Upacara Bbuta Yadnya adnya adalah korban suci yang dilakukan dengan hati yang tulus iklas dan merupakan salah satu kewajiban bagi umat Hindu. Betapa pentingnya yadnya bagi umat Hindu disebutkan dalam Bhagawadgita, Bab III, 12 dan 13 (ProI. Dr. I.B.Mantra) sebagai berikut: ISTAN BHOGAN HI VO DEVA, DASYANTE YA1NABHAVITAH, TAI# DATTAN AP#ADAYAI BHYO, YO BHUNKTE STENA EVA SAH (Dipelihara oleh adnya, para Dewa akan memberi kamu kesenangan yang kau ingini. Ia yang menikmati pemberian-pemberian ini, tanpa memberikan balasan kepada-Nya adalah pencuri). YA1NASISTASINAH SANTO, MUCYANTE SA#VAKILBISAIH, BHUN1ATE TE TV AGHAM PAPA, YE PACANTY ATMAKA#ANAT (Orang-orang yang baik yang makan apa yang tersisa dari adnya, mereka itu terlepas dari segala dosa. Akan tetapi mereka yang jahat yang menyediakan makanan untuk kepentingannya sendiri mereka itu adalah makan dosanya sendiri). Selanjutnya yadnya dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu: 1 yadnya yang berkalLan dengan upacara 2 yadnya yang Lldak berkalLan dengan upacara adnya yang berkaitan dengan upacara disebut Panca adnya, yaitu: 1 ewa ?adnya 2 8sl ?adnya 3 lLra ?adnya 4 Manusa ?adnya 3 8huLa ?adnya adnya yang tidak berkaitan dengan upacara adalah: 1 nana ?adnya 2 rwya ?adnya 3 1apa ?adnya adnya yang berkaitan dengan upacara didasari oleh pengertian 'Rna atau hutang. Umat Hindu yakin bahwa kehidupannya di dunia adalah berkat yadnya dari tiga pihak, yaitu: 1 yang Wldhl 2 Maha 8sl 3 Leluhur Karena itu umat Hindu merasa mempunyai hutang kepada Hyang Widhi yang telah memberi kehidupan, dinamakan Dewa Rnam; kepada Maha Rsi yang telah menyampaikan ilmu pengetahuan Veda, dinamakan Rsi Rnam; dan kepada leluhur/ ayah-ibu yang telah menyebabkan kelahiran serta memelihara sejak jabang bayi, dinamakan Pitra Rnam. Hutang atau Rna itu 'dibayar dengan yadnya, sehingga Dewa Rnam dibayar dengan Dewa adnya dan Bhuta adnya; Rsi Rnam dibayar dengan Rsi adnya; Pitra Rnam dibayar dengan Pitra adnya dan Manusa adnya. Kaitan Dewa adnya dengan Bhuta adnya untuk membayar Dewa Rnam adalah keyakinan bahwa Bhuta adalah alam semesta ciptaan Hyang Widhi, sedangkan kaitan Pitra adnya dan Manusia adnya untuk membayar Pitra Rnam adalah keyakinan bahwa manusia adalah atman/roh leluhur yang lahir kembali (ber-reinkarnasi) sesuai dengan Panca Srada. adnya yang tidak berhubungan dengan upacara adalah: 1 nana ?adnya yalLu proses bela[ar dan menga[ar 2 rwya ?adnya adalah keglaLan bersedekah (medana punla) 3 1apa ?adnya adalah kemampuan seLlap lndlvldu mengendallkan dlrl dengan berpegang pada kaldahkaldah Agama lndu adnya yang berkaitan dengan upacara belumlah sempurna jika tidak disertai dengan yadnya yang tidak berkaitan dengan upacara, karena satu dengan yang lainnya saling melengkapi sebagai perwujudan dari pengertian tattwa atau IilsaIat Agama dan hakekat kewajiban sebagai umat manusia, dikenal dengan istilah 'swadarmaning manusa. Perkataan 'manusia itu sendiri berasal dari Bahasa Sanskrit, di mana manu berarti 'kebijaksanaan dan sya berarti 'mempunyai sehingga manusya berarti mahluk ciptaan Hyang Widhi yang mempunyai kebijaksanaan. Kebijaksanaan artinya pengetahuan, pandangan yang luas, dan pertimbangan yang matang sebelum mengambil keputusan. Kebijaksanan dalam bahasa Jawa kuno disebut sebagai wiweka di mana unsur utama wiweka adalah wikan atau kepandaian/ pengetahuan. Atas dasar wiweka itulah manusia merangkai ajaran-ajaran Veda yang digunakan sebagai pedoman dalam kehidupan. Salah satu kesepakatan wiweka adalah yang disebut: Trihitakarana. Tri artinya tiga, hita artinya kebaikan, dan karana artinya sebab/yang menyebabkan. Jadi Trihitakarana artinya: tiga unsur yang menyebabkan kebaikan di mana sebagai titik sentralnya adalah manusia. Kebaikan yang dimaksud adalah keadaan moksartham jagadita ya ca iti dharma yang dapat dicapai bilamana terjadi keseimbangan dan keharmonisan hubungan: manusia dengan Hyang Widhi, yang disebut parhyangan, manusia sesama manusia, yang disebut pawongan, dan manusia dengan alam semesta, yang disebut palemahan. Bhuta adnya adalah suatu yadnya (pengorbanan suci) dalam bentuk upacara yang ditujukan kepada Bhuta, yaitu alam semesta, dengan tujuan untuk menjaga keseimbangan dan keharmonisan unsur palemahan. Bhuta yadnya dilaksanakan dengan dua jenis kegiatan pokok, yaitu: Caru dan Tawur. Caru dalam Bahasa Jawa Kuno berarti korban, sedangkan dalam Bahasa Sanskrit, car artinya keseimbangan/ keharmonisan. Jadi bila dirangkaikan, caru berarti korban untuk menjaga keseimbangan atau keharmonisan. Tawur dalam bahasa Jawa Kuno artinya membayar atau mengembalikan. Sejalan dengan pengertian bhuta seperti yang diuraikan diatas, maka pelaksanaan caru menggunakan mahluk-mahluk hidup yang lebih rendah derajatnya dari manusia, yaitu tanam- tanaman dan binatang. Kitab suci Manawa Dharmasastra Buku ke-tiga (Tritiyo dhyayah) pasal 74 menyebutkan: 1APO HUTO HUTO HOMAH, P#AHUTO BHAUTIKO BALIH, B#AHMYAM HUTAM DWI1A, G#YA#CA P#ASITAM PIT# TA#PANAM Artinya: Ahuta adalah pengucapan doa dari Veda. Huta persembahyangan homa, Prahuta adalah upacara bali (wali) yang dihaturkan diatas tanah kepada para Bhuta. Brahmahuta, yaitu menerima tetap Brahmana secara hormat seolah-olah menghaturkan kepada api yang ada dalam tubuh Brahmana dan Prasita adalah persembahan tarpana kepada para pitara. Dhyayah yang sama pada pasal 75 menyebutkan: SWADHYAYE NITYAYUKTAH, SYADDAIWE CAIWEHA KA#MANI, DAIWAKA#MANI YUKTO HI, BIBHA#TIMDAM CA#ACA#AM Artinya: Hendaknya setiap orang yang menjadi kepala keluarga sehari-hari menghaturkan mantra-mantra suci Veda dan juga melakukan upacara pada para Dewa karena ia yang rajin dalam melakukan upacara kurban pada hakekatnya membantu kehidupan ciptaan Tuhan yang bergerak maupun tak bergerak. Pasal 81: SWADHYAYANA#CAYE#, SAMSIMNHOMAI# DEWANYATHAWIDHI, PIT##N C#ADDHAISCA N##NAM, NAI#BHUTANI BALIKA#MANA Hendaknya ia (kepala keluarga) sembahyang yang sesuai menurut peraturan kepada Rsi dengan pengucapan Veda, kepada Dewa dengan haturan yang dibakar, kepada para leluhur dengan srada, kepada manusia dengan pemberian makanan dan kepada Bhuta dengan upacara kurban. Mengenai pembunuhan binatang atau penggunaan hewan/ binatang dalam persembahan atau kurban diatur dalam Manawa Dharmasastra Buku ke-lima (Atha Pancamo dhyayah) Pasal 22: YA1NA#THAM B#AHMANAI#WADHYAH, P#ASASTA M#IGAPAKSINAH, BH#ITYANAM CAIWA W#ITTYA#THAM, AGASTYO HYACA#ATPU#A Hewan-hewan dan burung-burung yang dianjurkan untuk bisa dimakan, boleh dibunuh oleh Brahmana-Brahmana untuk upacara kurban (Bhuta yadnya) dan juga untuk diberikan kepada mereka yang patut diberi makan, karena Rsi Agastyapun melakukan hal itu di jaman dahulu. Pasal 23: BABHUWU#HI PU#ODASA, BHAKSYANAM M#IGAPAKSINAM, PU#ANESWAPI YAINESU B#AHMAKSAT#A-SAWESU CA Karena pada masa purba, kueh-kueh sesajen dibuat dari daging binatang-binatang dan burung yang bisa dimakan pada upacara-upacara kurban (Bhuta yadnya) yang dilakukan oleh para Brahmana dan Ksatria. Pasal 31: YA1NAYA 1AGDHI# MAMSASYETYESA DAIWO WIDHIH SM#ITAH, ATO NYATHA P#AW#ITTISTU #AKSASO WIDHI#UCYATE Pemakaian daging adalah wajar untuk upacara kurban (Bhuta yadnya), hal mana dinyatakan sebagai peraturan yang dibuat oleh para Dewa, tetapi jika memaksa memakainya dalam kejadian lain adalah peraturan yang cocok untuk para Raksasa. Pasal 39: YA1NA#THAM PASAWAH S#ISTAH, SWAMEWA SAYAMBHAWA, YA1NASYA BHUTYAI SA#WASYA, TASMADYA1NE WADHO WADHAH Swayambhu (Tuhan) telah menciptakan hewan-hewan untuk tujuan upacara kurban (Bhuta yadnya), upacara kurban telah diatur sedemikian rupa untuk kebaikan seluruh bumi ini, dengan demikian penyembelihan hewan untuk upacara bukanlah penyembelihan dalam arti lumrah saja. Pasal 40: OSADHYAH PASAWO W#IKSASTI# YANCAH PAKSINASTATHA, YA1NA#THAM NIDHANAM P#APTAH, P#APNU WANTYUTS#ITIH PUNAH Tumbuh-tumbuhan, semak, pohon-pohonan, ternak, burung-burung lain yang telah dipakai untuk upacara akan lahir dalam tingkatan yang lebih tinggi pada kelahiran yang akan datang. Pasal 42: ESWA#THESU PACUNHIMSAN VEDA TATTWA#THAWID DWI1AH, ATMANAM CA PASUM CAIWA GAMAYATYUTTAMAM GATIM Seorang Dwijati (Brahmana) yang mengetahui arti sebenarnya dari Weda, menyembelih seekor hewan dengan tujuan-tujuan tersebut di atas menyebabkan dirinya sendiri bersama- sama hewan itu masuk ke keadaan yang sangat membahagiakan. Selanjutnya pada upacara Bhuta adnya diadakan pula upacara Tawur dengan sarana berupa menebarkan tawur di tanah yang terdiri dari campuran nasi, bagian-bagian dari caru dan darah binatang kurban. Tawur ini dimaksudkan untuk 'mengembalikan kelestarian sumber- sumber alam yang menghidupi manusia. Dasar IilsaIat ini adalah kehidupan manusia yang selalu membutuhkan sumber-sumber alam seperti air, makanan dari tumbuh-tumbuhan, makanan dari jenis binatang, api dan air. Sumber-sumber alam ini jika tidak dipelihara dengan baik akan menyusut, bahkan hilang. Jika sampai demikian keadaannya pastilah kehidupan manusia pun akan terancam. Oleh karenanya upacara ini berkaitan dengan caru, yang sebagai diuraikan di atas bertujuan untuk menjaga keseimbangan Trihitakarana, terutama 'karana yang ketiga, yaitu 'palemahan. Upacara Bhuta adnya selalu diadakan mendahului upacara pokok. Misalnya di saat mengadakan upacara piodalan di Pura, sebelumnya agar mengadakan Bhuta adnya. Jenis atau tingkatan besar/kecilnya upacara Bhuta yadnya tergantung dari tingkat upacara pokoknya. Untuk itu telah diatur beberapa jenis tingkatan upacara Bhuta adnya. Pada setiap menjelang perayaan Hari Nyepi, selalu diadakan upacara 'Pecaruan dan Tawur Kesanga. Upacara ini bermakna, menjelang tahun baru Saka di mana kita memulai tahap kehidupan yang baru senantiasa memohon kehadirat-Nya agar diberkahi Trihitakarana untuk perwujudan moksartham jagadita ya ca iti dharma. Tawur Kesanga, artinya upacara tawur yang dilakukan pada sasih kesanga (bulan kesembilan menurut sistem penanggalan Saka-Bali). Nasi tawur yang diperoleh dari upacara Tawur itu hendaknya disebarkan di tanah pekarangan, sawah, dan kebun, diiringi doa semoga kelestarian alam dapat terwujud. Selain upacara pecaruan dan tawur kesanga, di beberapa desa di Bali ada juga yang melaksanakan pecaruan khusus untuk memberantas hama tanaman yang dinamakan pecaruan nangluk merana. Sedangkan upacara pecaruan terbesar yang diadakan di Pura Besakih setiap seratus tahun sekali dinamakan Eka Dasa Ludra dan setiap sepuluh tahun dinamakan Manca Wali Krama. Tujuannya adalah memohon terwujudnya Trihitakarana di seluruh dunia. Demikianlah sekedar ulasan tentang makna upacara Bhuta adnya, semoga ada manIaatnya. hLLp//sLlLldharmaorg/upacarabhuLayadnya/ 4214 Moksa Menurut ajaran agama Hindu. Moksa adalah merupakan tujuan terakhir dan tertinggi. Kata 'Moksa artinya bebas, lepas. Jadi Moksa berarti kelepasan diri dari keduniawian kebebasan jiwa dari ikatan maya sehingga Atman/Roh dapat kembali ke asalnya, menunggal dengan Paramatman, mencapai kebahagiaan abadi yang sejati. Demikianlah sebenarnya setiap manusia mendambakan kebahagiaan yang kekal dan sejati itu, namun kebahagiaan itu sulit dicapai selama badan ini masih terikat oleh keinginan-keinginan duniawi. Selama pikiran masih terjerat oleh pengaruh maya maka jiwa tetap tertekan dan ia menjadi gelisah, makin jauh dari hakikat kebahagiaan. Apabila jiwa/ Atman sebagai hakikat yang ada yang menjadi inti hidup badan ini dari ikatan/pengaruh maya (naIsu duniawi) maka barulah jiwa itu lepas dari bungkusnya dan mencapai kebebasan sejati, manunggal dengan hakikat ada itu (ang Maha Ada, Paramatman, Sang Hyang Widhi Wasa), menikmati kebahagiaan abadi yang disebut Moksa. lLab Sucl 8hagawad ClLa adhyaya v sloka 21 menyaLakan 8ahya sparsesu asakLaLma Windaty atmani yat sukham Sa brahma yoga yuktatma sukham aksayam asnute Artinya : Orang yang jiwanya tak lagi terikat sentuhan duniawi, menemui kebahagiaan dalam Atman (kebahagiaan batin), sukmanya manunggal dengan Barhman, menikmati kebahagiaan abadi. 24 Demikianlah Moksa itu sebagai tujuan tertinggi dalam agama Hindu, merupakan hakikat yang paling tertinggi dan mulia. Kalau kita hubungkan dengan kehidupan manusia di dunia yang selalu bergelut dengan serbaneka sentuhan materi maka tentu kita tidak mudah memahami konsepsi Moksa itu. Dalam hal ini Moksa merupakan summum bonum dalam tat IilsaIat Hindu. Berhasil tercapai atau tidak tergantung dari pengamalan Dharma yang tepat. Dalam uraian terdahulu telah ditentukan suatu perumpamaan Dharma itu sebagai perahu layar yang digunakan menyebrangi samudra. Samudra diumpamakan sebagai maya (naIsu duniawi) dengan beribu- ribu pasukan yang ganas dan kejam (bagaikan ganasnya gelombang badai samudra itu, siap menyerang pikiran manusia dan menjerumuskannya ke jurang neraka dan lembah derita, di mana jiwa selalu tertekan, diselimuti kegelapan dan menjauhkannya dari kebebasan. Sekarang timbul pertanyaan, mampukah manusia menggunakan perahu itu, mengendalikan kemudinya, mengayuhnya dan mengatasi rintangan serta menghindari amukan gelombang badainya yang ganas itu. Apabila manusia itu mampu maka selamatlah ia sampai di pantai tujuan. Jadi tegasnya, Dharma itulah yang merupakan dasar utama di dalam mencapai tujuan hidup ini. Dharma itu pula dipakai sebagai pengendali Artha dan Kama guna mencapai kebahagiaan dan kebebasan yang hakiki, menunggal dengan Sang Hyang Widhi atau mencapai Moksa. 422 8angkuman 1) Tujuan agama Hindu ialah tercapainya Jgadhita dan Moksa. Jagadhita ialah kesejahteraan jasmani rohani di dunia atau ketentraman hidup masyarakat. Moksa ialah kebebasan kebebasan sejati, kebahagiaan abadi, mencapai penunggalan dengan Sang Hyang Widhi Wasa. 2) Tujuan hidup manusia adalah Catur Purusartha yang terdiri dari Dharma, Artha, Kama dan Moksa. Dharma, Artha dan Kama merupakan tujuan hidup yang paling hakiki di dalam masyarakat dan merupakan hakikat sine qua non bagi setiap manusia, sedangkan Moksa merupakan hakikat 23 splrlLual dan summum bonum dalam kehldupan manusla menuruL LaLa fllsafaL lndu 3) Untuk mencapai tujuan agama Hindu ataupun tujuan hidup manusia diperlukan adanya kepastian dan tertib hukum, karena itu Dharma menduduki tempat yang utama sebagai dasar bagi karma (berbuat untuk mencapai tujuan), artinya suatu karma akan mempunyai nilai baik apabila karma itu dilaksanakan berdasarka Dharma. Tanpa Dharma hidup manusia akan selalu bertentangan antar satu dengan yang lain sehingga masyarakat menjadi kacau, di mana yang kuat akan memangsa yang lemah sebagai satu hukum rimba atau hukum yang berlaku bagi ikan-ikan yang dalam agama Hindu disebut 'Matsya Nyaya. 4) Moksa adalah merupakan tujuan akhir yang paling mulia. Moksa dicapai apabila jiwa tidak lagi terbelenggu oleh ikatan keduniawian, bebas dari rasa suka duka, mencapai kebebasan sejati dan kebahagiaan abadi, menunggal dengan Paramatman (Sang Hyang Widhi Wasa). 26