Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 7

J. Sains & Teknologi. Desember 2003. VOL.3 NO.

3:103-109

ISSN 1411-4674

PERBANYAKAN TEBU (Saccharum officinarum L. ) SECARA IN VITRO PADA BERBAGAI KONSENTRASI IBA DAN BAP
Muh. Farid B
Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian dan Kehutanan Unhas

ABSTRACT
Reproduce Sugar cane by in vitro at various concentration of IBA and BAP. The research was conducted at Plant Tissue Culture Laboratory, Agronomy Department, Faculty of Agriculture and Forestry, Hasanuddin University since May until October 2003. The aim of research was to determine concentration of IBA and BAP which giving best result to growth of sugar cane callus by in vitro An experiment was done by using 2 factor of factorial design which is randomised completely block design. The first factor is concentration of IBA in 3 level, that is 0,50 ppm; 0,75 ppm and 1,0 ppm. Second factor is concentration of BAP in 3 level, that is 0,50 ppm; 1,00 ppm and 1,50 ppm. Each treatment was done for three times. Each experimental unit consist of 2 breeding bottle unit. Each treatment was added by Young Water Coconut with concentration 10 %. Bud speed (day), amount of bud (fruit), leaf (sheet) and roof (fruit) which formed at the end of observation were observed grow parameters. Result of research indicate that Interaction treatment of 0,50 ppm IBA and 1.50 ppm BAP is the best interaction to speed of forming bud, amount of bud and leaf; while Interaction of 1.00 ppm IBA with 1,00 ppm BAP is the best interaction to amount of formed root at the end of culture. Reproduce sugar cane can be conducted by in-vitro at 0,5 ppm IBA and 1.50 ppm BAP. Keywords: Reproduce, sugar cane, in vitro, and callus.

PENDAHULUAN Tanaman tebu (Saccharum officinarum. L) dimanfaatkan sebagai bahan baku utama dalam industri gula. Bagian lainnya dapat pula dimanfaatkan dalam industri jamur dan sebagai hijauan pakan ternak. Pengembangan industri gula mempunyai peranan penting bukan saja dalam rangka mendorong pertumbuhan perekonomian di daerah serta penambahan atau penghematan devisa, tetapi juga langsung terkait dengan pemenuhan kebutuhan pokok rakyat dan penyediaan lapangan kerja. Pengembangan tebu cukup beralasan dimana lebih dari setengah

produksi gula dunia berasal dari tebu (Mubyarto dan Daryanti, 1994). Produktifitas tanaman tebu yang dicapai di Indonesia adalah 49,24 ton/ha (Anonim, 1996), sedang di Papua New Guinea mencapai 55 ton/ha (Hartemink and Kuniata, 1996), dan Afrika Selatan 110 ton/ha (McGlinchey and Bander, 1996). Selama pabrik gula mengandalkan pasok bahan baku tebu rakyat, maka kepastian bahan mentah bagi pabrik gula menjadi berkurang. Kondisi ini akan mengundang para investor untuk menanam tebu di lahan sewa dalam bentuk perkebunan yang luas. Hal ini membutuhkan bibit dalam jumlah yang besar dan pertumbuhan yang seragam dalam waktu yang

103

Muh. Farid

ISSN 1411-4674

singkat. Untuk itu diperlukan suatu metode perbanyakan yang dapat memecahkan permasalahan bibit, salah satunya melalui metode in vitro. Metode ini dapat menghasilkan bibit dalam jumlah yang besar tanpa memerlukan jumlah induk yang banyak, waktu yang relatif singkat dan bibit yang dihasilkan bebas patogen. Kultur in-vitro adalah suatu teknik mengisolasi bagian tanaman seperti protoplas, sel, jaringan dan organ, yang kemudian menumbuhkannya dalam media buatan dengan kondisi aseptik dan terkendali (Gunawan, l988). Teknik ini pada awalnya digunakan dalam usaha perbanyakan tanaman secara cepat, namun saat ini telah berkembang menjadi sarana pendukung program perbaikan sifat tanaman (Mashudi, 1998). Metode ini banyak digunakan untuk menciptakan variasi genetik yang disebut variasi somaklonal. Variasi genetik yang pertama dilaporkan dalam hal perbaikan sifat tanaman ditemukan pada tembakau (Bhojwani, 1990) dan tebu (Heinz and Mee, 1971). Diantara metode yang digunakan pada tebu, kultur meristem pucuk mempunyai variasi yang lebih kecil dibanding regerasi langsung dari kultur kalus (Irvine and Benda, 1987), sedang Burner and Grisham (1995) mendapatkan sebaliknya dimana kultur meristem pucuk menghasilkan lebih banyak variasi. Kultur in-vitro pada dasarnya merupakan suatu sistem pertumbuhan sel-sel sebelum berdiferensiasi (kalus dan suspensi), sehingga mampu menghasilkan tanaman baru. Kalus dapat dihasilkan dari semua bagian tanaman seperti akar, batang dan daun, 106

tetapi organ yang berbeda memberikan pembentukan kalus yang berbeda pula (Musa dan Munir, 2002). Kalus adalah sekumpulan sel yang aktif mengadakan pembelahan sel dan pertambahan plasma sehingga dapat membesar dan membentuk massa sel yang tidak terorganisir. Kalus merupakan pertumbuhan yang tidak normal yang berpotensi untuk membentuk akar, tunas dan embrio yang dapat membentuk tanaman (Dodds,1987). Kemampuan kalus untuk beregenerasi sangat ditentukan oleh media yang digunakan dan komposisi zat pengatur tumbuh dalam media. Winata (1987) menyatakan bahwa dua golongan zat pengatur tumbuh yang sangat penting dalam kultur jaringan tanaman adalah auksin dan sitokinin. George dan Sherrington (1984), menyatakan bahwa inisiasi tunas dan akar diatur oleh interaksi auksin dan sitokinin yang diberikan ke dalam media. Demikian juga interaksi masing-masing auksin atau sitokinin eksogen dengan auksin dan sitokinin endogen yang dikandung oleh eksplan. Auksin secara umum menyebabkan perpanjangan sel, pembesaran sel, pembentukan kalus dan pembentukan akar (Pierek, 1987); mendorong pertumbuhan pucuk (Wattimena, 1988). Golongan sitokinin yang umum digunakan adalah BA (6-Benzyl Adenine) dan Kinetin. Golongan ini sangat penting dalam pengaturan sel dan morfologis (Winata, 1987). Sitokinin dalam budidaya jaringan terbukti dapat memacu diferensiasi tunas. Tunas dapat tumbuh dari jaringan kalus, daun, potongan batang atau kotiledon. Hasil percobaan terbukti bahwa 75 % species tanaman

Perbanyakan Tebu, InVitro dan Callus

ISSN 1411-4674

membentuk tunas jika menggunakan kinetin atau benzilaminopurin dengan konsentrasi antara 0,5 - 46 uM (Daisy dan Ary Wijayani, 1994). Winata (1987) melaporkan bahwa pada perbanyakan tebu secara in vitro, zat pengatur tumbuh yang dapat ditambahkan pada media inisiasi untuk organogenesis kalus adalah auksin 1 ppm dan sitokinin 1 ppm. Peningkatan konsentrasi sitokinin akan mendorong pembentukan tunas yang kemudian akan tumbuh menjadi planlet dalam kondisi yang sesuai. Pada konsentrasi auksin dan sitokinin yang sama cenderung terjadi pertumbuhan yang tidak terdiferensiasi. Namun pada genotipe tanaman yang berbeda akan memperlihatkan arah morfogenesis yang berbeda sehingga tidak ada suatu perbandingan antara auksin dan sitokinin yang bersifat universal yang dapat digunakan sebagai dasar dalam menginduksi tunas dan akar (Hughes, 1987). BAHAN DAN METODE Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman, Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian dan Kehutanan, Universitas Hasanuddin yang berlangsung sejak Mei sampai Oktober 2003. Bahan yang digunakan dalam percobaan ini adalah kalus tanaman tebu varietas PS 81362, bahan kimia yang digunakan dalam pembuatan media Murashige dan Skoog (Tabel Lampiran 1), zat pengatur tumbuh IBA dan BAP. Penelitian dalam bentuk percobaan dengan menggunakan rancangan faktorial 2 faktor yang disusun dalam pola Rancangan Acak Kelompok. Faktor pertama adalah

Konsentrasi Auksin IBA dalam 3 taraf, yaitu : a1= 0,50 ppm, a2=0,75 ppm, a3=1,00 ppm. Faktor kedua adalah Konsentrasi BAP (B) dalam 3 taraf, yaitu : b1=0,50 ppm, b2=1,00 ppm, b3=1,50 ppm. Tiap unit percobaan terdiri dari 2 unit botol biakan. Setiap botol berisi 2 unit pengamatan. Semua alat yang digunakan disterilisasi dalam autoclave pada tekanan 17 - 20 psi dan dipertahankan selama 1 jam. Laminar Air Flow Cabinet disterilisasi dengan alkohol 70 % dan dilap dengan tissue. Ruang penanaman dan ruang diatur suhunya dengan suhu rata-rata 25oC. Lampu fluorescent biasa digunakan sebagai sumber cahaya dalam ruang kultur.
Larutan stok MS dibuat dengan menimbang zat-zat dengan konsentrasi sesuai Tabel lampiran 1. Media dibuat dengan jalan memipet larutan stok sesuai keperluan. Larutan stok yang telah dipipet dimasukkan ke dalam labu takar 1000 ml, ditambahkan air kelapa muda 10 %, kemudian disusul dengan ZPT dan gula. pH diatur hingga mencapai 5,8 - 6,0, kemudian ditambahkan agar. Media

dipanaskan sambil diaduk rata hingga larutan nampak bening. Botol segera ditutup dengan aluminium foil, kemudian disterilkan dalam autoclave pada tekanan 17,5 psi selama 15 - 20 menit. Penanaman dilakukan dengan memilih kalus tebu yang embrionik, kemudian ditempatkan pada media sesuai perlakuan masing-masing. Parameter tumbuh yang diamati adalah kecepatan bertunas (hari), jumlah tunas (buah), jumlah daun (helai) dan jumlah akar yang terbentuk pada akhir pengamatan (buah).

105

Muh. Farid

ISSN 1411-4674

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kecepatan Bertunas dan Jumlah Tunas Hasil uji JBD0,01 kecepatan bertunas dan jumlah tunas disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Rata-rata kecepatan bertunas (hari) dan jumlah tunas tanaman tebu yang terbentuk. Kecepatan Bertunas Jumlah Tunas Perlakuan (hari) Perlakuan (buah) a1b3 a2b3 a3b3 a2b1 a3b2 a2b2 a1b2 a3b1 a1b1 Keterangan : 11,27 12,60 12,77 13,10 13,51 14,10 14,99 15,43
a a a a ab b b b

a3b3 a3b2 a2b3 a1b1 a3b1 a2b1 a1b2 a2b2

3,94 6,20 7,75 7,87 8,69 12,69 14,22 16,92

a a b b b c c c

18,21 c 21,45 d a1b3 Angka pada kolom yang diikuti dengan huruf yang sama berbeda tidak nyata pada taraf uji JBD 0,01. Hasil percobaan yang dilakukan menunjukkan bahwa interaksi IBA dan BAP pada umumnya memberi pengaruh yang cukup baik untuk parameter kecepatan pembentukan tunas dan jumlah tunas yang terbentuk. Interaksi IBA 0,50 ppm dengan BAP 1,50 ppm memberikan hasil terbaik terhadap kecepatan membentuk tunas dan jumlah tunas. Hal ini diimungkinkan karena pada konsentrasi BAP yang tinggi dibandingkan konsentrasi IBA yang diberikan kepada media mendorong laju pembentukan tunas dan meningkatkan jumlah tunas yang terbentuk. Kusumo (1990) mengemukakan bahwa jika kadar sitokinin lebih tinggi daripada auksin, maka sel akan berdiferensiasi menjadi 106

Tabel 1 menunjukkan bahwa hasil terbaik untuk kecepatan pembentukan tunas ditunjukkan oleh interaksi IBA 0,5 ppm dan BAP 1,50 ppm (11,27 hari) dan berbeda nyata dengan interaksi IBA 0,75 ppm dan BAP 1,00 ppm, interaksi IBA 0,50 ppm dan BAP 1,00 ppm, interaksi IBA 1,00 ppm dan BAP 1,00 ppm dan interaksi IBA 1,00 ppm dan BAP 0,50 ppm. Sedangkan pembentukan tunas yang paling lambat ditunjukkan oleh perlakuan IBA 0,50 ppm dan BAP 0,50 ppm. Jumlah tunas tanaman tebu yang terbentuk pada akhir kultur paling banyak dihasilkan oleh interaksi IBA 0,50 ppm dan BAP 1,50 ppm dan berbeda nyata dengan perlakuan lainnya,

Muh. Farid

ISSN 1411-4674

meristem pucuk batang. Malcolm (1992) mengemukakan bahwa naiknya ratio sitokinin terhadap auksin (baik dengan menurunkan konsentrasi auksin ataupun dengan menaikkan konsentrasi sitokinin) dapat menghasilkan tunas yang tumbuh menjadi pucuk dan akhirnya menjadi tanaman di bawah kondisi lingkungan yang tepat. Sedangkan pada interaksi IBA 0,50 ppm dan BAP 0,50 ppm, laju pembentukan tunas akan terhambat. Hal ini menunjukkan bahwa pada konsentrasi tersebut IBA dan BAP yang ditambahkan ke dalam media belum mampu untuk merangsang pembentukan tunas. Abidin (1990) menyatakan bahwa penggunaan sitokinin pada kadar optimum dapat

merangsang pembentukan tunas, sehingga pada konsentrasi BAP 0,50 ppm pembentukan tunas terjadi pada waktu yang lebih lama. Jumlah Daun dan Akar Tabel 2 menunjukkan bahwa interaksi IBA 0,50 ppm dengan BAP 1,50 ppm memberikan hasil terbaik terhadap jumlah daun dan berbeda sangat nyata dengan interaksi lainnya. Sedangkan iteraksi IBA 1,00 ppm dan BAP 1,00 ppm memberikan hasil terbaik terhadap jumlah akar dan berbeda tidak nyata dengan interaksi IBA 0,75 ppm dan BAP 1,5 ppm. Jumlah daun dan akar yang paling sedikit ditunjukkan oleh interaksi IBA 0,50 ppm dan BAP 0,50 ppm. Tebu yang

Tabel 2. Rata-rata Jumlah Daun dan Jumlah Akar Planlet Terbentuk pada Akhir Kultur. Perlakuan a1b1 a1b2 a3b2 a3b1 a3b3 a2b2 a2b3 a2b1 a1b3 Keterangan : Jumlah Daun pada Akhir Kultur 5,59 10,85 18,39 19,12 19,84 22,04 24,94 26,43
a b c c c c c c

Perlakuan a1b1 a1b2 a1b3 a2b2 a3b3 a3b1 a2b1 a2b3

Jumlah Akar pada Akhir Kultur 4,97 5,44 6,90 7,89 9,41 10,73 11,52 19,00
a a a ab b b b c

39,63 d 19,39 c a3b2 Angka pada kolom yang diikuti dengan huruf yang sama berbeda tidak nyata pada taraf uji JBD 0,01.

Jumlah daun planlet yang terbentuk paling banyak dihasilkan oleh interaksi IBA 0,50 ppm dan BAP 1,50 ppm. Hal 107

ini disebabkan karena kecepatan bertunas lebih cepat dan jumlah tunas yang dihasilkan lebih banyak. Dengan

Perbanyakan Tebu, InVitro dan Callus

ISSN 1411-4674

adanya pertumbuhan tunas awal yang baik, maka akan merangsang pertumbuhan vegetatif yang baik untuk pertumbuhan selanjutnya. Jumlah tunas yang banyak akan menghasilkan jumlah daun yang banyak pula. Selain itu dengan adanya sitokinin dalam jaringan tanaman, maka akan memacu pembelahan sel dan menghilangkan dormansi yang diikuti oleh pertumbuhan tunas dan batang (Prawinata, Harran, Tjondronegoro, 1981). Bila laju pembelahan sel dan pembentukan jaringan berjalan cepat, maka akan mempercepat pertumbuhan batang dan daun (Sri Setyati, 1979). Hasil terbaik untuk parameter jumlah akar diberikan oleh interaksi IBA 1,00 ppm dan BAP 1,00 ppm. Walaupun perimbangan IBA dan BAP sama, namun adanya auksin endogen dalam tubuh tanaman dan penambahan auksin eksogen (IBA), akan meningkatkan konsentrasi auksin yang akan merangsang pembentukan akar. Seperti yang dinyatakan oleh George dan Sherrington (1984) bahwa inisiasi tunas dan akar ditentukan oleh konsentrasi auksin dan sitokinin yang diberikan ke dalam media dan interaksinya dengan auksin atau sitokinin endogen yang dikandung oleh eksplan. Peningkatan jumlah tunas dan jumlah daun berarti meningkatkan daerah produksi auksin terutama pada ujung tunas. Auksin yang diproduksi pada tunas meristem akan ditranslokasi secara basepetal ke bawah untuk mendorong pembentukan akar yang lebih banyak. Demikian pula sebaliknya, akar merupakan daerah produksi sitokinin yang terbanyak dan akan ditranslokasi ke tunas untuk

mendorong jumlah tunas dan daun yang lebih banyak. KESIMPULAN Interaksi IBA 0,50 ppm dan BAP 1,50 ppm adalah interaksi yang terbaik terhadap kecepatan pembentukan tunas, jumlah tunas dan jumlah daun yang terbentuk pada akhir kultur. Interaksi IBA dengan konsentrasi 1,00 ppm dan BAP dengan konsentrasi 1,00 ppm adalah interaksi yang terbaik terhadap jumlah akar yang terbentuk pada akhir kultur. Perbanyakan massal tanaman tebu dapat dilakukan secara in-vitro pada konsentrasi IBA 0,5 ppm dan BAP 1,5 ppm.

DAFTAR PUSTAKA Abidin, Z. 1990. Dasar-dasar Pengetahuan Tentang Zat Pengatur Tumbuh. Angkasa. Bandung. Anonim, 1996. Tebu Varietas Unggul, Pemandu Swasembada Gula. Neraca, Edisi Maret, Jakarta, Indonesia Bhojwani, S.S. 1990. Plant Tissue Culture. Application and Limitations: Development in Crop Science. Elsevier Science Pub. Co. Inc. New York, USA. Burner, D.M. and Grisham, M.P. 1995. Induction and Stability of Phenotypic in Sugarcane as Affected by Propagation Culture. Crop Sci. 35:875-880. Daisy P. S. dan Ary Wijayani. 1994. Teknik Kultur Jaringan, 108

Muh. Farid

ISSN 1411-4674

Pengendalian dan Petunjuk Perbanyakan Tanaman Secara Vegetatif Modern. Kanisius. Jakarta. Doods, B. V. 1987. Clonning Agriculture Plants Via In Vitro Techniques. CRC. Press Inc. Boca Raton. Florida. George, E. F., and P. D. Sherrington. 1984. Plant Propagation by Tissue Culture. Exegetic Limited. London. Gunawan, L.W., l988. Teknik Kultur Jaringan. Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman. PAU Bioteknologi IPB, Bogor :303 p. Hartemink, A. and Kuniata, L. 1996. Some factors influencing yield trend of sugarcane in Papua New Guinea. Outlook on Agriculture Vol. 25(4):227-234. Heinz, D.J. and Mee, G.W.P. 1971. Morphologic, Cytogenetic and Enzymatic Variation in Saccharum species hybrid Clones Derived from Callus Tissue. Amer.J.Bot. 58:257262. Hughes, K. W. 1987. Ornamental Species. Conger (Ed.). Clonning Agricultural Plant via In Vitro Techniques. CRC. Press. Florida. Irvine, J.E. and Benda, G.T.A. 1987. Transmission of Sugarcane Diseases in Plants Derived by Rapid Regeneration from Diseased Leaf Tissue. Sugarcane 6:14-16. Kusumo, S. Zat Pengatur Tumbuh Tanaman. Penerbit C.V. Yasaguna Bogor.

Mashudi, M.F. dan A.D. Ambarwati, 1998. Seleksi In vitro Tanaman Padi Tahan kekeringan dengan Teknik Kultur Jaringan. Buletin Pertanian, Volume 13 (1) : 10-14. McGlinchey, M.G. and Ng InmanBamber. 1996. Effect of irrigation scheduling on water use efficiency and yield. Proc. S. Afr. Sug. Technol. Ass. 70:55-56. Mubyarto dan Daryanti. 1994. Gula, Kajian Nasional Ekonomi. Aditya Medya, Yogyakarta. Musa, Y dan Munir (2002). Pembiakan In Vitro dari beberapa varietas tebu (Saccharum officinarum L.) di PTP XIV, Gula Takalar, Sulawesi Selatan. Internal Report, PTP XIV Nusantara.IV Agronomis. Pierek, R. L. M. 1987. In Vitro Culture of Higher Plants. Martinus Nijhoff Publisher. Dordrecht. Prawiranata, W., S. Harran dan P. Tjondronegoro, 1981. DasarDasar Fisiologi Tumbuhan. Departemen Botani, Fakultas Pertanian IPB. Sri Setyati, H., 1979. Pengantar Agronomi. P.T. Gramedia Jakarta Wattimena, G. A., 1988. Zat Pengatur Tumbuh Tanaman. PAU Institut Pertanian Bogor (IPB). Bogor. Winata, L. 1987. Teknik Kultur Jaringan Tanaman. Lab. Kultur Jaringan. PAU Bioteknologi Institut Pertanian Bogor (IPB). Bogor.

109

You might also like