Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 10

NATURAL RESOURCE MANAGEMENT FOR ECOREGION PAPUA

Kadarusman1, Mulia Nurhasan2


1

Departement of Biodiversity, Ecology and Evolution, Paul Sabatier University. France Correspondence; Tel : +33617438274, email : snc kadarusma@gmail.com 2 Norwegian College of Fishery Science, University of Troms, Norway Tel : +4794484058, email : mulianurhasan@gmail.com

Papua is the only world remaining Eden G a r d e n that is still existing in the equatorial area. 80% of the surface is still covered with tropical rainforest and is the home of 50% Indo-Malay biodiversity. Both land and aquatic area of the province keeps enormous biodiversity that is already recognized by world society, including UNESCO which officially recognize Lorentz region in Papua as the largest natural heritage in South East Asia. Unfortunately, due to some reasons, the management of this enormous natural resource is far from sustaining. Through literature study and writers empirical experiences on the field, the paper analyzes three main reasons for this; economic pressure, low environmental awareness and poor governance. Facts on biodiversity loss and natural resource over exploitation impact, such as coral reef damage, illegal logging, illegal fishing, are given. Estimation was made that unless wise action is taken on resource management, Papua will collapse in 2015. Although the damage is yet to be said as severe, action must be taken immediately to prevent further impact. As a movement on social responsibility, this paper is a tool to increase awareness on the importance of this issue. Various different approach of natural resource management namely precautionary approach, ecosystem approach, co-management approach and right based management approach brought into discussion. These shall be alternatives solution offered to multidimensional biodiversity problems in Papua. In the end, the paper discussed the possibility of these approaches to be implemented in Papua and some strategic movements suggested in achieving the management objectives.
Key words; biodiversity, Papua, natural, resource, management

PENDAHULUAN Latar Belakang: Papua, Taman Firdaus Dunia yang Terancam Runtuh Daratan Papua adalah satu-satunya Eden Jardin (taman firdaus) yang masih ada dan terlengkap diplanet bumi, suatu daratan tertua di arcipelago Indonesia yang terbentuk sejak 195 juta tahun silam1. Hingga kini sekitar 80% permukaannya masih ditutupi hutan hujan tropis dan dijuluki raksasa rainforest karena luasnya yang mencapai 42 juta ha. Papua adalah rumah bagi 50% biodiversitas Indo-Malay. Papua saat ini saat ini menjadi pulau equator terbesar ketiga di dunia yang didiami oleh ribuan satwa endemik, penciri koneksitas species-species Melanesia dengan paparan Sulu-Sulawesi2.
1 2

Pada bagian barat Papua, di kabupaten Raja Ampat, terhampar 610 pulau tepat di jantung segitiga karang dunia. Di tempat ini di temukan 450 jenis karang yang mencakup 75% jenis terumbu karang dunia. Selain itu ditemukan 700 jenis moluska dan 283 jenis ikan dalam 90 menit waktu penyelaman. Total biomassa yang jauh lebih besar dibandingkan dengan kawasan di coral triangle ; MileBay (PNG), Seascape Carribien, Bunaken dan Banggai, maupun corridor Calamianes di Philipina3. Di Papua Barat, tepatnya di Bintuni, terhampar gugusan ekosistem mangrove seluas 77,1 % dari total mangrove Indonesia dengan nilai ekonomis sebesar U$.46,5 juta/tahun4. Kawasan Lorentz, di Pegunungan selatan Papua, adalah salah satu area yang memiliki keanekaragaman hayati tertinggi. 80% total mamalia dan 65% jenis burung yang ada di Papua terdapat di kawasan ini. Atas dasar itu, UNESCO5 pada tahun 1999 meresmikan kawasan Lorentz sebagai Herritage Natural terbesar di Asia Tenggara dengan luas 25 056 km2. Karena kawasan hutan rimba Papua sangat luas, hanya sekitar 45% saja yang sudah dijamah para peneliti, sisanya masih belum tersentuh, menantang dan misterius untuk sains. Pada Desember 2005, Conservancy International (CI) Indonesia melakukan Rapid Asessement Program the Wapoga di pegunungan Foja. Misi utamanya adalah untuk menemukan dunia yang hilang (finding of the lost world) dan berhasil mengungkap lokasi kunci biodiversitas Papua. Dalam laporannya, CI menuliskan pengunungan tengah dan lintang sungai Mamberamo sebagai jantung keanekaragam continental tertinggi di dunia. Di kawasan ini terdapat kenanekaragaman hayati, diantaranya adalah kanguru pohon mantel emas (Dendrolagus pulcherrimus), lima jenis palem-paleman, burung hisap madu serta penemuan kembali katak mata jaring (Nyctimystes fluviatilis) dan katak Xenorhina arboricola6. Di bagian timur Papua, terdapat taman nasional laut Teluk Cendrawasih seluas 1,4 juta ha. 80% dari luasannya merupakan bentangan terumbu karang. Sejak tahun 1993, WWF

3 4

Scotese,1997 Pouyaud dan Kadarusman, 2007

McKenna, et al. 2002 Ruittenbeek, 1992 ; Kadarusman dan Razak, 2004 5 United Nation of Educational, Scientific and Cultural Organization 6 Andrew et .al, 2000 1

Kadarusman and Nurhasan, M. 2007. Natural Resource Management for Papua Ecoregion. Indonesian Students' International Scientific Conference. London-UK

Indonesia mendeklarasikan bentangan coral reef ini sebagai yang tertinggi kedua di dunia setelah barrier reef di Australia. Namun sangat disayangkan, kekayaan alam yang luar biasa ini belum dimanfaatkan dengan bijak sehingga belum dapat membawa keuntungan bagi masyarakat Papua dan sebaliknya malah bencana. Papua merupakan propinsi dengan penduduk miskin tinggi di Indonesia dan pernah dilanda bencana kelaparan. Banyak perusahaan asing didirikan di Papua namun penduduk lokalnya tidak mendapatkan royalti atas kepemilikan sumberdaya alam. Perusahaan asing yang mengeruk banyak keuntungan tidak menjaga alam Papua setelah mengeksploitasinya habis-habisan7. Tujuan Sebagai wujud kepedulian terhadap alam, penulis menyajikan artikel ini berdasarkan studi pustaka dan pengalaman empirik. Tujuannya untuk memperlihatkan interaksi berbagai aspek terkait dalam memanfaatkan alam Papua dan memberikan wacana pengelolaan sumberdaya alam secara berkelanjutan. Dalam mencapai tujuan ini, penulis menyajikan masalah-masalah yang timbul akibat benturan kepentingan ecosafe, logging, akuabisnis, turisme dan sosial ekonomi masyarakat dalam memanfaatkan alam Papua. Diharapkan dengan menyajikan fakta-fakta terkait, pembaca dapat ikut merasakan urgensi penerapan model pemanfaatan sumberdaya alam yang sinergis; yang memberikan arahan untuk mereduksi upaya over eksploitasi, degradasi, konversi dan hilangnya sebagian ekosistem, dengan mengedepankan partisipasi masyarakat. ANCAMAN KELESTARIAN ALAM Desakan Ekonomi Berbuntut Bencana Sebagai propinsi dengan index pembangunan manusia (HDI) terendah di Indonesia8 pemerintah Papua berusaha keras mendongkrak pendapatan daerah dengan berbagai macam cara. Salah satu yang paling dominan adalah mengeksploitasi kekayaan alam Papua. Sayangnya, atas keterbatasan wawasan lingkungan praktisi pembangunan, usaha ini justru mengancam kelestarian taman firdaus Papua. Burung Cendrawasih, yang dikenal sebagai burung titisan Tuhan dari surga misalnya, di Sorong dijual dengan harga Rp.300.000/ekor dan hal ini sudah berlangsung sejak dekade lalu, dari kegiatan ini mengakibatkan populasinya semakin menurun. Para ornitologist memperkirakan kepadatan populasi burung ini hanya tinggal 3 ekor/100 ha. Sektor kehutanan di Papua tercatat sebagai penghasil keuntungan kedua terbesar; 5,24% dari nilai
7

total ekspor diluar pertambangan Freeport9. Maka tidak heran jika pemerintah Indonesia sangat giat mengeksplotasi potensi hutan Papua. Saat ini Indonesia menduduki ranking pertama sebagai perusak hutan dalam satu dekade belakangan. Hal ini menjadikan Indonesia sebagai penyumbang emisi ketiga dunia setelah AS dan China. Di Papua sendiri terdapat 74 perusahaan logging yang aktivitasnya menebang hutan seluas 20 kali lapangan sepak bola/hari selama 23 tahun terakhir yang mengakibatkan beberapa satwa dari berbagai taksa harus bermigrasi. Kondisi ini semakin diperparah pada tahun 2004, saat pemerintah melakukan penebangan legal besarbesaran dengan dalih memenuhi permintaan pemerintah China atas kayu merbau Papua. Secara finasial keuntungannya memang menggiurkan, yaitu senilai US$ 1 milyar, akan tetapi untuk hal ini pemerintah harus 3 menggundulkan hutan seluas 800.000 m . Saat ini kontroversi konversi hutan menjadi lahan sawit dalam rangka memenuhi permintaan bahan bakar biofuel menjadi hangat. Maksimum sembilan juta hektar hutan di Provinsi Papua dan Papua Barat telah diidentifikasi oleh Departemen Kehutanan untuk dikonversi. Sekilas memang bisnis ini terkesan menggiurkan. Indonesia memiliki alam yang sangat cocok untuk penananaman kelapa sawit. Selain keuntungan ekonomis, immage biofuel yang diproduksi di Indonesia seakan menjadi kampanye lingkungan yang baik bagi pemerintah Indonesia. Padahal, menurut Paul J Crutzen, pemenang Nobel Kimia 2007, biofuel justru dapat menghasilkan emisi lebih besar dari bahan bakar fosil. Permasalahan utama terletak pada konsekwensi konversi hutan menjadi perkebunan sawit menghasilkan CO2 yang sangat besar. Selain itu penggunaan pupuk tanaman juga memberikan efek tertentu bagi kelapa sawit10. Selain dampak lingkungan, konversi hutan alam menjadi perkebunan kelapa sawit juga telah menimbulkan dampak sosial dan lingkungan hidup yang serius bagi penduduk di beberapa daerah di Indonesia. Hal ini memicu konflik penguasaan tanah, konflik perburuhan, pencemaran dan peracunan akibat penggunaan pestisida, dan juga lenyapnya potensi sumber perekonomian hasil hutan non kayu. Sejak 40 tahun yang lalu, pemerintah Indonesia telah memutuskan untuk memberikan izin kepada perusahaan asing untuk membuka pertambangan di Timika. Pertambangan ini memang memberikan sejumlah keuntungan bagi Indonesia, namun tidak sebanding dengan resiko kerusakan alamnya11. Pada tahun 2006,

Papuaweb.org, 2007; International Crisis Group, 2002; Tempointeraktif, 2006; Institute for Environmental Security, 2007
8

BPS, 2007

Institute for Environmental Security, 2007 Suara Pembaharuan, 2007 11 Kompas, 2005
10

kerusakan ekosistem terestrial akibat aktifitas tambang tembaga dan emas di Timika terakumulasi serta memunculkan beragam opini. Pilihan tindakan yang diambil pemerintah serta perusahaan terkait mengundang kontroversi. Tentunya, ini hanya sebagian kecil dari kusutnya persoalan biodiversitas di Indonesia yang telah mengantarkan negeri ini ke predikat republik bencana. Dari ekosistem perairan, dikabarkan bahwa illegal fishing di Raja Ampat telah memusnahkan sekitar 35% terumbu karang dalam waktu 27 tahun belakangan ini. Ilegal fishing jugalah yang telah menghancurkan biodiversitas bawah laut Taman Nasional Teluk Cendrawasih dalam kurun waktu 10 tahun terkahir. Akibat dari hal ini predikat Taman laut ke dua terbesar dunia harus turun peringkat menjadi urutan kelima12. Kebanyakan aktifitas ilegal fishing dilakukan karena pada musim paceklik, nelayan menggunakan bom, bius dan racun untuk mengangkap ikan, sehingga merusak terumbu karang13. Maksud hati menambah penghasilan secara instant namun sesungguhnya menghancurkan harta karun sebagai deposito masa depan. Praktek pencurian ikan pun, tidak hanya dilakukan oleh bangsa sendiri, namun juga oleh nelayan Thailand. Menurut catatan pemerintah, ada 990 ton ikan dicuri pada tahun 2003 (Papua.go.id, 2007) dan setiap tahunnya ada sekitar 2000 kapal nelayan asing yang menangkap ikan secara illegal. Di Merauke saja, pencurian ikan ini menyebabkan kerugian sebesar tujuh triliun rupiah (Kompas, 2007). Meskipun telah mengekspoitasi kekayaan alam Papua dengan sangat ambisus, tetapi ternyata Indonesia, terutama Papua, belum juga menjadi Negara yang kaya. 38,69% penduduk Papua tergolong miskin. 90% desa-desa di areal kehutanan Papua tergolong miskin dibandingkan dengan 76% desa di luar areal kehutanan14. Laju pertumbuhan perekonomian Papua hanya 0,53% pada tahun 200415. dan pada tahun 2005, sejumlah kabupaten terkena bencana kelaparan16. Indonesia masih berada pada urutan 108 dalam rangking HDI Dunia 200617, dan Papua berada pada urutan terakhir diantara semua propinsi di Indonesia pada tahun yang sama18. Rendahnya Kesadaran Lingkungan Hal ini tidak semata-mata terjadi karena faktor ekonomi, tetapi juga karena faktor pendidikan lingkungan yang sangat rendah. Tahun 2004 saja, hanya 15,2% penduduk Papua yang mengenyam
12 13

pendidikan Sekolah Dasar (SD)19. sehingga sangat sulit untuk mentransfer pendidikan lingkungan kepada peserta anak didik secara formal. Namun demikian, sejumlah dana asing datang ke propinsi ini untuk program program pendidikan lingkungan. Dana ini masuk melalui program pemerintah maupun organisasi lokal dan internasional di Papua. Selain itu, masyarakat adat Papua, yang secara tatanan sosial lebih dihormati dari pemerintah Papua sendiri, memegang peranan penting dalam memberikan pendidikan lingkungan. Baik pemerintah, LSM maupun pihak swasta harus mendukung peran penting masyarakat adat dalam meningkatkan sadar lingkungan demi keberlangsungan ekosistem. Sayangnya, walaupun landasan dasar untuk melibatkan masyarakat adat dalam pengelolaan sumberdaya alam di Papua sudah ada, akan tetapi implementasinya belum dilaksanakan14. Desentralisasi pembangunan dan munculnya sosok pemimpin yang visioner di Papua telah menjadi harapan baru agar propinsi ini dapat memulihkan kondisi lingkungannya.

Kadarusman, 2007 Kompas, 2007 14 Institute for Environmental Security, 2007 15 BPS Irian Jaya, 2007 16 Kompas, 2005 17 UNDP, 2007 18 BPS, 2007

Lemahnya Institusi Pelaksana Kebijakan Setiap masalah secara global, membutuhkan institusi pelaksana kebijakan yang kuat. Sayangnya, pemerintah masih seringkali lemah dalam menangani masalah lingkungan. Seperti kasus penjualan burung cendrawasih yang diungkapkan sebelumnya, diperparah oleh kurang tegasnya Dinas kehutanan dan karantina hewan dalam menghalau perdagangan satwa liar itu. Selain itu proteksi pemerintah nasional terhadap petani lokal sangat kurang, sehingga masayarakat lokal tidak dapat hidup selaras dengan alam. Sebuah contoh menggelitik tentang terbatasnya dampak kebijakan pemerintah yang tidak memihak petani lokal adalah tragedi garam di bagian utara kota Sorong, pada awal 1990. Daerah Suprau di Sorong, adalah satu-satunya perkampungan yang memproduksi garam di tanah Papua. Namun setelah garam dengan volume yang banyak dari pulau Jawa masuk, petani garam pun collaps, harga garam dari Jawa lebih murah dibandingkan harga garam petani Sorong. Para petani garam Papua yang bangkrut menebang hutan mangrove dan mengkonversinya menjadi tempat galian terumbu karang yang terendam lumpur, karang dijual seharga Rp. 400.000/truk dan menjadi tumpuan pendapatan bagi 24 KK. Walau memang menguntungkan, namun menghilangkan penghalau ombak pada

19

Papua.go.id, 2007 3

saat pasang tinggi dan hal ini dapat menjadi pemicu bencana alam di masa yang akan datang. Di Pulau Waigeo di kepulauan Raja Ampat, situasi memanas ketika pemerintah provinsi Papua Barat menyerukan penghentian ekspor pasir oleh PT. ASP ke Australia yang sudah mencapai 250.000 ton. Kegiatan ini diduga hanya kedok untuk menyembunyikan tambang nikel yang bermasalah, karena sejatinya pemerintah telah melarang ekspor pasir. Konflik struktural pada tingkat pengambil keputusan menjadi biang keladi yang mengakibatkan munculnya konflik hirizontal di masyarakat. Terkait dengan lemahnya institusi penegak kebijakan, World Bank melaporkan Indonesia berada pada urutan 41 dunia dalam efektivitas pemerintahan20. Sedangkan World Audit melaporkan Indonesia berada pada posisi 115 dari 145 negara yang diaudit tingkat korupsinya21. Sebagai bagian dari Indonesia, Papua tercatat sebagai propinsi ke 19 terkorup di Indonesia22. Dengan catatan ini, maka tidak heran jika Papua masih menjadi propinsi dengan Human Development Index terendah di Indonesia23. Contoh praktek korupsi lingkungan di Papua terjadi pada 15 tahun belakangan ini, berdasarkan laporan operasi hutan lestari II di Papua pada 2005. Pengiriman kayu illegal ke luar Papua dilakukan dengan sangat rapih dan terencana. Hal ini dimungkinkan karena disinyalir kuat melibatkan oknum aparat kemanan dan pemerintahan yang menambah ruwetnya kalkulasi hutan Indonesia yang hilang; pemerintah melaporkan penjualan kayu sebanyak 21,4 juta m3 akan tetapi masyarakat melaporkan 78,1 juta m3 telah hilang dari hutan24. Contoh Konsekuensi Lumpuhnya Fungsi Alam Masyarakat Papua sebagai pemilik sah megadiversitas akan menjadi saksi dan korban pertama dari kepunahan biodiversitasnya. Mereka yang biasa hidup dengan alam tidak akan dapat lagi menikmati dan mengenal tanda tanda alam akibat kepunahan species endemik. Punahnya satwa liar misalnya, akan membutakan kita pada sistem peringatan dini (alarm call) terhadap gejala alam; seperti perilaku burung Mandar Putih yang terbang ke arah selatan sesaat sebelum Tsunami di Aceh. Koloni burung Hering yang bisa digunakan untuk mendeteksi kebocoran pipa minyak. Perilaku anjing hutan di China sebelum terjadinya gempa Haichen yang menghancurkan 90% infra stuktur lokal, justru menyelamatkan 50% korban lewat evakuasi dini. Contoh lain, pada tahun 1988, sehari sebelum Gunung Kei Besi di Sulawesi Selatan meletus, segerombolan babi hutan turun dari gunung
20 21

dalam jumlah yang banyak ke bagian timur, memberikan peringatan pada penduduk sekitar akan bencana alam yang mungkin akan terjadi. Dari rangkaian kisah diatas, dapat disimpulkan bahwa eksistensi berbagai species di alam memiliki peran yang sangat esensial, diantaranya adalah fungsi hewan sebagai indikator bencana alam25. Bukti tingkah laku satwa ini menyadarkan kita, pentingnya ecosafe, dan urgensi hewan primata dari berbagai taksa sebagai alarm mitigasi bencana. Terutama karena tanah Papua juga rawan bencana. Berdasarkan database pemerintah Papua, tahun 2005 saja, ada 181,452 jiwa yang menjadi korban berbagai macam bencana alam. Bencana ekologis di republik bencana menjadi langganan tiap tahun, yang ujungujungnya akibat kejahatan dan kerakusan kita terhadap alam, alarm ini sudah diingatkan oleh Mahatma Gandhi pada awal 1940, bahwa sesungguhnya alam mampu menghidupi seluruh manusia di planet ini, tapi alam tidak sanggup menghidupi manusia yang rakus. Petuah ini telah terbukti, dimana konversi hutan menjadi lahan produktif tengah memaksa ratusan primata endemik terjebak dan masuk areal manusia, seperti kejadian Harimau menyerang penduduk di Aceh di awal oktober tahun ini, dan serangan monyet-monyet hutan terhadap perkebunan pisang di semenanjung Kampar-Riau selama tahun 2006.

World Bank, 2006 World Audit, 2007 22 Info Papua, 2007 23 BPS, 2007 24 WALHI, 2006

Perumusan Masalah Dari paparan diatas, dapat dirumuskan hipotesa sebagai berikut; 1. Papua adalah propinsi dengan kekayaan alam yang sangat besar, sekitar 50% dari biodiversitas Indonesia berada di tanah Papua. Potensi keanekaragaman hayati, maupun tambang, minyak bumi, dan turisme sangat menjanjikan dan menjadi harta karun biodiversitas untuk sebuah peradaban menuju Papuanis yang bermartabat. 2. Sebagai salah satu propinsi terakhir yang bergabung dengan Indonesia, Papua memiliki angka indeks pembangunan manusia terkecil. Hal ini memberikan tekanan bagi pemerintah lokal untuk terus meningkatkan penghasilan daerah dengan memanfaatkan sumber daya yang ada. Mengingat tingkat pendidikan yang rendah mengindikasikan rendahnya sumberdaya manusia yang bisa dimanfaatkan, pemerintah mencurahkan beban pemenuhan kebutuhan daerah dengan mengeksploitasi sumberdaya alam yang ada.

25

Prijatna, et.al 2005 4

3. Pengelolaan sumber daya alam belum dilakukan secara economically friendly oleh semua pihak terkait dan menimbulkan friksi, dan friksi ini telah menimbulkan tekanan bagi alam. Ekosistem mencapai titik yang memperihatinkan, akibat pengembangan kegiatan ekonomis manusia yang telah menghilangkan hampir sepertiga dari luasan ekosistem selama dekade 1990-an. 4. Besarnya peluang tawaran hutan Papua sebagai objek penggalangan dana yang transparansif bagi pemerintah, dengan melibatkan masyarakat, dan mitra bahwa Eden Papua adalah bagian terbesar dari penyejuk global dalam upaya mengurangi pemanasan global. Tapi sebaiknya menolak bekerjasama dengan Trans-National Cooperation (TNCs) bentukan negara-negara utara yang akan menghisap kekayaan alam bangsa-bangsa kulit berwarna: Indo-Malay dan Afrika. 5. Jika pohon terakhir telah ditebang, jika sungai terakhir sudah tercemar, dan jika ikan terakhir telah ditangkap, baru manusia akan sadar bahwa mereka tidak bisa makan uang (Tarigan, 2006), petikan kalimat ini menjadi alarm biologis bagi siapa saja yang selama ini berfikir instant, dan kembali mengoreksi hubungan kita dengan alam, dimana masyarakat dan pemerintah Papua belum terlambat untuk berubah. 6. Dari biodiversitas yang tersisa dan masih terbesar, Papua belum terlambat mengembangkan sutainable development dimana issue-issue lingkungan wajib dimasukkan ke dalam program pemerintah, dan kita juga belum terlambat untuk belajar dari bangsa lain yang mendasarkan pemenuhan kesejahteraan rakyatnya di atas pengelolaan biodiversitas yang bersifat interkoneksitas. PEMBAHASAN Sesuai dengan tema Temu Ilmiah Internasional Mahasiswa Indonesia 2007, yaitu Mencari Keadilan dengan Membangkitkan Rasa Tanggung Jawab Sosial, Makalah ini dibuat dengan renungan panjang atas dasar rasa tanggung jawab sosial terhadap ketidakadilan terhadap alam. Langkah-langkah yang kita tempuh dalam memanfaatkan lingkungan sebagai sumber kehidupan telah memotong keseimbangan alam itu sendiri, yang berpotensi menimbulkan bencana ekologis. Kemampuan Alam Terbatas Memahami konsep interkoneksitas itu, telah membangkitkan kesadaran global untuk memasukkan aspek lingkungan dalam pembangunan sosial ekonomi. Kesadaran global ini semakin menguat setelah Club of Rome menerbitkan laporannya berjudul The limit of Growth26, yang pada intinya mengingatkan
26

manusia bahwa jika laju konsumsi dan pemanfaatan sumberdaya alam dan laju pembuangan limbah sebesar pada saat ini, maka diperkirakan dunia akan runtuh (collaps) sekitar tahun 2015. Ahli filosofi lingkungan juga berpendapat bahwa banyaknya krisis lingkungan yang terjadi saat ini memaksa kita untuk mengoreksi kembali hubungan manusia dengan alam. Sebagian besar menganggap bahwa alam adalah komoditas, sebagai bahan mentah untuk kebutuhan manusia terutama pembuatan produk produk, oleh karena itu kita harus menyelesaikannya. Di negara maju, opini semacam ini sudah dianggap sebagai common nonsense. Adalah sangat tidak bijak untuk meminta generasi mendatang membayar biaya polusi cara hidup kita sekarang. Mengutip Fielder27; Untuk siapa bumi ini dijaga? Untuk kita sendiri, untuk anak kita dan untuk bumi itu sendiri.

Pengelolaan Sumberdaya Alam Berkelanjutan Terintegrasi Hidup selaras dengan alam bukan berarti mengkonservasi tanpa menggunakan dan mengambil keuntungan dari kekayaan alam yang kita miliki. Manusia diciptakan sebagai bagian dari alam, harus dapat memanfaatkan alam semaksimal mungkin dalam jangka panjang28. Papua, dengan sumberdaya alamnya yang sangat menjanjikan merupakan aset yang sangat berharga baik bagi masyarakat di tingkat propinsi maupun nasional. Tambang emas, perak, tembaga, minyak bumi, bahan bakar, pangan dan obat obatan serta turisme harus bisa dimanfaatkan sehingga alam dapat mendukung kehidupan manusia. Namun pengelolaan sumberdaya alam di Papua harus diperbaiki agar Papua tidak runtuh di tahun 2015 seperti prediksi kami. Pembahasan mengenai detil pengelolaan sumberdaya alam di Papua membutuhkan studi yang mendalam dan analisa lapangan maupun literature. Namun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memperlihatkan interaksi berbagai aspek terkait dalam memanfaatkan alam Papua dan memberikan wacana pengelolaan sumberdaya alam secara berkelanjutan. Setelah dibahas diatas mengenai kekayaan alam Papua serta ancaman kelestariannya, makalah ini hendak memberikan wawasan mengenai pendekatan-pendekatan dalam pengelolaan sumberdaya alam yang sepatutnya diterapkan di Papua. Tujuan akhir dari sebuah pengelolaan sumberdaya alam adalah agar manusia bisa
27 28

Meadows and Meadows 1971

Fielder, 1991 Kristiansen, 2006 5

dapat terus menikmati keuntungan dari alam dalam jangka waktu yang panjang tanpa merusak kelestarian alam itu sendiri. Untuk itu diperlukan sebuah sistem pengelolaan yang terpadu dan berkelanjutan. Dalam rumusannya, Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) menjelaskan bahwa konsep pengelolaan sumberdaya alam terpadu dan berkelanjutan menekankan pentingnya mendapatkan hasil yang berkelanjutan dari alam sehingga dapat mengentaskan kerapuhan ekonomi29. Konsep ini sejatinya dikembangkan dari Konvensi Keanekaragaman Hayati, 1992 di Rio de Janeiro yang pada salah satu konfrensinya membahas strategi pengelolaan daratan, perairan dan sumberdaya hayati terintegrasi yang mempromosikan konservasi dan penggunaan berkelanjutan secara berkeadilan30. Konsep pengelolaan sumberdaya berkelanjutan distrategikan sedemikian rupa sehingga sistem memberikan arahan pemanfaatan yang akan mereduksi upaya over eksploitasi, degradasi, konversi dan hilangnya sebagian ekosistem, dengan mengedepankan partisipasi masyarakat. Prinsip pengelolaan berkelanjutan adalah penggunaan sumberdaya jangka panjang dengan memperhatikan karakteristik biologi, dan ekologi termasuk konservasi, dan adanya pembagian keuntungan. Sedangkan pemanfaatan ekobiodiversitas berkelanjutan terintegrasi pada prinsipnya adalah perpaduan antara pengelolaan sumberdaya dan pemanfaatannya dengan tetap menjaga kelestarian sumberdaya dalam jangka panjang untuk kepentingan generasi mendatang31. Dengan konsep interkoneksitas dalam pengelolaan megadiversitas yang berkelanjutan, diharapkan antar pengguna, pengambil keputusan, pecinta lingkungan dan stakeholder lain mampu menyatukan visi dan kegiatan pengelolaan sumberdaya dalam upaya mereduksi degradasi, konversi, pemanfaatan yang bertanggungjawab terhadap arti pentingnya ekosistem Untuk itu perlu ditinjau beberapa pendekatan dalam pengelolaan sumberdaya alam, yaitu pendekatan pencegahan (precautionary approach), pendekatan ekosistem (ecosystem approach), pendekatan comanagement (co-management approach) dan pendekatan pengelolaan berdasarkan hak kepemilikan (right based management approach). Pendekatan Pencegahan (Precautionary Approach) Alam merupakan sebuah sistem yang kompleks. Ketidakpastian adalah karakter dari sebuah sistem yang kompleks, termasuk ekosistem32. Kita tidak
29 30

pernah secara pasti mengetahui jumlah ikan di laut setiap tahunnya, interaksi antara hewan atau dampak hilangnya sebuah species terhadap species lainnya. Akan tetapi, ketidaktahuan bukanlah alasan dalam pengambilan keputusan yang bijak. Pengelolaan alam dengan pendekatan pencegahan mengurangi resiko ketidakpastian struktural, meningkatkan kehati-hatian. Secara praktek, proses ini melakukan penilaian resiko dan penentuan batas aman pencegahan, yang biasanya lebih tinggi dari batas toleransi alam. Secara sangat hati-hati, perubahan-perubahan negatif diasumsikan terjadi bukan karena alam, melainkan karena interaksi manusia33 (Charles, 2006). Jika jumlah ikan di laut merosot dari tahun lalu, misalnya, pendekatan pencegahan akan mengasumsikan hal ini terjadi karena dampak overfishing sehingga quota penangkapan ikan harus dikurangi menjadi lebih kecil dari potensi lestari.

Pendekatan Ekosistem Pendekatan ekosistem, dalam Konvensi Biodiversitas di Rio de Jeneiro didefinisikan sebagai strategi untuk pengelolaan tanah, air dan sumberdaya kehidupan terintegrasi yang mengedepankan konservasi dan penggunaan berkelanjutan dengan cara yang pantas34. Tujuannya adalah untuk memasukan unsur komplesitas ekosistem kedalam pengambilan keputusan pengelolaan sumberdaya alam. Seperti telah dibahas sebelumnya, alam tidak dapat bersuara untuk menyampaikan hak-haknya. Dengan memasukkan unsur-unsur kompleksitas ekosistem kedalam proses pengelolaan sumberdaya alam, sama dengan memberikan hak bagi alam untuk bersuara. Sebelum keputusan diambil untuk memanfaatkan sebuah lahan pertambangan, misalnya, pendekatan ekosistem akan melihat dampak-dampak yang mungkin terjadi bagi lingkungan sekitar.

FAO, 2007 Convention on Biological Diversity, 2007 31 Gopakumar, 2002 32 Report of Prcautionary principle in Natural Resource Management and Biodiversity Conservation, 2004

Pendekatan co-management Esensi dari pendekatan co-managemen adalah berbagi otoritas dalam pengambilan keputusan dan fungsi pengelolaan antara pemerintah dan stakeholder. Sayangnya di Asia, termasuk Indonesia, kebijakan masih bersifat topdown sehingga pemerintah sering kali mengambil keputusan tanpa melihat kepentingan masyarakat. Sehingga seringkali salah langkah atau merugikan masyarakat33. Kasus kegagalan pengelolaan sumber daya alam banyak diakibatkan oleh status alam yang dimiliki bersama, sehingga semua pihak berlomba menggunakan sebanyakbanyaknya tanpa melakukan penjagaan. Kasus ini

33 34

Charles, 2006 CBD.int 6

lebih dikenal dengan the tragedy of commons35. Dua hal diatas selalu berakhir dengan konflik atau rusaknya sumber daya alam sekitar. Pendekatan co-management melakukan kebalikan dari top-down management. Proses ini mengajak masyarakat dan stakeholder lain untuk terlibat dalam pengambilan kebijakan sehingga ikut merasa memiliki dan bertanggungjawab terhadap sumber daya yang dimnafaatkan. Nepal adalah negara yang sangat terkenal dengan sistem pengelolaan hutan berbasis masyarakat. Sistem pengelolaan hutannya selama dua dekade terakhir didesentralisasi. Sistem pengelolaannya di rancang dan diimplementasikan untuk tujuan konservasi dan matapencaharian masyarakat36. Pendekatan pengelolaan berdasarkan hak kepemilikan Apa yang terjadi dalam tragedy of commons33 dapat disiasati dengan memberikan hak kepemilikan bagi individu atau institusi tertentu terhadap sumberdaya alam. Menurut Devlin and Grafton37, hak kepemilikan dapat didefinisikan sebagai hak menggunakan sebuah sumber daya. Penelitian terbaru menyarankan bahwa hak kepemilikan yang specifik adalah perlu tetapi bukan satu-satunya persyaratan dalam pengembangan suatu sumberdaya. Hak kepemilikan yang diimplementasikan juga harus pas dengan konteks sosial serta lingkungannya. Konteks ekologis merujuk kepada struktur ekosistem dimana manusia hidup dan bekerja. Sedangkan konteks sosial melibatkan dimensi hubungan manusia dengan sumber daya alam, termasuk pengaturan sosial dan institutional, praktek budaya dan ekonomi38. Dalam perikanan, hak kepemilikan ini dapat dalam bentuk quota induvidual, hak terhadap akses area tertentu, hak menggunakan alat tanggap tertentu, dan lain sebagainya. Implementasinya di Papua Dalam Haris dan Goodwin39 dijelaskan bahwa suatu kawasan pembangunan, secara ekonomis dianggap berkelanjutan (an economically sustainable area/ecosystem) jika kawasan tersebut mampu menghasilkan barang dan jasa (good and service) secara berkesinambungan (on continuing basis), dan suatu kawasan pembangunan dikatakan secara ekologis berkelanjutan (an ecologycally sustainable area), manakala basis (ketersediaan stock) sumberdaya alamnya dapat dipelihara secara stabil, tidak terjadi eksploitasi berlebih terhadap sumberdaya yang dapat diperbaharui (renewable resources). Dalam konteks ini termasuk pula pemeliharaan keanekaragaman hayati (biodiversity), stabilitas siklus
35 36

hidrology , biogeokimia dan iklim. Lebih jauh Charles22, menjelaskan bahwa sistem ekologis yang keberlanjutan dan terintegrasi meliputi keberlanjutan ekologis, sosioekonomis, masyarakat dan institusi. Disatu sisi pemerintah sebaiknya bangkit dari syndrome antroposentrisme terhadap alam, dan berkomitmen untuk tidak mendua dalam implementasi kebijakannya, akibat warisan masalah selama ini, pemerintah seakan dilematis disatu sisi menggiatkan upaya konservasi hutan, tapi disisi lain mendukung kebijakan penambangan hutan lindung. Dari sudut pandang ini sebaiknya pemerintah harus bersikap, khususnya dalam politik pengelolaan sumber daya alam, dan ada baiknya menengok pendapat Anthony Giddens40, bahwa pemerintahan harus menyesuaikan diri dengan lingkungan baru abad global. Otoritas, termasuk legitimasi negara, harus diperbarui secara aktif. Sehingga bisa ditarik kesimpulan bahwa penerapan pengelolaan sumberdaya alam berkelanjutan terintegrasi harus memperhatikan keseimbangan alam, berkontribusi secara signifikan terhadap perekonomian masyarakat, mendukung terbentuknya komunitas sosial yang sejahtera dan mandiri, serta hadirnya suatu sistem kebijakan dan penegak kebijakan yang memiliki kapabilitas finasial, administratif dan organisasional yang berkompeten dalam jangka panjang. Di Papua, hal ini belum terlambat untuk dilakukan, terutama dengan dukungan negaranegara maju. Belum semua alam Papua rusak dan masih ada kesempatan yang besar bagi masyarakat Papua untuk mencuri perhatian dunia dengan mengedepankan keunggulan natural resources.

Hardin, 1968 Timsina and Ojha, 37 Devlin and Grafton, 1998 38 Hanna and Munasinghe, 1995 39 Haris dan Goodwin, 2002

Langkah-langkah strategis Setelah menganalisa permasalahan pengelolaan sumberdaya alam yang ada di Papua, makalah ini hendak menyarankan langkah-langkah strategis yang memungkinkan untuk diterapkan di Papua dengan berpijak pada konsep pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan terintegrasi; 1. Seperti di jabarkan diatas, terdapat 74 perusahaan logging di Papua, belum lagi perusahaan pertambangan, perikanan, minyak dan gas bumi, serta perusahaan lainnya. Pemerintah sebenarnya bisa dengan mudah mengusulkan perbaharuan kesepakatan dengan perusahaanperusahaan ini agar mau membayar royalti terhadap pendidikan dan penyelamatan

40

Anthony Giddens, 2000 7

lingkungan. Insentif ini akan dapat menahan laju ekploitasi kekayaan alam Papua. Selain itu, dana royalti yang dibayarkan dapat menjadi sumberdana bagi masyarakat Papua untuk studi lingkungan melalui jalur pendidikan tinggi; jika royalty dari 2 perusahaan tambang saja menggelontorkan dana sebesar US$ 500.000/tahun, berarti dapat membiayai 150 mahasiwa Papua mulai dari jenjang S1, S2, dan S3 per tahun, setidaknya 92% pemuda pemudi Papua sudah mendapatkan pendidikan tinggi minimal S2 dalam 2 dekade ke depan, ini baru satu sisi dari penggalian tambang di Papua. 2. Good governance practise dengan keutamaan pemberantasan korupsi dan peningkatan efisiensi kinerja menjadi mimpi indah buat kita semua, yang diharapkan mengubah pandangan antroposentrisme yang dibangun diatas kerangka liberal ke bio dan ekosentrisme sebagai evolusi moral manusia terhadap alam, dimana manusia bukanlagi menjadi juru kunci keberlangsungan peradaban manusia dan lingkungannya, melainkan wujud penghormatan manusia terhadap alam menjadi syarat yang tak tertawarkan., jika tidak, dikuatirkan pemerintah ke depan tidak sanggup mengelola resiko, dan masyarakat yang evolutif akan memaksa pemerintah meninggalkan paradigma pembangunan yang berpusat pada pertumbuhan ekonomi atau ekonomi koboi41 yang melukiskan alam sebagai padang terbuka yang menyediakan sumber daya dan jasa pelayanan pembuangan limbah tanpa batas. 3. Penolakan konversi hutan yang hanya akan merusak sistem keseimbangan alam, yang menghilangkan ekosistem hutan secara permanen, dan memicu konflik horizontal, dan konflik satwa dengan manusia. 4. Perlu jedah tebang, mengingat sepanjang tahun 2006 saja, terjadi 59 kali bencana banjir dan longsor yang memakan korban jiwa 1.250 orang, merusak 36 ribu rumah dan menggagalkan panen di 136 ribu hektar lahan pertanian. WALHI mencatat kerugian langsung dan tak langsung yang ditimbulkan dari banjir dan longsor rata-rata sebesar Rp. 20,57 triliun setiap tahunnya, atau setara dengan 2,94% dari APBN 2006. Jedah tebang ini bermanfaat untuk: Menahan laju kehancuran hutan tropis di Indonesia; dapat memonitor dan penyergapan penebangan liar; kesempatan menata industri kehutanan; mengatur hak teritorial sumber daya hutan; meningkatkan hasil sumber daya hutan non-kayu; mengkoreksi distorsi pasar kayu domestik; restrukturisasi dan rasionalisasi industri olah kayu; mengkoreksi over kapasitas industri; memaksa industri

41

5.

6.

7.

8.

9.

meningkatkan efisiensi pemakaian bahan baku dan membangun hutan-hutan tanamannya. Konservasi hutan sistem kerakyatan, dimana dalam pengelolaannya senantiasa melibatkan masyarakat, utamanya masyarakat adat. Idealnya didalam hutan adalah masyarakat dan mitra, yang dipayungi oleh pemerintah, system ini diharapkan pula menepis anggapan bahwa selama ini militer masih berada di hutan. Lembaga pemerintah yang berwenang BKSDA, PEMDA, Tokoh Adat, LSM konservasi diharapkan mampu menggalang dana dan mengkampanyekan upaya penangkaran dan domestikasi species dengan prinsip bahwa lebih baik orang datang ke Papua dari pada species yang keluar dari tanah Papua. Dengan cara ini, species endemik tetap dapat berada pada habitat asalnya dan daerah akan mendapatkan income dari kunjungan peneliti dan turis domestik maupun asing . Tekanan terbesar terhadap eksosistem di Papua sesungguhnya datang dari kegiatan illegal, namunpun kita belum terlambat untuk mengatasinya, raising awareness yang diusung oleh beberapa lembaga konservasi di Papua perlu di dukung, seperti CI Indonesia, The nature Conservancy, dan WWF Indonesia. Peningkatan kesadaran terhadap masalah lingkungan oleh UPT serta LSM yang ada di Papua ini bisa memegang peranan penting. Pentingnya peningkatan ekoturisme, contoh, dalam kurun waktu lima tahun penduduk di dekat pulau Kri di Raja Ampat, dilaporkan, income perkapitanya meningkat 20% dari tahun sebelumnya, berkah dari ekoturisme dan komitmennya menjaga kelangsungan hidup ekosistem terumbu karang pasangsurut, yang tidak dapat ditemui di belahan bumi lainnya. Di laut dan pesisir, pengelolaan mangrove system sylfofishery terbukti mampu memadukan ecosafe dan akuabisnis dan menjembatani kepentingan kehutanan dan perikanan. Untuk tujuan multikepentingan, kita juga tidak salah membentuk Marine protect Area di laut, sebagai cikal bakal Bank Ikan untuk tujuan keberlansungan eksosistem dan species-species yang berinteraksi dengannya, dalam hal ini, CI Indonesia di Raja Ampat sesungguhnya telah meletakkan pondasi yang kuat dari terbentuknya Kawasan Konservasi Laut Daerah, yang memberikan signal pasti suatu
8

Korten, 2001

kebermanfaatan ekosistem yang berkelanjutan. 10. Penerapan konsep Join patrol, yang menitikberatkan pada pengawasan dan perlindungan ekosistem yang dilakukan secara multipihak, diyakini dapat berjalan secara berkelanjutan. 11. Menghentikan pembukaan eksplorasi tambangtambang baru, untuk menjadi deposito generasi mendatang, seperti yang dicontohkan oleh Amerika, yang menghentikan penambangan Tembaga dan Batu Bara miliknya, dan sengaja ia simpan untuk abad berikutnya, sedangkan kebutuhan industri beratnya dipasok dari negaranegara berkembang seperti Indonesia, dan dilaporkan bahwa sekitar 40% kebutuhan batu baranya justru datang dari Kalimantan dan Sumatera. Demikian halnya Perancis, yang menghukum berat pelaku pengrusakan lingkungan di daerah territorial seberang lautan Guyanne dengan sengaja mereka tidak akan mengganggu sekitar 90% luasan hutan di daerah tersebut untuk dijadikan perisai dan warisan pada abad mendatang. 12. Mekanisme pembangunan hidup bersih, dan amanat prokol Kyoto tentang upaya manusia untuk mengurangi emisi buangan menjadi dua momentum penting bagi masyarakat Papua sebagai pemilik sah megadiversitas koridor Melanesia barat. Atas konsesi Pemerintah kita dapat menjadi pemain utama perdagangan karbon, posisi ini menguatkan kita dengan status kepemilikan hutan tropik sebagai pereduksi gas karbon. Harapan ini akan muncul pada saat akan presiden Yudoyono memimpin negara-negara pemilik hutan tropic di Bali akhir tahun ini, untuk menguatkan posisi, memanfaatkan nilai dari hutan rimba Papua dan Kalimantan sebagai penyelamat bumi. Persepsi, konseptual dan jejaring penataan keseimbangan antara manusia dengan alam dan species yang berinteraksi dengannya, tentunya telah membuka mata hati, dan kita meyakini bahwa manusia dapat hidup harmonis dengan alam sekaligus menjadi draft tentative upaya multipihak membangun sebuah kawasan dan manusianya dengan pendekatan environment friendly, yang secara ekologis menghormati kelangsungan alam, dan secara ekonomis berbuah kesejahteraan, yang adil dan berkelanjutan.

KESIMPULAN Papua adalah satu-satunya taman firdaus dunia di daerah equatorial bumi. Kekayaan alamnya yang melimpah selama ini belum dikelola dengan baik. Hal ini menimbulkan bencana bagi masyarakat Papua dan alamnya. Penyebab pengelolaan yang justru merusak alam ini adalah desakan ekonomi, lemahnya kesadaran lingkungan dan institusi pembuat maupun penegak kebijakan. Mengingat pentignya sumber daya alam baik bagi masayarakat Papua maupun dunia, Papua harus segera memperbaiki sistem pengelolaan sumberdaya alamnya. Alam memiliki keterbatasan, dan jika cara pengelolaan yang sama masih terus diterapkan, Papua diramalkan akan runtuh pada tahun 2015. Berbagai macam pendekatan dalam pengelolaan sumberdaya alam yang intinya memasukan unsur keterpaduan dan keberlanjutan. Diantaranya adalah pendekatan ekosistem, pendekatan co-managemen, pendekatan pencegahan dan pendekatan hak kepemilikan. Penerapan sistem pengelolaan dengan pendekatan ini di Papua harus segera dilakukan. Beberapa langkah strategis telah disarankan seperti memanfaatkan pengetahuan lokal masayarakat adat, kerjasama dengan donor asing dalam meningkatkan kepedulian lingkungan, mengembangkan ekoturisme berbasis masayarakat, penghentian penebangan hutan, dan lain sebagainya. Diharapkan dengan diambilnya langkahlangkah strategis ini dapat menyelamatkan taman firdaus satu-satunya di equator dunia ini.

Terima kasih Sebagai akademisi, yang lahir dari tradisi masyarakat ilmiah dan commun society, tentunya kami sadar akan tali persaudaraan, bahwa kita adalah makhluk sosial yang memiliki ketergantungan satu sama lain, termasuk penyusunan artikel ini dapat diselesaikan karena bantuan dan dukungan berbagai pihak, izinkan kami menghaturkan terima kasih kepada rekan, sahabat perjuangan di CI Indonesia office Sorong dan Jaya Pura program seascape Raja Ampat, The Nature Conservancy office Sorong program Raja Ampat, WWF Indonesia ekoregion Papua program birds head Papua, PEMDA Papua, BKSDA office Sorong, APSOR-DKP, yang telah banyak memberikan masukan data dan arahan konstruktif

REFERENSI Gopakumar, K. 2002. Current State of overs Fishing and its Impact on Sustainable Fisheries Management in Asia-pasific region. In sustainable fisheries management in Asia. Asian Productivity Organisation. Tokyo. P. 37-57. FAO, 2007. Integrated natural resources management to enhance food security: The case for communitybased approaches in Ethiopia.http://www.fao.org/sd/2003/EN11013_en.ht m Fielder, J.H. 1991. Phhilosophy and the Environmental Crisis. In environmental Concerns; anInter Disiplinary Exercise (ed, hadsen, J.Aa) Elsevier apllied Science. London Giddens, A. 2000. The Third way. Cambridge. Polity Press, Kadarusman dan Razak, 2004. Pengelolaan Mangrove System Wanamina Berkelanjutan. Akademi Perikanan Sorong, Departemen Kelautan dan Perikanan. www.apsordkp.com. Sorong, Papua Barat. Kadarusman, 2007a. Studi Awal Pengeboman Ikan di Raja Ampat, suatu ancaman Megadiversitas Jantung Segitiga Karang Dunia. Factsheet Apsor; www.apsordkp.com. Akademi Perikanan SrongDKP. Sorong, Papua barat Kadarusman, 2007b, Mengajari Ikan Berenang dan Menggarami Lautan, factsheet Apsor: www.apsordkp.com. Akademi Perikanan SorongDKP. Sorong, Papua Barat. Kompas, 2007. Kawasan Rawan Pencurian Ikan Jadi Perhatian TNI AL http://www.kompas.com/kompascetak/0408/05/daerah/1190614.htm Kompas, 2007. Kerusakan Terumbu Karang Terus Terjadi. http://www.kompas.com/kompascetak/0110/05/iptek/keru10.htm), Kristiansen, P., Taji, A. and Reganold, J. 2006. Key issues for the future. In: Kristiansen, P., Taji, A. and Reganold, J. (eds.) Organic Agriculture: a Global Perspective. CSIRO Publishing, Melbourne Kristiansen, P., Taji, A. and Reganold, J. 2006. Organic Agriculture: a Global Perspective. CSIRO Publishing, Collingwood Korten, D. 2001. When corporations rule the world. Second edition. Kumarian Press, Bloomfield, Connecticut, USA. McKenna S.A., Allen G.R., and Suer Suryadi. 2002. A Marine Rapid Assessment of the Raja Ampat Islands. Conservation International. Washington DC. Mack, A.L, , Alonso, L.E., 2000. A biological Assessment of the Wapoga River Area, Papua, Indonesia. Conservation International, Washington DC.

Meadows., D.,D., Meadows., J. Randers., W.W. Behrens, III. 1972. Limits To Growth. Universe books. New York.

Papua.go.id, 2007. Pencurian Ikan.http://www.papua.go.id/potensi.php/687 Pouyaud, L. dan Kadarusman 2007. Expdition Papua 2007, Rapport de Mission, une Partenariate entre de lIRD Indonsie, Ecole Suprieur de Pche de Sorong (APSOR), et le Centre de Recherche pour Aquariophile, Ministre Indonsien de la Mer et de la Pche. France.

Purbayanto, A. dan Baskoro, M.S. 1999. Tinjauan singkat tentang Pengembangan TeknologiPenangkapan Ikan yang ramah Lingkungan. Mini Review on the Development of Enviromental Friendly Fishing technology. Graduate Student at Tokyo University of Fisheries. Dept. of Marine Science and Technology. Tokyo. 5 hal.

Ruitenbeek. J., 1992. mangrove Management; An Economic analysis of Management Option With a Focus on Bintuni Bay. Irian jaya; EMDI. Jakarta and Halifax.

Supriatna, J., Ermayanti, Iskandar, S. 2005. Sistem Peringatan Dini dari Satwa Liar. Artikel. Conservation International Indonesia. Jakarta

Scotese, C. R., 1997. Paleogeographic Atlas, PALEOMAP Progress Report 90-0497, Department of Geology, University of Texas at Arlington, Arlington, Texas, 37 pp.

Tarigan, 2006. Kepedulian Gereja dalam memperhatikan lingkungan. Greenpeace-Asia. Telukwondama.go.id, 2007. Kunjungan Kerja MKP serta Penandatanganan Kesepakatan Bersama http://www.telukwondama.go.id/contents/berita _01.htm

10

You might also like