Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 14

Rahmani Timorita, Kontekstualisasi Pemikiran Ibnu Al-Muqaffa’ ...

93

KONTEKSTUALISASI PEMIKIRAN IBNU AL MUQAFFA’


TENTANG TAQNIN TERHADAP LEGISLASI
DUNIA ISLAM MODERN
*)
Oleh: Dra. Rahmani Timorita Yulianti, M.Ag.

Abstract

The title of this research is “Contextualization of Ibnu Al


Muqaffa’s Thought on Taqin to the Modern Islam World”. The
intent of this title is the efforts to get the contextual meaning to
the Ibnu AL Muqaffa’ intepretation about Islamic Law legisla-
tion related to the law arrangement from the past, now and the
future in modern Islamic world. (1800 up to now).
This research, besides to descript Ibnu al Muqaffa’s thought on
Taqnin’ is also to explain the development of the thought of Is-
lam legislation in modern version.
The benefits of this study is that it can be contributive thought
about the thoughtof Islam law development andthe material of
comparation and the considerations for thinkers and observers
of the Islam law thought in modern Islam world.
It is important to analyze the study and the thought, for Ibnu al
Muqaffa’s thought is relevant to and it seems a need of legisla-
tion issue in modern Islam law, though the implementation just
been realized since there was a contact of the West and East
culture in Egypt in early nineteenth century. The condition mo-
tivated the Egypt ‘fiqih ulama’ to develop Ibnu al Muqaffa’s
idea.
Similar tothe phenomenon, Daulah Usmaniyahthought that it
was the need to arrange a code.
The relationship between Ibnu al Muqaffa’ thought on Taqnin’
in Abasiyah time and the need of legislation instruments in

*)
Adalah dosen tetap Fakultas Ilmu Agama Islam UII

ISSN: 1410-2315 LOGIKA, Vol. 6, No.7, Desember 2001


94 Rahmani Timorita, Kontekstualisasi Pemikiran Ibnu Al-Muqaffa’ ...

Dinasti Umayahtime is the establishment of official committee


called Jami’yyah al Majallah with the goal to arrange the state
code. The committee succeed in arranging a code (1293 H/
1876 M) which was called as Mahalah al Ahlam al’Adiyah
(Madkur, 1993: 145). Since the World War II, there were law
codifications in many countries in Arab. Previously, the Islam
law codification began in Egypt in 1875 and then followed by
Iraq, Jordan, Libanon, Suriah, Maroko, Libia, Tunisia, Kuwait,
and Uni Emirat Arab in 1979, 1980, 1984-1986.
Islam Law codification in Indonesia is unificative in character-
istic. It began in 1974 marked by the emerge of Marriage act
No.I/1974 and the implementation rules {.No.9/1979 and
PP.No.10/1983, containing the specific matter of marriage and
divorce for the civil servant and members of army forces. Sub-
sequently, it was born UU Religious Justice (UU No. 7/1989)
which is essentially the demand of UU No. 14/1970 about the
points of Justice authority. The following, it was issued a De-
cree of Precident R.I. No. 1/ 1991 about Islam Law Arrange-
ment in field of marriage law, inheritance and wakaf’.
The Tagnin’ of Ibnu Muqaffa’ will be continuously relevant in
the implementation of present, and the future as long as the
legislation meet the requirements of; rational, scientific, up to
date, codificated,clear, brief, avoiding ambivalent meaning and
simply.
This study is library in character analyzing with the method of
content analysis through contextualization to see the problems
with the historical meaning at firs, present functional meaning
and to predict or to anticipate the future meaning.
Key words: Contextualization, thought, Taqnin, Ibnu
muqaffa;, legislation, Modern Islam law.

LATAR BELAKANG MASALAH


Pada periode awal proses kelahiran dan pembentukan hukum Islam
tergenggam semua kekuasaan di tangan Nabi Muhammad SAW. Otoritas
pemutusan hukum dan penegakannya dijustifikasi oleh wahyu dan
kapasitas kenabiannya. Bentuk sumber hukum berupa wahyu Allah dan
hadis Rasul, dinilai telah cukup dipandang sebagai hukum. Hukum Islam
saat itu tidakterpisahkan dari keseluruhan ajaranIslam,terunifikasi dalam
pribadi dan perilaku Rasulullah.

LOGIKA, Vol. 6, No.7, Desember 2001 ISSN: 1410-2315


Rahmani Timorita, Kontekstualisasi Pemikiran Ibnu Al-Muqaffa’ ... 95

Masa sahabat Khulafaur Rasyidin (11-40 H/632-661 M) otoritas


hukummasih melekat padakekuasaan. Khalifahsebagai pengganti Rasul,
masih memiliki peranan sebagai kepala negara juga sebagai kepala
keagamaan. Dalam mengatasi berbagai problem sosial kebijaksanaan
hukum khalifah menjadi kekuatan. Kodifikasi hukum belum terwujud;
meskipunwahyutelahdibukukandalambentukMushabUsmani.Al-Qur’an
lebih menunjukkankodifikasiajaran keagamaan secarautuh dibandingkan
sebagai kitab hukum.
Di masa kekhalifahan Amawiyyah (41-132 H/601-750 M) telah
terjadi pergeseran peran. Peran penguasa dinasti Amawiyyah dan
Abbasiyah kecuali Umar bin Abdul Aziz, bukan sebagai ulama yang ahli
berijtihad dan memahami agama secara mendalam. Persoalan
keagamaan diserahkan kepada ulama yang tidak mempunyai kekuasaan
politik, sementara urusan pemerintahan di tangan khalifah. Mulai masa
ini terdapat pemisahan antara kedua kekuasaan tersebut. Pemerintah
Bani Umayyah menyelenggarakan administrasinya di Damaskus,
sementara ulama ahli hukum agama terpusat di Madinah. Dalam kondisi
demikian para ulama membangun kerangka hukum Islam di daerah
masing-masing. Berkaitan dengan keabsahan perbuatan hukum,
masyarakat memerlukan pengesahan dari khalifah, karena keputusan
hukum yang mengikat. Hal ini karena dalam pemerintahan tidak
ditemukan ulama besar -seperti ulama-ulama madzhab- karena imam-
imam mazhab tidak bersedia diangkat menjadi hakim kerajaan. Hal ini
karena intervensi khalifah, yang meminta agar keputusan hukum
disesuaikan dengan kemauan mereka, bukan didasarkan kepada jiwa
syariat. Akan tetapi, dari segi materi hukum, masyarakat tunduk kepada
fatwa ulama secara sukarela.
Akibat daripemisahan kekuasaan inimunculkeputusan hukumyang
bersifat individual, seperti dimuat dalam kitab-kitab fiqh. Oleh karena itu
untuk mengantisipasi kesenjangan hukum negara dengan hukum fiqh,
pemerintahmengangkatulamayangmengikutidanmengukuhkan mazhab
tertentu.
Dalam pemerintahan dinasti yang sangat panjang (Amawiyyah 661-
750 M, dan Abbasiyyah 750-1258) lahir madzhab-madzhab fiqh. Para
khalifah dinasti tersebut tidak memegangi satu madzhab, baik masalah
akidahmaupunmasalahmadzhabhukum.Kadang-kadangantarapenguasa
pusat dengan daerah terjadi perbedaan madzhab. Agar pemerintah tidak
terkacaukan oleh pemilihan madzhab, Ibnu al Muqaffa’ pada tahun 757 M
pernah mengusulkan kepada khalifah al Manshur agar menyeragamkan
hukum dalam bentukundang-undang atau taqnin.
Sehubungan dengan latar belakang masalah ini, peneliti bermaksud
meneliti kontekstualisasi pemikiran Ibnu al Muqaffa’ tentang “taqnin”
terhadap legislasi dunia Islam modern.

ISSN: 1410-2315 LOGIKA, Vol. 6, No.7, Desember 2001


96 Rahmani Timorita, Kontekstualisasi Pemikiran Ibnu Al-Muqaffa’ ...

RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan kepada latar belakang masalah di atas, maka rumusan
masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana pemikiran Ibnu al Muqaffa’ tentang taqnin?
2. Bagaimana pengembangan pemikiran Ibnu al Muqaffa’ tentang
taqnin dalam versi legislasi dunia Islam modern?

PENEGASAN ISTILAH DAN PENGERTIAN JUDUL


Yang dimaksud dengan konstektualisasi adalah pemaknaan
kontekstual disamakan dengan melihat keterkaitan masa lampau-kini-
mendatang.Sesuatuakan dilihat maknahistorikdahulu,maknafungsional
sekarang dan memprediksikan atau mengantisipasi makna di kemudian
hari (Muhajdir, 1998: 178). Apabila kontekstualisasi dikaitkan dengan
pemikiran maka artinya adalah keterkaitan interpretasi sekarang di masa
lampau-kini-mendatang.
Ibnu al Muqaffa’ adalah seorang sastrawan yang hidup pada masa
Dinasti Abbasiyyah (757 M). Ia terkenal sebagai seorang yang
berpandangan tajam kritis dan cerdas.
Sedangkan taqnin adalah“penyusunanhukum-hukumIslamkedalam
bentuk kitabundang-undang secara resmi oleh penguasa sehingga bersifat
mengikat dan wajib dilaksanakan serta dipatuhi oleh semua warga negara
yang disusun secara ringkas dan global.” (Zahrah, 1997: 73, 236-237).
Adapun yang dimaksud legislasi di sini adalah pembuatan hukum
atau penyusunan undang-undang atau pengaturan oleh undang-undang
(Hans Wehr, 1947: 791).
Sedangkan yang dimaksud dunia Islam modern di sini adalah dunia
Islam dari tahun 1800 sampai sekarang.
Dari keterangan-keterangan tentang batasan beberapa istilah yang
terdapat pada judul penelitian di atas maka secara keseluruhan yang
dimaksud dengan judul penelitian tersebut adalah usaha pemaknaan
konstektual terhadap interpretasi Ibnu al Muqaffa’ tentang perundangan
hukumIslamyangdikaitkandengan penyusunanundang-undangdarimasa
lampau, kini dan akan datang di dunia modern (1800 - sekarang).

TUJUAN PENELITIAN
1. Untuk mendeskripsikan pemikiran taqnin Ibnu al Muqaffa’
2. Untuk menjelaskan pengembangan pemikiran Ibnu al Muqaffa’
tentang taqnin dalam versi legislasi dunia Islam modern.

KEGUNAAN PENELITIAN
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi:
1. Sumbangan pemikiran tentang pengembangan pemikiran hukum
Islam

LOGIKA, Vol. 6, No.7, Desember 2001 ISSN: 1410-2315


Rahmani Timorita, Kontekstualisasi Pemikiran Ibnu Al-Muqaffa’ ... 97

2. Bahan perbandingan dan pertimbangan bagi pemerhatidan peminat


pemikiran hukum Islam di dunia Islam modern.

TELAAH PUSTAKA
Dari berbagai sumber yang peneliti peroleh hingga penulisan hasil
penelitian ini sudah banyak penulis yang membahas tentang Ibnu al
Muqaffa’.HasbiAshShiddieqymenulisbukutentang PeradilandanHukum
Acara Islam mengenai usul Ibnu al Muqaffa’ kepada Khalifah Abu Ja’far
AlMansuragarbeliau menyusun satu peraturan umumyang berlaku untuk
seluruh daerah dalam negaranya. (AS Shiddieqy, 1964: 21).
Sedangkan Muhammad Salam Madkur menulis buku Al-Qadha fil
Islam mengenai surat Ibnu al Muqaffa’ kepada khalifah Abu Ja’far al
Mansur agar dipilih diantara pendapat hukum yang akan dipanggil oleh
para qadhi di seluruh negeri. (Madkur, 1982: 49)
Nourouzzaman Shiddiqi menulis tentang Muhammad Hasbi Ash
ShiddieqydalamPerspektifSejarahPemikiranIslamdiIndonesia mengenai
perwujudan fiqhyangberkepribadian Indonesiaiamemintaagardilakukan
usaha kompilasi hukum Islam seperti yang telah diminta oleh Ibnu al
Muqaffa’ kepada khalifah Abu Ja’far al Mansur dari dinasti Abbasiyyah
(Shiddiqi, 1987: 159).
Sedangkan Euis Amaliamenulis tentang Ide Taqnin Ibnu al Muqaffa’
(Amalia, 1997: 3) mengenai gagasan kodifikasi dan unsur-unsur taqnin.
Dan di dalam Ensiklopedi Hukum Islam membahas tentang riwayat
hidup Ibnu alMuqaffa’secarautuh dan menyeluruh.Disamping itu tulisan,
studi serta kajian penulis terdahulu di atas belum dikaji secara rinci dan
mendalam mengenai pemikiran Ibnu al Muqaffa’ tentang taqnin dan
pengembangan pemikirannya dalam versi legislasi dunia Islam modern.
Oleh karena itu, hal-hal tersebut menjadi fokus penelitian ini.

KERANGKA TEORITIK
Untuk mengkaji seorang tokoh pertama kali yang dilakukan adalah
menguakpemikirantokohtersebutsebagaimanaterekamdalamkarya-karya
tulisnya. Bersamaan dengan itu, dikaji pula biografi tokoh tersebut dalam
rangka memahami, antaralain korelasi antara ide-ideyang tertuang dalam
karya-karyanya dengan aktivitas keilmuannya (Syari’ati, 1979: 39-69).
Masalah taqnin sebenarnya bukan hal baru, karena sejak masa awal
Islam telah ada pemikiran untuk mengkodifikasi Al-Qur’an diikuti
selanjutnya dengan kodifikasi hadis meski masih dalam bentuk sederhana
dan sekedar untuk pelestarian. Demikian pula adanya upaya penyusunan
kitab-kitab fiqh.
Dalam hal ini Abu Zahrah (1977: 236-237) menjelaskan bahwa
terdapat dua unsur taqnin yaitu: unsur al ilzam (bersifat mengikat) dan
unsur al ijz wa al ijmal (bersifat ringkas dan global).

ISSN: 1410-2315 LOGIKA, Vol. 6, No.7, Desember 2001


98 Rahmani Timorita, Kontekstualisasi Pemikiran Ibnu Al-Muqaffa’ ...

Unsur al ilzam yaitu menjadikan hukum-hukum yang disusun itu


berkekuatan hukum atau memiliki kepastian hukum. Dalam hal ini
pemerintah memiliki kewenangan untuk memberikan kekuatan pada
hukum1 yang telah disusun hingga mengikat dan wajib dilaksanakan
serta dipatuhi oleh semua warga negara.
Unsur penting yang harus ada dalam penyusunan ini adalah adanya
ijma’ atau konsensus yang berarti mufakat bulat atau keputusan
mayoritas terhadap suatu masalah hukum (Al Maududi, 1995: 129).
Menurut Syafi’i ijma merupakan konsensus dari semua cendikiawan
mengenai masalah hukum tertentu. Konsekuensi dari pandangan ini
adalah tidak boleh ada suatu pandangan yang menentang konsensus
tersebut. Demikian juga Ibnu Jarir, Al Thabari dan Abu Bakar
menganggap bahwa keputusan mayoritas sebagai ijma’ (Al Maududi,
1995: 112). Jika telah terjadi konsensus seluruh umat atas suatu masalah
tertentu, maka siapapun tidak berhak untuk menolaknya. Hal ini
disebabkan sesuatu yang salah (Zahrah, 1997: 23). Apalagi hasil
keputusan bersama itu diperkuat dengan legitimasi penguasa, maka hal
ini dapat mengikat semua warga masyarakat bahkan dapat dipaksakan
pelaksanaannya.
Pengertian ilzam ini relevan dengan teori hukum modern yang
berkembang. Menurut C.S.T. Kancil (1993: 38), hukum bersifat mengatur
dan memaksa, hukum merupakan peraturan-peraturan hidup
kemasyarakatan yang dapat memaksa orang supaya mentaati tata tertib
dalam masyarakat serta memberikan sanksi (hukuman) yang tegas
terhadap pelanggarannya.
Sedang unsur al Ijaz wa al Ijmal yaitu disusun secara simpel namun
meliputi hal-hal yang umum, dengan kata lain singkat dan padat.
Hukum-hukum Islam tersebut disusun secara sistematis ke dalam bab-
bab, pasal-pasal dan ayat-ayat yang memungkinkan memberikan
kemudahan bagi para hakim untuk menyebutkan pasal-pasal dan/atau
ayat-ayatnya sebagai landasan bagi setiap keputusannya. Keringkasan
tersebut hanya untuk kemudahan bagi para pemakai hukum dalam
mencari landasan hukum suatu perkara dan tetap tidak menghalangi
fleksibilitas hukum itu sendiri, sehingga mudah menyesuaikan dengan
perubahan zaman.
Unsur-unsur taqnin di atas sesuai dengan karakteristik yang
merupakan standar bagi hukum modern yaitu rasional, ilmiah, mengikuti
perkembangan jaman, terkodifikasi, jelas, ringkas, menghindari
pengertian ganda dan tegas (Sellingman, 1962: 609).
Untuk melihat konstektualisasi pemikiran Ibnu al Muqaffa’ tentang
taqnin terhadap legislasi dunia Islam modern dalam penelitian ini akan
digunakan kerangka kontekstualisasi di atas.

LOGIKA, Vol. 6, No.7, Desember 2001 ISSN: 1410-2315


Rahmani Timorita, Kontekstualisasi Pemikiran Ibnu Al-Muqaffa’ ... 99

METODE PENELITIAN
Penelitianinibersifatstudikepustakaan (libraryresearch) yangsumber
utamanya adalah buku-buku yang ditulis oleh Ibnu al Muqaffa’ disamping
itu sumber-sumber utama tersebut didukung pula oleh sumber-sumber
kepustakaan sekunder yaitu karya-karya yang ditulis para peneliti lainnya
yang membahas pemikiran Islam pada khususnya yang dipergunakan
sebagai sarana penjelas untuk memahami pemikiran Ibnu al Muqaffa’
tentang taqnin.
Untukmendeskripsikandan memahamikarya-karyayangditulisIbnu
al Muqaffa’ tersebut dipergunakan metode content analysis (analisis isi)
yaitu suatu cara analisis ilmiah tentang pesan suatu komunikasi yang
mencakup klasifikasi tanda-tanda yang dipakai dalam komunikasi,
menggunakan kriteria sebagai dasar klasifikasi dan menggunakan teknis
analisis tertentu sebagai pembuat prediksi (Muhadjir, 1993: 96).
Denganmenggunakanmetodeinipenelitimengelaborasiaspek-aspek
isimateri,menganalisisnyadariaspekbahasa.Kedalaman dankeleluasaan
isidankaitanpokokmasalahyangmelingkupisertamenarikgariskoherensi
dan konsistensi sebagai materi untuk disimpulkan.
Untuk melihat kontekstualisasi pemikiran Ibnu al Muqaffa’ tentang
taqninterhadaplegislasiduniaIslammodernpenelitimenggunakanmetode
kontekstualisasi yaitu pemaknaan contextual disamakan dengan melihat
keterkaitan masa lampau-masa kini-mendatang. Sesuatu akan dilihat
makna historisdahulu, makna fungsional sekarang,dan memprediksiatau
mengantisipasikan makna di kemudian hari (Muhadjir, 1998: 178).

HASIL PENELITIAN
Ibnu Al Muqaffa’ (102 H/720 M - 139 H/756 M) adalah seorang
penulis Arabberkebangsaan Persia, dalam persoalan fikih terkenal sebagai
orang pertama yang mengemukakan ide at-taqnin (Dahlan, 1996: 615).
Sebelum masuk Islam, Ia pemeluk Zoroastrin-Manichean dan dijuluki
dengan namaAbuAmr.Disampingitu iasangatberjasadalammemelopori
usaha penerjemahan karya-karya sastra Persia dan India ke dalam bahasa
Arab (Glasse, 1999: 153).
Di saat Ibnu Al Muqaffa’ menjadi sekretaris khalifah, Ia
menerjemahkan sejumlah kisah Bidpai ke dalam bahasa Arab yang
merupakan isyarat-isyarat politik dengan judul Kalilah wa Dimnah. (Yusuf
Abu Khalqoh, 1960: 7).
Kisah-kisah inidisimbolkan dalam bentuk Fable(kisah binatang) dan
sangat populer di kalangan terpelajar bangsa Arab. Kisah Kalilah Wa
Dimnah tersebut adalah sebagai berikut:
Di antara pengikut singa terdapat dua ekor srigala yang bernama
Kalilah dan Dimnah, keduanya sangat licik dan cerdas. Pada suatu hari
Dimnah berkata kepada Kalilah: “saya heran mengapa singa sangat

ISSN: 1410-2315 LOGIKA, Vol. 6, No.7, Desember 2001


100 Rahmani Timorita, Kontekstualisasi Pemikiran Ibnu Al-Muqaffa’ ...

terlambat seperti ini? Saya pikir, saya harus mengajukan sebuah


permohonan, dan jika saya dapat menjumpainya niscaya saya berharap
bahwa pertemuan dengannya akan membawa keuntungan bagiku...
Engkau dapat saja memainkan peranan yang cukup berbahaya, kata
Kalilah: karena terdapat tiga hal yang seseorang berusaha menghindari-
nya, lantaran mereka tidak kuasa menolak keinginan dan kehendaknya:
pertama kehadiran seorang pangeran yang meyakinkan, seorang wanita
yang terpercaya, menjalarnya racun di dalam diri seseorang.
Dimnah menjawab: Jika telah ada nasib kegagalan, maka cukuplah
jika seseorangsama sekali tidak berusaha,engkau seharusnya mengesam-
pingkan gerak upaya manusia dalam segala urusan kemanusiaan, segala
urusan perniagaan, seluruh hasrat kemiliteran.
Baiklah, semoga engkau sukses! kata Kalilah. Maka Dimnah
berangkat sendirian menghadap ke Istana Raja Singa.
Karya Ibnu al Muqaffa’ yang lain adalah Al Adabu al shoghir, Al
Adabu Al Kabir, dan Risalah al Shahabah (Yusuf Abu Khalqoh, 1960: 7).
Di dalam Risalah al Shahabah (surat untuk para pendamping khalifah)
terkandung nasihat untuk berbaikan berbagai masalah yang dipandang
perlu untuk diperbaiki (Mahmasani 1981: 67).
Kondisi peradilan masaIbnu Al Muqaffa’, terkait erat dengan kondisi
peradilan pada masa Dinasti Umayah dan Abbasiyah, yang secara umum
kondisi ini diakibatkan oleh format pemerintahan masa Dinasti Umayah
dan Abbasiyah.
Pada masa Dinasti Umayah dan Abbasiyah terdapat pemisahan
dalam hal kekuasaan. Kekuasaan Pemerintah hanya terbatas pada
wewenangpolitiksedangkanmasalah keagamaandiserahkankepada para
ulama (Zuhri, 1996: 80). Kondisi ini berbeda dengan kondisi sebelumnya
yaitu pada masa Rasul dan masa Khulafa al Rasyidin.
Kondisi-kondisi tersebut menyebabkan umat tidak memperoleh
kesatuan dan kepastian hukum mengenai suatu kasus. Para hakim di
berbagai daerah dengan bebas dapat menjatuhkan hukum menurut
ijtihadnya, tanpa terikat dengan hasil ijtihad orang lain. Dalam hal ini
tidakadakeseragamanhukumakibatdaritidakadanyakitabundang-undang
yang mengikatsecara tertulisselain Alquran danHadist. Sehinggaputusan
yangdihasilkanbersifatindividual. Padahaldalampenerapannyadiperlukan
keseragaman.
Kondisiperadilansaat itu tidakmenjaminketenteraman masyarakat,
karena suatu putusan di satu pengadilan berlainan dengan putusan di
pengadilan yang lain yang sumber pengambilan hukumnya berasal dari
madzhab yang berbeda (Tim IAIN, 1992: 373). Kondisi ini menyebabkan
putusan menjadi tidak menentu (Ahmad Amin, tt: 208). Kondisi inilah
yang mendorong Ibnu al Muqaffa’ menyampaikan gagasan tentang perlu
dilakukannyataqnin.

LOGIKA, Vol. 6, No.7, Desember 2001 ISSN: 1410-2315


Rahmani Timorita, Kontekstualisasi Pemikiran Ibnu Al-Muqaffa’ ... 101

Kesenjangan hukum dan pertentangan keputusan pengadilan


menyebabkan ia merasa perlu memberi nasehat kepada penguasa, maka
ditulisnyasebuah surat yang diberi namaRisalah alShahabah (surat untuk
para pendamping khalifah) (Mahmashani 1981: 67). Di dalam surat itu
terkandung saran untuk perbaikan berbagai masalah. Salah satu di
antaranya adalah masalah hukum-hukum fiqh. Ibnu Muqaffa’
mengusulkan kepada khalifah untuk mengumpulkan dan menetapkan
hukum-hukum fiqh,serta melarang para hakimmenetapkan suatu hukum
yang tidak sesuai dengan hukum yang ditetapkan khalifah tersebut. Surat
tersebut ditujukan kepada Khalifah Abu Ja’far Al Mansur (Madkur, 1993:
49).
Risalah as-Sahabah ini kemudian digabungkan dengan buku karya
Ibnu al-Muqaffa lainnya dan diberi judul baru, yaitu Risalah al-Bulaga’
(Risalah para Ahli Sastra).
Isisurat IbnualMuqaffa’tersebut diantaranyaadalah sebagaiberikut:
Yang amat penting diperhatikan oleh amirulmukminin (khalifah)
adalah munculnya hasil keputusan para hakim yang saling bertentangan
di berbagai wilayah Dinasti Abbasiyah, sekalipun kasus yang mereka
hadapi adalah sama. Perbedaan hukum yang dijatuhkan tersebut amat
membahayakan jiwa, harta, dan kehormatan manusia. Dalam
menghadapi permasalahan ini, seyogianya khalifah mengambil sikap
dengan menghimpun berbagai pendapat fikih yang terkuat dan relevan
sebagai hukum materiil (hukum madi) yang akan diterapkan oleh seluruh
pengadilan.Himpunanhukumyangtelah disatukanini dijadikan pedoman
dan berkekuatan mengikat bagi seluruh hakim di pengadilan. Untuk itu
khalifah perlu menunjuk petugas khusus untuk setiap wilayah yang akan
menghimpun hukum yanglebih sesuaidengan kondisidan daerah tersebut
serta menetapkan kaidah-kaidah penerapannya. (Ibnu al Muqaffa’, 1960:
208).
Dari surat Ibnu al Muqaffa’ tersebut dapat dipahami bahwa yang
dimaksudkan Taqnin oleh Ibnu Al Muqaffa’ adalah pengundangan kitab
hukumoleh pemerintah yangsudah terkodifikasidan terunivikasisehingga
berlaku mengikat dan memaksa seluruh masyarakat yang harus dijadikan
pedoman oleh semua hakim di Pengadilan. Dengan demikian kepastian
hukum masyarakat dapat terjamin. Selain itu dimaksudkan kitab hukum
itu ringkas dan global karena menghimpun berbagai pendapat Fiqih yang
terkuat dan relevan dengan kondisi masyarakat.
Dari usul Ibnu al Muqaffa’ tersebut perlu diwujudkan sebuah kitab
undang-undang yang mengikat seluruh peradilan, dengan dilakukannya
penyeleksian hukum terutama terhadap perkara yang tidak secara tegas
dijelaskan dalam Al Qur’an dan Hadis. Ketentuan ini sejalan dengan
penjelasan Abu Zahrah tentang unsur penting yang harus dipenuhi dalam
suatu taqnin, yaitu al Ilzam (bersifat mengikat/memaksa).

ISSN: 1410-2315 LOGIKA, Vol. 6, No.7, Desember 2001


102 Rahmani Timorita, Kontekstualisasi Pemikiran Ibnu Al-Muqaffa’ ...

Secara teknis pengertian taqnin Ibnu al Muqaffa’ relevan dengan


pengertian taqnin yang dikemukakan oleh Abu Zahrah (1977: 73, 236-
237) taqnin adalah penyusunan hukum-hukum Islam ke dalam bentuk
kitab undang-undang secara resmi oleh penguasa sehingga bersifat
mengikat dan wajib dilaksanakan serta dipatuhi oleh semua warga negara
yang disusun secara ringkas dan global.
Dengan demikiangagasan taqnin dengan keduaunsurtersebut sesuai
dengan pengertian pengundangan hukum (legislasi) dalamsejarah hukum
Islam. Selain itu pengundangan hukum yang dimaksudkan oleh Ibnu al
Muqaffa’ dimaksudkan oleh Ibnu Al Muqaffa’ dengan taqnin ini harus
dilandaskan kepada keadilan dan kepentingan umum. Hal ini sesuai
dengan pendapat Ibnu Qayyim bahwa:
Sesungguhnyasyari’atitudisusundan didasarkanataskebijaksanaan
dan kepentingan ummat baik di dunia dan di akherat. Syari’at itu adil
sepenuhnya dan seluruhnya merupakan rahmat, kepentingan (Maslahat)
bagi ummat semuanya serta bijaksana seluruhnya. Maka setiap soal yang
keluar dari garis keadilan kepada keaniayaan, dari rahmat kepada
kebalikannya ‘dari kebaikan kepada kerusakan’ dan dari kebijaksanaan
kepada kesia-siaan, tidaklah termasuk dalam syari’at walaupun
dimasukkan ke dalamnya segala macam dalil (al Jauziyah, III: 1).
Dengan demikian pemikiran Ibnu al Muqaffa’ tersebut dapat
dipandang sebagai gagasan kodifikasi yang sebenarnya telah menjadi
suatu kebutuhan mutlakatau condito sine quanon bagipenetapan hukum
Islam pada masa itu.
Sebagai tindak lanjut dari usulan Ibnu al Muqaffa’ pada tahun 148
H (765 M), Khalifah al Mansur meminta Malik bin Anas agar bersedia
mengajak dan membawa rakyatnya untuk mengikuti ilmu dan
madzhabnya. Akan tetapi, Imam Malik tidak mau memenuhi permintaan
khalifah dengan mengatakan bahwa tiap-tiap kaum sudah mempunyai
ulama salaf dan imamnya masing-masing (Madkur, 1993: 145). Imam
Malik menyerahkan kewenangan tersebut kepada khalifah jika akan
menerapkannya juga (Mahmasani, 1977: 67).
Dari uraian diatas jelasbahwaKhalifah alMansuringin mewujudkan
ideTaqnin yangdikemukakan oleh Ibnu alMuqaffa’dengan permintaannya
kepada Imam Malik sebagai orang yang dipandang berkualifikasi dan
mampu untuk menyusun kitab undang-undang.
Akan tetapi, Imam Malik yang wara’ dan tawaddu’ tidak ingin
menjadikan pendapatnya memiliki kekuatan mengikat, sehingga
mengungguli pendapat Imam madzhab yang lainnya.
Menurut Abu Zahrah (1977: 242) Imam Malik tidak mengingkari
pentingnya ide taqnin dan juga tidak menganggapnya baik. Hal ini
dipandang sebagai ketawadhu’an Imam Malik semata dan bukan
pengingkarannya.

LOGIKA, Vol. 6, No.7, Desember 2001 ISSN: 1410-2315


Rahmani Timorita, Kontekstualisasi Pemikiran Ibnu Al-Muqaffa’ ... 103

Tetapi, Khalifah Abu Ja’far al-Mansur meyakinkan Imam Malik


bahwa kitab yang akan disusun itu akan diberlakukan di seluruh wilayah
Abbasiyah dan mempunyai kekuatan mengikat untuk seluruh warganya.
Ia memberi waktu bagi Imam Malik untuk menyelesaikan buku tersebut
selama satu tahun Kamariah. Untuk memenuhi permintaan tersebut,
Imam Malik menyusun kitabnya yang terkenal, yaitu al-Muwatta’. Sesuai
dengan waktu yang ditentukan, buku itu diserahkan kepada Muhammad
bin al-Mahdi, utusan Khalifah. Menurut Imam Muhammad Abu Zahrah,
buku al-Muwatta’ ini pun merupakan bentuk kodifikasi fikih ketika itu.
Akan tetapi, sesuai dengan jawaban Imam Malik di atas, keinginan
Khalifah untuk hanya memberlakukan hukum yang terkandung dalam
kitab al-Muwatta’ dalam menyelesaikan berbagai kasus di berbagai
tempat dan budaya, tidak berjalan mulus. (Dahlan, 1996: 616, 1997:
961).
Selain itu penolakan Imam Malik atas pemberlakuan pemikiran dan
aliran madzhabnya kepada seluruh masyarakat secara terbuka beliau
lakukan kepada Khalifah Harun Ar Rasyid (Mahmassani, 1977: 68).
Akhirnya, hingga dinasti Amawiyyah dan Abbasiyah tidak pernah
terlahir perundang-undangan sebagai hukum positif dalam pemerintahan
Islam; dengan kata lain hukum Islam saat itu berjalan tanpa registrasi
atau kodifikasiperaturan perundang-undangan yangbersifatresmi.Hukum
Islam tetap berada dalam kitab-kitab fiqih (Mahmasani, 1977: 68).
Terjadinya kontak antara budaya Barat dan Timur di Mesir pada
awal abad ke-19 membuat ulama fikih Islam tersentak kembali untuk
mengembangkan ide Ibnu al-Muqaffa tersebut. Sejak saat itu Mesir pun
memulai kodifikasi hukumnya, yang kemudian diikuti oleh negara-negara
Islam lainnya. Ide Ibnu al-Maqaffa pada awal abadke-19 hanya diterapkan
dalam skala nasionalnegara Islammasing-masing, namunpada awal abad
ke-20 ide tersebut meluas dan berskala internasional,yaitu dengan adanya
keinginan untuk menyusun Ensiklopedi Fikih (al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah)
yang dapat menjadi rujukan bagi seluruh umat Islam di dunia Islam. Hal
ini mulai terwujud dengan terbitnya dua ensiklopedi fikih di Mesir (19
jilid) dan di Kuwait (23 jilid) (Dahlan, 1996: 616).
Dengan demikian ide taqnin atau pembentukan kodifikasi hukum
Islam baru terwujud secara kongkrit pada masa daulah Usmaniyah (awal
abad 19) bersamaan dengan mulainya negara-negara Eropa mengadakan
kumpulan-kumpulan hukum baru secara tertulis dalam kitab perundang-
undangan. Pada saat itu kodifikasi telah memiliki dasar-dasar standar
yang diberlakukan.
Sesuai dengan perkembangan tersebut, daulah Usmaniyah
memandang perlu menyusun kitab perundang-undangan (hukum positip).
Sebuah komisi resmi dibentuk dengan nama Jam’iyyah al Majallah yang
bertujuan untuk menyusun kitab perundang-undangan negara.

ISSN: 1410-2315 LOGIKA, Vol. 6, No.7, Desember 2001


104 Rahmani Timorita, Kontekstualisasi Pemikiran Ibnu Al-Muqaffa’ ...

Keanggotaannya terdiri dari tujuh orang ahli hukum Islam dari berbagai
unsur. Komisi tersebut berhasil menyusun suatu kitab hukum (1293 H/
1876 M), meskipun sebelumnya mengalami penundaan dan penggantian
anggota komisi. Kitab tersebut diberi nama Majallah al Ahkam al ‘Adliyah
(Madkur, 1993: 145).
Setelah Perang Dunia II, bermunculan kodifikasi hukum di berbagai
negaraArab.Sebelumnya,kodifikasihukum Islam diawalioleh Mesir pada
tahun 1875 dan diikuti pula dengan kodifikasi tahun 1883. Kodifikasi
hukum di Mesirini merupakan campuran antara hukumIslam dan hukum
Barat (Eropa). Setelah itu, pada tahun 1920, Muhammad Qudri Pasya,
seorang pakar hukum Mesir, membuat kodifikasi hukum Mesir di bidang
perdata yang diambil secara murni dari hukum Islam (fikih). Lebih lanjut,
kodifikasi hukum di Mesir mengalami beberapa kali perubahan, antara
lain padatahun 1920,1929,1946,dan1952.DiIrakpunmunculkodifikasi
hukum Islam (fikih), yaitu pada tahun 1951 dan 1959, kemudian
mengalami perubahan pada tahun 1963 dan 1978. Kodifikasi hukum di
Yordania pertama kali dilakukan pada tahun 1951 dan mengalami
perubahan pada tahun 1976. Libanon, yang merupakan bagian dari
Kerajaan Turki Usmani, melakukan pula kodifikasi hukum Islam pada
tahun 1917 dan 1934; kemudian Suriah pada tahun 1949, 1953, dan
1975; Libya pada tahun 1953; Maroko pada tahun 1913 dan 1957; Tuni-
sia pada tahun 1906, 1913, dan 1958; Sudan pada tahun 1967; Kuwait
pada tahun 1983; dan Uni Emirat Arab pada tahun 1979, 1980, 1984,
1985, dan 1986 (Dahlan, 1997: 962).
Kodifikasi hukum untuk umat Islam di Indonesia sudah ada sejak
masapenjajahan,tetapistatusnyamasihberadadibawah dominasihukum
adat karena teori resepsi sangat berpengaruh dalam sistem hukum saat
itu. Karenanya dapat dikatakan bahwa kodifikasi tersebut dimulai pada
tahun 1974 dengan munculnya kodifikasi Undang-Undang Perkawinan
(UU No. 1/1974) dengan peraturan pelaksanaannya (PP No. 9/1975 dan
PP No. 10/1983), yang mengatur secara khusus persoalan perkawinan
dan perceraian bagi pegawai negeri sipil dan ABRI. Kemudian muncul
lagi Undang-Undang Peradilan Agama (UU No. 7/1989). Undang-undang
ini pada dasarnya merupakan tuntutan dari UU No. 14/1970 tentang
Pokok-PokokKekuasaanKehakimanyangmengakuiadanyaempat macam
peradilan diIndonesia, yaitu Peradilan Umum, Peradilan Militer, Peradilan
Tata Usaha Negara,dan Peradilan Agama. Keempat peradilan ini memiliki
kedudukan samadan berwenangsecaramandirimengadiliperkara-perkara
yang menjadi wewenangnya. Selanjutnya, keluar pula Inpres RI No. 1/
1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di bidang hukum perkawinan,
perceraian, waris, wakaf, wasiat, dan hibah.
Sebelum muncul UU No. 1/1974, UU No. 7/1989, dan Inpres RI No.
1/ 1991, di Indonesia telah ada peraturan yangmengatur peradilan agama

LOGIKA, Vol. 6, No.7, Desember 2001 ISSN: 1410-2315


Rahmani Timorita, Kontekstualisasi Pemikiran Ibnu Al-Muqaffa’ ... 105

serta materi hukumnya, namun semua itu adalah produk dari zaman
pemerintahan Hindia Belanda. Ketiga kodifikasi hukum Islam di atas
merupakan produk putra-putra Indonesia, yang menyangkut hukum Is-
lam di Indonesia.

KESIMPULAN
Pemikiran taqnin Ibnu Al Muqaffa’ adalah keinginan Beliau yang
disampaikan kepada Khalifah Ja’far Al Mansur agar pemerintah
mengundangkan sebuah kitab hukum yang dikodifikasidan unifikasi yang
berlaku secara mengikat dan memaksa serta mengatur kepada seluruh
masyarakat yangdijadikan pedomanoleh parahakimsehinggamasyarakat
memperoleh kepastian hukum. Pemikiran Ibnu Al Muqaffa’ ini dimuat
dalam Risalah Shahabah (Surat untuk para pendamping khalifah).
Adapun pengembangan pemikiran Ibnu Al Muqaffa’ ini adalah
dimulainya kontak antara budaya Barat dan Timur di Mesir pada awal
abad ke-19. Sejaksaat itu meskipun mulaimengadakan kodifikasi hukum
yang kemudian diikuti oleh negara-negara Islam lainnya seperti Yordania,
Kuwait, Suriah, Uni Emirat Arab, Turki, Maroko, Tunisia, bahkan sampai
Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA
Al Maududi, Abul A’la, (1995), Hukum Islam dan Konstitusi. Jakarta:
Mizan.
Amin, Ahmad, (tt), Dhuha al Islam, Juz pertama. Cet. X. Beirut: Dar al
Kitab al ‘Arabi.
As Sayis, Muhammad Ali, (1996), Sejarah Pembentukan Hukum Islam
dan Perkembangan Hukum Islam. Jakarta: Akademi Pressindo.
Ash Shiddieqy, Hasbi, (1964), Peradilan dan Hukum Acara Islam .
Yogyakarta: PT Al Ma’arif.
Hans Wehr, (1980), A Dictionary of Modern Written Arabic. London:
Mac Donald & Evans Ltd.
Kansil, C.S.T., (1983), Pengantar IlmuHukum dan TataHukum Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka.
Khallaf,AbdulWahhab,(1971), KhulashahTarikhalTasyri’alIslami.Kairo.
Madkur, Muhammad Salam, (tt), al Qadla fi al Islam. Dar an Nahdhah al
‘Arabiyah.
––––––, (1993) Peradilan dalam Islam. Cet. IV. Terjemahan oleh Imron
A.M. dari al Qadla fi al Islam. Surabaya: Bina Ilmu.

ISSN: 1410-2315 LOGIKA, Vol. 6, No.7, Desember 2001


106 Rahmani Timorita, Kontekstualisasi Pemikiran Ibnu Al-Muqaffa’ ...

Mahmassani, Shubhi, (1961), Falsafat al Tasyri’ fi al Islam. Beirut: Dar al


‘Ilmi.
––––––, (1977), Filsafat Hukum dalam Islam. Cet. I. Terjemahan oleh
Ahmad Sudjono dari Falsafat al Tasyri’ fi al Islam. Bandung: al
Ma’arif.
Muhadjir, Noeng, (1998) Metodologi Penelitian Kualitatif. Edisi III Cet. 8.
Yogyakarta: Rake Sarasin.
Muqaffa, Ibnu, (1960), Al Adabu al Saghir Wa Adabu al Kabir Wa risalatu
al Shahabah. Yusuf Abu Khalqah (Ed). Beirut: Maktabah Al Bayan.
Ramadan, Said, (1986), HukumIslamRuangLingkupdanKandungannya.
Jakarta: CV. Gaya Media Pratama.
Sellingman, Edward, (1962), Encyclopaedia of the Social Sciencis. New
York: The Macmillan Company.
TimPenulisIAINSYAHID,(1992), EnsiklopediIslamdiIndonesia.Jakarta:
Djambatan.
Yamani, Akhmad Zaki, (1978) Syari’at Islam yang Kekal dan Persoalan
Masa Kini. Cet. kedua. Jakarta: PT. Intermasa.
Zahrah, Muhammad Abu, (1977), Al Islam wa Taqnin al-Ahkan: Da’wah
Mukhlishah li Taqnin Ahkam al Syari’ah al Islamiyyah. Kairo.
Zuhri,Muhammad,(1996), HukumIslamdalam LintasanSejarah.Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada.

LOGIKA, Vol. 6, No.7, Desember 2001 ISSN: 1410-2315

You might also like