firdaus.
Eneste, Pamusuk. 2001. Buku Pintar Sastra Indonesia. Jakarta: Kompas.
Horison. Tahun XXXVIII, No. 7, Juli 2004.
Ismail, Taufiq et.al. (ed.). 1995. Ketika Kata Ketika Warna. Jakarta: Yayasan Ananda.
_____. 2001. Horison Sastra Indonesia: Kitab Puisi. Jakarta: Horison.
Jabbar, Hamid. 1998. Super Hilang: Segerobak Sajak. Jakarta: Balai Pustaka.
Waluyo, Herman J. 2003. Apresiasi Puisi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Hamid Jabbar dan Karyanya
Hamid Jabbar lahir di Koto Gadang, Bukittinggi, Sumatra Barat, 27 Juli 1949. Ia
meninggal di Jakarta, 29 Mei 2004. Bernama lengkap Abdul Hamid bin Zainal Abidin
bin Abdul Jabbar. Pendidikan terakhir SMA (tahun 1970). Pada masa kecilnya ia suka
mendendangkan pantun-pantun nasihat dari ibu kandungnya, Ummi. Pada usia remaja ia
merantau ke Sukabumi, Bandung, dan Jakarta. Di Bandung dan Sukabumi, ia menjadi
aktivis Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (1966-1969).
Aktivis KAPI Sukabumi dan Bandung semasa aksi demonstrasi Angkatan ’66 ini
mulai menulis puisi, cerpen, cerita anak, novel, dan esai pada 1969, namun baru disiarkan
di media massa pada 1973. Ia mengaku berguru pada Sutardji Calzoum Bachri. Karya-
karyanya tersebar di berbagai koran terbitan Jakarta, Bandung, dan Padang, serta
beberapa majalah terbitan Jakarta, termasuk Horison (Jakarta) dan Dewan Sastra
(Malaysia). Puisi dan cerpennya dimuat di Horison, Sarinah, Ulumul Qur’an, Menyimak,
Hai, Singgalang, Sinar Harapan, dan lain-lain.
Bersama Wisran Hadi mendirikan Grup Bumi Teater di Padang, di samping aktif
melakukan studi tentang sastra dan budaya Minangkabau. Mengikuti berbagai seminar
sastra dan budaya, juga membacakan puisi-puisi di berbagai kota dan peristiwa, di
Indonesia maupun di Malaysia dan Singapura.
Pekerjaan
Ia pernah bekerja menjadi mandor perkebunan teh di Sukabumi, Kepala Gudang
beras di Bandung dan Padang, malah juga menjadi Asisten Manager Administrasi
Keuangan sebuah perusahaan swasta di Jakarta. Selain itu juga bekerja sebagai wartawan
Indonesia Ekspres (Bandung) dan Pos Kota (Malaysia), redaktur harian Singgalang
(Padang), redaktur Balai Pustaka (1980-1983), editor majalah Sarinah (Jakarta),
Sekretaris Dewan Kesenian Jakarta (1993-1996), dan terakhir ia menjadi Redaktur Senior
majalah sastra Horison hingga akhir hayatnya. Ia pun menekuni penulisan skenario
sinetron.
Hamid Jabbar juga melakukan studi mengenai pantun Minangkabau. Ia menulis
puisi, cerpen, esai di berbagai media massa yang terbit di Bandung, Jakarta, Padang, dan
Malaysia.
Pada Festival Istiqlal II (1995), ia menjadi Ketua Panitia Penyelenggara Istiqlal
International Poetry Reading. Di tahun yang sama ia juga mengikuti Puisi Indonesia-
Belanda, yang diikuti para penyair terkemuka dari Indonesia dan Belanda (September di
Jakarta dan Desember di Denhaag, Belanda).
Karya Fiksi:
Prosa
1973 “Dari Ruang Ini”. Horison, 11.8, 344-345.
1974 “Suara”. Horison, 9.9, 278-280.
1976 “Pada Detik Kesekian”. Horison, 10-11.11, 331.
1981 1. “Demam”. Horison, 6.16, 193.
2. “Kepala Gagasan”. Horison, 6.16, 214-215.
3. “Sepanjang Jalan”. Horison, 7.16, 226-228.
4. “Kabar Ular”. Horison, 8.16, 273-277,287.
5. “Bulan dalam Perahu”. Horison, 9.16, 309-310.
6. “Loncatan-loncatan”. Horison, 9.16, 317-318.
7. “Menembus Malam”. Horison, 10.16, 347-348.
8. “Meja”. Horison, 11-12.16, 383, 405.
9. “Kita”. Horison, 11-12.16, 404-405.
10. “Sepatu yang Terhormat”. Zaman, 42.2, 16-17.
11. “Kakek Merdeka”. Zaman, 48.2, 36-37.
1982 1. “Cerita Pendek yang Gagal”. Horison, 3-4.17, 78-79.
2. “Mata-mata”.Horison, 8.17, 218-222.
1985 “Anjing-anjing Pemburu”. Horison, Tahun XIX, No. 6, Juni.
1986 “Engku Datuk Yth. di Jakarta”, dalam Hoerip, Satyagraha (ed.). Antologi
Cerita Pendek Indonesia IV.
Puisi
1973 “Sejuta Panorama Suara”. Horison, 10.8, 305.
1974 1. Paco-Paco. Jakarta: Puisi Indonesia, 42 halaman.
2. “Homo Homini Lupus”. Horison, 12.9, 370.
3. “Sebelum Maut Itu Datang, Ya Allah”. Horison, 12.9, 370-371.
1975 1. Dua Warna (antologi bersama Upita Agustine).
2. “Lagu Sebuah”, “Sangsaiku”, dan “Sebuah Mobil”. Horison, 1.10, 14-
15.
3. “Nyaris Lupa”, “Setitik Nur”, dan “Seperti Kakekku Dulu”. Horison,
12.10, 369.
1977 “Debu” dan “Doa I”. Horison, 8.12, 238.
1978 “Beri Aku Satu yang Tetap dalam Diriku” dan “Luka Itu Aneh Sekali”.
Horison, 7.13, 210.
1979 1. “Indonesiaku”. Horison, 11.14, 368-371.
2. “Tetapi”. Zaman, 1.1, 15.
3. “Lapangan Rumput, Masa Kanak-kanak, dan Sisa Embun”. Zaman, 2.1,
39.
4. “Potong Bebek Angsa”. Zaman, 10.1, 37.
1980 1. “Nyanyian Belum”. Zaman, 17.1, 39.
2, “Nyanyian Purba”. Zaman, 46.1, 35.
1981 1. Wajah Kita. Jakarta: Balai Pustaka.
2. “Perjamuan”. Pandji Masjarakat, 326.22, 35.
3. “Beri Aku Satu yang Tetap dalam Diriku” dan “Ternyata”. Pandji
Masjarakat, 329.23, 35.
4. “Eksekusi”, “Slogan”, “UUUUU”, dan “Telegram”. Aktuil, 15.13, 57.
5. “Jakarta 1”. Zaman, 6.3, 26.
6. “Luka Itu Aneh Sekali”. Zaman, 46.2, 27.
1983 1. “Lapangan Rumput, Masa Kanak-kanak, dan Sisa Embun”. Horison,
4.18, 194.
2. “Banyak Orang Menangis, Kekasih” dan “Di Taman Bunga, Luka
Tercinta”. Horison, 4.18, 195.
1992 “Jangan Tangisi” dan “nasrAllahi qariib”. Bosnia Kita.
1993 Parade Puisi Indonesia (editor, bersama Slamet Sukirnanto). Jakarta:
Global Citra Media Nusantara, 78 halaman (berisi puisi-puisi 17 penyair
Indonesia dan diberi kata pengantar oleh Sutardji Calzoum Bachri).
1995 Ketika Kata Ketika Warna (editor, bersama Taufiq Ismail, Sutardji
Calzoum Bachri, Amri Yahya, dan Agus Dermawan T.). Jakarta: Yayasan
Ananda.
1998 Super Hilang: Segerobak Sajak. Jakarta: Balai Pustaka, 397 halaman
(berisi 143 sajak yang ditulis sejak 1971 hingga 1998).
(t.t.) Zikrullah.
2001 “Assalamu ‘Alaikum 1”, “Doa Terakhir Musafir’, “Homo Homini Lupus”,
“Indonesiaku”, dan “Proklamasi 2”. Horison Sastra Indonesia: Kitab
Puisi. Jakarta: Horison.
2002 “Nyanyian Negeri Jajahan”, “Sapi [K] Emas”, dan “Selamat Tinggal
Manusia Budak Indonesia”. Horison, Tahun XXXV, No. 4, Edisi Khusus
April.
2004 Indonesiaku. Jakarta: Horison.
Skenario
1. “Malin Kundang, Legenda Masa Lalu – Parodi Masa Kini”.
2. “”War-Teg-Bes, Warga ‘The Best’”.
Cerita Anak
1978 1. Raja Berak Menangis.
2. Siapa Mau Jadi Raja.
Karya Non-fiksi:
(t.t.) 1. Editor buku biografi Herlina, Pending Emas dan Bangkit dari Dunia
Sakit.
2. Transmigrasi di Indonesia (bersama Ramadhan K.H.).
1997 Panorama Sastra Nusantara (bersama Taufiq Ismail). Jakarta: Balai
Pustaka, 434 halaman (berisi makalah yang diajukan pada Pertemuan
Sastrawan Nusantara IX dan Pertemuan Sastrawan Indonesia 1997 di
Sumatra Barat, 6-11 Desember).
2003 “Pidato Miring”. Horison, Tahun XXXVI, No. 8, Agustus.
Penghargaan
1998 1. Yayasan Buku Utama (Super Hilang: Segerobak Sajak, buku puisi
terbaik).
2. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (Super Hilang: Segerobak
Sajak, buku puisi terbaik).