Download as doc, pdf, or txt
Download as doc, pdf, or txt
You are on page 1of 8

Vol.14.No.1.Th.

2007

Jumlah dan Berat Cocoon Cacing Tanah (Lumbricus rubellus)

Jumlah Dan Berat Cocoon Cacing Tanah (Lumbricus Rubellus) Yang Diberi Pmsg, Pakan Tambahan Berupa Kotoran Domba Dan Kotoran Sapi
Rr. Eko Susetyarini* Jurusan Biologi FKIP, Universitas Muhammadiyah Malang Jl. Raya Tlogomas No.246 Malang, Telp. (0341) 464318 Email: niniek@gmail.com
ABSTRACT Background: The manipulation of reproduction process in earthworm can be done by enviromental changging. Feces of sheep and cattle addition were expected for reaching earlier sexual maturity, meanwhile the hormones Pregnant Mare Serum Gonadotropin (PMSG) were used to stimulate the superovulation. This research was conducted to study the effect of PMSG and manure of sheep and cattle on cocoon number of earthworm. Methods: Treatments were applied on 45 pots containing 10 earthworm (Lumbricus rubellus) each pots. 450 earthworms were selected randomly; consist of 4 weeks of age and 50-60 milligrams of weight. PMSG as first treatments consist of 3 doses of 0 IU; 0.25 IU; and 0.50 IU combined with manure of sheep and manure of cattle. Design of experiment was factorial completely randomized design 3 x 3. The first factor was the level of PMSG and the second was the kind of feces. Then, data were analyzed by Analysis of Variance and Least Significance Difference. Result: Result of study shows that there is interaction between PMSG and addition of manure of sheep and cattles on the number and weight of cocoon (p < 0.05). From the result of the study, it is suggested to get the result of cocoon in great number by using the media of earthworm given the addition of manure sheep with PMSG 0.05 IU. Key words: Earthworm, PMSG, Manure, Cocoon. Number and Weight of Earthworm (Lumbricus rubellus) Cocoon with PMSG and Manure of Sheep and Cattle Addition ABSTRAK Latar Belakang : Manipulasi terhadap proses reproduksi pada cacing tanah dapat dilakukan melalui pengubahan lingkungan cacing tanah, misalnya dengan pemberian pakan berupa kotoran domba atau sapi, diduga bisa mempercepat kematangan seksual, sehingga meningkatkan jumlah kokon dan cacing muda yang dihasilkan kokon. Pregnant Mare Serum Gonadotropin (PMSG) yang digunakan untuk mendorong terjadinya ovulasi dan superovulasi pada mamalia memungkinkan bisa mempengaruhi kemampuan reproduksi cacing tanah. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh interaksi pemberian hormone PMSG, pakan tambahan berupa kotoran domba dan kotoran sapi terhadap berat dan jumlah kokon cacing tanah . Metode : Sampel penelitian berjumlah 45 pot. Setiap pot berisi 10 cacing tanah yang berumur 4 minggu dengan berat badan cacing tanah sekitar 50-60 mg. Jenis cacing tanah yang digunakan cacing (Lumbricus rubellus). Jumlah perlakuan hormone PMSG 3 level (dosis 0 IU; 0,25 IU; 0,50 IU). Jumlah perlakuan pakan tambahan 3 level, yaitu tanpa pakan tambahan, ktoran domba, kotoran sapi. Jumlah perlakuan kombinasi ada 9 perlakuan, tiap perlakuan diulang 5 kali. Rancangan percobaan menggunakan RAL, pola faktorial 3 x 3. Faktor pertama 3 level perlakuan PMSG dan faktor kedua 3 macam perlakuan pakan tambahan. Teknik analisis yang digunakan untuk menguji hipotesis adalah Anava dengan uji lanjut analisis BNT. Hasil : Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian hormon PMSG dengan dosis 0 IU; 0,25 IU dan 0,50 IU berinteraksi dengan pemberian pakan tambahan kotoran domba dan kotoran sapi terhadap jumlah kokon dan berat kokon (p < 0.05). Disarankan untuk memperoleh hasil kokon dalam jumlah yang lebih banyak dapat menggunakan media cacing tanah yang diberi pakan tambahan berupa kotoran domba dan PMSG dosis 0,50 IU. Kata Kunci: cacing tanah, PMSG, kotoran, kokon

* Jurusan Biologi, FKIP, Universitas Muhammadiyah Malang

Susetyorini

Jurnal Protein

PENDAHULUAN Cacing tanah mempunyai potensi memberi keuntungan bagi kehidupan dan kesejahteraan manusia. Selama ini cacing tanah dianggap hewan yang menjijikkan dan kurang dimanfaatkan oleh bangsa Indonesia, oleh karena itu budidaya cacing belum banyak dilakukan peternak di Indonesia. Dibandingkan dengan negara-negara lain seperti Amerika Serikat, Filipina, Jepang, Taiwan dan beberapa negara Eropa serta Australia, budidaya cacing tanah di Indonesia masih merupakan hal yang baru (Budiarti, 1993). Akhir-akhir ini cacing tanah sebagai sumber protein hewani digunakan sebagai pengganti tepung ikan untuk ransum pakan ternak dan ikan. Apalagi diketahui bahwa sumber protein cacing tanah lebih tinggi dari pada tepung ikan. Di negara lain cacing tanah dimanfaatkan sebagai bahan obat, bahan kosmetik, pengurai tanah dan penyubur tanah. Beberapa jenis cacing tanah yang banyak diternakkan antara lain Pheretima, Perionyx dan Lumbricus. Lumbricus khususnya Lumbricus rubellus, merupakan cacing tanah yang mudah dalam penanganannya dan termasuk jenis cacing tanah komersial (Amrullah, 1986). Walaupun bersifat hermaprodit, masing-masing individu cacing tanah tidak dapat melakukan fertilisasi sendiri. Perkembangbiakan dilakukan melalui fertilisasi silang yaitu terjadinya proses kopulasi dan fertilisasi secara eksternal (Budiarti, 1993). Ekofisiologi mempunyai peranan terhadap kematangan dan kesempurnaan alat reproduksi. Kondisi lingkungan sangat besar pengaruhnya terhadap kemampuan reproduksi suatu hewan, khususnya hewan invertebrata (Begon et al., 1986 ; Kramadibrata, 1994). Sampah organik merupakan media yang baik bagi cacing tanah. Sedangkan hijauan dan kotoran ternak merupakan salah satu sumber bahan organik. Secara umum pakan cacing tanah adalah berupa kotoran hewan. Kotoran yang dipakai umumnya adalah yang sudah terdekomposisi (Amin, 1993). Menurut Kale et al. (1982) yang dikutip oleh Waluyo (1995) menyatakan bahwa cacing Perionyx exacavatus yang dipelihara pada kondisi laboratorium dengan pemberian makanan yang berbeda-beda, dapat memperlihatkan periode cacing muda yang berbeda. Cacing tanah yang diberi tambahan makanan berupa kotoran domba,

periode cacing muda dicapai pada 90 - 150 hari sedangkan pemberian makanan tambahan berupa kotoran sapi periode cacing muda dicapai pada 150 - 210 hari. Bentuk cacing tanah yang dewasa, ditandai dengan adanya gelang (Klitellum) pada tubuhnya dan lubang kelamin jantan dan betina. Pada kondisi yang demikian cacing dewasa siap untuk mengadakan kopulasi /perkawinan. Selama 7 - 10 hari setelah perkawinan, seekor cacing dewasa, akan menghasilkan satu kokon. kokon berbentuk lonjong dan berukuran sekitar 1/3 besar kepala korek api (Budiarti, 1993). Cacing muda akan keluar dari selubung kokon setelah embrio dalam kokon berkembang selama 2 - 3 minggu. Cacing muda yang baru lahir belum mempunyai klitellum (Kotpal et al., 1981) dan setiap kokon akan menghasilkan rata-rata 4 ekor cacing muda (Budiarti, 1993). Berbeda dengan hewan vertebrata, pada golongan invertebrata khususnya cacing tanah belum diketahui tentang peranan hormon gonadotropin dalam memacu kemampuan reproduksinya. Pregnant Mare Serum Gonadotropin (PMSG) adalah hormon gonadotropin yang telah banyak dipakai pada hewan mamalia untuk mendorong terjadinya ovulasi dan superovulasi . Menurut Hafez (1993), pemberian PMSG dengan penyuntikan subkutan atau intramuskuler pada ternak betina dapat menggertak pertumbuhan folikel pada ovarium dan ovulasi. Dari hasil penelitian Matsuzaki, et al. (1997) tentang superovulasi pada tikus rumah, dengan menggunakan PMSG dosis 7,5 IU diberikan secara intraperitoneal, dapat menyebabkan 94,6% dari tikus yang diteliti mengalami ovulasi. Alat reproduksi pada cacing tanah terdiri dari alat reproduksi jantan yang terdiri dari testes, kantung testes, spermiducal funnels, vesikula seminalis, vas deferen, kelenjar prostat. Alat reproduksi pada cacing betina terdiri dari sepasang ovarium , oviduk dan spermateca. Alatalat reproduksi tersebut mirip dengan yang dimiliki oleh hewan vertebrata. Namun sampai saat ini belum diketahui secara pasti adanya suatu hormon eksogen yang mempunyai pengaruh terhadap proses reproduksi dari Lumbricus maupun jenis cacing lainnya. Kamemoto et al. (1966) yang dikutip oleh Hegner (1968) menemukan adanya sel

10

Vol.14.No.1.Th.2007

Jumlah dan Berat Cocoon Cacing Tanah (Lumbricus rubellus)

neurosekretoris yang diduga berfungsi menghasilkan hormon, terdapat pada otak cacing Lumbricus. Neurosekretori ini berfungsi sebagai pengatur keseimbangan kadar garam dan air di dalam tubuh. Menurut Haris (1992), neurosekretori berfungsi merangsang pembentukan gamet dan karakteritis sex. Dari informasi yang diperoleh diatas, timbul pertanyaan apakah hormon PMSG yang biasa dipakai untuk menggertak kemampuan reproduksi pada mamalia (vertebrata), dapat juga mempengaruhi kemampuan reproduksi pada cacing tanah. Rumusan Masalah Dalam penelitian yang akan dilakukan ini rumusan masalah yang dapat dikemukakan adalah: 1. Apakah pemberian PMSG berpengaruh terhadap jumlah dan berat kokon yang dihasilkan cacing tanah? 2. Apakah pemberian pakan tambahan berupa kotoran sapi dan kotoran domba berpengaruh terhadap jumlah dan berat kokon yang dihasilkan cacing tanah? 3. Apakah interaksi antara pemberian PMSG dengan pakan tambahan berupa kotoran sapi dan kotoran domba berpengaruh terhadap jumlah dan berat kokon yang dihasilkan cacing tanah? TUJUAN PENELITIAN Tujuan Umum : 1. Untuk mengetahui rekayasa kemampuan reproduksi cacing tanah . Tujuan Khusus: 1. Untuk mengetahui pengaruh pemberian PMSG terhadap jumlah dan berat kokon yang dihasilkan cacing tanah . 2. Untuk mengetahui pengaruh pemberian pakan tambahan berupa kotoran sapi dan kotoran domba terhadap jumlah dan berat kokon yang dihasilkan cacing tanah. 3. Untuk mengetahui interaksi antara pemberian PMSG dan pakan tambahan berupa kotoran sapi dan kotoran domba terhadap jumlah dan berat kokon yang dihasilkan cacing tanah . Manfaat Penelitian 1. Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan

sebagai data dasar tentang kemampuan reproduksi cacing tanah setelah diberi hormon (PMSG) dan pemberian pakan tambahan berupa kotoran sapi dan kotoran domba pada cacing tanah. 2. Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan bagi peternak cacing tanah dengan memacu kemampuan reproduksi cacing tanah sehingga dapat meningkatkan produktivitasnya. 3. Sebagai informasi pada masyarakat tentang pemanfaatan limbah sampah dan kotoran hewan. 1. Cacing Tanah Menurut Barnes (1987), ciri-ciri dari cacing tanah adalah : hidupnya di dalam tanah di daerah tropis, morfologi tubuhnya berbentuk bilateral simetris, silindrik. Cacing tanah genus Lumbricus, tubuh bagian dorsal berwarna merah muda sampai tua, tubuh bagian vebtral warnanya lebih muda. Mempunyai 100 sampai 180 segmen, pada segmen pertama terdapat mulut yang disebut peristomium. Tiap segmen mempunyai beberapa setae. Anus terpat pada ujung posterior. Alat reproduksi bersifat hermaprodit dan perkawinan dilakukan secara fertilisasi silang dengan kopulasi.

2. Fisiologi Reproduksi Pada Cacing


Tanah Spermatogonia dari testes akan ditampung dalam kantung dan dikeluarkan menuju vesikula seminalis. Dalam vesikula seminalis spermatogonia akan dimatangkan sehingga berkembang menjadi spermtosit, spermatid dan spermatozoa. Kemudian melalui spermiducal funnels kembali ke kantung testes selanjutnya menuju vas deferen untuk dikelurakan pada lubang genital saat kopulasi (Hegner, 1968; Kotpal, 1981). Ova yang masak dari ovarium akan dipindahkan ke oviduk melalui corong oviduk dan dikeluarkan melalui genital dalam suatu bentuk yang disebut kokon. Kopulasi adalah suatu proses pemindahan sperma dari satu cacing ke cacing yang lain atau sebaliknya, melalui perlekatan klitellum. Setelah kopulasi terjadi, cairan mukus dikeluarkan dari klitellum sehingga menyelubungi bagian anterior dimana terdapat lubang spermateka sampai bagian lubang kelamin jantan. Sekresi ini akan

11

Susetyorini

Jurnal Protein

mengeras, membentuk gelembung karena adanya khitin dan merupakan materi untuk pembentuk kokon.

PMSG (Pregnant Mare Serum Gonadotropin) Sejarah Tahun 1930 Cole dan Hart menemukan dalam darah kuda bunting 40 hari sampai 140 hari mengandung sejumlah hormon gonadotropin yang disebut equine gonadotropin. PMSG telah dipakai dalam penelitian maupun pengobatan komersial sejak 30 tahun yang lalu. PMSG merupakan preparat gonadotropin yang secara komersial telah dipakai secara luas karena preparat pengganti yang lebih murah belum ada. Sifat Kimiawi 1. Glikoprotein (lebih tinggi dibanding FSH) 2. Rantai alfa dan beta terikat non-kovalen 3. Ada jembatan S (sulfida) 4. Hampir sama dengan FSH sedikit :H 5. CHO 40 48% (Hexosa, hexosamin) 6. Asam sialat 10,8% (lebih tinggi daripada FSH) 7. Berat molekul 68.000 8. Paruh hidup 26 jam (rata-rata), untuk domba 21 jam; sapi 80 jam, babi > 80 jam. 9. Pengambilan asam sialat pada molekul PMSG menghilangkan aktifitas biologinya. 10. Asam sialat pada PMSG kandungannya berbeda-beda dari satu waktu ke waktu yang lain dari masa kebuntingan, karena itu kadar PMSG dari satu batch dapat berbeda dari bath lain. 11. PMSG menurut efeknya tidak dapat dipisahkan antara fungsi FSH dan sedikit LH 12. Upaya memisahkan PMSG menjadi fraksi yang berefek FSH dan LH belum berhasil. 13. Efek biologi hilang bila preparat murni dalam bentuk kering tidak disimpan dalam larutan netral. 14. PMSG diinaktifkan oleh enzim protease dalam saluran pencernaan. Biosintesa Disintesa oleh sel epitel endometrium berbentuk mangkuk (endometrium cup) pada bangsa kuda, keledai, girafe (jerapah) dan gajah Afrika. Antara hari ke 40 180 masa kebuntingan, puncaknya pada hari ke 70 80,

kemudian kadarnya menurun pada hari ke 180. Faktor yang mempengaruhi sekresi PMSG, yaitu: 1. Bangsa kuda 2. Varietas 3. Banyaknya anak 4. Induk jantan dan betina kuda. Fungsi PMSG 1. Pada Kuda: a. Pada kuda bunting 40 hari, PMSG digunakan untuk pertumbuhan folikel baru, korpus luteum asesoris (Kista luteal) yang akan menghasilkan progesteron, membantu korpus luteum graviditatum untuk menghasilkan progesteron dalam memelihara kebuntingan. b. Korpus luteum graviditatum pada kuda menurun sekresi progesteronnya pada hari ke 40 masa kebuntingan. c. PMSG mendorong pertumbuhan gonad dari foetus kuda yang mengakibatkan : d. ovariun foetus kuda > ovarium anak kuda baru lahir; testes foetus kuda > testes anak baru lahir. e. PMSG menyebabkan kadar estrogen dan progesteron dalam darah induk meningkat, menyebabkan uterus oetus pada hewan betina dan kelenjar asesoris foetus pada hewan jantan membesar. Setelah lahir uterus dan kelenjar asesoris mengecil kembali secara cepat. f. PMSG diperlukan untuk proses immunoproteksi terhadap foetus yang sedang tumbuh. g. Ovarium kuda kurang sensitif terhadap PMSG, karena itu ovarium tidak dapat diaktifkan baik oleh PMSG maupun HCG dengan dosis yang tinggi. h. Pada kuda tidak sensitif terhadap FSH karena PMSG endogen mengikat reseptor untuk FSH pada ovarium. 2. Pada Ternak Lain a. PMSG mempunyai fungsi biologi sama dengan FSH sedikit LH b. PMSG tidak bersifat spesies spesifik. c. Umur pubertas dapat diperpendek dengan progesteron dan PMSG pada sapi dara. 3. Pada Tikus a. Pada tikus yang dihipofisektomi, PMSG menyebabkan pertumbuhan folikel,

12

Vol.14.No.1.Th.2007

Jumlah dan Berat Cocoon Cacing Tanah (Lumbricus rubellus)

pertumbuhan sel granulosa folikel, sekresi estrogen pada betina, pada tikus jantan menyebabkan spermatogenesis dan sekresi androgen. b. PMSG dan HCG meningkatkan aktifitas kelenjar tiroid baik yang normal maupun hipofisektomi pada tikus yang belum dewasa. c. Dosis kecil pada tikus yang dihipofisektomi PMSG memberi efek sebagai FSH, dosis besar memberi efek sebagai LH (ovulasi) atau luteinisasi korpus luteum. 4. Faktor yang mempengaruhi respon ovarium terhadap PMSG a. Lingkungan b. Musim c. Umur induk d. Berat badan induk e. Genetik (tikus yang secara genetik mempunyai anak banyak memberi respon yang lebih baik). f. Fekunditas g. Bangsa h. Preparat hormon yang dipakai. 5. Pemakaian PMSG di Lapangan a. Tujuan non-klinis pada hewan betina: mengertak super ovulasi, menggertak ovulasi pada induk yang menderita anestrus, meningkatkan jumlah ovulasi yang normal dengan tujuan menambah anak sekelahiran pada induk polipara. b. Pada superovulasi, pengaruh PMSG berbeda-beda menurut spesies hewan: pada sapi pengaruh PMSG setelah 120 jam, pada domba pengaruh PMSG setelah 40 jam. c. Untuk superovulasi, kombonasi PMSG dan HCG pada berbagai ternak. Pada sapi 1500-3000 IU, Sapi dara 10002000, Kambing 1000-1500, Domba 6001000, Babi 750-1500. d. Karena PMSG mangandung sebagian besar sebagai FSH, sering menyebabkan terbentuknya siste folikel bila terlalu lama pemberiannya atau dosisnya terlalu tinggi. Pada domba PMSG 1500 IU diikuti dengan 1000 IU HCG 3 hari setelah PMSG menghasilkan 50% folikel berovulasi. Pada kambing:

superovulasi dengan PMSG pada hari 1718 dengan dosis 1500 IU menghasilkan ovulasi rata-rata 13,7. e. Respon folikel terhadap PMSG tergantung pada tingkat pertumbuhannya. f. Pada folikel primodial, PMSG menambah jumlah folikel yang masuk fase pra antral. g. Pemberian progesteron selama 10-12 hari diikuti PMSG 750 IU dan HCG 1000 IU akan timbul birahi dan ovulasi pada 2 atau 3 hari kemudian sudah terbukti pada domba. KERANGKA HIPOTESIS KONSEPTUAL DAN

Kerangka Konseptual Pemberian pakan tambahan yang sesuai akan mempengaruhi pertumbuhan dan diharapkan reproduksi dan prosuksi akan meningkat. Pemberian kotoran sapi dan domba dalam media merupakan tambahan pakan untuk pertumbuhan cacing. Pemberian hormon PMSG melalui uji kontak pada cacing tanah akan diserap cacing tanah secara difusi melalui kulit, karen akulit cacing tanah mengandung kapiler-kapiler darah. Melalui aliran darah, hormon PMSG akan dibawa keseluruh tubuh dan khususnya menuju ke organ reproduksi dan diduga akan meningkatkan pembentukan gamet (superovulasi). Cacing tanah dewasa akan mengadakan kopulasi dengan cacing tanah dewasa lainnya, dimana pada waktu kopulasi terjadi pemindahan sperma kemudan sperma disimpan dalam spermateka. Klitellum mengeluarkan cairan untuk membentuk kokon. Lubang genital betina mengelurakan telur, pembuahan dilakukan di luar tubuh, sperma akan membuahi ovum sewaktu kokon melewati spermateka. Zygot yang terjadi akan disimpan dalam kokon. Kemudian kokon akan berpindah di atas kepala cacing dan mengeras. Hipotesis Penelitian 1. Pemberian PMSG berpengaruh terhadap jumlah dan berat kokon yang dihasilkan cacing tanah. 2. Pemberian pakan tambahan berupa kotoran sapi dan kotoran domba berpengaruh terhadap jumlah dan berat kokon yang dihasilkan cacing tanah.

13

Susetyorini

Jurnal Protein

3. Interaksi antara pemberian PMSG dan pakan tambahan berupa kotoran sapi dan kotoran domba berpengaruh terhadap jumlah dan berat kokon yang dihasilkan cacing tanah .

berupa proses kopulasi dan fertilisasi cacing tanah. Cara Kerja Satu kelompok pot yang telah tersedia diisi dengan tanah humus dan diberi kotoran sapi dengan perbandingan 7 : 3 sedang kelompok pot yang lain diisi tanah humus dan kotoran doba dengan perbandingan yang sama. Masing-masing pot diberi label sesui dengan rancangan yang telah ditentukan. Pemberian PMSG pada cacing dilakukan dengan mencelupkan cacing ke dalam larutan hormon PMSG sesuai dengan dosis PMSG yang telah ditentukan pada masing-masing perlakuan. Tiap perlakuan berisi 10 cacing tanah. Kemudian masing-masing cacing yang telah diberi perlakuan ditaruh dalam pot yang telah ditentukan. Tahap pengamatan dilakukan seminggu sekali sampai cacing tersebut tumbuh dewasa yang ditandai adanya klitellum. Bila pada media sudah terdapat kokon, ditandai dengan gelembung kecil (seperti kacang hijau) berwarna hijau muda dan dapat dilihat dengan mata telanjang, diambil dan dihitung jumlah jumlahnya, diukur beratnya dengan memakai timbangan mikro. Teknik Analisis Data Data yang akan dianalisis adalah data mengenai jumlah kokon dan berat kokon cacing tanah, dianalisis dengan menggunakan ANAVA, bila ada perbedaab yang nyata akan dilanjutkan dengan uji Beda Nyata Terkecil (BNT).

MATERI DAN METODE PENELITIAN Rancangan Percobaan. Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap, pola faktorial 3 x 3. Faktor pertama adalah dosis PMSG, yaitu 0 IU; 0,25 IU dan 0,50 IU dan faktor kedua adalah pakan tambahan, yaitu kotoran sapi, kotoran domba dan tanpa pakan tambahan. Populasi dan Sampel Populasi yang digunakan adalah cacing tanah (Lumbricus rubellus) yang muda berumur 4 minggu. Sampel yang digunakan sebanyak 450 ekor cacing tanah dengan berat 50-60 mg dengan 9 perlakuan dan 5 ulangan. Variabel Penelitian Variabel bebas adalah pemberian dosis PMSG dan pemberian pakan tambahan kotoran sapi dan kotoran domba. Variabel tergantung, adalah jumlah dan berat kokon cacing tanah. Variabel kontrol berupa wadah cacing, media, pH, kelembaban, suhu, alat ukur. Variabel moderator HASIL PEMBAHASAN DAN PEMBAHASAN 1. Jumlah Kokon

Tabel 1 : Rerata dan Simpangan Baku Jumlah Kokon Cacing tanah yang diberi PMSG dan Pakan Tambahan Dosis PMSG (IU) Perlakuan 0 0,25 0,50 Tanpa Pakan Tambahan Pakan Tambahan Kotoran Sapi 36,2 0,84 34,6 0,89 61,4 1,34 Pakan Tambahan Kotoran Domba 77,0 1,00 75,6 0,55 99,8 0,84
Keterangan : - sampai akhir penelitian belum terdapat jumlah kokon sehingga belum dapat dicatat datanya.

Dari analisi statistik dengan menggunakan Anava, yang dilanjutkan dengan uji BNT ternyata terdapat perbedaan

yang nyata (p < 0.05) antara semua kombinasi perlakuan.

14

Vol.14.No.1.Th.2007

Jumlah dan Berat Cocoon Cacing Tanah (Lumbricus rubellus)

2. Berat Kokon Tabel 2 : Rerata dan Simpangan Baku Berat Kokon Cacing tanah yang diberi PMSG dan Pakan Tambahan Dosis PMSG (IU) Perlakuan 0 0,25 0,50 Tanpa Pakan Tambahan Pakan Tambahan Kotoran Sapi 16,02 0,17 14,82 0,28 14,40 0,16 Pakan Tambahan Kotoran Domba 15,11 0,11 13,97 0,19 14,47 0,39
Keterangan : sampai akhir penelitian belum terdapat kokon sehingga data berat kokon belum dapat dicatat .

Dari analisi statistik dengan menggunakan Anava, yang dilanjutkan dengan uji BNT ternyata terdapat perbedaan

yang nyata (p < 0.05) antara semua kombinasi perlakuan.

Tabel 3 : Ringkasan Hasil Analisis Perlakuan PMSG dan Pakan Tambahan Terhadap Jumlah dan Berat Kokon Cacing Tanah Dosis PMSG X Pakan Variabel Dosis PMSG Pakan Tambahan tambahan Jumlah Kokon p = 0,0000 p = 0,0000 p = 0,0008 Berat Kokon p = 0,0000 p = 0,0000 p = 0,00001 Dari tabel 3, terlihat bahwa variabel dimana terdapat interaksi antara pemberian dosis PMSG dan Pakan Tambahan (p < 0.05), adalah variabel jumlah kokon dan berat kokon. PEMBAHASAN Ada pengaruh interaksi antara pemberian PMSG dan pakan tambahan yang berupa kotoran domba dan sapi terhadap jumlah kokon yang dihasilkan cacing tanah (p = 0,05). Sesuia pendapat Hafez (1993) bahwa penggunaan hormon PMSG untuk menggertak terjadinya superovulasi pada golongan mamalia sangat tergantung pada dosis hormon yang digunakan, makin tinggi dosis PMSG yang diberikan makin banyak sel telur yang diovulasikan. Hardjopranyoto (1995) menyatakan bahwa pada percobaan tikus yang dihipofisektomi, yang diberi PMSG dapat menggertak pertumbuhan folikel. Penggunaan hormon PMSG dengan dosis 7,5 IU yang diberikan secara intraperitoneal pada tikus yang dihipofisektomi dapat menyebbakan 94,6% dari tikus yang diteliti mengalami ovulasi (Matsuzaki, 1997). Dari hasil penelitian ini, PMSG yang diberikan pada cacing tanah dengan cara dicelup akan diserap secara difusi oleh poripori yang ada pada dinding tubuh cacing tanah. Hormon tersebut selanjutnya mengikuti aliran darah dan menggertak sel-sel neurosekretori di dalam ganglion supraesofagialis (Bagnara, 1976). Sel-sel neurosekretori menghasilkan hormon yang menstimulasi ovarium dan testes untuk pembentukan gamet (Haris, 1992). Gamet yang dihasilkan akan lebih banyak dibanding gamet yang dihasilkan secara normal. Hal tersebut juga ditunjang oleh hasil penelitian Catalan (1981) yang melaporkan bahwa pakan untuk cacing tanah ada dua golongan, yaitu bahan pakan untuk penggemukkan dan bahan pakan untuk reproduksi. Bahan pakan untuk reproduksi harus mengandung cukup protein karena asam-asam amino dari protein bahan tersebut diperlukan untuk pembentukan gamet baik gamet jantan maupun betina dari cacing tanah. Media cacing tanah yang diberi pakan tambahan berupa kotoran domba maupun sapi yang dikombinasikan dengan pemberian PMSG dosis 0,50 IU dapat meningkatkan jumlah kokon yang dihasilkan .

15

Susetyorini

Jurnal Protein

Dibanding dengan cacing tanah yang diberi pakan tambahan kotoran domba dengan dosis PMSG 0,25 IU. Dalam hal ini peningkatan jumlah kokon juga disebabkan karena kotoran domba mengandung protein 12,19% dan dosis PMSG 0,50 IU akan menggertak pembentukan gamet cacing tanah. Ada pengaruh interaksi antara pemberian PMSG dengan pakan tambahan terhadap berat kokon yang dihasilkan cacing tanah (p < 0,05). Menurut Hafez (1993), PMSG bisa digunakan untuk mengegrtak terjadinya superovulasi pada ternak, sedangkan pakan tambahan yang mempunyai kandungan protein lebih tinggi dapat menyediakan bahan baku untuk pembentukan gamet. Sebagai akibatnya semakin banyak gamet yang dihasilkan maka semakin kecil berat kokon yang dihasilkan. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Ada pengaruh interaksi antara pemebrian PMSG dengan pakan tambahan berupa kotoran domba dan sapi terhadap jumlah dan berat kokon yang dihasilkan oleh cacing tanah. Media cacing tanah yang diberi kotoran domba dengan dosis PMSG 0,50 IU mengahsilkan rata-rata jumlah kokon yang terbanyak. Media cacing tanah yang diberi kotoran sapi tanpa PMSG menghasilkan rata-rata berat kokon yang terbesar. Saran Untuk mmeperoleh jumlah kokon yang lebih banyak bisa digunkan media cacing tanah yang diberi pakan tambahan berupa kotoran domba dengan dosis PMSG 0,50 IU. Perbandingan jumlah kokon yang diberi pakan tambahan kotoran domba dengan diberi PMSG 0,50 IU dengan yang diberi pakan tambahan

berupa kotoran sapi dengan diberi PMSG 0,50 IU, adalah 100% : 60%.

DAFTAR PUSTAKA

1. Amin, 1993. Cara Budidaya Cacing


Tanah. Suara Karya. 16 Nompember 1993.

2. Anas, I. 1990. Metodologi penelitian


Cacing Tanah. IPB. Bogor.

3. Bagnara, T. 1976. Endokrinologi Umum.


Airlangga University Press. Surabaya.

4. Barnes, R. 1987. Invertebrate Zoology.


Saunders Co. Publishing. Philadelphia.

5. Budiarti dan asiani, 1993. Cacing Tanah.


Swadaya. Jakarta.

6. Catalan, IG. 1981. Eartworm A New


Source of Protein. Philipine Eartworm Center. Philipina.

7. Hafez, E.S.E. 1993. Reproducton in Farm


Animals. Lea&Febiger. Philadelphia.

8. Hardjopranyoto, S.1995. Ilmu Kemajiran


Pada ternak. Airlangga University Press. Surabaya.

9. Kotpal, R. 1981. Modern Text Book of


Zoology Invertebrate. Rastogi Publications. India.

10. Kramadibrata, S. 1994. Ekologi Hewan.


Pelatihan Dosen LPTK C-3. ITB-DIKTI. Bandung.

16

You might also like